Berjuang di Pendidikan 2.0

4

Click here to load reader

description

Artikel ini dimuat oleh Media Indonesia, 20 Mei 2013. Namun ada beberapa bagian yang terhapus oleh Redaksi. Ini artikel asli dan disertai catatan kaki.

Transcript of Berjuang di Pendidikan 2.0

Page 1: Berjuang di Pendidikan 2.0

Berjuang di Pendidikan 2.0 @iwanpranoto1

Angka pada usia atau ketuaan adalah keniscayaan, tetapi keterpakuan pada gagasan usanglah yang menakutkan. Terlebih, jika gagasan usang dipaksakan pada kebijakan pendidikan publik, generasi mendatang jelas sedang diancam bahaya.

Pada tanggal 16 Oktober 1996, saat capres Bob Dole dari Partai Republik menantang kursi kepresidenan AS yang dipegang petahana Presiden Bill Clinton, isu perbedaan usia menyeruak. Bob Dole yang merupakan veteran Perang Dunia II berusia jauh di atas Presiden Clinton, yang berasal dari generasi Flower Power atau Daya Bunga. Media ramai mempertanyakan apakah Senator Dole tidak terlalu tua untuk menjadi presiden. Namun, Presiden Clinton menegaskan, “I can only tell you that I don't think Senator Dole is too old to be president. It's the--the age of his ideas that I question.” Keusangan gagasan lah yang harus dipertanyakan.

Gagasan Usang Pemaksaan gagasan usang dan tak sesuai itu juga yang kerap menjadi akar kebanyakan masalah pendidikan nasional. Padahal, syarat kesesuaian antara pendidikan dengan generasi anak sudah diingatkan, antara lain oleh Ali bin Abi Thalib ra: “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya.”

Di ucapan itu terkandung tiga pesan. Pesan pertama mengingatkan bahwa penentu kebijakan pendidikan harus mampu merumuskan kecakapan apa yang dibutuhkan di masa depan, agar dapat membekali para siswa dengan kecakapan tersebut. Dan sebaliknya, agar menghindari membekali siswa dengan kecakapan basi yang tak relevan. Oleh karenanya, menjadi aneh saat mendengar pendapat pembelaan politisi pencetus UN, yang membandingkan soal tahun 1950an dengan soal matematika tahun 2000an. Terlebih lagi saat dikatakan bahwa soal tahun 1950an lebih susah dibanding sekarang. Itu dua disiplin ilmu dan masa yang sangat berbeda. Yang satu namanya pelajaran Berhitung, sedang yang sekarang bernama Matematika. Selain itu, di kehidupan tahun 1950 belum ada kalkulator, sedang sekarang benda itu tersedia dan bahkan mungkin lebih murah dari harga sebungkus nasi. Sebuah zaman, kata Friederich Schiller, tidak dapat dilihat dari perspektif zaman lain.

Matematika kerap dimaknai keliru sebagai keilmuan yang sudah tak berkembang lagi. Memang 3 + 2 tetap 5. Tetapi, kegiatan bermatematika dan peran matematika dalam kehidupan sekarang dibanding 60an tahun lampau jauh berbeda. Sekarang, kemampuan mematematikakan situasi sehari-hari jauh lebih dicari ketimbang berhitung atau menyelesaikan persamaan. Merepotkan siswa dengan perhitungan ruwet nirmakna sudah bukan masanya.

Tampaknya, para politisi pemaksa kebijakan UN ini berupaya dengan segala cara memutarbalikkan arah jarum jam pada siswa. Karena kecakapan basi semata yang diujikan lewat Ujian Nasional, para siswa sekarang jadi menghargai kecakapan berhitung rutin dan berpikir tingkat rendah. Kebijakan sejenis ini

1 Siswa sekaligus guru di pakiwan.com

Page 2: Berjuang di Pendidikan 2.0

telah merusak citra matematika, yang sejatinya merupakan seni berpikir, sekarang menjadi sekedar ketrampilan berhitung. Padahal, seharusnya para siswa sekarang belajar utamanya kecakapan yang tak dapat dikerjakan mesin. Kecakapan berhitung mendasar memang masih harus dipelajari, namun itu bukan yang utama dan satu-satunya.

Pesan kedua menyatakan bahwa penentu kebijakan pendidikan harus paham bagaimana cara siswa sekarang belajar. Perkembangan ilmu syaraf modern membantu memahami bagaimana siswa belajar, dan ini memberi bukti pendukung yang sahih. Siswa di SD kelas 1 sekarang sampai mahasiswa tahun ke-2 di pendidikan tinggi termasuk generasi unik, yang disebut Generasi Z. Mereka belajar dengan cara sangat berbeda dengan gurunya apalagi dengan para penguasa pendidikan. Sudah sadarkah penentu kebijakan pendidikan bahwa warga asli dunia digital ini lebih suka belajar dari mesin, seperti video dan kegiatan interaktif, ketimbang dari manusia langsung?

Jika para guru dan juga orangtua kebanyakan sekarang lahir saat dunia masih bergelimang dengan peralatan analog, seperti telpon kabel tetap, piringan hitam, dan pita magnetik, para siswa sekarang justru lahir saat gelombang digital itu sedang terbit dan merasuki kehidupannya. Sebagian mahasiswa yang akan menjadi guru dua atau tiga tahun lagi ini sejak lahir sudah bernafas di udara digital. Beberapa buku baru telah melaporkan bahwa perubahan kehidupan digital ini mengubah cara mereka belajar serta cara otak mereka bekerja. Khususnya, penggunaan Google dalam proses belajar serta kemudahaannya menemukan informasi, telah membuat anak lebih mengingat bagaimana menemukan informasi itu, ketimbang informasinya2

2 Christina Gossmann, Study Shows Internet Alters Memory: The “Google effect” makes people more likely to remember information they won’t be able to look up later

. Anak lebih mengingat kata kunci yang digunakan untuk mencari infomrasi, ketimbang mengingat informasi yang dimunculkan mesin pencari.

Layaknya semua perubahan, gelombang digital berdampak baik sekaligus buruk. Generasi ini dikatakan sulit konsentrasi dalam waktu yang lama, enggan membaca buku, haus keberhasilan yang seketika, dsb. Tetapi, mereka juga cerdas dan dikenal penggarap tugas-banyak, mengerjakan banyak hal secara bersamaan. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah apakah pembuat kebijakan pendidikan sudah mempertimbangkan ini?

Pesan ketiga mengatakan bahwa ketersediaan metode serta teknologi mutakhir dalam dunia pendidikan harus dimanfaatkan secara optimum. Khususnya, saat sekarang ini, permasalahan utama pendidikan adalah keterbatasan mutu serta penyebaran guru di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Itu adalah permasalahan abad 19 yang masih dihadapi bangsa ini sampai sekarang. Saat menyimak usulan rencana sistem pelatihan tatap muka untuk dapat melayani lebih dari 2,8 juta guru, termasuk di daerah-daerah sulit dijamah pula, membuat dahi berkerut. Ditambah lagi, mana mungkin pelatihan hanya sekali, katakanlah selama dua pekan, langsung dapat membuat guru cakap? Ini layaknya menyelesaikan permasalahan abad 19 dengan cara abad 19. Tentu rumit.

http://slatest.slate.com/posts/2011/07/15/google_memory_change_columbia_science_magazine_recent_study_reve.html

Page 3: Berjuang di Pendidikan 2.0

Namun, jika permasalahan tersebut dikaji menggunakan ketersediaan peralatan dan teknologi mutakhir, sebenarnya sederhana dan relatif mudah. Penerapan perlatihan nirdinding dan nirkabel akan mampu melayani pengembangan profesi para guru di pelosok. Penggunaan ponsel dan ponsel cerdas, harus dimanfaatkan dalam upaya pengembangan profesi para guru ini. Lewat pesan pendek, video sekitar lima menitan, dan forum berbagi guru, upaya peningkatan kecakapan guru mengajar dapat dilakukan secara lebih rutin, seperti mingguan.

Kampanye Kurikulum 2013 lewat SMS sudah gencar dilakukan. Mengapa justru tak memanfaatkan cara ini untuk melatih guru? Ketimbang uang pajak dan keringat rakyat dihabiskan untuk kampanye politik seperti itu, mengapa tak langsung saja melatihkan cara membelajarkan Bahasa Indonesia, Fisika, Sejarah, dsb lewat SMS? Ini era digital baru!

Pendidikan 2.0 Dalam dunia teknologi informasi, Internet 2.0 ditandai dengan keadaan saat masyarakat bukan lagi sebagai penyerap informasi pasif belaka, tetapi juga sebagai sumber informasi. Jaring sosial semacam Facebook, Twitter, YouTube, Slideshare, Wikis, dsb merupakan ilustrasi yang tepat atas esensi Internet 2.0. Berbagai situs ini sebenarnya tak menguasai informasi, tetapi penggunanya justru yang membagikan informasinya.

Analoginya, jika di Pendidikan 1.0 siswa menyerap pengetahuan dari guru, di Pendidikan 2.0 siswa saling membagikan pengetahuannya. Dengan ketersediaan jaringan Internet, Pendidikan 2.0 ini sangat cepat menjamur dan mewabah ke seluruh penjuru dunia. Guru dan siswa sekarang saling mengembangkan ilmu pengetahuan.

Yang tadinya guru menentukan siapa siswanya, dalam Pendidikan 2.0 justru siswa menentukan ingin belajar dengan siapa gurunya. Ini seperti Era Yunani kuno dan tradisi pesantren. Di era Pendidikan 2.0 ini, setiap warga dunia maya dapat belajar dengan guru terbaik yang ada. Sangat jamak jika sekarang warga yang tinggal di pelosok Kalimantan dapat belajar langsung dengan Prof. Sebastian Thrun yang pakar kecerdasan buatan atau Prof. Keith Devlin yang pakar matematika. Gratis. Oleh karenanya, sekarang tinggal diperlukan kolaborasi Balitbang Kemendikbud, Pustekkom, berbagai QITEP bersama Kemenkominfo guna menyediakan sarana listrik dan Internet untuk daerah terpencil, agar Pendidikan 2.0 dapat dinikmati setiap warga. Peran utama Kemendikbud adalah pompa, bukan filter, bukan seperti kebijakan UN itu.

Di Pendidikan 2.0, siswa menentukan subjek apa dan kapan dia mau pelajari. Akibatnya, persekolahan formal bukan satu-satunya tempat belajar lagi. Akibatnya pula, makhluk bernama kurikulum nasional – untuk negara seluas Indonesia serta saat layanan pendidikan yang sangat tak merata – menjadi suatu gagasan yang sangat tak relevan, jika tak mau dikatakan usang. Dalam buku The New Digital Age (Schmidt dan Cohen, 2013) difirmankan kurang-lebih sebuah berita gembira: “Siswa yang terpaksa berada dalam sistem sekolah dengan kurikulum dangkal atau hanya mengajarkan kecakapan menghafal, akan terselamatkan, karena sekarang akan memiliki peluang belajar di dunia maya yang mendorong penjelajahan keingintahuan dan berpikir kritis.”

Page 4: Berjuang di Pendidikan 2.0

Segera perlu dikampanyekan gerakan agar tiap warga saling menularkan virus hasrat membangun jaringan belajar mandiri. Mari berjuang dan belajar dengan menjadi guru, murid, bahkan pelatih guru di Pendidikan 2.0. Perjuangan tanpa penyorak ini sudah lahir. Masing-masing kita segera membangun jaringan belajar, menjadi guru pejuang di Pendidikan 2.0. Masa depan republik di tangan kita warga, bukan Kurikulum 2013.

Dengan berselancar pada gelombang digital baru, nyalakan gagasan kemerdekaan di benak setiap anak republik.