BAB V okee
-
Upload
sodiekimampr2665 -
Category
Documents
-
view
926 -
download
0
Transcript of BAB V okee
BAB V
HIDROGEOLOGI
Sistem penambangan yang banyak digunakan saat ini ada tiga macam,
yaitu sistem tambang terbuka, tambang bawah tanah, dan tambang bawah laut.
Pemilihan metode penambangan ini didasarkan pada kondisi topografi, geologi,
endapan bahan galian dan nilai ekonominya. Sistem penambangan yang
digunakan oleh PT. SCHOONER di Dusun Jetak, Desa Karangsari, Kecamatan
Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sistem
tambang terbuka dengan metode Open Cast. Hal ini dipilih karena kondisi bahan
galian yang letaknya di perbukitan, sehingga sangat efektif jika menggunakan
tambang terbuka.
Endapan kaolin yang terletak di perbukitan akan menyebabkan adanya
kendala selama penambangan, terutama karena air hujan, yang kemungkinan akan
turun ke daerah perkantoran dan pengolahan pada lahan yang lebih rendah. Oleh
karena itu perlu dibuat rancangan penyaliran air tambang untuk mengatasi
masalah air yang berasal dari air hujan.
Salah satu ciri utama tambang terbuka adalah adanya pengaruh iklim pada
kegiatan penambangan. Elemen-elemen iklim tersebut antara lain hujan, panas/
temperatur, tekanan udara, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi kondisi tempat
kerja, yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas tambang. Oleh karena itu
perlu dilakukan adanya kajian hidrogeologi.
Agar kajian hidrogeologi dapat berjalan lancar dan tepat sasaran, maka
diperlukan kerangka kajian. Kerangka kajian ini sebagai acuan pelaksanaan kajian
di lapangan, terutama cakupan materi, data-data yang harus diambil, urutan dan
kaitan masing-masing aspek kajian serta hasil yang diperoleh. Secara ringkas
kerangka kajian mencakup :
1. Kajian Hidrologi
2. Kajian Hidrogeologi
1
3. Pengendalian air tambang
4. Perhitungan dimensi saluran terbuka
5. Rancangan kolam pengendapan
Diagram alir kerangka kajian hidrogeologi dapat dilihat di halaman berikut :
Gambar 5.1
Kerangka Kajian Hidrogeologi Dusun Jetak , Desa Karangsari, Kecamatan
Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta
2
5.1 Kajian Hidrologi
Pada umumnya proses – proses yang berkaitan dengan siklus air
merupakan hal yang periodik terhadap ruang dan waktu, yang tergantung pada
pergerakan bumi terhadap matahari dan rotasi bumi pada porosnya.
5.1.1. Siklus Hidrologi dan Neraca Air
Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 Milyard km3 air yang terdiri
dari 97,5 % air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air
sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di
udara. Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi penguapan, presipitasi
dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan
laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh
sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke
permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke
permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi
mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan
dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir
melalui dahan-dahan ke permukaan tanah.
Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam
tanah (infiltrasi). Bagian yang lain merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-
lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk
ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan
tiba ke laut, dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke
udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali segera ke sungai-
sungai (disebut aliran intra = interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan
sebagai air tanah (groundwaterr) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam
jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah
(disebut groundwater runoff = limpasan air tanah).
Jadi, sungai itu mengumpulkan 3 jenis limpasan, yakni limpasan
permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah
(groundwater runoff) yang akhirnya akan mengalir ke laut. Singkatnya ialah uap
dari laut dihembus ke atas daratan (kecuali bagian yang telah jatuh sebagai
3
presipitasi ke laut), jatuh ke daratan sebagai presipitasi (sebagian jatuh langsung
ke sungai-sungai dan mengalir langsung ke laut). Sebagian dari hujan atau salju
yang jatuh di daratan menguap dan meningkatkan kadar uap di atas daratan,
sedangkan sebagian yang lain mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut.
Sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air daratan berlangsung terus.
Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi (hydrological cycle). Sirkulasi air ini
dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan, atmosfer, angin, dan lain-
lain) dan kondisi topografi, tetapi kondisi meteorologi adalah faktor-faktor yang
menentukan.
Gambar 5.2
Siklus Hidrologi
Dalam proses sirkulasi air, penjelasan mengenai hubungan antara aliran
kedalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu periode
tertentu disebut neraca air (water balance)
Umumnya, terdapat Hubungan keseimbangan sebagai berikut :
P = D + E + G + M
Keterangan :P = PresipitasiD = DebitE = Evapotransportasi
4
G = Penambahan (supply) air tanahM = Penambahan kadar kelembaman tanah (moisture content)
5.1.2. Kondisi Hidrologi Daerah Penyelidikan
Daerah penelitian di Dusun Jetak, Desa Karangsari, Kecamatan Semin,
Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hujan tropis
yang ditandai dengan adanya pergantian dua musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan Oktober sampai dengan
bulan Mei dengan curah hujan rata-rata berkisar 49 – 429 mm/bulan dan musim
kemarau dari bulan Juni sampai dengan bulan September dengan curah hujan rata-
rata berkisar antara 0 mm – 41 mm/bulan. Temperatur udara berkisar antara 36◦C -
43◦C. Curah hujan rata-rata per tahun yaitu 872,1 mm. Jumlah hari hujan rata-rata
per tahun hanya 72 hari/tahun.
5.1.3. Curah Hujan
Curah hujan akan menunjukkan suatu kecenderungan pengulangan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam analisis curah hujan dikenal istilah
periode ulang hujan (return of period), yang berarti kemungkinan periode
terulangnya suatu tingkat curah hujan tertentu. Satuan periode ulang adalah tahun.
Dalam perancangan suatu bangunan air atau dalam hal ini adalah sarana
penyaliran tambang, salah satu kriteria perancangan adalah hujan rencana, yaitu
curah hujan dengan periode tertentu atau curah hujan yang memiliki kemungkinan
akan terjadi sekali dalam suatu jangka waktu tertentu.
Tabel 5.1
Data Curah Hujan Tahunan
Tahun Jumlah Curah Hujan
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des Jmlh
1999 - - - - - - - - - 161 202 429 792
2000 207 189 48 67 49 - - - - 26 - - 586
2001 - 81 293 179 62 53 70 - 41 151 244 14 1191
2002 248 181 158 75 - - - - - - - - 662
5
2003 - - - - - - - - - - - 388 388
2004 12 18 29 3 9 - - - - 7 22 35 135
2005 61 32 19 14 - 4 5 2 5 14 12 47 215
2006 42 22 13 23 23 - - - - - 26 459 608
2007 68 330 209 290 87 64 3 - - 98 117 624 1890
2008 136 411 378 135 35 6 - - - 239 449 9 1798
2009 204 233 140 139 113 60 18 - - 59 183 99 1248
SumberDinasPertanianKabupatenGunungKidul
5.1.4 Analisa Data Curah Hujan
Berdasarkan hasil perhitungan curah hujan rencana (dapat dilihat di
lampiran X), curah hujan rencana pada tahun ke-5 adalah sebesar 484,05 mm.
Maka perhitungan intensitas curah hujan adalah :
Keterangan : I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
R24 = Curah Hujan harian maksimum (mm/hari)
t = Waktu = 1 jam
mm/jam
5.1.5 Air Limpasan
Air limpasan (run off) adalah bagian curah hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah menuju sungai, danau maupun laut (Asdak, 1995). Aliran
tersebut terjadi karena air hujan yang mencapai permukaan tanah tidak terinfiltrasi
akibat intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi atau faktor lain, seperti
kemiringan lereng, bentuk dan kekompakan permukaan tanah serta vegetasi
(Arsyad, 1989). Disamping itu, air hujan yang telah masuk ke dalam tanah
6
kemudian keluar lagi ke permukaan tanah dan mengalir ke bagian yang lebih
rendah (Sri Harto, 1985).
Daerah Wonosari merupakan daerah karst yang banyak terdapat fracture,
maka kapasitas infiltrasi daerah ini termasuk tinggi sehingga air hujan akan dapat
langsung terinfiltrasi melalui bidang – bidang perlapisan, retakan – retakan, dan
porositas sekunder, sehingga debit air limpasan dapat diasumsikan minimal.
5.1.6 Debit Air Limpasan
Metode yang dianggap baik untuk menghitung debit air limpasan puncak
(peak run off = Qp) adalah metode rasional (US Soil Conservation Service, 1973
dalam Asdak, 1995).
Qp = 0,278 C I A (m3/detik)
Keterangan :Qp : debit puncak (m3/detik)C : koefisien air limpasanI : intensitas hujan (mm/jam)A : luas daerah DTH (km2)Metode rasional berasumsi bahwa intensitas curah hujan merata di seluruh
DAS (daerah aliran sungai) dengan lama hujan (durasi) sama dengan waktu
konsentrasi. Waktu konsentrasi adalah waktu perjalanan yang diperlukan oleh air
dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan aliran air
larian.
Koefisien air limpasan adalah (run off) bilangan yang menunjukan
perbandingan antara air limpasan dengan jumlah air hujan. Sedangkan koefisien
regim sungai (KRS) merupakan koefisien perbandingan antara debit harian rata-
rata maksimum dengan debit harian rata-rata minimum. Secara makro evaluasi
terhadap DAS dapat dilakukan dengan menghitung nisbah (ratio) debit
maksimum – minimum dari tahun ke tahun. Penentuan koefisien limpasan dalam
rancangan penyaliran tambang umumnya menggunakan the catchment average
volumetric run off coefficient. Faktor – factor yang berpengaruh antara lain :
kondisi permukaan tanah, luas daerah tangkapan hujan, kondisi tanah penutup,
dan lain-lain.
7
Dilihat dari sistem penambangan yang digunakan yaitu open cast yang
ditambang hingga elevasi 240 m, maka pada area penambangan tidak ada air
limpasan.
5.2 Morfologi
5.2.1 Morfologi Daerah Wonosari
Daerah penambangan merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian
300 m di atas permukan air laut. Geomorfologi yang dapat ditemukan pada
kawasan Formasi Wonosari yakni lembah, gua berstalaktit dan stalagmite, sungai
bawah tanah, doline, dan uvala. Ciri perbukitan pada kawasan tersebut yakni
lereng terjal, berbatu, dan memiliki kemiringan 15%, berbentuk kerucut, puncak
membulat, dan lapisan tanah penutup yang tipis.
5.2.2 Daerah Tangkapan Hujan
Daerah tangkapan hujan merupakan suatu luasan daerah dimana air
cenderung mengumpul dan menuju ke tempat tertentu. Daerah tangkapan hujan
ini mempengaruhi jumlah air limpasan yang mengalir pada suatu area tambang.
Daerah tangkapan hujan ini dipengaruhi oleh keadaan topografi suatu daerah,
apakah itu bukit atau dataran. Untuk daerah penyelidikan di Dusun Jetak, Desa
Karangsari daerah tangkapan hujan ini bisa dilihat dan ditentukan dari arah
kemiringan lereng dimana air mengarah ke dasar lereng atau sungai, sehingga
untuk lahan perkantoran dan pengolahan yang terletak didasar lereng perlu
memperhatikan air limpasan yang mengalir di lahan tersebut.
Kondisi daerah penambangan (mine area) di dusun Jetak yang akan
dibuka umumnya merupakan kawasan yang berpotensi sebagai daerah tangkapan
hujan. Luas Daerah Tangkapan Hujan di dusun Jetak adalah sebesar 61590 m2.
5.3 Kajian Hidrogeologi
5.3.1 Geologi Daerah Penyelidikan
Berdasarkan ciri batuan yang terdapat di daerah penyelidikan, batuan
dapat dikelompokkan menjadi batuan Pra – tersier dan batuan Tersier. Daerah
Gunung Kidul memiliki jenis batuan yang sangat variatif mulai dari jenis batuan
8
dengan umur tersier; adalah sekis, filit, marmer, kuarsit, dan sabak yang berumur
pra – tersier. Diatasnya dijumpai kelompok jiwo yang terdiri dari Formasi
Wungkal serta formasi batugamping dengan litologi konglomerat, batu pasir,
gamping foraminifera dan napal, secara tidak selaras diatasnya dijumpai Formasi
Kebo – Butak, dimana Formasi Kebo terdiri dari serpih, batu pasir dan algomerat
sementara pada formasi butak terdapat Formasi Semilir yang terdiri dari breksi
tufa pumis asam berumur meiosen awal. Formasi Wonosari tersusun dari
batugamping berlapis, batugamping massif, dan batugamping terumbu. Ciri fisik
yang spesifik pada formasi ini adalah porositas sekunder berupa rongga – rongga
yang terbentuk dari hasil pelarutan mineral – mineral kalsit maupun dolomit.
Formasi ini kadang kadang menunjukkan hubungan selaras di atas formasi Oyo.
5.3.2. Kajian Kondisi Air tanah
Analisis kondisi air tanah di daerah penambangan didasarkan pada
pengamatan langsung dilapangan dan peta hidrogeologi. Secara umum arah dan
pola aliran air tanah didaerah penyelidikan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Arah dan pola aliran air tanah bebas sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi
daerah penyelidikan.
2. Arah dan pola aliran air tanah tertekan lebih ditentukan oleh kondisi tekanan
pisometrik daerah tersebut.
Keberadaan air tanah pada operasi tambang terbuka telah menjadikan
salah satu faktor batasan penting terhadap tingkat keberhasilan ekonomis awal
dari suatu operasi penambangan. Semakin dalam kemajuan penambangan
tambang terbuka maka tingkat permasalahan air tanah akan semakin sulit. Oleh
karena itu perlu adanya sistem penyaliran yang baik. Penyaliran diperlukan
sebagai penunjang kelancaran dalam kegiatan penambangan. Sistem penyaliran
yang ada pada lokasi tambang terbuka dilaksanakan karena akumulasi air di dalam
tambang yang harus dikeluarkan.
Penyaliran pada tambang terbuka umumnya dilakukan dengan cara
Drainase, yang bertujuan untuk mencegah air agar tidak masuk ke dalam area
tambang yaitu dengan membuat parit bila topografi di daerahnya memungkinkan
dimana parit ini dibuat sebagai saluran mengeluarkan air dari tambang terbuka.
9
Cara ini relatif murah dan ekonomis bila dibandingkan dengan sistem penyaliran
menggunakan cara pemompaan air keluar tambang.
Pada Dusun Jetak terdapat sejumlah air tanah, dibuktikan dengan adanya
sumur-sumur di pemukiman penduduk dengan kedalaman sekitar 10 – 12 m.
Kondisi air tanah saat pengamatan cukup jernih, sehingga warga dusun Jetak
menggunakan air tanah ini untuk keperluan sehari-hari seperti untuk memasak,
mandi, mencuci, dan sebagainya.
Namun, karena rencana penambangan PT SCHOONER berada di atas
level muka air tanah, sehingga keberadaan air tanah tidak mengganggu kegiatan
penambangan. Oleh karenanya dalam perhitungan jumlah air tambang, air tanah
tidak ikut dihitung.
Tabel 5.2
Air Tanah di Dusun Jetak
5.4 Pengendalian Air Tambang
Dalam setiap tambang, banyak atau sedikit selalu ada air yang mengalir
masuk ke dalam tambang. Air ini masuk melalui batas perlapisan, celah – celah
batuan ataupun patahan. Masuknya air kedalam tambang harus dicegah atau
dikeluarkan agar tambang tidak terjadi genangan. Pencegahan masuknya air
kedalam tambang dapat dilakukan dengan jalan membuat parit pada lereng –
lereng bagian atas singkapan, kemudian mengalirkannya ke tempat lain keluar
daerah penambangan. Pada tempat – tempat yang diperkirakan akan menjadi jalur
10
NO Sumber Temperatur (°C) DH
L
PH TDS
(ms)
1 Sumur I 27,8 16 6,45 0,544
2 Sumur II 27,8 21 6,67 0,399
3 Sumur III 27,8 16 6,93 0,195
4 Sungai 27,8 21 7,11 0,113
masuknya air kedalam tambang, misalnya pada perpotongan antara aliran sungai
dan singkapan.
Penyaliran pada sistem tambang terbuka umumnya dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Penyaliran tambang dengan pemompaan
Yaitu dengan mengeluarkan air tanah yang terdapat pada suatu jenjang. Air
tersebut selanjutnya dipompa keluar atau ke permukaan tambang menuju ke
kolam pengendapan dan selanjutnya dikeluarkan ke sungai jika sudah memenuhi
syarat tertentu. Penyaliran dengan pemompaan dapat dilakukan dengan sistem
pemompaan langsung menggunakan pompa slurry dan dengan sistem
pemompaan tidak langsung berupa fasilitas pompa yang terpasang secara terpisah
untuk memompa air bersih (tidak berlumpur), dimana air tambang yang
terkumpul diendapkan terlebih dahulu untuk memisahkan air jernih dengan
endapan lumpur pada suatu sumur pengendap (settler sump).
2. Penyaliran tambang dengan paritan
Yaitu dengan membuat suatu paritan yang mengelilingi tambang untuk
mencegah masuknya air dalam front kerja tambang untuk tambang terbuka. Air
yang mengalir dengan sistem ini menggunakan gaya gravitasi untuk keluar ke
permukaan.
Karena pada lokasi penelitian di dusun Jetak air tanah tidak mempengaruhi
kegiatan penambangan, maka sistem penyaliran yang ada hanya menggunakan
paritan.
Pengendalian air tambang ini meliputi :
1. Perhitungan jumlah air tambang
2. Penentuan saluran terbuka
3. Penentuan kolam pengendapan.
Jumlah air tambang pada tambang terbuka adalah jumlah air limpasan dan
jumlah air hujan yang langsung masuk ke dalam tambang.
5.4.1. Perhitungan jumlah air yang masuk ke tambang
11
Adapun air yang masuk kedalam tambang ini berasal dari air hujan yang
langsung masuk ke area penambangan, yang dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
Keterangan :Qp = debit air yang langsung masuk ke area tambang (m3/detik)CH max = curah hujan harian maksimum (m/detik)A = luas area penambangan (m2)
Dari hasil perhitungan dapat diketahui besar jumlah air yang masuk ke dalam area
tambang adalah :
Tahun 1 = 0,07 m3/detik
Tahun 2 = 0,111 m3/detik
Tahun 3 = 0,15 m3/detik
Tahun 4 = 0,193 m3/detik
Tahun 5 =
Diketahui : CH harian max = 299,7 mm/hari = 3,47 x 10-6 m/detik
A = 61590 m2
61590 m2 x 3,47.10-6 m/detik
0,214 m3/detik
5.4.2. Penentuan saluran terbuka
Masalah yang cukup penting dalam merancang sistim penyaliran tambang
adalah penentuan dimensi saluran terbuka. Untuk itu, perhitungan dimensi saluran
dilakukan dengan menggunakan rumus Manning :
Keterangan:Q = Debit aliran (m3/detik)n = Koefisien kekasaran saluranA = luas penampang saluran (m2)R = jari – jari hidrolis (m)S = kemiringan dasar saluran (%)
12
Gambar 5.3Penampang Saluran Terbuka
Untuk saluran berbentuk trapesium dengan kemiringan sisi 600,
digunakan rumus :
A = (b + Zd).d
= (1,155d + 0,577d) x d = 1,732 d2
P = b + {(1+Z2)0,5 – Z} = 3,455 d
Besarnya debit air tambang yang melewati saluran ini adalah 0,214
m3/detik.
Dengan :Q = Debit aliran air dalam saluran (m3/detik)R = Jari-jari hidrolik (m)A = Luas penampang saluran (m2)S = kemiringan (0,35%)n = Koefisien kekasaran dinding saluran (tetapan Manning)
Saluran untuk mengalirkan air tambang umumnya terdiri dari tanah maka
koefisien kekasaran dinding saluran diperoleh nilai n = 0,03.
Kemiringan dasar saluran penyaliran air tambang umumnya adalah 0,35% =
0.0035.
Sedangkan debit air yang masuk ke saluran adalah sebesar 0,214 m3/detik.
13
Berdasarkan data diatas, ukuran saluran untuk penyaliran air tambang
adalah:
Q = x R2/3 x S1/2 x A
0,214 = x (0,5 d)2/3 x (0,0035)1/2 x 1,732 d2
0,214 = 33,33 x 0,63 d2/3 x 0,0592 x 1,732 d2
0,214 = 1,973 x 1,09 d8/3
d8/3 = 0,1085
d = 0,435 m
dan tinggi jagaan (d’) = 15% x d = 0,065 m
b = 1,155 x 0,435 m
= 0,5 m
A = 1,732 d2
= 0,33 m2
B = b + 2 Z d
= 1 m
a = d/sin 600 = 0,5 m
Dilihat dari segi efisiensi, efektifitas, dan perbandingan dimensi saluran terbuka
antara tahun pertama dengan tahun ke-5 yang tidak begitu besar, maka pembuatan
saluran terbuka di area penambangan PT. SCHOONER pada tahun pertama
menggunakan perhitungan dimensi saluran terbuka tahun ke-5. Sehingga setiap
tahunnya PT. SCHOONER tidak perlu memperbarui dimensi saluran terbukanya.
5.5. Penentuan Jumlah Pompa
Pada daerah penelitian di dusun Jetak, kegiatan penambangan dilakukan
diatas batas air tanah, sehingga penyaliran dengan menggunakan pompa tidak
diperlukan.
5.6. Kolam Pengendapan
14
Dalam merancang kolam pengendapan terdapat beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan, antara lain ukuran dan bentuk butiran padatan, kecepatan aliran,
persen padatan, dan sebagainya
5.6.1. Ukuran partikel
Luas kolam pengendapan secara analitis dapat dihitung berdasarkan
parameter dan asumsi sebagai berikut :
a. Hukum Stokes berlaku bila persen padatan kurang dari 40%, dan untuk persen
padatan lebih besar dari 40% berlaku hukum Newton.
b. Diameter partikel padatan tidak lebih dari 9 x 10-6 m, karena jika lebih besar
akan diperoleh ukuran luas kolam yang tidak memadai.
c. Kekentalan air 1,31 x 10-6 kg/ms (Rijn, L.C. Van, 1985).
d. Partikel padatan dalam lumpur dari material yang sejenis.
e. Batasan ukuran partikel yang diperbolehkan keluar dari kolam pengendapan
diketahui
f. Kecepatan pengendapan partikel dianggap sama.
g. Perbandingan cairan dan padatan telah ditentukan.
5.6.2. Bentuk kolam pengendapan
Bentuk kolam pengendapan umumnya hanya digambarkan secara
sederhana, berupa kolam berbentuk empat persegi panjang. Padahal, sebenarnya
bentuk kolam pengendapan bermacam-macam tergantung dari kondisi lapangan
dan keperluannya. Walaupun bentuknya bermacam-macam, setiap kolam
pengendapan akan selalu mempunyai 4 zona penting yang terbentuk karena proses
pengendapan material padatan (solid particle). Empat zona tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Zona masukan, tempat dimana air lumpur masuk ke dalam kolam
pengendapan dengan asumsi campuran air dan padatan terdistribusi secara
seragam. Zona ini panjangnya 0,5 – 1 kali kedalaman kolam (Huisman, 1977).
b. Zona pengendapan, tempat dimana partikel padatan (solid) akan mengendap.
Panjang zona pengendapan adalah panjang kolam pengendapan dikurangi
panjang zona masuk dan keluaran (Huisman, 1977)
15
c. Zona endapan lumpur, tempat dimana partikel padatan dalam cairan (lumpur)
mengalami pengendapan
d. Zona keluaran, tempat keluarnya buangan cairan yang jernih. Panjang zona ini
kira-kira sama dengan kedalaman kolam pengendapan, diukur dari ujung
lubang pengeluaran (Huisman, 1977).
Gambar 5.4
Sketsa Kolam Pengendapan
Kolam pengendapan yang dibuat agar dapat berfungsi lebih efektif, harus
memenuhi beberapa persyaratan teknis, seperti :
a. Sebaiknya bentuk kolam pengendapan dibuat berkelok-kelok (zig-zag), lihat
Gambar 6.3 agar kecepatan aliran lumpur relatif rendah, sehingga partikel
padatan cepat mengendap.
b. Geometri kolam pengendapan harus disesuaikan dengan ukuran Back hoe
yang biasanya dipakai untuk melakukan perawatan kolam pengendapan,
seperti mengeruk lumpur dalam kolam, memperbaiki tanggul kolam, dsb.
16
Gambar 5.5
Bentuk Kolam Pengendapan yang Memenuhi Syarat Teknis
5.6.3. Perhitungan Ukuran Kolam Pengendapan
Area penambangan yang dilakukan oleh PT. SCHOONER yang terletak di
dusun Jetak merupakan daerah yang mempunyai curah hujan yang kecil, sehingga
debit air yang melalui saluran terbuka atau paritan juga kecil. Selain itu endapan
kaolin yang terbawa oleh air limpasan juga sedikit, sehingga kolam pengendapan
tidak diperlukan.
17