BAB IV.docx

7
BAB IV PEMBAHASAN Pembedahan atau operasi yang akan dilakukan adalah operasi katarak dengan metode ECCE (Extracapsular Cataract Extraction). Operasi dilakukan pada seorang wanita, 75 tahun dengan berat badan 55 kg. Sebelum pembedahan, dilaksanakan pre-op visite dengan tujuan agar mental dan fisik pasien siap secara optimal. Selain itu dengan pre- op visite dokter anestesi dapat merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi sesuai keadaan fisik pasien dan dapat menentukan status fisik pasien (klasifikasi ASA). Empat hal penting yang dievaluasi pada pasien ini saat dilakukan pre-op visite antara lain: 1. Surgical disease: katarak matur 2. Internal disease: imunodefisiensi 3. Kesulitan pemberian anestesi: kesulitan intubasi dikarenakan gigi ompong dan malampati 3

Transcript of BAB IV.docx

Page 1: BAB IV.docx

BAB IV

PEMBAHASAN

Pembedahan atau operasi yang akan dilakukan adalah operasi katarak dengan

metode ECCE (Extracapsular Cataract Extraction). Operasi dilakukan pada seorang

wanita, 75 tahun dengan berat badan 55 kg. Sebelum pembedahan, dilaksanakan pre-

op visite dengan tujuan agar mental dan fisik pasien siap secara optimal. Selain itu

dengan pre-op visite dokter anestesi dapat merencanakan dan memilih teknik serta

obat-obat anestesi sesuai keadaan fisik pasien dan dapat menentukan status fisik

pasien (klasifikasi ASA). Empat hal penting yang dievaluasi pada pasien ini saat

dilakukan pre-op visite antara lain:

1. Surgical disease: katarak matur

2. Internal disease: imunodefisiensi

3. Kesulitan pemberian anestesi: kesulitan intubasi dikarenakan gigi ompong dan

malampati 3

4. Komplikasi anestesi: infeksi oportunistik pada jantung dan paru.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, diperoleh status fisik

pasien, yaitu ASA III. Status fisik ASA III merupakan keadaan dimana pasien dengan

penyakit sistemik berat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Terdapat

beberapa penjabaran terkait status fisik yang dipilih pada kasus ini. Menurut beberapa

penelitian, umumnya pasien dengan infeksi HIV tetap diklasifikasikan dalam status

fisik ASA I atau II. Hal ini dikarenakan virus HIV akan tetap laten secara klinis

Page 2: BAB IV.docx

sampai virus ini dapat berkembang secara massif dan total CD4 penderita menjadi

berkurang drastis, dimana keadaan ini disebut AIDS. Oleh karena itu, pasien-pasien

yang terinfeksi virus HIV tetapi masih memiliki total CD4 > 200 sel/ml secara klinis

masih tampak sehat; sedangkan pasien yang telah didiagnosis AIDS (CD4 < 200

sel/ml) akan jatuh dalam kegagalan fungsi organ yang berat dan karenanya akan

tergolong dalam status fisik ASA 3-5. Namun, berdasarkan penelitian pula, sebagian

besar pasien dengan HIV positif dan nilai CD4<200 sel/ml masih diklasifikasikan

dalam kategori tidak memiliki atau memiliki minimal gangguan fungsional (ASA I

atau II). Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang telah didiagnosis dengan AIDS

begitu pula pasien-pasien dengan gangguan sistem imun yang berat, masih ada yang

dapat dikatakan “fit for anaesthesia” berdasarkan pemeriksaan klinis yang umum

dikerjakan.

Pada kasus ini, kami menilai status fisik tidak hanya dari keterbatasan

fungsional yang dialami oleh pasien, namun juga dari tanda-tanda adanya penekanan

terhadap sistem imun. Hal ini dilandaskan pada penelitian-penelitian sebelumnya

yang mencoba mengklasifikasikan status fisik pasien yang terinfeksi HIV. Dalam

kasus ini tanda penurunan sistem imun tampak pada adanya oral candidiasis,

walaupun pemeriksaan klinis umum lainnya tidak menunjukkan adanya gangguan

fungsional yang berat. Namun penentuan status fisik dengan cara ini pun masih

menjadi isu yang diperdebatkan.

Page 3: BAB IV.docx

Penurunan sistem imun menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan status

fisik pasien dikarenakan hal tersebut dapat menggambarkan keadaan klinis pasien.

Dalam kasus ini, pasien dengan oral candidiasis. Oral candidiasis umumnya akan

menyebabkan pasien merasa nyeri saat makan dan menelan. Selain itu, adanya jamur

oportunistik di dalam rongga mulut dapat mengindikasikan bahwa sistem imun sudah

tidak mampu melawan infeksi oportunistik oleh jamur sehingga diare akibat infeksi

jamur juga mungkin terjadi. Keadaan ini akan menyebabkan ketidak seimbangan

cairan dan elektrolit sehingga koreksi preoperatif sangat penting. Namun,pada pasien

ini tidak dilakukan pemeriksaan elektrolit sehingga keseimbangannya sulit dinilai.

Pada pasien dipilih anestesi umum karena operasi dilakukan pada area kepala

(mata). Sebenarnya operasi katarak tidak memerlukan pembiusan umum, hanya

anestesi lokal di daerah retro orbita. Namun, mengingat pasien tidak kooperatif maka

teknik yang dipilih ialah general anesthesia (GA). Obat-obat anestesi umumnya

memiliki efek pada organ vital tubuh sehingga penggunaannya khususnya pada anak

maupun lansia harus diawasi secara ketat.

Pada dasarnya obat-obat golongan benzodiazepine, contohnya midazolam,

pada dosis anestesi umum hanya memberikan efek depresi minimal pada sistem

kardiovaskular. Namun, apabila penggunaannya digabung dengan opioid seperti pada

kasus ini, maka interaksi agen-agen tersebut akan menimbulkan depresi miokardial

dan hipotensi arterial. Efek ini harus menjadi perhatian khususnya bila muncul pada

pasien lanjut usia dikarenakan pada orang-orang berusia lanjut saraf parasimpatis

Page 4: BAB IV.docx

lebih dominan dibandingkan simpatis. Oleh karenanya, efek depresi pada miokardial

ataupun hipotensi dapat menjadi lebih hebat. Sedatif lainnya yang digunakan dalam

kasus ini adalah propofol. Penggunaan propofol juga harus diikuti dengan monitoring

ketat karena satu diantara faktor yang berhubungan dengan propofol-induced

hypotension adalah usia tua. Perubahan nadi dan cardiac output dapat menjadi berat

pada pasien-pasien dengan usia tua.

Penurunan fungsi organ-organ tubuh pada pasien lansia ditambah dengan

adanya penyakit yang menyertai memang harus mendapat perhatian dalam hal

pemberian anestesi maupun dalam pelaksanaan pembedahan. Pada pasien ini, adanya

penurunan sistem imun akibat infeksi virus HIV dapat mepengaruhi keadaan pasien

preoperatif, durante operatif, maupun post operatif. Kemungkinan munculnya infeksi

oportunistik akibat prosedur anestesi dan pembedahan harus diminimalisir.

Perlambatan proses penyembuhan luka akibat operasi katarak dan kemungkinan luka

yang infeksi harus dipikirkan pada pasien ini pasca operasinya. Namun, berdasarkan

literatur, infeksi HIV bukanlah alasan untuk pasien tidak dioperasi apabila

indikasinya jelas dan selama itu tidak berhubungan dengan peningkatan resiko

kematian postoperative atau komplikasi dalam rentang waktu 30 hari setelah prosedur

dilaksanakan. Menurut penelitian, bahkan pembedahan kardiovaskular dapat

dilakukan dengan aman pada pasien dengan HIV postif tanpa adanya peningkatan

angka kematian di rumah sakit.