bahas UAS Pengelolaan DAS.docx

35
Pengelolaan DAS I. PENDAHULUAN 1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan DAS 1.2. Manfaat Pengelolaan DAS 1.3. Pengertian Pembangunan yang Berkelanjutan 1.4. Keterkaitan Pengelolaan DAS dan Pembangunan yang Berkelanjutan Pustaka : Asdak, 2002 (ch. I) II. KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN SOSIAL EKONOMI DAS 2.1. Pembagian Spasial Daerah Aliran Sungai (Hulu, Tengah dan Hilir) 2.2. Pengertian Komponen-Komponen Biologi, Fisik dan Sosial-Ekonomi DAS 2.3. Karakteristik Biofisik dan Sosial Ekonomi DAS Hulu, Tengah dan Hilir Pustaka : Asdak, 2002 (ch. I, X) Brooks et al, 1989 (ch. I) III. EKOSISTEM DAS 3.1. Pengertian Ekologi dan Ekosistem DAS 3.2. Komponen-komponen dan Keterkaitan Ekosistem DAS 3.3. Dampak Interaksi Antar Komponen DAS (Hulu, Hilir) Pustaka : Asdak, 2002 (ch. I, X) Brooks et al, 1989 (ch. I) Easter et. al, 1986 IV. PENGANTAR EKONOMI LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN DAS 4.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Ekonomi Lingkungan DAS 4.2. Penentuan Nilai (Valuasi) Lingkungan 4.3. Konsep Externaltities dalam Pengelolaan DAS Pustaka : Djajadiningrat, 1997 (ch. 1, II, V) Suparmoko,2000 (ch. VI, X V. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN DAS 5.1. Pengertian Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengelolaan DAS 5.2. Proses dan Bentuk Partisipasi Masyarakat 5.3. Partisipasi dan Kemitraan dalam Pengelolaan SDA 5.4. Kendala terhadap Partisipasi Masyarakat Pustaka : Mitchell,1997. (ch. VII, VIII) VI. PENGELOLAAN VEGETASI DAN REGIM AIR (KUANTITAS) 6.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan Vegetasi dan Regim Air 6.2. Karakteristik Vegetasi dan Kaitannya dengan Perubahan Debit Aliran 6.3. Pengelolaan Vegetasi untuk Hasil Air (water yield) Pustaka : Asdak, 2002 (ch. VIII) Brooks et. al, 1989 (ch.V)

Transcript of bahas UAS Pengelolaan DAS.docx

Pengelolaan DAS

I. PENDAHULUAN1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan DAS1.2. Manfaat Pengelolaan DAS1.3. Pengertian Pembangunan yang Berkelanjutan1.4. Keterkaitan Pengelolaan DAS dan Pembangunan yang BerkelanjutanPustaka :Asdak, 2002 (ch. I)

II. KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN SOSIAL EKONOMI DAS2.1. Pembagian Spasial Daerah Aliran Sungai (Hulu, Tengah dan Hilir)2.2. Pengertian Komponen-Komponen Biologi, Fisik dan Sosial-Ekonomi DAS2.3. Karakteristik Biofisik dan Sosial Ekonomi DAS Hulu, Tengah dan HilirPustaka :Asdak, 2002 (ch. I, X)Brooks et al, 1989 (ch. I)

III. EKOSISTEM DAS3.1. Pengertian Ekologi dan Ekosistem DAS3.2. Komponen-komponen dan Keterkaitan Ekosistem DAS3.3. Dampak Interaksi Antar Komponen DAS (Hulu, Hilir)Pustaka :Asdak, 2002 (ch. I, X)Brooks et al, 1989 (ch. I)Easter et. al, 1986

IV. PENGANTAR EKONOMI LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN DAS4.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Ekonomi Lingkungan DAS4.2. Penentuan Nilai (Valuasi) Lingkungan4.3. Konsep Externaltities dalam Pengelolaan DASPustaka :Djajadiningrat, 1997 (ch. 1, II, V)Suparmoko,2000 (ch. VI, X

V. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN DAS5.1. Pengertian Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengelolaan DAS5.2. Proses dan Bentuk Partisipasi Masyarakat5.3. Partisipasi dan Kemitraan dalam Pengelolaan SDA5.4. Kendala terhadap Partisipasi MasyarakatPustaka :Mitchell,1997. (ch. VII, VIII)

VI. PENGELOLAAN VEGETASI DAN REGIM AIR (KUANTITAS)6.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan Vegetasi dan Regim Air6.2. Karakteristik Vegetasi dan Kaitannya dengan Perubahan Debit Aliran6.3. Pengelolaan Vegetasi untuk Hasil Air (water yield)Pustaka :Asdak, 2002 (ch. VIII)Brooks et. al, 1989 (ch.V)

VII. PENGELOLAAN VEGETASI DAN KUALITAS AIR7.1. Ruang Lingkup Kualitas Air dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Vegetasi7.2. Karakteristik Alamiah Sungai/Perairan7.3. Pengelolaan Vegetasi dan Erosi/Unsur Hara/SedimentasiPustaka :Asdak, 2002 (ch. IX)Brooks et, al , 1989 (ch. IX)

VIII. PENGELOLAAN DAS DAN ISU INGKUNGAN (LOKAL, NASIONAL DAN GLOBAL)8.1. Isu Hutan dan Perubahan Pola Curah Hujan8.2. Isu Hutan dan Banjir/Kekeringan8.3. Isu Hutan dan Perubahan Iklim (Pemanasan Global)8.4. Isu Hutan dan Keanekaan HayatiPustaka :Asdak, 2002 (ch. VIII)

IX. EROSI DAN SEDIMENTASI9.1. Proses dan Mekanisme Erosi dan Sedimentasi9.2. Bentuk-Bentuk Erosi dan Penyebabnya9.3. Pengukuran dan Prakiraan Besarnya Erosi dan Sedimentasi9.4. Erosi sebagai Indikator Keterkaitan Daerah Hulu (on site) dan Daerah Hilir (off site)Pustaka :Asdak, 2002 (ch. VII,X)Brooks et, al, 1989 (ch.VI, VII, VIII)

X. SUMBERDAYA ALAM DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN10.1. Pengertian (Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung Lingkungan10.2. Prakiraan Daya Dukung Lingkungan (Pertanian)10.3. Keterkaitan Pengelolaan DAS dan Daya Dukung LingkunganPustaka :Anonim (1985)

XI. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN TERPADU DAS11.1. Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Pengelolaan Terpadu DAS11.2. Landasan Filosofis Pengelolaan Terpadu DAS11.3. Konsep dan Prinsip Pengelolaan Terpadu DAS11.4. Kendala Implementasi Progra Pengelolaan DASPustaka :Asdak, 2002 (ch. X)Brooks et, al, 1989 (ch. V, VIII)

XII. MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN DAS12.1. Pengertian, Tujuan dan RuangLingkup Monev12.2. Hubungan Kausalitas Program dan Dampak Program12.3. Monev sebagai Alat Perbaikan Perencanaan Pengelolaan DASPustaka :Asdak, 2002 (ch. X)Brooks et. al, 1989 (ch. IX)

I. PENDAHULUAN

Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut disebut daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.

(1a)

(1b)

Gambar 1a & 1b. Skema Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Mempunyai arti sebagai pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS.

Manfaat Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS diharapkan dapat memberikan kerangka kerja kearah tercapainya pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan DAS dapat memberikan suatu kerangka kerja yang praktis dan logis serta menunjukkan mekanisme kerja yang jelas untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan kompleks yang timbul oleh adanya kegiatan pembangunan yang menggunakan sumberdaya alam sebagai masukannya.

Pengertian Pembangunan yang Berkelanjutan

Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keterlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumberdaya alam, dengan demikian adalah juga merupakan keterlanjutan keberadaan dan layanan lingkungan (ecological service) bagi kehidupan manusia. Keterlanjutan pemanfaatan dan pencagaran sumberdaya aalam didefinisikan sebagai suatu proses perubahan dimana kesinambungan pemanfaatan dan pencagaran sumberdaya alam, arah investasi pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan kelembagaan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam tersebut konsisten dengan sasaran pemanfaatan saat ini dan dimasa yang akan datang.

Pembangunan Berkelanjutan (yang Berwawasan Lingkungan) didefinisikan sebagai proses pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia masa kini dengan tanpa mengabaikan kebutuhan generasi masa datang (KTT Bumi, 1992).

Dalam bahasa lain, pembangunan dikatakan berkelanjutan apabila : development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.

Keterkaitan Pengelolaan DAS dan Pembangunan yang Berkelanjutan

Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) saat ini sedang menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam konteks Daerah Aliran Sungai, pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai apabila perangkat kebijakan yang akan diterapkan pada pengelolaan DAS telah mempertimbangkan beberapa hal dibawah ini :

1. Pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air merupakan alat untuk tercapainya pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan.

2. Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memadai (pada skala DAS) telah menyebabkan degradasi tanah dan air, dan pada gilirannya menurunkan tingkat kemakmuran rakyat pedesaan

3. Penyebab utama tidak memadainya cara pengelolaan sumberdaya alam tersebut diatas seringkali berkaitan dengan kurangnya pemahaman keterkaitan biofisik antara daerah hulu-hilir DAS sehingga produk kebijaksanaan yang dihasilkan tidak atau kurang memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan DAS.

4. Adanya ketidaksesuaian antara batas alamiah (ekologi) dan batas administrative (politik) suatu DAS seringkali menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan DAS yang komprehensif dan efektif. Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS yang cukup mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara dua sisi pandang tersebut diatas.

5. Oleh karenanya, kebijakan pengelolaan DAS yang perlu dibuat dan dilaksanakan, antara lain, yang mendorong semua actor yang terlibat dalam aktifitas pengelolaan sumberdaya alam pada skala DAS saling menyadari dampak apa yang akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian dapat dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan perbaikan yang diperlukan dapat segera dilaksanakan.

Pustaka :

Asdak, 2002 (ch. I)

II. KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN SOSEK DAS

Pembagian Spasial Daerah Aliran Sungai (Hulu, Tengah dan Hilir)

Secara keruangan, karakteristik DAS dapat diklasifikasikan menjadi 3 wilayah, yaitu daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir. Tiap keruangan dari DAS tersebut mempunyai karakteristik dan fungsi yang berbeda, sehingga dalam usaha pengelolaan dan pemanfaatannya pun akan berbeda. Daerah hulu dari suatu DAS berfungsi sebagai kawasan lindung dan tangkapan air bagi keseluruhan wilayah DAS. Daerah tengah dari suatu DAS berfungsi sebagai kawasan penyangga, sedangkan daerah hilir dari suatu DAS berfungsi sebagai kawasa budidaya.

Pengertian Komponen-Komponen Biologi, Fisik dan Sosial-Ekonomi DAS

Daerah Aliran Sungai merupakan megasistem kompleks yang terbangun atas sistem fisik, sistem biologis dan sistem manusia, dan setiap sub sistem saling berinteraksi (Kartodihardjo, 2005). Unsur penyusun sistem di dalam DAS tersebut antara lain berupa sumberdaya alam seperti tanah, vegetasi dan air, umumnya menjadi obyek atau sasaran fisik alamiah, sedangkan manusia menjadi subyek atau pelaku pendayagunaan unsur-unsur tersebut (Murtilaksono, 1987). Pendayagunaan salah satu atau beberapa unsur/komponen akan mempengaruhi komponen lainnya di dalam DAS dan dapat menimbulkan perubahan dari keadaan alaminya sehingga terjadi gangguan keseimbangan atau gangguan ekologis yang menunjukkan terjadinya degradasi DAS. Hidrologi adalah indikator yang sangat signifikan untuk mengetahui adanya degradasi DAS seperti terjadinya erosi, longsor dan sedimentasi serta distribusi aliran yang tidak seimbang/merata (timbulnya banjir dan kekeringan).

DAS sebagai suatu sistem biofisik lahan memiliki fungsi produksi, fungsi ekologi, fungsi habitat, fungsi estetika, dan sebagainya. Fungsi produksi DAS tidak hanya berupa produk hasil budidaya lahan, akan tetapi juga berupa air, suatu sumber daya mengalir dengan berbagai manfaatnya bagi manusia dan lingkungannya. Pemanfaatan sumber daya air umumnya telah begitu meluas sejalan dengan sejarah peradaban manusia, dan pada tingkat lokal tertentu manfaat air tentunya sesuai dengan kondisi spesifik lokasi.

Komponen-komponen karakteristik fisik DAS yang perlu dicermati dalam kegiatan pengelolaan DAS antara lain adalah kondisi iklim, kondisi germorphologi dan kondisi hidrologi dalam kawasan DAS tersebut.

Sementara komponen biologi yang harus diperhatikan adalah kondisi tingkatan ekologi pada DAS tersebut yang meliputi :

Species (organism level) - An organism which has certain characteristics of a given population and is potentially capable of breeding with the same population defines a member of a species. This definition does not apply to asexually reproducing forms of life such as Monera, Protista, etc. Species can be considered the lowest (most specific) area of biological classification, but lower groupings are sometimes employed (e.g., subspecies, variety, race).

Population - This term applies to organisms of the same species which inhabit a specific area.

Community - A community is an aggregate of populations of different plant and animal species occurring within a given area.

Habitat - A habitat is an area where a specific animal or plant is capable of living and growing; usually characterized by physical features, or the presence of certain animals or plants.

Niche - This term applies to an organism's physical location and, most importantly, functional role (much like an occupation; what the organism specifically does) within an ecosystem.

Ecosystem - As defined previously, a functioning natural unit with interacting biotic and abiotic components in a system whose boundaries are determined by the cycles and flux of energy, materials and organisms.

Ecotone - An ecotone is a boundary ecosystem, specifically the ecosystem which forms as a transition between two adjacent systems. It may possess characteristics of both bordering ecosystems, while developing a suite of its own characteristics. Examples: Riparian zones, coastal forests.

Biosphere - This is the surface zone of the planet earth, extending from within the earth's crust up into the atmosphere, within which all known l ife forms exist.

Selain kondisi biofisik DAS yang juga harus diperhatikan adalah kondisi sosial ekonomi pada DAS yang harus dipelajari meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, kepadatan agraris, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, tingakat pendapatan, kondisi social dan kelembagaan yang ada, serta kebijakan/peraturan/norma yang berlaku kaitannya dengan pemanfaatan

Karakteristik Biofisik dan Sosial Ekonomi DAS Hulu, Tengah dan Hilir

Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Berdasarkan fungsinya pembagian DAS bagian hulu DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Karakteristik social ekonomi masyarakat daerah hulu adalah berupa masyarakat petani lahan kering.

Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS Hulu dan DAS Hilir. DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Masyarakat yang berada di bagian tengah memiliki pola social ekonomi transisi dari petani lahan kering ke pertanian irigasi teknis dan petani ikan darat.

Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut. DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Didaerah hilir didominasi oleh petani nelayan.

Pustaka :

Asdak, 2002 (ch. I, X)

Brooks et al, 1989 (ch. I)

III. EKOSISTEM DAS

Pengertian Ekologi dan Ekosistem DAS

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapatlah dianggap sebagai suatu ekosistem.

Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang berdiri sendiri, melainkan ia mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya, bila hubungan timbal-balik antar komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis. Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem yang tidak seimbang (Odum, 1972).

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistik dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujutnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Komponen-komponen dan Keterkaitan Ekosistem DAS

Sistem ekologi DAS bagian hulu pada umumnya dapat dipandang sebagai suatu ekosistem pedesaan (Soemarwoto, 1982). Ekosistem ini terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan. Gambar 1.3 menunjukkan eratnya interaksi timbal-balik antar komponen-komponen lingkungan DAS. Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya, di DAS tengah ada komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah pantai dijumpai adanya komponen lingkungan hutan bakau.

Gambar 3.1 menunjukkan bahwa oleh adanya hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen yang lain. Perubahan komponen-komponen tersebut pada gilirannya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi di daerah tersebut. Untuk memberikan ilustrasi adanya interaksi timbal-balik antar komponen dalam sistem ekologi, berikut ini adalah uraian yang diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang interaksi yang terjadi di lingkungan DAS.

Masalah degradasi lingkungan yang sering terjadi akhir-akhir ini berpangkal pada komponen desa. Pertumbuhan manusia yang cepat menyebabkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan lahan pertanian tidak seimbang. Hal ini telah menyebabkan pemilikan lahan pertanian menjadi semakin sempit. Keterbatasan lapangan kerja dan kendala ketrampilan yang terbatas telah menyebabkan kecilnya pendapatan petani. Keadaan tersebut di atas seringkali mendorong sebagian petani untuk merambah hutan dan lahan tidak produktif lainnya sebagai lahan pertanian. Lahan yang kebanyakan marjinal apabila diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor. Meningkatnya erosi dan tanah longsor di daerah tangkapan air pada gilirannya akan meningkatkan muatan sedimen di sungai bagian hilir. Demikian juga, perambahan hutan untuk kegiatan pertanian telah meningkatkan koefisien air larian, yaitu meningkatkan jumlah air hujan yang menjadi air larian, dan dengan demikian, meningkatkan debit sungai. Perambahan hutan juga menyebabkan hilangnya seresah dan humus yang dapat menyerap air hujan. Dalam skala besar, dampak kejadian tersebut di atas adalah terjadi gangguan perilaku aliran sungai, pada musim hujan debit air sungai meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air sangat rendah. Dengan demikian, risiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat.

Gambar 3.1. Komponen-Komponen Ekosistem DAS Hulu

Dampak Interaksi Antar Komponen DAS (Hulu, Hilir)

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain, dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Keterkaitan biofisik antara daerah hulu dan hilir suatu DAS dapat ditunjukkan seperti tersebut pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 menunjukkan bahwa aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tataguna lahan dan/atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak hanya akan memberikan dampak di daerah dimana kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya. Sebagai contoh, erosi yang terjadi di daerah hulu akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air atau akibat pembuatan jalan yang tidak direncanakan dengan baik, tidak hanya memberikan dampak di daerah dimana erosi tersebut berlangsung (a.l. penurunan produktivitas lahan), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk dan/atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi yang pada gilirannya dapat meningkatkan risiko banjir, menurunkan luas lahan irigasi atau bahkan mengganggu jalannya operasi listrik tenaga air.

Gambar 3.2. Hubungan biofisik antara daerah hulu dan hilir suatu DAS

Contoh keterkaitan biogeofisik antara daerah hulu-hilir suatu DAS juga dapat ditunjukkan dengan mengacu pada Gambar 3.2. Kegiatan reboisasi (penanaman pohon) dalam luasan tertentu misalnya, dapat menurunkan hasil air (water yield), akan tetapi kegiatan tersebut dapat meningkatkan kualitas air permukaan, dan terutama air tanah. Sedangkan aktivitas pembalakan hutan (logging) atau deforestasi (pengurangan areal tegakan hutan) yang dilakukan di daerah hulu DAS, dalam luasan tertentu, juga dapat memberi dampak dalam bentuk meningkatnya hasil air. Kegiatan pembalakan hutan juga meningkatkan terjadinya erosi karena terjadinya pembukaan permukaan tanah, dan terutama oleh aktivitas-aktivitas pendukungnya seperti pembuatan jalan sarad (skid-trail) dan jalan-jalan angkutan lainnya. Gambar 3.2 juga menunjukkan bahwa cara bercocok tanam yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi di daerah hulu akan meningkatkan erosi yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas lahan pertanian. Demikian juga aktivitas pembuatan jalan hutan yang dilakukan tanpa mengenali tempat-tempat yang rentan terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor seringkali menjadi sumber utama transpor sedimen yang berasal dari kegiatan pembalakan hutan. Kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan di daerah hulu tersebut akan menimbulkan dampak terhadap DAS bagian tengah dalam bentuk penurunan kapasitas simpan waduk yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas air irigasi. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa secara biofisik daerah hulu dan hilir DAS mempunyai keterkaitan. Oleh adanya keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS inilah yang kemudian dijadikan landasan untuk memanfaatkan DAS sebagai satuan perencanaan dan evaluasi yang logis terhadap pelaksanaan program-program pengelolaan DAS. Dengan argumentasi yang sama, adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu-hilir suatu DAS dapat dijadikan landasan perlunya satu perencanaan DAS terpadu (terpadu dalam hal program, kelembagaan, dan daerah kajian, yaitu daerah hulu-hilir DAS yang bersangkutan). Kerangka berfikir untuk selalu menelaah permasalahan yang berlangsung di daerah aliran sungai dalam konteks interaksi daerah hulu dan hilir suatu DAS akan selalu diupayakan dalam buku ini. Dengan kata lain, pendekatan ekosistem DAS akan dijadikan sebagai alternatif dalam memahami dan mengusahakan terwujutnya pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam yang terlanjutkan.

Pustaka :

Asdak, 2002 (ch. I, X)

Brooks et al, 1989 (ch. I)

Easter et. al, 1986

IV. PENGANTAR EKONOMI LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN DAS

Pengertian dan Ruang Lingkup Ekonomi Lingkungan DAS

Pembangunan dalam kacamataekonomi berarti peningkatan kesejahteaan material manusia melalui peningkatan konsumsi berbagai barang dan jasa. Peningkatan kesejahteraan non material yang juga merupakan bagian dari konsep pembangunan Indonesia berada di luar jangkauan teori ekonomi konvensional. Untuk dapat meningkatkan konsumsi material manusia harus meningkatkan pendapatnnya melalui peningkatan produksi, yaitu pemanfaatan segaa sumberdaya seperti tenaga kerja, keahlian, tanah, modal dan kewirausahaan untukmenghasilkan lebih banyak barang dan jasa. Sedangakan pembangunan berkenjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendapatng untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Oleh karena itu kemampuan sumberdaya-sumberdaya alam dan lingkungan dalam meneropong proses masa depan perlu dilestarikan.

Dalam kegiatan ekonomi suatu masyarakat yaitu kegiatan mengkonsumsi dan memproduksibarang dan jasa, teori ekonomi menempatkan manusia mada dua peran. Pertama sebagai actor atau pelaku kegiatan ekonomi, yaitu pihak yang melakukan kegiatan konsumsi atau kegiatan produksi. Kedua sebagai incident atau pihak yang terkena pengaruh kegatan ekonomi. Pengaruh ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dari sisi lain, kedua pengaruh tadi, baik yang langsung maupun tidak langsung. Dari sisi lain, kedua pengaruh tadi, baik yang langsung maupun tidak langsung dapat bersifat positif atau negative. Positif, jika meningkatkan kesejahteraan manusia yang terena dampak negative, jika menurunkan kesejahteraan pihak yang terkena.

Karena ekonomi merupakan system terbuka, maka ketiga proses dasarnya (ekstraksi, prosesing/fabrikasi, dan konsumsi) masing-masing menghasilkan residual (limbah) yang akhirnya kembali ke lingkungan. Terlalu banyak di tempat dan pada waktu yang salah (terlalu lama) akan menyebabkan perubahan biologis dan perubahan lainnya (kontaminasi) yang selanjutnya dapat mengganggu atau merusak tanaman/hewan dan ekosistemnya (pencemaran). Jika kerusakan tersebut selanjutnya berpengaruh negative terhadap kesejahteraan manusia, maka hal ini memenuhi batasan ekonomi pencemaran. Batasan ekonomi dari pencemaran mensyaratkan dua hal, yaitu terjadinya pengaruh fisik terhadap lingkungan dan reaksi manusia terhadap pengaruh fisik yang bersangkutan. Dalam bahasan ekonomi, telah terjadi kerugian (berkurang kesejahteran) yang tidak dikompensasi, karena adanya biaya eksternal yang berkaitan dengan disposal limbah ke media lingkungan, yang melahirkan biaya social yang harus ditanggung masyarakat.

Penentuan Nilai (Valuasi) Lingkungan

Perubahan penggunaan lahan dalam dekade terakhir ini sangat cepat, terutama dari pertanian menjadi non pertanian. Perubahan ini berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Pada sisi lain, perubahan ini berdampak pada perubahan manfaat yang dapat diperoleh oleh perorangan maupun masyarakat. Manfaat yang dapat diperoleh dari barang dan jasa lingkungan sangat terbatas karena adanya keterbatasan dalam nilai barang dan jasa lingkungan (Bonnieux dan Goffe, 1997). Ini menjadi salah satu sebab fungsi lingkungan tidak dihitung dan diabaikan dalam pengambilan kebijakan.

Pengelolaan lingkungan dapat dicapai dengan menerapkan ekonomi lingkungan sebagai instrumen yang mengatur alokasi sumberdaya secara rasional (Steer, 1995). Kebijakan lingkungan banyak dipengaruhi oleh ekonomi lingkungan. Kebijakan mengurangi suatu dampak lingkungan akan dipengaruhi oleh perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurangi (preventif) atau memperbaiki dan manfaat yang akan diperoleh kemudian (Spash, 1997). Preventif dipahami sebagai perlakuan sebelum terjadinya dampak (ex-ante) sedangkan perbaikan merupakan perlakuan setelah dampak terjadi (ex-post). Penilaian manfaat lingkungan secara ekonomis dengan sangat kecil atau sangat besar harus ditinggalkan dan barang dan jasa lingkungan harus dinilai keuntungannya secara finansial (Barbier, 1995)

Konsep Externalities dalam Pengelolaan DAS

Eksternalitas terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas dalam biaya inilah yang disebut pula sebagai biaya social. Perbincangan mengenai biaya social ini sesungguhnya berkaita dengan masalah pencemaran lingkungan yang sebagai akibatnya adalah kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap sebagai biaya pembangunan ekonomi.

Biaya eksternalitas juga timbul dengan adanya penebangan hutan, karena banyak pengusaha telah menebang tanpa memperhatikan aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga membahayakan kelangsungan pembangunan berhubungan dengan jumlah kayu yang dipasok ke industri kayu dikhawatirkan semakin menurun jumlahnya. Dengan penebangan hutan akan hancur pula sumber plasma nutfah dan meningkatkan laju erosi dan resiko banjir. Pada gilirannya erosi dan banjir akan mengahncurkan kesuburan tanah, memperpendek umur waduk, mendangkalkan saluran irigasi, dan merusak tanaman. Setiap kegiatan itu memiliki biaya yang harus dibayar sendiri (internal cost), ternyata juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain (external cost). Oleh sebab itu biaya lingkungan itu nyata dan harus dipertmbangkan dalam kegiatan pembangunan.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Soemarwoto (1989) bahwa dalam dunia yang fana itu tidak ada yang gratis. Apabila seseorang ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar, pasti ada orang lain yang harus membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap menguntungkan. Contohnya bila ada orang yang membuang limbah ke sungai; pada hakekatnya ia menggunakan sungai untuk untuk mengangkut limbah secara gratis. Namun ornag lain yang harus memikul biaya pengangkutan limbah yaitu dalam bentuk penurunan hasil ikan atau biaya penjernihan air minum yang lebih tinggi yang harus dikeluarkan PAM.

Dampak yang dituju oleh kegiatan ekonomi tetapi dirasakan pihak selain pelaku tersebut disebut eksternalitas (externalities). Konsumen dan produsen tidak memasukkan eksternalitas ini, baik yang positif maupun negative, sebagai keuntungan atau biaya dari kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dikenal istilah eksternalitas ekonomi (ecomonic externalities), eksternalitas ekologi (ecological externalities) dan eksternalitas social (social externalities). Selain itu, teori ekonomi juga menawarkan alternative bagi pengolahan imbas-pengeruh kegiatan ekonomi (impact and incident), juga mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai actor atau pelaku kegiatan ekonomi.

Pustaka :

Djajadiningrat, 1997 (ch. 1, II, V)

Suparmoko,2000 (ch. VI, X

V. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN DAS

Pengertian Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumberdaya yang menyangkut berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda-beda, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak pihak, tidak semata mata oleh pelaksana langsung di lapangan tetapi oleh pihak-pihak yang berperan dari tahapan perencanaan, monitoring sampai dengan evaluasinya.

Masyarakat merupakan unsur pelaku utama, sedangkan pemerintah sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang direpresentasikan oleh instansi-intansi sektoral Pusat dan Daerah yang terkait dengan Pengelolaan DAS. Stakeholder Pemerintah yang dapat berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan DAS antara lain : Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Departemen Kehutanan terutama berperan dalam penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi DAS. Departemen Pekerjaan Umum berperan dalam pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang. Departemen Dalam Negeri berperan dalam pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah. Departemen Pertanian berperan dalam pembinaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian dan irigasi. Departemen ESDM berperan dalam pengaturan air tanah, rehabilitasi/ reklamasi kawasan tambang. Departemen Perikanan dan Kelautan berperan dalam pengelolaan sumberdaya perairan, sedangkan KLH dan Departemen Kesehatan berperan dalam pengendalian kualitas lingkungan.

Pemerintah Daerah Propinsi berperan sebagai koordintor/fasilitator/ regulator/supervisor untuk pengelolaan DAS yang lintas Kabupaten/Kota sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota beserta instansi teknis terkait di dalamnya berperan sebagai koordinator/fasilitator/regulator/supervisor Pengelolaan DAS di wilayah Kabupaten/Kota serta dapat berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan-kegiatan tertentu.

Pihak-pihak lain yang mendukung keberhasilan pengelolaan DAS antara lain: unsur legislatif, yudikatif, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, LSM dan Lembaga Donor. Dengan demikian dalam satu wilayah DAS akan terdapat banyak pihak dengan masing-masing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggung jawab yang berbeda, sehingga tidak mungkin dikoordinasikan dan dikendalikan dalam satu garis komando. Oleh karena itu koordinasi yang dikembangkan adalah dengan mendasarkan pada hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan.

Diantara para pihak yang terlibat harus dikembangkan prinsip saling mempercayai, keterbukaan, tanggung jawab, dan saling membutuhkan. Dengan demikian dalam pelaksanaan pengelolaan DAS terpadu ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana, dan bagaimana). Batas satuan wilayah DAS tidak selalu bertepatan (co-incide) dengan batas unit administrasi pemerintahan, sehingga koordinasi dan integrasi antar pemerintahan otonom, instansi sektoral dan pihak-pihak terkait lainnya menjadi sangat penting.

Prinsip dasar dalam penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu adalah mekanisme penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Begitu pula pada kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya. Memelihara partisipasi untuk menjaga keterpaduan agar tetap efektif dapat dilakukan dengan membentuk forum koordinasi pengelolaan DAS atau memberdayakan forum sejenis yang telah ada. Pada wilayah yang belum memiliki forum koordinasi, inisiasi pembentukan forum dapat dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS di wilayahnya. Forum komunikasi yang dibentuk harus merepresentasikan stakeholders yang ada di wilayah DAS dari hulu sampai hilir, seperti unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak, harus membangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Forum DAS diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

Secara sederhana partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai upaya terencana untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Partisipasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana pihak yang akan memperoleh dampak (positif dan/atau negatif) ikut mempengaruhi arah dan pelaksanaan kegiatan, tidak hanya menerima hasilnya.

Peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antar dua kelompok yaitu kelompok masyarakat terkena kebijakan dan kelompok pengambil keputusan. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab.

Secara sederhana ia mendefinisikan sebagai feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan instrumen hubungan timbal balik dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan. Hubungan timbal balik antara pemerintah dan pengusaha dengan masyarakat dapat dijadikan instrumen untuk mewujudkan keselarasan hubungan sosial antara dua kelompok beda kepentingan dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Tujuan lebih lebih lanjut adalah untuk mempersempit kesenjangan akses terhadap lingkungan antara dua kelompok masyarakat yang terjadi selama ini. Ada harapan dibalik pendekatan partisipatif tersebut yaitu supaya ada kebijakan yang lebih baik, yaitu kebijakan yang lebih memberikan manfaat pada masyarakat berupa diperolehnya kesejahteraan.

Berdasarkan sifatnya oleh Cormick (1979) peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu konsultatif dan kemitraan. Pola partisipatif yang bersifat konsultatif ini biasanya dimanfaatkan oleh pengambila kebijakan sebagai suatu strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support). Dalam pendekatan yang bersifat konsultatif ini meskipun anggota masyarakat yang berkepentingan mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan hak untuk diberitahu, tetapi keputusan akhir tetap ada ditangan kelompok pembuat keputusan tersebut (pemrakarsa). Pendapat masyarakat di sini bukanlah merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan. Selain sebagai strategi memperoleh dukungan dan legitimasi publik. Pendekatan partisipatif yang bersifat konsultasi ini dalam penggolongan peran serta masyarakat menurut Wengert (1979) dapat dikategorikan sebagai partisipasi sebagai suatu kebijakan yaitu yang memberikan hak untuk dikonsultasi (right to be consulted).

Berbeda dengan konsultasi, pendekatan partisipatif dalam pengelolaan lingkungan yang bersifat kemitraan lebih menghargai masyarakat lokal dengan memberikan kedudukan atau posisi yang sama dengan kelompok pengambil keputusan. Karena diposisikan sebagai mitra, kedua kelompok yang berbeda kepentingan tersebut membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan secara bersama-sama. Dengan demikian keputusan bukan lagi menjadi monompoli pihak pemerintah dan pengusaha, tetapi ada bersama dengan masyarakat. Dengan konsep ini ada upaya pendistribusian kewenangan pengambilan keputusan.

Proses dan Bentuk Partisipasi Masyarakat

Bentuk partisipasi masyarakat dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu partisipasi dalam:

Tahap pembuatan keputusan. Dalam hal ini, sejak awal masyarakat telah dilibatkan dalam proses perencanaan dan perancangan kegiatan serta dalam pengambilan keputusan atas rencana yang akan dilaksanakan.

Tahap implementasi. Keterlibatan masyarakat juga diupayakan pada tahap pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian, masyarakat dapat mengontrol bagaimana kegiatan dilaksanakan di lapangan.

Tahap evaluasi. Evaluasi secara periodik umumnya dilaksanakan pada tahap pelaksanaan dan pada akhir pelaksanaan kegiatan.

Partisipasi untuk memperoleh manfaat suatu kegiatan.

Ditinjau dari tingkatannya, partisipasi masyarakat dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Manipulasi Tercatat sebagai anggota Wewenang mutlak pada initiator kebijakan

2. Menginformasikan Hak dan pilihan masyarakat diidentifikasi Wewenang dominan pada initiator kebijakan/program

3. Konsultasi Pendapat masyarakat didengar, tetapi belum tentu ditindaklanjuti Wewenang dominan pada initiator kebijakan/program

4. Kemitraan Saran/pendapat masyarakat dinegosiasikan Wewenang terdistribusikan secara proporsional di antara pihak - pihak yang berkepentingan

5. Delegasi wewenang Masyarakat diberi wewenang mengelola sebagian atau seluruh bagian program Wewenang ada pada masyarakat

6. Kontrol masyarakat dominan dalam merancang dan memutuskan program Wewenang mutlak pada masyarakat. Dengan adanya tingkatan-tingkatan partisipasi masyarakat seperti tersebut pada tabel di atas, maka perlu diupayakan agar partisipasi masyarakat tidak hanya sekedar berbentuk keterlibatan semu yang dikategorikan sebagai tingkat partisipasi manipulasi, dimana pada dasarnya tidak ada partisipasi masyarakat, melainkan diupayakan untuk tercapainya tingkat partisipasi dimana masyarakat memiliki wewenang yang cukup dalam kemitraan antara masyarakat dan pemerintah/non-pemerintah sebagai initiator kebijakan/program.

Untuk mencapai tingkat partisipasi yang tinggi, berikut ini adalah beberapa elemen kunci yang perlu dipertimbangkan:

1. Kompatibilitas yang didasarkan atas kepercayaan dan saling menghargai di antara partisipan.

2. Manfaat bagi seluruh partisipan yang terlibat.

3. Wewenang dan keterwakilan yang sederajat. Tingkat partisipasi akan melemah apabila ada sebagian pihak yang terlalu mendominasi, sementara sebagian lainnya tidak mempunyai wewenang sama sekali.

4. Mekanisme komunikasi yang baik harus dibangun secara internal di antara partisipan dan dengan pihak luar yang relevan.

5. Adaptif terhadap berbagai perubahan yang mungkin terjadi.

6. Integritas, kesabaran dan ketekunan harus diciptakan di antara partisipan.

Metode Partisipasi :

Pengelolaan DAS dengan pendekatan partisipatif akan melibatkan beberapa pihak yang berkepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, diantaranya adalah masyarakat. Salah satu metode pendekatan partisipatif adalah Participatory Rural Appraisal (PRA), metoda yang dirancang untuk memungkinkan masyarakat/ responden melakukan penelitian atas persoalan yang dihadapinya untuk kemudian memecahkan masalah menurut persepsi dan cara mereka sendiri dengan atau tanpa bantuan pihak lain.

Partisipasi dan Kemitraan dalam Pengelolaan SDA

Bertolak dari dua penggolongan partisipasi masyarakat berdasarkan sifatnya di atas, maka partisipasi yang bersifat kemitraan lebih potensial untuk dikembangkan sebagai instrumen komunikasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan denga lingkungan. Pemahaman pemerintah sebagai pelayan masyarakat merupakan fundamen pengembangan partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi. Karena menempatkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat maka masukan, pandangan dan pendapat masyarakat haruslah diposisikan sebagai masukan yang bernilai untuk mewujudkan keputusan yang responsif. Dengan konsep kemitraan, partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai instrumen penting untuk mendapatkan masukan berupa informasi dari kelompok masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kapan sebaiknya partisipasi masyarakat mulai dilakukan. Terhadap hal ini Smith dan banyak ahli lainnya menyarankan partisipasi dengan konsep kemitraan seharusnya dilakukan lebih awal dalam proses perencanaan, sehingga anggota masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang lebih awal dan penting. Kalau tidak demikian publik akan melihat proses partisipasi hanya sekedar sebagai ,apa yang disebut oleh Arnstein, tokenism, karena banyak keputusan kunci diambil tanpa melibatkan masyarakat.

Hubungan sosial yang terjadi dalam konsep kemitraan ini adalah hubungan yang paralel, bukan hubungan yang hirarki. Dengan hubungan yang paralel ini akan terwujud hubungan yang harmonis dalam pemanfaatan sumber daya alam antara masyarakat dengan pengusaha. Partisipasi masyarakat yang bersifat kemitraan ini akan terwujud apabila pemerintah memberikan dukungan dengan menuangkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pengusaha (eksploitir) mengambil keputusan bersama-sama dengan masyarakat. Tanpa dukungan pemerintah tersebut menjadi sangat sulit kedua kelompok yang berbeda kepentingan untuk disatukan menjadi mitra. Dengan demikian kebijakan pemerintah menjadi salah satu faktor penentu terjadinya komunikasi yang seimbang antara pengusaha dengan masyarakat. Dalam tahapan ini seharusnya sudah terjadi perubahan paradigma pemerintah dalam pengelolaaan lingkungan dengan tidak lagi melakukan keberpihakan kepada pemilik modal semata.

Dalam teori politiknya Gibson (1981) berkaitan dengan partisipasi ini terdapat paham Participatory Democracy yang menyatakan bahwa:

Penyelarasan kedua macam kepentingan tersebut dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepeda mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangan mereka. Proses pengambilan keputusan, yang menyediakan kelompok kepentingan untuk berperan serta didalamnya, dapat mengantarkan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan mencapai saling pengertian dan penghayatan terhadap satu sama lain. Dengan demikian perbedaaan kepentingan dapat dijembatani.

Pengembangan participatory democracy ini lebih cocok dalam mewujudkan partisipasi masyarakat sebagai instrument komunikasi antar dua kelompok yang berbeda kepentingan dari pada paham elite democracy. Masih menurut Gibson, paham yang terakhir disebut ini melihat hakekat manusia sebagai makhluk yang mementingkan diri sendiri. Upaya mementingkan diri sendiri yang berkembang menjadi pemburu kepuasan akan menjadi tidak rasional apabila mereka disatukan dalam kelompok. Oleh karena itu, menurut paham ini dalam hal terjadi konflik kepentingan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat, keputusan merupakan kewenangan mutlak dari kelompok elit yang menjalankan pemerintahan.

Dalam partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi, masyarakat mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kedudukan yang seimbang akan lahir kemampuan tawar-menawar yang sama antara pemrakarsa dan masyarakat.

Untuk mengefektifkan peran serta masyarakat mutlak dibutuhkan prakondisi-prakondisi. Hardjasoemantri merumuskan syarat-syarat agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna, sebagai berikut:

Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya.

Informasi lintas batas (transfrontier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia;

Informasi tepat waktu (timely information) ; suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil. Dengan dmeikian masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan.

Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comprehensive information).

Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information).

Kendala terhadap Partisipasi Masyarakat

Pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan lingkungan memang sangat ideal dalam ragka pemanfaatan lingkungan berbasis kepentingan masyarakat. Namun dalam praktek, proses pelibatan bukan berati tanpa kendala yang mana kendala tersebut justru akan berpengaruh pada tujuan dari pelibatan itu sendiri. Terdapat beberapa kendala yang perlu memperoleh perhatian dalam merancang rencana pelibatan masyarakat. Kendala-kendala dimaksud adalah antara lain:

Semakin banyaknya kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat dalam isu-isu lingkungan, baik mereka yang diundang ataupun tidak sebagai peserta kemitraan yag justru menghambat proses komunikasi yang hendak dibangun. Lebih lanjut perlu dikaji seberapa jauh kelompok-kelompok tersebut terutama yang aktif mewakili kepentingan kelompok stakeholders yang akan terkena suatu kebijakan. Akibatnya pemrakarsa (pemerintah dan atau pengusaha) harus melakukan usaha khusus untuk menlakukan pendekatan terhadap kelompok stakeholders tersebut. ini tentunya berkaitan dengan kesulitan untuk menentukan siapa yang menjadi wakil masyarakat. Keberhasilan untuk menentukan masyarakat yang tepat sangat terrgantung akan desain program penyertaaan

Masyarakat kurang memahami Informasi tentang lingkungan dan bahaya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Biasanya masyarakat baru akan mengeluh apabila sudah menderita kerugian. Tingkat kesadaran yang kurang ini bisa dipahami karena kehidupan mereka sudah disibukkan dengan aktivitas sehari-hari untuk memenihu kebutuhan dasar mereka.

Kurangnya atau tidak adanya informasi dalam masyarakat tentang hak dan kewajiban terhadap lingkungan hidup. Hak dimaksud adalah hak atas lingkungan yang baik dan sehat dan hak berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, serta kewajiban memelihara lingkungan.

Kelamahan lain yang lebih penting adalah seringkali masyarakat kehilangan semangat selama masa pengembangan proyek yang cukup lama . Hambatan-hambatan di atas tentunya tidak seharusnya dipandang oleh pemrakarsa sebagai kelemahan yang bisa dimanfaatkan. Apabila partisipasi masyarakat hanya dipahami sebagai strategi memperoleh legitimasi dari publik terhadap suatu kegiatan esploitasi sumberdaya alam hambatan-hamabatan tersebut akan menjadi tidak penting dipersoalkan. Tetapi apabila pendekatan partisipatif benar-benar akan diguakan sebagai instrument komunikasi antar kelompok kepentingan, hambatan tersebut tentunya menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah.

Pustaka :

Mitchell,1997. (ch. VII, VIII)