BAB IV_6(1).pdf

26
 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Karakterist ik Responden a. Karakteristik keluarga yang merawat lansia Gambaran deskriptif karakteristik keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang merawat lansia meliputi jenis kelamin, umur,  pendidikan, pekerjaan, hubungan keluarga, dan status ekonomi terkait  peran keluarga pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif di Desa Windunegara Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas dapat dilihat  pada tabel 4.1 dibawah ini. Tabel 4.1 Karakteristik keluarga yang merawat lansia (N=39)  No. Karakteristik Frekuensi Persentase % 1. Jenis kelamin a. Laki-laki  b. Perempuan 28 11 72 28 2. Umur a. 18-40 tahun  b. >40 tahun 38 1 97 3 3. Tingkat pendidikan a. SLTA/Sederajat  b. SLTP/Sederajat c. Tamat SD d. Tidak Tamat SD 9 6 23 1 23 15 59 3 4. Status Ekonomi Keluarga a. Rendah (< Rp.795.000,00)  b. Tinggi (>Rp. 795.000,00) 33 6 85 15 Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat bahwa karakteristik keluarga responden yang tinggal dengan lansia di Desa Windunegara Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas sebagian besar berjenis

Transcript of BAB IV_6(1).pdf

Page 1: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 1/26

43

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.  Hasil Penelitian

1.  Karakteristik Responden

a.  Karakteristik keluarga yang merawat lansia

Gambaran deskriptif karakteristik keluarga yang dimaksud

adalah keluarga yang merawat lansia meliputi jenis kelamin, umur,

 pendidikan, pekerjaan, hubungan keluarga, dan status ekonomi terkait

 peran keluarga pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif di Desa

Windunegara Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas dapat dilihat

 pada tabel 4.1 dibawah ini. 

Tabel 4.1 Karakteristik keluarga yang merawat lansia (N=39)

 No. Karakteristik Frekuensi Persentase %

1.  Jenis kelamin

a.  Laki-laki

 b. 

Perempuan

28

11

72

28

2.  Umur

a.  18-40 tahun

 b.  >40 tahun

38

1

97

3

3.  Tingkat pendidikan

a.  SLTA/Sederajat

 b. 

SLTP/Sederajatc.  Tamat SD

d.  Tidak Tamat SD

9

623

1

23

1559

3

4. 

Status Ekonomi Keluarga

a.  Rendah (< Rp.795.000,00)

 b. 

Tinggi (>Rp. 795.000,00)

33

6

85

15

Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat bahwa karakteristik

keluarga responden yang tinggal dengan lansia di Desa Windunegara

Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas sebagian besar berjenis

Page 2: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 2/26

44

kelamin laki-laki (72%), berumur 18-40 tahun (97%), pendidikan

terakhir tamat SD (59%), dan status ekonomi rendah (85%).

 b.  Karakteristik Lansia

Jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi pada

 penelitian ini adalah 39 lansia yang tinggal dengan keluarga yang

terdistribusi pada 4 RW di Desa Windunegara Kecamatan Wangon

Kabupaten Banyumas. Berikut ini adalah gambaran karakteristik

lansia, yang meliputi jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.

Table 4.2 Karakteristik lansia dengan gangguan fungsi kognitif

(N=39)

 No. Karakteristik Frekuensi Persentase %

1. 

Jenis kelamin

a.  Laki-laki

 b.  Perempuan

26

13

67

33

2.  Usia lansia

a. Lansia dini (60-74 tahun)

 b. Lansia tua (≥75 tahun)

29

10

75

25

3.  Tingkat pendidikan

a.  Tamat SD

 b.  Tidak Tamat SD

c.  Tidak sekolah

1

34

4

3

87

10

Berdasarkan tabel 4.2, tergambar bahwa sebagian besar lansia berjenis

kelamin laki-laki (67%), berusia 60-74 tahun (75%), dan memiliki

tingkat pendidikan tidak tamat SD (87%).

2.  Gambaran peran keluarga dalam merawat lansia dengan gangguan

fungsi kognitif.

Gambaran diskriptif variabel peran keluarga meliputi peran

motivator, edukator, dan fasilitator dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah

ini:

Page 3: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 3/26

45

Tabel 4.3 Profil skor tiap domain peran keluarga (N=39)

DomainSkor

Minimum

Skor

Maksimum

Skor Rata-

rata

Std.

 DeviationMotivator 20.83 75.00 49.36 10.19

Edukator 33.33 66.67 51.97 10.17

Fasilitator 33.33 51.97 56.63 10.50

Melalui tabel 4.3 dapat terlihat bahwa skor rata-rata tertinggi

adalah domain peran fasilitator 56.62 kemudian dilanjutkan dengan

domain peran edukator 51.97 dan domain peran motivator 49.36. Selain

itu, dapat terlihat juga bahwa domain peran falisitator memiliki standar

deviasi sebesar 10.50.

3.  Gambaran kualitas hidup pada lansia yang mengalami gangguan

fungsi kognitif.

Tabel 4.4 di bawah ini adalah tabel profil skor tiap domain

kualitas hidup yang memberikan gambaran statistik deskriptif dari tiap

dimensi kualitas hidup.

Tabel 4.4 Profil skor tiap domain kualitas hidup (N=39)

DomainSkor

Minimum

Skor

Maksimum

Skor

Rata-rata

Std.

 Deviation

Kesehatan Fisik 35.71 75.00 53.75 8.27

Kesejahteraan

Psikologis45.83 87.50 62.61 9.24

Hubungan Sosial 50.00 100.00 70.08 13.61

Lingkungan 43.75 78.13 55.61 7.89

Berdasarkan tabel 4.4 dapat terlihat dari skor rata-rata, dimensi

hubungan sosial memiliki nilai paling tinggi yaitu 70.08 dibandingkan

nilai domain lainnya. Domain selanjutnya yaitu domain kesejahteraan

 psikologis (62.61), domain lingkungan (55.61), dan yang terakhir adalah

domain kesehatan fisik (53.75). Dari tabel 4.4 diatas didapat pula

Page 4: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 4/26

46

hubungan sosial yang memiliki nilai standar deviasi paling besar

dibandingkan ketiga dimensi lainnya, yaitu 13.61.

WHOQOL-BREF juga mengukur kualitas hidup secara umum

yaitu kualitas hidup secara keseluruhan dan kesehatan secara umum. Nilai

skor kualitas hidup yang pertama adalah (QOL1) dari kuesioner WHO-

BREF. Pada bagian pertama alat ukur kualitas hidup, terdapat pertanyaan

yang berbunyi “bagaimana menurut anda tentang kualitas hidup anda?”.

Pertanyaan inilah yang dimaksud oleh peneliti sebagai kualitas hidup

yang dipersepsikan.

Tabel 4.5 Profil kualitas hidup secara umum (N=39).

Skor

Minimum

Skor

Maksimum

Skor Rata-

rata

Std.

 Deviation

Kualitas

hidup50 75 51.92 6.74

Berdasarkan tabel 4.5 diatas didapatkan bahwa skor rata-rata

kualitas hidup yang dipersepsikan oleh lansia yang mengalami gangguan

fungsi kognitif ringan adalah 51.92, dengan standar deviasi 6.74.

Tabel 4.6 Profil kesehatan secara umum (N=39).

Skor

Minimum

Skor

Maksimum

Skor

Rata-rata

Std.

 Deviation

Kepuasan

terhadapKesehatan 25 100 55.76 15.57

Berdasarkan tabel 4.6 diatas didapatkan rata-rata kesehatan secara

umum yang dipersepsikan oleh responden adalah 55.76 dengan standar

deviasi 15.57. Skor terendah 25 dan tertinggi 100.

Page 5: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 5/26

47

4.  Hubungan peran keluarga dan kualitas hidup

a. 

Hubungan skor domain peran keluarga dengan skor domain

kualitas hidup.

Tabel 4.7 Hubungan antara domain peran keluarga dengan domain

kualtas hidup. 

Domain

Peran

Motivator

Peran

Edukator

Peran

Fasilitator

Kesehatan Fisik .304 -.198 .103

Kesejahteraan Psikologis .069 -.115 .138

Hubungan Sosial .029 .183 .432**Lingkungan .400* .225 .532**

* Signifikan pada level 0.05

** Signifikan pada level 0.01

Berdasarkan tabel 4.7 terlihat bahwa domain peran keluarga

sebagai motivator memiliki korelasi yang signifikan dengan dimensi

lingkungan sebesar 0.400 pada level 0.05. Hubungan ini bersifat

 positif dengan kekuatan korelasi sedang. Domain peran keluarga

sebagai fasilitator memiliki korelasi yang signifikan dengan domain

hubungan sosial (0.432 pada level 0.01) dan domain lingkungan

(0.532 pada level 0.01). Hubungan ini bersifat positif dengan kekuatan

korelasi sedang.

b. 

Hubungan skor total peran keluarga dengan skor total kualitas

hidup.

Hasil pada tabel 4.8 menjawab dari tujuan penelitian yaitu

mencari ada tidaknya hubungan atara peran keluarga dengan kualitas

hidup lansia dengan gangguan fungsi kognitif di Desa Windunegara

Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas.

Page 6: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 6/26

48

Tabel 4.8 Hubungan peran keluarga dengan kualitas hidup (N=39).

Skor total peran keluarga

Skor total kualitas hidup r .392* p .014

* Signifikan pada level 0.05

Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh nilai signifikan 0.014

menunjukkan bahwa ada korelasi antara peran keluarga dengan

kualitas hidup adalah bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar 0.392

menunjukkan kekuatan korelasi lemah. Korelasi menunjukkan nilai

 positif, artinya semakin baik peran keluarga yang diberikan maka akan

meningkatkan kualitas hidup lansia yang mengalami gangguan fungsi

kognitif.

B.  Pembahasan

1.  Karakteristik responden

a. 

Karakteristik keluarga yang merawat lansia

a. 

Jenis kelamin

Keluarga yang tinggal dengan lansia mayoritas anak kandung dan

lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Orang yang merawat

lansia sebagian besar adalah pasangannya, karena kebanyakan

 perempuan tidak bekerja mencari nafkah. Menurut Stuart &

Sundenn (dalam Patriyani, 2009) mengemukakan bahwa merawat

dan berperilaku caring tidak dapat diturunkan secara genetik, tetapi

ditentukan oleh aspek waktu, energi, keterampilan dan dapat

ditingkatkan melalui budaya, serta dengan mengembangkan

 pengetahuan dan meningkatkan kualitas hubungan interpersonal

melalui peningkatan kemampuan dan keterbukaan. Dengan

demikian merawat lansia dengan gangguan fungsi kognitif dapat

Page 7: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 7/26

49

dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, karena hal tersebut

dapat dipelajari.

 b.  Umur keluarga responden

Hasil penelitian ini keluarga yang merawat lansia lebih banyak

yang berumur 18-40 tahun dibandingkan umur lebih dari 40 tahun.

Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Narniani (2009)

yang menunjukkan bahwa rata-rata umur keluarga yang merawat

lansia adalah 21-30 tahun. Pada rentang umur tersebut reponden

mempunyai pengalaman dalam merawat usia lanjut. Menurut

Purwaningsih (dalam Patriyani, 2009) merawat lansia tidak ada

hubungannya dengan umur keluarga yang merawat, akan tetapi

 berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan

keluarga yang merawat.

c.  Tingkat pendidikan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga

yang merawat lansia hanya memiliki pendidikan terakhir adalah

tamat SD. Pendidikan keluarga merupakan salah satu input dalam

 proses terbentuknya satuan keluaran perilaku baru yang

 berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam melakukan

tindakan sesuai yang diharapkan. Sejalan dengan hal tersebut

Green & Notoatmojo (dalam Patriyani, 2009) menyatakan bahwa

 pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi pada

seseorang dalam pembentukan perilaku kesehatan untuk melakukan

Page 8: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 8/26

50

tindakan terkait dengan kesehatan diri serta memberi dukungan

keluarga pada lansia yang mengalami demensia.

d.  Status Ekonomi Keluarga

Hasil penelitian ini menunjukkan keluarga yang merawat lansia

sebagian besar status ekonomi rendah. Menurut Putra, Hidayat, dan

Aisyah (2010) menyatakan bahwa keluarga dengan keadaan

ekonomi yang baik akan menunjang status kesehatan lansia dengan

 baik. Hal tersebut menggambarkan bahwa keadaan sosial ekonomi

keluarga mungkin akan mempengaruhi kemampuan keluarga dalam

merawat lansia. Menurut Boedhi, dkk (dalam Patriyani, 2009)

menyatakan bahwa sosial ekonomi keluarga yang memadai

diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis,

meningkatkan semangat, dan memotivasi lansia demensia untuk

selalu bersikap dan berprilaku sehat.

 b.  Karakteristik lansia

1)  Jenis kelamin lansia

Berdasarkan hasil penelitian ini gangguan fungsi kognitif ringan

lebih banyak dialami oleh lansia berjenis kelamin laki-laki di

 bandingkan perempuan. Hal ini berbeda dengan penelitian

Rekawati & Japardi (dalam Patriyani, 2009) yang menyatakan

 bahwa perempuan mempunyai risiko terjadinya kepikunan sebesar

1.393 kali atau tiga kali lipat dibandingkan laki-laki. Hal ini

mungkin disebabkan karena usia harapan hidup perempuan lebih

Page 9: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 9/26

51

lama dibandingkan dengan laki-laki. Semakin tinggi usia harapan

hidup perempuan maka semakin lama kesempatan lansia

 perempuan untuk hidup, sehingga semakin besar kemungkinan

mengalami ganggua fungsi kognitif. 

Selain itu, menurut Yaffe,

dkk (dalam Myers, 2008) wanita berisiko mengalami penurunan

fungsi kognitif disebabkan karena adanya peranan hormon seks

endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Meskipun demikian

 berdasarkan penelitian Patriyani (2009) diketahui bahwa tidak ada

 perbedaan signifikan rata-rata skor MMSE lansia yang berjenis

kelamin laki-laki dengan perempuan. Penurunan fungsi kognitif

dapat terjadi pada semua jenis kelamin.

2)  Usia lansia

Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah lansia yang mengalami

gangguan fungsi kognitif lebih banyak pada umur 60-74 tahun di

 bandingkan dengan umur 75 keatas. Hal tersebut dikarenankan

sampel yang tidak berimbang antara lansia yang berumur 60-74

tahun dengan berumur diatas 75 tahun. Menurut Sacanlan et al

(dalam Zulsita, 2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang

 positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif, artinya semakin

tua umur lansia semakin berisiko mengalami gangguan fungsi

kognitif. Lansia yang berumur 74-80 tahun mempunyai risiko

terjadinya gangguan fungsi kognitif sebesar 3.4 kali lebih berisiko

dibandingkan dengan lansia yang berumur 60-74 tahun dan usia

Page 10: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 10/26

52

lebih dari 80 tahun mempunyai peluang 6.4 kali lebih besar untuk

mengalami gangguan fungsi kognitif dibandingkan umur 76-80

tahun (Rekawati dalam Patriyani, 2009). Semakin bertambah umur

maka semakin besar prevalensi dan semakin berat gangguan

fungsi kognitif yang dialami lansia. Hal ini disebabkan karena usia

merupakan faktor utama terjadinya gangguan fungsi kognitif

(Patriyani, 2009).

3) 

Tingkat pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian ini sebagian besar lansia mempunyai

tingkat pendidikan terakhir tidak tamat SD. Menurut Shadlen et al  

(dalam Chen, Lin dan Chen , 2009) menyatakan bahwa seseorang

yang berpendidikan rendah mempunyai risiko terjadinya gangguan

fungsi kognitif/ demensia dua kali lebih besar dibandingkan

dengan seseorang yang memiliki pendidikan tinggi. Hasil

 penelitian yang dilakukan oleh Coffey (dalam Patriyani, 2009)

menyatakan bahwa semakin banyak pendidikan yang dikenyam

seseorang, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya demensia.

Setiap tahun jenjang pendidikan seseorang akan memperlambat

 penurunan daya ingat hingga 2.5 bulan.

2.  Gambaran peran keluarga dalam merawat lansia.

Hasil penelitian pada tabel 4.3 dapat terlihat bahwa skor rata-rata

tertinggi adalah domain peran fasilitator (56.62) kemudian dilanjutkan

Page 11: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 11/26

53

dengan domain peran edukator (51.97) dan domain peran motivator

(49.36).

Penelitian ini menunjukkan bahwa peran keluarga sebagai

motivator memiliki skor rata-rata paling rendah dibandingkan ke dua

domain peran keluarga lainnya. Menurut Friedman (dalam Putra, Hidayat

dan Aisyah, 2010) peran motivator yang dimaksud adalah keluarga

memberikan motivasi kepada lansia untuk dapat menjalani sisa hidupnya

serta dapat menjaga kesehatannya dengan baik. Bentuk dari dukungan

keluarga yang dapat diberikan pada lansia demensia adalah dukungan

 psikologis, dukungan penghargaan, dukungan istrumental, dan dukungan

informasi (Smet, Bomar, dan Miller dalam Patriyani, 2009).

Menurut Patriyani (2009) dukungan keluarga yang paling

 berpengaruh terhadap baik buruknya gangguan fungsi kognitif adalah

dukungan psikologis karena dapat meningkatkan semangat dan motivasi

lansia untuk bersikap dan berperilaku hidup sehat. Menurut Sarafino

(dalam Patriyani, 2009) perilaku keluarga dalam memberikan dukungan

 psikologis meliputi kasih sayang pada lansia, bersikap ramah, tidak

 bersitegang atau konfrontasi dan menunjukkan penampilan yang selalu

siap untuk membantu lansia. Lansia yang mnedapatkan dukungan dari

keluarga dapat meningkatkan semangat hidup dan menambah

ketentraman dalam hidup lansia (Listiowati, 2006). 

Hasil lainnya dari penelitian ini adalah peran keluarga sebagai

edukator memiliki skor rata-rata yang lebih rendah dari peran fasilitator

Page 12: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 12/26

54

dan lebih tinggi dari motivator. Dalam menjalankan perannya sebagai

educator, keluarga diharapkan dapat memberikan informasi tentang

kesehatan pada lansia. Hal ini dapat berfungsi sebagai usaha promotif dari

keluarga, supaya tidak bertambah berat gangguan fungsi kognitif yang

dialami. Hal yang mungkin mempengaruhi rendahnya peran edukator

keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga menganggap keadaan lansia

yang pikun, mudah lupa, linglung adalah hal yang biasa terjadi pada

lansia. Selain itu latar belakang pendidikan keluarga yang rendah yaitu

hanya tamat SD mungkin mempengaruhi kemampuan keluarga untuk

memberikan informasi yang mencukupi.

Latar belakang pendidikan mempengaruhi sikap keluarga dalam

memberikan perawatan terhadap lansia (Lueckenotte, Purwanto dan

Erawati dalam Patriyani, 2009). Keluarga dengan latar belakang

 pendidikan yang tinggi akan mengaplikasikan perannya sebagai edukator

dengan baik. Peran edukator yang dimaksud adalah memberikan

informasi atau pendidikan kesehatan kepada lansia sehingga lansia tahu

apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan untuk meningkatkan

kesehatannya (Putra, Hidayat dan Aisyah, 2010). Sejalan dengan hal

tersebut, Listiowati (dalam Patriyani, 2009) menyatakan bahwa keluarga

sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan serta membantu

 penguasan emosi dan tempat memberikan informasi. Namun menurut

Patriyani (2009) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara dukungan informasi dengan tingkatan demensia yang dialami

Page 13: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 13/26

55

lansia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keluarga berpendidikan

rendah, belum mendapat penyuluhan tentang perawatan lansia demensia

dan keterlibatan keluarga dalam pelayanan kesehatannya, serta keluarga

menganggap lansia demensia adalah hal yang biasa terjadi.

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa peran

fasilitator memiliki skor rata-rata tertinggi dibandingkan peran keluarga

lainnya. Dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator, keluarga

diharapkan mampu membimbing membantu, dan mengalokasikan

sumber-sumber untuk memenuhi kebutuhan lansia dan upaya ini juga

dapat berfungsi sebagai rehabilitatif maupun kuratif (Friedman dalam

Putra, Hidayat, dan Aisyah, 2010). Peran fasilitator yang diberikan

keluarga adalah meluangkan waktu untuk berkumpul dengan lansia dan

anggota keluarga lainnya, memberikan waktu kepada lansia untuk

istirahat lebih kurang 1-2 jam dalam sehari, mendengarkan keluhan-

keluhan lansia, membantu menyiapkan makanan untuk meningkatkan

selera makan lansia, membawa lansia ke pelayanan kesehatan terdekat

ketika mengalami masalah dengan kesehatannya, serta membantu

memenuhi kebutuhan sehari-hari lansia. Hal tersebut sangat berhubungan

dengan keadaan sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan keadaan

ekonomi yang mapan maka cenderung memiliki sumber-sumber lebih

 besar untuk dialokasikan menjamin keadaan kesehatan lansia, sebagai

contoh membawa lansia untuk mengontrolkan kesehatan secara teratur di

Puskesmas.

Page 14: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 14/26

56

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga

memiliki pendapatan di bawah UMR (<Rp 795.00,00). Namun

demikian,peneliti mendapati bahwa keluarga tetap telaten, sabar, serta

melibatkan keluarga lain jika mengalami kesulitan berkaitan dengan

 perawatan anggota keluarga yang berusia lanjut. Hal tersebut sejalan

dengan penelitian Patriyani (2009) yang mendapati bahwa keluarga baik

yang mempunyai status ekonomi rendah maupun tinggi tetap merawat

lansia dengan sepenuh hati, sabar, telaten, melibatkan lansia dalam

kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

3.  Gambaran kualitas hidup pada lansia yang mengalami gangguan

fungsi kognitif.

Berkaitan dengan kualitas hidup, penelitian ini menunjukkan

 bahwa skor tertinggi kualitas hidup terdapat pada domain hubungan sosial.

Lansia yang tinggal di pedesaan atau rural cenderung memiliki hubungan

sosial yang kuat, baik dengan keluarga maupun tetangga sekitar rumah.

Hubungan sosial yang kuat dapat ditunjukkan oleh berbagai jenis kegiatan

yang ada di masyarakat pedesaan, seperti kumpulan RT, tahlilan bagi

lansia laki-laki, arisan dan yasinan. Interaksi sosial dapat dipertahankan

melalui sebuah perkumpulan, memelihara keharmonisan dalam keluarga,

melakukan interaksi dengan orang lain, serta mencegah isolasi

(Rantepadang, 2012). Sejalan dengan penelitian Rini (dalam Setyoadi,

 Noerhamdani, dan Ernawati, 2011) menyatakan bahwa ada pengaruh peer

 group support   terhadap interaksi sosial lansia.  Peer group support  

Page 15: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 15/26

57

membantu lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan sesamanya

sehingga akan terbentuk hubungan yang positif dalam diri lansia dan

hubungan sosialnya akan meningkat.

Logsdon, et al ; Ready, et al; Burgener, & Twigg (dalam Hoe et al,

2006) menyatakan bahwa lansia dengan gangguan fungsi kognitif akan

mengalami masalah dalam kehidupannya sosialnya. Hal tersebut

disebabkan oleh masalah kesehatan fisik dan depresi yang akan membatasi

untuk beraktivitas di kehidupan sosialnya.

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

domain psikologis memiliki skor rata-rata lebih besar dari domain

lingkungan dan kesehatan fisik, namun rendah dari domain hubungan.

Domain ksehatan psikologis menurut World Health Organization Quality

of Life (WHOQOL) berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif

spiritual, pemikiran, konsentrasi dan daya ingat, gambaran diri, serta

 penghargaan terhadap diri. Menurut Asosiasi  Psychogeriatric 

Internasional (dalam Khairiah dan Margono, 2012) gangguan psikologis

yang dialami oleh orang dengan gangguan fungsi kognitif meliputi gejala

gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang mereka sebut

dengan istilah  Behavioral and Psychological Symptoms of Dementia

(BPSD). Angka untuk BPSD sendiri meingkat sampai hampir 80% pada

 pasien dengan demensia.

Berdasarkan hasil penelitian ini domain lingkungan pada lansia

yang mengalami gangguan fungsi kognitif di Desa Windunegara memiliki

Page 16: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 16/26

58

skor rata-rata 55.61. Skor tersebut lebih tinggi dari domain kesehatan fisik

tetapi lebih rendah dari domain hubungan sosial dan psikologi. Hal ini

dapat dikaitkan dengan faktor sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang

rendah. Penelitian Setyoadi, Noerhamdani, dan Ernawati (2011)

menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan perekonomian memegang

 peranan penting terhadap lingkungan, sebab berkaitan dengan kemampuan

 pemenuhan akan lingkungan yang layak dan memadai, diantaranya tempat

tinggal yang bersih dan sehat, ketersediaan informasi, transportasi dan

keterjangkauan terhadap kesehatan.

Menurut Phair and Heath (2001) lansia dengan gangguan fungsi

kognitif/ demensia mengalami penurunan kemampuan dalam adaptasi

terhadap lingkungannya. Lansia dengan gangguan fungsi kognitif mulai

kebingungan/ tidak mampu mengenali tempat yang biasanya ditinggali.

Sejalan dengan Nightingale (dalam Phair and Heath, 2001) percaya bahwa

fokus utama untuk keperawatan adalah untuk mengubah lingkungan fisik

untuk menempatkan tubuh manusia dalam kondisi aman serta nyaman

menjalani kehidupan. Lingkungan yang dirubah sesuai dengan kondisi

lansia yang mengalami gangguan fungsi kognitif dari segi kenyamanan

dan keamanan, diharapakan dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Berdasarkan hasil penelitian ini domain kesehatan fisik pada lansia

yang mengalami gangguan fungsi kognitif memiliki skor rata-rata paling

rendah dari ketiga domain kualitas hidup lainnya yaitu sebesar 53.75.

Menurut Rohana (2011) menyatakan bahwa kemunduran fungsi kognitif

Page 17: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 17/26

59

akibat penuaan dapat dihambat salah satu upayanya yaitu dengan menjaga

kesehatan fisik. Kesehatan dan kebugaran fisik dapat dijaga dengan

melakukan gerakan olahraga atau latihan fisik secara teratur. Pemberian

latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan waktu yang

ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat

kompetitif mempunyai manfaat besar. Hal tersebut dapat meningkatkan

kemampuan aerobik yaitu akan meningkatkan aliran dan volume pasokan

darah yang membawa oksigen ke organ-organ tubuh terutama ke organ

otak, sehingga lansia dapat memperoleh kesehatan jasmani yang baik serta

kualitas hidup lansia dapat meningkat.

Berdasarkan data hasil penelitian ini didapatkan skor rata-rata

kualitas hidup yang dipersepsikan oleh lansia dengan gangguan fungsi

kognitif sebesar 51.93. Menurut Cahill dan Diaz (2012) persepsi tentang

kualitas hidup bervariasi antara kelompok orang yang berbeda. Misalnya

 pada professional kesehatan, pandangan tentang kualitas hidup sangat

terkait dengan rasa sakit yang dialami, kemampuan daya ingat, kesehatan

fisik dan kebebasan. Sedangakan pada kelompok lansia dengan gangguan

fungsi kognitif lebih cenderung mengartikan kualitas hidupnya dengan

frekuensi interaksi dengan keluarga, perasan tetap berguna dan tetap aktif

dalam kehidupan sehari-hari.

Lansia yang mengalami penurunan baik dari fisik, kesehatan dan

daya ingat, hal tersebut dianggap kejadian yang wajar ketika seseorang

sudah tua/ lanjut usia. Hal ini sesuai dengan teori tugas perkembangan

Page 18: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 18/26

60

Havighurst, yang menyatakan bahwa lansia berada pada fase later

maturity yang berarti mampu menyesuaikan diri terhadap penurunan

kekuatan fisik, pensiun, penurunan income, kematian pasangan, berkumpul

dengan orang yang seumur dan mempertahankan kepuasan hidup.

Penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan aspek kehidupan

menyebabkan lansia mampu menerima keadaanya. Penerimaan tersebut

akan memberikan pengaruh positif terhadap kualitas hidup lansia

(Setyoadi, Noerhamdani, dan Ernawati, 2011).

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini dikethui bahwa

 persepsi lansia tentang kepuasan kesehatan memiliki skor rata-rata 55.76.

Hal ini berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif yang tidak secara

langsung berdampak pada kesehatan secara umum. Namun jika lansia

dengan gangguan fungsi kognitif tidak menjaga kondisi kesehatan dan

kebugaran fisiknya, maka akan memperburuk gangguan fungsi kognitif

yang dialami oleh lansia. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Markam

(dalam Rohana, 2011) salah satu upaya untuk menghambat kemunduran

kognitif akibat penuaan yaitu dengan melakukan gerakan olahraga atau

latihan fisik. Latihan fisik/ olahraga/senam bagi lanjut usia mempunyai

manfaat besar karena dapat meningkatkan kemampuan aerobik yaitu akan

meningkatkan aliran dan volume pasokan darah yang membawa oksigen

ke organ-organ tubuh terutama ke organ otak. Efek yang lain yang

diperoleh lansia adalah bisa tidur lebih nyenyak dan menjaga pikiran tetap

segar. Olahraga secara rutin selain melatih otak juga sangat bermanfaat

Page 19: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 19/26

61

untuk mempertahankan kebugaran jasmani, memelihara serta

mempertahankan kesehatan di hari tua (Tilarso dalam Rohana, 2011).

4.  Hubungan peran keluarga dan kualitas hidup.

a.  Hubungan skor domain peran keluarga dengan skor domain

kualitas hidup.

Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa skor domain peran keluarga

memiliki hubungan signifikan dengan skor domain kualitas hidup dengan

 penjabaran sebagai berikut :

1) 

Peran keluarga sebagai motivator memiliki korelasi yang signifikan

dengan domain lingkungan sebesar 0.400 pada level 0.05.

Hubungan ini bersifat positif dengan kekuatan korelasi sedang.

Hubungan tersebut berarti semakin tinggi motivasi keluarga terhadap

lansia semakin baik juga pandangan lansia terhadap keadaan kualitas

lingkungannya. Keluarga dalam hal ini mempunyai pengaruh yang

 besar terhadap kesehatan setiap anggota keluarganya (Friedman

dalam Saragih, 2010). Hal tersebut berkaitan dengan peran keluarga

sebagai motivator, yaitu keluarga memberikan dukungan kepada

lansia untuk menjaga kesehatannya serta dapat menjalani sisa

hidupnya dengan baik (Putra, Hidayat, dan Aisyah, 2010).

Kualitas lingkungan dapat ditingkatkan dengan memenuhi

 berbagai faktor dari segi informasi, transportasi, dan mewujudkan

lingkungan yang aman, nyaman, bersih, dan sehat (Setyoadi,

 Noerhamdani, dan Ernawati, 2011). Keamanan dan kenyaman

Page 20: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 20/26

62

terhadap tempat tinggal sebagian besar dirasakan lansia yang tinggal

 bersama keluarganya (Watson dalam Patriyani, 2009). Ketenangan,

ketenteraman hidup, rasa bahagia yang ada pada lansia diperoleh

dengan adanya dukungan yang diberikan oleh keluarga lansia

(Listiowati dalam Patriyani, 2009). Lansia dengan demensia

mengalami kesusahan dalam hal beradaptasi terhadap lingkungannya.

Keadaan tersebut membuat lansia mengalami stress psikologis,

sehingga prioritas utama untuk lansia dengan gangguan fungsi

kognitif/ demensia adalah menjaga keamana serta nyamanan tempat

dimana lansia tinggal (Phair and Heath, 2001). Menurut Patriyani

(2009) dukungan keluarga yang paling berpengaruh terhadap tingkat

demensia yang dialami lansia adalah dukungan psikologis karena

dapat meningkatkan semangat dan motivasi lansia untuk bersikap

,berperilaku serta mempertahankan kesehatannya, sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup lansia dengan gangguan fungsi kognitif/

demensia supaya tidak bertambah berat gangguan fungsi kognitif/

demensia yang dialami.

2) 

Peran keluarga sebagai fasilitator memiliki korelasi yang signifikan

dengan domain hubungan sosial (0.432 pada level 0.01) dan domain

lingkungan (0.532 pada level 0.01). Hubungan keduanya bersifat

 positif dengan kekuatan korelasi sedang. Hal tersebut berarti semakin

tinggi peran fasilitator keluarga maka semakin tinggi pula persepsi

responden tentang hubungan sosial dan lingkungannya.

Page 21: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 21/26

63

a) 

Peran keluarga sebagai fasilitator memiliki korelasi yang

signifikan dengan domain hubungan sosial (0.432 pada level

0.01), hubungan bersifat positif.

Hasil penelitian tersebut dapat diartikan bahwa semakin

tinggi peran keluarga sebagai fasilitator lansia maka semakin

 baik lansia dalam hubungan sosialnya. Keluarga diharapkan

mampu membimbing membantu, dan mengalokasikan sumber-

sumber untuk memenuhi kebutuhan lansia (Friedman dalam

Putra, Hidayat, dan Aisyah, 2010). Keluarga hendaknya

membantu lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan

sesamanya sehingga akan terbentuk hubungan yang positif

dalam diri lansia dan hubungan sosialnya akan meningkat.

Sejalan dengan (Kuntjoro dalam Fitria, 2011) yang menyatakan

 bahwa hubungan sosial memungkinkan lansia memperoleh

 perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya

untuk membagi minat, perhatian, serta melakukan kegiatan yang

sifatnya kreatif secara bersama-sama. Hal tersebut juga

didukung oleh penelitian Rini (dalam Setyoadi, Noerhamdani,

dan Ernawati, 2011) yang menyatakan ada pengaruh peer group

 support terhadap interaksi sosial.  Peer group support  membantu

lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan sesamanya

sehingga akan terbentuk hubungan yang positif dalam diri lansia

dan hubungan sosialnya akan meningkat.

Page 22: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 22/26

64

 b) 

Hasil dari penelitian didapatkan adanya korelasi yang

signifikan antara peran keluarga pada domain fasilitator dengan

domain lingkungan (0.532 pada level 0.01).

Menurut data hasil penelitian tersebut dapat diartikan

 bahwa semakin tinggi peran keluarga sebagai fasilitator maka

semakin baik juga pandangan lansia terhadap keadaan kualitas

lingkungannya. Kualitas hidup ditinjau dari lingkungan pada

lansia di komunitas berkaitan dengan tingkat pendidikan dan

ekonomi lansia. Menurut Putra, Hidayat, dan Aisyah (2010)

masalah ekonomi berperan serta mempengaruhi baik buruknya

 peran keluarga dalam hal fasilitator. Penghasilan keluarga yang

terbilang cukup, sangat memabantu keluarga dalam memenuhi

semua kebutuhan lansia. Selain itu untuk memenuhi rasa aman

serta nyaman lansia terhadap lingkungan tempat tinggalnya

dibutuhkan adanya dukungan emosional dari keluarga, terlebih

lansia dengan gangguan fungsi kognitif.

Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam

 perawatan lansia yang mengalami gangguan fungsi kognitif di

rumah. Perlu persiapan khusus untuk hidup bersama dengan

lansia dengan gangguan fungsi kognitif. Persiapan yang dapat

dilakukan berupa mental dan lingkungan. Secara mental

keluarga harus dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi

dan keluarga diharapkan dapat menyediakan lingkungan yang

Page 23: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 23/26

65

mendukung bagi lansia, yaitu lingkungan yang membuat lansia

merasa nyaman. sehingga keluarga khususnya caregiver   dapat

memberikan perawatan yang optimal bagi lansia. Merawat

lansia dengan gangguan fingsi kognitif sebaiknya lebih teliti

seperti merawat tubuh, menjaga keamanan dari bahaya,

memelihara kebersihan dan mengontrol tingkah laku lansia dan

 juga merawat jiwa lansia untuk tetap hidup (Touhy dalam

Widyastuti, Sahar, dan Permatasari, 2011). 

3) 

Hubungan antara domain peran edukator dengan masing-masing

domain kualitas hidup.

Peran keluarga sebagai edukator merupakan suatu peran yang

diharapkan dapat memberikan informasi tentang kesehatan pada

lansia. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan tingkat pengetahuan

yang dimiliki oleh keluarga, sebab pengetahuan merupakan salah satu

faktor predisposisi pada seseorang dalam pembentukan perilaku

kesehatan untuk melakukan tindakan terkait dengan kesehatan

(Notoatmojo dalam Patriyani, 2009). Peran edukator keluarga

diperlukan karena lansia membutuhkan informasi tentang

kesehatannya khususnya untuk tetap menjalankan aktivitas sehari-

hari, menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh sehingga gangguan

fungsi kognitif yang dialami tidak semakin berat.

Hasil dari uji  person product moment menunjukkan bahwa

domain peran keluarga sebagai edukator tidak memiliki korelasi yang

Page 24: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 24/26

66

signifikan dengan domain-domain dari kualitas hidup. Hal ini

 berkaitan dengan sebagian besar keluarga yang merawat lansia

 berpendidikan rendah sehingga berdampak pada kemampuan

keluarga dalam memberikan pendidikan kesehatan. Selain itu

keluarga belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang perawatan

lansia dengan gangguan fungsi kognitif, serta keluarga menganggap

keadaan lansia yang mudah lupa atau mengalami gangguan fungsi

kognitif adalah hal yang biasa terjadi. 

b.  Hubungan skor total peran keluarga dengan skor total kualitas

hidup.

Berdasarkan dari hasil uji korelasi  pearson product moment  

didapatkan nilai signifikan sebesar 0.014, menunjukkan bahwa korelasi

antara peran keluarga dengan kualitas hidup adalah bermakna. Nilai

korelasi Pearson sebesar 0.392 menunjukkan korelasi positif dengan

kekuatan korelasi lemah.

Sejalan dengan penelitian Putri dan Permana (2012) yang

menyatakan bahwa ada salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

tingkat kualitas hidup seseorang yaitu interaksi sosial. Interaksi sosial

adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain sebagai bagian dari

komunitas sosial. Interaksi sosial dimulai dari keluarga, teman dekat,

rekan kerja, hingga komunitas umum. Interaksi sosial dalam keluarga

dapat berjalan dengan baik apabila keluarga menjalankan fungsi serta

 peran keluarga dengan baik. Hal ini didukung oleh penelitian Raharjo

Page 25: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 25/26

67

(2008) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi perhatian keluarga

yang diperoleh lanjut usia, maka semakin tinggi kualitas hidupnya.

Penelitian ini menunjukkan adanya faktor keluarga yang dapat

mempengaruhi tingkat kualitas hidup dari lansia. Hal ini dikarenakan

lanjut usia yang tinggal bersama keluarga di rumah tidak hanya

mendapatkan perawatan fisik, namun juga mendapatkan kasih sayang,

kebersamaan, interaksi atau komunikasi yang baik.

C.  Keterbatasan Penelitian

Instrumen MMSE yang digunakan dalam skrening gangguan fungsi

kognitif pada lansia, peneliti kurang memperhatikan adanya false positif dan

false negatif pada individu normal di instrumen MMSE. Menurut Carpenter, et

al  (2011) false positif berkaitan dengan tingkat pendidikan rendah, dan status

ekonomi rendah serta false negatif ditemukan pada populasi dengan

 pendidikan yang tinggi. Pada penelitian ini ada atau tidaknya false positif dan

false negatif tidak dicermati peneliti.

Instrumen pengukuran peran keluarga mungkin pertanyaannya sedikit,

hanya 21 pertanyaan yang valid. Masing-masing domain pertanyaanya tidak

 berimbang, pada domain motivator ada 8 pertanyaan, domain edukator 5

 pertanyaan, dan domain fasilitator ada 8 pertanyaan. Namun secara umum

sudah bisa menggambarkan peran keluarga. 

Pengukuran peran keluarga dan kualitas hidup lansia bersifat rentang,

kemungkinan responden mengalami kesulitan untuk memilih jawaban yang

tersedia, apalagi rentang yang disediakan untuk peran keluarga ada empat

Page 26: BAB IV_6(1).pdf

7/18/2019 BAB IV_6(1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-iv61pdf 26/26

68

sedangkan kualitas hidup ada lima. Kebenaran pengisian kuesioner ini sangat

dipengaruhi oleh kejujuran dan pemahaman responden terhadap peran

keluarga yang sudah diberikan pada lansia serta kualitas hidup lansia

 berdasarkan persespi masing-masing.