Zakat Dan Pemerataan

69
Zakat dan Pemerataan, Untuk Pertumbuhan Ekonomi 28 January 2012 6:40 am | Ekonomi Syari'ah - Dibaca 69 kali ekonomisyariat.com Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan di tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai angka 6,6 persen. “Saya rasa keseluruhan tahun (sebesar) 6,6 persen,” kata Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, Jumat, 5 Agustus 2011. Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan kedua yang lalu, yakni sebesar 6,5 persen. Jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, perekonomian telah tumbuh sebesar 2,9 persen. Angka pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan kedua itu sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia. Pada triwulan ketiga nanti diprediksi akan kembali terjadi peningkatan. “Kami perkirakan Q3 (triwulan tiga) bisa mencapai 6,6 persen,” ujar Perry.

Transcript of Zakat Dan Pemerataan

Page 1: Zakat Dan Pemerataan

Zakat dan Pemerataan, Untuk Pertumbuhan Ekonomi

28 January 2012 6:40 am | Ekonomi Syari'ah - Dibaca 69 kali

ekonomisyariat.com

Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan di tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai angka 6,6 persen. “Saya rasa keseluruhan tahun (sebesar) 6,6 persen,” kata Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, Jumat, 5 Agustus 2011.

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan kedua yang lalu, yakni sebesar 6,5 persen. Jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, perekonomian telah tumbuh sebesar 2,9 persen.

Angka pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan kedua itu sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia. Pada triwulan ketiga nanti diprediksi akan kembali terjadi peningkatan. “Kami perkirakan Q3 (triwulan tiga) bisa mencapai 6,6 persen,” ujar Perry.

Sementara di triwulan keempat kembali akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. “Tinggal dihitung saja, 6,7 persen kalau tidak salah, sekitar itu,” ucap Perry. Inflasi juga diperkirakan akan lebih rendah. “Inflasi akan turun. Akhir tahun kami yakin masih sebesar 4,9 persen,” kata Perry. (www.tempo.co , 6 Agustus 2011)

Page 2: Zakat Dan Pemerataan

Berita di atas cukup untuk mewakili berita tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta menjadi dasar untuk menganalisis sistem perekonomian yang saat ini digunakan di Indonesia. Ya, selama ini kita tahu bahwa salah satu instrumen ekonomi yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia –atau bahkan di hampir seluruh dunia- adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi adalah penambahan jumlah akumulasi output produksi nasional, yang dicapai dengan penambahan jumlah input faktor produksi baik dengan penambahan jumlah modal, tenaga kerja, dan faktor produksi yang lain. Sedangkan perkembangan ekonomi adalah penambahan jumlah akumulasi output produksi nasional, yang dicapai dengan perubahan jenis input atau metode produksi dalam skala nasional, misal dengan semakin ahlinya tenaga kerja, perubahan mesin produksi, dll. Singkatnya, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan jumlah faktor produksi, sedangkan perkembangan ekonomi adalah perubahan jenis faktor produksi.

Baik pertumbuhan maupun perkembangan ini, sama-sama hanya berfokus pada berapa banyak Indonesia memiliki pusat-pusat produksi yang bisa menyerap banyak tenaga kerja, dan banyak berproduksi untuk meningkatkan pendapatan nasional. Tidak peduli apakah faktor produksi itu dimiliki oleh perusahaan nasional atau asing. Faktanya, memang ini yang selama ini dilaporkan pemerintah.

Tentunya kita faham sekaligus heran, telah banyak kritik-kritik yang dialamatkan pada pemerintah terutama oleh media dan banyak akademisi. Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India, namun kenapa masih banyak kita jumpai masyarakat yang hidup di kolong jembatan atau pinggir sungai? Yang setiap hari masih makan dengan mencari sisa-sisa di tempat sampah? Dengan rumah yang hanya berdinding kardus? Kenapa pula masih banyak saudara kita di daerah terpencil yang menderita busung lapar?

Jawabanya adalah “wajar saja”. Kenapa? Karena negara ini masih berfokus pada pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur pembangunan. Ketidak singkronan antara tingginya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan realitas masyarakat memang sangat wajar terjadi. Sekali lagi, kenapa? Karena ada banyak tempat produksi dan proses produksi, yang tidak memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja (lihat contoh kasus upah buruh yang rendah). Semakin tingginya tingkat pendapatan masyarakat Indonesia pun, jika dianalisis lebih jauh hanya merupakan dampak dari semakin kayanya taipan-taipan yang menguasai perekonomian Indonesia, bukan karena semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat miskin.

Page 3: Zakat Dan Pemerataan

Dalam sistem keuangan makro Islam, memang tidak ada model yang secara langsung dapat disimpulkan baik dari Al Quran maupun Hadist tentang instrumen ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan dari pembangunan. Namun para ahli ekonomi Islam menemukan satu instrumen yang lebih baik dengan menyimpulkan dari syariat yang diwajibkan dalam Islam, yaitu pemerataan ekonomi. Sekali lagi, instrumen ini memang tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist, namun kesimpulan serta nilai-nilai yang dapat dipetik dari syariat Islam itu sendiri. Syariat tersebut adalah syariat zakat. Sementara nilai yang diterapkan adalah nilai keadilan.

Zakat adalah salah satu instrumen dalam rukun Islam yang hikmahnya dapat kita rasakan secara fisik dalam kacamata ekonomi. Secara bahasa, zakat dapat berarti membersihkan/mensucikan, berkah, dan tumbuh/berkembang. Syariat ini mewajibkan setiap muslim untuk menyisihkan hartanya yang telah mencapai nishab untuk diserahkan pada delapan ashnaf yang telah ditetapkan Islam.

Allah berfirman ,

”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS At Taubah :6)

Singkat kata, zakat ini menjadi salah satu mediasi antara orang yang mampu (baca: muzakki) dengan delapan ashnaf tersebut (baca: mustahiq). Dengan adanya mediasi penyaluran harta yang bersifat wajib ini, harta kekayaan tidak akan beredar pada para taipan saja, melainkan juga beredar di kalangan delapan ashnaf itu sendiri. Seperti firman Allah “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS Al Hasyr: 7).

Zakat ini menjadi lebih maksimal jika pembangunan nasional menggunakan instrumen pemerataan ekonomi. Sesuai dengan hikmah-hikmah zakat yang penulis terangkan di atas untuk memeratakan pendapatan. Pemerataan ekonomi (equity) memandang secara langsung pendapatan per individu secara lebih akurat, bukan hanya didasarkan pada rata-rata pendapatan.

Page 4: Zakat Dan Pemerataan

Yang ingin penulis simpulkan di sini adalah, kurangnya perhatian tentang masalah pemerataan ekonomi ini, baik secara sistem ekonomi makro, maupun individu dari masyarakat yang mayoritas masih kurang sadar akan pentingnya membayar zakat. Padahal sudah banyak artikel yang menyebutkan tentang besarnya potensi zakat di Indonesia, dan bayangkan jika potensi itu dapat terkelola dengan baik.

Tidak salah juga jika pembangunan juga memasukkan instrumen pertumbuhan ekonomi, karena nyatanya itu memang penting. Namun dibutuhkan penempatan yang lebih cermat tentang penggunaannya. Penempatan yang dimaksud, sama seperti penempatan pada konsep pertumbuhan ekonomi yang digunakan untuk negara berkembang (karena terbatasnya sumber daya) serta konsep perkembangan ekonomi untuk negara maju (karena banyak sumber daya yang mumpuni). Negara dengan tingkat kemiskinan yang masih mengkhawatirkan seperti Indonesia, penulis rasa masih belum pantas untuk bicara tentang tingginya pertumbuhan ekonomi. Mari kita bicarakan terlebih dahulu pemerataan ekonomi, dengan pemberdayaan zakat yang lebih baik. Jika pemerataan ekonomi sudah tercapai, dan seluruh rakyat terjamin kesejahteraannya, saya yakin baik peningkatan angka pertumbuhan maupun perkembangan ekonomi akan menyusul dengan sendirinya.

Walahu’alam..

Oleh: Renatha Agung Yoga Prasetya, Surabaya

http://www.fimadani.com/zakat-dan-pemerataan-untuk-pertumbuhan-ekonomi/

ZAKAT, POTENSI PENDAPATAN NEGARA YANG TERABAIKAN

Posted: May 30, 2012 in Keuangan Negara, Zakat

Tags: Zakat, pajak, islam, religion, Achmat Subekan, pendapatan negara

0

Oleh: Achmat Subekan, S.E., M.Si.

(Widyaiswara BDK Makassar)

Page 5: Zakat Dan Pemerataan

A. Pendapatan Negara

Negara membutuhkan dana untuk membiayai operasional yang dilaksanakannya. Untuk mendapatkan dana tersebut, setiap negara memiliki andalan pendapatan yang berbeda-beda. Hal ini sangat ditentukan oleh potensi yang dimilikinya. Negara yang memiliki potensi sumber daya alam tinggi akan mengandalkan potensi tersebut dalam menutupi kebutuhan dana bagi anggaran negaranya. Berbeda halnya dengan negara yang tidak memiliki potensi sumber daya alam yang kuat/besar, mereka akan berusaha mencari sumber pendanaan lainnya

Sumber daya alam merupakan karunia Tuhan yang sangat besar manfaatnya. Bagi sebuah negara, sumber daya alam tak ubahnya sebagai harta karun yang siap untuk diambil, diolah, dan dimanfaatkan. Kendatipun sangat menggiurkan, sumber daya alam tidak dapat digunakan untuk menopang kebutuhan pendanaan anggaran secara terus-menerus. Lama-kelamaan potensi alam tersebut akan habis dan Negara harus mencari sumber pendanaan yang baru. Di samping itu, ekploitasi dan eksplorasi sumber daya alam akan menyisakan terganggunya dan rusaknya lingkungan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap daerah pertambangan suatu saat akan berubah menjadi daerah dengan kerusakan lingkungan yang tinggi. Biaya untuk mengembalikan kesempurnaan ekosistem pun tidak sedikit.

Sumber pendapatan negara yang lainnya adalah pendapatan yang bersumber dari iuran warga negara. Sumber pendapatan ini tidak bergantung pada keberadaan sumber daya alam di negara bersangkutan, tetapi bergantung pada tingkat kemakmuran atau kesejahteraan warga negaranya. Dengan demikian, pendapatan ini juga menjadi indikator terhadap kemajuan perekonomian sebuah negara. Semakin tinggi iuran warga negara terhadap anggaran negara menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran mereka.

Dewasa ini, pajak sebagai wujud dari iuran warga negara merupakan andalan dalam mendukung anggaran negara. Dari tahun ke tahun, dominasi pajak dalam membiayai anggaran negara sangat terasa apabila dibandingkan dengan sumber pendapatan negara yang lainnya. Sebagai gambaran, di tahun 2011, kontribusi pajak terhadap total penerimaan dalam negeri mencapai 75,4%.[1]

Dalam APBN, sumber pendapatan lain yang berasal dari iuran masyarakat adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Walaupun ada kecenderungan meningkat, namun persentase penerimaan ini relatif jauh di bawah penerimaan pajak.

Page 6: Zakat Dan Pemerataan

B. Potensi Zakat Bagi Penguatan Keuangan Negara

Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, masih memiliki sumber pendapatan negara yang selama ini terabaikan. Sumber pendapatan tersebut adalah zakat. Zakat dipungut dari orang kaya (mampu menunaikan zakat) dan selanjutnya didistribusikan kepada orang miskin (dhuafa). Seperti halnya pajak, zakat juga diperoleh dari iuran masyarakat. Namun, antara pajak dan zakat terdapat perbedaan yang signifikan.

Zakat dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda. Pertama, zakat dipandang sebagai amal ibadah yang tidak dapat diabaikan oleh setiap orang Islam. Bahkan, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam hal ini. Dengan demikian, seorang muslim yang melalaikannya dianggap tidak sempurna keimanannya. Kekuatan perintah zakat adalah sama kuatnya dengan perintah sholat, puasa, dan haji. Dengan demikian, maraknya umat Islam dalam berzakat seharusnya sama dengan maraknya umat Islam menunaikan ibadah sholat dan haji. Apabila kemampun materi dijadikan ukuran, maka maraknya umat Islam dalam berzakat minimal sama dengan maraknya mereka dalam menunaikan ibadah haji yang setiap tahun terdapat waiting list. Namun, tidak demikian dalam kenyataannya.

Rendahnya kesadaran umat Islam dalam berzakat bukannya tanpa alasan. Di antara alasan yang mereka miliki adalah tidak adanya lembaga pengumpul/penyalur (amil) zakat yang mereka percaya. Akibat dari hal ini, mereka yang merasa berkewajiban menunaikan zakat menggelar penyaluran zakat sendiri. Kaum fakir miskin pun dengan antusias antre menunggu uluran tangan para dermawan ini. Tidak jarang dalam kegiatan tersebut timbul keributan dan bahkan menelan korban jiwa. Pihak yang berzakat pun pada gilirannya dapat dijadikan tersangka atas kelalaian mereka yang menimbulkan korban jiwa.

Lembaga amil zakat yang didirikan sekelompok umat Islam memang mulai bermunculan. Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa adalah sebagian contoh dari lembaga amil zakat tersebut. Kendatipun demikian, keraguan untuk menyalurkan zakat ke lembaga tersebut masih tetap ada. Sebagian umat Islam masih mempertanyakan bagaimana dan siapa yang melakukan pengawasan terhadap lembaga tersebut. Dalam prinsip keuangan, pengawasan bagi lembaga pengelola keuangan memang mutlak diperlukan untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, alasan lainnya yang kerap muncul adalah kurangnya sosialisasi dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang zakat itu sendiri, mulai dari arti pentingnya, syarat-syaratnya, sampai dengan tata cara dalam menunaikannya.

Page 7: Zakat Dan Pemerataan

C. Peluang Zakat Sebagai Pendapatan Negara.

Uraian di atas menunjukkan adanya peluang bagi negara untuk menjadikan zakat sebagai bagian dari pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peluang ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:

1. Di mata umat Islam, zakat memiliki perbedaan dengan pajak. Perbedaan tersebut terlihat dari dasar dan alasan pemungutannya. Pajak didasarkan pada peraturan perundangan buatan manusia, sedangkan zakat didasarkan pada peraturan agama yang diturunkan oleh Tuhan, yakni Al Quran. Dengan demikian, orang yang telah membayar pajak tidak otomatis dianggap telah membayar zakat. Bagi umat Islam, kepatuhan terhadap perintah zakat memiliki konsekuensi terhadap kehidupan mereka di akhirat. Setiap umat Islam yang telah memiliki kemampuan sebagai orang yang wajib berzakat (muzakki) akan berusaha untuk menunaikan kewajiban tersebut.

2. Negara merupakan lembaga/organisasi yang dipercaya oleh umat Islam. Hal ini ditunjukkan oleh dukungan umat terhadap keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepercayaan umat terhadap negara menjadi modal untuk menjadi pengelola dana umat (zakat) yang terpercaya. Hal ini dapat menjadi solusi rendahnya kepercayaan umat Islam terhadap lembaga pengelola zakat yang sudah ada.

3. Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus dapat melayani kebutuhan warga negaranya. Menunaikan perintah zakat adalah kebutuhan bagi warga negara (umat Islam) yang telah berkewajiban menunaikannya. Untuk itu, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi umat Islam yang hendak memenuhi kebutuhannya dalam menunaikan zakat. Hal ini dapat dianalogikan dengan pelaksanaan ibadah haji. Pemerintah menyediakan layanan haji bagi umat Islam. Bahkan tugas dan fungsi tersebut ditangani oleh direktorat jenderal tersendiri di lingkungan Kementerian Agama. Jika untuk urusan haji dapat ditangani pemerintah, tentunya urusan zakat juga demikian.

4. Keberadaan zakat sebagai salah satu sumber pendapatan negara diharapkan dapat membantu keuangan negara dalam pengentasan kemiskinan. Dari tahun ke tahun, pemerintah selalu mengalami tuntutan tugas layanan masyarakat yang semakin berat. Untuk itu dibutuhkan sumber pendanaan APBN yang juga semakin besar. Selama bertahun-tahun, APBN terus mengalami defisit. Program pengentasan kemiskinan pun mengalami kekurangan dana. Kemiskinan tetap menjadi masalah berat bagi negara. Keberadaan zakat sebagai bagian dari APBN diharapkan menjadi jalan keluar bagi pengentasan kemiskinan.

Page 8: Zakat Dan Pemerataan

D. Zakat dan Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan di Indonesia terus menjadi masalah yang belum selesai hingga dewasa ini. Data resmi pemerintah yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di tahun 2010, kemiskinan di Indonesia mencapai angka 31 juta jiwa. Kendatipun sudah sedemikian besar angka kemiskinan yang ada, beberapa tahun yang lalu pernah ramai diberitakan bahwa ada kebohongan terkait dengan angka kemiskinan. Hal ini diketahui setelah angka tersebut dibandingkan dengan angka penerima beras miskin (raskin) yang ternyata jumlahnya dua kali lipat. Perdebatan ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia perlu penanganan yang serius dari semua pihak, bukan hanya pemerintah. Sebagai warga negara, umat Islam perlu dilibatkan dalam penanganan kemiskinan, yakni layanan zakat.

Dalam menghadapi kemiskinan yang terjadi di suatu negara, zakat memiliki konsep yang berbeda dengan pajak. Hal ini dapat diketahui melalui semangat atau motivasi pemungutan keduanya. Pajak didefinisikan sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum[2]. Sebagai sebuah organisasi yang memiliki tugas melayani masyarakatnya, negara membutuhkan dana untuk melaksanakan aktivitasnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, masyarakat diimbau dengan suka rela menyerahkan sebagian pendapatan/kekayaannya untuk kepentingan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa publik. Pengumpulan pendapatan dari masyarakat tersebut dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak dan bukan pajak[3].

Definisi pajak di atas menunjukkan latar belakang atau alasan dipungutnya pajak adalah untuk membiayai pengeluaran negara dalam menyediakan fasilitas dan jasa publik. Contoh dari hal ini adalah pembangunan jalan, jembatan, penerangan jalan, fasilitas keamanan, dan sebagainya. Sementara itu, tugas pengentasan kemiskinan tidak melatarbelakangi pemungutan pajak. Dengan pemikiran seperti ini, maka dapat dimaklumi apabila penerimaan pajak telah mengalami peningkatan yang berlipat-lipat, tetapi kemiskinan tidak juga segera teratasi. Peningkatan pengeluaran negara pun tidak banyak berpengaruh bagi pengentasan kemiskinan. Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah pengeluaran pemerintah tercatat sebesar 252.075,16 milyar rupiah. Sedangkan di tahun anggaran 2008 pengeluaran pemerintah tercatat sebesar 1.059.914,13 milyar rupiah. Selama kurun waktu lebih kurang 9 tahun (1999-2008) pengeluaran pemerintah telah meningkat sebesar empat kali lipat. Sementara itu, angka kemiskinan tetap bercokol pada angka di atas 30 juta jiwa. Kemiskinan di tahun 1999 sebesar 48,0 juta jiwa, sedangkan di tahun 2008 sebesar 35,0 juta jiwa. Peningkatan pengeluaran negara ternyata tidak/belum tentu signifikan dalam mengatasi kemiskinan.

Page 9: Zakat Dan Pemerataan

Motivasi pemungutan zakat berbeda dengan pemungutan pajak. Maksud utama pemungutan zakat bukan untuk menyediakan fasilitas umum seperti halnya pajak. Hal ini dapat diketahui dari ayat yang mengatur peruntukan zakat.

“Sesungguhnya zakat itu bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang lemah hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (menegakkan kebenaran), dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana[4].

Kaum fakir dan miskin mendapatkan prioritas dalam pembagian zakat. Para penerima zakat berikutnya juga merupakan kelompok yang secara ekonomi perlu mendapatkan pertolongan, misalnya para budak dan orang yang memilki utang karena kesempitan ekonomi. Dengan demikian, konsep zakat akan sangat relevan untuk mengatasi kemiskinan. Dalam zakat terdapat konsep yang nyata mengenai redistribusi pendapatan dari kaum kaya kepada kaum miskin. Pemerataan penghasilan dapat dilakukan dengan pelaksanaan zakat.

Keampuhan zakat dalam mengatasi kemiskinan pernah dibuktikan pada masa khalifah Umar bin Khattab. Salah satu provinsi yang ada pada saat itu adalah Yaman. Adalah Muadz bin Jabal (amil zakat di Yaman) pernah mengirimkan hasil pengumpulan zakatnya kepada Khalifah Umar karena tidak ditemukan lagi orang miskin di Yaman. Khalifah Umar pun menolaknya dan berkata: “Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz pun menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apapun kepada Anda”.[5]

Negara Indonesia sangat berkepentingan untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan, terwujudnya masyarakat yang makmur dan sejahtera adalah tujuan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Kelebihan lain yang dimiliki oleh zakat adalah adanya nilai religi di dalamnya. Warga negara yang memang berkewajiban untuk membayar zakat tidak akan berusaha untuk menghindarinya karena mereka yakin Tuhan selalu mengawasinya. Demikian juga dengan pengelolaannya, pengelola zakat akan berusaha amanah karena mereka juga merasa diawasi Tuhan. Pengelola zakat akan menyampaikan zakat tersebut kepada yang berhak menerimanya, kaum fakir, miskin, dan sebagainya. Perbuatan korupsi akan selalu dihindari.

Page 10: Zakat Dan Pemerataan

E. Saran: Zakat Berdampingan Dengan Pajak

Pemungutan zakat bukan dimaksudkan untuk mengecilkan arti pajak dalam keuangan negara. Tugas negara dalam memberikan layanan fasilitas umum tetap harus dijalankan. Sesuai dengan filosofi pemungutannya, pajak dimaksudkan untuk itu sehingga penerimaannya tetap harus ditingkatkan. Di samping itu, dengan tersedianya fasilitas umum maka perekonomian nasional akan terdorong kemajuan dan pertumbuhannya.

Di sisi yang lain, zakat akan mengisi ruang kosong yang tidak/kurang mendapatkan perhatian dalam pengelolaan pajak, yaitu pemerataan pendapatan. Redistribusi pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin adalah peran utama yang dijalankan oleh konsep zakat. Pajak berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan zakat berkontribusi pada pemerataan penghasilan atau kekayaan.

Dengan memperhatikan pemikiran di atas, perlu kiranya pemerintah mewacanakan menjadikan zakat sebagai salah satu pendapatan negara dalam APBN. Dewasa ini telah terbit Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, namun undang-undang tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadikan zakat sebagai sumber keuangan negara.

Turut sertanya pemerintah dalam pengelolaan zakat bukan semata-mata untuk kepentingan negara guna memperkuat keuangan negara dan mengatasi kemiskinan. Peran serta tersebut juga dimaksudkan untuk melayani warga negara (umat Islam) yang ingin menunaikan kewajiban agamanya. Pemerintah telah memberikan perhatian besar terhadap pelaksanaan ibadah haji. Tentunya, hal ini dapat diterapkan juga dalam pelaksanaan ibadah zakat. Sebagai negara demokrasi dengan penduduk mayoritas beragama Islam, tidaklah berlebihan apabila negara ini dapat melayani kebutuhan umat Islam dalam berzakat.

[1]Majalah Edukasi Keuangan edisi 9/2011. Hal 31

[2]Rochmat Sumitro dalam Mardiasmo (2002). Perpajakan. Hal. 1

[3]Tim Penyusun BPPK, 2004. Dasar-Dasar Keuangan Publik. Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah, BPPK, Departemen Keuangan RI. Hal 117

Page 11: Zakat Dan Pemerataan

[4] Al Quran Surat Attaubah: 60

[5]Pengelolaan Zakat di Masa Khalifah Umar. 2011. http://voa-khilafah.blogspot.com

http://ocol769.wordpress.com/2012/05/30/zakat-potensi-pendapatan-negara-yang-terabaikan/

Potensi Zakat di Indonesia (sebetulnya) Luar Biasa

September 30, 2008 by djunaedird

Potensi zakat, yang pelaksanaannya merupakan salah satu dari lima Rukun Islam, bisa mencapai triliunan rupiah. Namun, sejauh ini pengorganisasian zakat tersebut belum optimal sehingga manfaatnya belum dapat dirasakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat di Indonesia.

Berdasarkan hitungan Kompas, potensi minimal zakat di Indonesia sebesar Rp 4,8 triliun. Asumsinya, penduduk Muslim 88,2 persen dari total penduduk Indonesia. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, dari 56,7 juta keluarga di seluruh Indonesia, 13 persen di antaranya memiliki pengeluaran lebih dari Rp 2 juta per bulan. Dengan asumsi bahwa penghasilan setiap keluarga itu lebih besar daripada pengeluaran, minimal keluarga itu mampu membayar zakat 2,5 persen dari pengeluarannya. Dengan demikian, nilai totalnya menjadi Rp 4,8 triliun.

Survei Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) tahun 2007 menyebutkan, potensi zakat di Indonesia lebih besar lagi, yaitu Rp 9,09 triliun. Survei ini menggunakan 2.000 responden di 11 kota besar.

Pakar ekonomi syariah, Syafii Antonio, bahkan menyebut potensi zakat Indonesia mencapai Rp 17 triliun. Namun, hasil riset terbaru dari Ivan Syaftian, peneliti dari Universitas Indonesia, tahun 2008, dengan menggunakan qiyas zakat emas, perak, dan perdagangan, didapat data potensi zakat profesi sebesar Rp 4,825 triliun per tahun. Penghitungan ini menggunakan variabel persentase penduduk Muslim yang bekerja dengan rata-rata pendapatan di atas nisab.

Page 12: Zakat Dan Pemerataan

Sementara itu, jumlah dana zakat yang bisa dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) tahun 2007 sebesar Rp 14 miliar. Apabila digabung dengan penerimaan zakat seluruh lembaga amil zakat (LAZ) tahun 2007, dicapai Rp 600 miliar. Nilai ini hanya 12,5 persen dari potensi minimal yang ada jika asumsi potensi Rp 4,8 triliun.

Manajemen zakat

Direktur Eksekutif Baznas Emmy Hamidiyah berpendapat bahwa manajemen zakat perlu diatur lebih baik karena belum maksimal. ”Selama ini belum ada lembaga yang mengatur semua pengelola dan penyalur zakat. Sebaiknya ada kontrol sehingga penggunaan zakat dapat dirasakan umat,” kata Emmy.

Selama ini, pengelolaan zakat dilakukan Baznas, Badan Amil Zakat Daerah, dan LAZ yang tersertifikasi maupun yang tidak. Pengelola masing-masing mempunyai aturan main sendiri dalam operasionalnya.

Amin Abdullah, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, menuturkan, persoalan zakat melibatkan tiga aspek penting yang saling mengait, yaitu muzaki atau pemberi zakat, pengelola zakat, dan pengawas. Namun, hingga kini ketiga aspek itu masih jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, optimalisasi potensi zakat dan pemanfaatannya belum bisa dilakukan. ”Selama tiga faktor ini tidak berjalan, potensi sebesar apa pun hilang,” ujarnya, Senin (29/9).

Syafii Antonio juga menyayangkan sebagian besar umat Muslim yang hanya memaknai zakat sebagai ibadah ritual. ”Zakat ibarat potensi besar yang mati sehingga belum bisa jadi tumpuan pengentasan kemiskinan,” paparnya.

Tragedi pembagian zakat di Kabupaten Pasuruan, 15 September, yang menewaskan 21 orang, merupakan pelajaran berharga.

Peneliti PIRAC, Hamid Abidin, menilai, pendayagunaan zakat kurang karena hanya menggunakan pendekatan santunan. Zakat masih lebih fokus pada delapan kelompok yang berhak menerima. Padahal, zakat berfungsi stra- tegis dalam pemerataan kekayaan, pemberdayaan ekonomi umat, aspek advokasi, dan pendidikan. (Potensi Zakat Triliunan Rupiah – Kompas)

Page 13: Zakat Dan Pemerataan

[ Gambar diambil dari sini ] http://djunaedird.wordpress.com/2008/09/30/potensi-zakat-di-indonesia-sebetulnya-luar-biasa/

Serahkan Zakat ke Lembaga Amil Zakat yang Dipercaya Masyarakat

REP | 24 August 2011 | 11:59

Dibaca: 177 Komentar: 0 Nihil

JAKARTA-Diakhir bulan Ramadhan setiap orang wajib mengeluarkan zakatnya. Menurut sensus tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin 31,02 juta atau 3,3 persen dari total penduduk Indonesia. Jika menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia maka ini orang miskin akan meningkat jumlahnya.

Masalah kemiskinan masih menjadi tantangan berat bagi pemerintah. Dengan dukungan dana sebesar yang besar dan didukung oleh berbagai kebijakan, pemerintah berupaya untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Tahun 2011 pemerintah menganggarkan Rp49,5 triliun yang tersebar di setiap Kementerian/Lembaga yang memiliki program pengentasan kemiskinan. Namun, masalah kemiskinan masih jauh dari selesai, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan masih besar yaitu 31.02 juta (13,3%) tahun 2010.

Berdasarkan studi pemetaan kemiskinan potensi zakat penduduk Indonesia cukup besar. Data muzaki tahun 2007 mencapai 23.735.012. Nishab zakat profesi diqiyaskan dengan zakat pertanian sebesar 653 kg gabah kering giling atau setara dengan 522 kg beras. Dengan asumsi 1 kg beras harganya Rp 5.000,-, maka nilai nishab dalam bentuk uang adalah 522 kg x Rp 5000,- = 2.610.000/bulan. Jika diasumsikan seluruh muzaki membayar zakat 2,5% dari nishab (Rp65 ribu per bulan), maka potensi zakat tahun 2007 mencapai 18.4 trilliun per tahun atau 1.5 trillun per bulan. Jika asumsinya muzaki membayar Rp. 100.000 per bulan maka potensinya meningkat menjadi Rp. 28,5 triliun. Potensi zakat tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 21.7 trilun dengan asumsi: pertumbuhan penduduk 1.5% per tahun dan harga beras naik 10% .

Pembagian zakat yang dilakukan secara perorangan oleh para dermawan hingga berdesak-desakan bahkan menimbulkan korban jiwa, merupakan hal yang tidak manusiawi.”Kalau harus berdesak-desakan sampai ada korban bahkan meninggal yang diterima hanya Rp 25.000 ini tidak manusiawi. Cara-cara seperti ini seharusnya dihindari karena ini tidak sesuai ajaran Islam,” ujar Mensos Salim Segaf Al Jufri.

Page 14: Zakat Dan Pemerataan

Mensos mengaku prihatin dengan pembagian zakat tersebut, seharusnya orang mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Tapi jika caranya seperti selama ini terjadi hal itu tidak mengentaskan kemiskinan tapi semakin menetaskan orang miskin karena tahun depan akan semakin banyak yang mengantri. Seharusnya zakat diserahkan ke lembaga amil zakat yang dipercaya masyarakat.

“Kita memberikan respon semangat kepada orang-orang yang mampu tapi silakan dihibahkan ke badan amil zakat itu lebih bagus dan meringankan semuanya bahkan target bisa terwujud serta untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Mensos. Mensos meminta jangan ada lagi pemberian zakat secara perorangan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan seperti warga berdesakan, pingsan karena terinjak-injak bahkan sampai meninggal. ”Mestinya orang-orang yang miskin menerima zakat dirumahnya agar mereka juga dimanusiakan tidak perlu antri. Jadi petugasnya datang memberikan zakat akan memberdayakan mereka,” ujar mensos.

Potensi zakat belum terealisasi dalam kenyataan. Sebagai gambaran total penerimaan zakat melalui lembaga-lembaga zakat resmi di Indonesia masih jauh dibawah angka-angka tersebut. Tahun 2007, dana zakat yang terkumpul mencapai Rp 450 miliar, 2008 meningkat menjadi Rp 920 miliar, 2009 tumbuh menjadi RP 1,2 triliun, dan setahun berikutnya angkanya hanya mencapai Rp 1,5 triliun, atau kurang dari 1%.

Peran lembaga amil zakat masih diperlukan untuk menggali dan mendorong para muzaki berzakat dan menyalurkannya untuk kemaslahatan umat.

http://metro.kompasiana.com/2011/08/24/serahkan-zakat-ke-lembaga-amil-zakat-yang-dipercaya-masyarakat/

Zakat adalah "pajak" terpenting pada masa awal perkembangan Islam yang diwajibkan kepada kaum Muslimin. Zakat dikumpulkan dari dan dibelanjakan untuk kebutuhan kaum Muslimin sendiri. Mengenai apakah zakat atu jenis pajak lain telah terdapat di Jazirah Arab sebelum datangnya islam yang kemudian diambil alih oleh Islam dan disesuaikan untuk memenuhi keperluan tertentu, ataukah ini memang sebuah istilah baru yang diciptakan Islam, nampaknya tidak ada informasi yang jelas. Karena masyarakat pada waktu itu terkotak-kotak dalam suku yang berlainan dan tidak adanya sistem sosio-ekonomi yang diterima secara luas di Jazirah arab, sulit agaknya untuk memastikan apakah pajak seperti itu sudah ada sebelum datangnya Islam.

Page 15: Zakat Dan Pemerataan

Zakat harus dibayar setiap tahun atas harta yang wajib dizakati dengan ketentuan batas minimumnya(nishab). Secara umum, barang atau harta yang wajib dizakati adalah:

Harta simpanan, termasuk didalamnya kelebihan pendapatan tahunan yang tidak diinvestasikan dalam perdagangan atau industri dan tidak pula mengalami perputaran, Nisabnya 40 dirham ke atas dan jumlah rata-rata yang harus dibayar sebesar 2.5% dari pendapatan yang diperoleh.

Emas dan Perak, Nisab zakat emas 20 mitsqat, sedangkan perak 200 dirham. Zakat yang harus dikeluarkan masing-masing sebesar 2.5%.

Barang tambang dan harta terpendam yang ditemukan seseorang, jumlah zakat yang harus dibayar sebesar 20% atau 1/5 dari jumlah hasil.

Barang dagangan, yaitu barang yang dianggap sebagai komoditas dagang. Jumlah zakatnya 2,5% dengan nisab yang berlainan dari 40 hingga 200 dirham. Pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar kuda tidak termasuk binatang yang dizakati karena pada saat itu hanya dipelihara untuk kepentinga sendiri. Namun, pada masa pemerintahan Umar, kuda sudah menjadi binatang yang diperdagangkan, sehingga diambil pula zakat dari binatang tersebut.

Binatang ternak, seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing dengan nisab yang berlainan

Zakat, Sedekah, dan Ibadah Pendapatan Negara Selain Pajak.

Dipublikasi pada Mei 18, 2012 oleh makro4d

Nama : Untari

Nim : 1110082000144

Judul : Zakat, Sedekah, dan Ibadah Pendapatan Negara Selain Pajak.

Alamat : Kp. Tajur Rt01/04 no.39 Desa Pemagarsari, Parung, Bogor.

Jurusan : Akuntansi

Page 16: Zakat Dan Pemerataan

Fakultas : Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas : Universitas Islam Negeri Jakarta

Email : [email protected]

Facebook : [email protected]

Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Pajak pada dasarnya merupakan kewajiban masyarakat terhadap negara. Dalam penggunaannya, pajak ditujukan untuk membangun fasilitas umum bagi masyarakat. Seiring berkembangnya pemikiran negara kesejahteraan, di beberapa negara kemudian mengalokasikan pajak sebagai bantuan subsidi ataupun program jaminan sosial bagi warga negara.

Meski secara teoritik tidak ada yang menyatakan pajak digunakan bagi masyarakat miskin. Namun, di Indonesia, konstitusi mengamanahkan negara untuk memajukan kesejahteraan umum. Secara sederhana, negara (pemerintah) bertanggung jawab untuk memanfaatkan pajak untuk membangun kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan dan mengentaskan kemiskinan.

Objektif pajak tersebut terlihat tidak begitu berbeda dengan orientasi zakat. Zakat dengan sangat eksplisit ditujukan bagi orang-orang yang dikategorikan lemah (dhuafa’). Baik lemah dalam hal ekonomi (fakir, miskin), sosial (muallaf, ibn sabil), maupun politik (gharim, riqab, fii sabilillah).

Zakat secara harfiah yang berarti tumbuh dan berkembang. Karenanya, zakat memiliki tujuan untuk menumbuh-kembangkan kesejahteraan masyarakat dhuafa’. Hakikat zakat adalah agar kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh sekelompok elite masyarakat. Dalam pengertian ini, zakat dan pajak memiliki maksud yang sama, yakni redistribusi harta untuk kemakmuran bersama.

Page 17: Zakat Dan Pemerataan

“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 261)

Sinergi Positif. Malaysia merupakan contoh menarik dari kebijakan sinergis antara zakat dan pajak. Pengelolaan zakat sejak awal memang sudah dilaksanakan oleh aparatur negara. Namun, baru pada tahun 2004, pengelolaan zakat resmi berada dalam Departemen Zakat, Wakaf, dan Haji (JAWHAR). Departemen ini secara langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri.

Setiap negara bagian memiliki Pusat Pungutan Zakat (PPZ). Lembaga ini melakukan penyuluhan intensif kepada masyarakat tentang kewajiban zakat. PPZ merupakan unit teknis pengelola zakat yang berperan dalam menghimpun dan mendayagunakan zakat pada setiap negara bagian.

Di samping pelaksanaan penyuluhan zakat, keberadaan zakat sebagai insentif pajak berhasil mendorong pertumbuhan angka penghimpunan zakat. Model ini mengintegrasikan zakat dengan sistem perpajakan nasional. Sistem ini memungkinkan adanya pertukaran informasi antar institusi pengelola pajak dengan pengelola zakat.

Pola sinergi zakat dan pajak tersebut memudahkan pemerintah mendeteksi siapa yang tidak membayar zakat dan siapa yang tidak membayar pajak. Karenanya, dengan kebijakan tersebut, secara tidak langsung, penghimpunan pajak juga mengalami peningkatan, dengan tax ratiodiperkirakan mencapai 20,2 persen.

Model seperti inilah yang ke depannya perlu dikembangkan di Indonesia. Ada sinergi positif antar institusi, bukan ego sektoral yang menyekat. Dalam hal ini, kerja sama antara institiusi pajak dan pengelola zakat.

Harus oleh Negara. Namun, perlu ditekankan bahwa skema zakat sebagai insentif pajak juga harus didukung dengan sistem pengelolaan zakat yang terpadu. Negara harus mengambil alih peran sebagai komando yang mengayomi pengelolaan zakat nasional. Peran ini tidak ditujukan hanya sebagai operator zakat yang berjibaku sekedar pada proses penghimpunan dan pendayagunaan.

Fungsi regulator dan koordinator dalam pengelolaan zakat merupakan peran sentral yang semestinya dijalankan oleh negara. Dalam artian, negara membuat sejumlah kebijakan dan arahan yang mendorong optimalisasi penghimpunan zakat, transparansi pengelolaan zakat, dan efektifitas pendayagunaan zakat dalam memberdayakan kelompok dhuafa’. Untuk operator teknis, partisipasi masyarakat tak ada salahnya.

Dari peran sentral tersebut, diharapkan negara memiliki informasi agregat pengelolaan zakat nasional, baik penghimpunan maupun pendayagunaan. Dari data penghimpunan, informasi tersebut dapat diolah menjadi sumber data wajib pajak. Kebijakan insentif pajak diharapkan menstimulus pembayar zakat. Ini tentunya juga akan memperbesar jumlah wajib pajak. Artinya, target pemasukan pajak negara tentu akan meningkat, seiring dengan pertumbuhan zakat.

Page 18: Zakat Dan Pemerataan

Dengan demikian, zakat sebagai insentif pajak sama sekali tidak akan merugikan negara. Zakat tidak lagi diasumsikan mengurangi pemasukan pajak. Sebaliknya, kebijakan tersebut justru akan mendorong pertumbuhan pajak. Ini tentunya akan meningkatkan kebermanfaatan negara bagi masyarakat, yakni sebagai redistributor kemakmuran.

Disini dapat kita lihat bahwa zakat memberikan pengaruh yang positif bagi pendapatan secara nasional. Ini sekaligus membuktikan bahwa Al-Quran selalu benar, selalu relevan dan tidak akan pernah lekang dimakan oleh zaman.

Kesimpulan lain yang dapat kita tarik adalah bahwa selain kita mendapatkan pahala yang besar dari mengeluarkan zakat, serta meningkatkan pendapatan nasional secara agregat. Zakat akan menggairahkan ekonomi dan membuat kegiatan ekonomi masyarakat akan semakin hidup. Maka semakin besar zakat yang kita keluarkan semakin besar pendapatan nasional dan semakin makmur negara Indonesia ini.

Sedangkan dari sisi ibadah yang ditunjukkan oleh kurva sinlamim dalam pendapatan Negara dapat dikatakan adalah sesuatu yang tersirat, dimana dengan berzakat dan bersedekah yang disamping dapat membantu pendapatan Negara juga bentuk seorang muslim dalam beribadah kepada Allah dan dalam rangka pemerataan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang tertulis dalam al-Quran bahwa zakat adalah kewajiban seorang muslim. Ibadah juga dikaitkan dengan pemerintah yang bertanggung jawab dalam mengelola pendapatan negara. Mereka harus amanah dalam mendistribusikan pendapatan Negara tersebut, demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat bukan untuk kesejahteraan beberapa golongan. Sedangkan sedekah lebih ditekankan kepada masyarakat Indonesia non muslim karena masyarakat non muslim tidak menerapkan system zakat dalam ibadahnya maka diterapkan system sedekah yang dikelola dengan amanah oleh pemerintah dan pihak-pihak yang terkait.

Maka dengan kombinasi zakat, sedekah, dan ibadah dapat membantu meningkatkan pendapatan Negara demi kesejahteraan dan pemerataan Negara yang jauh lebih baik dengan pengelolaan yang amanah.

http://makro4d.wordpress.com/2012/05/18/zakat-sedekah-dan-ibadah-pendapatan-negara-selain-pajak/

Public Finance: Konseptualisasi, Implementasi , Aktualisasi dan Perkembanganya di Masa Kontemporer di Indonesia

0

Posted on : 12-01-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, ZISWAF

Page 19: Zakat Dan Pemerataan

5

Public Finance: Konseptualisasi, Implementasi , Aktualisasi dan Perkembanganya di Masa Kontemporer di Indonesia[1]

Mustafa Edwin Nasution, Ph.D[2]

Zakat merupakan salah satu tiang utama ajaran Islam yang memiliki keunikan tersendiri, selain merupakan rukun islam yang memiliki dimensi ibadah yang kuat, pengaruh zakat juga sangat besar dalam aktifitas sosial ekonomi kemasyarakatan. Zakat merupakan suatu mekanisme yang mengontrol keseimbangan atau stabilitas dalam dinamika masyarakat, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Zakat menjaga stabilitas hubungan golongan kaya dan miskin, sebagai alat sosialisasi bagi setiap individu dalam Islam dan tentu saja fungsi utamanya berperan sebagai ibadah bagi manusia sesuai dengan tuntunan Allah SWT

Pendahuluan

Keberadaan zakat sebagai sebuah instrumen sosial ekonomi, memiliki aspek historis tersendiri pada masa kejayaan Islam. Zakat sebagai sebuah elemen dalam dimensi perekonomian telah memainkan peranan penting dalam membentuk aspek fiskal dalam struktur perekonomian sebuah negara (Timur Quran:1996), bahkan dalam sejarah pemerintahan Islam, bagi individu yang tidak membayar zakat, dianggap telah melakukan kejahatan pada sistim keuangan dalam sebuah pemerintahan.

Aspek inilah yang telah digambarkan dengan tinta emas sejarah peradaban Islam mulai dari khalifah yang agung Abu Bakar Siddiq yang telah memberikan aturan pelaksanaan, regulasi dan sistem dalam pemungutan zakat (Ugi Suharto: 2005), sampai pada khalifah “kelima” Umar bin Abdul Aziz yang telah melengkapi aspek pelaksanaan zakat, sehingga menghasilkan sistem yang aplikatif dalam menghasilkan tujuan sosial ekonomi syariah dari zakat sendiri.

Pengalaman sejarah 14 abad yang lalu seharusnya telah membentuk sebuah sistem dan kerangka sosial ekonomi syariah masyarakat yang kuat dan tangguh pada masa setelah kejayaan pemerintahan Islam (Mohd Yussof: 2004). Pada kenyataan terjadi sebaliknya, negara-negara Islam khususnya Indonesia justru mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan pola yang ditawarkan oleh sistem ekonomi dan keuangan konvensional.

Tidak heran jika jumlah hutang luar negeri Indonesia sangat besar dan inilah kemudian yang menyebabkan terjadinya proses pendiktean oleh negara dan lembaga donor terhadap Indonesia sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk keluar dari perangkat hutang tersebut. Padahal, solusi penyelesaiannya sebenarnya tergantung dari kemauan kita untuk bisa lepas dari hutang dan ketergantungan terhadap asing  dengan cara membangun fundamental ekonomi yang kuat dengan mengoptimalkan potensi ekonomi masyarakat, sehingga nantinya akan tercipta sistim ekonomi dan keuangan yang lebih mandiri.

Kegagalan instrument fiskal konvensional di era otonomi daerah ini telah memberi andil bagi besarnya angka kemiskinan di Indonesia. Pasca krisis, jumlah penduduk miskin Indonesia masih

Page 20: Zakat Dan Pemerataan

besar dan tersebar luas. Di tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah orang miskin adalah 36,1 juta orang atau 16,6% dari total penduduk. Pada saat yang sama perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2004 hanya 7,4% dengan garis kemiskinan US$1 sehari. Namun jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4% atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini ekuivalen dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa potensi ekonomi umat yang terdapat dalam zakat tidak lagi hidup di tengah-tengah masyarakat. Zakat hanya diartikan sebagai sebuah kewajiban rutin yang harus dilaksanakan setiap tahun, tanpa melihat aspek sosial ekonomi, pemberdayaan, pemanfaatan dan produktivitasnya (M.A. Mannan: 1994). Kesadaran inilah yang harus dihidupkan kembali di tengah umat. Definisi zakat sebagai harta yang tumbuh dan berkembang harus diimplementasikan dalam sebuah kebijakan yang nyata di lapangan.

Tulisan ini mencoba menggambarkan potensi zakat yang tersembunyi dari beberapa kota besar di Indonesia dan juga secara nasional, beberapa data diambil dari BPS, BI, BKPM dan hasil penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat Pirac, tentang potensi zakat di sepuluh kota besar di Indonesia.

Sejarah Kegemilangan Ekonomi Negara Islam

Keberhasilan pengelolaan zakat dan wakaf  telah dibuktikan pada masa pemerintahan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan juga Khilafah di zaman dinasti islam lainnya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz, tidak ditemukan lagi masyarakat yang layak untuk menerima zakat, karena semua telah mampu menjadi  muzakki, sehingga zakat yang ada dibagikan kepada masyarakat di negara lain.

Keberhasilan zakat tidak hanya terjadi pada masa keemasan dinasti Islam, namun juga dapat dibuktikan sampai dengan saat ini. Demikian juga halnya dengan wakaf.  Di negara-negara arab yang telah mengelola wakaf secara profesional, wakaf berkembang sedemikian pesat, sehingga hasil yang dapat kita lihat antara lain sekolah Al Azhar yang ada di Kairo. Di Indonesia sendiri wakaf banyak dikembangkan dalam bentuk yayasan. Salah satunya adalah yayasan pondok pesantren Gontor.

Kuran, 2001 menyebutkan bahwa wakaf dalam Islam muncul sebagai sarana komitmen yang dapat dipercaya untuk memberikan keamanan bagi pemilik harta sebagai imbangan dari layanan sosial yang diberikan. Penelitian yang dilakukan di Timur Tengah ini juga mencatat bahwa wakaf telah lama berfungsi sebagai instrumen penting untuk memberikan public goods dengan cara yang tidak sentralistik.

Penelitian lain tentang wakaf diungkapkan oleh R.D McChesney (1991) yang menulis buku hasil penelitiannya tentang kegiatan wakaf di Asia Tengah selama 400 tahun. Disebutkan bahwa wakaf telah menjadi pusat penting kehidupan umat Islam sehari-hari dalam kurun waktu yang lama. Banyak peran yang telah dijalankan oleh institusi wakaf ini, seperti membangun lembaga-lembaga keagamaan, kultural dan kesejahteraan dan menjadi sarana sah dalam menjaga keutuhan kekayaan keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya.  Hasil penelitian ini juga

Page 21: Zakat Dan Pemerataan

menunjukkan bagaimana peran wakaf berfluktuasi sejalan dengan sikap pemerintah sebagai penguasa.

Pada saat sebagian besar negara-negara muslim dibawah kekuasaan penjajahan barat, suasana suram menyelimuti institusi wakaf di negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, terlihat kemunduran yang signifikan di dunia muslim.  Namun kondisi segera berubah dengan merdekanya sebagian negara muslim pada abad ke-20. Kemerdekaan ini serta merta membawa perubahan besar pada manajemen pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut.

Sebagai contoh sejumlah harta wakaf di Syria, Mesir, Turki, Tunis dan Aljazair dialihkan menjadi harta publik yang diawasi oleh negara dan didistribusikan melalui land reforms dan lainnya. Beberapa negara menciptakan Undang-undang wakaf dan mendirikan departemen wakaf untuk memajukan institusi tersebut di negaranya. Dari sejumlah paparan di atas, jelas terlihat bahwa wakaf berperan signifikan dalam menentukan maju atau mundurnya suatu komunitas masyarakat.

Perkembangan Institusi Zakat di Indonesia

Semenjak tahun 1999 Indonesia telah memiliki Undang-Undang tentang zakat yaitu UU No. 38 tahun 1999, secara substansi UU tersebut memberikan aturan dan pola hubungan antara lembaga zakat baik yang dikelola masyarakat ataupun oleh pemerintah. Secara jujur harus diakui, enam tahun pasca UU zakat tersebut disahkan, perkembangan pengelolaan dana zakat dan pemanfaatanya dirasakan belum optimal, jika dilihat dari potensi yang dimilikinya. Secara kuantitatif, terjadi peningkatan yang cukup signifikan jumlah badan pengelola zakat baik yang dikelola pemerintah maupun swasta seperti ;Baznas, Bazda dan laz yang dikelola pihak swasta.

Ada beberapa catatan kritis yang bisa dijadikan masukan untuk mengevaluasi perkembangan institusi zakat dalam rangka peningkatan peran dan kontribusi zakat dalam perekonomian nasional. Pertama, System zakat yang ada masih bersifat sukarela (voluntary zakat system), terlihat jelas pada pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sebaiknya system zakat diusahakan untuk berada pada posisi wajib (obligatory zakat system), sehingga zakat akan berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi. Kedua, selama ini system dan mekanisme yang masih dibawah otoritas Departemen Agama. Sebaiknya zakat harus berada dalam otoritas ekonomi pemerintah seperti menteri keuangan atau lembaga keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah, sehingga akan menjadikan zakat sebagai instrumen ekonomi, dengan demikian efektifitasnya akan lebih terasa ketika zakat benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi.

Jika paradigma diatas bisa dijadikan instrument pengelolaan zakat diindonesia, sangat diyakini bahwa peran zakat dalam perekonomian nasional akan semakin signifikan. Sebab dengan menjadikan zakat sebagai kewajiban bagi masyarakat dan zakat sebagai alat kebijakan ekonomi pemerintah, diyakini zakat akan berkembang menjadi sumber pendanaan baru bagi pemerintah, dengan tidak menghilangkan ketentuan syariah yang terkandung didalamnya.

Potensi Zakat di Indonesia

Page 22: Zakat Dan Pemerataan

Berbicara mengenai potensi zakat, ada banyak pendapat terkait dengan hal ini. Setiap  pihak memberikan prediksi dan ekspetasi masing-masing. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Sudewo (Republika,2006) tentang Buaian potensi zakat.  Pendapat pertama berasal dari mantan menteri agama, Said Agil Munawar yang menyatakan potensi zakat Rp. 7 Trilyun per tahun. Pendapat kedua, PIRAC memprediksi bahwa potensi nilai zakat sebesar 9 Trilyun per tahun. Pendapat yang ketiga berasal dari  PBB UIN yang menegaskan bahwa perolehan zakat bisa mencapai 19 Trilyun per tahun.

Sementara itu, menurut Sudewo sendiri, dengan menggunakan angka jumlah penduduk dan melakukan simulasi terhadap jumlah penduduk muslim yang kaya mencoba melakukan proyeksi terhadap tiga skenario potensi. Skenario pertama, potensi zakat sebesar 10,8 Trilyun per bulan. Skenario kedua potensi zakat mencapai 21,6 Trilyun dan skenario ketiga potensi zakat sebesar 32,4 Trilyun.

Perkiraan potensi lainnya dilakukan oleh Nasution (2006), dengan menggunakan data GDP Indonesia dan dengan asumsi bahwa penguasaan asset ummat muslim sebesar 20 persen dari total GDP dan besaran zakat sebesar 2,5 persen maka potensi zakat adalah sebesar  7,5 s.d 8,7 Trilyun rupiah.

Tabel 1. PDB Indonesia dan Perhitungan Potensi Zakat [3]

Tahun PDB (milyar) Potensi Zakat (Trilyun)

2002 1505216 7,5

2003 1577171 7,9

2004 1656826 8,3

2005 1749547 8,7

Sumber: BPS, dalam Nasution (2006)

Jika, semua perkiraan potensi yang ada ini dibandingkan dengan data PDB tahun 2005, maka kita lihat komposisi potensi zakat/PDB 2005 sekitar 0,4 s.d 1,85 %. Data selengkapnya tertera pada Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2. Share Estimasi Potensi Zakat terhadap Total PDB 2005

Item Jumlah zakat (Rp Trilyun) PDB 2005 Rasio zakat/PDB 2005

Potensi 1 7 1749547 0,40

Potensi 2 9 1749547 0,51

Page 23: Zakat Dan Pemerataan

Potensi 3 19 1749547 1,09

Potensi 4 10,8 1749547 0,62

21,6 1749547 1,23

32,4 1749547 1,85

Potensi 5 8,7 1749547 0,50

Sumber data: BPS (2005), Republika (2006) dan Nasution (2006), diolah

Keterangan:

-Potensi 1 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh  mantan menteri agama Said  Agil Munawar

-Potensi 2 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh PIRAC

-Potensi 3 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh PPB UIN

-Potensi 4 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh Sudewo, Eri (2006)

-Potensi 5 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh Nasution, Mustafa (2006)

Berdasarkan data estimasi potensi zakat sebagaimana Tabel 2, di atas, terlihat bahwa potensi zakat yang diprediksi berkisar antara 0,4 sampai dengan 1,85 persen dari total PDB Nasional berdasarkan harga berlaku tahun 2005, Jika dibandingkan dengan estimasi dan perhitungan potensi zakat di beberapa negara muslim jumlah ini masih jauh lebih rendah, Estimasi dan perhitungan potensi zakat di beberapa negara dapat di lihat pada Tabel 3, di bawah ini,

Tabel 3. Perhitungan Potensi Zakat di Beberapa Negara Muslim

Negara Potensi Realisasi/Keterangan

Mesir 6,1% Overestimated

Sudan 3% Overestimated

Syria 3% Overestimated

Sumber: Khaf (1999), diolah

Page 24: Zakat Dan Pemerataan

Implementasi zakat di beberapa negara muslim menunjukkan bahwa realisasi pengumpulan dana zakat yang terjadi tidak sebesar potensi yang telah di estimasi, Untuk Kasus Sudan mislanya, angka estimasi menunjukkan potensi zakat sebesar 3 persen dari total GDP, namun realisasi menunjukkan bahwa realisasi zakat di Sudan hanya sebesar 0,3 sampai dengan 0,5 persen, Demikian halnya dengan negara-negara muslim lainnya,  Secara umum,  implementasi zakat di beberapa negara menunjukkan realisasi zakat tidak melebihi dari 1% GDP, rata-rata berkisar 0,3 sampai dengan 0,6 persen, Selengkapnya terlihat dari Tabel 4, berikut:

Tabel 4. Realisasi Zakat di Beberapa Negara Muslim

Negara Realisasi/Keterangan

Arab Saudi 0,4%-0,6%

Yaman 0,4%

Pakistan 0,3 %

Sudan 0,3 % – 0,5 %

Lainnya 0,4% – 0,5 %

Sumber: Khaf (1999), diolah

Tidak berbeda dengan kondisi di beberapa negara muslim di atas, implementasi pengumpulan zakat pun masih jauh dari potensi yang diperkirakan, Berdasarkan data yang terkumpul dari Forum Zakat (FOZ), realisasi pengumpulan zakat di Indonesia hanya berkisar 0,009 s,d 0,03 persen, Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan realisasi pengumpulan zakat di negara-negara muslim, Namun yang menggembirakan adalah jumlah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5, Share Realisasi Zakat Terhadap PDB di bawah ini,

Tabel 5. Share Realisasi Zakat Terhadap PDB

Item 2001 2002 2003 2005

Realisasi

(Rp Juta)

39.322,94

 

58.793,01

 

61.791,32

 

250.000

% terhadap GDP

0,009% 0,012% 0,012% 0,03%

Sumber: FOZ dan BPS berbagai tahun, diolah

Page 25: Zakat Dan Pemerataan

Sebagaimana data realisasi zakat nasional yang cenderung meningkat maka will masyarakat di daerah untuk membayar zakat juga cenderung meningkat. Hal ini tercermin dari hasil perhitungan elastisitas zakat di 10 daerah di Indonesia. Rata-rata elastisitas zakat terhadap PDRB di 10 daerah tersebut lebih besar dari 1, kecuali Sumatera Barat. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6. di bawah ini.

Tabel 6. Growth Zakat/Muzakki, PDRB per Kapita dan Elastisitas[4]

No Propinsi

Growth

Zakat/Muzakki*Growth PDRB/capitaElastisitas

1 Sumatera Utara 3,186013553 2,334483898 1,364761417

2 Smatera Barat 3,636292794 5,249661298 0,692671886

3 DKI Jakarta 3,155441515 2,51607297 1,254113674

4 Jawa Barat 2,833826478 2,250347929 1,259283705

5 Jawa Timur 2,484818843 2,324770396 1,06884484

6 Bali 3,327348053 2,389244892 1,392635834

7 Kalimantan Timur 4,280946825 2,285140201 1,873384759

8 Kalimantan Barat 2,823132195 2,502981491 1,127907739

9 Sulawesi Selatan 5,324826418 2,324396599 2,290842458

10 Sulawesi Utara 2,717771358 2,289176946 1,187226424

Sumber: PIRAC(2004), BPS (2002 dan 2004), diolah

* Data Growth ini dihitung dari data zakat/muzakki di sepuluh kota berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC

Berdasarkan hasil perhitungan elastisitas yang dilakukan terlihat bahwa aerah yang memiliki elastisitas pertumbuhan terbesar adalah Sulawesi Selatan, Nilai elastisitas 2,29 menunjukkan kenaikan 1 persen GDP/kapita berdampak terhadap kenaikan zakat yang terkumpul sebesar 2,29 persen. Besarnya elastisitas zakat di daerah ini tidak terlepas dari besarnya jumlah penduduk muslim di daerah ini. Semakin besarnya penduduk di daerah ini selaras dengan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya membayar zakat. Peningkatan elastistas ini juga tidak terlepas dari peran lembaga amil zakat yang profesional, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dan juga peran pemerintah dalam menggerakkan zakat dalam perekonomian. Salah satu wujud peran pemerintah ini terlihat dari  diberlakukannya Perda khusus tentang kewajiban membayar zakat

Page 26: Zakat Dan Pemerataan

sebagai instrumen dalam pengentasn kemiskinnan, di Kabupaten Bulukumba salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan.

Meski demikian, jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam tidak dapat dijadikan standard besar kecilnya will untuk membayar zakat. Kasus di Sumatera Barat misalnya. Dengan penduduk mayoritas beragama Islam, kenaikan PDRB per kapita sebesar 1 persen hanya berdampak pada peningkatan zakat sebesar 0,69 persen. Hal ini tercermin dari angka elastisitas sebesar 0.69. Hal yang sama untuk kasus Jawa Timur. Sebagai salah satu daerah kantong muslim di Indonesia, kesadaran berzakat masyarakat di daerah ini tidak sebesar masyarakat di daerah Sulawesi Utara dan Bali , yang notabene bukan daerah kantong muslim.

Elastisitas kedua terbesar setelah Sulawesi Selatan adalah Kalimantan Timur. Angka elastisitas zakat untuk daerah ini mencapai 1,87 persen.  Dengan nilai elastisitas ini berarti kenaikan PDRB/capita sebesar 1 persen  meningkatkan penerimaan zakat sebesar 1,87 persen per kapita. Besarnya perolehan zakat di daerah ini diduga selain karena kesadaran masyarakat yang cukup tinggi juga dikarenakan oleh tingkat pendapatan masyarakat yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Indonesia. Hal ini terkait dengan terkenalnya Propinsi Kalimantan Timur sebagai penghasil migas dan sejumlah barang tambang lainnya.

Untuk daerah lainnya, angka elastisitas berada pada kisaran 1, 06 sampai dengan 1,4 persen. Secara implisit terlihat bahwa kenaikan GDP akan meningkatkan penerimaan zakat yang lebih besar. Peningkatan zakat ini bisa dikarenakan oleh kesadaran masyarakat yang lebih tinggi untuk berzakat dan juga sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat.

Meski demikian, secara umum realisasi zakat yang terkumpulmasih jauh dari yang diharapkan. Hal ini mencerminkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran yang lebih baik untuk berzakat. Kondisi ini terlihat dari angka realisasi zakat nasional yang sangat kecil dibandingkan dengan total GDP Nasional.

Kesimpulan dan Rekomendasi  Kebijakan

Berdasarkan hasil perhitungan potensi zakat nasional, realisasi  dan juga elastisitas zakat di beberapa daerah menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk membayar zakat belum optimal. Hal ini terlihat dari kecilnya nilai zakat yang terkumpul relatif terhadap PDB. Terlebih jika dibandingkan dengan realisasi zakat di rata-rata negara muslim yang mencapai 0,4 s.d 0,5 persen.

Sementara dari hasil perhitungan elastisitas pertumbuhan zakat terhadap PDRB/kapita menunjukkan bahwa besar kecilnya elastisitas tidak dipengaruhi oleh kondisi mayoritas pendudukmuslim di suatu daerah. Sebagai contoh untuk kasus Sumatera Barat dengan penduduk muslim yang berjumlah mayoritas, namun daerah ini memiliki elastisitas yang paling kecil dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Demikian juga halnya dengan daerah Jwa Timur, yang elastisitasnya lebih kecil dibandingkan dengan Bali dan Sulawesi Utara.

Di Sulawesi Selatan, angka elastisitas yang besar menunjukkan selain sebagai daerah mayoritas muslim, kesadaran masyarakat untuk berzakat relatif lebih tinggi. Faktor lain adalah lembaga

Page 27: Zakat Dan Pemerataan

LAZ yang profesional, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan juga peran pemerintah  untuk menggerakkan zakat dalam perekonomian.   Di Kalimantan Timur,   pengaruh kesadaran masyarakat yang besar  dan juga tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi  menjadi kombinasi yang menentukan besarnya elastisitas pertumbuhan zakat di daerah ini.

Sebagai implikasi kebijakan, idealnya pemerintah lebih serius dalam mengoptimalkan peran zakat sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Untuk mendukung keseriusan ini pemerintah dapat membuat suatu gerakan nasional yang dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat, sebagaimana halnya dengan gerakan keluarga berencana nasional yang terprogram, terarah dan berkesinambungan. Gerakan ini juga hendaknya didukung oleh gerakan edukasi masyarakat tentang pentingnya berzakat baik bagi individu, maupun bagi kelompok masyarakat, maupun masyarakat luas secara umum. Tanpa demikian mungkin akan sulit mewujudkan realisasi zakat untuk mencapai potensinya. Karena sebagaimana kita lihat gerakan keluarga berencana yang terprogram baru menampakkan hasilnya setelah 20-30 tahun. Keberhasilan gerakan ini akan menjadikan negara ini menjadi negara yang mandiri setidaknya dapat menggunakan dana ini dalam usaha-usaha pengentasan kemiskinan  yang selama ini masih menggunakan dana pinjaman dari luar negeri.

Daftar Pustaka

Ali, Mohammad Daud, ” Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf ”, UI-Press, Jakarta, 1988

Badan Pusat Statistik, ” Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005 ”

Badan Pusat Statistika, “Statistik Indonesia “, 2005

Chapra, Umer, ” The Future of Economics : An Islamic Perspective ” SEBI, Jakarta, 2001

Khaf, Monzer , “The Performance of The Institution of Zakah in Theory and Practice” , Kuala Lumpur, 1999

Nasution, Mustafa Edwin, Yusuf Wibisono ” Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan ” , Proceeding Muktamar IAEI , Medan, 2005

Nasution, Mustafa Edwin,  Zakat dan wakaf sebagai Pilar  dalam Sistem Perekonomian Nasional, 2006

Saidi, Zaim (2004). Kedermawanan Kaum Muslimin: Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di Indonesia. Hasil Survey di Sepuluh Kota”. Pustaka Adina. PIRAC dan Ford Foundation.

[1] Disampaikan pada seminar “Potensi Lembaga Keuangan Sosial Islam dalam Sistem Keuangan Islam” di Universitas Islam Negeri, Rabu 17 Januari 2007

[2] Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia

Page 28: Zakat Dan Pemerataan

[3] Tabel ini dikutip dari makalah yang disampaikan pada seminar internasional di Malang yang berjudul “Zakat dan Wakaf sebagai Pilar dalam Sistem Perekonomian Nasional”

[4] Data Growth Zakat/Muzaki dihitung berdasarkan hasil rata-rata zakat berdasarkan kelas sosial di 10 Kota sebagaimana tercantum dalam buku “Kedermawanan Kaum Muslimin: Potensi dan Realita zakat Masyarakat Indonesia, Hasil survey di Sepuluh Kota”

Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services

http://www.agustiantocentre.com/?p=596

Badan Zakat Amil Nasional (Baznas) memprediksi perolehan zakat tahun ini naik Rp500 juta.

Sabtu, 27 Agustus 2011, 14:53 WIB

Antique, Fadila Fikriani Armadita

SBY dan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Didin Hafidhuddin (Antara/ Widodo S Jusuf)

BERITA TERKAIT

SBY Serahkan Zakat Rp23,3 Juta

Foke Targetkan Penerimaan Zakat Rp57 Miliar

Potensi Zakat DIY-Jateng Capai Rp13 Triliun

Boediono: Salurkan Zakat ke Sektor Pendidikan

Boediono : Zakat Negara Kaya ke Negara Miskin

VIVAnews - Badan Zakat Amil Nasional atau Baznas memperkirakan perolehan zakat tahun ini meningkat Rp500 juta dari tahun lalu.

"Tahun lalu Rp1,5 triliun. Thun ini, kalau memungkinkan sekitar Rp2 triliun," kata Ketua Baznas, Didin Hafidhuddin, usai menerima zakat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Sabtu 27 Agustus 2011

Didin mengungkapkan, ada kecenderungan pembayaran zakat masyarakat tahun ini naik sekitar 30 persen. Terlebih lagi, adanya dukungan dari pemerintah soal pembayaran zakat. "Sebenarnya, potensi zakat besar. Harapannya tahun mendatang bisa meningkat sampai20-25 persen," kata dia.

Page 29: Zakat Dan Pemerataan

Dia menambahkan, pihaknya akan terus mengawal pengumpulan zakat ini. "Kawal ya, sehingga perhimpunan zakat semakin banyak dan manfaat," kata Didin.

Sementara itu, Didin menuturkan, zakat yang berhasil dikumpulkan Baznas hingga saat ini sebesar Rp1,3 triliun.

Dalam pertemuan dengan Presiden SBY, Didin mengungkapkan SBY ingin mendapatkan segera data pasti berapa banyak masyarakat yang berzakat. "Ada data lebih konkret dari seluruh Indonesia. Beliau ingin bangun kesejahteraan masyarakat Indonesia," kata dia

http://nasional.vivanews.com/news/read/243650-baznas--penerimaan-zakat-naik-tahun-ini

Potensi zakat sebagai Instrumen pertumbuhan Ekonomi Kerakyatan

1. Latar Belakang

Syari’at Islam tidak hanya berdimensi ibadah, tetapi juga mengandung dimensi sosial kemanusiaan. Zakat adalah ibadah yang bermuatan dua dimensi sekaligus, ibadah kepada Allah dan hubungan kemanusiaan. Pada perkembangan pengamalan zakat tidak hanya memenuhi kewajiban semata, tetapi mengarah kepada perkembangan perekonomian Islam. Oleh sebab itu zakat diharapkan menjadi suatu sistem yang secara struktural mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendorong perkembangan perekonomian masyarakat. Kemudian nilai etis dalam aspek zakat semestinya terus digali dan ditumbuhkembangkan. Seperti pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Pengakajian nilai etis zakat akan berimplikasi kepada pemikiran tentang bagaimana mengelola sumber-sumber ekonomi secara lebih rasional dan efisien, supaya dampak sosial yang dicita-citakan oleh syari‟at zakat tercapai secara optimal.

Konsep zakat mempunyai relevansi dengan sistem ekonomi kerakyatan yang menguntungkan umat Islam dan dapat memberdayakan perekonominnya. Sebagai suatu peningkatan kesadaran dan pengamalan tentang zakat bagi masyarakat muslim dan pemerintah Indonesia, muncullah Undang-undang Zakat Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang disahkan Presiden Habibie. Namun

Page 30: Zakat Dan Pemerataan

kehadiran Undang-undang Zakat ini, tidak dirasakan oleh masyarakat sebagaimana halnya Undang-undang Perpajakan. Karena hanya bersifat kesadaran bagi para muzakki dan yang diatur di dalamnya adalah amil, untuk melakukan pengelolaan dan pendistribusian zakat. Menurut penulis, ini disebabkan oleh pembuatan Undang-undang Zakat tersebut tidak mempertimbangkan argumentasi positifikasi hukum zakat itu sendiri. Sehingga tidak berimplikasi kepada pengembangan perekonomian kerakyatan yang terkandung dalam nilai etis zakat tersebut. Untuk ini penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang implikasi positifikasi hukum zakat di Indonesia dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

2. Rumusan Masalah

Dari makalah ini penulis telah menentukan suatu rumusan masalah yang akan dikupas pada bab pembahasan

1) Korelasi zakat dengan ekonomi kerakyatan

2) Implikasi positifikasi zakat dalam pengembangan ekonomi umat

3) Zakat bagi pengembangan ekonomi rakyat

1. Korelasi zakat dengan ekonomi kerakyatan

Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi Pancasila (demokrasi ekonomi) seperti yang tercantum secara eksplisit dalam pasal 33 UUD 1945. Sistem ekonomi Pancasila juga dikenal dengan istilah lain dengan sistem ekonomi koperasi. Inti dan sistem ini adalah membangun kesejahteraan rakyat dan pemanfaatan kekayaan yang dimiliki Negara bagi kepentingan rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 dirumuskan oleh Muhammad Hatta, yang kemudian dikenal dengan julukan Bapak Ekonomi Rakyat dan

Page 31: Zakat Dan Pemerataan

Bapak Koperasi Indonesia.[1] Istilah ekonomi kerakyatan dimunculkan sebagai pengembangan dan istilah ekonomi rakyat, yang pada prakteknya hanya didominasi dan menguntungkan para konglomerat. dan sebaliknya kepentingan rakyat banyak terabaikan.[2] Kata kerakyatan yang dimaksud seperti yang digariskan oleh UUD 1945. yaitu kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, yang pada kenyataannya mayoritas mereka hidup dalam garis kemiskinan.

Untuk mewujudkan demokrasi ekonomi seperti yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945, adalah dengan mengutamakan kemakmuran masyarakat dari kemakmuran perorangan atau kelompok tertentu. Sebab, jika kemakmuran perorangan yang justru diutamakan, maka tampuk produksi akan jatuh ke tangan individu dan elite tertentu yang memiliki kekuasaan, kekuataan, dan jika kondisi ini benar-benar terjadi, maka rakyatlah yang menanggung kesengsaraan dan penindasan di bidang ekonomi. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kondisi tersebut, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara, sebagai penyelenggara kemakmuran bagi rakyat.

2. Implikasi positifikasi zakat dalam pengembangan ekonomi umat

Sebagaimana telah diakui bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah umat Islam, yang persentasenya hampir mencapai 90 persen.[3] Jika pada pertengahan tahun 1998 Biro Pusat Statistik (BPS) menerbitkan data penduduk miskin sebanyak 79,4 juta atau sekitar 39,01% dan total penduduk Indonesia. Pada saat ini, dimana krisis ekonomi terus berlangsung, dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus berjalan, baik diperusahaan milik negara (BUMN), maka dapat dipastikan jumlah penduduk miskin mencapai lebih dan 100 juta dari total penduduk Indonesia, dan itu berarti lebih dari setengah jumlah penduduk.[4] Dan total penduduk miskin tersebut, dapat dipastikan mayoritas dan mereka adalah kaum muslimin. Oleh karena itu segala upaya apaun yang dilakukan oleh pemenintah di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat, akan turut dirasakan oleh umat Islam, sebagai mayoritas penduduk negara Indonesia. Demikian juga halnya, upaya mengakomodasikan dan melembagakan zakat secara yuridis formal, dengan disertai segala perangkat penduduk lainnya, akan turut dirasakan implikasinya oleh ummat Islam.

Zakat dalam konteks kontemporer telah mengalami reformasi konsepsi operasional zakat. Pada saat ini, dana zakat tidak hanya dibagikan secara terbatas kepada delapan golongan penerimaan zakat saja

Page 32: Zakat Dan Pemerataan

(mustahiq), yang diartikan secara sempit. Namun konsepsi ini telah diperluas cakupannya, meliputi segala upaya produktif, yang tidak hanya diperuntukkan sebagai kaum dhu‟afa, tetapi juga telah dikembangkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi ummat. Dan dalam pelaksanaan operasionalnya mesti mendapat dukungan secara multi dimensional, baik aspek politik, hukum, ekonomi dan sebagai masalah ekonomi semata, tetapi sebagai persoalan multi aspek. Aspek penting yang harus diberdayakan dalam pengelolaan zakat adalah amil zakat, karena golongan ini penentu berhasil tidaknya realisasi zakat. Amil zakat mengembangkan tugas yang luas meliputi tugas-tugas sebagai pemungut, penyalur, koordinator, organisator, motivator, pengawasan dan evaluasi. Berfungsinya amil zakat secara optimal dengan mendayagunakan zakat secara proporsional dan profesional, mendapatkan hasil maksimal, efektif dan efesiensi serta terwujudnya cita-cita luhur pensyari‟atan zakat. Salah satu wujud kongkrit dan upaya ini adalah dengan memberikan pinjaman modal usaha berupa pinjaman lunak tanpa bunga (qardul al-hasan) dan dana zakat yang terkumpul. Lembaga amil harus melakukan studi kelayakan terhadap mustahiq sebelum modal diserahkan kepadanya, seperti penelitian tentang keadaan calon penerima modal, integritas moralnya, bidang yang patut diusahakan, dan berbagai aspek pendukung usaha produktif,[5] serta mampu mengembalikan modal tersebut untuk digunakan oleh saudara sesamanya yang lain. Diharapkan para mustahiq, dapat berubah menjadi muzakki.

Gerakan zakat memiliki implikasi dan andil yang menentukan pada kebangkitan peradaban Islam dalam arti yang luas. Zakat, memberikan momentum lahirnya ekonomi Islam sebagai alternatif bagi ekonomi kapitalistik yang pada saat ini menguasai perekonomian global. OIeh karena itu, kebangkitan paling penting dalam Islam sebenarnya adalah kebangkitan ekonomi berintikan zakat, dan ini sangat relevan dengan kebutuhan ummat saat ini.

Upaya-upaya yang sedemikian rupa seperti dipaparkan di atas dan didukung oleh undang-undang zakat akan membuat zakat sebagai pilar utama ekonomi ummat Islam, yang selama ini dianggap tidak mampu bersaing dengan sistem ekonomi kapitalis, dan bahkan diasumsikan hanya sebagai penopang kebutuhan yang bersifat konsumtif, dapat dibuktikan kehandalannya dalam membangun dan memberdayakan ekonomi ummat Islam, sebagai rakyat mayoritas di negeri ini, kekuatan ekonomi ummat Islam berarti juga sebagai kekuatan ekonomi bangsa dan negara.

3. Zakat bagi pengembangan ekonomi rakyat

Page 33: Zakat Dan Pemerataan

Zakat sebagai doktrin ibadah mahdhah bersifat wajib, mengandung doktrin sosial ekonomi Islam yang merupakan antitesa terhadap sistem ekonomi riba. Dapat dilihat dari ayat-ayat Al-Quran yang secara tegas memerintahkan penegakkan zakat dan menjauh pengamalan-pengamalan riba. Pada QS. Al-Baqarah ayat 274, Allah menegaskan keutamaan infaq (zakat) dan membelanjakan harta di jalan yang benar, dan buruknya sistem riba. Pada ayat 275, diterangkan tentang penegasan Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba, pada ayat 276, Allah menyatakan akan melenyapkan berkahnya riba dan menyuburkan berkahnya shadaqah (zakat). Pada ayat 277 dan surat al-baqarah Allah menegaskan bahwa zakat adalah solusi bagi ummat Islam (yang beriman) dan kehidupan yang penuh ketakutan dan kesusahan.[6] Sistem zakat sebagai suatu sistem ekonomi dalam Islam telah dipraktekkan dan dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW dan pemerintahan Khulafa‟ al-Rasidin. Seperti diakui oleh para cendikiawan muslim, baik berskala nasional, dan internasional, bahwa selain ketentuan ibadah murni, zakat juga merupakan kewajiban sosial berbentuk tolong menolong antara orang kaya dan orang miskin, untuk menciptakan keseimbangan sosial (equalebre socialle) dan keseimbangan ekonomi (equalebre econoinique). Sekaligus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan, menciptakan keamanan dan ketentraman.

Kelima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, memiliki hubungan yang terkait erat antara satu sama lainnya. Kelimanya terakumulasikan pada dua hubungan yaitu: secara vertikal dengan Allah SWT (habl min Allah), dan secara horizontal dengan sesama manusia (habl min al-nas/mu„amalah ma‟a al-nas). Kedua hubungan tersebut dilambangkan dengan ketentuan ibadah shalat dan zakat. Shalat tiang agama, zakat tiang sosial kemasyarakatan yang apabila tidak dilaksanakan, meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik sosial maupun ekonomi, karena penolakan pembayaran zakat oleh golongan kaya akan mengakibatkan terjadinya kekacauan (chaos) dan gejolak sosial yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan suatu masyarakat, bangsa dan negara.

a. Harta yang wajib dizakati

Beberapa macam harta yang wajib dizakati yaitu:

1. emas dan perak

2. barang perniagaan

Page 34: Zakat Dan Pemerataan

3. binatang ternak, seperti kambing, lembu, kerbau dan unta

4. hasil pertanian berupamakanan pokok seperti padi, jagung, dan jagung.

5. rikaz (barang temuan)

Selain harta diatas berikut ini masih ada harta lain yang wajib dizakati yaitu:

1. zakat perikanan seperti tambak dan perikanan lele

2. tanaman hias seperti bonsai, anggrek, dan bunga-bunga lain

3. unggas, seperti puyuh, itik, parkit dan ayam

4. zakat profesi seperti petenis, pebuluh tangkis, kontraktor, dan pengarang.

Orang-orang yang wajib memberikan zakat

b. Beberapa ketentuan bagi orang-orang yang wajib memberikan zakat adalah yaitu:

a. Orang Islam

b. Hak miliknya sendiri

c. Sudah sampai nisab

Page 35: Zakat Dan Pemerataan

d. Waktunya cukup satu tahun, kecuali zakat tambang, temuanpertanian dan profesi.

c. Orang yang berhak menerima zakat

Orang yang berhak menerima zakat disebut mustahik atau asnaf. Orang-orang yang berhak menerima zakat adalah :

1. Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki garta dan tidak mempunyai pekerjaan atau mata pencaharian tetap sehingga kebutuhan hidup tidak tercukupi.

2. Miskin yaitu orang yang memiliki pekerjaan namun tidak dapat mencukupi kehidupan sehari-hari.

3. Amil zakat yaitu panitia pengumpul dan pembagi zakat mendapatsurat keputusan (SK) dari yang berwenang atau dinas lembaga resmi untuk Bazis ( badan amil zakat, infak, dan sedekah). Bagi amil yang kerjanya bersifat sementara artinya hanya sewaktu-waktu (kadang-kadang saja), seperti di masjid-masjid atau sekolah-sekolah pada waktu penerimaan zakat fitrah, tidak tergolong amil zakat. Mereka tidak berhak menerima pembagian zakat karena hanya merupakan tugas sampingan saja.

4. Muallaf yaitu orang yang baru masuk islam sehingga masih memerlukan bimbingan dan pembinaan keimanannya.

5. Hamba sahaya atau riqab, yaitu orang yang ingin merdeka atau dijanjikan akan dibebaskan dengan syarat harus menebus dirinya. Pemberian zakat ini dimaksudkan agar dapat digunakan untuk membebaskan dirinya.

6. Garim, yaitu orang yang terlibat hutang, dan tidaak mampu membayar hutangnya sedangkan hutangnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak untuk maksiat.

Page 36: Zakat Dan Pemerataan

7. Fisabilillah, yaitu orang yang berjuang dijalan allah atau berusaha menegakkan agama alllah atau dana social untuk kepentingan masyarakat seperti mendirikan masjid, rumah sakit, madrasah dan jembatan atau jalan.

8. Ibnu sabil, yaitu orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh dengan maksud belajar dan menunaikan ibadah haji yang kekurangan bekal sebelum cita-cita atau niatnya tercapai. Musafir yang kehabisan bekal tetapi kepergiannya tidak untuk perbuatan maksiat.

Table

Nisab zakat

Harta

Nisab

Zakat

1. emas, perak dan uang

emas

perak

uang

20 dinar = 93,6 gram

200 dirham = 624 gram

Seharga emas 93,6 gram (setelah satu tahun)

Page 37: Zakat Dan Pemerataan

2,5 %

2,5 %

2.5 %

2. harta perniagaan atau perdagangan

Apabila pada akhir tahun, harta perniagaan seharga emas 93,6 gram

2,5 %

3. harta peternakan

a.kambing/domba 40-120 ekor

121-200 ekor

201-399 ekor

400 ekor

dan seterusnya setiap tambah 100 ekor

1 ekor umur 2 tahun

2 ekor umur 2 tahun

Page 38: Zakat Dan Pemerataan

3 ekor umur 2 tahun

4 ekor umur 2 tahun

Zakat tambah 1 ekor

b. sapi atau kerbau 30-39 ekor

40-59 ekor

60-69 ekor

70-79 ekor

80-89 ekor

dan seterusnya setiap tambah 30 ekor atau setiap tambah 40 ekor

1 ekor umur 1 tahun

1 ekor umur 2 tahun

2 ekor umur 1 tahun

2 ekor umur 2 tahun

3ekor umur 1 tahun

Zakat tambah satu ekor umur 1 tahun

Page 39: Zakat Dan Pemerataan

Zakat tambah 1 ekor umur 2 tahun

4. Harta hasil pertanian

5 wasak = 750 kg atau 930 liter kering

Pengairan dengan air sungai atau air hujan 10%

Pengairan engan biaya 5 %

5. Harta temuan atau rikaz

6. Harta perikanan, tanaman hias, profesi dan perkebunan berupa emas dan perak

selain emas dan perak dinilai dengan emas dan perak

berpedoman pada zakat harta perniagaan dihitung pada akhir tahun setelah satu tahun

Sama dengan emas dan perak 2,0%

( waktunya pada saat menemukan )

Page 40: Zakat Dan Pemerataan

2,5%

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat dikonklusikan dengan sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah mengoptimalkan

pendistribusian zakat yang bertujuan pemerataan ekonomi dan pembangunan, tetapi perlu ditopang dengan suatu badan Pengelola Zakat yang modern dan profesional.

2. Zakat dengan segala posisi, fungsi dan potensi yang terkandung di dalamnya dapat berperan secara positif-progressif dalam gerakan ekonomi kerakyatan. Didalamnya terdapat unsur kesejahteraan bersama, seperti yang tercantum dalam pasal 33, 27 ayat (2) dan pasal 34 UUD 1945. Bahkan secara

Page 41: Zakat Dan Pemerataan

lebih luas, dana zakat dapat didistribusikan bagi sektor permodalan tanpa bunga dalam berbagai usaha-usaha ekonomi produktif.

3. Dana zakat harus diarahkan kepada usaha-usaha kecil yang dikelola oleh mayoritas ummat, dalam hal ini adalah bidang pertanian, dan mata pencaharian mayoritas ummat Islam dan rakyat Indonesia. Dengan demikian zakat akan dapat memberikan pengaruh dalam pengembangan perekonomian masyarakat.

4. Pengeluaran zakat dilakukan jika harta yang dimiliki sudah mencapai nisabnya

http://afinz.blogspot.com/2010/01/potensi-zakat-sebagai-instrumen.html

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Zakat merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting di zaman Nabi. Zakat sangat berpotensi menghilangkan konsentrasi kekayaan di kalangan elit ekonomi tertentu. Tidak hanya itu, ia juga berpotensi meningkatkan produktivitas masyarakat dan konsumsi total. Jika dikelola secara profesional, apalagi jika ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah (Indonesia), instrumen ekonomi ini juga dipercaya mampu mengurangi tingkat pengangguran dan kemandirian ekonomi.

Di bawah genggaman ekonomi neo-liberal seperti saat ini, masyarakat muslim Indonesia seharusnya mampu mengoptimalkan pendayagunaan zakat bagi kesejahteraan umum. Sayangnya, pengelolaan zakat masih menyisakan beberapa kendala konseptual dan teknis. Salah satu akar persoalannya ada pada formalitas zakat. Artinya, zakat hanya diangap sebagai kewajiban normatif, tanpa memperhatikan efeknya bagi pemberdayaan ekonomi umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam implementasi zakat menjadi hilang. Orientasi zakat tidak diarahkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena ia merupakan kewajiban dari Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan zakat disertai maksud untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah). Ini artinya, muzakki membayarkan zakat untuk kepentingan subyektivitasnya sendiri. Memang tidak salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.

Page 42: Zakat Dan Pemerataan

Zakat memiliki fungsi sosial sebagai mekanisme mencapai keadilan sosial. Karena fungsinya, porsi zakat sebesar 2,5 persen itu perlu dipertanyakan kembali. Bila di suatu wilayah, misalnya, dengan hampir seluruh penduduknya hidup dalam kemiskinan, pengenaan zakat 2,5 persen kepada minoritas orang kaya raya terasa tidak akan memadai. Karena kelompok minoritas, katakanlah pemilik tanah atau pengusaha, dengan tingkat pengenaan zakat seperti itu akan bertambah kaya turun temurun. Sedang mayoritas yang miskin, katakanlah mereka itu kuli kenceng, akan tetap papa sengsara seumur hidupnya. Karenanya pengenaan zakat 2,5 persen itu tidak relevan lagi. Ingatan kita perlu disegarkan kembali bahwa zakat bukan sekadar kebaikan hati (karitas), tetapi terutama merupakan kewajiban umat. Pada zaman Abû Bakar, orang yang tidak mengeluarkan zakat dikejar-kejar. Pernah, zakat malah dianggap sebagai pajak.

Karena itu, interpretasi baru terhadap zakat sangat penting, termasuk besar-kecilnya porsi zakat. Kekayaan hendaknya mampu mendorong peningkatan martabat kemanusiaan, dan menjadi cermin ketakwaan. Kita jangan merasa telah memenuhi kewajiban setelah mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen. Itu terlalu formal. Kita juga jangan punya pikiran bahwa zakat dikeluarkan hanya untuk meredam kecemburuan sosial terhadap orang-orang kaya—kaum fakir-miskin diberi zakat agar mereka tidak cemburu kepada orang kaya. Itu berarti suatu karitas: biaya sosial dikeluarkan hanya bertujuan agar terwujud social security. Yang benar, zakat harus berfungsi sebagai reformasi sosial.

BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKIKAT ZAKAT

Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Zakat merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (hablu minallah; vertikal) dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (hablu minannaas; horizontal).

Zakat juga sering disebut sebagai ibadah kesungguhan dalam harta (maaliyah ijtihadiyah). Tingkat pentingnya zakat terlihat dari banyaknya ayat yang menyandingkan perintah zakat dengan perintah shalat.

Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Zakat mempunyai enam prinsip.

1. Prinsip keyakinan keagamaan, yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya.

Page 43: Zakat Dan Pemerataan

2. Prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.

3. Prinsip produktivitas, yaitu menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu.

4. Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan.

5. Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas atau merdeka (hurr).

6. Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena, tapi melalui aturan yang disyariatkan.

Sedangkan tujuan zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin.

Zakat merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting di zaman Nabi. Zakat sangat berpotensi menghilangkan konsentrasi kekayaan di kalangan elit ekonomi tertentu. Tidak hanya itu, ia juga berpotensi meningkatkan produktivitas masyarakat dan konsumsi total. Jika dikelola secara profesional, apalagi jika ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah (Indonesia), instrumen ekonomi ini juga dipercaya mampu mengurangi tingkat pengangguran dan kemandirian ekonomi.

Di bawah genggaman ekonomi neo-liberal seperti saat ini, masyarakat muslim Indonesia seharusnya mampu mengoptimalkan pendayagunaan zakat bagi kesejahteraan umum. Sayangnya, pengelolaan zakat masih menyisakan beberapa kendala konseptual dan teknis. Salah satu akar persoalannya ada pada formalitas zakat. Artinya, zakat hanya diangap sebagai kewajiban normatif, tanpa memperhatikan efeknya bagi pemberdayaan ekonomi umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam implementasi zakat menjadi hilang. Orientasi zakat tidak diarahkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena ia merupakan kewajiban dari Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan zakat disertai maksud untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah). Ini artinya, muzakki membayarkan zakat untuk kepentingan subyektivitasnya sendiri. Memang tidak salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.

B. TUJUAN ZAKAT

Para cendekiawan muslim banyak yang menerangkan tentang tujuan-tujuan zakat, baik secara umum yang menyangkut tatanan ekonomi, sosial, dan kenegaraan maupun secara khusus yang ditinjau dari tujuan-tujuan nash secara eksplisit.

Page 44: Zakat Dan Pemerataan

a. Menyucikan harta dan jiwa muzaki.

b. Mengangkat derajat fakir miskin.

c. Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnusabil, dan mustahiq lainnya.

d. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.

e. Menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta.

f. Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin.

g. Menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya.

h. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama bagi yang memiliki harta.

i. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya.

j. Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.

k. Berakhlak dengan akhlak Allah.

l. Mengobati hati dari cinta dunia.

m. Mengembangkan kekayaan batin.

n. Mengembangkan dan memberkahkan harta.

o. Membebaskan si penerima (mustahiq) dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tenteram dan dapat meningkatkan kekhusyukan ibadat kepada Allah SWT.

p. Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.

q. Tujuan yang meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Sedangkan, dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat. Dan di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara.

C. FUNGSI DAN PERAN ZAKAT

Diantara fungsinya ialah

1. Merupakan ibadah muzaki

Page 45: Zakat Dan Pemerataan

2. Memenuhi kebutuhan mustahik

3. Membangun masyarakat

Ada beberapa peran zakat, yakni sebagai berikut:

1. Modal untuk pembangunanmasyarakat

2. Social justice

3. Social equilibrium

4. Social guarantee (jaminan sosial)

5. Social safety (pengaman sosial)

6. Social insurance (asuransi sosial)

7. Oase atau telaga

8. Islam adalah agama amal

D. KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN SOSIAL

Kemiskinan terdiri atas :

1. Kemiskinan iman, minimnya pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan praktek sehari-hari

2. Kemiskinan harta, merupakan kemiskinan karena ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup

3. Kemiskinan ilmu, kemiskinan yang terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang ilmu di luar agama

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang sudah dan selalu ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, berbagai formulasi dan intervensi kebijakan, baik yang bersifat darurat di saat krisis maupaun yang sifatnya simultan berupa program jangka pendek, telah digulirkan oleh pemerintah untuk meminimalisasikan dampak negatif dari kemiskinan. Namun, tetap saja, sejarah terus mencatat tidak satu pun dari agenda tersebut yang mampu membuahkan hasil yang memuaskan. Masyarakat miskin terus termarjinalkan dalam sistem ekonomi yang ada. Pemiskinan terstruktural tengah terjadi dalam dinamika ekonomi itu sendiri.

Secara mendasar, sistem ekonomi konvensional melihat bahwa setiap individu memiliki kapasitas yang ideal untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri (Midgley, 2005: 150). Sistem ekonomi

Page 46: Zakat Dan Pemerataan

inilah yang kemudian menjadi narasi besar dari setiap pembuatan kebijakan pembangunan ekonomi oleh berbagai pemerintah di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Dalam mekanisme pasar seperti ini, semestinya setiap individu mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, karena pasar telah memberikan peluang yang terbuka dengan sangat lebar bagi setiap individu dalam masyarakat untuk melaksanakan tujuan dari aktifitas ekonomi yang mereka inginkan.

Karena itu, terkait dengan masalah kemiskinan, sistem ini berargumen bahwa kondisi kemiskinan sepenuhnya tersebut berada di bawah kendali individu. Pengusung sistem ekonomi konvensional ini memandang bahwa masalah kemiskinan merupakan suatu akibat dari ketidakmampuan individu untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka (Nasution, 2004: 128). Lebil lanjut, secara ekstrim, Oscar Lewis (1966) mengemukakan kegagalan pembangunan kesejahteraan ekonomi pada masyarakat miskin dikarenakan mereka masih mempertahankan ‘budaya kemiskinan’, yaitu asumsi bahwa manusia menjadi miskin karena mereka memiliki kepercayaan dan perilaku yang membuat mereka berada dalam kondisi keterbelakangan, miskin (Midgley, 2005: 111).

Dengan asumsi ini, pemerintah sebagai regulator dan eksekutor kebijakan pemberantasan kemiskinan, setidaknya telah membuat dua kebijakan yang salah arah. Pertama, narasi sistem ekonomi konvensional telah membawa pemerintah untuk lebih mengejar peningkatan produksi sebagai barometer perekonomian nasional (ul-Haq, 1995). Akibatnya, orientasi pemerintah dalam upaya minimalisasi kemiskinan menjadi terabaikan. Karena, secara tidak langsung, pemerintah hanya menitikberatkan pembangunan sebagai upaya pada ‘seberapa cepat proses produksi’, lantas mengabaikan ‘bagaimana mendistribusikan hasil produksi itu untuk kesejahteraan rakyat’.

Kedua, terjadinya fenomena pembangunan yang terdistorsi, yaitu proses pembangunan ekonomi belum dapat diiringi dengan hadirnya kemajuan sosial (Midgley, 2005: 5). Fenomena pembangunan yang terdistorsi ini tampaknya menjadi sebuah realita dalam aktifitas pembangunan di negeri ini. Pemerintah secara praktis membebankan pembangunan pada beberapa kelompok kecil konglomerasi yang ada di negeri ini. Anggapan pemerintah bahwa dengan model ini diharapkan dapat terjadi suatu trickle down effect (Gie, 1995: 21), yaitu pandangan bahwa entitas pemilik modal besar tersebut diharapkan mampu memberikan keuntungan yang mereka peroleh bagi kelompok masyarakat yang bergantung di bawah mereka. Namun nyatanya, perspektif tersebut jelas keliru. Kelompok elite yang memiliki banyak modal tersebut, enggan berbagi kepada kelompok masyarakat di bawahnya. Akibatnya, meskipun pertumbuhan ekonomi terus terjadi, namun kesejahteraan sosial tidak juga terealisasikan.

Konsepsi pembangunan ekonomi kontemporer ini, memang telah menghasilkan berbagai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, di sisi lain, pembangunan itu mengalami kegagalan dalam hal peningkatan kesejahteraan sosial. Secara individual, khususnya bagi mereka yang memiliki modal besar, keberhasilan ekonomi menjadi sebuah realitas yang tidak terbantahkan. Sementara, bagi mereka yang kurang beruntung, keterbatasan modal, maka mereka menjadi kelompok yang tertindas dalam persaingat tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, paradigma pembangunan sudah selayaknya diperbaiki, melalui revitalisasi pembangunan yang dewasa ini dikenal sebagai pembangunan sosial.

Page 47: Zakat Dan Pemerataan

Bagi Midgley (2005: 1), pembangunan sosial merupakan upaya memperpendek jarak kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi yang menjulang tinggi pada satu sisi, dengan keterpurukan kesejahteraan sosial pada sisi yang lain. Kesejahteraan sosial ditandai dengan kemakmuran, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat, yang terdistribusi secara menyeluruh dalam setiap lapisan masyarakat. Karena itu, upaya pembangunan sosial bukanlah langkah untuk menghentikan laju pertumbuhan ekonomi, yang ditujukan agar pembangunan dapat difokuskan pada pemerataan untuk peningkatan kesejahteraan sosial. Melainkan, bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi yang ada, kemudian mengarahkannya untuk dapat menjadi motor yang menopang bergeraknya kesejahteraan sosial pada tingkatan yang lebih baik. Dengan demikian, pembangunan sosial mencoba mensinergikan antara pertumbuhan ekonomi dan aspek kemajuan kesejahteraan sosial.

Lebih lanjut, Michael Todaro (1996) menekankan bahwa ada tiga indikator dari tujuan pembangunan sosial, yaitu: kebercukupan, peningkatan standar hidup, dan kebebasan. Pertama, pembangunan sosial haruslah mampu menghasilkan kebercukupan bagi masyarakat. Dalam hal ini, terdapat peningkatan ketersediaan dan pemerataan distribusi kebutuhan hidup. Kekayaan dan sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak beredar pada segelintir kelompok kecil saja dalam masyarakat. Kedua, pembangunan sosial mampu menghadirkan peningkatan standar hidup yang meliputi peningkatan pendapatan dengan kesempatan kerja yang terbuka lebar, proteksi penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Ketiga, kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihannya, khususnya terkait dengan aktifitas sosial-ekonomi. Individu dalam sistem pembangunan tersebut memiliki kemerdekaan dari sikap menghamba, baik pada individu maupun institusi, khususnya sikap menghamba dari para pemilik modal yang dewasa ini menjadi sangat familiar dalam aktivitas perekonomian. Untuk itu, idealnya, pelaksanaan pembangunan sosial seharusnya mampu merangkum semua tujuan tersebut.

E. ZAKAT DALAM PEMBANGUNAN

Kewajiban zakat dalam pembangunan pada hakekatnya merupakan implementasi dari pembangunan sosial. Penerapan zakat dalam pembangunan dan aktifitas ekonomi ditujukan untuk menciptakan harmoni antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi. Setidaknya, dalam pelaksanaan zakat, terdapat fungsi-fungsi dari pembangunan sosial yang secara umum terlihat dalam dua hal, yaitu agenda redistribusi harta kekayaan dan upaya pemberdayaan masyarakat.

Redistribusi harta kekayaan. Perintah zakat, pada dasarnya, merupakan sebuah upaya agar harta kekayaan dapat terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Islam tidak menginginkan harta kekayaan tersebut hanya beredar dikalangan tertentu saja dalam masyarakat (Q.S. Al-Hasyr [59]: 7). Sebuah peringatan yang justru tengah terjadi dalam dinamika ekonomi kontemporer, di mana para pemilik modal dapat leluasa mengakumulasi modal mereka secara tersistematis dan mampu menikmati kesejahteraan yang sangat layak. Sementara, kelompok masyarakat miskin selalu tertindas karena mereka tidak memiliki modal (harta) sedikitpun untuk dapat menjalani kehidupan ekonomi mereka.

Page 48: Zakat Dan Pemerataan

Terkait dengan redistribusi ini, Islam memandang bahwa status kepemilikan harta bukanlah otoritas absolut individu. Artinya, manusia bukanlah pemilik mutlak dari harta kekayaan yang mereka dapati. Semua itu merupakan titipan dari Allah SWT. Lebih lanjut, Islam menegaskan bahwa dalam harta yang diperoleh tersebut, di dalamnya, terdapat hak-hak orang lain dari harta yang mereka hasilkan (Q.S. Al-Ma’aarij [70]: 24-25). Karena itu, redistribusi harta kekayaan melalui zakat, dalam pandangan Islam, memiliki landasan yang jelas.

Adapun dalam pelaksanaannya, zakat tidaklah ditujukan untuk menghentikan kemajuan ekonomi, karena telah mengambil sebagian modalnya untuk pembangunan kesejahteraan orang lain yang kurang beruntung. Sementara, memanjakan ‘orang-orang malas’ agar dapat terus hidup dalam ‘budaya kemiskinan-nya’. Pengalihan sebagian kepemilikan tersebut dimaksudkan agar setiap individu memiliki peluang untuk dapat berpartisipasi dan mengoptimalkan potensinya dalam aktivitas ekonomi. Islam, dalam konsep zakat ini, memandang bahwa kemiskinan bukanlah disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam melakukan proses produksi. Kemiskinan yang terjadi saat ini disebabkan karena mereka tidak memiliki akses untuk melakukan aktifitas ekonomi, dikarenakan ketiadaan harta sebagai modal bagi mereka. Karena itu, kran penyumbat akses menuju aktifitas ekonomi itu harus dibuka dengan redistribusi harta melalui penerapan zakat.

Dengan demikian, zakat, pada dasarnya, merupakan sebuah manifestasi nyata dari konsep ‘trickle down effect’. Aplikasi zakat dalam pembangunan tidak diarahkan untuk mengekang laju pertumbuhan ekonomi, melainkan memberikan kebebasan bagi setiap aktor ekonomi dalam menjalankan aktifitas untuk memperoleh keuntungan yang terbaik dan halal. Namun, zakat mengingatkan bahwa dalam capaian kemajuan ekonomi tersebut, terdapat hak-hak orang lain yang harus diberikan kepada mereka yang kurang beruntung. Sehingga, kemajuan ekonomi memberikan efek yang merembas bagi masyarakat kecil di bawahnya.

Dengan analisis yang sama, pelaksanaan zakat memiliki tujuan objektif untuk meruntuhkan fenomena pembangunan yang terdistorsi. Melalui mekanisme redistribusi harta kekayaan, zakat berupaya meminimalisasikan gap antara kemajuan ekonomi dengan kesejahteraan sosial. Redistribusi harta kekayaan tersebut diarahkan pada tujuan yang lebih spesifik yaitu penyebaran kesejahteraan secara progresif. Laju pertumbuhan ekonomi mampu memberikan sharing pendapatan bagi masyarakat yang kurang beruntung, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi pada kelompok yang memiliki modal saja. Tetapi juga tersebar merata bagi mereka yang tergolong miskin, karena adanya tambahan distribusi pendapatan melalui zakat. Oleh karenanya, penerapan zakat dalam pembangunan mampu memacu pembangunan kesejahteraan sosial, bersamaan dengan laju pertumbuhan ekonomi.

Pemberdayaan masyarakat. Dalam pembangunan sektor riil, zakat memiliki peranan yang cukup besar. Peran tersebut diimplementasikan dalam agenda pemberdayaan masyarakat melalui produktifitas dana zakat. Pada dasarnya, zakat merupakan sebuah institusi advokasi yang produktif dalam pemberdayaan masyarakat. Artinya, pemanfaatan zakat semestinya bukan hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat karitatif dan konsumtif. Melainkan memiliki agenda pembangunan masyarakat yang terpadu melalui pemberdayaan masyarakat. Tujuan akhir dari zakat adalah menciptakan muzakki-muzakki baru, dan

Page 49: Zakat Dan Pemerataan

agenda tersebut hanya dapat direalisasikan dengan menjadikan zakat sebagai program produktif pemberdayaan masyarakat.

Selama ini, program pemberdayaan masyarakat yang dikelola secara konvensional memiliki keterbatasan dalam beberapa hal: Pertama, program pemberdayaan non-zakat, memiliki hambatan dalam ketersediaan dana. Umumnya, dana-dana tersebut merupakan hasil dari galangan filantropi yang tidak memiliki keterikatan ataupun program pemerintah saja. Program tersebut sangat bergantung pada kedermawanan golongan aghniya’ maupun kebijakan pemerintah. Maka, berbeda dengan konsep zakat, dalam pelaksanaannya, zakat tidak akan pernah mengalami keterbatasan dana. Karena, sumber dana zakat berasal dari kewajiban muzakki yang setiap periodenya wajib untuk menunaikan tanggung jawab tersebut.

Kedua, idealnya, pemanfaatan dana zakat merupakan sebuah program yang akuntabel dan transparan. Karena di dalamnya terdapat nilai transendental, di mana tanggung jawab pengelolaannya tidak hanya berkaitan dalam hubungan sesama manusia, melainkan sebuah bentuk ibadah yang akan dimintai evaluasinya di ‘Hari Pembalasan’. Ketiga, pemberdayaan masyarakat melalui zakat merupakan sebuah agenda yang memiliki ‘efek bola salju’. Maksudnya, dalam program pemberdayaan zakat, golongan mustahik merupakan subjek yang menjadi pelaku utama dalam program tersebut. Mereka dituntun untuk dapat memanfaatkan program itu untuk memberdayakan diri mereka. Sehingga pasca pelaksanaan program ini, mereka mampu menjadi insan yang madiri secara ekonomi, bahkan lebih lanjut, mereka diharapkan menjadi muzakki-muzakki baru yang menjadi pemberi zakat selanjutnya.

F. REKOMENDASI STRATEGI

Pembahasan tentang potensi zakat, tentunya akan hanya menjadi sebuah wacana utopis tanpa mendeskripsikan strategi kebijakan dan implementasinya dalam kehidupan nyata. Untuk itu, penulis mencoba memberikan beberapa rekomendasi strategis terkait realisasi konsep zakat dalam pembangunan sosial ini untuk menuju Indonesia sejahtera. Melihat dari tujuan zakat, maka pengelolaannya pun seharusnya dilakukan dengan penerapan strategi yang tepat sasaran. Diperlukan klasifikasi dalam pemanfaatan dana zakat dalam rangka pembangunan masyarakat. Dalam hal ini, penulis memberikan kategori dalam pemanfaatan zakat ini ke dalam dua agenda rekomendasi, yaitu program taktis dan program strategis.

Program taktis merupakan pemanfaatan dana zakat yang bersifat darurat dan memiliki batasan waktu sesuai dengan kondisi tersebut. program ini. Dalam program ini, zakat dapat dimanfaatkan untuk agenda yang bersifat sementara untuk tujuan karitatif dan konsumtif. Namun, dengan catatan, bahwa program tersebut merupakan upaya merevitalisasi kondisi keterpurukan masyarakat yang sangat parah,

Page 50: Zakat Dan Pemerataan

dengan tujuan dasar untuk dapat menyelamatkan hidup para mustahik yang terdesak karena musibah, seperti pengadaan konsumsi dan pelayanan kesehatan. Tentunya program ini bersifat sangat sementara, dan harus segera ditindaklanjuti dengan program pemberdayaan selanjutnya yang bersifat produktif. Ini diarahkan agar mustahik tidak memiliki ketergantungan yang terus-menerus terhadap bantuan dari program zakat ini.

Program strategis merupakan program yang diarahkan pada pemberdayaan zakat sebagai agenda pembangunan masyarakat. Berikut merupakan langkah strategis yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan fungsi zakat.

1. Kurikulum Pendidikan Zakat

Permasalahan medasar dalam pengelolaan zakat saat ini adalah lemahnya pemahaman kaum muslimin dalam hal kewajiban dan pemanfaatan zakat. Banyak yang tidak sadar bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Sementara, banyak pula yang melihat bahwa pemanfaatan zakat sebatas pada aktifitas karitatif dan konsumtif. Akibatnya, pengelolaan zakan menjadi kurang optimal. Untuk itu diperlukan adanya kurikulum tentang zakat dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan adanya kurikulum tersebut, diharapkan lahir generasi-generasi ummat Islam yang sadar akan hakikat zakat, sehingga pengelolaan zakat menjadi lebih terasa manfaatnya.

2. Profesionalisme Amil Zakat

Profesionalisme amil zakat merupakan hal penting dalam pengelolaan zakat. Dalam hal ini, setidaknya akan memberikan efek ganda dalam pemanfaatan zakat. Pertama, profesionalisme amil zakat akan meningkatkan kepercayaan muzakki untuk menyerahkan zakatnya, sehingga ketersediaan dana zakat menjadi lebih maksimal. Kedua, dengan profesionalisme ini, maka program pemberdayaan zakan mampu memberikan efek yang lebih tepat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan program-program tersebut memiliki variasi yang lebih sehingga mampu memiliki daya jangkau yang luas namun efektif untuk peningkatan kualitas hidup mustahik, karena sesuai dengan kondisi mereka.

3. Produktifitas Program Zakat

Produktifitas program zakat merupakan langkah untuk menjadikan pemanfaatan zakat sebagai langkah yang mampu memandirikan mustahik. Dalam program ini, zakat dimanfaatkan sebagai sebuah modal usaha untuk dikelola oleh mustahik binaan. Dari program ini, diharapkan mustahik mampu menghasilkan suatu produk yang memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, program zakat produktif ini mampu mencapai dua tujuan sekaligus, merentas kemiskinan yang terjadi pada masyarakat dhuafa’ sekaligus menyemai aktor ekonomi dengan budaya enterpreneurship matang. Selanjutnya, pasca

Page 51: Zakat Dan Pemerataan

program pembinaan ini, mereka mampu memiliki kemandirian ekonomi, dan juga menjadi muzakki-muzakki baru yang diharapkan dapat membantu golongan dhuafa’ lainnya.

4. Revisi UU Zakat

Meskipun Indonesia telah memiliki undang-undang tentang zakat (UU No.38/ 1999), namun tetap saja keberadaan UU tersebut belum mampu meningkatkan efektifitas pemanfaatan zakat. Hal ini dikarenakan, tidak adanya kewajiban dalam UU tersebut bagi muzakki untuk membayarkan zakat mereka. Fungsi tersebut sepenuhnya diserahkan pada amil zakat untuk mengelolanya. Oleh karenanya, revisi UU Zakat mutlak diperlukan, karena sebenarnya penarikan zakat merupakan tanggung jawab negara. Jika memang revisi UU Zakat ini terealisasikan, bukan tidak mungkin, dana zakat dapat tersedia lebih maksimal, sehingga berbagai program pemanfaatan zakat mampu memberikan dampak yang optimal dalam pemberdayaan masyarakat menuju Indonesia sejahtera.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ada dua fungsi zakat atau sedekah yang diambil dari kekayaan orang-orang Muslim: pertama, untuk menghapuskan perbedaan sosial dan ekonomi dan menegakkan tatanan sosial yang egaliter; kedua, menafkahkan sebagian dari harta mereka, yaitu kelebihan dari kebutuhan-kebutuhan dasar, mensucikan orang-orang Muslim dari dosa-dosa, ketidaksempurnaan, dan perbuatan-perbuatan tercela karena membagi sebagian besar harta kekayaan adalah sebuah pengorbanan, tindakan altruistik (mengutamakan kepentingan orang lain), dan amal saleh. Ketidaksetaraan ekonomi, yang membiakkan kejahatan-kejahatan di dalam sebuah masyarakat, adalah sebuah cacat, kekurangan, dan kelemahan sosial, sedangkan kesetaraan ekonomi adalah kekuatan dan solidaritas sosial.

Secara umum, yang dimaksud dengan konsep-konsep al-Qur`an tentang zakat adalah bersama-sama berbagi kekayaan dan alat-alat produksi sosial atau komunal dengan semua nggota masyarakat tanpa adanya pembedaan apapun. Konsep sosial-ekonomi ini merupakan landasan revolusi sosial yang dibawa oleh para nabi-revolusioner.

Menurut al-Qur`an dan Sunnah, keadilan adalah sesuatu yang utuh. Kekeliruan besar jika kita hanya mengupas keadilan hukum dan mengabaikan keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Banyak ayat al-Qur`an yang mengingatkan bahwa harta kekayaan tidak boleh hanya berputar-putar di tangan kelompok kaya; bahwa orang-orang bertakwa adalah mereka yang menyadari bahwa dalam harta kekayaan yang

Page 52: Zakat Dan Pemerataan

ia miliki ada hak bagi fakir miskin; bahwa perhatian yang penuh harus kita berikan kepada lapisan masyarakat yang belum hidup wajar sebagai manusia, dan seterusnya. Ajaran-ajaran Islam bersifat dinamis dan selalu tanggap terhadap tuntutan-tuntutan perkembangan zaman. Jika Islam terlihat jumud, maka sesungguhnya yang beku adalah pemikiran-pemikiran umat Islam tentang agamanya. Islam sendiri, sebagai agama wahyu untuk manusia, sampai akhir zaman niscaya punya potensi untuk selalu dinamis, responsif, dan dapat memecahkan segala masalah manusia.Ketika presentasi zakat mâl dirumuskan oleh para ulama sebesar 2,5 persen berdasarkan beberapa hadis, Al-Qur`an berpuluh-puluh kali menganjurkan kaum Muslimin untuk membayar zakat di samping menegakkan salat. Akan tetapi, rate atau presentasi zakat sama sekali tidak disinggung oleh al-Qur`an.

By: aris

http://ariesaziz.wordpress.com/2011/03/14/makalah-zakat/