Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan...
Transcript of Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan...
Bidang Unggulan : Ekonomi
Pembangunan
Pariwisata
LAPORAN HASIL PENELITIAN UNGGULAN
Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis
Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka
Pemerataan Pendapatan
TIM PENELITI
Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, SE, Msi
NIDN : 0022115407
Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME
NIDN : 0018066801
Drs I Ketut Sutrisna, MSi
NIDN : 0011125708
Jurusan Studi Pembangunan FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2014
ABSTRAK
Arah perkembangan perekonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental
perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat
dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis
dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya
saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di daerah Bali.
World Travel Tourism Council (2011) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar
penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat
sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah
mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2010.
Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi
terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan
masyarakat, sehingga dengan sendirinya berpotensi menciptakan permintaan pasar pariwisata
(Loandse dan Debbage, 2004). Pemerataan pembangunan pariwisata di Bali dengan
membangun bandara internasional di wilayah Bali utara, adalah upaya mendekatkan destinasi
pariwisata Bali utara melalui pengadaan sarana transportasi udara.
Penelitian ini melakukan penelitian persepsi dengan mengembangkan community-based
tourism (CBT) sebagai strategi pembengan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat
di Bali utara. Penelitian melakukan konstruksi model berdasarkan referensi teoritik yang
membentuk CBT dimaksud. Sejumlah variabel antara lain Infras (X1), Commitment (X2),
Modal social Network (X3), kebijakan pemerintah (X4), Kolaborasi (Y1) serta destinasi
wisata CBT (Y2).
Berdasarkan penggunaan analisis SEM dan path variance-based PLS, diperoleh hasil
analisis bahwa modal social ternyata merupakan asset strategis masyarakat yang mampu
diangkat sebagai kekuatan baru dalam mengembangkan destinasi wisata berbasis
kepemilikan rakyat. Kebijakan pemerintah (X4), Commitment (X2) dan Modal social (X3)
adalah signifikan terhadap pembentukan kolaborasi (Y1), sedangkan kolaborasi (Y1)
berpengaruh secara langsung membentuk destinasi wisata berbasis masyarakat.
Melalui penggunaan second order procedure pada SmartPls, diperoleh dukungan bahwa
komponen modal social linkage (Z1), trust (Z2) dan norma (Z3) memiliki kontribusi yang
seimbang dalam membentuk laten variabel Network (X3). Hasil penelitian dengan
menelusuri peran intermediasi antar variabel amatan, ternyata modal social memiliki
pengaruh secara tidak langsung terhadap kolaborasi (Y1) melalui commitment (X2) dan
kebijakan pemerintah (X4). Destinasi wisata CBT (Y2) tidak terbukti dipengaruhi secara
intermediasi oleh sejumlah variabel yang membentuk destinasi wisata CBT tersebut,
melainkan hanya terbukti dapat diwujudkan melalui hubungan langsung kolaborasi (X2) dan
kebijakan pemerintah (X4).
Rekomendasi yang dapat dirumuskan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah
untuk memperhatikan dengan cermat partsipasi pengusaha lokal non pariwisata sebagai
komponen commitment (X2) yang memiliki tanda parameter negative, dalam hal mana
prilaku dalam membentuk kolaborasi berlawanan arah, sehingga pemberdayaan melalui
capacity building serta sosialisasi tentang manfaat pentingnya kebersamaan adalah salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk mengajak pengusaha non pariwisata menjadi satu kesatuan
gerak langkah dalam mewujudkan destinasi wisata di kabupaten Buleleng. ***
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pariwisata sebagai salah satu sektor kegiatan perekonomian telah mengalami
pertumbuhan sangat pesat di berbagai negara, tidak saja berperan sebagai penyedia lapangan
kerja, tetapi juga berdampak nyata sebagai sumber pendapatan devisa, serta membantu
mengurangi tekanan defisit pada neraca pembayaran ( Dapatdoran, 2001).
World Travel Tourism Council (2002) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar
penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat
sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah
mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2002 tersebut.
Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi
terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan
masyarakat, sehingga berpotensi dengan sendiriya menciptakan permintaan pasar pariwisata (
Loandse dan Debbage, 2004).
Arah perkembangan pereonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental
perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat
dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis
dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya
saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di Indonesia.
Berkaitan dengan potensi sektor pariwisata dengan arah perkembangan pasar dunia
yang sangat menjanjikan bagi upaya perluasan lapangan kerja dan pembentukan pendapatan
masyarakat, maka destinasi pariwisata perlu diperluas wilayahnya untuk tidak saja terpusat
pada Bali selatan, tetapi juga dapat diperlebar ke wilayah Bali utara yang relatif memiliki
obyek wisata pantai, pegunungan dan atraksi maupun obyek kawasan suci, tetapi potensi
yang sedemikian besar tidak didukung oleh kesiapan infrastruktur pariwisata, terbatasnya
akses pariwisata, serta kendala sumber daya terlatih dalam menyediakan akomodasi,
restaurant dan hotel yang memadai sebagai komponen strategis penunjang pariwisata.
Meskipun banyak pihak telah menyadari bahwa pemusatan kegiatan pariwisata di Bali
selatan telah berdampak nyata pada kemacetan lalu-lintas dan aktivitas wisatawan yang padat
telah menghasilkan persoalan sampah yang mengurangi kenyamanan wiisatawan dimasa
depan.
Perencanaan pemerintah pusat dalam rangka pengembangan bandara Bali Baru yang
ditempatkan di Bali utara dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan melalui
pengembangan sektor pariwisata, namun keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia
untuk mampu mewujudkan kualitas pelayanan pariwisata yang bermutu, tentu masih menjadi
permasalahan yang perlu ditelusuri peran serta masyarakat untuk dapat berfungsi
menggerakkan industri pariwisata yang berkelanjutan.
Collaboration network yang saat ini banyak muncul ke permukaan sebagai salah satu
bentuk solidaritas komunitas dapat difungsikan sebagai lokomotif dalam pengembangan
industri pariwisata pada kawasan Bali utara. Palmer dan Bejau (2005) merumuskan
colloaboration network sebagai keterpaduan langkah bersama dalam produk pelayanan
pariwisata, sehingga dapat menyajikan produk berdaya saing. Potensi sumber daya manusia
yang dapat memuat kolaborasi dalam menghasilkan produk barang dan jasa pada industri
pariwisata adalah issue strategis saat ini sebagai upaya menyajikan produk wisata bernilai
tambah tinggi dimasa depan.
( Sriram, et al, 1999).
Faktor penentu yang dapat membentuk networ collaboration adalah sejumlah
komponen yang lazim ditemukan pada pembahasan modal sosial sebagai bagian dari human
capital development, adalah yang dikenal dengan konsep trust. Mengikuti Cook, (2005), dan
juga Dwyer, (1999), menyatakan bahwa konsep trust merupakan proses pembentukan
komunikasi antar kelompok yang saling percaya satu sama lainnya, tentunya sebagai proses
awal terbentuknya collabration network,
Kerangka hubungan trust yang dapat dipetakan pada kondisi industri pariwisata
tertentu, akan dicermikan oleh pola hubungan transaksi antara hotel sebagai sarana
kepariwisataan dengan travel agent dan komponen pendukung industri pariwisata lainnya (
Diego dan Juan, 2000).
Collaboration network juga dapat dibentuk oleh komponen modal sosial commitment,
sebagai variabel yang akan membentuk collaboration network. Anderson dan White (1992)
menyatakan bahwa commitment adalah kehendak untuk mewujudkan relasi bisnis dalam
jangka panjang.
Komponen pembentuk collaboration network berkutnya adalah komponen modal
sosial norma atau tradisi yang dapat menjadi pedoman dan garis kebijakan orang perorangan
pada anggota masyarakat, tetapi terikat kuat dengan tradisi norma kemasyarakatan pada
komunitas masyarakat bersangkutan. Keterikatan pada aturan organisasi dalam bentuk lisan
atau tertulis, adalah merupakan potensi yang akan membentuk collaboratian network.
Infrastruktur pariwisata dilain fihak, adalah accomodation services, food and
beverages services, attractions, events and activities ( Ontario TourismCompetitiveStudy,
2009), serta akses yang dapat mempermudah tercapainya lokasi destinasi ( Shara, et al
(2009).
Pemetaan potensi ekonomi kerakyatan yang tersedia saat ini di wilayah kabupaten
Buleleng dilakukan melalui penelitian persepsi, untuk melihat keberadaan ekonomi rakyat
dan kemungkinannya dapat ditingkatkan menjadi potensi modal sosial untuk mendukung
kegiatan industri pariwisata berbasis komunitas. Potensi modal sosial pada sebuah struktur
sosial kemasyarakatan dapat dilihat dari tiga pilar utama modal sosial ( Putnam, 1998),
mencakup antara lain networking, trust dan norma. Apabila ketiga komponen modal sosial
tersebut hidup berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan pada masyaraat lokal,
maka sangat mungkin dapat ditingkatkan menjadi fondasi dalam rangka pengembangan
community-based tourism (CBT) di kabupaten Buleleng.
1.2 Rumusan Pokok Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, dapat dirumuskan menjadi pokok
permasalahan sebagai berikut.
a. Bagaimana pengaruh kolaborasi yang terbentuk dari potensi social capital
berpengaruh terhadap terwujudnya komunitas industri pariwisata CBT di kabupate
Buleleng.
b. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)
berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi
komunitas (Y1).
c. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi commitment (X2)
berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi
komunitas (Y1).
d. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) berpengaruh terhadap
pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).
e. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah (X4)
berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi
komunitas (Y1).
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah potensi modal sosial
masyarakat lokal serta pengkaitannya dimasa depan dengan kemungkinan
terwujudnya industri pariwisata berbasis komunitas lokal CBT.
a. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara langsung variabel kolaborasi yang
terbentuk dari potensi social capital terhadap terwujudnya komunitas industri
pariwisata CBT di kabupaten Buleleng.
b. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)
terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).
c. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi
commitment (X2) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui
kolaborasi (Y1).
d. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) terhadap
pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).
e. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah
(X4) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi(Y1).
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Sebagai masukan bagi kegiatan pembelajaran bagi perguruan tinggi, terutama pada
bidang ilmu ekonomi pembangunan pariwisata, yang semakin berkembang dewasa ini
sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya
peningkatan permintaan pasar pariwisata.
b. Sebagai masukan bagi pemerintah kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan
kebijakan rencana induk pariwisata daerah (RIPDA) serta arah perumusan kebijakan
jangka pendek untuk mengantsipasi pembangunan bandara Bali Baru yang telah
mencapai rintisan lokasi di kecamata Kubutambahan Buleleng.
c. Sebagai sarana pelatihan bagi mahasiswa yang ikut serta menjadi peneliti lapangan,
sehingga dapat memberikan wadah kegiatan diluar kampus yag bermanfaat bagi
mahasiswa dimasa depan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Fondasi Ekonomi Kerakyatan Social Capital
Community-based tourism adalah sebuah tatanan industri pariwisata masyarakat
berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai owner ( Cavaye, 2000).
Model bisnis pariwisata berbentuk CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada
masyarakat lokal bersangkutan memiliki fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan,
2009).
S.C. Narayan (2005) menggambarkan social capital sebagai komponen yang
terbentuk dari sejumlah prilaku yang terdapat pada struktur kemasyarakatan, seperti
kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang masyarakat yang melahirkan
aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan yang mengikat masyarakat,
pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan kepentingan organisasi sosial dan
kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup bersosialisasi dalam jaringan komunikasi
dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan komunikasi dalam pelbagai kepentingan,
prilaku dan cara pandang untuk mendahuukan kepentingan orang lain, sehingga dapat
menjadi balas jasa atas perbuatan baik kepada sesama dimasa depan, serta adanya kebutuhan
untuk membangun fondasi kepercayaan (trust) dengan keberadaan pimpinan kelompok
sebagai panutan. Lihat Gambar 1.1.
Bentuk sosial capital dalam kebersamaan (better together) tercermin dari prilaku
kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Pada fondasi dimana social
capital memegang peranan penting, maka partisipasi dalam kegiatan pengambilan komunitas
dilaksanakan atas upaya mewujudkan kepentingan bersama.
Trust adalah komponen social capital berikutnya yang akan menjadi bagi terwujudnya
industri paruwusata berbasis masyarakat, termasuk terkondisikannya trust dalam membangun
komunikasi antar tetangga, antar anggota masyarakat dengan pimpinan kelompok, pimpinan
pemerintahan serta komunitas lainnya.
Kesediaan untuk berbuat dan menolong anggota kelompok lain yang sedang
memerlukan bantuan, adalah bentuk kebersamaan (togethesness) yang berpotensi menjadi
kekuatan baru dalam suatu aktivitas bisnis, karena akan membentuk kekuatan kolaborasi.
Gambar 1.2
Komponen Pembentuk Social Capital
UNEP (2002) merekomendasikan peranan pemerintah dan komponen aliansi non
pemerintah untuk membangun capacity building masyarakat lokal dalam mewujudkan
kondisi yang memungkinkan terbentuknya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan yang lebih luas. S.C. Nayaran (2005) melihat pemberdayaan masyarakat dalam
mewujudkan kebersamaan dapat ditelusuri melalui dua penentu pembentukan social capital
yang kuat pada masyarakat lokal, yaitu melalui bentuk penyeragaman komunikasi,
penyamaan cara pandang dan tujuan organisasi bersama, serta upaya pemberdayaan
9empowerment) melalui peranan dan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan dan
membangkitkan social capital sebagai cara dalam mencapai tujuan akhir bersama.
Gambar 1.3
Peranan Pemerintah Dalam pembentukan Modal Sosial
2.2 Komunitas Industri Berbasis Masyarakat CBT.
Proses pembangunan masyarakat berbasis CBT tidak terwujud begitu saja, melainkan
dilaksanaan melalui pendekatan konsep dan strategi yang terarah, konsisten dan
berkesinambungan. Aref dan Redzuan (2009), memberikan tahapan capacity building melalui
tahapan pengembangan dan pemberdayaan the ability to act, dari peranan individual ke
tingkat kelompok, kemudian memasuki proses yang lebh luas yaitu komunitas masyarakat.
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan anggota komunitas yang memiliki kecakapan
khusus, dapat ditingkatkan peranan mereka untuk memasuki komunitas bisnis, dimana
mereka memiliki kecakapan yang memadai dalam ikut serta melaksanaan proses perencanaan
dan pengendalian bersama. Kecakapan anggota komunitas dalam proses pengambikan
keputusan ini kemudian ditingkatkan perananya sebagai pemilik atas kegiatan bisnis, maka
pada industri pariwisata, maka peranan anggota dalam komunitas adalah sebagai pemilik atas
kegiatan industri. Kepemilikan ini yang selanjutnya dikenal sebagai industri pariwisata
berbasis masyaarakat CBT (Akama dan Kieti, 2007).
Gambar 1.4
Proses Pembentukan Masyarakat Industri Wisata
Berbasis Masyarakat Lokal
Berdasarkan Gambar 1.4 maka tampak bahwa untuk mencapai sasaran akhir
pelayanan industri wisata yang berdaya saing (municipal services), diperlukan dukungan
perencanaan yang terarah dan konsisten didukung oleh infrastruktur dan kapasitas sumber
daya, serta pada sisi lain adalah pengelolaan jasa pelayanan yang tepat sasaran, sehingga
menjadi destinasi wisata yang akan dikunjungi secara berulang.
Gambar 1.5
Tahapan Community Capacity Building Mencapai Sasaran
Sustainable Community based Development
Sustainable community based tourism akan dapat dicapai jika pemberdayaan
masyarakat menuju tahapan ownership dapat diwujudkan, sehingga proses partisipasi dalam
pengambilan keputusan bisnis manageent destinasi wisata tentu menjadi lebih stabil dan
berkesinambungan, karena kolaborasi berbasis modal sosial memiliki fondasi komunitas
sharing profit together, dibandingkan usaha swasta nasional yang tidak memiliki basis
masyarakat sebagai pengawal konservasi destinasi wisata.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Model Kerangka Pikir
Penyusunan kerangka piker penelitian dirumuskan berdasarkan konsep teori yang
telah disajikan pada BAB 2, serta berdasarkan rumusan tujuan penelitian yang telah
ditetapkan, maka model teoritik disusun untuk menjawab tujuan penelitian yang telah
dirumuskan pada BAB 1.
Model kerangka penelitian yang akan disusun merupakan pendekatan pemecahan
masalah yang disusun berdasarkan teori, berdasarkan kerangka teoritik tersebut diharapkan
menjadi panduan dalam rangka memilih variabel penelitian yang relevan dengan tujuan
penelitian ini.
Penelitian ini melakukan kajian tentang peluang dan kemungkinan pengembangan
community-based tourism di wilayah kabupaten Buleleng, yaitu suatu tatanan industri
pariwisata masyarakat berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai
pemilik atas inustri pariwisata tersebut ( Cavaye, 2000). Model bisnis pariwisata berbentuk
CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada masyarakat lokal bersangkutan memiliki
fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan, 2009). Basis industri pariwisata
setdaknya diharapkan dapat mewujudkan kolaborasi tiga pilar industry, yaitu masyarakat
lokal dimana destinasi wisata itu diselenggarakan, pengusaha lokal dan pemerintah kabupaten
sebagai fasilitator dan legasi atas keberadaan destinasi wisata yang terbangun. Kerangka
konsep hubungan CBT dengan basis komunitas disajikan pada Gambar 3.1
Masterplan
Pengembangan Destinasi Wisata
Berbasis Komunitas Masyarakat Lokal
( Community-based Tourism)
Destinasi
Wisata Berbasis
Masyarakat Lokal
(CBT)
PARTISIPASI
PENGUSAHA
LOKAL DALAM
RANGKA
PELAYANAN
PRODUK
WISATA
PARTISIPASI
MASYARAKAT
DALAM RANGKA
MENCIPTAKAN
KONDISI
KENYAMANAN
PARIWISATA
FASILITAS HOTEL
AKOMODASI WISATA
RESTAURANT
ATRAKSI WISATA
PRAMUWISATA
INFORMATION CENTER
PELAYANAN KESEHATAN
SOUVERNIR DAN
CENDRAMATA
Gambar 3.1 Model Kerangka Pikir
Partisipasi Masyarajat Umum dan Pengusaha terhadap Pembangunan
Destinasi Wisata Berkelanjutan
S.C. Narayan (2005) menggambarkan potensi social capital yang telah tersedia pada
masyarakat dapat dimanfaatkan dalam rangka memantapkan dan penguatan struktur
kemasyarakatan, seperti kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang
masyarakat yang melahirkan aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan
yang mengikat masyarakat (norms), pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan
kepentingan organisasi sosial dan kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup
bersosialisasi dalam jaringan komunikasi dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan
komunikasi dalam pelbagai kepentingan yang berbasis kepada kebersamaan. Kerangka
konsep CBT sebagaimana dipetakan berbasis kepada modal social disajikan pada Gambar
3.1.
Berdasarkan Gambar 3.1 diatas, maka secara operasional kebijakan pemerintah
Kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan strategi pembangunan yang berbasis ekonomi
kerakyatan pada industri pariwisata dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat
(capacity building), untuk menggerakkan potensi modal sosial sebagai basis kebersamaan
(better together) mencakup potensi norma dan budaya masyarakat, potensi network
masyarakat Buleleng, serta membangkitkan rasa percaya diri, kebersamaan dalam organisasi
kemasyarakatan, serta menempatkan aparat pemerintah sebagai motivator dan fasilitator
untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat dalam merumuskan kepentingan mereka
melalui pola kekerabatan dan kebersamaan.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan dorongan bagi pembentukan trust pada
masyarakat sebagai modal dasar bagi pembangunan kawasan, (Hilde & Benny (2005),
Pepfar (2000), UNEP (2005). Pengembangan potensi social capital trust akan berdampak
positif bagi etos kerja kebersamaan sebagai modal kerja masyarakat diluar modal dalam
bentuk uang dan fasilitas financial lainnya.
Kajian peneliti Noya & Clarence (2009), dan Kimmo (2010), menyatakan pembentukan
social capital merupakan proses yang berkaitan dengan dukungan tradisi, norma masyarakat
serta semangat tradisi kebersamaan yang berjalan searah dengan dinamika masyarakat
menuju terwujudnya kesejahtraan yang dikelola bersama.
2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, serta mengacu kepada pokok
permasalahan dan tujuan penelitian, maka keterkaitan ketiga hal tersebut diatas, dipetakan
menjadi kerangka pikir penelitian, yang juga dapat dirumuskan sebagai hipotesis penelitian
yang dissusun secara parsial dengan kerangka hubungan model penelitian sebagaimana
disajikan pada Gambar 3.2 .
Model CBT yang dibangun dan tersajikan pada Ganbar 3.2 mencakup basis modal
social yang diharapkan dapat diwujudkan melalui dua sumber utama, yaitu partisipasi
masyarakat yang bermukim disekitar destinasi wisata, dan kompoen pengusaha lokal yang
dipersiapkan senagai enterprenenurs dalam membangun sarana destinasi termasuk
penginapan, restaurant, ketersediaan pramuwisata, pengadaan atraksi budaya, kesenian dan
atraksi seni lainnya. Partisipasi masyarakat secara garis besar dinyatakan sebagai
infrastruktur pariwisata (INFRAS). Dukungan komponen partisipasi dalam rangka
mewujudkan ekonomi kerakyatan pada industry pariwisata juga akan ditentukan oleh tokoh
masyarakat dalam lingkungan detinasi wisata yang dikonstruksi sebagai commitment
(COMTT), yaitu persepsi yang diharapkan dapat memberikan ruang yang konsisten dalam
mengawal dan mendorong terwujudnya masyarakat industry wisatya berbasis kepemilikan
masyaraat lokal.
Persepsi tentang ruang entrepreneurs untuk masyarakat lokal dipetakan pada potensi
network, yaitu adanya kebersamaan para pengusaha dalam mewujudkan kawasan industri
berbasis masyarakat lokal. Potensi network dipetakan dengan linkage, norma dan trust.
Linkage adalah potensi modal social dalam melihat tingkatan network para pengusaha dalam
menjangkau transaksi bisnis, mencakup wilayah lokal desa, antar desa, network kecamatan
atau bahkan kabupaten/propinsi. Potensi network akan menjadi acuan bagi kesiapan
pengusaha lokal dalam membangun jaringan dan menetapkan target dalam melaksanakan
pelayanan pada industry kepariwisataan. Keterbatasan kemampun membangun jaringan, tentu
akan memperkecil peluang masyarajat lokal dapat mewujudkan bisnis pariwisata berbasis
masyarakat.
Trust adalah salah satu komponen modal sosial yang memiliki peranan strategis
dalam mewujudkan kebersamaan dalam komunitas. Apabila komponen trust adalah rendah
pada komunitas masyaraat, maka peluang pengembangan industri wisata berbasis masyarakat
relative sulit untuk diwujudkan.
Variabel Infras (X1) mencakup dukungan prasarana termasuk didalamnya kondisi dan
karakter kependudukan dan kualitas lingkungan alam dengan managemen pelestariannya (
Gooroochurn dan Sugiyarto, 2005). Aspek yang lain dari Infrastruktur pariwisata adalah
destination infrastructure yang sangat menentukan permintaan atas layanan destinasi (
Murphy et al, 2000). Crouch dan Riche (1999) serta Kadaroo dan Seetanah (2007)
menyatakan bahwa kualitas destinasi tidak mungkin mengabaikan peranan transortasi udara,
laut, jalan darat yang memadai, serta dukungan fasilitas listrik dan ketersediaan air untuk
berbagai kepentingan.
Infrastructure tourism tidak sebatas dalam pengertian transportasi jalan raya, tetapi
juga termasuk ketersediaan jaringan telekomunikasi dan sistem informasi, serta dukungan
atas fasilitas pelayanan wisata termasuk sarana hotel, restaurant dan dukungan yang layak
dan memadai bagi pelayanan wisatawan ( Crouch dan Richie, 1999).
Commtt (X2) adalah bentuk hubungan yang memiliki dimensi jangka panjang.
Dweyer et al (1997) menyatakan bahwa commitment adalah bentuk pertanggung-jawaban
seorang individu atau organisasi yang konsisten yang akan berdampak pada keberlangsungan
organisasi yang bersangkutan. Anderson dan Weitz (1992) menjelaskan bahwa commitment
adalah upaya dari organisasi untuk mewujudkan langkah kebijakan secara konsisten dalam
rangka mempertahankan hubungan yang bersifat jangka panjang. Ganesan (1994) bahkan
menyatakan keberhasilan organisasi dalam memelihara dan mewujudkan tindakan
pengorbanan dalam rangka memenuhi kewajiban tertentu adalah basis organanisasi dalam
mencapai sustainable competitive advantages bagi sebuah organisasi. Dengan demikian,
commitment adalah intangible asset dan merupakan komponen yang sangat strategis dalam
mewujudkan perluasan usaha dan memantapkan nilai tambah atas perusahaan dalam suatu
rangkaian proses bisnis pariwisata ( Anderson dan Weitz, 1992).
Schulz (1994) menyatakan bahwa commitment hotels dapat memberikan jaminan
akan keberlangsungan dalam meraih lebih banyak pelanggan dengan dukungan travel agent
dalam suatu tatanan komunikasi dan kepatuhan terhadap commitment yang telah disepakati
dalam kerangka kerja sama bisnis. Jika terbentuk commitment yang kuat dari pengusaha,
maka potensi commitment bisa diwujudkan dalam kerangka collaboration untuk
menghasilkan destinasi wisata yang berdaya saing.
Collab (Y1) adalah bentuk komunikasi saling keterkaitan satu sama lainnya dengan
persepsi yang sama dalam menghasilkan tujuan akhir organisasi yang diinginkan. Studi
tentang peranan kolaborasi pada bisnis parwisata telah dilakukan oleh Bramwell dan
Sharman (1999), dimana proses kolaborasi dilihat dalam kerangka perumusan bersama atas
kebijakan bisnis pariwisata. Penguatan atas peran kolaborasi akan menjadi penentu bagi
keberhasilan suatu wilayah dalam menyajikan destinasi wisata berdaya saing.
Mohr et al (1996) merumuskan collaboration sebagai bentuk komunikasi dalam
tahapan kerja sama tertentu, membangun komunikasi, sehingga tingkatan kolaborasi yang
dapat diwujudkan akan sangat tergantung kepada kedalaman atas peran komunikasi dan
proses pengambilan kebijakan. Keberhasilan atas kolaborasi akan sangat ditentukan oleh
kepatuhan para pihak dama menjaga commitment yang telah mereka sepakati.
Keberlangsungan atas peran kolaborasi sebagai penggerak strategis untuk mendorong
terwujudnya basis destinasi CBT akan sangat ditentukan oleh rangkaian proses yang
menentukan terbentuknya kolaborasi dari Inftas (X2), Commtt (X2) dan Network (X3).
Network (X3) merupakan basis kemampuan berkomunikasi dan pengembangan lebih
jauh dari kebutuhan berkomunikasi dalam suatu jaringan yang saling mempengaruhi.
Logsdon (1991) menyatakan bahwa dalam membangun komunikasi terdapat benefit tertentu
yang diperoleh, sehingga basis kemampuan setiap individu dalam membangun kolaborasi
adalah potensi modal sosial yang akan membentuk lebih jauh peluang pengembangan
destinasi wisata berbasis komunitas (CBT). Dalam rangka mengembangkan kemampuan
personal dalam membangun komunikasi dalam kebersamaan, maka potensi network akan
dibentuk oleh tiga variabel yaitu pertama, adalah linkage (potensi keterkaitan antar individu)
baik dalam lingkungan terbatas pada satuan keluarga maupun pada jalur komunikasi diluar
keluarga dapat mencakup wilayah tempat tinggal, satuan wilayah desa, kabupaten atau
propinsi. Kedua, adalah trust, yang mendorong semakin berkembangnya komunikasi dalam
bentuknya yang lebih permanent melalui hubungan personal dalam sebuiah kolaborasi
organisasi uapun sebaliknya, pola hubungan organisasi dengan individu sebagai bagian dari
organisasi tersebut. Trust seringkali dikaitkan dengan network ( Cook, 2005). Trust sebagai
salah satu komponen modal social dapat dipandang sebagai aspek fundamental dalam
membangun perikatan transaksi antar kelompok masyarakat yang dapat memberikan jaminan
suasana kenyamanan. Ketika trust adalah variabel yang dapat ditempatkan dalam kerangka
hubungan saling ketergantungan dalam masyarakat, maka trust menjadi komponen penggerak
transaksi yang didukung oleh fondasi commitment yang sangat kuat ( Emmer et al ( 1993).
Moorman et al (1993) mengemukakan definisi trust sebagai tindakan setiap orang
yang dapat memberikan jaminan bahwa kepentingan antar pihak akan berjalan dengan baik
sesuai dengan yang diharapkan. Trust berkaitan dengan kepercayaan (belief), sikap prilaku,
yang terkondisikan menjadi percaya bahwa partner bisnis dapat memberikan sesuatu yang
dapat diwujudkan sesuai dengan harapan semestinya.
Trust merupakan komponen modal social yang akan menciptakan penguatan dalam
kebersamaan, terbukti telah berhasil membangun keterkaitan hubungan jangka panjang antara
pembeli dan penjual dalam suatu proses dimana konsumen berkeyakinan selalu mendapatkan
nilai tambah atas transaksi dengan penjual ( Ramayah et al, 2003).
Diego dan Juan, (2000) bahkan menyatakan modal social trust merupakan komonen
strategis yang sangat mementukan pembentukan hubungan jangka panjang antara
management hotel dengan travel agent. Sangat tidak mungkin dapat dikembangkan business
partner hotel dan travel agent, apabila tidak dilandasi oleh kondisi trust dalam saling
keterkaitan kepentingan antara management hotel dengan travel agent, sehingga terbentuknya
proses network akan terhenti dan tidak berkelanjutan.
Morgan dan Hunt (2004) merumuskan bahwa trust adalah causal antecedent terhadap
commitment, sedangkan commitment adalah factor yang mendorong terbentuknya jalinan
hubungan yang berkualitas. Ndubisi (2007) telah mengembangkan studi tentang peranan
network dalam mendorong terbangunnya kualitas detinasi wisata yang dapat diwujudkan
melalui inter-organization learning. Deniscolai et al (2010), menyajikan aspek yang sama,
yaitu peranan positif dari komponen trust dalam mendorong stabilitas pelayanan destinasi
wisata berkelanjutan.
Sigala (2004) melihat komponen trust sebagai aspek strategis dalam mengurangi
transaction coast melalui pengendalian dan berbagi informasi bersama. Barney dan Hansen,
(2004) menyajikan peta analisis tentang peranan trust sebagai pendorong terbentuknya
kepercayaan antar pihak yang berkepentingan, telah menciptakan sustainable long-term
relationship.
Studi tentang potensi network sebagai penggerak modal social dalam rangka
mewujudkan destinasi wisata berbasis komunitas (CBT) telah banyak digagas selama 5 tahun
terakhir ini. Saxena (2005), Cravens dan Piercy (2004), menyatakan bahwa network dapat
berfungsi secara fleksibel dalam menggerakkan marketing information sharing, innovation,
peluang untuk menjalin transaksi baru dengan network yang lain, pengelolaan resources
management serta pemberdayaan organisasi untuk meingkatkan kecakapan dan pengetahuan
serta keterampilan.
Novelli et al (2006), menyajikan peta studi tentang network dan clustering sebagai
kerangka strategi dalam upaya menciptakan nilai tambah yang bermanfaat bagi local
community. Aspek lain dari social capital adalah norms yang membentuk prilaku pada
social structures dan social networks. Pada kondisi dimana social capital memiliki struktur
jaringan yang sangat kuat, maka interaksi masyarakat telah mencapai norms of trust and
reciprocity. (Putnam, 2000). Sebaliknya, apabila norma masyarakat yang berlaku tidak
memiliki keterikatan yang kuat serta kurang memiliki prilaku yang memandang kebersamaan
adalah penting, maka keberadaan struktur network dan struktur social dalam menyatukan
kebersamaan juga otomatis akan menjadi rendah. Stone ( 2001) menyatakan pengukuran
social capital dapat dilihat dari structure of network dan normative attribute.
Coleman (1990) dan Krisna and Shrader (1999) menyatakan bahwa struktur potensi
network masyarakat dapat dipetakan dari sejumlah komponen mencakup ukuran (size),
kapasitas dan derajat keterbukaan masyarakat. Pelebaran jaringan (size) berkaitan dengan
kemampuan individu pada masyarakat dalam membangun jaringan secara geografik, mulai
dari dusun, desa, kota dengan dengan wilayah propinsi. Capacity, berkaitan dengan kualitas
dari jaringan yang mereka miliki dalam membangun kebersamaan untuk mencapai tujuan
tertentu. Sedangkan keterbukaan adalah gaya masyrakat dalam berkomunikasi. Pada
masyarakat tertutup, yaitu norma yang banyak ditemukan pada budaya tertetu, peluang untuk
m=membangun jaringan yang berkualitas relative kecil untuk berhasil. (Coleman, 1990).
Potensi social capital tidak dapat dipisahkan dari nroma atau cara pandang masyarakat
terhadap kebutuan kebersamaan, yang ternyata keduanya bisa saling meniadakan, karena
kompleksitas struktur masyarakat atas berbagai perbedaan, mencakup dominasi ras tertentu,
gender, usia, status ekonomi dan social serta banyak kendala lain termasuk norma yang tidak
sejaklan dengan potensi network sebagai salah satu kpomponen modal social yang paling
strategis (Uslaner 1999), sehingga apabila norma tentang kebersamaan adalah cara pandang,
gaya hidup dan kebutuhan yang telah diterima sebagai kebutuhan bersama, maka peluang
perluasan struktur network menjadi lebih terbuka (Cox and Caldwell,2000)
DEST CBT (Y2) sebagai tujuan akhir yang ingin diwujudkan dalam rangka
pengembangan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat lokal telah dikembangkan
di banyak negara. Studi tentang CBT memiliki orientasi yang berbeda dengan pendekatan
pembangunan destinasi wisata secara trandisional yang umumnya memiliki pola top-down
tourism planning.
CBT mengupayakan keterlibatan seluruh lokal input proses pengendalian
management pariwisata, sehingga komunitas memiliki peluang untuk mendapatkan nilai
tambah atas kegiatan bisnis pariwisata (Mowfort dan Munt, 2003).
Berbeda dengan pendekatan tradisional pembangunan sektor pariwisata, pada CBT
menekankan kepada bootom-up community dalam rangka pengembangan destinasi wisata,
pengembangan jasa pelayanan wisata termasuk komponen penunjang penginapan, restaurant,
jasa pramuwisata, akomodasi dan atraksi budaya serta produk terkait lainnya ( Hall, 2000).
Blackstock (2005) menyatakan bahwa bisnis pariwisata berbasis CBT merupakan
konsep pengembangan destinasi wisata yang melibatkan sepenuhnya local community,
memberdayakan sepenuhnya masyarakat lokal sebagai pemegang kendali bisnis pariwisata,
membagikan laba atas bisnis pariwisata dalam kebersamaan pada komunitas tersebut.
Berdasarkan orientasi bottom-up policy, maka sudah barang tentu dengan tidak
disertakannya modal besar pada investasi pada sebuah destinasi wisata tertentu, maka
business setting pada model CBT memiliki karakter small-scale production ( Amin et al
(2002). CBT juga disebut sebagai social economy enterprises yang tetap ber-orientasi kepada
laba tetapi memiliki basis pengembangan sumber daya bersama dan pusat training.
Sehubungan dengan itu, maka penguatan modal social dan kebersamaan adalah basis
kekuatan bisnis yang dikelola oleh komunitas lokal. Amin et al (2002) bahkan menyatakan
bahwa konsep CBT dapat menjadi alternative dalam rangka memperhatikan komunitas lokal
yang juga berhak untuk mendapatkan kesejahtraan dan peranan yang lebh besar sebagai the
new stages of capitalism.
Blackstock (2005), Koster dan Rendall (2005) menyatakan CBT adalah sejalan
dengan social economy dimana tujuan yang ingin dicapai adalah mewujudkan community
benefits melalui pembangunan yang berorientasi dari proses bottom-up dimana komunitas
lokal mendapat ruang dalam pengambilan keputusan management, sehingga diperlukan
upaya pemberdayaan (capacity bilding), yang akhrinya juha diperlukan dalam rangka
menyediakan alternative pendekatan yang berbeda dengan neoliberal economic.
Pendekatan konsep CBT yang berbeda dari kebijakan pemerintah selama ini yang
secara tradisional lebih memberikan ruang kepada investor dalam pembangunan destinasi
wisata, maka perubahan pendekatan ini menghendaki lebih banyak penyiapan sumber daya
pemerintahan untuk menjadi fasilitator dan memahami dengan benar gagasan tentang
keberadaan CBT sebagai kerangka pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang berbasis
kepada kesejahtraan masyarakat lokal (Harvey, 1989).
COLLAB
(Y1)
DEST
CBT
(Y2)
INFRAS
(X1)
COMMTT
(X2)
NETWORK
(X3)
H4
H3
I1 I2 I3
C1
C2
C3
L1
L2
L3
D1
D2
D3
H1
GOVERM
(X4)
H5
G1 G2 G3Linkage
Trust
Norma
T1 T3 T3
N1 N2 N3
C3
H2
Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4
Gambar 3.1
Kerangka Operasional Penelitian CBT
Sudjana Budhi - 2014
Y2 = α1 + β1Y1 (1)
Y1 = α2 + β2X1 + β3X2 + β4X3 + β5X4 (2)
Persamaan (1) dan (2) adalah model persamaan struktural (simultaneous equation
model) dengan pengembangan hierarchy latent model ( Loehlin, 2004), juga Hair (2010),
serta Lin, et al (2008). Variabel Y1 dan Y2 dinyatakan sebagai endogen variable, juga
disebut sebagai dependent variable, sehingga perubahan variasi nilainya ditentukan oleh
variabel pemberi tanda panah. Sedangkan variabel yang bebas tidak mendapat tanda panah
dari variabel lainnya, disebut variabel eksogen atau variable dimana nilainya ditentukan
diluar model. Semua variabel X1, X2, X3 dan X4 adalah variabel eksogen, karena
pembentukannya tidak terikat pada variabel lain, kecuali pada X3, dimana pembentukan nilai
X3, sepenuhnya secara formative ditentukan oleh latent variable linkage, trust dan norma.
Seluruh variabel yang diamati dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.
Y2 = Destinasi Wisata CBT ( komponen pramuwisata lokal mewakili wisatawan )
Y1 = Kolaborasi adalah tokoh masyarakat dan desa adat sekitar destinasi wisata
X1 = Infras adalah partisipasi masyarakat sekitar destinasi wisata
X2 = Commitment adalah pengusaha non pariwisata lokal
X3 = Modal sosial Network adalah pengusaha pariwisata lokal
X4 = Persepsi kebijakan pemerintah versi penerima layanan publik
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian mempergunakan data primer dengan melakukan perekaman data melalui
penyusunan daftar pertanyaan kepada responden terpilih. Pertanyaan disusun berdasarkan
kebutuhan model hipotesis yang dirancang penelitian ini, karena itu daftar pertanyaan disusun
atas item-item indikator yang mendukung pembentukan variabel latent penelitian ini.
Pengambilan responden terpilih dilaksanakan pada 4 lokasi penelitian terpilih, yang
dilaksanakan berdasarkan karakteristik lokasi destinasi wisata, yaitu wisata pegunungan dan
wisata pantai. Pada destinasi wisata pegunungan dipilih lokasi air terjun Gitgit kecamata
Sukasada kabupaten Buleleng dan desa wisata Munduk kecamatan Banjar kabupaten
Buleleng.
Destinasi wisata pantai dipilih destinasi wisata air sanih kecamatan Kubutambahan
kabupaten Buleleng dan destinasi wisata Lovisa desa lovina kecamatan Banjar kabupaten
Buleleng. Berdasarkan 4 pemilihan lokasi destinasi wisata dapat dipandang telah mewakili
seluruh potensi destinasi wisata berdasarkan pola karakteristik daerah wisata, yang umumnya
terpolakan menjadi dua kelompok besar, yaitu wisata wilayah pegunungan dan wisata
wilayah pantai, sesuai dengan potensi destinasi yang memiliki tofografis pantai dan
pegunungan.
Tabel 3.1 : Pemilihan Lokasi Penelitian
No. Nama Obyek Wisata Lokasi Penelitian Type Wisata
1 Air Terjun Gitgit Desa Gitgit Kec. Sukasada Wisata Pegunungan
2 Desa Wisata Munduk Desa Munduk Kec. Banjar Wisata Pegunungan
3 Desa Wisata Lovina Desa Lovinsa Kec. Banjar Wisata Pantai
4 Air Sanih Desa Sanih Kec. Kubutambahan Wisata Pantai
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Obyek penelitian penelitian yang akan ditelusuri untuk mendapatkan jawaban atas
tujuan penelitian yaitu mencakup dua kelompok pembentuk destinasi wisata yaitu, pertama,
adalah masyarakat lokal yang bertempat tinggal disekitar destinasi wisata. Kedua, adalah
pengusaha lokal yang berada disekitar destinasi wisata yang bertindak sebagai penjual jasa
pariwisata termasuk usaha parkir, pedagang dan jasa lainnya. Sampel penelitian ditentukan
dengan metode pengambilan sampel (sampling method) sebagai berikut:
1. Sampel untuk masyarakat lokal dipilih secara purposive dengan memperhatikan
ketokohan dari masing-masing individu sampel. Pada setiap lokasi dipilih sebanyak 10
(sepuluh) anggota masyarakat yang dianggap dapat mewakili masyarakat desa yang
berada disekitar destinasi wisata yang bersangkutan. Individu-individu masyarakat yang
terpilih diharapkan dapat mewakili persepsi tentang potensi network sosial
kemasyarakatan (X3), commitment (X2), kondisi infrastruktur wisata (X1) serta persepsi
masyarakat tentang peran kebijakan dan layanan pemerintah terhadap pembentukan
kenyamanan destinasi wisata di masing-masing lokasi wisata (X4). Jumah seluruh sampel
yang diambil pada komponen masyarakat warga sekitar destinasi usaha pada 4 lokasi
terpilih adalah 40 responden.
2. Sampel untuk pengusaha lokal dipilih sebanyak 10 (sepuluh) pengusaha lokal pada
masing-masing destinasi wisata, untuk mewakili persepsi pengusaha dalam membangun
network dan pengembangan modal sosial sebagai basis kegiatan enterpreneur ang
bergerak bersama masyarakat dalam menetapkan pelayanan wisata yang berdaya saing.
Keterkaitan antara kolaborasi masyarakat (Y1) yang terbentuk dari partisipasi masyarakat
disekitar destinasi wisata dengan pelaku usaha (Y1) akan membentuk sebuah destinasi
wisata berbasis komunitas lokal CBT, dimana masyarakat umum dan pengusaha akan
menerima manfaat yang sesuai dengan peran dan kontribusi masing-masing fihak yaitu
masyarakat warga desa disekitar lokasi usaha dan pengusaha sebagai penggerak dan
penyaji pelayanan wisata. Total responden yang terpilih untuk ditetapkan sebagai
responden adalah 10 x 4 lokasi = 40 responden pengusaha lokal yang berada disekitar
lokasi destinasi wisata.
4.3 Definis Operasional Variabel
Penelitian mempergunakan 6 variabel latent yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas
tujuan penelitian yang diracang penelitian ini. Ke 6 variabel penelitian dijelaskan sebagai
berikut.
a. Destinasi wisata berbasis CBT, adalah pengukuran variabel latent tentang persepsi
pengguna destinasi wisata, yaitu wisatawan. Sehubungan dengan terbatasnya
frekuensi kunjungan wisatawan dan pola kunjungan tidak teratur, maka untuk
mendapatkan data tentang kualitas layanan wisata yang diinginkan oleh pengguna,
maka penelitian mempergunakan data proksi dengan memilih pramuwisata (guide)
sebagai wakil pengguna jasa pariwisata. Besarnya jumlah responden pramuwisata
disesuaikan dengan pasangan sample lainnya, yaitu sebesar 40 sample. Notasi yang
dipergunakan untuk variabvel destinasi wisata CBT adalah Y2.
b. Kolaborasi (Y1) adalah didefinisikan sebagai komponen yang memiliki kekuatan
untuk mengatur, mengendalikan dan memiliki leadership yang memadai dalam rangka
mengkombinasikan seluruh potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kebersamaan
dalam gerak dan langkah dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis CBT.
Komponen kolaborasi dinyatakan dengan Y1, adalah tokoh masyarakat dan adat, yang
digali karakter dan prilakunya berdasarkan penelitian persepsi yang dipandu dengan
rekeman wawancara berdasarkan daftar pertanyaan.
c. Infrastruktur Infras (X1) didefiniskan sebagai sarana penunjang yang memberikan
ruang bagi kenyamanan wisatawan, termasuk pelayanan keamanan, kenyamanan
wisatawan, penataan lingkugan kebersihan, komunikasi dan dukungan masyarakat
terhadap atraksi wisata dan pelestarian alam ( Warnken, 2002), Philips dan Jones
(2006). Notasi variabel untuk konstruk latent infrastruktur adaah X1. Penelitian
dipersepsikan sebagai prilaku dan partisipasi masyarakat dalam ikut serta
mnewujudkan destinasi wisata yang memungkinkan wisatawan mendapatkan
kenyamanan, dan keramahan masyarakat sebagai obyek wisata, dengan didalamnya
adalah budaya dan kehidupan keseharian masyarakat.
d. Commitment adalah sikap budaya masyarakat lokal yang akan menjadi penentu
terbentuknya kolaborasi masyarakat dalam menetapkan acuan pelayanan wisatawan.
Pola prilaku yang dapat memberi jaminan bagi komunikasi yang terarah dan produktif
akan menjamin dukungan bagi kepentingan organisasi kemasyarakatan dalam
menetapkan pelayanan wisatawan secara nyaman, konsisten dan berkesinambungan.
Notasi yang diberikan untuk pengukuran persepsi latent dari commitment adalah X2.
Pemetaan terhadap persepsi commitment ditetapkan dari pengusaha lokal non
pariwisata.
e. Network adalah potensi modal sosial yang terpendam dalam struktur budaya
kemasyarakatan. Network merupakan variabel latent yang dibentuk oleh variabel
pendukung lainnya, mencakup linkage, trust dan norma ( Putnam, 1994), yang
membentuk social capital. Melalui pengembangan hierarchy latent variabel ( Lohlien,
2004), dapat diketahui peranan pembentuk latent variabel network dari pembentuk
latent dibawahnya.Network (X3) dipetakan dari pengusaha lokal pariwisata
f. Peranan pemerintah melalui kebijakan pelayanan terhadap masyarakat juga menjadi
penentu terbentuknya kolaborasi yang memungkinkan terciptanya kondisi awal bagi
terselenggaranya pelayanan pariwisata yang berdaya saing. Peran kebijakan
pemerintah juga dapat berdampak secara langsung kepada destinasi wisata melalui
pembinaan pengusaha lokal, sehingga peluang bagi terbentuknya destinasi wisata yag
berbasis komunitas CBT tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan pemerintah
dalam ikut serta membentuk dan mempengaruhi keberadaan destinasi wisata berbasis
masyarakat CBT. Notasi peran pemerintah dinayatakan sebagai latent variabel X4.
Kebijakan pemerintah dipersepsikan dari pengguna layanan pemerintah terkait dengan
wilayah destinasi, sehingga yang menjadi obyek peneliotian adalah masyarakat
pengguna layanan publik, termasuk masyarakat umum dan pengusaha.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang dibangun untuk mendapatkan data penelitian ini direkam melalui
kuesioner yang dibuat secara terpisah untuk masing-masing jenis responden. Item-item
pernyataan atau pertanyaan pada kuesioner disusun berdasaran kerangka teori yang melandasi
dari masing-masing variabel amatan, dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan pendapat
responden yang diukur berdasaran penggunaan skala Likert berderajat 5.
Berdasarkan penelitian dengan penggunaan kuesioner sebagai instrumen yang
digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, maka menjadi sangat penting untuk
mengukur reliabilitas dan validitas dari masing-masing item (pernyataan atau pertanyaan)
diperiksa. Validitas suatu variabel laten akan ditentukan dengan meneliti setiap item sebagai
unsur pembangun latencontruct yang bersesuaian, sedangkan reliabilitas merupakan ukuran
yang menggambarkan tingkat keandalan (degree of reliability) sekumpulan item yang
merepresentasikan variabel laten (Hair et al., 2010). Sekumpulan indikator/item dapat
dianggap tingkat keandalan dipercaya apabila memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach (α) –
sebagai ukuran reliabilitas menunjukkan sebaran lebih besar atau sama dengan 0,7 (Nunnaly,
1975).
Koefisien Alpha Cronbach yang diintroduksi oleh Lee J. Cronbach pada tahun 1951
(Cronbach, 2004) dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:
Persamaan matematika diatas, k menyatakan jumlah item-item pengukur suatu laten,
si2 menyatakan ragam (variance) dari item ke-i dan st
2 menyatakan ragam dari total item
untuk seluruh responden. Nilai dari koefisien Alpha Cronbach (α) berkisar antara 0 sampai
dengan 1. Konsistensi internal dianggap memenuhi syarat apabila nilai α lebih besar atau
sama dengan 0,7.
Jika ukuran keandalan sekumpulan item/indikator dalam merepresentasikan sebuah
variabel laten diukur melalui koefisien Alpha Cronbach, maka validitas yang merujuk kepada
kemampuan sebuah indikator dalam menjelaskan suatu konsep dapat diukur dengan
mengamati koefisien korelasi Pearson untuk data yang telah diskalakan ulang. Sebuah item
dinyatakan valid sebagai indikator laten jika memiliki nilai koefisien korelasi sekurang-
kurangnya 0,3 dan memiliki tanda (sign) yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya.
Jika sebuah item memiliki nilai koefisien korelasi yang kurang dari 0,3 tetapi memiliki tanda
yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya dan nilai tersebut tidak menyimpang terlalu
jauh dari nilai-nilai lainnya, maka masih dianggap cukup memadai untuk dilanjutkan ke
proses analisis berikutnya.
4.5 Metode Analisis Data
Kerangka teori yang dijadikan acuan dalam pemetaan pemodelan menunjukkan
bahwa tidak semua latent variable memiliki karakter reflective, seperti network (X3) dan
peran pemerintah (X4) yang dipandang memiliki karakter formative ( Diamantopolous,
2002), Jarvis, et al (2004), sehingga pendekatan yang paling mungkin dipergunakan untuk
analisis statistik adalah pendekatan Varian-bases PLS ( Hair, 2010), Christian C. Ringer
(2011).
Pertimbangan dalam memilih PLS-PM sebagai metode analisis kuantitatif adalah
model konseptual dari penelitian ini sebagaimana telah dinyataja diatas, adalah melibatkan
indikator-indikator formatif pada model persamaan struktural yang dibangun. Apabila
seluruh konstrak penyusun model tergolong ke dalam konstrak reflektif, maka model
struktural yang terbentuk disebut model reflektif, sebaliknya, jika sekurang-kurangnya ter-
dapat sebuah konstrak formatif, maka model struktural yang terbentuk disebut model formatif
(Petter et al., 2007). Memperhatikan model yang dikembangkan adalah model formatif,
maka model persamaan struktural berbasis peragam (variance-based SEM) seperti LISREL
dan SmartPLS. Dalam hal ini, PLS-PM merupakan solusi untuk menyelesaikan sebuah
model formatif (Henseler et al., 2009). Pada model PLS-PM, terdapat dua sub-model yang
dipisahkan secara konsep pendekatan, yaitu:
1. Measurement Model: atau juga disebut sebagai outer model yang menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel pengukurnya (manifest variables) dengan variabel laten yang
yang bersesuaian dengan itu.
2. Structural Model: atau disebut juga sebagai inner model, menjelaskan hubungan antar
variabel laten yang menjadi perhatian dari periset. Pada penelitian ini, variabel-variabel
destinasi wisata CBT Y1 dan kolaborasi Y2, beserta latent variabel X1, X2, X3 dan X4
merupakan variabel-variabel termasuk dalam lingkaran inner model.
4.5.1 Variabel Laten Reflective
Pengukuran model latent reflective adalah metode pengukuran latent yang
merefleksikan kondisi terbentuknya variabel latent atau konstruk berdasarkan item-item
pengukuran dimana indikator sebagai pemetaan pengukuran skala merupakan reflektif dari
latent variable, sehingga tanda panah bergerak dari variabel laten menuju kepada indikator.
Penggambaran tanda panah tersebut dimaksudkan sebagai metode yang diartikan sebagai
hubungan fungsi, yaitu dimana variable laten berpengaruh terhadap pembentukan indikator
tersebut ( Hair et al, 2013).
Sejumlah penulis lain seperti Henseller (2010) dan Straub et al, (2004) menyatakan
bahwa karakter laten reflektif adalah karakter yang memiliki sifat uni-dimensional, yaitu
adanya kesamaan covary dari loading factor, sehingga menghilangkan salah satu dari
indikator tidak akan menyababkan terjadinya perubahan nilai terhadap model structural
(Jarvis, et al (2003).
Berdasarkan karakter yang memiliki kondisi uni-dimensional tersebut, kemudian
dapat ditentukan metode analisis dan prosedur pengujian dengan melakukan pengujian
internal consistency reability, indikator reability, pengujian corvergent reability serta
discriminan reability. Pengujian atas kelayakan model reflective yang bersifat uni-
dimensional dapat dilakukan dengan mempergunakan software SPSS ver 17, untuk
melengkapi sejumlah pengujian yang tidak tersedia pada SmartPLS ver 2. Sejumlah peneliti (
Afthanorhan, 2013 ) bahkan menyarankan untuk melakukan drop-out terhadap sebaran item
indikator yang memiliki factor loading dibawah 0.50, sehingga dapat ditemukan sebaran item
indikator menjadi lebih memiliki kesetaraan (covary) sebagai syarat sebagaimana
direkomendasi oleh Hanseler, 2013. Prosedur pengujian kelayakan model model disajikan
selengkapnya pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment reflective
Jenis Uji
Validitas
Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti
Uni-dimensional Explanatory Factor
Analysis (EFA)
Melakukan seleksi
variable dengan
menetapkan nilai
Eigen value >1
Garbing and
Anderson, 1988.
Internal
consistency
Reability
Cronbach Alpha Reabilitas item
Indikator harus
lebih besar dari 0.70
Nunanlly and
Bernstein (1994)
Internal
consistency
Reability
Composite
Reability
Perbandingan dari
factor loading
terhadap penjumlahan
factor loading
ditambah variance.
Chin (1978)
Indicator Reability Indicator
Loading
Memberikan informasi
seberoa banyak variasi
dari item indikator dapat
dijelaskan oleh latent
variable
Chin (1978)
Convergent
Validity
Average Variance
Extracted (AVE)
Sebaran nilai AVE
diharapkan lebih besar
dari 0.50
Fornell dan Larcker
(1981)
Discriminant
Validity
Fornell and Larcker
criterion
Sebaran nilai AVE dari
latent variable lebih
besar dari korelasi antar
laten variable
Fornell dan Larcker
(1981)
4.5.2 Variabel Laten Formative
Diamantopolous Dan Winkhover (2004), serta Jarvis et al (2003) menyatakan
perlunya penelitian memperhatikan dengan seksama akan adanya fenomena formative dalam
menetapkan status variabel laten tertentu. Syarat bahwa sebuah latent variable memiliki
kecenderungan formative adalah apabila antara lain, bahwa variabel latent yang dijadikan
variabel penelitian memiliki nuansa kuantitatif, sehingga berpeluang untuk memposisikan
indikator sebagai penentui atau pembentuk variabel latent.
Berbeda dengan pendekatan covariance-based SEM yang menganut persyaratan ketat
dalam menerapkan asumsi SEM, tetapi sekaligus hanya mampu menyajikan latent reflective,
yaitu pembentukan indikator yang dipengaruhi kepada latent variable itu, sendiri, maka pada
konsep pendekatan SEM PLS dapat dikembangkan konsep pengukuran model latent yang
memiliki karakter formative.
Berdasarkan pendekatan metodologi yang berbeda dengan variabel latent yang
reflective, maka sebagai konsekusnsinya, penerapan model uji kelayakan model sebagaimana
disajikan pada Tabel 4.1 tidak dapat diterapkan pada latent yang memiliki karakter formative
( Bollen, 1989). Sejumlah peneliti lain, Hair (2013), Henseller (2010), Ringer et al (2013)
menyatakan bahwa karakter latent formative dapat diuji kelayakannya dengan
mempergunakan uji korelasi antar VIF yang diharapkan berkisar antara 0.20 sampai dengan
0.50, sehingga diluar nilai tersebut maka model formative memiliki persoalan multi-
collinearity, sehingga model menjadi tidak layak untuk diteruskan atau diperlukan cara re-
sampling untuk memperbaiki kualitas prediksi latent variable. Prosedur re-sampling ayau
teknik bootstrapping diperkenalkan oleh Efron dan Tashabrani (1991) yang dapat menjadi
pertimbangan dalam upaya melakukan pembenahan data yang diperoleh dari hasil penelitian
lapangan. Berikut disajikan kriteria model pengujian kelayakan model latent formative.
Tabel 4.2 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment yang Formative
Jenis Uji
Validitas
Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti
Indicator
Validity
Indicator Weight Loading factor tidak
memiliki sebaran covary
Jarvis, et al (2003)
Indicator
Validity
Variance Inflation
Factor (VIF)
VIF memiliki sebaran
antara 0.20 sampai 0.50,
maka diperlukan metode
lain seperti second order
apabila syarat tersebut
tidak terpenuhi.
Ringer et al (2013),
Diamantopolous and
Siguaw (2006).
Construct
Validity
Interconstruct
Correlations
Jika korelasi antar
variable laten dibawah
0.85, meng-indikasikan
terdapat perbedaan nyata
antar latent, yang
menunjukkan model
cukup layak untuk
diteruskan.
Mackenzie et al
(2005), Bruhn et al
(2008).
4.5.3 Pengujian Model Struktural ( Inner-model)
Langkah pengujian structural model dilakukan untuk mengkaitkan hubungan variable
laten yag satu terhadap latent lainnya berdasarkan kerangka hubungan model yang telah
ditetapkan berdasarkan theoretical building yang telah disusun. Dalam rangka melakukan
prosedur pengujian model structural tersebut, maka langkah pertama yang harus dipetakan
adalah signifikansi model dan nilai R2 dari model penelitian secara keseluruhan. Pengujian
model hubungan dipolakan terlebih dahulu secara parsial, dengan menetapkan hubugan
pengaruh signifikansi antar vaiabel bebas dengan variable terikat. Masing-masing dari
variable terikat memiliki nilai R2 yang menjelaskan informasi sejauh mana variasi nilai
variable terikat dapat dijelaskan oleh factor factor yang mempengaruhinya. Semakin tinggi
nilai R2, akan menunjukkan semakin besar variasi nilai variable latent terikat dapat dijelaskan
oleh factor factor yang mempengaruhinya. Sebaliknya, semakin kecil nilai R2 yang
didapatkan, maka semakin terbatas informasi yang didapatkan dari pengaruh variabel bebas,
sehingga menjadi penting dipertimbangkan penelitian lanjutan untuk menyertakan variable
tambahan dalam rangka meningkatkan nilai R2.
Evaluasi menyeruh terhadap model penelitian untuk menentukan seberapa besar
model structural dapat dijelaskan oleh seluruh interaksi model, maka perlu didapatkan
koefisien determinasi R2 secara multivariate ( Hair et al, 2010).
Jika tujuan penelitian telah dapat ditelusuri melalui pemanfaatkan analisis jalur dan
model structural melalui pengujian statistic t secara parsial dengan tingkat keyakinan sebesar
5%, maka tahap berikutnya adalah melakukan pengembangan analisis intermediasi antar
variable laten yang tidak secara langsung tertuju kepada sasaran akhir dari penelitiana ini
yaitu destinasi wisata berbasis ekonomi rakyat.
Sobel (1991) dan Baron dan Kenny (1990) melakukan terobosan untuk mendapatkan
signifikansi dari uji intermediasi. Berdasarkan metode Sobel (1990) dapat diketahui
signifikansi koefisien beta secara gabungan dari jalur mediasi yang ditetapkan pada model,
sehingga dapat diketahui seberapa besar parameter intermediasi itu berperan dibandingkan
dengan apabila varabel laten bersangkutan berhubungan secara langsung (direct effect)
terhadap sasaran akhir penelitian ini.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Profil Destinasi Wisata Bali Utara
Destinasi wisata kabupaten Buleleng tersebar secara merata di 9 wilayah kecamatan,
dengan tipologi pantai dan pegunungan. Sembilan wilayah kecamatan memiliki pola tanaman
tadah hujan dan sawah beririgasi teknis, sehingga semua kecamatan memiliki pola karakter
dataran rendah dan pegunungan sebagai sumber air irigasi. Dengan demikian, potensi
kawasan pantai yang memanjang dari batas timur kecamatan Tejakula sampai dengan
wilayah barat kecamatan Grokgak menggembarkan kawasan potensi wisata pantai yang dapat
menjadi sumber kegiatan destinasi pariwisata dimasa depan.
Meskipun demikian, potensi kawasan pantai pada setiap kecamatan memiliki basis
nilai jual wisata yang spesifik. Bulelelng barat dengan dukungan situs pura Pulaki, taman
satwa serta kawasan pulau Menjangan adalah potensi wisata unik yang memiliki nilai jual
dimasa depan. Sedangkan di wilayah kecamatan Tejakula terdapat pura Dang kayangan
Ponjok Batu, desa wisata Julah sebagai prototype desa pra Bali dengan budaya adat yang
relative unik, sedangan di kawasan Buleleng tengah terdapat desa wisata Munduk yaitu tipe
wisata alam pegunungan yang telah berjalan dewasa ini dan mendapat kunjungan wisata
cukup padat. Kawasan wisata danau Buyan di wilayah kecamatan Sukasada adalah potensi
wisata yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka pengembangan destinasi wisata.
Desa wisata Julah merypakan salah satu obyek wisata yag sudah banyak dikunjungi
wisatawan, tetapi tampak belum terlihat upaya yang sungguh-sungguh dari para pengusaha
dan pemerintah kabupaten Buleleng untuk memanfaatkan peluang destinasi wisata tersebut
sebagai media dalam menciptakan nilai tambah produksi dan pelayanan wisata. Hal ini
memberikan indikasi bahwa industri pariwisata belum dipetakan secara optimal dalam rangka
mewujudkan nilai tambah tersebut, seperti kesiapan komponen pengusaha dalam meata bisnis
pelayanan wisata termasuk pengadaan penginapan, restaurant, akomodasi bidang transportasi,
bahkan pramusata dan atraksi seni budaya yag seharusnya dapat ditampilkan sebagai
pelengkap dan keragaman pelayanan pada destinasi wisata yang bersangkutan. (Lihat
Gambar 5.1).
Gambar 5.1
Desa Wisata Bali Mule Julah Kecamatan Tejakula
Potensi wisata air dan sumber air alami pegunungan tidak saja telah terbangun sejak
lama kolam renang air sanih Kubutambahan yang sudah banyak dikenal sejak lama, tetapi
juga terdapat air terjun Gitgit, desa Gitgit kecamatan Sukasada yang merupakan sumber air
terjun dari mata air pegunungan yang sejuk dan dingin, banyak wisatawan telah
memanfaatkan sebagai sarana untuk mandi, tetpi tidak terlihat terdapat dukungan industri
pariwisata yang kuat sebagai pendamping destinasi wisata tersebut, sehingga tidak
menghasilkan nilai tambah bagi komunitas lokal di wilayah desa Gitgit tersebut. Hal ini tentu
merupakan bagian terpenting dari inisiatif dan kebijakan pemerintah kabupaten Buleleng
tidak saja sebagai fasilitator, tetapi juga dapat melakukan pendampingan dan upaya
pemberdayaan masyarakat dan komponen pengusaha lokal untuk bangkit memanfaatkan
peluang destinasi wisata tersebut sebagai proses untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat
disekitar lokasi destinasi wisata. ( lihat Gambat 5.2)
Gambar 5.2
Air Terjun Gitgit Kecamatan Sukasada Buleleng Tengah
Potensi lain yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka mewujudkan
destinasi wisata bernilai tambah adalah potensi alam pegunungan desa Pancasari dengan latar
belakang danau Buyan, serta desa wisata Bali Handara dan sekitarnya (lihat Gambar 5.3).
Alam pegunungan dengan panorama yang indah dapat menjadi kawasan wisata yang
menjanjikan dimasa depan. Desa wisata Munduk yang dikemas melalui kombinasi alam
pegunungan yang indah dengan budaya masyarakat setempat, ternyata mampu mewujudkan
nilai jual yang sangat baik, dimana penduduk desa menerima manfaat atas kehadiran
pariwisata sebagai sumber mata pencaharian diluar mata pencaharian sebagai petani.
Gambar 5.3
Kawasan Wisata Desa Pancasari Sukasada Buleleng
Kawasan destinasi wisata sawah terrace terdapat di desa Ambengan kecamatan
Sukasada, serta desa Busungbiu kecamatan Banjar (lihat Gambar 5.4). Sebagaimana juga
terdapat pada destinasi wisata yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya,
destinasi wisata sawah terrace hanyak tampil sendirian sebagai obyek wisata, sehingga tidak
menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat sekitar destinasi wisata bersangkutan. Komponen
industri pariwisata yang lebih dan terabaikan, menyebabkan peluang nilai tambah yang
seharusnya terbentuk dikawasan tersebut menjadi hilang tidak termanfaatkan.
Penelitian ini dari awal mengajukan konsep pegembangan destinasi wisata berbasis
komunitas lokal, dimana masayakat lokal bertindak menjadi pemilik atas industri wisata.
Meskipun tidak mudah untuk diwujudkan, namun pengalaman dibanyak negara bahwa peran
dan dukungan kebijakan pemerintah dapat bertindak melalui anggaran belanja melakukan
pemberdayaan dalam rangka mewujudkan pariwisata berbasis kepemilikan masyarakat. Salah
satu dari pendekatan strategi menuju pembangunan destinasi eisata berbasisi CBT tersebut
adalah dengan mengkonstruksi industri komponen pendukung destinasi wisata yangselama
ini tidak tamak kehadirannya di pelbagai destinasi wisata di kabupaten Buleleng.
Gambar 5.4
Kawasan Sawah Teraserinf Busungbiu
Kecamatan Banjar Buleleng Barat
Kebeadaan pantai Loviba di barat kota Singaraja adalah atraksi wisata laut dengan
dukungan atraksi ikan Dolpin merupakan potensi alam wisata yang unik dan bernilai jual
tinggi. Gambar 5.5 menyajikan pentas ikan Dolpin yang menari-nari dipermukaan laut
adalah atraksi wisata yang telah mampu ditampilkan sebagai obyek wisata yang sangat
diminati wisatawan manca negara. Para wisatawan diajak ketengah laut sekitar 300 meter
dari permukaan laut melalui sarana transportasi sampan nelayan yang sangat sederhana.
Sebagimana juga ditemukan pada destinasi wisata pantai Lovina ini, bahwa kehadiran
industri pendukung pariwisata tidak tampak seperti kehadiran handicraft produk kerajinan
masyarakat Buleleng, serta tidak tersedianya pentas atraksi budaya lokal sebagai sajian
alternative yang dapat dinikmati wisatawan.
Gambar 5.5
Pentas Ikan Dolpin Kawasan Laut Pantai Lovina
Kecamatan Banjar Buleleng Barat
Potensi destinasi wisata di Buleleng barat menawarkan yang lebih spesfik dan bernilai
jual tinggi, yaitu taman margasatwa Bali barat, situs terkemuka pura Pulaki, serta kawasan
pulau Menjangan dengan pasir putih yang memukai serta habitat binatang menjangan
sebagai penghuni utama pulau Menjangan.
Gambar 5.6 menyajikan areal transportasi lokal dari kawasan Buleleng barat menuju
pulau menjangan dengan angkutan sampan penduduk tradisional untuk mencapai sekitar 2
km dari pantai daratan di desa Sumberkima menuju kawasan pulau Menjangan yang tidak
berpenduduk tersebut.
Gambar 5.6
Kawasan Wisata Pulau Menjangan
Buleleng Barat
Berdasarkan uraian tentang profile potensi destinasi wisata yang tersebar di sembilan
kecamatan di kabupaten Buleleng tersebut, diperoleh kesimpulan sementara bahwa destinasi
wisata belum ditata secara maksimal dalam rangka mewujudkan nilai tambah kesejahtraan
bagi penduduk lokal. Kajian yang akan dikonstruksi adalah strategi pengembangan destinasi
wisata community-based tourism (CBT) sebagaimana pendekatan konsep dan arah
pengembangannya telah tersajikan pada BAB 3 kerangka piker penelitian ini.
5.2 Uji Outer-model Persepsi Destinasi Wisata Berbasis CBT
Model destinasi wisata berbasis CBT dikembangkan dengan sangat bergantung
kepada daftar pertanyaan yang dirancang khusus menurut kebutuhan model teori yang
melatar-belakanginya, sehingga terbentuk variabel laten sebagai alat ukur untuk menetapkan
derajat kepekaan masing-masing variabel penunjang dalam membentuk destinasi wisata
berbasis CBT (lihat Gambar 3.2 pada hipotesis penelitian BAB 3). Lampiran 1.1 sampai
dengan Lampiran 1.2 menyajikan hasil penelitian lapangan tentang persepsi masyarakat
disekitar destinasi wisata yang terpilih mewakili responden, para pengusaha lokal, yang
mewakili konstruk modal social network, serta kolaborasi yang didukung oleh satuan pemuka
tokoh masyarakat sebagai pengikat konstruksi kolaborasi yang menghubungkan antara
variabel Infras (X1) yang mewakili dinamika partisipasi masyarakat yang berada disekitar
destinasi wisata, variabel X3 (network) adalah responden pengusaha lokal yang bergelut di
sektor industri wisata yang dilihat dalam dimensi potensi modal sosial mencakup linkage,
trust dan norma.
Sedangkan X2 adalah variabel commitment mencerminkan prilaku pengusaha non
pariwisata dalam dimensi persepsi untuk mendukung kolaborasi dalam rangka penguatan
basis industri pariwisata. Responden X2 dirumuskan sebagai komponen usaha lokal non
pariwisata yang memiliki potensi memperkuat kolaborasi dalam rangka mewujudkan potensi
kebersamaan dalam gerak dan langkah untuk mewujudkan community-based tourism yaitu
tipe industry wisata berbasis kepemilikan dan partisipasi rakyat.
Variabel Y1 adalah kolaborasi yaitu keberadaan tokoh masyarakat dan peran desa
adat sebagai kekuatan informal sebagai persepsi dinamis yang menjadi penentu keberhasilan
dalam memadukan potensi partisipasi pengusaha lokal dan masyarakat yang bermukim
disekitar destinasi wisata yang akan menjadi penentu kebersilan pengembangan destinasi
wisata berbasis komunitas. Terakhir, variabel Y2 adalah destinasi wisata berbasis CBT yang
mencerminkan dinamika pasar pengguna jasa destinasi wisata dengan memanfaatkan
pramuwisata sebagai proksi atas permintaan jasa pariwisata. Pramuwisata adalah komponen
penggerak pelayanan yang menjadi partner wisatawan yang berkunjung ke wilayah
Buleleleng. Dengan demikian, diharapkan terdapat tali sambungan antara peran partipasi
masyarakat, tokoh masyarakat dan pengusaha lokal dalam membangun kolaborasi pelayanan
wisata disatu pihak, dengan dinamika pasar wisata yang dipersepsikan oleh para pramusisata
sebagai wakil dari dinamika pasar pariwisata di wilayah kabupaten Buleleng.
Hasil wawancara disampaikan dengan pengukuran skala Likert sebagaimana disajikan
pada Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.2, sedangkan pola distribusi sebaran data skala
Likert disajikan pada Lampiran 1.3 sampai dengan Lampiran 1.5 dalam bentuk sajian grafik.
Meskipun syarat distribusi normal tidak menjadi pertimbangan utama pada penelitian ini,
namun pola sebaran data setidaknya dapat memberikan indikasi awal tentang arah dinamika
persepsi responden yang diwawancarai. Ternyata sebagian besar data terpolakan pada sisi
kiri dan sisi kanan, dengan sedikit terkonsentrasi ditengah. Hal ini menujukkan pola sikap
responden dengan pandangan yang lebih banyak bersifat memilih ketimbang berpandangan
netral (Skala 3).
Penelitian ini membangun pemodelan persepsi dengan pengembangan outer-model
sebagai focus konstruksi yang memuat didalamnya latent variable reflective dan latent
variable formative, sehingga analisis yang memadai untuk dipetakan adalah pendekatan
variance-based PLS. ( Ringers et al (2012), Hair et al (2013) serta Henseler (2010). Langkah
pertama untuk menguji outer-model yang memenuhi syarat kecukupan untuk dapat diangkat
ke tingkat lanjutan ke proses penyelesaian inner-model, adalah bahwa model reflective
memiliki outer-loading yang memiliki syarat penyebaran nilai secara covary, sedangkan pada
latent formative akan ditentukan sebaliknya ( Jarvis et al (2003).
Penelitian juga melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kualitas data Likert
yang telah ditabulasi untuk kemudian diuji dengan mempergunakan pendekatan explanatory
factor analysisi sebagaimana direkomendasikan oleh Cohen (1987) serta Tenenhous et al
(2005). Dengan demikian, evaluasi data mempergunakan software SPSS versi 17 untuk
menetapkan tahaoan pengujian KMO dan Barlet test, serta sebaran nilai correlation image,
yang bermanfaat untuk melihat kualitas masing-masing indikator yang membentuk masing-
masing variabel latent.
5.2.1 Uji Latent Variabel Infras (X1) – Laten Reflective
Uji analisis factor menunukkan nilai KMO relative rendah kurang dari 70% yang
direkomendasikan, sehingga masih harus ditelusuri kualitas questionnaire, dengan
kemungkinan terjadinya sampling error sebagai akibat dari daftar pertanyaan yang kurang
dimengerti oleh responden. Jalan keluar untuk mendapatkan informasi sekitar kualitas
indikator dalam membentuk latent variable X1, diperoleh melalui anti-image matrices,
ternyata indikator X1.4 memiliki nilai jauh dibawah 0.50, sehingga harus dikeluarkan dari
pembentuk indikator laten X1.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .510
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 164.284
Df 6
Sig. .000
Anti-image Matrices
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4
Anti-image Covariance X1.1 .052 .051 .029 .085
X1.2 .051 .075 -.033 .070
X1.3 .029 -.033 .208 .082
X1.4 .085 .070 .082 .174
Anti-image Correlation X1.1 .494a .816 .276 .887
X1.2 .816 .572a -.263 .612
X1.3 .276 -.263 .783a .429
X1.4 .887 .612 .429 .200a
Hasil reduksi atas indkator pada variabel X1 menghasilkan kemajuan pada nilai KMO
menjadi 0.622 paling tidak medekati nilai 0.70 tetapi dengan perbaikan pada anti-image
correlation dengan sebaran diatas 0.50. Dilihat dari criteria KMO, maka indkator X1.4 adalah
titik lemah yang mengurangi kinerja prediksi atas variabel laten X1.
Kriteria lain yang dapat dijadikan pedoma untuk menguji kualitas indikator X1.1
sampai dengan X1.4 dalam membentuk latent X1 adalah uji reability, uji composite dan uji
discriminant validity yang disajikan pada Lampiran 1. 12. Rekomendasi pengujian yang
dianggap dapat mewakili ketiga uji indikator diatas adalah dengan melihat sebaran loading
factor dari masing-masing indikator sebagaimana direkomendasikan oleh Jarvis et al (2003),
yaitu bahwa model latent reflective wajib memiliki sebaran loading factor yang covary (
Jarvis et al (2003), Petter et al (2006).
X1
X1.1 X1.2 X1.3
0.9640.613 0.967
Gambar 5.7
Loading Factor Latent Variable X1
Ternyata outer-model yang membentuk latent variable X1 tidak memiliki sebaran
yang covary terbukti dengan indikator X1.1 yang tidak memiliki kesejajaran loading factor
dengan indikator X1.2 dan X1.3, sehingga pembentukan variabel laten X1 masih memiliki
kendala karena tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan seagai variabel laten yang
memiliki karakter reflective. Mengeluarkan X1.4 dari model ternyata belum maksimal
sebagai upaya mengkoreksi model. Menghilangkan lebih banyak indikator tentu menjadi
beresiko karena akan menjauhkan model latent dari konstruksi teori yang dibangun sejak
awal, karena metode SEM dan path dibangun berdasarkan confirmatory factor model ( Hair,
2010). Dengan demikian, hasil analisis ini akan menjadi catatan bagi perbaikan teknik
wawancara dan upaya menemukan responden yang lebh tepat fungsi, sehingga dapat direkam
data persepsi yang lebh berkualitas.
5.2.2 Uji Latent Variabel Commitment (X2) – Laten Reflective
Uji analisis factor menunjukkan nilai KMO untuk variabel X2 adalah 0.773 yaitu
syarat terpenuhinya bahwa variasi nilai X2 telah mendapat dukungan variasi informasi yang
memadai dan layak untuk diteruskan ke analisis factor berikutnya. Analisis anti-image
correlation menujukkan nilai korelasi seluruh indikator berada diatas 0.50 sehingga cukup
memberikan dukungan atas kualitas data persepsi untuk diteruskan ke tingkat penyelesaian
model SEM dan Path berbasis variance-based PLS.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .773
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 198.651
df 10
Sig. .000
Anti-image Matrices
X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5
Anti-image Covariance X2.1 .477 .034 .082 -.103 -.006
X2.2 .034 .062 .051 -.035 .075
X2.3 .082 .051 .090 .038 .014
X2.4 -.103 -.035 .038 .302 -.071
X2.5 -.006 .075 .014 -.071 .183
Anti-image Correlation X2.1 .825a .197 .397 -.271 -.019
X2.2 .197 .698a .679 -.258 .706
X2.3 .397 .679 .786a .233 .113
X2.4 -.271 -.258 .233 .868a -.302
X2.5 -.019 .706 .113 -.302 .746a
Hasil analisis dengan mempergunakan SmartPLS ver 2 diperoleh sebaran loading
factor sebagaimana disajikan pada Gambar 5.8. Ternyata untuk variabel X2 memenuhi syarat
dimana loading factor dari semua indikator yang ada menyebar secara covary, sehingga
memenuhi syarat uni-dimensional ( Petter, 2006), dimana menghilangkan sala satu dari
indikator tidak akan berpengaruh kepada variabel latent lainnya dalam suatu hungan
struktural.
X2
X2.1 X2.2 X2.3
0.879 0.815
X2.4 X2.5
0.820 0.899 0.828
Gambar 5.8
Loading Factor Latent Variable X2
5.2.3 Uji Latent Variabel Commitment (X3) – Laten Formative
Berbeda dengan variabel laten reflective yang memiliki karaktek uni-dimensional
dengan syarat indikator loading factor yang covary, maka untuk laten formative dimana
indikator bertindak mempengruhi variabel laten X3, maka pada laten formative berlaku
karakter multi-dimensional, dimana menggantikan salah satu dari indikator akan berdampak
pada variabel laten lainnya dalam suatu hubugan model struktural. Pada model laten
formative, pengukuran uji reability dan uji discriminate validity tidak berlaku, karena antar
indikator tidak memerlukan syarat covary. Jika pada latent reflective berlaku syarat covary
dengan sifat data hight multi-collinearity, maka pada laten formative, justru sebaliknya yaitu
hubungan antar indikator tidak mengandung multi-collinearity. Dengan demkian, maka
indikator yang harus ditampilkan dari loading factor setiap indikator bersifat tidak covary.
Uji KMO dan anti-image correlation menunjukkan informasi yang mendukung
karakter laten formative yang multi-dimensional dimana KMO sebesar 0.149 dan anti-image
correlation seluruhnya lebih rendah dari 0.50, menunjukkan bahwa antar indikator tidak
menunjukkan gejala saling berhubungan satu indikator dengan indikator lainnya.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .149
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square
265.072
df 36
Sig. .000
Anti-image Matrices
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9
Anti-image Covariance X3.1 .050 .045 .065 .037 .073 .034 .049 .057 .065
X3.2 .045 .048 .070 .042 .072 .034 .049 .056 .062
X3.3 .065 .070 .145 .068 .117 .052 .084 .099 .092
X3.4 .037 .042 .068 .042 .066 .031 .045 .053 .058
X3.5 .073 .072 .117 .066 .151 .055 .091 .099 .111
X3.6 .034 .034 .052 .031 .055 .028 .032 .043 .048
X3.7 .049 .049 .084 .045 .091 .032 .080 .067 .079
X3.8 .057 .056 .099 .053 .099 .043 .067 .084 .081
X3.9 .065 .062 .092 .058 .111 .048 .079 .081 .116
Anti-image Correlation X3.1 .199a .915 .763 .813 .847 .913 .780 .875 .857
X3.2 .915 .127a .839 .932 .848 .926 .798 .881 .828
X3.3 .763 .839 .070a .875 .792 .811 .779 .893 .711
X3.4 .813 .932 .875 .189a .827 .917 .778 .892 .827
X3.5 .847 .848 .792 .827 .064a .846 .829 .875 .836
X3.6 .913 .926 .811 .917 .846 .217a .680 .886 .854
X3.7 .780 .798 .779 .778 .829 .680 .233a .822 .823
X3.8 .875 .881 .893 .892 .875 .886 .822 .074a .819
X3.9 .857 .828 .711 .827 .836 .854 .823 .819 .128a
Bukti analisis KMO dan anti-image correlation yang diolah dengan software SPSS versi 17,
ternyata searah dengan hasil analisis SmartPls melalui proses outer-model, dimana variabel
X4 dinyatakan sebagai laten formative.
Hasil analisis latent formative sebagaimana disajikan pada Gambar 5.9 tidak
mendukung analisis factor sebelumnya, bahwa ternyata loading factor yang dihasilkan
memiliki karakter covary, dimana loading factor antar yang dihasilkan memiliki dimensi
yang covary, padahal latent formative seyogyanya memiliki sebaran loading factor yang tidak
covary. Lohlin (2005) menyarankan perlunya dilakukan prosedur second order yaitu dengan
mengelompokkan indikator sedemikian rupa, tentunya dengan membagi kelompok indikator
berdasarkan konstruksi teori yang membentuknya yaitu Z1 adalah linkage, Z2 adalah trust
serta Z3 adalah norma, sehingga diperoleh tiga latent yang membentuk latent variable X3.
X3
X3.1 Y3.2 Y3.3
0.863 0.920
Y3.4
0.940 0.813
Y3.5
0.825
Y3.6 Y3.7 Y3.8 Y3.8
0.8250.920 0.9200.920
Gambar 5.9
Loading Factor Latent Variable X2
Prosedur second order formative ternyata menghasilkan pola penyebaran indikator
yang memiliki karakter tidak covary, sehingga menjadi lebih layak untuk ditetapkan sebagai
unit analisis untuk variabel network (X3). Gambar 5.10 adalah bentuk second order laten
formative, dimana latent formative X3 dibentuk oleh kelompok latent Z1, Z2 dan Z3.
Z1
X3.1 X3.2 X3.3
0.2820.496 0.296
Z2
X3.4 X3.5 X3.6
0.283 0.347 0.544
Z3
X3.7 X3.8 X3.9
0.224 0.5160.354
X3
0.353 0.317 0.370
Gambar 5.10
Loading Factor Latent Variable X3
Pengembangan model laten formative mengikuti second order procedure telah
berhasil meningkatkan kualitas hasil analisis dimana loading factor dari indikator pembentuk
laten X3 adalah tidak covary. Dengan demikian, maka penyelesaian model structural akan
diselesaikan berdasarkan model SEM dan path dengan pengembangan second order latent
model ( Lohlin, 2005), Lin et al (2008).
5.2.4 Uji Latent Variabel Kebijakan Pemerintah (X4) – Laten Formative
Latent formative kedua yang dipetakan sebagai konstruksi laten yang memenuhi
nuansa kuantitatif serta memiliki dinamika indikator sebagai pembentuk laten variabel X4
( Diamantopolous, 2001), Hair et al (2010). Meskipun uji reability dan discriminate validity
tidak berlaku sebagai alat analisis untuk menetapkan kualitas variabel latent formative,
namun informasi kualitas data berdasarkan pendekatan explanatory factor analyisis dapat
menjadi pemetaan awal bagi kualitas data yang berbasis penelitian persepsi dengan skala
katagori. Hasil analisis SPSS yang memuat nilai KMO dan anti-image correlation disajikan
kembali dari Lampiran 1.19 yang dikutip kembali sebagai berikut.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .165
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 183.846
df 6
Sig. .000
Anti-image Matrices
X4.1 X4.2 X4.3 X4.4
Anti-image Covariance X4.1 .034 .031 .021 .015
X4.2 .031 .032 .021 .015
X4.3 .021 .021 .014 .010
X4.4 .015 .015 .010 .007
Anti-image Correlation X4.1 .098a .963 .974 .983
X4.2 .963 .098a .976 .984
X4.3 .974 .976 .157a .993
X4.4 .983 .984 .993 .277a
Nilai KMO sebesar 0.165 yang ternyata lebih rendah dari 0.70 serta sebaran nilai anti-
image correlation lebih kecil dari 0.50 menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan
penelusuran latent formative X3 sebelumnya. Analisis explanatory factor analysis yang
tersajikan diatas mendukung syarat bahwa latent variabel formative selalu berlawanan dengan
model laten reflective, karena pada model reflective ditentukan memiliki karakter uni-
dimensional yang dipetakan sebagai sebaran loading factor yang covary, sedangkan pada
laten formative terdapat sebaran loading factor yang tidak covary.
Hasil analisis dengan mempergunakan SmartPls versi 2 disajikan pada Gambar 5.1.
Ternyata sebaran loading factor tidak menyebar secara covary sehingga syarat bahwa laten
formative memiliki karakter multi-dimensional terpenuhi dengan baik, sehinga dapat
diteruskan ke tingkat penyelesaian model structural SEM dan path.
X4
X4.1 X4.2 X4.3
0.519 0.026
X4.4
0.153 0.382
Gambar 5.11
Loading Factor Latent Variable X2
5.2.5 Uji Latent Variabel Kolaborasi (Y1) – Laten Reflective
Model laten reflective adalah dirumuskan berdasarkan kajian teoritik, karena basis
teori SEM dan path adalah berdasarkan konsep confirmatory factor analysis. Hasil analisis
factor dengan mempergunakan bantuan SPSS disajikan dengan mengutip kembali Lampiran
1.9 sebagai berikut.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .623
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 65.640
df 6
Sig. .000
Anti-image Matrices
Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4
Anti-image Covariance Y1.1 .314 -.243 .028 -.049
Y1.2 -.243 .304 -.036 -.054
Y1.3 .028 -.036 .668 -.322
Y1.4 -.049 -.054 -.322 .579
Anti-image Correlation Y1.1 .591a -.786 .061 -.114
Y1.2 -.786 .602a -.080 -.129
Y1.3 .061 -.080 .630a -.518
Y1.4 -.114 -.129 -.518 .703a
Nilai KMO sebesar 0. 623 ternyata lebih kecil dari ketentuan minimal sebear 0.70,
meskpiun demikian, kisaran nilai KMO yang masih diatas 0.50 serta dukungan yang
memadai dari anti-image correlation dimana sebaran korelasinya seluruh indikator diatas
0.50 menunjukkan kondisi data idikator cukup ideal untuk tetap dapat dilanjutkan.
Hasil analisis loading factor yang diperoleh dari penggunaan bantuan software
SmartPls versi 2 disajikan pada Gambar 5.12. Ternyata loading factor yang diperoleh dari
hasil analisis menunjukkan adanya sebaran nilai loading factor yang cukup covary, sehingga
cukup ideal untuk menggambarkan kondisi latent variable reflective sebagaimana
direkomendasikan oleh Jarvis et al (2003).
Y1
Y1.1 Y1.2 Y1.3
0.908 0.927
Y1.4
0.889 0.915
Gambar 5.12
Loading Factor Latent Variable Y1
5.2.6 Uji Latent Variabel Destinasi Wisata CBT (Y2) – Laten Reflective
Variabel Laten destinasi wisata CBT dipersepsikan dari prilaku pengguna jasa
destinasi wisata di wilayah destinasi yang terpilih sebagai obyek penelitian. Karena
keterbatasan wisatawan, serta kesulitan untuk mendapatkan tamu yang berkunjung pada
lokasi yang bersangkutan, maka persepsi wisatawan tentang kualitas destinasi wisata
dipetakan dari pramuwisata (guide) sebagai pendamping wisatawan keseharian. Setidaknya,
pramuwisata dapat memberikan gambaran tentang kendala pelayanan, mutu destinasi wisata,
ketersediaan fasilitas penunjang wisata, serta persoalan keamanan dan sarana lain yang masih
dianggap penting ditingkatkan, sekiranya akan memberikan gambaran tentang potensi pasar
wisata yang tersedia pada destinasi wilayah Buleleng secara umum.
Hasil wawancara dipetakan mempergunakan skala Likert, data hasil penelitian
disajikan pada Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.2. Berdasarkan uji explanatory
factor analysis dengan bantuan software SPSS ver 17, disajikan pada Lampiran dan dikutip
sebagian sebagai berikut.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .466
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 89.819
df 10
Sig. .000
Anti-image Matrices
Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5
Anti-image Covariance Y2.1 .419 .022 -.065 .267 .268
Y2.2 .022 .253 -.195 -.015 .106
Y2.3 -.065 -.195 .208 .020 -.154
Y2.4 .267 -.015 .020 .683 .079
Y2.5 .268 .106 -.154 .079 .434
Anti-image Correlation Y2.1 .483a .067 -.221 .499 .629
Y2.2 .067 .482a -.849 -.035 .319
Y2.3 -.221 -.849 .456a .053 -.514
Y2.4 .499 -.035 .053 .566a .145
Y2.5 .629 .319 -.514 .145 .392a
a. Measures of Sampling Adequacy(MSA)
Ternyata hasil analisis menunjukkan nilai KMO sebesar 0.466 masih sangat
terkendala untuk dapat dinyatakan indikator memiliki kualitas yang baik dalam membentuk
variabel laten Y2. Anti-image correlation ternyata juga terkendala pada indikator Y2.5 yaitu
dengan nilai korelasi 0.392 yang masih jauh dari nilai minimum 0.50. Meskipun demikian,
uji Barlets yang positif dan relative dengan nilai Chi relative besar, dapat memberikan
keyakinan bahwa hasil wawancara masih layak dapat diteruskan ke penyelesaian outer-model
denan bantuan SmartPls ver 2. Hasil analisis dengan bantuan SmartPls ver 2 disajikan pada
Gambar
Y2
Y2.1 Y2.2 Y2.3
0.863 0.920
Y2.4
0.940 0.813
Y2.5
0.825
Gambar 5.13
Loading Factor Latent Variable Y2
Berdasarkan Gambar 5.13, sebaran nilai loading factor memenuhi syarat covary, yaitu
adanya kesetaraan sebaran nilai diantara indikator yang tidak menyimpang terlalu jauh,
sehingga dapat dinyatakan variabel laten destinasi wisata CBT (Y2) cukup layak untuk
disertakan menjadi bagian dalam sebuah model structural path dan SEM berbasis variance-
based PLS.
5.3 Analisis Struktural Model Destinasi Wisata CBT.
Penelitian ini mengembangkan analisis data melalui tiga tahap. Tahap pertama, adalah
melakukan uji coba dengan menggabungkan seluruh indikator pada modal social sebagai
indikator langsung yang membentuk netrowk (X3). Hasil uji pendahuluan dengan bantuan
analisis factor SPSS, sebagaimana telah dibahas sebelumnya ternyata tidak memuaskan dan
dengan kualitas analisis yang sangat tidak memadai, dimana seluruh temuan indikator
memiliki sebaran loading factor yang covary, padahal variabel laten X3 adalah formative.
Pada tahap kedua, analisis dilanjutkan dengan melakukan revisi atas model penelitian
dengan mempergunakan second order procedur sebagaimana direkomendasikan oleh Lohlin
(2005), Lin (2006), Afthanorhan (2014), Wetzel et al (2009). Hasil analisis sem dan path
berbasis variance-based PLS disajikan mulai dari Lampiran 1.3 sampai dengan Lampiran
1.14.
Tahap ketiga, adalah dengan mempetakan analisis intermediasi dengan banuan
software SmartPls ver2, sehingga dapat ditentukan hasil analisis signifikansi pada jalur
intermediasi model penelitian CBT ini, dalam hal mana dilakukan untuk melengkapi jawaban
dari tujuan penelitian ini.
5.3.1 Kelayakan Model Penelitian
Kelayakan model penelitian dapat dibuktikan dengan melihat analisis koefisien
determinasi multivariate yang dinyatakan sebagai Q2, dengan detail teknik perhitungan
sebagai berikut.
Q2 = 1 – (1-R
2x2)*((1-R
2y1) *(1-R
2y2)
Berdasarkanm Lampiran 1.12 dengan sumber rinian nilai R2 untuk tiga variabel endogen,
maka diperoleh nilai Q2 = 1 – (1-0.7456) * (1-0.8474) * ( 1-0.8962) = 0.9959.
Berdasarkan temuan nilai Q2 sebesar 0.99 dapat dinyatakan bahwa model penelitian
memenuhi goodness of fits dimana hanya sebesar 1% dari variasi seluruh endogen variable
ditentukan oleh variabel lain yang tiak disertakan pada model penelitian. Dengan demikian,
bahwa model path dapat memberikan informasi secara memadai secara keseluruhan untuk
melihat proses interdependensi antar variabel penelitian yang disertakan pada model
penelitian ini.
5.3.2 Analisis Bootstrapping Model Penelitian
Hasil analisis tahap kedua, yaitu penggunaan prosedur second order disajikan untuk
sebagian dikutip kembali dari Lampiran 1.21 tentang hasil analisis bootstrapping untuk
menetapkan sejauh mana tujuan penelitian yang telah dirumuskan penelitian ini dapat
dijawab oleh hipotesis model yang disusun. Hasil analisis bootstrapping disajikan pada Tabel
5.1. Ternyata dari enam hipotesis yang dirmuskan, terdapat satu tujuan penelitian yaitu Infras
(X1) tidak berpengaruh signifikan terhadap kolaborasi (Y1) berdasarkan criteria uji t sebesar
5%, dengan t table = 1.645, selebihnya sebanyak lima tujuan penelitian dinyatakan signifikan
berdasarkan criteria uji t 5%, karena t table masih lebih kecl dibandingan dengan T statistics
yang diperoleh dari perhitungan SmartPls.
Tabel 5.1
Hasil Analisis Bootstrapping statistic t dengan Sampel N = 80
Variables Original Sample Standard Standard T
Sample Mean Deviation Error Statistics
X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131
X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864
X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148
X3 -> Y1 0.5394 0.5754 0.1037 0.1037 5.1991
X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472
Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697
Hasil analisis statistic t yang tidak signifikan pada variabel Infras (X1) telah dideteksi
sejak awal, yaitu dengan lemahnya hasil uji explanatory factor analysis denan nilai KMO
yang tidak memadai, serta anti-image correlation yang tidak memuaskan. Terdapat beberapa
indikasi yang dapat menjadi penyebab terjadinya sampling error yang cukup besar, antara
lain adanya kesalahan dalam memilih calon responden, adanya pertanyaan items kuestioner
yang tidak dijawab sesuai dengan konteks pertanyaan, serta keterbatasan dalam alokasi waktu
peneliti dalam melakukan sosialisasi atas konsep pertanyaan yang diajukan, sehingga dimasa
depan penelitian perlu memprtimbangkan alokasi waktu yang lebh banyak untuk memahami
karakter responden, sehingga dapat dihindarkan bias informasi dari responden terpilih.
Dari lima variabel yang dinyatakan signifikan, ternyata variabel commitment (X2)
yang memiliki sign negative terhadap variabel kolaborasi, yaitu sebesar -0,3692. Hal ini
menunjukkan ada keterkaitan hubungan yang berlawanan arah antara commitment pengusaha
non pariwisata (X2) terhadap kolaborasi (Y1). Dengan demikian, meskipun pengaruh
commitment adalah signifikan terhadap kolaborasi, tetapi indikasi parameter menyatakan
pengusaha lokal non pariwisata tidak sepenuhnya memberikan signal bagi penguatan
kolaborasi dalam rangka mewujudkan community-based tourism (CBT) di wilayah
kabupaten Buleleng.
Hasil analisis dalam bentuk grafik yang dikutip kembali dari Lampiran 1.29 dan
Lampiran 1.30 disajikan pada Gambar 5.14 dan Gambar 5.15. Gambar 5.14 menunjukkan
pola keterkaitan hubungan antar variabel untuk menuju sasaran akhir yaitu destinasi wisata
CBT sebagai target yang ingin diketahui peluang dan kemungkinan pengembangannya.
Ternyata signifikansi statistic t juga ditunjukkan oleh second order latent variable dari linkage
(Z1), trust (Z2) dan norma (Z3) yang membentuk latent pada first order (X3), sehingga
penelusuran tentang kontribusi masing-masing latent variable pembentuk X2 tersebut dapat
dilakukan dengan melihar outer-weight loading factor, sehingga dapat dilihat secara spesifik
power effect dari variabel Z1, Z2 dan Z3 dalam mengkonstruksi latent variabel Network
(X3).
Gambar 5.14
Hasil Bootstrapping statistic t Antar Variabel Penelitian
Berdasarkan Gambar 5.15 dapat diketahui bahwa norma (Z3) atau aspek budaya
dalam kesetaraan memiliki koontribusi terbesar, disusul oleh variabel linkage (Z2) dan
kemudian trust (Z2) sebagai nominasi terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa profile
masyarakat Buleleng memiliki kesetaraan lebih kuat dalam membangun kebersamaan,
dengan mengabaikan struktur kelas, gender dan perbedaan lainnya dalam masyarakat. Potensi
modal social berikutnya adalah linkage, yaitu kemampuan pengusaha lokal bidang pariwisata
dalam membangun jaringan pergaulan dimulai dari dusun, desa sampai dengan pola linkage
warga masyarakat antar satu kecamatan dengan kecamatan yang lain.
Gambar 5.15
Prediksi Parameter Hubungan Antar Variabel Penelitian
Penelusuran tingkat kontribusi pembentukan kolaborasi (Y1) yang bersumber dari
persepsi tokoh masyarakat dan adat, ternyata peran kebijakan pemerintah (X4) memainkan
peranan teroenting dalam membentuk kolaborasi, disusul kemudian oleh peranan potensi
modal social Network (X3), sedangkan konstribusi variabel pengusaha non pariwisata (X2)
memiliki persepsi dengan sign parameter negative. Dengan demikian, dari ketiga pembentuk
kolaborasi dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis komunitas lokal di kawasan
destinasi Buleleng, ternyata peran pengusaha lokal non pariwisata masih menjadi kendala
karena berlawanan arah dengan tujuan untuk mewujudkan kolaborasi dalam menghimpun
kebersamaan untuk mewujudkan destinasi berbasis CBT di wlayah kabupaten Buleleng.
Kolaborasi (Y1) dilihat dalam keterkaitan parsial sebagai variabel pembentuk
destinasi wisata CBT (Y2) ternyata memiliki kontribusi lebih besar dibandingkan dengan
variabel kebijakan pemerintah (X4). Lihat Gambar 5.15. Hal ini menunjukkan bahwa
kemandirian masyarakat Buleleng dalam mewujudkan destinasi wisata berbasis CBT
setidaknya menurut penelitian persepsi ini sanat kuat, terbukti dengan kontribusi positif lebih
besar dari peran kolaborasi dibandingkan dengan kebijakan pemerintah (X4).
5.3.3 Analisis Peran Intermediasi Model Penelitian
Model hubungan parsial yang dibahas sebelumnya, adalah berkaitan dengan rumusan
tujuan penelitian yang perlu dibuktikan secara empiric dalam penelitian ini berdasarkan uji
statistic atas fenomena yang berkembang di lapangan. Pada tahap tersebut, belum dapat
diperoleh gambaran final apakah dalam hubungan parsial tersebut, masih terdapat besaran
dari parameter prediksi itu tidak sacar berpengaruh secara langsung terhadap variabel yang
dipengaruhinya, tetapi juga terdapat konsep pendekatan teori yang menyatakan bahwa
perubahan prilaku pada satu variabel amatan berpengaruh pada tingkatan intermediasi,
dimana terdapat satu atau lebih dari variabel penelitian dapat berfungsi sebagai mediator yang
memperkuat pembentukan sasaran variabel akhir atau bisa juga bahkan memperlemah
pembentukan sasaran akhir yang ingin diwujudkan yaitu destinasi wisata CBT di kabupaten
Buleleng.
Penyelesaian model path dan SEM untuk mendapatkan intermediasi antar variabel
yang berhubungan diselesaikan dengan mempergunakan software SmartPls ver 2, dengan
hasil analisis disajikan pada Lampiran 1.34 sampai dengan Lampiran 1.44.
Tabel 5.2
Hasil Analisis Bootstrapping statistic t dengan Sampel N = 80
( Uji Intermediasi Variabel Endogen )
Variabls Original Sample Standard Standard T Sample Mean Deviation Error Statistics
X1 -> Y1 0.3593 0.1696 0.2948 0.2948 1.2187
X2 -> Y1 -0.1705 -0.1621 0.0824 0.0824 2.0689
X2 * X3 -> Y1 0.2541 0.2473 0.1102 0.1102 2.3065
X3 -> X2 0.8712 0.8658 0.0398 0.0398 21.9135
X3 -> Y1 0.0715 0.0819 0.1237 0.1237 0.578
X3 * X1 -> Y1 -0.2812 -0.2619 0.1397 0.1397 2.0127
X3 * X4 -> Y1 -0.301 -0.4229 0.2307 0.2307 1.3048
X4 -> Y1 0.8079 0.6265 0.2526 0.2526 3.1982
X4 -> Y2 0.1316 0.1345 0.0836 0.0836 1.5734
X4 * X1 -> Y1 -0.4291 -0.1895 0.3566 0.3566 1.2032
X4 * Y1 -> Y2 -0.1108 -0.1296 0.0689 0.0689 1.6084
Y1 -> Y2 0.7302 0.7081 0.1053 0.1053 6.9359
Z1 -> X3 0.3683 0.3634 0.0164 0.0164 22.4241
Z2 -> X3 0.3168 0.3253 0.0187 0.0187 16.9271
Z3 -> X3 0.37 0.3645 0.0153 0.0153 24.1099
Berdasarkan sajian Tabel 5.2 diperoleh sebaran nilai statistic t yang lebih besar dari t
table adalag intermediasi variabel X2 * X3 ke Y1 dan X3 * X1 ke Y1, tiga intermediasi
lainnya tidak signifikan, yaitu nilai t dibawah nilai table t = 1.645 pada level keyakinan
sebesar 5%. Dengan demikian, pernyataan bahwa modal sosial Network (X3) memiliki
dampak hubungan secara tidak lngsung terhadap kolaborasi (Y1) melalui peranan modal
social dapat didukung penelitian ini.
Intermediasi berikutnya yang terbukti signifikan berdasarkan kriteria uji statistic 5% ,
adalah proses pengaruh secara tidak langsung dari modal social Netwok (X3) ke kolaborasi
(Y1) terbukti dan dapat didukung penelitian ini. Sebaliknya, tidak ditemukan bukti empiris
dari pembentukan peran kebijakan pemerintah (X4) memiliki dampak tidak langsung
terhadap kolaborasi, demikian juga tidak berhasil dibuktikan bahwa destinasi wisata CBT
(Y2) ditentukan oleh proses intermediasi variabel lainnya, selain menerima dampak
hubungan langsung baik melalui kolaborasi (Y1) maupun melalui kebijakan pemrinah (X4).
Gambar 5.16
Bootstrapping Intermediasi Variabel Endigen Model Penelitian
Gambar 5.16 yang dipetik kembali dari Lampiran 1.44 menunjukkan bahwa modal
social Network (X3) ternyata memiliki kinerja untuk mendorong penguatan kolaborasi (Y1)
dengan memanfaatkan Infras (X1) dan Commitment (X2) sebagai mediator dalam
memperkuat kolaborasi dalam rangka mewujudkan sasaran akhir terwujudnya destinasi
wisata berbasis CBT di kabupaten Buleleng.
Gambar 5.16
Bootstrapping Intermediasi Variabel Endigen Model Penelitian
Pada sisi lain, tidak terdapat satu pun variabel amatan yang dapat menjadi mediator
dalam membentuk terwujudnya destinasi wisata CBT (Y2) sebagai sasaran akhir.
Intermediasi ternyata hanya terbukti berdasarkan uji statistik dengan tingkat kepercayaan 5%,
adalah penguatan kolaborasi (Y1) dengan peran variabel Infras (X1) dan variable
Commitment (X2) sebagai mediator.
Commitment (X2) adalah persepsi yang dipetakan dari responden pengusaha lokal
non pariwisata, sedangkan Infras (X1) adalah persepsi warga masyarakat disekitar lokasi
destinasi wisata yang diposisikan sebagai variabel eksogen dalam ikut serta memperkuat
kolaborasi (Y1). Meskioun Infras (X1) ternyata tidak signifikan, tetapi upaya untuk
membangun link dengan menempatkan Infras (x1) sebagai variabel mediator, ternyata
memiliki pengaruh yang signifikan, meskipun sifat dari prediksi adalah bertanda negative.
Dengan demikian dapat diprediksi berdasarkan hasil analisis PLS, bahwa masyarakat umum
(X1) memerlukan pemberdayaan tentang peran modal social, sehingga dimasa depan dapat
meningkatkan fungsi partisipasi masyarakat dalam rangka membangun kawasan destinasi
wisata yang berkelanjutan, dimana masyarakat lokal ikut serta secara aktif memberikan
sumbangsih bagi keamanan wisata, pelayanan wisata, serta kondisi yang semakin sejuk dan
menyenangkan untuk dengan tulus hati menerima kehadiran pendatang wisatawan sebagai
pembawa nilai tambah kesejahtraan bagi masyarakat di wilayah Bali utara.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
6.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang disampaikan sehubugan dengan hasil pembahasan yang telah
disampaikan sebelumnya, dengan penjabaran sebagai berikut.
a. Bahwa modal sosial yang memiliki komponen linkage, trust dan norma ternyata dapat
dibuktikan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kolaborasi (Y1) maupun
terhadap commitment para pengusaha non pariwisata untuk mewujudkan destinasi
wisata berbasis CBT di kabupaten Bulelelng.
b. Peran kebijakan pemerintah (X4) ternyata berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kolaborasi usaha (Y1) maupun terhadap variabel destinasi wisata berbasis CBT di
kabupaten Buleleng.
c. Ternyata telah terjadi intermediasi hubungan pengaruh dari modal social terhadap
kolaborasi usaha (Y1) melalui peran mediator variabel commitment usaha non
pariwisata (X2). Meskipun demikian, tidak dapat dibuktikan penelitian ini bahwa
destinasi wisata CBT dipengaruhi secara tidak langsung oleh variabel penelitin yang
dipergunakan penelitian ini.
d. Bahwa commitment (X2) yang dipersepsikan sebagai partisipasi pengusaha lokal non
pariwisata, ternyata negative dan signifikan. Hal ini memilik makna bahwa
commitment pengusha non pariwisata berbeda arah dengan masyarakat umum dan
pengusaha lokal pariwisata maupun para tokoh masyartakat dan adat yang telah
diwawancarai selama peneitian ini berlangsung.
6.2 Saran-saran
Sejumlah saran yang dapat disampaikan sehubungan dengan berakhirnyua penelitian ini yaitu
sebagai berikut.
a. Bahwa community-based tourism (CBT) adalah konsep dan strategi pengembangan
destinasi wisata berbasis kepemilikan rakyat. Sebagai sebuah konsep baru dalam
pengembangan industry wisata, akan terdapat kesenjangan pengetahuan antara
peneliti dengan pihak terkait sepeti pejabat pemerintah kabupaten Bulelelng beserta
jajarannya, sehingga menjadikan hasil penelitian ini menghadsapi tantangan untuk
dapat mencapai tahap implementasi.
b. Bahwa destinasi wisata Buleleng saat ini tidakj berkembang secara optimal, sehingga
menggairahkan suasana investasi dan mendapatkan peminat para pengusaha untuk
berani memulai kiat dan strategi baru yang membawa resiko bisnis tertentu,m adalah
fakta yang memerlukan kerja keras semua pihak berjuang mewujudkan destinasi
wisata berbasis ekonomi rakyat.
************
DAFTAR PUSTAKA
Archer, B. and Cooper, C. 1994.The Positive and Negative Impacts of Tourism.
Pp. 73 -91 in W.F. Theobald (ed.) Global Tourism: The Next Decade,
Butterworth - Heinemann, Oxford
Aref., F. Redzuan, M. 2009. Community Capacity Building for
TourismDevelopment, Journal of Hum. Ecology
Asker, S., Boronyak. L., Naomi, C. 2010. Effective Community Based Tourism,
Asia Pacific Ec. Coorporation.
Breugel., L. 2013. Community-based tourism: Local participation and perceived
impacts A comparative study between two communities in Thailand.
Research Master Social and Cultural Science , Faculty of Social Sciences.
Radboud University Nijmegen
Chantradoan., P.K., Janes, N. 2012. Mechanism of Social Capital in
CommunityTourism Participatory Planning in Samui Island, Thailand,
Tourismos, vol 7 nomor 1.
Danicia, C. 2000. The Network and The Social Capital - Important Aces for
Tourism Enterpreneurs, Uivi. Of Romania
Etsuko, O. 2008. A Community-based Tourism Model : Its Conception and Use,
Journal of Sustainable Tourism
Gianna,M. Andrea, S., Elena, K., Nancy M.G. 2010. Using Tourism to Build
Social Capital in Communities, New Pathways to Sustainable Tourism Futures
Hilde,. C. Benny, G. 2005. Insitutional performance and Social Capital :
Application to the Local Government Level. Journal of Urban Affairs, Vol 27
Number 5.
Jacqueline, M. 2002. A Study of Social Capital and Sustainability in the
Canadian Tourism Sector. Available at Google.com
Jim, C. 2008. Understanding Community Development, [email protected]
Jim, K. 2000. The Role Of Government in Community Caapacity Building,
Quennsland Government
Jim, M., Dean. C., Jeremy, N. 2004. Social Capital, Tourism and Regional
Development : SPCC as a Basis for Innovation and Sustainability, Murdoch
Univ. Western Australia
Kimmo, O. 2010. Local Government Association Capacity Building - Rationale,
Cooperation Practice, and Strategies for the Future, Local and Regopnal Gov.
Finland
Lynn, H. 2003. Making Community-based Tourism Work : An Assesment of
Factors Contributing to Succesful Community-owned Tourism Development in
Namibia. DRD Papers
Michael,.W. 2010.The Place of Social Capital in Understanding Social and
Economic Outcomes.US
Miller, G. -. The development of indicators for sustainable tourism: results of a
delphi survey of tourism researchers. University of Westminster. London
Nelson Fred. 2003. Community-based Tourism in Northern Tanzania : Increasing
Opportunities, Escalaing Conflicts and An Uncertain Future
Walter,. J. 2011. The Role of Community-based Tourism in Ensuring Responsible
and Sustainable Development, Thammasat Univ
Vinzi VE and LA Amato, 2010, PLS Path modeling form foundations to recent developments
and open issues for model assesment and improvement. Springer-Verlag Berlin. 2010.
Soriya, Yin, 2012, Testing a Model of Perceived Effects of Inter-govermental Collaboration
on Sustainable Tourism in the greter Mekong Sub-Sahara. A Ph.D Dissertation Minesota
Univ. USA.
Joe F Hair, Marko Stersted, and Christin M Ringle, 2011, An Assesment of the Used of
Partial of Least Square Structural Equation Modeling in Marketing Research. Journal of
Academic Marketing Research.
WMA Aftanorhan, 2014, Hierarchical Component Using Reflective-Formative
Measurenment Model in Partial Least Square Structural Equation Modeling. International
journal of Math and Statistics Invention.
Gooroochurn, N., & Sugiyarto, G. (2004). Measuring competitiveness in the tourism and
travel
industry, International Conference on Tourism Modeling and Competitiveness.
Cyprus
Mo, C., Handy, D. & Havitz, M. (1993). Testing an international tourist role typology.
Annals of
Tourism Research, 20, 319-335.
Murphy, P., Pritchard, M., & Smith, B. (2000). The destination product and its impact on
traveller perceptions. Tourism Management, 21(1), 43-52.
Kaul, R. (1985). Dynamics of Tourism: A Trilogy (Vol. 3). New Delhi: Sterling Publishers.
Khadaroo, J., & Seetanah, B. (2007). Transport infrastructure and tourism development.
Annals
of Tourism Research, 34(4), 1021-1032.
Crouch, G., & Richie, J. R. (1999). Tourism, competitiveness, and societal prosperity.
Journal of
Business Research, 44, 137-152.
Mazanec, J., Wober, K., & Zins, A. (2007). Tourism destination competitiveness: From
definition to explanation? Journal of Travel Research, 46, 86-95.
Chathoth, P. (2001). Causal modeling methodology in tourism: An empirical analysis.
Journal of
Services Research, 1(2).
Buhalis, D. (1998). Strategic use of information technologies in the tourism industry Tourism
Management, 19(5), 409-421.
Mathieson, A., & Wall, G. (1982). Tourism: Economic, physical, and social impacts. New
York:
Longman House.
Turner, J. H. (1986). The structure of sociological theory. Chicago: The Dorsey Press.
Var, T., Kendall, K.W., &Tarakcoglu, E. (1985). Residents’ attitudes toward tourists in a
Turkish
resort town. Annals of Tourism Research, 12, 652-658.
Ritchie, J. R., Brent, G. I., Crouch, I., & Hudson, S (2001). Assessing the role of consumers
in
the measurement of destination competitiveness and sustainability. Tourism Analysis,
5(2-4), 69-76.
Briedenhann, J., & Wickens, E. (2004). Tourism routes as a tool for the economic
development of rural areas—vibrant hope or impossible dream? Tourism Management, 25,
71–79.
Busby, G., & Rendle, S. (2000). The transition from tourism on farms to farm tourism.
Tourism Management, 21, 635–642.
Mair, H. (2006). Global restructuring and local responses: Investigating rural tourism policy
in two Canadian communities. Current Issues in Tourism, 9(1), 1–45.
Gill, A. M., & Reed, M. G. (1997). The reimaging of a Canadian resource town:
Postproductivism in a North American context. Applied Geographic Studies, 1(2), 129–147.
Sharpley, R. (2002). Rural tourism and the challenge of tourism diversification: The case of
Cyprus. Tourism Management, 23, 233–244.
Lane, B. (1994). What is rural tourism? Journal of Sustainable Tourism, 2(1), 8–22.
Mowforth, M., & Munt, I. (2003). Tourism and sustainability: Development and new tourism
in the Third World (2nd ed.). London: Routledge.
Hall, C. M. (2000). Tourism planning: Policies, processes and relationships. Harlow,
England: Prentice Hall.
Blackstock, K. (2005). A critical look at community based tourism. Community Development
Journal, 40(1), 39–49.
Hiwasaki, L. (2006). Community-based tourism: A pathway to sustainability for Japan's
protected Areas. Society and Natural Resources, 19, 675–692.
Nyaupane, G. P., Morais, D. B., & Dowler, L. (2006). The role of community involvement
and number/type of visitors on tourism impacts: A controlled comparison of Annapurna,
Nepal and Northwest Yunnan, China. Tourism Management, 27, 1373–1385.
Murphy, P. E. (1985). Tourism: A community approach. New York: Methuen.
Murray, M., & Dunn, L. (1995). Capacity building for rural development in the United
States. Journal of Rural Studies, 11(1), 89–97.
Nyaupane, G. P., Morais, D. B., & Dowler, L. (2006). The role of community involvement
and number/type of visitors on tourism impacts: A controlled comparison of Annapurna,
Nepal and Northwest Yunnan, China. Tourism Management, 27, 1373–1385.
Becker, B., & Bradbury, S. (1994). Feedback on tourism and community development: The
downside of a booming tourist economy. Community Development Journal, 29(3), 268.
Briassoulis, H. (2002). Sustainable tourism and the question of the commons. Annals of
Tourism Research, 29(4), 1065–1085.
Laverack, G., & Thangphet, S. (2009). Building community capacity for locally managed
ecotourism in Northern Thailand. Community Development Journal, 44(2), 172–185.
Bahaire, T., & Elliott-White, M. (1999). Community participation in tourism planning and
development in the historic city of York, England. Current Issues in Tourism, 2(2), 243–276.
Amin, A. (2005). Local community on trial. Economy and Society, 34(4), 612–633.
Mair, H. (2006). Global restructuring and local responses: Investigating rural tourism policy
in two Canadian communities. Current Issues in Tourism, 9(1), 1–45.
Markey, S., Halseth, G., & Manson, D. (2009). Contradictions in hinterland
Ninacs, W., & Toye, M. (2002). A review of the theory and practice of social
economy/économie sociale in Canada: Social Research and Demonstration Corporation.
Quarter, J., Mook, L., & Richmond, B. (2003). What is the social economy? (Research
Bulletin No. 13). University of Toronto Centre for Urban and Community Studies. Retrieved
October 7, 2009, from http://www.urbancenter. utoronto.ca/pdfs/researchbulletins/13.pdf
Mertens, S. (1999). Nonprofit organisations and social economy: Two ways of understanding
the third sector. Annals of Public and Cooperative Economics, 7(3), 501–520.
Teague, P. (2007). Developing the social economy in Ireland? International Journal of
Urban and Regional Research, 31(1), 91–108.
Lukkarinen, M. (2005). Community development, local economic development and the social
economy. Community Development Journal, 40(4), 419–424.
Amin, A., Cameron, A., & Hudson, R. (2002). Placing the social economy. London:
Routledge.
Koster, R., & Randall, J. E. (2005). Indicators of community economic development through
mural-based tourism. The Canadian Geographer, 49(1), 42–60.
Simmons, D. (1994). Community participation in tourism planning. Tourism Management,
15(2), 98–108.
Harvey, D. (1989). From managerialism to entrepreneurialism: The transformation in urban
governance in late capitalism. Geografiska Annaler. Series B. Human Geography, 71(1), 3–
17.
Arnstein, R. (1969). A ladder of citizen participation. Journal of the American Institute of
Planners, 35, 216–224.
Connor, D. (1988). A new ladder of citizen participation. National Civic Review, 77(3), 249–
257.
Tosun, C. (2006). Expected nature of community participation in tourism development.
Tourism Management, 27, 493–504.
Saxena G (2005) Relationships, networks and the learning regiions: Case evidence from the
Peak
DistrickNational Park. Tour Manag 26:277–289
Cravens DW, Piercy NF (1994) Relationship marketing and collaborative networks in service
organizations. Int J Serv Ind Manag 5(5):39–53
Wong EPY, Mistilis N, Dwyer L (2010) Understanding ASEAN tourism collaboration:
the preconditionsand policy framework formulation. Int J Tour Res 12:291–302
Emiliani ML (2003) The inevitability of conflict between buyers and suppliers. Supply Chain
Manage IntJ 8(2):107–115
Mason K, Doyle P, Wong V (2006) Market orientation and quasi-intergration: adding value
Throughrelationships. Ind Mark Manage 35:140–155
Gray B, Wood DJ (1991) Collaborative alliances: moving from practice to theory.
J Appl Behav Sci27(1):3–22
Novelli M, Schmitz B, Spencer T (2006) Networks, clusters and innovation in tourism:
a UK experience.Tour Manag 27:1141–1152
Lemmetyinen A, Go FM (2009) The key capabilities required for managing tourism
business networks.Tour Manag 30:31–40
Augustyn M, Knowles T (2000) Performance of tourism partnerships: a focus on York.
Tour Manag21:341–351
Morrison AL, Lynch P, Johns N (2004) International tourism networks.
Int J Contemp Hosp Manag16(3):197–202
Pechlaner H, Abfalter D, Raich F (2002) Cross-border destination management systems
in the Alphineregion: the role of knowledge network on the example of Alpnet.
In: Bouncken, Pyo S (eds)Knowledge management in hospitality and tourism.
The Haworth Hospital Press, New York
Sigala M (2004) Networking the Tourism Supply chain: Evaluating the Readiness
of Small and MediumTourism Enterprises of An Island Economy. University of
Aegean,
GreeceNovelli M, Schmitz B, Spencer T (2006) Networks, clusters and innovation in
tourism: a UK experience.Tour Manag 27:1141–1152
Oliver C (1990) Determinants of interorganizational relationships: integration and
future directions. AcadManag Rev 15(2):241–265
Wong EPY, Mistilis N, Dwyer L (2010) Understanding ASEAN tourism collaboration:
the preconditionsand policy framework formulation. Int J Tour Res 12:291–302
Morgan RM, Hunt SD (1994) The commitment-trust theory of relationship marketing.
J Mark58(July):20–38
Hofstede G, Bond MH (1988) The Confucian connection: From cultural roots
to economic growth. OrganDyn 16(4):4–21
Palmer A, Bejou D (2005) The future of relationship marketing. J Relatsh Mark 4(3/4):1–10
Sriram V, Krapfel R, Spekman R (1992) Antecedents to buyer-seller collaboration:
an analysis from thebuyer’s perspective. J Bus Res 25(4):303–320
Logsdon JM (1991) Collaboration to regulate L.U.S.T.: leaking underground storage
tanks in siliconvalley. J Bus Res 23(1):99–111
Cook KS (2005) Networks, norms and trust: the social psychology of social capital.
Soc Psychol Q68:4–14
Crotts JC, Aziz A, Raschid A (1998) Antecedents of supplier’s commitment
to wholesale buyers in theinternational travel trade. Tour Manag 19(2):127–134
Dwyer FR, Schurr PH, Oh S (1987) Developing buyer–seller relationships.
J Mark 51(April):11–27
Emmer RM, Tauck C, Wilkinson S, Moore RG (1993) Marketing hotels:
using global distributionsystems. Cornell Q 34(6):2–11
Anderson JC, Narus JA (1990) A model of distributor firm and manufacturer
firm working partnerships.J Mark 54(1):42–58
Moorman C, Deshpande R, Zaltman G (1993) Factors affecting trust in market research
relationships.J Mark 57(January):81–101
Ganesan S (1994) Determinants of long-term orientation in buyer-seller relationships.
J Mark 58(2):1–19
Ramayah T, Noor N, Nasurdin AM, Muthu VK (2003) Buyer’s long-term orientation in
buyer–
Sellerrelationship within the haulage industry in Northern Malaysia. J Acc Manag
Econ
Res 3(1):51–66
Diego MM, Juan MGF (2000) Successful relationships between hotels and agencies.
Ann Tourism Res27(3):737–762
Greer J (2001) Developing trans-jurisdictional tourism partnerships –
insights from the Island of Ireland.Tour Manag 23:355–366
Denicolai S, Cioccarelli G, Zucchella A (2010) Resource-based local development and
networked corecompetenciesfor tourism excellence. Tour Manag 31:260–266
Barney JB, Hansen MH (1994) Trustworthiness as a source of competitive advantage.
Strateg Manag J15:175–190
Anderson E, Weitz B (1992) The use of pledges to build and sustain commitment
in distribution channels.J Mark Res 29(Feb):18–34
Schulz C (1994) Hotels and travel agents: the new partnerships. Cornell Q 35(2):45–50
Williamson OE (1985) The economic institutions of capitalism : firms markets,
relational contracting.Free Press, New York
Stone, W. 2001, Measuring Social Capital: Towards a Theoretically Informed Measurement
Framework for Researching Social Capital in Family and Community Life, Research
Paper No. 24, Australian Institute of Family Studies, Canberra, February.
Uslaner, E.M. 1999, Trust but verify: social capital and moral behaviour, Social Science
Information, vol. 38, pp. 29–56.
Putnam, R.S. 2000, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community,
Simon and Schuster, New York.
Krishna, A. and Shrader, E. 1999, Social capital assessment tool, Conference on Social
Capital and Poverty Reduction, The World Bank, Washington, DC.
Adamantios Diamantopoulos ⁎, Petra Riefler 1, Katharina P. Roth
Advancing formative measurement models
Journal of Business Research 61 (2008)
CHERYLB URKEJ ARVIS SCOTT B. MACKENZIE PHILIPM . PODSAKOFF, 2003
A Critical Review of Construct Indicators and MeasurementM odel Misspecification
in
Marketing and Consumer Research, JOURNAL OF CONSUMER RESEARCH Vol. 3
Adamantios Diamantopoulos and Judy A. Siguaw, 2006,
Formative Versus Reflective Indicators in Organizational Measure Development:
A Comparison and Empirical Illustration. British Journal of Management, Vol. 17.
Christian M. Ringle, Marko Sarstedt, Rainer Schlittgen, Charles R. Taylor, 2013
PLS path modeling and evolutionary segmentation. Journal of Business
Research
Joseph F. Hair, Marko Sarstedt, Torsten M. Pieper and Christian M. Ringle, 2012.
The Use of Partial Least Squares Structural Equation Modeling in Strategic
Management
Research: A Review of Past Practices and Recommendations for Future Applications
Long Range Planning 45 (2012)
Michel Tenenhaus, Vincenzo Esposito Vinzia, Yves-Marie Chatelinc, Carlo Lauro, 2005
PLS path modeling. Computational Statistics & Data Analysis 48 (2005)
Marko Sarstedt, Christian M. Ringle, Donna Smith, Russell Reams, Joseph F. Hair Jr., 2014
Partial least squares structural equation modeling (PLS-SEM): A useful tool for
family
business researchers. Journal of Family Business Strategy 5 (2014) 105–115
ADAMANTIOS DIAMANTOPOULOS and HEIDI M. WINKLHOFER, 2001.
Index Construction with Formative Indicators: An Alternative to Scale
Development.
Juumul of Marketing Research. Vol. XXXV
Kenneth A. Bollen, 2002, LATENT VARIABLES IN PSYCHOLOGY
AND THE SOCIAL SCIENCES. Annu. Rev. Psychol.
Adamantios Diamantopoulos, 2006, The error term in formative measurement models:
interpretation and modeling implicationsJournal of Modelling in
Management Vol. 1 No. 1.
Stacie Petter Detmar Straub Arun Rai, 2007,
SPECIFYING FORMATIVE CONSTRUCTS IN INFORMATION
SYSTEMS RESEARCH. MIS Quarterly Vol. 31 No. 4, pp. 623-656.
LIN HSIN-CHIH, 2013, PLS PATH MODELING OF USEFULNESS, SATISFACTION
AND BEHAVIORAL INTENTION OF PROFESSIONAL DEVELOPMENT
PROGRAMS FOR SCHOOL PRINCIPALS. International Journal of
Innovative Management, Information & Production ISME International.
Volume 4, Number 3, September 2013
Jörg Henseler · Marko Sarstedt, 2013
Goodness-of-fit indices for partial least squares path modeling
Computer Stat (2013) 28:565–580.
Wan Mohamad Asyraf Bin Wan Afthanorhan, 2014,
Hierarchical Component Using Reflective-Formative Measurement Model In
Partial Least Square Structural Equation Modeling (Pls-Sem). International Journal
of Mathematics and Statistics Invention (IJMSI.)
Henseler JORG, Christian M. Ringle and Rudolf R. Sinkovics, 2009,
THE USE OF PARTIAL LEAST SQUARES PATH MODELING IN
INTERNATIONAL MARKETING. EmeraldGroupPublishingLimited
Wan Mohamad Asyraf Bin Wan Afthanorhan, 2013,
A Comparison Of Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM)
and
Covariance Based Structural Equation Modeling (CB-SEM) for Confirmatory Factor
Analysis. International Journal of Engineering Science and Innovative Technology
(IJESIT) Volume 2, Issue 5.
Ken Kwong-Kay Wong, 2013,
Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM)
Techniques Using SmartPLS. Marketing Bulletin, 2013, 24, Technical Note 1
Christian M. Ringle, Marko Sarstedt, Rainer Schlittgen, Charles R. Taylor, 2013,
PLS path modeling and evolutionary segmentation. Journal of Business Research 66
(2013) 1318–1324
Joseph F. Hair, Marko Sarstedt, Torsten M. Pieper and Christian M. Ringle, 2012,
The Use of Partial Least Squares Structural Equation Modeling in Strategic
Management
Research: A Review of Past Practices and Recommendations for Future Applications
Long Range Planning 45. 320e340
Jan-Michael Becker, Kristina Klein and Martin Wetzels, 2012,
Hierarchical Latent Variable Models in PLS-SEM: Guidelines for Using Reflective-
Formative Type Models. Long Range Planning 45.359e394
Jorg Henseler, Christian M. Ringle and Rudolf R. Sinkovics, 2009,
THE USE OF PARTIAL LEAST SQUARES PATH MODELING IN
INTERNATIONAL MARKETINGAdvances in International Marketing,
Volume20,277–319 . Emerald Group Publishing Limited.
Joseph F. Hair, Jr, William C. Black, Berry J. Babin, Rolp E. Anderson,2010,
Multivariate Data Analysis, Sevent Edition. Pearson Prentice Hall. USA.
Joe F. Hair & Marko Sarstedt & Christian M. Ringle & Jeannette A. Mena, 2012,
An assessment of the use of partial least squares structural equation modeling in
marketing researchJ. of the Acad. Mark. Sci.
Gustafsson, Anders;Johnson, Michael D, 2004.
Determining Attribute Importance in a Service Satisfaction Model, Journal of Service
Research : JSR;
Chien-Hsin, Lin;Sher, Peter J;Hsin-Yu, Shih, 2005,
Past progress and future directions in conceptualizing customer perceived value
International Journal of Service Industry Management.
Martin Wetzels, Gaby Odekerken-Schroder, Claudia van Oppen, 2009.
USING PLS PATH MODELING FOR ASSESSING HIERARCHICAL
CONSTRUCT MODELS: GUIDELINES AND EMPIRICAL
ILLUSTRATION, MIS Quarterly Vol. 33 No. 1, pp. 177-195
T. Ramayah • Jason Wai Chow Lee , Julie Boey Chyaw In,2011,
Network collaboration and performance in the tourism Sector. Springer-Verlag 2011
Lampiran 1.1
Hasil Analisis Path dan SEM SmartPls Prediksi Parameter
Lampiran 2
Hasil Analisis Path dan SEM SmartPls Bootstrapping
Lampiran 3
Hasil Analisis Prediksi Path dan SEM SmartPls Second Order
Lampiran 4
Hasil Analisis Bootstrapping Path dan SEM SmartPls Second Order
( Sample Original N = 40 )
Lampiran 5
Hasil Analisis Outer-loading Bootstrapping N = 80 Statistik t
Variable Original Sample Standard Standard T
Sample Mean Deviation Error Statistics
X1.1 <- X1 0.6126 0.6045 0.1295 0.1295 4.7307
X1.2 <- X1 0.9638 0.9615 0.009 0.009 106.5525
X1.3 <- X1 0.9671 0.9662 0.0065 0.0065 149.6447
X2.1 <- X2 0.8795 0.8771 0.0228 0.0228 38.6431
X2.2 <- X2 0.8153 0.8129 0.0325 0.0325 25.0602
X2.3 <- X2 0.8188 0.8112 0.0585 0.0585 13.9882
X2.4 <- X2 0.8991 0.8974 0.0152 0.0152 59.3045
X2.5 <- X2 0.8239 0.8223 0.037 0.037 22.2881
X3.1 -> X3 0.8312 0.8283 0.0366 0.0366 22.72
X3.2 -> X3 0.9011 0.8942 0.0285 0.0285 31.5992
X3.3 -> X3 0.8482 0.8426 0.0466 0.0466 18.1846
X3.4 -> X3 0.8175 0.8036 0.0629 0.0629 12.9909
X3.5 -> X3 0.8139 0.8148 0.0362 0.0362 22.4641
X3.6 -> X3 0.8899 0.8856 0.0293 0.0293 30.3369
X3.7 -> X3 0.8166 0.8187 0.0385 0.0385 21.2019
X3.8 -> X3 0.8315 0.8259 0.056 0.056 14.8461
X3.9 -> X3 0.8685 0.8631 0.0331 0.0331 26.2313
X4.1 -> X4 0.9071 0.9006 0.0341 0.0341 26.6322
X4.2 -> X4 0.843 0.8353 0.0437 0.0437 19.2767
X4.3 -> X4 0.9002 0.8904 0.0376 0.0376 23.9679
X4.4 -> X4 0.9609 0.9543 0.0289 0.0289 33.2422
Y1.1 <- Y1 0.9075 0.9069 0.0218 0.0218 41.6325
Y1.2 <- Y1 0.927 0.9274 0.0167 0.0167 55.5471
Y1.3 <- Y1 0.8895 0.8886 0.0231 0.0231 38.4313
Y1.4 <- Y1 0.9105 0.9104 0.0231 0.0231 39.3373
Y2.1 <- Y2 0.863 0.8628 0.0339 0.0339 25.4935
Y2.2 <- Y2 0.9208 0.9222 0.0156 0.0156 58.9541
Y2.3 <- Y2 0.941 0.9419 0.0102 0.0102 91.9756
Y2.4 <- Y2 0.8116 0.8114 0.0428 0.0428 18.9457
Y2.5 <- Y2 0.8739 0.8718 0.037 0.037 23.6457
Lampiran 6
Hasil Analisis Outer-Weight Bootstrapping N = 80 Statistik t
Original Sample Standard Standard T
Sample Mean Deviation Error Statistics
X1.1 <- X1 0.1073 0.1048 0.0863 0.0863 1.2426
X1.2 <- X1 0.4763 0.474 0.0362 0.0362 13.1642
X1.3 <- X1 0.4914 0.487 0.0329 0.0329 14.9384
X2.1 <- X2 0.2603 0.2612 0.0196 0.0196 13.2564
X2.2 <- X2 0.2439 0.2431 0.0206 0.0206 11.857
X2.3 <- X2 0.201 0.199 0.0273 0.0273 7.3676
X2.4 <- X2 0.2543 0.2554 0.0167 0.0167 15.256
X2.5 <- X2 0.2172 0.2197 0.0137 0.0137 15.905
X3.1 -> X3 0.0875 0.0708 0.098 0.098 0.8924
X3.2 -> X3 0.1478 0.1284 0.1123 0.1123 1.3166
X3.3 -> X3 0.2335 0.2318 0.054 0.054 4.321
X3.4 -> X3 0.2431 0.2405 0.0745 0.0745 3.264
X3.5 -> X3 0.1006 0.1065 0.081 0.081 1.2421
X3.6 -> X3 0.0009 0.0208 0.1216 0.1216 0.0076
X3.7 -> X3 0.0911 0.1104 0.0824 0.0824 1.1055
X3.8 -> X3 0.0405 0.0431 0.0778 0.0778 0.5204
X3.9 -> X3 0.2379 0.224 0.0723 0.0723 3.2911
X4.1 -> X4 0.4169 0.4025 0.1271 0.1271 3.2807
X4.2 -> X4 0.0242 0.0272 0.1042 0.1042 0.2318
X4.3 -> X4 0.0904 0.0809 0.1464 0.1464 0.6176
X4.4 -> X4 0.5412 0.5595 0.2093 0.2093 2.5861
Y1.1 <- Y1 0.2811 0.2809 0.0079 0.0079 35.4481
Y1.2 <- Y1 0.2816 0.2814 0.009 0.009 31.3517
Y1.3 <- Y1 0.2757 0.276 0.0088 0.0088 31.2656
Y1.4 <- Y1 0.2621 0.2628 0.0049 0.0049 53.9597
Y2.1 <- Y2 0.2129 0.2132 0.0081 0.0081 26.196
Y2.2 <- Y2 0.23 0.2308 0.0107 0.0107 21.5983
Y2.3 <- Y2 0.2468 0.247 0.0129 0.0129 19.1445
Y2.4 <- Y2 0.216 0.2153 0.0074 0.0074 29.3753
Y2.5 <- Y2 0.2254 0.2245 0.0068 0.0068 33.3107
Lampiran 7
`
Hasil Analisis Path Coefficient Bootstrapping N = 80 Statistik t
Original Sample Standard Standard T Sample Mean Deviation Error Statistics
X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131
X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864
X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148
X3 -> Y1 0.5394 0.5754 0.1037 0.1037 5.1991
X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472
Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697
Total Effects ( Standard Deviation)
Original Sample Standard Standard T Sample Mean Deviation Error Statistics
X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131
X1 -> Y2 0.0266 0.0327 0.0646 0.0646 0.4124
X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864
X2 -> Y2 -0.3495 -0.3556 0.1023 0.1023 3.4163
************
X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148
X3 -> Y1 0.2206 0.2461 0.1353 0.1353 1.6303
X3 -> Y2 0.2088 0.2335 0.1295 0.1295 1.6126
X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472
X4 -> Y2 0.6535 0.6255 0.1165 0.1165 5.6091
Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697