BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB...

150
97 BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS Bab keempat dilandaskan pertanyaan penelitian pertama, yaitu bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Untuk menggambarkan dan menjelaskan proses pembentukan identitas tersebut, pola hubungan negara pusat dan satelit menjadi sangat penting. Balinuraga sebagai negara satelit tidak dapat melepaskan dirinya dari Bali sebagai negara pusat. Hal ini disebabkan seperti yang dikemukan Geertz (1959) kuatnya ikatan sosial yang mengikat masyarakat Bali. Ikatan sosial yang kuat menjadikan Balinuraga (negara satelit di luar Bali) tetap mengorbit pada pusatnya. Pola hubungan negara pusat dan satelit bukan merupakan hubungan yang statis, tetapi dinamis. Seperti yang menjadi kritik Schulte Nordholt (2009) atas kestatisan hubungan negara pusat dan satelitnya Geertz (1980) dalam negara teater. Hubungan negara pusat dan satelit yang dinamis menjadikan keduanya (pusat dan satelit) sebagai aktor pengkonstruksi identitas. Dengan kata lain, mengacu pada tiga pengklasifikasian identitas berdasarkan bentuk dan asal usulnya Castells (2002), tidak hanya negara pusat yang menjadi aktor atau agen dalam mengkonstruksikan identitas satelit menjadi identitas yang sahih (legitimizing identity), tetapi negara satelit (Balinuraga) juga menjadi aktor yang mengkonstruksikan identitasnya dalam bentuk resistance dan project identity sebagai bagian dari politik identitas Balinuraga sebagai satelit yang aktif. Aktor Datang dari sebuah pulau kecil, Nusa Penida, di sebelah timur Pulau Bali, dengan semangat dan tujuan yang sama, yakni mencari penghidupan secara ekonomi yang lebih baik, bukan menjadi satu-satunya tujuan utama bagi transmigran Bali Nusa. Sukses secara ekonomi di tanah rantau dan menjadi kaya, tidak akan berarti apa-apa jika mereka kehilangan identitas leluhurnya identitas sebagai orang Bali Hindu. Kehilangan identitas berarti kehilangan jati diri mereka sebagai Bali Hindu, di mana secara sosial dan kultural mereka tersisihkan dari komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, maupun di tanah kelahiran. Ini berarti kehilangan hak dan kewajiban mereka sebagai Bali Hindu, baik

Transcript of BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB...

Page 1: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

97

BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS

Bab keempat dilandaskan pertanyaan penelitian pertama, yaitu

bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di

Desa Balinuraga. Untuk menggambarkan dan menjelaskan proses

pembentukan identitas tersebut, pola hubungan negara pusat dan satelit

menjadi sangat penting. Balinuraga sebagai negara satelit tidak dapat

melepaskan dirinya dari Bali sebagai negara pusat. Hal ini disebabkan –

seperti yang dikemukan Geertz (1959) – kuatnya ikatan sosial yang

mengikat masyarakat Bali. Ikatan sosial yang kuat menjadikan Balinuraga

(negara satelit di luar Bali) tetap mengorbit pada pusatnya. Pola hubungan

negara pusat dan satelit bukan merupakan hubungan yang statis, tetapi

dinamis. Seperti yang menjadi kritik Schulte Nordholt (2009) atas

kestatisan hubungan negara pusat dan satelitnya Geertz (1980) dalam

negara teater. Hubungan negara pusat dan satelit yang dinamis

menjadikan keduanya (pusat dan satelit) sebagai aktor pengkonstruksi

identitas. Dengan kata lain, mengacu pada tiga pengklasifikasian identitas

berdasarkan bentuk dan asal usulnya Castells (2002), tidak hanya negara

pusat yang menjadi aktor atau agen dalam mengkonstruksikan identitas

satelit menjadi identitas yang sahih (legitimizing identity), tetapi negara

satelit (Balinuraga) juga menjadi aktor yang mengkonstruksikan

identitasnya dalam bentuk resistance dan project identity sebagai bagian

dari politik identitas Balinuraga sebagai satelit yang aktif.

Aktor

Datang dari sebuah pulau kecil, Nusa Penida, di sebelah timur

Pulau Bali, dengan semangat dan tujuan yang sama, yakni mencari

penghidupan secara ekonomi yang lebih baik, bukan menjadi satu-satunya

tujuan utama bagi transmigran Bali Nusa. Sukses secara ekonomi di tanah

rantau dan menjadi kaya, tidak akan berarti apa-apa jika mereka

kehilangan identitas leluhurnya – identitas sebagai orang Bali Hindu.

Kehilangan identitas berarti kehilangan jati diri mereka sebagai Bali

Hindu, di mana secara sosial dan kultural mereka tersisihkan dari

komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, maupun di tanah kelahiran.

Ini berarti kehilangan hak dan kewajiban mereka sebagai Bali Hindu, baik

Page 2: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

98

berupa ikatan kekerabatan, adat istiadat, maupun status sosial yang

disandangnya terun-temurun. Kekayaan materi tidak dapat menggantikan

identitas tersebut. Beban psikologis secara sosial dan kultural akibat

kehilangan identitas leluhur tidak dapat dibandingkan dengan kehilangan

materi. Kekayaan materi dapat dicari melalui ketekunan dan kerja keras,

tapi kekayaan komunitas yang terkandung di dalam identitas leluhur tidak

dapat diperoleh kembali jika telah hilang akibat keputusan si individu

untuk kepentingan tertentu baik bersifat politis maupun perkawinan –

kasus umum: berpindah agama132

.

Identitas ini sudah melembaga di setiap individu dan komunitas.

Ini yang menjadikan kuatnya ikatan antar individu yang memberikan

ikatan kuat terhadap komunitas, di mana akhirnya melahirkan lembaga-

lembaga yang bersifat formal dan informal dalam komunitas dan antar

komunitas itu sendiri. Misalnya, dalam skala kecil –level keluarga besar –

berupa identitas klan (warga, soroh, dadia, atau kawitan), di atasnya

berupa ikatan tempat asal, ikatan adat dan agama. Melalui identitas ini rasa

percaya diri muncul di daerah baru. Kepercayaan diri yang memampukan

mereka untuk dapat eksis, baik dalam komunitas adat dan agama maupun

dalam bidang ekonomi terkait profesi mereka sebagai petani yang dalam

kegiatannya harus berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain yang

berbeda secara budaya dan kepercayaan.

Bertransmigrasinya orang Bali Nusa ke Lampung tidak serta merta

berpindahnya keaslian identitas leluhur sama seperti di tanah kelahiran.

Proses transmigrasi yang bersifat spontan dan sporadis karena kondisi

alam yang memaksa mereka untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan

132

Kasus berpindah agama – dari agama Hindu ke agama lain non-Hindu –

merupakan kasus umum yang jarang terjadi. Beberapa narasumber menjelaskan

bahwa motif politik dan perkawinan menjadi salah satu alasan mengapa mereka

pindah agama. Pindah agama – menurut para sepuh dikatakan sebagai „jalan

singkat‟ – bagi mereka yang memiliki ambisi politik untuk menduduki posisi

tertentu (jabatan administratif dalam pemerintahan atau pun jabatan politik),

karena dalam lingkungan kerjanya memiliki posisi sebagai minoritas. Termasuk,

perkawinan beda agama – ikut agama atau kepercayaan dari pihak istri atau suami

– yang mengakibatkan si individu berpindah agama: „jalan singkat‟ agar dapat

menikah dengan calon istri atau suami yang berbeda agama.

Page 3: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

99

harapan besar untuk meningkatkan perekonomian keluarga, menyebabkan

ada beberapa elemen dalam identitas itu yang tertinggal di tempat asal.

Misalnya, seka-seka dan banjar yang merupakan ikatan sosial yang

melekat dalam diri orang Bali Hindu dan menjadi identitas mereka secara

sosial dan keagamaan. Hal ini disebabkan tidak semua anggota dalam seka

dan banjar tersebut bertransmigrasi. Secara psikologis, ketakutan akan

hilangnya identitas leluhur dan kecemasan akan nasib di tanah rantau,

menyebabkan ada yang memutuskan untuk bertransmigrasi dan tetap

tinggal di tanah leluhur133

. Akibatnya, mereka yang bertransmigrasi

merupakan transmigran yang berasal dari banjar dan seka-seka yang

berbeda-beda, di mana setiap banjar dan seka memiliki identitas sosial dan

kultural yang tidak sama dengan banjar dan seka yang lain.

Di samping itu, tidak semua dari mereka yang bertransmigrasi

memiliki pemahaman yang mendalam tentang identitas kultural dan

keagamaan mereka di tempat asal. Tingkat pendidikan formal mereka pun,

transmigran pertama, rata-rata sangat minim. Mayoritas dari mereka masih

buta huruf. Ini dapat dimaklumi karena mereka berasal dari pulau kecil

dengan akses informasi yang tentunya terbatas dengan pulau induk. Belum

lagi kondisi sosial politik dan geografis yang tidak mendukung, khususnya

pasca kolonialisme, di mana gejolak sosial politik antara afiliasi politik

pro-kanan dan pro-kiri terfokus di pulau induk.

Faktor penting lainnya adalah keadaan geografis dan sosial-

kultural di daerah transmigrasi yang sangat berbeda dengan tanah

kelahiran – kondisi tersebut ditambah dengan tingkat pendidikan yang

minim serta kehidupan awal bertransmigrasi yang sulit – menyebabkan

133

Sebagai perbandingan lihat hasil penelitian: (1) Kasus transmigrasi etnis Bali

ke Parigi Sulawesi Tengah dalam: Davis, Gloria. (1976). Parigi: A Social History

at the Balinese Movement to Central Sulawesi 1907-1974, Disertasi Doktor

Stanford University; dan (2) Kasus transmigrasi etnis Bali di Sumbawa dalam:

Wirawan, A. A. Bagus. (2008), Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di

Sumbawa, 1952-1997, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III,

No.6 Desember 2008. Sebagai alat analisis apa yang menjadi keterikatan sosial

orang Bali yang menyebabkan mereka sulit untuk bertransmigrasi (bermigrasi)

atau meninggalkan tanah kelahirannya ( di dalam banjar atau desa adat tertentu)

lihat juga: Geertz, Clifford. (1959), From and Variation in Bali Village Structure,

dalam America Antropologist Vol. 61. Pp.991-1012.

Page 4: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

100

kevakuman identitas134

. Elemen-elemen identitas yang tersisa – yang

hanya melekat dalam diri individu (bersifat personal) – semakin terkikis di

tempat yang baru karena proses adaptasi alamiah dengan keadaan

geografis dan sosial-kultural yang baru, tingkat pendidikan yang sangat

minim, serta kesulitan hidup pada masa-masa awal. Ketika menghadapi

keadaan tersebut, sangat sulit bagi para transmigran untuk berpikir tentang

ego identitas klan-klannya, dan cenderung pasrah / tergantung pada

pemimpin komunitasnya (transmigran Bali Nusa).

Dalam kondisi kevakuman identitas inilah mereka membutuhkan

seorang sosok atau tokoh yang dapat dijadikan sebagai acuan atau patron

bagi mereka agar dapat memiliki atau mendapatkan kembali jati diri atau

identitas leluhurnya. Patron bagi mereka adalah seorang aktor (tokoh) yang

memiliki kekuatan sekala dan niskala, di mana dapat memimpin mereka

secara sosial (komunitas), adat dan keagamaan. Kepadanya (patron)

mereka mendapatkan perlindungan, dan memiliki identitas. Transmigran

(klien) yang berpusat pada seorang tokoh (patron) adalah kekuatan bagi

patron tersebut. Sang patron tersebut ada dan memiliki kekuatan secara

sosial dalam komunitas transmigran melalui kepercayaan dari para klien

yang menggantungkan perlindungan dirinya pada sang patron.

Sri Mpu Suci: The Powerfull Pandé

Aktor utama dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa

adalah Sri Mpu Suci. Peran penting sosok Sri Mpu adalah membawa

transmigran Bali dari Pulau Nusa Penida menuju daerah transmigrasi di

Lampung Selatan. Sebagai seorang inisiator dan pemimpin yang memiliki

kharisma dan pengetahuan, Sri Mpu bertanggungjawab tidak hanya

membawa para transmigran sampai ke tempat tujuan, tapi juga

bertanggungjawab secara moral terhadap keberlangsungan hidup

134

Meskipun tanah daerah transmigrasi di Lampung Selatan lebuh subur daripada

Nusa Penida, mereka (para transmigran) harus berhadapan dengan hutan baru

yang harus dibuka untuk lahan pertanian - hutan yang masih lebat dengan hewan-

hewan liar seperti gajah, babi hutan, dan harimau sumatera, termasuk nyamuk

penyebab malaria -, kelompok penduduk lokal dan kelompok-kelompok

pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Jawa (transmigran Jawa) yang

secara kebudayaan dan kepercayaan berbeda dengan transmigran Bali.

Page 5: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

101

transmigran dan keluarganya setelah berada di Lampung. Tanpa

kepemimpinannya, komunitas transmigran yang belum mapan ini akan

bubar, dan bukan tidak mungkin sebagian dari mereka akan terpencar-

pencar dan kembali ke Nusa Penida. Hal ini disebabkan di masa-masa awal

kedatangan mereka ke Lampung kehidupan sangat sulit dan berat.

Kedudukannya sebagai patron mempersatukan komunitas transmigran Bali

Nusa di masa-masa awal. Para transmigran memberikan kepercayaannya

kepada Sri Mpu untuk memimpin mereka selama berada di Lampung

Selatan. Kepercayaan ini dilandaskan pada kapasitas dan kapabilitasnya

yang mumpuni. Tidak hanya kemampuan yang tampak mata, tapi juga

yang tak tampak mata. Syarat kepemimpinan ini sesuai dengan tradisi yang

dipercaya oleh mayoritas orang Bali Hindu, bahwa seorang pemimpin

harus memiliki kemampuan sekala (alam nyata) dan niskala (tidak terlihat

/ alam gaib)135

. Artinya, seorang pemimpin diharuskan menguasai dan

memiliki kekuatan yang berasal dari dunia riil (nyata, terujud), tapi juga

yang nir-ujud (kekuatan tak nampak mata, bersifat magis). Mereka percaya

bahwa pemimpin yang memiliki kekuatan seperti ini dapat dijadikan

sebagai pemimpin, dan menjadi patron atau acuan (pusat) bagi para

pengikutnya (klien: transmigran Bali Nusa).

Ketika kevakuman identitas itu terjadi, sosok Sri Mpu Suci sebagai

patron menjadi penting. Kedudukannya sebagai pusat atau acuan bagi para

transmigran memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengisi

kevakuman identitasnya. Hal ini disebabkan lemahnya fondasi identitas

asal mereka ketika bertransmigrasi dan sampai di daerah transmigrasi.

Fondasi identitas asal yang dimaksudkan adalah identitas dari lingkungan

sosial di mana mereka dilahirkan, atau banjar di mana mereka berasal.

Minimnya pendidikan dan pengetahuan akan adat dan keagamaan

135

Bagaimana keterkaitan hubungan antara raja (pemimpin/patron) dengan

rakyatnya (klien) dalam konteks hubungan antara dunia sekala dan niskala terkait

konsep “negara” di Bali pada masa prakolonial, lihat: Schulte Nordholt (2009)

The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940. Untuk penjelasan lebih detail

mengenai konsep sekala dan niskala dapat dilihat dalam: Eiseman (2005) Bali:

Sekala & Niskala (Volume I: Essays on Religion, Ritual, and Art).

Page 6: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

102

merupakan penyebab lemahnya fondasi identitas asal tersebut136

. Situasi

ini diperparah dengan beban psikologis dan ekonomi yang menjepit

mereka selama perjalanan dan tahun-tahun awal berada di daerah

transmigrasi. Situasi ini memperbesar ketergantungan mereka terhadap

sang aktor yang menjadi patron utama – Sri Mpu Suci – untuk memperoleh

perlindungan.

Cara untuk mengisi kevakuman identitas tersebut adalah dengan

menjadi pengikut identitas asal Sri Mpu Suci, di mana sebagian besar dari

mereka memiliki identitas asal yang berbeda patron karena berasal dari

banjar yang berbeda; atau, dalam desa atau banjar yang sama tapi berasal

dari klan yang berbeda. Dalam kasus ini, perlindungan yang diharapkan

dari klien sebenarnya bukan hanya perlindungan fisik, tapi perlindungan

fisik yang didasarkan karena adanya persamaan identitas dengan patron.

Dengan demikian, mereka merasa semakin terlindungi. Dari sisi patron,

sudah menjadi kewajiban untuk melindungi kliennya.

Pada masa-masa ini para klien belum berpikir panjang atas

keberlangsungan identitas asal mereka, sehingga komunitas transmigran

Bali Nusa – Balinuraga – memiliki satu identitas yang sama dengan patron.

Nantinya, ketika Sri Mpu Suci wafat, pengkopian identitas sebagian besar

klien terhadap patron menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan identitas

di dalam komunitas Balinuraga, yaitu ketika timbulnya kesadaran dari

setiap klan – kelompok masyarakat dari banjar-banjar lain yang memiliki

klan yang berbeda dengan patron ketika masih berada di Nusa Penida –

untuk mencari jati dirinya sendiri, dan tidak lagi bergantung pada identitas

patron yang telah wafat.

Masyarakat Bali sebenarnya cukup beragam di dalam

komunitasnya sendiri sebagai Bali Hindu. Masyarakatnya terdiri dari

136

Lemahnya pengetahuan tentang agama (dan termasuk adat di dalamnya) pada

transmigran Bali Nusa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh larangan / paham

ajawera (aja wera), yaitu larangan yang membatasi keleluasaan masyarakat untuk

mempelajari agama secara mendalam (Wiana & Santeri 2005); larangan

memberitahukan isi kitab-kitab Weda kepada golongan Sudra, hanya kaum

brahmana dan kesatria yang boleh mempelajarinyal paham yang melarang

sudrawangsa mempelajari lontar-lontar yang mengandung ajaran agama Hindu

(Karepun 2003).

Page 7: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

103

berbagai klan-klan, atau dalam Bali disebut sebagai warga atau soroh137

.

Di masa pemerintahan kolonial, tepatnya di tahun 1920-an, keberagaman

ini semakin ditonjolkan untuk melahirkan sebuah perbedaan yang sangat

mencolok dengan melakukan pemilah-milahan kelompok masyarakat

berdasarkan wangsa (kasta) berserta dengan kedudukan istimewanya dari

pihak kolonial, yaitu melalui proyek Balinisasi138

. Kebijakan ini

mengakibatkan pemilahan kelompok masyarakat Bali berdasarkan

fungsinya di dalam masyarakat – seperti dalam “catur warna” dalam

konsep Hindu – menjadi sangat tertutup (kaku), di mana sangat sulit

seseorang dari lapisan tertentu untuk beralih ke lapisan yang lebih tinggi

atau sebaliknya, kecuali ada kasus-kasus khusus seperti pelanggaran adat

atau perkawinan beda wangsa (kasta)139

. Kebijakan pemerintah kolonial

yang bersifat campur tangan ini pada akhirnya menimbulkan

ketidakpuasan dan gejolak sosial politik di dalam masyarakat Bali yang

sebenarnya benih-benih konflik tersebut sudah ada dan berlangsung cukup

lama sejak masa kerajaan. Namun, di masa kerajaan keberagaman

kelompok masyarakat Bali tidak seajeg atau sekaku di masa pemerintahan

kolonial yang berambisi mengembalikan Bali seperti aslinya dan menjadi

Bali sebagai surga dunia140

. Pada masa kolonial inilah, masyarakat Bali

137

Kata “warga” dalam artian luas berarti keluarga atau klan; kelompok

keturunan; sistem kekerabatan berdasarkan geneologi atau garis keturunan dari

leluhur tertentu (konsep “warga” dapat dilihat juga dalam: Wiana & Santeri 2005,

Eiseman 2005, Howe 2005, Wiana 2006, Kerepun 2007). Dalam kamus Bahasa

Jawa Kuno (Zoetmulder 1982) warga diartikan: (separate division, class, group,

company, family), category, group, class, escp of persons (c f watek); family. 138

Lihat: Robinson, Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political

Violence in Bali, Ithaca and London: Cornell University Press. 139 Penjelasan mengenai larangan-larangan dan sangsi-sangsi bagi perkawinan

beda wangsa di masa kolonial dapat dilihat dalam Kerepun (2007) “Mengurai

Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali” hlm. 161-195.

Lihat juga: Atmaja, Jiwa. (2008), Bias Gender: Perkawinan Terlarang Pada

Masyarakat Bali, Denpasar: Udayana University Press & Bali Media Adhikarsa;

Budiana, I Nyoman. (2009), Perkawinan Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali,

Yogyakarta: Graha Ilmu. 140

Di masa kerajaan seorang raja mempunyai hal untuk bisa menaik-turunkan

status seseorang (jabawangsa menjadi bangsawan dan sebaliknya), dan gelar

bangsawan yang diberikan kepada jabawangsa ditujukan agar mereka menjadi

Page 8: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

104

mengalami konstruksi identitas atas pengaruh atau intervensi kekuasaan,

yaitu pemerintah kolonial, yang sejak di awal abad ke-20 mulai menguasai

Bali141

.

Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana pengaruh konstruksi

identitas pemerintah kolonial terhadap masyarakat Bali di Nusa Penida

(Bali Nusa)? Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, efek

dari konstruksi identitas pemerintah kolonial (Balinisasi) bagi masyarakat

Bali Nusa tidak semencolok seperti di pulau induk, Bali. Selain faktor

geografis yang cukup sulit dijangkau – berpengaruh terhadap arus

informasi yang masuk ke Nusa Penida dan kondisi sosial politik yang

terpusat dan bergulat hanya di pulau induk – juga dikarenakan posisi pulau

ini yang sejak masa kerajaan dijadikan tempat pembuangan politik bagi

musuh-musuh kerajaan atau pun orang-orang yang melakukan praktek

ilmu hitam serta kejahatan masyarakat. Orang-orang yang dibuang dari

pulau induk ke Nusa Penida sebagian besar bukanlah orang biasa, tapi

orang-orang yang semasa di pulau induk memiliki pengaruh dan status

sosial yang penting. Akibatnya, masyarakat di Nusa Penida lebih egaliter

karena identitas mereka sebagai orang-orang buangan atau tahanan politik.

Status sosial mereka yang tinggi dan penting sewaktu di pulau induk tidak

berarti apa-apa setelah diasingkan (dibuang) ke Nusa Penida. Dengan kata

lain, status sosial mereka sama dengan masyarakat asli dan masyarakat

biasa yang ada di Nusa Penida. Situasi ini yang menyebabkan masyarakat

Nusa Penida tidak mendapatkan pengaruh langsung yang berdampak

secara nyata dalam kehidupan sosial mereka atas kebijakan Balinisasi

pemerintah kolonial. Namun, situasi ini tidak membuat mereka hidup

tanpa identitas. Status sosial menjadi lebih egaliter di pulau kecil ini, tapi

identitas asal mereka tetap dipertahankan, yaitu identitas yang berasal dari

klan atau warga. Meskipun ada di antara mereka ada yang berasal dari

warga yang dulunya (baik di masa kerajaan atau sebelum diasingkan ke

Nusa Penida) memiliki status sosial dan kedudukan yang tinggi, setelah di

lebih setia kepada raja dan membatasi bangsawan-bangsawan lain yang menjadi

saingan politik raja (Schulte Nordholt 2009). 141

Lihat: Vickers, Adrian. (1996), Bali: A Paradise Created, Singapore: Periplus

Edition.

Page 9: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

105

Nusa Penida tidak ada pengistimewaan itu di dalam masyarakatnya.

Kedudukan mereka tetap sama setelah berada di Nusa Penida. Status sosial

atau pun kedudukan sosial tinggi yang mereka dapatkan di Nusa Penida

bukan ditentukan oleh sejarah warga mereka di masa lampau, tapi lebih

ditentukan oleh kapasitas dan kepabilitas si individu, yaitu bagaimana

mereka memiliki kekuatan sekala dan niskala – yang mana di pulau ini

memang dikenal sebagai pulau yang memiliki kekuatan niskala tersohor

jauh sebelum masa kolonial142

.

Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana efeknya bagi

transmigran Bali Nusa setelah berada di Lampung? Setelah berada di

Lampung, transmigran Bali Nusa lebih nyaman dengan identitas warga

atau klannya daripada dengan identitas wangsa atau kasta – ini merupakan

identitas antar klan di dalam komunitas Bali Hindu, bukan menjadi

identitas Bali Hindu karena klan-klan ini berada di bawah satu identitas

Bali Hindu. Mereka menilai bahwa kasta tidak mewakili identitas klan atau

warga-nya, dan itu (kasta) tidak menjadi penting setelah berada di

Lampung:

“Di sini tidak ada kasta-kastaan. Di Lampung sama semua.

Kalau dibilang sudra, ya sudra semua. Tapi, di sini kami adalah

warga (klan) Pandé, Pasek, Arya (dan lain-lain). Toh, sama-

sama tani, sama-sama ngerantau (dan bukan sudra, atau tidak

mau disebut sebagai sudra).”

Informasi yang didapatkan dari informan kunci dan beberapa anggota

warga lainnya, mereka dapat menjelaskan mengapa mereka lebih condong

atau lebih suka memakai istilah warga daripada kasta – khususnya

informan yang sudah sepuh. Ini tidak terlepas dari faktor sejarah yang

didapatkan dari tetua mereka ketika masih berada di Bali seputar

perlawanan yang dilakukan beberapa warga yang menentang kebijakkan

Balinisasi pemerintah kolonial yang mencampakkan warga mereka ke

142

Cerita (mitologi) kekuatan gaib yang ada di nusa penida yang berkembang luas

di kalangan masyarakat Bali (dan bagi sebagian masyarakat Balimasih dipercaya

eksistensinya) adalah keberadaan Jero Gede Mecaling yang memiliki kekuatan

gaib yang menakutkan.

Page 10: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

106

dalam kasta sudra (sudrawangsa atau jabawangsa). Tidak hanya fakta

sejarah mengenai perlawanan berbagai tokoh warga-warga yang menolak

kebijakan pemerintah kolonial tersebut, tapi penjelasan sejarah mengenai

peran, fungsi, dan asal usul warga mereka pada masa kerajaan-kerajaan

(pra kolonial), baik ketika masih berada di Jawa maupun setelah berada di

Bali. Informasi yang mereka jelaskan pun bukan informasi kosong yang

tidak memiliki bukti tertulis. Kepada penulis, mereka memberikan dan

menunjukkan (juga mengizinkan penulis untuk mendokumentasikannya)

tulisan sejarah tersebut. Catatan tertulis tersebut dikelompokkan pada dua

masa, yaitu pada masa kerajaan-kerajaan dan pada masa kolonial. Catatan

sejarah pada masa kerajaan merupakan sebuah babad warga yang berisi

sejarah, asal usul keturunan, fungsi dan peran mereka pada masa itu;

sedangkan catatan sejarah pada masa kolonial berisi bagaimana

perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial mengenai kebijakan

Balinisasi yang mencampakkan warga mereka ke kasta sudra143

. Dalam

catatan pada masa kolonial ini dilengkapi juga catatan perdebatan antara

tokoh-tokoh warga dengan pihak kolonial dan perwakilannya (keturunan

raja yang diangkat oleh pemerintah kolonial), di mana catatan perdebatan

ini bersumber dari dokumentasi pemerintah kolonial. Dokumen-dokumen

sejarah ini, baik pada masa kerajaan maupun masa kolonial, ada yang

sudah diterbitkan ke dalam buku, tapi ada yang belum diterbitkan (untuk

kalangan sendiri, kelompok warga itu)144

. Dokumen sejarah yang sudah

143

Seperti yang dicatat oleh Robinson (2006: 97) bahwa: “Pada saat yang

bersamaan, banyak kelompok atau jaringan klan yang terhormat tapi “bukan

ningrat”, seperti Pandé, Pasek, dan Sengguhuh, secara kurang senonoh

dicampakkan ke dalam kategori sudra yang luas dan longgar di luar golongan

bangsawan, sehingga banyak sekali kehilangan hal dan prestise politik.” 144

Di antaranya adalah dokumen Warga Pandé yang ditulis oleh Made Kembar

Kerepun – yang merupakan salah satu tokoh dari golongan jabawangsa yang

terkenal vokal dan aktif menulis sejumlah buku dan artikel (mantan pejabat Bupati

Kepala Daerah Tingkat II Gianyar 1965-1969), yaitu “Pandé Menggugat”:

Telaah Singkat atas Dokumentasi Masalah Pandé, Maha Semaya Warga Pandé

Propinsi Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri). Kemudian, Ramayadi,

Pandé Made (2000), Babad Pandé: Keketus, Kapupul Ian Kepipil, Pujung: Tidak

Diterbitkan (Untuk Kalangan Sendiri); Ramayadi, Pandé Made. (2003), Upacara

Madiksa (Ngalinggihang Sri Mpu Pandé), Disajikan dalam Paruman Sri Mpu

Pandé Se-Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri).

Page 11: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

107

diterbitkan ada yang berbentuk utuh, ada pula yang dicuplikan sebagai

bahan analisis dari beberapa penulis, baik penulis (peneliti) asing maupun

lokal (umumnya berasal dari Bali). Ini bukan berarti dokumen yang tidak

diterbitkan, atau yang diperuntukan bagi kalangan (warga) sendiri, tidak

dapat dipercaya kebenarannya. Dokumen-dokumen tersebut pun juga

ditulis dan dirangkum berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, seperti

dari catatan-catatan lontar atau pun arsip-arsip pemerintah kolonial, di

mana sumber-sumber tersebut juga digunakan oleh para penulis asing dan

lokal sebagai bahan tulisan (buku) yang diterbitkan ke khalayak145

.

Komunitas transmigran Bali Nusa – Balinuraga – memiliki tiga

komposisi besar warga-warga, yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Warga

Pasek memiliki komposisi dengan rata-rata terbesar, yaitu 50%; kemudian

Warga Pandé dan Arya masing-masing 25%146

. Sang aktor, Sri Mpu Suci,

berasal dari warga Pandé. Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai patron

menjadikan Warga Pasek dan Arya menjadikan identitas Sri Mpu Suci

“Warga Pandé” sebagai identitas mereka. Kedua kelompok warga ini,

Pasek dan Arya, menggabungkan komunitas mereka ke dalam Banjar

Pandéarga, banjar pertama menjadi cikal bakal Desa Balinuraga –

komunitas transmigran Bali Nusa pertama di Lampung Selatan. Banjar

Pandéarga ini merupakan banjar bagi Warga Pandé yang didirikan oleh

Sri Mpu Suci. Kevakuman identitas kedua kelompok warga ini memaksa

mereka untuk meleburkan diri (bergabung) ke dalam Banjar Pandéarga,

yang sebenarnya dikhususkan bagi Warga Pandé. Namun, dikarenakan

masa-masa awal yang sulit dan di dalam kedua kelompok ini tidak

145

Salah satu contohnya adalah buku Made Kembar Kerepun (2007) yang

berjudul Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di

Bali, Editor: Jiwa Atmaja, Denpasar: Panakom Publishing. Untuk terbitan yang

lebih eksklusif seperti: Soebandi, Jro Manku Gde Ketut. (2003), Babad Pasek:

Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi, Penyunting: Wayan Supartha; Denpasar:

Pustaka Manikgeni. 146

Hitungan ini merupakan pembulatan dan perkiraan. Besarnya belum tentu

sama. Pasti ada perubahan dalam skala kecil, tapi kurang lebih perkiraan jumlah

komposisinya tidak terlalu signifikan. Dalam kasus ini, tidak ada perhitungan yang

jelas, termasuk sensus antar warga di balinuraga, termasuk Lampung. Di Bali

sendiri pun tidak ada sensus seperti ini secara resmi belum pernah dilakukan

(Wiana & Santeri 2005).

Page 12: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

108

memiliki sosok pemimpin, maka mereka pun bergabung ke dalam Banjar

Pandéarga. Penggabungan ini bukan tanpa alasan. Ketergantungan kedua

kelompok warga ini terhadap patron – Sri Mpu Suci – di masa-masa awal

tidak terelakkan. Hanya kepada patron mereka menggantungkan

perlindungan dan keberlangsungan identitas mereka yang lebih besar, yaitu

sebagai Bali Hindu, dan mengabaikan untuk sementara identitas asal

mereka, yaitu identitas warga. Di samping itu, sosok Sri Mpu Suci belum

dapat tergantikan, dan pengkopian identitas ini merupakan salah satu

wujud rasa terima kasih kedua kelompok besar warga ini terhadap Sri Mpu

Suci karena telah membawa mereka sampai ke Lampung. Konsekuensi

bagi kedua kelompok warga ini adalah, mau tidak mau, harus mengikuti

tata-cara adat istiadat maupun keagamaan berdasarkan tata cara yang

dimiliki dan diterapkan oleh keluarga besar Pandé, di mana sebenarnya

kedua kelompok ini memiliki tata cara yang masing-masing berbeda. Bagi

kedua kelompok warga ini, persoalan tata cara tidak menjadi persoalan.

Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan yang dimiliki perihal tata cara

adat dan keagamaan, di mana sosok Sri Mpu Suci menguasainya secara

mendalam. Selain karena masih dipengaruhi konsep ajawera147

, legitimasi

secara adat dan keagamaan (berdasarkan hubungan kekerabatan dari

silsilah leluhur) untuk kasus Warga Pandé dan Pasek dibolehkan

menggunakan sulinggih (pendeta/mpu) yang sama. Oleh karena itu, selain

menjadi pemimpin transmigran Bali Nusa, Sri Mpu Suci turut menjadi

pemimpin adat, agama, dan spiritual yang kemampuannya sangat

mumpuni dan diakui oleh para transmigran lainnya. Tentu sangat lumrah

jika kedua kelompok warga ini mengikuti (sebagian kecil / sebagian besar)

tata cara dari Warga Pandé, karena Sri Mpu Suci merupakan seorang

Warga Pandé yang penguasaan pengetahuannya diperuntukkan (secara

147

“Ajawera” menurut Dwipayana (2001) adalah konsep dalam mempelajari

agama yang tidak bisa diomongkan atau diributkan. Namun, dalam catatan kaki

sebelumnya, konsep “Ajawera” lebih dipertegas sebagai sebuah larangan yang

bersifat membatasi golongan jabawangsa untuk mempelajari agama secara

mendalam seperti yang ada di alam kitab weda (lihat: Wiana & Santeri 2005;

Kerepun 2007).

Page 13: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

109

khusus) bagi Warga Pandé148

. Jika mereka tidak diperkenankan (diizinkan)

bergabung dengan Warga Pandé, maka kevakuman identitas mereka akan

semakin berlarut mengingat pengetahuan mereka yang minim dan terbatas

mengenai tata cara adat dan keagamaan yang rumit dan tidak semua orang

dapat menguasainya.

Ada beberapa tujuan yang lebih besar yang bersifat jangka panjang

mengapa Sri Mpu Suci menerima mereka bergabung dengan Warga Pandé

di dalam Banjar Pandéarga. Pertama, mempertahankan identitas mereka

sebagai Bali Hindu. Sri Mpu Suci tidak ingin kedua kelompok warga ini

kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu hanya dikarenakan

kekosongan pemimpin dari dalam kelompok ini. Meskipun terdapat

perbedaan tata cara antar warga, tetapi dasar atau falsafah Hindu Bali-nya

tetap sama. Ini yang menjadi pertimbangan dari Sri Mpu Suci sebagai

aktor dalam masa-masa awal yang sulit, di mana dalam himpitan hidup

yang sulit karena harus beradaptasi dalam lingkungan yang baru, rasanya

berat bagi kedua kelompok ini untuk berpisah dari patronnya hanya untuk

identitas warga-nya semata. Bagi mereka pun, setelah mempertimbangkan

kapastitas dan kapabilitas Sri Mpu Suci, penggabungan ini tidak masalah

karena masih sama-sama Bali Hindu dan berasal dari Nusa Penida.

Kedua, kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali

Hindu. Sri Mpu Suci sudah mengetahui bahwa setiap warga memiliki

karakteristik tersendiri meskipun mereka sama-sama Bali Hindu. Tapi,

persatuan identitas itu penting, yaitu sebagai komunitas Bali Hindu di

Lampung. Identitas sebagai Bali Hindu harus berada di atas identitas

warga-warga. Jika tercerai berai hanya karena pengelompokkan warga-

warga, maka bukan tidak mungkin komunitas mereka akan hancur di

masa-masa awal. Rasa senasib dan seperjuangan untuk sampai ke

Lampung adalah faktor penting di mana mereka menyingkirkan ego

masing-masing warga. Jika ego ini dipertahankan, bukan tidak mungkin

tujuan mereka untuk meraih kesuksesan akan gagal, dan kehilangan

identitasnya karena tidak ada aktor panutan (patron) di dua kelompok

148

Sulinggih warga secara umum diperkenankan untuk memuput upacara bagi

warga lain yang yang memiliki identitas warga yang berbeda (khususnya warga-

warga yang berasal dari golongan jaba).

Page 14: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

110

warga lainnya. Melalui kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas

Bali Hindu mereka dapat sesegera mungkin untuk membangun komunitas

Bali Hindu yang dikenal dengan Kampung Bali, yaitu dengan membangun

pranata-pranata sosial, adat, dan keagamaan yang menjadi simbol identitas

mereka. Di samping itu, posisi mereka di Lampung adalah sebagai

minoritas etnik dan agama, di mana berbeda dengan yang lain. Mereka

percaya bahwa identitas mereka adalah identitas yang unik, dan itu harus

dipertahankan meskipun sebagai minoritas di luar Bali. Tanpa kesolidan

dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali Hindu, hal ini akan sulit

tercapai. Ini yang memutuskan mereka untuk membangun komunitasnya

secara eksklusif. Ada banyak tata cara upacara adat dan keagamaan yang

harus dilaksanakan. Semuanya membutuhkan partisipasi aktif dari setiap

anggota komunitas dan dana yang tidak sedikit. Jika mereka terpencar-

pencar, maka akan sulit mengadakan kewajiban mereka sebagai Bali

Hindu.

Maksud utama dari kedua tujuan tersebut adalah sebagai fondasi

dasar pembentukan identitas Bali Hindu dari komunitas Bali Nusa di

Lampung Selatan untuk mengantisipasi kemungkinan di kemudian hari

jika warga-warga lain telah menemukan dan ingin kembali ke identitas

asal warga-warga-nya, yaitu menggunakan sulinggih dari kalangan warga-

nya sendiri, bukan menggunakan pendeta atau mpu dari warga lain –

karena setiap warga memiliki sulinggih-nya sendiri. Tindakan antisipasi

ini benar setelah wafatnya Sri Mpu Suci. Warga-warga non-Pandé mulai

memisahkan diri dan ingin kembali – „ajeg‟ – pada identitas warga-nya.

Hal ini dikarenakan identitas warga itu merupakan identitas dari mana

leluhur mereka berasal. Bagi mereka ini sangat penting sekali, dan tidak

boleh ada pengingkaran terhadap identitas leluhur. Namun, karena fondasi

identitas Bali Hindu transmigran Bali Nusa ini telah kuat, maka meskipun

warga-warga non-Pandé memutuskan untuk memisahkan diri dari Warga

Pandé, komunitas Kampung Bali ini tetap utuh dan solid. Tidak ada

perpecahan di dalamnya. Mereka pun tetap mengingat jasa besar Sri Mpu

Suci yang telah membawa dan memimpin mereka mulai sejak

bertransmigrasi dari Nusa Penida sampai mampu melewati masa-masa

sulit di Lampung.

Page 15: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

111

Peran Sentral Sri Mpu Suci

Tidak ada tendensi apa pun untuk menempatkan Sri Mpu Suci

sebagai aktor sentral dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa.

Mengingat kapasitas dan kapabilitasnya yang mumpuni sebagai seorang

pusat (patron) bagi para satelitnya (klien), di mana berperan penting dalam

menyatukan komunitas transmigran Bali Nusa dan mencegah hilangnya

identitas mereka sebagai Bali Hindu. Hal ini dapat dilihat dari peran-peran

penting yang telah dilakukannya pada masa-masa awal – dapat dikatakan

masa kevakuman atau krisis identitas – agar identitas komunitas mereka

sebagai komunitas Bali Hindu setelah keberadaannya di luar Bali tidak

hilang. Hasil dari apa yang telah dilakukan Sri Mpu Suci masih tetap ada

dan diakui, baik di kalangan komunitas Balinuraga, maupun komunitas

tetangga Bali Hindu dan komunitas tetangga dari kelompok etnis lainnya.

Sebagai aktor penting dan tokoh sentral dalam pembentukan

identitas transmigran Bali Nusa, ada beberapa peran penting yang telah

dilakukan oleh Sri Mpu Suci. Pertama, membangun Banjar Pandéarga

yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga, baik sebagai desa administratif

maupun desa adat. Komunitas ini dibangun bersama-sama oleh

transmigran Bali Nusa, di mana Sri Mpu Suci sebagai pemimpin dan

inisiatornya. Peran sentral Sri Mpu Suci tampak dari keputusannya yang

tidak mau bergabung bersama-sama komunitas transmigran Jawa yang

jumlahnya lebih besar. Sejak awal, Desa Balinuraga dibangun secara

eksklusif, yaitu untuk transmigran Bali yang berasal dari Nusa Penida.

Mereka adalah orang Bali Nusa yang bertransmigrasi secara swakarsa,

tanpa sponsor atau bantuan dari pemerintah. Mulai sejak bertransmigrasi

sampai pembangunan Banjar Pandéarga, kebutuhan atas biaya ditanggung

dan diusahakan secara kolektif. Perbedaan ini dapat dilihat dari Kampung

Bali lainnya yang berada di tengah-tengah komunitas transmigran Jawa,

atau secara administratif masuk ke dalam desa yang didominasi

transmigran Jawa. Kampung Bali tersebut diantaranya merupakan

transmigrasi dengan bantuan (sponsor) dari pemerintah – yang dikenal atau

biasa disebut dengan Bali KoOGA (Komando Operasi Gunung Agung):

sebuah proyek dari pemerintah Orde Lama untuk mentransmigrasikan

korban letusan Gunung Agung tahun 1963. Berbeda dengan Balinuraga,

Page 16: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

112

yang berangkat dari sebuah Banjar Pandéarga, mereka menjadi desa

administratif yang seluruh anggotanya adalah orang Bali Nusa. Dari

namanya, Desa Balinuraga, menunjukkan dengan jelas identitasnya

sebagai desa Bali Hindu di Kabupaten Lampung Selatan. Meskipun ada

banyak Kampung Bali lainnya di Lampung Selatan, tapi secara

administratif mereka masuk ke dalam desanya para transmigran Jawa, dan

berada di antara komunitas transmigran Jawa – yang secara kelompok

tidak sesolid transmigran Bali.

Setelah berdirinya Desa Adat ini – Banjar Pandéarga – Sri Mpu

Suci mengemban dua tugas sekaligus, yaitu sebagai pemimpin adat

(bendesa, klian banjar) dan sebagai rohaniawan atau biasa disebut mpu

(empu). Gelar “Sri Mpu” adalah gelar bagi seorang pemimpin keagamaan

atau rohaniawan yang berasal dari Warga Pandé. Peran ganda ini diemban

Sri Mpu Suci karena saat itu belum ada dari para transmigran yang

memiliki kemampuan tersebut, dan Sri Mpu Suci memang dipercaya oleh

para transmigran untuk memimpin mereka, baik dalam komunitas adat

maupun keagamaan. Sambil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin adat

dan keagamaan, Sri Mpu Suci tetap melakukan kaderisasi kepemimpinan

kepada anak-anaknya, dan juga anggota lain di dalam komunitas adat yang

memang berminat dalam urusan adat dan keagamaan. Kaderisasi ini sangat

penting dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan (agar ada

penerusnya) ketika Sri Mpu Suci wafat, di mana jika kekosongan

kepemimpinan itu terjadi dikhawatirkan akan timbul perpecahan antar

warga-warga di dalam Desa Adat ini.

Kedua, membangun simbol-simbol identitas sosial, budaya, dan

keagamaan yang mencirikan mereka sebagai komunitas Bali Hindu.

Sebagai komunitas Bali Hindu mereka harus memiliki simbol-simbol

tersebut yang menunjukkan eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas

Bali Hindu. Absennya simbol-simbol tersebut dapat diartikan hilangnya

identitas mereka sebagai Bali Hindu. Ini disebabkan tidak adanya sebuah

acuan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban adat dan

keagamaan. Simbol-simbol ini merupakan elemen penting yang mengikat

komunitas mereka – yang biasa disebut sebagai Kampung Bali – yaitu

sebuah ikatan sosial yang sudah ada secara turun-temurun yang

Page 17: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

113

membentuk dan mencirikan komunitas adat dan agama sebagai Bali

Hindu. Elemen-elemen ini harus ada meskipun mereka sudah

bertransmigrasi. Bagi mereka, Kampung Bali ini disebut sebagai sebuah

Desa Adat, di mana di dalamnya harus memiliki Pura Tri Kahyangan atau

Pura Kahyangan Tiga149

, yaitu Pura Baleagung (Pura Desa), Pura Puseh,

dan Pura Dalem150

. Fasilitas penting lainnya yang harus juga dimiliki oleh

mereka sebagai komunitas adalah bale banjar. Seperti yang dikatakan

seorang anak Sri Mpu Suci yang sekarang menjadi tokoh masyarakat

Balinuraga:

“Pas (saat/ketika) datang pertama ke Lampung memang

susah sekali. Keluarga kami (Sri Mpu Suci) membawa

banyak transmigran dari Nusa Penida. Tapi, kami harus

tetap hidup dan pantang pulang kembali. Pura-pura harus

tetap dibangun. Memang sangat sederhana sekali, belum

permanen dan bagus seperti sekarang. Setidaknya, kami

tidak nebeng (tergantung) dengan orang Bali lain (Kampung

Bali tetangga). Tapi, kami membangunnya sendiri

(mandiri). Tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.”

Ketiga, dibentuknya awig-awig atau peraturan desa dalam bentuk

tidak tertulis. Awig-awig ini dibuat dalam format yang sederhana

mengingat kendala waktu dan tempat mereka di daerah transmigrasi.

Sampai saat ini awig-awig desa masih belum ada format bakunya (tertulis).

Banyak terjadi perdebatan di dalamnya. Bagi sebagian kalangan awig-awig

ini cukup dalam bentuk tidak tertulis, yang lain berpendapat sebaliknya.

Tidak adanya kata sepakat ini yang menyebabkan bentuknya belum

tertulis. Ada yang mengatakan bahwa untuk menyusun awig-awig adat ini

149

Kahyangan tiga merupakan tempat suci bagi umat Hindu Bali yang

memuliakan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya (prabhawa) sebagai

Dewa Brahama atau Pencipta (Purah Desa atau Baleagung), Dewa Wisnu atau

Pemelihara (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem). 150

Salah satu poin utama (poin kelima) dalam Ketetapan dan Keputusan Sabha

Parisada Hindu Dharma Pusat yang berkaitan dengan pengaturan Desa Adat

adalah (Surpha 2004, hlm.10): “Adanya Kahyangan tiga merupakan syarat mutlak

bagi suatu Desa Adat”.

Page 18: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

114

terlalu ribet, dan berpendapat bahwa aturan formal dari pemerintah sudah

cukup dan konteksnya agak kurang relevan diterapkan di Lampung. Jadi,

cukup dengan format tidak tertulis – meskipun sampai sekarang cukup

diragukan apakah anak-anak muda di Balinuraga memahami dan

mengetahui keberadaan dan keberfungsian dari awig-awig ini.

Keempat, membentuk perkumpulan seni dan budaya Bali yang

disebut seka gong. Tujuan pembentukan seka gong ini adalah menjaga

kelestarian seni dan budaya Bali sebagai bagian dari identitas kebalian

mereka. Di samping itu, seka gong juga memiliki fungsi sebagai

pendukung aktifitas keagamaan dalam berbagai ritual dan upacara adat

keagamaan.

Kelima, menjalin relasi dengan pemerintah lokal dan komunitas

etnik lain. Peran ini merupakan peran politik dan sosial yang dimainkan

oleh Sri Mpu Suci sebagai pemimpin adat dan keagamaan salah satu

komunitas Bali Hindu yang cukup besar di Lampung Selatan. Dalam kasus

ini Sri Mpu Suci tidak hanya membawa nama komunitasnya sendiri, tapi

juga mewakili komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan.

Sebagai seorang pemimpin Sri Mpu Suci menyadari bahwa komunitasnya

adalah komunitas pendatang dengan kedudukan sebagai minoritas etnik

dan agama. Oleh karenanya, relasi harus terjalin dengan baik dengan

pemerintah lokal dan komunitas etnik lain. Dalam masyarakat yang

heterogen, potensi konflik akibat perbedaan itu tetap ada, terutama isu

SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) – yang semasa Orde Baru

menjadi semacam ketabuan. Sejak bertransmigrasinya orang Bali ke

Lampung, transmigran Bali sudah dikenal dengan kesolidan komunitasnya.

Dalam hal ini, identitas mereka benar-benar sudah diakui oleh masyarakat

Lampung secara luas. Juga mengingat keunikkan Bali yang sudah terkenal.

Hubungan dengan pemerintah lokal merupakan sebuah upaya dari

Sri Mpu Suci agar pemukiman komunitas transmigran Bali Nusa ini

mendapatkan kedudukan secara administrasi sebagai sebuah desa bernama

Desa Balinuraga. Nama Desa “Balinuraga” menjadi salah satu desa yang

menggunakan nama Bali di Kabupaten Lampung Selatan, sekaligus

menunjukkan identitas mereka sebagai sebuah desa yang mayoritas

anggotanya Bali Hindu. Melalui hubungan dengan pemerintah lokal, maka

Page 19: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

115

mereka pun dapat meminta pemerintah lokal mengupayakan pembangunan

fasilitas publik bagi masyarakat Desa Balinuraga. Seperti yang sudah

teralisasi antara lain: jalan utama desa sebagai penghubungan dengan desa

lainnya, di mana akan memudahkan akses transportasi mereka menuju ke

pasar kecamatan, kantor kecamatan, jalan provinsi (jalan lintas Sumatera),

kantor kabupaten (ibukota kabupaten) dan ibukota provinsi; kemudian

pembangunan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, serta

posyandu (puskesmas pembantu).

Menjalin hubungan dengan masyarakat lokal menjadi sangat

penting sekali pada waktu itu, dan merupakan keharusan bagi Sri Mpu

Suci berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Meskipun terdapat

perbedaan dan ketidakcocokan ataupun sakit hati karena kesalahpahaman

yang pernah terjadi saat pertama kali mereka datang, hubungan ini tetap

harus dibangun. Alasannya karena masyarakat Lampung merupakan

penduduk asli Lampung, mereka adalah tuan rumah atas tanahnya sendiri,

di mana transmigran Bali adalah pendatang di tanah mereka. Pontensi

konflik sangat terbuka lebar antara masyarakat lokal dengan pendatang,

termasuk dengan transmigran Bali. Potensi konflik itu muncul akibat

adanya kecemburuan ekonomi. Mengingat transmigran Bali sangat tekun

(agresif) dalam bekerja di bidang pertanian – lambat laun posisi ekonomi

masyarakat lokal akan tergeser, di samping turut tergeser oleh transmigran

Jawa. Di samping itu, transmigran Bali memiliki watak atau karakter yang

keras dan akan menjadi militan secara berkelompok melalui komunitasnya

yang solid jika harga diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu disakiti.

Seperti kasus „perang kampung‟ di awal tahun 1990-an antara masyarakat

Bali dengan penduduk lokal Lampung di daerah Jabung, di mana beberapa

pemuda dari Desa Balinuraga bersama-sama pemuda-pemuda Bali dari

Kampung Bali lain terlibat dalam aksi tersebut151

.

151

Berdasarkan informasi dari narasumber – yang turut menjadi tokoh

perundingan untuk penyelesaian „perang kampung‟ tersebut – kasus tersebut

akhirnya diselesaikan secara „baik-baik‟. Tentu, kasus ini menjadi perhatian serius

dari pemerintah, khususnya militer, agar tidak permasalahan ini tidak berkembang

menjadi konflik bernuansa SARA, seperti kasus Talangsari yang terjadi satu tahun

sebelumnya 1989. Oleh karena itu, setiap kali terjadi pergantian pimpinan

DANDIM (Komandan Komando Distrik Militer), pimpinan yang baru selalu

Page 20: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

116

Terkait dengan profesi transmigran sebagai petani, Sri Mpu Suci

menjalin hubungan komunikasi dengan transmigran Jawa yang menjadi

tetangga komunitas mereka. Ada beberapa hal yang mereka pelajari dari

transmigran Jawa. Mereka merupakan transmigran pertama di Lampung

yang sudah banyak pengalaman di bidang pertanian, seperti bagaimana

menggarap dan mengelola tanah di Lampung, serta bagaimana mereka

membina hubungan dengan pemerintah lokal dan masyarakat asli

Lampung.

Salah satu relasi dengan komunitas lain yang dibangun oleh Sri

Mpu Suci, di mana menjadi salah relasi yang sangat erat, adalah relasi

dengan etnis Tionghua yang sebagian besar bertempat tinggal di sekitar

pasar Kecamatan Sidomulyo. Etnis ini sebagian besar berprofesi sebagai

pedagang. Permulaan hubungan dengan etnis Tionghua sebenarnya sudah

dimulai sejak pertemuan dengan seorang tentara Tionghua yang pada masa

awal mereka membuka lahan menembak mati seekor gajah yang

mengganggu lahan untuk dikonsumsi oleh transmigran. Hubungan ini terus

berlanjut ketika mereka harus membeli berbagai kebutuhan pokok atau pun

barang-barang kebutuhan lain di pasar kecamatan, di mana pedagangnya di

dominasi oleh etnis ini. Sama seperti transmigran Jawa, etnis Tionghua

juga merupakan pendatang. Persamaan perasaan sebagai pendatang

menjadi salah satu jalinan relasi antara etnis Bali dan Tionghua berjalan

baik, dan terus berlanjut hingga saat ini.

Pribadi Sri Mpu Suci yang hangat dan ramah serta kharisma yang

dimilikinya sebagai pemimpin komunitas transmigran Bali Nusa

menjadikan komunikasi berjalan dengan baik, hingga muncul kepercayaan

dan relasi itu sendiri. Menyadari posisinya sebagai pendatang dan

minoritas, Sri Mpu Suci tidak segan-segan untuk menjalin komunikasi dan

silaturahmi dengan kelompok etnis dan kepercayaan lain. Ini merupakan

sebuah usaha dari Sri Mpu Suci agar terjadi kesepahaman dan pengertian

antar komunitas.

menyelenggarakan semacam upacara informal (halal-bihalal) dengan sesepuh atau

tetua adat dari komunitas Bali Hindu – termasuk sesepuh dari Balinuraga yang

dalam setiap kesempatan selalu diundang sebagai salah tokoh komunitas Bali

Hindu di Lampung Selatan.

Page 21: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

117

Dengan kharisma yang dimilikinya, Sri Mpu Suci menjadi tokoh

sentral atau pusat dari komunitas Kampung Bali di Kecamatan Sidomulyo.

Keberadaan seorang tokoh atau aktor sentral ini yang menyebabkan

mengapa orang Bali di Lampung dikenal dengan kekompakkan dan

kesolidannya sebagai sebuah komunitas etnis dan agama yang minoritas,

karena adanya tokoh sentral yang menjadi pusat dan panutan bagi para

kliennya. Kehadirannya dapat menyingkirkan perbedaan dan

mempersatukan warga-warga yang sejak masa kerajaan sudah eksis dan

memiliki track record persilihan antara warga satu dengan yang lain

secara sosial dan politik.

Warga-Warga di Balinuraga

Komunitas Bali Hindu dikenal sebagai komunitas pendatang –

yang sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang heterogen –

dengan kesolidan (kekompakkan) komunitasnya. Kesolidan komunitas ini

terlihat jelas secara fisik pada komunitas-komunitas Kampung Bali yang

berada di daerah-daerah pedesaan (biasa disebut soateng152

). Pandangan

sebagian besar masyarakat Lampung yang menilai kesolidan masyarakat

Bali ini sebenarnya didasarkan pada apa yang terlihat secara fisik (visual),

di mana dapat dilihat dari perkampungan Bali yang eksklusif dan

pengerahan massa dalam jumlah besar pada setiap upacara / ritual adat dan

keagamaan besar. Perkampungan Bali yang eksklusif dan pengerahan

massa dalam upacara /ritual penting merupakan wujud bagaimana

komunitas Bali Hindu mengaktualisasikan eksistensi identitas mereka.

Manifestasi politik identitas ini secara fisik (kasat mata) – sebagai upaya

mendapatkan pengakuan dari khalayak akan eksistensi identitas etnis dan

kepercayaannya – tidak bisa dinilai secara naif bahwa kesolidan komunitas

Bali itu didasarkan atas satu kesatuan atau keseragaman identitas di dalam

komunitas itu. Dengan kata lain, komunitas Bali di Lampung sama seperti

layaknya di Bali yang dikesankan dengan keeksotisannya sebagai surga

dunia, yang di dalam komunitas tersebut seolah-olah tidak terjadi apa-apa,

hidup rukun, tenteram, dan (pastinya) tidak ada konflik / pertentangan

152

“Soateng” adalah sebutan bagi daerah-daerah yang berada di luar kota (Bandar

Lampung). Dapat diartikan di daerah perkampungan atau pelosok.

Page 22: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

118

antar kelompok di dalam komunitas itu. Seperti kasus di komunitas Bali

Hindu di Desa Balinuraga – satu desa dengan tujuh banjar (dusun) yang

mayoritas adalah Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida – memiliki

kesan sebagai Desa Bali dengan identitas Bali-nya yang kental, terutama

sebagai masyarakat yang penuh harmoni. Pandangan, penilaian, ataupun

kesan yang mendalam bagi sebagian masyarakat Lampung bahwa

komunitas Bali Hindu memiliki satu identitas yang sama dapat dikatakan

keliru. Mengapa demikian? Karena dalam kenyataannya etnis Bali Hindu

di Lampung – meskipun sudah bertransmigrasi ke luar Bali – tetap

membawa dan mempertahankan identitas leluhurnya (kawitan), di mana

setiap kelompok memiliki identitas leluhur (klan, dalam Bali biasa disebut

warga, soroh, dadia) yang berbeda antara satu dan lain, dan tentunya

dengan tata cara dan adat istiadat yang berbeda pula, termasuk dalam

pelaksanaan beberapa upacara atau ritual adat dan keagamaan. Pulau Nusa

Penida sebagai tempat komunitas Bali Hindu ini berasal pun memiliki

karakteristik yang juga berbeda dengan komunitas Bali Hindu

(transmigran) lainnya. Dengan kata lain, komunitas Bali Hindu di dalam

Desa Balinuraga mempunyai identitas beragam (bukan identitas tunggal)

yang didasarkan atas identitas leluhurnya. Konsekuensinya – dengan

identitas leluhur yang beragam ini – adalah pertentangan antar kelompok

(klan/warga) dengan mengusung identitasnya masing-masing; terutama

klaim-klaim bahwa warga-nya lebih unggul daripada warga lain. Namun,

sebagai catatan, bahwa pertentangan antar warga yang terjadi di dalam

desa ini tidak lain merupakan sebuah dinamika dalam komunitas mereka

sebagai Bali Hindu. Pertentangan warga tidak diartikan sebagai sebuah

perpecahan, melainkan sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi secara

internal komunitas mereka, tanpa mengusik identitas mereka sebagai Bali

Hindu. Mengapa ini terjadi? Ini dikarenakan identitas Bali Hindu mereka

adalah identitas minoritas dalam masyarakat Lampung secara keseluruhan.

Mereka tidak ingin identitasnya sebagai Bali Hindu terancam oleh

pengaruh-pengaruh luar (eksternal) – ini yang menjadi pengikat (bonding)

komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Oleh karena itu, pertentangan antar

warga dinilai sebagai sebuah dinamika yang terjadi di dalam „dunia‟ atau

„negara‟ (konteksnya Desa Balinuraga sebagai komunitas Bali Hindu)

hanya di dalam komunitas itu sendiri. Meskipun pertentangan antar warga

Page 23: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

119

ini terkait dengan identitas leluhurnya, mereka tidak ingin identitasnya

sebagai Bali Hindu hilang atau terkikis, karena jika itu terjadi maka

identitas warga-warga itu yang selama ini mengalami pertentangan juga

akan hilang atau terkikis.

Warga-warga ini dikategorikan sebagai aktor yang turut

membentuk identitas komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Sebelum

lembaga-lembaga formal adat dan keagamaan masuk ke komunitas ini

sebagai pemersatu warga-warga (atau umat Hindu Bali), sosok Sri Mpu

Suci secara individual berperan sebagai aktor utama pembentukan

komunitas Bali Hindu dari Nusa Penida dan sebagai pemersatu warga-

warga dengan kedudukannya sebagai patron. Namun, di aras grass root

(akar rumput) warga-warga ini, dengan dinamika pertentangan antar

warga yang terjadi, juga merupakan aktor-aktor yang tidak dapat diabaikan

perannya dalam pembentukan identitas komuntias mereka – karena

mereka(lah) yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesama

anggota komunitasnya dengan membawa identitas warga yang berbeda.

Tentu, yang menjadi catatan penting di sini adalah anggota-anggota warga

ini dalam interaksinya dengan warga lain sebenarnya “tidak mau ambil

pusing” dengan pertentangan warga, karena tujuan mereka adalah bertani.

Tapi, dalam kenyataannya elit-elit dari setiap warga – yang menjadi patron

anggota warga – kerap mengusung identitas warga untuk kepentingan

politiknya (dalam skala desa), di mana secara tidak langsung

mempengaruhi anggota-anggota setiap warga terkait posisinya sebagai

klien yang patuh ketika berinteraksi dengan warga lain. Oleh karena itu,

dalam pembahasannya mengenai warga-warga di Balinuraga, penulis

membahas warga sebagai lembaga, karena identitas warga ini sudah

melekat (melembaga) pada setiap anggota warga-nya. Untuk membahas

warga-warga ini, selain menggunakan data empirik, penulis menggunakan

data-data sekunder yang memuat sejarah dan silsilah warga-warga, serta

sejarah warga-warga ini di masa kerajaan dan kolonial, di mana dokumen-

dokumen dan isinya secara umum sudah diketahui dan dimiliki oleh para

sepuh-sepuh warga di sana. Data-data sekunder ini, terutama sejarah dan

silsilah warga, perlu digunakan untuk memperjelas duduk-perkara

pertentangan warga yang terjadi di Balinuraga, di mana memiliki pola

Page 24: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

120

yang hampir sama dengan yang terjadi di Bali. Dalam pembahasannya,

penulis akan lebih memumpunkannya pada dua warga, Pasek dan Pandé,

karena baik berdasarkan realitas di lapangan, maupun data-data sejarah,

dua warga ini yang paling sering bertentangan. Dengan kata lain, dua

warga ini (dari tiga pengelompokkan warga di Balinuraga: Pasek, Pandé,

dan Arya), Pasek dan Pandé, hubungannya paling dinamis. Dalam kasus

ini, warga Arya seperti menjadi follower dari kedua warga ini, yang

diperebutkan sebagai klien.

Sejak kedatangan pertama kali ke Lampung hingga terbentuknya

Desa Balinuraga, dengan Banjar Pandéarga sebagai cikal bakal Desa

Balinuraga, komunitas transmigran Bali Nusa memiliki tiga kelompok

besar warga, yaitu mulai dari yang terbesar Warga Pasek kurang lebih

berjumlah 50%, dan sisanya masing-masing kurang lebih 25% untuk

Warga Pandé dan Warga Arya. Konsep warga (atau sebutan lain soroh

atau klan) pada dasarnya berbeda dengan konsep “wangsa” atau “kasta”.

Namun, seiring dengan perkembangan situasi sosial dan politik pada masa

kerajaan di Bali pasca invasi Majapahit (khususnya di masa-masa

keruntuhan Majapahit dalam rentang 1478-1520; 1527 Majapahit jatuh),

dan terutama di masa berkuasanya kolonial di Bali dengan proyek

Balinisasi-nya, konsep warga atau soroh (disebut juga klan) menjadi

tumpang-tindih dengan konsep “kasta” (wangsa) atau triwangsa. Dalam

beberapa kasus, keanggotaan dari warga atau kelompok warga itu sendiri

merupakan cerminan atau terbatas pada kasta tertentu. Dengan kata lain,

jika seseorang merupakan seorang Brahmana, maka dia tidak dapat

menjadi anggota dari warga Pasek atau Warga Pandé, begitu pula

sebaliknya. Dalam kasus ini, konsep warga dalam aplikasinya, kerap,

keluar dari pakem atau batasan-batasan kasta (wangsa). Contoh kasusnya

adalah beberapa warga yang menggunakan nama Arya, di mana nama

Arya tersebut berhubungan dengan kebudayaan pra-Hindu di India – ini

merupakan sebuah hubungan yang dilihat dari segi waktu dan kebudayaan

yang mungkin atau tidak mungkin benar (valid). Mengingat secara waktu

dan usia peradaban suku Arya di India (masa pra-Hindu) lebih tua daripada

klan yang menggunakan nama Arya di Bali. Arya di sini adalah para

prajurit, termasuk para patih (kesatria), yang ikut berperang bersama

Page 25: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

121

mahapatih Gajahmada ketika menginvasi Bali. Dalam perkembangannya,

para Arya ini membentuk klan atau warga-nya sendiri, ada yang terpisah

dan ada yang masih menyandang status sebagai wangsa kesatria.

Konsep warga itu sendiri muncul ketika berkuasanya Kerajaan

Majapahit atas Bali, di mana pihak kerajaan mengirimkan orang-orangnya

yang berasal dari kalangan elite153

untuk bertugas di Bali. Lambat laun,

elit-elit yang berasal dari Jawa (Majapahit) beranak-pinak di Bali dan

akhirnya membentuk klan (warga) sendiri berdasarkan asal-usul mereka

ketika masih berada di Jawa. Seiring dengan dinamika sosial dan politik di

masa kerajaan, beberapa di antara elit-elit ini – yang ketika berada di Jawa

memiliki status sosial tinggi – mengalami degradasi status sosial akibat

“kesalahan-kesalahan” tertentu, baik bersifat teknis maupun politis.

Misalnya, dalam kasus umum adalah karena pernikahan beda “kasta”,

yaitu menikah dengan seseorang yang status sosialnya lebih rendah, dan

pemberontakan dari kalangan bangsawan terhadap pihak kerajaan / puri

(kudeta gagal). Konsekuensi yang harus ditanggung oleh elit-elit yang

berasal dari Jawa ini adalah penurunan status sosial, di mana penurunan

status / kedudukan sosial ini bersifat permanen yang nantinya akan

diwarisi oleh anak-cucunya setelah beranak-pinak di Bali. Status sosial

dari elit-elit ini, yang sewaktu di Jawa memiliki kedudukan yang tinggi,

tidak dapat dikembalikan seperti sedia kala. Hal ini dapat dilihat dari

153

Kalangan elite yang dimaksud adalah utusan-utusan dari pihak kerajaan

Majapahit di Jawa Timur yang dikirim ke Bali untuk urusan kerajaan, baik berupa

urusan politik maupun sosial, budaya, dan keagamaan. Kalangan elit ini berasal

dari kalangan kerajaan, orang, atau kalangan tertentu yang dekat dengan pihak

kerajaan dengan posisi yang prestisius. Umumnya mereka berlatar belakang

kesatria (orang-orang pemerintahan / kerajaan) dan brahmana (ahli-ahli

keagamaan) yang biasanya memiliki gelar “mpu” (sebutan lain Empu) atau “Rsi”

(sebutan lain: Resi) dari berbagai latar belakang aliran dalam agama Hindu-Budha.

Hubungan bilateral antar dua kerajaan ini, Majapahit dan Bali, memungkinkan

Majapahit sebagai negara pusat untuk mengirimkan utusan-utusannya secara

berkala. Di masa berjayanya Majapahit, pengutusan atau pengiriman kalangan elit

ini bertujuan untuk mematangkan dominasi Majapahit atas Bali. Di masa-masa

keruntuhan Majapahit akibat bangkitnya kerajaan Islam di Jawa, Bali dijadikan

sebagai tempat pengungsian bagi kalangan elit ini, dan menjadikannya sebagai

benteng terakhir bagi eksistensi kerajaan Hindu yang dominasinya mulai pudar di

Jawa.

Page 26: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

122

catatan-catatan sejarah di dalam babad warga-warga – yang kedudukannya

dianggap berada di bawah – bahwa leluhur mereka yang berasal dari Jawa

(Kerajaan Majapahit) merupakan elit-elit utusan dari Majapahit yang

memiliki status sosial yang tinggi ketika diutus dan menetap di Bali

sebelum mengalami penurunan status sosial akibat peristiwa-peristiwa

tertentu, khususnya di masa proyek balinisasi (baliseering) pemerintah

kolonial. Di masa sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, tingkat

pendidikan yang semakin membaik, serta terbitnya sejumlah catatan-

catatan sejarah dari para ahli dan pengamat Bali, kesadaran dari warga-

warga yang pada masa kolonial dicampakkan ke dalam “sudra wangsa”

mulai meningkat. Mereka (warga-warga) mulai kritis atas sistem wangsa

yang mereka anggap sudah tidak relevan. Argumen-argumen yang mereka

ajukan untuk memperjuangkan kedudukan sosial kelompok warga-nya

didasarkan atas fakta-fakta sejarah – menggunakan catatan sejarah dalam

babad dan hasil penelitian dari para ahli – dan konsep-konsep modern yang

anti-feodalisme, seperti egaliter, kemanusiaan, demokrasi, dan lain-lain154

.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Bali hingga masa sekarang, di mana

perjuangan kasta dimulai di awal abad ke-20 pada masa kolonialisme di

Bali ketika masyarakat Bali dari berbagai kalangan mulai mendapatkan

pendidikan, tapi juga di dalam komunitas transmigran Bali Nusa di Desa

Balinuraga. Kesadaran akan ketidak-relevanan konsep triwangsa

sebenarnya tidak hanya terjadi di abad ke-21 dalam komunitas ini, tapi

sudah dimulai ketika mereka bertransmigrasi ke Lampung – bukan tidak

mungkin jika beberapa di antara mereka atau mayoritas ketika masih

berada di Nusa Penida sudah menyadari ketidak-relevanan ini, mengingat

masyarakat Bali di Nusa Penida yang cenderung lebih egaliter.

Keegaliteran ini tentu semakin menguat setelah mereka bertransmigrasi ke

Lampung, di mana perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai

pendatang (transmigran) menjadi perekat semangat keegaliteran tersebut.

154

Konsep-konsep modern ini mulai mencuat ke permukaan (memanas) di tahun

1920-an – sebelumnya telah ada tapi belum dalam tataran perdebatan publik yang

panas – antara golongan jabawangsa terdidik (yang mendapatkan pendidikan

modern di masa kolonial) melalui koran lokal berbahasa melayu “Surya Kanta”

dan golongan bangsawan (triwangsa) melalui “Bali Adnyana” (Dwipayana 2001,

Robinson 2006, Kerepun 2007, Wiana & Santeri 2005).

Page 27: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

123

Di bawah ini merupakan daftar warga (klan-klan) yang ada di Bali yang

jumlahnya kurang lebih mencapai 22 kelompok warga:

Brahmana

Ksatrya Dalem

Ksatrya Taman Bali

Ksatrya Manggis

Pasek

Pula Sari

Pandé

Kayu Selem

Sangging

Batu Gaing

Arya Kepakisan

Arya Kenceng

Arya Belog

Arya Gajah Para

Arya Pinatih

Arya Goto Waringen

Arya Tan Mundur

Arya Tan Kaur

Arya Tan Kober

Arya Sidemen

Arya Sentong

Arya Dalancang

Tabel 1. Daftar Warga-Warga (Klan) di Bali

(Sumber: Eiseman 2005)

Warga Pasek155

Warga Pasek merupakan warga (klan) dengan jumlah anggota

yang terbesar dari komunitas transmigran Bali Nusa di Desa Balinuraga.

Hampir separuh dari keseluruhan anggota komunitas ini didominasi oleh

warga Pasek. Hal ini bukan tanpa sebab, karena di Bali sendiri warga

Pasek merupakan kelompok warga yang jumlahnya paling besar.

Setidaknya hampir (kurang lebih) 60% penduduk Bali merupakan Warga

Pasek (Eiseman 2005). Tidak hanya di pulau induk (Bali) saja warga

Pasek mendominasi jumlahnya, tapi juga di Pulau Nusa Penida. Hal ini

didasarkan pada catatan babad yang memuat silsilah leluhur warga Pasek

– Sang Sapta Rsi – yang keturunannya tersebar ke berbagai daerah di Bali,

termasuk mendominasi di daerah Klungkung yang secara geografis

155

Untuk menguraikan sejarah dan silsilah Warga Pasek, penulis menggunakan

acuan utama dari “Babad Pasek: Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi” karya Jro

Mangku Gde Ketut Soebandi (cetakan kedua: 2004) yang diterbitkan Pustaka

Manikgeni dan Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi.

Page 28: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

124

letaknya berdekatan dengan Nusa Penida156

. Oleh karena itu, tidak

mengherankan bila Warga Pasek mendominasi transmigran Bali Nusa

ketika bertransmigrasi ke Lampung.

Dalam Bahasa Bali kata “Pasek” adalah kata kerja (verb) “macek”

yang berarti “memaku” (kata benda: paku). Dalam Bahasa Indonesia kata

“Pasek” memiliki kesamaan arti dengan kata “Pasak”. Kata “Pasak” atau

“Pasek” sama dengan baji dan paku kayu, di mana berfungsi untuk

merapatkan atau menjejal sesuatu yang renggang157

. Pada mulanya kata

“Pasek” digunakan untuk seseorang yang memegang pimpinan di

pemerintahan – seperti “gelar” bagi orang yang duduk di pemerintahan.

Dalam perkembangannya istilah “Pasek” ini kemudian digunakan juga

oleh orang Bali Aga sebagai gelar atau identitas seorang pemimpin, dan

bagi orang Bali pada umumnya digunakan oleh setiap pimpinan di

berbagai bidang. Gelar “Pasek” di Bali memiliki keterkaitan dengan secara

organisatoris dengan Kerajaan di Jawa Timur – karena pada masa itu Jawa

Timur merupakan “negara pusat” bagi Bali – dan juga di Jawa Tengah. Di

Jawa Timur, kata “Pasek” dapat dianalogikan dengan kata “Pakis” yang

dikenal dengan sebutan “Kepakisan”, dan di Jawa Tengah dengan sebutan

“Paku” dengan sebutan jabatan Paku Alam dan Paku Buwono. Dalam

Bahasa Indonesia kata “Pasak” – dalam Bali adalah “Pasek” – memiliki

fungsi sebagai gelar bagi pemimpin, di mana kata “Pasak” tersebut

memiliki arti yang sama (sinonim) dengan “ketua” atau pemimpin.

Contohnya: pasak negeri (kesamaan arti: ketua), pasak kunci (kata kiasan

156

Di dalam Babad Pasek (Soebandi, 2004) diuraikan mengenai keturunan dari

Pasek Penida; di mana Pasek Penida merupakan keturunan dari Mpu Dangka.

Mpu Dangka sendiri merupakan putra bungsu dari Mpu Gnijaya (atau Mpu Geni

Jaya), atau adik terkecil (bungsu) dari Pasek Sanak Sapta Rsi (sebutan lain: Tujuh

Pendeta, Tujuh Mpu, atau Tujuh Rsi/Resi) yang merupakan pendiri dari

warga/klan Pasek. Keturunan dari Pasek Penida ada yang berdomisili (memiliki

banjar) di daerah Klungkung, di mana Pulau Nusa Penida menjadi bagiannya.

Namun demikian, tidak hanya keturunan dari Mpu Dangka – dalam kasus ini salah

satunya Pasek Penida – yang berdomisili di daerah Klungkung, tapi juga dari

keturuan Sang Sapta Rsi yang lain (kakak-kakak kandung dari Mpu Dangka) yang

masih menjadi leluhur Warga Pasek. 157

Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008), Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional.

Page 29: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

125

untuk penguasa administratif)158

. Dengan kata lain, dalam arti kiasan, baik

kata “Pasek” maupun “Pasak” memiliki arti sebagai gelar bagi seorang

pemimpin yang menduduki jabatan fungsional di suatu pemerintahan. Arti

yang memiliki makna hampir sama dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder

1982), di mana kata “pasak” atau “pasek” diartikan: a gift (tribute) of

money or clothing presented to the king or members of the royal family

(nini haji, bini haji, rake hino, etc) so that privileges granted may be

respected or the action done, e.g. manusuk sima, cannot be undone159

. Di

Bali, kata “Pasek” ini kemudian menjadi sebuah warga atau klan dari

leluhur warga Pasek, yaitu Sang Sapta Rsi atau Maha Gotra Pasek Sanak

Sapta Rsi. Ini dikarenakan, berdasarkan sejarahnya, ketujuh pendeta ini

ketika berada di Bali memegang sebuah jabatan pimpinan tertentu di

berbagai bidang, khususnya bidang pemerintahan dan keagamaan. Oleh

karena itulah, di masanya (abad ke-10) ketujuh pendeta dari Jawa Timur

ini – Sang Sapta Rsi – menyandang gelar Pasek karena jabatan

fungsionalnya. Kemudian, gelar Pasek ini digunakan oleh keturunan dari

Sang Sapta Rsi sebagai identitas atau jati dirinya bahwa mereka keturunan

dari Sang Sapta Rsi yang di masanya pernah menduduki sebuah jabatan

fungsional dalam pemerintahan kerajaan. Singkatnya, warga Pasek

merupakan keturunan dari Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (Sang Sapta

Rsi), di mana kata “Pasek” di depan “Sanak Sapta Rsi” merupakan gelar

atas jabatan fungsional mereka pada masa itu, dan digunakan sebagai

penunjuk atau identitas bagi para keturunannya saat ini.

Sebagai catatan tambahan, posisi dan status istimewa dari leluhur

warga Pasek ini – di mana pada masa awal kedatangan Sanak Sapta Rsi di

Bali posisi memiliki posisi yang prestisius sebagai pendeta (golongan

brahmana) dan juga sebagai golongan kesatria karena turut andil dalam

bidang pemerintahan – tidak dapat dinikmati atau dirasakan oleh para

158

Lihat: Tesaurus Bahasa Indonesia (2008), Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional. 159

Arti lain dari kata “pasak” di dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder 1982)

adalah one might surmise: “to input heart into.” Memiliki makna yang hampir

sama dengan Bahasa Indonesia terkait fungsi pasak untuk mengencangkan

(perekat) sesuatu yang longgar.

Page 30: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

126

keturunannya, baik yang berada di Bali maupun di luar Bali160

. Di masa

kerajaan, keturunan dari Sanak Sapta Rsi – warga Pasek – tidak

seluruhnya mendapatkan status atau pun jabatan yang istimewa dalam

pemerintah (mungkin hanya beberapa saja dalam setiap rezim kerajaan

feodal di Bali). Pada masa ini, warga Pasek digolongkan sebagai outsider,

di mana tidak termasuk dalam golongan triwangsa (brahmana, kesatria,

dan waisya). Namun, di masa kolonial, melalui proyek baliseering

(balinisasi) status sosial warga Pasek lebih dipertegas – tidak fleksibel

seperti di masa kerajaan feodal Bali – sebagai sudra wangsa (non-

triwangsa / di luar triwangsa)161

.

Bila mencermati komposisi warga-nya yang lebih besar daripada

warga Pandé, warga Pasek dalam kenyataannya sulit untuk mendominasi

atau memberikan pengaruh bagi komunitas Bali Hindu di Desa Balinuraga.

Sampai saat ini pun, Warga Pasek belum bisa mengalahkan popularitas

dan pengaruh dari Warga Pandé di Desa Balinuraga. Baik di bidang

kesenian, kepemimpinan, maupun keagamaan. Kenyataannya Warga

160

Berdasarkan bagan genealogi dari leluhur Warga Pasek – lebih jauh lagi adalah

leluhur dari Sang Sanak Sapta Rsi, meskipun Sang Sanak Sapta Rsi sendiri juga

merupakan brahmana – menunjukkan bahwa leluhur mereka tidak hanya berasal

dari golongan brahamana, tapi juga Hyang Brahma (Pencipta). Oleh karena itu,

warga Pasek – yang diwakili oleh elit-elit politik dan keagamaan – berkeinginan

untuk mengembalikan status sosial mereka seperti sediakala, yaitu brahmana.

Perdebatan ini sebenarnya sudah mulai menghangat di masa pemerintahan

kolonial dengan proyek balinisasinya, di mana warga pasek berada di luar dari

golongan triwangsa, yang akhirnya menerima konsekuensi-konsekuensi yang

tidak mengenakkan bagi warga mereka, seperti kerja sukarela untuk pemerintah

kolonial dan kerajaan. 161

Namun demikian, dalam beberapa kasus, beberapa dari Warga Pasek masih

mendapatkan kedudukan di dalam pemerintahan (puri/kerajaan). Di antaranya

disebabkan karena adanya hubungan dekat dengan puri. Hal ini tidak dapat

dilepaskan dari faktor sejarah di mana di antara Warga Pasek ada yang disertakan

dalam pemerintahan. Selain itu, jumlah warga Pasek yang menjadi mayoritas di

Bali menjadikan peluang (probabilitas) bagi beberapa Warga Pasek untuk duduk

di dalam pemerintahan lebih besar daripada warga lain. Oleh karena itu,

perlawanan dan aksi protes Warga Pasek di masa kolonial yang menuntut

diskriminasi wangsa muncul belakangan – setelah warga Bhujangga Waisana dan

Pandé – karena jumlah warga yang besar sulit melakukan konsolidasi dan

beberapa di antara mereka duduk dalam pemerintahan puri.

Page 31: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

127

Pandé tetap lebih solid dan rapih secara komunitas di Desa Balinuraga. Di

bidang kesenian, Warga Pandé tetap menjadi pemimpin dan kreator dari

pentas-pentas kesenian atau pun karya-karya kesenian Bali, seperti seni

tari, seni ukir, seni lukis, dan drama. Dalam beberapa even tertentu, baik di

level kecamatan maupun kabupaten, pentas kesenian lebih banyak

dibawakan oleh Warga Pandé (dalam Banjar Pandéarga). Dalam

pertunjukkan Calon Arang di Desa Balinuraga setelah perayaan hari raya

Nyepi (Maret 2010), inisiator dan sutradaranya berasal dari Warga Pandé.

Untuk pembangunan pura dan ukirannya para pembuatnya

didomimeriznasi oleh Warga Pandé, termasuk lukisan. Tidak jarang

Warga Pasek di Desa Balinuraga dalam pembuatan pura keluarganya

menggunakan jasa Warga Pandé, dikarenakan beberapa Warga Pandé

menekuni profesi sebagai pembuat pura dan ukirannya, yang jasanya

digunakan oleh Kampung Bali di daerah lain162

. Tokoh masyarakat di Desa

Balinuraga, yang kapasitas dan kapabilitasnya disegani dari berbagai

kalangan, baik dari kalangan orang Bali sendiri di Lampung Selatan

maupun pejabat sekelas bupati pun, berasal dari Warga Pandé. Ini bukan

berarti dari kalangan Warga Pasek tidak mempunyai tokoh masyarakat

atau pun pekerja seni sendiri, hanya saja popularitas dan nama besarnya

masih kalah jauh dari tokoh yang berasal dari kalangan Warga Pandé yang

sejak awal sudah mendominasi komunitas Desa Balinuraga.

Di level makro, Warga Pasek di Desa Balinuraga sudah

terorganisir dengan baik, khususnya pasca tahun 1970-an ketika beberapa

elit Warga Pasek di Bali mulai melakukan pendataan terhadap warga-nya

yang telah berdomisili di daerah transmigran, termasuk di Lampung.

162

Kasus ini merupakan salah satu contoh pergeseran fungsi (kerja) dari Warga

(klan) Pandé, dari pandai besi menjadi pembuat pura. Bagi mereka (Warga

Pandé) pergeseran ini merupakan bagian dari penyesuaian fungsi (kerja) dari klan

Pandé sesuai dengan konteksnya di masa sekarang – di mana peralatan yang

terbuat dari besi sudah dibuat dalam skala besar di pabrik-pabrik baja. Namun,

hakikatnya, fungsi dari klan Pandé tidak berubah, yaitu sebagai “pembuat” atau

“pencipta”. Jika dulu mereka “pembuat” atau “pencipta” barang-barang yang

terbuat dari besi (seperti keris atau bajak), sekarang, seiring dengan perkembangan

zaman dan perpindahan tempat tinggal dari Bali ke Lampung, mereka menjadi

“pembuat” pura. Ulasan lebih lanjut warga Pandé disajikan pada setelah sub-bab

ini.

Page 32: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

128

Pendataannya dilakukan dengan tujuan untuk menghimpun massa Warga

Pasek yang tersebar di berbagai daerah selain Bali, sekaligus untuk

menghimpun sejumlah dana untuk organisasi tersebut. Dengan kata lain,

untuk mengklaim eksistensi warga mereka sebagai warga mayoritas dalam

masyarakat Bali Hindu. Tujuan ini biasanya bersifat politis, karena dalam

beberapa kasus digunakan untuk melegitimasi elit-elit dari Warga Pasek

yang ingin berkompetisi dalam politik lokal, khususnya di era otonomi

daerah. Organisasi resmi yang mewadahi warga Pasek adalah Maha Gotra

Pasek Sanak Sapta Resi (Rsi: pengucapan untuk Resi) yang didirikan

tahun 1952. Di level desa sampai di luar Bali, organisasi ini tetap ada

untuk mengordinir Warga Pasek yang ada di luar Bali, seperti anak

cabangnya yang ada di Desa Balinuraga. Tujuan yang tidak kalah penting

dari pendataan Warga Pasek, khususnya yang ada di Desa Balinuraga,

adalah bagaimana Warga Pasek tidak kehilangan jati dirinya setelah

berada di luar Bali. Pendataan ini merupakan proyek dari elit lokal Warga

Pasek di Bali untuk mengantisipasi hilangnya warga-warga mereka

setelah berada di luar Bali, atau pindah (menjadi pengikut) dari warga lain

yang dominan. Kekhawatiran ini cukup beralasan bagi para elit Warga

Pasek di Bali, karena jika Warga Pasek di luar Bali kehilangan identitas,

atau pindah ke warga lain (berpatron atau menjadi klien warga lain), maka

akan berakibat terhadap menurunnya jumlah massa dari Warga Pasek.

Menurunnya jumlah massa Warga Pasek di luar Bali akan berakibat pada

menurunnya jumlah dana (dan tentunya jumlah suara atau dukungan massa

di luar Bali bagi elit politik warga Pasek di Bali) yang dapat mereka

kumpulkan dari Warga Pasek di luar Bali untuk kepentingan politik elit

Warga Pasek di Bali, selain untuk kepentingan agama dan adat dari

organisasi mereka. Mengingat sejumlah Warga Pasek di luar Bali – di

daerah transmigran seperti di Lampung – ada yang telah berhasil atau

sukses secara ekonomi di bidang pertanian atau usaha pertanian. Strategi

jemput bola ini dapat dikatakan berhasil untuk memikat Warga Pasek yang

menjadi transmigran, khususnya untuk memberikan dana bagi organisasi

warga-nya yang ada di tanah leluhur – mengingat usia organisasi ini secara

formal masih terbilang muda sejak berdirinya tahun 1952. Mengapa

demikian? Karena dengan strategi jemput bola – elit lokal Warga Pasek di

Bali yang melakukan pendataan Warga Pasek di daerah transmigrasi –

Page 33: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

129

memberikan suatu kebanggaan bagi para transmigran yang selama

bertransmigrasi mengalami kevakuman identitas. Para transmigran ini

merasa dirinya diperhatikan dan dijadikan bagian yang tidak kalah penting

seperti warga-warga lainnya yang ada di Bali. Terlebih jika mereka dapat

memberikan bantuan dana yang besar bagi organisasi. Dalam kasus Warga

Pasek di Desa Balinuraga, proyek ini memberikan angin segar bagi mereka

yang selama ini menggantungkan identitasnya pada Warga Pandé. Melalui

proyek ini mereka telah menemukan kembali identitasnya, dan diakui oleh

sesama warga mereka yang ada di Bali. Terlebih setelah elit-elit lokal

Warga Pasek tersebut, melalui strategi jemput bolanya datang langsung ke

Desa Balinuraga untuk melakukan pendataan dan konsolidasi. Secara

psikologis, kedatangan elit-elit tersebut membesarkan hati para Warga

Pasek untuk menghidupkan identitas warga-nya. Dengan demikian,

mereka tidak lagi bergantung dengan Warga Pandé, dan semakin percaya

diri bahwa mereka merupakan kelompok warga yang mayoritas – tidak

hanya di Bali, tapi juga di Desa Balinuraga dan Provinsi Lampung.

Faktor pengalaman dan silsilah keluarga yang kompleks pada

Warga Pasek menjadi salah satu penyebab utama mengapa mereka sulit

untuk mendominasi dalam komunitas Balinuraga. Sejak kedatangan

pertama kali ke Lampung (bertransmigrasi), Warga Pasek merupakan

pengikut (follower) dari Warga Pandé yang dipimpin oleh Sri Mpu Suci.

Faktor pengalaman ini turut ditentukan dari sumber daya manusia Warga

Pasek yang bertransmigrasi, yaitu pengetahuan yang minim, di mana

mayoritas dari transmigran Bali Nusa masih buta huruf, dan pengetahuan

tentang adat dan agama yang kurang mumpuni. Hadirnya sosok Sri Mpu

Suci sebagai seorang pemimpin yang kharismatik dengan kekuatan sekala

dan niskala-nya, menjadikan Warga Pasek sebagai klien yang patuh. Di

samping itu, anggota dari Warga Pasek belum ada yang memiliki

kemampuan yang menandingi Sri Mpu Suci yang menguasai berbagai

bidang. Mereka tidak mau mengambil resiko dengan melahirkan patron

baru, dan menganggap Sri Mpu Suci yang berasal dari Warga Pandé tetap

sebagai patron yang kuat, di mana mereka bisa menggantungkan

keselamatannya pada kekuatan sekala dan niskala yang dimiliki Sri Mpu

Suci. Pasca pendataan Warga Pasek oleh elit-elitnya dari Bali dan

Page 34: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

130

wafatnya Sri Mpu Suci, Warga Pasek di Balinuraga mulai

mengorganisasikan dirinya. Salah satu caranya adalah dengan membentuk

banjar-banjar lain di dalam Desa Balinuraga yang terpisah dengan banjar

Pandéarga yang merupakan banjar bagi Warga Pandé, diantaranya:

Banjar Sumbersari, Banjar Jatirukun, Banjar Sukanadi, Banjar

Sukamulya, Banjar Banjarsari, Banjar Sidorahayu163

. Dengan kata lain,

mereka memisahkan dirinya dari Warga Pandé – tidak bergabung dengan

Warga Pandé. Artinya, identitas mereka sebagai Warga Pasek sudah jelas

pasca pendataan tersebut, dan setelah wafatnya Sri Mpu Suci sudah

saatnya mereka memiliki patron sendiri yang berasal dari Warga Pasek.

Namun, sampai saat ini, upaya dari Warga Pasek di Desa

Balinuraga untuk mendominasi warga-warga yang ada di Desa Balinuraga

belum berhasil. Ada semacam perpecahan internal di dalam komunitas

warga mereka yang mengakibatkan kesulitan dalam memilih pemimpin

yang dapat mengayomi dan memberikan pengaruh pada warga-warga lain.

Perpecahan internal ini bukan merupakan hancurnya komunitas Warga

Pasek di Balinuraga, tapi lebih disebabkan silsilah dalam Warga Pasek

yang lebih rumit (kompleks) daripada Warga Pandé. Warga Pasek

merupakan keturunan dari Tujuh Pendeta “Sapta Rsi” atau Pasek Sanak

Sapta Rsi, yang merupakan anak dari Mpu Gnijaya (atau disebut Geni

Jaya) – Mpu Gnijaya sendiri merupakan salah satu dari Sang Catur Sanak

(Empat Pendeta Bersaudara) dari Jawa Timur yang diutus ke Bali untuk

163

Berbeda dengan perkembangan Desa Adat dan Desa Dinas yang ada di Bali, di

mana sudah ada pemisahan yang jelas antara keduanya secara fungsional dan

administratif, di Balinuraga Desa Adat dan Desa Dinas menjadi “satu”. Akibatnya

menjadi tumpang tindih dan membingungkan, mana yang menjadi Desa Dinas dan

mana yang menjadi Desa Adat. Umumnya “Banjar” di Desa Balinuraga dijadikan

“Dusun”, dan “Klian Banjar” (Ketua Banjar) menjadi “Kepala Dusun”.

Berdasarkan data statistik “Kecamatan Way Panji Dalam Angka tahun 2008/2009”

disebutkan ada tujuh (7) dusun di Desa Balinuraga, di mana ketujuh dusun ini

merupakan tujuh banjar di dalam Desa Balinuraga. Sebagai minoritas etnik dan

agama di Lampung, tentu orang Bali mengalami kesulitan untuk mendapatkan

keistimewaan melalui otonomi Desa Adat. Secara sosial politik, akan

mengakibatkan kecemburuan dari kelompok etnik lain, di mana Lampung

merupakan wilayah dengan komposisi masyarakat yang heterogen baik etnik

maupun agama dan aliran kepercayaan.

Page 35: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

131

menyelesaikan persitegangan antar sekte. Dengan adanya tujuh leluhur,

maka di dalam komunitas mereka timbul semacam polemik dari daris

keturunan yang mana – dari ketujuh garis keturuan leluhur – yang

sebenarnya pantas (layak) untuk menjadi pemimpin. Bukan tidak mungkin,

terdapat beberapa kekeliruan dalam menentukan silsilah leluhur, karena

proses penelusuran yang rumit. Para elit Pasek yang datang ke Balinuraga

tidak menghabiskan waktu untuk membantu menyusun silsilah keluarga

Warga Pasek satu per satu, karena Warga Pasek umumnya yang berada di

Bali pun mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan secara tepat

leluhurnya, termasuk arti dan asal-muasal “Pasek” itu sendiri. Mereka

hanya tahu bahwa mereka adalah Warga Pasek, tapi dari garis keturunan

mana mereka berasal itu yang harus mereka telusuri sendiri. Sebagai

catatan, sangat jarang sekali dijumpai seseorang yang mengetahui dan

menguasai kawitan, keturunan dan silsilah orang-orang Bali, dan tidak

sembarangan orang yang dapat mempelajarinya. Tentu, ini menjadi

permasalahan sendiri bagi Warga Pasek yang telah berada di luar Bali

untuk mencari silsilah (kawitan) warga-nya dengan benar.

Ketujuh garis keturunan Warga Pasek tersebut merupakan tujuh

putra (keturunan) dari Mpu Gnijaya, yaitu yang biasa disebut sebagai Sang

Sapta Rsi (sebutan lain: Tujuh Pendeta, Tujuh Empu/Mpu, dan Tujuh

Rsi/Resi). Ketujuh Sang Sapta Rsi tersebut, yang menjadi leluhur dan

pembentuk warga (klan) Pasek adalah Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu

Wiradnyana, Mpu Withadharmma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan

Mpu Dangka. Keturunan Sang Sapta Rsi inilah yang kemudian menjadi

Warga Pasek yang mendominasi warga-warga di Bali sebagai warga

mayoritas. Kemudian, dari keturunan Sang Sapta Rsi ini, organisasi resmi

Warga Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi dibentuk. Ayahanda

dari Sang Sapta Rsi, Mpu Gnijaya, ini merupakan salah satu (kakak tertua)

dari Catur Sanak (empat bersaudara; sebutan lain: Sang Catur Sanak yang

berarti empat pandita) dari Panca Tirtha di Jawa Timur yang diutus ke Bali

oleh Sri Gunaprya Dharmmapatni (Udayana Warmmadewa) untuk

mengatasi keresahan masyarakat Bali akibat gesekan-gesekan yang timbul

dari sad paksa (enam sekte) agama Hindu yang berkembang di Bali pada

masa itu. Keenam sekte tersebut: Sambhu, Brahma, Wisnu, Bhayu dan

Page 36: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

132

Iswara. Dari lima mpu di Jawa Timur yang terkenal dengan keahliannya

di berbagai bidang, hanya empat saja yang akhirnya pergi ke Bali, yaitu (1)

Mpu Gnijaya merupakan kakak tertua dari Panca Thirta atau Catur Sanak

yang diutus ke Bali164

. Mpu Gnijaya merupakan pemeluk Brahmaisme, di

mana melalui ketujuh anaknya (Sang Sapta Rsi) menjadikan keturunan

Warga Pasek sebagai warga mayoritas di Bali. Sebagai anak laki-laki

tertua, maka keturunan dari Mpu Gnijaya (Sang Sapta Rsi) menjadi cikal

bakal dari keturunan Warga Pasek di Bali, di mana memiliki kedudukan

yang lebih tinggi dari Warga Pasek Kayuselem; (2) Mpu Sumeru (sebutan

lain: Mpu Mahameru) yang merupakan pemeluk agama Siwa. Mpu

Semeru tidak menikah seumur hidupnya. Meskipun tidak menikah, Mpu

Semeru memiliki seorang keturunan. Konon, berkat kasidhi ajnanan

(kesaktian dan pengetahuan gaib) yang dimilikinya, Mpu Semeru berhasil

menurunkan putra dharma, yaitu Mpu Bandesa Dryakah atau Mpu

Kamareka yang menjadi cikal bakal Warga Pasek Kayuselem. Sabda yang

diberikan Mpu Sumeru kepada putra dharmanya, Mpu Kamareka,

menyebutkan bahwa keturunan dari Mpu Kamareka merupakan kesatria

dan brahamana, di mana setelah keturunan ketiga mereka statusnya surut

menjadi rakyat biasa. Sebagai salah satu dari catur sanak dari Panca Tirtha,

Mpu Semeru tetap merupakan leluhur bagi warga Pasek, termasuk bagi

keturunan warga Pasek dari Sang Sapta Rsi yang tidak lain merupakan

keturunan dari kakak tertua dari Mpu Semeru, Mpu Gnijaya, dan

khususnya warga Pasek Kayuselem yang merupakan leluhur langsung dari

Mpu Semeru melalui anaknya Mpu Kamareka. Untuk menghormati Mpu

Sumeru maka didirikan Pura Ratu Pasek di Besakih sebagai Padharman

Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi) dan Warga Pasek

Kayuselem; (3) Mpu Ghana adalah adik ketiga dari Mpu Gnijaya yang

menganut aliran Ghanapatya. Sama seperti Mpu Sumeru, Mpu Ghana

menjalani Nyukla Brahmacari (tidak menikah/kawin seumur hidup).

Berbeda dengan Mpu Sumeru melalui kasidhi ajnanan mendapatkan

164

Mpu Gnijaya merupakan anak tertua dari Mpu Lampita, di mana Mpu Lampita

adalah anak dari Mpu Bhajrastawwa (Mpu Wiradharmma) – anak tertua dari Mpu

Withadarma yang berdasarkan Lontar Kutara Kanda Dewapurana pada Zaman

Bahari merupakan keturunan langsung dari Bhatara Hyang Pasupati.

Page 37: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

133

keturunan meskipun tidak menikah, Mpu Ghana tidak memiliki keturunan.

Sebagai salah satu dari Catur Sanak yang menjadi leluhur Warga Pasek,

Mpu Ghana tetap dianggap sebagai salah satu leluhur dari Warga Pasek

meskipun tidak memiliki keturunan; (4) Mpu Kuturan (sebutan lain: Mpu

Rajakretha) merupakan yang terkecil dari Catur Sanak, karena adiknya –

Mpu Bradah (bungsu dari Panca Tirtha) – tetap tinggal di Jawa (tidak ikut

serta ke Bali bersama keempat kakaknya/ Catur Sanak). Mpu Kuturan

sendiri merupakan pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana. Selama di

Bali Mpu Kuturan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada

masyarakat Bali. Untuk menghormati jasanya, maka didirikan Pura

Cilayukti (baca: Silayukti) yang berasal dari kata “cila” (baca: sila) yang

berarti “tingkah” dan kata “yukti” yang berarti “benar”. Selama hidupnya

Mpu Kuturan menjalani Swala Brahmacari (kawin/menikah hanya sekali

dan satu istri).

Sampai saat ini, keturunan dari warga Pasek didominasi

(mayoritas) berasal dari keturunan Sang Sapta Rsi, di mana populasinya

terbesar di Bali, termasuk di luar Bali. Dari ketujuh Mpu inilah

keturunannya menjadi warga terbesar di Bali sebagai Pasek tertua

berdasarkan status leluhurnya, dibandingkan dengan Pasek Kayuselem

yang statusnya sebagai adik dari Warga Pasek keturunan Sang Sapta Rsi.

Dari ketujuh Mpu (Sang Sapta Rsi) keturunan yang statusnya tertua adalah

yang berasal dari keturunan Mpu Ketek sebagai kakak tertua atau anak

pertama (laki-laki) dari Mpu Gnijaya. Bila melihat kedatangan Catur

Sanak, leluhur (orang tua) dari Sang Sapta Rsi, di sekitar permulaan abad

ke-10, maka sudah semakin banyak cabang keturunan Warga Pasek dari

Sang Sapta Rsi, yang keturunannya tersebar ke seluruh Bali termasuk ke

Pulau Nusa Penida hingga akhirnya ke luar Bali, termasuk di Balinuraga,

Lampung. Akibatnya, setelah memasuki abad ke-20 dan ke-21 keturunan

Warga Pasek ini menjadi semakin rumit dan kompleks. Faktor ini

(kerumitan menentukan silsilah) yang menyebabkan terjadinya konflik

“internal” warga Pasek di Balinuraga, yang menjadikan mereka sulit untuk

melahirkan pemimpin di dalam kelompok warga-nya dan menggeser

popularitas warga Pandé di Balinuraga. Di samping jumlah populasi

warga-nya yang besar (di Balinuraga) yang menyebabkan

Page 38: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

134

pengonsolidasian warga lebih sulit, serta masih ada beberapa warga yang

masih berpatron kepada warga Pandé.

Pasca pendataan warga Pasek di Balinuraga oleh elit-elit warga

Pasek di Bali dan wafatnya Sri Mpu Suci, warga Pasek mendapatkan

kembali jati dirinya. Kembalinya identitas mereka sebagai warga Pasek

menjadikan mereka semakin percaya diri dan memisahkan diri dari

pengaruh warga Pandé. Ada perasaan bahwa warga-nya (klan Pasek)

lebih unggul daripada warga Pandé, sehingga mereka merasa bahwa

warga Pasek lebih layak untuk memimpin di komunitas Balinuraga. Tentu,

perasaan ini, bahwa warga-nya adalah yang terbaik, dimiliki juga oleh

warga Pandé. Rasa percaya diri warga Pasek pasca kembalinya identitas

mereka memiliki latar belakang sejarah sendiri, di mana leluhur mereka,

khususnya Catur Sanak (ayah dari Sang Sapta Rsi) telah membangun

fondasi dan infrastruktur sosial-politik, budaya dan keagamaan bagi

masyarakat Bali, di mana menjadi tugas dari Catur Sanak ketika diutus ke

Bali. Kehadiran Catur Sanak membawa perubahan besar dalam tata

keagamaan dan tatanan kehidupan masyarakat Bali. Mereka berhasil

menyusun tata tertib desa, membangun pura seperti Kahyangan Tiga, Sad

Kahyangan dan lain-lain, beserta aturan upacaranya. Dari keempat pandita

tersebut (Catur Sanak) yang paling menonjol peran dan keahliannya adalah

Mpu Kuturan (sebutan lain: Mpu Rarajkretha). Prestasi (karya) fenomenal

Mpu Kuturan yang sampai saat ini masih berlaku di Bali dan etnis Bali

Hindu di luar Bali adalah Desa Pakraman (Desa Adat). Mpu Kuturan

berhasil menuangkan konsep Tri Murthi (nantinya dikenal dengan konsep

Tri Hita Karana) ke dalam Desa Pakraman yang ditujukan untuk

memperkuat keberadaan Desa Pakraman dari gejolak dan pengaruh negatif

baik dari dalam maupun dari luar. Karya lain dari Mpu Kuturan antara

lain: memperluas dan memperbesar Pura Besakih; menciptakan palinggih

(bangunan suci) yang disebut Meru, Gedong dan lain-lain; membuat dan

menyempurnakan Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah (Pura

Besakih, Lampuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Berantan, Batur

dan Huluwatu).

Rumitnya penelusuran silsilah warga Pasek di Balinuraga

menjadikan kelompok warga ini kurang solid dibandingkan dengan warga

Page 39: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

135

Pandé. Kesolidan yang dimaksud adalah kesolidan dalam kelompok warga

Pasek di Balinuraga, bukan kesolidan mereka sebagai etnis Bali Hindu

atau komunitas Bali Hindu di Balinuraga atau pun di Lampung Selatan.

Kasus warga Pasek di Balinuraga kurang lebih sama seperti warga Pasek

pada umumnya di Bali, yaitu mereka tahu bahwa mereka itu warga Pasek,

tapi akan kesulitan untuk menjelaskan apa itu Pasek, bagaimana dan

darimana asal-mula leluhurnya. Sebagai warga Pasek mereka tetap

memiliki kesolidan – dengan mengusung identitas sebagai warga Pasek –

tetapi yang menjadi semacam permasalahan di dalam kelompok warga ini

adalah: mereka adalah pasek apa? Berasal dari leluhur pasek yang mana?

Mengingat mereka memiliki tujuh leluhur (Tujuh Pendeta), di mana setiap

pendeta memiliki keturunannya sendiri yang tersebar di Bali dan tetap

mengusung identitas (jati diri) sebagai bagian dari warga (klan) Pasek.

Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini agar tidak terjadi perdebatan

yang berlarut dan warga Pasek tetap bersatu (solid) – perdebatan klasik itu

seperti: Pasek A lebih baik dari Pasek B dan Pasek C dan sebaliknya dan

seterusnya – adalah dengan menjadikan “Pasek” sebagai identitas utama.

Artinya, meskipun mereka mendefinisikan dirinya sebagai Pasek A, B, C,

dan seterusnya, mereka tetap merupakan warga Pasek. Namun, ada

kalanya solusi ini tidak efektif jika ada kepentingan politik dari beberapa

individu yang berambisi untuk menjadi pemimpin dalam komunitasnya,

atau di level kabupaten ingin mencalonkan diri sebagai calon legislatif.

Misalnya, dengan mengklaim dirinya sebagai “Pasek A”, dan berdasarkan

silsilahnya “Pasek A” yang paling layak karena berasal dari pendeta tertua.

Walaubagaimana pun keturunan warga Pasek yang berasal dari Pendeta

tertua dengan keturunannya yang berasal dari anak laki-laki tertua tetap

dianggap yang paling layak. Meskipun klaim tersebut terkadang sangat

sulit untuk dibuktikan, karena keturunan dari Sang Sapta Rsi sudah sangat

banyak dan tersebar ke berbagai daerah. Dalam kasus warga Pasek di

Balinuraga, mereka adalah warga Pasek yang berasal dari Nusa Penida

dan saat ini telah berada di Lampung. Tentu ada beberapa di antara mereka

– yang memiliki alokasi dana khusus – yang berkepentingan untuk

memperjelas identitas leluhurnya, mereka – warga Pasek di Balinuraga –

meminta bantuan dari para Rsi (Resi atau pandita) Warga Pasek senior

yang kompeten di bidangnya di pulau induk, Bali. Jika penelusuran

Page 40: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

136

dilakukan di Nusa Penida, mereka mendapatkan kendala yang cukup

rumit, yaitu dusun tempat di mana mereka berasal dulu (sebelum

bertransmigrasi) jumlah penduduknya sudah sangat sedikit, tinggal hanya

beberapa kepala keluarga saja. Di samping itu, karakteristik masyarakat

Nusa Penida yang lebih egaliter – jauh dari pengaruh “negara pusat” yang

berdampak atas jauhnya pengaruh konsep status sosial triwangsa dan non-

triwangsa, serta warga-warga – menyebabkan mereka sulit untuk

mendapatkan klaim yang jelas atas identitas leluhurnya. Bagi mereka,

klaim yang didapatkan dari pulau induk, Bali, memiliki tingkat pengakuan

yang tinggi, meskipun penelusuran itu belum tentu valid, karena ranting

pohon keturuan warga Pasek dari Sang Sapta Rsi yang sudah bercabang

sangat banyak. Pada akhirnya, tidak jarang, penelusuran ini terhenti karena

permasalahan dana, karena butuh biaya yang besar untuk perjalanan

pulang-pergi Lampung-Bali dan biaya-biaya adat dan keagamaan yang

harus dipenuhi. Jumlah anggota warga Pasek yang lebih besar daripada

warga Pandé – untuk kasus di Balinuraga – merupakan salah satu faktor

yang menyebabkan mengapa warga Pasek kurang solid dibandingkan

dengan warga Pandé. Dalam kasus ini, warga Pandé dari segi jumlah

merupakan minoritas, sama seperti di Bali, tapi jumlah anggotanya yang

lebih kecil menjadikan mereka lebih mudah untuk mengkonsolidasikan

warga-nya. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor sejarah (khususnya di

masa kerajaan), di mana warga Pandé biasanya hidup dalam kelompok

warga-nya sendiri sesama Pandé. Ini terkait dengan fungsi mereka sebagai

pandai besi, di mana hanya klan mereka saja yang menguasai dan diwarisi

teknik-teknik serta kekuatan untuk mengerjakan alat-alat dan perkakas

yang terbuat dari besi. Biasanya mereka memiliki banjar tersendiri, di

mana komunitas mereka bertugas sebagai pandai besi untuk menyediakan

alat-alat dan perkakas yang terbuat dari besi, baik untuk kepentingan

kerajaan atau pun kepentingan kelompok (warga) lain.

Terlepas warga Pasek di Balinuraga berasal dari “Pasek A”,

“Pasek B”, “Pasek C”, dan seterusnya, sebagai warga Pasek mereka tetap

(dan pasti) melakukan kewajibannya sebagai warga Pasek, salah satunya

yang utama adalah mengungjungi pura-pura suci bagi warga Pasek yang

berada di Bali. Pura-pura Suci dan penting bagi warga Pasek di Bali

Page 41: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

137

berdasarkan tingkatannya adalah (1) Pura Ratu Pasek di Besakih; (2) Pura

Dasar Bhuwana Gelgel; (3) Pura Sila Yukti yang lokasinya dekat dengan

Padang Bai; (4) Pura Lempuyang Madia dekat dengan Amlapura.

Tanggungjawab keempat pura suci ini dipegang oleh organisasi formal

warga Pasek, yaitu Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi – yang juga

mempunyai cabangnya di Lampung dalam komunitas-komunitas Bali

Hindu termasuk di Balinuraga. Oleh karena itu, ketika ada upacara-upacara

dan ritual-ritual penting, warga Pasek yang ada di Balinuraga sebisa

mungkin mengunjungi keempat pura suci ini, selain juga mengunjugi pura-

pura suci yang ada di tempat asal mereka di Nusa Penida. Jika hasil

pertanian bagus, bukan tidak mungkin, seorang warga Pasek atau pun

warga lainnya, bisa mengunjungi Bali dan Nusa Penida dua kali dalam

setahun. Biasanya mereka pergi secara berkelompok untuk menghemat

biaya, seperti dengan membawa mobil pribadi atau menyewa mini bus

yang membawa mereka ke Bali dan Nusa Penida. Tujuan dari pelaksanaan

kewajiban ini bagi warga Pasek antara lain adalah untuk menunjukkan

eksistensi identitas mereka sebagai warga Pasek, yaitu dengan

mengunjungi pura-pura suci dan penting bagi warga Pasek. Ada semacam

kebanggaan tersendiri – terkadang dapat meningkatkan status sosial si

individu tersebut – jika secara rutin (minimal satu tahun sekali) pergi ke

Bali untuk menunaikan kewajiban mereka, tidak hanya kewajiban sebagai

warga Pasek, tapi juga kewajiban sebagai umat Hindu. Kewajiban yang

bersifat agama dan adat ini memakan biaya yang besar, belum lagi

kewajiban lain yang harus mereka tanggung di dalam komunitas Bali

Hindunya di Balinuraga. Ini menjadi salah satu faktor yang merangsang

mereka untuk tekun dan bekerja keras di bidang pertanian. Di kalangan

kelompok masyarakat (transmigran) Jawa, selain keuletan dan kerja

kerasnya, orang Bali di Balinuraga (dan di Kampung Bali lainnya) dikenal

dengan perhitungannya secara ekonomi, tapi sangat royal (dalam

pandangan orang Jawa terkesan boros) untuk urusan adat dan keagamaan.

Saat ini warga Pasek di Balinuraga sudah memiliki sulinggih

(pendeta / mpu) sendiri bagi warga Pasek. Hadirnya sulinggih warga

Pasek ini, yang kesulinggihannya sudah diakui dan terdaftar di lembaga

resmi agama Hindu (PHDI) dan lembaga formal warga Pasek, menjadi

Page 42: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

138

pemersatu bagi warga Pasek di Balinuraga. Warga Pasek sudah memiliki

patron baru yang menjadi pemersatu warga-nya, dan tidak perlu lagi

menggunakan sulinggih dari warga lain. Setelah memiliki sulinggih-nya

sendiri, menyebabkan setiap ada upacara adat dan keagamaan tertentu

penyelenggaraannya tidak dapat dilakukan bersama-sama antar warga.

Setiap warga dengan mpu-nya menyelenggarakan upacara tersebut

bersama-sama dengan anggota warga-nya sendiri dan di bale banjar

warga-nya sendiri dengan waktu yang kurang lebih hampir bersamaan.

Dengan kata lain, seorang warga Pasek tidak dapat ikut serta dalam

upacara yang diselenggarakan khusus bagi warga Pandé dan sebaliknya –

kecuali upacara bersama untuk komunitas satu Desa Balinuraga. Artinya,

dengan fenomena ini di mana setiap warga memiliki sulinggih-nya sendiri,

menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan komunitas Hindu Bali di Desa

Balinuraga – karena dengan memiliki sulinggih sendiri maka setiap warga

dapat menyelenggarakan upacara tertentu khusus untuk warga-nya165

.

165

Sore hari setelah penulis mengikuti Upacara Melasti (mekiis)– sebelum hari

raya Nyepi (Maret 2010) – di banjar Pandéarga akan diselenggarakan sebuah

upacara pra-Nyepi yang dikhususkan bagi warga Pandé. Ketika penulis sedang

berada di rumah salah seorang sepuh dari warga Pandé, ada seorang anak muda

Balinuraga yang bekerja di Bandar Lampung mengunjungi rumah sepuh ini untuk

berkonsultasi. Ketika itu anak muda tersebut sedang cuti bekerja dari perusahaan

di mana ia bekerja untuk mengikuti hari raya Nyepi. Menjelang malam hari, ketika

upacara hendak dimulai di bale banjar Pandéarga, sepuh sudah terlebih dahulu ke

tempat upacara, sedangkan penulis dan anak muda itu masih berada di rumah

untuk berdiskusi sejenak. Sebelum menyaksikan jalannya upacara di „geria‟-nya

warga Pandé, penulis bertanya: “Beli (sebutan „mas‟ dalam Bahasa Bali) gak ikut

upacara?”. Kemudian dia membalasnya: “Tidak, mas. Nanti saya ikut di tempat

lain”. Awalnya penulis mengira bahwa anak muda tersebut satu warga dengan

sepuh. Setelah penulis berdiskusi sejenak baru diketahui bahwa anak muda

tersebut berasal dari warga lain, di mana dalam waktu yang tidak berjauhan akan

diselenggarakan upacara serupa khusus untuk warga-nya sendiri. Ini merupakan

salah satu kasus di Balinuraga, di mana dalam beberapa upacara tertentu

penyelenggaraan dilakukan terpisah berdasarkan warga-nya sendiri – tentu dengan

sulinggih warga tersebut. Sebagai catatan, sepuh ini merupakan salah satu tokoh

penting di Balinuraga, yang juga diakui ketokohannya di kalangan orang Bali di

Lampung Selatan. Oleh karena itu, tidak sedikit anak muda di Balinuraga, maupun

dari Kampung Bali lain tetangga Desa Balinuraga dan juga dari kalangan etnis

lain, yang berkonsultasi (atau curhat) untuk meminta masukan dari sepuh ini.

Page 43: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

139

Warga Pandé

Warga Pandé merupakan warga yang minoritas dari segi jumlah

anggotanya. Jumlah warga Pandé kurang lebih separuh dari total warga

Pasek yang berada di Balinuraga. Bila dilihat jumlah anggotanya, warga

Pandé terlihat sebagai minoritas, tapi dilihat peran dan fungsi yang mereka

mainkan, Warga Pandé memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya di

level banjar dan Desa Balinuraga, tapi sampai ke level Kabupaten

Lampung Selatan. Sejak kedatangan transmigran Bali Nusa ke Lampung

Selatan, warga-warga di Balinuraga sepertinya masih belum bisa

melepaskan diri dari pengaruh dan popularitas warga Pandé, khususnya

Sri Mpu Suci (dan keluarganya) yang menjadi inisiator dan pemimpin

transmigran Bali Nusa, mulai dari keberangkatan ke Lampung sampai

sudah berada di Lampung. Setelah Sri Mpu Suci wafat, peran penting yang

selama ini dimainkan oleh Sri Mpu dilanjutkan oleh putra-putranya,

terutama di bidang keagamaan dan kesenian. Oleh karena itu, sampai saat

ini, untuk melakukan hubungan keluar Desa Balinuraga, khususnya acara-

acara yang bersifat formal (biasanya diselenggarakan oleh pihak

pemerintah atau organisasi kemasyarakatan Bali dan non-Bali untuk level

kecamatan dan kabupaten), sesepuh dari Balinuraga yang (biasa) selalu

diundang berasal dari Warga Pandé, yaitu salah satu putra dari Sri Mpu

Suci.

Sebagai salah satu kelompok warga yang jumlahnya minoritas di

Bali, dalam perjalanan sejarahnya, Warga Pandé memainkan peranan yang

Setelah upacara selesai, ada pentas kesenian Tari Barong dan kesenian lain. Ketika

pertunjukan di mulai beberapa warga lain (non-Pandé) turut menyaksikan

pertunjukkan tersebut. Kehadiran mereka sebatas untuk melihat pertunjukkan, tapi

tidak mengikuti upacara yang diselenggarakan bagi warga Pandé. Pertunjukkan

tersebut berlangsung ramai, banyak warga lain yang menonton, setelah beberapa

di antara mereka telah selesai mengadakan upacara di banjarnya. Pentas ini

berlangsung ramai karena dalam beberapa pentas kesenian di Balinuraga, banjar

Pandéarga terkenal dengan pertunjukkannya yang apik, karena mereka memiliki

penari dan pemusik yang berbakat. Tidak jarang para seniman dari banjar ini

diundang untuk menyelenggarakan pentas seni (biasanya tari-tarian Bali) di

berbagai tempat di Lampung Selatan, khususnya di dalam komunitas Bali Hindu –

termasuk dalam acara-acara formal di pemerintahan (level kecamatan dan

kabupaten).

Page 44: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

140

cukup penting di dalam masyarakat Bali, mulai masa pra-Hindu, masa

pemerintahan Bali Aga, masa kekuasaan Majapahit di bawah dinasti Sri

Kresna Kepakisan, dan masa kolonial. Warga atau klan Pandé

diperkirakan sudah ada di Bali sejak zaman pra-Hindu, tapi pada masa itu

belum istilah warga atau sistem warga belum dikenal karena sistem ini

mulai dikenal setelah berkuasanya Majapahit atas Bali Namun, kelompok

Pandé ini sudah ada di masa ini terkait dengan fungsinya (guna) sebagai

pandai besi (dalam Bahasa Indonesia) atau Pandé wesi (dalam Bahasa

Bali), sehingga di zaman pra-Hindu kelompok Pandé ini hidup

berkelompok dalam komunitasnya sendiri sebagai sesama pandai besi. Di

masa kerajaan – masa pra-Hindu, Bali Aga, dan Dinasti Sri Kresna

Kepakisan – kedudukan Warga Pandé mendapatkan tempat yang istimewa

di dalam kerajaan dan masyarakat Bali. Hal ini dikarenakan untuk

membuat peralatan atau perkakas yang terbuat dari bahan dasar besi tidak

bisa dikerjakan oleh sembarangan orang. Hanya orang-orang tertentu, atau

keluarga tertentu (warga / klan) yang secara turun-temurun dapat

mengerjakan pekerjaan “besi” ini. Ilmu dan teknik pembuatan peralatan

atau perkakas yang terbuat dari besi ini merupakan resep rahasia yang

hanya diwariskan kepada keluarganya sendiri. Tidak hanya di Bali, dalam

beberapa sejarah tertulis di masa-masa awal peradaban Nusantara ini,

mereka yang bekerja di bidang pandai besi mempunyai komunitasnya

sendiri, yang dapat dikatakan terpisah dari kelompok masyarakat lain

karena spesialisasi pekerjaannya. Besi, bagi orang Bali dan etnis lain di

Nusantara, dipercaya memiliki kekuatan magis (magical power), di mana

dalam pengerjaan membutuhkan orang-orang khusus dengan keterampilan

yang tinggi. Oleh karena itulah, Warga Pandé mendapatkan satu tempat

khusus di dalam sebuah pemerintahan kerajaan. Tentu, pertanyaannya

adalah mengapa Warga Pandé mendapatkan keistimewaan tersebut?

Selain karena besi memiliki kekuatan magis, bagi orang-orang

pemerintahan (kesatria) di dalam kerajaan percaya bahwa apa yang dibuat

oleh Warga Pandé memiliki kekuatan magis yang istimewa, khususnya

senjata-senjata, terutama keris. Kalangan pemerintahan kerajaan –

bangsawan-bangsawan puri yang memegang / menjalankan pemerintahan

– mengetahui bahwa kekuasaan dari kerajaan (pemerintahan) yang baru,

atau pemerintahan yang ada sekarang (status quo), bergantung pada hasil-

Page 45: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

141

hasil pekerjaan kalangan Warga Pandé (terutama di bidang persenjataan

perang). Dapat dikatakan, hasil-hasil dari pekerjaan Warga Pandé ini

berarti kestabilan politik (Eiseman 2005). Untuk menghargai Warga

Pandé, terutama agar mereka mendapatkan prestise (status dan

kebanggaan sosial di dalam masyarakat) yang secara moril akan

berdampak pada hasil karya-cipta mereka, Warga Pandé diberikan satu

tempat di dalam puri, sebuah tempat di dalam lingkungan keluarga

kerajaan. Bila dianalogikan secara sederhana, bila terjadi peperangan antar

kerajaan, baik yang ada di Bali atau pun di Jawa, sebenarnya dibalik

peperangan fisik itu merupakan peperangan di kalangan kelompok /

keluarga dari pandai besi. Baik patih maupun prajurit yang berperang di

medan pertempuran, keduanya menggunakan senjata yang dihasilkan

(diciptakan) dari keluarga pandai besi. Oleh karena itulah, di masa

kerajaan setiap kerajaan memiliki satu warga/keluarga Pandé untuk

menangani pembuatan senjata. Bagi Warga Pandé sendiri, kemenangan

dari suatu pertempuran, meskipun mereka tidak ikut berperang secara

langsung, memberikan satu kebanggaan sendiri, karena baik langsung atau

pun tidak langsung, kemenangan itu turut ditentukan oleh senjata yang

mereka hasilkan. Secara niskala, dapat diartikan bahwa senjata yang

mereka hasilkan diciptakan atau mendapatkan kekuatan magis dari Dewa

Brahma dalam manifestasinya sebagai Dewa Api. Bukan tidak mungkin,

satu Warga Pandé yang hasil kreasinya memenangi beberapa peperangan,

dibajak melalui berbagai cara untuk pindah ke kubu atau kerajaan lain.

Bagi kalangan masyarakat sipil di Bali, Warga Pandé turut mendapatkan

satu tempat yang khusus bagi mereka, baik dalam lingkungan desa maupun

banjar – biasanya disediakan satu banjar tersendiri bagi Warga Pandé166

.

Hal ini terkait dengan kebutuhan warga sipil akan peralatan dan perkakas

dari besi, di mana hanya dapat dikerjakan dengan baik oleh kalangan

Warga Pandé. Tempat khusus ini tidak hanya diberikan bagi Warga Pandé

166

Seperti contoh kasus di Desa Adat Tenganan, di mana untuk Warga Pandé

diberikan satu tempat khusus – Banjar Pandé – sebagai “orang luar”. Warga atau

klan Pandé ini sengaja didatangkan oleh desa adat untuk membuat keris – senjata

tajam yang harus dibawa laki-laki Tenganan dan menjadi bagian dari pakian

tradisional laki-laki (lihat:Ambarwati Kurnianingsih 2008, Simulacra Bali:

Ambiguitas Tradisionalisasi Orang Bali, Yogyakarta: Insist Press).

Page 46: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

142

di masa pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan, tapi juga di kalangan

Bali Aga, baik pra maupun pasca kedudukan Majapahit atas Bali. Di masa

kolonial, ketika sistem wangsa (kasta) diajegkan oleh pemerintah kolonial

dengan dukungan raja-raja boneka bentukan Belanda, Warga Pandé di

berbagai daerah di Bali mengadakan perlawanan atas kebijakan pemerintah

kolonial – dalam kasus ini perlawanan dilayangkan kepada kerajaan

boneka bentukan Belanda karena langsung berhadapakan dengan

masyarakat sipil – yang mendiskriminasikan posisi mereka sebagai Warga

Pandé yang dicampakkan sebagai jabawangsa (sudrawangsa).

Konsekuensi atas pencampakkan ini adalah Warga Pandé harus menjalani

kewajiban kerja rodi untuk pembangunan jalan, dan tidak diperkenankan

menggunakan pendetanya sendiri (Mpu) untuk melaksanakan upacara dan

ritual adat dan keagamaan – termasuk harus mendapatkan tirta (air suci)

dari pedanda (pendeta brahmana). Aksi protes dan perlawanan Warga

Pandé ini akhirnya menjadi inspirasi bagi warga lain yang lebih besar,

seperti Warga Pasek, untuk melayangkan aksi protes kepada pemerintah

kolonial167

.

Kata “Pandé” sendiri – seperti yang telah dijelaskan sebelumnya –

berarti “Pandai” dalam Bahasa Indonesia, yang berarti “tukang tempa”.

Secara umum, kata “Pandé” atau “pandai” ini dihubungan dengan

pekerjaannya yang menciptakan atau menghasilkan produk-produk yang

berbahan dasar besi. Atau, dalam Bahasa Bali disebut “Pandé wesi” dan

dalam Bahasa Indonesia disebut “pandai besi”. Sebutan lain yang lebih

khusus, misalnya “Pandé mas” atau “pandai mas”, untuk orang-orang

pandai atau Pandé yang mengerjakan atau menempa bahan dasar dari

emas. Dalam Bahasa Inggris, “Pandé wesi” ini disebut juga sebagai

167

Aksi protes dan perlawanan ini juga diikuti oleh warga Bhujangga Waisnawa –

merupakan Brahmana Bali Aga. Inti dari aksi protes dan perlawanan ini adalah

mereka menolak sistem kasta (wangsa) yang “diimpor” dari Jawa (Majapahit) dan

menolak didiskriminasikan karena digolongkan oleh kekuasaan saat itu – ketika

Majapahit berkuasa atas Bali – sebagai jabawangsa, yang dalam

perkembangannya menjadi sudrawangsa. Oleh karena itulah, di kalangan

masyarakat Bali Aga yang terdapat di daerah tinggi (pegunungan) di Bali, sistem

wangsa (kasta) tidak ada di dalam komunitas mereka (lihat: Geertz 1967,

“Tihingan: A Balinese Village” dalam Villages in Indonesia, edt. Kontjaraningrat,

Ithaca-New York: Cornell University Press).

Page 47: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

143

“smith” atau “masters of steel”. Dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder

1982) kata “Pandé” juga disebut “panday” yang berarti skilled workers;

smith, gold smith, etc. Istilah “Warga Pandé” merupakan atau

menunjukkan satu keluarga atau satu klan yang leluhurnya berasal dari

keluarga pandai besi atau Pandé wesi. Berbeda dengan Warga Pasek yang

leluhurnya berasal dari Tujuh Pendeta (Sang Sanak Sapta Rsi), Warga

Pandé berasal dari satu leluhur – dalam lontar ditetapkan sebagai leluhur

awal / pertama bagi Warga Pandé – yaitu Empu/Mpu168

Pradah. Di dalam

lontar Warga Pandé – Prasasti Sira Pandé Empu169

– disebutkan bahwa

Mpu Pradah merupakan hasil kreasi kehidupan dari Brahma. Di dalam

mitologi-mitologi di awal zaman Hindu, disiplin yang ketat dalam bidang

kerohanian (asketisme) dan meditasi dapat menghasilkan satu kehidupan

(melahirkan manusia)170

. Ini yang dilakukan oleh Brahma yang dipercaya –

seperti tercatat dalam lontar Pandé – melahirkan Mpu Pradah yang

168

Empu atau Mpu dapat diartikan sebagai orang suci atau orang yang memiliki

kualitas kerohanian yang tinggi; dalam Bahasa Indonesia, Empu atau Mpu

diartikan sebagai: (1) gelar kehormatan yang berarti “tuan”; (2) orang yang sangat

ahli – terutama ahli membuat keris (Kamus Besar Bahasa Indonesa). Salah satu

contohnya adalah Mpu Gandring, salah satu mpu dari kalangan klan Pandai Besi

yang ahli membuat senjata-senjata perang, terutama keris, di wilayah Tumapel di

bawah pimpinan Tunggul Ametung. 169

Prasati Sira Pandé Empu merupakan sebuah dokumen (catatan) formal

keagamaan. Dokumen lontar ini diperkirakan disusun sekitar abad ke-15 dan 16

Masehi. Pada masa-masa ini, tidak hanya warga (klan) Pandé saja yang menulis

sejarah warga-nya, tapi juga warga-warga lain. Penulisan dokumen ini, seperti

yang ditemui pada dokumen warga-warga lain, ditujukan untuk

mengidentifikasikan, menyebarluaskan, bahwa mereka berhak atas sebuah status

yang lebih besar daripada Sudra. Abad ke-15 dan 16 Masehi adalah masa dinasti

Sri Kresna Kepakisan, masa di mana Bali sudah dikuasi Majapahit, di mana

beberapa warga (klan) yang tidak terlibat dalam pemerintahan kerajaan –

termasuk orang Bali Aga sebagai tertakluk – tidak digolongkan sebagai orang

„dalem‟ (lingkungan dalam kerajaan atau puri) ,dan karena itu disebut sebagai

orang luar (jaba wangsa). Saat berkuasanya Majapahit atas Bali, diperkirakan

sistem wangsa yang berasal dari Jawa (Jawa Timur) mulai diadaptasikan oleh

pendeta-pendeta (brahmana siwa dan budha) beserta kesatria (arya-arya Jawa

Timur) ke Bali. 170

Bandingkan dengan kisah Mpu Kuturan yang dalam meditasinya bisa

melahirkan keturunan meskipun brahmacari.

Page 48: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

144

ditetapkan sebagai leluhur Warga Pandé. Meskipun di dalam lontar

menjabarkan penciptaan yang dilakukan oleh Brahma, tapi Brahma yang

dimaksudkan dalam lontar tersebut kurang lebih seperti trimurthi dalam

Hindu, dan lebih condong mendekati Dewa Api yang disebut Agni.

Penekanan Brahma yang lebih condong ke Agni dinilai cukup beralasan,

karena bagi Warga Pandé, api merupakan „bahan bakar‟ utama dalam

guna mereka sebagai Pandé wesi, yang melaluinya (api) kekuatan

didapatkan. Oleh karena itu, sampai saat ini warna merah menjadi simbol

bagi Warga Pandé yang menunjukkan identitas warga mereka, yang selalu

diasosiasikan dengan Brahma (trimurthi). Selain itu, Warga Pandé

diharuskan memiliki / menyimpan perapen – peralatan pembakaran yang

digunakan pandai besi –sebagai simbol identitas mereka sebagai Warga

Pandé, meskipun sudah tidak menekuni profesi sebagai pandai besi.

Simbol warna merah dan perapen tidak hanya diadaptasi oleh Warga

Pandé yang ada di Bali, tapi juga diadaptasi oleh Warga Pandé yang ada

di Balinuraga. Cara paling mudah untuk mengidentifikasikan Warga

Pandé di Balinuraga adalah dengan melihat warna bangunan rumah dan

pura keluarganya yang didominasi warna merah. Lontar tersebut juga

mencatat yang menyatakan bahwa Warga Pandé warga yang merdeka,

atau sebagai warga yang independen, tidak tergantung atau bergantung

terhadap warga-warga (atau wangsa) lain. Pernyataan dalam lontar Pandé

tersebut secara tegas dan jelas menyatakan bahwa kaum Brahmana

mendapatkan pengetahuan dan kekuatan (kekuasaan) dari Pandé, dan

mendudukkan Warga Pandé sebagai saudara tertua (lebih tua) daripada

kaum Brahmana, dan tentunya dengan kekuatan dan prestise yang lebih

tinggi daripada kaum Brahmana. Selain itu juga diintruksikan bahwa

Warga Pandé tidak diperkenankan untuk menerima tirta (air suci) dari

pedanda (pendeta Brahmana), karena pendeta Brahmana adalah adik (lebih

muda) daripada Pandé. Catatan-catatan dalam lontar Pandé inilah yang

menjadi acuan bagi Warga Pandé mengadakan aksi protes dan perlawanan

terhadap pihak kerajaan boneka di masa kolonial. Keinginan pemerintah

kolonial untuk mengembalikan Bali sebagaimana aslinya seperti masa-

masa kerajaan – dengan mengajegkan sistem wangsa (kasta) menjadi

semakin tertutup (vertikal) dalam proyek balinisasi, melahirkan peraturan

yang salah satunya mengharuskan kelompok jabawangsa (golongan di luar

Page 49: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

145

triwangsa) menerima tirta dari pedanda (pendeta brahmana) dan tidak

boleh menggunakan pendetanya sendiri (mpu) untuk memimpin upacara

adat dan keagamaan – menyebabkan Warga Pandé di berbagai daerah di

Bali melayangkan aksi protes ke Raad Kerta (peradilan adat). Di samping

itu, di dalam lontar Pandé terdapat berbagai larangan kepada kelompok

(warga) lain bahwa mereka seharusnya tidak mengikuti pengajaran dari

para brahmana dan kesatria, tapi lebih mengikuti Pandé171

. Untuk kasus di

Balinuraga di masa-masa awal kedatangan transmigran Bali Nusa ke

Lampung Selatan, selain dikarenakan alasan teknis karena transmigran

Bali Nusa tidak memiliki patron yang mumpuni sebagai Mpu, dapat

dimungkinkan, isi atau peraturan di dalam lontar Pandé ini menjadi salah

satu rujukan yang membenarkan agar warga-warga lain mengikuti ajaran

atau pimpinan seorang Mpu dari Warga Pandé. Terkait dengan isi lontar

Pandé, seperti yang diuraikan sebelumnya, Eiseman (2005) menyebutkan

bahwa dokumen ini anti-brahmana, anti-kemapanan, dan dihembuskan

oleh propaganda yang pro-Pandé172

. Meskipun demikian, sejak Belanda

menguasai Bali dan melaksanakan proyek Balinisasinya dengan

mengajegkan sistem wangsa, menimbulkan sejumlah aksi protes dan

perlawanan dari warga-warga yang dicampakkan ke dalam jabawangsa.

Tindakan ini timbul karena adanya ketidakadilan yang dirasakan dan

ditanggung oleh kelompok jabaangsa, seperti harus kerja rodi, di mana

golongan triwangsa mendapatkan keistimewaan-keistimewaan dari

pemerintah kolonial. Di samping itu, jika menelusuri babad-babad warga-

warga yang ada di Bali, leluhur mereka berasal dari kalangan terpandang

di masanya, seperti pendeta (brahmana) dan kesatria (bangsawan, pejabat

pemerintahan kerajaan). Dikarenakan gejolak politik di masa kerajaan

171

Perlawanan Warga Pandé di Bali, baik di masa kerajaan maupun kolonial,

terhadap hegemoni triwangsa umumnya dipelopori atau “dimainkan” oleh warga

Pandé yang konservatif, di mana mereka tetap teguh pada pendirian mereka –

seperti yang tertulis dalam lontar – bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih

tua daripada brahmana wangsa, dan tentunya status/prestis yang lebih tinggi. Ini

yang menyebabkan di beberapa daerah di Bali pada masa itu, menolak untuk

menerima air dari pedanda (pendeta brahamana). 172

Kalangan ini berasal dari warga Pandé yang konservatif.

Page 50: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

146

yang dinamis, warga-warga ini tersingkir dari pentas politik kerajaan dan

menjadi warga biasa, tanpa keistimewaan dan status sosial yang tinggi.

Bila menelusuri keberadaan Warga Pandé di Bali, baik

berdasarkan sejarah pra-invasi Majapahit maupun pasca-jatuhnya

Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, maka dapat diketahui bahwa ada

dua Warga Pandé di Bali, yaitu Warga Pandé yang berasal dari Bali Aga

dan Warga Pandé yang melakukan eksodus atau pelarian dari Jawa Timur

(saat jatuhnya Majapahit) ke Bali. Berdasarkan sejarahnya, ketika

Majapapahit bersama Mahapatih Gajahmada dan para Arya menyerang

Bali, mereka harus bertempur dengan sengit melawan raja Bali Aga – Asta

Asura Ratna Bumi Banten – yang persenjataannya dibuat oleh Warga

Pandé dari Bali Aga yang tersohor – yang disebut Pandé Tamblingan:

kelompok Pandé Bali kuno (Bali Aga) yang bermungkim di kawasan

Tamblingan. Strategi Mahapati Gajahmada untuk mengalahkan Raja Asta

Asura Ratna Bumi Banten adalah dengan menghancur pusat industri

persenjataannya terlebih dahulu di Tamblingan, di mana di sana

bermungkim kelompok Pandé yang bertugas membuat persenjataan bagi

raja-raja Bali kuno. Strategi ini jitu, karena dengan menghancurkan

Tamblingan, maka kerajaan Bali Aga menjadi lemah – disebabkan

hancurnya gudang dan industri persenjataan kerajaan Bali kuno, yang

menyebabkan kekalahan kerajaan Bali Aga di kepemimpinan Mahapati

Gajahmada. Sejarah ini membuktikan bahwa stabilitas politik dan

keamanan sebuah kerajaan – di masa kerajaan – tergantung pada kelompok

Pandé-nya, karena kelompok ini bertugas untuk membuat persenjataan

baik untuk berperang (invasi) melawan kerajaan lain, atau pun

mempertahankan diri dari serangan kerajaan lain. Kasus ini (kurang lebih)

sama seperti kerajaan-kerajaan di Jawa maupun di Bali. Meskipun

kelompok Pandé ini sudah ada di masa Bali kuno sebelum Majapahit

menginvasi Bali, Warga Pandé (dari dua kelompok ini, baik Pandé dari

Bali Aga maupun Pandé dari Jawa) mengakui bahwa mereka berasal dari

satu leluhur yang sama, yaitu Mpu Pradah – titisan Dewa Brahma yang

lebih dimanifestasikan sebagai Dewa Api. Hal ini cukup berasalan karena

mitologi yang terdapat dari dalam lontar yang menyebutkan bahwa leluhur

Pandé berasal dari Brahma (condong ke Dewa Api), dari penulisannya,

Page 51: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

147

(diperkirakan) serupa dengan masa sebelum masuknya Hindu. Mitologi

dalam lontar ini, yang mungkin, menjadi klaim bahwa kelompok Pandé,

baik dari Bali maupun dari Jawa, berasal dari satu leluhur. Kelompok

Pandé yang kedua yang berada di Bali, pasca invasi Majapahit ke Bali dan

pasca jatuhnya Majapahit, adalah kelompok Pandé yang berasal dari Jawa.

Kelompok Pandé ini merupakan pelarian dari Jawa Timur, yang

melakukan eksodus pasca jatuhnya Majapahit. Besar kemungkinan,

kelompok Pandé yang melakukan eksodus ke Bali ini adalah kelompok

Pandé yang selama ini berafiliasi dengan kerajaan Majapahit, sebagai

pembuat senjata, dan beberapa kelompok Pandé yang bekerja untuk

masyarakat sipil. Dalam pelariannya ke Bali, kelompok Pandé ini singgah

pertama kali di Gunung Berantan (Bali bagian barat) antara Gilimanuk dan

Pulaki. Kemudian, mereka bermigrasi ke Danau Berantan di dekat

Bedugul. Di sini mereka membangun Pura Berantan – pura ini kemudian

menjadi pura penting bagi Warga Pandé. Dari tempat ini, Gunung

Berantan, kelompok Pandé ini yang terdiri dari berbagai kelompok,

menyebar ke berbagai daerah di Bali, di antaranya: Singaraja, Marga,

Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Celuk. Umumnya kelompok Pandé

ini membentuk banjar khusus untuk kalangan (klan/warga) mereka

sendiri, di samping secara fungsional pekerjaan mereka mendapatkan

tempat khusus di masyarakat sebagai pandai besi. Di antara kelompok

Pandé yang bermigrasi ke Klungkung ini diperkirakan, sebagian atau

diantaranya, bermigrasi ke Pulau Nusa Penida. Salah satu alasan yang

memungkinkan mereka pindah ke pulau yang tandus ini adalah terkait

dengan profesi mereka sebagai pandai besi. Ketika Majapahit menginvasi

Bali, Nusa Penida menjadi salah satu daerah taklukkannya, karena itu

dimungkinkan, dan tidak ada kesulitan, bagi kelompok Pandé ini untuk

bermigrasi ke Nusa Penida – meskipun sebelumnya sudah ada kelompok

Pandé di pulau ini yang berasal dari Bali Aga.

Kembali ke Warga Pandé di Balinuraga, yang menjadi pertanyaan

adalah bagaimana peran yang mereka mainkan sejak kedatangan pertama

kali ke Lampung? Sampai saat ini Warga Pandé di Balinuraga masih

memegang peranan penting dan dominan, khususnya di bidang kesenian

Page 52: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

148

dan sosial kemasyarakatan173

. Di bidang kesenian, hasil karya cipta yang

paling mencolok adalah ukiran – dalam hal ini sebagai pembuat pura –,

seni lukis, dan seni tari. Beberapa keluarga dari Warga Pandé di

Balinuraga terkenal sebagai pembuat pura. Konsumennya berasal dari

warga-warga lain (non Pandé) yang ada di Balinuraga, maupun di desa /

Kampung Bali lain, baik yang ada di Lampung Selatan maupun di

Kabupaten lain – beberapa di antaranya di berada di Sumatera Selatan

yang juga memiliki komunitas Bali Hindu. Selain itu, mereka juga

mengerjakan beberapa proyek untuk upacara Ngaben, untuk membuat

perlengkapan upacara, seperti bade manumpang dan patulangan (sarana

dalam pengabenan)174

, dan membuat patung beserta ukirannya. Bahan

dasar untuk pembuatan pura, patung, dan ukiran yang digunakan oleh

Warga Pandé di Balinuraga adalah semen, sebagai menggunakan cetakan

– untuk pembuatan pura -, dan sebagaian dari cetakan semen basah dibuat

patung atau ukiran. Semakin mahal borongan – sistem pengerjaan dan

pembayaran dalam pembuatan pura – maka jumlah ukirannya (ukiran

tangan) semakin banyak dan rumit. Di samping itu, mereka juga

mendapatkan pesanan untuk membuat patung, ukiran, dan lukisan dari

etnis lain yang menyukai karya seni Bali. Contoh yang menarik adalah

pembuatan patung Yesus di sebuah gereja Katolik yang terletak di desa

tetangga, yang merupakan karya Warga Pandé. Di Balinuraga sendiri,

pura-pura penting dan ornamennya juga merupakan karya dari Warga

Pandé, karena di Balinuraga hanya klan Pandé yang paling mumpuni

dalam pekerjaan ini. Meskipun mereka sudah tidak lagi menekuni profesi

leluhur mereka, yang menjadi basis identitas mereka sebagai Warga

Pandé, ini tidak menjadi persoalan. Menurut mereka, tantangan bagi

Warga Pandé, dan warga-warga lain di Balinuraga, sudah berbeda jauh

dengan zaman (masa) saat leluhur mereka masih hidup. Mereka harus

173

Yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat, baik tokoh muda maupun

sepuh; sedangkan mayoritas warga Pandé lainnya tetap menjalankan profesinya

sebagai petani, sama seperti mayoritas warga-warga lainnya. 174

Biaya pembuatan perlengkapan ngaben tergolong mahal. Ada yang

menghabiskan puluhan sampai ratusan juta rupiah, belum termasuk biaya-biaya

lain pra-ngaben, maupun saat ngaben berlangsung. Oleh karena itulah, ada upacara

“ngaben massal” untuk menghemat biaya.

Page 53: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

149

menyesuaikan dengan konteks waktu (kala) dan tempat (patra), terlebih

setelah berdomisili di Lampung. Di bidang sosial kemasyarakatan, sesepuh

dari Warga Pandé tetap dihargai sebagai tokoh utama, khususnya putra

dari Sri Mpu Suci. Tokoh Warga Pandé ini selalu menjadi perwakilan dari

Balinuraga, atau komunitas Bali Hindu di level kecamatan dan kabupaten,

sebagai simbol eksistensi identitas komunitas Bali Hindu di Lampung

Selatan. Sejak wafatnya Sri Mpu Suci, peran sosial kemasyarakatan

dipegang oleh putra-putranya. Di bidang keagamaan, dominasi Warga

Pandé mulai berkurang, terutama sejak Sri Mpu Aji, putra Sri Mpu Suci

yang menjadi pewaris kependetaan Warga Pandé di Balinuraga, wafat.

Sebagai catatan, untuk menjadi pendeta di kalangan Warga Pandé, juga

berlaku bagi warga-warga lainnya, sangat sulit. Banyak prosedur dan

pembelajaran yang harus mereka lalui (lulus) dengan baik, salah satu di

antaranya, menguasai bahasa sansekerta (termasuk Bahasa Bali Kuno dan

Bahasa Jawa Kuno yang sedikit banyak memiliki kesamaan), dan dapat

menghapal (serta merapal) berbagai macam mantra dan doa. Sama seperti

Warga Pasek, Warga Pandé memiliki sebuah organisasi formal yang

mewadahi warga-nya, yaitu Maha Semaya Warga Pandé, yang memiliki

perwakilannya di Balinuraga. Organisasi ini secara resmi didirikan pada

tahun 1975, di mana sejak tahun 1930-an secara informal sudah berdiri

(Howe 2005175

) – keorganisasian Warga Pandé lebih tua daripada Warga

Pasek (1952) dari sisi organisatoris.

175

Howe, Leo. (2005), The Changing World of Bali: Religion, Society and

Tourism, London & New York: Routledge, Taylor and Francis Group.

Page 54: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

150

Gambar 5. Gereja Katolik dan Patung Yesus Kristus di Desa Tetangga

Balinuraga

(Patung Yesus Kristus merupakan hasil karya seniman Balinuraga).

(Sumber: Yulianto, 2009)

Hubungan Warga Pandé dengan warga lain di Balinuraga yang

paling dinamis dan cenderung pasang surut adalah hubungannya dengan

Warga Pasek. Permasalahan klasik dalam hubungan keduanya, kurang

lebih mirip dengan yang terjadi di Bali, adalah siapa di antara keduanya

yang memiliki status sosial atau prestise paling tinggi, dan yang paling

layak menjadi pemimpin di dalam komunitas itu176

. Berdasarkan silsilah

176

Seperti yang dikemukakann Geertz (op.cit. 1967: 224-225) dalam studinya di

Tihingan yang menunjukkan bagaimana sengitnya persaingan di antara dua warga

ini: “In Tihingan, status rivalry takes on its sharpest form among the different

djaba groups rather than between them an the triwangsa. Though the Pandé and

Page 55: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

151

leluhur dari kedua warga ini (silsilah yang berangkat dari leluhur mereka

yang berasal dari Jawa Timur), Pandé dan Pasek, secara geneologi kedua

warga ini mempunyai leluhur – yang mewarisi klan (warga) Pandé dan

Pasek – yang hubungannya kakak-beradik ketika masih di Jawa. Dengan

kata lain, kedua warga ini, berdasarkan silsilah yang mereka susun

mempunyai satu leluhur yang sama ketika di Jawa, yaitu Mpu

Withadarma, atau sebutan lain: Danghyang Bajra Satwa atau Mpu Keling.

Bila mengacu pada bagan silsilah, pohon keluarga kedua warga ini,

kedudukan leluhur Warga Pasek lebih tua daripada Warga Pandé – leluhur

warga Pandé yang berasal dari Jawa merupakan adik dari leluhur Warga

Pasek. Berdasarkan silsilahnya, Mpu Withadarma atau Danghyang Bajra

Satwa mempunyai dua putra, yaitu Mpu Bhajrastawwa atau Danghyang

Tanuhan sebagai putra pertama (tertua), dan Mpu Dwijendra atau Mpu

Rajakretha (Danghyang Dwijendra Rajakrta). Anak tertua dari Mpu

Withadarma – Mpu Bhajrastawwa – menjadi leluhur Warga Pasek, karena

keturunan (cucu) dari Mpu Bhajrastawwa (yang berjumlah lima orang

putra177

), cucu laki-laki tertuanya adalah Mpu Gnijaya (Mpu Geni Jaya), di

mana Mpu Gnijaya merupakan ayah dari Sang Sanak Sapta Rsi (Tujuh

Pendeta178

) yang menjadi leluhur Warga Pasek di Bali. Kemudian, anak

Pasek groups have a certain cultural claim to higher status than the others, in

general no group will openly grant superiority to any other and in fact will

privately regard itself as “really higher.”” 177

Kelima cucu dari Mpu Bhajrastawwa atau kelima putra Mpu Lampita (putra

Mpu Bhajrastawwa) adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu

Kuturan, dan Mpu Bradah. Empat yang pertama disebut Sang Catur Sanak, di

mana keempatnya diutus ke Bali, terkecuali Mpu Bradah yang tetap tinggal di

Jawa. Mpu Gnijaya mempunya tujuh orang putra yang menjadi leluhur warga

Pasek; Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Kuturan menjalani nyukla brahmacari

(tidak menikah seumur hidup) sehingga tidak memiliki keturunan; kecuali Mpu

Sumeru, meskipun menjadi brahmacari, karena kasidhi ajnanan (kesaktian dan

pengetahuan gaibnya) bisa menghasilkan seorang putra yang bernama Mpu

Kamakera atau Mpu Bandesa Dryakah – yang menjadi cikal bakal warga Pasek

Kayuselem. 178

Ketujuh pendeta tersebut (cucu Mpu Lampita atau cicit Mpu Bhajrastawwa)

yang menjadi leluhur warga Pasel adalah adalah Mpu Ketek, Mpu Kanada, Mpu

Wiradnyana, Mpu Withadarmma, Mpu Ragarunting, Mpu Pratka, dan Mpu

Dangka.

Page 56: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

152

kedua (bungsu: adik Mpu Bhajrastawwa) Mpu Withadarma yang bernama

Mpu Dwijendra (keturunannya) menjadi leluhur Warga Pandé di Bali. Di

Balinuraga, kedua warga ini mengetahui bahwa leluhur Pasek dan Pandé

kakak-beradik, leluhur Pasek merupakan kakak dari leluhur Pandé, dan

keduanya berasal dari satu leluhur yang berasal dari Jawa. Pengakuan dari

kedua-belah pihak ini didasarkan pada pohon silsilah yang sama – sumber

atau acuan yang sama – di mana penyusunan silsilah ini lakukan bersama

oleh kedua kelompok warga ini dengan mengacu bahwa leluhur mereka

berasal dari Jawa. Dari sisi senioritas, jelas bahwa kedudukan Warga

Pandé lebih muda daripada Warga Pasek, karena mengacu pada sumber

silsilah keluarga yang sama. Bagi Warga Pandé, dari sisi senioritas leluhur

belum cukup untuk membuktikan bahwa Warga Pasek lebih unggul

daripada Warga Pandé. Hal ini dikarenakan Warga Pandé memiliki acuan

lain dari lontar Prasasti Sira Pandé Empu bahwa Mpu Pradah yang

menjadi leluhur Warga Pandé merupakan titisan dari Dewa Brahma dalam

manifestasi Dewa Api. Jika mengacu pada sumber ini, tampak jelas bahwa

kedudukan Warga Pandé lebih tua daripada Warga Pasek, dan tentu juga,

dari para Brahmana – seperti yang terjadi dalam sejumlah aksi protes

Warga Pandé terhadap golongan triwangsa (dalam kasus ini pendeta

brahmana / pedanda) di Bali pada masa kerajaan dan kolonial – meskipun

Warga Pasek berhak mengklaim bahwa leluhurnya juga merupakan

pendeta brahmana yang menjadi kesatria (bagian dari pemerintahan)

setelah bertugas dalam pemerintahan kerajaan di Bali saat itu. Seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya, bahwa warga-warga di Balinuraga,

khususnya Pandé dan Pasek yang sepuh (senior), memiliki dan

menyimpan babad-babad warga-nya sendiri, baik berupa buku ataupun

kopian naskah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan. Sumber-sumber

ini, baik buku atau kopian naskah, mereka dapatkan dari Bali, yang

sebagian didapatkan dengan membeli dari toko buku, ataupun

mendapatkan dari organisasi formal warga mereka di Bali – ada pula yang

mendapatkan dari sepuh lain yang menjadi pengurus anak cabang dari

organisasi formal warga-warga tersebut di Lampung Selatan. Bagi para

sepuh masing-masing warga yang mengetahui silsilah leluhur, dalam

kasus ini Warga Pasek dan Pandé, adalah kewajiban bagi mereka untuk

menjelaskan identitas leluhur (klan) generasi muda warga-nya.

Page 57: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

153

Penyampaian informasi ini umumnya dilakukan secara lisan. Bukan tidak

mungkin, dalam penyampaiannya memuat klaim-klaim yang

mendudukkan keunggulan warga-nya daripada warga yang lain. Bagi

masyarakat Balinuraga, identitas warga ini sangat penting sebagai identitas

atau jati diri mereka sebagai Bali Hindu – meskipun dalam pergaulan

mereka dengan kelompok etnik lain di Lampung identitas warga ini tidak

memberikan sebuah status atau prestis tertentu. Dengan kata lain, identitas

warga ini hanya berlaku dalam komunitas mereka di Balinuraga, dalam

ruang yang lebih luas adalah di dalam komunitas Bali Hindu di Lampung.

Oleh karena itu, jika terjadi pertemuan dengan orang Bali Lampung

(sebutan orang Bali yang ada di Lampung), maka pertanyaan yang sering

diutarakan setelah mengetahui bahwa mereka berasal dari komunitas yang

sama adalah “Kamu warga apa?.” Bagi mereka yang telah tahu secara jelas

silsilah leluhurnya, dengan berbagai mahakarya yang telah diciptakan di

masanya, maka mereka akan menjawab: “Saya warga Pandé”, atau “Saya

Warga Pasek”, dan seterusnya. Dalam ruang yang lebih kecil, kasus

Warga Pasek dan Pandé di Balinuraga, penyampaian identitas leluhur

yang keliru – klaim-klaim yang cenderung berlebihan atas identitas leluhur

– dapat mewariskan konflik antar-warga. Konflik yang dimaksud adalah

konflik yang terselubung, tidak tampak atau muncul dipermukaan yang

berwujud dalam benturan fisik. Kasus seperti ini muncul, biasanya, saat

terjadi pemilihan kepala desa, atau pemimpin desa adat karena terjadi

kesatuan antara desa adat dengan desa dinas. Salah satu cara untuk

melegitimasikan bahwa calon kepala desa itu adalah yang terbaik adalah

dengan mendapatkan dukungan dari warga-warga melalui pendekatan

adat, yaitu dengan mengklaim bahwa warga-nya lebih pantas menjadi

pemimpin. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, klaim-klaim itu

didapatkan dari dokumen-dokumen yang memuat babad-babad warga-nya

dengan disertasi legitimasi dari para sepuh warga yang menguasai silsilah

warga. Dinamika hubungan antar-warga di Balinuraga ini tidak banyak

diketahui dan dimengerti oleh komunitas lain, seperti komunitas

(transmigran) Jawa. Ini dikarenakan dalam komunitas Jawa di desa-desa

tetangga, konsep klan (warga) sudah tidak dikenal lagi, dan yang

terpenting, juga tidak memiliki sistem adat yang kuat seperti yang ada di

Desa Balinuraga. Dinamika hubungan antar warga di Balinuraga dapat

Page 58: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

154

dikatakan lebih kompleks bila dibandingkan dengan Kampung Bali lain di

desa tetangga. Desa Balinuraga mayoritas masyarakatnya adalah etnis Bali

Nusa, sedangkan Kampung Bali lain posisinya beberapa di tengah-tengah

(di antara) desa yang mayoritas etnis Jawa – beberapa kedudukannya

hanya selevel dusun dalam satu desa yang mayoritas etnis Jawa. Contoh

kasus dinamika hubungan antar-warga di Desa Balinuraga ini, sebenarnya

bertentangan dengan persepsi yang berkembang di sebagian besar

masyarakat Lampung pada umumnya mengenai kekompakkan dalam

komunitas Bali Hindu yang ada di berbagai Kampung Bali. Secara

komunal kekompakkan fisik itu dapat dibuktikan dan mendapatkan

pengakuan di kalangan masyarakat Lampung, namun yang tidak banyak

diketahui oleh dari kalangan masyarakat tersebut adalah bahwa di dalam

kekompakkan tersebut terdapat sebuah dinamika hubungan antar warga

memiliki potensi konflik terselubung hanya di dalam komunitas itu sendiri,

yang cenderung bersifat politis dalam hubungan antar warga. Ini

merupakan permasalahan internal yang tidak banyak diketahui oleh

kelompok / komunitas etnis lain, bahwa di dalam komunitas Bali Hindu

terdapat berbagai macam klan (warga) yang berdasarkan sejarahnya (dan

dalam mitologi-mitologi babad warga) pernah memiliki masa-masa

keemasan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etnis Bali merupakan salah

satu kelompok pendatang (transmigran) di Lampung yang masyarakatnya

dinamis dalam hubungan antar klan di dalam komunitasnya. Bagi

komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, dinamika hubungan antar warga

yang pasang-surut ini merupakan hal yang lumrah atau wajar, terkait

dengan klaim warga-nya lebih unggul daripada warga lain, meskipun

terdapat kekhawatiran akan timbul bentrokan fisik. Bukan tidak mungkin,

dinamika hubungan antar warga ini merupakan salah satu faktor yang

mendukung kekompakkan komunitas mereka sebagai Bali Hindu di

Lampung. Mengapa demikian? Karena, meskipun terjadi persaingan antar

warga, komunitas ini tetap solid secara fisik, terutama tampak jelas sekali

dalam penyelenggaraan upacara-upacara hari besar keagamaan mereka

dengan melibatkan jumlah massa yang besar. Di samping itu, yang tidak

kalah penting, persaingan antar warga ini hanya salah satu elemen dari

poros mereka sebagai komuntias Bali Hindu. Artinya, komunitas ini masih

memiliki sistem adat dan keagamaan yang berfungsi sebagai pemersatu

Page 59: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

155

warga-warga. Dengan kata lain, warga-warga ini – sistem warga dalam

lingkup Desa Balinuraga – masih berada di bawah sistem adat dan agama

Hindu. Ini yang menyebabkan persaingan antar warga tidak sampai

muncul di atas permukaan berupa benturan fisik. Saat ini instrumen

persaingan antar warga yang paling banyak digunakan adalah ekonomi,

yaitu warga mana yang lebih sukses secara keuangan dengan indikator

umumnya: luas sawah, jumlah sapi, mobil dan motor pribadi, dan barang-

barang elektronik (terutama multimedia player dan telpon seluler).

Perwujudannya adalah melalui pembangunan pura keluarga (dan pura

kawitan) yang megah dan indah. Sebenarnya, berbagai pendapat dari

komunitas lain bahwa orang Bali secara ekonomi umumnya sudah mapan

– melalui penampilan fisik – tidak lain merupakan persaingan antar warga

secara ekonomi di kalangan komunitas mereka sendiri. Seperti memiliki

dunia sendiri, di kalangan komunitas Balinuraga pengakuan atas eksistensi

warga-nya memiliki nilai yang penting, di mana menjadi kebutuhan sosial

bagi komunitas ini.

Gambar 6. Salah Satu Pura Keluarga di Balinuraga

(sumber: Yulianto, 2010)

Sampai saat ini perang dingin (pertentangan identitas) antara

Warga Pandé dengan warga-warga lainnya adalah seputar penyederhanaan

Page 60: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

156

tata upacara atau ritual adat-keagamaan. Warga Pandé ingin menunjukkan

bagaimana warga ini melakukan modernisasi. Di sisi lain, modernisasi ini

mendapatkan penolakan dari warga lain – modernisme versus tradisional.

Ironisnya dalam beberapa kasus tertentu modernisasi yang dilakukan oleh

Warga Pandé ternyata dijadikan sebagai panutan bagi warga lain untuk

melakukan modernisasi tersebut. Misalnya, dalam tata upakara (sesajaen /

bantenan) yang isinya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-

masing keluarga, tanpa harus yang mahal. Begitu juga dalam hiasan di atas

penjor yang bisa dimodifikasi dengan menggunakan kertas berwarna

mengkilap agar semakin menarik untuk dilihat.

Warga Arya

Warga Arya merupakan kelompok warga ketiga di Balinuraga

selain Warga Pasek dan Pandé. Berdasarkan jumlah anggotanya,

diperkirakan (kurang lebih) sama dengan Warga Pandé. Sebagai salah satu

warga (klan) yang ada di Balinuraga, Warga Arya memiliki hubungan

yang „datar‟ dengan warga lainnya, Pasek dan Pandé. Hubungan Warga

Arya dengan Warga Pasek dan Pandé tidak „sehangat‟ hubungan Warga

Pasek dan Pandé yang dinamis. Warga Arya dalam hubungan dengan

Warga Pasek dan Pandé dapat dikatakan baik-baik saja, cenderung tidak

mau ikut campur atau menjaga jarak, dari pasang-surutnya hubungan

Warga Pasek dan Pandé. Dapat dikatakan Warga Arya seperti menjadi

follower di antara kedua warga ini, Pasek dan Pandé, dalam usahanya

mendominasi warga-warga di Balinuraga. Permasalahan identitas adalah

salah satu aspek mengapa Warga Arya perannya tidak dominan di

Balinuraga. Berbeda dengan Warga Pasek dan Pandé, Warga Arya

memiliki silsilah beragam (kompleks) dengan leluhur yang berbeda-beda

berdasarkan tempat asalnya sewaktu di Jawa Timur. Dengan kata lain, ada

banyak (jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan) arya-arya. Oleh

karena itulah, untuk memperjelas identitasnya – supaya tidak terjadi

kebingungan berasal dari arya apa – mereka mengidentifikasikan warga-

nya sebagai Warga Arya179

; meskipun di Bali sendiri terdapat banyak

179

Dalam sejumlah percakapan (diskusi) dengan masyarakat Balinuraga, mereka

yang berasal dari Warga Arya mengidentifikasikan dirinya sebagai “Warga Arya”

Page 61: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

157

Warga Arya, seperti yang dikelompokkan oleh Eiseman (2005): Arya

Kepakisan, Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Gajah Para, Arya Pinatih,

Arya Goto Waringen, Arya Tan Mundur, Arya Tan Kaur, Arya Tan Kober,

Arya Sidemen, Arya Sentong, dan Arya Dalancang. Arya-arya tersebut

merupakan keturunan dari arya-arya Jawa Timur di masa kerajaan

Majapahit180

, yang diikutsertakan oleh Gajah Mada ketika menginvasi Bali

untuk menundukkan Raja Bali Asta Sura Ratna Bumi Banten. Kata “arya”

merupakan gelar bagi patih-patih Majapahit yang berdasarkan fungsinya

digolongkan sebagai kaum kesatria (kesatria wangsa). Setelah Majapahit

berhasil menundukkan Bali, para Arya ini kemudian mendapatkan

kedudukan / jabatan dalam pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan. Di

Bali sendiri pada masa kerajaan Bali Aga, sebelum invasi Majapahit,

mengenal Arya Bali yang merupakan keturunan raja-raja Bali atau

keturunan para pejabat tinggi kerajaan (bangsawan). Perbedaannya adalah

Arya Bali tidak menggunakan gelar arya seperti arya-arya dari Jawa

Timur, tapi lebih menggunakan gelar “Ki”181

– baik gelar arya ataupun

“ki” sebenarnya memiliki pengertian dan fungsi yang hampir sama, yaitu

sebagai gelar bagi kaum kesatria, keturunan raja, bangsawan, dan „orang

tok. Seperti ketika penulis bertanya kepada beberapa warga Arya: “(dari) warga

apa Beli (Bli)?”. Kemudian pertanyaan penulis dijawab (secara tegas, langsung,

tidak bertele-tele): “Warga Arya”. 180

Pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, gelar”Arya” ini diberikan kepada

mantan raja dan keturunan-keturunan raja-raja Kediri dan raja-raja Kahuripan, di

mana sebagian besar dari arya-arya ini masih keturunan atau keluarga besar dari

Sri Airlangga. Arya-arya ini yang kemudian disertakan oleh Gajahmada ketika

menginvasi Bali, di samping arya-arya yang bukan keturunan raja Kediri dan

Kahuripan, dan Arya Kepakisan yang berasal dari masa pemerintahan kerajaan

Majapahit. Berdasarkan klasifikasi warga-warga Arya yang disebutkan oleh

Eiseman (2005) – meskipun diperkirakan masih ada „arya-arya‟ lain – maka yang

yang merupakan keturunan dari raja Kediri adalah Arya Gajah Para dan Arya

Kutawaringin; keturunan raja Kahuripan: Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya

Sentong, dan Arya Belog (atau Arya Pudak); sedangkan yang bukan termasuk

keturunan Raja Kediri dan Kahuripan: Arya Tan Kawur, Arya Tan Kober, dan

Arya Tan Mundur (lihat: K.M. Suhardana 2006, Babad Arya: Kisah Perjalanan

Para Arya, Surabaya: Paramita). 181

Meskipun gelar “Arya” tidak begitu lazim digunakan pada masa Bali Aga, tapi

ada beberapa yang menggunakan gelar ini, seperti: Arya Ringgih, Arya Ringgis,

Arya Kedi, dan Arya Karangbuncing (op.cit. Suhardana 2006).

Page 62: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

158

dalam‟ kerajaan yang memiliki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Jadi,

gelar arya ini berbeda dengan suku Arya dalam peradaban pra-Hindu di

India, yang menetapkan bangsanya sebagai bangsa yang unggul daripada

bangsa Dravida (penduduk asli India).

Warga Arya yang ada di Balinuraga adalah transmigran Bali yang

berasal dari Nusa Penida. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah

bagaimana arya-arya ini bisa ada di Nusa Penida. Keberadaan para Arya di

Nusa Penida, berdasarkan sejarahnya (perkiraan)182

, dapat ditelusuri dari

dua hal: (1) Pada masa invasi Majapahit, Pulau Nusa Penida menjadi salah

satu target invasi selain target utama adalah Pulau Bali, di mana dalam

invasi tersebut melibatkan para arya dari Jawa Timur. Bisa jadi –

dimungkinkan – ada arya-arya yang ditugaskan oleh Gajah Mada untuk

menetap di Nusa Penida; (2) Pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan,

Pulau Nusa Penida dijadikan sebagai tempat pembuangan tahanan-tahanan

politik bagi para kesatria-kesatria (pejabat pemerintahan) yang

mengadakan pemberontakan (perlawanan atau pun kudeta) terhadap raja

pada masa itu. Hukuman pembuangan bagi pada kesatria ini memiliki

standar yang sama seperti hukuman mati bagi kawula (orang-orang Bali

182

Dalam proses penelitian yang dilakukan secara berkala di Balinuraga, penulis

sangat berhati-hati dalam bertanya tentang keberadaan leluhur mereka di Nusa

Penida, khususnya Warga Arya. Tentu, status pulau Nusa Penida sebagai pulau

buangan bagi tahanan politik di masa kerajaan sudah diketahui oleh mereka yang

berasal dari Nusa Penida maupun dari Bali. Tapi, bagi beberapa responden, tentu

merasa “tidak enak” (bisa juga malu atau gengsi) bila menyebutkan leluhur

mereka yang berada di Nusa Penida memiliki keterkaitan dengan tahanan politik

di masa kerajaan. Bagi mereka adalah lebih baik menceritakan kejayaan leluhur

awalnya daripada menceritakan keturunan dari leluhurnya yang “tahu-tahu” sudah

ada di Nusa Penida, karena akan dapat menunjukkan aktualisasi identitas

leluhurnya. Untuk warga Pasek, keberadaan mereka di Nusa Penida – perkiraan

umum – disebabkan karena populasi warga ini mayoritas di Bali, dan memiliki

banyak keturunan di Klungkung. Bukan tidak mungkin, jika mereka merantau ke

Nusa Penida karena pulau itu belum begitu banyak penghuninya, atau memang

diutus/ditugaskan oleh pihak kerajaan untuk bertugas di sana untuk menjaga

teritori kekuasaan; sedangkan warga Pandé, ini terkait dengan fungsi warga

Pandé sebagai pandai besi, yang dibutuhkan dalam setiap wilayah tertentu dalam

tugasnya membuat alat-alat atau perlengkapan dari logam, khususnya besi, baik

senjata atau alat pertanian.

Page 63: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

159

non-puri, di luar lingkup kekuasaan kerajaan / puri). Kesatria-kesatria yang

memberontak ini tidak lain adalah para keturunan-keturunan arya-arya

semasa perang Bali Aga (Arya dari Jawa Timur), karena setelah Bali

ditundukkan oleh Majapahit para Arya Jawa Timur ini ditugaskan oleh

Gajah Mada untuk memerintah di daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu,

tahanan politik kerajaan yang dibuang dari Nusa Penida ini – diperkirakan

– sebagian besar adalah keturunan arya-arya dari Jawa Timur. Tentu,

setelah dibuang ke Nusa Penida, gelar atau pun status kebangsawanan itu

akan hilang dan menjadi rakyat biasa, namun tidak menghilangkan

identitas leluhur mereka bahwa mereka adalah Warga Arya, yang

leluhurnya pernah menduduki peran penting di masa Majapahit

menginvasi Bali. Dengan kata lain, Warga Arya di Balinuraga dapat

dikatakan sebagai Warga Arya yang telah kehilangan status atau fungsinya

sebagai arya dengan sebab-sebab tertentu, sampai akhirnya berada di Nusa

Penida dan bertransmigrasi ke Lampung; atau dapat disebut sebagai Arya

Nusa Penida183

. Tentu, setelah berada di Nusa Penida, dan beranak-pinak

di sana, status mereka menjadi seperti kawula, sama seperti penduduk asal

Nusa Penida (keturunan Bali Aga) dan keturunan warga-warga lain yang

“bermigrasi” di pulau ini.

Meskipun tidak (belum) menunjukkan perannya yang signifikan

dalam kehidupan sosial di Balinuraga – khususnya dalam dinamika politik

desa yang selalu didominasi Warga Pasek dan Pandé – kedudukan Warga

Arya di Balinuraga sebagai salah satu identitas yang eksis (ada) dengan

sejumlah massa dari anggota warga-nya tidak dapat disepelekan.

Walaubagaimana pun posisi mereka sebagai klien yang patuh dalam

perebutan dominasi Warga Pasek dan Pandé membuatnya memiliki posisi

tawar yang besar. Hal ini disebabkan karena baik Warga Pasek maupun

Pandé membutuhkan dukungan atau pun legitimasi dari Warga Arya

183

Arya Nusa Penida ini digunakan (oleh penulis) untuk menyebut Warga Arya

yang berasal dari Nusa Penida secara turun-temurun. Nama “Nusa Penida” di

depan nama “Arya” menunjukan tempat asalnya di Nusa Penida, sama seperti

penamaan warga arya-arya lainnya, di mana nama yang ditempatkan sesudah

nama “arya” menunjukkan tempat di mana arya itu berasal, ataupun nama / gelar /

sebutan lain dari leluhurnya di masa pemerintahan kerajaan tertentu, , seperti

“Arya - Sidemen”, “Arya - Kepakisan”, “Arya - Tan Kober”, dan lain-lain.

Page 64: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

160

sebagai follower sala satu dari kedua warga tersebut. Tanpa adanya

dukungan dari Warga Arya, tentu akan sulit bagi Warga Pasek ataupun

Pandé untuk mendominasi atau mengaktualisasikan identitas warga-nya.

Dukungan ini penting karena masyarakat Balinuraga lebih egaliter – terkait

dengan tempat asalnya di Nusa Penida, yang dapat masyarakatnya

digolongan sebagai kawula (non-triwangsa), dan jauh secara geografis dari

„negara pusat‟ atau kerajaan yang berkuasa dalam teritori itu - sehingga

klaim-klaim yang mendudukan warga-nya sebagai triwangsa jelas tidak

mungkin dapat diterima (dan tidak beralasan juga). Karena itu, dukungan

dari warga lain, massa (anggota-anggota) Warga Arya menjadi sangat

penting sebagai legitimasi.

Sama seperti mayoritas anggota warga-warga lainnya, Warga

Arya tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir dan bertindak yang

pragmatis, di mana menjadi penyebab (utama) bagi Warga Arya untuk

terjun ke pentas politik praktis desa yang bernuansa poitik praktis antar

warga. Perlu diketahui bahwa mayoritas masyarakat di Balinuraga adalah

petani. Mereka adalah transmigran yang bercita-cita memperbaiki

kehidupan ekonominya. Dinamika politik desa yang ada di dalamnya tidak

lain, hanya, permainan dari sejumlah elit warga-warga yang jumlahnya

tidak banyak. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat (warga-warga)

Balinuraga – termasuk Warga Arya – lebih bersifat pragmatis, lebih fokus

bekerja di pertanian, sehingga dapat mengumpulkan uang atau aset

(umumnya tanah dan sapi) lebih banyak. Pemikiran pragmatis ini sangat

berasalan, karena sebagai Bali Hindu mereka mempunyai kewajiban-

kewajiban adat dan agama yang banyak dan mahal – mengurusi masalah

sosial politik desa, terutama masalah adat atau pun agama, akan menyita

banyak waktu dan tidak produktif – di mana eksistensi identitas mereka

turut ditentukan oleh pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut.

Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut bila dapat diselenggarakan

dalam sebuah upacara yang besar dan mewah akan semakin baik, karena

status sosial dan identitas warga-nya akan terangkat. Namun, ini bukan

berarti bahwa pragmatisme mereka (warga-warga) tidak memiliki satu

tujuan yang tidak terpengaruh dari permainan politik para elit warga-

warga. Mengapa? Karena dengan pragmatisme itu mereka bisa

Page 65: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

161

meningkatkan perekonomian keluarganya, di mana kekuatan ekonomi

yang berhasil dikumpulkan nantinya digunakan untuk meningkatkan status

dari identitas warga-nya melalui selebrasi kewajiban adat dan agama yang

besar dan mewah. Fenomena ini berujung pada terjadinya pengkotak-

kotakan masyarakat di Balinuraga berdasarkan warga-warga, yang

disebabkan permainan segelintir elit-elitnya, sehingga warga-warga ini

memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan eksistensi dan status

sosial dari warga-nya.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)

Sebagai organisasi formal keagamaan resmi, Parisada Hindu

Dharma Indonesia (PHDI) memainkan peranan penting sebagai aktor

dalam pembentukan identitas komunitas Bali Hindu di Desa Balinuraga.

Peran penting yang dimainkan PHDI sebagai aktor kelembagaan formal

adalah sebagai pemersatu identitas komunitas Bali Hindu yang berada di

luar Bali – dalam kasus ini Balinuraga – sebagai bagian utama dari umat

Hindu Dharma di Indonesia. Identitas yang diusung, dan yang dibentuk

oleh PHDI adalah identitas mereka sebagai (umat) Hindu – Hindu Dharma

– lebih umumnya Hindu Dharma Indonesia. Hal ini disebabkan

keanggotaan di dalam tubuh PHDI, sebagai wadah bagi umat Hindu

Dharma Indonesia, (sampai saat ini) tidak hanya ditempati oleh etnis Bali

sebagai mayoritas, tapi juga etnis-etnis lain di Indonesia yang

berlatarbelakang Hindu, seperti: etnis (Jawa) Tengger di wilayah Gunung

Bromo Jawa Timur, etnis Bugis (To Wani To Lotang), etni Toraja

(Mamasa Toraja dan Sa‟dan Toraja) di Sulawesi Selatan, Etnis Batak Karo

di Sumatera Utara, serta di Kalimantan Tengah dan Selatan ada etnis

Dayak Ngaju dan Luangan184

. Dikarenakan keragaman etnis sebagai umat

Hindu Dharma ini yang menyebabkan perubahan nama organisasi parisada

ini dari Parisada Hindu Dharma menjadi Parisada Hindu Dharma

Indonesia di tahun 1986, di mana penambahan kata “Indonesia”

menunjukkan keragaman etnik dari anggota organisasi (umat Hindu

184

Lihat: Ramstedt (edt. 2004) dalam “Hinduism in Modern Indonesia: A minority

religion between local, national, and global interests”, London-New York:

RoutledgeCurzon.

Page 66: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

162

Dharma) yang tidak hanya beranggotaan orang Bali semata, juga selain

menjadikan identitas Hindu lebih Indonesia. Kemudian, kepecayaan-

kepercayaan dari etnis-etnis tersebut (Tengger, Aluk To Dolo,

Ada‟Mappurondo, Toani, Pamena, dan Kaharingan) secara resmi diakui

sebagai sekta-sekta (sekte-sekte) dalam Hindu Dharma185

.

Peranan PHDI sebagai pemersatu umat Hindu Dharma di

Balinuraga sejauh ini dapat dikatakan efektif, karena mewadahi berbagai

organisasi-organisasi formal dan informal di Balinuraga terkait

aktivitasnya sebagai umat Hindu Dharma, khususnya organisasi-organisasi

yang mewadahi identitas warga-warga, seperti Maha Gotra Pasek Sanak

Sapta Rsi dan Maha Semaya Warga Pandé186

. Jadi, entah dari warga mana

mereka berasal, selama masih merupakan Bali Hindu, mereka merupakan

bagian dari umat Hindu Dharma yang dipayungi secara resmi oleh PHDI,

di mana organisasi ini memiliki perwakilannya sampai di tingkat desa.

Sebagai organisasi yang bernaung di bawah Departemen Agama,

kehadiran PHDI di Balinuraga tidak lebih seperti birokrasi pemerintahan

yang kaku, yang berfungsi memastikan dan menjaga eksistensi identitas

Hindu umatnya – terutama sejak organisasi ini memberikan loyalitasnya

kepada Orde Baru (Suharto) sama seperti Golkar di tahun 1968, dan

sebagai imbalannya, mendapatkan perlindungan dari pusat termasuk

militer187

. Dalam setiap kesempatan, seperti acara formal komunitas Bali

185

Op.cit. Ramstedt (pp.18) 186

Dalam Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia, BAB X. Hubungan

dengan Organisasi, Lembaga/Badan, Pasal 30 ayat (1) dan (2) menyebutkan: (1)

Parisada wajib mengayomi yayasan, organisasi, forum, lembaga, sampradaya,

badan-badan, komunitas umat yang berdasarkan ajaran Hindu; (2) Dalam

mengayomi seperti ayat (1), Parisada mengadakan pertemuan berkala sekurang-

kurangnya enam bulan sekali demi terpeliharanya hubungan aspiratif yang

dinamis untuk kesejahteraan umat (Lihat: Anggaran Dasar Parisada Hindu

Dharma Indonesia tahun 2006 dalam www.phdi.org ). Pasal (1) dan ayat (1) ini

tidak mengalami perubahan signifikan – intinya tetap sama – sejak 23 Februari

1959 ketika organisasi Parisada ini didirikan, di mana semua organisasi penting

formal keagamaan Bali meleburkan diri ke dalam tubuh Parisada (PHDI). 187

“Hubungan mesra” antara PHDI dengan Orde Baru mengalami periode

“romantis” antara tahun 1968 sampai akhir tahun 1980-an. Di awal tahun 1990-an,

terutama setelah terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)

yang didirikan oleh Habibie, PHDI tidak mendapatkan perlakuan-perlakuan

Page 67: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

163

Hindu baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten, PHDI selalu

menempatkan posisinya secara jelas bahwa organisasi ini merupakan

forum bagi umat Hindu Dharma (khususnya di bidang keagamaan dan

kemasyarakatan), dan tidak terkait dengan permasalahan adat (dalam kasus

ini adalah adat yang berlaku di kalangan etnis Bali Hindu di luar Bali,

Lampung Selatan) dan politik praktis188

.

Namun, dibalik peranan PHDI yang efektif sebagai pemersatu

umat Hindu Dharma, kehadiran PHDI sebagai “birokrasi agama” justru

menimbulkan kerancuan identitas bagi komunitas Bali Hindu di Lampung

Selatan dan Balinuraga khususnya. Hal ini disebabkan umat Hindu

Dharma ini terdiri dari warga-warga yang mengusung dan

mempertahankan eksistensi identitas warga atau leluhurnya, termasuk adat

yang berlaku dalam warga-warga ini. Warga-warga ini hidup dalam

sebuah komunitas yang dinamis dengan segala dinamika pertentangan

antar warga di dalamnya. Dalam kasus ini, posisi PHDI adalah jelas

sebagai penengah atau wasit agar tidak terjadi konflik antar warga, dan

berusaha agar warga-warga ini bersatu sebagai sesama umat Hindu

Dharma. Kenyataannya, warga-warga ini menghadapi berbagai macam

tantangan yang kompleks setelah berada di luar Bali. Mereka hidup dalam

lingkungan sosial (Lampung) yang heterogen dengan posisi sebagai

istimewa seperti masa-masa sebelumnya, seperti pengurangan subsidi (Ramstedt

2004, I.G.N. Bagus 2004, Schulte Nordholt 2007). 188

Dalam Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia, Bab III. Fungsi dan

Tugas, Pasal 7 menyebutkan: ayat satu (1) Fungsi Parisada adalah: (a)

Menetapkan bhisama; (b) Mengambil keputusan di bidang keagamaan dalam hal

ada perbedaan penafsiran ajaran agama dan atau dalam hal terdapat keragu-raguan

mengenai masalah tersebut; (c) Memasyarakatkan ajaran Veda, bhisama dan

keputusan-keputusan Parisada; ayat dua (2) Fungsi Parisada sebagaimana

dimaksud ayat 1 a dan b dilaksanakan oleh Sabha Pandita; ayat tiga (3) Tugas

pokok Parisada adalah: (a) Melayani umat Hindu dalam meningkatkan sradha dan

bhakti sesuai kitab suci Veda; (b) Meningkatkan pengabdian dan peranan umat

Hindu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (c)

Mengembangkan dan memelihara keserasian dan keharmonisan internal dan

antara umat beragama; (d) Mengembangkan dan memelihara hubungan baik

dengan setiap badan, organisasi, lembaga yang bergerak dalam bidang keagamaan

dan kemasyarakatan baik nasional maupun internasional (op.cit. Anggaran Dasar

Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 2006 dalam www.phdi.org ).

Page 68: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

164

minoritas etnik dan agama. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran yang

mendalam akan tergerusnya identitas mereka, tidak hanya sebagai umat

Hindu Dharma, tapi yang tidak kalah penting adalah eksistensi identitas

warga (klan/soroh) mereka yang turut menjadi identitas mereka sebagai

umat Hindu Dharma. Dengan kata lain, hilangnya identitas warga dapat

menyebabkan hilangnya identitas mereka sebagai umat Hindu Dharma.

Identitas warga ini sangat penting bagi warga-warga karena ini

merupakan identitas leluhur mereka yang harus mereka pertahankan, dan

sudah melembaga (melekat) pada setiap individu anggota warga-warga

ini. Dengan kata lain, identitas warga adalah jati diri mereka sebagai Bali

Hindu. Karena, setelah melewati beberapa masa, dari masa kerajaan

sampai pasca-kolonial, identitas warga yang melekat dalam ikatan adat ini

tidak dapat dilepaskan atau selalu terkait dengan religi (agama) mereka –

yang disebut dan diakui resmi oleh pemerintah sebagai Hindu Dharma.

Jadi, dalam kasus ini PHDI berhasil melakukan konstruksi identitas

komunitas Bali Hindu ini dengan identitasnya sebagai umat Hindu Dharma

yang berada di atas identitas warga, sehingga warga-warga ini – meskipun

mempunyai pertentangan-pertentangan historis yang masih berlanjut

sampai sekarang – bisa disatukan identitasnya dalam satu identitas tunggal

Hindu Dharma.

Problematika identitas antar warga ini tampaknya tidak dapat

diselesaikan dengan satu identitas tunggal sebagai umat Hindu Dharma.

Ada tantangan penting yang harus mereka hadapi setelah berada di

Lampung (luar Bali) terkait eksistensi identitasnya. Pertama, setelah

berada di Lampung, bertransmigrasi dan berkeluarga, baik langsung atau

tidak langsung, mereka telah menjadi bagian dari masyarakat Lampung.

Singkatnya, mereka telah menjadi orang Lampung yang berasal dari Bali,

atau biasa disebut Bali Lampung. Sebagai Bali Lampung mereka tidak

dapat ajeg dengan identitas kebaliannya, karena sesuai dengan konsep kala

(waktu) dan patra (tempat) mereka harus bisa menyesuaikan diri dengan

lingkungan yang baru, yaitu Lampung. Kekukuhan dengan identitas tempat

asal akan menyebabkan benturan dengan kelompok masyarakat lain yang

berbeda etnis dan keyakinan (agama), dan yang lebih penting adalah akses

ekonomi komunitas ini di wilayah Lampung yang didominasi oleh

Page 69: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

165

berbagai kalangan etnis dengan latar belakang agama yang berbeda, baik

di dunia industri maupun pemerintahan. Kekukuhan dengan identitas asal

dipastikan akan menghambat komunikasi dan bentukan jalinan relasi

(bisnis / ekonomi dan pemerintahan). Dengan menjadi Lampung dalam

identitas Balinya, maka mereka dapat bersosialisasi dengan optimal

sebagai orang Bali Hindu dan sebagai orang Bali yang ada di Lampung,

Bali Lampung. Artinya, mereka tidak perlu khawatir dan takut akan

eksistensi identitasnya, tapi sebaliknya, dengan menjadi Lampung

eksistensi mereka diakui keberadaannya oleh kalangan masyarakat

Lampung yang heterogen. Kedua, meskipun telah menjadi Bali Lampung

mereka tidak mau kehilangan identitasnya sebagai orang Bali yang juga

sebagai Hindu. Meskipun dengan kehadiran PHDI eksistensi identitas

mereka sebagai Hindu (umat Hindu Dharma) terpayungi secara resmi dan

diakui pemerintah, mereka juga tidak mau kehilangan identitas warga-nya

(leluhurnya) yang di dalamnya melekat pula identitas sebagai Hindu.

Konsekuensi dari eksistensi identitas warga ini dalam komunitasnya

(komunitas Bali Hindu) adalah persaingan identitas antar warga sebagai

upaya mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari warga-warga lain.

Meskipun eksistensi identitas warga ini tidak diketahui (dipahami

keberadaannya) oleh masyarakat Lampung lain non-Bali Hindu, karena

hanya diketahui mereka yang berada di dalam komunitas itu, namun di

dalam komunitasnya – di mana warga-warga menjadi bagian dari PHDI

sebagai umat Hindu Dharma – perjuangan dan persaingan untuk eksistensi

identitas warga tidak lain merupakan gesekan di dalam komunitas umat

Hindu Dharma dalam level desa. Misalnya, seperti kasus seorang bekas

pejabat desa yang ketika berkuasa mengikuti identitas warga istrinya

karena memiliki massa yang besar. Akibatnya, ketika meninggal pihak dari

warga istri tidak mau mengabenkan bekas pejabat tersebut berdasarkan tata

upacara ngaben warga itu, karena aslinya bukan berasal dari warga istri,

tapi hanya ikut-ikutan untuk kepentingan politik. Awalnya pihak dari

warga asli bekas pejabat tersebut tidak mau mengurus pengabenannya

karena ia telah berkhianat, tapi karena dari warga istrinya tidak mau

mengabenkannya, maka terpaksa warga asli bekas pejabat itu yang

mengurus pengabenannya. Mereka percaya bahwa jika yang dingabenkan

tersebut bukan berasal dari warganya, maka akan terjadi sebuah hal-hal

Page 70: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

166

yang tidak diinginkan (musibah atau malapetaka). Dalam kasus ini, PHDI

tetap sebagai penengah – tidak mau terlalu ikut campur permasalahan

identitas warga ini – agar jangan sampai polemik ini berkepanjangan,

karena (menurut PHDI) walaubagaimanapun bekas pejabat tersebut tetap

sebagai Bali Hindu yang harus dingabenkan oleh keluarganya (jangan

sampai atman-nya terperangkap atau terhalang dalam menuju

pembebasan).

Terlepas dari problematika identitas di atas, kehadiran PHDI bagi

komunitas Bali Hindu telah memberikan jaminan akan identitasnya

sebagai Hindu (umat Hindu Dharma), khususnya bagi transmigran Bali

Nusa pertama kali. Mengapa demikian? Akar dari permasalahan ini adalah

mengenai identitas Hindu pada etnis Bali – kepercayaan dan keyakinan

etnis Bali – yang pada masa itu (Orde Lama) belum diakui oleh pemerintah

sebagai agama resmi negara. Memang, ketika mereka bertransmigrasi di

tahun 1963, pada tahun yang sama Hindu Bali sudah mendapatkan

pengakuan penuh dari pemerintah – yang tidak lain disebabkan

melemahnya pengaruh politik Islam di pusat, di mana selama itu

mempunyai andil yang cukup besar untuk menentukan mana agama dan

mana yang bukan-agama dengan posisi dominannya di Kementerian

Agama – khususnya di dalam tubuh Kementerian Agama, yaitu ketika

Bagian Urusan Hindu Bali berubah (nama) menjadi Biro Urusan Agama

Hindu Bali. Kata “Agama” di depan “Hindu Bali” menunjukkan eksistensi

identitas Hindu Bali sebagai agama yang diakui oleh pemerintah,

khususnya di Kementerian Agama yang bertanggungjawab mengurusi

keagamaan masyarakat Indonesia. Tapi, dalam kenyataannya para

transmigran ini masih merasakan dampak dari stigma lama dari sebagian

kalangan masyarakat Lampung, yaitu bahwa orang Bali dengan

kepercayaannya digolongkan sebagai “orang jang belum beragama‟.

Dalam situasi seperti ini, PHDI memainkan perannya untuk menjamin

identitas Hindu pada transmigran Bali Nusa ini. Terutama setelah PHDI

menjadi bagian dari rezim Suharto (tahun 1968) dengan memberikan

loyalitasnya, sehingga PHDI mendapatkan proteksi dari pemerintah dan

militer.

Page 71: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

167

Selain berfungsi sebagai pemersatu identitas umat Hindu Dharma,

ada satu peran penting yang dimainkan PHDI sebagai aktor dalam

pembentukan identitas, yaitu konstruktor yang mengkonstruksi identitas

Hindu (agama Hindu Dharma) kepada komunitas transmigran Bali Nusa.

Bila dilihat sejarahnya, maka apa (identitas) yang dikonstruksikan oleh

PHDI sebagai identitas Hindu tidak lain adalah hasil dari sebuah

konstruksi identitas dari pemerintah pusat. Di masa Orde Lama kekuatan

politik kubu nasionalis, agama, dan komunis sangat dominan di pusat

(Jakarta). Kekuatan politik agamais di masa Orde Lama didominasi oleh

golongan Islam yang mendapatkan tempat yang superior di Kementerian

Agama. Dengan otoritas ini, Departemen Agama memiliki kuasa untuk

menentukan apakah sebuah agama itu adalah benar-benar sebagai sebuah

Agama atau tidak. Tentu, konsep agama yang dijadikan rujukan adalah

konsep agama seperti yang dimiliki oleh kekuatan politik agamais yang

berkuasa di Departemen Agama, yaitu konsep agama menurut golongan

Islam, termasuk Kristen. Kriteria yang harus dipenuhi apakah agama layak

disebut sebagai agama resmi, antara lain: monotheis (sesuai dengan sila

pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa), mempunyai Kitab Suci

dan Nabi – seperti: orang Muslim memiliki Nabi Muhammad dan orang

Kristen – Khatolik memiliki Nabi Isa (Yesus Kristus), mempunyai sistem

hukum atau aturan bagi para pengikutnya (seperti: tata cara ibadah dan

ibadah rutin/harian, hukum agama, dan sebagainya), memiliki pengakuan

(dan pengikut) dari dunia internasional, dan keanggotaannya tidak boleh

terbatas pada satu kelompok etnis tertentu (Ramstedt 2004, Picard 2004,

Bagus 2004). Akibatnya, karena membutuhkan pengakuan sebagai agama

resmi dari pemerintah pusat, di tahun 1953 sejumlah intelektual muda

(kaum cendikiawan) Bali dikirimkan ke India189

untuk meredefinisikan

perinsip-perinsip dan praktek-praktek (ritual) kepercayaan mereka sesuai

dengan apa yang dikukuhkan oleh Kementrian Agama Indonesia yang

ketika itu dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim190

. Kemudian di tahun 1958

189

Mereka mendapatkan kesempatan (beasiswa) untuk belajar di Shantiniketan

Vishva Bharaty University, Banaras Hindu University, dan International Academy

of Indian Culture (Ramstedt 2004: 10). 190

Para intelektual muda Bali ini, sekembalinya dari studi di India, membawa

gagasan-gagasan modernis yang mengakibatkan terjadinya pergeseran secara

Page 72: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

168

Pandit Shastri berhasil merampungkan sebuah buku mengenai garis besar

pedoman Hindu Dharma yang telah disetujui oleh beberapa organisasi dan

intelektual muda yang sudah kembali dari studinya di India, dan pada

tanggal 14 Juni 1958 sebuah petisi bersama disusun untuk meminta

membentuk sebuah Bagian Hindu Bali di dalam Kementrian Agama atas

dasar bahwa Agama Hindu Bali tidak bertentangan dengan sila pertama

Pancasila. Sampai akhirnya, dengan dukungan Presiden Sukarno pada

tanggal 1 Januari 1959 Agama Hindu Bali mendapatkan (beberapa)

pengakuan resmi – pengakuan penuh baru didapatkan pada tahun 1963 –

dari pemerintah Indonesia dengan membentuk Bagian Urusan Hindu Bali

di Kementerian Agama. Di tahun yang sama, 23 Februari 1959, semua

organisasi penting keagamaan Bali meleburkan diri pada sebuah lembaga

(organisasi) formal, yang merepresentasikan seluruh komunitas Bali

Hindu, organisasi ini disebut Parisada Dharma Hindu Bali (sekarang

menjadi PHDI) dibentuk, seperti model parisad di India191

. Berdasarkan

kronologi singkat terbentuknya identitas Hindu Bali menjadi sebuah agama

resmi yang disebut Hindu Dharma, maka dapat diketahui bahwa

pemerintah pusat (kekuasaan) memiliki andil yang sangat besar untuk

mengkonstruksi identitas Hindu etnis Bali. Ironisnya, konsep dari

pengkonstruksian identitas Hindu tersebut merupakan konsep yang dianut

oleh agama Samawi: Yudea-Kristen-Islam. Dan karena eksistensi agama

mereka butuh diakui sebagai agama resmi – tidak mau disebut sebagai

“orang jang belum beragama” – maka penyesuaian pun dilakukan agar

mendapatkan pengakuan dari pemerintah (pusat, kekuasaan). Akibatnya,

bertahap dari ritualisme ke skriptualisme, dari mistik ke etik, dan dari pengalaman

keagamaan kolektif ke individual (Lihat: Howe 2001, Hinduism and Hierarchy in

Bali, Oxford: James Curry/ Santa Fe: School of American Research Press).

Gagasan modernis ini yang kemudian menjadi perdebatan panjang antara

golongan triwangsa dan jaba – sebuah perdebatan yang telah di mulai di awal

tahun 1920-an antara Bali Adnyana vs Surya Kanta. Perdebatan ini muncul

dikarenakan dengan munculnya gagasan modernis yang lebih egaliter akan

menggeser peran dominan dari triwangsa (khususnya pendeta brahmana/pedanda),

di mana golongan triwangsa menilai bahwa identitas Bali itu berakar pada adat /

hirarki kasta sedangkan golongan jaba membela sistem status berbasis prestasi dan

kualitas (Schulte Nordholt 2004). 191

Op.cit. Ramstedt 2004.

Page 73: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

169

identitas Hindu yang coba konstruksikan oleh PHDI kepada komunitas

transmigran Bali Nusa adalah sebuah identitas yang telah dikontruksikan

oleh pusat atau kekuasaan, dalam hal ini Kementrian Agama yang

didominasi oleh kubu politik agamais Islam. Clifford Geertz menyebutnya

sebagai sebuah “internal conversion”, lebih merupakan sebuah fenomena

ambigu dikarenakan orang Bali mengubah kembali dirinya

(meredefinisikan, menyesuaikan, dan menafsirkan ulang) sebagai Hindu di

mana mereka sendiri sejatinya sudah menjadi Hindu192

. Dalam kasus ini,

PHDI yang telah mengubah dirinya menjadi organisasi Hindu modern,

menjadi mesin birokrasi yang mendapatkan otoritas dari pusat (kekuasaan)

unuk mengkonstruksi identitas anggotanya (umat) untuk menjadi Hindu

Dharma. Satu catatan penting yang harus diketahui bahwa konstruksi

identitas yang dilakukan oleh pusat di masa Orde Lama dan Orde Baru

(pasca kolonial, termasuk pemerintahan sekarang) merupakan kelanjutan

dari sebuah konstruksi identitas di masa kolonial. Konsep atau versi Hindu

yang diadopsi di masa pasca kolonial – terutama di Orde Lama –

merupakan konsep atau versi Hindu dari India, atau Hindu India, di mana

Hindu India sendiri merupakan identitas yang dikonstruksi oleh

pemerintah kolonial (Inggris) pada abad ke-19 melalui (diwakili) pakar

orientalis Eropa, ketika berkuasa di India, bersama-sama (bekerja sama,

berkolaborasi) dengan kaum Brahmana. Konstruksi identitas yang

dilakukan para elit ini agar identitas Hindu memiliki kedudukan sejajar

dengan identitas agama Kristen, Islam, dan peradaban Eropa dengan

konsep modernisasi dan reformasi, sehingga menjadi “Neo-Hindusim”.

Hal ini dapat dilihat dari doktrin kaum Brahmana di India yang turut

diadopsi di Indonesia, terutama ketika sejumlah intelektual muda Bali

dikirim belajar di sejumlah universitas di India, yaitu: brahman, atman,

karma, samsara, dan moksa)193

. Bagi orang Bali sendiri, konstruksi

identitas sebenarnya telah terjadi di masa kolonial, ketika pihak kolonial

192

Geertz, C. (1964 )‟”Internal Conversion” in Contemporary Bali‟, dalam: J.

Bastin and R. Roolvink (edt) Malayan and Indonesian Studies Presented to Sir

Richard Winstedt, Oxford: Oxford University Press, pp. 282-302. Dan juga,

Geertz (1992b) “ ‟Peralihan Batiniah‟ di Bali Dewasa Ini” (hlm.123-136) dalam

Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. 193

Op.cit. Ramstedt 2004, Picard 2004.

Page 74: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

170

yang diwakili para pakar orientalis Eropa bersama-sama dengan golongan

triwangsa (brahmana) mencoba menyusun ulang konsep kebalian untuk

mengajegkan kebudayaan Bali agar tidak punah dan menjadi museum

hidup dunia194

. Baik di masa kolonial maupun pasca kolonial, keduanya

merupakan sebuah konstruksi identitas yang dilakukan oleh pusat atau

kekuasaan (rezim yang berkuasa).

Terlepas dari perannya yang ambigu, sebagai organisasi Hindu

modern dengan mesin birokrasi yang menjangkau sampai tingkat desa di

luar Bali (Lampung Selatan), ada peran penting yang dilakukannya sebagai

organisasi berdasarkan otoritas yang dimiliki, yaitu merekonstruksi ulang

identitas transmigran Bali Hindu dengan identitas baru sebagai hasil

konstruksi pusat dengan menjadi identitas Hindu Dharma – yang disebut

Geertz (1964) sebagai internal conversion. Karena konstruksi identitas

yang akan dikonstruksi oleh PHDI merupakan konstruksi identitas agama

menurut konsep Yudea-Kristen-Islam, maka ada beberapa doktrin yang

harus diketahui para transmigran Bali agar mereka benar-benar menjadi

Hindu Dharma – sesuai dengan apa yang diminta oleh pusat bahwa Hindu

Dharma merupakan agama resmi yang diakui pemerintah. Doktrin itu

termuat dalam Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu195

yang biasa

disebut panca sraddha, yaitu: (1) Percaya adanya Tuhan (Brahman atau

Sang Hyang Widhi Wasa), bahwa Tuhan itu ada (keimanan), Yang

berkuasa atas segala-galanya dan Esa; (2) Percaya adanya Atman, jiwa

yang sempurna dan abadi (kekal) dari setiap makhluk; (3) Percaya adanya

Hukum Karmaphala (Karma Phala), hukum sebab-akibat; (4) Percaya

adanya Samsara196

(Punarbhawa atau Reinkarnasi), kelahiran kembali

194

Lihat: Vickrs, Dwipayana, Robinson, Picard, Ramsted, dll. 195

Op.cit. Ramstedt 2004, lihat juga lebih detail : A.A.G. Oka Netra, 2010,

Tuntunan Dasar Agama Hindu: Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu,

Departemen Agama dalam www.phdi.org. 196

Samsara: penjelmaan jiwaatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia

yang lebih tinggi. Samsara memiliki arti yang kurang lebih dengan Punarbhawa

(kelahiran yang berulang-ulang) dan Reinkarnasi (penitisan kembali) (op.cit.

A.A.G. Oka Netra).

Page 75: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

171

yang berulang-ulang atau penitisan kembali; (5) Percaya adanya Moksa197

,

kelepasan (bebas) dari siklus kelahiran kembali (ikatan duniawi). Panca

Sraddha ini yang kemudian disosialisasikan oleh PHDI melalui pejabat-

pejabatnya yang ada di level bawah (kecamatan dan desa), termasuk Sri

Mpu Suci yang menjadi pendeta formal di bawah naungan PHDI, kepada

komunitas transmigran Bali Nusa. Tujuannya adalah agar identitas mereka

sebagai Hindu diakui oleh PHDI, dan tentunya pemerintah, karena dengan

mengakui panca sraddha ini maka mereka telah menjadi dan memiliki

identitas Hindu (Hindu Dharma) yang diakui oleh pemerintah. Bagi para

transmigran Bali Nusa awal (1963), konstruksi identitas mereka sebagai

Hindu memiliki arti yang penting, yaitu agar mereka mendapatkan

pengakuan dari pemerintah (dalam kasus ini pemerintah lokal di Lampung)

bahwa mereka termasuk orang yang beragama, dan tidak mendapatkan

stigma-stigma yang melukai hati mereka sebagai Bali Hindu. Namun, yang

menjadi titik krusial (penting) dari melekatnya identitas Hindu yang resmi

ini terjadi pasca 1965 – pasca Gerakan 30 September 1965 – ketika

gerakan anti-komunis yang menyebabkan terjadinya pembantaian massal,

khususnya di Bali, mengidentikkan orang-orang komunis sebagai orang

yang tidak memiliki agama (tidak beragama). Terutama saat kedatangan

atau transmigrasi gelombang kedua dari transmigran Bali Nusa ke

Balinuraga pasca tahun 1965, baik yang berada di Nusa Penida ataupun

transmigran Bali Nusa dari Bali Utara (wilayah Jembrana dan sekitarnya)

yang dulunya menjadi transmigran lokal di masa kolonial, dan transmigran

Bali Nusa yang berasal dari Jembrana menjadi perhatian serius dari

pemerintah (khususnya militer) karena daerah ini menjadi basis orang-

orang kiri (komunis)198

. Oleh karena itu, konstruksi identitas Hindu

197

Moksa: kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan

terlepasnya Atman dari pengaruh maya dan bersatu kembali dengan sumber-Nya,

yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami

kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi yand disebut Sat Cit Ananda. Ketika

seseorang telah mencapai moksa maka dia tidak lagi lahir ke dunia, atau bebas

dari siklus kelahiran kembali (loc.cit). 198

Lihat: Roosa, John. (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September

dan Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra);

Farram, Stevan & Webb, R.A.F. Paul. (2005), Di-PKI-kan Tragedi 1965 dan

Kaum Nasrani di Indonesia Timur (terjemahan), Syarikat Indonesia; Robinson,

Page 76: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

172

Dharma di masa-masa itu menjadi sangat penting sekali bagi transmigran

Bali Nusa, terutama dari tindakan anarkis dan pembunuhan yang dilakukan

oleh pihak sipil dan militer, karena dengan memiliki identitas Hindu

Dharma maka mereka terbebas dari tuduhan sebagai komunis – dengan

kata lain, identitas Hindu Dharma menjadi penyelamat mereka dari

kekerasan dan ancaman pembunuhan atas tuduhan orang-orang komunis.

Legalisasi atau legitimasi identitas Hindu Dharma dari PHDI pada

transmigran ini memberikan jaminan yang penuh atas keselamatan mereka

setelah di luar Bali, terutama setelah di tahun 1968 PHDI memberikan

loyalitasnya kepada Suharto (tentu, dengan jaminan bahwa umatnya bersih

dari komunis), dan Suharto (beserta militer) memberikan perlindungan

penuh pada PHDI, termasuk umat yang bernaung di bawahnya. Selain itu,

PHDI juga harus memastikan bahwa identitas Hindu Dharma itu tidak

keluar atau menyimpang dari doktrin umumnya panca sraddha, terutama

ritual-ritual adat dan keagamaan. Karena itu, PHDI dengan sejumlah

aturan-aturan yang birokratis dan cenderung kaku, dapat memastikan

bahwa mereka tidak menyimpang dari ajaran utama Hindu Dharma.

Peran PHDI dalam mengkonstruksi identitas Hindu Dharma tidak

berhenti pada transmigran Bali Nusa pertama, tapi dilanjutkan pada

generasi berikutnya, generasi kedua dan ketiga (anak dan cucu, beberapa

sudah memiliki cicit) yang masih menetap di Balinuraga. Jika generasi

pertama transmigran mendapatkan pengetahuan tentang identitas baru

(Hindu Dharma) melalui sosialisasi dari para sulinggih yang sudah berada

di dalam tubuh PHDI (melalui jalur informal), maka generasi berikutnya

mendapatkan konstruksi identitas Hindu Dharma melalui jalur formal,

yaitu pendidikan. Terutama setelah berdirinya sekolah Sekolah Dasar

(SD), yang statusnya masih darurat, di akhir tahun 1960-an, sampai

Sekolah Dasar ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan kemudian

dibangun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Di bangku sekolah

dasar ini anak-anak para transmigran pertama (berikutnya cucu dan cicit)

sudah mendapatkan pengetahuan mengenai identitas mereka sebagai

Hindu Dharma, seperti: apa dan bagaimana Hindu Dharma, apa yang harus

Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, Ithaca

and London: Cornell University Press.

Page 77: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

173

dilakukan sebagai umat Hindu Dharma sebagai kewajiban, dan lain-lain.

Karena komunitas Desa Balinuraga mayoritas etnis Bali Hindu, maka

mereka tidak mendapatkan banyak kendala untuk mengajarkan pelajaran

agama Hindu kepada peserta didiknya. Ketersediaan guru agama Hindu ini

sepenuhnya merupakan tanggungjawab dari PHDI sebagai wakil dari

Departemen Agama yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, dan pemilihannya telah disesuaikan dengan standar

PHDI dan rekanannya (Departemen Agama dan Pendidikan)199

. Seperti

yang berlaku di setiap sekolah formal di Indonesia, pelajaran agama ini

sudah menjadi sebuah mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh setiap

siswanya sesuai dengan agama orang tuanya. Ketika para murid hendak

melanjutkan sekolahnya ke jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU),

mereka harus menempuhnya di luar Desa Balinuraga. Biasanya mereka

menempuhnya di kecamatan atau di ibukota kabupaten. Meskipun sudah

bersekolah (SMU) di luar desanya, mereka masih mendapatkan pelajaran

agama Hindu dari guru agama Hindu yang telah disediakan oleh pihak

sekolah. Jadi, melalui jalur pendidikan formal – karena pelajaran agama

masuk di dalam kurikulum wajib – PHDI dapat memastikan bahwa

umatnya, generasi-generasi muda, khususnya yang telah berada di luar

Bali, tidak kehilangan identitasnya sebagai Hindu (umat Hindu Dharma).

Melalui jalur pendidikan ini pula, terbentuk sebuah identitas agama Hindu

yang standar, yaitu dengan materi yang tidak jauh berbeda dengan yang

ada di Bali, maka para generasi muda Bali Hindu di luar Bali mendapatkan

pengetahuan yang kurang lebih hampir sama akan identitasnya sebagai

Hindu. Ada pun yang menjadi pokok materi yang harus diberikan oleh

199

Pada waktu itu, guru-guru Agama Hindu berasal dari Bali, yang telah

menempuh Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH) di Denpasar Bali. Sejak

pelajaran agama mulai diperkenalkan (setelah tahun 1950) sebagai pelajaran wajib

dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, terutama setelah gelombang

pertama transmigrasi orang Bali ke Lampung dalam jumlah besar di tahun 1950-

an dan 1960-an, terjadi permintaan tenaga pengajar (guru) agama Hindu. Guru

Agama Hindu ini dibutuhkan untuk anak-anak transmigran yang bersekolah di

Lampung, yang tersebar di berbagai daerah lokasi transmigrasi.

Page 78: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

174

setiap guru agama Hindu di antaranya mencakup200

: (1) penjelasan

hubungan (vertikal) manusia dengan Penciptanya (Tuhan); (2) aspek

sosiologi: terkait hubungan / relasi horisontal antar sesama manusia; (2)

aspek etika (dharma) dan filofosi (tattwa): nilai, norma, dan hukum

(dogma) dalam hubungan antar manusia dan Pencipta; (3) aspek psikologi:

bagaimana membentuk karakter dan pikiran yang damai; (4) petujuk-

petunjuk etis bagaimana berhasil dalam dunia profesional, bagaimana

mencapai kehidupan yang baik nan haromis antara kegiatan ekonomi dan

ekologi201

.

200

Lihat: Ngurah Nala (2004) “The Development of Hindu Education in Bali”

dalam Hinduism in Modern Indonesia: A minority religion between local,

national, and global interest. 201

Keempat poin ini dapat dileburkan ke dalam filosofi Tri Hita Karana, yaitu

bagaimana manusia (individu) menjalankan hubungan yang harmonis (selaras)

dengan Sang Pencipta (Tuhan YME; Sang Hyang Widhi Wasa), dengan sesama

manusia, dan dengan lingkungannya (alam). Penekanannya terletak dalam

aplikasinya di dalam kehidupan sehari-hari, dengan salah satu tujuan idealnya agar

tercipta kerukunan hidup antar umat beragama. Sama seperti yang ada di dalam

pelajaran agama Kristen dan Islam - penekanannya lebih ke aspek etik dan filosofi

– karena secara politik penyamaan ini bagian dari pengakuan eksistensi identitas

agama Hindu (Hindu Dharma) mereka yang setara dengan eksistensi agama Islam

dan Kristen yang selama ini “meragukan” eksistensi identitas mereka sebagai

“agama”, terutama terkait dengan “monotheisme”.

Page 79: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

175

Gambar 7. Sekolah Dasar dan Menengah Pertama di Balinuraga

(gambar pertama atas: sekolah dasar negero pertama di Balinuraga; gambar kedua

kiri: sekolah dasar kedua di Balinuraga; gambar ketiga kiri: sekolah menengah

pertama swasta di Balinuraga).

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 80: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

176

Hadirnya pelajaran agama Hindu tidak serta merta menyelesaikan

permasalahan identitas yang harus dihadapi para murid sebagai etnis Bali

Hindu, meskipun di dalam pelajaran agama tersebut sudah sesuai dengan

standar resmi untuk mematangkan identitas Hindu mereka. Setelah

kembali ke rumah dan bersosialisasi dalam komunitasnya yang sama

(komunitas Bali Hindu), para murid menghadapi realitas identitas yang

lain, yaitu identitas warga (soroh). Artinya, sebelum mereka mendapatkan

pendidikan formal, terutama pelajaran agama Hindu, identitas mereka

sebagai warga tertentu sudah terbentuk di dalam level keluarga. Identitas

warga ini melekat dalam diri mereka, dan di dalam identitas warga itu

melekat pula identitasnya sebagai Hindu. Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, bahwa PHDI – dalam kasus ini melalui pelajaran agama

Hindu Dharma – memisahkan dengan tegas agama dan adat, karena

identitas Hindu Dharma tidak hanya identitas yang dimiliki oleh etnis Bali,

tapi umat Hindu Dharma yang terdiri dari beberapa etnis di Indonesia.

Permasalahan lainnya adalah ketika para murid harus bersekolah di luar

Balinuraga, yaitu ketika harus menghadapi berbagai perbedaan, baik etnis

maupun kepercayaan. Berbeda ketika masih bersekolah di Balinuraga, di

mana teman-teman sebayanya berasal dari etnis dan kepecayaan yang

sama. Posisi mereka setelah berada di luar desanya adalah jelas sebagai

minoritas etnik dan kepercayaan, dan bukan tidak mungkin, terdapat

potensi ketersinggungan terkait kepercayaan mereka yang sebenarnya

tidak begitu dipahami oleh teman-temannya di sekolah.

Page 81: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

177

Gambar 8. Contoh Buku Pelajaran Agama yang Digunakan Murid SD di

Balinuraga

(Sumber: Yulianto, 2010)

Dari ketiga aktor yang telah diuraikan – Sri Mpu Suci, Warga-

Warga, dan PHDI – dalam pembentukan identitas komunitas Bali Hindu di

Balinuraga, ketiga-tiganya memainkan peranan sentral dalam membentuk

identitas mereka sebagai Bali Hindu setelah berada di Lampung. Dari

ketiganya, PHDI yang memilki otoritas paling luas, karena kedudukannya

sebagai organisasi resmi yang diakui oleh pemerintah, dan Sri Mpu Suci

dengan kedudukannya sebagai seorang sulinggih dan pemimpin

transmigran Bali Nusa, serta Warga-Warga, menjadi bagian dari anggota

PHDI. Dengan kata lain, eksistensi identitas Hindu mereka bergantung

pada organisasi formal ini karena otoritas yang dimilikinya – meskipun

dalam kenyataanya ketika PHDI mengkonstruksikan identitas Hindu

Dharma di dalam setiap kesempatan saat bersosialisasi dengan komunitas

Bali Hindu tampak seperti meng-Hindu-kan seseorang yang sebenarnya

sudah menjadi Hindu. Namun, peran yang lebih luas di aras akar rumput

dalam proses pembentukan identitas justru banyak dimainkan oleh Sri

Mpu Suci dan Warga-Warga melalui dinamikanya dalam hubungan antar

warga dengan identitas leluhur yang berbeda, terutama untuk urusan adat

istiadat. Ini merupakan problematika identitas tersendiri yang harus

dihadapi anggota komunitas Hindu Bali di luar Bali, yaitu ketika identitas

Page 82: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

178

leluhur yang coba mereka pertahankan, secara langsung dan tidak

langsung, berkaitan dengan identitasnya sebagai Hindu, di mana PHDI

sebagai organisasi keagamaan resmi yang memiliki otoritas membatasi

perannya sebagai pemersatu identitas warga-warga sebagai umat Hindu

Dharma, dan tidak mau terlibat dalam urusan adat. Oleh karena itu, bagi

sebagian masyarakat Balinuraga, PHDI tidak lebih seperti birokrasi

pemerintahan, yang membedakan adalah identitas Hindu yang melekat

pada PHDI.

Wafatnya Sri Mpu Suci di tahun 1970-an, dan pendataan anggota-

anggota warga oleh elit lokal di Bali, menjadikan PHDI sebagai “patron

baru” bagi komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Namun, PHDI tidak bisa

menyatukan warga-warga yang ada di komunitas ini. PHDI hanya bisa

menyatukan warga-warga ini sebagai komunitas umat Hindu Dharma.

PHDI sebagai organisasi modern Hindu tetap merupakan sebuah birokrasi

keagamaan. PHDI lebih menjadi patron yang bersifat simbolik, karena

sebagai sebuah birokrasi keagamaan PHDI tidak terlibat secara aktif dalam

dinamika komunitas Balinuraga yang di dalamnya terdapat warga-warga

yang saling bersaing dengan identitas leluhurnya. Sri Mpu Suci sebagai

sulinggih yang menjadi bagian dari PHDI bisa mengendalikan dan

menyatukan warga-warga dari pertentangan identitas leluhur, karena Sri

Mpu Suci sebagai patron terlibat aktif di dalam kehidupan komunitas ini,

dan diakui kepemimpinannya sebagai pemimpin para transmigran Bali

Nusa. Dengan kata lain, sosok PHDI hanya muncul di dalam masyarakat,

melalui para pengurus/pejabatnya, saat penyelenggaraan upacara

keagamaan yang bersifat formal dan seremonial yang dihadiri pejabat-

pejabat selevel camat, bupati, dan gubernur dalam rangka menunjukkan

eksistensi umat Hindu Dharma yang berasal dari Bali. Sejak PHDI

memberikan loyalitasnya kepada Orde Baru (1968)202

, pejabat-pejabat

PHDI dari level desa sampai pusat dapat dikatakan berafiliasi dengan

202

Dalam rentang tahun 1959 sampai 1966, ketika organisasi ini sedang

mematangkan organisasinya, PHDI masih bersikap netral, tidak berafiliasi ke

partai politik lain (I.G.N. Bagus 2004).

Page 83: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

179

Golkar (juga merupakan anggota dari Golkar) dan militer203

. Ini

menjadikan peran PHDI lebih condong ke politik sebagai pendukung

rezim Orde Baru, daripada perannya di akar rumput komunitas Bali Hindu,

dalam kasus ini Balinuraga. Sebagai organisasi resmi keagamaan

(organisasi semi-pemerintah) yang bersimbolik Hindu, dan menjadi patron

simbolik bagi komunitas Hindu, kehadirannya sampai di level desa sangat

membantu untuk mengarahkan massanya (umat) untuk mendukung atau

memilih Golkar saat diselenggarakan Pemilu di masa Orde Baru. Sebagai

imbalannya, PHDI bisa mengajukan permintaan-permintaan (lobi-lobi) ke

pemerintah agar umatnya bisa (diizinkan) menyelenggarakan seremoni-

seremoni di tempat tertentu yang melibatkan massa yang besar, seperti

menyelenggarakan upacara Melasti (upacara pembersihan sebelum hari

raya Nyepi) yang dilakukan di pantai dengan massa yang besar. Oleh

karena itu, kredibilitas PHDI menjadi dipertanyakan oleh komunitas ini,

karena tantangan yang dihadapi anggotanya (umat) yang hidup di luar Bali

terus berkembang dan dinamis dalam interaksinya dengan komunitas lain

yang berbeda, dan kehidupan antar warga di dalam komunitas itu sendiri.

203

Keterkaitan organisasi ini dengan Golkar, menjadikan organisasi ini mirip

(dibentuk menyerupai / meniru bentuk) dengan Golkar, dan sekretaris jendralnya

berasal dari militer / ABRI (Schulte Nordholt 2007, I.G.N. Bagus 2004).

Page 84: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

180

Gambar 9. Upacara Melasti Komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan

(upacara ini diikuti seluruh komunitas adat Bali Hindu di Lampung Selatan,

termasuk Balinuraga).

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 85: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

181

Gambar 10. Persiapan Upacara Melasti

(Sumber: Yulianto, 2010).

Bagi masyarakat Balinuraga, PHDI merupakan representasi dari

pusat, dalam arti ini adalah Jakarta dan Bali, tapi lebih condong

merepresentasikan Bali. Sebagai orang Bali yang hidup di luar Bali,

kehadiran PHDI dianggap dapat mendekatkan diri mereka dengan Bali.

Meskipun mereka telah berada di Lampung, keterikatan mereka dengan

tanah kelahiran (Bali) masih sangat kuat. Seperti ada fanatisme tersendiri

terhadap hal-hal yang berhubungan langsung dengan Bali. Jadi, meskipun

PHDI dianggap tidak lebih dari mesin birokrasi keagamaan, PHDI tetap

dianggap sebagai patron, khususnya terkait dengan identitas agama, yang

Page 86: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

182

dapat mendekatkan komunitas ini dengan Bali. Mengapa demikian?

Karena dengan adanya semacam standarisasi kegiatan / ritual keagamaan

yang berasal dari PHDI, maka mereka merasa bahwa ritual keagamaan

yang mereka adakan di luar Bali kurang lebih tidak jauh berbeda dengan

mereka yang ada di Bali. Sehingga dapat mengurangi rasa kekhawatiran

bahwa mereka sudah berbeda atau tidak sama dengan di Bali dalam

penyelenggarakan ritual keagamaan. Tentu dengan mempertimbangan

situasi dan kondisi penyelenggaraan ritual itu sendiri, karena perbedaan itu

tetap ada antara penyelenggaran ritual di Bali dan di luar Bali. Namun, pro

dan kontra tetap saja ada perihal standarisasi itu, khususnya di kalangan

warga-warga (beberapa elit) yang teguh (kolot) dengan tradisinya.

Artinya, menyelenggarakan prosedur-prosedur ritual yang “sedikit”

berbeda dengan apa yang telah dibakukan oleh PHDI. Toh, PHDI sendiri

pun tidak setiap hari berada di dalam masyarakat untuk mengawasi

dinamika mereka. Bagi mereka (elit-elit warga) pejabat-pejabat PHDI,

terutama di tingkat desa sampai kecamatan, belum tentu memahami adat

istiadat dari masing-masing warga, karena (dimungkinkan) pejabat

tersebut yang merupakan orang lain berasal dari warga yang berbeda. Di

samping itu, elit-elit warga ini masih tetap menjalin komunikasi yang baik

dengan organisasi formal warga-nya – yang sebenarnya berinduk pada

PHDI – yang berpusat di Bali. Elit-elit ini pun secara rutin masih sering

pergi ke Bali (termasuk anggota warga-warga-nya), baik untuk urusan

upacara keluarga besar yang masih ada di Bali (kewajiban yang harus

mereka lakukan) maupun pertemuan organisasi tertentu. Ini pula yang

menyebabkan mereka menjadi kritis terhadap PHDI. Jadi, meskipun

mereka telah berada di luar Bali, komunikasi dengan sanak saudara atau

pun informasi penting (sosial politik keagamaan) yang terjadi di Bali,

dapat mereka ketahui dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama. Seperti

misalnya, kemelut yang terjadi di PHDI antara golongan jaba dan

triwangsa dalam memperebutkan posisi dominan di lembaga ini dalam

Mahasabda VII (rapat akbar/pertemuan besar) pada September 1996 di

Surakarta dan September 2001 di Hotel Radisson di Sanur, Bali; kemudian

saat terjadi protes besar dari golongan jaba saat penyelenggaraan upacara

Page 87: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

183

Panca Wali Krama204

di Pura Besakih (1999) yang menuntut agar pendeta-

pendeta dari golongan jabawangsa diperkenankan untuk terlibat dalam

memimpin upacara tersebut205

. Untuk upacara besar seperti ini, Panca Wali

Krama di Pura Besakih, umat Hindu Bali dari berbagai daerah ikut di luar

Bali turut berpartisipasi mengikuti upacara tersebut – termasuk masyarakat

di Balinuraga yang memiliki kesempatan dan biaya untuk mengikuti

upacara tersebut206

– di mana mayoritas umat yang mengikuti upacara

tersebut adalah golongan jaba (warga-warga / soroh yang digolongkan

sebagai jaba / non-bangsawan puri).

Keterikatan komunitas Bali Hindu di luar Bali (kasus Balinuraga)

terhadap patronnya – PHDI sebagai perwakilan pusat, Bali – menyebabkan

efek domino sampai ke komunitas ini; meskipun elit-elit warga yang lebih

banyak mengetahui kemelut yang terjadi di pusat di dalam tubuh PHDI.

204

Panca Wali Krama merupakan Yadnya Agung (ritual besar) yang diadakan di

Pura Besakih setiap sepuluh tahun sekali, di mana pada waktu itu (April 1999)

diselenggarakan atas kerja sama antara Pemerintah Daerah Bali dan PHDI. Bagi

mereka, orang Balinuraga, bisa menghadiri upacara besar di Pura Besakih,

terutama seperti Panca Wali Krama, dipercaya bisa memberikan berkah dan

sugesti psikologis tertentu dalam pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka

(seperti terberkati), dan tentunya yang tidak kalah penting adalah prestise. Yadnya

Agung yang lebih besar dari Panca Wali Krama adalah (upacara) Tawur Agung

Eka Dasa Rudra. 205

Op.cit. Ramstedt 2004, Ngurah Bagus 2004, Schulte Nordholt 2007. 206

Di masa sekarang, terutama sejak tahun 1990-an, biaya dan sarana transportasi

dari Lampung ke Bali cukup terjangkau dan memadai. Mereka bisa menumpang

bis antar kota antar propinsi yang langsung dari Lampung ke Bali, ngeteng (naik

bis dari Lampung ke Jawa Tengah, kemudian disambung dengan naik bis dari

Jawa Tengah ke Bali; atau naik travel ke Bandara Sukarno Hatta kemudian

dilanjutkan dengan penerbangan ke Bali,karena biayanya yang relatif lebih murah

dan cepat), atau memakai satu mobil pribadi yang ditumpangi beberapa orang.

Untuk upacara-upacara besar seperti Panca Wali Krama sudah menjadi kewajiban

bagi mereka untuk bisa hadir di sana. Tanpa ada upacara besar dan penting pun di

Pura Besakih, biasanya jika tidak ada halangan mereka bisa pergi ke Bali minimal

satu tahun sekali untuk mengikuti upacara-upacara dalam lingkungan keluarga

atau warga mereka baik yang ada di Bali maupun di Nusa Penida. Untuk

perhitungan pulang-pergi Lampung-Bali sangat sederhana: menjual satu ekor sapi

dewasa sudah cukup untuk biaya perjalanan satu keluarga; dengan rata-rata harga

satu ekor sapi dewasa yang gemuk kurang lebih sepuluh juta rupiah.

Page 88: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

184

Kemelut yang terjadi di tubuh PHDI pusat seputar hak-hak istimewa

golongan triwangsa dan jabawangsa, khususnya tentang persamaan status

kependetaan warga-warga dan pedanda (brahmana), sebenarnya dalam

level yang lebih kecil (Balinuraga) juga terjadi kemelut seperti itu,

terutama kependetaan antar warga. Sebagian warga ada yang tetap ingin

mempertahankan pendeta (sulinggih) warga-nya untuk memimpin

upacara-upacara penting (misalnya, ngaben), sedangkan warga yang lain

ingin menggunakan pendeta dari kalangan brahmana (pedanda) dari Bali.

Waktu dan tempat yang berbeda tentu menimbulkan tantangan dan

problematika identitas yang berbeda pada anggota masyarakat komunitas

ini. Anggota masyarakat ekonominya telah mapan, statusnya sosialnya di

dalam komunitasnya akan naik bila mampu menghadirkan pedanda dari

Bali dalam upacara penting, seperti ngaben. Sebaliknya, bagi sebagian

anggota komunitas baik yang ekonominya mapan atau belum mapan, lebih

menginginkan pendeta dari kalangan warga-nya sendiri – dalam beberapa

kasus mereka yang sudah mapan bisa mengundang pendeta dari warga-nya

sendiri dari Bali. Prosedur ini pun sebenarnya di dalam tubuh PHDI tidak

menjadi masalah, meskipun dalam kenyataannya peran pedanda masih

sangat signifikan dalam dominasi penyelenggaraan upacara-upacara

penting, khususnya sebelum memudarnya dominasi pedanda di jabatan

penting PHDI pasca Mahasabda 2001 di Bali207

.

Perjalanan Identitas Bali Nusa

Perjalanan identitas Bali Nusa merupakan sebuah proses bertahap

pembentukan identitas Bali Nusa yang dimulai sejak mereka

bertransmigrasi di tahun 1963 sampai satu dasawarsa terakhir di abad ke-

21. Hampir lima dasawarsa komunitas ini menetap di Lampung Selatan,

tepatnya empat puluh tujuh tahun terhitung dari 1963-2010. Secara fisik

Kampung Bali di Desa Balinuraga sudah mencapai tahap mapan dari segi

pembangunannya. Artinya, seandainya terjadi penambahan-penambahan

bangunan atau infrastuktur, pengaruhnya sudah tidak seberapa signifikan

merubah penampilan fisik perkampungan komunitas Bali Hindu ini –

umumnya hanya renovasi rumah dari semi permanen menjadi permanen,

207

Op.cit. Ramstedt 2004, Schulte Nordholt 2007.

Page 89: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

185

renovasi (perbaikan) pura-pura (seperti pura keluarga (rong telu), pura

desa, pura puseh, dan pura dalem), perbaikan dan penambahan aspal jalan,

dan lain-lain. Poin penting bagi komunitas ini, sebagai penanda

kemapanan komunitas mereka sebagai Bali Hindu adalah setelah bangunan

fisik yang menjadi simbol identitas mereka sebagai Bali Hindu lengkap –

tidak ada lagi kekurangan berdasarkan aturan adat dan kerpecayaan /

agama mereka, dengan kata lain, sudah sesuai dengan standar yang

ditetapkan), khususnya Pura Kahyangan Tiga. Untuk saat ini, yang mereka

lakukan hanya merenovasi – tidak hanya memperbaiki bangunan pura

yang rusak, tapi menjadikannya lebih bagus daripada sebelumnya. Namun,

kasus menarik yang terjadi belakangan ini adalah para kelompok warga

lebih memfokuskan renovasi (penambahan bangunan pura) untuk pura

kawitan di griya-griya milik warga-nya. Kasus ini menunjukkan bahwa

perjalanan identitas komunitas Bali Nusa (Bali Hindu dari Nusa Penida)

belum selesai, dan terus berdinamika dalam interaksinya dengan warga-

warga yang lain. Oleh karena itu, penampilan secara fisik komunitas ini

menunjukkan bahwa identitas mereka sebagai Bali Lampung sudah ajeg,

tapi kenyataannya, dalam kehidupan sosial anggota komunitas ini yang

terfragmentasi berdasarkan warga-warga menunjukkan bahwa

pertentangan identitas masih terjadi internal komunitas mereka – tidak

seajeg penampilan fisiknya melalui bangunan pura yang indah dan artistik,

ritual harian yang menunjukkan identitas kebalian yang kental, iring-

iringan massa yang hendak melaksanakan upacara, dan lain-lain, yang

seolah-olah di mata orang luar menunjukkan komunitas ini sebagai

komunitas yang stagnan, adinamis, kaku, atau kolot. Memang dari

berbagai fenomena hubungan antar warga dalam manifestasinya yang

beragam – saling klaim identitas leluhur, persaingan pembangunan pura

kawitan, persaingan upacara / ritual warga mana yang paling besar, dan

lain-lain – secara jelas menunjukkan bahwa komunitas ini terpecah-pecah

berdasarkan identitas leluhur, dan menampikkan kesolidan internal di

dalam komunitas ini. Namun, uniknya dalam kasus yang lain, misalnya

jika ada bagian dari anggota komunitas mereka, atau pun anggota

komunitas lain (dari Kampung Bali tetangga), mengalami masalah

(pertengkaran / keributan) dengan anggota komunitas lain non-Bali,

meskipun berasal dari warga yang berbeda, maka mereka secara spontan

Page 90: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

186

akan saling membantu. Rasa solidaritas itu masih kuat dan solid secara

massa jika salah satu anggota dari komunitas mereka bermasalah dengan

anggota komunitas lain non-Bali, meskipun yang patut dicermati adalah

bahwa anggota yang bermasalah itu berasal dari warga yang berbeda.

Fenomena ini terjadi karena di dalam benak mereka (komunitas Bali

Hindu) jika ada salah satu anggota komunitas mereka mengalami masalah

dengan komunitas lain (misalnya dalam kasus umum: mengalami

kekerasan fisik dari anggota komunitas lain non-Bali, seperti penodongan

atau begal), maka kejadian ini dianggap (oleh sebagian anggota komunitas

Bali Hindu) sebagai ancaman eksternal yang nantinya akan mengancam

eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu. Fenomena ini akhirnya

melahirkan stigma-stigma terhadap etnis Bali dari etnis-etnis lain non-Bali,

misalnya: “jangan ganggu orang Bali”, “hati-hati dengan orang Bali”,

“kalau ribut dengan orang Bali urusannya bisa jadi besar”, “magic orang

Bali hebat”, “jangan pacaran sama orang Bali”, dan lain-lain. Di sisi yang

lain, berbanding terbalik dengan stigma negatif di atas, terkait dengan

kehidupan keseharian termasuk tradisi adat dan keagamaan, etnis Bali

Hindu mendapatkan pengakuan akan eksistensi identitasnya, baik sebagai

orang Bali maupun sebagai orang Bali Hindu, misalnya: “kalo sudah

urusan adat dan agama, orang Bali nomor satu”, “Orang Bali itu paling

kuat adat sama (dan) agamanya”, “Orang Bali sangat royal dengan urusan

adat dan agama”, “Orang Bali kompak, apalagi kalo urusan adat sama

agama”, dan lain-lain.

Terlepas dari kontrakdiksi-kontradiksi yang dipaparkan di atas,

patut diketahui bahwa dinamika hubungan antara anggota warga, ataupun

hubungan sesama masyarakat (lintas warga) di dalam komunitasnya, yang

penuh dengan pasang-surut merupakan sesuatu yang dinilai sesuatu biasa

saja atau normal. Mereka menganalogikannya seperti musik dan tarian

Bali. Ritme musik yang cepat dan naik-turun, dan gerakan tari yang cepat

dan lincah, itu yang terjadi di dalam kehidupan sosial komunitas mereka.

Pesan ini menunjukkan bahwa melalui produk-produk kebudayaannya

(melalui seni tari dan musik), maka tercermin bagaimana mereka sebagai

orang Bali. Mereka bukan masyarakat yang kehidupannya monoton, tapi

sebaliknya, masyarakat yang dinamis, sama seperti musik dan tariannya.

Page 91: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

187

Uraian singkat pada dua paragraf di atas merupakan pengantar

untuk menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa setelah mereka berada

di Lampung, dan sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang

heterogen: bahwa dalam setiap tahapan dari perjalanan identitasnya, selalu

dipenuhi dengan dinamika – tidak monoton, tidak statis, dan tidak apolitis

seperti yang diidealkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia the last

paradise berdasarkan pencitraan identitas terhadap etnis Bali di masa

kolonial dan pasca kolonial. Dalam pembahasan sub-bab ini, untuk

menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa, penulis memilahnya menjadi

beberapa masa atau tahapan berdasarkan rezim yang berkuasa di Indonesia

pada masa itu (untuk mempermudah pengkategorian waktu/pentahapan)

sejak mereka bertransmigrasi tahun 1963, yaitu: (1) Orde Lama (1963-

1966): dari masa pemerintahan Sukarno 1950-1966, mereka masih

merasakan rezim ini selama tiga tahun (1963-1966) di Lampung; (2) Orde

Baru (1967-1998); dan (3) Orde Reformasi (pasca jatuhnya Suharto, 1998

– sekarang). Berdasarkan masa-masa (rezim) ini maka pentahapan yang

akan diuraikan lebih lanjut adalah: (1) Masa kevakuman dan pencarian

bentuk identitas (tiga tahun di masa masa Orde Lama, peralihan kekuasan

Orde Lama ke Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965,

1966-1967, masa-masa awal Orde Baru sebelum PHDI berafiliasi dengan

Suharto tahun 1968); (2) Masa kemapanan identitas semu di masa Orde

Baru (1967-1998) tepatnya pasca 1968; (3) Masa Politik Identitas, pasca

jatuhnya Suharto, ketika identitas digunakan dalam tataran politik praktis

di dalam komunitas dan di luar komunitas. Dalam pembahasan sub-bab ini

(perjalanan identitas Bali Nusa) akan disertakan di dalam pembahasan

proses pembentukan identitas itu sendiri, dan dinamikanya.

Masa Kevakuman dan Pencarian Bentuk Identitas

Masa kevakuman dan pencarian bentuk identitas pada komunitas

transmigran Bali Nusa terjadi dalam tiga periode yang sangat singkat

namun kritis bagi eksistensi identitas mereka: (1) Tiga tahun terakhir masa

Sukarno (1963-1966), efektifnya sebelum terjadi Gerakan 30 September

1965, yaitu 1963-1965; (2) Masa resesi / peralihan kekuasan Orde Lama ke

Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965: penghujung tahun

1965 (Desember 1965) ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali

Page 92: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

188

sampai tahun 1967 ketika Suharto berhasil mendirikan rezim Orde Baru;

(3) Masa Orde Baru, tepatnya pasca 1968 saat PHDI berafiliasi dengan

Suharto.

Periode penting dalam masa kevakuman identitas terjadi pada

tahun 1963 sampai sebelum terjadinya Gerakan 30 September 1965. Di

masa kevakuman identitas ini, proses pencarian identitas belum sempat

dilakukan dikarenakan ada beberapa hal mendasar yang barus mereka

lakukan. Peristiwa dan kejadian penting yang terjadi pada waktu itu, yang

menyebabkan terjadinya kevakuman identitas adalah:

Pertama, tingkat kesulitan hidup yang tinggi saat pertama kali tiba

di Lampung pada pertengahan tahun 1963 (pasca meletusnya Gunung

Agung yang kedua 16 Mei 1963). Mereka mengalami kesulitan hidup yang

tinggi karena beberapa hal yang tidak bisa dihindari: (1) Persediaan uang

(tunai) sudah menipis – sebagian besar kemungkinan sudah habis – karena

perjalanan dari Nusa Penida ke Lampung membutuhkan waktu bermingu-

minggu. Uang yang mereka bawa dari Nusa Penida, dalam jumlah yang

tidak terlalu besar jumlahnya, habis selama perjalanan, baik karena harus

memenuhi kebutuhan makan-minum atau pun diperas oleh oknum-oknum

aparat waktu itu; (2) Tingkat inflasi yang tinggi di level nasional.

Tingginya tingkat inflasi di masa itu menyebabkan nilai riil dari uang yang

mereka miliki menjadi turun. Kenyataan yang lebih buruk adalah

persediaan uang itu sebagian besar sudah habis ketika sampai di Lampung;

(3) Status ketransmigrasian mereka adalah swakarsa. Konsekuensinya

mereka tidak mendapatkan sponsor atau bantuan dana dari pemerintah,

semua biaya perjalanan dan biaya hidup di masa-masa awal ditanggung

sendiri, meskipun pada tahun 1963 mayoritas orang Bali yang

bertransmigran disebabkan karena letusan Gunung Agung dan ada

kelompok transmigran lain yang mendapatkan sponsor dari pemerintah

(yang disebut oleh mereka: Bali KoOGA); (4) Pembukaan hutan untuk

lahan pertanian. Lokasi transmigrasi yang disediakan pemerintah bagi

transmigran masih berupa hutan, bukan lahan yang sudah siap tanam.

Akibatnya mereka harus menghabiskan sisa waktu di tahun 1963 untuk

membuka hutan sampai benar-benar siap ditanami padi – dari hutan

menjadi persawahan; (5) Serangan wabah penyakit yang menimpa para

Page 93: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

189

transmigran dan anggota keluarganya. Sakit penyakit yang menyerang

mereka merupakan hal yang sangat manusiawi. Mental mereka secara

psikologis sudah menurun setelah tiba di Lampung akibat perjalanan

panjang dari Nusa Penida ke Lampung. Dalam kondisi mental yang

menurun, mereka belum memiliki tempat tinggal yang permanen (layak

huni), masih harus membuka hutan, persediaan uang tunai sudah (hampir)

habis dan harga sembako waktu itu sangat mahal, serangan nyamuk

malaria dan gangguan hewan liar khas Sumatera (khususnya gajah dan

harimau sumatera), pola makan yang tidak teratur (dengan mutu makanan

yang tidak sehat dan bergizi) dan jenis makanan yang berbeda dengan

yang ada di Nusa Penida, serta proses adaptasi tubuh tiap individu dari

transmigran dengan iklim yang ada di Lampung yang berbeda dengan di

Nusa Penida. Dalam kondisi tersebut sangat manusiawi sekali jika para

transmigran dan anggota keluarganya menderita sakit penyakit di masa

awal kedatangan mereka, di mana mengakibatkan sebagian dari mereka

meningggal dunia dan depresi

Kedua, kebutuhan untuk bertahan hidup tahun-tahun pertama

(sekitar dua tahun) dalam situasi politik nasional yang tidak menentu di

penghujung rezim Sukarno. Kebutuhan untuk bertahan hidup merupakan

konsekuensi atas tingginya tingkat kesulitan hidup sejak tiba di Lampung.

Persoalan “perut” masih belum bisa diatasi dikarenakan lahan pertanian

yang telah dibuka belum bisa menghasilkan secara optimal. Salah satu

solusinya, sebagian dari mereka harus bekerja sebagai buruh tani di

ladang-ladang milik penduduk lokal. Stigma-stigma negatif masih mereka

terima sebagai “orang jang belum beragama”, meskipun kepercayaan

mereka waktu itu sudah diakui eksistensinya oleh pemerintah. Tentu

menjadi aneh bagi masyarakat sekitar yang mayoritas Islam (baik yang

fundamental maupun abangan), melihat ritual-ritual yang dilakukan oleh

transmigran Bali berdasarkan kepercayaannya, yang waktu itu dilakukan

masih sangat sederhana sekali, serta mengkonsumsi daging babi hutan

(celeng) yang selama ini jadi musuh petani, yang dagingnya dianggap

haram menurut orang-orang Muslim. Bagi masyarakat Muslim (non-Bali)

pandangan yang selama ini mereka ketahui secara umum tentang orang

Bali dan adat istiadatnya adalah bahwa mereka memiliki banyak dewa-

Page 94: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

190

dewa yang disembah. Artinya, bila mereka mengacu pada kepercayaan

mereka (sebagai muslim), kepercayaan orang Bali itu termasuk politheis

(menyembah banyak tuhan / dewa), bukan monoteis seperti yang selama

ini mereka lakukan (dalam ritual keagamaan) dan percayai dalam

manifestasi Tuhan yang Esa (monotheis). Oleh karena itu, bukan tidak

mungkin sebutan „kafir‟ dan „primitif‟ dialamatkan kepada mereka karena

kepercayaan mereka yang politheis dan mengkonsumsi daging babi208

.

Situasi politik waktu itu, khususnya di Sumatera masih terpengaruh oleh

aliran politik Islam – tidak terlepas dari pengaruh pemberontakan Darul

Islam di tahun 1950-an dan partai-partai politik Islam yang berkembang

waktu itu – menjadikan sedikit banyak berpengaruh atas kelompok

pendatang (transmigran) non-Islam, dalam kasus ini transmigran Bali.

Kondisi pertama dan kedua di atas menyebabkan terjadinya

kevakuman identitas pada transmigran Bali Nusa. Penyebabnya sangat

sederhana dan manusiawi, yaitu bagaimana mungkin mereka berpikir

tentang eksistensi identitasnya di mana mereka sendiri sebagai komunitas

pendatang yang minoritas (etnis dan kepercayaan) hidupnya secara

ekonomi masih belum menentu. Proses adaptasi terkait kebertahanan hidup

208

Kata “kafir” dan “primitif” pada waktu itu masih belum dikenal oleh

transmigran Bali Nusa. Transmigran Bali Nusa pada waktu itu masih belum

menguasai Bahasa Indonesia. Mereka masih menggunakan Bahasa Bali Nusa yang

pada dasarnya memiliki perbedaan dengan Bahasa Bali. Oleh karena itu,

seandainya mereka mendengar kata “kafir” dan “primitif” pun mereka tidak akan

bereaksi, selain perbedaan bahasa, masyarakat sekitar juga masih menggunakan

bahasa daerahnya masing-masing. Kata “primitif” dialamat karena transmigran

Bali Nusa ini hidupnya masih sangat tradisonal sekali. Bagaimana tidak, mereka

berasal dari Pulau Nusa Penida, sebelah timur Bali, yang akses ke Bali pun sangat

sulit pada waktu itu (termasuk di masa sekarang saat cuaca tidak mendukung). Di

samping itu, beberapa wanita (yang sudah lanjut usia) masih memiliki kebiasaan

tidak menggunakan bra untuk menutup payudaranya, sama seperti Bali tempo

dulu yang masih dijumpai di era kolonial tahun 1930-an di pulau induk, Bali. Saat

ini, ketika perekonomian mereka sudah mapan, justru kata „primitf‟ ini yang

dialamatkan pada penduduk lokal – yang dulu pernah menyebutkan kata ini

kepada mereka – dikarenakan penduduk lokal masih tetap mempertahankan

kelokalan mereka yang kolot, yang tanpa disadarinya mereka telah tertinggal jauh

oleh modernisasi yang dilakukan para pendatang (Bali) dan pemukimannya

semakin terdesak karena tanahnya telah dijual kepada pendatang (Bali dan Jawa).

Page 95: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

191

masih mereka lakukan, termasuk ritual-ritual dan upacara-upacara

kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dengan kata lain, sangat sulit

berpikir atau pun bertindak untuk mengaktualisasikan eksistensi identitas

mereka saat kondisi “perut lapar”.

Masa kevakuman, yang kemudian diikuti pencarian bentuk

identitas mencapai titik kritis pasca Gerakan 30 September 1965,

khususnya ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali di bulan

Desember 1965. Efeknya baru mulai terasa bagi transmigran Bali Nusa

setelah memasuki awal tahun 1966. Meskipun masyarakat Lampung

sebagain besar tidak mengetahui bahwa terjadi pembantaian massal di Bali

karena tidak dimuat di media massa secara jelas (cenderung ditutup-

tutupi), namun ini tidak terjadi di kalangan militer, khususnya yang ada di

Lampung. Dalam kasus ini, militer pasti mengindikasikan bahwa ada

keterkaitan antara orang-orang berhaluan kiri di Bali dan orang-orang Bali

yang bertransmigrasi ke Lampung. Beberapa sumber menyebutkan bahwa

militer pada saat itu turut mengamati perkembangan yang terjadi pada

transmigran Bali di Lampung. Masa ini menjadi penting bagi transmigran

Bali mengapa mereka mulai melakukan pencarian bentuk identitas bagi

komunitasnya. Hal yang lebih ditakutkan oleh mereka adalah aksi brutal

atau penghakiman massa (mayoritas), khususnya golongan Islam, yang

tidak senang dengan keberadaan orang-orang berhaluan kiri. Penghakiman

oleh massa bisa dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang

dituduh sebagai komunis, meskipun pada kenyataan tidak, atau hanya

sebagai simpatisan. Pencitraan kata “komunis” di masa itu yang paling

melekat adalah “orang yang tidak punya agama” dan “tidak percaya

Tuhan”. Meskipun kepercayaan etnis Bali sebagai Hindu sudah diakui oleh

pemerintah sebagai agama resmi negara dengan dukungan Presiden

Sukarno tepat pada tanggal 1 Januari 1959, namun stigma-stigma yang

menyebutkan transmigran sebagai “orang jang belum beragama” masih

melekat di dalam masyarakat, khususnya yang berhaluan fundamentalis –

karena pada masa sebelum dan sesudah 1959 golongan ini (termasuk dari

golongan Kristen) yang masih mempertanyakan keabsahan Hindu Bali

sebagai sebuah agama menurut konsep agama kedua golongan ini. Di masa

kritis seperti ini, pasca Gerakan 30 September 1965, para transmigran

Page 96: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

192

harus mencari bentuk identitas keagamaan mereka sebagai orang yang

beragama berdasarkan agama versi pemerintah dan opini yang berkembang

di masyarakat pada masa itu, dalam arti mereka harus mempertegas dan

bisa membuktikan bahwa mereka orang yang beragama, yaitu Hindu

Dharma. Jika mereka tidak bisa mempertegas dan membuktikan identitas

keagamaannya bahwa mereka adalah orang yang beragama, maka

keselamatan mereka dipastikan akan terancam (dan kehilangan nyawa).

Pada masa ini pula, para transmigran yang sedang mengalami kevakuman

dan sedang dalam pencarian bentuk identitas keagamaan mereka, menjadi

target Islamisasi dan Kristenisasi – walaubagaimana pun kedua golongan

ini masih beranggapan bahwa para transmigran belum memiliki identitas

agama yang jelas seperti konsep agama versi kedua golongan ini. Dalam

situasi darurat identitas seperti ini, tentu PHDI sebagai organisasi formal

keagamaan Hindu Bali menjadi penyelamat bagi para transmigran untuk

melegalkan identitas keagamaan mereka, karena persoalan keabsahan

identitas agama ini merupakan persoalan antara hidup atau mati. PHDI

sendiri pun harus cepat dan tanggap merespon situasi ini, karena jika tidak

para transmigran ini akan berpindah-haluan ke agama lain yang

menawarkan garansi identitas agama yang lebih legal. Catatan penting di

masa ini bagi identitas transmigran Bali Nusa adalah bahwa mereka

merelakan identitasnya dikonstruksikan ulang demi alasan keselamatan

hidupnya. Menjadi aneh dan cenderung pragmatis, karena sebenarnya

mereka sudah menjadi Hindu, tapi bagi mereka, merupakan hal yang

sangat konyol jika harus mati di Lampung saat belum menikmati hasil

kerja kerasnya, dan mati hanya karena “beragama” atau “tidak beragama”

(dicap komunis). Catatan berikutnya, periode pasca Gerakan 30 September

1965 sampai pertengahan tahun 1966 hampir dipastikan tidak ada orang

Bali Nusa yang bertransmigrasi ke Lampung. Militer pasti akan bersiaga

penuh mengantisipasi orang-orang Bali yang dicap komunis melarikan diri

– berhasil lolos dari pembantaian massal – ke Lampung mengunjungi

sanak saudaranya yang bertransmigrasi. Mengapa demikian? Karena di

Bali Utara, di wilayah Jembrana, merupakan salah satu basis orang-orang

Bali berhaluan kiri, di mana di daerah Jembrana pada masa kolonial

menjadi daerah transmigrasi lokal orang-orang Bali dari Nusa Penida dan

orang Bali di Bali Selatan yang pemukimannya sudah padat (khususnya,

Page 97: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

193

orang Bali yang sudah menjadi Nasrani, sebagai upaya mencegah kegiatan

misionaris lebih luas di Bali bagian Selatan, yang tidak diizinkan oleh

pemerintah kolonial melalui kebijakan Balinisasinya).

Masa Kemapanan Identitas Semu: Internal Conversion

(Identitas Warga Dan Agama)

Setelah “Pemberontakan PKI” – versi Suharto atas Gerakan 30

September 1965 – berhasil dipadamkan, kemudian Suharto berhasil

mengambil-alih kekuasaan dari Sukarno dan membentuk rezim Orde Baru

di tahun 1967, kondisi keamanan secara sosial politik mulai dirasakan oleh

transmigran Bali Nusa. Artinya, mereka sudah melewati sebuah masa di

mana “cap PKI” itu sama dengan maut (kematian). Keamanan penuh atas

legalitas agamanya baru mereka rasakan di tahun 1968, setelah PHDI,

yang menjadi penyelamat bagi mereka dari tiket kematian dengan cap PKI,

secara resmi bergabung dengan rezim Suharto yang didukung oleh militer

yang kuat, serta berafiliasi secara organisasi dengan Golkar. Pada masa ini

PHDI sudah menjadi bagian dari pemerintah, dan menjadi organisasi semi-

pemerintah – organisasinya secara kelembagaan menyerupai Golkar dan

Sekjen-nya berasal dari ABRI.

Pasca 1968 sampai tahun 1970-an, identitas agama Hindu Dharma

yang dikonstruksikan oleh PHDI belum dikatakan selesai. Artinya, proses

pengkonstruksian itu masih terus dilakukan sampai mereka benar-benar

menjadi Hindu Dharma. Bagi Suharto ini menjadi penting, karena untuk

memastikan bahwa orang-orang Bali, termasuk di luar Bali, sudah bersih

dari ideologi kiri dan Sukarnois. Oleh karena itu, doktrin-doktrin agama

terus ditanamkan pada transmigran, termasuk dilanjutkan ke anak-cucu-

cicit, agar identitas Hindu mereka menjadi mapan, dan bebas dari “kiri”

dan “Sukarno”.

Namun, di saat pengkonstruksian identitas Hindu Dharma itu

masih sedang dalam proses rekonstruksi kembali, di tahun 1970-an

sejumlah elit-elit dari Bali datang ke komunitas transmigran Bali (Bali dan

Bali Nusa) untuk merekonstruksi ulang identitas warga-warga-nya. Elit-

elit ini menganggap bahwa (ada kemungkinan) para transmigran Bali ini,

khususnya Bali Nusa, belum / tidak memiliki identitas warga yang jelas.

Page 98: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

194

Oleh karena itu, proses pendataan warga-warga dilakukan oleh elit-elit ini.

Di saat yang sama, kehidupan ekonomi transmigran sudah mengalami

kemajuan, lahan pertanian yang mereka kelola sudah menghasilkan panen

yang baik. Karenanya, motif ekonomi dan politik menjadi tidak dapat

dipisahkan dari kedatangan elit-elit dari Bali ini. Sama seperti PHDI, elit-

elit ini dianggap sebagai penyelamat terhadap identitas warga mereka yang

selama berada di Nusa Penida masih kabur (belum jelas)209

. Dalam

perekonstruksian ulang identitas warga oleh elit-elit dari Bali, turut

dimasukkan klaim-klaim yang menempatkan warga-nya berada di atas dari

warga lain. Akibatnya, transmigran Bali Nusa menjadi mulai terpecah

berdasarkan kelompok warga-nya masing-masing, entah karena memang

mereka mengetahui bahwa berasal dari warga itu, atau memang mengikuti

arus saja – berpikir pragmatis – bahwa mereka harus punya identitas

warga yang jelas. Pengkotak-kotakan ini – sebagai konsekuensi dari apa

yang dilakukan oleh elit-elit dari Bali – semakin nyata setelah Sri Mpu

Suci yang selama ini menjadi patron yang menyatukan identitas mereka

sebagai transmigran Bali Nusa wafat. Dengan wafatnya Sri Mpu Suci,

komunitas transmigran Bali ini mulai meyakini bahwa patron atau pusat

yang menjadi naungan keabsahan identitas warga dan agama mereka

adalah Bali, termasuk PHDI itu sendiri.

Menempatkan Bali sebagai pusat yang dapat mengabsahkan

identitas warga dan agama Hindu Dharma, tidak dapat dilepaskan dari

keterikatan yang kuat dalam diri etnis Bali – dalam kasus ini termasuk Bali

Nusa karena ketika masih di Nusa Penida pun Bali tetap menjadi pusat –

terhadap identitas tanah leluhurnya. Identitas yang dimaksud adalah

identitas secara adat – warga – dan identitas agama – Hindu Bali atau

identitas resminya Hindu Dharma. Permasalahannya adalah mereka

memiliki dua pusat: elit warga – dalam arti yang lebih luas adalah

organisasi formal warga-warga – dan PHDI. Meskipun organisasi formal

warga-warga ini bernaung di bawah payung PHDI karena mendapatkan

otoritas dari Suharto, namun dalam kenyataannya PHDI seperti tidak mau

terlalu ikut campur tentang urusan adat atau warga-warga. Situasi ini

209

Lihat: David Stuart-Fox (2002), Pura Besakih: Temple, religion and society in

Bali, Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Page 99: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

195

tentunya tidak dapat ditampikkan, karena pada masa itu di tubuh PHDI

sendiri mulai (sudah) terjadi pertentangan antara golongan jaba (outsider,

commoners, warga, non-puri) dengan golongan bangsawan (triwangsa,

khususnya kaum brahmana). Oleh karena itu, penulis menyebutkan di

masa ini sebagai masa “kemapanan identitas” yang semu cum ambigu.

Dikatakan demikian, karena mereka harus apa yang disebut Geertz (1964)

sebagai internal conversion sebanyak dua kali, tapi bukan pada satu

identitas yang sama, melainkan dua identitas yang berbeda (yang pada

dasarnya sebenarnya sama dan seperti menjadi kesatuan antara identitas

adat dan agama), yaitu identitas agama dan identitas warga. Alasan kedua,

karena kemapanan identitas itu sebagai hasil konstruksi identitas

berdasarkan kekuasaan pada waktu itu di dua rezim pasca kolonial:

Sukarno dan Suharto, di mana konstruksi identitas agama dilakukan

berdasarkan konsep kepercayaan Yudea-Kristen-Islam – pada akhirnya

melahirkan Hindu yang modern seperti dalam konsep Weber. Ironisnya,

bila ditarik kebelakang, konstruksi identitas terhadap etnis Bali oleh

pemerintah pasca kolonial merupakan warisan dari pemerintah kolonial

yang sebelumnya telah mengkonstruksikan identitas Bali berdasarkan versi

pemerintah kolonial dan pakar orientalis Eropa bekerja sama dengan

golongan triwangsa dengan dalih menjaga identitas kultural Bali dari

serangan luar (khususnya pengaruh Islam dan Nasrani). Dan bila ditarik

belakang lagi, di masa kerajaan pasca berkuasanya Majapahit atas Bali,

konstruksi identitas wangsa yang melahirkan sistem kasta ala Bali

(tepatnya ala Majapahit) telah dilakukan oleh bangsawan-bangsawan

Majapahit yang berasal dari Jawa Timur, di mana salah satunya menjaga

eksistensi identitas Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Budha

yang masih eksis pasca takluk oleh Kerajaan Islam Demak. Alasan ketiga,

dengan adanya dua identitas yang berbeda dengan pusat yang sama tapi

berbeda patron, menyebabkan identitas yang seolah-olah mapan ini

melahirkan sebuah konflik (pertentangan) lama, yang sebenarnya sudah

terjadi di Bali, yaitu pertentangan antar warga, modernisme Hindu versus

tradisionalisme Hindu Bali (kesatuan adat dan agama). Dengan kata lain,

terjadi pola konflik atau pertentangan identitas yang hampir sama dengan

yang terjadi di Bali, tapi dalam bentuk atau manifestasi yang berbeda,

karena waktu dan tempatnya berbeda antara Bali dan Lampung. Alasan

Page 100: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

196

keempat, kemapanan identitas itu semu karena kemapanannya didapatkan

atas perlindungan dari sebuah rezim, Suharto, khususnya identitas orang

Bali sebagai Hindu Dharma. Dalam kasus ini, unsur politik dan kekuasaan

suatu rezim lebih dominan, untuk menjamin keberlangsungan

kekuasaannya dari lawan politik yang menggunakan simbol-simbol

identitas SARA.

Periode Suharto adalah masa yang paling nyaman bagi komunitas

Bali Nusa di Balinuraga (era 1970-an sampai sebelum dimulainya krisis

ekonomi 1996/1997), meskipun di aras pusat, sejak berdirinya ICMI di

awal tahun 1990-an merupakan akhir “bulan madu” antara PHDI dengan

Suharto. Perekonomian mereka semakin mapan, salah satunya ditunjukkan

dengan membeli tanah baru di luar Lampung Selatan, khususnya di daerah

perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung Timur – salah satu cara

meningkatkan pendapatan dengan memperluas areal pertanian. Hal ini

disebabkan lahan pertanian di Balinuraga dan Lampung Selatan pada

umumnya, sudah mulai habis dan mahal menurut ukuran harga tanah

pertanian di Lampung Selatan (terutama setelah tahun 1990-an),

sedangkan harga tanah di perbatasan propinsi relatif lebih murah dan

masih luas. Dalam periode ini pula identitas kebalian mereka, khususnya

identitas agama, relatif lebih aman. Syaratnya adalah mereka harus

memilih Golkar saat pemilu diselenggarakan, meskipun bagi mereka sosok

Sukarno masih menjadi idola – sama seperti orang Bali kebanyakan –

dengan alasan karena ibu Sukarno adalah orang Bali. Kondisi demokrasi

seperti ini menyebabkan komunitas ini menjadi malas dengan urusan

politik, dan menjadi lebih pragmatis: tetap tingkatkan kesejahteraan

ekonomi di sektor pertanian. Namun, bukan berarti pertentangan identitas

warga sudah selesai, justru sebaliknya, pertentangan identitas warga itu

terus berlangsung, tapi dalam manifestasi yang berbeda dan cenderung

pragmatis-materialistik, yaitu dengan berlomba-lomba merenovasi pura

keluarga dan pura kawitan warga agar menjadi lebih baik dari yang warga

lain; dan yang menghasilkan prestise lebih tinggi adalah dengan

menyelenggarakan upacara ngaben secara besar-besaran, jika perlu

mengundang pedanda (brahmana) dari Bali. Bentuk lainnya adalah dengan

menjadikan pulang kampung sebagai agenda rutin tahunan untuk

Page 101: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

197

melaksanakan kewajiban adatnya, terutama berhubungan dengan identitas

warga-nya di tanah leluhur. Semakin sering agenda pulang kampung

dilaksanakan, maka semakin tinggi prestise mereka sebagai warga tertentu.

Prestise tersebut akan semakin tinggi jika mereka bisa pergi ke tempat-

tempat suci agama Hindu yang ada di India. Ada di antara mereka yang

beranggapan bahwa ke India sama seperti “Orang Islam naik Haji” atau

“Naik Hajinya orang Bali” – merupakan dampak dari modernisasi Hindu

yang berkiblat ke India.

Rentang waktu 1970-an sampai sebelum krisis ekonomi

1996/1997 merupakan waktu yang ideal bagi proses pemapanan identitas

yang dilakukan oleh komunitas Bali Nusa. Hal ini disebabkan karena,

pertama, perekonomian mereka semakin membaik. Hasil panen dan harga

jual panen relatif lebih stabil. Meskipun gagal panen pernah dialami di

masa-masa ini, tapi secara umum tidak mengganggu perekonomian

mereka. Kebijakan pemerintah pusat yang berambisi berswasembada

beras, berdampak positif terhadap komunitas ini, karena daerah Lampung

Selatan bersama-sama daerah transmigran lainnya di Lampung dijadikan

sebagai salah satu lumbung beras di level propinsi. Mereka menyebutkan

masa Suharto adalah masa yang paling nyaman dalam hidup mereka

sebagai transmigran: situasi politik, ekonomi, dan keamanan menjadi lebih

stabil. Ini menyebabkan mereka menjadi lebih tenang dan nyaman ketika

bekerja, di samping menjadikan mereka apolitis, dan harga-harga barang

(khususnya sembako) sangat terjangkau. Mereka menyebutkan: “Zaman

Suharto cari uang paling gampang. Apa-apa murah. Jadinya kalo mau ke

Bali kapan aja gak begitu masalah”. Kedua, perlakukan istimewa

pemerintah pusat terhadap Bali sebagai daerah wisata dan lumbung devisa

negara, ternyata memberikan efek terhadap pemerintah daerah bagaimana

memperlakukan komunitas Bali transmigran ini seperti pemerintah pusat

memperlakukan Bali sebagai daerah wisata, sebuah komunitas yang harus

dijaga identitas budayanya agar tetap lestari. Caranya: (1) menjadikan

kebudayaan Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat

Lampung; (2) memfasilitasi komunitas Bali untuk mempertunjukkan

kebudayaan mereka kepada masyarakat Lampung lebih luas. Misalnya,

kasus yang paling sering terjadi di kabupaten Lampung Selatan adalah

Page 102: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

198

dengan mengundang komunitas Bali untuk mementaskan keseniannya

dalam acara-acara formalnya di level kecamatan dan kabupaten.

Pementasan biasanya dilakukan bersama-sama dengan pementasan seni-

budaya dari masyarakat Lampung asli. Ketika keadaan ekonomi relatif

stabil “cari uang gampang” dan kebudayaan Bali mendapatkan tempat di

pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kecamatan, maka terbuka

kesempatan bagi mereka untuk melakukan “peniruan identitas” melalui

produk-produk kesenian asli Bali dan simbol-simbolnya. Tujuannya adalah

agar komunitas ini menjadi semakin mendekati kebalian meskipun sudah

berada di luar Bali. Proses peniruan identitas terhadap tempat asal identitas

ini berasal tentu akan sulit tercapai jika tidak didukung oleh kondisi

perekonomian yang baik dan dukungan dari kekuasaan (pemerintah daerah

sebagai kaki tangan pemerintah pusat). Agar semakin menjadi Bali, maka

mereka harus secara rutin pulang kampung, selain untuk menunaikan

kewajiban adat dan agama, kesempatan ini digunakan untuk “mengimpor”

kebudayaan Bali – tentunya , kegiatan pulang kampung secara rutin tidak

dapat dilakukan jika kondisi perekonomiannya tidak baik. Dengan kata

lain, mereka ingin benar-benar menjadi Bali, sama seperti Bali pada

umumnya yang ada di Bali. Ada banyak yang diimpor oleh komunitas ini

agar sama seperti Bali. Antara lain sebagai contoh, udeng, kain Bali yang

dikenakan saat upacara, dupa, lukisan, patung, arit Bali, kalender, sapi

Bali, dan lain-lain. Tidak hanya benda-benda ini saja yang diimpor oleh

mereka, tapi juga tata cara ketika melakukan upacara atau ritual tertentu.

Oleh karena itu, ketika melihat komunitas ini melakukan kesehariannya,

termasuk dalam upacara-upacara tertentu, komunitas ini tampak mirip

seperti yang ada di Bali. Letak perbedaannya yang paling signifikan hanya

pada tempat dan waktu. Meskipun dalam perkembangan waktu, ada

beberapa di antara mereka yang melihat pengimporan atribut-atribut Bali

ini sebagai peluang bisnis, dengan menjadi pedagang, namun tetap saja

membeli sendiri ketika pulang kampung ke Bali menjadikan nilainya lebih

berharga daripada membelinya di Lampung (meskipun barang-barang

tersebut juga berasal dari Bali). Fenomena peniruan identitas ini tetap

berlangsung sampai sekarang. Ini menunjukkan bahwa proses pemapanan

identitas tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pusat (Bali) sebagai acuan

identitas mereka sebagai Bali Hindu. Lalu, kemapanan identitas ini dapat

Page 103: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

199

dikatakan semu karena identitas Bali Hindu itu dinamis, yang ditunjukkan

dalam kedinamisan masyarakatnya, sama seperti komunitas Bali Nusa di

Lampung Selatan. Artinya, identitas yang ditiru terus mengalami

perubahan, sama seperti masyarakat Bali yang di Bali terus mengalami

perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan zaman – baik itu

pengaruh dari globalisasi maupun pengaruh politik-ekonomi-sosial di aras

nasional. Selain itu dalam proses peniruan, tidak ada jaminan seratus

persen sama persis seperti Bali, di mana di Bali sendiri pun mempunyai

banyak variasi-variasi yang membedakan antara desa adat satu dengan

yang lain, kecuali hal-hal lain yang sudah distandarisasikan oleh otoritas

tertentu, seperti PHDI. Dalam proses peniruan dipastikan ada sesuatu yang

hilang, karena ada proses penyesuaian secara kontekstual dengan waktu

dan tempat komunitas ini sekarang menetap. Kemudian, dalam proses

peniruan ini, umumnya dilakukan secara otoditak, karena sangat sulit bagi

mereka untuk mengundang seorang master (ahli lukis, ahli tari, ahli

pembuat pura, dan lain-lain) untuk mengajari mereka secara private.

Berikut ini adalah contoh kasus yang umum dilakukan oleh

pekerja seni di komunitas ini dalam proses peniruan dengan pusat: ketika

pulang ke Bali mereka membeli kaset-kaset rekaman musik dan tari Bali

(mulai dari bentuk atau format kaset sampai saat ini dalam format

vcd/dvd), lukisan, dan ukir-ukiran, yang kemudian setelah sampai di

Lampung mereka mempelajarinya secara otodidak dan memprakteknya,

dan memberikan improvisasi. Dalam improvisasi ini ada penambahan dan

juga ada pengurangan. Selain itu, ketika di Bali mereka gunakan

kesempatan untuk mengunjungi galeri-galeri, pentas seni, dan ritual-

upacara tertentu yang dapat memberikan ide dan inspirasi bagi mereka

setelah berada di Lampung. Bila tidak sempat ke Bali karena halangan

tertentu, maka mereka akan memesan kepada saudara atau tetangganya

yang ke Bali atau keluarga (dan teman) yang ada di Bali. Proses peniruan

ini terus berlangsung, dan selalu ter-update tiap tahunnya, karena sampai

saat ini dipastikan selalu ada masyarakat Balinuraga yang pulang ke Bali

tiap tahunnya.

Page 104: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

200

Gambar 11. Karya Ukiran Seniman Balinuraga

(ukiran berbahan adukan semen-pasir, yang diukir ketika masih basah).

(Sumber: Yulianto 2010)

Page 105: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

201

Gambar 12. Seka Gong (seka gong sedang mentas).

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 106: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

202

Gambar 13. Pentas Tari Bali di Acara Formal

(Penari berasal dari seka gong Balinuraga).

(Sumber: Yulianto, 2010)

Contoh kasus kedua, yang terus berlaku sampai sekarang dan lebih

diterapkan secara umum, adalah penggunaan salam om swastiastu dalam

pengucapan sambutan acara formal keagamaan yang diakhiri dengan om

shanti shanti shanti om, serta pengucapan doa pelafalan puja trisandya

(doa Hindu). Penggunaan salam om swastiastu semakin meluas pasca

reformasi, yaitu tidak hanya digunakan pada saat upacara formal, tapi juga

Page 107: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

203

ketika bertamu atau pun bertemu dengan sesama rekan / kerabat lama,

serta dalam pesan singkat (SMS).

Realitas menarik yang terjadi di masa ini adalah mereka

mendapatkan perhatian dari elit-elit dari Bali mengenai perkembangan

kebudayaan Bali-nya, seperti mengadakan studi banding. Ada hubungan

yang saling menguntukan dari kedua belah pihak ini: sama-sama ingin

melestarikan kebudayaan Bali. Kemudian, ada keistimewaan khusus dari

pemerintah daerah untuk komunitas untuk menyelenggarakan upacara

adat-agama yang bersifat massal. Hal menarik yang masih terus berlanjut

sampai sekarang, ada kesamaan dengan di Bali, ketika iring-iringan massa

pergi ke tempat upacara diselenggarakan, sejumlah massa menumpang

kendaraan bak terbuka dengan jumlah yang padat dan yang menaiki sepeda

motor tidak menggunakan helm, cukup menggunakan udeng210

. Artinya,

ketika mereka sudah berbusana lengkap Bali dan mengerahkan massa,

mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari pihak berwajib. Tentu, hal

ini tidak dapat ditolerir jika mereka tidak mengenakan busana adat Bali

atau tidak sedang mengadakan upacara penting bersifat massal.

Keistimewaan ini (sejak era Suharto sampai sekarang), dalam

mengekspresikan kebudayaannya secara massal, yang menyebabkan

masyarakat Lampung mengidentikan etnis Bali di Lampung sebagai

kelompok pendatang yang kompak. Kekompakkan secara massal yang

dipentaskan ini, kemudian menjadikan komunitas Bali di Lampung

disegani, dan memiliki posisi tawar kuat terhadap pemerintah agar terus

mendapatkan keistimewaan (perlakuan khusus) dari pemerintah setempat

ketika menyelenggarakan upacara adat-keagamaan.

Hal penting yang menyebabkan mengapa mereka tidak bisa

melepaskan diri dari pengaruh pusat sebagai acuan identitasnya yang

menyebabkan mereka melakukan peniruan adalah faktor psikologis. Secara

psikologis mereka takut kehilangan identitasnya, atau takut eksistensi

210

Dari sudut pandang kepraktisan, sangat sulit untuk menggunakan udeng sambil

memakai helm. Menjadi merepotkan jika sudah mengunakan busana lengkap

(busana adat Bali), tanpa mengenakan udeng saat berkendara sepeda motor,

melainkan mengenakan helm. Dikatakan mendapatkan perlakukan istimewa dalam

even-even tertentu, karena menjadi bukan sebuah pelanggaran hukum jika itu

dilakukan secara massal untuk penyelenggaraan upacara adat-keagamaan.

Page 108: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

204

identitasnya terancam, jika mereka tidak selalu mengikuti perkembangan

yang ada di Bali. Di satu sisi, mereka harus menyesuaikan identitasnya

dengan masyarakat Lampung, di sisi yang lain, mereka takut eksistensi

identitas Bali-nya tidak diakui karena tidak mengikuti perkembangan yang

ada di Bali. Selain itu, mereka membutuhkan pengakuan dari Bali bahwa

identitas mereka itu eksis, tidak banyak berbeda dengan yang ada di Bali.

Secara psikologis pengakuan itu penting sekali untuk meningkatkan

kepercayaan diri mereka sebagai Bali Hindu, yang tetap memiliki banyak

persamaan (dengan sedikit perbedaan) dengan di Bali.

Masa Politik Identitas

Pasca jatuhnya Suharto tahun 1998 dan lahirnya era Otonomi

Daerah tahun 1999 membawa satu perubahan yang cukup signifikan dalam

kehidupan sosial-politik-kebudayaan-agama bagi komunitas Bali Nusa di

Balinuraga yang masih terus berlangsung sampai sekarang, yaitu

menjadikan identitas kebaliannya sebagai sarana atau modal politik bagi

mereka untuk berpolitik praktis. Fenomena ini bersamaan dengan

menguatnya politik kedaerahan masyarakat lokal – etnis Lampung asli –

yang ingin mendapatkan posisi strategisnya di bidang pemerintahan dan

politik di wilayah Lampung, yaitu dengan mengusung isu sentral putra

daerah sebagai yang berhak mengatur wilayahnya211

. Penyebabnya adalah

putra daerah perannya selalu dimarginalkan di masa Orde Baru dengan

tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, di mana posisi ini

selalu ditempati oleh pendatang (etnis Jawa) yang berasal dari kalangan

militer yang penunjukkannya bersifat top-down melalui Kementerian

Dalam Negeri atas restu Suharto sebagai presiden. Identitas kebalian dapat

dikatakan sebagai modal politik karena di dalam identitas kebalian terdapat

sebuah massa yang besar dan kompak. Jika itu dapat dimobilisir oleh elit-

elit komunitas ini, maka massa (suara) bisa dijadikan sebagai tiket untuk

duduk di kursi legislatif tingkat daerah, atau diuangkan (dijual) oleh

211

Fenomena “politik lokal” ini merebak luas di permukaan pasca jatuhnya

Suharto dan kemunculan era Otonomi Daerah di Indonesia (1999). Untuk melihat

gambaran umum politik lokal di Indonesia pada periode ini, lihat (bagian

pengantar): Schulte Nordholt dan Van Klinken (edt.) 2007, Politik Lokal di

Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.

Page 109: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

205

sekelompok elit kepada para calon bupati dan calon legislatif ketika

berkampanye. Bagi para calon bupati dan calon legislatif, mereka akan rela

menggelontorkan sejumlah uang tunai bagi para elit komunitas ini, karena

mereka tahu persis bahwa komunitas Bali pada umumnya (termasuk Bali

Nusa) massanya dapat diarahkan oleh elit-elit (sesepuh atau tokoh

masyarakat) dengan mengusung identitas Bali Hindu. Bila dibandingkan

dengan komunitas etnis lain, komunitas Bali merupakan komunitas etnis

yang paling mudah dikumpulkan atau dikerahkan. Artinya, tanpa

dikomando komunitas ini pasti akan berkumpul secara massal di suatu

tempat tertentu dalam sebuah ritual atau upacara adat-keagamaan. Pada

even ini, elit dari komunitas Bali bersama-sama dengan para calon bupati

dan legislatif menyisipkan agenda kampanyenya masing-masing di sela-

sela kegiatan adat-keagamaan tersebut. Supaya tidak menimbulkan kesan

money politics, para calon ini biasanya memberikan sejumlah dana tunai

atau pun fasilitas lainnya untuk melestarikan kebudayaan Bali, baik berupa

sumbangan tunai untuk pura atau pun menyediakan fasilitas tertentu untuk

kelancaran sebuah upacara atau ritual yang melibatkan massa yang besar,

seperti mobil bak terbuka, snack, sound system, dan lain-lain. Menariknya,

para calon ini ketika sedang berkampanye di dalam komunitas ini selalu

mengenakan busana adat Bali, dan ikut serta dalam upacara yang diadakan,

di mana sebagai penghargaan atas kehadiran para calon ini disuguhkan

berupa musik dan tarian Bali212

. Contoh lainnya adalah dengan

212

Ketika mengadakan penelitian di bulan Maret 2010, penulis mendapatkan

beberapa kesempatan mengikuti beberapa upacara penting yang melibatkan

massa: pertama, massa skala kecamatan dan kabupaten; kedua, massa skala banjar

(dusun). Momen ini digunakan oleh beberapa calon bupati yang berbeda untuk

mengikuti upacara tersebut. Alasannya adalah untuk silaturahmi untuk

mempererat persaudaraan sebagai masyarakat Lampung. Namun, tanpa perlu

disebutkan oleh para calon bupati, masyarakat sudah mengetahui bahwa calon

tersebut sebenarnya sedang berkampanye. Masyarakat yang sudah jenuh dan

bosan dengan model kampanye seperti ini, biasanya acuh tak acuh, dan tetap fokus

pada kegiatan upacara. Seandainya mereka tetap ada di tempat upacara saat calon

bupati mengucapkan kata sambutan, itu lebih disebabkan karena kata sambutan itu

diucapkan sebelum upacara diselenggarakan, di mana massa telah berkumpul

semua. Ketika upacara selesai yang ditutup dengan serah terima bantuan dari para

calon, massa tetap hadir dan menyaksikan momen tersebut dikarenakan telah

mendapatkan himbauan dari para sesepuh dan pemuka agamanya. Ini merupakan

Page 110: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

206

membagikan Kalender Bali yang dibagian bawahnya terdapat foto dari

calon bupati, di mana biasanya dibagian bawah kalender berisikan sponsor

dari perusahaan tertentu. Tujuannya sangat jelas, untuk menarik simpati

dari para pemilihnya yang berasal dari komunitas Bali Hindu. Massa pasti

akan berkumpul saat diadakan upacara, karena itu para calon

memanfaatkannya dengan mengikuti upacara tersebut dengan

menggunakan busana adat Bali. Secara ekonomi, para calon ini sudah

mendapatkan keuntungan, karena tidak perlu menggunakan uang ekstra

untuk mengumpulkan massa, seperti yang sering mereka keluarkan ketika

menggumpulkan massa dari kalangan etnis dan komunitas lainnya di

massa kampanye. Saat pemilihan langsung sedang hangat-hangatnya, baik

pemilihan legislatif maupun kepala daerah, metode ini cukup menarik

simpati komunitas Bali Nusa. Namun, simpati tersebut tidak berlangsung

lama, karena kesadaran politik mereka semakin menguat. Oleh karena itu,

setiap kali memberikan sambutan kepada setiap calon legislatif atau pun

bupati yang berkampanye di komunitas ini, salah seorang sepuh yang

selalu memberikan sambutan selalu berkata:

“ Saya sebagai perwakilan orang Bali di sini

mendukung saudara “X” sebagai “Z”, tapi biarlah

masyarakat di sini yang memilih siapa yang terbaik

dari setiap calon.”

Kemudian, sebagai respon atas “money politics” yang dilancarkan kepada

setiap calon, salah seorang sepuh menjelaskan kepada penulis:

“Jika mereka ingin menyumbang (memberikan

uang) untuk (kas, renovasi atau pembangunan) pura,

ya, kita terima. Yang penting (saya) sebagai

perwakilan (orang Bali Nusa di Banjar X) sudah

sebuah strategi dari event organizer yang dimainkan oleh para elit politik yang ada

di komunitas tersebut agar jumlah massa tidak berkurang. Sebelum mengikuti

upacara, para calon ini biasanya sudah dibekali oleh para elit komuntias ini dengan

busana adat Bali dan dilatih selama beberapa menit agar bisa mengucapkan

dengan baik dan benar “Om Swastiastu” dan “Om Shanti Shanti Shanti”.

Terkadang ini menjadi bahan tertawaan bagi massa begitu mereka mendengar

pengucapan salam tersebut dalam pelafalan yang salah.

Page 111: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

207

menyatakan posisi netral (seperti pernyataan di

atas).”

Jadi, periode ini (pasca jatuhnya Suharto) disebut sebagai masa “politik

identitas” karena pada masa ini mereka sudah menggunakan identitasnya –

melalui simbol etnisitas, budaya dan agama – untuk kepentingan politik

praktis sebagai respon atas perubahan politik di era reformasi, dan sebagai

upaya menunjukkan eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu – ingin

mempunyai wakilnya di legislatif – di tengah-tengah dominasi putra

daerah. Di era reformasi mereka mendapatkan kesempatan yang luas untuk

terjun ke dunia politik. Sebuah kesempatan yang tidak mereka dapatkan

dengan mudah di masa Suharto. Jika di masa Suharto, Balinuraga menjadi

“kuning” (Golkar), maka di era reformasi menjadi lebih berwarna dengan

warna dominan: “kuning” (Golkar), “merah” (PDI-P), dan “biru”

(Demokrat). Seperti mayoritas etnis Bali lainnya, komunitas Balinuraga

lebih condong ke partai politik yang berhaluan nasionalis. Partai politik

yang berhaluan agama (Islam) bukan menjadi pilihan mereka.

Gambar 14. Salah Satu Kantor Pimpinan Partai Politik Tingkat Kecamatan

di Balinuraga

(sumber: Yulianto, 2009)

Page 112: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

208

Gambar 15. Kalender Bali di Lampung

(kalender pertama sebelah kiri: Kalender Bali biasa dengan pesan sponsor di

bawahnya; kelender kedua sebelah kanan: Kalender Bali di masa kampanye

dengan pesan sponsor calon kepala daerah).

(Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)

Page 113: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

209

Gambar 16. Pesan Sponsor di Bawah Kalender Bali

(gambar pertama atas: pesan sponsor perusahaan swasta di Lampung di bagian

bawah Kalender Bali; gambar kedua bawah: pesan sponsor calon kepala daerah

Lampung Selatan di bagian bawah Kalender Bali).

Sumber: Yulianto, 2009 & 2010.

Sebuah realitas baru di era reformasi yang terjadi di komunitas

Balinuraga bersama-sama komunitas Bali Hindu lainnya adalah terjadinya

penguatan identitas etnis dan agama. Penguatan identitas ini, yang disertai

dengan keterlibatan aktif (elit-elit komunitas Bali Hindu yang tersebar di

Lampung Selatan, termasuk di Balinuraga) dalam politik praktis

merupakan sebuah respon atas kekhawatiran yang dapat mengancam

eksistensi identitas mereka, karena menguatnya politik berbasis identitas

etnis yang mengusung putra daerah dalam memperebutkan kekuasaan di

tingkat lokal. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah elit-elit

ini bisa mendapatkan suara yang tinggi di dalam komunitasnya sendiri,

yang menjadi basis utama perolehan suara bagi elit yang ingin

mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat kabupaten. Jika

memperhatikan pertentangan identitas warga yang terjadi di dalam

komunitas ini, maka bukan hal yang mengejutkan bila elit yang

mencalonkan diri menjadi anggota legislatif mendapatkan suara yang

minor di dalam komunitasnya. Penulis mencermati adanya win-win-

solution untuk mengatasi pertentangan identitas warga. Artinya, mereka

lebih memilih calon legislatif dari komunitas lainnya (non-Bali), atau

warga lain dari Kampung Bali tetangga yang berasal dari warga yang

Page 114: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

210

sama. Opsi pertama, dengan memilih calon legislatif non-Bali sepertinya

menjadi opsi yang utama bagi mereka, supaya sentimen antar warga itu

tidak terlalu tampak di permukaan. Dengan kata lain, lebih baik memilih

orang lain, daripada memilih orang sendiri. Hal ini disebabkan, calon

legislatif yang berasal dari komunitas Bali, cara paling mudah dan pasti

untuk memperoleh suara adalah dengan mengambil suara dari warga-nya.

Hal ini juga dilakukan oleh warga lain yang mencalonkan diri sebagai

anggota legislatif. Tentu, dalam kampanyenya sentimen atau isu identitas

warga (leluhur) akan digunakan sebagai media kampanye untuk

memperoleh suara. Jika ada masing-masing warga mempunyai calon

sendiri, maka pertentangan ini menjadi semakin tampak saat kampanye –

sistem multipartai memungkin setiap warga untuk mencalonkan diri

sebagai anggota legislatif, dan menjadi anggota legislatif sebagai salah satu

alternatif pekerjaan yang menjanjikan. Oleh karena itu, lebih baik memilih

orang lain (non-Bali) menjadi alternatif yang lebih baik, daripada akhirnya

menimbulkan perasaan tidak enak antara satu dengan yang lainnya. Bagi

anggota komunitas yang masih konservatif, mereka pasti akan memilih

calon yang berasal dari warga-nya sendiri, daripada calon dari warga lain.

Ada kontrakdiksi antara kekhawatiran menguatnya identitas putra daerah

dengan keterwakilan mereka di legislatif – hal ini pula yang menyebabkan

“pilih orang lain” daripada “orang sendiri” dan jumlah suara yang minor di

dalam komunitasnya sendiri. Hal ini disebabkan adanya pandangan yang

moderat dari sebagian masyarakat Balinuraga (dan juga pragmatis) bahwa

dengan memilih calon legislatif atau pun calon kepala daerah yang berasal

dari putra daerah sebenarnya identitas mereka sudah terwakilkan melalui

calon itu ketika terpilih. Kalangan moderat ini berpandangan agar putra

daerah diberikan kesempatan untuk memimpin selama masih memberikan

perhatian yang serius masyarakat Bali Lampung sebagai bagian dari

masyarakat Lampung. Selain itu, mereka menyadari posisinya sebagai

minoritas dan pendatang, karenanya masalah jika harus mengalah asalkan

identitas mereka tidak diganggu atau disakiti. Hubungan putra daerah dan

masyarakat Bali (melalui elit-elitnya) terbilang baik. Keduanya saling

menjaga hubungan baik agar tidak terjadi konflik yang dulu pernah terjadi

di antara kedua etnis ini. Bagi putra daerah yang mendapatkan dukungan

suara paling banyak dari masyarakat Bali menjadikannya memiliki

Page 115: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

211

kepercayaan diri ekstra, dan biasanya masyarakat Bali memilih salah

seorang calon dalam jumlah yang cukup besar (kompak), namun juga

menjadi lebih berhati-hati agar jangan sampai janjinya selama kampanye

untuk masyarakat Bali tidak dipenuhi – dukungan suara yang besar juga

merupakan sebuah ancaman untuk mewakilkan komunitas mereka, agar

jangan mempermainkan kepercayaan mereka.

Gambar 17. Keterlibatan Bupati Incumbent (Putra Daerah) dalam Upacara

Melasti sebagai Media Kampanye Kepala Daerah

(gambar pertama atas: ada spanduk bupati incumbent; gambar kedua bawah: para

sesepuh Bali, perwakilan PHDI dan Depag, bupati incumbent dan staffnya).

(Sumber: Yulianto, 2010)

Page 116: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

212

Di bagian sebelumnya telah diuraikan bagaimana komunitas ini

melakukan proses peniruan terhadap pusat atau Bali sebagai patron

identitasnya. Artinya, apa yang saat ini menjadi tren di Bali juga menjadi

tren bagi komunitas Bali yang ada di luar Bali. Contoh kasus yang sangat

relevan untuk diuraikan di sini adalah wacana dan implementasi Ajeg Bali.

Berkembang luasnya wacana Ajeg Bali di pusat ternyata mendapatkan

perhatian yang serius bagi komunitas Bali di Lampung Selatan, di mana

wacana dan implementasinya dilakukan secara bersama-sama antara

Balinuraga dan Kampung Bali lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa

kekhawatiran akan tergerusnya identitas kebalian tidak hanya menjadi

milik masyarakat Bali yang diwakili oleh elit-elitnya, tapi juga menjadi

kekhawatiran masyarakat Bali di luar Bali, dalam kasus ini masyarakat

Bali di Lampung Selatan yang diwakili oleh elit-elitnya yang ada di setiap

komunitas yang memiliki massa besar – Balinuraga merupakan salah satu

komunitas Bali Hindu dengan jumlah massa yang besar, karena satu desa

ini mayoritas orang Bali Hindu (Bali Nusa) dengan memiliki tujuh banjar

atau dusun. Wacana Ajeg Bali bagi masyarakat Bali di perantauan ini

dinilai sangat relevan karena kedudukannya sebagai minoritas, komunitas

mereka terpecah-pecah dan tersebar di Kampung Bali-Kampung Bali yang

ada di beberapa kecamatan di Lampung Selatan. Kecuali Balinuraga yang

level komunitasnya merupakan desa, Kampung Bali lainnya – karena

tersebar di berbagai desa dan kecamatan, kedudukan komunitasnya yang

eksklusif ini rata-rata hanya selevel banjar atau dusun.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana wacana Ajeg

Bali ini diimplementasikan oleh komunitas Bali Hindu perantauan di

Lampung Selatan yang merupakan sebuah adaptasi dari implementasi Ajeg

Bali yang terjadi di Bali? Sebelum menjawab adaptasi implementasi Ajeg

Bali di Lampung Selatan, penulis akan uraikan secara singkat lahirnya

“Pecalang” (polisi adat / traditional police) yang berkembang di Bali

sebagai salah satu implementasi dari wacana Ajeg Bali. Di Bali sendiri,

kehadiran pecalang mulai menunjukkan eksistensi dan perannya sebagai

satuan pasukan polisi adat – seperti menggantikan peran polisi negara yang

dianggap absen – yang diakui oleh pemerintah daerah sejak diterbikannya

Perda No. 3/2001, bahwa pecalang diakui sebagai satuan tugas keamanan

Page 117: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

213

tradisional, khususnya untuk keperluan adat dan keagamaan213

. Setelah

sebelumnya di bulan Juli 2000 departemen kebudayaan propinsi

menyelenggarakan sebuah seminar untuk menciptakan keseragaman bagi

satuan polisi adat tersebut, dan di tahun 2002 sebuah booklet diterbitkan

bekerja sama dengan Parisada yang menjelaskan tugas-tugas, fungsi-

fungsi, dan seragam pecalang214

. Untuk menjawab pertanyaan di atas,

penulis akan memberikan contoh kasus dari lahirnya pecalang atau satuan

polisi adat dalam komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Penulis

sangat terkejut ketika menyaksikan satuan polisi adat atau pecalang

menjalankan tugasnya pada saat diselenggarakan sebuah acara formal

(Musyawarah Daerah / Musda) yang diadakan sebuah organisasi

kemasyarakatan Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan (Pargali)

sembari diadakan sebuah acara perkenalan DANDIM (Komandan

Komando Distrik Militer) baru di Lampung Selatan dan sambutan dari

perwakilan Bupati Lampung Selatan (Oktober 2009); dan saat

diselenggarakannya Upacara Melasti di sebuah pantai terkenal di Lampung

Selatan (Pantai Merak Belantung) Maret 2010. Ketika acara tersebut

berlangsung, pecalang menjalankan tugasnya sebagai satuan keamanan

untuk keperluan adat dan agama. Karena itu, ketika acara ini berlangsung,

penulis tidak menemukan hansip (pertahanan sipil) atau pun polisi. Peran

polisi yang penulis temukan waktu itu adalah hanya mengatur lalu lintas

ketika iring-iringan massa hendak menuju ke pantai untuk melaksanakan

Upacara Melasti, sisanya diambil-alih oleh pecalang, seperti menjaga

keamanan di lokasi acara, mengatur parkir, sampai menjual dan memungut

tiket masuk ke areal upacara yang sebenarnya merupakan areal wisata.

Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan ini memiliki

seragam sebagai identitasnya, bahwa mereka resmi dan diakui

keberadaannya sebagai satuan pengamanan untuk keperluan adat dan

keagamaan yang secara kelembagaan formal berada di bawah pengawasan

PHDI dan berinduk di bawah organisasi kemasyarakat Pargali Lampung

213

Lihat: Schulte Nordholt 2007, Bali an Open Fortress 1995-2005, Singapore:

Nus Press. dan Schulte Nordholt 2007 “Bali: Sebuah Benteng Terbuka”dalam

politik lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta. 214

Op.cit. Schulte Nordholt 2007.

Page 118: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

214

Selatan. Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan

menggunakan sebuah jaket yang seragam (sejenis rompi), destar, udeng,

dan handy-talky, di mana terdapat beberapa penyesuaian dalam seragam

yang digunakan – dengan menggunakan seragam resmi, udeng, dan destar

sebenarnya mereka sudah menunjukkan bahwa mereka adalah pecalang.

Pembedanya terletak pada logo yang terletak di sebuah jaket safari

(motifnya loreng-loreng seperti milik militer) yang menandakan bahwa

mereka ada “Pecalang Lampung”, yaitu dengan menempatkan logo khas

Lampung “Siger” di atas logo “Swastika” dan nama organisasi di mana

pecalang itu bernaung “Pargali Lam-Sel”. Logo “Siger” yang berada

paling atas di sebelah kiri seragam menunjukkan identitas “Lampung”;

logo “Swastika” menunjukkan identitas sebagai “Bali-Hindu”; tulisan

“Pargali Lam-Sel” yang berada di bawah logo “Swastika” menunjukkan

identitas organisasi kemasyarakatan di mana pecalang itu bernaung;

sedangkan di sebelah kanan terdapat tulisan “PECALANG” yang

menunjukkan identitasnya sebagai “pecalang”. Mereka yang direkrut

menjadi pecalang harus merupakan seorang Bali Hindu yang bermungkim

di Lampung Selatan. Biasanya yang direkrut menjadi pecalang adalah

anak-anak muda atau tokoh muda yang memiliki pengaruh di dalam

komunitasnya (di antara mereka terdapat tokoh muda dari Balinuraga), di

mana mereka memiliki fisik yang bagus (cukup kekar), wajah yang

meyakinkan (ada kesan garang), dan berani215

.

215

Bisa dipahami bila perekrutan tokoh pemuda menjadi pecalang sebagai upaya

mengalihkan mereka dari kegiatan yang negatif, seperti premanisme. Dengan

diangkat menjadi pecalang, sebagai satuan pengamanan upacara adat dan

keagamaan, memberikan mereka beban moral tersendiri untuk melakukan hal-hal

yang aneh. Karena identitas yang melekat dalam pecalang adalah sebagai penjaga

identitas adat dan agama. Namun, bukan tidak mungkin (dan bila nanti), hadirnya

pecalang ini berpotensi menimbulkan kekerasan fisik jika terjadi kesalahpahaman

yang menyinggung identitas adat dan agama mereka. Sebagai polisi adat yang

resmi, tentu mereka akan langsung turun tangan (secara fisik) jika terjadi

kesalahpahaman tersebut.

Page 119: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

215

Gambar 18. Pecalang Bertugas Menjaga Keamanan Upacara Melasti dan

Seragam Resmi Pecalang

(sumber: Yulianto 2010).

Hadirnya pecalang di komunitas Bali Hindu Lampung Selatan

tidak dapat dilepaskan dari berdirinya organisasi kemasyarakatan Pargali

(Paguyuban Bali Peduli) Lampung Selatan pada 10 April 2004216

. Melalui

216

Huruf “R” dalam singkatan PA-R-GALI (Paguyuban Bali Peduli) Lampung

Selatan merupakan bentuk terima kasih kepada Bupati Lampung Selatan – yang

huruf terakhir dalam namanya adalah huruf “r” – atas partisipasi dan dukungannya

(dorongan moril dan pendanaan) hingga terbentuknya organisasi ini. Sehingga,

Paguyuban Bali Peduli yang tadinya disingkat PAGALI, disisipkan huruf “R”

menjadi PARGALI. Meskipun dalam anggaran dasar menyebutkan bahwa

organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik praktis atau pun berafiliasi dengan

partai politik tertentu, namun patut diduga bahwa bupati tersebut memanfaatkan

kesempatannya sebagai incumbent untuk mempersiapkan agenda politik yang

Page 120: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

216

organisasi formal ini, Pargali, pecalang versi Bali Lampung dicetuskan.

Artinya, setelah keberadaan pecalang di Bali mulai eksis dan mapan,

menurut pandangan mereka sejauh ini tidak ada masalah yang menganggu

dengan kehadiran pecalang di Bali, maka berdasarkan situasi dan kondisi

perkembangan umat (Bali Hindu di Lampung Selatan) kehadiran pecalang

juga dibutuhkan sebagai satuan pengamanan adat dan keagamaan (polisi

adat). Mereka merasa perlu memiliki pecalang karena komunitas Bali

Hindu di Lampung Selatan sudah besar. Dalam penyelenggaran upacara

adat dan keagamaan yang bersifat massal, tentu tidak dapat sepenuhnya

dapat diatasi oleh polisi setempat, karenanya dibutuhkan satuan

pengamanan (pecalang) yang menggantikan peranan polisi. Selain

dikarenakan polisi setempat bukan merupakan orang Bali yang tentunya

tidak mengerti tentang prosesi upacara adat dan keagamaan yang berlaku

pada orang Bali. Kehadiran pecalang merupakan bentuk bagaimana

mereka melindungi identitasnya sebagai Bali Hindu, yang idealnya harus

dilindungi oleh satuan pengamanan adat sendiri. Sampai saat ini, jumlah

pecalang mencapai puluhan, dan bukan tidak mungkin jumlahnya akan

terus bertambah seiring dengan kebutuhan umat. Namun, pecalang bukan

merupakan sebuah profesi atau pekerjaan tetap, tapi memiliki prestise atau

status sosial yang tinggi di kalangan komunitas mereka217

. Tenaga mereka

dibutuhkan saat diselenggarakan upacara formal adat dan keagamaan yang

lebih besar: menarik simpati orang Bali di Lampung Selatan sebagai bekal

pencalonannya sebagai gubernur Lampung tahun 2008 (empat tahun setelah

organisasi ini terbentuk). Sebagai politisi berpengalaman, bupati ini mengetahui

bahwa dengan dibentuknya organisasi kemasyarakatan yang mewadahi orang Bali

di Lampung Selatan, maka diharapkan jumlah suara orang Bali di Lampung

Selatan dapat dialihkan ke bupati saat pencalonan dirinya menjadi gubernur –

keberadaan elit-elit Bali Lampung Selatan dipercayai dapat memobilisir suara,

karena pengaruhnya di dalam komunitas Bali. Bagi elit-elit Bali Lampung Selatan

pun, kesempatan ini dimanfaatkan untuk meningkatkan posisi tawarnya secara

politik agar dapat menjaga dan melestarikan eksistensi identitasnya –

memfasilitasi dan tidak mempersulit kegiatan atau upacara adat dan keagamaan

yang bersifat massal – tidak hanya kepada incumbent, tapi juga (nantinya) kepada

calon-calon kepala daerah lain dalam pemilihan langsung berikutnya. 217

Bagi yang masih single (belum menikah) menjadi pecalang dapat menarik

simpati lawan jenisnya. Ini dikarenakan sosok seorang pecalang sebagai pria yang

jantan, memiliki kesan garang, dan berani.

Page 121: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

217

melibatkan massa, di samping acara formal yang bersifat kelembagaan di

mana menghadirkan pejabat-pejabat daerah di lingkungan kabupaten dan

propinsi yang bekerja sama dengan PHDI. Jika dilihat dari posisi pecalang

sebagai satgas (satuan tugas) dari organisasi kemasyarakatan Pargali

Lampung Selatan, sebenarnya pecalang menyerupai satgas-satgas seperti

organisasi Pemuda Pancasila yang cukup populer di Lampung – sebagai

organisasi pemuda yang sangat lekat dengan premanisme. Pembedanya

hanya lingkup tugasnya yang terbatas pada komunitas Bali Hindu

Lampung Selatan. Dari sisi Pargali Lampung Selatan sendiri, menarik

untuk dicermati mengenai perannya sebagai organisasi kemasyarakatan

yang non-partisan (bukan partai). Dalam anggaran dasarnya dengan jelas

disebutkan bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik praktis

dan tidak bergabung dengan partai apa pun. Tapi dalam kenyataannya,

sebagai sebuah organisasi masyarakat bagi komunitas Bali Hindu,

organisasi ini memiliki posisi tawar yang sangat kuat di arena politik

praktis. Alasan utamanya adalah organisasi ini memiliki massa yang jelas

dan kompak, yaitu komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Meskipun

di dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas posisi mereka

yang tidak berpolitik praktis, namun dimungkinkan (atau terjadi secara

diam-diam) deal-deal politik dengan partai politik tertentu atau calon-

calon legislatif / kepala daerah tertentu yang dilakukan oleh elit organisasi

ini. Pemilihan legislatif dan kepala daerah yang diselenggarakan secara

langsung, dipastikan akan menjadikan organisasi kemasyarakatan ini

sebagai salah satu rujukan untuk menghimpun suara dari kalangan

komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Bukan tidak mungkin, jika elit

dari organisasi ini memerima kunjungan dari para calon legislatif atau

kepala daerah, atau mengunjungi para calon dengan mengajuka sebuah

tawaran politik dengan “modal politik” yang dimiliki (jumlah suara atau

massa pemilih), di mana dalam setiap pertemuan terdapat sejumlah dana

segar agar organisasi ini menggunakan otoritasnya untuk mengarahkan

komunitasnya kepada salah satu calon tertentu. Kehadiran organisasi tidak

serta merta mendapatkan tanggapan positif dari anggota komunitasnya,

meskipun bagi anggota komunitas terbuka kesempatan yang luas untuk

mejadi anggota organisasi ini. Serangkaian pemilihan umum sejak tahun

1999 yang melibatkan elit-elit lokal, membuat anggota komunitas Bali

Page 122: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

218

Hindu jenuh dengan urusan politik. Meskipun mereka sudah mendapatkan

informasi bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik, tapi

masyarakat yang sudah mulai “melek politik” tahu bahwa ujung-ujung-nya

akan ke poltik dan bermuara pada uang. Masyarakat juga mengetahui ada

dan siapa dari elit yang menduduki posisi strategis di dalam organisasi ini,

termasuk berasal dari warga apa. Karenanya, untuk di lingkungan

masyarakat Balinuraga, kehadiran organisasi ini dianggap biasa-biasa saja,

terutama setelah di pemilihan 2009 yang menjadi ketua dari organisasi ini

berasal dari Balinuraga yang sepak terjangnya di dunia politik sudah

mereka ketahui dengan jelas: sebagai calon legislatif yang pernah

mengalami kegagalan dua kali, dan praktek-praktek politiknya yang kotor.

Masyarakat pun mengetahui bahwa di bawah kepemimpinan yang baru,

berdasarkan track record politik praktisnya, bahwa organisasi ini akan

dijadikan sebagai kendaraan politiknya untuk menghimpun massa pada

pemilihan legislatif berikutnya. Sebagai catatan, dalam komunitas

Balinuraga, semua informasi atau pun gosip mengenai elit-elitnya sudah

menjadi bahan pembicaraan. Karena itu, jika elit tersebut melakukan

kesalahan, maka ia akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dan

tentu konsekuensinya, ia tidak akan dipilih jika mencalonkan diri sebagai

kepala desa, legislatif, atau pun mengusung calon legislatif atau kepala

daerah tertentu agar dipilih oleh masyarakat dengan mengatas-namakan

komunitas Balinuraga. Sentimen ini akan semakin menguat apabila elit itu

berasal dari warga tertentu yang mana memiliki pertentangan dengan

warga lain. Ini yang menyebabkan win-win-solution sering digunakan oleh

mereka: mengalihkan suara ke orang lain di luar komunitasnya, memilih

calon dari warga lain yang posisinya netral, atau tidak memilih sama

sekali. PDHI sebagai payung dari organisasi ini, sekali lagi, tetap

memposisikan dirinya dalam posisi yang netral, seperti yang disampaikan

oleh pejabat PHDI ketika memberikan sambutan dalam pembukaan Musda

Pargali Lamsel (termasuk ikut serta dalam mengawasi proses pemilihan

ketua yang baru dalam proses pemilihan melalui voting), bahwa PHDI

merupakan sebuah organisasi yang mengurusi permasalahan umat Hindu

Dharma (komunitas Hindu Bali di Lampung Selatan), dan karenanya tidak

ikut terlibat (tapi hanya sebagai penengah/pengawas/wasit) dalam urusan

Page 123: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

219

praktis organisasi masyarakat ini, selama memberikan manfaat bagi

kehidupan umat.

Sebagai catatan penutup, masyarakat Balinuraga (dan komunitas

Bali Hindu lainnya), secara rutin mengamati fenomena-fenomena umum

yang terjadi di Bali, khususnya wacana Ajeg Bali. Bagi mereka, Ajeg Bali

bukan sekadar “membuat sama” seperti Ajeg Bali di Bali, tapi lebih pada

realitas yang berkembang dalam komunitas mereka dan relasinya dengan

komunitas lain sebagai minoritas etnis-agama dan pendatang. Bagi mereka

ancaman eksternal (seperti globalisasi, konsumerisme, hedonisme, dan

lain-lain) juga mereka alami dan rasakan dalam bentuk yang berbeda.

Sebagai akibat dari respon terhadap ancaman eksternal tersebut terhadap

eksistensi identitas mereka adalah munculnya kelompok yang “modernis”

– yang berpandangan bahwa identitas kebaliannya harus fleksibel dengan

perkembangan zaman – dan konservatif – yang berpandangan bahwa

ketradisionalan Bali harus diperkuat untuk menghalangi ancaman

eksternal.

Faktor-Faktor Pembentuk Identitas

Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bagian (sub-bab)

sebelumnya diketahui bahwa faktor patronase yang kuat terhadap pusat

(Bali) dan faktor otoritas (kekuasaan) sebagai dua faktor dominan dalam

pembentukan identitas mereka. Faktor lain, seperti ekonomi, menjadi

signifikan pengaruhnya dalam pembentukkan identitas sebagai instrumen

yang paling ideal dan praktis di masa sekarang untuk memanifestasikan

kekuatan dan eksistensi identitasnya, yaitu identitas warga (klan, dadia,

soroh) – dalam konteks yang lebih luas merupakan manifestasi identitas

mereka sebagai jaba-wangsa (non-bangsawan, orang luar puri, atau sudra

wangsa) yang sukses (powerfull) secara ekonomi di luar Bali218

.

218

Untuk menghindari kesalahpahaman – seolah-olah menilai komunitas Bali

lebih kaya dan sukses daripada komunitas lainnya – indikator yang penulis

gunakan adalah berdasarkan “kesuksesan” menurut versi mereka (yang sebagian

besar sudah berhasil mereka penuhi). Jadi, penulis tidak menggunakan indikator

“kesuksesan” yang bersifat kapitalistik (kepemilikan modal-modal fisik atau pun

uang tunai). Kriteria “kesuksesan” di level keluarga inti berdasarkan versi mereka

adalah berhasil membangun pura keluarga (kahyangan tiga di rumah / rong telu)

Page 124: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

220

Faktor Patronase terhadap Pusat: Identitas Warga

(Kawitan)

Salah satu hal yang (paling) ditakutkan etnis Bali setelah berada di

luar Bali, berdasarkan kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga,

adalah hilangnya identitas mereka sebagai Bali Hindu, lebih spesifik,

hilangnya identitas leluhurnya yang disebut warga (klan, soroh), di mana

ini menjadi jati diri mereka sebagai seorang Bali Hindu. Ketakutan ini

merupakan cerminan dari kuatnya ikatan kekerabatan berdasarkan garis

dan memiliki rumah yang permanen. Ketika keduanya telah terpenuhi, maka

mereka dapat dikatakan telah berhasil melepaskan diri dari ketergantungan

terhadap orang tuanya (sudah mandiri). Jika memakai parameter kesuksesan

kapitalistik, tentunya kedua ini tidak cukup sebagai indikator kesusksesan di level

keluarga inti, karena selain kedua bangunan ini, mereka tentunya harus memiliki

kendaraan bermotor (khususnya roda empat), barang elektronik, bangunan pura

keluarga dan rumah yang luas, dan lain-lain. kriteria “kesuksesan” di level warga

(klan, soroh) adalah bagaimana anggota-anggota warga “A” – yang terdiri dari

keluarga inti dari warga “A” – berhasil membangun pura kawitan yang apik

(besar, megah, dan artistik) di dalam sebuah griya (banjar), di mana pura kawitan

tersebut dibangun. Kriteria “kesuksesan” di level adat (desa) adalah berhasil

membangun pura Kahyangan tiga – sebagai perekat komunitas adat-keagamaan

komunitas Balinuraga – yang juga tidak kalah apik-nya, di mana pura ini

merupakan milik dari warga-warga yang menjadi kesatuan adat masyarakat

Balinuraga. Ditambah dengan bangunan-bangunan lain yang artistik yang menjadi

simbol komunitas ini seperti “tugu” yang terletak di tengah desa sebagai sentral

(titik tengah) desa itu, bale desa, pura-pura di areal pertanian yang mana dalam

waktu tertentu diselenggarakan upacara ruwatan hasil panen. Garis besar atau poin

utama dari kriteria kesuksesan versi mereka adalah bebas dari ketergantungan

ekonomi dari pihak lain (termasuk keluarga besar), atau mandiri, dan berhasil

memenuhi kewajiban adat-keagamaan yang bersifat ajeg, khususnya ngaben

(karena menghabiskan biaya yang besar, dan mengandung prestise dalam

penyelenggaraannya yang bersifat besar-besaran). Sebagai catatan, kriteria di atas

bersifat umum – seperti „standar kesuksesan minimum‟ versi mereka – dan bukan

berarti sebagian di antara mereka tidak memiliki kriteria kesuksesan seperti yang

umum digunakan dalam masyarakat industri seperti: tanah pertanian yang luas

(minimal di atas dua hektar) yang tersebar di luar Desa Balinuraga, jumlah sapi

yang mencapai puluhan hingga ratusan, mobil bak terbuka (sejenis truk), mesin

dan tempat penggilingan padi, kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil),

peralatan elektronik (komputer desktop, laptop, handphone kamera merek

terkenal, dsb.), dan lain-lain. Akses terhadap pasar yang terbuka lebar,

memungkinkan mereka untuk memiliki barang-barang yang disebutkan di atas.

Page 125: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

221

leluhur yang membentuk identitas warga tersebut. Ada sebuah kewajiban

yang bersifat adat-keagamaan yang harus mereka lakukan sebagai warga

tertentu yang memiliki perbedaan dengan warga yang lain. Jika mereka

tidak melakukannya (kewajiban sebagai seorang warga tertentu), maka

(dipercaya) ada semacam sangsi niskala yang akan menimpa mereka

(musibah atau malapetaka). Ketakutan berikutnya adalah jika mereka

keliru dalam mengidentifikasikan identitas warga-nya. Artinya, mereka

tidak dapat membuktikan secara jelas dan rinci apakah benar ia berasal

dari leluhur (warga) yang selama ini mereka anggap sebagai leluhurnya.

Hilang atau kelirunya identitas leluhur (kawitan) tentu akan menjadi

permasalahan besar di dalam komunitasnya sebagai Bali Hindu. Akibatnya

mereka dapat dianggap bukan sebagai orang Bali lagi, karena tidak

memiliki identitas leluhur yang jelas219

. Bagi masyarakat Bali, sudah

sewajarnya jika seseorang mengaku sebagai orang Bali dapat menyebutkan

identitas kawitan-nya. Berangkat dari titik inilah, yang menyebabkan

mengapa komunitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal butuh

untuk mengetahui identitas warga-nya dengan jelas. Mereka membutuhkan

patron (individu atau pun lembaga formal sebuah warga tertentu) untuk

melegitimasi keabsahan identitas warga mereka, di mana patron yang

mereka percayai itu ada di Bali sebagai pusat (patron) identitasnya.

Dikatakan “butuh” karena bermula dari ketakutan tersebut, bahwa akan

ada malapetaka atau musibah yang akan menimpa mereka. Untuk benar-

benar memastikan keabsahan identitas leluhurnya, mereka pun rela pulang-

pergi Lampung-Bali secara rutin, sampai legitimasi itu didapatkan.

Legitimasi secara resmi tentu mereka dapatkan dari organisasi formal

warga yang ada di Bali, meskipun sudah ada perwakilannya di Lampung,

tapi bagi mereka yang (legitimasi) di Bali tetap lebih penting. Namun,

219

Bila seorang Bali telah berpindah kepercayaan atau keyakinan, maka mereka

dianggap “bukan Bali” lagi. “Bukan Bali” yang dimaksudkan adalah “Bali

Hindu”, dari sudut pandang etnisitas individu yang berpindah keyakinan tersebut

tetap sebagai seorang etnis Bali, tapi bukan “Bali Hindu”. Hal ini disebabkan,

begitu individu tersebut pindah keyakinan (tidak menjadi Hindu), maka secara

otomatis kewajiban-kewajiban adat-agama yang selama ini menjadi atau melekat

pada identitas mereka (termasuk identitas leluhur) akan hilang, dan hilangnya

kewajiban-kewajiban tersebut menunjukkan bahwa individu tersebut “bukan Bali”

lagi.

Page 126: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

222

sebelum mendapatkan legitimasi tersebut, mereka harus mendapatkan

bukti-bukti dari seseorang yang ahli dalam menelusuri dan menguasai

silsilah keluarga dari warga tertentu, atau meminta bantuan dari seorang

balian (paranormal / dukun Bali) untuk melacak kehidupan lampaunya

agar dapat diketahui sebenarnya ia berasal dari warga atau leluhur mana.

Bagi masyarakat awam (non-Bali) kegiatan pencarian identitas

leluhur terkesan berbelit dan merepotkan, tapi tidak bagi mereka

(komunitas Bali Nusa di Balinuraga). Ini merupakan sebagai sebuah

konsekuensi yang harus mereka emban sebagai seorang Bali, di mana

identitas warga menjadi sebuah sistem yang harus mereka ikuti aturan

mainnya. Terlebih setelah keberadaan mereka di luar Bali. Mereka tidak

ingin jika identitas leluhurnya dipertanyakan oleh pusat, dan mereka juga

ingin diakui dan bergabung dalam sebuah komunitas besar dari warga-nya.

Oleh karena itu, ketergantungan patronase terhadap pusat dalam proses

pembentukan identitasnya setelah berada di luar Bali tidak dapat mereka

lepaskan begitu saja, melainkan akan tetap melekat. Tidak hanya

menyangkut legitimasi identitas warga-nya, tapi juga menyangkut

kewajiban-kewajiban adat-keagamaan yang harus mereka penuhi sebagai

seorang warga tertentu. Meskipun mereka sudah memiliki pura kawitan di

Balinuraga, tapi pura kawitan yang ada di tanah leluhur tetap memiliki

kedudukan yang lebih istimewa, karena dari tanah inilah (Bali) leluhur

mereka berasal.

Faktor Kekuasaan atau Otoritas: Identitas Hindu Dharma

(Hindu Bali)

Faktor kekuasaan atau otoritas sebagai salah satu faktor

pembentukan identitas komunitas Bali Nusa – kurang lebih mirip dengan

faktor patronase terhadap pusat – karena pusat memiliki andil yang besar

dalam proses pembentukan identitas mereka. Letak perbedaannya, pusat

dalam arti kekuasan atau otoritas adalah negara (kekuasaan yang memiliki

otoritas untuk mengabsahkan identitas masyarakatnya), dan identitas yang

dibentuk dan diakui oleh negara melalui kekuasaannya adalah identitas

agama mereka sebagai Hindu Dharma (Hindu Bali). Seperti yang telah

diuraikan pada bagian sebelumnya, pihak yang memiliki otoritas tersebut

adalah Kementrian Agama (Departemen Agama) sebagai kaki-tangan

Page 127: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

223

negara, di mana pada masa Orde Lama kedudukan Hindu Bali sebagai

agama resmi yang diakui pemerintah (negara) masih dipertanyakan oleh

Kementrian Agama – berdasarkan konsep agama yang menjadi keyakinan

sejumlah elit yang menduduki posisi strategis (dengan kekuatan politik

keagamaan). Campur-tangan negara dalam pembentukan identitas

keagamaan mereka adalah bahwa untuk menjadi agama resmi, maka

mereka harus memenuhi beberapa kriteria wajib, seperti memiliki Tuhan

yang Esa (monoteis), nabi, kitab suci agama, pengakuan internasional, doa

harian, dan lain-lain.

Meskipun agama Hindu Bali sudah diakui secara resmi oleh

pemerintah di akhir tahun 1950-an, dan bersamaan dengan itu lahir

organisasi resmi keagamaan Hindu (PHDI) yang berada di bawah

Kementrian Agama, tidak serta-merta peran kekuasaan negara lepas begitu

saja dalam proses pembentukan identitas. Hal ini disebabkan PHDI

menjadi bagian dari dan berada di bawah otoritas Kementrian Agama

(Departemen Agama). Terutama setelah PHDI memberikan loyalitasnya

kepada Suharto (dan militernya) dan berafiliasi dengan Golkar, yang

memantapkan parisada sebagai organisasi semi-pemerintah. Peran yang

sangat signifikan yang dimainkan oleh PHDI – bisa disebut juga peran

kekuasaan karena kedudukan PHDI sebagai organisasi semi-pemerintah –

dalam pembentukan identitas komunitas Bali Nusa adalah pasca terjadinya

Gerakan 30 September 1965. Pada periode ini, mereka sangat

membutuhkan legitimasi identitas keagamaannya dari negara (melalui

PHDI sebagai perwakilan) bahwa mereka memiliki dan menjadi pemeluk

agama Hindu Dharma. Tujuannya pada masa itu memang sangat

pragmatis, menyelamatkan diri dari kematian, karena tanpa adanya

pengakuan dan legitimasi identitas keagamaan yang sah – bahwa mereka

orang yang beragama Hindu Dharma – maka keselamatan (nyawa) akan

terancam (mati). Jika tidak memiliki legitimasi sebagai Hindu Dharma,

maka mereka bisa dicap sebagai “orang yang tidak beragama”, di mana

“orang yang tidak beragama” diidentikkan atau dicap sebagai PKI, dan jika

sudah dicap sebagai PKI maka kesempatan untuk hidup sangat tipis sekali

– terutama setelah terjadi pembantaian massal di Bali pasca Gerakan 30

September 1965 terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Sampai

Page 128: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

224

saat ini, PHDI masih menggunakan otoritasnya untuk membentuk dan

mematangkan identitas Hindu Dharma komunitas Bali Nusa di Balinuraga

dan komunitas Bali lainnya dalam wilayah Lampung Selatan (sebagai

proses pembentukan identitas Hindu Dharma yang berkelanjutan), dan

dengan kedudukan sebagai “patron” kelembagaan yang berasal dari pusat

– meskipun di dalam tubuh PHDI sendiri masih ada potensi konflik

internal antara golongan puri (triwangsa) dan non-puri (jabawangsa).

Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan pendorong yang paling kuat yang

menyebabkan Bali Nusa bertransmigrasi ke Lampung Selatan. Tapi,

dorongan itu (bisa) hanya sebatas wacana saja tanpa aksi (bertransmigrasi)

di kalangan mereka seandainya Gunung Agung tidak meletus di tahun

1963. Jika tidak ada penyebab luar yang kuat, maka mereka tidak akan

bermigrasi. Faktor ekonomi di Nusa Penida yang mendorong mereka untuk

bertransmigrasi adalah kondisi alam yang tandus (sulit untuk bercocok

tanam), debit air terbatas, akses transportasi yang sulit menuju Bali karena

tergantung kondisi cuaca, jumlah penduduk yang mulai padat, dan lain-

lain. Meskipun Bali telah berstatus provinsi sejak tahun 1958, Nusa Penida

masih menjadi “pulau terasing” dengan segala hambatan alamnya. Situasi

ini melahirkan kebulatan tekad dari sebagian masyarakat Bali Nusa untuk

bertransmigrasi, karena jika masih tetap berada di Nusa Penida, kehidupan

mereka (secara ekonomi) tidak akan ada perkembangan yang berarti.

Kebulatan tekad ini yang menyebabkan mereka berani mengambil resiko

untuk bertransmigrasi swakarsa – tanpa sponsor pemerintah. Oleh karena

itu, setelah berhasil bertransmigrasi ke Lampung Selatan, fokus utama

mereka adalah bertani. Perinsip yang mereka pegang: “Jangan pulang ke

Nusa Penida, kalau belum ada hasil”.

Terkait dengan pembentukan identitas komunitas Bali Nusa

setelah berada di Lampung Selatan, yang menjadi pertanyaan adalah

bagaimana faktor ekonomi ini memiliki andil besar dalam proses

pembentukan identitas mereka? Ungkapan “tidak ada makan siang gratis”

bisa menjadi jawabannya. Faktor ekonomi di alinea atas adalah faktor

ekonomi sewaktu di tempat asal yang mendorong mereka bertransmigrasi,

tapi faktor ekonomi terkait dengan pembentukan identitas adalah seberapa

Page 129: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

225

kuat kondisi ekonomi mereka agar dapat melegitimasikan identitas mereka

sebagai Bali Hindu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, patronase

terhadap pusat dalam pembentukan identitas mereka adalah harga mati,

jika identitas mereka ingin tetap eksis dan diakui sebagai bagian dari

komunitas Hindu Bali dalam skopa yang lebih luas. Perjalanan pulang-

pergi Lampung-Bali-Nusa Penida butuh biaya. Ada banyak kewajiban

rutin yang harus mereka penuhi di tanah leluhur untuk melanggengkan

identitasnya, termasuk untuk melegitimasikan keabsahan identitas leluhur

mereka. Konsekuensi adalah mereka harus bekerja keras dan sedikit

perhitungan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan adat-keagamaan

agar bisa menabung. Fungsi tabungan bagi mereka, tidak serta-merta

sebagai “re-investasi” untuk meningkatkan penghasilan dan modal, tapi

juga untuk memenuhi berbagai kewajiban adat-keagamaan yang dua-kali

lipat: di Lampung dan Bali. Bentuk tabungannya lebih bersifat fisik

daripada uang tunai, seperti tanah dan sapi (paling umum). Dari keduanya

hanya sapi yang lebih liquid, lebih mudah dicairkan menjadi uang tunai.

Sapi biasanya digunakan sebagai tabungan untuk pulang kampung,

ngaben, pembangunan dan renovasi pura, serta kewajiban adat-keagamaan

lainnya.

Jika hidup mereka setelah berada di Lampung masih tetap miskin

seperti di Nusa Penida, belum tentu para elit warga yang ada di Bali mau

datang ke Lampung untuk mendata ke-warga-annya. Kemapanan atau

keberhasilan pertanian mereka – yang meningkatkan perekonomiannya –

merupakan faktor utama dalam membentuk identitas mereka yang butuh

dilegitimasi oleh pusat, lebih dari itu, perekonomian yang kuat dapat

digunakan untuk mempertajam lagi eksistensi dan status sosial atas

identitasnya, terutama identitas leluhur (warga). Melalui ekonominya

mereka dapat membangun pura kawitan yang besar dan artistik, di mana

mengandung arti melaluinya citra dan kebesaran leluhurnya dapat

terangkat; begitu juga status sosial mereka akan terangkat sebagai

keturunan dari leluhur tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, warga-

warga yang ada di Balinuraga ini termasuk dalam golongan jabawangsa.

Sebuah golongan yang kurang istimewa berdasarkan sudut pandang

triwangsa (bangsawan puri). Kekuatan ekonomi yang dibangun dari

Page 130: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

226

kumpulan warga-warga (jabawangsa) yang berada di luar Bali ini,

nantinya akan memberikan posisi tawar atas status sosial mereka di tingkat

pusat untuk melawan dominasi triwangsa. Donasi mereka kepada

kelompok warga-warga di Bali (pusat) – beserta golongan jabawangsa

lain (warga-warga) yang jumlahnya mendominasi Bali dan luar Bali –

menjadikan kekuatan ekonomi sebagai alat meningkatkan status sosial

mereka di tingkat pusat. Jika di tingkat pusat misi ini berhasil dieksekusi

dengan donasi mereka, maka efeknya akan terasa bagi mereka yang berada

di luar Bali – seperti menjadi kepuasan batin tersendiri. Sebuah misi

(perjuangan) yang sampai sekarang belum selesai di tingkat pusat.

Faktor Ancaman Eksternal

Di level komunitas, komunitas Bali Nusa dan komunitas Bali

Hindu lainnya, membentuk satu perkampungan (pemukiman) yang

eksklusif. Seperti kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, satu desa

ini dengan tujuh banjar (dusun) mayoritas merupakan Bali Hindu yang

berasal dari Nusa Penida. Kampung Bali lainnya yang setingkat banjar

(dusun) tetap dibangun secara esklusif, meskipun mereka berada di tengah-

tengah desa yang mayoritas berasal dari (keluarga transmigrasn) Jawa. Itu

pun masih membawa identitas tempat asalnya, seperti Kampung Bali yang

merupakan transmigrasi atas sponsor pemerintah di tahun 1963 akibat

meletusnya Gunung Agung, yang disebut (kampung) Bali KoOGA

(Komando Operasi Gunung Agung) yang didominasi oleh orang Bali yang

berasal dari wilayah Bali Selatan, khususnya wilayah Tabanan. Di samping

itu, ada Kampung Bali yang anggotanya orang Bali dari berbagai tempat,

termasuk dari Nusa Penida, Bali Selatan, dan Bali Utara – biasanya yang

datang pasca Gerakan 30 September 1965, tepatnya setelah tahun-tahun

awal Orde Baru berdiri (1970-an).

Untuk alasan yang bersifat pragmatis pembangunan Kampung Bali

yang bersifat eksklusif dapat dipahami, yaitu untuk mempermudah

konsolidasi dan koordinasi massa saat penyelenggaraan upacara adat-

keagamaan. Biaya yang dikeluarkan menjadi lebih murah, dan proses

penyelenggaraan upacara menjadi lebih mudah karena sudah saling

memahami prosedurnya (berasal dari tempat yang sama sewaktu di Bali).

Selain itu, pemukiman yang eksklusif dapat menghindari kesalahpahaman

Page 131: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

227

atau pun ketersinggungan dari komunitas lain yang mayoritas dengan

keyakinan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki

agenda upacara adat-keagamaan yang jumlahnya banyak. Jika itu

dilakukan di dalam pemukiman komunitasnya sendiri, maka dapat

menghindari perasaan terganggu dari komunitas lain. Bisa dibayangkan

bagaimana potensi konflik horisontal yang terjadi jika mereka membaur

dalam sebuah komunitas yang memiliki fanatisme agama yang berlebihan.

Selain itu, mereka dapat memelihara hewan ternak seperti babi dan hewan

peliharaan seperti anjing, di mana hewan-hewan ini bisa menimbulkan

perasaan tidak senang atau pun ketersinggungan bagi komunitas lain.

Karena itu untuk di wilayah Lampung, hanya di Kampung Bali masyarakat

bisa menemukan babi dan anjing dipelihara dengan bebas – babi dan

anjing hilir mudik dengan bebasnya tanpa adanya ancaman pembunuhan

terhadap hewan tersebut maupun ancaman fisik dan psikis terhadap

pemiliknya.

Poin yang sangat penting dari keberadaan Kampung Bali adalah

kedudukannya sebagai “benteng terakhir” identitas kebalian mereka

setelah berada di luar Bali. Sebuah benteng yang melindungi identitas

kebalian dari ancaman eksternal. Penulis menyebutkan “benteng terakhir”

karena mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat Lampung yang

menyebabkan mereka tidak mungkin pindah lagi ke Bali dengan

penduduknya yang sudah padat, dan yang paling penting, Kampung Bali

merupakan basis identitas kebalian mereka. Posisi mereka sebagai

minoritas yang hidup di tengah-tengah mayoritas (berbeda dengan posisi

mereka ketika masih di Bali), memaksa mereka dalam proses pembentukan

identitas kebaliannya identitas ini diperkuat. “Menjadi Lampung”

(menjadi orang Bali Lampung) adalah solusi bagi mereka agar bonding

komunitas berbasis identitas yang telah menguat ini, tidak menghalangi

proses bridging dengan komunitas lain yang berbeda. Faktor ini (ancaman

eksternal) yang menyebabkan mengapa mereka mengamini wacana Ajeg

Bali yang berkembang di pusat. Bagi mereka ancaman atas ketahanan

identitas Bali juga mereka rasakan di luar Bali. Berbeda dengan di Bali, di

luar Bali mereka minoritas dengan ancaman eksternal yang tentunya lebih

besar pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mereka membentuk

Page 132: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

228

satuan pengamanan tradisional sendiri – pecalang – untuk upacara (dan

kepentingan formal / informal) adat dan keagamaan, di mana tujuan

lainnya pembentukan pecalang ini sebagai penjaga keberlangsungan dan

keamanan identitas kebalian mereka terhadap ancaman eksternal.

Perasaan terancam (eksternal) merupakan hal yang manusiawi,

karena posisinya sebagai minoritas yang kukuh mempertahakan identitas

asalnya. Pasca Bom Bali I dan II – bagaimana mereka menyaksikan sendiri

situasi Bali pasca ledakan bom saat pulang kampung – perasaan terancam

ini dirasakan semakin menguat. Benteng identitas – Kampung Bali – yang

dimiliki terlalu kecil bila harus menghadapi ancaman eksternal. Ancaman

eksternal tersebut dapat mereka ilustrasikan sebagai “Jawa” yang mereka

identikkan dengan “Islam”, dan mereka hidup di antaranya. Di Lampung

sendiri, terdapat kelompok-kelompok fudamentalis yang tersebar di

berbagai daerah, eksistensi mereka tampak di permukaan pasca jatuhnya

Suharto220

. Penampilan mereka yang khas – bercadar (wanita), bersorban

(laki-laki), berjenggot tebal dan panjang – membangkitkan perasaan

trauma tersendiri bila mereka melihat kembali peristiwa Bom Bali

(meskipun mereka tidak mengalami secara langsung). Perasaan sensitif,

sentimentil dan trauma kadang menghampiri mereka ketika berjumpa

dengan salah satu anggota kelompok ini di tempat-tempat publik tertentu,

seperti berpapasan di jalan raya atau pasar – meskipun tidak ditunjukkan

melalui mimik wajah. Bila komunitas Balinuraga (dan juga komunitas Bali

Hindu lainnya) memperhatikan kejatuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam

Demak, dan peristiwa Bom Bali yang belum lama terjadi, maka semakin

menguatlah wacana meng-ajeg-kan Kampung Bali sebagai “benteng

terakhir” identitas kebalian mereka di luar Bali. Eksistensi kelompok-

kelompok fundamentalis sebenarnya bukan satu-satunya ancaman

eksternal bagi Kampung Bali. Ada ancaman yang lebih nyata yang harus

220

Kelompok-kelompok ini ada yang merupakan pecahan dari peristiwa Talang

Sari, dan ada yang bentukan baru yang berkiblat di Jawa. Dari kelompok-

kelompok inilah, beberapa calon-calon teroris direkrut untuk melaksanakan aksi-

aksi teror di Indonesia. Contoh terbaru adalah aksi latihan militer gerakan ini di

Aceh, di mana salah satu anggotanya ada yang berasal dari “Kelompok Lampung”

– yang diindikasikan berasal dari kelompok-kelompok (fundamentalis) ini

(berbagai sumber: September 2010).

Page 133: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

229

dihadapi oleh komunitas mereka, terutama generasi muda, yaitu

modernisme, konsumerisme, hedonisme, pragmatisme, demokrasi dan

liberalisme, dan lain-lain. Faham-faham tersebut mereka dapatkan dan juga

dipraktekkan oleh mereka ketika mereka sudah mulai bersentuhan dengan

pergaulan dalam komunitas yang lebih luas dan heterogen, di mana

sedikit-banyak bertentangan dengan ketradisionalan identitas mereka, yaitu

ketika harus bersekolah atau bekerja di luar kampung seperti di ibukota

kabupaten atau provinsi. Ketika mereka sudah berada di kota, otomatis

mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat urban, dan terpengaruh

budaya urban melalui interaksinya dengan masyarakat yang heterogen.

Akibatnya, ketika mereka kembali ke Kampung Bali dan menjadi

masyarakat modern, mereka harus berhadapan dengan ketradisionalan

identitas mereka, dan harus berhadapan dengan kalangan yang konservatif

– modernisme sebagai ancaman. Sampai saat ini, pertentangan antara

modern vs tradisional masih terus berlangsung. Mereka yang modern

beranggapan bahwa modernisme tidak berarti hilangnya ketradisionalan

identitasnya, sebaliknya, yang tradisional beranggapan bahwa modernisme

mengancam ketradisionalan dan keotentikkan identitas leluhur. Meskipun

pertentangan ini muncul di dalam komunitasnya, ada satu kesepakatan

bersama di antara mereka yang tetap menjadi faktor pemersatu: identitas

kebalian harus tetap bertahan dan eksis. Jadi pertentangan-pertentangan

yang ada merupakan bagian dari cara untuk mempertahankan identitas

mereka, dan bagi mereka ini merupakan sebuah dinamika yang harus

mereka jalani – untuk menjadi semakin solid harus ada pertentangan, tapi

pertentangan yang tidak sampai pada bentrokan fisik.

Faktor Pendidikan

Bagi generasi muda, (faktor) pendidikan merupakan konstruktor

yang cukup berpengaruh dalam upaya mereka membentuk atau

menafsirkan identitasnya sesuai dengan tantangan zaman. Di lingkungan

keluarga dan komunitas, generasi muda mengalami pembentukan identitas

oleh lingkungannya sebagai Bali Hindu. Kemudian, di sekolah identitas

Hindu Dharma terus dikonstruksi dan dimatangkan melalui pelajaran

agama, dan melalui anak-cabang pelajaran ilmu sosial, mereka disadarkan

kembali bagaimana Bali (tanah leluhur) memiliki identitas budaya dan

Page 134: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

230

keagamaan yang kuat – hingga menjadikannya daerah tujuan wisata

domestik dan internasional tersohor.

Sebaliknya, ketika jenjangan pendidikan semakin tinggi dan

mengharuskan mereka bersekolah di luar kampungnya (tingkat SMU dan

perguruan tinggi), mereka menghadapi gejolak identitas – meskipun

pelajaran agama dan ilmu sosial yang “menyanjung” keorisinalan Bali

sebagai warisan budaya masih mereka dapatkan. Penyebabnya, pertama,

setelah bersekolah di luar kampung (di ibukota kabupaten atau provinsi)

mereka bertemu dan berinteraksi dengan lingkungan yang heterogen

dengan identitas yang heterogen pula. Kedua, melalui pergaulan di

lingkungan sekolah, mereka menjadi semakin mengerti arti penting

peralatan elektronik seperti handphone dan komputer (desktop atau pun

laptop), sepatu dan baju bermerek, dan lain-lain. Akibatnya, timbul

keinginan (bukan kebutuhan) untuk memiliki peralatan elektronik tersebut

– lebih disebabkan motif gengsi daripada fungsi – yang berujung pada

konsumerisme. Ketiga, melalui pelajaran-pelajaran di sekolah, secara tidak

langsung, mereka dituntun dan dibentuk bagaimana menjadi masyarakat

yang modern dan maju, di mana tradisionalisme bertentangan dengan

modernisme: bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berperan besar dalam

kemajuan negara-negara maju. Keempat, melalui pergaulan di lingkungan

sekolah pula, mereka dibentuk menjadi masyarakat yang pluralis – bhineka

tunggal ika – dan Pancasilais (nasionalis). Agar mereka bisa mendapatkan

pergaulan yang lebih luas, maka mereka harus menyingkirkan batas-batas

identitas yang dapat menghambat pergaulan tersebut – menjadi lebih

Indonesia – tanpa harus mengingkari identitas asalnya sebagai Bali Hindu.

Oleh karena itu, bukan bermaksud mengeneralisir, pemuda-

pemuda Balinuraga (termasuk pemuda-pemuda Bali Hindu di Kampung

Bali lain) umumnya menjadi lebih moderat daripada mereka yang tidak

pernah bersekolah di luar kampung dan berinteraksi secara intensif dalam

lingkungan yang heterogen221

. Pemuda-pemuda ini – yang kemudian

221

Ada kasus tertentu (kasus khusus yang jarang terjadi) di mana orang tua tidak

mengizinkan anaknya untuk bersekolah terlalu jauh (di luar kota). Ada ketakutan

jika anaknya menjadi berubah secara radikal setelah kembali dari sekolah. Orang

tua ini mengkhawatirkan jika anaknya tidak lagi bersembahyang secara rutin

Page 135: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

231

menjadi elit dalam komunitasnya – membawa sebuah gagasan baru yang

didukung oleh sepuh-sepuh yang berpandangan luas dan moderat.

Tujuannya adalah untuk memajukan perekonomian komunitas mereka –

pengkondisiannya bahwa mereka harus membangun relasi ekonomi

dengan komunitas lain yang berbeda dengan komunitas mereka – dan

menerima berbagai perubahan dalam menghadapi tantangan zaman yang

dinamis, disertai dengan kelestarian dan keajegan identitas leluhur mereka

sebagai Bali Hindu.

Tantangan zaman terus berubah secara dinamis dan semakin

kompleks. Begitu pula halnya dengan identitas kebalian komunitas Bali

Hindu di luar Bali. Ini menunjukkan bahwa identitas Bali tidak bisa

diajegkan seajeg-ajegnya, identitas tersebut bersifat dinamis, tidak absolut

(harga mati). Ini merupakan sebuah dilema, semakin diajegkan maka

potensi konflik horisontal semakin besar; sebaliknya, jika tidak diajegkan

maka potensi kehilangan identitas itu semakin besar pula. Permasalahan ini

sebenarnya tantangan yang harus dihadapi generasi muda Bali di luar Bali,

seperti kasus Balinuraga. Bagi mereka, pendidikan merupakan salah satu

cara bagaimana mereka mendapatkan “pencerahan” agar dapat

menghadapi berbagai tantangan yang dinamis dan kompleks, tanpa harus

kehilangan identitas leluhurnya.

setelah jauh dari pengawasan orang tua. Kekhawatiran yang lebih besar –

sebenenarnya – adalah ketika anak sudah lupa akan kewajiban adat-keagamaannya

bahwa ia harus me-ngaben-kan orangtuanya. Konsekuensinya, anak tersebut

difasilitasi berbagai keinginannya (dimanjakan), asalkan tidak keluar kampung.

Akibatnya, (yang sering terjadi) anak tersebut justru banyak menghabiskan harta

orangtuanya, dan menjadi pembangkang (karena terlalu dimanja).

Page 136: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

232

Gambar 19. Pemuda dan Pemudi dengan Sepeda Motornya

(Sumber: Yulianto, 2010)

Model Pembentukan Identitas

Berdasarkan temuan di Bab IV, ada beberapa sintesa dan model

pembentukan identitas yang dapat disajikan. Model ini dibangun

berdasarkan keempirikan, bukan penyesuaian (pembenaran) atas model-

model yang sudah ada. Model yang akan diuraikan, pertama-tama, adalah

model yang paling sederhana terlebih dahulu bagaimana pembentukan

identitas itu terjadi dan bagaimana keterkaitannya dengan pembangunan.

Page 137: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

233

Model 1: Konstruksi Identitas

Model pertama ini merupakan sebuah model yang menunjukkan

bahwa identitas sebuah komunitas dibentuk atau dikonstruksikan aktor

atau agen.

Dua aktor utama konstruktor identitas dalam kasus ini adalah aktor pusat

dan satelit. Pusat (Bali) dengan otoritasnya mengkonstruksikan identitas

satelit sebagai sebuah identitas yang sahih (legitimizing identity).

Penyahihan identitas ini terjadi karena adanya hubungan yang saling

mengikat antara pusat dan satelit. Satelit membutuhkan identitas yang

sahih dari legitimasi pusat, sedangkan pusat membutuhkan dukungan

(dana dan massa) dari satelit untuk menopang kedudukannya. Hal ini

ditunjukkan bagaimana di tahun 1970-an, setelah perekonomian

transmigran mapan, warga-warga berusaha mendapatkan legitimasi dan

dilegitimasikan identitasnya oleh pusat yang diwakili lembaga formal

PUSAT

(Otoritas, Bali)

Legitimizing

Identity

CONSTRUCT

(Mengkonstruksi)

SATELIT

(Negara, Balinuraga)

Resistance dan

Project Identity

CONSTRUCT

(Mengkonstruksi)

AKTOR

Model 1. Konstruksi Identitas

Page 138: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

234

warga. Sama halnya seperti identitas kepercayaan Hindu Bali mereka yang

harus disahihkan oleh PHDI menjadi Hindu Dharma.

Sebaliknya, Satelit (Balinuraga) sebagai aktor yang aktif

mengkonstruksikan identitasnya dalam bentuk resistance identity (identitas

perlawanan) dan project identity (identitas proyek). Ini tidak terlepas dari

komposisi masyarakat Balinuraga yang didominasi oleh golongan jaba.

Identitas perlawanan dan politik identitas yang dibentuk merupakan upaya

golongan jaba di Balinuraga untuk mendapatkan kedudukan yang setara.

Manifestasi utama ditunjukkan dengan penggunaan sulinggih warga

(pendeta warga atau pendeta golongan jaba) sebagai pemimpin keagamaan

dalam upacara-upacara penting.

Aktor yang memiliki otoritas untuk mengkonstruksi identitas

digolongkan pada tingkat individu dan organisasi formal di bawah

kekuasaan negara. Sri Mpu Suci merupakan seorang aktor (tingkat

individu) yang memiliki otoritas di tingkat satelit untuk membangun

fondasi identitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal mereka

bertransmigrasi ke Lampung, yaitu identitas menurut tempat asal sebagai

orang Bali Nusa dan identitas kultural sebagai Bali Hindu. Otoritas

tersebut didapatkan dan diakui oleh para transmigran Bali Nusa karena

kedudukannya sebagai seorang pemimpin transmigran dan sebagai seorang

sulinggih (pendeta). Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai seorang sulinggih –

tepatnya sulinggih untuk Warga Pandé, yang kesulinggihannya juga bisa

digunakan oleh warga lain (dalam kasus ini peruntukkan bagi golongan

jabawangsa / non-bangsawan) – berada di bawah PHDI. PHDI sebagai

organisasi semi-pemerintah merupakan aktor pusat (organisasi keagamaan)

yang mendapatkan otoritasnya dari negara (kekuasaan pusat) melalui

departemen agama. Dengan kata lain, PHDI adalah kepanjangan tangan

dari kekuasaan pusat untuk melegalkan keabsahan identitas Bali Nusa

sebagai Hindu Dharma – sebuah agama sah versi pemerintah untuk Hindu

Bali (dan beberapa etnis lain). Selain PHDI, masih ada organisasi formal

warga-warga (elit-elit warga) yang berada di bawah PHDI yang memiliki

otoritas untuk mengkonstruksikan, dan juga menyahihkan, identitas warga

(klan, soroh) dari komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Di samping lembaga

otoritas di mana komunitas Balinuraga menetap – pemerintah daerah –

Page 139: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

235

yang memantapkan identitas Bali Nusa ini sebagai “Orang Lampung

keturunan Bali”. Mereka yang memiliki otoritas ini menggunakan

otoritasnya dalam mengkonstruksi identitas Bali Nusa berdasarkan

“identitas” versi-nya dan tujuannya masing-masing: Sri Mpu Suci

membangun (dan membentuk) fondasi identitas Bali Nusa (dan Bali

Hindu), PHDI mengkonstruksi identitas Hindu Dharma, organisasi formal

warga-warga (di bawah kepemimpinan elit-elit warga) mengkonstruksi

identitas warga (leluhur), dan pemerintah daerah mengkonstruksi identitas

Bali Lampung. Ini bukan berarti anggota komunitas berdiri dalam posisi

yang pasif, karena mereka sendiri pun secara aktif turut mencari bentuk

dari identitasnya. Hanya saja, pencarian bentuk identitas-nya belum dapat

diakui legitimasinya tanpa ada aktor (individu atau organisasi berwenang)

yang mengakuinya secara resmi. Jadi, ada sebuah usaha dan tindakan dari

anggota komunitas ini untuk mencari identitas warga-nya sebagai orang

Bali Hindu, memantapkan identitasnya sebagai Hindu Dharma, dan diakui

posisinya di masyarakat dan pemerintahan daerah sebagai masyarakat

Lampung. Oleh karena itu, meskipun model pertama ini sederhana, bukan

berarti menunjukkan sebuah proses yang kaku, tapi sebaliknya, mengalami

sebuah proses yang sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat mulai dari:

membentuk sebuah komunitas orang (transmigran) Bali Nusa yang

eksklusif; perjuangan mendapatkan pengakuan identitas sebagai Hindu

Dharma (agama resmi) agar tidak menjadi korban pencapan sebagai PKI;

pertentangan identitas antar warga dengan berbagai bentuk manifestasinya,

yang masih berlanjut sampai saat ini, mulai dari klaim-klaim warga mana

yang paling tinggi kedudukan sosialnya sampai pura kawitan warga mana

yang paling megah dan artistik; Hindu Modern versus Hindu Tradisional,

dengan contoh konkretnya adalah perdebatan (dan tindakan nyata) antara

melakukan modernisasi penyelenggaraan upacara adat-keagamaan yang

sederhana dan tidak berbelit-belit versus penyelenggaraan upacara yang

harus runut dan ajeg agar tetap terjaga keorisinalitasannya; polemik

seputar keterlibatan anggota komunitas mereka dalam kegiatan politik

praktis; dan lain-lain. Catatan lain adalah bahwa di dalam anggota

komunitas ada semacam keikhlasan ketika identitasnya dikonstruksi dan

direkonstruksi oleh sebuah kekuasaan, atau sebaliknya, mengadakan aksi

atau tindakan lain yang dinilai relevan bagi keberlangsungan identitasnya.

Page 140: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

236

Hal ini lebih disebabkan oleh faktor keadaan dan situasi di mana mereka

tidak memiliki pilihan atau alternatif lain, misalnya: pasca Gerakan 30

September 1965; masa-masa awal transmigrasi ketika mereka belum

memiliki identitas yang meyakinkan bahwa mereka berasal dari warga

(klan) tertentu – sebuah kondisi yang tidak dapat dielakkan karena mereka

berasal dari Nusa Penida, sebuah pulau yang dahulunya mempunyai

reputasi yang buruk (sebagai tempat pembuangan tahanan politik dan ilmu

hitam); keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan pasca jatuhnya

Suharto (1998) dan krisis ekonomi – mencari uang lebih sulit daripada

masa sebelumnya (Orde Baru) – menyebabkan mereka harus melakukan

modernisasi dalam penyelenggaran upacara adat-keagamaan agar menjadi

lebih sederhana dan hemat tanpa menghilangkan substansi dari upacara

tersebut; interaksi dengan lingkungan yang heterogen (khususnya

masyarakat urban) menyebabkan generasi muda mengikuti pola umum

yang dilakukan oleh lingkungan pergaulannya, seperti menjadi lebih

pragmatis dalam berpikir dan bertindak, konsumerisme, dan hedonisme –

juga merupakan hal yang tidak dapat dielakkan jika mereka harus

bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja di luar kampung

(komunitasnya); dan sebagainya. Peran anggota komunitas yang aktif

dalam proses pembentukan identitasnya, maka memungkinkan mereka

untuk mengadakan sebuah perubahan atas apa yang telah dikonstruksikan

oleh pusat tersebut. Misalnya, menggunakan sulinggih dari kalangan

warga tertentu (pendeta dari golongan jabawangsa) untuk memimpin

upacara ngaben, tanpa harus mengundang pedanda dari Bali. Artinya,

penyelenggaraan upacara ngaben dengan menggunakan pendeta warga,

selain menghemat biaya (khususnya ngaben massal), juga tidak

menghilangkan keabsahan identitas adat-keagamaan mereka.

Menyelenggarakan upacara ngaben pribadi (khusus untuk keluarga sendiri)

dan menggunakan sulinggih dari Bali atau pedanda (pendeta brahmana),

tentu akan menghabiskan biaya yang mahal222

.

222

Meskipun kesulinggihan pendeta warga (jabawangsa) telah diakui

kedudukannya – setara dengan pedanda – namun bagi kalangan tertentu (masih

konservatif), kehadiran pedanda dipercaya menghadirkan sebuah kereligiusan dan

tentunya prestise tersendiri.

Page 141: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

237

Model 2: Pusat sebagai Acuan Pembentukan Identitas

Model kedua menggambarkan bahwa dalam proses pembentukan

dan mencari bentuk identitas dibutuhkan sebuah pusat sebagai acuan atau

cerminan. Dalam kasus orang Bali di luar Bali, seperti di Desa Balinuraga,

pusat yang dimaksud adalah Bali (Bali dan Nusa Penida). Bali merupakan

tanah leluhur di mana butuh untuk mengindetikkan dirinya seidentik

mungkin dengan ada yang di Bali. Proses pembentukan dan mencari

bentuk ini adalah proses yang terus menerus, bukan proses yang berhenti

pada satu waktu tertentu, karena Bali sebagai pusat terus mengalami

perubahan, begitu juga komunitas ini. Karenanya dalam proses peniruan

atau pengkopian identitas diperlukan proses penyesuaian dengan situasi

dan kondisi yang ada di Lampung. Tidak semua simbol, atribut, instrumen

identitas kebalian bisa diimpor atau diadaptasi secara langsung – terkecuali

yang mudah dibawa, seperti: dupa, destar, udeng, kalender, arit, dan lain-

lain (tapi bisa juga dibeli di Lampung). Untuk pembuatan pura, mereka

tidak perlu membawa langsung dari Bali, tapi bisa mereka buat sendiri di

Lampung melalui ahli pembuat pura. Proses pembuatannya melalui

cetakan dengan menggunakan semen. Dalam kasus tertentu, sesuai

pesanan, ada yang diukir dengan sebuah cetakan semen basah. Begitu pula

dengan tata upacara (dan upakara), tetap dilakukan penyesuaian dengan

situasi dan kondisi di Lampung. Namun, garis besar peniruan ini tetap

mencari persamaan bentuk identitas. Penyesuaian tetap dilakukan tanpa

kehilangan hakikat dari identitas tersebut. Umumnya proses peniruan ini –

ketika melakukan reproduksi simbol, atribut, instrumen identitas kebalian

– dilakukan secara otodidak. Mereka membeli sebuah master (atau

prototipe) untuk ditiru dan diproduksi.

BALI

“PUSAT”

ADAPTASI

/

PENIRUAN

SIMBOL, ATRIBUT,

INSTRUMEN

IDENTITAS

“KEBALIAN”

LAMPUNG

SELATAN LAMPUNG

SELATAN

Page 142: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

238

Proses peniruan ini merupakan salah satu upaya bagi mereka agar

tetap menjadi dan diakui sebagai Bali. Simbol, atribut, instrumen identitas

kebalian merupakan penunjuk yang dapat dilihat secara langsung bahwa

mereka adalah Bali. Ini membuktikan kuatnya ikatan komunitas ini

meskipun sudah berada di luar Bali. Mereka tidak ingin penunjuk

identitasnya sebagai Bali ada yang absen setelah berada di luar Bali. Jadi

melalui ini, tidak mengherankan bila mereka tetap disebut sebagai Bali

meskipun sudah berada di luar Bali.

Model 3: Perkembangan dan Pembentukan Identitas

Berdasarkan Waktu

Model ketiga menggambarkan bahwa identitas itu terus

mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Identitas itu bersifat dinamis.

Tidak bersifat absolut atau tetap. Hal ini disebabkan setiap masa memiliki

tantangan bagi setiap generasi di masa tersebut. Perubahan identitas ini

diwujudkan dalam proses pengaktualisasian atas eksistensi identitas

tersebut dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.

IDENTITAS

“LAMPAU”

IDENTITAS

“KINI” IDENTITAS

“MENDATANG”

GENERASI TUA

GENERASI SEKARANG

GENERASI MASA DEPAN

Model 2. Pusat (Bali) dan Peniruan (Copying) Identitas

Page 143: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

239

Contoh sederhananya adalah sebagai berikut: tata upacara (dan upakara)

yang dilakukan transmigran pertama di saat tahun-tahun pertamanya di

Lampung Selatan (khususnya sebelum peristiwa Gerakan 30 September

1965) akan sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan di masa Orde Baru

(1970an – 1990-an) dan di masa reformasi. Di tahun-tahun awal di

Lampung tata upacara (dan upakara) dilakukan dengan sangat sederhana,

dikarenakan situasi dan kondisi perekonomian dan kehidupan para

transmigran masih sangat sulit. Di masa Orde Baru, mulai tahun 1970-an

sampai sebelum krisis ekonomi (1997/1998) upacara bisa dilakukan

dengan besar-besaran, karena perekonomian mereka sudah mapan dan

mencari uang masih mudah. Di masa reformasi, upacara dilakukan dengan

sederhana dengan berbagai perubahan, lebih disebabkan karena

relevansinya di masa ini. Prosedur upacara (dan upakara) dibuat lebih

mudah (tidak berbelit-belit) dan hemat, tanpa harus menghilangkan inti

dari upacara (dan upakara) itu sendiri. Generasi ini (bersama generasi tua

yang masih hidup) menyadari bahwa tata upacara yang bersifat ketat akan

menghabiskan biaya yang mahal (di saat mencari uang tidak semudah di

masa Orde Baru), dan bagi generasi muda ini dinilai membosankan. Garis

besar yang mereka pegang adalah perubahan apa pun yang dilakukan

dalam mengaktualisasikan identitas mereka sebagai Bali Hindu jangan

sampai merubah hakikat (tujuan utama) dari setiap proses upacara (dan

upakara) itu sendiri. Selama perubahan tersebut masih sesuai dengan

aturan dan tidak mendapat teguran dari PHDI sebagai otoritas resmi yang

mengawasi kegiatan umat.

Model 3. Perubahan Identitas, Waktu, Generasi, dan Tantangan

Page 144: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

240

Model 4: Bonding Berbasis Identitas dan Pembangunan

Model keempat menggambarkan bahwa bonding berbasis identitas

– dalam kasus komunitas Bali Nusa – tidak dapat dilepaskan dari motif

pembangunan sebagai penunjuk dari eksistensi identitas mereka yang

terfragmentasi. Model Empat di bawah ini menunjukkan fragmentasi dari

bonding berbasiskan identitas. Dalam ruang yang lebih kecil adalah

bonding berbasis identitas warga (sub-etnik) yang berada di level setingkat

banjar atau dusun. Di atasnya adalah bonding berbasis agama. Bonding

identitas berbasis agama ini menaungi identitas sub-etnik (warga) dan

etnik, dan bagi masyarkat Bali ini seperti kesatuan, antara identitas etnik

dan agama. Levelnya setingkat desa – dalam kasus ini Desa Balinuraga.

Dalam model keempat ini, penulis ingin menunjukkan bahwa

bonding berbasis identitas ini tidak berpengaruh negatif terhadap

pembangunan. Namun sebaliknya, bonding berbasis identitas ini

berpengaruh positif terhadap pembangunan dalam level dusun (banjar) dan

desa (desa adat / komunitas adat Bali Nusa). Hal ini dapat dilihat dan

dibuktikan dari hasil atau produk pembangunan di level banjar dan desa

adat.

Identitas Lokal

Identitas Agama

Identitas

Warga

Level Banjar:

warga Level Desa:

Bali Hindu

Level Lokal:

Bali Lampung

Pura Kawitan,

Pura Keluarga Pura Kahyangan

tiga, Bale Banjar,

dll.

Infrastruktur umum:

jalan, sekolah,

posyandu, kantor

desa, dll.

Pembangunan

Fisik

Model 4. Bonding Berbasis Identitas

Page 145: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

241

Model keempat di atas menunjukkan bahwa penguatan identitas

(bonding) warga (sub-etnik) pada level banjar atau dusun merangsang

mereka untuk membangun banjar atau dusunnya secara swakarsa untuk

menunjukkan eksistensi identitasnya sebagai warga tertentu, yaitu

diwujudkan dengan membangun pura kawitan di sebuah griya dalam

sebuah banjar yang diperuntukan bagi warga tersebut. Pembangunan

tersebut dilakukan secara swakarsa, menggunakan dana dan tenaga

kolektif anggota banjar (warga) tersebut. Agar proses pembangunan

tersebut dapat direalisasikan menjadikan dorongan bagi komunitas warga

ini untuk bekerja lebih keras (bertani) di level keluarga inti. Sumbangan

sebagian penghasilannya untuk pembangunan dan renovasi pura kawitan

merupakan wujud dari eksistensi dan status sosial identitas warga-nya

(leluhur / kawitan). Kemudian, di level desa, dengan penguatan identitas

sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, mengharuskan mereka untuk

membangun infrastruktur adat-keagamaan yang menunjukkan kesolidan

komunitas mereka sebagai Bali Nusa (Bali Hindu). Pada level ini, identitas

warga-warga meleburkan diri menjadi satu kesatuan di tingkat desa adat

(Desa Balinuraga). Ini ditunjukkan dari pembangunan Pura Kahyangan

Tiga beserta fasilitas adat-keagamaan lainnya yang juga dibangun secara

swakarsa. Artinya, dana dan tenaga untuk pembangunan di level desa ini

disumbangkan oleh semua anggota warga-warga. Dengan kata lain, ada

dua kewajiban pembangunan untuk eksistensi identitasnya, yaitu

pembangunan untuk eksistensi identitas warga (Pura Kawitan) dan

Model 4-1. Bonding Berbasis Identitas dan Pembangunan

Page 146: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

242

eksistesi identitas sebagai Bali Hindu Nusa Penida (Pura Kahyangan tiga).

Di level lokal, kecamatan dan kabupaten, Desa Balinuraga merupakan

salah satu desa penghasil beras (padi) yang produktif di Kabupaten

Lampung Selatan. Dengan memposisikan identitas asal (Bali Hindu)

dengan identitas lokal sebagai Bali Lampung, memberikan posisi tawar

bagi mereka kepada pemerintah daerah untuk membangun infrastuktur

desa ini sebagai desa dinas – karena infrastruktur desa adat sudah dibangun

secara swakarsa. Pembangunan jalan utama desa yang menghubungkan ke

kecamatan dan kabupaten merupakan hak mereka sebagai masyarakat

Lampung. Sebagai desa penghasil beras di Kabupaten Lampung Selatan

mereka merupakan pembayar pajak yang loyal, infrastruktur umum

terutama jalan desa, harus dibangun oleh pemerintah daerah agar distribusi

hasil panen berjalan lancar. Menjadi pembayar pajak yang loyal adalah

perwujudan identitas mereka sebagai masyarakat Lampung (Bali

Lampung). Kelalaian pemerintah membangun infrastruktur desa

(khususnya jalan utama desa) tentu berdampak pada penghasilan yang

diterima pemerintah daerah, khususnya kecamatan, karena distribusi beras

menjadi terganggu. Dengan kata lain, penguatan identitas lokal mereka

sebagai Bali Lampung diwujudkan dengan peran serta pemerintah dalam

membangun infrastruktur desa ini sebagai desa administratif.

Jadi, penguatan identitas yang berlapis ini – dari identitas warga,

agama, dan lokal – dalam pengaktualisasiannya membutuhkan sebuah

kerja ekonomi (pertanian) yang keras dan tekun. Pembangunan fisik

(bangunan fisik) merupakan manifestasi materiil dari identitasnya, baik

sebagai identitas warga, identitas Bali Hindu, maupun identitas Bali

Lampung. Manifestasi materiil ini jelas tidak dapat dilakukan jika mereka

tidak bekerja keras – mengingat ada banyak kewajiban adat-keagamaan

yang harus mereka laksanakan. Bila dalam gambar di atas penguatan

identitas lokal diberikan garis putus-putus, dikarenakan ketika

pengaktualisasian identitas sampai di level desa adat, maka sumbangsih

kerja keras mereka untuk eksistensi identitasnya tentu akan langsung

berefek pada perekonomian daerah – dari desa administratif ke kecamatan

lalu ke kabupaten. Dengan kata lain, bonding berbasis identitas ini bersifat

terbuka bagi pembangunan di tingkat desa. Pada tataran tertentu, bonding

Page 147: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

243

berbasis identitas ini tidak menunjukkan keesklusifan, tapi sebaliknya,

terdapat keterbukaan dalam relasi atau hubungan dengan komunitas lain,

seperti penguatan identitas lokal (Bali Lampung) yang memungkinkan

mereka untuk menjalin komunitas lain non-Bali sebagai sesama

masyarakat Lampung. Dengan adanya realitas bahwa bonding berbasis

identitas ini pembangunan tetap dapat berjalan tanpa adanya peran

pemerintah, maka sebenarnya dalam komunitas tertentu kehadiran

pemerintah dalam proses pembangunan tidak terlalu dibutuhkan dalam hal-

hal tertentu, kecuali perannya sebagai pengatur lalu-lintas pembangunan

itu sendiri agar tidak terjadi sebuah clash atau benturan fisik antar

komunitas yang berbeda identitas, dan menjadikan sistem perekonomian

lebih tertata rapih, terutama distribusi pendapatan. Melalui sebuah realitas

bagaimana komunitas Bali di luar Bali mengekspresikan dan

mengaktualisasikan identitasnya melalui upacara adat-keagamaan bersifat

massal – dengan sebuah sistem dan aturan yang sistematis – beserta

perangkat-perangkat adat-keagamaannya (terutama dengan hadirnya

pecalang), dan keterbukaannya dalam relasi ekonomi dengan komunitas

lain non-Bali, bukankah menunjukkan komunitas ini seperti (meminjam

istilah Geertz, 1980223

) sebagai sebuah negara teater, sekaligus juga

sebuah benteng tertutup.

Model 5: Model Pembentukan Identitas

Model ini merupakan sebuah pola umum – studi kasus komunitas

Bali Nusa di Balinuraga – dalam proses pembentukan identitasnya, yang

tertutup (bonding) tapi juga terbuka (bridging). Model pembentukan

identitas ini terkait bagaimana komunitas Bali Nusa bisa mempertahankan

dan melestarikan identitas kebaliannya dalam pembangunan di tingkat

lokal. Artinya, mereka bisa melakukan aktivitas perekonomiannya – yang

dalam prosesnya harus berinteraksi dengan komunitas lain yang heterogen

dan terbuka dalam menjalin relasi ekonomi – tanpa kehilangan identitas

kebalian-nya. Dengan kata lain, mereka ingin membentengi identitasnya –

223

Lihat: Geertz (1980) Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali,

Princenton University Press.

Page 148: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

244

melalui bonding berbasis identitas – dalam sebuah benteng tertutup

(Kampung Bali).

Sebagai sebuah rangkuman dari model-model dan uraian pada sub-

bab sebelumnya, model kelima ini memberikan gambaran sebuah pola

umum – untuk kasus Balinuraga – pembentukan identitas. Model ini

menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan identitas: membutuhkan

aktor atau agen berotoritas guna membentuk identitas yang sahih

(legitimizing identity), identitas perlawanan (resistance identity), dan

identitas proyek (project identity); proses peniruan bentuk identitas dengan

pusat; kedinamisan identitas sesuai dengan waktu, tempat, dan

tantangannya; serta keterkaitan dan penyesuaian dengan proses

pembangunan di tingkat lokal. Garis lingkaran tebal pada identitas warga

dan agama merupakan bagaimana mereka membentengi identitas

kebaliannya terhadap ancaman eksternal (lingkungan sosial yang

IDENTITAS

(Legitimizing, Resistance, Project)

Identitas Lokal

Identitas Agama

Identitas

Warga

Pusat

&

Satelit

“Pusat”:

Bali

Waktu, Tempat, &

Tantangan

Pembangunan

Konstruksi

Peniruan

Perubahan

Politik

Identitas

Model 5. Pembentukan Identitas

Page 149: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

245

majemuk); sedangkan garis lingkaran putus-putus pada identitas lokal

(bonding identitas lokal) adalah bagaimana mereka membuka diri dalam

interaksi ekonominya dalam proses pembangunan di tingkat lokal yang

lingkungan sosialnya lebih heterogen, sekaligus sebagai jawaban atas

ancaman eksternal. Model ini juga sekaligus menunjukkan bahwa bonding

berbasis identitas, dalam tataran bonding yang lebih luas, di mana di dalam

lingkaran bondingnya terdapat variasi identitas, proses pembangunan

melalui interaksi ekonomi bisa dilakukan. Bonding identitas pada tataran

ini kemudian memperkuat basis ekonomi berdasarkan identitas, dalam

kasus ini adala identitas lokal yang lebih heterogen.

Kesimpulan

Pembentukan identitas yang menghasilkan sebuah identitas

tertentu merupakan sebuah proses yang dinamis. Artinya tidak berhenti

pada satu titik tertentu yang menjadikan identitas itu bersifat absolut atau

ajeg – identitas bukan sebuah harga mati yang tidak bisa berubah. Sama

seperti diri individu di mana identitas itu melekat, begitu pula identitas itu

sendiri, yang harus berhadapan dengan sebuah realitas waktu dan

tantangan yang terus berubah. Pusat (power, otoritas, kekuasaan, Bali)

yang mengkonstruksikan identitas berperan sebagai lembaga yang

melegitimasi kesahihan identitas tersebut. Proses peniruan terhadap pusat,

tidak lain merupakan cerminan dari kuatnya ikatan sosial di tempat asal di

mana identitas tersebut melekat di dalamnya.

Konstruksi identitas dalam proses pembentukan identitas

komunitas Bali Nusa sebenarnya memiliki pola konstruksi identitas yang

sama dalam konteks yang berbeda seperti yang dilakukan oleh pemerintah

kolonial ketika mengkonstruksikan identitas Bali sebagai paradise, yaitu

pusat dengan kekuasaan yang dimiliki dapat mengkonstruksikan identitas

etnis tertentu. Dalam istilah Castells (2002) pengkonstruksian identitas ini

disebut sebagai legitimizing identity. Kasus yang menonjol adalah

penyahihan identitas warga oleh lembaga formal warga yang berada di

pusat (Bali) dan identitas Hindu Dharma oleh PHDI. Di sisi lain,

Balinuraga sebagai satelit menjadi agen atau aktor yang aktif dalam

mengkonstruksikan identitasnya. Bentuknya – menggunakan istilah

Castells (2002) – berupa resistance identity dan project identity yang

Page 150: BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/5/D_902008001_BAB IV.… · menikah dengan calon istri atau suami yang ... hilangnya identitas leluhur

246

dilakukan komunitas Balinuraga sebagai satelit yang didominasi oleh

golongan jaba. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana warga-warga

(golongan jaba) berperan mendukung perjuangan pusat yang diwakili elit-

elit lembaga formal warga agar golongan jaba mendapatkan kedudukan

yang setara dengan triwangsa, dan menggunakan sulinggih warga

(pendeta warga, pendeta non-Brahmana) untuk memimpin upacara-

upacara penting di dalam komunitas ini.

Kasus yang menguraikan pertentangan identitas warga, sekali

lagi, menunjukkan dan sekaligus menyangkal apa yang dikonstruksikan

terhadap citra Bali sebagai paradise setelah keberadaan mereka di luar

Bali. Pola-pola pertentangan identitas secara garis besar memiliki

kesamaan dengan yang terjadi di Bali. Hal ini sama seperti yang

dikemukakan oleh Vickers (1996), Schulte Nordholt (2009), dan Robinson

(1995) bagaimana gesekan-gesekan sosial selalu terjadi dalam kehidupan

masyarakat Bali sejak masa pra-kolonial sampai pasca kolonial. Fakta ini

mempertegas bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang dinamis

dalam kehidupan sosial politik di dalam komunitasnya. Tidak hanya di

Bali, tetapi juga ketika mereka sudah berada di Lampung.

Sebagai sebuah proses, pembentukan identitas komunitas ini

belum selesai dan terus berlanjut sampai komunitas ini (satelit) beserta

pusat masih tetap ada. Sampai saat ini pun, hubungan pusat-satelit ini

masih berlangsung dalam proses pembentukan identitas komunitas ini

sebagai sebuah ikatan sosial yang melekat (mengikat pengorbitan pusat-

satelit). Tidak hanya untuk menyahihkan identitasnya (legitimizing

idenitity), tetapi juga bagaimana satelit membentuk identitas perlawanan

(resistance idenitity) dan identitas proyek (project identity).