Bilirubin
-
Upload
amal-bahrum-penas -
Category
Documents
-
view
271 -
download
2
description
Transcript of Bilirubin
PENDAHULUAN
Allhamdullilah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
limpahan nikmat Nya penulis dapat menyelesaikan makalah.
Selanjutnya banyak terimakasih penulis sampaikan kepada segenap orang yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis sadari makalah ini masih banyak
kekeliruan ataupun yang kurang sempurna, maka dari itu dimohon koreksinya, agar makalah
ini kedepan lebih baik dan dapat bermanfaat.
1
SKENARIO II
BILIRUBIN
Pada proses pemecahan heme (heme degradation), heme akan di pecah menjadi biliverdin
melalui pemasukan NADPH, dengan melepaskan NADP, Fe+3 dan O2. Kemudian selanjutnya
biliverdin akan di ubah menjadi bilirubin indirect melalui pemasukan NADPH. Bilirubin
indirect selanjutnya akan di ikat dengan albumin menjadi bilirubin-albumin complex
menujuu ke dalam hati. Di dalam hati bilirubin indirect di tambahkan dengan asam
glukoronat melalui enzin glukoroniltranferase menjadi bilirubin diglucuronide (bilirubin
direct). Kemudian akan di simpan ke dalam kandung empedu.
2
TAHAP I
IDENTIFIKASI ISTILAH
1. Biliverdin : Pigmen empedu yang berwarna hijau yang dibentuk dari proses kimia
pemecahan hemoglobin yang selanjutnya akan diubah menjadi bilirubin di
dalam hati.
2. Bilirubin : Senyawa empedu berwarna kuning yang dihasilkan dari proses penguraian
hemoglobin tepatnya pada penguraian pada sel darah merah yang tua oleh
RES.
3. Bilirubin albumin complex : Senyawa kompleks yang terbentuk dari ikatan bilirubin
albumin sehingga bilirubin dapat dibawa ke dalam darah.
4. Bilirubin diglucuronide : bilirubin yang belum matang yang masih berikatan dengan
asam glukoronat dan nantinya akan dilepaskan di usus
(bilirubin direct).
5. NADP : Nicotinamide Adenin Dinucleotida phosfat (NADP) merupakan molekul
fosfat yang berenergi tinggi sebagai simpanan atau sumber energi yang
dibutuhkan dalam reaksi-reaksi oleh tubuh.
6. NADPH : NADP yang tereduksi.
7. Heme catabolism : Proses penguraian heme untuk pembentukan bilirubin.
3
TAHAP II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana proses terbentuknya bilirubin ?
2. Apakah fungsi dari hati dalam pembentukan bilirubin ?
3. Proses pemecahan sel darah merah ?
4. Apa fungsi dari bilirubin ?
4
TAHAP III
ANALISA MASALAH
Asam amino merupakan prekursor dari banyak senyawa komplek nitrogen yang penting
dalam fungsi fisiologis. Porfirin salah satu dari komplek tersebut, adalah senyawa siklik yang
membentuk heme dan klorofil.
Sebagai gugus prostetik dari banyak protein, heme membentuk sejumlah hemeprotein yang
secara terus menerus mengalami proses sintesa dan degradasi. Sebagai contoh, 6 sampai 7
gram hemoglobin disintesa setiap hari untuk menggantikan heme yang hilang dalam proses
katabolismenya. Pembentukan dan pemecahan komponen porfirin dari hemoglobin berperan
dalam menjaga keseimbangan nitrogen tubuh.
Sejumlah kelainan dapat terjadi selama proses sintesa porfirin dan hasil penguraian senyawa
porfirin akan membentuk pigmen empedu yaitu bilirubin. Gangguan dalam metabolisme
bilirubin selanjutnya akan memunculkan keadaan klinis yang sering dijumpai yaitu ikterus.
Ikterus disebabkan adanya kenaikan kadar bilirubin karena sintesanya yang berlebih atau
gangguan ekskresinya, biasanya muncul pada sejumlah penyakit yang berkisar dari anemia
hemolitik hingga hepatitis serta penyakit kanker pankreas.
5
TAHAP IV
STRUKTURISASI
NADPH O2
NADP
NADPH
NADP
6
Eritrosit yang tua
Hemoglobin
Heme Globin
Biliverdin
Bilirubin
Bilirubin-albumin complex
Bilirubin diglucuronide
BileDisimpan ke empedu & di keluarkan dlm duodenum
Diserap kembali & dikeluarkan lewat urin sbg urobilin
Dibuang lewat feses sbg sterkobilin
TAHAP V
LEARNING OBJECTIVE
1. Proses pemecahan eritrosit
2. Proses pembantukan bilirubin
3. Fungsi hati dalam pembentukan bilirubin
4. Fungsi dari kandung empedu
5. Fisiologi / fungsi dari bilirubin
6. Gangguan metabolisme bilirubin
7
TAHAP VI
HASIL BELAJAR MANDIRI
1. PROSES PEMECAHAN SEL DARAH MERAH
Ketika eritrosit dihantarkan dari sumsum tulang masuk kedalam sistem sirkulasi, sel tersebut
normalnya akan bersirkulasi rata rata 120 hari sebelum dihancurkan. Walau eritrosit yang
matur tidak memiliki inti, mitokondria, retikulum endoplasma sel tersebut mempunyai enzim-
enzim sitoplasma yang mampu melakukan metabolisme mukosa dan membentuk sejumlah
kecil ATP. Enzim tersebut juga mampu :
1. Mempertahankan kelenturan membran sel
2. Mempertahankan transport ion melalui membran
3. Menjaga besi Hb sel agar tetap dalam bentuk fero, bukan dalam bentuk feri
4. Mencegah oksidasi protein di dalam sel darah merah
Begitu membran eritrosit menjadi rapuh sel tersebut bisa robek sewaktu melewati tempat-
tempat yang sempit di sirkulasi ini dikarenakan usia sel darah merah yang tua. Di limpa akan
dijumpai banyak eritrosit yang hancur karena sel ini terperas sewaktu melalui pulpa merah
limpa. Ruangan diantara struktur trabekula pulpa merah, yang harus dilalui sebagian besar
sel, lebarnya hanya 3 mikrometer dibandingkan sel darah merah yang berdiameter 8
mikrometer.
Hb yang dilepaskan dari eritrosit sewaktu eritrosit pecah akan segera difagosit oleh sel sel
makrofag di banyak bagian tubuh, namun terutama oleh sel kuffer hati, makrofag limpa dan
makrofag sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag
akan melepaskan besi yang didapat dari Hb dan menghantarkannya kembali ke dalam darah
dan diangkut oleh transferin ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah baru, atau
ke hati dan jaringan lainnya untuk disimpan dalam bentuk feritin.
Pada eritrosit yang semakin tua adanya proses pergantian eritrosit dari atau sel darah baru
terjadi setelah sirkulasi 3 sampai 4 bulan (120 hari). Dimana sel tersebut menjadi kaku dan
fragil, dan akhirnya pecah. Pembentukan sel darah merah pada orang dewasa pada sumsum
tulang belakang dan pada bayi terjadi di hati, kelenjar thymus dan nodula lymphatica.
8
Eritrosit mengalami hemolisis yang lebih cepat dibanding dengan pembentukan atau
produksi sel darah yang baru. Proses penggantian eritrosit dari sel darah yang baru terjadi
setelah sirkulasi 3 hingga 4 bulan. Eritrosit mengalami desintergrasi atau pemecahan
sehingga melepas hemoglobin ke dalam sel dan sel darah pecah. Hemoglobin terutama
difagosit di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang serta direduksi menjadi globin dan heme.
Sel darah merah yang mengalami degradasi ini kemudian dibawa dari sirkulasi oleh system
makrofag atau system retikuloendotelia. Sel sel makrofag mencengkeram fragmen,
fragmennya dicerna dan dilepaskan dalam darah.
Globin masuk kembali ke dalam kumpulan asam amino dan juga mengalami degradasi ke
dalam tulang, di simpan sebagai sel sel jaringan sebagai hemosiderin. Besi dibebaskan dari
heme, dan bagian yang lebih besar diangkut oleh protein plasma transferin ke sumsum tulang
untuk produksi eritrosit. Sisa besi di simpan di hati dan jaringan tubuh lain dalam bentuk
feritin dan hemosiderin untuk di gunakan di kemudian hari.
Sisa bagian heme direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan biliverdin. CO diangkut
dalam bentuk karboksihemoglobin, dikeluarkan melalui paru. Biliverdin direduksi menjadi
bilirubin bebas yang kemudian perlahan-lahan dilepas ke dalam plasma, tempat bilirubin
bergabung dengan albumin plasma kemudian ke dalam sel sel hati untuk di ekskresi ke dalam
kanalikuli empedu.
Pengaruh hemoglobin didalam sel darah merah menyebabkan timbulnya warna merah pada
darah karena mempunyai kemampuan untuk mengangkut oksigen. Hemoglobin adalah
senyawa organik yang komplek dan terdiri dari empat pigmen forpirin merah (heme)
yang masing-masing mengandung iron dan globin yang merupakan protein globural dan
terdiri dari empat asam amino. Hemoglobin bergabung dengan oksigen didalam paru-paru
yang kemudian terbentuk oksihaemoglobin yang selanjutnya melepaskan oksigen ke sel-sel
jaringan didalam tubuh.
Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang merupakan gugus
prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase, peroksidase, sitokrom c
dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin mengikat oksigen
tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna khas pada kedua
hemeprotein tersebut.
9
Heme terdiri atas bagian organik dan suatu atom besi. Bagian organik protoporfirin tersusun
dari empat cincin pirol. Keempatnya terikat satu sama lain melalui jembatan metenil,
membentuk cincin tetrapirol. Empat rantai samping metil, dua rantai samping vinil dan dua
rantai samping propionil terikat kecincin tetrapirol tersebut .
Atom besi di dalam heme mengikat keempat atom nitrogen dipusat cincin protoporfirin.
Atom besi dapat berbentuk fero (Fe2+) atau feri (Fe3+) sehingga untuk hemoglobin yang
bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan ferihemoglobin atau methemoglobin.
Hanya bila besi dalam bentuk fero, senyawa tersebut dapat mengikat oksigen.
1.1. Katabolisme heme
Dalam keadaan fisiologis, masa hidup eritrosit manusia sekitar 120 hari, eritrosit mengalami
lisis 1-2×108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana
diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per hari. Sel-sel eritrosit tua
dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Apoprotein dari hemoglobin
dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya.
Katabolisme heme dari semua hemoprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel
oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang merupakan enzym dari
keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan gugus heme ialah pemutusan
jembatan α metena membentuk biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa
kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksi-reaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada
akhir reaksi dibebaskan Fe3+ yang dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal
dari atom karbon jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau
akan direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH sehingga rantai metenil
menjadi rantai metilen antara cincin pirol III – IV dan membentuk pigmen berwarna kuning
yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk reaksi degradasi ini.
Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Pada reptil,
amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan bukan bilirubin seperti
pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang
sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin
10
kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang
larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam
membran, bersaing dengan vitamin E.
2. PEMBENTUKAN BILIRUBIN
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan
organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
11
2.1. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya dilapaskan
kesirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan
plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas
ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non
polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar.
Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat dan bersifat
nontoksik. Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan
yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati
tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat
pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
12
2.2. Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya.
2.3. Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di
reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase
( UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul
13
bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi
berikutnya.
2.4. Eksresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung empedu,
kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada dalam
usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
3. FUNGSI HATI
Hati adalah sebuah kelenjar terbesar dan kompleks dalam tubuh, berwarna merah kecoklatan,
yang mempunyai berbagai macam fungsi, termasuk perannya dalam membantu pencernaan
makanan dan metabolisme zat gizi dalam sistem pencernaan.
14
Hati manusia dewasa normal memiliki massa sekitar 1,4 Kg atau sekitar 2.5% dari massa
tubuh. Letaknya berada di bagian teratas rongga abdominal, disebelah kanan, dibawah
diagfragma dan menempati hampir seluruh bagian dari hypocondrium kanan dan sebagian
epigastrium abdomen. Permukaan atas berbentuk cembung dan berada dibawah diafragma,
permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura transverses. Permukaannya
dilapisi pembuluh darah yang keluar masuk hati.
Secara fisiologis, fungsi utama dari hati adalah:
a. Membantu dalam metabolisme karbohidrat
Fungsi hati menjadi penting, karena hati mampu mengontrol kadar gula dalam darah.
Misalnya, pada saat kadar gula dalam darah tinggi, maka hati dapat mengubah glukosa dalam
darah menjadi glikogen yang kemudian disimpan dalam hati (Glikogenesis), lalu pada saat
kadar gula darah menurun, maka cadangan glikogen di hati atau asam amino dapat diubah
menjadi glukosa dan dilepakan ke dalam darah (glukoneogenesis) hingga pada akhirnya
kadar gula darah dipertahankan untuk tetap normal. Hati juga dapat membantu pemecahan
fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa dan serta glukosa menjadi lemak.
b. Membantu metabolisme lemak
Membantu proses Beta oksidasi, dimana hati mampu menghasilkan asam lemak dari Asetil
Koenzim A. Mengubah kelebihan Asetil Koenzim A menjadi badan keton (Ketogenesis).
Mensintesa lipoprotein-lipoprotein saat transport asam-asam lemak dan kolesterol dari dan ke
dalam sel, mensintesa kolesterol dan fosfolipid juga menghancurkan kolesterol menjadi
garam empedu, serta menyimpan lemak.
c. Membantu metabolisme Protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah dalam deaminasi (mengubah gugus amino,
NH2) asam-asam amino agar dapat digunakan sebagai energi atau diubah menjadi
karbohidrat dan lemak. Mengubah amoniak (NH3) yang merupakan substansi beracun
menjadi urea dan dikeluarkan melalui urin (ammonia dihasilkan saat deaminase dan oleh
15
bakteri-bakteri dalam usus), sintesis dari hampir seluruh protein plasma, seperti alfa dan beta
globulin, albumin, fibrinogen, dan protombin (bersama-sama dengan sel tiang, hati juga
membentuk heparin) dan transaminasi transfer kelompok amino dari asam amino ke substansi
(alfa-keto acid) dan senyawa lain.
d. Menetralisir obat-obatan dan hormon
Hati dapat berfungsi sebagai penetralisir racun, yakni pada obat-obatan seperti penisilin,
ampisilin, erythromisin, dan sulfonamide juga dapat mengubah sifat-sifat kimia atau
mengeluarkan hormon steroid, seperti aldosteron dan estrogen serta tiroksin.
e. Mensekresikan cairan empedu
Bilirubin, yang berasal dari heme pada saat perombakan sel darah merah, diserap oleh hati
dari darah dan dikeluarkan ke empedu. Sebagian besar dari bilirubin di cairan empedu di
metabolisme di usus oleh bakteri-bakteri dan dikeluarkan di feses.
Dalam proses konjugasi yang berlangsung di dalam retikulum endoplasma sel hati tersebut,
mekanisme yang terjadi adalah melekatnya asam glukuronat (secara enzimatik) kepada salah
satu atau kedua gugus asam propionat dari bilirubin. Hasil konjugasi (yang kita sebut sebagai
bilirubin terkonjugasi) ini, sebagian besar berada dalam bentuk diglukuronida (80%), dan
sebagian kecil dalam bentuk monoglukuronida.
Penempelan gugus glukuronida pada gugus propionat terjadi melalui suatu ikatan ester,
sehingga proses yang terjadi disebut proses esterifikasi. Proses esterifikasi tersebut
dikatalisasi oleh suatu enzim yang disebut bilirubin uridin-difosfat glukuronil transferase
(lazimnya disebut enzim glukuronil transferase saja), yang berlokasi di retikulum
endoplasmik sel hati.
Akibat konjugasi tersebut, terjadi perubahan sifat bilirubin. Perbedaan yang paling mencolok
antara bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi adalah sifat kelarutannya dalam air dan
lemak. Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air, tapi mempunyai afinitas
tinggi terhadap lemak. Karena sifat inilah, bilirubin tak terkonjugasi tidak akan diekskresikan
ke urin. Sifat yang sebaliknya terdapat pada bilirubin terkonjugasi.
16
Karena kelarutannya yang tinggi pada lemak, bilirubin tidak terkonjugasi dapat larut di dalam
lapisan lemak dari membran sel. Peningkatan dari bilirubin tidak terkonjugasi dapat
menimbulkan efek yang sangat tidak kita inginkan, berupa kerusakan jaringan otak. Hal ini
terjadi karena otak merupakan jaringan yang banyak mengandung lemak.
f. Mensintesis garam-garam empedu
Garam-garam empedu digunakan oleh usus kecil untuk mengemulsi dan menyerap lemak,
fosfolipid, kolesterol, dan lipoprotein.
g. Sebagai tempat penyimpanan
Selain glikogen, hati juga digunakan sebagai tempat menyimpan vitamin (A, B12, D, E, K)
serta mineral (Fe dan Co). Sel-sel hati terdiri dari sebuah protein yang disebut apoferritin
yang bergabung dengan Fe membentuk Ferritin sehingga Fe dapat disimpan di hati. Fe juga
dapat dilepaskan jika kadarnya didarah turun.
h. Sebagai fagosit
Sel-sel Kupffer’s dari hati mampu memakan sel darah merah dan sel darah putih yang rusak
serta bakteri.
i. Mengaktifkan vitamin D
Hati dan ginjal dapat berpartisipasi dalam mengaktifkan vitamin D.
j. Menghasilkan kolesterol tubuh
Hati menghasilkan sekitar separuh kolesterol tubuh, sisanya berasal dari makanan. Sekitar
80% kolesterol yang dibuat di hati digunakan untuk membuat empedu. Kolesterol merupakan
bagian penting dari setiap selaput sel dan diperlukan untuk membuat hormon-hormon tertentu
(termasuk hormon estrogen, testosteron dan hormonadrenal).
4. FUNGSI KANDUNG EMPEDU
17
Pada orang normal,empedu mengalir ke dalam kandung empedu apabila sfingter oddi
menutup.dalam kandung empedu,empedu menjadi lebih pekat akibat absorsi air.derajat
pemekatan ini di perlihatkan oleh peningkatan konsentrasi zat padat (tab 26-9); 97 %
empedu hati terdiri atas air,sedangkan empedu dari kandung empedu rata-rata mengandung
air sebesar 89%.apabila duktus koledekus dan duktus sistikus dijepit,tekanan intra biliaris
akan meningkat sampai sekitar 320 mm empedu dalam 30 menit,dan sekresi empedu
terhenti.namun,apabila duktus koledekus di jepit dan duktus sistikus dibiarkan terbuka,air
akan di serap di kandung empedu dan tekanan intrabiliaris akan meningkat hanya sampai
sekitar 100 mm empedu dalam beberapa jam.pengasaman empedu adalah salah satu pungsi
lain kandung empedu
Tab 26-9. Perbandingan empedu duktus hepatikus dan empedu kandung empedu manusia
Empedu duktus
hepatikus
Empedu kandung
empedu
Persentase zat padat 2-4 10-12
Garam empedu (mmol/L) 10-20 50-200
Ph 7,8-8,6 7,0-7,4
5. FISIOLOGI BILIRUBIN
Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Keuntungannya
adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan
biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali
dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air.
Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran, bersaing
dengan vitamin E.
Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Perhari bilirubin
dibentuk sekitar 250–350 mg pada seorang dewasa, berasal dari pemecahan hemoglobin,
proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya. Bilirubin dari
jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini
akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya
18
lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi
jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan.
Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid
hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem transport difasilitasi ini
mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan bilirubin akan tergantung pada
kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin berikutnya.
Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut. Hepatosit
akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat diekskresikan dengan mudah
kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang
dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase.
Hati mengandung sedikitnya dua isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat
terutama pada retikulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap,
memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan
membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi
menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua.
Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan
mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis,
seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi.
Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym
bakteri β glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus
menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna.
Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa keginjal
kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine. Sebagian
besar urobilinogen berada pada feses akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk
sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan.
6. GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN
6.1. Hiperbilirubinemia
19
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah melebihi 1 mg/dl.
Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan menyebabkan gejala ikterik atau
jaundice. Ikterik atau jaundice adalah keadaan dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata
menjadi kuning akibat deposisi bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi
didalam darah.
Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan penyebabnya yaitu
hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang berlebih dan
hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah karena
adanya obstruksi bilier.
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan
konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan mengekskresikan lebih dari
3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari.
Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme
meningkat, hati masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut.
Akan tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun
malaria akan menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati
mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah.
Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga
disebut juga dengan ikterik acholuria.
Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya
fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian
hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana
aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini
melampaui kemampuan albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia
pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus.
Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti Syndroma Crigler
Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil transferase tidak aktif,
diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang jarang, dimana didapati
konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl.
20
Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I, karena kerusakan
pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin monoglukoronida terdapat dalam
getah empedu.
Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan uptake bilirubin oleh
hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan secara autosomal
dominan.
Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya obstruksi pada saluran
empedu, misalnya karena tumor, batu, proses peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada duktus
hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi masuknya bilirubin keusus dan
peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika
dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam
urine dan disebut sebagai ikterik choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran
empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Bilirubin terkonjugasi dapat terikat secara
kovalen pada albumin dan membentuk θ bilirubin yang memiliki waktu paruh.
(T1/2) yang panjang mengakibatkan gejala ikterik dapat berlangsung lebih lama dan masih
dijumpai pada masa pemulihan.
Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi adalah Syndroma
Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi karena adanya defek pada sekresi
bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu yang penyebab pastinya belum
diketahui.
Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an organik termasuk
bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab pastinya juga belum dapat
diketahui.
Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti chloroform,
arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga akibat cirhosis.
Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi. Gangguan konjugasi
muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan menyebabkan peningkatan kedua
jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak larut.
Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi bilirubin dan menjadi
preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi tidak pada sindroma Crigler najjar.
21
Phototerapi dengan cahaya dapat merubah bilirubin menjadi lebih polar dan merubahnya
menjadi beberapa isomer yang larut dalam air meskipun tampa konjugasi dengan asam
glukoronida sehingga dapat diekskresikan keempedu. Kasus obstruksi umumnya ditangani
dengan tindakan bedah.
Pemeriksaan laboratorium sebagai petunjuk diagnostik
KLINIS
UROBILINOGEN BILIRUBIN
URINE mg/hari
FESES mg/hari URINE
PLASMAmg/hari
indirect direct NORMAL 0-4 40-280 (-) 0,2-0,7 0,1-0,4 HEPATITIS ↓ ↓ (+) ↑ ↑ HEMOLITIK ↑ ↑ (-) ↑↑ ↑ OBSTRUKSI (-) (-) (+) ↑ ↑↑
6.2. Hiperbilirubinemia Tak Terkonjugasi
1. Hemolisis
Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin, namun peningkatan
konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada
keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL (>51-86
umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun demikian kombinasi hemolisis
yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus yang lebih
berat, dalam keadaan ini hiperbilirubinemia bercampur, karana ekskresi empedu kanalikular
terganggu.
2. Sindrom Gilbert
Gangguan yang barmakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi), yang menjadi
penting secara klinis, karena keadaan ini sering disalah-artikan sebagai penyakit hepatitis
kronis. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk dan
22
ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak
sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tapi bentuk genetika yang pasti belum bisa
dipastikan.
Patogenesisnya belum bisa dipastikan adanya gangguan (defek) yang kompleks dalam
pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5% mg/dL yang cenderung naik
dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya.
Keaktifan enzim glukuroniltransferase rendah; karena mungkin ada hubungan dengan
sindrom crigler-Najjar tipe II. Banyak pasien juga mempunyai massa hidup eritosit yang
berkurang, namun demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia.
Sindrom Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang
normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan.
Hemolisis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histologi hati
normal, namun biopsi hati tidak diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus diyakinkan bahwa
tidak ada penyakit hati.
3. Sindrom Crigler-Najjar
Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh karena adanya keadaan kekurangan
glukoroniltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien dengan penyakit autosom resesif
tipe I (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal
pada usia 1 tahun. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe II (sebagain=parsial)
mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20 mg/dL, <342 umol/L) dan biasanya
bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologik.
Phenobarbital , yang dapat merangsang kekurangan glukoronil transferase, dapat mengurangi
kuning.
6.3. Hiperbilirubinemia Terkonjugasi (direct hiperbilirubinemia)
Klasifikasi dapat kita bagi menjadi :
a. Hiperbilirubinemia Non kolestasis
b. Hiperbilirubinemia Kolestasis
23
A. Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-kolestasis :
1. Sindrom Dubin-Johnson
Merupakan penyakit autosome resesif ditandai ikterus yang ringan dan tanpa keluhan.
Bnayak ditemukan di Timur Tengah pada penduduk Iran Yahudi. Ikterus pada sindrom ini
bersifat kronik, benigna, dan intermitten dengan kenaikan konsentrasi bilirubin direct dan
sedikit bilirubin indirect serta adanya bilirubin didalam urin.
Secara maksroskopik, hati berwarna kitam kehijauan (black-liver jaundice). Secara
mikroskopik terdapat pigmen coklat pada sel hati yang tidak mengandung besi maupun
pigmen empedu. Pigmen ini mungkin melamin.
Tidak ditemukan gejala pruritus, konsentrasi alkali fosfatase dan konsentrasi asam empedu
dalam serum normal. Pada pemeriksaan kolangiografi intravena dan uji BSP ternyata zat
kontras sulit diekskresikan. Pada 40 menit konsentrasi BSP kebanyakan turun ke normal.
Kenaikan terlihat pada menit 120, 180, 240. BSP masih bias dideteksi pada 48 jam kemudian.
Carrier dengan gen yang abnormal ini tidak dapat didiagnosis hanya dengan uji BSP
intravena sederhana.
Pada pasien ini diagnosisnya akan lebih jelas jika hasil uji BSP memanjang. Jumlah
pengeluaran coproporphyrin dalam urin normal, tetapi coproporphyrin 1 sedikit naik.
Sebabnya belum diketahui. Kemungkinan terdapat hubungan antara ekskresi kanalikuler dan
metabolism porfirin atau mungkin juga tidak terdapat hubungan sama sekali antara
keduanya.
Gejala ikterus pada sindrom ini tampak jeals selama hamil atau minum obat kontrasepsi,
karena keduanya mengurangi fungsi ekskresi hati. Tidak ada hubungan antar pigmen hati dan
konsentrasi bilirubin serum. Prognosisnya baik.
2. Sindrom Rotor
Sindrom ini sama dengan bentuk hiperbilirubinemia konjugasi familial kronik. Sindrom ini
mirip dengan sindrom Dubin-Johnson.
24
Perbedaan utamanya adalah tidak ada pigmen coklat di dalam sel hati. Juga berbeda dengan
sindrom Dubin-Johnson karena adanya gambaran opasitas kandung empedu pada
pemeriksaan cholecystography dan tidak ada kenaikan sekunder pada tes BSP. Kelainan yang
menyebabkan retensi BSP lebih disebabkan gangguan ekskresi . jumlah sekresi
coproporphyrin naik seperti pada kolestasis. Proporsi coproporphyrin 1 didalam urin meliputi
65% dari jumlah seluruhnya. Secara mikroskopik terdapat kelainan mitokondria dari
perooksisom. Sindrom ini diturunkan secara autosomal. Prognosisnya sangan baik.
B. Hiperbilirubinemia Direct Kolestasis
1. Kolestasis Intrahepatik
Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus)
sampai ampula vater. Penyebab tersering kolesistasis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan
obat, penyakit hati karena alcohol, dan penyakit hepatitis autoimun. Sedangkan penyebab
kuranng sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma
metastatic dan penyakit-penyakit yang jarang.
Peradangan intrahepatik menganggu transport bilirubinkonjugasi dan menyebabkan ikterus.
Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanisfestasikan dengan adanya ikterus
yang timbul secara akut. Hepatitis B can C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap
awal (akut), tetapi bias berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis
menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga
disertai gejala kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosis salah sebagai penyakit hepatitis
akut.
Alcohol bias mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, dan
mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alcohol secara terus menerus bias menimbulkan
perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati
merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi ringan dan tanpa ikterus,
tetapi kadang-kadang bias menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alcohol iasanya member
gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada
nekrosis sel hati ditandai dengan adanya peningkatan transaminase yang tinggi.
25
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai
kelompok muda teruatama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga kelompok yang lebih
tua bias dikenai. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada system bilier tanpa terlalu
menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis
bilier primer merupakan penyakit hati bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan
paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gata yang sering merupakan
penemuan awal, sedangkan kunign merupakan gejala yang timbul kemudian.
Kolangitis sclerosis primer (Primary Sclerosing Cholangitis/PSC) merupakan penyakit
kolestatik lain , lebih sering dijumpai pada laki-laki.dan sekitar 70% menderita penyakit
peradangan usus. PSC bias menjrus ke kolangi-karsinoma. Banyak obat mempunyai efek
dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti asetaminofen, penisilin, obat kontrasepsi oral,
klorpromazin, dan steroid estrogenic atau metabolic.
2. Kolestasis Ekstrahepatik
Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledukus dan
kanker pancreas. Penyebab lainnya yang relative lebih jarang adalah striktur jinak (operasi
terdahulu) pada duktus koledukus, karsinoma duktus koledukus, pancreatitis, atau pseudocyst
pancreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagaln sekresi empedu.
Mekanisme sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu.
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpenting bilirubin,
garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus
halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan
kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih
sedikit yang bias mencapai saluran usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi
selalu diperkirakan sebagai peyebab keluhan gatal, walaupun sebenarnya hubungannya masih
belum bias diketahui secara pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi
garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasis
yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis), gangguan penyerapan Ca dan vitamin D
dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis atau
osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun
26
sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi dalam darah yang berkurang turut berperan,
konsentrasi trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein
densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X.
Condition Defect Bilirubin Clinical Findings
Crigler-Najjar syndrome severely defective
UDP-glucuronyltransferase
Unconjugated bilirubin ÝÝÝ
Profound jaundice
Gilberts syndrome reduced activity of
UDP-glucuronyltransferase
Unconjugated bilirubin Ý
Very mild jaundice during illnesses
Dubin-Johnson syndrome
abnormal transport of conjugated bilirubin into the biliary system
Conjugated bilirubin ÝÝ
Moderate jaundice
27
KESIMPULAN
Heme adalah senyawa besi porfirin, dimana empat cincin pirol disatukan oleh jembatan
metenil. Delapan rantai samping dari empat cincin pirol dapat berupa gugus asetil, metil, vinil
dan propionil.
Biosintesa cincin heme berlangsung dalam mitokondria dan sitosol melalui delapan tahapan
enzymatik.
Gangguan dalam setiap tahapan enzymatik sintesa heme mengakibatkan kelainan bawaan
yaitu porfiria.
Katabolisme heme menghasilkan senyawa biliverdin yang akan direduksi menjadi bilirubin.
Zat besi pada heme dan asam amino dari globin akan disimpan atau digunakan kembali.
Bilirubin akan diambil oleh sel-sel hati, kemudian dirubah menjadi bentuk larut dan disekresi
kedalam kandung empedu. Kerja enzym bakteri dalam usus terhadap bilirubin akan
membentuk urobilinogen dan urobilin yang kemudian diekskresi dalam feces dan urine.
Kadar bilirubin darah yang meninggi disebut hiperbilirubinemia, menjadi penyebab ikterus.
Kelainan ini dikelompokkan berdasar penyebab prehepatik, hepatik dan posthepatik.
Pengukuran kadar biliribin dalam darah dan urine serta urobilinogen dalam urine dapat
menjadi petunjuk diagnostik dari kelompok penyebab ikterus tersebut.
28
DAFTAR PUSTAKA
Price A Sylvia, patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit
Frandson, RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak IV. Gadjah Mada Press.Yogyakarta.
Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed.11. EGC. Jakarta, 2007.
Champe P C PhD, Harvey R A PhD. Lippincott’s Illustrated Reviews: Biochemistry 2nd
.1994
: 257-264
Lehninger A, Nelson D, Cox M M. Principles of Biochemistry 2nd 1993 : 710-711
Murray R K, et al. Harper’s Biochemistry 25th ed. Appleton & Lange. America 2000 : 359
Stryer L.1995. Biochemistry 4th : 732-735
Bauer C . Douglas,dkk. Pathophysiology of Desease: An Introduction to Clinical
Medicine. 5th Edition. USA: McGraw-Hill’s Companies, 2006.
Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seeff LB. Laboratory medicine practice guidelines, Laboratory guidelines for screening, diagnosis and monitoring hepatic injury. The National Academy of Clinical Biochemistry; 2000.
Marlar RA, Fink LM, Miller JL. Laboratory approach to thrombotic risk. In: Henry’s clinical diagnosis and management by laboratory methods. 21st ed. McPherson RA, Pincus MR. [editor] China: Saunders Elsevier; 2006.
Rodgers GM, Bithell TC. The diagnostic approach to the bleeding disorders. In: Wintrobe’s Clinical Hematology 10th ed. Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer J, Rodgers GM. [editor]. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.
Schmaier AH. Laboratory evaluation of hemostatic and thrombotic disorders. In: Hematology basic principles and practice. 5th ed. Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ, Furie B, Silberstein LE, McGlave P, etc. [editor]. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2009.
29
http://www.pediatrik.com/buletin/06224113752-x0zu6l.doc
http://feylana.wordpress.com/2008/06/21/sel-darah-merah/
30