Bilirubin

41
PENDAHULUAN Allhamdullilah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan nikmat Nya penulis dapat menyelesaikan makalah. Selanjutnya banyak terimakasih penulis sampaikan kepada segenap orang yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis sadari makalah ini masih banyak kekeliruan ataupun yang kurang sempurna, maka dari itu dimohon koreksinya, agar makalah ini kedepan lebih baik dan dapat bermanfaat. 1

description

bilirubin

Transcript of Bilirubin

Page 1: Bilirubin

PENDAHULUAN

Allhamdullilah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat

limpahan nikmat Nya penulis dapat menyelesaikan makalah.

Selanjutnya banyak terimakasih penulis sampaikan kepada segenap orang yang telah

membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis sadari makalah ini masih banyak

kekeliruan ataupun yang kurang sempurna, maka dari itu dimohon koreksinya, agar makalah

ini kedepan lebih baik dan dapat bermanfaat.

1

Page 2: Bilirubin

SKENARIO II

BILIRUBIN

Pada proses pemecahan heme (heme degradation), heme akan di pecah menjadi biliverdin

melalui pemasukan NADPH, dengan melepaskan NADP, Fe+3 dan O2. Kemudian selanjutnya

biliverdin akan di ubah menjadi bilirubin indirect melalui pemasukan NADPH. Bilirubin

indirect selanjutnya akan di ikat dengan albumin menjadi bilirubin-albumin complex

menujuu ke dalam hati. Di dalam hati bilirubin indirect di tambahkan dengan asam

glukoronat melalui enzin glukoroniltranferase menjadi bilirubin diglucuronide (bilirubin

direct). Kemudian akan di simpan ke dalam kandung empedu.

2

Page 3: Bilirubin

TAHAP I

IDENTIFIKASI ISTILAH

1. Biliverdin : Pigmen empedu yang berwarna hijau yang dibentuk dari proses kimia

pemecahan hemoglobin yang selanjutnya akan diubah menjadi bilirubin di

dalam hati.

2. Bilirubin : Senyawa empedu berwarna kuning yang dihasilkan dari proses penguraian

hemoglobin tepatnya pada penguraian pada sel darah merah yang tua oleh

RES.

3. Bilirubin albumin complex : Senyawa kompleks yang terbentuk dari ikatan bilirubin

albumin sehingga bilirubin dapat dibawa ke dalam darah.

4. Bilirubin diglucuronide : bilirubin yang belum matang yang masih berikatan dengan

asam glukoronat dan nantinya akan dilepaskan di usus

(bilirubin direct).

5. NADP : Nicotinamide Adenin Dinucleotida phosfat (NADP) merupakan molekul

fosfat yang berenergi tinggi sebagai simpanan atau sumber energi yang

dibutuhkan dalam reaksi-reaksi oleh tubuh.

6. NADPH : NADP yang tereduksi.

7. Heme catabolism : Proses penguraian heme untuk pembentukan bilirubin.

3

Page 4: Bilirubin

TAHAP II

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana proses terbentuknya bilirubin ?

2. Apakah fungsi dari hati dalam pembentukan bilirubin ?

3. Proses pemecahan sel darah merah ?

4. Apa fungsi dari bilirubin ?

4

Page 5: Bilirubin

TAHAP III

ANALISA MASALAH

Asam amino merupakan prekursor dari banyak senyawa komplek nitrogen yang penting

dalam fungsi fisiologis. Porfirin salah satu dari komplek tersebut, adalah senyawa siklik yang

membentuk heme dan klorofil.

Sebagai gugus prostetik dari banyak protein, heme membentuk sejumlah hemeprotein yang

secara terus menerus mengalami proses sintesa dan degradasi. Sebagai contoh, 6 sampai 7

gram hemoglobin disintesa setiap hari untuk menggantikan heme yang hilang dalam proses

katabolismenya. Pembentukan dan pemecahan komponen porfirin dari hemoglobin berperan

dalam menjaga keseimbangan nitrogen tubuh.

Sejumlah kelainan dapat terjadi selama proses sintesa porfirin dan hasil penguraian senyawa

porfirin akan membentuk pigmen empedu yaitu bilirubin. Gangguan dalam metabolisme

bilirubin selanjutnya akan memunculkan keadaan klinis yang sering dijumpai yaitu ikterus.

Ikterus disebabkan adanya kenaikan kadar bilirubin karena sintesanya yang berlebih atau

gangguan ekskresinya, biasanya muncul pada sejumlah penyakit yang berkisar dari anemia

hemolitik hingga hepatitis serta penyakit kanker pankreas.

5

Page 6: Bilirubin

TAHAP IV

STRUKTURISASI

NADPH O2

NADP

NADPH

NADP

6

Eritrosit yang tua

Hemoglobin

Heme Globin

Biliverdin

Bilirubin

Bilirubin-albumin complex

Bilirubin diglucuronide

BileDisimpan ke empedu & di keluarkan dlm duodenum

Diserap kembali & dikeluarkan lewat urin sbg urobilin

Dibuang lewat feses sbg sterkobilin

Page 7: Bilirubin

TAHAP V

LEARNING OBJECTIVE

1. Proses pemecahan eritrosit

2. Proses pembantukan bilirubin

3. Fungsi hati dalam pembentukan bilirubin

4. Fungsi dari kandung empedu

5. Fisiologi / fungsi dari bilirubin

6. Gangguan metabolisme bilirubin

7

Page 8: Bilirubin

TAHAP VI

HASIL BELAJAR MANDIRI

1. PROSES PEMECAHAN SEL DARAH MERAH

Ketika eritrosit dihantarkan dari sumsum tulang masuk kedalam sistem sirkulasi, sel tersebut

normalnya akan bersirkulasi rata rata 120 hari sebelum dihancurkan. Walau eritrosit yang

matur tidak memiliki inti, mitokondria, retikulum endoplasma sel tersebut mempunyai enzim-

enzim sitoplasma yang mampu melakukan metabolisme mukosa dan membentuk sejumlah

kecil ATP. Enzim tersebut juga mampu :

1. Mempertahankan kelenturan membran sel

2. Mempertahankan transport ion melalui membran

3. Menjaga besi Hb sel agar tetap dalam bentuk fero, bukan dalam bentuk feri

4. Mencegah oksidasi protein di dalam sel darah merah

Begitu membran eritrosit menjadi rapuh sel tersebut bisa robek sewaktu melewati tempat-

tempat yang sempit di sirkulasi ini dikarenakan usia sel darah merah yang tua. Di limpa akan

dijumpai banyak eritrosit yang hancur karena sel ini terperas sewaktu melalui pulpa merah

limpa. Ruangan diantara struktur trabekula pulpa merah, yang harus dilalui sebagian besar

sel, lebarnya hanya 3 mikrometer dibandingkan sel darah merah yang berdiameter 8

mikrometer.

Hb yang dilepaskan dari eritrosit sewaktu eritrosit pecah akan segera difagosit oleh sel sel

makrofag di banyak bagian tubuh, namun terutama oleh sel kuffer hati, makrofag limpa dan

makrofag sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag

akan melepaskan besi yang didapat dari Hb dan menghantarkannya kembali ke dalam darah

dan diangkut oleh transferin ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah baru, atau

ke hati dan jaringan lainnya untuk disimpan dalam bentuk feritin.

Pada eritrosit yang semakin tua adanya proses pergantian eritrosit dari atau sel darah baru

terjadi setelah sirkulasi 3 sampai 4 bulan (120 hari). Dimana sel tersebut menjadi kaku dan

fragil, dan akhirnya pecah. Pembentukan sel darah merah pada orang dewasa pada sumsum

tulang belakang dan pada bayi terjadi di hati, kelenjar thymus dan nodula lymphatica.

8

Page 9: Bilirubin

Eritrosit mengalami hemolisis yang lebih cepat dibanding dengan pembentukan atau

produksi sel darah yang baru. Proses penggantian eritrosit dari sel darah yang baru terjadi

setelah sirkulasi 3 hingga 4 bulan. Eritrosit mengalami desintergrasi atau pemecahan

sehingga melepas hemoglobin ke dalam sel dan sel darah pecah. Hemoglobin terutama

difagosit di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang serta direduksi menjadi globin dan heme.

Sel darah merah yang mengalami degradasi ini kemudian dibawa dari sirkulasi oleh system

makrofag atau system retikuloendotelia. Sel sel makrofag mencengkeram fragmen,

fragmennya dicerna dan dilepaskan dalam darah.

Globin masuk kembali ke dalam kumpulan asam amino dan juga mengalami degradasi ke

dalam tulang, di simpan sebagai sel sel jaringan sebagai hemosiderin. Besi dibebaskan dari

heme, dan bagian yang lebih besar diangkut oleh protein plasma transferin ke sumsum tulang

untuk produksi eritrosit. Sisa besi di simpan di hati dan jaringan tubuh lain dalam bentuk

feritin dan hemosiderin untuk di gunakan di kemudian hari.

Sisa bagian heme direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan biliverdin. CO diangkut

dalam bentuk karboksihemoglobin, dikeluarkan melalui paru. Biliverdin direduksi menjadi

bilirubin bebas yang kemudian perlahan-lahan dilepas ke dalam plasma, tempat bilirubin

bergabung dengan albumin plasma kemudian ke dalam sel sel hati untuk di ekskresi ke dalam

kanalikuli empedu.

Pengaruh hemoglobin didalam sel darah merah menyebabkan timbulnya warna merah pada

darah karena mempunyai kemampuan untuk mengangkut oksigen. Hemoglobin adalah

senyawa organik yang komplek dan terdiri dari empat pigmen forpirin merah (heme)

yang masing-masing mengandung iron dan globin yang merupakan protein globural dan

terdiri dari empat asam amino. Hemoglobin bergabung dengan oksigen didalam paru-paru

yang kemudian terbentuk oksihaemoglobin yang selanjutnya melepaskan oksigen ke sel-sel

jaringan didalam tubuh.

Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang merupakan gugus

prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase, peroksidase, sitokrom c

dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin mengikat oksigen

tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna khas pada kedua

hemeprotein tersebut.

9

Page 10: Bilirubin

Heme terdiri atas bagian organik dan suatu atom besi. Bagian organik protoporfirin tersusun

dari empat cincin pirol. Keempatnya terikat satu sama lain melalui jembatan metenil,

membentuk cincin tetrapirol. Empat rantai samping metil, dua rantai samping vinil dan dua

rantai samping propionil terikat kecincin tetrapirol tersebut .

Atom besi di dalam heme mengikat keempat atom nitrogen dipusat cincin protoporfirin.

Atom besi dapat berbentuk fero (Fe2+) atau feri (Fe3+) sehingga untuk hemoglobin yang

bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan ferihemoglobin atau methemoglobin.

Hanya bila besi dalam bentuk fero, senyawa tersebut dapat mengikat oksigen.

1.1. Katabolisme heme

Dalam keadaan fisiologis, masa hidup eritrosit manusia sekitar 120 hari, eritrosit mengalami

lisis 1-2×108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana

diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per hari. Sel-sel eritrosit tua

dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Apoprotein dari hemoglobin

dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya.

Katabolisme heme dari semua hemoprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel

oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang merupakan enzym dari

keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan gugus heme ialah pemutusan

jembatan α metena membentuk biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa

kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksi-reaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada

akhir reaksi dibebaskan Fe3+ yang dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal

dari atom karbon jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau

akan direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH sehingga rantai metenil

menjadi rantai metilen antara cincin pirol III – IV dan membentuk pigmen berwarna kuning

yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk reaksi degradasi ini.

Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Pada reptil,

amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan bukan bilirubin seperti

pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang

sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin

10

Page 11: Bilirubin

kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang

larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam

membran, bersaing dengan vitamin E.

2. PEMBENTUKAN BILIRUBIN

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari

pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.

Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan

enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan

organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk

pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru.

Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui

reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat

dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,

diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.

11

Page 12: Bilirubin

2.1. Transportasi Bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya dilapaskan

kesirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan

plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas

ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non

polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar.

Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat dan bersifat

nontoksik. Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan

yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati

tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat

pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.

12

Page 13: Bilirubin

2.2. Asupan Bilirubin

Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin

terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang

berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya.

2.3. Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di

reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase

( UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin

monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.

Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul

13

Page 14: Bilirubin

bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi

berikutnya.

2.4. Eksresi Bilirubin

Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung empedu,

kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada dalam

usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika

dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase

yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati

untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.

3. FUNGSI HATI

Hati adalah sebuah kelenjar terbesar dan kompleks dalam tubuh, berwarna merah kecoklatan,

yang mempunyai berbagai macam fungsi, termasuk perannya dalam membantu pencernaan

makanan dan metabolisme zat gizi dalam sistem pencernaan. 

14

Page 15: Bilirubin

Hati manusia dewasa normal memiliki massa sekitar 1,4 Kg atau sekitar 2.5% dari massa

tubuh. Letaknya berada di bagian teratas rongga abdominal, disebelah kanan, dibawah

diagfragma dan menempati hampir seluruh bagian dari hypocondrium kanan dan sebagian

epigastrium abdomen. Permukaan atas berbentuk cembung dan berada dibawah diafragma,

permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura transverses. Permukaannya

dilapisi pembuluh darah yang keluar masuk hati.

Secara fisiologis, fungsi utama dari hati adalah:

a. Membantu dalam metabolisme karbohidrat

Fungsi hati menjadi penting, karena hati mampu mengontrol kadar gula dalam darah.

Misalnya, pada saat kadar gula dalam darah tinggi, maka hati dapat mengubah glukosa dalam

darah menjadi glikogen yang kemudian disimpan dalam hati (Glikogenesis), lalu pada saat

kadar gula darah menurun, maka cadangan glikogen  di hati atau asam amino dapat diubah

menjadi glukosa dan dilepakan ke dalam darah (glukoneogenesis) hingga pada akhirnya

kadar gula darah dipertahankan untuk tetap normal. Hati juga dapat membantu pemecahan

fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa dan serta glukosa menjadi lemak.

b. Membantu metabolisme lemak

Membantu proses Beta oksidasi, dimana hati mampu menghasilkan asam lemak dari Asetil

Koenzim A. Mengubah kelebihan Asetil Koenzim A menjadi badan keton (Ketogenesis).

Mensintesa lipoprotein-lipoprotein saat transport asam-asam lemak dan kolesterol dari dan ke

dalam sel, mensintesa kolesterol dan fosfolipid juga menghancurkan kolesterol menjadi

garam empedu, serta menyimpan lemak.

c. Membantu metabolisme Protein

Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah dalam deaminasi (mengubah gugus amino,

NH2) asam-asam amino agar dapat digunakan sebagai energi atau diubah menjadi

karbohidrat dan lemak. Mengubah amoniak (NH3) yang merupakan substansi beracun

menjadi urea dan dikeluarkan melalui urin (ammonia dihasilkan saat deaminase dan oleh

15

Page 16: Bilirubin

bakteri-bakteri dalam usus), sintesis dari hampir seluruh protein plasma, seperti alfa dan beta

globulin, albumin, fibrinogen, dan protombin (bersama-sama dengan sel tiang, hati juga

membentuk heparin) dan transaminasi transfer kelompok amino dari asam amino ke substansi

(alfa-keto acid) dan senyawa lain.

d.    Menetralisir obat-obatan dan hormon

Hati dapat berfungsi sebagai penetralisir racun, yakni pada obat-obatan seperti penisilin,

ampisilin, erythromisin, dan sulfonamide juga dapat mengubah sifat-sifat kimia atau

mengeluarkan hormon steroid, seperti aldosteron dan estrogen serta tiroksin.

e.    Mensekresikan cairan empedu

Bilirubin, yang berasal dari heme pada saat perombakan sel darah merah, diserap oleh hati

dari darah dan dikeluarkan ke empedu. Sebagian besar dari bilirubin di cairan empedu di

metabolisme di usus oleh bakteri-bakteri dan dikeluarkan di feses.     

Dalam proses konjugasi yang berlangsung di dalam retikulum endoplasma sel hati tersebut,

mekanisme yang terjadi adalah melekatnya asam glukuronat (secara enzimatik) kepada salah

satu atau kedua gugus asam propionat dari bilirubin. Hasil konjugasi (yang kita sebut sebagai

bilirubin terkonjugasi) ini, sebagian besar berada dalam bentuk diglukuronida (80%), dan

sebagian kecil dalam bentuk monoglukuronida.

Penempelan gugus glukuronida pada gugus propionat terjadi melalui suatu ikatan ester,

sehingga proses yang terjadi disebut proses esterifikasi. Proses esterifikasi tersebut

dikatalisasi oleh suatu enzim yang disebut bilirubin uridin-difosfat glukuronil transferase

(lazimnya disebut enzim glukuronil transferase saja), yang berlokasi di retikulum

endoplasmik sel hati.

Akibat konjugasi tersebut, terjadi perubahan sifat bilirubin. Perbedaan yang paling mencolok

antara bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi adalah sifat kelarutannya dalam air dan

lemak. Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air, tapi mempunyai afinitas

tinggi terhadap lemak. Karena sifat inilah, bilirubin tak terkonjugasi tidak akan diekskresikan

ke urin. Sifat yang sebaliknya terdapat pada bilirubin terkonjugasi.

16

Page 17: Bilirubin

Karena kelarutannya yang tinggi pada lemak, bilirubin tidak terkonjugasi dapat larut di dalam

lapisan lemak dari membran sel. Peningkatan dari bilirubin tidak terkonjugasi dapat

menimbulkan efek yang sangat tidak kita inginkan, berupa kerusakan jaringan otak. Hal ini

terjadi karena otak merupakan jaringan yang banyak mengandung lemak.

f.    Mensintesis garam-garam empedu

Garam-garam empedu digunakan oleh usus kecil untuk mengemulsi dan menyerap lemak,

fosfolipid, kolesterol, dan lipoprotein. 

g.    Sebagai tempat penyimpanan

Selain glikogen, hati juga digunakan sebagai tempat menyimpan vitamin (A, B12, D, E, K)

serta mineral (Fe dan Co). Sel-sel hati terdiri dari sebuah protein yang disebut apoferritin

yang bergabung dengan Fe membentuk Ferritin sehingga Fe dapat disimpan di hati. Fe juga

dapat dilepaskan jika kadarnya didarah turun.

h.    Sebagai fagosit

Sel-sel Kupffer’s dari hati mampu memakan sel darah merah dan sel darah putih yang rusak

serta bakteri.

i.    Mengaktifkan vitamin D

Hati dan ginjal dapat berpartisipasi dalam mengaktifkan vitamin D.

j.    Menghasilkan kolesterol tubuh

Hati menghasilkan sekitar separuh kolesterol tubuh, sisanya berasal dari makanan. Sekitar

80% kolesterol yang dibuat di hati digunakan untuk membuat empedu. Kolesterol merupakan

bagian penting dari setiap selaput sel dan diperlukan untuk membuat hormon-hormon tertentu

(termasuk hormon estrogen, testosteron dan hormonadrenal).

4. FUNGSI KANDUNG EMPEDU

17

Page 18: Bilirubin

Pada orang normal,empedu mengalir ke dalam kandung empedu apabila sfingter oddi

menutup.dalam kandung empedu,empedu menjadi lebih pekat akibat absorsi air.derajat

pemekatan ini di perlihatkan oleh peningkatan konsentrasi zat padat (tab 26-9); 97 %

empedu hati terdiri atas air,sedangkan empedu dari kandung empedu rata-rata mengandung

air sebesar 89%.apabila duktus koledekus dan duktus sistikus dijepit,tekanan intra biliaris

akan meningkat sampai sekitar 320 mm empedu dalam 30 menit,dan sekresi empedu

terhenti.namun,apabila duktus koledekus di jepit dan duktus sistikus dibiarkan terbuka,air

akan di serap di kandung empedu dan tekanan intrabiliaris akan meningkat hanya sampai

sekitar 100 mm empedu dalam beberapa jam.pengasaman empedu adalah salah satu pungsi

lain kandung empedu

Tab 26-9. Perbandingan empedu duktus hepatikus dan empedu kandung empedu manusia

Empedu duktus

hepatikus

Empedu kandung

empedu

Persentase zat padat 2-4 10-12

Garam empedu (mmol/L) 10-20 50-200

Ph 7,8-8,6 7,0-7,4

5. FISIOLOGI BILIRUBIN

Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Keuntungannya

adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan

biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali

dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air.

Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran, bersaing

dengan vitamin E.

Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Perhari bilirubin

dibentuk sekitar 250–350 mg pada seorang dewasa, berasal dari pemecahan hemoglobin,

proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya. Bilirubin dari

jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini

akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya

18

Page 19: Bilirubin

lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi

jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan.

Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid

hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem transport difasilitasi ini

mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan bilirubin akan tergantung pada

kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin berikutnya.

Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut. Hepatosit

akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat diekskresikan dengan mudah

kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang

dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase.

Hati mengandung sedikitnya dua isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat

terutama pada retikulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap,

memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan

membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi

menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua.

Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan

mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis,

seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi.

Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym

bakteri β glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus

menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna.

Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa keginjal

kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine. Sebagian

besar urobilinogen berada pada feses akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk

sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan.

6. GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN

6.1. Hiperbilirubinemia

19

Page 20: Bilirubin

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah melebihi 1 mg/dl.

Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan menyebabkan gejala ikterik atau

jaundice. Ikterik atau jaundice adalah keadaan dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata

menjadi kuning akibat deposisi bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi

didalam darah.

Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan penyebabnya yaitu

hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang berlebih dan

hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah karena

adanya obstruksi bilier.

Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan

konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan mengekskresikan lebih dari

3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari.

Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme

meningkat, hati masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut.

Akan tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun

malaria akan menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati

mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah.

Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga

disebut juga dengan ikterik acholuria.

Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya

fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian

hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana

aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini

melampaui kemampuan albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia

pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus.

Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti Syndroma Crigler

Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil transferase tidak aktif,

diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang jarang, dimana didapati

konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl.

20

Page 21: Bilirubin

Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I, karena kerusakan

pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin monoglukoronida terdapat dalam

getah empedu.

Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan uptake bilirubin oleh

hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan secara autosomal

dominan.

Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya obstruksi pada saluran

empedu, misalnya karena tumor, batu, proses peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada duktus

hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi masuknya bilirubin keusus dan

peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika

dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam

urine dan disebut sebagai ikterik choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran

empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Bilirubin terkonjugasi dapat terikat secara

kovalen pada albumin dan membentuk θ bilirubin yang memiliki waktu paruh.

(T1/2) yang panjang mengakibatkan gejala ikterik dapat berlangsung lebih lama dan masih

dijumpai pada masa pemulihan.

Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi adalah Syndroma

Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi karena adanya defek pada sekresi

bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu yang penyebab pastinya belum

diketahui.

Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an organik termasuk

bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab pastinya juga belum dapat

diketahui.

Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti chloroform,

arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga akibat cirhosis.

Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi. Gangguan konjugasi

muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan menyebabkan peningkatan kedua

jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak larut.

Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi bilirubin dan menjadi

preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi tidak pada sindroma Crigler najjar.

21

Page 22: Bilirubin

Phototerapi dengan cahaya dapat merubah bilirubin menjadi lebih polar dan merubahnya

menjadi beberapa isomer yang larut dalam air meskipun tampa konjugasi dengan asam

glukoronida sehingga dapat diekskresikan keempedu. Kasus obstruksi umumnya ditangani

dengan tindakan bedah.

Pemeriksaan laboratorium sebagai petunjuk diagnostik

KLINIS

UROBILINOGEN BILIRUBIN

URINE mg/hari

FESES mg/hari URINE

PLASMAmg/hari

indirect direct NORMAL 0-4 40-280 (-) 0,2-0,7 0,1-0,4 HEPATITIS ↓ ↓ (+) ↑ ↑ HEMOLITIK ↑ ↑ (-) ↑↑ ↑ OBSTRUKSI (-) (-) (+) ↑ ↑↑

6.2. Hiperbilirubinemia Tak Terkonjugasi

1. Hemolisis

Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin, namun peningkatan

konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada

keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL (>51-86

umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun demikian kombinasi hemolisis

yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus yang lebih

berat, dalam keadaan ini hiperbilirubinemia bercampur, karana ekskresi empedu kanalikular

terganggu.

2. Sindrom Gilbert

Gangguan yang barmakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi), yang menjadi

penting secara klinis, karena keadaan ini sering disalah-artikan sebagai penyakit hepatitis

kronis. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk dan

22

Page 23: Bilirubin

ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak

sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tapi bentuk genetika yang pasti belum bisa

dipastikan.

Patogenesisnya belum bisa dipastikan adanya gangguan (defek) yang kompleks dalam

pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5% mg/dL yang cenderung naik

dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya.

Keaktifan enzim glukuroniltransferase rendah; karena mungkin ada hubungan dengan

sindrom crigler-Najjar tipe II. Banyak pasien juga mempunyai massa hidup eritosit yang

berkurang, namun demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia.

Sindrom Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang

normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan.

Hemolisis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histologi hati

normal, namun biopsi hati tidak diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus diyakinkan bahwa

tidak ada penyakit hati.

3. Sindrom Crigler-Najjar

Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh karena adanya keadaan kekurangan

glukoroniltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien dengan penyakit autosom resesif

tipe I (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal

pada usia 1 tahun. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe II (sebagain=parsial)

mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20 mg/dL, <342 umol/L) dan biasanya

bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologik.

Phenobarbital , yang dapat merangsang kekurangan glukoronil transferase, dapat mengurangi

kuning.

6.3. Hiperbilirubinemia Terkonjugasi (direct hiperbilirubinemia)

Klasifikasi dapat kita bagi menjadi :

a. Hiperbilirubinemia Non kolestasis

b. Hiperbilirubinemia Kolestasis

23

Page 24: Bilirubin

A. Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-kolestasis :

1. Sindrom Dubin-Johnson

Merupakan penyakit autosome resesif ditandai ikterus yang ringan dan tanpa keluhan.

Bnayak ditemukan di Timur Tengah pada penduduk Iran Yahudi. Ikterus pada sindrom ini

bersifat kronik, benigna, dan intermitten dengan kenaikan konsentrasi bilirubin direct dan

sedikit bilirubin indirect serta adanya bilirubin didalam urin.

Secara maksroskopik, hati berwarna kitam kehijauan (black-liver jaundice). Secara

mikroskopik terdapat pigmen coklat pada sel hati yang tidak mengandung besi maupun

pigmen empedu. Pigmen ini mungkin melamin.

Tidak ditemukan gejala pruritus, konsentrasi alkali fosfatase dan konsentrasi asam empedu

dalam serum normal. Pada pemeriksaan kolangiografi intravena dan uji BSP ternyata zat

kontras sulit diekskresikan. Pada 40 menit konsentrasi BSP kebanyakan turun ke normal.

Kenaikan terlihat pada menit 120, 180, 240. BSP masih bias dideteksi pada 48 jam kemudian.

Carrier dengan gen yang abnormal ini tidak dapat didiagnosis hanya dengan uji BSP

intravena sederhana.

Pada pasien ini diagnosisnya akan lebih jelas jika hasil uji BSP memanjang. Jumlah

pengeluaran coproporphyrin dalam urin normal, tetapi coproporphyrin 1 sedikit naik.

Sebabnya belum diketahui. Kemungkinan terdapat hubungan antara ekskresi kanalikuler dan

metabolism porfirin atau mungkin juga tidak terdapat hubungan sama sekali antara

keduanya.

Gejala ikterus pada sindrom ini tampak jeals selama hamil atau minum obat kontrasepsi,

karena keduanya mengurangi fungsi ekskresi hati. Tidak ada hubungan antar pigmen hati dan

konsentrasi bilirubin serum. Prognosisnya baik.

2. Sindrom Rotor

Sindrom ini sama dengan bentuk hiperbilirubinemia konjugasi familial kronik. Sindrom ini

mirip dengan sindrom Dubin-Johnson.

24

Page 25: Bilirubin

Perbedaan utamanya adalah tidak ada pigmen coklat di dalam sel hati. Juga berbeda dengan

sindrom Dubin-Johnson karena adanya gambaran opasitas kandung empedu pada

pemeriksaan cholecystography dan tidak ada kenaikan sekunder pada tes BSP. Kelainan yang

menyebabkan retensi BSP lebih disebabkan gangguan ekskresi . jumlah sekresi

coproporphyrin naik seperti pada kolestasis. Proporsi coproporphyrin 1 didalam urin meliputi

65% dari jumlah seluruhnya. Secara mikroskopik terdapat kelainan mitokondria dari

perooksisom. Sindrom ini diturunkan secara autosomal. Prognosisnya sangan baik.

B. Hiperbilirubinemia Direct Kolestasis

1. Kolestasis Intrahepatik

Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus)

sampai ampula vater. Penyebab tersering kolesistasis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan

obat, penyakit hati karena alcohol, dan penyakit hepatitis autoimun. Sedangkan penyebab

kuranng sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma

metastatic dan penyakit-penyakit yang jarang.

Peradangan intrahepatik menganggu transport bilirubinkonjugasi dan menyebabkan ikterus.

Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanisfestasikan dengan adanya ikterus

yang timbul secara akut. Hepatitis B can C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap

awal (akut), tetapi bias berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis

menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga

disertai gejala kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosis salah sebagai penyakit hepatitis

akut.

Alcohol bias mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, dan

mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alcohol secara terus menerus bias menimbulkan

perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati

merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi ringan dan tanpa ikterus,

tetapi kadang-kadang bias menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alcohol iasanya member

gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada

nekrosis sel hati ditandai dengan adanya peningkatan transaminase yang tinggi.

25

Page 26: Bilirubin

Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai

kelompok muda teruatama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga kelompok yang lebih

tua bias dikenai. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada system bilier tanpa terlalu

menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis

bilier primer merupakan penyakit hati bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan

paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gata yang sering merupakan

penemuan awal, sedangkan kunign merupakan gejala yang timbul kemudian.

Kolangitis sclerosis primer (Primary Sclerosing Cholangitis/PSC) merupakan penyakit

kolestatik lain , lebih sering dijumpai pada laki-laki.dan sekitar 70% menderita penyakit

peradangan usus. PSC bias menjrus ke kolangi-karsinoma. Banyak obat mempunyai efek

dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti asetaminofen, penisilin, obat kontrasepsi oral,

klorpromazin, dan steroid estrogenic atau metabolic.

2. Kolestasis Ekstrahepatik

Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledukus dan

kanker pancreas. Penyebab lainnya yang relative lebih jarang adalah striktur jinak (operasi

terdahulu) pada duktus koledukus, karsinoma duktus koledukus, pancreatitis, atau pseudocyst

pancreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagaln sekresi empedu.

Mekanisme sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu.

Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpenting bilirubin,

garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus

halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan

kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih

sedikit yang bias mencapai saluran usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi

selalu diperkirakan sebagai peyebab keluhan gatal, walaupun sebenarnya hubungannya masih

belum bias diketahui secara pasti.

Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi

garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasis

yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis), gangguan penyerapan Ca dan vitamin D

dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis atau

osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun

26

Page 27: Bilirubin

sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi dalam darah yang berkurang turut berperan,

konsentrasi trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein

densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X.

Condition Defect Bilirubin Clinical Findings

Crigler-Najjar syndrome severely defective

UDP-glucuronyltransferase

Unconjugated bilirubin ÝÝÝ

Profound jaundice

Gilberts syndrome reduced activity of

UDP-glucuronyltransferase

Unconjugated bilirubin Ý

Very mild jaundice during illnesses

Dubin-Johnson syndrome

abnormal transport of conjugated bilirubin into the biliary system

Conjugated bilirubin ÝÝ

Moderate jaundice

27

Page 28: Bilirubin

KESIMPULAN

Heme adalah senyawa besi porfirin, dimana empat cincin pirol disatukan oleh jembatan

metenil. Delapan rantai samping dari empat cincin pirol dapat berupa gugus asetil, metil, vinil

dan propionil.

Biosintesa cincin heme berlangsung dalam mitokondria dan sitosol melalui delapan tahapan

enzymatik.

Gangguan dalam setiap tahapan enzymatik sintesa heme mengakibatkan kelainan bawaan

yaitu porfiria.

Katabolisme heme menghasilkan senyawa biliverdin yang akan direduksi menjadi bilirubin.

Zat besi pada heme dan asam amino dari globin akan disimpan atau digunakan kembali.

Bilirubin akan diambil oleh sel-sel hati, kemudian dirubah menjadi bentuk larut dan disekresi

kedalam kandung empedu. Kerja enzym bakteri dalam usus terhadap bilirubin akan

membentuk urobilinogen dan urobilin yang kemudian diekskresi dalam feces dan urine.

Kadar bilirubin darah yang meninggi disebut hiperbilirubinemia, menjadi penyebab ikterus.

Kelainan ini dikelompokkan berdasar penyebab prehepatik, hepatik dan posthepatik.

Pengukuran kadar biliribin dalam darah dan urine serta urobilinogen dalam urine dapat

menjadi petunjuk diagnostik dari kelompok penyebab ikterus tersebut.

28

Page 29: Bilirubin

DAFTAR PUSTAKA

Price A Sylvia, patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit

Frandson, RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak IV. Gadjah Mada Press.Yogyakarta.

Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed.11. EGC. Jakarta, 2007.

Champe P C PhD, Harvey R A PhD. Lippincott’s Illustrated Reviews: Biochemistry 2nd

.1994

: 257-264

Lehninger A, Nelson D, Cox M M. Principles of Biochemistry 2nd 1993 : 710-711

Murray R K, et al. Harper’s Biochemistry 25th ed. Appleton & Lange. America 2000 : 359

Stryer L.1995. Biochemistry 4th : 732-735

Bauer C . Douglas,dkk. Pathophysiology of Desease: An Introduction to Clinical

Medicine. 5th Edition. USA: McGraw-Hill’s Companies, 2006.

Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seeff LB. Laboratory medicine practice guidelines, Laboratory guidelines for screening, diagnosis and monitoring hepatic injury. The National Academy of Clinical Biochemistry; 2000.

Marlar RA, Fink LM, Miller JL. Laboratory approach to thrombotic risk. In: Henry’s clinical diagnosis and management by laboratory methods. 21st ed. McPherson RA, Pincus MR. [editor] China: Saunders Elsevier; 2006.

Rodgers GM, Bithell TC. The diagnostic approach to the bleeding disorders. In: Wintrobe’s Clinical Hematology 10th ed. Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer J, Rodgers GM. [editor]. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.

Schmaier AH. Laboratory evaluation of hemostatic and thrombotic disorders. In: Hematology basic principles and practice. 5th ed. Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ, Furie B, Silberstein LE, McGlave P, etc. [editor]. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2009.

29

Page 30: Bilirubin

http://www.pediatrik.com/buletin/06224113752-x0zu6l.doc

http://feylana.wordpress.com/2008/06/21/sel-darah-merah/

30