Bimbingan - Komitmen chapter2

49
18 BAB II KONSEPTUALISASI PROGRAM BIMBINGAN UNTUK MENINGKATKAN KOMITMEN A. Komitmen 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi memiliki peranan yang sangat penting dalam mendorong karyawan yang berbakat untuk memperluas kesempatan dalam organisasinya. Ada dua pendekatan dalam merumuskan definisi komitmen dalam berorganisasi. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengilustrasikan bahwa komitmen dapat muncul dalam berbagai bentuk, maksudnya arti dari komitmen menjelaskan perbedaan hubungan antara anggota organisasi dan entitas lainnya (salah satunya organisasi itu sendiri). Yang kedua melibatkan usaha untuk memisahkan diantara berbagai entitas di mana individu berkembang menjadi memiliki komitmen. Kedua pendekatan ini tidak compatible namun dapat menjelaskan definisi dari komitmen, bagaimana proses perkembangannya dan bagaimana implikasinya terhadap individu dan organisasi (Meyer & Allen, 1997). Sebelum munculnya kedua pendekatan tersebut, ada suatu pendekatan lain yang lebih dahulu muncul dan lebih lama digunakan, yaitu pembedaan berdasarkan attitudinal commitment atau pendekatan berdasarkan sikap dan behavioral commitment atau pendekatan berdasarkan tingkah laku (Mowday, Porter, & Steers,

description

skripsi

Transcript of Bimbingan - Komitmen chapter2

Page 1: Bimbingan - Komitmen chapter2

18

BAB II KONSEPTUALISASI PROGRAM BIMBINGAN UNTUK

MENINGKATKAN KOMITMEN

A. Komitmen

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi memiliki peranan yang sangat penting dalam

mendorong karyawan yang berbakat untuk memperluas kesempatan dalam

organisasinya.

Ada dua pendekatan dalam merumuskan definisi komitmen dalam

berorganisasi. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengilustrasikan bahwa

komitmen dapat muncul dalam berbagai bentuk, maksudnya arti dari komitmen

menjelaskan perbedaan hubungan antara anggota organisasi dan entitas lainnya (salah

satunya organisasi itu sendiri). Yang kedua melibatkan usaha untuk memisahkan

diantara berbagai entitas di mana individu berkembang menjadi memiliki komitmen.

Kedua pendekatan ini tidak compatible namun dapat menjelaskan definisi dari

komitmen, bagaimana proses perkembangannya dan bagaimana implikasinya

terhadap individu dan organisasi (Meyer & Allen, 1997).

Sebelum munculnya kedua pendekatan tersebut, ada suatu pendekatan lain

yang lebih dahulu muncul dan lebih lama digunakan, yaitu pembedaan berdasarkan

attitudinal commitment atau pendekatan berdasarkan sikap dan behavioral

commitment atau pendekatan berdasarkan tingkah laku (Mowday, Porter, & Steers,

Page 2: Bimbingan - Komitmen chapter2

19

1982; Reichers; Salancik; Scholl; Staw dalam Meyer & Allen, 1997). Pembedaan

yang lebih tradisional ini memiliki implikasi tidak hanya kepada definisi dan

pengukuran komitmen, tapi juga pendekatan yang digunakan dalam berbagai

penelitian perkembangan dan konsekuensi komitmen. Mowday et al. (Meyer &

Allen, 1997) menjelaskan kedua pendekatan itu sebagai berikut. Attitudinal

commitment berfokus pada proses bagaimana seseorang mulai memikirkan mengenai

hubungannya dalam organisasi atau menentukan sikapnya terhadap organisasi.

Dengan kata lain hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pola pikir di mana individu

memikirkan sejauh mana nilai dan tujuannya sendiri sesuai dengan organisasi di

mana ia berada. Behavioral commitment berhubungan dengan proses di mana

individu merasa terikat kepada organisasi tertentu dan bagaimana cara mereka

mengatasi setiap masalah yang dihadapi.

komitmen yang kuat menyebabkan terjadinya tingkah laku anggota organisasi

sesuai dengan yang diharapkan (dari perspektif organisasi), seperti anggota organisasi

jarang untuk tidak hadir dan perpindahan ke organisasi lain lebih rendah, dan

produktivitas yang lebih tinggi.

Meyer dan Allen (1991) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam organisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.

Page 3: Bimbingan - Komitmen chapter2

20

Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990) menyatakan bahwa komitmen

memiliki arti penerimaan individu yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai

perusahaan, di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang

kuat untuk tetap bertahan di perusahaan tersebut.

Porter dan Mowday (1982) mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan yang

bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam

bagian dari organisasi. Hal tersebut ditandai dengan tiga hal, yaitu:

1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama

organisasi.

3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi (menjadi

bagian dari organisasi ).

Richard M. Steers (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa

identifikasi (kepercaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (keinginan untuk

berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi ) dan loyalitas (keinginan

untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh

seorang karyawan terhadap organisasinya. Steerss (1982) berpendapat bahwa

komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap

tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya

lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi

dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan

Page 4: Bimbingan - Komitmen chapter2

21

organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen

organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan,

dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Diantara sekian banyak komitmen yang berkaitan dengan pekerjaan,

komitmen organisasi telah dipelajari secara luas dengan sekian banyak fokus perilaku

yang diteliti. Sementara dari sekian banyak fokus tersebut, para peneliti komitmen

organisasi setuju bahwa komitmen organisasi mencerminkan penambahan psikologis

multidimensi dari individu terhadap organisasi (Mowday, Porter dan Steers, 1982)

Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen terhadap organisasi maka

dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap organisasi merefleksikan tiga dimensi

utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif terhadap organisasi,

pertimbangan kerugian jika meninggalkan organisasi, dan beban moral untuk terus

berada dalam organisasi (Meyer & Allen, 1997).

Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari

beberapa ahli di atas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada

individu (karyawan) dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan

dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian

sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi,

dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan

perusahaan atau organisasi secara aktif karena karyawan yang menunjukan komitmen

Page 5: Bimbingan - Komitmen chapter2

22

tinggi memilki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih

dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.

Komitmen organisasi terdiri atas dimensi affective yang berkenaan dengan

emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi dan dimensi

continuance yaitu komponen berdasarkan persepsi karyawan tentang kerugian yang

akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi (Walsh dan Taylor, 2002).

Pada kedua dimensi komitmen tersebut, individu tidak terkait secara

psikologis terhadap organisasi melainkan terhadap faktor-faktor instrinsik dan

ekstrinsik yang terdapat pada organisasi dimana individu menemukan pekerjaan

dalam sebuah organisasi yang menawarkan faktor-faktor tersebut yang membuat

individu menjadi terikat atau berkomitmen terhadap organisasinya secara affective &

continually hingga faktor-faktor tersebut tidak lagi dapat diterima atau ada. Ini berarti

bahwa faktor-faktor organisasi tersebut menghubungkan antara ikatan psikologis

individu dengan level komitmen organisasi individu (Walsh & Taylor 2002).

Beberapa teori klasik menerangkan individu dapat berkomitmen terhadap

organisasi yang di dalamnya terdapat tujuan-tujuan yang harus dicapai. Morrow

(Walsh & Taylor, 2002) berpendapat bahwa dalam mengidentifikasikan konstruksi

komitmen individu dapat secara bersamaan berkomitmen pada organisasi, pekerjaan,

karir, dan perserikatannya di mana kekuatan komitmen tersebut akan berbeda diantara

variabel-variabel. Dalam memperkirakan dampak dari target-target pekerjaan yang

harus diselesaikan serta prestasi kerja yang harus dicapai. Ide mengenai pemberian

target-target tersebut telah terbukti lebih kuat dibandingkan pengukuran komitmen

Page 6: Bimbingan - Komitmen chapter2

23

secara keseluruhan. Sebagai contoh, Backer (Walsh & Taylor, 2002) menunjukkan

bahwa dengan memberikan beberapa target-target yang harus dipenuhi, prediksi akan

kepuasan, keinginan untuk meninggalkan organisasi, serta perilaku-perilaku sosial

yang ditunjukkan oleh karyawan akan lebih kuat dan mudah terlihat dibandingkan

hanya dengan mengukur komitmen organisasi secara umum. Ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan Siders George dan Dhawadkan (Walsh & Taylor, 2002)

mereka menemukan bahwa karyawan yang menampilkan komitmen yang kuat

terhadap tujuan-tujuan internal seperti kepada supervisor mereka, maka akan terlihat

pada produktivitas dan organisasi yang terlihat dalam pertumbuhan dan volume

penjualan. Begitu pula saat karyawan memilki komitmen yang kuat terhadap tujuan-

tujuan eksternal seperti terhadap pelanggan, maka akan terlihat dalam upaya

meningkatkan pelayanan. Walsh (2002) berpendapat bahwa individu terikat tidak

hanya pada organisasi saja tetapi juga terhadap faktor-faktor yang berasal dari

organisasinya yang penting bagi mereka. Selama faktor-faktor tersebut masih ada,

individu akan tetap berkomitmen terhadap organisasinya.

2. Jenis-jenis Komitmen Organisasi

A. Jenis Komitmen Organisasi menurut Mowday, Porter dan Steers

Komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers (1982) dikenal sebagai

pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memilki dua

komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup :

1). Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana

pemenerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi karyawan

Page 7: Bimbingan - Komitmen chapter2

24

tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi. Kesamaan nilai

pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi.

2). Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi tersebut.

Karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas

dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan kepadanya.

3). Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap

komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi

dengan karyawan. Karyawan dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas

dan rasa memilki terhadap organisasi.

Sedangkan yang termasuk dengan kehendak untuk bertingkah laku adalah :

1. kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui kesediaan bekerja

melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju. Karyawan dengan

komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib organisasi

2. keinginan untuk tetap berada dalam organisasi. Para karyawan yang memiliki

komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan

berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam

waktu lama.

Seseorang yang memilki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap

organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam pekerjaan dan ada loyalitas serta afeksi

positif terhadap organisasi. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan

organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka

waktu lama.

Page 8: Bimbingan - Komitmen chapter2

25

B. Jenis Komitmen Organisasi menurut Allen dan Meyer

Allen dan Meyer (1993) membedakan komitmen organisasi atas dua komponen,

yaitu: affective, continuance, dan kemudian Kuntjoro (2002) menambahkan satu

komponen selanjutnya yaitu komponen komitmen normative.

1. komitmen affective

Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap

organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan

kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi

akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan

untuk itu (Allen & Meyer, 1997).

Komitmen affective juga dianggap sebagai masa cohesion commitment yang

berkenaan dengan keterikatan emosional individu kepada kelompoknya

(Kanter,1968). Individu yang terikat secara afektif pada organisasinya serta percaya

akan tujuan-tujuan organisasi, akan mengupayakan secara kuat atas nama perusahaan

untuk tetap menjaga keanggotaanya dalam organisasi (Mowday dkk,1982).

Individu membangun rasa komitmen affective terhadap organisasinya saat

mereka telah berkompeten dalam penampilan kerja mereka serta saat mereka merasa

nyaman dengan peranan mereka sebagai anggota organisasi (Allen & Meyer,1993).

Sementra faktor tingkatan individu seperti kepribadian, orientasi nilai, usia dan

kedudukan telah dianggap memberikan pengaruh terhadap level komitmen. Faktor-

faktor organisasi memberikan pengaruh yang sama terhadap level komitmen

Page 9: Bimbingan - Komitmen chapter2

26

karyawan. Saat karyawan berada pada tingkatan tingkatan: 1). Mempercayai peranan

dan tujuan-tujuan pekerjaan yang secara jelas digambarkan, dan 2). Menerima

dukungan manajemen dan umpan balik berkenaan dengan penampilan kerja mereka.

Tinkatan-tingkatan tersebut akan membuat karyawan terikat atau berkomitmen secara

affective. Pendapat tersebut didukung oleh Eby, Freeman, Rush dan Lance (Walsh &

Taylor,2002) yang menggunakan komponen model karakteristik pekerjaan dari

Hackman dan Oldman, disarankan adanya variasi keahlian, identitas pekerjaan dan

makna pekerjaan akan membawa motivasi intrinsik pada individu yang lebih besar

dimana hal tersebut juga akan membutuhkan rasa komitmen affective.

Komitmen affective akan muncul pada diri individu saat individu merasakan

keanggotaannya dalam organisasi. (Walsh & Taylor,2002). Sebuah penelitian

mengenai teori identitas sosial dilakukan oleh Tajfel dan Turner (Walsh &

Taylor,2002) menjelaskan bahwa disaat individu merasakan keanggotaannya bersama

kelompok sosialnya, maka mereka akan membangun rasa keanggotaannya. Para

anggota akan saling berbagi tujuan bersama yang membedakan mereka dengan

keanggotaaan organisasi lain di luar kelompok mereka.

Dengan menciptakan rasa perbedaan dengan anggota organisasi lainnya,

individu membangun ikatan sosial yang kuat dengan anggotanya sehingga secara

affective terikat pada kelompoknya (Walsh & Taylor,2002). Dengan demikian,

komitmen affective akan muncul melalui pilihan-pilihan organisasi baik bagi orang

ataupun kelompok yang ada di dalam organisasi.

Page 10: Bimbingan - Komitmen chapter2

27

Meyer dan Allen menambahkan bahwa individu akan secara affective terikat

pada organisasi yang menawarkan pada karyawannya untuk mampu mengalami dan

merasakan pekerjaan yang menantang serta memberikan kesempatan untuk belajar

seluas-luasnya dan pekerjaan yang memberikan kesempatan kepada karyawannya

untuk mengembangkan hubungan satu sama lain.

Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk

melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian

yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu

melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).

2. Komitmen Continuence

Komitmen continuence adalah komitmen berdasarkan persepsi karyawan

tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi (Allen &

Meyer,1993) selanjutnya Allen & Meyer menyebutkan bahwa kerugian tersebut dapat

berupa kehilangan keuntungan secara keseluruhan, pembayaran penuh, jaringan

koneksi, imej khusus yang ditawarkan organisasi dan yang terakhir adalah keharusan

mencari kembali pekerjaan baru.

Bentuk komitmen ini didasarkan atas hubungan saling memberi dimana

karyawan berkontribusi dan diberi penghargaan yang setara dengan peran dan hasil

kerjanya. Sehingga hal tersebut membuat karyawan tetap berada bersama

organisasinya, karena hal itu memberikan keuntungan bagi mereka (Walsh &

Taylor,2002). Dengan demikian, karyawan bukan hanya berkomitmen terhadap

Page 11: Bimbingan - Komitmen chapter2

28

organisasinya melainkan lebih dari sekedar melanjutkan tindakan-tindakan yang

nyata dalam organisasinya.

Walsh & Taylor (2002) menerangkan bahwa terdapat 3 faktor yang

memberikan peranan penting dalam tumbuhnya komitmen continuence, yaitu:

1. Pengorbanan. Pengorbanan disini merupakan sikap yang berkenaan sengan

keyakinan individu yang berasal dari kelompoknya. Kanter (1968) menyatakan

bahwa individu secara berkelamjutan atau secara terus menerus berkomitmen

kepada sistem sosialnya saat mereka mampu menunjukkan asset-aset yang

dimilikinya (prestasi/kompetensi) kepada organisasinya yang mungkin dapat

memberi mereka masalah lain yang harus dibayar mahal.

2. Aspek Taruhan. Yang dimaksud aspek taruhan disini adalah sebuah ide yang

menyebabkan karyawan melakukan beberapa investasi baik yang dapat dilihat

maupun tidak, dalam pekerjaan mereka, seperti semakin lama mereka berada

dalam organisasi, semakin mahal pula “harga” yang harus mereka bayar sehingga

mereka melupakan investasi tersebut (Walsh & Taylor,2002). Pendapat ini hampir

sama dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Festinger (Walsh &

Taylor,2002) bahwa karyawan membenarkan penambahan status peranan mereka

dalam organisasi dikarenakan mereka telah berbuat suatu hal yang membuatnya

seperti itu. O’Relly dan Chatman (Walsh & Taylor,2002) berpendapat bahwa

konsep aspek taruhan ini sebagai sebuah kepatuhan dimana dengan memasukkan

penghargaan ekstrinsik yang lebih spesifik yang diterima karyawan sebagai

Page 12: Bimbingan - Komitmen chapter2

29

timbal balik akan keterlibatan mereka bersama organisasinya akan membuat

harga meinggalkan organisasinya menjadi sangat mahal.

3. Kurangnya alternatif pekerjaan lain diluar organisasi. Maksudnya adalah jika

karyawan menyadari bahwa kesempatan bekerja di tempat lain sangat sedikit,

maka pemahaman karyawan mengenai kerugian yang akan dihadapinya bila

meninggalkan organisasi menjadi sangat tinggi sehingga mereka akan

membangun rasa komitmen continuence yang kuat terhadap organisasinya.

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa individu akan

berkomitmen secara berkelanjutan (continuence) terhadap organisasinya meski

bertentangan dengan kelompok-kelompok tertentu di dalamnya maupun

komponen lainnya. Bentuk komitmen ini muncul dikarenakan tindakan-tindakan

individu dalam organisasi yang telah memberikannya bayaran, status, promosi

dan keuntungan.

3. Komitmen normative

Komitmen normative ini merupakan perasaan-perasaan karyawan tentang

kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi (Meyer & Allen). Komitmen

normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung

dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komponen

normative menimbulkan perasaan kewajiban kepada karyawan untuk memberikan

balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi (Kuntjoro,2002).

Page 13: Bimbingan - Komitmen chapter2

30

Komitmen normatif timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan

bertahan menjadi anggota organisasi karena ada kesadaran bahwa komitmen

terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan (Smith,1998).

3. Proses Terjadinya Komitmen

Mowday et.al (dalam Minner,1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor

pembentuk komitmen organisasi akan berbeda bagi karyawan yang baru bekerja,

setelah menjalani masa kerja yang cukup lama, serta bagi karyawan yang bekerja

dalam tahapan yang lama yang menganggap perusahaan atau organisasi tersebut

sudah menjadi bagian dalam hidupnya.

Minner (Sopian, 162:2008) secara rinci menjelaskan proses terjadinya

komitmen karyawan dalam organisasi, yaitu pada gambar 2.1, 2.2, 2.3 berikut.

1. Initial Commitment

Page 14: Bimbingan - Komitmen chapter2

31

Personal Characteristics • Values • Beliefs

Espectations About Job

Characteristics Of Job Choice • Volition • Irrevocability • Sacrifice • Insufficient • justification

Level of initial commitment organizational

Initial Work

Experiences

• Job

• Supervision

• Work group

• Pay

• Organizational

Felt

Responsibility

Initial

Commitment

Commitment

during early

Employment

period

Availability of

Alternative Jobs

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Komitmen

2. Commitment During Early Employment

Page 15: Bimbingan - Komitmen chapter2

32

Gambar 2.2 Proses Terjadinya Komitmen

3. Commitment During Later Career

Gambar 2.3 Proses Terjadinya Komitmen

Gambar di atas menjelaskan bahwa proses terjadinya komitmen karyawan

pada organisasi berbeda. Pada fase awal (initial commitment), faktor yang

berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah:

1. Karakteristik individu,

2. Harapan-harapan karyawan pada organisasi

3. Karakteristik pekerjaan

Fase kedua disebut sebagai commitment during early employment. Pada fase ini

karyawan sudah bekerja beberapa tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

komitmen karyawan pada organisasi adalah pengalaman kerja yang ia rasakan pada

tahap awal bekerja, bagaimana pekerjaannya, sistem penggajiannya, gaya

supervisinya, hubungan dengan teman sejawat atau hubungan dengan pemimpinnya.

Length of

service

• Investment

• Social involvements

• Job mobility

• sacrificies

Commitment in

later carier

Page 16: Bimbingan - Komitmen chapter2

33

Semua faktor ini akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan

pada organisasi yang pada akhirnya akan bermuara pada komitmen karyawan pada

awal memasuki dunia kerja.

Tahap yang ke tiga yang diberi nama commitment during later carier . Faktor

yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan investasi,

mobilitas kerja, hubungan sosial yang tercipta di organisasi dan pengalaman-

pengalaman selama ia bekerja.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen

Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui

proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada organisasi juga

ditentukan oleh sejumlah faktor. Misalnya, Steers (1985) mengidentifikasi ada 3

faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu (1). Ciri

pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi kebutuhan

dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan, (2). Ciri pekerjaan, seperti identitas

tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja, (3). Pengalaman kerja,

seperti keteran dalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain

mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi.

David (dalam Minner, 1997) mengemukakan 4 faktor yang mempengaruhi

komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman

kerja.

Page 17: Bimbingan - Komitmen chapter2

34

2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan,

tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dan konflik dalam peran pekerjaan.

3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi

seperti sentralisasi atau disentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat

pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.

4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap

tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru bekerja tentu

akan memiliki tingkat komitmen yang berbeda dengan karyawan yang sudah lama

bekerja dalam organisasi.

Stum (1998) mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap

komitmen organisasional: (1) budaya keterbukaan (2) kepuasan kerja (3) kesempatan

personal untuk berkembang (4) arah organisasi dan (5) penghargaan kerja yang sesuai

dengan kebutuhan. Sedangkan Young et.al (1998) mengemukakan ada 8 faktor yang

secara positif berpengaruh terhadap komitmen organisasional: (1) kepuasan terhadap

promosi (2) karakteristik pekerjaan, (3) komunikasi, (4) kepuasan terhadap

kepemimpinan, (5) pertukaran ekstrinsik, (6) pertukaran ekstrinsik, (7) imbalan

instrinsik, (8) imbalan ekstrinsik.

Steers dan porter (dalam Supriyanto, 2000) mengemukakan ada sejumlah

faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :

1. Faktor personal yang meliputi job expectations, psychological contract, job

choice factors, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk

komitmen awal.

Page 18: Bimbingan - Komitmen chapter2

35

2. faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal

consistency organizational. Semua faktor ini akan membentuk atau memunculkan

tanggung jawab.

3. Non-organizational faktors, yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor

yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif

pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu karyawan akan meninggalkannya.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen

organisasional adalah:

1. Faktor personal

2. faktor organisasional, dan

3. faktor yang bukan dari dalam organisasi.

5. Membangun Komitmen Karyawan

Bashaw dan Grant (Amstrong, 1994) menjelaskan bahwa komitmen karyawan

merupakan proses berkesinambungan dan merupakan sebuah pengalaman individu

ketika bergabung dalam sebuah organisasi.

Gary Dessler mengemukakan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk

membangun komitmen karyawan dalam organisasi, yaitu:

1. make it charismatic, jadikan visi dan misi organisasi sebagai sesuatu yang

karismatik, sesuatu yang dijadikan pijakan, dasar bagi setiap perilaku, dan

tindakan karyawan.

Page 19: Bimbingan - Komitmen chapter2

36

2. Build the tradition, menjadikan segala sesuatu yang baik dalam organisasi sebagai

suatu tradisi yang secara terus-menerus dipelihara, dijaga oleh generasi

berikutnya.

3. Have comprehensive grievence procedures, bila ada keluhan atau komplain dari

pihak luar ataupun dari internal organisasi, maka organisasi harus memiliki

prosedur untuk mengatasi keluhan tersebut secara menyeluruh.

4. Provide extensive two way communication, adanya komunikasi dua arah antara

pihak organisasi dengan karyawan tanpa memandang rendah bawahan.

5. create a sense of community, menjadikan senua unsure dalam organisasi sebagai

suatu community di mana di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, rasa memiliki,

kerjasama, berbagi, dan lain-lain.

6. Build value-based homogency, membangun nilai-nilai yang didasarkan adanya

kesamaan. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama. Sebagai

contoh misalnya untuk promosi maka dasar yang digunakan untuk promosi adalah

kemampuan, keterampilan, minat, motivasi, kinerja, tanpa ada diskriminasi.

7. share and share alike, sebaiknya organisasi membuat kebijakan dimana antara

karyawan level bawah sampai yang paling atas tidak terlalu berbeda atau

mencolok dalam kompensasi yang diterima, gaya hidup, penampilan fisik, dan

lain-lain.

8. Emphasize barnraising, cross-utilization, and teamwork. Organisasi sebagai

suatu komunitas harus bekerjasama, saling bebagi, saling memberi manfaat dan

memberikan kesempatan yang sama pada anggota organisasi. Misalnya perlu

Page 20: Bimbingan - Komitmen chapter2

37

adanya rotasi sehingga karyawan yang bekerja di tempat yang “basah” perlu juga

ditempatkan di tempat yang “kering”. Semua anggota organisasi merupakan

teamwork. Semuanya harus memberikan kontribusi yang maksimal demi

keberhasilan organisasi tersebut.

9. Get together. Adakan acara-acara yang melibatkan semua anggota organisasi

sehingga kebersamaan bias terjalin. Misalnya, sekali-kali produksi dihentikan dan

semua karyawan terlibat dalam even rekreasi bersama keluarga, pertandingan

olahraga, seni, dan lain-lain yang dilakukan oleh semua anggota organisasi dan

keluarganya.

10. Support employee development. Hasil studi menunjukan bahwa karyawan akan

lebih memiliki komitmen terhadapa organisasi bila organisasi memperhatikan

perkembangan karir karyawan dalam jangka panjang.

11. Commit to actualizing. Setiap karyawan diberikan kesempatan yang sama untuk

mengaktualisasikan diri secara maksimal di organisasi sesuai dengan kapasitas

masing-masing.

12. Provide first- year job challenge. Karyawan masuk ke organisasi dengan

membawa mimpi dan harapannya, kebutuhannya. Berikan bantuan yang kongkret

bagi karyawan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan mewujudkan

impiannya. Jika pada tahap-tahap awal karyawan memiliki persrpsi yang positif

terhadap organisasi maka karyawan akan cenderung memiliki kinerja yang tinggi

pada tahap-tahap berikutnya.

Page 21: Bimbingan - Komitmen chapter2

38

13. Enrich and empower. Ciptakan kondisi agar karyawan bekerja tidak monoton

karena rutinitas akan menimbulkan perasaan bosan bagi karyawan. Hal ini tidak

baik karena akan menurunkan kinerja karyawan. Misalnya dengan rotasi kerja,

memberikan tantangan dengan memberikan tugas, kewajiban dan otoritas

tambahan.

14. Prommote from within. Bila ada lowongan jabatan, sebaiknya kesempatan

pertama diberikan kepada pihak intern perusahaan sebelum merekrut karyawan

dari luar perusahaan.

15. provide developmental activities. Bila organisasi membuat kebijakan untuk

merekrut karyawan dari dalam sebagai prioritas maka dengan sendirinya hal itu

akan memotivasi karyawan untuk terus tumbuh dan berkembang personal dan

jabatannya.

16. The question of employee security. Bila karyawan merasa aman, baik fisik

maupun psikis, maka komitmen akan muncul dengan sendirinya. Misalnya,

karyawan merasa aman karena perusahaan membuat kebijakan memberikan

kesempatan karyawan bekerja selama usia produktif. Dia akan merasa aman dan

tidak takut akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia merasa aman karena

keselamatan kerja diperhatikan perusahaan.

17. commite to people-first values. Membangun komitmen karyawan pada organisasi

merupakan proses yang panjang dan tidak bias dibentuk secara instant. Oleh

karena itu, perusahaan harus benar-benar memberikan perlakuan yang benar pada

Page 22: Bimbingan - Komitmen chapter2

39

masa awal karyawan memasuki organisasi. Dengan demikian karyawan akan

mempunyai persepsi yang positif terhadap organisasi.

18. put it in writing. Data-data tentang kebijakan, visi, misi, semboyan, filosofi,

sejarah, strategi dan lain-lain. Organisasi sebaiknya dibuat dalam bentuk tulisan,

bukan sekedar bahasa lisan.

19. Hire right-kind managers. Bila pemimpin ingin menanamkan nilai-nilai,

kebiasan-kebiasaan, aturan-aturan, disiplin pada bawahan, sebaiknya pemimpin

sendiri memberikan teladan dalam bentuk sikap dan prilaku sehari-hari.

20. Walk the talk. Tindakan jauh lebih efektif dari sekedar kata-kata. Bila pimpinan

ingin karyawannya berbuat sesuatu, maka sebaiknya pemimpin tersebut mulai

berbuat sesuatu, tidak sekedar berbicara.

6. Dampak Komitmen Organisasional

Komitmen karyawan terhadap organisasi adalah bertingkat, dari tingkatan yang

sangat rendah hingga tingkatan yang sangat tinggi. Kanter dalam Newstroom &

Davis (1989) mengemukakan bahwa manajer akan memilih karyawan yang bisa

dipercaya dan mengabaikan karyawan yang kurang memiliki komitmen

organisasional. Hacker (dalam Newstroom & Davis, 1989) menambahkan bahwa

tanpa menunjukkan komitmen yang meyakinkan maka promosi seorang karyawan ke

jabatan yang lebih tinggi tidak akan dilakukan. Ditinjau dari segi organisasi,

karyawan yang berkomitmen rendah akan berdampak pada turn over (Koch, 1978),

tingginya absensi, meningkatnya kelambanan kerja dan kurangnya intensitas untuk

Page 23: Bimbingan - Komitmen chapter2

40

bertahan sebagai karyawan di organisasi tersebut (Angle, 1981), rendahnya kualitas

kerja (Steers, 1991), dan kurangnya loyalitas pada perusahaan (Schein, 1968), Near &

Jansen (1983) menambahkan bahwa bila komitmen karyawan rendah maka ia bisa

memicu perilaku karyawan yang kurang baik, misalnya tindakan kerusuhan yang

dampak lebih lanjutnya adalah reputasi organisasi menurun, kehilangan kepercayaan

dari klien dan dampak yang lebih jauh lagi adalah menurunnya laba perusahaan.

Ditinjau dari sudut karyawan, komitmen karyawan yang tinggi akan

berdampak pada peningkatan karir karyawan itu sendiri. Whyte (dalam Newstroom,

1989) membuat semacam jargon: “ Loyallah pada perusahaan maka perusahaan akan

loyal pada anda.” Biggart & Hamilton (1984) menambahkan bahwa pada umumnya

organisasi akan memberikan imbalan kepada karyawan atas pengorbanan yang telah

diberikan kepada organisasi. Sebaliknya, ditinjau dari segi perusahaan, karyawan

yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasi akan memberikan sumbangan

terhadap organisasi dalam hal stabilitas tenaga kerja (Steers, 1977).

Komitmen karyawan, baik yang tinggi maupun yang rendah, akan berdampak

pada: 1) karyawan itu sendiri, misalnya terhadap perkembangan karier karyawan itu

di organisasi/perusahaan. 2) organisasi. Karyawan yang berkomitmen tinggi pada

organisasi akan menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, tingkat absensi

berkurang, loyalitas karyawan, dll.

Page 24: Bimbingan - Komitmen chapter2

41

Menurut Hackett & Guinon (1995), karyawan yang memiliki komitmen

organisasional yang tinggi akan berdampak pada karyawan tersebut, yaitu dia lebih

puas dengan pekerjaannya dan tingkat absensinya menurun. Sedangkan menurut

Carsten dan Spector (1987), dampak yang timbul adalah karyawan tersebut akan tetap

tinggal dalam organisasi. Organ & Konovsky (1989) menyebutkan sebagai more

likely to display organization citizenship behavior. Judge & Watanabe (1993)

menggambarkan bila komitmen karyawan tinggi maka dampak yang ditimbulkan

adalah mereka akan lebih puas dalam kehidupan mereka secara keseluruhan. Dampak

yang ditimbulkan menurut Mathieu dan Zajac (1990) adalah karyawan akan tetap

bertahan dalam organisasi. Netemeyer, Burton & Johnson (1995) menyebutkan

sebagai actually leave. Menurut Begley & Czajka (1993) dampaknya adalah tingkat

stress berkurang. Mathieu dan Ajac (1990) menyebutnya sebagai perform well dan

O’Reilly dan Chatman (1986) menyebutkan bahwa bila komitmen organisasional

karyawan tinggi maka dampak yang ditimbulkan adalah karyawan tersebut akan lebih

pandai bersosialisasi.

Secara internasional dampak komitmen organisasional yang tinggi telah diuji.

Misalnya, di India, Agarwal (1993) menyimpulkan dampak dari komitmen

organisasional yang tinggi adalah rendahnya niat untuk meninggalkan organisasi.

Begitu pula dengan Jepang (Marsh and Mannari, 1977). Sedangkan di Israel,

Koslowssky, Caspy & Lazar (1988) dan di New Zeland, Inkson (1977)

menyimpulkan dampak yang timbul dari adanya komitmen organisasional adalah

Page 25: Bimbingan - Komitmen chapter2

42

perilaku sebagai anggota organisasi yang lebih tinggi (higher organization citizenship

behavior).

Dampak dari komitmen karyawan terhadap internal foci seperti organisasi dan

supervisor, dan external foci seperti union, profesi, untuk hasil kerja (work outcome),

misalnya kinerja, tingkat absensi, dan turn over telah dilakukan studi oleh Angle and

Perry (1981); Becker, Billings, Eveleth Gilbert (1996); Porter, Crampon & Smith

(1976) dan Wallace (1995).

B. Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri

1. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri

Bimbingan pada dasarnya merupakan upaya pembimbing untuk membantu

mengoptimalkan individu. Mortensen dan Schmuller (Nurihsan, 2002:9) menyatakan:

Guidance may be defined as that part of the total educational program that helps

provide the personal apportunities and specialized staff services by which each

individual can develop to the fullest of his abilities and capacities in term of the

democratic idea. ASCA (American School Counselor Assosiation) mengemukakan

bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan

sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli, konselor

mempergunakan pengetahuan dan keterampilanmnya untuk membantu konselinya

mengatasi masalah-masalahnya. Secara lebih spesifik menurut Hasibuan (2000:201)

konseling dilingkungan industri adalah pembahasan suatu masalah dengan seorang

Page 26: Bimbingan - Komitmen chapter2

43

karyawan, dengan maksud pokok membantu karyawan tersebut agar dapat mengatasi

masalah secara lebih baik.

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri

Pada umumnya, tujuan dari bimbingan dan konseling dalam setting industri

yaitu untuk membantu para karyawan agar dapat memahami dirinya, memahami

dunia kerja, dan mampu mengadakan penyesuaian antara dirinya dengan dunia kerja

melalui suatu pembuatan rencana dan keputusan secara tepat. Sedangkan tujuan

pemberian layanan bimbingan di lingkungan industri ialah agar individu dapat:

a. Merencanakan kegiatan pekerjaan, pengembangan karir serta kehidupan di masa

yang akan datang.

b. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal

mungkin.

c. Menyesuaikan diri dengan pekerjaan, dan lingkungan kerja.

d. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam penyesuaian dengan

pekerjaan dan lingkungan kerja.

e. Membuat orang-orang menjadi lebih efektif dalam memecahkan masalah-masalah

mereka.

Page 27: Bimbingan - Komitmen chapter2

44

3. Fungsi Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri

Minimal ada empat fungsi bimbingan dan konseling di lingkungan industri

yaitu sebagai berikut: (a) Fungsi developmental (pengembangan), merupakan fungsi

bimbingan dalam mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki

individu; (b) Fungsi penyaluran, merupakan fungsi bimbingan dalam membantu

individu memilih dan memantapkan penguasaan karir dan jabatan yang sesuai dengan

minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya; (c) Fungsi adaptasi, yaitu

mengadaptasikan tantangan dan program kerja sesuai dengan kemampuan/keahlian

individu; (d) Fungsi penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu

menemukan penyesuaian diri dan perkembangannya secara optimal.

Sedangkan menurut Siagian (1997:304) secara khusus konseling perusahaan

memiliki fungsi berikut:

a. Pemberian nasehat kepada karyawan agar mereka dapat menempuh cara-cara

yang paling efektif untuk menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan yang

dihadapinya.

b. Konseling sebagai fungsi penguatan dalam arti mendorong para karyawan

melanjutkan usahanya mengatasi sendiri berbagai masalah apabila menurut

pendapat para ahli, usaha yang ditempuh itu sudah berada pada jalur yang benar.

c. Konseling harus mampu berperan sebagai wahana komunikasi dua arah yang

efektif melalui manajemen dengan memahami permasalahan para bawahannya

dan sebaliknya para karyawan memahami tuntutan tugas dan harapan

organisasi/perusahaan dari mereka.

Page 28: Bimbingan - Komitmen chapter2

45

d. Pemberian kesempatan bagi para karyawan untuk menyampaikan berbagai

keluhannya kepada seseorang yang mampu berperilaku objektif tanpa sikap yang

a priori.

e. Menumbuhkan cara berpikir yang rasional dan jernih dalam menghadapi

permasalahan di kalangan para karyawan.

f. Melakukan reorientasi yang tepat sehingga pandangan seseorang mengenai

dirinya sendiri menjadi lebih proporsional dan mengenai kehidupan kekaryaannya

menjadi tidak ego-sentris.

4. Prinsip Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri

Menurut Orlans (Michael Carrol and Michael Walton:1997) ada beberapa

karakteristik dunia konseling dan perusahaan, yaitu :

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Dunia Perusahaan dan Dunia Konseling

Dunia Perusahaan (World Of Organizations)

Dunia Konseling (World Of Counseling)

1. Pengawasan (controlling). 2. Pengalaman bersifat objektif

(objective experience). 3. Berkenaan dengan pikiran

(thinking/rational). 4. Bersifat hierarkis (hierarchical). 5. Bertujuan politis untuk kepentingan

perusahaan (political). 6. Situasinya kompetitif (competitive).

1. Bantuan (helping). 2. Pengalaman bersifat subjektif

(subjective experience). 3. Berkenaan dengan pikiran dan

perasaan (feeling and thinking). 4. Bersifat otonomi (autonomous). 5. Bertujuan untuk memberdayakan

pribadi (personal empowerment). 6. Situasinya kooperatif

(cooperative).

Page 29: Bimbingan - Komitmen chapter2

46

Kemudian dalam pelaksanaan bimbingan perlu memperhatikan beberapa prinsip,

yaitu sebagai berikut: (a) Bimbingan adalah suatu proses membantu individu agar

mereka dapat membantu dirinya sendiri dalam memecahkan masalah yang

dihadapinya; (c) Bimbingan hendaknya bertitik tolak (berfokus) pada individu yang

dibimbing; (d) Bimbingan diarahkan pada individu, dan tiap individu memiliki

karakteristik tersendiri oleh karena itu pemahaman keragaman dan kemampuan

individu yang dibimbing sangat diperlukan dalam pelaksanaan bimbingan;

(e)Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tim pembimbing di lingkungan kerja

hendaknya diserahkan kepada ahli atau lembaga yang berwenang memecahkannya;

(f) Bimbingan dimulai dengan identifikasi kebutuhan yang dirasakan oleh individu

yang akan dibimbing; (g) Bimbingan harus luwes dan fleksibel, sesuai dengan

kebutuhan individu dan masyarakat; (h) Program bimbingan di lingkungan kerja

tertentu harus sesuai dengan program perusahaan yang bersangkutan; (i) Pelaksanaan

program bimbingan hendaknya dikelola oleh orang yang memiliki keahlian dalam

bidang bimbingan, dapat bekerja sama dan menggunakan sumber-sumber yang

relevan yang berada di dalam maupun di luar perusahaan; (j) Pelaksanaan program

bimbingan hendaknya di evaluasi untuk mengetahui hasil dan pelaksanaan program.

5. Asas Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri

Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat

ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut:

Page 30: Bimbingan - Komitmen chapter2

47

a. Asas kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut

dirahasiakannya segenap data dan keterangan tentang konseli yang menjadi

sasaran pelayanan, yaitu data dan keterangan yang tidak boleh dan tidak layak

diketahui orang lain. Dalam hal ini konselor berkewajiban penuh memelihara dan

menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaannya benar-benar

terjamin.

b. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki

adanya kesukaan dan kerelaan konseli mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan

yang diperlukan baginya. Dalam hal ini konselor berkewajiban membina dan

mengembangkan kesukarelaan tersebut.

c. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar

konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak

berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri

maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna

bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini konselor berkewajiban

mengembangkan keterbukaan konseli. Keterbukaan ini amat terkait pada

terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang

menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, konselor terlebih

dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.

d. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar

konseli yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam

penyelengaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini konselor perlu

Page 31: Bimbingan - Komitmen chapter2

48

mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan

konseling yang diperuntukkan baginya.

e. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada

tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli sebagai sasaran pelayanan

bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri

dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu

mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Konselor

hendaknya mampu mengerahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling

yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.

f. Asas kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek

sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli dalam

kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi

masa lalupun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan

apa yang diperbuat sekarang.

g. Asas kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar

isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu

bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai

dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.

h. Asas keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar

berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan

oleh konselor maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk

ini kerja sama antara konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam

Page 32: Bimbingan - Komitmen chapter2

49

penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan.

Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

i. Asas keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar

segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan

tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma

agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan yang

berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat

dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai

dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan

dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli memahami,

menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.

j. Asas keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar

pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas kaidah-

kaidah professional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan

bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang

bimbingan dan konseling. Keprofesionalan konselor harus terwujud baik dalam

penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling

maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.

k. Asas alih tangan kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki

agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan

konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli

Page 33: Bimbingan - Komitmen chapter2

50

mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Konselor

dapat menerima alih tangan kasus dari pihak atau ahli lain dan demikian pula

konselor dapat mengalihtangankan kasus kepada pihak atau ahli lain.

6. Pendekatan Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri

Konseling yang digunakan dalam dunia perusahaan harus disesuaikan dengan

setting perusahaan, budaya perusahaan, dan tujuan dari perusahaan tersebut yang

didalamnya mencakup karyawan-karyawan yang saling berinteraksi satu sama lain

untuk mencapai sebuah kepuasan dan hasil kerja yang baik.

Menurut N.Hill (1981 : 11) terdapat tiga tipe umum pendekatan konseling

secara langsung, yaitu correcting, coaching, dan consulting.

a. Correcting (mengkoreksi) merupakan tipe konseling yang sifatnya sangat

langsung. Koreksi dilakukan karena adanya satu kesalahan atau hilangnya

kesempatan. Dalam proses konseling ini, konseli dikoreksi agar konseli dapat

belajar dari kesalahan dan belajar bagaimana mendeteksi adanya kesalahan.

Meskipun sifatnya adalah pendisiplinan, namun tidak diperlukan pemberian

hukuman, yang lebih berlaku adalah aturan kerja atau standar kinerja.

b. Coaching (mengarahkan) tipe konseling ini ditujukan pada pengembangan kinerja

secara spesifik. Yang ditekankan adalah mendengarkan dan memahami. Disini,

konselor berbagi dalam tugas-tugas latihan untuk memutuskan tindakan dan

rencana-rencana untuk mencapainya. Hal ini ditujukan untuk mencapai tujuan

yang spesifik atau mengembangkan keahlian dan kemampuan yang spesifik. Hal

Page 34: Bimbingan - Komitmen chapter2

51

ini diasosiasikan dengan review kinerja tahunan dan pengembangan kinerja yang

sifatnya berkala.

c. Consulting (konsultasi) tipe konseling ini berbeda dari kedua tipe sebelumnya.

Dalam correcting dan coaching konselorlah yang melihat adanya kebutuhan

untuk pengembangan pada diri karyawan, sementara itu dalam consulting

(konsultasi) fokus permasalahan adalah karyawan. Karyawanlah yang merasa

adanya kebutuhan atau memiliki keinginan untuk mengubah sesuatu. Disini ada

kalanya karyawanlah yang memiliki inisiatif untuk memulai diskusi masalahnya

dengan konselor, namun ada kalanya juga konselorlah yang mengundang

karyawan untuk berdiskusi.

Setiap tipe konseling ini diorientasikan pada pemecahan masalah dan

diharapkan akan menghasilkan pengembangan kompetensi yaitu kompetensi dalam

pemenuhan tugas-tugas, kompetensi mengembangkan kemampuan dan kapabilitas,

kompetensi dalam mengatasi frustasi dan kekecewaan.

Untuk lebih jelasnya terdapat layanan bimbingan dan konseling yang

diasumsikan dapat menunjang kepuasan kerja karyawan, yaitu :

a. Layanan dasar bimbingan dan konseling, meliputi : bimbingan klasikal dan

individual; bimbingan kelompok; kolaborasi dengan manajer.

b. Layanan perencanaan individual, meliputi : penilaian individual; penasihatan

kepada individu dan kelompok.

c. Layanan responsif, meliputi : konsultasi; konseling individual dan kelompok;

konseling krisis; referal; bimbingan teman sebaya.

Page 35: Bimbingan - Komitmen chapter2

52

d. Dukungan sistem, meliputi : pengembangan profesional; konsultasi dan

kolaborasi; manajemen program.

7. Tipe-tipe Konseling di Lingkungan Industri

Menurut Hasibuan (2000:202) ada tiga macam tipe konseling yang ada di

lingkungan industri, yakni: (a) Directive counseling adalah proses mendengarkan

masalah-masalah emosional karyawan, memutuskan apa yang seharusnya dilakukan,

memberitahukan, dan memotivasi karyawan untuk melaksanakannya; (b) Non-

directive counseling (client centered) adalah proses mendengarkan dengan penuh

perhatian dan mendorongnya untuk menjelaskan problem yang menyusahkan mereka,

memahaminya dan menentukan penyelesaian yang tepat. Jadi non-directive

counseling terpusat pada karyawan (counselee), bukan pada pembimbing (counselor);

(c) Cooperative counseling adalah hubungan timbal balik antara pembimbing dengan

karyawan dan mengembangkan pertukaran gagasan secara kooperatif untuk

membantu pemecahan problem karyawan.

8. Peran Konselor Industri

Peran konselor di perusahaan (N.Hill, 1981:8-9) adalah: (a) Konselor sebagai

guru. Dalam hal ini, konselor berperan dalam memberikan informasi, arahan, dan

sebagainya sehingga karyawan dapat bekerja sesuai dengan fungsinya; (b) Konselor

sebagai pendidik. Disini, konselor harus mampu memberikan pengalaman selama

konseling berlangsung sehingga karyawan dapat menyesuaikan diri dengan

Page 36: Bimbingan - Komitmen chapter2

53

kehidupannya, tidak hanya dengan merespon saja namun juga melakukan perubahan;

(c) Konselor sebagai detektif. Dalam proses konseling, konselor harus dapat

mengumpulkan fakta-fakta dan menyatukannya dengan memperhatikan setiap detail

dari yang diungkapkan konseli (karyawan) untuk menemukan permasalahan

sesungguhnya; (d) Konselor sebagai barbarian. Hal ini dimaksudkan ketika konselor

mengkonfrontasikan segala sesuatu yang dianggap tidak rasional dan tidak tepat, ia

harus bersikap tegas akan hal itu; (e) Konselor sebagai waktu. Dengan jadwal atau

tindak lanjut secara periodik pada konselinya, konselor dapat membuat individu

mempersiapkan diri terhadap target waktu atau deadline (contohnya berpikir dengan

tujuan, membuat revolusi, melakukan tindakan, interospeksi diri, dan sebagainya);

(f)Konselor sebagai monitor. Dalam hal ini, konselor menyediakan pandangan dan

penilaian yang independen mengenai kinerja dan mengevaluasi dukungan-dukungan

untuk dijadikan peningkatan kompetensi; (g) Konselor sebagai katalis. Disini,

konselor dapat dijadikan seseorang untuk mengungkapkan masalah dengan cara

diskusi yang berbeda sehingga memberikan perasaan yang lain.

C. Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling

1. Pengertian Program

Beberapa ahli mendefinisikan program berbeda-beda akan tetapi semua

merujuk pada satu kesimpulan yang sama bahwa program merupakan rancangan

mengenai kegiatan dan usaha-usaha yang akan dilaksanakan. Program menurut

Arikunto (2004:2) mempunyai dua pengertian, secara umum dan khusus. Secara

Page 37: Bimbingan - Komitmen chapter2

54

umum program dapat diartikan sebagai sebuah rencana dan secara khusus program

diartikan sebagai suatu unit dari satuan kegiatan yang merupakan realisasi atau

implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang

berkesinambungan dan terjadi dalam suatu wadah yang melibatkan sekelompok

orang. Akan tetapi pengertian program disini, dibatasi pada program bimbingan dan

konseling. Menurut Winkel (1997:119) program bimbingan (guidance program)

adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana, terorganisasi, dan terkoordinasi

selama periode waktu tertentu.

Latipah (2005:15) mendefinisikan program bimbingan sebagai serangkaian

kegiatan bimbingan yang direncanakan secara sistematis, terarah dan terpadu untuk

mencapai tujuan tertentu. Sejalan dengan pengertian tersebut, Sukardi (Wibawa,

2006:9) mendefinisikan program bimbingan dan konseling sebagai suatu urutan

rencana layanan yang dibuat dengan sistematis dan didesain untuk jangka waktu

tertentu. Program bimbingan dan konseling adalah rencana keseluruhan kegiatan

bimbingan dan konseling yang dilaksanakan pada periode waktu tertentu seperti

periode bulanan, caturwulan dan tahunan.

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa program

bimbingan dan konseling adalah suatu rancangan mengenai kegiatan bimbingan dan

konseling yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu dan dalam

periode tertentu. Kemudian dalam kaitannya dengan penelitian ini yang dimaksud

dengan program bimbingan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan

merupakan suatu rangkaian kegiatan pemberian bantuan yang direncanakan secara

Page 38: Bimbingan - Komitmen chapter2

55

sistematis, terarah dan terpadu untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang

diselaraskan dengan tujuan perusahaan selama periode waktu tertentu.

2. Prinsip-prinsip dalam Mengembangkan Program

Suatu program bimbingan dapat disusun dengan berdasarkan pada kerangka

berpikir tertentu yang dapat mempengaruhi pola dasar yang dipegang dalam

mengatur seluruh kegiatan bimbingan yang diadakan oleh berbagai pihak. Dalam

program bimbingan terdapat beberapa komponen yang meliputi susunan saluran

formal untuk melayani para konseli, ataupun tenaga-tenaga ahli lainnya. Agar

program bimbingan yang dikembangkan dapat berjalan dengan lancar, efektif dan

efisien serta dapat dilakukan evaluasi baik terhadap program, proses, maupun hasil

maka program bimbingan yang akan disusun harus dilakukan perencanaan secara

matang.

Nurihsan (2002:84) mengemukakan manfaat dilakukannya perencanaan

secara matang, yaitu (a) adanya kejelasan arah pelaksanaan program bimbingan; (b)

adanya kemudahan mengontrol dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan bimbingan yang

dilakukan; dan (c) terlaksananya program kegiatan bimbingan secara lancar, efisien

dan efektif. Selain itu agar program bimbingan dan konseling yang disusun baik dan

tepat sasaran, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip dalam mengembangkan

program.

Winkel (1991:143) menjelaskan bahwa program dibuat dan dikembangkan

mengikuti beberapa prinsip :

Page 39: Bimbingan - Komitmen chapter2

56

a. Program harus direncanakan, disusun, diatur, dikembangkan dan disesuaikan

dengan situasi kehidupan konseli.

b. Program harus direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan pendekatan rasional-

ilmiah, dengan mengikutsertakan tenaga-tenaga ahli, koordinasi, serta supervisi

pelaksanaan yang memadai.

c. Program harus mencakup kegiatan bimbingan individual dan kelompok, dalam

proporsi yang wajar, sehingga semua subjek terjangkau.

d. Harus disertai dengan data tentang subjek yang dibimbing, yang diperoleh dengan

metode dan alat yang dapat diandalkan serta harus diolah dan diarsipkan secara

efisien.

e. Program harus mencakup pemberian informasi yang relevan kepada subjek dan

harus menyediakan sumber-sumber informasi untuk dipergunakan pada saat

dibutuhkan.

f. Program harus dievaluasi secara berkala untuk mengetahui tingkat efektivitasnya

dan untuk mengadakan penyesuaian seperlunya.

3. Komponen Program Bimbingan di Lingkungan Industri

Program bimbingan dan konseling mengandung empat komponen pelayanan

(Depdiknas, 2007), yaitu: (a) Pelayanan dasar bimbingan; (b) Pelayanan responsif; (c)

Perencanaan individual, dan (d) Dukungan sistem. Secara lebih rinci dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Pelayanan Dasar

Page 40: Bimbingan - Komitmen chapter2

57

1) Pengertian Pelayanan Dasar

Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh

konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau

kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku

panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan

sebagai standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan

kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam menjalani kehidupannya.

Penggunaan instrumen asesmen perkembangan dan kegiatan tatap muka terjadwal

sangat diperlukan untuk mendukung implementasi komponen ini. Asesmen

kebutuhan diperlukan untuk dijadikan landasan pengembangan pengalaman

terstruktur yang disebutkan.

2) Tujuan Pelayanan Dasar

Pelayanan ini bertujuan untuk membantu semua konseli agar memperoleh

perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh

keterampilan dasar hidupnya, atau dengan kata lain membantu konseli agar mereka

dapat mencapai perkembangannya. Secara rinci tujuan pelayanan ini dapat

dirumuskan sebagai upaya untuk membantu konseli agar (a) memiliki kesadaran

(pemahaman) tentang diri dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, sosial budaya

dan agama), (b) mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi

tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku yang layak bagi penyesuaian diri dan

lingkungannya, (c) mampu menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya,

dan (d) mampu mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.

Page 41: Bimbingan - Komitmen chapter2

58

3) Fokus Pengembangan Pelayanan Dasar

Untuk mencapai tujuan tersebut, fokus perilaku yang dikembangkan

menyangkut aspek-aspek pribadi, sosial, belajar dan karir. Semua ini berkaitan erat

dengan upaya membantu konseli dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya

(sebagai standar kompetensi kemandirian). Materi pelayanan dasar dirumuskan dan

dikemas atas dasar standar kompetensi kemandirian antara lain mencakup

pengembangan: (a) self-esteem; (b) motivasi berprestasi; (c) keterampilan

pengambilan keputusan; (d) keterampilan memecahkan masalah; (e) keterampilan

hubungan antar pribadi atau berkomunikasi; (f) penyadaran keragaman budaya; dan

(g) perilaku bertanggung jawab. Hal-hal yang terkait dalam perkembangan karir

mencakup pengembangan: (a) fungsi agama bagi kehidupan; (b) pemantapan pilihan

pekerjaan; (c) keterampilan kerja professional; (d) kesiapan pribadi (fisik-psikis,

jasmaniah-rohaniah) dalam menghadapi pekerjaan; dan (e) perkembangan dunia

kerja.

b. Pelayanan Responsif

1) Pengertian Pelayanan Responsif

Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang

menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera,

sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses

pencapaian tugas-tugas perkembangan. Konseling individual, konseling krisis,

Page 42: Bimbingan - Komitmen chapter2

59

konsultasi dengan pihak lain adalah ragam yang dapat dilakukan dalam pelayanan

responsif

2) Tujuan Pelayanan Responsif

Tujuan pelayanan responsif adalah membantu konseli agar dapat memenuhi

kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya atau membantu konseli

yang mengalami hambatan, kegagalan dalam mencapai perkembangannya. Tujuan

pelayanan ini dapat juga dikemukakan sebagai upaya untuk mengintervensi masalah-

masalah atau kepedulian pribadi konseli yang muncul segera dan dirasakan saat itu,

berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karir, dan atau masalah pengembangan

pendidikan.

3) Fokus Pengembangan Pelayanan Responsif

Fokus pelayanan responsif bergantung kepada masalah atau kebutuhan

konseli. Masalah dan kebutuhan konseli berkaitan dengan keinginan untuk

memahami sesuatu hal karena dipandang penting bagi perkembangan dirinya secara

positif. Kebutuhan ini seperti kebutuhan untuk memperoleh informasi yang berharga

akan karir dan hidupnya.

Masalah lainnya adalah yang berkaitan dengan berbagai hal yang dirasakan

mengganggu kenyamanan hidup atau menghambat perkembangan diri konseli, karena

tidak terpenuhinya kebutuhannya, atau gagal dalam mencapai tugas-tugas

perkembangan. Masalah konseli pada umumnya tidak mudah diketahui secara

langsung tetapi dapat dipahami melalui gejala-gejala perilaku yang ditampilkannya.

Masalah (gejala perilaku bermasalah) yang mungkin dialami konseli diantaranya: (a)

Page 43: Bimbingan - Komitmen chapter2

60

merasa cemas tentang masa depan; (b) merasa rendah diri; (c) berperilaku impulsive

(kekanak-kanakan atau melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkannya secara

matang); (d) membolos dari pekerjaan; (e) malas bekerja; (f) kurang memiliki

kebiasaan bekerja yang positif; (g) kurang bisa bergaul; (h), prestasi bekerja rendah;

(i) malas beribadah; (j) manajemen stress; dan (k) masalah dalam keluarga.

Untuk memahami kebutuhan dan masalah konseli dapat ditempuh dengan cara

assesment dan analisis perkembangan konseli, dengan menggunakan berbagai teknik,

misalnya inventori tugas-tugas perkembangan, angket konseli, wawancara, observasi,

sosiometri, daftar hadir konseli, tes psikologi, dan daftar masalah konseli atau alat

ungkap masalah.

c. Perencanaan Individual

1) Pengertian Perencanaan Individual

Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada konseli agar mampu

merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa

depan berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan kekurangan dirinya, serta

pemahaman akan peluang dan kesempatan yang tersedia di lingkungannya.

Pemahaman konseli secara mendalam dengan segala karakteristiknya, penafsiran

hasil assesment, dan penyediaan informasi yang akurat sesuai dengan peluang dan

potensi yang dimiliki konseli amat diperlukan sehingga konseli mampu memilih dan

mengambil keputusan yang tepat di dalam mengembangkan potensinya secara

optimal, termasuk keberbakatan dan kebutuhan khusus konseli. Kegiatan orientasi,

Page 44: Bimbingan - Komitmen chapter2

61

informasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi, dan advokasi diperlukan di

dalam implementasi pelayanan ini.

2) Tujuan Perencanaan Individual

Perencanaan individual bertujuan untuk membantu konseli agar: (a) memiliki

pemahaman tentang diri dan lingkungannya; (b) mampu merumuskan tujuan,

perencanaan, atau pengelolaan terhadap perkembangan dirinya, baik menyangkut

aspek pribadi, sosial, maupun karir, dan; (c) dapat melakukan kegiatan berdasarkan

pemahaman, tujuan, dan rencana yang telah dirumuskannya.

Tujuan perencanaan individual ini dapat juga dirumuskan sebagai upaya

memfasilitasi konseli untuk merencanakan, memonitor, dan mengelola rencana

pendidikan, karir dan pengembangan sosial-pribadi oleh dirinya sendiri. Isi layanan

perencanaan individual adalah hal-hal yang menjadi kebutuhan konseli untuk

memahami secara khusus tentang perkembangan dirinya sendiri. Dengan demikian

meskipun perencanaan individual ditujukan untuk memandu seluruh konseli,

pelayanan yang diberikan lebih bersifat individual karena didasarkan atas

perencanaan, tujuan, dan keputusan yang ditentukan oleh masing-masing konseli.

Melalui pelayanan perencanaan individual, konseli diharapkan dapat:

(a)Mempersiapkan diri untuk mengikuti pendidikan lanjutan, merencanakan karir,

dan mengembangkan kemampuan sosial-pribadi, yang didasarkan atas pengetahuan

akan dirinya, informasi tentang instansi, dunia kerja, dan masyarakatnya; (b)

Menganalisis kekuatan dan kelemahan dirinya dalam rangka pencapaian tujuannya;

(c) Mengukur tingkat pencapaian tujuan dirinya; (d) Mengambil keputusan yang

Page 45: Bimbingan - Komitmen chapter2

62

merefleksikan perencanaan dirinya; (e) Fokus pengembangan. Fokus pelayanan

perencanaan individual berkaitan erat dengan pengembangan aspek akademik, karir,

dan sosial-pribadi. Secara rinci cakupan fokus tersebut antara lain mencakup

pengembangan aspek: (a) akademik meliputi memanfaatkan keterampilan belajar,

melakukan pemilihan pendidikan lanjutan, memilih kursus dan memahami nilai

belajar sepanjang hayat; (b) karir meliputi mengeksplorasi peluang-peluang karir,

mengeksplorasi latihan-latihan pekerjaan, memahami kebutuhan untuk kebiasaan

bekerja yang positif; dan (c) sosial-pribadi meliputi pengembangan konsep diri yang

positif, dan pengembangan keterampilan sosial yang efektif.

d. Dukungan Sistem

Ketiga komponen diatas, merupakan pemberian bimbingan dan konseling

kepada konseli secara langsung. Sedangkan dukungan sistem merupakan komponen

pelayanan dan kegiatan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya Teknologi

Informasi dan Komunikasi), dan pengembangan kemampuan professional konselor

secara berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada konseli

atau memfasilitasi kelancaran perkembangan konseli.

Program ini memberikan dukungan kepada konselor dalam memperlancar

penyelenggaraan pelayanan diatas. Sedangkan bagi personel lainnya adalah untuk

memperlancar penyelenggaraan program kerja di instansi. Dukungan sistem ini

meliputi aspek-aspek: (1) Pengembangan jejaring (networking). Pengembangan

jejaring menyangkut kegiatan konselor yang meliputi: (a) konsultasi dengan pihak

Page 46: Bimbingan - Komitmen chapter2

63

lain; (b) menyelenggarakan program kerja sama dengan pihak lain; (c) berpartisipasi

dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan instansi; (d) bekerjasama

dengan personel lainnya dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

perkembangan konseli; (e) melakukan penelitian tentang masalah-masalah yang

berkaitan erat dengan bimbingan dan konseling, dan; (f) melakukan kerjasama dan

kolaborasi dengan ahli lain yang terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling;

(2) Kegiatan manajemen. Kegiatan manajemen merupakan berbagai upaya untuk

memantapkan, memelihara, dan meningkatkan mutu program bimbingan dan

konseling melalui kegiatan-kegiatan: (a) pengembangan program; (b) pengembangan

staf; (c) pemanfaatan sumber daya, dan pengembangan penataan kebijakan;

(3)Pengembangan profesionalitas. Konselor secara terus menerus berusaha untuk

memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya melalui: (a) in-service training; (b)

aktif dalam organisasi profesi; (c) aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah; seperti

seminar dan workshop (lokakarya), atau melanjutkan studi ke program yang lebih

tinggi; (d) Pemberian konsultasi dan berkolaborasi. Konselor perlu melakukan

konsultasi dan kolaborasi dengan pihak lain, dan pihak institusi di luar untuk

memperoleh informasi dan umpan balik tentang pelayanan bantuan yang telah

diberikannya kepada para konseli, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

perkembangan konseli, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program

bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya

instansi untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang

relevan dengan peningkatan mutu pelayanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti

Page 47: Bimbingan - Komitmen chapter2

64

dengan pihak-pihak: (1) instansi pemerintah; (2) instansi swasta; (3) organisasi

profesi; (4) para ahli dalm bidang tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dan

dokter dan (5) Depnaker; (6) manajemen program. Suatu program pelayanan

bimbingan dan konseling tidak mungkin akan terselenggara dan tercapai bila tidak

memiliki suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang bermutu, dalam arti dilakukan

secara jelas, sistematis, dan terarah.

4. Langkah-Langkah Pengembangan Program Bimbingan

Schmidt (1999:40) mengemukakan bahwa terdapat empat fase dalam

pengembangan program bimbingan dan konseling komprehensif, yaitu perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi.

a. Perencanaan

Dalam proses perencanaan, penyeleksian dan penetapan tujuan umum maupun

prioritas merupakan hal yang paling esensial, di samping melakukan identifikasi

kebutuhan terhadap karyawan. Pada prinsipnya, tujuan dielaborasi dan ditetapkan

berdasarkan hasil analisis kebutuhan di lapangan. Selain itu, dalam proses

perencanaan program, konselor harus mulai menentukan dengan tepat arah

pendekatan layanan yang akan diberikan, apakah berprinsip pada langkah preventif,

pengembangan, atau kuratif (remedial).

b. Pengorganisasian

Pada tahap ini konselor mulai menetapkan pembagian tugas dan tanggung

jawab serta wewenang, sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan

sebagai kesatuan untuk mencapai tujuan bersama. Pada tahap pengorganisasian,

Page 48: Bimbingan - Komitmen chapter2

65

kesepahaman dan komitmen yang tinggi menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki

tiap personil perusahaan, mulai dari direktur utama, kepala bagian, kepala seksi, dan

staf lainnya. Sosialisasi program bimbingan dilaksanakan pada tahap ini dalam

rangka mencapai keselarasan misi yang diemban oleh perusahaan. Koordinasi dan

konsultasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pengorganisasian

bimbingan sebagai bagian dari langkah pengoptimalisasian fungsi dukungan sistem

yang ada.

c. Pelaksanaan

Pelaksanaan program yang telah disusun dan ditetapkan, serta didukung oleh

personil perusahaan lain turut ditunjang dengan kesiapan konselor sendiri untuk

melaksanakan semua program tersebut, baik kesiapan dalam hal keilmuan, tenaga,

maupun dana. Pada tahapan inilah kinerja dan profesionalisme seorang konselor

mulai tampak, di samping menentukan pula keberhasilan program.

d. Evaluasi dan Tindak Lanjut

Tahap evaluasi ini merupakan bagian yang sama pentingnya dengan tahapan

lainnya, yaitu sebagai umpan balik terhadap program yang terlaksana. Efektif

tidaknya program yang telah ditetapkan dan diimplementasikan, tercapai tidaknya

pelaksanaan program dengan kebutuhan karyawan akan layanan bimbingan itu

sendiri.

Selain itu, kegiatan evaluasi juga menghasilkan serangkaian data yang jelas

dan tepat mengenai program apa yang sekiranya dapat digulirkan pada tahun ajaran

berikutnya, apa saja langkah preventif yang dapat dipersiapkan oleh personil

Page 49: Bimbingan - Komitmen chapter2

66

perusahaan dalam menghadapi permasalahan atau hambatan yang biasanya muncul

dalam proses pelaksanaan program bimbingan di lapangan.

5. Ciri-ciri Program yang Baik

Natawidjaja (Wibawa, 2006: 10) mengemukakan ciri-ciri program yang baik

sebagai berikut:

a. Program disusun berdasarkan kebutuhan nyata dari para konseli.

b. Kegiatan bimbingan diurut sesuai skala prioritas yang juga ditentukan dari kebutuhan

konseli.

c. Program memiliki tujuan yang ideal tapi realistis dalam pelaksanaannya.

d. Program dikembangkan secara berangsur-angsur dengan melibatkan semua anggota

staf pelaksana.

e. Menggambarkan komponen yang berkesinambungan antar semua anggota pelaksana.

f. Menyediakan fasilitas yang diperlukan.

g. Penyusunan disesuaikan dengan program di instansi.

h. Memberikan kemungkinan pelayanan kepada semua konseli yang bersangkutan.

i. Memperlihatkan peran yang penting dalam memadukan instansi dengan masyarakat.

j. Berlangsung sejalan dengan proses penilaian baik mengenai program itu sendiri

maupun kemajuan konseli yang dibimbing serta mengenai kemajuan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap para petugas pelaksana.

k. Program hendaknya menjamin keseimbangan dan kesinambungan seluruh pelaksana

bimbingan.