s Psi 070062 Chapter2

download s Psi 070062 Chapter2

of 43

Transcript of s Psi 070062 Chapter2

  • 13

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Konsep Diri

    1. Pengertian Konsep Diri

    Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya.

    Menurut Hurlock (1978: 58), konsep diri adalah gabungan dari keyakinan yang

    dimiliki seseorang tentang diri mereka sendiri (karakteristik fisik, psikologis,

    sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi). Hurlock (1978) mengemukakan

    bahwa konsep diri merupakan inti dari pola kepribadian yang mempengaruhi

    berbagai bentuk sifat.

    Sebelum menjelaskan secara singkat bagaimana sifat dan perilaku

    seseorang dipengaruhi oleh konsep diri, terlebih dahulu dijelaskan mengenai

    pengertian kepribadian menurut Allport (Hurlock, 1978: 237) yaitu susunan

    sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri suatu individu yang menentukan

    penyesuaian individu yang unik terhadap lingkungan. Istilah dinamis dalam

    pengertian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam kepribadian,

    menekankan bahwa perubahan dapat terjadi dalam kualitas perilaku seseorang.

    Istilah susunan mengandung arti bahwa kepribadian tidak dibangun dari

    berbagai ciri yang satu ditambahkan pada yang lain begitu saja, melainkan ciri-ciri

    ini saling berkaitan. Keterkaitan tersebut berubah, artinya beberapa ciri menjadi

    bertambah dominan dan yang lain berkurang, sejalan dengan perubahan yang

    terjadi pada anak dan dalam lingkungan. Istilah sistem psikofisik mengacu pada

  • 14

    kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional, perasaan dan motif yang

    bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik dalam kelenjar, syaraf, dan

    keadaan fisik seseorang secara umum. Sistem-sistem ini berkembang melalui

    proses belajar sebagai hasil dari pengalaman seseorang.

    Di dalam pola kepribadian, sistem-sistem psikofisik yang beragam yang

    membentuk kepribadian seseorang saling berkaitan dimana yang satu

    mempengaruhi yang lainnya. Dua komponen utama pola kepribadian ini adalah

    konsep diri dan sifat-sifat. Sifat-sifat merupakan karakteristik penyesuaian

    individu terhadap berbagai situasi dalam kehidupan (Hurlock, 1979). Hurlock

    (1978) mengibaratkan konsep diri sebagai inti roda dan sifat-sifat sebagai jari-jari

    roda. Sifat-sifat (jari-jari roda) ini dipersatukan dan dipengaruhi oleh konsep diri

    (inti roda). Sebagai contoh, jika individu melihat dirinya sebagai seseorang yang

    selalu menderita, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perilakunya. Pola

    perilakunya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya berulang-

    ulang dimana hal tersebut akan mendasari karakteristik penyesuaiannya (sifatnya),

    sehingga orang lain akan menilainya sebagai orang yang mengasihani dirinya.

    2. Komponen Konsep Diri

    Hurlock (1979: 22) membagi konsep diri menjadi tiga komponen utama.

    Berikut ini adalah ketiga komponen tersebut.

    a. The perceptual component.

    The perceptual component adalah gambaran yang dimiliki seseorang

    mengenai penampilan fisiknya dan kesan yang ditampilkan pada orang

  • 15

    lain. Komponen ini meliputi daya tarik dan kesesuaian seksual tubuh, arti

    penting bagian-bagian tubuh, serta gambaran fisik yang didasarkan pada

    kesan dan penilaian orang lain. Komponen ini sering disebut sebagai

    physical self-concept (konsep diri fisik) atau citra fisik atau citra tubuh.

    b. The conceptual component.

    The conceptual component adalah konsepsi yang dimiliki seseorang

    mengenai karakteristik khususnya, kemampuan dan ketidakmampuannya,

    latar belakang, dan masa depannya. Peran dalam kehidupan, tanggung

    jawab, harapan dan cita-citanya juga termasuk ke dalam komponen ini.

    Komponen ini sering disebut sebagai psychological self-concept (konsep

    diri psikologis) atau citra psikologis, yang tersusun dari beberapa kualitas

    penyesuaian diri, seperti kejujuran, percaya diri, kemandirian, keberanian

    dan kebalikan dari sifat-sifat tersebut.

    c. The attitudinal component.

    The attitudinal component adalah perasaan dan sikap seseorang

    mengenai keadaan diri saat ini dan di masa yang akan datang. Termasuk di

    dalam komponen ini yaitu perasaan kebermanfaatan, sikap terhadap harga

    diri, penyalahan diri, kebanggaan, dan rasa malu. Bagi seseorang yang

    sudah mencapai masa dewasa, komponen ini terkait dengan keyakinan,

    pendirian, nilai-nilai, idealita, aspirasi, dan komitmen yang menyusun

    filosofi hidupnya.

  • 16

    3. Proses Pembentukan Konsep Diri

    Burns (1993) mengemukakan bahwa konsep diri bukan pembawaan dari

    lahir, melainkan berkembang dari beribu-ribu pengalaman. Proses perkembangan

    konsep diri individu tidak pernah sungguh-sungguh berakhir, tetapi berjalan terus

    menerus hingga akhir hidup sejalan dengan individu tersebut menemukan potensi-

    potensi baru yang dimilikinya.

    Hurlock (1978) mengemukakan bahwa konsep diri bersifat hierarkis atau

    tersusun atas berbagai tahapan, dimana tahapan yang paling dasar adalah konsep

    diri primer. Konsep diri primer didasarkan atas pengalaman anak di rumah dan

    dibentuk dari berbagai konsep terpisah, yang masing-masing merupakan hasil dari

    pengalaman dengan berbagai anggota keluarga. Konsep diri primer mencakup

    citra fisik dan psikologis diri, dimana citra fisik biasanya berkembang lebih awal

    dibandingkan dengan citra psikologis. Citra psikologis diri pertama didasarkan

    atas hubungan anak dengan saudara kandungnya dan perbandingan dirinya

    dengan mereka. Konsep awal seseorang mengenai perannya dalam hidup, aspirasi

    dan tanggung jawab terhadap orang lain pun didasarkan atas ajaran dan tekanan

    orang tua.

    Dengan meningkatnya pergaulan dengan orang lain di luar rumah, anak

    memperoleh konsep lain tentang diri mereka, dimana hal tersebut membentuk

    konsep diri sekunder. Konsep diri sekunder ini berhubungan dengan bagaimana

    anak melihat dirinya melalui pandangan orang lain. Konsep diri primer seringkali

    menentukan pilihan situasi dimana konsep diri sekunder akan dibentuk, misalnya

    anak yang telah mengembangkan konsep diri yang terbentuk oleh keyakinan

  • 17

    pentingnya mereka sendiri akan memilih teman bermain yang menganggap

    mereka sebagaimana orang tua mereka memandang mereka. Konsep diri sekunder

    mencakup juga citra fisik dan psikologis diri. Anak-anak berpikir tentang struktur

    fisik mereka, seperti halnya orang di luar rumah, dan mereka menilai diri mereka

    yang dibentuk di rumah dengan membandingkan citra ini dengan membandingkan

    apa yang mereka kira dipikir guru, teman sebaya, dan orang lain mengenai diri

    mereka (Hurlock, 1978).

    Walaupun konsep diri berkembang sepanjang hidup individu, konsep diri

    cenderung berkembang sepanjang garis yang terbentuk pada awal masa kanak-

    kanak (Calhoun dan Acocella, 1995). Burns (1993: 188) menjelaskan bahwa

    terdapat lima sumber yang mempengaruhi pembentukan konsep diri. Berikut ini

    adalah kelima sumber tersebut.

    a. Citra tubuh.

    Belajar mengenai apa yang merupakan diri dan apa yang bukan

    melalui pengalaman langsung dan mengenai persepsi terhadap dunia fisik

    tanpa satu pun mediasi sosial merupakan langkah pertama anak di dalam

    perjalanan hidupnya. Istilah skema tubuh dan citra tubuh dipergunakan

    untuk menyampaikan konsep tentang fisik yang dimiliki setiap orang.

    Skema tubuh merupakan pengetahuan yang berasal dari sensasi-sensasi

    tubuh dan posisi-posisi dari bagiannya, sedangkan citra tubuh merupakan

    gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik.

    Konsep diri pada awalnya adalah citra tubuh. Sosok tubuh,

    penampilan, dan ukurannya merupakan hal yang sangat penting dalam

  • 18

    mengembangkan pemahaman mengenai konsep diri seseorang. Perasaan-

    perasaan yang bersangkutan dengan tubuh dan citra tubuh menjadi inti dari

    konsep diri di dalam tahun-tahun pertama kehidupan seseorang.

    Di masa awal kanak-kanak, juga pada masa remaja, adanya

    kekurangan-kekurangan pada fisik seseorang, baik yang bersifat nyata

    maupun yang dibayangkan, dapat menyebabkan akibat-akibat yang besar

    pada perkembangan konsep diri seseorang tersebut secara keseluruhan.

    Begitu juga dengan seseorang yang menerima pernyataan-pernyataan yang

    menjelaskan dirinya di dalam ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan

    keadaan fisiknya dan ditambah dengan kepribadiannya yang didasarkan

    pada persepsi orang lain tentang tubuhnya, kemungkinan besar ia akan

    memasukkan persepsi-persepsi tersebut ke dalam konsep mengenai

    tubuhnya dan citra tubuhnya, dimana hal tersebut membentuk bagian yang

    cukup besar dan menonjol dari konsep diri keseluruhannya. Ketika

    seseorang mendapat julukan-julukan buruk yang berhubungan dengan

    kekurangan fisiknya dari orang-orang yang dihormati, julukan tersebut

    tidak hanya berlaku sebagai deskripsi fisiknya saja, melainkan untuk

    mendefinisikan seseorang tersebut secara umum atau keseluruhan.

    Sebagaimana terdapatnya konsep diri yang ideal pada setiap orang,

    seseorang juga dapat memiliki citra fisik yang ideal dimana hal tersebut

    didasarkan pada norma-norma budaya dan stereotip-strereotip yang

    dipelajari. Semakin mendekati kecocokan antara citra tubuh yang telah ada

    dan citra tubuh ideal yang dipegang seseorang, maka semakin besar

  • 19

    kemungkinannya seseorang tersebut menunjukkan perasaan harga diri

    yang tinggi dan merasa positif tentang penampilannya. Citra tubuh ideal

    berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara budaya yang satu dengan

    yang lainnya.

    b. Bahasa.

    Perkembangan bahasa membantu perkembangan konsep diri karena

    penggunaan kata saya, dia, dan mereka berguna untuk membedakan

    diri dan orang-orang lainnya. Simbol-simbol bahasa juga membentuk

    dasar dari konsepsi-konsepsi dan evaluasi-evaluasi tentang diri, misalnya

    sedang sedih atau sedang bahagia. Umpan balik dari orang lain seringkali

    dalam bentuk verbal. Calhoun dan Acocella (1995) mengemukakan bahwa

    dengan memahami apa yang dikatakan orang lain mengenai seseorang,

    seseorang tersebut memperoleh informasi lebih banyak mengenai dirinya.

    Bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal juga menyampaikan

    informasi dari orang lain kepada seseorang mengenai seseorang tersebut.

    Selain itu, bahasa tubuh juga mencerminkan apa yang dipikirkan oleh

    orang lain tentang seseorang. Jadi, konsep diri dipahami di dalam

    hubungannya dengan bahasa dan perkembangannya dibuat mudah oleh

    bahasa.

    c. Umpan balik dari lingkungan.

    Cooley (Burns, 1993) menjelaskan bahwa konsep diri seperti kaca

    cermin, yaitu penjelasan mengenai diri sebagaimana dipersepsikan

    melalui refleksi-refleksi di mata orang-orang yang penting atau yang

  • 20

    mempunyai arti penting bagi anak itu. Orang-orang yang dihormati

    berperan dalam menguatkan definisi diri seseorang. Hurlock (1978)

    mengemukakan bahwa bila anak yakin bahwa orang-orang yang penting

    baginya menyayangi mereka, maka mereka akan berpikir positif tentang

    diri mereka, dan sebaliknya.

    Burns (1993) mengemukakan bahwa orang-orang yang dihormati,

    khususnya orangtua, memiliki peran sebagai sumber informasi yang

    berpengaruh tentang diri seseorang. Orangtua dianggap menjadi orang

    yang dihormati di dalam lingkungan anak dan mempunyai pengaruh yang

    sangat besar di dalam pengembangan konsep diri karena mereka

    merupakan sumber otoritas dan sumber kepercayaan.

    Calhoun dan Acocella (1995) menjelaskan bahwa orangtua adalah

    kontak sosial yang paling awal dan paling kuat yang dialami seseorang.

    Seseorang sangat bergantung kepada mereka dalam hal makanan,

    perlindungan, dan kenyamanannya, sehingga mereka memiliki arti penting

    bagi anak. Oleh karena itu, apa yang dikomunikasikan mereka pada anak

    lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang

    hidupnya. Mereka memberi informasi tentang diri seseorang, membantu

    menetapkan pengharapan dan norma bagi seseorang. Bagaimanapun

    perlakuan orangtua terhadap seseorang, seseorang tersebut menganggap

    bahwa ia memang pantas diperlakukan seperti itu. Coopersmith (Calhoun

    dan Acocella, 1995) mengemukakan bahwa nilai diri seseorang sebagai

    orang berasal dari nilai yang diberikan orangtua kepadanya dimana

  • 21

    penilaian dengan sumber orangtua berlangsung terus menerus. Dalam

    kehidupan orang dewasa, seseorang masih cenderung menilai dirinya

    sendiri seperti ketika merasa dimiliki oleh orangtua mereka.

    Kawan sebaya juga menjadi sumber umpan balik yang dapat

    mempengaruhi konsep diri seseorang (Burns, 1993; Calhoun dan Acocella,

    1995). Seseorang membutuhkan penerimaan anak-anak lain dalam

    lingkungannya. Jika penerimaan ini tidak ada, seperti anak digoda terus

    menerus, dibentak, atau dijauhi, maka konsep dirinya akan terganggu.

    Peran yang dibentuk seseorang dalam kelompok teman sebaya juga dapat

    mempengaruhi pandangannya tentang dirinya sendiri.

    Sumber umpan balik lainnya yang dapat mempengaruhi konsep diri

    seseorang adalah masyarakat (Calhoun dan Acocella, 1995). Seperti

    orangtua dan teman sebaya, masyarakat juga memberitahu seseorang

    tentang bagaimana mendefinisikan diri seseorang tersebut.

    Pada hakikatnya, jika seseorang diterima, disetujui, dan disukai

    tentang sebagai apa seseorang tersebut dan ia sadar akan hal ini, maka

    seharusnya ia memiliki konsep diri yang positif. Jika orang lain, orangtua,

    teman-teman sebaya, atau guru memperolok-olok, meremehkan, menolak,

    dan mengkritiknya, baik mengenai tingkah laku maupun keadaan fisiknya,

    maka kemungkinan besar ia memiliki penghargaan diri yang rendah.

    Sebagaimana seseorang dinilai oleh orang lain, begitu pula ia akan menilai

    dirinya sendiri.

  • 22

    d. Identifikasi.

    Identifikasi merupakan sebuah proses yang perlu bagi pembentukan

    konsep diri. Identifikasi merupakan sebuah proses yang sebagian besar

    tidak disadari yang mempengaruhi seorang anak yang sedang tunbuh

    untuk berpikir, merasa, dan berperilaku melalui cara yang serupa dengan

    orang-orang yang dihormati di dalam kehidupannya. Lebih khusus lagi,

    identifikasi merupakan sebuah proses dimana seorang anak yang sedang

    tumbuh mengambil tingkah laku dan konsep diri dari seorang individu

    lainnya dan berperilaku seolah-olah ia menjadi orang tersebut.

    Identifikasi didahului dengan penentuan jenis kelamin. Penentuan

    jenis kelamin merupakan sebuah proses yang disadari tentang meniru

    tingkah laku-tingkah laku yang spesifik. Dari proses tersebut, muncul

    unsur utama dari konsep diri yang disebut identitas peranan seks, yaitu

    konseptualisasi mengenai derajat kemaskulinan dan kefemininannya

    sendiri atau sejauh mana individu tersebut cocok dengan keyakinan-

    keyakinan yang disetujui oleh publik mengenai karakteristik-karakteristik

    yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan.

    e. Praktek-praktek membesarkan anak.

    Keluarga memberikan indikasi awal kepada anak mengenai apakah ia

    disayangi atau tidak disayangi, diterima atau tidak diterima, seseorang

    yang berhasil atau seseorang yang gagal, seseorang yang berharga atau

    seseorang yang tidak berharga. Stott (Burns, 1993) menemukan bahwa

    anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat

  • 23

    penerimaan, rasa saling percaya dan kecocokan di antara orangtua dan

    anak, memiliki penyesuaian diri yang lebih baik, lebih mandiri, dan

    memiliki pandangan yang lebih positif tentang diri mereka sendiri. Anak-

    anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat ketidakcocokan

    di antara anggota keluarga pada umumnya memiliki kemampuan

    penyesuaian diri yang kurang.

    Jika seseorang diperlakukan dengan kehangatan dan cinta, konsep

    dasar seseorang berupa perasaan positif terhadap dirinya sendiri

    (Coopersmith dalam Calhoun dan Acocella, 1995). Konsep diri yang

    positif lebih mungkin timbul bila anak-anak diperlakukan dengan

    penghargaan, diberikan standar-standar yang didefinisikan dengan jelas

    dan baik, dan diberikan pengharapan-pengharapan akan sukses yang

    masuk akal. Perkembangan kemampuan untuk memberi respon secara

    konstruktif terhadap tantangan juga merupakan hal yang esensial bagi

    seseorang yang sedang membentuk dirinya dimana ia mengevaluasikan

    dirinya sebagai orang yang memiliki harga diri (Coopersmith dalam Burns,

    1993).

    Orangtua yang bersikap keras memiliki lebih banyak konflik dengan

    anaknya. Hal tersebut menyebabkan anak memilih untuk mengalah

    sebagai upaya penyesuaian diri untuk mengurangi kecemasannya.

    Konsekuensi dari sikap tersebut adalah anak mengambil sikap mengalah

    sebagai cara hidupnya dan anak yang suka menyesuaikan diri dengan cara

  • 24

    seperti itu menunjukkan sikap tidak mempercayai orang-orang lain di

    sekitarnya (Mussen dan Kagan dalam Burns, 1993).

    Praktek membesarkan anak mempengaruhi sikap diri seseorang dan

    sikapnya terhadap orang lain. Kaitan dua hal tersebut dijelaskan oleh

    Rogers. Rogers (Burns, 1993) membagi dua jenis penghargaan atau

    penerimaan yang diterima seseorang dari orang lain, yaitu bersyarat dan

    tidak bersyarat. Penghargaan yang bersyarat (conditional positive regard)

    bergantung pada pemenuhan terhadap kriteria evaluasi dari orang lain agar

    diterima. Sebaliknya, penghargaan yang tidak bersyarat (unconditional

    positive regards) tidak bergantung pada kriteria evaluasi dari orang lain.

    Orang tersebut dihargai bukan karena apa yang dilakukannya, melainkan

    karena nilai intrinsiknya sebagai manusia. Ketika penghargaan adalah

    bersyarat, orang tersebut mulai mengevaluasi dirinya dengan bersyarat,

    artinya dapat diterima hanya bila memenuhi kriteria tertentu. Ketika

    evaluasi diri adalah bersyarat, orang tersebut membela diri dengan melihat

    dirinya sendiri di dalam cara-cara tertentu. Melalui generalisasi, ia belajar

    untuk mengevaluasi orang lain dengan bersyarat juga. Orang lain yang

    paling dihormatinya yang bersifat mengancam dirinya melalui evaluasi-

    evaluasi mereka adalah orangtuanya. Akar dari penghinaan diri dan

    penghinaan dari orang lain disemaikan sejak awal kehidupannya.

    Lebih lanjut, Rogers (Calhoun dan Acocella, 1995) mengemukakan

    bahwa konsep diri sebagian besar merupakan hasil pengalaman seseorang

    pada waktu kecil, khususnya dengan orangtuanya sendiri. Semua anak

  • 25

    secara alamiah mendambakan kehangatan dan penerimaan, namun tidak

    sedikit orangtua yang mau menerima anaknya dengan kondisi suatu

    tingkah laku tertentu atau mau memberikan pandangan positif kepada

    anaknya jika anak tersebut menolak bagian tertentu dari pengalamannya.

    Akibat dari hal tersebut adalah kekuatan seseorang disia-siakan bagi

    pertahanan konsep diri yang tidak realistis, yang seharusnya dapat

    digunakan untuk mengekspresikan secara sempurna sesuatu yang

    sebenarnya merupakan pengalaman yang bermacam-macam bagi dirinya

    dan dunia. Seseorang tersebut juga dapat mengalami kecemasan.

    Burns (1993) menyimpulkan terdapat tiga buah kondisi keluarga yang

    kondusif bagi perkembangan perasaan harga diri yang tinggi bagi

    seseorang, yaitu penerimaan yang hangat dari orangtua, pembentukan dan

    penguatan oleh orangtua mengenai batas-batas yang dengan jelas

    terdefinisi dari tingkah laku anak, dan penghargaan dari orangtua bagi

    perilaku baik anak.

    4. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif

    Individu dapat memiliki konsep diri positif maupun konsep diri negatif.

    Berikut ini adalah penjelasan mengenai konsep diri positif dan konsep diri negatif

    tersebut.

    a. Konsep diri positif.

    Menurut Hurlock (1978: 238), individu yang memiliki konsep diri

    positif akan mengembangkan sifat-sifat kepercayaan diri, harga diri, dan

  • 26

    kemampuan untuk melihat dirinya secara realistis. Kemudian ia dapat

    menilai hubungan dengan orang lain secara tepat dan ini menumbuhkan

    penyesuaian sosial yang baik. Hurlock (1979: 33) juga mengemukakan

    bahwa konsep diri positif mengarah pada penerimaan diri dan penyesuaian

    yang baik. Individu tersebut menunjukkan tingkat harga diri yang tinggi,

    memiliki sedikit perasaan tidak aman (insecurity), perasaan tidak mampu

    (inadequacy), dan perasaan rendah diri (inferiority), memperlihatkan

    sedikit perilaku pengganti dari sifat bertahan, mampu melihat dirinya

    seperti yang ia yakini orang lain melihatnya, dan memiliki penyesuaian

    sosial yang baik.

    Calhoun dan Acocella (1995: 73) mengemukakan bahwa dasar dari

    konsep diri yang positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri

    tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri

    mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif mengenal dirinya

    dengan baik sekali (Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocellla,

    1990). Jadi, orang dengan konsep diri positif dapat memahami dan

    menerima sejumlah fakta atau informasi yang sangat bermacam-macam

    tentang dirinya sendiri dan tak ada satu pun informasi tersebut yang

    merupakan ancaman baginya.

    Karena konsep diri positif itu cukup luas untuk menampung seluruh

    pengalaman mental seseorang, evaluasi tentang dirinya sendiri menjadi

    positif. Dia dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Hal ini

    tidak berarti bahwa dia tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri atau

  • 27

    bahwa dia gagal mengenali kesalahannya sebagai suatu kesalahan, namun

    dia merasa tidak perlu meminta maaf untuk eksistensinya. Dengan

    menerima dirinya sendiri, dia juga dapat menerima orang lain. Mengenai

    harapan, orang dengan konsep diri positif merancang tujuan-tujuan yang

    sesuai dan realistis. Realistis disini artinya terdapat kemungkinan besar

    bahwa ia dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut.

    Berdasarkan penjelasan di atas, Calhoun dan Acocella (1995: 91)

    menyimpulkan bahwa ciri individu dengan konsep diri yang positif adalah

    pengetahuan yang luas dan bermacam-macam tentang diri, pengharapan

    yang realistis, dan harga diri yang tinggi.

    Penjelasan lainnya mengenai konsep diri positif dikemukakan oleh

    Burns (1993: 72) yaitu konsep diri yang positif ini sebagai evaluasi diri

    yang positif, perasaan harga diri yang positif, dan penerimaan diri yang

    positif. Individu yang memiliki perasaan harga diri yang positif lebih

    mampu menerima kegagalan atau berupaya memperbaiki wilayah-wilayah

    kegagalannya. Burns (1993: 280) juga mengemukakan bahwa tanda-tanda

    konsep diri positif adalah adanya kemampuan untuk memodifikasi nilai-

    nilai dan prinsip-prinsip yang sebelumnya dipegang dengan teguh

    dipandang dari sudut pengalaman yang baru, kepercayaan diri untuk

    menanggulangi masalah-masalah bahkan dihadapkan kepada kegagalan

    yang kadang-kadang terjadi, penerimaan diri sebagai seseorang yang sama

    berharganya dengan orang-orang lain meskipun terdapat perbedaan-

    perbedaan dalam bakat-bakat dan sifat-sifat yang spesifik, dan sensitifitas

  • 28

    terhadap kebutuhan dari orang lain. Konsep diri positif juga ditandai

    dengan ketiadaan kekhawatiran atau kecemasan terhadap masa lalu, masa

    kini, dan masa yang akan datang (Burns, 1993; Hamachek dalam

    Rakhmat, 2005).

    Stuart (2007: 187) mengemukakan bahwa individu dengan

    kepribadian yang sehat akan memiliki citra tubuh yang positif dan sesuai,

    ideal diri yang realistis, konsep diri yang positif, harga diri yang tinggi,

    performa peran yang memuaskan, dan rasa identitas yang jelas.

    b. Konsep diri negatif.

    Menurut Hurlock (1978: 238), individu yang memiliki konsep diri

    negatif akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Ia

    merasa ragu dan kurang percaya diri. Hal ini menumbuhkan penyesuaian

    pribadi dan sosial yang buruk. Hurlock (1979: 33) mengemukakan bahwa

    penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk dicerminkan dengan harga diri

    yang rendah, tidak menentu mengenai diri, percaya bahwa orang lain

    memiliki penilaian buruk terhadap dirinya, menarik diri dari hubungan

    sosial, dan menggunakan banyak mekanisme pertahanan diri.

    Calhoun dan Acocella (1995: 72) mengemukakan bahwa apa yang

    diketahui seseorang yang mempunyai konsep diri negatif tentang dirinya

    sendiri sangat sedikit. Hal tersebut bisa berarti dua hal. Pertama,

    pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur,

    artinya dia tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu

    ini tidak mengetahui siapa dirinya, apa yang menjadi kekuatan dan

  • 29

    kelemahannya, atau apa yang dia hargai dalam hidupnya. Pada orang

    dewasa hal itu mungkin suatu tanda ketidakmampuan menyesuaikan diri.

    Kedua, konsep diri individu terlalu stabil dan terlalu teratur atau kaku. Hal

    ini dapat diakibatkan dari didikan yang sangat keras sehingga ia tidak

    mengizinkan sedikit pun adanya penyimpangan dari seperangkat konsep

    mengenai dirinya yang harus dijalani dengan teratur. Jadi, orang dengan

    konsep diri yang tidak teratur atau konsep diri yang sempit benar-benar

    tidak memiliki kategori mental yang dapat dikaitkannya dengan informasi

    yang bertentangan tentang dirinya. Oleh karena itu, individu mengubah

    terus-menerus konsep dirinya atau dia melindungi konsep dirinya yang

    kokoh dengan mengubah atau menolak informasi baru.

    Dalam kaitannya dengan evaluasi diri, konsep diri yang negatif

    menurut definisinya meliputi penilaian negatif terhadap diri. Apa pun

    pribadi itu, dia tidak pernah cukup baik. Apa pun yang diperoleh

    tampaknya tidak berharga dibandingkan dengan apa yang diperoleh orang

    lain. Mengenai harapan, individu dengan konsep diri negatif percaya

    bahwa dirinya tidak dapat mencapai suatu apa pun yang berharga.

    Berdasarkan penjelasan di atas, Calhoun dan Acocella (1995: 91)

    menyimpulkan bahwa ciri individu dengan konsep diri yang negatif adalah

    pengetahuan yang tidak tepat tentang diri sendiri, pengharapan yang tidak

    realistis, dan harga diri yang rendah.

    Penjelasan lainnya mengenai konsep diri negatif dikemukakan oleh

    Burns (1993: 72) yaitu konsep diri yang negatif sama dengan evaluasi diri

  • 30

    yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri, dan ketiadaan perasaan

    yang menghargai pribadi dan penerimaan diri. Perasaan harga diri yang

    rendah ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut: peka terhadap

    kritik, sikap hiperkritis, respon yang berlebihan terhadap sanjungan,

    terdapat kompleks penyiksaan dimana kegagalan ditempatkan pada

    rencana-rencana tersembunyi dari orang lain dan kesalahan ditujukan

    kepada orang lain, mengasingkan diri, malu-malu, atau tidak memiliki

    minat terhadap persaingan. Harga diri yang rendah juga dikemukakan oleh

    Sullivan (Burns, 1993) bahwa orang yang memiliki perasaan harga diri

    rendah mengantisipasi suatu bentuk penolakan dan mencoba untuk

    menghalangi penolakan tersebut dengan meminimalkan kontak-kontak

    atau menyerang orang lain.

    5. Stresor yang Mempengaruhi Konsep Diri

    Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi yang

    dihadapi individu dan individu tidak mampu menyesuaikan. Situasi atau stresor

    dapat mempengaruhi konsep diri dan komponennya.

    Menurut Keliat (1992: 16), stresor yang mempengaruhi gambaran diri

    adalah hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit,

    perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh dan kembang, prosedur

    tindakan dan pengobatan. Stresor yang mempengaruhi harga diri dan ideal diri

    adalah penolakan dan kurang penghargaan diri dari orangtua dan orang yang

    berarti; pola asuh anak yang tidak tepat, misalnya: terlalu dilarang, dituntut,

  • 31

    dituruti; persaingan dengan saudara; kesalahan dan kegagalan yang terulang; cita-

    cita yang tidak dapat dicapai; gagal bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

    Stresor pencetus dapat berasal dari sumber eksternal dan internal. Berikut

    ini adalah sumber-sumber tersebut Stuart (2007: 190).

    a. Trauma.

    Masalah spesifik berhubungan dengan konsep diri adalah situasi yang

    membuat individu sulit menyesuaikan diri atau tidak dapat menerima

    khususnya trauma emosi, seperti: penganiayaan seksual dan psikologis

    pada masa anak-anak atau menyaksikan peristiwa yang mengancam

    kehidupan.

    b. Ketegangan peran.

    Ketegangan peran adalah perasaan frustrasi ketika individu merasa

    tidak adekuat melakukan peran atau melakukan peran yang bertentangan

    dengan hatinya atau tidak merasa cocok dalam melakukan perannya. Ada

    tiga jenis transisi peran, yaitu:

    1) Transisi peran perkembangan.

    Transisi peran perkembangan yaitu perubahan normatif yang

    berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap

    perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-

    norma budaya, nilai-nilai, serta tekanan untuk menyesuaikan diri.

    2) Transisi peran situasi.

    Transisi ini terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota

    keluarga melalui kelahiran atau kematian.

  • 32

    3) Transisi peran sehat-sakit.

    Transisi ini terjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan

    sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kondisi: kehilangan bagian

    tubuh, perubahan ukuran bentuk, penampilan, atau fungsi tubuh,

    perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal,

    serta prosedur medis dan keperawatan.

    Apa pun masalah dalam konsep diri seseorang yang dicetuskan oleh

    stresor psikologis, sosiologis, atau fisiologis, unsur yang penting adalah persepsi

    penderita terhadap ancaman.

    B. Perceived Social Support

    1. Konsep Social Support

    Social support atau dukungan sosial telah mendapat banyak perhatian

    selama dasawarsa terakhir ini (Smeth, 1994). Seiring berjalannya waktu, diskusi

    dan penelitian mengenai dukungan sosial telah banyak difokuskan pada

    pentingnya dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu

    (Cohen, 1998; Moreno, 2004; Sanderson, 2004; Sarafino, 1990; Sarason et al.,

    1990). Tema mengenai dukungan sosial ini bermula dari gagasan atau pendapat

    beberapa tokoh dalam bidang keilmuan yang berbeda.

    Ketertarikan awal terhadap efek hubungan sosial terdapat pada bidang

    kedokteran klinis (Sarason et al., 1990). Sebagai contoh, Charles Darwin (1872-

    1965) menulis tentang salah satu pasien ayahnya yang meninggal secara tiba-tiba

    karena penyakit jantung. Darwin mengatakan bahwa denyut nadi pasien tersebut

  • 33

    biasanya berdetak sangat kencang, namun akan menjadi normal kembali seiring

    dengan kedatangan ayahnya. Durkheim (1897-1951) dalam Sarason et al. (1990)

    mengajukan gagasan lain mengenai pentingnya hubungan sosial, dimana

    seseorang yang kurang mengadakan hubungan sosial akan meningkatkan

    kemungkinan untuk melakukan bunuh diri.

    Pada tahun 1976, Cassel dan Cobb (Sarason et al., 1990) mengadakan

    penelitian lintas disiplin yang mempelajari apa yang dimaksud dengan dukungan

    sosial. Cassel menegaskan bahwa lingkungan sosial dan kehadiran anggota lain

    dalam spesies yang sama dalam keadaan tertentu merupakan faktor penghambat

    berkembanganya penyakit lingkungan. Hasil peninjauannya terhadap kedua

    penelitian yang dilakukan terhadap binatang dan manusia ini menekankan bahwa

    dukungan sosial memiliki efek penahan terhadap stres. Cassel mengakui bahwa

    cara terbaik dalam mencegah penyakit adalah dengan memperkuat dukungan

    sosial individu, daripada mengurangi paparannya terhadap sumber stres. Peneliti

    lainnya adalah Cobb. Minat Cobb terhadap dukungan sosial muncul dalam bidang

    kedokteran klinis (Sarason et al., 1990). Cobb tidak hanya menyelidiki dukungan

    sosial sebagai perantara terhadap stres, tetapi juga berusaha untuk memperbaiki

    pengertian mengenai konstruk dukungan sosial. Cobb menguraikan dukungan

    sosial sebagai informational leading to one or more of three outcomes: the

    feeling of being cared for; the believe that one is loved, esteemed, and valued; and

    the sense of belonging to a reciprocal network (Sarason et al., 1990: 10). Cobb

    percaya bahwa dukungan sosial menyediakan perlindungan terhadap keadaan

    sakit, mempercepat kesembuhan, dan meningkatkan kesediaan untuk mengikuti

  • 34

    aturan medis. Seperti Cassel, Cobb juga melihat dukungan sosial sebagai penahan

    atau pelindung yang digunakan dalam situasi krisis.

    Sumber lain yang memiliki kesamaan minat pada tema dukungan sosial

    yaitu berasal dari psikologi komunitas (Sarason et al., 1990). Para pakar psikologi

    komunitas sering membicarakan bagaimana pelayanan jasa dari para ahli

    profesional dapat menyediakan dukungan bagi mereka yang melakukan upaya

    coping tidak efektif dan bagi mereka yang tidak menjadi bagian dari jaringan

    sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan emosional yang diberikan

    oleh pegawai pelayanan kesehatan bermanfaat bagi kesehatan pasien. Penelitian

    ini menginspirasi para ahli untuk mengukur dukungan sosial apa saja yang

    diterima oleh individu. Upaya para ahli ini didasarkan pada penelitian sosiologi

    yang mengusulkan bahwa stresor biasanya terdapat pada kelompok ekonomi

    lemah sehingga dibutuhkan komunitas yang menyediakan dukungan bagi mereka.

    Penelitian lain yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya

    mengenai dukungan sosial yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bowlby pada

    tahun 1969, 1979, dan 1980 (Sarason et al., 1990). Bowlby memberikan dasar

    pemikiran dukungan sosial sebagai variabel kepribadian yang sumbernya

    diperoleh dari suatu hubungan yang lekat.

    Hal yang dikemukakan di atas merupakan sejarah singkat yang

    menggambarkan konsep dan definisi dukungan sosial yang digolongkan pada area

    multidisiplin yang berbeda. Menurut Baron dalam Moreno (2004), terdapat tiga

    aspek yang berkaitan dengan definisi dukungan sosial. Ketiga aspek tersebut

    yaitu:

  • 35

    a. Tingkat analisis yang dipilih, meliputi tingkatan masyarakat, jaringan

    sosial, dan hubungan dekat.

    b. Pandangan yang menjadi fokus penelitian, meliputi struktural, fungsional,

    dan kontekstual.

    c. Definisi mengenai dukungan sosial akan bergantung pada apakah

    penekanannya ditempatkan pada aspek objektif ataukah subjektif.

    Dukungan sosial memiliki tiga kategori dimana masing-masing kategori

    tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Sarason et al. (1990), ketiga

    kategori tersebut adalah sebagai berikut:

    a. Social integration.

    Social integration merupakan model jaringan yang memfokuskan pada

    integrasi sosial individu dalam suatu kelompok dan keterhubungan orang-orang

    dalam satu grup. Social integration adalah tingkat dimana individu

    berpartisipasi dalam jaringan yang luas dari suatu hubungan sosial (Brissette et

    al., 2000). Model dukungan sosial ini mengukur seberapa banyak peran yang

    individu miliki dalam lingkungan atau tingkat dimana individu aktif dalam

    berbagai aktivitas.

    b. Received social support.

    Received social support melihat pada apa yang seseorang peroleh dari

    orang lain. Dalam received social support, dukungan sosial diartikan sebagai

    tindakan spesifik dari orang lain yang dapat dilihat sebagai salah satu

    dukungan yang diperankan, yang fokusnya terletak pada tindakan yang orang

  • 36

    lain tunjukkan pada seseorang. Model dukungan sosial ini menilai jumlah dari

    dukungan sosial yang diterima dalam suatu periode waktu (Sanderson, 2004).

    c. Perceived social support

    Perceived social support merupakan model dukungan sosial yang

    memfokuskan pada dukungan yang diyakini seseorang ada apabila ia

    membutuhkannya. Dari ketiga model dukungan sosial, perceived social

    support adalah model dukungan sosial yang paling erat hubungannya dengan

    kesehatan.

    Pada penelitian ini, model dukungan sosial yang digunakan oleh peneliti

    adalah perceived social support.

    2. Pengertian Perceived Social Support

    Menurut Wills dan Shinar (2000: 87), perceived social support atau

    available support atau functional support adalah supportive functions that are

    perceived to be available if needed. Perceived social support adalah fungsi-

    fungsi dukungan yang dirasakan ada apabila dibutukan.

    Menurut Manne (2003: 59), perceived social support adalah perception

    that specifics types of social support would be available if needed. Perceived

    social support adalah persepsi bahwa tipe-tipe tertentu dari dukungan sosial akan

    tersedia apabila dibutuhkan.

    Menurut Lakey dan Cohen (2000: 35), Measures of perceived support

    ask respondents to make evaluations of the quality or availability of different

    types of support. Menurut mereka, mengukur dukungan yang dirasakan berarti

  • 37

    meminta responden untuk membuat penilaian terhadap kualitas atau keberadaan

    tipe-tipe dukungan.

    Menurut Sarason et al. (Lakey dan Cohen, 2000: 32), perceived social

    support adalah subjective and global evaluations of social suppport quality or

    availability. Perceived social support adalah evaluasi subjektif dan menyeluruh

    dari kualitas atau keberadaan dukungan sosial.

    Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perceived

    social support adalah evaluasi subjektif dan menyeluruh mengenai kualitas atau

    keberadaan tipe-tipe dukungan sosial tertentu yang diterima manakala dibutuhkan.

    3. Sumber Perceived Social Support

    Sumber dukungan sosial adalah orang lain yang berinteraksi dengan

    individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamana fisik dan

    psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, keluarga, teman, kerabat,

    teman kerja, dokter, maupun komunitas dalam suatu organisasi (Sarafino, 1990).

    Keluarga dapat menjadi sumber dukungan utama bagi seseorang dalam

    menghadapi permasalahan dan situasi yang buruk. Hawari (2004) mengemukakan

    pentingnya peranan keluarga ketika keluarga mengetahui bahwa salah satu

    anggotanya menderita penyakit kronis, seperti kanker. Pada umumnya, pihak

    keluarga tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan dalam menghadapi

    penderitaan ini. Pihak keluarga yang penuh pengertian dan kooperatif dengan

    pihak perawatan serta memberikan dorongan moril penuh kepada penderita akan

    banyak membantu dalam penatalaksanaan penderita kanker. Penatalaksanaan

  • 38

    yang dimaksud disini adalah berbagai upaya pendekatan holistik yang meliputi

    terapi fisik, psikologis, sosial dan agama untuk menangani penderita kanker

    (WHO dalam Hawari, 2004).

    4. Tipe-tipe Perceived Social Support

    Berikut ini adalah tipe-tipe perceived social support menurut Cutrona dan

    Russell (1990).

    a. Emotional support (dukungan emosional).

    Emotional support yaitu adanya orang yang mampu mengubah

    seseorang menjadi nyaman dan merasa aman ketika mengalami masalah,

    mengarahkan seseorang untuk merasa bahwa ia diperhatikan.

    Dukungan ini termasuk adanya orang yang dapat mendengarkan

    secara simpati ketika individu memiliki masalah dan dapat menyediakan

    tanda-tanda kepedulian dan penerimaan (Wills dan Shinar, 2000).

    Dukungan ini menyediakan rasa nyaman, penentraman hati, dan rasa

    dicintai pada saat seseorang mengalami stres (Cohen & McKay, Cutrona

    & Russell, House, Schaefer et al., Wills dalam Sarafino, 1990). Dukungan

    ini bermanfaat untuk mengubah penilaian ancaman terhadap peristiwa

    hidup, mengurangi kecemasan dan depresi (Wills dan Shinar, 2000).

    Dukungan emosional, seperti adanya orang yang mendengarkan,

    mengekspresikan perhatian, dan mendorong pasien untuk berbicara, secara

    konsisten ditemukan bermanfaat bagi orang untuk mengatasi penyakit

    kronisnya. Berbicara secara sederhana kepada orang lain dapat membantu

  • 39

    mengurangi stres, bahkan jika orang-orang tersebut tidak dapat membantu

    memperbaiki atau memecahkan masalah (Sanderson, 2004). Dalam

    literatur lain emotional support disebut juga dengan attachment, intimacy.

    b. Network support (dukungan jaringan).

    Network support yaitu adanya orang yang membuat seseorang merasa

    menjadi bagian dari suatu kelompok dimana anggotanya memiliki

    perhatian atau kepentingan yang sama atau ketersediaan orang yang

    bersama mereka seseorang dapat berpartisipasi dalam aktivitas sosial atau

    kegiatan rekreasi.

    Dukungan ini menghasilkan afek positif, menyediakan kebebasan dan

    penyembuhan dari tuntutan-tuntutan, memberikan pengalihan positif dari

    masalah-masalah yang tengah direnungi (Wills dan Shinar, 2000).

    Ketiadaan dukungan ini, seperti yang disediakan dari pernikahan atau

    persahabatan, kemungkinan besar mengarahkan seseorang pada kesepian,

    dimana pada gilirannya hal ini berhubungan dengan distres, depresi, gejala

    fisik yang negatif (Sanderson, 2004). Dalam literatur lain network support

    disebut juga dengan belongingness support, companionship support.

    c. Esteem support (dukungan penghargaan).

    Esteem support yaitu adanya orang yang mendorong perasaan

    seseorang terhadap kemampuan atau harga dirinya. Contoh dukungan ini

    adalah memberikan umpan balik positif terhadap keahlian dan kemampuan

    seseorang atau mengungkapkan keyakinan bahwa seseorang mampu atau

    sanggup mengatasi kejadian yang penuh tekanan.

  • 40

    Dukungan ini memberikan ekspresi penghargaan positif untuk

    seseorang, dorongan atau persetujuan atas gagasan maupun perasaan

    seseorang, dan perbandingan positif seseorang tersebut dengan orang

    lainnya, seperti orang lain yang keadaannya lebih buruk (Smet, 1994).

    Dukungan ini membangun rasa keberhargaan diri seseorang, membuat

    seseorang tersebut merasa mampu dan bernilai. Dukungan penghargaan

    sangat berguna pada waktu penilaian situasi stres, seperti ketika seseorang

    menilai apakah tuntuntan-tuntutan yang ada melebihi kemampuannya

    (Cohen & McKay, Cutrona & Russell, House, Schaefer et al., Wills dalam

    Sarafino, 1990). Dalam literatur lain esteem support disebut juga dengan

    validational.

    d. Instrumental support (dukungan instrumental).

    Instrumental support yaitu adanya orang yang memberikan bantuan

    nyata (materi atau jasa) ketika seseorang berada dalam situasi stres untuk

    mengatasi masalahnya.

    Dukungan ini bermanfaat untuk mengatasi masalah praktis,

    meningkatkan waktu untuk beristirahat, dan usaha mengatasi masalah

    lainnya (Wills dan Shinar, 2000). Dukungan instrumental, seperti

    membantu tugas/pekerjaan, transportasi, dan bantuan merawat anak,

    sangat berguna, terutama apabila bantuan tersebut disediakan oleh anggota

    keluarga. Dukungan ini terutama paling bermanfaat bagi orang yang

    memiliki prognosis buruk mengenai kesembuhannya, karena mereka

    memiliki masalah yang lebih besar dalam mengelola tugas-tugas

  • 41

    praktisnya (Sanderson, 2004). Dalam literatur lain instrumental support

    disebut juga dengan tangible support, practical support, behavioral

    assistance, material aid.

    e. Informational support (dukungan informasional).

    Informational support adanya orang yang memberikan nasehat atau

    bimbingan mengenai solusi yang tepat terhadap masalah yang dihadapi.

    Dukungan ini mencakup nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik

    tentang apa yang harus dilakukan seseorang (Cohen & McKay, Cutrona &

    Russell, House, Schaefer et al., Wills dalam Sarafino, 1990). Dukungan ini

    bermanfaat untuk meningkatkan jumlah ketersediaan informasi yang

    berguna bagi seseorang, membantu memperoleh pelayanan yang

    dibutuhkan, mendorong ke arah coping yang lebih efektif. Dalam literatur

    lain instrumental support disebut juga dengan appraisal support.

    5. Peran Perceived Social Support

    Sejumlah penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya berbagai

    dampak positif dari dukungan sosial terhadap kesehatan, keadaan sakit (illness),

    kesejahteraan (well-being), dan stres. Penelitian mengenai dukungan sosial

    memfokuskan pengaruh dukungan sosial pada stres sebagai variabel penengah

    dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Cohen et al. (2000: 11)

    mengemukakan dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial

    mempengaruhi kesehatan, yaitu sebagai berikut:

  • 42

    a. Model efek langsung (main effect model).

    Model ini mengemukakan bahwa dukungan sosial bermanfaat bagi

    kesehatan dan kesejahteraan tanpa tergantung dengan apakah seseorang

    berada dalam situasi stres atau tidak.

    b. Model pelindung stres (stress-buffering model)

    Model ini mengemukakan bahwa dukungan sosial berhubungan

    dengan kesehatan terutama pada seseorang yang berada dalam kondisi

    stres. Smet (1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial mempengaruhi

    kesehatan dengan melindungi orang itu terhadap efek negatif stres yang

    berat. Efek pelindung (buffer) bekerja dengan dua cara. Pertama, orang-

    orang dengan dukungan sosial tinggi mungkin kurang memaknai situasi

    penuh stres karena mereka tahu bahwa mungkin akan ada orang lain yang

    dapat membantunya. Kedua, orang-orang dengan dukungan sosial yang

    tinggi akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres, seperti pergi

    menemui seorang teman atau keluarga atau pasangan untuk membicarakan

    masalah tersebut.

    Cohen et al. (2000) menjelaskan bahwa perceived social support paling

    sering ditemukan bertindak sebagai pelindung stres (stress-buffering). Mekanisme

    bagaimana perceived social support bertindak sebagai pelindung stres (stress-

    buffering) dijelaskan oleh Cohen et al. (2000: 14). Menurut model ini, dukungan

    bekerja dengan cara mencegah respon-respon terhadap kejadian penuh tekanan

    yang bertentangan dengan kesehatan. Pertama, keyakinan bahwa orang lain akan

    menyediakan dukungan yang dibutuhkan dapat menetapkan ulang potensi atas

  • 43

    gangguan yang diberikan oleh situasi dan mendorong kemampuan yang dirasakan

    seseorang untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengganggu, dengan demikian

    mencegah situasi tertentu dinilai sebagai sesuatu yang sangat menekan. Kedua,

    keyakinan-keyakinan terhadap dukungan dapat mengurangi atau melenyapkan

    reaksi afektif terhadap kejadian penuh tekanan, mengurangi respon fisiologis

    terhadap kejadian, atau mencegah maupun mengubah respon-respon perilaku

    maladaptif. Dukungan sosial dapat melindungi seseorang dari efek stres dengan

    cara mengubah respon seseorang terhadap stresor setelah mereka menilai situasi

    sebagai tekanan (Sarafino, 1990).

    Dukungan sosial tidak selalu mengurangi stres dan menguntungkan

    kesehatan. Untuk satu hal, walaupun dukungan mungkin telah diberikan atau

    tersedia untuk seseorang, seseorang mungkin tidak merasakan hal tersebut sebagai

    dukungan. Hal ini dapat terjadi karena seseorang tersebut tidak menginginkan

    bantuan atau mungkin seseorang tersebut terlalu putus asa secara emosional untuk

    melihat bantuan. Ketika kita tidak merasakan bantuan sebagai sesuatu yang

    mendukung, hal tersebut kemungkinan besar sedikit mengurangi stres seseorang

    (Sarafino, 1990). Hal yang sama juga dijelaskan oleh Pearlin (1987) bahwa

    Terdapat satu alasan utama mengapa dukungan tidak selalu membantu, tetapi

    justru adakalanya gagal, yaitu apa yang diberikan bukan apa yang diinginkan atau

    tipe dukungan yang seseorang terima mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan

    dimana stresor dihasilkan.

  • 44

    C. Kanker Payudara

    1. Pengertian Kanker Payudara

    Kanker payudara (carcinoma mammae) adalah sebuah tumor ganas yang

    tumbuh dalam jaringan payudara, yaitu dalam kelenjar susu, jaringan lemak,

    maupun jaringan ikat payudara (Suryaningsih & Sukaca, 2009). Kanker ini

    memang tidak tumbuh dengan cepat namun berbahaya. Pada awalnya sel kanker

    pada payudara bersembunyi dalam tubuh dan hanya tumbuh sebesar 1 cm, selama

    kurun waktu 8-12 tahun. Sel tersebut dapat menyebar melalui aliran darah ke

    seluruh tubuh. Dalam catatan World Health Organization (WHO), kanker

    payudara masuk ke dalam International Classification of Diseases (ICD) dengan

    kode nomor 17.

    2. Gejala-gejala Umum Kanker Payudara

    Suryaningsih & Sukaca (2009: 35) menjelaskan gejala-gejala umum yang

    dapat dirasakan pada penderita kanker payudara adalah sebagai berikut:

    a. Timbul benjolan.

    Benjolan pada payudara dapat diraba dengan tangan. Semakin lama

    benjolan ini semakin mengeras dan bentuknya tidak beraturan. Gejala

    awalnya dapat dirasakan berbeda dari payudara sekitarnya serta terkadang

    menimbulkan nyeri dan memiliki pinggiran yang tidak teratur.

    b. Bentuk dan ukuran atau berat salah satu payudara berubah.

    c. Pada awal stadium, benjolan jika didorong dengan menggunakan jari

    maka benjolan tersebut dapat digerakkan dengan mudah oleh kulit.

  • 45

    Pada stadium lanjut, benjolan biasanya melekat pada dinding dada dan

    kulit sekitarnya sehingga bisa menyebabkan pembengkakan pada kulit

    dan terdapat borok di kulit payudara.

    d. Timbul benjolan kecil di bawah ketiak.

    e. Keluar darah, nanah atau cairan encer dari puting payudara. Biasanya

    keluar cairan yang tidak normal dari puting yang berwarna kuning,

    hijau, berdarah, maupun bernanah. Terdapat perubahan pada warna

    atau tekstur kulit payudara, kulit di sekitar puting bersisik, puting

    tertarik ke dalam atau terasa gatal, nyeri payudara atau pembengkakan

    salah satu payudara, bentuk dan arah puting juga berubah.

    f. Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk.

    g. Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat badan,

    dan pembengkakan lengan.

    3. Stadium Kanker Payudara

    Stadium dalam kanker merupakan sebuah deskripsi mengenai kondisi

    kanker payudara yaitu dimana letaknya, penyebarannya, dan sejauh mana

    pengaruhnya terhadap organ tubuh lain (Suyaningsih & Sukaca, 2009). Pada

    penderita kanker payudara ada stadium dini dan stadium lanjut. Stadium dini

    adalah stadium dari masa sebelum adanya kanker hingga stadium dua, sedangkan

    stadium lanjut sudah berada pada stadium tiga dan empat.

    Berikut ini adalah penjelasan mengenai stadium penderita kanker payudara

    dari stadium satu hingga stadium empat (Suyaningsih & Sukaca, 2009: 36).

  • 46

    a. Stadium 0

    Pada tahap stadium 0, kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh

    atau saluran payudara dan kelenjar-kelenjar susu pada payudara. Tingkat

    bertahan hidup pada stadium ini adalah sekitar 90%.

    b. Stadium I

    Pada tahap stadium I, ukuran tumor masih sangat kecil dengan, tidak

    menyebar, dan tidak ada titik pada pembuluh getah bening. Tingkat

    bertahan hidup pada stadium ini adalah sekitar 70%.

    c. Stadium II A

    Pada tahap stadium II A, benjolan kanker berukuran dua sentimeter

    sehingga tidak dapat terdeteksi dari luar. Pada stadium ini, kanker masih

    bisa ditemukan di sekitar titik-titik saluran getah bening di ketiak. Tingkat

    bertahan hidup pada stadium II adalah sekitar 60%.

    d. Stadium II B

    Pada tahap stadium II B, diameter tumor berukuran dua hingga lima

    sentimeter dengan penyebaran sudah sampai ke kelenjar susu dan daerah

    ketiak.

    e. Stadium III A

    Pada tahap stadium III A, kanker payudara telah 87% menyebar ke

    daerah limfa. Diamaeter tumor dapat berukuran lebih dari lima sentimeter

    dan menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening ketiak. Tingkat

    bertahan hidup pada stadium III adalah sekitar 40%.

  • 47

    f. Stadium III B

    Pada tahap stadium III B, tumor berukuran berapa saja dan telah

    menyebar ke seluruh payudara. Tumor telah menyebar ke seluruh kulit

    dinding dada, tulang rusuk, dan otot dada. Hal ini dapat menyebabkan

    pembengkakan dan luka bernanah di payudara.

    g. Stadium III C

    Pada tahap stadium III C, tumor berukuran berapa saja dan telah

    menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening. Kanker telah

    menyebar lebih dari 10 titik di saluran getah bening di bawah tulang

    selangka.

    h. Stadium IV

    Pada tahap stadium IV, tumor berukuran berapa saja dan telah

    menjalar ke bagian tubuh lain. Kanker telah menyebar dari payudara dan

    kelenjar getah bening di sekitar ketiak ke bagian lain, seperti paru-paru,

    tulang, hati, dan otak. Tingkat bertahan hidup pada stadium III adalah

    sekitar 20%.

    4. Pengobatan Kanker Payudara

    Berikut ini adalah jenis-jenis pengobatan medis yang dilakukan wanita

    untuk mengobati kanker payudara (Suyaningsih & Sukaca, 2009).

  • 48

    a. Pembedahan

    Operasi atau pembedahan dapat dilakukan dengan cara lumpektomi

    dan mastektomi. Lumpektomi adalah operasi pengangkatan tumor bersama

    jaringan normal payudara di sekitarnya. Mastektomi merupakan

    pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat payudara..

    b. Terapi Radiasi

    Terapi radiasi adalah pengobatan menggunakan sinar-X berenergi

    tinggi atau partikel lain untuk membunuh sel kanker.

    c. Kemoterapi

    Kemoterapi adalah penggunaan obat untuk mengobati penyakit

    apapun, khususnya kanker, dengan cara mengalirkan obat melewati

    pembuluh tubuh. Targetnya adalah seluruh kanker yang ada di seluruh

    tubuh. Efek samping dari pengobatan ini adalah rambut rontok,

    kemungkinan resiko infeksi (sariawan pada mulut, tenggorokan susah

    menelan karena infeksi jamur), kuku dan kulit menghitam dan kadang

    kering, mual dan muntah, rasa ngilu pada tulang-tulang, hilang nafsu

    makan, diare maupun susah buang air besar, asam lambung naik.

    d. Terapi Hormon

    Terapi hormon adalah pemberian obat khusus untuk menghalangi

    hormon-hormon yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tumor.

  • 49

    5. Dampak Penyakit Kanker Payudara pada Penderita

    Purnawan (2009) mengatakan ada beberapa dampak pada penderita kanker

    payudara atas penyakitnya yaitu:

    a. Perilaku dan emosi klien.

    Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda, tergantung pada

    sumber penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya dan

    lain-lain. Penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya, dapat

    menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti:

    anxiety, shock, penolakan, marah, dan menarik diri.

    b. Peran keluarga.

    Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari

    nafkah, seorang profesional, atau sebagai orang tua. Saat mengalami

    penyakit, peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan.

    Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau

    terlihat secara drastis dan berlangsung lama.

    c. Citra tubuh.

    Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap

    penampilan fisiknya. Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan

    dalam penampilan fisiknya dan penderita atau keluarga akan bereaksi

    dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut. Reaksi

    penderita atau keluarga terhadap perubahan gambaran tubuh tersebut

    tergantung pada: jenis perubahan (misalnya organ tertentu), kapasitas

    adaptasi, kecepatan perubahan, dan dukungan yang tersedia (misalnya

  • 50

    keluarga, teman, dan lainnya). Ogden (2007) juga mengemukakan bahwa

    wanita yang mengalami penyakit kanker payudara sering melaporkan

    adanya perubahan pada rasa kewanitaan, daya tarik, dan citra tubuh.

    d. Konsep diri.

    Konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri,

    mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahan pada

    seluruh aspek kepribadiannya. Konsep diri tidak hanya bergantung pada

    gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya, tetapi juga bergantung pada

    aspek psikologis dan spiritual diri.

    Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan

    anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep

    diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi harapan

    keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik.

    Akibatnya, anggota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien.

    Sutherland dan Orbach (Hawari, 2004) juga mengemukakan bahwa

    setiap organ mempunyai arti psikologis tersendiri bagi masing-masing

    individu, oleh karena itu suatu tindakan operatif yang radikal yang

    mengakibatkan hilangnya bagian tubuh, mempunyai nilai psikologis,

    sehingga tidak dapat dihindarkan terjadi pula perubahan-perubahan

    terhadap citra tubuh dan konsep diri pada individu yang bersangkutan.

    e. Dinamika keluarga.

    Dinamika keluarga merupakan proses dimana keluarga melakukan

    fungsi, mengambil keputusan, memberi dukungan kepada anggota

  • 51

    keluarganya, dan melakukan coping terhadap perubahan dan tantangan

    hidup sehari-hari. Jika penyakitnya berkepanjangan, seringkali keluarga

    harus membuat pola fungsi yang baru sehingga dapat menimbulkan stres

    emosional.

    Baradero, dkk. (2008: 26) mengemukakan bahwa ada tiga stresor yang

    disebabkan oleh kanker yaitu ancaman dari penyakit kanker itu sendiri, hilangnya

    bagian tubuh atau ancaman akan hilangnya bagian-bagian dari tubuhnya, dan

    frustrasi dalam memenuhi dorongan biologis karena ketidakmampuan yang

    diakibatkan penyakit kanker atau efek-efek samping dari pengobatan kanker.

    D. Konsep Diri dan Perceived Social Support Wanita yang Mengalami

    Penyakit Kanker Payudara

    Kanker payudara tidak hanya berhubungan dengan fenomena biologis

    semata, melainkan juga berhubungan dengan fenomena psikologis bagi wanita

    yang mengalaminya. Hawari (2004) mengemukakan bahwa setiap organ tubuh

    tidak hanya mempunyai arti dalam pengertian biologis-fungsional bagi

    kelangsungan hidup tubuh, melainkan juga secara bio-psikologis mempunyai arti

    tersendiri. Payudara tidak hanya merupakan organ penyusuan bagi bayi saat

    wanita melahirkan, namun terlebih lagi merupakan organ daya tarik

    (attractiveness), baik bagi wanita maupun pria, dan memainkan peran dalam

    identitas seksual wanita. Oleh karena itu, gangguan atau perubahan pada payudara

    yang disebabkan oleh proses kanker dan pengobatan medis yang dilakukan untuk

  • 52

    mengobati kanker dapat mempengaruhi citra tubuh atau diri fisik penderitanya,

    terutama apabila kanker telah mencapai stadium lanjut.

    Citra tubuh atau diri fisik adalah gambaran yang dimiliki seseorang

    mengenai penampilan fisiknya dan kesan yang ditampilkan pada orang lain

    (Hurlock, 1979). Citra tubuh atau diri fisik merupakan bagian penting dari

    gambaran yang dimiliki seseorang atau yang disebut dengan konsep diri.

    Gambaran seseorang terhadap diri fisiknya mempengaruhi gambaran seseorang

    terhadap diri psikologisnya. Keliat (1998) menjelaskan bahwa seseorang dapat

    merasa tidak cocok atau tidak puas menjalankan perannya dalam kehidupan

    karena adanya transisi peran yang diakibatkan oleh pergeseran dari keadaan sehat

    ke keadaan sakit. Transisi ini dicetuskan oleh kondisi kehilangan bagian tubuh,

    perubahan ukuran bentuk, penampilan, atau fungsi tubuh, serta prosedur medis

    dan keperawatan. Transisi peran sehat-sakit ini menjadi stresor pencetus

    terjadinya perubahan konsep diri pada seseorang. Hal tersebut dapat terjadi pada

    wanita yang mengalami penyakit kanker payudara.

    Doenges et al. (2004), Hawari (2004), dan Keliat (1998) mengemukakan

    bahwa penyakit kanker payudara dapat mempengaruhi konsep diri pada wanita

    yang mengalaminya. Sutherland dan Orbach (Hawari, 2004) menjelaskan bahwa

    suatu tindakan operatif yang radikal, yang mengakibatkan hilangnya bagian tubuh

    akibat menderita kanker payudara, mempunyai nilai psikologis bagi wanita yang

    mengalaminya, sehinggga tidak dapat dihindarkan terjadi pula perubahan-

    perubahan terhadap konsep diri pada diri wanita tersebut.

  • 53

    Hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Hartati (2008) terhadap 33

    wanita penderita kanker payudara di Rumah Sakit Umun Pusat Haji Adam Malik

    Medan menunjukkan bahwa 87,9% penderita memiliki konsep diri negatif dan

    12,1% memiliki konsep diri positif. Penderita yang memiliki konsep diri negatif

    memiliki pandangan negatif terhadap tubuhnya, merasa tidak dapat menjalankan

    perannya sebagai ibu dan istri, dan merasa kanker payudara menghalangi mereka

    dalam bergaul dengan orang-orang di sekelilingnya. Namun, hasil penelitian

    tersebut tidak menggali faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri wanita

    penderita kanker payudara.

    Dalam menghadapi perubahan yang terjadi selama masa sakit, baik dari

    segi fisik maupun psikologis yang diakibatkan oleh proses penyakit dan efek

    pengobatan medis yang dijalani, wanita yang mengalami penyakit kanker

    payudara membutuhkan adanya dukungan sosial. Cutrona dan Russell (1990) dan

    Keliat (1998) menjelaskan bahwa stresor yang harus dihadapi oleh individu yang

    menderita penyakit kronis, seperti kanker, bukan hanya perubahan fisik atau

    penampilannya, melainkan juga masalah biaya, hubungan dengan orang lain, dan

    kehilangan prestasi atau kemampuan diri. Ancaman dari penyakit itu sendiri,

    seperti kekambuhan dan kematian, juga menjadi stresor bagi mereka (Baradero,

    2007). Masalah-masalah tersebut menimbulkan suatu kebutuhan pada diri

    individu yang mengalaminya, yaitu kebutuhan akan adanya dukungan sosial.

    Dukungan sosial dalam pengertian di sini adalah dukungan sosial yang dirasakan

    oleh seseorang atau yang disebut dengan perceived social support.

  • 54

    Cohen et al. (2000) menjelaskan bahwa perceived social support sering

    ditemukan bertindak sebagai pelindung stres (stress-buffering). Dengan stress-

    buffering, keyakinan-keyakinan terhadap dukungan (perceived social support)

    dapat mengurangi atau melenyapkan reaksi afektif terhadap kejadian penuh

    tekanan, mengurangi respon fisiologis terhadap kejadian, atau mencegah maupun

    mengubah respon-respon perilaku maladaptif.

    Dalam konteks penelitian ini, perceived social support dapat mengurangi

    atau melenyapkan reaksi afektif penderita terhadap keadaan-keadaan menekan

    yang terjadi selama mengalami penyakit kanker payudara. Keadaan menekan

    tersebut seperti biaya pengobatan dan perawatan yang mahal, perubahan fisik

    akibat proses penyakit dan efek samping dari pengobatan medis yang dijalani

    (radiasi, kemoterapi, operasi), rasa sakit berkepanjangan selama menjalani

    pengobatan medis, bayangan terhadap kematian, dan lain-lain.

    Beberapa literatur menunjukkan bahwa pentingnya perceived social

    support (dukungan sosial yang dirasakan) pada pasien-pasien dengan penyakit

    kronis. Komproe et al. (Manne, 2003) mengemukakan bahwa dukungan yang

    dirasakan ada ketika dibutuhkan berhubungan dengan tingkat gejala depresi yang

    rendah pada wanita yang menjalani operasi kanker payudara. Alferi et al. (Manne

    2000) mengemukakan bahwa dukungan emosional dari teman-teman dan

    dukungan instrumental dari suami diprediksikan menurunkan tingkat distres pada

    wanita penderita kanker payudara pasca pembedahan.

    Pentingnya perceived social support terhadap konsep diri seseorang juga

    ditekankan oleh Cohen dan McKay (Cohen et al., 1984). Mereka

  • 55

    menghipotesakan bahwa efek menguntungkan dari dukungan sosial sebagian

    besar ditengahi secara kognitif, dalam arti bahwa persepsi dukungan dapat

    mempengaruhi interpretasi seseorang terhadap stresor, pengetahuan tentang

    strategi coping, dan konsep diri. Hipotesa tersebut juga sejalan dengan apa yang

    dikemukakan oleh Pearlin (1987) bahwa dukungan sosial, terutama functional

    support atau perceived social support, merupakan salah satu mediator yang efektif

    dalam mendukung konsep diri seseorang maupun elemen utama dari konsep diri,

    seperti harga diri.