BIMIKI Edisi 1

42

description

dukungan sosial

Transcript of BIMIKI Edisi 1

  • Kata pengantarBerkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala yang dimiliki oleh organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI). Berkala ini ditebitkan guna memberikan informasi tentang informasi-informasi terbaru dalan dunia keperawatan dan memberikan sarana kepada mahasiswa keperawatan untuk mempublikasikan hasil penelitiannya maupun artikel ilmiah yang lain.BIMIKI ini secara garis besar menyajikan artikel-artikel ilmiah yang bersikan informasi terbaru tentang keperawatan, termasuk di dalamnya terdapat penelitian asli, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu keperawatan dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Berkala ini tidak hanya terbatas pada mahasiswa saja, namun juga insane keperawatan pada umumnya.Atas diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia ini, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, khususnya kepada seluruh penulis yang berperan aktif, tim penyusun, mitra bebestari dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan berkala ini.

    Penyusun,

  • Sambutan Pemimpin UmumRasa syukur yang berlipat ganda, saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) pada edisi pertama ini. Setelah melalui perjalanan panjang dan perjuangan yang tiada henti dari semua pihak yang selalu turut memberikan dukungan atas keberhasilan BIMIKI ini. Tantangan merupakan bukan suatu penghalang kesuksesan.Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan yang ada di Indonesia yang bertujuan untuk menghasilkan berkala mahasiswa keperawatan elektronik yang memberi peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah yang berbasis ilmu dan teknologi. Berkenaan dengan tujuan tersebut, maka diperlukannya sebuah wadah yang mampu menjadi penampung hasil kreativitas mahasiswa khususnya terkait publikasi artikel ilmiah.Penerbitan berkala ini terselenggara atas kerja sama berbagai pihak, antara lain dari organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) yang diampu langsung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan dan Penelitian (PENDPEL) bekerja sama dengan HPEQ Students, serta dukungan berbagai institusi keperawatan di Indonesia. Penerbitan berkala ini membuktikan perjuangan yang tiada akhir, dalam membangun arus keprofesionalan dalam keperawatan dengan menunjang sistem long life learning dan menutup segala keterbatasan informasi keilmiahan terbaru bagi mahasiswa keperawatan.Harapan yang besar ketika keberadaan berkala ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh insan keperawatan di Indonesia. Bermula manfaat ditujukan kepada mahasiswa keperawatan di belahan daerah Indonesia manapun, semoga berkala ini dapat mempermudah dalam mengakses informasi-informasi ilmiah terbaru, maupun wadah penampung kreativitas mahasiswa keperawatan.Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan pada penulisan, ataupun petikan kata-kata yang terdapat pada BIMIKI edisi pertama ini. Sempurna merupakan hal yang masih jauh untuk diucapkan, oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi yang selanjutnya. Hidup mahasiswa! Kobarkan selalu semangat muda, karena suatu saat kitalah pejuangnya.

  • DAFTAR ISIPenelitian asli

    Hubungan Dukungan SoSial TerHaDap kejaDianpoS TraumaTic DiSorDerS (pTSD) paDa WaniTa uSia proDukTif:analiSa paDa kejaDian erupSi gunung berapiYogYakarTa, okTober 20120Vivi leona amalia S.kep.: ema m. S.kep., ns., m.kes;elsi Dwi H, S.kep., m.s., D.S...............................................................................................................5

    logoTerapi meningkaTkan purpoSe in life paDa maSYarakaT Dengan poST TraumaTic STreSS DiSorDerpaSca erupSi merapi Di SHelTer gonDang 1, Sleman, YogYakarTaeriyono budi Wijoyo, reny noorharyanti, anisa Hidayah, cahyani budi lestari, uki noviana...................................................................................................9

    kapTen (kaDer anTi HiperTenSi) Sebagai upaYapencegaHan SekunDer kejaDian HiperTenSiDi keluraHan SemoloWaru rW 01 kapTen kaDer anTi HiperTenSi) as Secondary preventive of Hypertensionin Semolowaru Village rW 01nurul Hikmatul Qowi........................................................................................................................16

    kemampuan komunikaSi inTerperSonalmaHaSiSWa fakulTaS keDokTeran ugm paDa pelakSanaan kegiaTan inTerprofeSSional eDucaTion cahyani budi lestari, martina Sinta kristanti, Totok Harjanto....................................................20

    kejaDian flebiTiS Di rumaH SakiT umum DaeraH majalaYaDeya Prastika F. Sri Susilaningsih, Afif Amir A............................................................................27

    pengaruH penDampingan Suami TerHaDapTingkaT kecemaSan primigraViDa paDa proSeS perSalinan Di bpS nY. Tien SoeYono,kabuH jombangatikah fatmawati................................................................................................................31

    tinJaUan PUstaKa

    preman-actiV, Sang penYelamaT ibu Hamilnuzul Sri Hertanti, erawati Werdiningsih, Hella meldy Tursina, Wiwin lismidiati.................................................................................................................35

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • LATAR BELAKANG Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis1. , bencana alam dapat menyebabkan tingginya tingkat stres, kecemasan ketakutan dan traumatik. Tidak seperti kejadian traumatik lainnya, selain mengakibatkan kerusakan fasilitas fisik dan banyaknya dana yang dibutuhkan, lebih lanjut bencana alam akan mempengaruhi tingkat stres dan mengganggu daya dukungan2.

    Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam mengalami kejadian PTSD selama kehidupannya. Pada usia yang sama, rasio kejadian antara wanita dan pria yaitu 3:1, rasio tertinggi yang terjadi antara wanita dan pria ditemukan pada usia 21 hingga 25 tahun2. Pada satu komunitas terdapat 20-30% wanita mengalami PTSD setidaknya sekali pada pengalaman kehidupannya, dan yang paling besar terdapat pada wanita pada usia produktif dengan rentang sebesar 10,4% hingga 13,8%6.

    Dukungan sosial merupakan faktor utama dalam membantu orang-orang dengan efek negatif dari kejadian traumatik dan PTSD. Dukungan sosial yang tinggi mengurangi perkembangan PTSD setelah kejadian trauma, sehingga dukungan sosial menjadi dasar pengembangan treatment psikologikal pada PTSD.

    MetodeJenis penelitian ini adalah penelitian non experimental dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilakukan di Dusun Ngepringan, Sleman, Yogyakarta pada bulan April hingga Mei 2011. Populasinya d adalah wanita usia produktif berusia 18-44 tahun warga Dusun Ngepringan, Sleman, Yogyakarta. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling dengan kriteria inklusi , mengalami kejadian erupsi Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 dan bersedia menjadi responden penelitian, kriteria eksklusi tidak berada ditempat saat penelitian berlangsung dan memiliki riwayat dirawat khusus untuk pelayanan gangguan kejiwaan sebelum terjadi bencana erupsi Gunung Merapi tanggal 26 Oktober 2011. Berdasar kriteria inklusi dan eksklusi, didapat responden sebanyak 114 orang.

    Instrumen penelitian yang digunakan adalah kriteria diagnostik dari DSM-IV untuk PTSD, dan Support Social Quetionaire (SSQ) untuk melihat bentuk dukungan social. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan sebelum proses pengambilan data dengan nilai korelasi product moment instrumen PTSD sebesar 0,496 hingga 0,871, instrumen dukungan sosial sebesar 0,375 hingga 0,899. Sementara hasil uji reliabilitas menunjukkan nilai r= 0,786; hasil uji reliabilitas pada instrumen dukungan sosial sebesar 0,916.

    Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisia statistik deskripstif. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara kejadian PTSD dengan dukungan sosial menggunakan Uji Lambda.

    Hubungan dukungan sosial terhadap kejadian post Traumatic Stress Disorder (pTSD) pada wanita usia

    produktif: analisa pada kejadian erupsi gunung merapi, Yogyakarta, oktober 2010

    Vivi leona amalia S.kep.: ema m. S.kep., ns., m.kes; elsi Dwi H, S.kep., m.s., D.S

    B I M I K IPENELITIAN ASLI

    1BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • Gambar 1. Diagram gambaran kejadian PTSD yag dialami oleh responden wanita usia produktif di Dusun Ngepringan, Sleman,

    Yogyakarta n=14)

    HASIL DAN PEMBAHASANTerdapat penelitian yang dihasilkan bahwa satu komunitas terdapat 20-30% wanita mengalami PTSD8. Pada penelitian kali ini menunjukkan bahwa angka kejadian PTSD sebesar 58,77%, ini merupa-kan angka yang cukup tinggi karena setengah lebih dari populasi mengalami PTSD.

    k a r a k t e r i s t i k responden

    non pTSD pTSD p Value

    usia (tahun) 29,21 7,12 30,28 7,02 0,983pendidikan terakhir

    SD

    SMP

    SMA

    7/11 (63,63%)18/44 (40,9%)22/59 (37,28%)

    4/11 (36,37%)26/44 (59,1%)37/59 (62,72%)

    0,228

    Status pernikahanBelum menikahSudah menikah Janda

    3/10 (30%)43/100 (43%)1/4 (25%)

    7/10 (70%)57/100 (57%)3/4 (75%)

    0,569

    kepemilikan anakBelum punya anakSudah mempunyai anak

    8/10 (80%)36/94 (38,29%)

    2/10 (20%)58/94 (61,71%)

    0,01

    jumlah anakBelum

    Satu

    Dua Tiga

    1,18 0,819/11 (81,81%)22/65 (33,84%)10/22 (45,45%)3/5 (60%)

    1,25 0,572/11 (18,19%)43/65 (66,16%)12/22 (54,55%)2/5 (40%)

    0,046

    pekerjaanPelajarBekerjaTidak bekerja

    0/5 (0%)5/16 (31,25%)42/93 (45,16%)

    5/5 (100%)11/16 (68,75%)51/93 (54,84%)

    0,093

    penghasilanAda penghasilanTidak ada

    penghasilan

    14/25 (56%)33/89 (37,07%)

    11/25 (44%)56/89 (62,92%)

    0,001

    kerabat yang meninggal

    AdaTidak ada

    3/15 (20%)44/99 (44,44%)

    12/15 (80%)55/99 (55,56%)

    0,073

    Hasil statistik diatas yang menunjukkan hubungan secara signifikan adalah pada karakteristik kepemilikan anak, jumlah anak dan penghasilan, Karakteristik ini merupakan ciri khas pada kelompok wanita usia produktif, yaitu faktor resikonya adalah riwayat maternal yaitu kehamilan, kepemilikan anak yaitu pada primipara dan multipara6.

    Resiko terbesar kejadian PTSD pada wanita terjadi pada usia antara 25 dan 34 tahun, sehingga hasil yang ditunjukkan pada penelitian yang saat ini dilakukan tidak jauh berbeda yaitu yang menunjukkan kejadian PTSD dengan hasil tinggi ada pada kelompok usia 18 - 30 tahun12. Hal ini juga dikuatkan juga bahwa resiko terbesar ditunjukkan pada usia antara 18 dan 24 tahun pada wanita

    Hubungan antara status pernikahan responden dengan kecenderungan terjadinya PTSD tidak signifikan . Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kecenderungan terjadinya PTSD pada semua jenis status pernikahan, baik itu belum menikah, telah menikah dan janda. Angka kejadian memang lebih besar terdapat pada kelompok responden yang telah menikah, baik itu masih menikah atau pernah menikah (janda) yaitu sebesar 57% dan 75% serupa dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya didapatkan bahwa PTSD lebih mudah ditemukan pada kelompok yang dalam status pernikahan ataupun yang pernah menikah (perceraian, meninggalnya pasangan)5.

    Hasil yang didapatkan adalah yang lebih mempengaruhi kecenderungan terjadinya PTSD bukanlah jenis pekerjaan yang dimiliki tetapi seberapa besar pendapatan yang mereka peroleh. Salah satu dari ketakutan yang dialami oleh seseorang yang mengalami PTSD adalah ketakutan akan adanya masa depan, sehingga adanya pendapatan dari seseorang akan dapat menjamin masa depan orang tersebut12.

    Adanya kerabat yang meninggal akan mengurangi sumber dukungan yang diberikan kepada pasien, dan hal ini salah satu faktor resiko terjadinya PTSD pada pasien13. Pada hasil penelitian ini didapatkan memang pada kelompok responden yang mengalami kematian kerabat memiliki angka kejadian PTSD yang paling besar yaitu 80% dari kelompok responden yang kerabatnya ada yang meninggal.

    2

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • Tabel 2 Sumber Dukungan sosial yang diterima oleh responden wanita usia produktif di Dusun Ngepringan, Sleman,

    YogyakartaSumber dukungan so-sial

    Jumlah Persentase (%)

    Primer

    Sekunder

    Tersier

    Primer dan sekunder

    Primer dan tersier

    Sekunder dan tersier

    Primer, sekunder, dan tersier

    43

    17

    3

    35

    0

    2

    14

    37,7

    14,91

    2,63

    30,70

    0

    1,75

    12,3

    Total 114 100

    Dukungan sosial yang paling banyak diterima oleh responden berasal dari sumber primer, yaitu berasal dari keluarga, pasangan, anak, orang tua, saudara kandung. Dukungan yang paling banyak diterima oleh wanita yang mengalami PTSD adalah berupa dukungan primer yaitu yang berasal dari keluarga inti, yang merupakan bagian yang selalu menemani wanita6.

    Gambar 2. Diagram Bentuk Dukungan Sosial yang dimiliki responden (n=1140

    Dukungan instrumental merupakan dukungan yang berupa bantuan langsung misalnya bantuan bantuan nyata diberikan oleh orang lain berupa tersedianya barang atau jasa sepanjang masa stres14. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang ditemukan peneliti bahwa keluarga inti membantu responden untuk memperbaiki rumah hunian, membantu untuk membelikan perabotan rumah, menggendong anak, dan membantu dalam pekerjaan sehari-hari seperti

    mencuci piring, memandikan anak, dan mengajak anak bermain.

    Gambar 3. Diagram Tingkat Dukungan Sosial yag dimiliki responden (n=14)

    Sebesar 58,77% responden mendapatkan dukungan sosial pada tingkatan yang rendah. Tingkat dukungan sosial ditentukan oleh aspek kualitas yaitu tingkat kepuasan terhadap dukungan yang diberikan13. Dukungan yang diberikan pada responden tidak banyak, setelah tinggal di rumah hunian yang merupakan bantuan dari pihak swasta, tidak ada lagi bantuan yang diberikan kepada responden, padahal dalam pemenuhan kebutuhan sehari-sehari masih mengalami kesulitan karena sebagian besar dari mereka tidak kehilangan tempat untuk bekerja yaitu sawah, atau ternak yang sebelumnya merupakan sumber mata pencaharian mereka.

    Tabel 3. Hubungan antara dukungan sosial dengan kejadian PTSD pada responden (n=114)

    PTSD PPTSD Non PTSD

    n % n %Dukungan Sosial

    Rendah 67 58,77

    5 4,39 0,045

    Tinggi 0 0 42 36,84

    Total 67 58,77 47 41,23

    Berdasarkan tabel 3, nilai signifikansi (p) = 0,045 (p

  • mengatakan bahwa dengan dukungan yang diberikan kepadanya, sekecil apapun bentuk dukungan tersebut sangat membantunya untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi7.KESIMPULAN

    Wanita usia produktif di Dusun Ngepringan 1. Yogyakarta pasca bencana erupsi Gunung Merapi yang mengalami kejadian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebesar 58,77% dari total populasi.Tingkat dukungan sosial yang dimiliki oleh wanita 2. usia produktif di Dusun Ngepringan Yogyakarta pasca bencana erupsi Gunung Merapi termasuk dalam kategori rendah (58,77%), sumber dukungan sosial yang dimiliki tertinggi adalah sumber primer (37,7%).Terdapat hubungan yang signifikan antara 3. dukungan sosial terhadap kejadian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada wanita usia produktif di Dusun Ngepringan Yogyakarta pasca bencana erupsi Gunung Merapi.

    DAFTAR PUSTAKA Sunarto. 2009. 1. Mitigasi Bencana. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.Ditlevsen D, Elklit A. 2010. The Combined Effect of Gen-2. der and Age on Post Traumatic Stress Disorder: Do Men and Woman Show Differences in the Lifespan Distribution of The Disorder?. Annals of General Psychiatry, 9:32.Paton, Douglas. 2010. Predictor of intention to Prepare for 3. Volcanic Risk in Mt Merapi, Indonesia. Journal of Pasific Rim Psychology, Vol. 3, pp. 47-54.

    Adrian. 2010. 4. Merapi Murka, UMKM Terancam Gulung Tikar. Spirit Bisnis, edisi 10, Desember 2010.Busari AO. 2010. Prevalence of Risk Factors and Post-5. traumatic Stress Disorder in low Income Pregnant Wom-an. European Journal of Social Science, Vol. 14 Number 3, pp. 480-488.Tull, Mattew. 2009. 6. An Overview of PTSD Symptoms. Akses: 20 Januaari 2011. From: http://www.about.com/anoverviewptsdsymptoms.htmRobins L., Cottler, L., Bucholz K., Compton M., North C., 7. Rouke K. 2007. Diagnostic Interview Schedule Fact The DSM-IV (FIV-IV). Akses: 15 Februari 2011. From: http://epi.wast.edu/Dis/dishisto.htm Robert L., Michael B, Jerome C. Wakefield b. 2007. 8. Saving PTSD from itself in DSM-V. Journal of Anxiety Disorders 21, pp. 233241. Leaning, J. 2008. Disaster and Emergency Planning. 9. An-nals of Emergency Medicine. Vol. 22, 1715-1720. McDowell, I. Newell, C. 1996. 10. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and Questionnaires (2nd ed.). New York: Oxford University Press. Pp. 130-134. Steil and Ehlers. 2000. Belief On Coping With Illness: A 11. Consumers Perspective. Soc. Sci. Med. Vol. 44, No. 5, pp. 553-559. Thrasher S, Michael P, Nicola M, Isaac M, Tim D. 2010. 12. Social Support Moderates Outcome in A Randomized Controlled Trial of Exposure Therapy and (or) Cognitive Restructuring for Chronic Posttraumatic Stress Disorder. The Canadian Journal of Psychiatry, Vol. 55, No. 3, pp. 187-190.McDowell, I. Newell, C. 1996. 13. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and Questionnaires (2nd ed.). New York: Oxford University Press. Pp. 130-134.Taylor MK, Louis Sharpe. 2008. Trauma and Post-trau-14. matic Stress Disorder Among Homeless Adults in Sidney. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry ; 42:206_213.

    4

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • LOGOTERAPI MENINGKATKAN PURPOSE IN LIFE PADA MASYARAKAT DENGAN POST TRAUMATIC STRESS

    DISORDER PASCA ERUPSI MERAPI DI SHELTER GONDANG 1, SLEMAN, YOGYAKARTA

    eriyono budi Wijoyo1), reny noorharyanti1), anisa Hidayah1*), cahyani budi lestari1), uki noviana2)

    1)Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta2)Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

    INTISARI

    Latar Belakang : Letusan gunung Merapi pada tahun 2010 melanda masyarakat Kaliadem di lereng Gunung Merapi. Hal ini mengakibatkan masyarakat tersebut tinggal di Shelter Gondang I. Dilaporkan dari berbagai wilayah, 756 orang mengalami gangguan mental. Diantaranya yaitu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang berakibat pada pemaknaan hidup yang rendah. Oleh sebab itu, diperlukan semacam pendampingan psikososial yang dapat meningkatkan pemaknaan hidup seseorang yaitu Logoterapi.Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh logoterapi pada penduduk dengan PTSD dalam peningkatan Purpose in Life (PIL) di kawasan Erupsi Merapi, Yogyakarta.Metode : Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen, one group pre and post test design. Dilakukan pada bulan Desember 2011 di di Shelter Gondang I, Sleman, Yogyakarta, total sampel 29 orang yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok gejala PTSD (14 orang) dan kelompok dengan PTSD (15 orang). Instrumen yang digunakan IES-R (Impact of Event Scale-Revised), PIL test dan ceklist Logoterapi. Analisa data menggunakan uji Paired t-test dan Wilcoxon.Hasil : Pada kelompok PTSD terdapat perbedaan rerata skor PIL yang signifikan antara sebelum dan setelah logoterapi (p=0,04). Begitu pula kelompok gejala PTSD dengan nilai (p=0,001).Kesimpulan : Logoterapi meningkatkan tujuan hidup warga dengan gejala PTSD dan PTSD di X korban erupsi Merapi.Kata Kunci : Logoterapi, PTSD,bencana, purpose in life

    ABSTRACT

    Background: The Merapi eruption in 2010 was destroyed Kaliadem village, . Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) impacted on decreasing of the victims meaning of life. Psychosocial support was important especially to improve the meaning of life with logotherapy. Objective: To determine the effect of logotherapy on the Purpose in life (PIL)s improvement in PTSD people in the location of Merapi eruption.Method: This study was a quasi-experimental study with one group pre and post test design. It was undertaken in December 2011. Total sample were 29 peoples, the first group consisted of people with symptom of PTSD (14 peoples) and the second group consisted with people suffering from PTSD (15 peoples). The instruments were IES-R (Impact of Event Scale-Revised), PIL test and checklist of logotherapy. The data were analyzed using Paired t-test and Wilcoxon test.Result: There were a significant difference (p

  • PENDAHULUANIndonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam the ring of fire sehingga banyak terjadi gempa bumi dan letusan vulkanik . Hal tersebut mengakibatkan Indonesia rawan akan terjadinya bencana, dikarenakan wilayahnya berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif ditambah banyaknya gunung yang masih aktif 1. Salah satu gunung yang aktif di Indonesia yaitu Gunung Merapi yang berada di utara kota Yogyakarta. Pada tanggal 26 Oktober 2010 Gunung Merapi meletus dan berakibat pada kerusakan fisik, emosional, ekonomi, dan sosial serta dapat menimbulkan trauma psikologis psikis bagi orang yang mengalaminya warga sekitar Gunung Merapi yang menjadi korban.

    Menurut Dinkes Sleman erupsi Merapi berdampak pada kondisi psikologi masyarakat. Sebanyak 756 orang dilaporkan mengalami gangguan mental, dan 52 orang di antaranya diklasifikasikan sebagai gangguan mental berat2. Masyarakat Kelurahan Kaliadem yang berjarak 5 km dari puncak gunung, pasca erupsi Gunung Merapi ini memiliki kecenderungan mengalami PTSD. . Menurut studi pendahuluan didapatkan bahwa beberapa warga mengeluhkan mengalami banyak perubahan sejak terjadinya bencana, baik dalam mencari kebutuhan serta dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, perlu semacam pendampingan psikososial yang tepat sehingga dapat membantu individu mengembangkan mekanisme koping yang ada dalam dirinya.

    Berdasarkan data tersebut, peneliti mencoba untuk melakukan terapi yang bisa meningkatkan purpose in life pada warga yang mengalami kecenderungan PTSD pada masyarakat Kelurahan Kaliadem dengan metode Logoterapi. Logoterapi merupakan suatu terapi untuk memaknai hidup seseorang, di mana klien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya, klien juga bertanggung jawab terhadap masyarakat atau terhadap hati nuraninya sendiri dengan bantuan pendampingan seorang terapis3. Tujuan dari logoterapi adalah membangkitkan kemauan agar kehidupan dari individu tersebut menjadi bermakna4.

    Hasil penelitian lain/sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna terhadap respon ansietas sebelum dan setelah diberikan logoterapi pada penduduk pasca gempa di Klaten5. Oleh sebab itu, peneliti mencoba untuk menerapkan logoterapi pada penduduk kaliadem yang berada di shelter Gondang I pasca erupsi merapi.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran prevalensi kecenderungan penduduk Kaliadem yang berada di shleter Gondang I mengalami PTSD pasca erupsi merapi, serta mengetahui pengaruh intervensi Logoterapi pada warga di daerah tersebut.

    METODE

    Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan quasi-experiment rancangan one group pre and post test. Penelitian dimulai sejak awal bulan November hingga 9 Desember 2011 di shelter Gondang I, Sleman, Yogyakarta. Penentuan kelompok sampel gejala PTSD dan kelompok PTSD, dilakukan dengan mengunakan teknik random sampling pengisian instrument Impact of Event Scale-Revised (IES-R) dari Daniel S.Weiss dan Charles R6.

    Untuk mendapatkan data yang eligible, peneliti menentukan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi: 1) masyarakat Kaliadem, yang tinggal di shelter Gondang I, 2) nilai kuisioner IES-R untuk kelompok kecenderungan PTSD adalah 33, sedangkan kelompok gejala PTSD skor antara 12-32. Adapun kriteria eksklusinya: 1) menderita penyakit demensia, 2) usia 15 tahun dan 60 tahun, 3) Nilai IES-R

  • HASIL

    Data DemografiSetelah 1 tahun terjadi bencana erupsi merapi tahun 2010, didapatkan hasil skrining pada 57 warga Kaliadem yang berada di hunian sementara di Shelter Gondang I, terdapat 33 orang mengalami kecenderungan PTSD dan 22 orang mengalami gejala kecenderungan PTSD (tabel 1).

    Tabel 1. Hasil Skrining apa?pada siapa?dimana? n-?Pembagian Jumlah

    PTSD 33Gejala PTSD 22Tidak PTSD 2

    Sumber: Data Primer

    Responden yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini yaitu sebanyak 40 orang, terdiri dari 20 orang PTSD dan 20 orang gejala PTSD. Selama penelitian dilaksanakan, responden yang terlibat hingga kegiatan logoterapi selesai sebanyak 29 orang, yaitu 14 responden PTSD dan 15 responden gejala PTSD. Awalnya mereka menyetujui untuk mengikuti penelitian ini, tetapi saat penelitian dilaksanakan mereka masih ada yang bekerja, hal ini dikarenakan para responden kebanyakan berjenis laki-laki dan 1 responden pada hari terakhir dilakukan penelitian tidak hadir karena menunggu orang tuanya sakit. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 2 ini:

    Tabel 2. Data Demografi Responden (n=29)

    Karakteristik Responden

    PTSD

    (n=14)

    Gejala PTSD

    (n=15)

    Total

    (n=29)

    Jum-lah

    % Jum-lah

    % Jum-lah

    %

    Sex

    Laki-laki

    Perempuan

    3

    12

    20

    80

    5

    9

    35,7

    64,3

    8

    21

    27, 6

    72,4Usia

    30 tahun 6 40 2 14,2 8 27,6> 30 tahun 9 60 12 85,7 11 37.9

    PendidikanSMA 5 33,3 2 14,4 7 24,1SMP 3 20 4 28,5 7 24,1SD 7 46,7 7 50 14 48,3Tidak tamat - 0 1 7,1 1 3,5

    PekerjaanBekerja 4 26,7 7 50 11 37,9Tidak Bek-erja

    11 73,3 7 50 18 62,1

    Keluarga yang meninggal

    Ya 1 6,67 1 7,1 2 6,9Tidak 14 93,33 13 92,9 27 93,1

    Sumber: Data Primer

    Klasifikasi Tingkat Purpose in Life Klasifikasi tingkat purpose in life yang

    digunakan oleh peneliti mengikuti klasifikasi yang digunakan oleh Crumbaugh, J, C, & Maholick, L, T. dalam Journal of Clinical Psychology yaitu dikatakan tinggi apabila total skornya 140-113, sedang apabila total skornya 112-92 dan rendah apabila total skornya 91 8. Klasifikasi purpose in life pada responden dapat dilihat pada tabel 3 :

    Tabel 3. Distribusi Tingkat Purpose in Life Responden ber-dasarkan nilai pretest-posttest

    No Klasifika-si tingkat Purpose in Life

    PTSD Gejala PTSDPretest Posttest Pretest Posttest

    f % f % f % f %1 Tinggi 5 33,3 8 53,3 5 35,7 10 71,42 Sedang 9 60 7 46,7 8 57,2 4 28,63 Rendah 1 6,7 - 0 1 7,1 - 0Total 15 100 15 100 14 100 14 100

    Sumber: Data Primer

    Perbedaan Purpose in Life pada Kegiatan LogoterapiUji komparatif menggunakan uji t berpasangan terhadap tingkat purpose in life responden, uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai rerata purpose in life sebelum dan sesudah pemberian logoterapi. Hasil uji komparatif pada responden PTSD disajikan pada tabel 4 berikut:

    Tabel 4. Hasil Uji t-test tingkat purpose in life re-sponden PTSD

    berdasarkan Pretest-Posttest

    MEAN MEDIAN STD.DEVIASI p

    Pre Post Pre Post Pre Post

    106.13 111.40 110.00 113.00 8.871 8.517 0.040

    Sumber: Data Primer

    Hasil Uji t pada kelompok PTSD menunjukan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara rerata skor PIL yang signifikan antara sebelum dan setelah logoterapi, dimana rerata nilai sebelum dilakuakan logoterapi (106,13) lebih rendah dibandingkan dengan nilai posttest-nya (111,40). Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui nilai p=0,04.

    Uji wilcoxon digunakan pada responden dengan gejala PTSD. Uji komparatif ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian logoterapi, yang dilihat dari nilai pre dan post. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

    7BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

    -Eriyono Budi W, Reny Noorharyanti, Anisa Hidayah1, Cahyani Budi L, Uki Noviana-

  • Tabel 5. Hasil uji Wilcoxon purpose in life re-sponden gejala pTSD

    berdasarkan Pretest-Posttest

    MEAN MEDIAN STD.DEVIASI pPre Post Pre Post Pre Post107.36 120.14 109.50 121.00 12.792 10.712 0.001

    Sumber: Data Primer

    Hasil analisis uji wilcoxon pada kelompok gejala PTSD menunjukan terdapat perbedaan secara bermakna sebelum dan sesudah dilakukan logoterapi dengan nilai p=0,001.

    Perbedaan Purpose in Life Berdasarkan UsiaPerbedaan tingkat purpose in life dilihat dari

    karakteristik responden yaitu usia responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

    Tabel 6. Uji Komparatif Tingkat Purpose in Life Berdasarkan Usia Responden Gejala PTSD Warga

    Shelter Gondang I Bulan Desember 2011 (n=14)

    Karakteristik Responden

    Jumlah Mean SD P Interpretasi

    Usia

    0,015 Ada Perbedaan30 tahun 2 111,50 2,121

    >30 tahun 12 121,58 10,925Sumber: Data Primer

    Tabel 7. Uji Komparatif Tingkat Purpose in Life Berdasarkan Usia Responden PTSD Warga Shelter

    Gondang I Bulan Desember 2011 (n=15)

    Karakteristik Responden

    Jumlah Mean SD P Interpretasi

    Usia

    0,044 Ada Perbedaan30 tahun 6 105,83 8,060>30 tahun 9 115,11 6,900

    Sumber: Data Primer

    PEMBAHASANData DemografiBerdasarkan tabel karakteristik responden, mayoritas responden dalam penelitian ini adalah yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 72,4%. Rentang usia responden dalam penelitian ini paling banyak diatas 30 tahun sebanyak 11 orang (37,9%). Hal ini dikarenakan masyarakat yang terlibat adalah masyarakat yang dapat membaca dan menulis serta dapat berkomunikasi dengan baik. Tingkat pendidikan responden paling banyak berpendidikan SD yaitu 68,8%, pendidikan masih cukup mahal bagi kalangan mereka dan hanya kalangan tertentu saja yang bersekolah sampai jenjang lebih tinggi.Berdasarkan pekerjaannya, sebesar 62,1 % responden tidak bekerja dan 37,9% responden

    bekerja. Hal ini dipengaruhi pada warga berjenis kelamin perempuan yang tinggal di shelter Gondang 1 lebih banyak memiliki waktu luang di bandingkan yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dibenarkan oleh warga di shelter tersebut bahwa setelah terjadinya erupsi merapi, mereka sudah tidak punya pekerjaan lagi. Mereka yang dulunya beternak sapi, mencari rumput, sekarang sudah tidak mempunyai sapi, sehingga lebih banyak melakukan kegiatan di rumah.

    Klasifikasi Tingkat Purpose in Life Berdasarkan tabel 3, pada kelompok PTSD sebelum dilakukan intervensi logoterapi mayoritas responden tingkat purpose in life berada pada kategori sedang (60%), setelah diberikan intervensi jumlah responden dalam kategori tinggi mengalami peningkatan kurang lebih 1,5 kali lipat, sehingga meningkat menjadi 53,5% dengan jumlah 8 dari 15 orang. Begitu juga dengan kategori sedang dan rendah mengalami penurunan yang cukup signifikan.

    Begitu pula pada kelompok gejala, sebelum pemberian logoterapi, 5 dari 14 responden gejala PTSD (35,7%) memiliki pemaknaan hidup tingkat tinggi. Setelah diberikan logoterapi, mayoritas responden berada pada tingkat purpose in life tinggi (71,4 %). Klasifikasi pemaknaan hidup tingkat sedang menurun sebanyak 4 responden dan klasifikasi tingkat rendah mengalami perubahan menjadi 0%.

    Hasil tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Shipherd & Beck menyatakan bahwa pasien dengan PTSD mempunyai permasalahan dalam hal kognitif yaitu mengalami penurunan ingatan serta dalam penerimaan terhadap diri sendiri. Dalam mengatasi keadaan tersebut, maka terapi peningkatan penerimaan terhadap diri sendiri merupakan salah satu cara dalam menangani permasalahan akibat PTSD9.

    Logoterapi merupakan terapi yang berfokus pada pemaknaan pada individu maupun kelompok10. Dalam logoterapi terdapat 3 pilar yaitu kebebasan berkehendak, kehendak hidup bermakna dan kemaknaan hidup. Dimana jika ketiga hal tersebut dimotivasi dapat membuat seseorang merasakan kemaknaan hidup dalam dirinya sehingga meningkatkan tujuan hidup seseorang3.

    Perbedaan Purpose in Life pada Kegiatan LogoterapiBerdasarkan tabel 4 dan tabel 5, dapat dilihat bahwa setelah dilakukan uji t-test dan wilcoxon didapatkan nilai p=0.040 dan p=0,001. Hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah pemberian logoterapi (p

  • Sesuai dengan penelitian Sutejo yang mengatakan bahwa setelah dilakukan logoerapi pada penduduk paska gempa, hasil uji statistik menunjukkan bahwa logoterapi berkontribusi dalam menurunkan ansietas para responden5. Pada daerah yang sering terdapat peperangan, penerapan logoterapi pada pasien yang mengalami post traumatic, dapat meningkatkan persepsi pemaknaan hidup dan penurunan perasaan takut akan terjadinya peperangan di lingkungan mereka12.

    Dalam proses konseling psikologis terhadap penderita PTSD maupun yang masih gejala memerlukan penekanan kepada coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress13.

    Logoterapi merupakan sebuah terapi menggunakan teknik paradoxical intention yaitu menggunakan kemampuan manusia dalam mengambil keputusan dan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Selama kegiatan logoterapi dilaksanakan, dalam setiap sesi, terapis membantu responden untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mengubah pemahaman responden tentang kejadian erupsi merapi untuk menemukan makna dan hikmah dalam peristiwa tersebut.

    Perbedaan Purpose in Life Berdasarkan UsiaBerdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil uji komparatif dengan menggunakan uji t tidak ber-pasangan didapatkan nilai p=0,015 pada responden gejala PTSD dan responden PTSD didapatkan hasil nilai p=0,044 yang berarti bahwa ada perbedaan antara usia responden dengan tingkat kemampuan purpose in life responden. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock dan Long menjelaskn bahwa semakin tua usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir, hal tersebut akibat dari pengalaman yang sudah dilalui dan kematangan dalam jiwanya14.

    5.Pada responden yang sudah lebih dewasa logoterapi dapat memberikan kemaknaan dan pengharapan yang baik, serta logoterapi membantu dalam menghubungkan antara kemaknaan dan dimensi spiritual16.

    KESIMPULANMakna hidup dapat dijadikan sebagai tujuan hidup seseorang dalam menjalani kehidupannya. PTSD merupakan salah satu kondisi yang bisa dialami

    pada masyarakat di daerah yang mengalami bencana alam. Seseorang yang mengalami PTSD cenderung memiliki tingkat pemaknaan hidup yang sedang atau rendah. Logoterapi merupakan salah satu terapi yang bertujuan untuk membangkitkan kemauan untuk bermakna pada diri seseorang.

    . Terdapat perbedaan yang signifikan pada purpose in life masyarakat dengan PTSD (p=0,04) dan pada masyarakat dengan gejala PTSD (p=0,001) antara sebelum diberikan logoterapi dan sesudah diberikan logoterapi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa logoterapi efektif untuk meningkatkan purpose in life pada seseorang dengan PTSD.

    UCAPAN TERIMAKASIHTerimakasih kepada Subdirektorat Peningkatan

    Pertumbuhan Kepemimpinan Berkualitas (PPKB), Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah membantu keuangan penelitian ini. Ibu Uki Noviana sebagai Dosen Pembimbing penelitian ini yang senantiasa mendampingi kami dari awal sampai akhir kegiatan. Para terapis serta warga Gondang 1, Sleman, Yogyakarta yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini dan seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

    DAFTAR PUSTAKABadan Nasional Penanggulangan Bencana.2010 1. diakses dari www.bnpb.go.id/ pada tanggal 22 November 2011 pukul 19.20Dinkes Kabupaten Sleman.2010. diakses dari situs 2. http://dinkes.slemankab.go.id/ pada tanggal 20 September 2011 pukul 12.20Frankl, V.E. 3. Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pe-maknaan Eksistensi. Yogyakarta:Kreasi Wacana.2006Pandia, V.4. Penerapan Konsep Logoterapi dalam Konselin Kristen.2007. diambil dari situs http://www.tiranus.netSutejo.5. Pengaruh Logoterapi Kelompok terhadap Ansi-etas pada Penduduk Pasca Gempa di Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah.Depok:Universitas Indonesia. 2009.Rash, Carla 6. et al.Psychometric Properties of the IES-R in Traumatized Substanve Dependent Individuals with and Without PTSD.2008 Diakses dari http://www.elsevi-erhealth.com/journals/nepr pada tanggal 3 Januari 2012.Dahlan M.S.7. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Seri 1. Jakarta:PT. Arkans.2009.Crumbaugh J.C. & Maholick L.T.8. An Experimental Study In Existentialism: The Psychometric Approach To Frankls Concept Of Noogenic. Journal of Clinical Psychology, 20, 200-207.1964.Shipherd, Jillian C & Pedneault, Kristalyn S.9. Attention, Memory, Intrusive Thoughts and Acceptance in PTSD: An Update on the Empirical Literature for Clinicians. Cogni-tive and Behavioral Practice.2008. 15 p.349-363Somov, P.G..10. Meaning of Life Group: Group Application of Logotherapy for Substance Use Treatment. The Journal For Specialists In Group Work. December 2007Fatimah, A.11. Pengaruh Logoterapi terhadap

    9BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

    -Eriyono Budi W, Reny Noorharyanti, Anisa Hidayah1, Cahyani Budi L, Uki Noviana-

  • Hipertensi pada Pasien Lanjut Usia. Tesis. Universitas Sebelas Maret: Surakarta.2009.Southwick, S., Gilmartin, R., Mcdonough, P., Morrissey, 12. P..Logotherapy as an Adjunctive Treatment for Chronic Combat-related PTSD: A Meaning-based Intervention. American Journal Of Psychotherapy.2006.Diakses dari http://www.choixdecarriere.com/pdf/5671/47-2010.pdf pada tanggal 22 November 2011Pitaloka, Ardaningtyas.13. Teror Management Theory : Religi dan Spiritualitas sebagai Coping Stres dalam Penanga-nan Psikologis Korban Tsunami. 2005. Diambil dari situs http://www.Kompascybermedia.com.Rabu, 19 Januari 2005Tarwoto dan Watonah.14. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.2003.Kang,Kyung-Ah,Shim,Jeoung-Sook.Jeon,Dae-Geun.15. Koh,Myung-Suk.The Effects of Logotherapy on Meaning in Life and Quality of Life of Late Adolescents with Termi-nal Cancer. J Korean Acad Nurs.Dec 2009;39(6):759-768 -14Xu, J16. .Logotherapy: A Balm of Gilead for Aging?. Journal of Religion, Spirituality & Aging, 2010. 22:180195

    10

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • ABSTRAKPendahuluan: Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang semakin meningkat. Hipertensi dapat dikontrol dengan gaya hidup sehat dan pengontrolan tekanan darah secara rutin. Partisipasi aktif masyarakat diperlukan dalam upaya deteksi dini hipertensi. Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di Kelurahan Semolowaru RW 01, Surabaya. Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk pemberdayaan KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengontrol tekanan darah secara rutin, menurunkan komplikasi hipertensi, serta merubah pola hidup masyarakat menuju pola hidup sehat yang pada akhirnya dapat membentuk masyarakat mandiri yang peduli bahaya hipertensi.Metode: Metode pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini meliputi screening (pemilihan calon KAPTEN), empowering (pemberdayaan KAPTEN), controlling (mengontrol tekanan darah dan perubahan pola hidup masyarakat), teaching, dan evaluating. Sasaran dari pengabdian masyarakat ini yaitu 5 orang KAPTEN dan 25 orang warga binaan di RW 01 Kelurahan Semolowaru, Surabaya. Hasil: Setelah pelaksanaan pengabdian masyarakat selama 3 bulan, diketahui tingkat pengetahuan KAPTEN mengalami peningkatan dari skor 2 dan 3 menjadi 4 dalam rentang 1-4 (1=kurang dan 4=sangat baik), pada controlling ke-4 di dapatkan 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 56% warga binaan tekanan darahnya stabil, dan 24% warga binaan tekanan darahnya naik, di samping itu terjadi perubahan pola hidup warga binaan menjadi lebih sehat yang mencapai 80%.Diskusi: Kesimpulannya bahwa program KAPTEN telah memberikan hasil yang sesuai harapan, sehingga perlu dilakukan pembinaan KAPTEN di RW lain Kelurahan Semolowaru. Pemantauan dari perluasan wilayah binaan KAPTEN akan dilakukan

    langsung oleh puskesmas yang mempunyai wilayah kerja di daerah tersebut.Kata Kunci: KAPTEN, hipertensi, upaya preventif

    ABSTRACTIntroduction: Hypertension is one of chronic disease with morbidity and mortality value that more increasing. Hypertension can control by healthy lifestyle and controlling blood pressure routinely. Active participation for society is needed for early hypertension detection. Public service program is done at Semolowaru Village RW 01, Surabaya. The purpose from this public service program is for empowering KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) as an effort to increase society awareness for controlling blood pressure routinely, decreasing complication of hypertension, and change habit to healthy lifestyle independently. Method: method that used in this public service program was screening (screening KAPTEN candidate), empowering (empowering KAPTEN), controlling (controlling client blood pressure and change of societys lifestyle), teaching, and evaluating. The target from public service program was 5 people as KAPTEN and 25 people with hypertension as client at Semolowaru village RW 01, Surabaya. Result: after public service program along 3 month, there were increasing knowledge level for 2 and 3 score to 4 score in 1-4 (1= bad and 4= very good, at 4th controlling, there were 20 % client have blood pressure decreased, 56% client stable, and 24% client increased, societys lifestyle also got change to healthy lifestyle up to 80%.Discussion: the conclusion was KAPTEN program have given positive impact, its main that this program is necessary to do in another RW in Semolowaru village. Monitoring the KAPTENs region will do by public health center that have work region in that village.Key words: KAPTEN, hypertension, preventive effort

    KAPTEN (KADER ANTI HIPERTENSI) SEBAGAI UPAYA PENCE-GAHAN SEKUNDER KEJADIAN HIPERTENSI DI KELURAHAN

    SEMOLOWARU RW 01KAPTEN (KADER ANTI HIPERTENSI) as Secondary Preventive of Hy-

    pertension in Semolowaru Village RW 01Nurul Hikmatul Qowi*

    *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya Telp/Fax: (031) 5913257. E-mail: [email protected]

    B I M I K IPENELITIAN ASLI

    11BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • PENDAHULUANHipertensi merupakan salah satu penyakit kronis dengan angka kematian 7 juta/tahun (CDC Health, 2007)1. Kurang pengetahuan tentang perilaku hidup sehat, diet tinggi garam, dan kegemukan semakin meningkatkan resiko hipertensi (JA Cutler et al, 2008)2. Hipertensi dapat dikontrol dengan perilaku hidup sehat dan pengukuran tekanan darah secara rutin. Akan tetapi, kurangnya jumlah petugas kesehatan menyebabkan banyak penderita hipertensi di masyarakat yang tidak terkontrol (Snedley, 2002)3. Partisipasi aktif masyarakat diperlukan dalam memaksimalkan upaya pencegahan komplikasi hipertensi (Kreiger et al, 1999)4. Kader kesehatan adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dan dari masyarakat, serta bertugas meningkatkan kesehatan masyakarat setempat (Zulkilfi, 2003)5. Kader dapat membantu petugas kesehatan dalam melakukan strategi pencegahan sekunder dengan meningkatkan pengetahuan, mengontrol tekanan darah, dan pemeriksaan tekanan darah sebagai upaya menurunkan resiko komplikasi pada penderita hipertensi (Browstein et al, 2005)6

    Di dunia, hampir 1 milyar orang atau 1 dari 4 orang dewasa menderita tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi merupakan penyakit kronis serius yang bisa merusak organ tubuh. Setiap tahun darah tinggi menjadi penyebab 1 dari setiap 7 kematian (7 juta per tahun). Berdasarkan data WHO dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik (AND Medical, 2007)7. Hasil analisis menemukan prevalensi hipertensi di Indonesia pada tahun 2007 adalah 32,2%, dan prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan (39,6%), terendah di Papua Barat (20,1%). Cakupan tenaga kesehatan terhadap kasus hipertensi di masyarakat masih rendah, yaitu hanya 24,2% (Purnomo, 2009)8. Di Surabaya, menurut data di Puskesmas Menur, Surabaya penderita hipertensi sejak tahun 2010 mencapai 111 pasien baru. Sedangkan pasien lama yang datang untuk memeriksakan status hipertensinya sebanyak 2029 kunjungan pasien.

    Pemantauan tekanan darah secara rutin merupakan bagian penting dalam mencegah hipertensi (Purnomo, 2009)8. Dengan tekanan darah yang terkontrol, akan selalu ada usaha-usaha agar tekanan darahnya dalam rentang yang normal. Apabila hipertensi tidak terdeteksi secara dini, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan lebih mahal. Hal ini akan membebani masyarakat dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah. Sebagai akibatnya, masyarakat akan menunda untuk memeriksakan kesehatannya. Jika hipertensi tidak terdeteksi, maka akan meningkatkan resiko

    berbagai macam penyakit seperti stroke, serangan jantung, gagal jantung, dan penyakit ginjal (WHO, 2002)9. Pada dasarnya, hipertensi bisa dicegah dengan berbagai macam kegiatan seperti menurunkan berat badan bagi yang obesitas, mengurangi konsumsi garam, peningkatan aktivitas fisik/gerak badan, membatasi konsumsi alcohol, dan diet yang sehat (Obarzanek et al, 2001)10. Dengan pola hidup sehat, masyarakat bisa mencegah timbulnya hipertensi secara mandiri, murah, simple, dan efektif.

    Berangkat dari permasalahan kurangnya informasi atau pendidikan kesehatan tentang hipertensi untuk masyarakat serta dampak yang akan ditimbulkan jika hipertensi sudah berada pada tahap lanjut yaitu dipandang dari segi pembiayaan dan kesejahteraan hidup klien dan keluarga, kami menawarkan suatu program pelayanan kesehatan hipertensi yang bertolak pada upaya preventif bagi masyarakat yang kami sebut KAPTEN (Kader Anti Hipertensi). KAPTEN upaya pemberdayaan masyarakat setempat sebagai kader untuk mengontrol tekanan darah masyarakat yang telah menderita hipertensi. Program ini didesain agar mudah diakses masyarakat dan tanpa biaya. Bentuk upaya preventif tersebut berupa pendidikan kesehatan kepada masyarakat Surabaya dan pengontrolan tekanan darah secara rutin oleh para kader yang terlatih. Dari pendidikan kesehatan tersebut, diharapkan masyarakat menjadi peduli terhadap hipertensi dan mau melakukan pengontrolan tekanan darah secara teratur. Dengan adanya KAPTEN, diharapkan jumlah pasien hipertensi di Surabaya dapat ditekan sekecil mungkin dan menurunkan terjadinya komplikasi akibat hipertensi.

    TUJUANTujuan dari dilaksanakannya kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk pemberdayaan KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengontrol tekanan darah secara rutin, menurunkan komplikasi hipertensi, serta merubah pola hidup masyarakat menuju pola hidup sehat yang pada akhirnya dapat membentuk masyarakat mandiri yang peduli bahaya hipertensi.

    METODEKegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di Kelurahan Semolowaru RW 01, Surabaya pada bulan Maret-Mei 2011 dalam rangka merealisasikan Program Kreatifitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) yang didanai DIKTI 2011. Sebelum melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat, persiapan yang dilakukan meliputi perijinan, survey

    12

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • lokasi, sosialisasi rencana pelaksanaan kegiatan, pendataan penderita hipertensi yang bersedia menjadi warga binaan, penyusunan jadwal, serta penyiapan sarana dan prasarana.

    Instrumen yang digunakan meliputi controlling card, lembar evaluasi, stetoskop, tensimeter, flipchart, leaflet, dan modul penyuluhan kesehatan tentang hipertensi dan dan pencegahannya.

    Metode pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini meliputi screening, teaching, empowering, controlling, serta evaluating.

    ScreeningScreening ini merupakan pemilihan calon-calon

    KAPTEN (Kader Anti Hipertensi). Calon KAPTEN dipilih menggunakan beberapa persyaratan yaitu wanita / ibu-ibu, masyarakat asli daerah setempat, tidak sedang kerja di luar kota, bersedia mengikuti pelatihan dan mengaplikasikannya di program keberlanjutan, tidak ada rencana kegiatan lain ketika program berlangsung, dan melaksanakan program dengan sukarela. Berdasarkan hasil screening, akan dipilih 5 orang KAPTEN.Empowering

    Empowering berarti pemberdayaan KAPTEN sebelum mereka bertugas di masyarakat masyarakat secara langsung. KAPTEN diberikan modul dan pembekalan tentang materi hipertensi dan hal-hal penting yang harus disampaikan ketika melakukan penyuluhan kepada warga binaan.Controlling

    Controlling dilakukan 2x/bulan oleh mahasiswa dan bekerjasama dengan KAPTEN. Pada kegiatan ini, mahasiswa melakukan pengontrolan tekanan darah warga binaan KAPTEN. Sasaran controlling adalah 25 orang warga binaan KAPTEN. Kegiatan ini difasilitasi dengan controlling card, dimana masyarakat yang telah diukur tekanan darahnya akan diberi controlling card. Controlling card berisi nilai tekanan darah peserta di tiap kali pengontrolan untuk memudahkan monitoring perubahan tekanan darah.Teaching

    Kegiatan berupa penyuluhan kesehatan tentang hipertensi ke masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun kegiatan yang akan dilakukan adalah:Penyuluhan Waspadai Hipertensi

    Penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi dan pentingnya upaya pencegahan. Penyuluhan dilakukan oleh 5 orang KAPTEN secara face to face kepada warga binaannya. Setiap 1 orang KAPTEN memiliki 5 orang warga binaan. Penyuluhan yang disampaikan terkait

    bagaimana cara menurunkan dan mempertahankan tekanan darah dalam rentang normal serta merubah pola hidup yang menjauhi hipertensi.Leaflet

    Leaflet dibagikan kepada warga binaan oleh mahasiswa. Leaflet berisi pengertian, tanda dan gejala, faktor pencetus, pencegahan hipertensi, diet penderita hipertensi, serta pola hidup sehat.Evaluating

    Kegiatan ini dilakukan setiap selesai controlling. Dengan demikian, bisa ditentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan masyarakat untuk mempertahankan tekanan darah dalam batas normal. Evaluasi tahap akhir dilaksanakan bersamaan dengan penutupan kegiatan pengabdian masyarakat. Pada pentupan ini, KAPTEN diberikan alat pengukur tekanan darah digital dengan harapan kader dapat melanjutkan kegiatan controlling tekanan darah meskipun kegiatan pengabdian masyarakat telah berakhir.

    HASIL & PEMBAHASANSetelah melaksanakan program KAPTEN selama tiga bulan dan mengadakan observasi selama kegiatan, pada kegiatan empowering didapat hasil perubahan tingkat pengetahuan KAPTEN tentang hipertensi dari skor 2 dan 3 menjadi 4 (Tabel 1).

    Pada kegiatan controlling, didapatkan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menurunkan dan mempertahankan tekanan darahnya agar tetap stabil. Controlling 1 sebagai acuan awal perubahan tekanan darah pada controlling berikutnya. Pada controlling 2, 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 52% warga binaan tekanan darahnya stabil, 28% warga binaan tekanan darahnya naik. Controlling 3, 32% warga binaan tekanan darahnya turun, 40% warga binaan tekanan darahnya stabil, 28% warga binaan tekanan darahnya naik. Pada controlling 4, 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 56% warga binaan tekanan darahnya stabil, 24% warga binaan tekanan darahnya naik (Gambar 1).

    Pada kegiatan controlling juga didapatkan perubahan pola hidup warga binaan yang mencapai 80% dari 25 orang warga binaan.

    Kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela. Kader kesehatan merupakan perwujudan peran serta aktif masyarakat dalam pelayanan terpadu (Zulkifli, 2003)5. Salah satu praktisi terbaik yang berperan dalam menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler adalah kader kesehatan (CDC, 1994)11. Kader merupakan intervensionis yang telah berhasil mengatasi beberapa penyakit kronik di

    13BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

    -Nurul Hikmatul Qowi-

  • masyarakat, seperti hipertensi (Levine et al, 2003)12. Keberhasilan kader kesehatan ini dikarenakan kader merupakan bagian dari masyarakat yang berperan sebagai penghubung budaya, bahasa, dan beberapa perbedaan lain antara tenaga kesehatan dan masyarakat (Rosenthal, 2004)13. Dalam penyakit hipertensi, pengontrolan tekanan darah secara rutin dan perubahan pola hidup sangat diperlukan agar tekanan darah dalam rentang normal (Purnomo, 2009)8. Kader kesehatan yang spesifik mengatasi masalah hipertensi perlu dibentuk di Indonesia.

    Kader-kader ini berperan dalam mengontrol tekanan darah masyarakat. Dalam suatu penelitian yang membandingkan metode kunjungan rumah oleh kader kesehatan lebih intensif (6x kunjungan) dan kurang intensif (1x kunjungan) terhadap partisipasi dalam pelayanan kesehatan di komunitas pada pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pasien dengan kunjungan lebih intensif, jumlah masyarakat yang melakukan pengontrolan tekanan darah di pelayanan kesehatan dari 16%-36%.Sedang pada pasien dengan kunjungan kurang intensif, terjadi perubahan dari

    Tabel 1. Hasil penilaian kualitatif pengetahuan KAPTEN

    Nama KaderPenilaian KualitatifPretest Postest

    Kader 1 2 4Kader 2 3 4Kader 3 3 4Kader 4 2 4Kader 5 2 4

    Keterangan penilaian kualitatif pada tabel:

    Nilai 1 = kurang Nilai 3 = baik

    Nilai 2 = cukup Nilai 4 = sangat baik

    Gambar 1. Grafik perubahan tekanan darah warga binaan tiap controlling

    Keterangan: Skor < 4: Tekanan darah normal Skor 4 : Batas bawah nilai prehipertensiSkor 6 : Batas bawah nilai hipertensi stadium 1 Skor 8 : Batas bawah nilai hipertensi stadium 2

    18%-34% (Levine et al, 2003)12. Dari penelitian ini,

    dapat disimpulkan bahwa peran kader kesehatan sangat penting dalam meningkatkan motivasi masyarakat untuk mengontrol tekanan darah. Referensi yang lain menyebutkan bahwa diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dan modifikasi pola hidup merupakan upaya yang paling efektif untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi (Sacks et al, 2001)14. Salah satu model pengembangan kader kesehatan yang telah berhasil dilaksanakan yaitu FQGHCs (Federally Qualified Community Health Centers) di Laredo, Texas, yang mana tempat pelayanan kesehatan berkolaborasi dengan kader kesehatan dalam pengelolaan dokumen evaluasi pasien (Garcia & Langer, 2004)15. Model pengembangan kader FQGHCs sangat mendukung untuk diaplikasikan pada pasien hipertensi yaitu berupa dokumentasi tekanan darah sebagai salah satu media untuk pengontrolan tekanan darah.

    Program pengabdian masyarakat KAPTEN dilaksanakan sebagai upaya preventif hipertensi, terutama secondary prevention. KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) ini bertugas dalam pengontrolan tekanan darah dan mengupayakan perubahan pola hidup masyarakat. Berdasarkan pada perbandingan antara persentase peningkatan tekanan darah dan penurunan & kestabilan tekanan darah warga binaan, didapatkan 28%:72% pada controlling 2 dan controlling 3, serta 24%:76% pada controlling 4. Dengan demikian, hasil terbaik selama 4 kali controlling didapatkan pada controlling 4.

    Dari controlling 1-4, jumlah masyarakat yang mengalami penurunan tekanan darah terus meningkat. Dengan kegiatan controlling, masyarakat dapat mengetahui tekanan darahnya dan melakukan upaya pencegahan peningkatan tekanan darah. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa controlling atau pengukuran tekanan secara rutin sangat mempengaruhi perubahan hasil tekanan darah.Pemantauan perubahan pola hidup masyarakat oleh KAPTEN telah memberikan hasil yang memuaskan. Dari penilaian lembar evaluasi 25 warga binaan di 5 kader, terjadi 80% perubahan hidup masyarakat menuju pola hidup yang menjauhi hipertensi. Beberapa alasan masyarakat yang menyebabkan mereka sulit merubah pola hidup mereka yaitu karena kebiasaan individu itu sendiri seperti minum kopi, merokok, dan lain-lain, sehingga butuh waktu yang agak lama untuk merubah kebiasaan ini. Koping individu tidak efektif dalam menghadapi stress yang dapat menyebabkan stress berkepanjangan juga merupakan salah satu alasan sulitnya warga binaan untuk menurunkan dan mempertahankan tekanan darahnya dalam rentang nilai normal.

    14

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • Perubahan tekanan darah dan pola hidup warga binaan selama controlling merupakan hasil dari hasil penyuluhan kesehatan yang dilakukan oleh 5 orang kader yang telah dilakukan pembekalan kader pada kegiatan empowering. Upaya peningkatan pengetahuan KAPTEN merupakan first point untuk menjadikan masyarakat yang terhindar dari hipertensi.

    KESIMPULAN Dari kegiatan pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan di Kelurahan Semolowaru RW 01, Surabaya, dapat disimpulkan bahwa adanya KAPTEN dapat digunakan sebagai upaya untuk meminimalkan hipertensi melalui kegiatan controlling tekanan darah. Setelah pelaksanaan pengabdian masyarakat selama 3 bulan, diketahui tingkat pengetahuan KAPTEN mengalami peningkatan dari skor 2 dan 3 menjadi 4 dalam rentang 1-4 (1=kurang dan 4=sangat baik), pada controlling ke-4 di dapatkan 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 56% warga binaan tekanan darahnya stabil, dan 24% warga binaan tekanan darahnya naik. Disamping itu terjadi perubahan pola hidup warga binaan menjadi lebih sehat yang mencapai 80%. Dari kegiatan pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan, program KAPTEN telah memberikan hasil yang sesuai harapan,sehingga perlu dilakukan pembinaan KAPTEN di RW lain Kelurahan Semolowaru. Pemantauan dari perluasan wilayah binaan KAPTEN akan dilakukan langsung oleh puskesmas yang mempunyai wilayah kerja di daerah tersebut.

    DAFTAR PUSTAKACenters for Disease Control. 2007. 1. Health, United States, 2007 with chart book on trends in the health of Americans, National Center for Health Statistics, Hyattsville, Md, USA.J. A. Cutler, P. D. Sorlie, M. Wolz, T. Thom, 2. L.E. Fields, and E. J. Rocella. 2008. Trends in hypertension prevalence, awareness, treatment, and control rates in United States adult between 1988-1994 and 1999-2004, Hypertension, vol. 52, no. 5, pp. 818-827.Snedley BD, Stith AY, Nelson AR, cds. 2002. 3. Unequal treatment: confronting racial and ethnic disparitis in health care. Washington DC: In-stitute of Medicine, National Academies Press. Avaliable at: www.nap.edu/books/030908265X/html. Accessed October 20, 2004.Kreiger J, Collier G, Song L, Martin D. 1999. Linking 4.

    community based blood pressure measurement to clinical care: a randomized controlled trial of outreach and track-ing by community health workers. Am J Public Health 1999;89:856-61.Dzulkifli. 2003. 5. Posyandu dan kader kesehatan. Diakses dari http://repository.usu.ac.id pada tanggal 25 Oktober 2011J. Nell Brownstein, PhD, Lee R. Bone, RN, MPH, Cheryl 6. R. Dennison, CRNP, PhD, Martha N. Hill, RN, PhD, Myong T. Kim, RN, PhD, David M. Levine, MD, ScD. 2005. Community health workers as intervensionist in the prevention and control of heart disease and stroke. Am J Prev Med 2005;29:581.AND Medical. 2007. 7. Hipertensi dan penanganannya. Diakses dari www.ANDMedical.com/Hipertensi-dan-Pen-anganannya pada tanggal 25 Oktober 2011Purnomo, Heru. 2009. 8. Pencegahan dan pengobatan pen-yakit yang paling mematikan. Jakarta: Buana Pustaka.World Health Organization. 2002. 9. World Health Report 2002; Reducing Risks, Promoting Healthy Life, World Health Organization, Geneva, Switzerland.E. Obarzanek, F. M. Sacks, W. M. Vollmer 10. et al. 2001. Effects on blood lipids of a blood pressure-lowering diet: the dietary approaches to stop hypertension (DASH) trial, The American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 74, no. 1, pp. 80-89.Center for Disease Control and Prevention. 1994. 11. Com-munity Health Advisor: models, research, and practice: Selected Annotations-United States. Vol I. Atlanta GA: U.S. Departement of Human Services.Levine DM, Bone LR, Hill MN, 12. et al. 2003. The effective-ness of a community academic health center partnership decrease the level of blood pressure in an urban African-American population. Ethn Dis 2003;13:354-61.Rosenthal EL, Wiggins N, Brownstein JN, 13. et al. 1998. Report of the national community health advisor study: weaning the future. Turson: University of Arizona Press. Available at: www.accf.org. accessed October 20, 2004.F. M. Sacks, L. P. Svetkey, W. M. Vollmer 14. et al. 2001. Effects on blood pressureof reduced dietary sodium and the dietary approaches to stop hypertension (DASH) diet. DASH-sodium collaborative researchgroup, The New England Journal of Medicine, Vol. 344, no. 1, pp.3-10. Garcia L, Rangel L. 2004. 15. Improving diabetes self:management: Gateway Community Health Center. Paper presented at Unity 2004, Gulfport MS, March 24-26.

    15BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

    -Nurul Hikmatul Qowi-

  • KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONALMAHASISWA X (JOGJA)

    PADA PELAKSANAAN KEGIATANINTERPROFESSIONAL EDUCATION

    Cahyani Budi Lestari1 (koresponden), Martina Sinta Kristanti2, Totok Harjanto21Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran UGM,

    2Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran UGMJl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta, (0274) 545674, [email protected]

    ABSTRAKLatar Belakang : Kolaborasi antar profesi kesehatan merupakan cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien. Kemampuan komunikasi sangat penting pada aspek kolaborasi. Interprofessional Education (IPE) merupakan metode pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa belajar berkolaborasi dengan mahasiswa dari profesi kesehatan. IPE di FK UGM belum diterapkan, sehingga melalui kegiatan IPE ini dapat mengembangkan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa yang nantinya akan menjadi bekal mereka pada proses pembelajaran di tahap akademik maupun klinik.Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM sebelum dan setelah kegiatan IPE.Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan rancangan penelitiannya cross sectional. Sampel penelitian 44 mahasiswa FK UGM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan pengambilan sampel menggunakan teknik proportional random sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner Interpersonal Communication Inventory (ICI). Uji komparatif nilai pre dan post menggunakan uji t berpasangan untuk data berdistribusi normal, sedangkan yang tidak normal menggunakan wilcoxon. Hasil : Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM sebelum kegiatan IPE mayoritas sedang (61,4%) dan setelah kegiatan IPE sebesar 63,6% pada mayoritas tinggi. Terdapat perbedaan antara komunikasi interpersonal yang signifikan antara sebelum dan setelah kegiatan IPE (p=0,000).Kesimpulan : Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK X setelah pelaksanaan kegiatan IPE.Kata Kunci : interpersonal communication, interprofessional education, mahasiswa tahap akademik

    ABSTRACTBackground: Collaboration among health professions is a way to improve the quality of health care service. Communication skills are very important in the aspect of collaboration. Interprofessional Education (IPE) is a method of learning that enables students to learn how to collaborate with other health care professional. IPE in the Faculty of Medicine GMU has not been implemented yet, so that through in IPE activity can develop interpersonal communication skills of students.Objective: To determine interpersonal communication ability of the students before and after IPE activities in Faculty of Medicine,UGMMethod: This study is a quantitative research. The samples of this study are 44 students Faculty of Medicine. Sampling method used proportional random sampling. The data collected by using Interpersonal Communication Inventory (ICI). Comparative test of the pre and post test using a paired t-test for normally distributed data and Wilcoxon test for non-normally distributed data. Result: Interpersonal communication ability of the students before the IPE activities mostly belonged to medium (61,4%) and the after of IPE activities mostly belonged to high (63,6%). There are significant differences interpersonal communication ability before and after the IPE activities (p = 0.000). Conclusion: IPE activities increase the interpersonal communication ability in academic students of Faculty of Medicine, GMU.Keywords: interpersonal communication inventory, interprofessional education, academic student

    B I M I K IPENELITIAN ASLI

    16 BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • PENDAHULUANKomunikasi merupakan elemen dasar dari interaksi

    manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan seseorang yang lain. Sebagai seorang tenaga kesehatan komunikasi interpersonal antar profesi kesehatan merupakan aspek penting untuk diperhatikan1. Tenaga kesehatan dalam menjamin keselamatan, keefektifan pelayanan, serta pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien dapat terus meningkat apabila dilakukan secara kolaborasi dan komunikasi antar profesi kesehatan2.

    Kolaborasi yang baik antar profesi kesehatan sangat penting, dalam mewujudkannya diperlukan adanya suatu pembelajaran yang terintegrasi antar profesi kesehatan. WHO memberikan suatu metode yang sangat mendukung kolaborasi yaitu dengan mengadakan pendidikan interprofesional atau Interprofessional Education (IPE). IPE merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi kesehatan belajar tentang, dari, dan dengan satu sama lain sebagai bekal untuk berkolaborasi dalam upaya memberikan pelayanan yang berkualitas3.

    Salah satu kompetensi IPE tersebut adalah kemampuan dalam berkomunikasi. Komunikasi merupakan suatu kunci efektif dan juga poin penting3. Komunikasi interpersonal dan saling bertukar pendapat dalam pemecahan masalah juga sangat berkontribusi dalam menurunkan error atau morbiditas pasien. Memiliki kemampuan dan menguasai teknik berkomunikasi diperlukan untuk meningkatkan fungsi dari sebuah tim dalam menghadapi masalah yang dapat mengganggu serta dapat lebih memahami bagaimana cara menilai kemampuan masing-masing anggota4.

    Fenomena yang ada sekarang menunjukan bahwa komunikasi masih menjadi masalah bagi interprofessional. Penelitian terhadap mahasiswa pengurus organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa FK UGM yang didalamnya terdapat kerjasama antara ketiga profesi, yaitu pendidikan dokter, ilmu keperawatan dan gizi kesehatan, mendapatkan hasil bahwa kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa mayoritas sedang (70 dari 163 responden)5. Sistem pembelajaran IPE lebih efektif jika disampaikan pada tahap akademik yaitu saat mahasiswa belum sepenuhnya terjun ke profesi mereka masing-masing6. Penelitian lain menyebutkan bahwa seorang mahasiswa akan lebih aktif dalam berkomunikasi antar profesi, karena mereka masih dalam area konsep belum berhadapan dengan realita7.

    Tinjauan pustaka ttg IPE di bab dua ditambahkan di pendahuluan dan bagaimana arah IPE menuju komunikasi

    Melihat uraian fenomena di atas, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM tahap akademik sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan IPE. Mahasiswa tahap akademik yang akan di teliti adalah mahasiswa tahun pertama yaitu angkatan 2011 yang mengikuti pelaksanaan kegiatan IPE.

    BAHAN DAN CARA PENELITIAN

    Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional dan pendekatan kuantitatif. Penelitian yang dilaksanakan pada September 2011 ini diikuti oleh 44 mahasiswa tahun pertama dari tiga program studi FK UGM angkatan 2011/2012 (PSIK, PSPD, dan PSGK) dengan menggunakan proporsional sampling yaitu 26 mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD), 8 mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK), serta 10 orang dari Program Studi Gizi Kesehatan (PSGK).

    Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kue-sioner Interpersonal Communication Inventory (ICI). Pada analisis data univariat, data dikategorikan ber-dasarkan jumlah skornya rendah jika skor 53-74, sedang jika skor 75-89, dan tinggi jika skor 90-114. Sedangkan, pada analisis bivariat terdiri dari uji kom-paratif menggunakan uji t test untuk data yang berdis-tribusi normal dan uji wilcoxon untuk data yang berd-istribusi tidak normal.

    HASIL

    Tingkat kemampuan komunikasi interpersonal 1. pada mahasiswa Kemampuan komunikasi interpersonal dikategorikan menjadi kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian mengenai kemampuan komunikasi interpersonal yang dimiliki mahasiswa dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

    Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal

    Pre dan Post Pelaksanaan Kegiatan IPE pada Mahasiswa FK UGM (n=44)

    No Kategori Pretest Posttestf (%) f (%)

    1

    2

    3

    Tinggi

    Sedang

    Rendah

    14

    27

    3

    31,8

    61,4

    6,8

    28

    15

    1

    63,6

    34,1

    2,3 Sumber: Data primer, 2012

    17BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

    -Cahyani Budi Lestari1 (koresponden), Martina Sinta Kristanti2, Totok Harjanto2-

  • Berdasarkan tabel 1, sebelum dilakukan kegiatan IPE mayoritas tingkat kemampuan komunikasi in-terpersonal responden berada pada kategori sedang (61,4%), setelah diberikan Kegiatan IPE jumlah ma-hasiswa dalam kategori tinggi mengalami peningkatan 2 kali lipat, sehingga meningkat menjadi 63,6% dengan jumlah 28 dari 44 orang. Begitu juga dengan kategori sedang dan rendah mengalami penurunan yang cukup signifikan.

    Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal Mahasiswa FK UGM Pre dan Post Pelaksan-aan Kegiatan IPE Pada Tiap Program Studi (n=44)

    Kategori

    PSPD PSIK PSGKPre Post Pre Post Pre Post

    f % f % f % f % f % f %

    Tinggi 7 26,9 14 53 3 37,5 7 87,5 5 50 7 70

    Sedang 17 65,3 11 42 5 62,5 1 12,5 4 40 3 30

    Rendah 2 7,8 1 3 0 0 0 0 1 10 0 0

    Sumber : Data primer, 2012

    Berdasarkan isi tabel 2, jumlah mahasiswa pada masing-masing program studi setelah diberikan kegiatan IPE mayoritas mahasiswa mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel diatas bahwa kategori tinggi pada semua prodi mengalami peningkatan, sedangkan pada kategori rendah dan sedang mengalami penurunan jumlah responden.

    1. Perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa pada ketiga prodi di FK UGMa. Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa sebelum pelaksanaan kegiatan IPE

    Uji komparatif One Way Anova bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan komunikasi interpersonal dari ketiga prodi sebelum kegiatan IPE. Hasil uji komparatif disajikan pada tabel 3 berikut:

    Tabel 3. Hasil Uji Komparatif Kemampuan Komunikasi Interpersonal AntaraMahasiswa PSPD, PSIK, PSGK Sebelum Pelaksanaan Kegiatan IPE (n=44)

    No Variabel

    PSPD PSIK PSGK

    pMean

    (SD)

    Mean

    (SD)

    Mean

    (SD)

    1Kemampuan Komunikasi In-terpersonal

    85,19

    (8,551)

    86,88

    (9,448)

    90,30

    (8,908)0,305

    Dari tabel 3 diketahui bahwa nilai p adalah 0,305 (p>0,05), sehingga dapat diinterpretasikan

    bahwa tidak ada perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal antar program studi yaitu PSPD, PSIK, dan PSGK sebelum kegiatan IPE.

    b. Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa setelah pelaksanaan kegiatan IPEKemampuan komunikasi interpersonal berdasarkan program studi setelah pelaksanaan kegiatan

    IPE dilakukan uji komparatif menggunakan one way anova. Hasil uji komparatif disajikan pada tabel 4 berikut:

    18

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • Tabel 4. Hasil Uji Komparatif Kemampuan Komunikasi Interpersonal Antara Mahasiswa PSPD, PSIK, PSGK FK UGM Setelah Pelaksanaan Kegiatan IPE (n=44)

    No VariabelPSPD PSIK PSGK

    pMean(SD)

    Mean(SD)

    Mean(SD)

    1

    Kemampuan

    Komunikasi

    Interpersonal

    93,19

    (10,450)

    98,12

    (7,376)

    93,70

    (4,855)0,399

    Berdasarkan tabel 4, variabel kemampuan komunikasi interpersonal setelah diberikan kegiatan IPE memiliki nilai p = 0,399 (p> 0,05). Hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara program studi.

    Tabel 4 memaparkan tidak adanya perbedaan di ketiga program studi, sedangkan hasil tabel 5 memperlihatkan adanya perbedaan tingkat kemampuan komunikasi interpersonal antara responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

    Tabel 5. Uji Komparatif Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal Berdasarkan Karakteristik Responden Setelah Pelaksanaan Kegiatan IPE (n=44)

    Karakteristik Responden f Mean SD pJenis Kelamin

    0,008Laki-Laki 10 87,70 7,424Perempuan 34 96,12 8,584

    Usia

    0,588

    17 tahun 4 89,75 6,55118 tahun 33 94,39 9,60419 tahun 7 95,86 7,010

    Berdasarkan hasil uji komparatif jenis kelamin responden dengan menggunakan uji t tidak berpasangan menunjukkan bahwa p=0,008 atau p

  • Berdasarkan tabel 7, dapat diketahui bahwa nilai p = 0,000. Hasil tersebut menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pre dan post pelaksanaan kegiatan IPE. Perbedaan juga ditunjukkan antara rerata skor kemampuan komunikasi interpersonal antara sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan IPE, dimana rerata nilai sebelum kegiatan IPE (86,43) lebih rendah dibandingkan dengan nilai posttest-nya (94,07). Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal setelah kegiatan IPE. Jika dilihat juga dari nilai CI, diketahui CI menunjukkan rentan nilai yang sempit dan tidak melewati angka nol yaitu (-10,822) s.d (- 4,451), sehingga dapat disimpulkan hasil yang diperoleh mempunyai tingkat akurasi yang baik.

    PEMBAHASANTingkat kemampuan komunikasi interpersonal 1. pada mahasiswa

    Hasil yang didapatkan sebelum kegiatan IPE yaitu mayoritas program studi berada pada kategori kemampuan komunikasi interpersonal sedang. Hal itu disebabkan karena mahasiswa be-lum mendapatkan materi mengenai komunikasi interpersonal, baik sesama profesi, antar profesi maupun dengan klien. Dari hasil penelitian Se-tyawati menyatakan bahwa kategori komunikasi antara dokter dan perawat di RSJ Prof.dr.Soeroyo pada kategori komunikasi antarpersonal yang sedang. Dimana sebagian besar perawat dan dokter masih merasakan banyak hambatan dalam melakukan komunikasi, hal tersebut akhirnya berdampak pada kolaborasi dan hubungan yang kurang baik8.

    Walaupun mereka belum mendapatkan mata kuliah komunikasi, akan tetapi prodi PSGK memiliki tingkat kemampuan komunikasi in-terpersonal kategori tinggi dengan jumlah pal-ing banyak diantara ketiga prodi yaitu sebesar 50%. Keefektifan komunikasi interpersonal dipengaruhi juga oleh persepsi, nilai, dan emosi. Ketiga faktor tersebut bersifat subyektif, yang dapat mengontrolnya adalah diri sendiri1.

    Penelitian setelah diberikan intervensi kegia-tan IPE didapatkan hasil bahwa ketiga program studi berada pada kategori kemampuan komu-nikasi interpersonal tinggi. Hal ini dikarenakan mahasiswa sudah dikenalkan serta memprak-tekan langsung komunikasi interpersonal dengan

    sesama mahasiswa dan di evaluasi oleh dosen pendamping. PSIK memiliki tingkat kemampuan komunikasi interpersonal kategori tinggi den-gan jumlah paling banyak diantara ketiga prodi yaitu sebesar 87,5%. Hal tersebut dikarenakan, pertemuan perawat dengan pasien lebih sering dibandingkan tenaga kesehatan lain. Selain itu perawat mempunyai peran sebagai penghubung antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan termasuk dokter dan ahli gizi. Sehingga disini perawat bertugas mengkomunikasikan dengan baik kepada anggota timmya atau tim kesehatan yang lain.

    Kemampuan komunikasi interpersonal setelah kegiatan IPE mengalami peningkatan 2 kali lipat pada kategori tinggi dan mengalami penurunan pada kategori sedang dan rendah. Kemampuan komunikasi interpersonal yang baik antar profesi nantinya bisa mengurangi kesala-hpahaman dan error pada tahap profesi. Sejalan dengan hal tersebut penelitian lain menyatakan bahwa pembelajaran mengenai komunikasi interprofesi serta kerjasama melalui IPE berman-faat bagi mahasiswa terutama jika diperkenalkan sejak awal perkuliahan dan terus berlanjut sepan-jang mereka kuliah9. Keterampilan dalam bekerja sama dan berkomunikasi antar profesi kesehatan dapat mengurangi kesalahan serta meningkatkan patient safety, hal itu dapat dilakukan melalui suatu pelatihan simulasi10.

    Perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal 2. mahasiswa diantara ketiga prodi di FK UGM

    Kemampuan komunikasi interpersonal maha-a. siswa sebelum pelaksanaan kegiatan IPE

    Uji komparatif terhadap kemampuan komunikasi interpersonal antar mahasiswa dari PSPD, PSIK, dan PSGK mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemam-puan komunikasi interpersonal antar program studi, dikarenakan pada masing-masing prodi belum mendapatkan materi perkuliahan apa-pun, khususnya mengenai komunikasi inter-personal. Hal ini sesuai dengan teori Potter dan Perry yang menyatakan bahwa kemam-puan komunikasi interpersonal juga dipen-garuhi oleh pengetahuan, yaitu mahasiswa angkatan 2011 belum terpapar akan pengeta-huan komunikasi antar personal1. Kemampuan komunikasi dipengaruhi juga keseragaman

    20

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • atau kesamaan di dalam suatu lingkungan interaksi15. Kesamaan yang kurang baik juga akan mempengaruhi keefektifan komunikasi seseorang, yaitu kesamaan belum mendap-atkan pengetahuan mengenai komunikasi.

    Kemampuan komunikasi interpersonal maha-b. siswa setelah pelaksanaan kegiatan IPE

    Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok PSPD, PSIK, dan PSGK. Hal tersebut disebabkan responden mendapatkan intervensi yang sama, tidak ada perbedaan pada masing-masing program studi. Inter-vensi juga dilakukan pada satu ruangan yang sama, kecuali kegiatan tutorial pada kelom-pok kecil. Walaupun dalam kelompok kecil, setiap kelompok mendapatkan perlakuan yang sama dan dalam satu kelompok juga terdapat mahasiswa dari berbagai program studi. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Nirmalasari yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada variabel kemampuan komunikasi interpersonal, dikarenakan mereka telah mendapat mata kuliah komunikasi dan kolaborasi pada masing-masing program stu-di, baik pendidikan dokter, ilmu keperawatan, dan gizi kesehatan5. Kesetaraan juga mem-pengaruhi efektifitas komunikasi interpersonal seseorang yaitu kesamaan sebagai mahasiswa dan kesamaan mendapatkan kegiatan IPE.

    Hasil yang didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara usia responden dengan ting-kat kemampuan komunikasi interpersonalnya. Hal tersebut dikarenakan usia responden tidak mempunyai perbedaan rentan yang berarti, yaitu usia 17, 18, dan 19 tahun. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nirmalasari pada mahasiswa FK UGM, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia responden terhadap kemampuan komunikasi interpersonalnya. Responden pada penelitian tersebut adalah mahasiswa FK UGM angkatan 2008 dan 2009, yang artinya usia mereka tidak terpaut jauh satu sama lain5.

    Hasil tersebut tidak sesuai dengan perny-ataan bahwa tingkatan usia pada seseorang menunjukkan tingkat perkembangan dan ting-kat kematangan serta banyaknya pengalaman kehidupan yang dialami. Semakin tua usia se-seorang maka semakin bertanggung jawab dan

    berpengalaman. Hal tersebut berdampak pula pada penerapan komunikasi antar personal semakin baik pula dan semakin luas17.

    Uji t tidak berpasangan juga digunakan untuk menguji beda karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin. Hasilnya men-unjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan kemampuan interper-sonal antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal dipen-garuhi oleh perbedaan jenis kelamin, hal tersebut dikarenakan gaya komunikasi pada perempuan biasanya menggunakan bahasa untuk mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan, dan menguatkan keintiman dengan orang lain. Sedangkan, pada laki-laki meng-gunakan bahasa untuk menetapkan kebebasan, bernegosiasi dan untuk mendapatkan kemand-irian1.

    Penelitian lain yang mendukung yaitu hasil uji komparatif antara jenis kelamin dan tingkat kemampuan komunikasi interpersonal responden Mahasiswa BEM FK UGM men-unjukkan bahwa nilai p=0,04, hal tersebut me-nandakkan bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan5.

    Perbedaan tingkat kemampuan komunikasi inter-3. personal mahasiswa sebelum dan setelah pelaksa-naan kegiatan IPE di FK UGM

    Pada pengolahan data kemampuan komu-nikasi interpersonal mahasiswa sebelum dan setelah diberikan kegiatan IPE, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan tingkat kemampuan komunikasi interpersonal pada responden. Hal tersebut juga dikuatkan oleh uji beda antar program studi, bahwa terdapat perbedaan pada nilai pretest-posttest PSPD, PSIK, dan PSGK. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa dengan menggunakan metode pemecahan kasus dengan tutorial dapat memperkenalkan mahasiswa keperawatan dan kedokteran mengenai prinsip serta keterampi-lan komunikasi antar profesi19. Hal tersebut juga meningkatkan pemahaman mereka bahwa komunikasi itu penting dalam praktik klinik. Didukung oleh penelitian lain menyarankan bahwa komunikasi interpersonal diajarkan kepada mahasiswa sejak awal perkuliahan dan dilakukan bersama-sama dengan profesi keseha-

    21BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

    -Cahyani Budi Lestari1 (koresponden), Martina Sinta Kristanti2, Totok Harjanto2-

  • tan yang lain16. Pertemuan mereka sejak awal memberikan kesempatan mahasiswa bertemu untuk berdiskusi, sehingga tidak terdapat alasan bahwa komunikasi adalah penghambat dalam berkolaborasi. Hal tersebut dikarenakan mereka telah membangun ikatan bersama sejak awal, sehingga bisa menjadi bekal saat mereka dituntut untuk saling bekerja sama21.

    KESIMPULANDari hasil penelitian dan pembahasan yang

    telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM setelah pelaksanaan kegiatan IPE dan tidak terdapat perbedaan antara ketiga prodi (PSIK, PSPD, PSGK) baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan kegiatan IPE. Kemampuan komunikasi mahasiswa sebelum pelaksanaan kegiatan IPE sebagian besar berada dalam kategori sedang, tetapi setelah kegiatan IPE sebagian besar berada dalam kategori tinggi.

    SARANBagi institusi pendidikan yang terdapat program

    studi kesehatan, diharapkan untuk lebih memfasilitasi mahasiswanya di tahap akademik dalam berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain, misalnya dengan diberikan kegiatan IPE pada awal perkuliahan, sehingga dapat menjadi bekal dalam proses pembelajaran selanjutnya. Serta perlunya penelitian lanjut dengan menggali lebih dalam kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa.

    DAFTAR PUSTAKAPotter, P. A. , & Perry, A. G. Buku Ajar Fundamental 1. Keperawatan (vol. 1). Jakarta: EGC, 2005.Oandasan, I., DAmour, D., Zwarenstein, M., Barker, K., 2. Purden, M., Beaulieu, M., et al. Research and Findings Re-port of the Interdisciplinary Education For Collaborative, Patient-Centred Practice. Canada, New York. 2004.Chan, E.A., Chi. S.P.M., Ching. S., Lam.S.KS. Education 3. and Professional Development. Interprofessional educa-tion: the interface of nursing and social work. Hongkong. 2009.Dougherty, M. B., Larson, E. A Review of Instruments 4. Measuring Nurse-Physician Collaboration. Journal of Nursing Administration;2005;35; p.244-153. Available from : http://bmhlibrary.info/244.pdf.Nirmalasari, E. Hubungan Kemampuan Komunikasi 5. Interpersonal dengan Kesiapan Terhadap Interprofessional Education pada Mahasiswa Pengurus Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa di FK UGM. Skripsi;Fakultas Ke-dokteran UGM;2011.Glen, S., Revees, S. Developing interprofessional educa-6.

    tion in the pre-registration curricula: mission impossible?. Nurse Education in Practic; 2003; 4: p.45-52. http://www.elsevierhealth.com/journals/nepr.Carpenter J., Hewstone M. 1995. Shared Learning for doc-7. tor and Social Workers :Evaluationof a Programme [cited 2009 may 17]. Available from: URL: HTTP://www.bjsw.oxfordjournal.org. Setyawati, A. Gambaran Komunikasi Dokter dan Perawat 8. Sebagai Salah Satu Aspek Kolaborasi di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Skripsi; Fakultas Kedokteran UGM; 2006.Hind, M., Norman, L., Cooper, S., Gill, R.S., Judd, P., 9. Jones, S.C. Interprofessional Perception of Health Care Students. Journal of Interprofessional Care, 17(1); 2003.Zhang, C., Thomson, S., Miller, C. A Review of Simula-10. tion-Based Interprofessional Education. Clinical Simula-tion In Nursing;2010; 10:1:1e-10e. Available from: www.elsevier.com/locate/ecsn.Rakhmat, J. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja 11. Rosdakarya; 2009.Supratiknya,A. Tinjauan Psikologis Komunikasi Antar-12. pribadi. Yogyakarta: Kanisius; 1995.Ahyammudin. Gambaran strategi perawat dalam berkolab-13. orasi dengan dokter di ruang rawat inap RSU PKU Mu-hammadiyah Yogyakarta. Skripsi S1 Keperawatan Fakultas Kedokteran; 2004.Mitchell, M., Groves, M., Mitchell, C., Batkin, J. (2010). 14. Innovation in learning An inter-professional approach to improving communication. Nurse Education in Practice, 2010;10:p.379-384. Available from : http://www.elsevier.com/nepr.Salamonson, Y., Everett, B., Koch, J., Wilson, I., Dav-15. idson, P. M. Learning strategies of first year nursing and medical students: A comparative study. International Jour-nal of Nursing Studies; 2009; 7:p.15411547. Available from : www.elsevier.com/ijns.Cooper, H., Dawe E, S., Mclean, E. (2005). Beginning the 16. Process of Teamwork: Design, Implementation and Evalu-ation of an Inter-Professional Education Intervention for First Year Undergraduate Students. Journal of Interprofes-sional Care; 2005; 19:p.492-508. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16308172.

    22

    ____________________Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

    BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

  • B I M I K IPENELITIAN ASLI

    ABSTRAKFlebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan

    oleh iritas kimia, mekanik ataupun bakteri. Angka kejadian flebitis di ruang perawatan RSUD Majalaya tahun 2009- 2011 lebih tinggi dari angka rata- rata nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor risiko penyebab dengan kejadian flebitis pada pasien dewasa. Penelitian menggunakan metode deskriftif korelasional pada pasien yang mendapatkan terapi infus dengan simple random sampling dan didapatkan 90 sampel. Hasil penelitian menunjukan faktor tindakan pemasangan infus, status gizi dan usia pasien mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian flebitis. Dari hasil tersebut maka prosedur tindakan pemasangan infus harus dilaksanakan sesuai SOP dan pemantauan pada pasien kelompok khusus. Kata kunci : Flebitis, Infeksi nosokomial, Faktor risiko

    ABSTRACTPhlebitis is inflammation of veins caused by

    either chemical, mechanical, or bacteria irritation. The febitis incidence in the treatment room Majalaya Hospital in 2009 - 2011 higher than the national average. This study aims to determine the relationship of risk factors associated with the incidence of phlebitis to phlebitis in adult patients The study used a descriptive correlational method in patients receiving intravenous therapy with simple random sampling and obtained 90 samples. The results showed the factor infusion action, nutritional status and age of the patients had a meaningful relationship with the incidence of phlebitis. From the results it can be argued that the infusion presedur measures must be implemented according to SOP and monitored in patients receiving intravenous therap to especially gorup of patients.Keywords: phlebitis, nosocomial infection, risk factor

    PENDAHULUANSampai saat ini infeksi nosokomial masih merupakan masalah serius yang dihadapi oleh rumah sakit diseluruh dunia terutama negara berkembang dan dijadikan penilaian terhadap tolak ukur pelayanan rumah sakit (Kepmenkes No.129 tahun 2008).

    Salah satu bent