S C5151 0608310 Chapter2 -...

31
10 BAB 2 IHWAL TINDAK TUTUR, STRATEGI MENGKRITIK, PRINSIP KERJA SAMA, DAN PRINSIP KESANTUNAN 2.1 Tindak Tutur Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (Leech,1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi tuturan menurut Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Hurford dan Heasley menambahkan bahwa tuturan adalah “…..the use by particular speaker, on a particular situation, of a piece of languange, such as a sequence of sentences, a single phrase, or event a single word (1983:15). Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti rangkaian kalimat atau sebuah kata oleh seorang penutur tertentu. Tuturan menurut Fros dan Hakes dalam Wayan Resna (1996) juga mengatakan bahwa “you might think of a sentence as that to which was actually said,” Menurut mereka kalimat adalah apa yang penutur hendak katakan sedangkan tuturan merupakan apa yang sebenarnya dikatakan penutur. 2.1.1 Kedudukan Tindak Tutur dalam Pragmatik Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan itu digunakan

Transcript of S C5151 0608310 Chapter2 -...

Page 1: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

10

BAB 2

IHWAL TINDAK TUTUR, STRATEGI MENGKRITIK, PRINSIP KERJA

SAMA, DAN PRINSIP KESANTUNAN

2.1 Tindak Tutur

Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu

tindak verbal (Leech,1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi

tuturan menurut Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai

kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Hurford dan Heasley menambahkan

bahwa tuturan adalah “…..the use by particular speaker, on a particular situation,

of a piece of languange, such as a sequence of sentences, a single phrase, or event

a single word (1983:15). Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa

seperti rangkaian kalimat atau sebuah kata oleh seorang penutur tertentu.

Tuturan menurut Fros dan Hakes dalam Wayan Resna (1996) juga

mengatakan bahwa “you might think of a sentence as that to which was actually

said,” Menurut mereka kalimat adalah apa yang penutur hendak katakan

sedangkan tuturan merupakan apa yang sebenarnya dikatakan penutur.

2.1.1 Kedudukan Tindak Tutur dalam Pragmatik

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa

secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan yang mempelajari struktur

bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan itu digunakan

Page 2: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

11

dalam berkomunikasi. Ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji bahasa

untuk memahami maksud penutur (Wijana, 1996: 1).

Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori

tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak

tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan

fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisif,

dan deklaratif.

2.1.2 Pengertian Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa

yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6)

menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran

itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak

tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana,

bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di

dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di

bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip

kerjasama dan prinsip kesantunan.

Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai

makhluk berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu

berupaya untuk mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui

pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa

lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara

Page 3: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

12

formal (Subyakto, 1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan,

baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat yang

berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan

bersifat formal. Admin (2009)

2.1.3 Jenis Tindak Tutur

Searle di dalam bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of

Language (1969, 23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya

ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak

lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act).

2.1.3.1 Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak

tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh adalah

kalimat (20), (21), dan wacana (22) berikut :

(20) Ikan paus adalah binatang menyusui

(21) Jari tangan jumlahnya lima

(22) Fak. Sastra adakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia. Guna

memberikan pelayanan penggunaan bahasa Indonesia, Fakultas sastra UGM baru-

baru ini menyelenggarakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia. Tampil

sebagai pembicara dalam acara tersebut Drs. R. Suhardi dan Dra. Widya Kirana,

Page 4: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

13

M.A. Sebagai pesertanya antara lain pengajar LBIFL dan staf jurusan Sastra

Indonesia.

Kalimat (21) dan (22) diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk

menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk

mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakan adalah termasuk jenis

binatang apa ikan paus itu, dan berapa jumlah jari tangan. Seperti halnya (20) dan

(21), wacana (22) cenderung diutarakan untuk menginformasikan sesuatu, yakni

kegiatan yang dilakukan oleh Fakultas Sastra UGM, pembicara-pembicara yang

ditampilkan, dan peserta kegiatan itu. Dalam hal ini memang tidak tertutup

kemungkinan terdapatnya daya ilokusi dan perlokusi dalam wacana (22). Akan

tetapi, kadar daya lokusinya jauh lebih dominan atau menonjol.

Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah konsep yang

berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang

sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subyek atau topik dan

predikat atau comment (Nababan, 1987,4). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak

tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasikan karena

pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks

tuturan yang tercakup dalam situasi tutur. Jadi, dari perspektif pragmatik tindak

lokusi sebenarnya tidak atau kurang begitu penting peranannya untuk memahami

tindak tutur (Parker, 1986,15).

Page 5: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

14

2.1.3.2 Tindak Ilokusi

Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau

menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu.

Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak

ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Kalimat (23) sampai dengan

(26) misalnya cenderung tidak hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu,

tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan secara

seksama.

(23) Saya tidak dapat datang

(24) Ada anjing gila

(25) Ujian sudah dekat

(26) Rambutmu sudah panjang

Kalimat (23) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja

merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi

untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. Informasi ketidakhadiran penutur

dalam hal ini kurang begitu penting karena besar kemungkinan lawan tutur sudah

mengetahui hal itu. Kalimat (24) yang biasa ditemui di pintu pagar atau di bagian

depan rumah pemilik anjing tidak hanya berfungsi untuk membawa informasi,

tetapi untuk memberi peringatan. Akan tetapi, bila ditunjukan kepada pencuri,

tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti. Kalimat (25), bila

diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, mungkin berfungsi untuk

memberi peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri. Bila

diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, kalimat (25) ini mungkin

Page 6: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

15

dimaksudkan untuk menasihati agar lawan tutur tidak hanya bepergian

menghabiskan waktu secara sia-sia. Wacana (26), bila diucapkan oleh seorang

laki-laki kepada pacarnya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau

kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya,

atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk

menyuruh atau memerintah agar sang suami memotong rambutnya.

Dari apa yang terurai di atas jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar

diidentifikasikan karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur

dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami

tindak tutur.

2.1.3.3 Tindak Perlokusi

Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai

daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya.

Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan

oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk

mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the

act affecting someone. Untuk jelasnya diperhatikan kalimat (8) sampai dengan

(10) di bawah ini:

(8) Rumahnya jauh

(9) Kemarin saya sangat sibuk

(10) Televisinya 20 inchi

Page 7: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

16

Bila kalimat (8) diutarakan oleh seorang kepada ketua perkumpulan, maka

ilokusinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang

dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Adapun efek

perlokusi yang mungkin diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberikan

tugas kepadanya. Bila kalimat (9) diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat

menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini

merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusi (efek) yang

diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya. Bila kalimat

(29) diutarakan oleh seseorang kepada temannya pada saat akan

diselenggarakannya siaran langsung kejuaraan dunia tinju kelas berat, kalimat ini

tidak hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa ajakan untuk

menonton di tempat temannya, dengan perlokusi lawan tutur menyetujui

ajakannya.

2.1.4 Aspek Situasi Tutur

Aspek situasi tutur, selain konteks meliputi penutur dan lawan tutur,

tujuan tutur, tuturan sebagai kegiatan tindak tutur, dan tuturan sebagai produk

tindak verbal (Leech, 1991:19-21). Terkait dengan aspek tutur penutur dan lawan

tutur ditegaskan bahwa lawan tutur atau petutur adalah orang yang menjadi

sasaran tuturan dari penutur. Lawan tutur harus dibedakan dari penerima tutur

yang bisa saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan,

namun bukan orang yang disapa. Tujuan tuturan tindak lain adalah maksud

penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan

Page 8: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

17

mengucapkan sesuatu. Tuturan itu sendiri dalam kajian pragmatik memang dapat

dipahami sebagai bentuk tindak tutur itu sendiri di samping juga dapat dipahami

sebagai produk suatu tindak tutur.

Dibagian depan sudah diuraikan bahwa pragmatik adalah studi bahasa

yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud

adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan

mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan

mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan

bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur

(speech situational contexts). Konteks situasi tutur, menurutnya mencakup 5

aspek. Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan

sebagai berikut:

1) Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam

Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti

‘pembicara atau penutur’ dan H (hearer) yang dapat diartikan ‘pendengar

atau mitra tutur’. Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan

sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa

ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis.

2) Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis.

Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara

fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar

belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan

Page 9: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

18

mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang

dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.

3) Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan

demikian, karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena

dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu

sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan

tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau

tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda.

Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang

berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau

struktural.

4) Tuturan sebagai bentuk tindakan. Karena pragmatik mempelajari tindak

verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa

yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas

keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu

tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.

5) Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat

dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam

sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan

segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.

Page 10: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

19

2.2 Strategi Mengkritik dalam Tindak Tutur

Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal strategi mengkritik:

2.2.1 Pengertian Strategi Mengkritik

Strategi mengkritik merupakan metode atau cara yang digunakan oleh

narasumber ketika memberi suatu kritikan kepada rekan sesama narasumber yang

lain dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi TV One. Mengkritik dalam konteks

ini berarti memberikan komentar, baik berupa pendapat, saran, masukan maupun

sanggahan kepada seseorang.

Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak semena-mena

mengutarakan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang

absolut. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak semena-mena

mengutarakan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang

berbeda-beda itu. Misalnya tuturan Apakah anda bersedia menyapu lantai itu?

Tidak akan dipilih oleh tuan rumah untuk menyuruh pembantunya. Dia dalam hal

ini akan lebih senang menggunakan Sapulah lantai ini! Yang bentuknya kurang

sopan. Justru pemilihan bentuk yang lebih panjang dalam hal ini akan tidak

mengenakan pembantunya. Hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentuk-

bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter

pragmatik harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan

muka.

Page 11: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

20

2.2.2 Jenis-Jenis Strategi Mengkritik

Ada dua teori yang digunakan sebagai landasan penelitian untuk

membahas mengenai strategi mengkritik, yaitu teori yang kemukakan oleh Brown

dan Levinson, serta teori ‘Hedges’ oleh George Yule. Yang pertama adalah teori

yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1978), karena teori inilah yang

nantinya akan digunakan sebagai instrumen penelitian untuk menganalisis data

yang diperoleh.

Menurut Brown dan Levinson ada lima strategi pelaksanaan untuk tindak

tutur mengkritik, kelima strategi itu dijabarkan sebagai berikut.

1. Melaksanakan tindak tutur secara apa adanya (bold on record) maksudnya,

mengkritik langsung tanpa basa-basi (sok tahu).

Contoh : “Pendapat yang Anda kemukakan tadi tidak benar, karena hal itu

tidak sesuai dengan apa yang pernah saya baca dari salah satu buku.”

2. Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif (on

record with positive politeness) maksudnya, mengajukan kritik dengan

menggunakan basa-basi dalam bentuk pujian atau penyebutan hal-hal yang

baik mengenai orang yang dikritik atau mengenai apa yang telah

dilakukannya.

Contoh: “Apa yang Anda sajikan tadi sudah cukup bagus, hanya saja Anda

masih harus melengkapinya dari beberapa referensi pengarang yang lain.”

3. Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif (on

record with negative politeness) maksudnya, mengajukan kritik dengan

menggunakan basa basi dalam bentuk permintaan maaf terlebih dahulu.

Page 12: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

21

Contoh: “Maaf, apakah Anda bisa mengulangi apa yang Anda katakan tadi?”

4. Melaksanakan tindak tutur secara samar-samar (off record), sehingga “tidak”

terdengar sebagai mengkritik. Mengajukan kritik yang samar-samar, misalnya

dengan mengajukan kritikan dalam bentuk pertanyaan seperti: Benarkah apa

yang Anda katakan tadi?”

5. Mengkritik di dalam hati (ada maksud untuk mengkritik, tetapi karena

berbagai pertimbangan kritikan tidak jadi dilontarkan).

Teori yang kedua dikemukakan oleh George Yule, yaitu teori mengenai

‘pagar ujaran’ yang dikenal dengan istilah teori ‘Hedges’. Yule berpendapat ada

beberapa ungkapan yang sering digunakan oleh seseorang ketika mengkritik. Hal

ini dapat dilihat dalam beberapa contoh kalimat di bawah ini.

1) “Sejauh yang saya tahu, tulisan anda sangat bertentangan dengan kode etik

jurnalistik.”

2) “Saya mungkin telah melakukan kesalahan, tetapi saya melihat anda kurang

teliti dalam menganalisis soal tersebut.”

3) “Saya tidak yakin jika itu benar, karena saya memperoleh informasi yang

akurat mengenai hal tersebut.”

4) “Saya menduga, sesungguhnya ada maksud yang ingin anda sampaikan

dibalik ucapan anda tadi.”

Ungkapan-ungkapan yang terdapat pada kalimat di atas seperti: Sejauh

yang saya tahu (kal 1), Saya mungkin telah melakukan kesalahan (kal 2), Saya

tidak yakin jika itu benar (kal 3), dan (kal 4) Saya menduga, merupakan

ungkapan-ungkapan yang sering digunakan oleh seseorang ketika melontarkan

Page 13: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

22

suatu kritikan. Jadi, Yule tidak menggunakan skala penilaian dalam

mengklasifikasikan tindakan mengkritik seperti halnya Brown dan Levinson,

tetapi lebih mengidentikkannya lewat ungkapan kata-kata yang digunakan

seseorang dibalik ucapannya.

2.3 Prinsip Kerja Sama dalam Tindak Tutur

Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal prinsip kerja sama:

2.3.1 Pengertian Prinsip Kerja Sama

Seperti yang diungkapkan Keith Allan (1986), bertutur adalah kegiatan

yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain, kegiatan

bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu

semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu

atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan

pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar. Berikut gagasan yang disampaikan

Allan (1986) itu selengkapnya “Speaking to others is a social activity, and like

other social activities (e.g. dancing, playing in an orchestra, playing cards or

football) it can only take place if the people involved”. Dijelaskan bahwa agar

proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka

haruslah dapat saling bekerja sama. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa bekerja

sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya, dapat dilakukan

dengan berperilaku sopan kepada pihak lain. Sehubungan dengan itu ia

menyatakan bahwa being cooperative is being polite (mostly). Berperilaku sopan

Page 14: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

23

itu dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan “muka” si mitra tutur di dalam

kegiatan bertutur (paying attention to H’s “face”).

Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik pada peserta tutur,

komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini :

(1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip

kelangsungan (directness). Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan di dalam

Prinsip Kerja Sama Grice (1975). Prinsip Kerja Sama Grice itu seluruhnya

meliputi empat maksim yang satu per satu dapat disebutkan sebagai berikut: (1)

maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3)

maksim relevansi (maxim of relevance), dan (4) maksim pelaksanaan (maxim of

manner).

2.3.2 Jenis-Jenis Prinsip Kerja Sama

Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip

kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan

(conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim

kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim

pelaksanaan (maxim of manner).

2.3.2.1 Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)

Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat

memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin.

Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya

Page 15: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

24

dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang

sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat mengandung informasi yang

sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim

kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan

itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar

maksim kuantitas. Tuturan (62), (63), dan (64), dan tuturan (65) berikut dapat

dipertimbangkan lebih lanjut untuk memperjelas pernyataan ini.

(62) “Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasih!”

(63) “Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan

penuh nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan!”

Informasi Indeksal:

Tuturan 62 dan 63 diutarakan oleh seorang pengelola rumah kos

mahasiswa kepada anaknya yang sedang merasa jengkel karena

perilaku para penghuni kos yang tidak wajar dan bahkan aturan yang

ada.

(64) “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”

(65) “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau

bertanding lagi!”

Informasi Indeksial:

Tuturan 64 dan 65 dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali

kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan

itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu

acara tinju di televisi.

Page 16: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

25

Tuturan (62) dan tuturan (64) dalam contoh di atas merupakan tuturan

yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena

tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami

maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi

seperti ditunjukan pada tuturan (63) dan tuturan (65) justru akan menyebabkan

tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan

maksim ini, tuturan seperti pada (63) dan (65) di atas tidak mendukung atau

bahkan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice.

Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang, tidak dapat

dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya di dalam kultur

masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan maka

semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan

semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

untuk menunjukan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal

tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati Prinsip Kerja Sama Grice.

Tuturan (66), (67), dan tuturan (68) berikut secara berturut-turut menunjukan

perbedaan tingkat kesantunan tuturan sebagai akibat dari perbedaan panjang-

pendeknya tuturan.

(66) “Bawalah koran itu ke tempat lain!”

(67) “Tolong bawalah koran itu ke tempat lain!”

(68) “Silakan koran itu dibawa ke tempat lain dahulu!”

Informasi Indeksial:

Page 17: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

26

Tuturan 66, 67, dan 68 dituturkan oleh seorang Direktur kepada

sekertarisnya di dalam ruangan yang kebetulan mejanya berserakan dengan

koran-koran bekas di atasnya.

2.3.2.2 Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)

Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat

menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur.

Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (69)

dan tuturan (70) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas

pernyataan ini.

(69) “Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”

(70) “Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”

Informasi Indeksial:

Tuturan 69 dan 70 dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di

dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang

sedang berusaha melakukan penyontekan.

Tuturan (70) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara

penutur dengan mitra tutur. Tuturan (69) dikatakan melanggar maksim kualitas

karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang

seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di

dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para

mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.

Page 18: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

27

Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim

menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai

dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi

dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat

tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang

santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan

(71), (72), dan (73) berikut secara berturut-turut berbeda dalam peringkat

kesantunannya dan dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan di atas.

(71) “Pak, minta uangnya untuk besok!”

(72) “Bapak, besok beli bukunya bagaimana?”

(73) “Bapak, besok aku jadi ke Gramedia, bukan?

Informasi Indeksal:

Tuturan 71, 72, dan 73 dituturkan oleh seorang anak yang sedang minta

uang kepada Bapaknya. Tuturan-tuturan tersebut dituturkan dalam

konteks situasi tutur yang berbeda-beda.

2.3.2.3 Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)

Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama

yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat

memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan

itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak

mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan itu

perlu dicermati tuturan (74) berikut.

Page 19: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

28

(74) Sang Hyang Tunggal: “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-

kataku ini dalam hati!”

Semar : “Hamba bersedia, ya Dewa.”

Informasi Indeksal:

Tuturan ini dituturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam

sebuah adegan pewayangan.

Cuplikan pertuturan pada (74) di atas dapat dikatakan mematuhi dan

menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara

lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni “Hamba bersedia,

ya, Dewa,” benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal

yang dituturkan sebelumnya, yakni “namun, sebelum kau pergi, letakanlah kata-

kataku ini dalam hati.” Dengan perkataan lain, tuturan itu patuh dengan maksim

relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Untuk maksud-maksud tertentu,

misalnya untuk menunjukan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim

itu seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Berkenaan dengan hal ini, tuturan (75)

antara seorang direktur dengan sekretarisnya pada contoh berikut dapat

dipertimbangkan.

(75) Direktur : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangan dulu!”

Sekretaris : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”

Informasi Indeksial:

Page 20: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

29

Dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya pada saat

mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat

itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.

Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa

tuturan sang Sekretaris, yakni “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak

memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni “Bawa

sini semua berkasnya akan saya tanda tangan dulu!” Dengan demikian tuturan

(75) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam

pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila

tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu

yang khusus sifatnya.

2.3.2.4 Maksim Pelaksanaan (The Maxim of Manner)

Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara

langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan

hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak

mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan (76) pada contoh

berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.

(76) (+) “Ayo, cepat dibuka!”

(-) “Sebentar dulu, masih dingin.”

Informasi Indeksal:

Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya.

Page 21: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

30

Cuplikan tuturan (76) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah.

Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi

sangat tinggi. Tuturan si penutur (+) yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama

sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si

mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan

kekaburan sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur.

Dapat dikatakan bermacam-macam, karena kata itu dimungkinkan untuk

ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra

tutur (-), yakni “Sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan

cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak

kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa

sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan

melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam

Prinsip Kerja Sama Grice.

Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa

Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang

wajar dan sangat lazim terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan

kebudayaan Jawa, ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan

dalam percakapan keseharian. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan

merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan (77)

berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini.

(77) Anak : “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.”

Ibu : “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”

Page 22: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

31

Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang anak desa yang masih mahasiswa kepada

ibunya pada saat ia meminta uang saku untuk hidup di sebuah rumah

kos di kota. Tuturan itu terjadi pada waktu mereka berdua berada di

dapur sedang memasak bersama.

Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak,

yakni yang berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” Relatif kabur

maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya terutama

ingin memberitahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota,

melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah

sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya.

Seperti telah disampaikan dahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru

kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan,

kekaburan, dan semacamnya. Orang yang terlibat di dalam pertuturan harus dapat

membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan demikian, jelas bahwa

dalam komunikasi yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja

Sama Grice itu seringkali tidak dipatuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar.

2.4 Prinsip Kesantunan dalam Tindak Tutur

Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat

tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan persoalan yang bersifat interpersonal.

Bila sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama

Page 23: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

32

(cooperative principle), sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan

prinsip lain, yakni prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan

memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim

kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim),

maksim kerendahaan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agrement

maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim).

2.4.1 Pengertian Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan,

yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan

orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan

lawan tutur. Sebelum membicarakan lebih jauh keenam maksim kesantunan di

atas ada baiknya terlebih dahulu diterangkan mengenai bentuk-bentuk ujaran yang

digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk-bentuk ujaran

yang dimaksud adalah bentuk ujaran imposif, komisif, ekspresif, dan asertif.

Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan

janji atau penawaran. Ujaran imposif adalah ujaran yang digunakan untuk

menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan

untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap suatu keadaan. Ujaran

asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran yang

diungkapkan.

Page 24: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

33

2.4.2 Janis-jenis Prinsip Kesantunan

Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal prinsip kesantunan:

2.4.2.1 Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Maksim

ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang

lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Leech (1986)

mencontohkan tuturan (69) sampai dengan (72) berikut memiliki tingkat

kesopanan yang berbeda. Tuturan dengan nomor yang lebih kecil memiliki tingkat

kesopanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesopanan dengan

nomor yang lebih besar.

(69) answer the phone!

(70) Will you answer the phone?

(71) Can you answer the phone?

(72) Would you mind answering the phone?

Dalam bahasa Indonesia contoh (73) sampai dengan (77) berikut ini dapat

dipertimbangkan:

(73) Datang ke rumah saya!

(74) Datanglah ke rumah saya!

(75) Silakan (anda) datang ke rumah saya.

(76) Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya.

(77) Kalau tidak keberatan, sudilah (anda) datang ke rumah saya.

Page 25: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

34

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang

semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan

bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya

lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan

dibandingkan dengan kalimat perintah.

Bila di dalam berbicara penutur berusaha memaksimalkan keuntungan

orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan

sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut paradoks pragmatik (pragmatic paradox).

Untuk ini bandingkan (78) yang mematuhi paradoks pragmatik dengan (79) yang

melanggarnya.

(78) + Mari saya bawakan tas anda.

- Jangan, tidak usah.

(79) + Mari saya bawakan tas anda.

- Ini, begitu dong jadi teman.

2.4.2.2 Maksim Penerimaan

Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif.

Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan

kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Ujaran

(80) dan (82) di bawah ini dipandang kurang sopan bila dibandingkan (81) dan

(83) berikut.

(80) Anda harus meminjami Saya mobil.

Page 26: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

35

(81) Saya akan meminjami Anda mobil.

(82) Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang.

(83) Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam.

Tuturan (80) dan (82) dirasa kurang sopan karena penutur berusaha

memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menyusahkan orang lain. Sebaliknya

(81) dan (83) penutur berusaha memaksimalkan kerugian orang lain dengan

memaksimalkan kerugian diri sendiri.

2.4.2.3 Maksim Kemurahan

Berbeda dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan, maksim

kerendahan hati diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan

penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa tidak hanya dalam

menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di

dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan

berprilaku demikian. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan

untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa

tidak hormat kepada orang lain. Untuk jelasnya dapat diperhatikan wacana (84)

dan (85) berikut:

(84) + Permainanmu sangat bagus.

- Tidak saya kira biasa-biasa saja.

(85) + Permintaan anda sangat bagus

- Jelas siapa dulu yang main.

Page 27: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

36

Tokoh (+) dalam (84) dan (85) bersikap sopan karena berusaha memaksimalkan

keuntungan (-) lawan tuturnya. Lawan tuturnya (-) dalam (84) menerapkan

paradoks pragmatik dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri,

sedangkan (-) dalam (85) melanggar paradoks pragmatik dengan berusaha

memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (-) dalam (85) tidak berlaku sopan.

Dengan ketentuan di atas dapat ditentukan secara serta merta bahwa (86) lebih

sopan dibandingkan dengan (87).

(86) Masakanmu sungguh enak

(87) Masakanmu tidak enak

Demikian pula (88) lebih sopan bila dibandingkan dengan (87)

(88) Masakanmu kurang enak

2.4.2.4 Maksim Kerendahan Hati

Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan

asertif. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan

hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan

pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

(89) + They were so kind to us

- Yes they are, weren’t they?

(90) + You were so kind to us

- Yes, I was, wasn’t I.

Wacana (89) mematuhi prinsip kesopanan karena (+) memuji kebaikan pihak lain,

dan respon yang diberikan (-) memuji orang lain yang dibicarakan itu. Wacana

Page 28: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

37

(90) memiliki bagian yang melanggar maksim kesopanan. Tuturan (-) dalam (90)

tidak mematuhi maksim kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat pada diri

sendiri. Dengan ketentuan yang sama dapat diputuskan bahwa (91) mematuhi

maksim kesopanan, dan bagian tuturan (-) dalam (92) melanggarnya.

(91) + Betapa pandainya orang itu.

- Betul, dia memang pandai.

(92) + Kau sangat pandai

- Ya, saya memang pandai.

Agar jawaban (-) dalam (92) terasa sopan, (-) dapat menjawab seperti (93) di

bawah ini sehingga ia terkesan meminimalkan rasa hormat bagi dirinya sendiri:

(93) + Kau sangat pandai.

- Ah tidak, biasa-biasa saja. Itu hanya kebetulan.

2.4.2.5 Maksim Kecocokan

Seperti halnya maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati, maksim

kecocokan juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim

kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan

kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.

Untuk jelaskannya dapat diperhatikan wacana (94) dan (95) berikut:

(94) + Bahasa Inggris sukar, ya?

- Ya

(95) + Bahasa Inggris sukar, ya?

- (Siapa bilang), mudah sekali.

Page 29: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

38

Kontribusi (-) dalam (94) lebih sopan dibandingkan dengan dalam (95) karena

dalam (95) (-) memaksimalkan ketidakcocokannya dengan pernyataan (+). Dalam

hal ini tidak berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau

pernyataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak menyetujui apa yang dinyatakan

oleh lawan tuturnya ia dapat membuat pernyataan yang mengandung

ketidaksetujuan atau ketidakcocokan patrial (patrial agreement), seperti tampak

pada (96) dan (97) berikut ini:

(96) + Bahasa Inggris sukar, ya?

- Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar dipelajari.

(97) + Drama itu bagus, ya?

- Ya, tetapi blocking pemainnya masih banyak kekurangan.

(96) dan (97) terasa lebih sopan daripada (94) karena ketidaksetujuan (-) tidak

dinyatakan secara frontal (total), tetapi secara patrial sehingga tidak terkesan

bahwa ia orang yang sombong.

2.4.2.6 Maksim Kesimpatian

Sebagaimana halnya maksim kecocokan, maksim ini juga diungkapkan

dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan

setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan

rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan

atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur

mendapatkan kesusahan, atau musibah penutur layak turut berduka, atau

mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Wacana (98) dan

Page 30: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

39

(99) sopan karena penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan

rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan ( 98), dan

kedudukan (99):

(98) + Aku lolos di UMPTN, Jon

- Selamat, ya!

(99) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.

- Oh, aku turut berduka cita.

Berbeda dengan (98) dan (99) dan (100) dan (101) berikut tidak mematuhi

maksim kesimpatian karena tuturan (-) memaksimalkan rasa antipati terhadap

kegagalan atau kedudukan yang menimpa (+).

(100) + Aku gagal di UMPTN

- Wah, pintar kamu. Selamat, ya!

(101) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.

- Aku ikut senang Jon.

Dengan penjelasan yang sama, (102) dan (103) lebih sopan dibandingkan dengan

(100) dan (101).

(102) +Aku gagal di UMPTN

- Jangan sedih. Banyak orang seperti kamu.

(103) + Bibi baru-baru ini sudah tiada.

- Ikhlaskan saja, mungkin sudah takdir, Jon.

Dari apa yang terurai di atas dapat diketahui bahwa maksim

kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan dan maksim kerendahan

hati adalah maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale maxim) karena

Page 31: S C5151 0608310 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_c5151_0608310_chapter2(1).pdf · Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi

40

berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain.

Sementara itu, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian adalah maksim yang

berskala satu kutub (unipolar scale maxim) karena berhubungan dengan penilaian

buruk baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Dalam kaitannya

dengan maksim berskala dua kutub, maksim kebijaksanaan dan maksim

kemurahan adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centred maxim),

dan maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang

berpusat pada diri sendiri (self centred maxim).