BAB v - Finale
Click here to load reader
-
Upload
icharisyah -
Category
Documents
-
view
209 -
download
1
Transcript of BAB v - Finale
A. Keterbatasan Penelitian
B. Pembahasan Hasil
1. Faktor yang bermakna
1) Hubungan Jenis Kelamin Responden terhadap Kejadian TB Paru
Dewasa
Berdasarkan laporan dari WHO, sedikitnya dalam periode setahun
ada sekitar 1 juta perempuanyang meninggal akibat TB Paru. Pada jenis
kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan
minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh,
sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB Paru (Roebiono.
PS, 2009).
Menurut penelitian Gustafon (2004) membuktikan bahwa laki-laki
mempunyai risiko 2,58 kali menderita tuberkulosis dibadingkan dengan
wanita. Hal tersebut juga didukung oleh laporan dari WHO tahun 1998
yang menjelaskan di Afrika penyakit TB banyak menyerang jenis kelamin
laki-laki yang jumlah penderita TB paru hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah TB paru pada wanita yaitu sebesar 42,34% pada laki-laki dan
28,92% pada wanita. Dari tahun 1985 sampai tahun 1997 diketahui
penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki dilaporkan meningkat
sebanyak 387 penderita (2,5%), sedangkan penderita pada jenis kelamin
perempuan menurun 52 kasus atau sebesar 0,7% (Bloch, 1989).
Apa yang telah diteliti oleh Gustafon, sesuai dengan penelitian. Pada
penelitian, jenis kelamin laki-laki mempunyai proporsi sebesar 48,6% dan
wanita 51,4% untuk berisiko terkena TB paru. Hasil uji statistik chi square
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan kejadian TB paru dengan nilai p < 0,05 dimana jenis kelamin laki-
laki lebih berisiko dengan jenis kelamin perempuan. Dengan nilai OR
sebesar 4,18, maka laki-laki >15 tahun mempunyai risiko 4,18 kali lebih
besar terkena TB paru dibandingkan dengan wanita >15 tahun.
2) Hubungan Status Gizi Responden terhadap Kejadian TB Paru Dewasa
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi
dan lain- lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga
rentan terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor
penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak (Roebiono.PS, 2009).
Menurut beberapa penelitian yang dilakukan mengenai status
tuberkulosis dengan TBC paru dihasilkan bahwa insiden terjadinya
penyakit TBC paru pada vegetarian tiga kali lebih besar dibandingkan
degan yang tidak penelitian ini dilakukan di India oleh Chanarin dan
Stefenson. Sedangkan penelitian yang dilakukan di China dan Inggris
adalah bahwa penderita TBC memiliki kecendrungan memiliki kandungan
zinc dan copper yang lebih rendah dibandingkan bukan penderita. Dari hasil
penelitian tersebut dapat diketahui bahwa status gizi dan asupan makan
sangat mempengaruhi kejadian penyakit TBC. Selain ini pola hidup suatu
masyarakat akan kebiasaan mengkonsumsi makanan juga menjadi pengaruh
yang besar dalam memicu timbulnya penyakit TBC (Silviana, 2006).
Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian cross sectional kami,
dimana responden dengan status gizi kurang memiliki proporsi sebesar
57,1%, sedangkan yang lain adalah gizi baik (40%) dan gizi lebih (2,9%).
Hasil uji statistik chi square menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara status gizi kurang dengan kejadian TB paru dewasa, dengan nilai p <
0,05, dengan OR sebesar 8.
Dalam penelitian yang dilakukan, pengukuran satus gizi dinilai
dengan cara pengukuran Indeks Massa Tubuh, yaitu berat badan dalam
kilogram dibagi hasil kuadrat dari tinggi badan dalam meter.
3) Hubungan Pendidikan Responden terhadap Kejadian TB Paru Dewasa
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai
perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan
mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Depkes RI, 2001)
Penelitian yang dilakukan mengenai penilaian pendidikan responden
di ambil sesuai dengan keputusan Mendiknas mengenai wajib belajar 12
tahun, sehingga peneliti menggolongkan responden berpendidikan rendah
jika tidak tamat SMA, dan berpendidikan tinggi jika tamat SMA atau
sederajat, atau perguruan tinggi. Hasil survey menunjukkan proporsi
sebanyak 68,6% responden berpendidikan rendah dan 31,4% berpendidikan
tinggi. Hasil penghitungan chi square menunjukkan nilai p < 0,05 dan nilai
OR 4,18, sehingga mempunyai hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dengan angka kejadian TB paru, dimana responden yang
berpendidikan rendah mempunyai risiko 4,18 kali lebih tinggi daripada
responden yang berpendidikan rendah. Semakin tinggi pendidikan seseorang
dianggap akan memiliki tingkat pemahaman, keterpaparan informasi, kemampuan
untuk menerima informasi dari luar lebih baik daripada seseorang yang pendidikan
rendah.
4) Hubungan Derajat Berat Merokok Responden terhadap Kejadian TB
Paru Dewasa
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan
resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,
bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun
1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang,
relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480
batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan
(Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara
berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita
perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan
mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru (Depkes RI, 2001).
Faktor risiko lain yang dapat memicu kejadian TBC paru yaitu
perilaku merokok. Merokok merupakan perilaku yang sangat
membahayakan kesehatan masyarakat. Menurut Aditama (1997) kematian
yang disebabkan oleh merokok yaitu sebesar 2,5 juta orang setiap tahunnya
yang dapat diartikan bahwa setiap 13 detik terjadi kematian. Kebiasaan
merokok terbukti dapat memiliki hubungan yang banyak terhadap kejadian
suatu penyakit, diantaranya yaitu penyakit kanker paru, bronchitis kronis,
emfisema, penyakit kardiovaskular, penyakit TBC paru dan lain sebagainya
(Subramanian, 2005; Lam, 2005).
Beberapa fakta dapat terungkap dari berbagai penelitian yang
dilakukan, salah satunya bahwa seseorang yang memiliki risiko mengidap
penyakit TBC paru bila dihubungkan dengan banyaknya jumlah rokok yang
dihisap perhari dan lamanya merokok. Penelitian ini dilakukan oleh
(Kolappan, 2002) menyebutkan bahwa seseorang yang merokok kurang
dari 10 tahun maka risiko mendapatkan peyakit TBC paru meningkat
sebanyak 1,72 kali bila sudah merokok selama 20 tahun maka risiko akan
meningkat sebanyak 3,23 kali
Patokan derajat berat merokok pada penelitian ini menggunakan
Indeks Brinkman yang di modifikasi dimana peneliti membagi menjadi dua
kategori, yaitu berat (>600 batang per tahun) dan ringan (0-600 batang per
tahun). Pada penelitian ini ditemukan hasil yang bermakna dimana terdapat
proporsi sebesar 68,6% untuk derajat merokok yang berat dan 31,4% untuk
derajat merokok yang ringan. Hasil penghitungan chi square menunjukkan
nilai p < 0,05, sehingga peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara perokok dengan derajat yang berat dengan angka kejadian
TB paru, dengan kelipatan sebanyak 10,5 kali lebih besar.
5) Hubungan Pengetahuan Responden terhadap Kejadian TB Paru
Dewasa
Pengetahuan merupakan suatu wawasan yang akan menyebabkan
perubahan seseorang dalam bersikap dan bertindak dalam mengatasi
permasalahan yang timbul dalam kehidupan (Ariyanto, 2008).
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai
perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan
mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Depkes RI, 2001).
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan. Sebanyak
74,2% responden berpengetahuan baik dan 25,7% berpengetahuan kurang.
Hasil penghitungan chi square didapatkan nilai p < 0,05 sehingga hasil
penelitian sejalan dengan apa yang telah di sampaikan oleh Depkes RI.
Hasil OR menunjukkan bahwa dengan pengetahuan yang kurang, akan
memiliki risiko terkena TB paru sebesar 3,5 kali lebih besar daripada yang
berpengetahuan baik.
6) Hubungan Pendapatan Responden terhadap Kejadian TB Paru
Dewasa
Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC,
karenapendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak
dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan (Roebiono. PS, 2009).
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB
merupakan penyakit terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk
berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan
kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya lingkungan; selain itu
masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi masalah bagi golongan sosial
ekonomi rendah (Enarson DA, 1999).
Peneliti membagi pendapatan responden menjadi dua kategori
(pendapatan kurang dan cukup) sesuai dengan UMR DKI Jakarta tahun
2011, dimana dikatakan pendapatan kurang jika < Rp 1.290.000,00.
Proporsi pendapatan kurang pada penelitian, di dapatkan sebanyak 72,9%
dibandingkan dengan pendapatan yang cukup, yaitu 27,1%. Hasil
penghitungan chi square didapatkan nilai p < 0,05 sehingga di dapatkan
hasil yang bermakna antara pendapatan yang kurang dengan kejadian TB
paru, dengan OR sebesar 8,9.
7) Hubungan Riwayat Kontak Penderita TB Responden terhadap
Kejadian TB Paru Dewasa
Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya TBC. Semua kontak penderita TBC positif harus
diperiksa dahak. Kontak erat seperti dalam keluarga dan pemaparan besar-
besaran seperti pada petugas kesehatan memungkinkan penularan lewat
percikan dahak. Faktor risiko tersebut semakin besar bila kondisi
lingkungan perumahan jelek seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang
tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media
transisi kuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu penderita
TBC dapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan rumah,
masyarakat di sekitarnya, dan lingkungan tempat bekerja, makin
meningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberi kemungkinan
infeksi lebih besar pada kontak. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa
pemaparan kuman TBC dapat dipengaruhi oleh faktor individu, keeratan
kontak, dan faktor lingkungan rumah seseorang.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan dimana
memang ada hubungan antara adanya riwayat kontak TB serumah dengan
angka kejadian TB. Di dapatkan proporsi sebanyak 25,7% responden yang
memiliki riwayat kontak TB yang serumah dan 74,3% yang tidak. Dalam
penghitungan chi square, didapatkan nilai p < 0,05 dan OR 3,5. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa jika ada kontak dengan penderita TB lain
yang serumah, akan memiliki risiko 3,5 kali lipat lebih besar terkena TB
paru.
8) Hubungan Lama Kontak Penderita TB Responden terhadap Kejadian
TB Paru Dewasa
Lama kontak adalah kurun waktu kontak tinggal bersama dengan
penderita secara terus-menerus sehingga pada proses ini melalui batuk atau
bersin, penderita TBC paru BTA (+) menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan, Selain itu faktor yang memungkinkan seseorang
terpajan kuman TBC paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebutkarena risiko tertular tergantung dari
tingkat pajanan dengan percikan dahak dimana pasien TBC paru dengan
BTA (+) memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien
TBC paru BTA (-) (Depkes, 2008). Masa inkubasi kuman TBC mulai dari
masuknya kuman sampai terjadi infeksi diperkirakan 6 bulan sampai
dengan 2 tahun (Depkes, 2002).
Dari hasil penelitian, didapatkan proporsi responden yang lama
kontak selama 0-6 bulan sebesar 74,3% dan yang lebih dari 6 bulan sebesar
25,7%. Hasil penghitungan chi square di dapatkan nilai p < 0,05 dengan
nilai OR sebesar 3,5, sehingga dengan lama kontak > 6 bulan akan memiliki
risiko kejadian TB sebesar 3,5 kali lipat.
9) Hubungan Ventilasi Rumah Responden terhadap Kejadian TB Paru
Dewasa
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini
berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah
tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/
bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi
itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi
lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di
dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang
ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen
minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka
tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga
temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur
kamar 22°–30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.
(Depkes RI, 2001).
Ventilasi mempengaruhi proses difusi udara, dengan kata lain
mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dengan kuman lain sehingga
kuman-kuman tersebut dapat terbawa keluar dan mati terkena siar matahari
dan siar ultraviolet. Ventilasi merupakan tempat untuk memasukkan cahaya
ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah
menggunakan bahan seperti kaca, hal ini merupakan kombinasi yang baik.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/MenKes/SK/VII/1999
bahwa ventilasi yang baik adalah 10 % dari lantai rumah. Adrial (2006)
yang menyebutkan bahawa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas
ventilasi kurang dari 10 % luas lantai dapat berisiko 4,55 kali untuk terjadi
TB paru dengan BTA positif (+) dibandingkan dengan kelompok yang
mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10 % dari luas lantai rumah.
Kualitas udara di dalah rumah berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan
penghuninya. Bertambahnya jumlah penduduk dalam pemukiman dalam
perkotaan, menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit untuk membuat
ventilasi. Perjalanan kuman TB paru setelah dibatukkan akan terhirup oleh
orang sekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi
yang baik akan menjamin pertukaran udara dan konsentrasi droplet dapat
dikurangi. Konsentrasi droplet per volume udara dan lamanya waktu
menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman
TB paru. (Depkes 2002).
Pada penelitian ini, ventilasi dibagi menjadi dua kategori dimana
ventilasi rumah responden yang kurang baik mempunyai proporsi sebanyak
68,6%. Hasil uji chi square di dapatkan nilai p sebesar 0,05 dan OR sebesar
12,6. Dari perhitungan OR tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan
ventilasi rumah yang kurang baik akan mempunyai risiko terjadinya TB
sebesar 12,6 kali lipat.
10) Hubungan Kelembaban Rumah Responden terhadap Kejadian TB
Paru Dewasa
Kelembaban udara menunjukkan kadar uap air yang di udara.
Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh adanya air atau uap air,
karena kelembaban merupakan hal yang pasti dibutuhkan untuk
pertumbuhan semua mikroorganisme khususnya bakteri. Kontaminasi
bakteri di udara suatu ruangan dapat terjadi akibat adanya debu atau partikel
di udara yang mengandung uap air yang melayang dan mengandung
bakteri. Kelembaban udara pada setiap ruangan harus diupayakan
memenuhi syarat sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.
829/Menkes/SK/VII/1999 yaitu berkisar 40%-70% kelembaban yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan menjadi tempat perkembangbiakan
mikroorganisme, termasuk kuman TB sehingga viabilitasnya lebih lama.
Berdasarkan penelitian Karminingsih (2002) menyebutkan bahwa rumah
dengan kelembaban lebih besar 60% beresiko terkena TB 2,76 kali
dibanding rumah dengan kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%.
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar
22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab (Depkes RI, 2001).
Sesuai dengan penelitian Karminingsih, pada penelitian ini juga di
dapatkan hasil yang bermakna antara kelembaban rumah yang kurang baik
dengan risiko terjadinya TB. Di dapatkan proporsi responden dengan
kelembaban rumah yang lembab sebanyak 60% dan 40% responden lainnya
mempunyai kelembaban rumah yang baik. Hasil penghitungan chi square di
dapatkan nilai p < 0,05 dan OR sebesar 4,5, sehingga rumah dengan
kelembaban yang lembab akan memiliki 4,5 kali lipat terkena TB paru.
11) Hubungan Pencahayaan Rumah Responden terhadap Kejadian TB
Paru Dewasa
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas
jendela kaca minimum 20% luas lantai.Jika peletakan jendela kurang baik
atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca.Cahaya ini sangat
penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah,
misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan
masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang
diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux, kecuali untuk kamar tidur
diperlukan cahaya yang lebih redup.
Penularan basil tuberkulsosis relatif tidak tahan terhadap sinar
matahari. Oleh karena itu bila dalam ruangan siar matahari dapat langsung
masuk ke dalam ruangan serta sirkulasi udara diatur, maka risiko penularan
diantara penghuni rumah akan sangat berkurang. Kusnindar (1993)
menyatakan bahwa pengaruh intensitas cahaya berkaitan degan matinya
basil tuberkulosis oleh sinar matahari terutama sinar ultraviolet. Dan
besarnya pencahayaan rumah mempunyai hubungan yang bermakna
dengan BTA positif (Sukana, 2000).
Penelitian di Harvard menyebutkan bahwa sinar ultraviolet (UV)
dapat membunuh kuman TB paru, penelitian ini kemudian dibuktikan pada
individu yang tinggal di tempat penampungan diberikan lampu sinar UV
serta individu yang tinggal di rumah diberikan lampu tanpa sinar UV.
Hasilnya membuktikan bahwa individu yang tinggal di rumah tanpa sinar
UV lebih banyak terinfeksi kuman TB paru, walaupun infeksinya tidak
semua bermanifestasi pada kejadian penyakit TB paru (Rosche, 2002).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Harvard, peneliti
menemukan hubungan yang bermakna antara pencahayaan rumah yang
kurang baik dengan risiko terjadinya TB paru. Dengan proporsi responden
yang memiliki pencahayaan yang kurang sebanyak 62,9% dan pencahayaan
yang cukup sebanyak 37,1%. Pada penghitungan chi square, didapatkan
nilai p < 0,05 dan OR sebesar 6,44. Itu berarti, penghuni rumah yang
memiliki pencahayaan yang kurang baik memiliki risiko kejadian TB
sebesar 6,44 kali lipat lebih besar daripada penghuni yang pencahayaan
rumahnya baik.
12) Hubungan Kepadatan Hunian Responden terhadap Kejadian TB Paru
Dewasa
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit.
Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota
keluarga yang menderita TB dengan BTA (+). Kuman TB cukup resisten
terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya
matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi
vital organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat
tinggal penderita TB paru anak paling banyak adalah tingkat kepadatan
rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan
ventilasi rumah (Starke JR, 2003).
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio
luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang.
Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih 2
orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Keadaan perumahan memberikan dampak langsung kepada kualitas
lingkungan terutama kualitas kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup orang yang tinggal didalamnya. Berdasarkan penelitian Adam
(Hermain, 2001) bahwa orang yang tinggal lebih dari 24 bulan mempunyai
risiko2,4 kali menderita penyakit TBC paru aktif dibandingkan dengan
orang yang tinggal kurang dari 24 bulan. Hal tersebut dapat menjadi suatu
indikator bahwa lama tinggal seseorang dalam lingkungan yang kumuh
dapat mempengaruhi terjadinya penyakit TBC paru.
Dari hasil penelitian Dahlan (2001), dinyatakan bahwa orang yang
tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko 3,8 kali lebih besar untuk terjadi penyakit TBC paru
dibandingkan dengan yang tinggal dengan kepadatan hunian yang
memenuhi syarat. Luas lantai ruangan sebagai indikator adalah 1 orang
membutuhkan luas lantai minimal 10 m2.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dahlan, peneliti juga
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian yang kurang baik dengan terjadinya TB paru dewasa. Didapatkan
proporsi kepadatan hunian yang kurang baik sebanyak 44,3%. Dalam
penghitungan chi square di dapatkan nilai p < 0,05 dan nilai OR sebesar
1,12.
2. Faktor yang Tidak Bermakna
1) Hubungan Umur Responden terhadap Kejadian TB Paru Dewasa
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga
sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru
(Roebiono. PS, 2009). Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru
adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes RI, 2001).
Hasil penelitian Gustafon, P et al (2004) (dikutip dalam Desmon,
2006) membuktikan bahwa ada efek dosis respon yaitu semakin tua umur
akan meningkatkan risiko untuk menderita penyakit tuberkulosis dengan
OR pada usia 25-34 tahun adalah 1,36 (95% Cl 0,91-2,04) dan pada
kelompok umur lebih dari 55 tahun OR sebesar 4,08 (95% Cl 2,664-6,31).
Artinya bahwa hasil penelitian gustafon menunjukkan usia diatas 55 tahun
berisiko 4,08 kali menderita penyakit tuberkulosis daripada umur kurang
dari 55 tahun.
Peneliti menggolongkan umur menjadi 15-40 tahun dan > 40 tahun.
Hasil survei menunjukkan 36 orang berumur 15-40 tahun dan 34 orang
berusia > 40 tahun. Hasil uji Chi-Square menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna dengan nilai p > 0,05 antara umur responden dengan kejadian TB
paru pada usia dewasa, dalam artian usia responden tidak mempengaruhi
risiko responden untuk terkena TB paru.
2) Hubungan Pekerjaan Responden terhadap Kejadian TB Paru Dewasa
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari
diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan
mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala
keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap
anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan
memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam
hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang
maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan
sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru
(Depkes RI, 2001).
Hal menarik yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan penyakit
TB adalah masalah pekerjaan. Jenis pekerjaan tertentu yang dilakukan
seseorang akan mempengaruhi angka kejadian TB. Menurut Boris (2004) di
negara berkembang banyak dijumpai penderita TB meningkat pada orang
yang memiliki jenis pekerjaan yang dilakukan di lingkungan tidak sehat. Di
lingkungan pekerjaan dimana terjadi indoor air pollution seperti akibat
rokok maupun pencemaran bahan kimia yang lain akan meningkatkan
kejadian TB.
Jika dihubungkan antara kejadian penyakit TB dengan penduduk yang
memiliki pekerjaan atau tidak, pada negara berkembang yang identik
dengan kemiskinan, pekerjaan susah didapat, angka kejadian TB cenderung
meningkat (Coker, 2005). Menurut Ridwan (1983) masyarakat yang tidak
sanggup meningkatkan daya tahan tubuh dengan intake makanan yang
kurang maupun gizi makanan yang tidak mencukupi.
Berbeda dengan penelitian di atas, hasil yang tidak bermakna
ditunjukkan oleh penelitian ini, yaitu dengan nilai p > 0,05.
Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kategori pekerjaan.
Dalam penelitian ini hanya dipakai dua kategori saja, yaitu bekerja dan
tidak bekerja.