10
BAB 2
IHWAL TINDAK TUTUR, STRATEGI MENGKRITIK, PRINSIP KERJA
SAMA, DAN PRINSIP KESANTUNAN
2.1 Tindak Tutur
Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu
tindak verbal (Leech,1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi
tuturan menurut Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai
kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Hurford dan Heasley menambahkan
bahwa tuturan adalah “…..the use by particular speaker, on a particular situation,
of a piece of languange, such as a sequence of sentences, a single phrase, or event
a single word (1983:15). Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa
seperti rangkaian kalimat atau sebuah kata oleh seorang penutur tertentu.
Tuturan menurut Fros dan Hakes dalam Wayan Resna (1996) juga
mengatakan bahwa “you might think of a sentence as that to which was actually
said,” Menurut mereka kalimat adalah apa yang penutur hendak katakan
sedangkan tuturan merupakan apa yang sebenarnya dikatakan penutur.
2.1.1 Kedudukan Tindak Tutur dalam Pragmatik
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa
secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan yang mempelajari struktur
bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan itu digunakan
11
dalam berkomunikasi. Ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji bahasa
untuk memahami maksud penutur (Wijana, 1996: 1).
Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori
tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak
tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan
fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisif,
dan deklaratif.
2.1.2 Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa
yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6)
menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran
itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak
tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana,
bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di
dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di
bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip
kerjasama dan prinsip kesantunan.
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai
makhluk berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu
berupaya untuk mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui
pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa
lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara
12
formal (Subyakto, 1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan,
baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat yang
berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan
bersifat formal. Admin (2009)
2.1.3 Jenis Tindak Tutur
Searle di dalam bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of
Language (1969, 23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya
ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak
lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).
2.1.3.1 Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak
tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh adalah
kalimat (20), (21), dan wacana (22) berikut :
(20) Ikan paus adalah binatang menyusui
(21) Jari tangan jumlahnya lima
(22) Fak. Sastra adakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia. Guna
memberikan pelayanan penggunaan bahasa Indonesia, Fakultas sastra UGM baru-
baru ini menyelenggarakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia. Tampil
sebagai pembicara dalam acara tersebut Drs. R. Suhardi dan Dra. Widya Kirana,
13
M.A. Sebagai pesertanya antara lain pengajar LBIFL dan staf jurusan Sastra
Indonesia.
Kalimat (21) dan (22) diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk
mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakan adalah termasuk jenis
binatang apa ikan paus itu, dan berapa jumlah jari tangan. Seperti halnya (20) dan
(21), wacana (22) cenderung diutarakan untuk menginformasikan sesuatu, yakni
kegiatan yang dilakukan oleh Fakultas Sastra UGM, pembicara-pembicara yang
ditampilkan, dan peserta kegiatan itu. Dalam hal ini memang tidak tertutup
kemungkinan terdapatnya daya ilokusi dan perlokusi dalam wacana (22). Akan
tetapi, kadar daya lokusinya jauh lebih dominan atau menonjol.
Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah konsep yang
berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang
sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subyek atau topik dan
predikat atau comment (Nababan, 1987,4). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak
tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasikan karena
pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks
tuturan yang tercakup dalam situasi tutur. Jadi, dari perspektif pragmatik tindak
lokusi sebenarnya tidak atau kurang begitu penting peranannya untuk memahami
tindak tutur (Parker, 1986,15).
14
2.1.3.2 Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak
ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Kalimat (23) sampai dengan
(26) misalnya cenderung tidak hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu,
tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan secara
seksama.
(23) Saya tidak dapat datang
(24) Ada anjing gila
(25) Ujian sudah dekat
(26) Rambutmu sudah panjang
Kalimat (23) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja
merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi
untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. Informasi ketidakhadiran penutur
dalam hal ini kurang begitu penting karena besar kemungkinan lawan tutur sudah
mengetahui hal itu. Kalimat (24) yang biasa ditemui di pintu pagar atau di bagian
depan rumah pemilik anjing tidak hanya berfungsi untuk membawa informasi,
tetapi untuk memberi peringatan. Akan tetapi, bila ditunjukan kepada pencuri,
tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti. Kalimat (25), bila
diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, mungkin berfungsi untuk
memberi peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri. Bila
diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, kalimat (25) ini mungkin
15
dimaksudkan untuk menasihati agar lawan tutur tidak hanya bepergian
menghabiskan waktu secara sia-sia. Wacana (26), bila diucapkan oleh seorang
laki-laki kepada pacarnya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau
kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya,
atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk
menyuruh atau memerintah agar sang suami memotong rambutnya.
Dari apa yang terurai di atas jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar
diidentifikasikan karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur
dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.
Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami
tindak tutur.
2.1.3.3 Tindak Perlokusi
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai
daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya.
Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan
oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the
act affecting someone. Untuk jelasnya diperhatikan kalimat (8) sampai dengan
(10) di bawah ini:
(8) Rumahnya jauh
(9) Kemarin saya sangat sibuk
(10) Televisinya 20 inchi
16
Bila kalimat (8) diutarakan oleh seorang kepada ketua perkumpulan, maka
ilokusinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang
dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Adapun efek
perlokusi yang mungkin diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberikan
tugas kepadanya. Bila kalimat (9) diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat
menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini
merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusi (efek) yang
diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya. Bila kalimat
(29) diutarakan oleh seseorang kepada temannya pada saat akan
diselenggarakannya siaran langsung kejuaraan dunia tinju kelas berat, kalimat ini
tidak hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa ajakan untuk
menonton di tempat temannya, dengan perlokusi lawan tutur menyetujui
ajakannya.
2.1.4 Aspek Situasi Tutur
Aspek situasi tutur, selain konteks meliputi penutur dan lawan tutur,
tujuan tutur, tuturan sebagai kegiatan tindak tutur, dan tuturan sebagai produk
tindak verbal (Leech, 1991:19-21). Terkait dengan aspek tutur penutur dan lawan
tutur ditegaskan bahwa lawan tutur atau petutur adalah orang yang menjadi
sasaran tuturan dari penutur. Lawan tutur harus dibedakan dari penerima tutur
yang bisa saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan,
namun bukan orang yang disapa. Tujuan tuturan tindak lain adalah maksud
penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan
17
mengucapkan sesuatu. Tuturan itu sendiri dalam kajian pragmatik memang dapat
dipahami sebagai bentuk tindak tutur itu sendiri di samping juga dapat dipahami
sebagai produk suatu tindak tutur.
Dibagian depan sudah diuraikan bahwa pragmatik adalah studi bahasa
yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud
adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan
mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan
mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan
bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur
(speech situational contexts). Konteks situasi tutur, menurutnya mencakup 5
aspek. Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam
Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti
‘pembicara atau penutur’ dan H (hearer) yang dapat diartikan ‘pendengar
atau mitra tutur’. Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan
sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa
ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis.
2) Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis.
Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara
fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar
belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan
18
mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang
dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.
3) Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan
demikian, karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu
sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan
tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau
tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda.
Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang
berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau
struktural.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan. Karena pragmatik mempelajari tindak
verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa
yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas
keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu
tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.
5) Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat
dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam
sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan
segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.
19
2.2 Strategi Mengkritik dalam Tindak Tutur
Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal strategi mengkritik:
2.2.1 Pengertian Strategi Mengkritik
Strategi mengkritik merupakan metode atau cara yang digunakan oleh
narasumber ketika memberi suatu kritikan kepada rekan sesama narasumber yang
lain dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi TV One. Mengkritik dalam konteks
ini berarti memberikan komentar, baik berupa pendapat, saran, masukan maupun
sanggahan kepada seseorang.
Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak semena-mena
mengutarakan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang
absolut. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak semena-mena
mengutarakan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang
berbeda-beda itu. Misalnya tuturan Apakah anda bersedia menyapu lantai itu?
Tidak akan dipilih oleh tuan rumah untuk menyuruh pembantunya. Dia dalam hal
ini akan lebih senang menggunakan Sapulah lantai ini! Yang bentuknya kurang
sopan. Justru pemilihan bentuk yang lebih panjang dalam hal ini akan tidak
mengenakan pembantunya. Hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentuk-
bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter
pragmatik harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan
muka.
20
2.2.2 Jenis-Jenis Strategi Mengkritik
Ada dua teori yang digunakan sebagai landasan penelitian untuk
membahas mengenai strategi mengkritik, yaitu teori yang kemukakan oleh Brown
dan Levinson, serta teori ‘Hedges’ oleh George Yule. Yang pertama adalah teori
yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1978), karena teori inilah yang
nantinya akan digunakan sebagai instrumen penelitian untuk menganalisis data
yang diperoleh.
Menurut Brown dan Levinson ada lima strategi pelaksanaan untuk tindak
tutur mengkritik, kelima strategi itu dijabarkan sebagai berikut.
1. Melaksanakan tindak tutur secara apa adanya (bold on record) maksudnya,
mengkritik langsung tanpa basa-basi (sok tahu).
Contoh : “Pendapat yang Anda kemukakan tadi tidak benar, karena hal itu
tidak sesuai dengan apa yang pernah saya baca dari salah satu buku.”
2. Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif (on
record with positive politeness) maksudnya, mengajukan kritik dengan
menggunakan basa-basi dalam bentuk pujian atau penyebutan hal-hal yang
baik mengenai orang yang dikritik atau mengenai apa yang telah
dilakukannya.
Contoh: “Apa yang Anda sajikan tadi sudah cukup bagus, hanya saja Anda
masih harus melengkapinya dari beberapa referensi pengarang yang lain.”
3. Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif (on
record with negative politeness) maksudnya, mengajukan kritik dengan
menggunakan basa basi dalam bentuk permintaan maaf terlebih dahulu.
21
Contoh: “Maaf, apakah Anda bisa mengulangi apa yang Anda katakan tadi?”
4. Melaksanakan tindak tutur secara samar-samar (off record), sehingga “tidak”
terdengar sebagai mengkritik. Mengajukan kritik yang samar-samar, misalnya
dengan mengajukan kritikan dalam bentuk pertanyaan seperti: Benarkah apa
yang Anda katakan tadi?”
5. Mengkritik di dalam hati (ada maksud untuk mengkritik, tetapi karena
berbagai pertimbangan kritikan tidak jadi dilontarkan).
Teori yang kedua dikemukakan oleh George Yule, yaitu teori mengenai
‘pagar ujaran’ yang dikenal dengan istilah teori ‘Hedges’. Yule berpendapat ada
beberapa ungkapan yang sering digunakan oleh seseorang ketika mengkritik. Hal
ini dapat dilihat dalam beberapa contoh kalimat di bawah ini.
1) “Sejauh yang saya tahu, tulisan anda sangat bertentangan dengan kode etik
jurnalistik.”
2) “Saya mungkin telah melakukan kesalahan, tetapi saya melihat anda kurang
teliti dalam menganalisis soal tersebut.”
3) “Saya tidak yakin jika itu benar, karena saya memperoleh informasi yang
akurat mengenai hal tersebut.”
4) “Saya menduga, sesungguhnya ada maksud yang ingin anda sampaikan
dibalik ucapan anda tadi.”
Ungkapan-ungkapan yang terdapat pada kalimat di atas seperti: Sejauh
yang saya tahu (kal 1), Saya mungkin telah melakukan kesalahan (kal 2), Saya
tidak yakin jika itu benar (kal 3), dan (kal 4) Saya menduga, merupakan
ungkapan-ungkapan yang sering digunakan oleh seseorang ketika melontarkan
22
suatu kritikan. Jadi, Yule tidak menggunakan skala penilaian dalam
mengklasifikasikan tindakan mengkritik seperti halnya Brown dan Levinson,
tetapi lebih mengidentikkannya lewat ungkapan kata-kata yang digunakan
seseorang dibalik ucapannya.
2.3 Prinsip Kerja Sama dalam Tindak Tutur
Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal prinsip kerja sama:
2.3.1 Pengertian Prinsip Kerja Sama
Seperti yang diungkapkan Keith Allan (1986), bertutur adalah kegiatan
yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain, kegiatan
bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu
semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu
atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan
pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar. Berikut gagasan yang disampaikan
Allan (1986) itu selengkapnya “Speaking to others is a social activity, and like
other social activities (e.g. dancing, playing in an orchestra, playing cards or
football) it can only take place if the people involved”. Dijelaskan bahwa agar
proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka
haruslah dapat saling bekerja sama. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa bekerja
sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya, dapat dilakukan
dengan berperilaku sopan kepada pihak lain. Sehubungan dengan itu ia
menyatakan bahwa being cooperative is being polite (mostly). Berperilaku sopan
23
itu dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan “muka” si mitra tutur di dalam
kegiatan bertutur (paying attention to H’s “face”).
Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik pada peserta tutur,
komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini :
(1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip
kelangsungan (directness). Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan di dalam
Prinsip Kerja Sama Grice (1975). Prinsip Kerja Sama Grice itu seluruhnya
meliputi empat maksim yang satu per satu dapat disebutkan sebagai berikut: (1)
maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3)
maksim relevansi (maxim of relevance), dan (4) maksim pelaksanaan (maxim of
manner).
2.3.2 Jenis-Jenis Prinsip Kerja Sama
Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip
kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan
(conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim
pelaksanaan (maxim of manner).
2.3.2.1 Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat
memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin.
Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya
24
dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang
sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat mengandung informasi yang
sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim
kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan
itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar
maksim kuantitas. Tuturan (62), (63), dan (64), dan tuturan (65) berikut dapat
dipertimbangkan lebih lanjut untuk memperjelas pernyataan ini.
(62) “Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasih!”
(63) “Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan
penuh nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan!”
Informasi Indeksal:
Tuturan 62 dan 63 diutarakan oleh seorang pengelola rumah kos
mahasiswa kepada anaknya yang sedang merasa jengkel karena
perilaku para penghuni kos yang tidak wajar dan bahkan aturan yang
ada.
(64) “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”
(65) “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau
bertanding lagi!”
Informasi Indeksial:
Tuturan 64 dan 65 dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali
kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan
itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu
acara tinju di televisi.
25
Tuturan (62) dan tuturan (64) dalam contoh di atas merupakan tuturan
yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena
tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami
maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi
seperti ditunjukan pada tuturan (63) dan tuturan (65) justru akan menyebabkan
tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan
maksim ini, tuturan seperti pada (63) dan (65) di atas tidak mendukung atau
bahkan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice.
Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang, tidak dapat
dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya di dalam kultur
masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan maka
semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan
semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
untuk menunjukan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal
tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati Prinsip Kerja Sama Grice.
Tuturan (66), (67), dan tuturan (68) berikut secara berturut-turut menunjukan
perbedaan tingkat kesantunan tuturan sebagai akibat dari perbedaan panjang-
pendeknya tuturan.
(66) “Bawalah koran itu ke tempat lain!”
(67) “Tolong bawalah koran itu ke tempat lain!”
(68) “Silakan koran itu dibawa ke tempat lain dahulu!”
Informasi Indeksial:
26
Tuturan 66, 67, dan 68 dituturkan oleh seorang Direktur kepada
sekertarisnya di dalam ruangan yang kebetulan mejanya berserakan dengan
koran-koran bekas di atasnya.
2.3.2.2 Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat
menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur.
Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (69)
dan tuturan (70) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas
pernyataan ini.
(69) “Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
(70) “Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”
Informasi Indeksial:
Tuturan 69 dan 70 dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di
dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang
sedang berusaha melakukan penyontekan.
Tuturan (70) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara
penutur dengan mitra tutur. Tuturan (69) dikatakan melanggar maksim kualitas
karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang
seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di
dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para
mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
27
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim
menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai
dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi
dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat
tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang
santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan
(71), (72), dan (73) berikut secara berturut-turut berbeda dalam peringkat
kesantunannya dan dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan di atas.
(71) “Pak, minta uangnya untuk besok!”
(72) “Bapak, besok beli bukunya bagaimana?”
(73) “Bapak, besok aku jadi ke Gramedia, bukan?
Informasi Indeksal:
Tuturan 71, 72, dan 73 dituturkan oleh seorang anak yang sedang minta
uang kepada Bapaknya. Tuturan-tuturan tersebut dituturkan dalam
konteks situasi tutur yang berbeda-beda.
2.3.2.3 Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat
memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan
itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak
mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan itu
perlu dicermati tuturan (74) berikut.
28
(74) Sang Hyang Tunggal: “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-
kataku ini dalam hati!”
Semar : “Hamba bersedia, ya Dewa.”
Informasi Indeksal:
Tuturan ini dituturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam
sebuah adegan pewayangan.
Cuplikan pertuturan pada (74) di atas dapat dikatakan mematuhi dan
menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara
lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni “Hamba bersedia,
ya, Dewa,” benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal
yang dituturkan sebelumnya, yakni “namun, sebelum kau pergi, letakanlah kata-
kataku ini dalam hati.” Dengan perkataan lain, tuturan itu patuh dengan maksim
relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Untuk maksud-maksud tertentu,
misalnya untuk menunjukan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim
itu seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Berkenaan dengan hal ini, tuturan (75)
antara seorang direktur dengan sekretarisnya pada contoh berikut dapat
dipertimbangkan.
(75) Direktur : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangan dulu!”
Sekretaris : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”
Informasi Indeksial:
29
Dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya pada saat
mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat
itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa
tuturan sang Sekretaris, yakni “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak
memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni “Bawa
sini semua berkasnya akan saya tanda tangan dulu!” Dengan demikian tuturan
(75) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam
pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila
tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu
yang khusus sifatnya.
2.3.2.4 Maksim Pelaksanaan (The Maxim of Manner)
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara
langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan
hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak
mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan (76) pada contoh
berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.
(76) (+) “Ayo, cepat dibuka!”
(-) “Sebentar dulu, masih dingin.”
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya.
30
Cuplikan tuturan (76) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah.
Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi
sangat tinggi. Tuturan si penutur (+) yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama
sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si
mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan
kekaburan sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur.
Dapat dikatakan bermacam-macam, karena kata itu dimungkinkan untuk
ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra
tutur (-), yakni “Sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan
cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak
kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa
sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan
melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam
Prinsip Kerja Sama Grice.
Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa
Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang
wajar dan sangat lazim terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan
kebudayaan Jawa, ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan
dalam percakapan keseharian. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan
merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan (77)
berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini.
(77) Anak : “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.”
Ibu : “Itu sudah saya siapkan di laci meja.”
31
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang anak desa yang masih mahasiswa kepada
ibunya pada saat ia meminta uang saku untuk hidup di sebuah rumah
kos di kota. Tuturan itu terjadi pada waktu mereka berdua berada di
dapur sedang memasak bersama.
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak,
yakni yang berbunyi “Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota.” Relatif kabur
maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya terutama
ingin memberitahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota,
melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah
sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya.
Seperti telah disampaikan dahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru
kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan,
kekaburan, dan semacamnya. Orang yang terlibat di dalam pertuturan harus dapat
membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan demikian, jelas bahwa
dalam komunikasi yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja
Sama Grice itu seringkali tidak dipatuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar.
2.4 Prinsip Kesantunan dalam Tindak Tutur
Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat
tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan persoalan yang bersifat interpersonal.
Bila sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama
32
(cooperative principle), sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan
prinsip lain, yakni prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan
memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim
kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim),
maksim kerendahaan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agrement
maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim).
2.4.1 Pengertian Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan,
yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan
orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan
lawan tutur. Sebelum membicarakan lebih jauh keenam maksim kesantunan di
atas ada baiknya terlebih dahulu diterangkan mengenai bentuk-bentuk ujaran yang
digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk-bentuk ujaran
yang dimaksud adalah bentuk ujaran imposif, komisif, ekspresif, dan asertif.
Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan
janji atau penawaran. Ujaran imposif adalah ujaran yang digunakan untuk
menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan
untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap suatu keadaan. Ujaran
asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran yang
diungkapkan.
33
2.4.2 Janis-jenis Prinsip Kesantunan
Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal prinsip kesantunan:
2.4.2.1 Maksim Kebijaksanaan
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Maksim
ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang
lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Leech (1986)
mencontohkan tuturan (69) sampai dengan (72) berikut memiliki tingkat
kesopanan yang berbeda. Tuturan dengan nomor yang lebih kecil memiliki tingkat
kesopanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesopanan dengan
nomor yang lebih besar.
(69) answer the phone!
(70) Will you answer the phone?
(71) Can you answer the phone?
(72) Would you mind answering the phone?
Dalam bahasa Indonesia contoh (73) sampai dengan (77) berikut ini dapat
dipertimbangkan:
(73) Datang ke rumah saya!
(74) Datanglah ke rumah saya!
(75) Silakan (anda) datang ke rumah saya.
(76) Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya.
(77) Kalau tidak keberatan, sudilah (anda) datang ke rumah saya.
34
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang
semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan
bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya
lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan
dibandingkan dengan kalimat perintah.
Bila di dalam berbicara penutur berusaha memaksimalkan keuntungan
orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan
sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut paradoks pragmatik (pragmatic paradox).
Untuk ini bandingkan (78) yang mematuhi paradoks pragmatik dengan (79) yang
melanggarnya.
(78) + Mari saya bawakan tas anda.
- Jangan, tidak usah.
(79) + Mari saya bawakan tas anda.
- Ini, begitu dong jadi teman.
2.4.2.2 Maksim Penerimaan
Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif.
Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan
kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Ujaran
(80) dan (82) di bawah ini dipandang kurang sopan bila dibandingkan (81) dan
(83) berikut.
(80) Anda harus meminjami Saya mobil.
35
(81) Saya akan meminjami Anda mobil.
(82) Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang.
(83) Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
Tuturan (80) dan (82) dirasa kurang sopan karena penutur berusaha
memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menyusahkan orang lain. Sebaliknya
(81) dan (83) penutur berusaha memaksimalkan kerugian orang lain dengan
memaksimalkan kerugian diri sendiri.
2.4.2.3 Maksim Kemurahan
Berbeda dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan, maksim
kerendahan hati diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan
penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa tidak hanya dalam
menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di
dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan
berprilaku demikian. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan
untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa
tidak hormat kepada orang lain. Untuk jelasnya dapat diperhatikan wacana (84)
dan (85) berikut:
(84) + Permainanmu sangat bagus.
- Tidak saya kira biasa-biasa saja.
(85) + Permintaan anda sangat bagus
- Jelas siapa dulu yang main.
36
Tokoh (+) dalam (84) dan (85) bersikap sopan karena berusaha memaksimalkan
keuntungan (-) lawan tuturnya. Lawan tuturnya (-) dalam (84) menerapkan
paradoks pragmatik dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri,
sedangkan (-) dalam (85) melanggar paradoks pragmatik dengan berusaha
memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (-) dalam (85) tidak berlaku sopan.
Dengan ketentuan di atas dapat ditentukan secara serta merta bahwa (86) lebih
sopan dibandingkan dengan (87).
(86) Masakanmu sungguh enak
(87) Masakanmu tidak enak
Demikian pula (88) lebih sopan bila dibandingkan dengan (87)
(88) Masakanmu kurang enak
2.4.2.4 Maksim Kerendahan Hati
Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan
asertif. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan
hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan
pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
(89) + They were so kind to us
- Yes they are, weren’t they?
(90) + You were so kind to us
- Yes, I was, wasn’t I.
Wacana (89) mematuhi prinsip kesopanan karena (+) memuji kebaikan pihak lain,
dan respon yang diberikan (-) memuji orang lain yang dibicarakan itu. Wacana
37
(90) memiliki bagian yang melanggar maksim kesopanan. Tuturan (-) dalam (90)
tidak mematuhi maksim kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat pada diri
sendiri. Dengan ketentuan yang sama dapat diputuskan bahwa (91) mematuhi
maksim kesopanan, dan bagian tuturan (-) dalam (92) melanggarnya.
(91) + Betapa pandainya orang itu.
- Betul, dia memang pandai.
(92) + Kau sangat pandai
- Ya, saya memang pandai.
Agar jawaban (-) dalam (92) terasa sopan, (-) dapat menjawab seperti (93) di
bawah ini sehingga ia terkesan meminimalkan rasa hormat bagi dirinya sendiri:
(93) + Kau sangat pandai.
- Ah tidak, biasa-biasa saja. Itu hanya kebetulan.
2.4.2.5 Maksim Kecocokan
Seperti halnya maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati, maksim
kecocokan juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim
kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan
kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
Untuk jelaskannya dapat diperhatikan wacana (94) dan (95) berikut:
(94) + Bahasa Inggris sukar, ya?
- Ya
(95) + Bahasa Inggris sukar, ya?
- (Siapa bilang), mudah sekali.
38
Kontribusi (-) dalam (94) lebih sopan dibandingkan dengan dalam (95) karena
dalam (95) (-) memaksimalkan ketidakcocokannya dengan pernyataan (+). Dalam
hal ini tidak berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau
pernyataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak menyetujui apa yang dinyatakan
oleh lawan tuturnya ia dapat membuat pernyataan yang mengandung
ketidaksetujuan atau ketidakcocokan patrial (patrial agreement), seperti tampak
pada (96) dan (97) berikut ini:
(96) + Bahasa Inggris sukar, ya?
- Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar dipelajari.
(97) + Drama itu bagus, ya?
- Ya, tetapi blocking pemainnya masih banyak kekurangan.
(96) dan (97) terasa lebih sopan daripada (94) karena ketidaksetujuan (-) tidak
dinyatakan secara frontal (total), tetapi secara patrial sehingga tidak terkesan
bahwa ia orang yang sombong.
2.4.2.6 Maksim Kesimpatian
Sebagaimana halnya maksim kecocokan, maksim ini juga diungkapkan
dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan
setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan
rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan
atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur
mendapatkan kesusahan, atau musibah penutur layak turut berduka, atau
mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Wacana (98) dan
39
(99) sopan karena penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan
rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan ( 98), dan
kedudukan (99):
(98) + Aku lolos di UMPTN, Jon
- Selamat, ya!
(99) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.
- Oh, aku turut berduka cita.
Berbeda dengan (98) dan (99) dan (100) dan (101) berikut tidak mematuhi
maksim kesimpatian karena tuturan (-) memaksimalkan rasa antipati terhadap
kegagalan atau kedudukan yang menimpa (+).
(100) + Aku gagal di UMPTN
- Wah, pintar kamu. Selamat, ya!
(101) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.
- Aku ikut senang Jon.
Dengan penjelasan yang sama, (102) dan (103) lebih sopan dibandingkan dengan
(100) dan (101).
(102) +Aku gagal di UMPTN
- Jangan sedih. Banyak orang seperti kamu.
(103) + Bibi baru-baru ini sudah tiada.
- Ikhlaskan saja, mungkin sudah takdir, Jon.
Dari apa yang terurai di atas dapat diketahui bahwa maksim
kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan dan maksim kerendahan
hati adalah maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale maxim) karena
40
berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain.
Sementara itu, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian adalah maksim yang
berskala satu kutub (unipolar scale maxim) karena berhubungan dengan penilaian
buruk baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Dalam kaitannya
dengan maksim berskala dua kutub, maksim kebijaksanaan dan maksim
kemurahan adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centred maxim),
dan maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang
berpusat pada diri sendiri (self centred maxim).
Top Related