BAB3 asli
-
Upload
warid-fadlillah-faqih -
Category
Documents
-
view
262 -
download
0
Transcript of BAB3 asli
LAPORAN
PRAKTIK KERJA LAPANGAN ( P K L )
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAHSEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2010/2011
OLEH:1. Jamaluddin 100210302021
2. Marfiana chairunnisa 100210302006
3. Zainul Mila Afifah 100210302095
4. Firna Niahara 100210302011
5. Firdhausi Marsheila 100210302025
6. Dyah Rahmawati 100210302026
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JEMBERFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
APRIL, 2011
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1 DASAR PEMIKIRAN
Salah satu kekayaan indonesia yang masih di lestarikan sampai saat ini adalah
Kraton Yogyakarta, kraton ini masih terus melestarikan tradisi-tradisi yang di wariskan dari
masa lampau oleh nenek moyang kraton yogyakarta, hal ini dapat kita lihat dari pelaksanaan
upacara-upacara yang masih terus berlangsung hingga saat ini.
Sejarah lahirnya keraton yogyakarta sendiri barawal dari terjadinya perjanjian
giyanti, perjanjian ini dilakukan oleh pihak Belanda dan Kerajaan Mataram Islam pada tahun
1755. Hasil dari perjanjian ini salah satunya adalah menyepakati bahwa kerajaan mataram
islam di pecah menjadi dua bagian, yaitu pertama: keraton yogyakarta yang di pimpin oleh
Hamengkubuwono I dan yang kedua: keraton surakarta yang di pimpin Susuhunan
Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744.
Pada praktek lapangan ini kelompok kami bertugas untuk mengobservasi daerah
Isltimewa Kratin Yogyakarta, maka laporan ini lebih khusus membahas masalah sejarah dan
perkembangan Kraton Yogyakarta.
1.2 TUJUAN DAN MANFAAT
Observasi ini bertujuan untuk memberikan pelajaran yang utuh kepada mahasiswa
FKIP sejarah yang otputnya di harapkan akan menjadi guru sejarah, selain hal itu tujuan
laporan ini sebagai pertanggungjawaban kepada dosen pembimbing atas praktek kerja
lapangan yang sudah kami laksanakan.
1.3 PESERTA
Peserta dari kelompok kami yang observasi di Kraton Yogyakarta adalah:
7. Jamaluddin 100210302021
8. Marfiana chairunnisa 100210302006
9. Zainul Mila Afifah 100210302095
10. Firna Niahara 100210302011
11. Firdhausi Marsheila 100210302025
12. Dyah Rahmawati 100210302026
BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN
2.1. WAKTU
Waktu pelaksanaan PKL pada tanggal 10-14 April 2011. Pemberangkatan
peserta observasi pukul 22.00 WIB sampai di Yogyakarta pukul 07.00 WIB. Sedangkan
waktu observasi Keraton Yogyakarta pada tanggal 13 April pukul 08.00-10.00 WIB.
Tiba di Jember pukul 02.00 WIB dini hari pada tanggal 14 April 2011.
2.2. OBJEK
Objek Observasi adalah Keraton Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat.
2.3. METODE DAN TEHNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam pembuatan laporan untuk Tugas Akhir SNI 2, penulis memerlukan banyak
materi sebagai bahan acuan dalam pembuatan sistem yang akan dibuat. Sebagai landasan
untuk perancangan dan untuk memperkuat hasil dari Tugas akhir maka sangat dibutuhkan
materi pendukung. Dalam Tugas Akhir ini yang merupakan bagian objek adalah Kraton
Yogyakarta. Adapun dalam pencarian materi yang diperlukan penulis menggunakan beberapa
metode yaitu :
a. Metode Observasi (Pengamatan)
Metode observasi adalah pengamatan secara langsung yang meliputi kegiatan
pemusatan perhatian terhadap suatu dengan menggunakan seluruh alat indera. Materi dan
pengetahuan dari hasil pengamatan, penulis kumpulkan kemudian penulis olah dan penulis
gunakan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan laporan yang penulis gunakan untuk
Tugas Akhir.
b. Metode Interview (Wawancara)
Metode interview merupakan metode pencarian data melalui wawancara / tanya
jawab dengan orang yang lebih mengetahui tentang sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta,
Raja pertama di Kesulatanan Yogyakarta, dll. Metode interview atau wawancara digunakan
penulis untuk mendapatkan data dengan cara mengajukan pertanyaan. Data yang didapat dari
hasil wawancara yang behubungan dengan penulisan laporan, penulis catat dan dijadikan
sebuah acuan untuk pembuatan laporan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 LETAK GEOGRAFIS
Kompleks Kraton Yogyakarta terletak di tengah-tengah, tetapi daerah Kraton
membentang antara Sungai Code dan Sungai Wianga, dari arah Utara ke Selatan, dari tugu ke
karapyak. Nama kampung-kampung jelas memberi bukti kepada kita bahwa ada
hubungannya antara penduduk kampung itu dengan tugasnya di Kraton pada zaman dulu.
Misalnya, tempat tinggal gandek-gandek (Kocrier) dari Sri Sultan, Wirobrajan tempat tinggal
prajurit-prajurit Wirobraja, Pasidenan tempat tinggal Pasiden (penyanyi) Kraton.
Daerah Kraton terletak di hutan Garjitawati, dekat desa beringin dan desa pacetokan
karena daerah ini dianggap kurang memadai untuk membangun sebuah Kraton dengan
bentengnya, maka aliran sungai Code dibelokan sedikit ke Timur dan aliran sungai Wianga
sedikit ke Barat. Sebuah pantun mijil menggambarkan letak geografis Kraton Yogyakarta
secara populer seperti di bawah ini:
Kalinangan pancingkok king putri
Gunung gamping kulon
Hardi marapi terwetan prenahe
Candi jenggrang mengungkanging kali
Palered magiri
Girilaya kidul
3.2 SEJARAH BERDIRINYA
Sebelum Berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta, Kadipaten Mangkunegaraan, dan
Kadipaten pakualaman, pada waktu itu yang ada hanya Kraton Kasunanan Surakarata,
pindahan dari Karaton Mataram Kartasura ketika istananya masih berada di Kartasura, terjadi
pemberontakan orang-orang China (GEGER PACINA), pada tahun 1740-1743, Paku
Buwono II tidak berdaya menghadapi pemberontakan ini, dan hanya dengan bantuan
Belandalah peristiwa itu dapat dipadamkan karena istana kartasura mengalami kerusakan
yang parah sekali, lalu ibukota dipindahkan ke Solo, yang kemudian disebut Surakarta.
Pada masa pemerintahan Sunan paku Buwono II di Kraton Surakarta (1744), masih
terjadi pemberontakan yng dipimpin oleh Tumenggung Mertopuro melawan Kraton
Surakarta, namun oleh Pangeran Mangkubumi (adik Paku Buwono II) Tumenggung
Mertopuro dapat ditaklukannya.
Dalam suatu perundingan antara Paku Buwono II yang didampingi oleh Pangeran
Mangkubumi (penasehat kepercayaannya) dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Mr.
Hoogendrof, utusan Belanda itu meminta Paku Buwono II untuk menyerahkan seluruh
wilayahpesisir utara Jawa kepada VOC. Permintaan itu sebagai tuntutan jasa atas Belanda
ketika berhasil memadamkan pemberontakan orang-orang Cina di Kartasura. Pangeran
Mangkubumi tidak menyetujui permintaan itu, meskkipun ia tahu bahwa kedudukan Paku
Buwono II sangat sulit. Brawal dari masalah itu Pangeran Mangkubumi kemudian memohon
izin dan doa restu kepada Paku Buwono II, untuk menentang senjata melawan Kompeni
Belanda/VOC.
Setelah mendapat restu dari Paku Buwono II, dengan memperoleh tombak KYAI
PLERED, lalu tanggal 21 April 1747, Pangeran Mangkubumi meninggalkan Kraton
Surakarta menuju kedalam hutan bersama keluarga dan pasukannya yang setia, untuk
bergerilya melawan VOC. Dalam mengadakan perlawanannya itu, pangeran Pakubumi
bergabung dengan RM.
Sebelum Pakubuwono II wafat, kekuasaan seluruh tanah jawa sudah di serahkan
kepada VOC (16 desember 1749). Karena itu pada perkembangan selanjutnya yang
mengangkat raja-raja tanah jawa dan keturunan Pakubuwono II adalah VOC. Setelah
Pakubuwono II wafat, Belanda mengangkat RM. Suryadi (putra mahkota) sebagai Sunan
Pakubuwono III, stelah pengangkatan tersebut ia sepenuhnya menjadi bonekanya belanda,
karena menurut kontrak politik, raja tersebut hanya sebagai peminjam tanah VOC.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono III ini, perlawanan pangeran Mangkubumi
semakin menghebat. Dalam setiap pertempuran pasukan belanda selalu terdesak oleh pasukan
pangeran Mangkubumi. Bahkan ketika terjadi pertempuran sengit di Sungat Bogowanto
semua pasukan Belanda termasuk komandannya terbunuh, akhirnya Belanda meminta kepada
Mangkubumi untuk berunding.
Kemudian terjadilah perjanjian antara ketiga belah pihak, yaitu pangeran
Mangkubumi, Pakubuwono III dan Belanda. Perjanjian itu terjadi di desa Giyanti (salatiga)
pada tanggal 13 Februari 1755, maka di sebut perjanjian Giyanti. Akibat dari perjanjian
tersebut, karajaan mataram islam kemudian di bagi menjadi dua bagian, yaitu: keraton
kesunanan Surakarta dan Kraton Kesultanan Yogyakarta.
Setelah perjanjian itu, pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan Mataran
Yogyakarta di wiliyah beringan, pada tahun 1756 dan kemudian beliau bergelar Sri Sultan
Hamengkubuwono I.
3.3 SEJARAH RESTORASI/PEMUGARAN
Seiring dengan perkembangan yang terjadi di kraton maka sebagian besar bangunan
tersebut masing masing telah mengalami pemugaran , bahkan beberapa di antaranya telah
mengalami pergeseran fungsi. Pemugaran bangunan di kraton secara keseluruhan dimulai
tahun 1921M dan selesai tahun 1934 M. pada masa pemerintahan HB VIII.
Pada bagian atas Regol Danapratapa terdapat suryasengkala “Jagad Ingasta nang
Wiwara Dhattulaya” yang berarti tahun 1921 M. Hal ini menunjukkan tahun
selesainya pemugaran.
Bangsal Pagelaran telah di lakukan pemugaran oleh HB VIII tahun 1921.
Pemugarannya di tandai dengan candrasengkala yang terdapat di bagian atas muka
Bangsal Pagelaran yang berbunyi “Panca Gana Ssalira Tunggal yaitu tahun1865 jawa.
Sedang selesainya ditandai dengan suryasengkala “Catur Trisula Kembang Lata”
yaitu tahun 1934 M.
Bangsal Witana pernah di lakukan pemugaran yang selesai pada tahun 1925 M. Hal
ini di tunjukkan dengan adanya suryasengkala yang terdapat di tebing belakang
Bangsal Witana dan berbunyi “ Linungit Kembar Gatraning Ron” yang berarti tahun
1925.
Bangsal Sitihinggil telah di pugar pada jaman HB VII dengan di tandai dengan
suryasengkala dan candrasengkala pada bagian atas muka bangsal Sitihinggil.
Candrasengkala : “Phandita Cakra Naga Wani” (1857) dan suryasengkala: “Gana
Asta Kembang Lata” (1926 M)
Bangsal Sasana Hinggil telah di pugar pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX tahun 1956, dalam rangka peringatan 200 tahun berdirinya
Kraton Yogyakarta. Setelah dipugar kemudian disebut Gedung Sasana Hinggil Dwi
Abad.
Bangsal Trajumas pernah di pugar karena runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa
bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang
memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri
lagi di tempatnya.
Sementara itu, Bangsal Trajumas di Keraton Yogyakarta dan Candi Wisnu serta Brahma
di Kompleks Candi Prambanan, Yogyakarta, yang rusak karena gempa bumi tahun 2006
selesai dipugar. Agar tahan gempa, Bangsal Trajumas dikembalikan ke konstruksi aslinya,
sedangkan Candi Wisnu dan Brahma diberi penguatan beton bertulang. Jero Wacik dan
Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono didampingi Gubernur DIY Sultan Hamengku
Buwono X meresmikan purnapugar bangunan cagar budaya ini di Keraton Yogyakarta,
Senin. Turut diresmikan pula purnapugar Candi Induk Lumbung dan Candi Apit nomor 4 di
Kompleks Candi Sewu dan Candi Induk Utara di Kompleks Candi Plaosan Lor. Rehabilitasi
dan rekonstruksi Bangsal Trajumas yang roboh akibat gempa membutuhkan biaya Rp 2,5
miliar.
3.4 ARSITEKTURAL
Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir
dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu.
Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan
dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang
tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional.
Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda,
bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau
derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal
sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan
yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada
perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi. Permukaan atap joglo berupa
trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna
merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru
yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya
berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan
emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki
warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil)
memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim
Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna
emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks.
Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih
tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi .
Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat
menempatkan singgasana Sultan. Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada
fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya,
bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail
ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin
rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen
sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk
bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
Makna Tata Ruang KeratonTata ruang Keraton memiliki 2 bagian yaitu Bangsal
Kencana dan Gedung Prabayeksa. BangsalKencana berfungsi sebagai tempat pertemuan
agung seperti perkawinan, sunatan dan halalbihalal, upacara penyemayaman jenazah sultan,
serta untuk menjamu tamu agung. Sementara itu,Gedung Prabayeksa berfungsi sebagai
tempat untuk menyimpan pusaka keraton yang tidak lainadalah keris, bomba dan lain-lain.
Gedung Prabayeksa ini dibuka setiap bulan Sura, dimanabenda- benda pusaka keraton ini
dicuci.
Pola, Ruangan dan Struktur Bangunan
.
Untuk lebih jelas dan detailnya berikut ini adalah urut urutan bangunan yang ada di
dalam keraton. Lingkungan dalam keraton dalam dimulai dari : Kompleks inti
a. Pelataran Pagelaran
Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag
Rambat . Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap
Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi,
dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak
di sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk
menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan
barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan
atau menunggu giliran melapor kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga
Bupati Anom Jaba. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama
yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang
terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan
untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief
perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh
Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.
b. Siti Hinggil Ler
Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti
Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan.
Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada. Kompleks
ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi
utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam
(Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal
Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro, sampai sekitar
tahun 1926. Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus. Bangunan
Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi
persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk
ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di
tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk
menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di
dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil . Bangunan ini adalah tempat
Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan
Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno
dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan
Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat
lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau
pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan. Bale Bang yang terletak di sebelah timur
Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan
Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah
barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro
Angun-angun.
c. Kamandhungan Lor
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding
selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol
Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan
barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara
resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks
Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben
di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke
jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami
pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada
ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira
sampai 1812) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati
dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan
untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini
digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti
terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan
Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di
tempat ini. Bangsal Ponconiti diggunakan untuk ruang siding pengadilan keraton. Bangsal
Pacaosan adalah sebagai tempat jaga bagi paara abdi dalem kraton, yang sedang
melaksanakan tugas jaga ronda (caos). Bangsal ini terletak di sebelah kanan dan kiri dari
Regol Srimengenti. Regol Srimengenti adalah pintu gerbang yang menghubungkan antara
halaman Kemanungan Lor dan Bangsal Srimengenti, bangunan ini terletak di sebelah selatan
Bangsal Ponconiti.
d. Pelataran Bangsal Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan
dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara
raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya
digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi
ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga
difungsikan untuk penyelenggaraan event pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat
kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan
kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan. Tempat ini digunakan untuk
menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini
pernah runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa
Tengah. Setelah proses restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun
2010 bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.
Dalam Bangsal Sri Menganti juga terdapat Patung Raksasa Dwarapala (sepasang)
yang masing masing membawa gadha, dan disebut Cingkrabala dan Balaupata. Cingkrabala
terletak di sebelah timur depan Regol Danapratapa, sedangkan balaupata terletak di sebelah
barat depan Ragol Danapratapa. Ragol Danapratapa sendiri adlah pintu gerbang
yangmenghubungkan antara halaman Srimanganti dengan halaman Bangsal Kencana. Pada
bagian atas Regol ini terdapat Candrasengkala yang berbunyi “Kaluwihaning Yaksa Salira
Aji” yang berarti tahun 1851 jawa. Dan suryasengkala “Jagat Ingasta neng Wirawa
Dhatulaya” yang berarti tahun 1921 masehi, menunukkan tahun pemugaran Regol teersebut,
Regol ini terletak di sebelah selatan halaman Srimanganti.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang
mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong
Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini
terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan
bangunan lainnya.
e. Halaman Bangsal Kencana
Bangsal Kencana merupakan halaman pusat kraton sebagai pusat pemerintahan,
dalam bangsal Kencana ini terdapat beberapa bangunan yaitu:
Gedhong Purwaretna, dibangun pada masa pemerintahan HB V. dalam
perkembangan selanjutnya, bangunan ini digunakan sebagai kantor pribadi HB IX,
dan sekarang berfungsi sebagai Kantor Kawedanan Hageng Sri Wandawa. Bangunan
ini terletak di sebelah utara Bangsal Kencana
Gedhong Jene (Gedhong Kuning), dibangun pada masa pemerintahan HB II
berfungsi sebagai tempat tinggal raja, hingga HB IX. Pada masa sekarang di pakai
sebagai Kantor pribadi HB X.
Bangsal Kencana, berfungsi sebagai tempat singgasana raja dalam kesehariannya,
juga ketika digelar upacara-upacara penting.
Bangsal Prabayeksa (Gedhong Pusaka), tempat untuk menyimpan senjata-senjata
pusaka kraton.
Bangsal Manis, yaitu tempat perjamuan atau pesta, dan Gedong Patehan, yaitu
tempat untuk menyiapkan minuman.
Kaputren , tempat tinggal bagi putrid-putri raja yang belum menikah.
Masjid Panepen, selain dipakai untuk menjalankan sholat bagi keluarga istana dan
abdi dalaem, juga dipakai untuk melaksanakan ijab qabul pernikahan putrid-putri
Sultan.
Kraton Kilen, tempat tinggal bagi HB X beserta keluarganya.
Gedhong Kantor Parentah Hageng, digunakan sebagai kantor pejabat kraton, yang
berwenang menyampaikan perintah Sultan kepada abdidalem yang ada di kraton.
Bangsal Mandalaksana, tempat untuk pentas bagi para pemain musik (Korp Musik
Kraton), ketika digelar acara-acara pentaing di kraton.
Bangsal Kotak, tempat bagi para penari kraton, yang sedang menunggu giliran
pentas ketika di istana digelar perjamuan atau acara penting lainnya.
Gedhong Gangsa, ruang untuk menyimpan gamelan-gamelan kraton, sekaligus
tempat dibunyikannya gamelan tersebut.
Kasatriyan, tempat tinggal bagi putra-putri Sultan yang belum menikah.
Gedhong Kaca, berfungsi sebagai museum HB IX, digunakan untuk menyimpan
benda-benda prasejarah millik HB IX.
Gedhong Danartapura, berfungsi sebagai kantor bendahara kraton (Kantor Kas
Kraton).
Gedhong Patehan, tempat bag yai para abdidalem yang bertugas membuat minuman
untuk keluarga Raja.
Regol Kemagangan, yaitu pintu gerbang yang menghubungkan antara halaman
Bangsal Kencana dengan Gedhong pathehan.
f. Halaman Kemagangan
Merupakan tempat bagian belakang di pusat kraton di dalamnya terdapat beberapa
bangunan yaitu:
Bangsal Kemagangan, tempat untuk menyelenggarakan BEDHOL SONGSONG.
Acara tersebut berupa pagelaran wayang kulit semalam suntuk, dengan disaksikan
Sultan yang duduk diatas selogilang pada bagian tengah bangsal ini.
Panti Pareden, digunakan oleh para abdidalem yang bertugas membuat Gunungan
Sekaten.
Regol Gadungmlati, pintu gerbang yang menghubungkan antara halaman
Kemagangan
g. Halaman Kemandungan Kidul
Disini terdapat beberapa bangunan antara lain :
Bangsal Kemandungan
Bangsal Pacaosan, tempat jaga bagi para abdidalem Kraton, yang sedang
melaksanakan tugas ronda (caos).
Regol Kemandungan, pintu gerbang yang menghubungkan antara Kemandungan
Kidul dengan halaman Sitihinggil Kidul.
h. Halaman Sithihinggil Kidul
Merupakan halaman akhir dari halaaman kraton, disini juga terdapat Bangsal Sasana
Hinggil telah di pugar pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1956.
Setelah dipugar kemudian disebut Gedung Sasana Hinggil Dwi Abad. Bangunan ini
menghadap ke arah selatan dan terletak di sebelah utara Alun alun Kidul.
i. Arca
Pada sisi selatan berdiri Regol Donopratopo yang menjadi gerbang masuk menuju
Bangsa Kencono. Di sisi kiri kanan regol ini, berdiri sepasang arca raksasa Dwarapala. Arca
di sebelah timur bernama Cingkarabala, sementara yang berada di sebelah barat bernama
Balaupata.
3.5 Hiasan Dan Benda Peninggalan Di Kraton
Mahkota
Mahkota atau “songkok kebesaran” Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat yang terbuat dari
emas. Bentuk mahkota melambangkan bentuk monarki.
Regalia
Regalia yang dimiliki oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan perlambang
dari sifat yang harus dimliki oleh seorang Sultan dalam memimpin negara dan rakyatnya.
Seperangkat regalia tersebut dinamakan Kanjeng Kyai Upacara yang terdiri dari: 1. Angsa
(banyak), melambangkan kejujuran dan kewaspadaan 2. Rusa (dhalang), melambangkan
kecerdasan dan ketangkasan 3. Ayam Jantan (sawung), melambangkan kejantanan dan
tanggungjawab 4. Burung Merak (galing), melambangkan kemegahan dan kecantikan 5. Raja
Naga (hardawalika), melambangkan kekuatan 6. Kotak penyimpanan uang (kutuk),
melambangkan kemurahan atau kedermawanan 7. Kotak saputangan (kacumas),
melambangkan kemurnian 8. Lampu minyak (kandhil), melambangkan pencerahan 9. Tempat
sirih (cepuri), tempat rokok (wadhah ses), dan tempat meludah (kecohan), melambangkan
proses pengambilan keputusan. Seperangkat regalia ini terbuat dari emas.
Senjata Pusaka
1. Keris Kanjeng Kyai Ageng KopekMerupakan keris utama sebagai simbol seorang Sultan
yang berperan sebagai pemimpin spiritual dan kepala pemerintahan 2. Keris Kanjeng Kyai
Joko Piturun Merupakan keris yang dipakai oleh Putra Mahkota. 3. Keris Kanjeng Kyai
Toyaninaban Merupakan keris yang digunakan oleh anak Sultan yang paling tua. 4. Keris
Kanjeng Kyai Purboniat Merupakan keris yang digunakan oleh seorang patih, yaitu seseorang
yang menjabat sebagai kepala administrasi negara. 5. Pedang Kanjeng Kyai Mangunoneng
Pedang ini digunakan untuk mengeksekusi pemimpin pemberontakan yang bernama
Tumenggung Mangunoneng. 6. Tombak Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki
berbagai macam bentuk tombak, mulai dari bermata tunggal, bermata tiga, hingga berbentuk
mirip cakra. Salah satu di antara berbagai macam bentuk mata tombak tersebut, terdapat satu
buah tombak yang dipandang istimewa, yaitu yang dinamakan Kanjeng Kyai Ageng
Perhiasan
Para putri Sultan memakai perhiasan yang dikategorikan sebagai benda pusaka ketika
berlangsung upacara di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu upacara yang
mengharuskan para putri Sultan untuk mengenakan perhiasan adalah upacara pernikahan.
Dalam upacara ini, pengantin putri dari Sultan diwajibkan mengenakan beberapa perhiasan
pusaka yang terbuat dari emas, yaitu: pethat gunungan, lima buah cunduk menthul yang
dipasang di kepala, centhung, subang ronyok, sangsangan susun tiga, cincin, binggel, kelat
bahu, dan pending .
Arsip / Dokumen Penting
Manuskrip Manuskrip yang dimiliki oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dikelola
di salah satu perpustakaan milik Kesultanan, yakni Perpustakaan Wisya Budaya. Terdapat
dua manuskrip yang sangat penting, yaitu Kanjeng Kyai Al-Qur’an dan Kanjeng Kyai
Bharatayudha. Kedua manuskrip ini bersampulkan kulit binatang dan ditulis dengan ilustrasi
menggunakan cat air dan kertas berwarna emas. Manuskrip Kanjeng Kyai Al-Qur’an ditulis
tangan dengan huruf Hijaiyah (tulisan Arab). Manuskrip ini dihiasi dengan ilustrasi pada
setiap halaman di paragraf awal. Selain itu, pada setiap halaman juga dihiasi dengan ilustrasi
bermotif geometris dan tumbuhan yang dilukis dengan cat air. Manuskrip Kanjeng Kyai
Bharatayudha ditulis tangan dengan menggunakan huruf Jawa. Manuskrip ini berisi
pengetahuan tentang Kesultanan yang hanya boleh dibaca oleh Sultan yang sedang
memerintah saat itu. Manuskrip ini kini disimpan di ruangan khusus .
Stempel Kerajaan / Kesultanan
Stempel Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berupa lambang yang disebut Praja Cihna.
Praja Cihna merupakan lambang yang terdiri dari: di bagian atas terdapat songkok (mahkota)
yang menggambarkan bentuk monarki. Di bawah songkok di sebelah kanan dan kiri terdapat
sumping (hiasan telinga) yang menggambarkan sifat waspada dan bijaksana. Di sebelah
bawahnya terdapat sepasang sayap mengapit tulisan dalam aksara Jawa yang berbunyi, “Ha”
dan “Ba”, singkatan dari “Hamengku Buwono”, yaitu dinasti yang memerintah.
Singgasana
Singgasana Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat disebut dengan nama Dhampar
Kencono. Bentuk Dhampar Kencono merupakan perpaduan dari kebudayaan Eropa, terutama
dari Prancis dan Inggris. Pengaruh Prancis diadopsi dari gaya Louis XIV (Barok) pada abad
ke-18, gaya Louis XV (Rokok) pada abad ke-19, dan gaya Louis XVI (Neo-klasik) pada abad
ke-20. Sementara gaya kursi dari Inggris yang diadopsi cenderung menggunakan Gaya
Georgian, Gaya Queen Anne dan Gaya Victorian. Dhampar Kencono merupakan bentuk
simbolik dalam membangun status sosial dan citra. Simbol ini muncul dari dalam lingkungan
keraton yang cenderung masih dijadikan model ideal bagi masyarakat Jawa. Bentuk Dhampar
Kencono mencerminkan sikap dan sifat seorang Sultan sebagai pemimpin yang sesuai dengan
konsep kekuasaan Jawa. Sikap dan sifat tersebut tercermin dalam konsep yang berbunyi:
Gung Binathara Baudhendha Hanyakrawati, Ratu Pinadhita, Manunggaling Kawula-Gusti.
Kendaraan
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki beberapa kereta kuda yang kini disimpan
di Museum Kereta Rotowijayan. Sebelum berfungsi sebagai museum, tempat ini merupakan
garasi dan bengkel kereta keraton, sedangkan bangunan di sekelilingnya dahulu adalah
gedhogan atau istal. Hingga kini terdapat 20 kereta kuda yang menjadi koleksi Museum
Kereta Rotowijayan, antara lain: 1. Kanjeng Nyai Jimat Merupakan kereta kuda tertua yang
dimiliki oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kereta Kanjeng Nyai Jimat dibuat di
Belanda sebagai hadiah dari Gubernur Jenderal Jacob Mossel kepada Sultan Hamengku
Buwono I. Kereta ini digunakan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I
hingga III. Apabila digunakan dibutuhkan 4 hingga 8 ekor kuda yang berwarna sama untuk
menarik kereta ini. Kereta ini berfungsi untuk menjemput tamu atau menghadiri upacara
Garebeg. Kereta ini dinamai “nyai”
Hadiah Persembahan
1. Kereta Kanjeng Nyai Jimat Merupakan kereta kuda tertua yang dimiliki oleh Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Kereta Kanjeng Nyai Jimat dibuat di Belanda sebagai hadiah
dari Gubernur Jenderal Jacob Mossel kepada Sultan Hamengku Buwana I. Kereta ini diguna-
kan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I hingga III. 2. Lukisan Sultan
Hamengku Buwono X Muda Hadiah berupa lukisan Sultan Hamengku Buwono X ketika
berusia 21 tahun, lengkap dengan pakaian kebesaran, dipersembahkan oleh tiga orang
seniman, yaitu Sri Hadi, Sardono W. Kusumo, dan Minto Widodo. Hadiah ini diberikan pada
hari ulang tahun Sultan Hamengku Buwono X yang ke-64 (menurut penanggalan Masehi)
atau 66 tahun (menurut penanggalan Jawa), di Pendopo Bangsa Kencono, Keraton Nga-
yogyakarta Hadiningrat. 3. Kain Kiswah dari Raja Fath di Arab Saudi Hadiah ini
dipersembahkan kepada Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat .
Foto
1. Sri Sultan Hamengku Buwono X 2. Penobatan permaisuri sebagai Gusti Kanjeng Ratu
Hemas 3. Keluarga Sultan HB X 4. Upacara Ngabekten dari Paku Alam VIII kepada Sultan
Hamengku Buwono X. 5. Jamasan Pusaka
Lukisan
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai 8 lukisan karya pelukis kenamaan,
Raden Saleh. Lukisan-lukisan tersebut dipajang dalam satu ruangan khusus, berukuran 3 x 5
meter, di kompleks Kesatriyan. Lukisan-lukisan tersebut yaitu: 1. Lukisan Sultan Hamengku
Buwono IV Dalam lukisan ini, Sultan Hamengku Buwono IV ditampilkan di atas kuda
berwarna putih, mengenakan pakaian kebesaran Belanda yang dipadu dengan identitas
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu songkok hitam. 2. Lukisan Sultan Hamengku
Buwono V Sultan Hamengku Buwono V dilukis dalam posisi duduk di kursi dengan busana
sikepan dengan bordir benang emas, mengenakan kain bermotif parang berlatar putih dan
mengenakan kuluk (tengkuluk) kanigara. 3. Lukisan Sultan Hamengku Buwono VI Ini adalah
lukisan terbesar karya Raden Saleh yang menjadi koleksi Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Lukisan ini berukuran 2,5 x 1,9 meter, dipajang dengan penyangga
Buku
1. Chamamah Soeratno, et.al. (eds.), 2002. Keraton Jogja: The history and the cultural
heritage. Yogyakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing
Association (IMA) 2. Kyai Mutamakkin, Suluk Cebolek Gedhe atau lazim dikenal dengan
nama Serat Cebolek. Buku ini disimpan di Perpustakaan Widya Budaya Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat Selain kedua buku di atas, Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat juga memiliki koleksi beberapa buku mantra. Buku-buku tersebut sampai
sekarang masih disimpan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, antara lain: 1. Kitab
Ambiya Jawi 2. Serat Anggit Kidung Berdonga 3. Serat Puji Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat juga memiliki koleksi buku-buku tentang petunjuk mengabdi kepada Sultan atau
pemerintah, antara lain: 1. Serat Nitisruti 2. Serat Nitipraja 3. Serat Sewaka
Alat Musik
Gamelan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki 18 perangkat gamelan yang
dikategorikan sebagai pusaka Kesultanan, antara lain: 1. Gamelan Monggang yang disebut
Kanjeng Kyai Guntur Laut Gamelan ini merupakan warisan turun-temurun yang berasal dari
Kerajaan Majapahit kemudian diwariskan ke Kesultanan Demak, Pajang, Mataram Islam, dan
akhirnya dimiliki oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 2. Gamelan Kodhok Ngorek
yang disebut Kanjeng Kyai Keboganggang 3. Gamelan Sekati yang terdiri dari Kanjeng Kyai
Gunturmadu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga. Kedua perangkat gamelan ini dibuat pada masa
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Pada setiap upacara Sekaten, Gamelan Sekati
dibawa keluar dari keraton dan ditempatkan di Pagongan (halaman depan Masjid Gedhe
Kauman) untuk ditabuh mulai tanggal 6-11 pada bulan Mulud atau seminggu menjelang ber-
akhirnya perayaan upacara Sekaten berakhir.
Binatang Peliharaan
Gajah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki 2 ekor gajah yang diberi nama
Argo dan Gilang. Kedua binatang ini di tempatkan di kandang gajah di Alun-alun Kidul
(Alun-alun Selatan). Masyarakat setempat menyebut lokasi kandang gajah ini dengan nama
Gajahan.
Bendera
Kanjeng Kyai Tunggul Wulung Merupakan bendera yang dijadikan simbol (panji)
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bendera ini berasal dari kain kiswah Ka’bah dari
Mekah. Bendera ini disebut wulung yang berarti mempunyai warna biru-hitam. Di tengah
bendera terdapat dekorasi berwarna emas. Di tengah dekorasi terdapat kaligrafi Surat Al
Kautsar, Asma’ul Husna, dan Syahadat. Pada waktu tertentu, bendera ini diarak keliling kota
dan di beberapa perempatan jalan diserukan lafadz adzan. Prosesi ini dimaksudkan sebagai
upaya untuk tolak bala dan memohon kesembuhan bagi seluruh rakyat di Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perangkat Upacara
Merupakan benda-benda pusaka yang dipakai ketika Kesultanan Ngayogyakarta Hadining-
rat menggelar upacara Kerajaan. Seperangkat ampilan ini disebut dengan nama Ampilan
Dalem yang terdiri dari: Singgasana (Dampar Kencono) Anak panah Busur panah (Gendewa)
Pedang Tameng Kipas yang terbuat dari bulu burung merak (Elar Badak) Kitab Suci Al-
Qur’an Sajadah Payung (Songsong) Tombak
Koleksi Lain
Enceh atau Padasan Enceh atau padasan merupakan gentong dengan ukuran besar yang
ditempatkan di Makam Raja-raja di Imogiri (Pajimatan Girirejo Imogiri). Terdapat empat
buah enceh yang merupakan hadiah dari negara sahabat Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Keempat enceh tersebut adalah: Nyai Siyem (dari Siam), Kyai Mendung (dari
Rum/Turki), Kyai Danumaya (dari Aceh), Nyai Danumurti (dari Palembang). Setiap setahun
sekali hari pada hari Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon yang pertama di bulan Suro diadakan
upacara menguras air di dalam enceh dan mengganti dengan air yang baru. Sebagian
masyarakat percaya bahwa air yang berada di dalam enceh mengandung tuah yang berkhasiat
untuk mengobati penyakit, menolak bala, hingga meraih kesuksesan. Pelana Kuda Terdapat
sebuah pelana kuda di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dianggap pusaka. Pelana
kuda ini dinamakan Kanjeng Kyai Cekathak.
Seni Budaya
Beberapa Instrumen dalam Gamelan
Seni budaya istana mencerminkan kekayaan adiluhung yang dimiliki oleh
Kerajaan/Kesultanan setempat. Hal ini sesuai dengan citra Kerajaan/Kesultanan yang
dianggap sebagai pusat dari peradaban dan kebudayaan. Berikut ini merupakan contoh seni
budaya Istana Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu gamelan yang mewakili seni
musik. Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, yaitu: kendang, bonang,
bonang penerus, demung, saron, peking (gamelan), kenong & kethuk, slenthem, gender,
gong, gambang, rebab, siter, dan suling. Berikut ini adalah contoh gambar dari masing-
masing alat musik gamelan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat:
Gamelan merupakan perpaduan dari berbagai alat musik tradisional yang menonjolkan
bunyi dari alat musik gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada
instrumen/alatnya, yang merupakan satu kesatuan utuh dan dibunyikan secara bersama. Kata
“gamelan” berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul/menabuh, diikuti akhiran
“an” yang menjadikannya kata benda.
Munculnya gamelan mendapat pengaruh yang sangat kuat dari kebudayaan Hindu-Budha.
Dalam mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru, seorang dewa yang
menguasai seluruh tanah Jawa dan bermukim di sebuah istana di gunung Mahendra di
Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu, Jawa Timur) pada Era Saka (tahun Saka). Pada
mulanya Sang Hyang Guru menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan
yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk satu set
gamelan.
Pada perkembangan kemudian, gamelan menggunakan proses penalaan dalam
membunyikannya (menabuh). Hingga kini dikenal 4 cara penalaan, yaitu sléndro, pélog,
degung (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan madenda (juga dikenal sebagai diatonis,
sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa). Pada praktekn ya, gamelan
dipakai sebagai pengiring seni tari tradisional, pertunjukan wayang (baik wayang kulit
maupun wayang orang), kethoprak, dan berbagai kesenian lainnya. Di Keraton Kesultanan
Yogyakarta terdapat seperangkat alat musik gamelan yang lengkap berjumlah 18 unit, yang
disebut Gamelan Ageng. Gamelan Ageng terdiri dari seperangkat atau satu pangkon berlaras
slendro dan satu pangkon berlaras pelog. Dari 18 unit tersebut, 3 di antaranya merupakan
gamelan lama dan disakralkan (hanya ditabuh pada acara dan waktu-waktu tertentu) yang
disebut Gamelan Pakumartan. Kelompok Gamelan Pakurmatan adalah Gamelan Sekaten
berlaras pelog, Gamelan Monggang berlaras slendro dan Gamelan Kodhok Ngorek berlaras
pelog.
Selain Gamelan Pakurmatan, terdapat pula kelompok gamelan sederhana, antara lain
Gamelan Gadhon yang terdiri dari beberapa jenis instrumen tertentu berlaras slendro dan atau
pelog, yaitu kendhang, gong, gender panembung, gender barung, rebab, gambang suling, siter,
kethuk, kenong, renteng, dan kemodhong. Kemudian ada pula Gamelan Cokekan yang berlaras
slendro dan atau pelog, yang terdiri dari kendhang, siter, gong, dan kemodhong. Bahan
pembuat gamelan adalah timah putih, tembaga, perunggu, kuningan, hingga besi kecuali pada
beberapa alat musik.
3.6 RAJA-RAJA KASULTANAN YOGYAKARTA
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Nama kecil : BENDARA RADEN SUJONO
Tanggal lahir : 4 Agutus 1717, malam rabu pon. 26ruwah wawu 1641
Naik tahta : 13 Februari 1755, kamis pon, 29 Jumadilawal Be 1680
Wafat : 24 Maret 1792 MalamAkhad Kliwon, 1 Ruwah Je 1718
Makam : Pasereyan Pajimatan Imogiri, Kadhaton Suwargan.
Permaisuri ada 2 yaitu Gusti Kanjeng Ratu Kenana putri dari Bendara Pangeran
Harya Diponegoro (putra susuhunan Paku Buwono I) di Madiun. Yang ke dua Gusti Kanjeng
Ratu Kadipaten, lalu bergelar Kanjeng Ratu Hageng kemudian mendapat julukan Gusti Ratu
Tegaljero. Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 25 orang, jumlah putra-putrinya 32
orang.Penggantinya adalah putra ke 5 (putra sulung dari GKR Kadipaten)
Sri Sultan Hamengku BuwonoII
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUNDORO
Tanggal lahir : 7 Maret 1750, malam Sabtu Legi, 28 Rabiulawal Alip 1675
Naik tahta : 2 Apil 1792, Senin Pon, 9 Ruwah je 1718
Wafat : 3 Januari 1828 malam Kamis Legi, 15 Jumadilakhir Alip 1755
Makam : Pasereyan dalem Astana Kotagede
Permaisuri ada 4 yaitu :
1. Gudti Kanjeng Ratu Kedhaton
2. Gusti Kanjeng Ratu Hemas
3. Gusti Kanjeng Ratu Sultan
Seluruh istri dan permaisuri berjumlah 28 orang, jumlah putra-putrinya 80 orang.
Penggantinya adalah GRM Surojo, putra ke lima, putra sulung dari permaisuri GKR
Krdhaton.
Sri Sultan Hamengku BuwonoIII
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUROJO
Tanggal lahir : 20 Februari 1769, Malam Rabu Kliwon, 18 Syawal Dal 1694
Naik tahta : 12 Juni 1812, Ahad Pahing, 10 Jumadilakhir Alip 1739
Wafat : 3 November 1814 Malam Kamis Pahing, 19 Dulkaidah Jimawal 1741
Makam : Pasereyan Pajimatan Imogiri, Kadhaton Suwargan.
Permaisuri ada 3 yaitu ; Gusti Kanjeng Ratu Kencana, Gusti Kanjeng Ratu Hemas,
Gusti Kanjeng Ratu Wandhan. Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 25 orang, jumlah
putra putrinya 32 orang. Penggantinya GRM Ibnu Jarot, putra ke18 putra bungsu dari GKR
Hageng.
Sri Sultan Hamengku Buwono IV
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS IBNU JAROT
Tanggal lahir : 3 April 1804 Selasa kliwon, 22 Besar Jimakir 1730
Naik tahta : 10 November 1814, Kamis Wage, 20 Dulkaidah Jimawal 1714
Wafat : jumat Pahing, 22 Rabiul Awal Je 1750
Makam : Pasereyan Pajimatan Imogiri, Kadhaton Besiyaran.
Permaisuri ada 1 ; Gusti Kanjeng Ratu Kencono kemudian bergelar Gusti Kanjeng Hageng.
Seluruh istri termasuk permaisuri ada 9, seluruh putra putrinya 8 orang. Penggantinya adalah
GRM Ghatot Menol putra ke6 dari KGR Kencana.
Sri Sultan Hamengku Buwono V
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS GATHOT
Tanggal lahir : 24 JANUARI 1820, Senin Klliwon, 7 Rabiul Akir Alip 1747
Naik tahta : 19 Desember 1823 Kamis Kliwon, 5 Rabiul Akhir Je 1750
Wafat : 5 Juni 1855 Selasa legi, 20 Siyam Dal 1783
Makam : Pasereyan Pajimatan Imogiri, Kadhaton Besiyaran.
Permaisuri ada 2 yaitu ;Gusti Kanjeng Ratu Kencono, Gusti Kaneng Ratu Kadhaton.
Seluruh istri dan permaisuri berjumlah 5 orang, seluruh putra putrinya 9 orang. Penggantinya
adalah GRM Mustojo, yaitu adik dari Sri Sultan HB V.
Sri Sultan Hamengku Buwono VI
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS MUSTOJO
Tanggal lahir : 10 Agustus 1821 Ahad Pon, 21 Dulkaidah Ehe 17
Naik tahta : 5 Juli 1855 Syawal Dal
Wafat : 20 Juli 1877 9 Rejeb Je 1
Makam : Pajimatan Imogiri, Kadhaton Besiyaran.
Permaisuri ada 2 yaitu; Gusti Kanjeng Ratu Kenono kemudian bergelar Gusti kanjeng Ratu
Hamengku Buwono. Yang ke dua Gusti Kanjeng Ratu Sultan kemudian bergelar Gusti
Kanjeng Ratu Hageng. Seluruh istri dan selir ada 10 orang, seluruh putra putrinya ada 23
orang. Penggantinya adalah GRM Murtejo, putra pertama dari GKR Sultan.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS MURTEJO
Tanggal lahir : 4 Februari 1839 Senin legi, 20 Dulkaidah Je 1766
Naik tahta : 13 Agustus 1 Ruwah Je 1806
Wafat : 30 Januari 1921
Makam : Pasereyan Pajimatan Imogiri, Kadhaton Suwargan.
Permaisuri ada 3 yaitu; GKR Kencono kemudian bergelar GKR Wandhan, GKR Hemas
kemudian bergelar GKR Hageng, GKR Kencono. Seluruh istri dan permaisuri ada 21 orang,
seluruh putra putrinya 78 orang. Penggantinya GRM Sujadi, putra ke 5 dari GKR Hemas.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Nama kecil : Gusti Raden Mas Sujadi
Tanggal lahir : 3 Maret 1880 Rabu Wage, 21 Rabiul Awal Wawu 1809
Naik tahta : 8 Februari 1921 Selasa Kliwon Jumadilawal Alip 1851
Wafat : 22 Oktober 1939
Makam : Pasereyan Pajimatan Imogiri, Kadhaton Sapterengga.
Permaisuri ada 1 yaitu; Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegoro.
Seluruh istri termasuk permaisuri ada 8 orang, seluruh putra putrinya ada 41 orang.
Penggantinya GRM Dorojatun, setu satunya putra dari permaisuri.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Nama kecil : Gusti Raden Mas Dorojatun
Tanggal lahir : 12 April 1912 Malam Sabtu Pahing, 25 Rabiul akhir Jimakir 1842
Naik tahta : 18 Maret 1940
Wafat : 3 Oktober 1988 Senin Wage, 21 Sapar Wawu 1921 (di Washington DC
Amerika Serikat)
Makam : Pasereyan Pajimatan Imogiri, Kadhaton Sapterengga.
Permaisuri tidak ada, istri selir ada 5 yakni;
1. Kanjeng Raden Ayu Pintoko Purnomo Hamengku Buwono IX
2. Kanjeng Raden Ayu Windyaningrum Hamengku Buwono IX
3. Kanjeng Raden Ayu Hastungkoro Hamengku Buwono IX
4. Kanjeng Raden Ayu Ciptomurti Hamengku BuwonoIX
5. Kanjeng Raden Ayu Norma Nindya Kirana Hamengku BuwonoIX
Seluruh putra putrinya berjumlah 22 orang, penggantinya adalah BRM Herjuno Darpito, putr
ke2 dari Garwa Ampeyan KRAyWindyaningrum Hamengkubuwono IX
Sri Sultan Hamengku Buwono X
Nama kecil : Bandara Raden Mas Herjuno Darpito
Tanggal lahir : 2 April 1946 Selasa Wage
Naik tahta : 7 Maret 1989, Selasa Wage 29 Rejeb Wawu 1921
Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah
kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X). Fluktuasi kehidupan demokrasi di
Indonesia membuat HB X menemukan banyak alternatif perspektif budaya untuk
menyelenggarakan pemerintahan Keraton Yogyakarta. Dengan bekal wawasan demokrasi
inilah, ia menunjukkan bahwa Raja bukan lagi gung binathara (kekuasaan Raja itu agung),
melainkan sosok yang seharusnya demokratis. Raja Jawa ini tetap berprinsip bahwa
kedaulatan rakyat tetap berbudi bawa leksana (berkepribadian baik dan adil). Tentang konsep
ini, ia memiliki paham kebangsaan yang tinggi.
Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah salah seorang Raja di Kesultanan Yogyakarta
dan juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak 1998. Sri Sultan HB X lahir
dengan nama BRM (Bendoro Raden Mas) Herjuno Darpito. Setelah dewasa, beliau bergelar
KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai Putra Mahkota, diberi gelar KGPAA
Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Sultan HB X adalah alumnus
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pada pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) beliau resmi dinobatkan
sebagai Raja dengan gelar “Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan
Hamengku Buwono Senapati ing Ngalogo Ngabdurrokhman Sayidin Panotogomo
Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Dasa”. Gelar ini memiliki arti bahwa Sultan adalah
penguasa sah dunia yang fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai
kekuasaan untuk menentukan perdamaian atau peperangan, dan bahwa dia pulalah panglima
tertinggi angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Sultan juga Ngabdurrokhman Sayidin
Panoto Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai Kalifatullah,
pemimpin utusan Allah.
3.7 UPACARA – UPACARA PENTING
Upacara Grebeg
Upacara yang juga biasa disebut "Bedhol Songsong" oleh masyarakat Yogyakarta ini
merupakan upacara puncak dari peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara
ini diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud setiap tahunnya. Ini berarti pagi hari setelah
perangkat gamelan kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu dibawa masuk kembali ke dalam
keraton dan di simpan di bangsal Sri Manganti.
Upacara Grebeg Maulud dimulai dengan kirab atau parade kesatuan prajurit kraton
yang mengenakan pakaian kebesaran masing-masing. Sedangkan puncak dari acara ini adalah
iringan gunungan yang dibawa menuju Masjid Agung, dimana diselenggarakan do'a dan
upacara persembahan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pada upacara ini, sebagian gunungan, yang dipercaya memiliki daya tuah terutama
bagi kaum tani, dibagi-bagikan kepada masyarakat dengan cara diperebutkan. Masyarakat
berebut mendapatkannya. Menutut anggapan mereka, dengan mendapatkan bagian dari
gunungan ini, tekad mereka akan dapat semakin kuat. Dan bila di tanam di lahan persawahan,
maka hasil panen mereka akan melimpah. Mereka meyakini bahwa khasiat do'anya dapat
membawa berkah dari Tuhan berupa kesuburan dan terhindar dari berbagai hama perusak
tanaman.
Tak hanya Upacara Grebeg Maulud, banyak upacara kebudayaan lainnya yang
diselenggarakan di Yogyakarta. Salah satunya adalah Grebeg Besar yang diselenggarakan
pada tanggal 10 Bulan Besar, berkaitan dengan peringatan Hari Raya Qurban – Idhul Adha.
Upacara lainnya adalah Grebeg Syawal yang di selenggarakan pada tanggal 1 Syawal sebagai
ucapan terimakasih dan rasa syukur masyarakat Yogyakarta kepada Tuhan, dengan telah
berhasil diselesaikannya ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh.
Upacara Sekaten
Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatein) adalah acara peringatan
ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud
(Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta secara
bersamaan). Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton
Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
Dinamakan Syahadatain (2 kalimat syahadat), karena perayaan Maulud Nabi Muhammad
SAW pada zaman dahulu diadakan di masjid Demak, sehingga para pengunjung yang datang
diwajibkan membaca dua kalimat Syahadat. Maka, keramiaan itu kemudian terkenal dengan
syahadatan atau syahadatein, yang kini lalu menjadi kata sekaten (syahadatein).
Sejarah sekaten :
Pada tahun 1939 Caka atau 1477 M, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak
Bintoro, dengan dukungan para Wali membangun Masjid Agung Demak sebagai tempat
ibadah dan tempat bermusyawarah para wali. Salah satu hasil musyawarah para wali dalam
rangka meningkatkan syiar Islam, selama 7 (tujuh) hari menjelang peringatan hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW, diadakan kegiatan syiar Islam secara terus menerus. Supaya menarik
pengunjung, dibunyikan 2 (dua) perangkat gamelan ciptaan Sunan Giri, dengan membawa
gendhing-gendhing tertentu ciptaan para wali,terutama Sunan Kalijaga.
Para pengunjung yang menyatakan ingin “ngrasuk” agama Islam setelah mengikuti kegiatan
syiar agama Islam tersebut dituntun untuk mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat
(syahadatain). Dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat itulah menjadi
SEKATEN akibat perubahan pengucapan, sebagai istilah yang menandai kegiatan syiar
agama Islam yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari terus menerus menjelang sampai
dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW mulai tanggal 5 sampai dengan 12
Maulud atau Robi’ul Awal setiap tahun. Keramaian jelang Maulud Nabi Muhammad SAW di
Demak Bintoro, bermula dari pertemuan rutin para Wali pada setiap tanggal 6-12 bulan
Rabiullawal atau selama 7 hari. Pada hari terakhir pertemuan, diadakan keramaian untuk
memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Lama pertemuan para Wali inilah yang
hingga kini diuri-uri dengan tetap mengadakan sekaten selama 7 hari, terhitung sejak keluar
hingga masuknya kembali Gamelan Sekaten dari dan ke Kraton (Jogja dan Solo). Adapun
pasar malam sekaten yang diadakan selama satu bulan lebih, adalah keramaian yang
diadakakan guna memeriahkan ritus religius itu.
Karena perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW di zaman itu diadakan di masjid
Demak, para pengunjung yang datang diwajibkan membaca kalimat Syahadat. Maka,
keramian itu kemudian terkenal dengan syahadatan atau syahadatein, yang kini lalu menjadi
kata sekaten (syahadatein). Sementara itu, keramaian dan dominasi Demak Bintoro yang
didukung oleh para Wali sakti dan waskita, membuat Prabu Brawijaya V bersedih. Selama 12
hari Brawijaya V bersemedi, memohon kepada para Dewa agar diberi keselamatan. Para ahli
gendhing kraton Majapahit menciptakan tembang baru untuk menghibur Prabu Brawijaya V.
Namun, tembang baru itu terdengar seperti suara Kinjeng Tangis. Sang Prabu pun justru
semakin sedih. Tetabuhan gamalen yang membuat Sang Prabu kian sesek ati atau sesak hati,
kemudian juga diartikan sebagai asal kata sekaten.
Ketika Kerajaan Majapahit akhirnya benar-benar runtuh, seluruh harta kekayaan
termasuk Gong Kiai Sekar Delima menjadi milik Demak Bintoro. Dengan demikian gamelan
menjadi dua, Kiai Sekati dan Kiai Sekar Delima. Oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, Gong Kiai
Sekar Delima diubah namanya menjadi Nyai Sekati. Dua gamelan ini kemudian dikenal
sebagai Gamelan Sekaten yang harus selalu sepasang. Sekaten yang kemudian berkembang
menjadi pesta rakyat tradisional terus diselenggarakan setiap tahun, seiring dengan
tumbuhnya Kabupaten Demak Bintoro menjadi Kerajaan Islam, bahkan Sekaten menjadi
tradisi resmi. Demikian pula saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta Kerajaan
Islam Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat, Sekaten sebagai Upacara tradisional keagamaan Islam masih
terus di selenggarakan beserta pesta rakyat tradisional yang menyertainya.
Dari perkembangan penyelenggaraan Sekaten tahun demi tahun di Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat, pada pokoknya terdiri dari:
1. Dibunyikan dua perangkat gamelan, Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur
Madu, selama 7 hari berturut turut kecuali Kamis Malam sampai Jum’at Siang, di Kagungan
Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta.
2. Peringatan hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, pada tanggal 11 Maulud malam, di
Serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad
SAW oleh Abdi Dalem Sinuwun, para kerabat, pejabat dan rakyat Ngayogyakarta
Hadiningrat.
3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan,
berupa hajad Dalem Gunungan dalam Upacara Garebeg sebagai puncak acara Sekaten
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
BAB IV
PENUTUP
4.1 REFLEKSI
Pandangan menurut kelompok kami mengenai keraton Jogjakarata yang dibaratkan
sebagai bendera merah putih di Indonesia memang sangat tepat dan luar biasa, dimana
didalam kesultanan jogjakarata terdapat tradisi-tradisi serta kebudayaan yang dari dulu
sampai sekarang masih terjaga, diwariskan dan masih kokoh untuk icon bangsa Indonesia
khususnya masyarakat yang ada dijogja.
Keraton Jogjakarta memiliki filosofi yang sangat kental dengan adat jawanya, Salah
satu keraton yang paling menonjol perannya dalam melakukan Islamisasi kebudayaan Jawa
atau Jawanisasi Islam adalah keraton Yogyakarya yang keberadaannya secara historis-politis
mulai ada setelah ditanda tanganinya Perjanjian Giyanti pada zaman Belanda. Isi perjanjian
itu memecah Mataram menjadi dua kawasan pemerintahan, yaitu Kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarata sampai saat ini, kraton Yogyakarta mempunyai
peranan yang sangat penting sebagai faktor menentu dalam dinamika kehidupan masyarakat
Yogyakarta. Yogyakarta adalah titik puncak kehidupan masyarakat dan kehidupan Jawa-
Islam yang mencerminkan kehidupan religius dalam kehidupan masyarakat Jawa. D.I
Yogyakarta memiliki banyak sekali budaya yang sepertinya tidak pernah habis diceritakan
dari masa ke masa. Kebudayaan yang paling terkenal di D.I Yogyakarta adalah hal-hal yang
berkenaan dengan keraton Yogyakarta.
Selain berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan beserta keturunan-keturanannya,
keraton ini biasa digunakan sebagai pusat pemerintahan kesultanan Yogyakarta. Tiap-tiap
bangunan memiliki nama yang sangat njawani. Yaitu, Tratag Rambat, Siti Hinggil Ler,
Kemandungan Lor, Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kemandungan Kidul, dan Siti
Hinggil Kidul. Kegunaan tiap-tiap bangunan utama juga berbeda. Bangunan utama pertama
yang terdapat di keraton Yogyakarta adalah bangunan yang biasa digunakan para abdi dalem
ketika menghadap sultan dalam berbagai upacara adat. Bangunan ini biasa disebut Tratag
Rambat. Bangunan utama kedua bernama Siti Hinggil Ler. Bangunan ini biasa digunakan
oleh Sultan untuk meresmikan sesuatu. Pada 1949,Universitas Gadjah Mada pun diresmikan
di tempat ini. Jadi keraton yojgakarata memiliki karisma tersendiri bagi bangsa Indonesia,
dan kami sangat bangga terhadap adanya keraton Yogjakarta yang memberkan sunbangsi
besar terhadap berdirinya kebudayaan Indonesia.
4.2 SARAN DAN TINDAK LANJUT
Indonesia adalah negara yang mempunyai beragam kebudayaan. Keberagaman yang
ada di Indonesia pun sepertinya sudah banyak diakui masyarakat dunia. Salah satu
keberagaman budaya Indonesia yang terkenal hingga mancanegara adalah kebudayaanyang
berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Keraton Yogyakarta merupakan salah satu simbol
utama dari Yogyakarta. Pembangunan Keraton Yogyakarta sendiri tidaklah sembarangan
tetapi diperhitungkandengan matang dan dipengaruhi banyak filosofi serta kepercayaan
mitologis yangmencerminkan kuatnya tradisi masyarakat Yogyakarta.
Keraton juga menunjukkan kuatnya akulturasi antara tradisi Jawa tradisional dengan
budaya Islam melalui berbagai simbolisasiyang tersebar di banyak bagian kompleks
Keraton.Keraton Yogyakarta juga tidak hanya menjadi bangunan yang penting bagi
keluargakesultanan dan masyarakat Yogya, namun juga memiliki peranan dalam
sejarah nasional bangsa Indonesia. Pemanfaatan Keraton Yogyakarta pada masa sekarang
memang sudahsangat berkembang dan mengalami berbagai perubahan. Salah satu yang
paling mencolok adalah pembukaan Keraton sebagai objek wisata. Meskipun demikian, di
tengah arusmodernisasi tersebut, Keraton masih dapat mempertahankan tradisi kehidupan
Keraton sehingga nilai-nilai kehidupan Keraton masih dapat terpelihara dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Kemala Atmaja, Wawancara : Lebih Baik Mati daripada Malu, KPHG.
Mangkubumi Tentang Para Selir Dan Eksistansi Keraton, Matra, Nomor 28 November 1988.
Mandoyokusumo KPH., Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat Cetakan Ke-V Tahun 1988, Bebadan Museum Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Moejanto g., Garis-Garis Besar Sejarah Kasultanan Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 1989.
Moelyono, Labuhan, Mekarsari Nomor 01 Tahun XXXIV, 7 Maret 1990.