BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil...
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini disajikan berdasarkan data-data yang terkumpul di
lapangan. Data-data lumadu yang dievokasi ditemukan melalui dokumentasi dan
wawancara. Berdasarkan kedua data tersebut diformulasikan kembali berdasarkan
konvensi kesastraan yang ditetapkan. Berdasarkan data dokumentasi, menurut Tuloli
lumadu adalah puisi pengasah otak (2000:101). Kemudian didipu menyebutkan
lumadu sebagai ungkapan tradisional (2011:76). Disebutkan oleh Farha Daulima pada
halaman kata pengantar bahwa lumadu sebagai ungkapan dalam bahasa daerah
Gorontalo. Melalui hakikat lumadu yang telah ditetapkan oleh para ahli, dijadikan
sebagai landasan data dalam penelitian.
Berdasarkan informasi yang ditemukan , dilakukan formulasi melalui analisis
data sebagai bentuk tindakan dalam pemenuhan indakator penelitan.Hasil dari
formulasi data yang dianalisis, ditemukan bentuk dan penjenisan lumadu berdasarkan
fungsinya. Adapun hasil analisis atas pemenuhan indikator penelitian sebagai berikut.
4.1.2 Bentuk dan fungsi Lumadu
Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan
narasumber, dihasilkan formulasi penelitian yang berbeda dari sebelumnya. Informasi
yang ditemukan menjelaskan tentang lumadu, dan hasil informasi menjelaskan bahwa
lumadu terdiri atas dua bentuk, dan setiap bentuk diklasifikasikan ke dalam jenis
yang berbeda. Lumadu terbagi atas dua bagian, yaitu lumadu sebagai sastra lisan
Gorontalo dan lumadu sebagai gaya bahasa sastra lisan Gorontalo.Lumadu sebagai
sastra lisan Gorontalo terklasifikasi menjadi lumadu jenis nasihat, lumadu jenis
prinsip, dan lumadu jenis sindiran. Untuk lebih jelasnya, diuraikan penjelasannya
sebagai berikut.
4.1.2.1 Lumadu sebagai sastra lisan Gorontalo
Puisi lama adalah jenis sastra lisan yang terikat oleh jumlah bait, setiap bait
dalam barisnya, dan terikat oleh suku kata dalam setiap barisnya. Puisi lama juga
mengutamakan bentuk, bunyi, dan kepadatan makna di dalamnya. Puisi lama terbagi
atas beberapa jenis, yaitu mantra, peribahasa, pantun, syair, dan gurindam. Puisi lama
eksitensi sangat dominan dalam ranah kedaerahan disebabkan puisi lama banyak
digolongkan sebagai sastra daerah. Sastra daerah terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan adalah sastra daerah yang proses
pewarisannya secara lisan, sedangkan sastra tulisan adalah sastra derah yang hadir
dalam bnetuk tulisan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan, ditemukan lumadu yang berbentuk
sastra lisan. Bentuk ini dikatakan sastra lisan karena terdapat kemiripan antara
lumadu dengan puisi lama. Jenis puisi lama yang sama dengan lumadu adalah
peribahasa. Peribahasa terbagi atas pepatah, perumpamaan, ungkapan, tamsil, pameo.
Kemiripan antara lumadu dan puisi lama dijadikan dalil dalam penggolangan lumadu
sebagai sastra lisan. Puisi adalah jenis sastra, dan lumadu eksitensinya diwariskan
secara lisan dari generasi ke generasi. Hal ini sebagai penjelas bahwa lumadu
merupakan puisi lama yang diwariskan secara lisan oleh masyarkat Gorontalo,
sehingga lumadu ini disebut sebagai sastra lisan Gorontalo.
Pada definisi sebelumnya, disebutkan bahwa puisi lama terikat oleh bait dan
baris, serta mengutamakan bunyi, bentuk, dan kepadatan makna. Definisi puisi lama
dalam pargragraf sebelumnya merupakan definisi yang bersifat umum. Apabila
definisi ini dihubungkan dengan lumadu maka terdapat perbedaan di dalamnya.
Lumadu adalah sastra lisan yang berbentuk peribahasa. Lumadu sebagai puisi lisan
Gorontalo di dalamnya terkandung kepadatan makna dan bentuknya berdasarkan
jenis-jenis dalam peribahasa.
Lumadu dikatakan sebagai sastra lisan karena kemiripan bentuknya dengan
peribahasa. Contohnya, lumadu yang berbentuk pepatah, openu de moputi tulalo, bo
dila moputi baya, artinya biarlah berputih tulang, yang penting tidak berputih wajah.
Lumadu ini merupakan lumadu pepatah yang berisi pengajaran dalam menjunjung
tinggi kehormatan. Jika diperhatikan secara seksama, maka lumadu ini terdapat
kemiripan bentuk dengan pepatah “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.
Keduanya terdapat kemiripan bentuk dan kepadatan makna di dalamnya.
Lumadu yang bentuknya pepatah bukan berarti bahwa lumadu seluruhnya
berbentuk pepatah. Selain berbentuk pepatah, lumadu juga berbentuk ungkapan, yang
fungsinya memperhalus kalimat, contohnya po’o-po’oyo hulawa, bisa-bisala
tombahu,yang artinya berdiam itu emas, bicara itu tembaga. Kalimat diperhalus
dengan diksi hulawa yaitu emas, dan tombahu yaitu tembaga. Bentuk lumadu yang
lain, berbentuk pameo atau sindiran.Lumadu yang berbentuk pameo, contohnya yaitu,
amula didi lo hipo. Lumadu ini digunakan sebagai sindiran bagi mereka yang datan
tanpa salam dan pergi tanpa pamit.
Peribahasa terbagi atas beberapa bentuk, yaitu pepatah, ungkapan, pameo,
perumpamaan dan tamsil. Berdasarkan data yang ditemukan, bahwa ternyata terdapat
kemiripan antara lumadu dengan puisi lama peribahasa, sehingga disebutkan bahwa
lumadu merupakan bnetuk sastra lisan Gorontalo.
Lumadu yang berbentuk sastra lisan Gorontalo merupakan lumadu yang
berdiri sendiri yang sifatnya otonom sebagai sebuah sastra lisan. Bentuk lumadu ini
adalah ungkapan halus yang digunakan oleh masyarakat Gorontalo dalam
memberikan nasehat melalui sindiran, peringatan atau pengajaran tentang prinsip-
prinsip kehidupan. Bentuk lumadu ini ialah perumpamaan yang bunyinya halus dan
maknannya baik untuk didengar. Penghalusan bunyi di dalamnya dilakukan melalui
proses diksi yang tepat. Diksi yang digunakan seharusnya yang memiliki arti indah
yang maknanya disepadankan dengan objek yang dimkasud. Dalam lumadu ini hanya
berbentuk satu atau dua gatra yang di dalamnya terkandung amanat atau pesan tersirat
yang bermanfaat.
Jadi bentuk lumadu seperti ini ialah sastra lisan Gorontalo yang sifatnya
otonom. Lumadu yang berbentuk sastra lisan ototnom, terklasifikasi menjadi tiga
jenis, yaitu:
1. Lumadu prinsip
Lumadu prinsip adalah lumadu yang terdiri atas satu atau dua gatra yang di
dalamnya terkandung ajaran prinsip-prinsip hidup. Berdasarkan latar belakang
budaya Gorontalo, masyarakat Gorontalo merupakan masyarakat yang kental akan
buadyanya. Masyarakat Gorontalo terkenal dengan sifat yang fanatik terhadap adat
dan kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur. Sikap fanatik
merupakan dogma dari leluhur yang terus terpatri dalam hati. Meskipun sikap fanatic
terhadap budaya tidak lagi terlihat dilingkungan generasi saat ini, tapi masih sangat
lekat dalam tindakan dan pola pikir orang-orang tua atau dalam bahasa Gorontalo
disebut mongopanggola. Tindakan dan pola pikir mongopanggola merupakan
prinsip hidup yang diperoleh melalui orang tua mereka. Pada dasarnya, lumadu
prinsip adalah lumadu yang menggambarkan karakateristik individu-individu
Gorontalo, secara umum, dalam kehidupannya. Karakteristik sifat yang pada
dasarnya memiliki kesamaan antara individu yang satu dengan yang lain. Prinsip
hidup dengan karakteristik lokal Gorontalo terdapat dalam sastra lisan lumadu yang
dalam penelitian ini disebut lumadu prinsip.
Berdasarkan makna yang terkandung dalam lumadu, disertai dengan
fungsinya bagi masyarakat Gorontalo, ditemukanlah jenis lumadu prinsip. Lumadu
prinsip adalah lumadu yang berfungsi sebagai pengajaran prinsip-prinsip kehidupan.
Lumadu jenis ini di dalamnya terkandung makna yang berupa pesan implisit yang
berupa pengajaran prinsip kehidupan. Ajaran prinsip kehidupan di dalam
lumadudisampaikan secara halus melalui satu atau dua gatra. Pesan disampaikan
melalui diksi yang sifatnya halus dan maknanya mudah dicerna.
Lumadu prinsip, di dalamnya terkandung filosofi kehidupan. Layaknya setiap
prinsip kehidupan, tentu harus terkait dengan logika yang diarahkan pada kebaikan.
Ada beberapa contoh lumadu, yang sebagian tidak disebutkan pada poin sebelumnya
dan sebagiannya telah disebutkan, merupakan jenis lumadu prinsip. Lumadu tersebut
antara lain sebagai berikut.
1.aOpenu de moputi tulalo, bo dila moputi baya
Lumadu ini bertemakan keberanian. Keberanian dideskripsikan dalam
lumadu melalui diksi yang maknanya halus. Diksi dalam lumadu
dirangkai kedalam tipografi yang berbentuk kalimat dan di dalamnya
terkandung pesan tersirat, berupa nasihat untuk bersikap berani. Diksi
dalam tipografi lumadu ini mampu mengevokasi imaji penglihatan
audiens. Kata moputi tulalo dan kata moputi baya sebagai pengevokasi
imaji penglihatan.
Secara konotasi, lumadu ini terkandung pesanimplisit bahwa sekalipun
harus mati menjadi tulang belulang, yang penting tidak dijajah karena
ketakutan. Pemaknaan konotasi ini berdasarkan pengetahuan penafsir.
Pemaknaan berdasarkan latar belakang budaya juga melahirkan makna yang
hampir sama.
Berdasarkan latar belakang budaya lumadu ini bermakna lebih baik
berputih tulang daripada harus menanggung malu (Daulima dan
Eraku,2004:50-51). Meskipun pemaknaannya didasarkan pada dua latar
belakang yang berbeda tetaplah lumadu ini merupakan lumadu yang berjenis
lumadu prinsip. Di dalam lumaduini diajarakan prinsip siap menanggung
segala sesuatu yang terjadi, apapun itu, daripada harus hidup diinjak-injak dan
dihina.Berdasarkan prinsip tersebut, sangat jelas bahwa masyarakat Gorontalo
adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan. Kehormatan adalah
segalanya bagi kehidupan. Bahkan dalam masyarakat Gorontalo, seorang anak
yang telah mempermalukan keluarga akan dikeluarkan dari keluarga tersebut.
Tindakan dan pola pikir seperti ini yang terbentuk merupakan proses dogma
orang tua kepada anak mereka, kemudian dilanjutkan kepada keturunan
selanjutnya. Cukup hanya dengan lumadu prinsip, akan tergambar dengan
jelas idiologi lokal yang terbentuk dalam masyarakat Gorontalo.Lumadu ini
digolongakan sebagai lumadu prinsip karena penggamabaran watak orang
Gorontalo yang menjunjung tinggi kehormatan tergambar dengan jelas.
Lumadu pada poin ini, di dalamnya terdapat kemiripan dengan
peribahasa yang berbentuk pepatah. Pepatah adalah peribahasa yang
mengandung nasihat atau ajaran dari orang tua. Berdasarkan fungsinya
lumadu ini digunakan sebagai nasihat terhadap anak untuk selalu menjunjung
tinggi kehormatan. Nasihat yang terdapat di dalamnya merupakan representasi
bahwa lumadu ini merupakan sastra lisan yang bentuk puisi lama, seperti
bentuk pepatah.
1.bEya dila pito-pito’o
Penyampaian lumadu ini dalam bentuk kalimat berfungsi sebagai
dogma agama. Diksi yang digunakan tetaplah santun. Kesantunan dalam diksi
tentu dapat melahirkan nada yang halus dalam lumadu ini. Lumadu ini
sebagai pengevokasi imaji penglihatan bahwa Tuhan tidak buta. Kata dila
pito-pito’o merupakan kata nyata yang mengevokasi imaji pengihatan.
Lumadu yang berbunyi Eya dila pito-pito’o terkandung arti di
dalamnya bahwa Allah tidak menutup mata. Lumadu ini merupakan jenis
lumadu prinsip karena lumadu ini berisi pesan tersirat yang diajarakan turun
temurun kemudian menjadi karakateristik orang Gorontalo. Karakteristik
orang Gorontalo adalah meyakini keberadaan Allah, dan meyakini
kekuasaanya atas segala sesuatu. Keyakinan yang berakar dari Islam telah
mempengaruhi budaya prinsip masyarakat Gorontalo, baik dari sektor pola
pikir, dan tindakan.
Akar keislaman dalam diri orang Gorontalo tertanam dengan kuat.
Meskipun sebagian besar dari individu Gorontalo tidak bersikap keras
terhadap pengamalan Islam, tapi mereka bersikap keras terhadap keyakinan
islam. Contohnya, pelaksanaan shalat lima waktu dalam sehari hanya
dilakukan oleh sebagian orang saja, sedangkan sebagian besar dalam
kesehariannya selalu lalai dalam pelaksanaan shalat lima waktu. Meskipun
sebagian besar orang Gorontalo lalai dalam shalat lima waktu, mereka tetap
akan bertahan pada agama islam. Bujuk rayu berupa ajakan tidak akan
diterima dan bahkan ditolak dengan keras. Pola pikir islam telah menjadi
budaya yang kental dalam masyarakat.Prinsip hidup islam telah digamabarkan
pada poin lumadu ini. Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu prinsip karena
penggambaran pola pikir keislaman dan keyakinan individu-individu
Gorontalo.
Lumadu ini merupakan lumadu yang bentuk sama dengan pepatah.
Lumadu ini berfungsi sebagai pengajaran dalam meneguhkan iman, bahwa
Allah Tuhan semesta alam tidak pernah tertutup matanya. Mata yang selalu
terbuka petanda bahwa Allah terus mengawasi setiap tindakan manusia dalam
kehidupan dunia.
1.cPo’o-po’oyo hulawa, bisa-bisala tombaha
Diksi yang berfungsi sebagai penyantun bahasa tampak jelas dalam
lumadu ini. Kata hulawa dan tombaha berfungsi sebagai penyantun bahasa
dan juga telah dijadikan sebagai gaya perumpamaan dari lumadu. Diksi dalam
lumadu berubah kata nyata sebagai pengevokasi imaji pneglihatan.
Lumadu di atas dapat diterjemahkan menjadi “diam itu adalah emas,
berbicara itu adalah tembaga”. Sikap diam merupakan karakteristik orang
Gorontalo. Orang Gorontalo pada umumnya adalah orang yang pendiam tidak
banyak bicara. Banyak bicara merupakan tindakan yang tidak baik menurut
pandangan orang Gorontalo. Bahkan dalam kesehariannya, masyarakat
Gorontalo sering terlihat inferior karena tindakan yang sedikit bicaranya.
Masyarkat Gorontalo sejak dahulu tidak aksara, sehingga banyak sastra
daerah Gorontalo lahir dalam bentuk lisan. Sastra daerah yang semuanya lahir
dalam bentuk lisan dalam masyarakat Gornotalo, tidak berarti bahwa
masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang berkarakter banyak bicara.
Sastra lisan yang berbentuk prosa disebut wungguli yang berarti cerita, tidak
dapat dijadikan landasan bahwa orang Gorontalo banyak bercerita atau
banyak bicara. Sikap diam masyarakat Gorontalo merupakan tindakan yang
menghindari pertentangan.
Watak pendiam orang Gorontalo pada umumnya telah menjadi prinsip
hidup yang berakar dari Islam. Prinsip yang terkandung dalam lumadu ini,
selaras dengan sabda nabi yang dijadikan prinsip hidup oleh umat muslim.
Rasulullah bersabda “lebih baik diam atau berkata yang baik”. Prinsip hidup
yang disampaikan oleh Rasulullah dimanifestasikan ke dalam prinsip hidup
orang Gorontalo yang tergambar dalam lumadu ini, yang berbunyi Po’o-
po’oyo hulawa, bisa-bisala tombaha. Lumadu ini digolongkan sebagai
lumadu prinsip karena dalam lumadu ini diajarkan dengan jelas karateristik
orang Gorontalo, yaitu karakter pendiam dan tidak banyak bicara.
1.dDidi hulawa to lipu lo tawu, dila mo’o labota didi botu to lipu lo
hilawo
Perbedaan unsur imaji tampak pada lumadu ini dibandingkan dengan
lumadu pada poin-poin sebelumnya. Imaji yang tampak dalam lumadu ini
adalah imaji perasa. Kata nyata yang terkadung di dalamnya berperan sebagai
pengevokasi imaji perasa. Seorang audiens ketika mendengar lumadu ini
akanbenar-benar merasakan bagaimana rasanya hujan emas dan hujan batu.
Jadi kata nyata terdapat pada semua kalimat. Diksi dan tipografi yang
digunakan pun tetap sama, yaitu bermakna halus dan berbentuk kalimat.
Bila diterjemahkan lumadu di atas, dapat diartikan “hujan emas di
tanah kelahiran orang, tidak akan melebihi hujan batu di tanah sendiri”.
Lumadu ini adalah lumadu yang disampaikan kepada para perantau, jika telah
sukses dikampung orang segeralah kembali ke tanah Gorontalo, tanah
kelahiran. Lumadu ini jelas mengajarkan sebuah prinsip cinta tanah air. Cinta
tanah air dan sikap patriotik merupakan karakteristik orang Gorontalo.
Digambarkan dalam lumadu ini bahwa meskipun kita hidup di tanah orang
dalam keadaan senang, kesenangan itu tidak dapat menandingi kebahagiaan di
tanah kelahiran meski harus hidup menahan siksa. Sekali lagi dalam lumadu
ini pula, diajarkan bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah dua hal yang
berbeda. Pembedaan antara senang dan bahagia adalah prinsip.
Prinsip cinta tanah air dalam diri orang Gorontalo menjadikan mereka
nyaman dan dapat bertahan hidup di tanah Gorontalo, meski dengan cuaca
yang panas. Prinsip hidup yang terkandung dalam lumadu ini tergambar
dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, seorang nenek yang berasal dari
Gorontalo, telah hidup di Jakarta bersama anaknya yang sukses. Namun
kesuksesan ini tidak dapat membetahkan nenek tersebut untuk tetap tinggal di
Jakarta. Pada akhirnya permintaan nenek kepada anaknya adalah meminta
anaknya untuk pulang ke tanah Gorontalo. Contoh lain juga, banyak orang-
orang cerdas di Gorontalo tidak melanjutkan studi karena kerinduan mereka
terhadap tanah Gorontalo. Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu prinsip
karena di dalamnya diajarkan prinsip cinta tanah air, yaitu tanah Gorontalo.
1.eOlohiyo butuhiyo, lantingiyo polangiyo
Lumadu ini serupa dengan lumadu sebelumnya. Imaji dalam lumadu
yang dievokasi adalah imaji perasa. Audiens melalui kata nyata berusaha
diajak ke dalam dunia kontemplasi bagaimana rasanya butuhiyo atau kenyang,
dan bagaiman rasanya polangiyo atau lapar. Diksi dan tipografi, serta nada
yang digunakan tetaplah sama dengan lumadu prinsip pada poin-poin
sebelumnya.
Olohiyo butuhiyo, lantingiyo polangiyo, jika diterjemahkan ditemukan
arti “rajinnya kenyangnya, malasnya laparnya”. Berdasarkan lumadu ini
tergambarkan lagi karakteristik orang Gorontalo, yaitu pekerja keras. Prinsip
kerja keras telah menjadi budaya yang lekat dengan orang Gorontalo. Orang
Gorontalo berasumsi bahwa manusia yang malas adalah manusia yang selama
hidupnya akan ditimpa kelapran. Sedangkan manusia yang rajin akan selalu
terpenuhi kebutuhannya dan dapat bermanfaat untuk orang lain.
Prinsip kerja keras pada zaman sekarang berbeda dengan zaman
dahulu. Pada zaman dahulu sebagian besar orang Gorontalo beranggapan
bahwa lebih baik bekerja daripada harus sekolah. Prinsip mengutamakan kerja
dibanding sekolah merupakan karakteristik orang Gorontalo sebagai manusia
pekerja keras. Pada zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang. Zaman
dahulu prinsip kerja keras orang Gorontalo masih sangat primitif sehingga
mereka mengutamakan bekerja dibandingkan bersekolah. Pada zaman
sekarang, zaman ketika Gorontalo telah tersentuh dunia modern, orang
Gorontalo mulai mengutamakan sekolah dibanding kerja. Hal ini bukan
berarti bahwa prinsip kerja keras dalam orang Gorontalo telah hilang. Prinsip
kerja keras tetap eksis dalam pola pikir dan tindakan orang Gorontalo, tapi
hanya manifestasi dari prinsip tersebut telah berubah. Saat ini orang
Gorontalo lebih memilih sekolah daripada bekerja dengan tujuan agar hasil
dari bersekolah tersebut dapat memberikan kemampuan dan kecerdasan untuk
bekerja. Setelah mendapatkan pekerjaan, tentu dapat terpenuhi semua
kebutuhan hidup. Contohnya, seorang ayah akan bekerja dengan sekuat tenaga
hanya demi menyekolahkan anaknya, dengan harapan ketika kelak anaknya
lulus akan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan.
Dari contoh tersebut, terlihat bahwa seorang ayah bekerja keras untuk
menyekolahkan anaknya agar anaknya kelak akan menjadi pekerja keras juga,
dengan kemampuan yang lebih dari ayahnya. Jadi dapat dikatakan bahwa
orang Gorontalo adalah orang yang bekerja untuk pekerjaan. Berdasarkan
pandangan tersebut, maka lumadu ini digolongkan sebagai lumadu prinsip.
Kelima lumadu tersebut digolongkan sebagai lumadu prinsip. Kelima
lumadu tersebut hanya sebagai contoh dari lumadu prinsip, sebab tidak
menutup kemungkinan masih banyak lagi lumadu yang berjenis
lumaduprinsip di Gorontalo. Kelima contoh lumadu prinsip tersebut dijadikan
sebagai bukti bahwa sastra lisan lumadu memiliki jenis lumadu prinsip.
2. LumaduPeringatan
Orang Gorontalo adalah orang yang mudah hawatir dengan segala sesuatu
yang akan terjadi pada anak-anak mereka. Kehawatiran tersebut banyak
menghadirkan peringatan atau teguran kepada anak untuk tetap berada di jalan yang
benar. Jalan yang benar akan berdampak positif dalam hidup
Teguran atau peringatan yang disampaikan sering berbentuk lumadu. Lumadu
peringatan adalah lumadu yang ungkapannya berisi nasihat berupa peringatan agar
tetap berjalan pada jalan yang baik.Lumadu peringatan berbeda dengan lumadu
prinsip. Lumadu prinsip berfungsi sebagai pengajaran prinsip kehidupan, sedangkan
lumadu peringatan berfungsi sebagai peringatan jika lupa terhadap prinsip yang
diajarkan. Pada dasarnya lumadu jenis ini sama dengan lumadu prinsip, yaitu sebagai
pengajaran terhadap anak, tapi lumadu prinsip berisi prinsip kehidupan, sedangkan
lumadu peringatan berisi peringatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, akan diuraikan beberapa contoh lumadu yang
digolongkan ke dalam jenis lumadu peringatan, antara lain sebagai berikut.
2.aDahayi moputu dila
Dahayi moputu dila, dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi
“hati-hati putus lidah”. Secara lugas bahwa peringatan dalam lumadu ini untuk
berhati-hati jangan sampai lidah putus. Secara logika, bahwa lidah akan putus apabila
terkena benda tajam. Tapi yang jadi pertanyaan bahwa peringatan dalam lumadu ini
adalah menjaga jangan sampai lidah putus.
Berdasarkan latar belakang budaya, yang dimaksudkan di sini adalah jagalah
lidah, jangan sampai menucapkan kata-kata kotor atau dusta. Peringatan menjaga
lidah dari kata-kata kotor dan dusta, ternyata berkaitan dengan pengajaran lumadu
prinsip yang mengajarkan untuk bersikap pendiam. Sikap pendiam merupakan sikap
yang terhindar dari asal-asal bicara sehingga tidak dapat berkata kotor atau dusta.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa lumadu peringatan berfungsi
sebagai peringatan ketika telah lupa dengan prinsip yang diajarkan. Prinsip yang
diajarkan terkadang tidak diamalkan atau lupa diamalkan karena sebab tertentu, disaat
itulah fungsi lumadu peringatan dilaksanakan. Contohnya pada lumadu ini. Lumadu
ini adalah lumadu peringatan bagi yang tidak mengamalkan lumadu prinsip yang
berbunyi Po’o-po’oyo hulawa, bisa-bisala tombaha. Orang yang banyak bicara tentu
lidah juga banyak bergerak, sehingga dari pembicaraannya keluarlah kata-kata kotor
atau dusta. Orang yang banyak bicara dihawatirkan lidahnya akan putus karena
banyak bergerak. Begitu juga dengan orang yang berkata kotor dan dusta,
dihawatirkan lidahnya akan diputuskan oleh Allah SWT. Kedua tindakan ini pada
dasarnya akan menyebabkan sesuatu yang buruk bagi lidah atau seluruh tubuh,
sehingga diberilah peringatan dengan lumadu ini, lumadu yang berjenis lumadu
peringatan.Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu peringatan karena berisi sebuah
peringatan.
2.bElayi batanga, umuru dila tutumulo hu’idu
Lumadu ini secara lugas berarti “ingatlah diri, umur tidak seperti hidupnya
gunung”. Lumadu ini berfungsi sebagai peringatan bahwa umur manusia tidak seperti
umurnya gunung, atau lama waktu untuk hidup bagi manusia tidak seperti lama
waktu hidupnya gunung. Seperti yang diketahui bersama, bahwa gunung tidak
sifatnya kekal, selama bumi belum hancur gunung masih tetap ada. Gunung juga
sebagai saksi bisu sejarah, karena gunung telah ada sebelum manusia ada dan gunung
tetap setelah manusi telah tiada. Berbeda dengan manusia. Manusia sebagian besar
hanya dapat bertahan hidup, kurang lebih hingga 60 tahun. Ada juga sebagian
manusia yang bertahan hidup hingga pada umur 200 tahun, tapi usia gunung tetap
tidak tertandingi karena gunung hidup lebih dari 200 tahun.
Lumadu ini merupakan peringatan kepada manusia agar selama hidupnya,
agar senantiasa mengisi waktu yang ada dengan sesuatu yang bermanfaat. Peringatan
yang terkandung dalam lumadu ini, selaras dengan ajaran Islam dan sabda Rasulullah
SAW yang berbunyi “waktu adalah pedang, maka gunakanlah untuk memotong,
apabila kamu tidak gunakan untuk memotong maka dia yang akan memotongmu”.
Jadi,lumadu ini digolongkan sebagai lumadu peringatan karena di dalamnya
tekandung peringatan untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Memanfaatkan waktu pada sesuatu yang bermanfaat.
2.cDiila bolo huliye ta’ato
Ta’ato yang berarti ikat pinggang. Ikat pinggang biasanya akan dilepas
apabila perut telah kenyang. Perut yang kenyang tentu akan berubah ukurannya, dari
yang kecil menjadi besar. Perut besar terjadi sebab kekenyangan yang dipaksakan
untuk tetap melahap makanan. Hal ini merupakan suatu keburukan dalam hidup.
Perut besar merupakan awal dari segala penyakit. Untuk itu, tindakan seperti ini,
diingatkan dengan lumadu peringatan yang berbunyi Diila bolo huliye ta’ato, yang
artinya jangan sekali-kali melepaskan ikat pinggang.
Berdasarkan arti yang ada, dijelaskan bahwa untuk pencapaian kehidupan
yang lebih baik seyogyanya harus bersikap hemat atau menghindari sikap boros.
Sikap boros dalam lumadu ini digambarkan dengan melepaskan ikat pinggang, yaitu
merupakan lambang dari orang yang sudah kenyang tapi masih tetap makan, sehingga
harus melepaskan ikat pinggang. Oleh sebab itu dalam lumadu digunakan kata diila
bolo yang artinya jangan sekali-kali, sebagai bentuk peringatan. Jadi, lumadu ini
digolongkan sebagai lumadu peringatan sebab lumadu ini berisi peringatan untuk
tidak makan banyak, dalam konotasinya tidak bersikap boros.
Orang Gorontalo adalah orang yang terkenal keras dalam mengingatkan anak-anak
mereka untuk bersikap hemat. Kerasnya tindakan peringatan kepada anak merupakan
sebab tertanamnya nilai-nilai hemat pangkal kaya dalam kehidupan mereka. Sebagian
orang Gorontalo ketika masa muda tidak peduli akan hal ini, tapi dengan terpaksan
masa tua, ketika pikiran telah bijak, akan membawa mereka kembali pada hal ini.
Sehingga dari generasi ke generasi terus berlanjut sikap hemat dalam diri.
3. Lumadu Sindiran
Lumadu sindiran merupakan lumadu yang berisi sindiran dengan tujuan agar
orang yang disindir merasa tersinggung dan mengubah sikap yang tidak baik. Sikap
yang tidak baik terkadang tidak akan hilang meski ditegur secara langsung, untuk itu
sindiran diharapkan dapat memperbaiki sikap atau perangai tidak baik dalam diri
seseorang. Sindiran merupakan suatu hal yang tidak lepas dari budaya Gorontalo
sebagai tindakan dalam memperbaiki sikap orang lain.
Secara sekilas, lumadu sindiran sama dengan lumadu peringatan. Akan tetapi,
lumadu sindiran diberikan tempat tersendiri dalam penggolongannya, karena gaya
teguran dalam lumadu sindiran berbeda dengan lumadu peringatan. Lumadu
peringatan penyampaian pesan peringatan secara langsung, sedangkan
lumadusindiran tidak secara langsung. Lumadu sindiran penyampaian pesan terjadi
melalui gaya sindiran. Gaya sindiran yang terdapat dalam kata-katanya sebagai
umpan agar orang yang disindir dapat berpikir bahwa sikapnya kurang baik.
Jumlah lumadu sindiran sangat banyak. Berikut ini diuraikan beberapa contoh
lumadu sindiran. Tidak seluruhnya diuaraikan karena banyknya jumlah lumadu
sindiran. Untuk itu, diuraikan beberapa lumadu sindiran tersebut sebagai berikut.
3.aAmula didu lo hiipo
Lumadu sindiran yang berbunyi amula didu lo hiipo yang artinya
“seperti sudah tidak bertiup”. Lumadu ini sering digunakan sebagai sindiran
bagi orang-orang yang tidak permisi ketika datang ataupun pergi. Tindakan
yang tidak permisi merupakan tindakan yang tidak menghargai orang lain.
pengharagaan terhadap orang lain adalah sesuatu yang sangat penting dalam
tatakrama orang Gorontalo. Tatakrama adalah salah satu poin utama
pengajaran terhadap anak.
Tatakrama orang Gorontalo yang paling utama yaitu ketika memasuki
sebuah rumah. Jika rumah tersebut berpenghuni maka yang datang harus
berucap salam. Jika akan pergi keluar rumah seharusnya pamit terhadap orang
yang ada di dalam rumah. Sikap berucap salam ketika masuk rumah, dan
sikap pamit ketika pergi turun dari rumah merupakan tatakram yang baik
menurut pandangan orang Gorontalo. Sikap yang tidak bersalam dan
berpamitan, selalu ditegur melalui sindiran, diantaranya disindir melalui
lumadu ini.
Berdasarkan data dokumentasi yang ditemukan bahwa lumadu ini
digunakan seabgai sindiran bagi mereka yang tidak bertatakrama berkunjung.
Sindiran yang jelas terdapat pada kata hiipo. Kata hiipo diibaratkan sebuah
kapal. Ketika kapal tiba, terdengar bunyi petanda bahwa kapal telah tiba.
Ketika kapal akan pergi berlabuh kembali, terdengar bunyi petanda bahwa
kapal akan pergi. Orang yang tidak bersalam ketika datang, dan tidak
berpamit ketika pergi diibaratkan kapal yang rusak. Berarti orang tersebut
tidak berperilaku baik. Oleh sebab itu orang yang seperti ini ditegur dengan
lumadu ini, yang berbunyi amula didu lo hiipo.
3.bAmula didu tuntu mololohe ali, bo ma ali uhe molohe tuntu
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa lumadu ini bermakna
bahwa bukan lagi pendatang yang bekerja untuk memperoleh hasil tapi tuan
tanah yang menjadi pekerja di tanahnya sendiri untuk memberikan hasil
kepada pendatang. Jadi, secara makan konotasi ini, telah jelas bahwa
lumadusindiran ini ditujukan kepada pendatang yang berlagak seperti tuan
tanah. Selain makna konotasi tadi, ada juga makna kontasi lain yang dilihat
berdasarkan latar budaya orang Gorontalo.
Berdasarkan latar budaya Gorontalo, lumadu ini ditujukan kepada
wanita yang selalu mengejar laki-laki, yang sehursnya laki-laki yang mengejar
wanita. Tindakan wanita yang mengejar laki-laki merupakan hal yang tidak
terpuji. Jika terjadi seperti itu berarti wanita tersebut tidak lagi memiliki
kehormatan dalam dirinya. Kehormatan adalah junjungan tertinggi orang
Gorontalo, sehingga wanita yang mengejar laki-laki akan disindir dengan
lumadu ini karena tidak ada lagi kehormatan di dalam dirinya. Lumadu ini
digolongkan sebagai lumadu sindiran karena berisi sindiran bagi wanita yang
tidak tahu menjaga kehormatannya. Selain itu, berdasarkan makna pada poin
sebelumnya, lumadu ini juga sebagai sindiran bagi pendatang yang tidak tahu
tidak terima kasih.
Layaknya lumadu yang lain, lumadu ini juga berfungsi sebagai
pengajaran, tapi sekali lagi bahwa lumadu ini hanya sebagai umpan agar
orang yang disindir dapat berpikir. Pikiran yang hadir akan terbawa oleh akal
budi sebagai fitrah manusia, sehingga orang tersebut secara manusiawi akan
berpikir bahwa tindakannya salah, dan segera mengubah sifat dan perangai
yang ada dalam dirinya.
4. Lumadu Doa
Lumadudoa adalah lumadu yang berisi doa atau harapan agar sesuatu yang
diinginkan dikabulkan oleh Allah. Doa merupaka amalan yang diajarkan oleh setiap
agama. Agama yang berkembang di Gorontalo adalah agama Islam, sehingga dapat
disimpulkan bahwa lumadu ini berkaitan dengan ajaran Islam. Islam ternyata tidak
dapat lepas dari kebudayaan masyarakat Gorontalo. Kebudayaan masyarakat
Gorontalo berasimilasi dengan ajaran Islam sehingga keterkaitan hasil budaya
Gorontalo dengan ajaran Islam sangat dekat.
Pada awalnya pengklasifikasian jenis lumadu akan terhenti pada jenis lumadu
sindiran. Tapi, setelah dilakukan penelusuran data melalui teknik dokumentasi,
ternyata ditemukan ada sebagian lumadu yang berisi harapan dan doa. Lumadu ini
disebut sebagai lumadu doa karena di dalamnya terkandung doa dan harapan dengan
menggunakan diksi berupa perumapamaan. Pada dasarnya lumadu adalah sebuah
perumpamaan. Salah satu contoh lumadu doa yaitu yang berbunyi potala tumuhu
tumango, yang “artinya semoga/mudah-mudahan tumbuh dan berkembang”. Secara
jelas bahwa lumadu ini berisi sebuah doa, dan secara jelas kata tumbuh dan
berkembang merupakan sebuah perumpamaan. Perumpamaan ini bukan bermakna
sebuah tanaman, tapi bermakna perubahan dari sesuatu yang biasa menjadi luar biasa.
Perumpamaan dalam lumadu ini diperuntukkan bagi orang yang diberi modal untuk
sebuah usaha, agar dengan modal awal tersebut usahanya akan tumbuh dan
berkembang.
Pada penjelasan ini, meski hanya satu lumadu doa yang diuraikan tapi bukan
berarti bahwa lumadu doa hanya berjumlah satu di Gorontalo. Keyakinan masih tetap
terjaga bahwa lumadu doa masih banyak jumlahnya, namun karena keterbatasan
waktu sehingga satu lumadu yang ditemukan. Satu lumadudoa yang dijadikan contoh
dapat dijadikan bukti keluasan khsanah kebudayaan Gorontalo.
4.1.2.2 Lumadu sebagai gaya bahasa sastra lisan Gorontalo
Pada awal penelitian, terlintas dalam benak sebuah asumsi bahwa lumadu
hanya merupakan sastra lisan Gorontalo yang berdiri sendiri. Asumsi ini tidak
bertahan lama setelah diadakan pengumpulan data melalui wawancara bersama
narasumber. Narasumber adalah orang yang berpengetahuan luas tentang
lumadu.Lumadu yang dijadikan sebagai topik wawancara, agar data-data tentang
lumadu lebih luas dan tidak hanya berbentuk asumsi-asumsi.
Pengetahuan tentang lumadu dijadikan sebagai informasi dasar melalui
dokumentasi dalam penelitian ini. Ternyata pengetahuan dasar tentang lumadu
berbeda dengan informasi yang ditemukan di lapangan. Di lapangan ditemukan
informasi bahwa lumadu bukan hanya sekadar lumadu sebagai sastra lisan, tapi
lumadu juga terdapat dalam sastra lisan Gorontalo yang lain. Temuan informasi ini
berbeda dengan temuan-temuan sebelumnya.
Dalam penelitian ini, formulasi terbaru dari informasi yang ditemukan, dapat
dinyatakan bahwa lumadu berdiri sendiri sebagai sebuah sastra lisan yang otonom,
namun lumadu juga dapat berupa gaya bahasa dalam sastra lisan. Gaya bahasa yang
dimaksud adalah gaya klise atau perumpamaan. Klise yang berarti tiruan. Jadi, gaya
bahasa klise adalah gaya perumpamaan antara satu benda dengan benda yang lain,
singkatnya bahwa gaya bahasa ini berupa majas perbandingan. Perbandingan yang
dimaksud seperti pada karya sastra umumnya, membandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain.
Lumadu sebagai gaya bahasa sastra lisan Gorontalo, tidak dapat disebut
sebagai sastra lisan. Lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan Gorontalo,
berfungsi sebagai nilai tambah akan estetika di dalamnya. Estetika yang terdapat
dalam sastra lisan dibangun melalui unsurlumadu yang terdapat di dalamnya .
Karakteristik sastra lisan Gorontalo tercermin melalui gaya bahasanya.
Lumadu yang berbentuk gaya bahasa terkandung dalam sastra lisan yang
digunakan dalam prosesi adat Gorontalo. Prosesi adat Gorontalo tidak terlepas dari
sastra lisan Gorontalo. Prosesi tidak akan lengkap kesakralannya jika tidak disertai
dengan pelafalan sastra lisan ketika proeses ritual berlangsung. Sastra lisan Gorontalo
dalam ritual adat, ibarat doa dalam ibadah, jika ditinjau dari sudut pandang agama.
Kesakralan yang terdapat dalam gaya bahasalumadu mewajibkan dalam sastra lisan
adat harus terdapat bahasa halus di dalamnya. Layaknya sesuatu yang sakral harus
ada kemuliaan di dalamnya. Kemuliaan dalam sastra lisan terdapat pada bahasa
penyampaiannya, yaitu bahasa yang bermakna halus. Bahasa yang bermakna halus
penyampainnya adalah lumadu. kehalusan penyampaiannya terdapat pada
perumapamaan-perumpamaan yang digunakan.
Gaya bahasa lumadu bentuknya serupa dengan gaya bahasa majas. Gaya
bahasa lumadu yang banyak ditemukan serupa dengan majas ialah majas
perbandingan. Majas perbandingan terbagai atas beberapa bagian. Meskipun
ditemukan bahwa gaya bahasa lumadu serupa dengan beberapa majas perbandingan,
bukan berarti bahwa gaya bahasa lumadu adalah majas perbandingan. Majas
bukanlah gaya bahasa, tetapi majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Gaya bahasa
terbagi atas beberapa bagian, yang di antaranya adalah diksi. Diksi adalah pilihan
kata yang digunakan. Diksi merupakan unsure pembangun puisi. Jadi, dalam
pengkalasifikasian bentuk lumadu sebagai gaya bahasa bukan hanya dilhat dari sisi
majas tapi dilihat pula sisi diksi yang digunakan. Oleh sebab itu lumadu merupakan
gaya bahasa sastra lisan Gorontalo yang terdiri atas elemen diksi, majas, dan seluruh
yang menjadi bagian dari gaya bahasa.
Untuk lebih jelasnya, diuraikan beberapa contoh lumadu yang berbentuk
unsur pembangun dalam sastra lisan, antara lain sebagai berikut.
1. Dalam sastra lisan Tuja’i
Sastra lisan tuja’i ada banyak jenis disesuaikan dengan tahap-tahap prosesi.
Contoh yang diambil sebagai bukti adanyagaya bahasalumadu yang
terkandung dalam sastra lisan tuja’i, yaitu pada prosesi mopolengga atau
mempersilahkan berdiri, bunyi sastra lisannya beserta arti, sebagai berikut.
Wombu hulawa tuluto
“cucunda emas nan murni”
Bulewe mombuto
“kembang sudah mekar”
Ami mongotiyombu tuluto
“kami para pemangku adat”
Momudu’o momuloto
“menjemput dan mempersilahkan”
Wonu towuli mohuto
“apabila berkenan”
Ayitayi to eluto
“peganglah pedangmu”
Huruf yang tercetak tebal merupakan gaya bahasalumadu yang terdapat dalam
sastra lisan tuja’i. pada baris pertama yang berbunyi wombu hulawa tuluto, yang
“artinya cucunda emas nan murni”. Pada baris ini digunakan gaya bahasalumadu
karena di dalamnya terdapat gatra yang membandingkan emas seperti manusia yang
masih muda, segar dan rupawan. Baris kedua bulewe mombuto yang berarti
“kembang sudah mekar”, yang bermakna manusia yang sudah siap untuk menjalani
sebuah rumah tangga. Dalam gatra tersebut manusia yang telah siap dibandingkan
dengan kembang yang sudah mekar. Gatra yang berbentuk perbandingan ini, disebut
dengan gaya bahasalumadu, karena bentuknya yang serupa dengan majas metafora.
Selain tuja’idi atas, akan diuraikan sekali lagi tuja’i yang di dalamnya
terkandung gaya bahasalumadu, yaitu tuja’i pada prosesi mopodiyambango atau
mempersilahkan berjalan. Berikut di bawah ini.
Dahayi umayango
“hati-hati jangan lengah”
Ode botu to payango
“laksana batu dalam peraduannya”
Momulo lo bayango
“tanamkanlah yang bermanfaat”
Molayowa modiyambango
“silahkan melangkah dengan santai”
Pada dua baris pertengahan yang terdapat dalam tuja’i di atas, yang telah
dicetak tebal, merupakan gaya bahasalumadu yang membentuk estetika tuja’i
tersebut. Baris tuja’i yang berbunyi ode botu to payango yang artinya laksana batu
dalam peraduannya merupakan perumapamaan agar pengantin ketika mengahadapi
permasalahan dalam rumah tangga harus bersikap keras terhadap pendiriannya. Tidak
terpengaruh dengan hasutan yang buruk. Kemudian dilajutkan dengan momulo lo
bayango, yang artinya tanamkanlahyang bermanfaat. Kalimat lumadu ini merupakan
perumpamaan dengan diksi yang halus bermakna dalam kehidupan yang baru setelah
pernikahan seyogyanya melakukan hal-hal yang bermanfaat. Kata tanam
diumpamakan dengan sebuah perlakuan yang manfaatnya dapat terus tumbuh dan
berkembang.
2. Dalam sastra lisan Tinilo
Sastra lisan tinilo juga terdapat gaya bahasalumadu di dalamnya.Tinilo adalah
sastra lisan yang digungakan dalam upacara adat dan sebagai hiburan, yang
pelafalannya dalam bentuk lagu. Tinilo lahir dengan banyak variasi berdasarkan
fungsinya di dalam masyarakat. Tinilo dalam upacara adat merupakan sastra
lisanyang digunakan ketika upacara berlangsung sesuai dengan mekanisme adat yang
telah dibentuk, dan tinilo hiburan adalah sastra lisan yang digunakan untuk
menghibur, biasanya pada saat pengantar tidur untuk seorang anak yang dilafalkan
dalam bentuk lagu.
Tinilo sebagai sastra lisan Gorontalo juga terkandung gaya bahasalumadu di
dalamnya sebagai unsur pembangunnya. Untuk lebih jelasnya diuraikan salah satu
tinilo hiburan yang di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu, sebagai berikut.
Mamalo du’o-du’olo
“anakku yang disanjung”
Baya mahemo tanggalo
“wajah semakin berseri”
Bo’odelo bango hulalo
“seperti cahaya bulan”
Polumbulu wonelo
“dipelihara dengan ramuan”
Daata ta mongilalo
“akan banyak mendambakan”
Larik dalam tinilo di atas yang tercetak tebal merupakan gaya bahasalumadu
sebagai unsur pembangun tinilo tersebut. Tinilo ini dibangun oleh tiga lumadu yang
berfungsi untuk memperindah diksi, sehingga dapat menghibur anak yang akan
ditidurkan. Lumadu dalam larik kedua bayamahemo tanggalo yang artinya wajah
semakin berseri, merupakan pujian kepada sang anak melalui diksi yang indah,
bahwa sang anak semakin nampak sifat rupawannya. Kemudian larik ketiga berbunyi
bo’odelo bango hulalo yang artinya seperti cahaya bulan. Larik ketiga yang
merupakan gaya bahasalumadu tersebut bermakna bahwa rupa wajahnya yang indah
bagaikan keindahan cahaya bulan ketika malam hari. Setelah larik ketiga, dilanjutkan
dengan larik keempat yang berbunyi polumbulu wonelo yang artinya dipelihara
dengan ramuan. Larik ini bermakna bahwa seorang anak menjadi begitu rupawan
disebabkan sang anak dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya, bukan dirawat
hanya dengan semabarang perawatan. Kata ramuan dalam larik yang merupakan
perumapamaan dari tindakan perawatan yang baik kepada sang anak.
Gatra yang berbunyi bo’odelo bango hulalo merupakan majas simile. Majas
asosiasi adalah majas perbandingan yang membandingkan sesuatu dengan keadaan
yang lain sesuai dengan keadaan yang dilukiskannya. Dalam gatra ini dilukiskan
keadaan bulan yang terang dengan keadaan wajah anak yang semakin ruapawan.
Perbandingan keadaan bulan dengan wajah si anak merupakan bentuk kemiripan
yang terjadi antara gaya bahasa lumadu dalam tinilo dan gaya bahasa majas asosiasi
dalam penggunaan berbahasa. Jadi, terdapat kesamaan antara bentuk gaya bahasa
lumadu tersebut dengan gaya bahasa majas asosiasi. Lumadu yang terdapat dalam
tinilo merupakan bentuk dari sebuah gaya bahasa
Berdasarkan contoh Tinilo di atas, jelaslah bahwa lumadu bukan hanya
sebagai sastra lisan tapi juga sebagai gaya bahasa dalam sastra lisan Gorontalo. Tinilo
yang dijadikan contoh di atas, hanya merupakan sebagian dari tinilo yang di
dalamnya terkandung lumadu. Jadi disimpulkan bahwa tinilo dibangun dengan gaya
bahasa lumadu.
3. Dalam sastra lisan Tahuda
Tahuda adalah kata-kata arif yang diciptakan oleh para leluhur untuk
memantapkan dan mengarahkan segala keputusan yang ditetapkan, ataupun dalam
pembentukan pribadi pemimpin, agar kebijakan dan kebijaksanaan senantiasa dalam
lingkup yang benar (Daulima,2007:116). Tahuda merupakan sastra lisan yang di
dalamnya dibangun oleh gaya bahasalumadu dalam proses etetikanya. Proses estetika
tahuda melalui diksi yang digunakan. Tahuda berfungsi untuk dalam lingkup
kepemimpinan, agar pemimpin tetap dalam jalan yang benar. Kata-kata arif yang
digunakan banyak terkandung perumpamaan yang dapat mengevokasi logika orang
yang ditujukan tahuda tersebut.
Untuk jelasnya, keberadaan gaya bahasa lumadu di dalamnya, diuraikan
sebagai berikut:
Adati maa hunthi-hunthingo, bolo mopodembingo
“adat sudah tergunting, tinggal merekatkan”
Sekilas bahwa sastra lisan ini terlihat seperti lumadu, tapi sastra lisan ini
bukan sastra lisan lumadu. Sastra lisan di atas ini adalah sastra lisan tahuda yang
berfungsi untuk membentuk kepribadian yang kokoh bagi pemimpin. Seluruh tulisan
dalam tahuda ini tercetak dengan tebal, sebab semua gatra yang ada di dalamnya
merupakanlumadu, tapi bukan sastra lisan lumadu. Gatra yang terdapat dalam tahuda
seluruhnya berbentuk seperti lumadu tapi tidak dapat disebut lumadu, karena
masyarakat Gorontalo secara konvensi menamai sastra lisan tersebut sebagai sastra
lisan tahuda. Sastra lisan lumadu juga memiliki tempat tersendiri dalam penamaan
bentuk sastra lisan dalam masyarakat Gorontalo.
Berdasarkan hasil wawancara bahwa lumadu bukan sekadar sastra lisan tapi
juga sebuah sastra lisan terkandung lumadu di dalamnya, bukan sastra lisan yang
terkandung di dalamnya, melainkan gaya bahasa lumadu yang tekandung di
dalamnya. Jadi lumaduyang dimaksud identik dengan sebuah gaya bahasa. Dalam
tahuda ini semua gatranya adalah lumadu, sebab diksi dari gatra-gatra yang ada
merupakan sebuah perumpamaan. Gatra adati maa hunthi-hunthingo, bolo
mopodembingo yang artinya “adat sudah tergunting, hanya tinggal merekatkan”.
Berdasarkan terjemahannya, terlihat bahwa adat diumpamakan dengan sebuah kertas
yang dapat digunting. Kertas adalah benda yang dapat disentuh, sedangkan adat
adalah benda yang sifanya abstrak, tidak dapat disentuh. Jadi kedua hal ini, antara
adat dan kertas adalah dua hal yang jauh berbeda. Kedua hal yang berbeda kemudian
dibandingkan merupakan gaya bahasa lumadu.
Selain tahuda di atas. Ada juga tahuda lain yang di dalamnya terkandung
gaya bahasalumadu. Tahuda yang dimaksud adalah tahuda dalam pemerintahan.
Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.
Wanu tangga kumewungo
“jika landasan bengkok”
Ito motituwawu dulungo
“kita satu dalam tujuan”
Wawo bolo motitihelumo
“da kita musyawarahkan
Wanu ma helu-helumo
“kalau sudah musyawarah”
Rahmati motonungo
“rahmat yang diharapkan”
Tahuda di atas terdapat gaya bahasa lumadu di dalamnya. Gaya bahasa
lumadu yang terdapat dalam tahuda di atas berada pada baris pertama yang telah
tercetak tebal. Dikatakan gaya bahasa lumadu karena dalam baris ini terdapat
perbandingan antara sebuah pertentangan dengan landasan yang bengkok. Landasan
merupakan dasar dalam melakukan sesuatu. Jika dalam landasan terdapat
permasalahan maka tidak lain permasalahnnya adalah perbedeaan pendapat yang
terjadi di antara petinggi-petinggi negeri. Perbedaan pendapat hanya dapat
diselesaikan melalui musyawarah. Oleh sebab itu baris pertama yang berbunyi wonu
tangga umewungo, dilanjutkan dengan baris kedua yang berbunyi ito motitituwawu
dulungo, kemudian dilanjutkan baris ketiga wawo bolo motitihelumo, yang artinya
dan kita musyawarahkan.
Berdasarkan makna yang terkandung dalam tahuda, bahwa baris pertama yang
berbunyi wonu tangga umewungo, yang artinya jika landasan bengkok, merupakan
perumpamaan dari perbedaan pendapat yang terjadi antara petinggi-petinggi negeri.
Jadi, dalam tahuda ini terdapat perumapamaan yang mengumpamakan suatu
perbedaan pendapat dengan sebuah landasan yang bengkok.
Selain kedua tahuda di atas. Ada lagi salah satu tahudayang di dalamnya
terkandung gaya bahasa lumadu di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai
berikut.
Wolipopo to didi lobaya
“kunang-kunang di dahi”
Tuwawu lo humaya
“merupakan suatu tanda”
U wito u tombuluwo
“itu yang dihormati”
Tuwoto tiyo woluwo
“pertanda Dia itu ada”
Gaya bahasa lumadu terdapat pada baris pertama yang tercetak miring. Pada
baris pertama terkandung arti “kunang-kunang di dahi”, berarti tempat bagian yang
tersentuh tanah ketika bersujud. Berdasarkan dokumentasi yang ditemukan bahwa
makna dari kunang-kunang di dahi adalah sebuah amanah dan tanggung jawab dari
Allah SWT untuk seorang pemimpin. Makna konotasi yang dianalisis dan makna
konotasi berdasarkan dokumentasi terdapat kesamaan di dalamnya. Amanah setiap
pemimpin tidak lain adalah bersujud kepada Allah. Amanah menjalankan roda
pemerintahan yang baik juga merupakan tindakan bersujud kepada Allah, yaitu patuh
kepadanya. Gaya bahasa lumadu dalam gatra ini serupa dengan majas perumpamaan.
Jadi, dalam tahuda ini terdapat gaya bahasa lumadu yang sebagai perumpamaan
kunang-kunang di dahi diumpamakan dengan sebuah amanah dan tanggung jawab.
4. Sastra lisan dalam prosesitolobalango
Berdasrkan wawancara yang dilakukan, ditemukan sebuah sastra lisan dalam
tolobalango yang di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu. Menurut informasi
narasumber bahwa sastra lisan ini adalah sastra lisan yang digunakan ketika proses
peminangan berlangsung. Sastra lisan ini bukanlah lumadu tapi terkandung lumadu di
dalamnya, bukan lumadu sebagai sastra lisan tapi lumadu sebagai gaya bahasa.
Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai berikut.
Hulawntho ngo pata
“ibarat seuntai emas milik bapak”
Wahu to bubalata
“sedang berada dalam peraduannya”
Bilahu lo paramata
“dibalut dengan permata nilam”
Tineliyo dunggilata
“sinarnya nan gemilang”
Bulilangiyo mola to maka
“pancaran cahanya hingga ke mekkah”
Wanu bolo dipou ta hilapat patata
“kalau mungkin belum ada yang menanyakan”
Sastra lisan ini digunakan untuk meminang seorang wanita yang akan
dinikahi. Sastra lisan ini di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu yang terdapat
pada baris pertama dan baris ketiga, yang dicetak tebal. Baris pertama terkandung arti
“ibarat sebuah emas”. Makna dari sebuah emas di dalamnya adalah seorang wanita
yang akan dipinang oleh seorang lelaki. Dikatakan emas karena wanita tersebut
begitu berharga dan mulia. Jadi, seorang wanita dalam sastra lisan ini diumpamakan
dengan sebuah emas yang berharga. Dapat disimpulkan bahwa baris pertama yang
berbunyi hulawantho ngo pata, yang artinya ibarat seuntai emas milik bapak,
merupakan gaya bahasa lumadu yang terdapat dalam sastra lisan ini.
Selnjutnya, pada baris ketiga yang tercetak tebal pada sastra lisan di atas.
Baris ketiga terkandung arti dibalut dengan permata nilam, yang maknanya bahwa
wanita yang berharga tersebut diselimuti oleh kecantikan layaknya pertama nilam.
Berdasarkan penjelasan narasumber bahwa kata permata nilam yang terdapat dalam
sastra lisan ini adalah kecantikan wanita yang akan dipinang. Dapat disimpulkan
bahwa pada baris ketiga kecantikan seorang wanita diumpamakan dengan sebuah
permata nilam. Perumpamaan yang tergambarkan dalam sastra lisan tersebut sebagai
penjelasan bahwa baris ketiga dalam sastra lisan tersebut adalah gaya bahasa lumadu.
5. Dalam sastra lisan Tanggi
Dalam buku yang berjudul “Mengenal Sastra Lisan Gorontalo” jilid 1,
dijelaskan bahwa teka-teki merupakan sastra lisan Gorontalo yang disebut dengan
Tanggi(Daulima 2007:16). Tanggi adalah sastra lisan Gorontalo yang di dalamnya
terdapat sebuah perumpamaan yang mengajak untuk di tebak. Tanggi berbentuk puisi
yang bersajak a-a.Tanggi dalam masyarakat Gorontalo berungsi sebagai hiburan atau
permainan anak-anak. Sastra lisan ini dapat bermanfaat dalam peningkatan daya pikir
karena tanggi mengasah otak. Dapat dikatakan bahwa sastra lisan tanggi merupakan
sastra lisan pengasah otak, atau disebut sastra lisan teka-teki.
Tanggi sebagai sastra lisan yang berdiri sendiri, terdapat gaya bahasa lumadu
dalam penggunaan diksinya. Fungsi lumadu dalam tanggi ini, untuk mengecoh atau
menjebak agar salah dalam memberikan jawaban. Untuk lebih jelasnya, diuraikan
sebagai berikut.
Dutu-dutu lambutalo
“terletak berambut”
Dengetalo duhualo
“digigit berdarah”
Jawabannya: Onde-onde
Sebelum dilanjutkan pada penjelasan atas tanggi ini, sebelumnya akan
dijelaskan apa yang dimaksud dengan onde-onde. Onde-onde adalah sejenis kue
berbentuk bulat, ditaburi parutan kelapa dan di dalamnya berisi gula merah cair.
Onde-onde adalah makanan khas Gorontalo yang terbuat dari ubi jalar. Ubi jalar
merupakan makanan pokok tradisional Gorontalo.
Selanjutnya, Tanggi di atas hanya terdiri atas dua gatra. Setiap gatra yang
terkandung gaya bahasa lumadu di dalamnya. Gatra yang terdapat pada baris pertama
terkandung arti terletak berambut. Makna dari kata “berambut” dalam tanggi ini ialah
kelapa yang di taburi pada onde-onde tersebut. Kemudian pada gatra yang berikutnya,
kata “berdarah” dari arti kata duhualo, bermakna gula merah cair, yang apabila onde-
onde digigit gula merah cair akan keluar. Dalam tanggi ini terdapat perumpamaan.
Kata “berambut” diumpamakan dengan sebuah kelapa parut, kemudian kata
“berdarah” diumpamakan dengan gula merah cair. Jadi, perumpamaan yang
terkandung dalam tanggi ini, mempejelas bahwa tanggi merupakan salah satu sastra
lisan Gorontalo yang di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu.
4.1.2 Makna yang terkandung dalam sastra lisan Lumadu
Berdasarkan pengumpulan data, ditemukan beberapa lumadu yang akan
dianalisis makna di dalamnya. Beberapa lumadu tersebut sebagai berikut.
1. Bututu lo wolito
Kata bututu merupakan tanda dalam gatra. Secara denotasi bututu artinya
kantung, dan wolito artinya malu. Jadi Bututu lo wolito artinya kantung malu. Kata
“kantung” dalam lumadu ini, memiliki dua makna di dalamnya. Secara denotasi
berarti kantung, tapi secara konotasi berarti hati, karena hati adalah tempat atau
wadah dalam menampung segala yang terjadi dalam pengalaman manusia.
Kemudian, kata “malu” berarti merasa rendah atau merasa memiliki cacat. Jadi secara
keseluruhan makna dari gatra bututu lo wulito adalah hati yang selalu merasa rendah
dan tidak sombong meskipun telah memiliki kemampuan melebihi kemampuan orang
lain. Hal ini senada dengan kenyataan bahwa tindakan-tindakan yang tidak tahu malu
atau tindakan-tindakan yang tidak baik dilakukan oleh orang yang merasa sempurna
dan sombong.
2. Monula lo yohu langge-langgelo
Monula lo yohu langge-langgelo, terjemahannya adalah membuang ludah
sambil bertengadah. Kata yohu merupakan tanda dalam lumadu tersebut. Kata yohu
bermakna denotasi air liur. Apabila dianalisis secara dalam, air liur merupakan
sesuatu yang kotor dan jorok. Jadi secara konotasi kata yohu dalam lumadu
bermakna sesuatu yang tidak baik atau buruk. Kata Monula berarti membuang, tapi
secara konotasi bermakna menyampaikan. Kemudian kata Langge-langgelo berarti
menghadap ke atas atau ke tempat yang tinggi. Secara konotasi, kata ini juga
bermakna kedudukan yang paling atas atau pemimpin. Jadi secara keseluruhan makna
dari monula lo yohu langge-langgelo berarti menjelek-jelekan pemimpin.
Berdasarkan kenyataan bahwa, jika orang yang bertindak membuang ludah sambil
bertengadah, maka air liur itu akan jatuh kembali kepadanya, hal ini selaras dengan
tindakan menjelek-jelekan pemimpin berarti sama dengan menjelek-jelekan dirinya
sendiri.
3. Diila o’onto, bo wolu-woluwo
Diila o’onto, bo wolu-woluo, terjemahannya adalah tidak terlihat tapi
sebenarnya ada. Semua gatra dalam lumadu ini merupakan tanda. Diila o’onto
bermkana konotasi tuhan yang tak terlihat. Kemudian bo wolu-woluo bermakna
konotasi dapat dirasakan. Untuk itu ditemukan makna konotasi dalam lumadu ini
adalah tuhan itu tidak dapat dilihat tapi hanya dapat dirasakan keberadaannya.
4. Bo delo ta yilate
Bo delo ta yilate, berarti hanya seperti mayat. Mayat adalah jasad yang tidak
lagi memiliki roh di dalamnya. Roh yang telah dicabut oleh Allah menyebabkan
mayat tidak dapat bergerak dan melakukan kegitan atau tindakan. Jadi kata ta yilate
berkonotasi orang yang tidak dapat memberikan apa-apa karena tidak ingin bekerja.
Berdasarkan kenyataan bahwa orang yang malas bekerja laksana orang yang telah
mati yang tidak dapat berbuata sesuatu.
5. Openu de moputi tulalo, bo dila moputi baya
Lumadu yang berbunyi openu de moputi tulalo, bo dila moputi baya berarti
biarlah nanti berputih tulang, yang penting jangan berputih wajah. Makna konotasi
dari openu de moputi tulalo adalah biaralah nanti tubuh ini mati menjadi tulang-
belulang, dan makna konotasi dari bo dila moputi baya adalah yang penting jangan
dijajah karena ketakutan. Jadi makna konotasi dari lumadu ini adalah lebih baik mati
daripada dijajah hingga ketakutan.
6. Odelo titihulo lo tangelo
Odelo titihula lo tangelo ,terjemahannya adalah seperti berdirinya kayu tin.
Tangelo yang berarti kayu tin adalah kayu yang kuat, sering digunakan sebagai
pondasi rumah panggung, agar rumah terhindar dari kerobohan meski diguncang.
Jadi, kayu tin dalam lumadu ini, bermakna konotasi kuat. Kemudian, kata titihula
yang berarti berdiri merupakan kondisi tubuh yang tegak dan lurus dari atas ke
bawah, tanpa berbengkok dengan menggunakan kaki sebagai penopang. Jadi, kata
titihula dalam lumadu bermakna konotasi pendirian hidup yang lurus berdasarkan
firman Allah yang diturunkan dari atas langit ke bumi. Dapat disimpulkan bahwa
lumadu odelo titihula lo tangelo bermakna pendirian kuat yang tak mampu
digoyahkan karena berdasarkan pada jalan yang lurus, jalan Allah SWT.
7. Mopo’o tanggalo duhelo
Lumadu yang berbunyi mopo’o tanggalo duhelo mengandung arti secara
denotasi adalah memperluas dada. Kata “luas” mengacu pada kondisi tempat yang
dapat menampung sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jadi, secara konotasi
bermakna dapat menampung segala sesuatu. Kemudian kata duhelo yang berarti
dada, adalah bagian tubuh manusia yang di dalamnya terdapat organ jantung, hati,
dan paru-paru. Namun, dalam lumadu ini kataduhelo berkonotasi hati. Jadi dapat
ditarik makna konotasi dalam lumadu ini ialah memperluas hati dan bersabar untuk
menerima segala yang terjadi, yang menjadi takdir Allah SWT.
8. Momili’a layahu to dutalaa da’a
Momili’a layahu to dutulaa da’a dapat diterjemahkan mengubah layar saat
badai besar. Kata layahu berarti layar dalamlumadu ini berkonotasi strategi.
Sedangkan kata dutulaa da’a berarti badai besar mengandung konotasi tantangan dan
ujian dalam hidup. Jadi secara kontasi lumadu ini bermakna setiap tantangan yang
datang harus diselesaikan dengan strategi yang berubah-ubah
9. Elayi batanga, umuru dila tutmulo hu’idu
Secara denotasi, terjemahan dari lumadu ini adalah ingatlah diri, umur tidak
seperti hidupnya gunung. Kata umuru berarti “umur”, kemudian makna konotasi dari
kata “umur” adalah waktu untuk hidup. Sedangkan, kata hu’idu berarti gunung. Jadi,
tutumulo hu’idu berarti hidupnya gunung atau lama hidupnya gunung. Gunung
merupakan benda mati yang terdapat di alam, dan bersifat kekal selama dunia belum
hancur. Gunung selalu menjadi saksi biksu sejarah karena gunung hidup lebih lama
dari manusia. Jadi, secara konotasi makna dari lumadu ini adalah haruslah selalu
mengingat diri dalam setiap tindakan karena waktu untuk hidup tidak akan kekal
seperti hidupnya gunung.
10. Amula didu tuntu mololohe ali, bo ma ali uhe molohe tuntu
Lumadu di atas dapat diterjemahkan secara leksikal berarti seperti bukan lagi
timba yang mencari sumur tetapi sumur yang mencari timba. Namun, secara konotasi
kata aliyang berarti “sumur” dimaknai sebagai tuan tanah, dan tuntu atau”timba”
adalah pendatang yang ingin bekerja dalam mengharapkan sesuatu dari tuan tanah.
Jadi secara konotasi lumadu ini bermakna, bukan lagi pendatang yang bekerja untuk
memperoleh hasil tapi tuan tanah yang menjadi pekerja di tanahnya sendiri untuk
memberikan hasil kepada pendatang. Lumadu ini selaras dengan kenyataan Indonesia
yang menjadi pekerja di tanahnya sendiri.
4.1.3Kedudukan sastra lisan Lumadu dalam masyarakat Gorontalo
Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat budaya. Masyarakat budaya adalah
masyarakat yang tidak pernah lepas dari kebudayaan daerah. Buadya daerah dalam
masyarakat Gorontalo sangat kental, dan dipegang secara fanatik oleh masyarakatnya.
Sikap fanatik masyarakat Gorontalo terahadap budayanya peralahan-lahan mulai
terkikis dan dilupakan. Eksitensi budaya telah terancam punah. Salah satu eksitensi
budaya yang terancam punah adalah lumadu. masyarakat generasi muda tidak
mengenal lumadu dalam kehidupan mereka.
Pengawalan kebudayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui
tokoh-tokoh adat, tidak mempermudah pemertahanannya di lingkungan masyarakat
Gorontalo. Pemerintah merupakan pranta yang berfungsi sebagai motor penggerak
roda pemerintahan tidak memiliki pengetahuan yang dalam akan khasanah kebudyaan
yang sedang dipertahankan. Kebudayaan Gorontalo yang luas merupakan sebab
kesulitan pemerintah dalam pengakomdiran pemertahanan kebudayaan.
Kebudyaan Gorontalo yang berbentuk lisan yang yaitu sastra lisan lumadu.
Sastra lisan lumadu sesuai dengan fungsinya, digunakan sebagai alat pengajaran
moral dalam lingkungan keluarga. Pengajaran moral melalui lumadu seharusnya
berawal dari keluarga, kemudian merambah ke masyarakat yang lebih luas. Lumadu
sebagai sastra lisan dijadikan sebagai tameng pencegahan dekadensi moral.
Dekadensi moral yang terjadi dalam masyarakat adalah dampak dari tidak adanya
pengajaran moral dalam keluarga. Keluaraga merupakan kelompok terkecil dari
masyarkat yang luas.
Berdasarkan pendapat narasumber-narasumber yang diwawancarai, dijelaskan
bahwa pemertahan lumadu dalam masyarakat sangatlah minim tindakannya. Hal ini
disebabkan pemertahan yang dilakukan hanya berada pada tokoh-tokoh adat,
sedangkan dalam masyarkat umum tidak lagi ada eksistensi pemertahanan lumadu.
Pengetahuan dasar lumadu telah luntur dalam kehidupan keluaraga dan masyarakat.
Seorang tokoh adat menuturkan bahwa dekadensi moral yang terjadi
diakibatkan oleh kurangnya pendidikan moral terhadap anak. Pendidikan moral
dengan metode tradisional Gorontalo yaitu melalui lumadu. Lumadu diajarkan kepada
sang anak, agar anak tersebut mudah dalam mengingatnya karena diksi-diksi yang
indah untuk dilafal secara berulang.
Pemangku adat atau tokoh adat merupakan pengawal perkembangan dan
pemertahanan tradisi dan budaya. Namun berdasarkan penuturan narasumber, bahwa
ada sebagian pemangku adat tidak berpengetahuan tentang lumadu secara mendalam.
Contohnya ketika pada prosesi adat pernikahan, yang berpantun dengan diksi yang
artinya kasar untuk didengar. Arti kata yang kasar, tidak dapat dikatakan lumadu,
sebab lumadu selamanya mengadung arti yang lembut untuk didengar. Hal ini
terjelaskan bahwa, kemorosotan eksistensi lumadu semakin ke puncaknya.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis pada poin sebelumnya, perlu diadakan pembahasan
sebagai bentuk pendalaman materi agar kejelasan dalam penelitian terungkap sesuai
dengan tujuan yang akan diungkap. Adapun pemabahasannya sebagai berikut.
4.2.1 Bentuk dan Fungsi Lumadu
Lumadu, teka-teki pengasah otak dan kiasan atau perumpamaan. Lumadu
terdiri atas dua jenis, yaitu lumadu teka-teki dan lumadu kiasan atau perumpamaan.
Selain batasan lumadu tersebut, ada juga definisi lain dari lumadu, yaitu lumadu
adalah ungkapan tradisional yang di dalamnya terdapat nasehat dan pandangan hidup
(Daulima, 2007:17). Secara totalitas lumadu didefinisikan sebagai sastra lisan
Gorontalo yang berbentuk ungkapan tradsional yang berisi nasehat pandangan hidup
dan berbentuk teka-teki.
Paragraf di atas merupakan definisi lumadu yang dijadikan sebagai dasar
pengetahuan dalam pelaksanaan penelitian. Definisi lumadu dalam paragraf di atas
merupakan kumpulan definisi pakar budaya Gorontalo yang berasal dari informasi
yang ditemukan kemudian diformulasi oleh mereka berdasarkan pendapat mereka.
Para pakar budaya Gorontalo berpendapat bahwa lumadu adalah salah satu sastra
lisan Gorontalo yang berbentuk ungkapan dan berbentuk teka-teki. Formulasi
penelitian yang dihasilkan oleh para pakar, berasal dari informasi yang ditemukan
melalui tokoh adat. Tokoh adat dalam hal ini sebagai informan kemudian hasil
informasi yang ditemukan, diformulasi kembali menjadi sebuah teori atau
pendekatan. Teori dan pendekatan pada dasarnya berawal dari opini yang disertai
dengan argumentasi. Tindakan para pakar dalam pengembangan tradisi lumadu ke
dalam bentuk teori dan pendapat merupakan suatu hal yang harus diapresiasi dengan
nilai yang setinggi-tingginya.
Setiap pendapat ilmiah harus disertai dengan data-data dan argumentasi yang
valid.Validitas sebuah argumentasi seyogyanya harus ada keterkaitan antara data dan
analisis. Data adalah informasi mentah yang ditemukan melalui pengalaman di
lapangan, sedangkan analisis adalah formulasi dalam pengolahan data, sehingga data
dapat tersusun secara sistem yang berkaitan antara satu dengan yang lain, tentunya
keterkaitannya harus selaras dengan logika.
Logika manusia adalah wadah dalam proses formulasi infomasi untuk tujuan
keilmiahan sebuah penelitian. Penelitian yang ilmiah adalah pengetahuan baru yang
diperoleh melalui penyusunan data-data di lapangan dan pengetahuan dasar dalam
analisis. Analisis yang sebelumnya tentang lumadu yang dilakukan oleh para pakar
harus diacungi jempol karena telah menambah wawasan pengetahuan kedaerahaan.
Definisi-definisi sebelumnya tentang lumadu merupakan hasil analisis ilmiah tentang
lumadu. Analisis ilmiah sebelumnya berbeda dengan analisis yang terdapat dalam
penelitian ini. Relevansi analisis sebelumnya dengan analisis ini terdapat keterkaitan
di dalamnya, terdapat persamaan tapi juga terdapat sedikit perbedeaan. Diferensi
yang terjadi dalam analisis ini dengan analisis sebelumnya terdapat pada bentuk
lumadu, bahkan dapat terjadi diferen terhadap definisi lumadu.
Diferensi yang terdapat dalam analisis sebelumnya dengan analisis ini, tidak
berarti bahwa penelitian ini merupakan bentuk penentangan terhadap yang
sebelumnya. Tapi layaknya sifat ilmu pengetahuan selalu bersifat dinamis dan
berkembang. Kedinamisan suatu pengetahuan pertanda perekemabangan pengetahuan
tersebut semakin baik. Sekali lagi bahwa pengetahuan tidaklah bersifat statis,
melainkan bersifat dinamis.
Berdasarkan hasil informasi data yang ditemukan di lapangan dan formulasi
data atas dasar pengetahuan, dikemukakan hasil penelitian yang dengan pernyataan
bahwa lumadu adalah warisan budaya Gorontalo yang berbentuk sastra lisan dan
berbentuk gaya bahasa. Asumsi awal tentang lumadu bahwa lumadu adalah sastra
lisan Gorontalo. Akan tetapi, setelah diadakan pengumpulan informasi tentang
lumadu, ternyata lumadu bukan hanya berbentuk sastra lisan Gorontalo, tapi lumadu
juga berbentuk gaya bahasa yang terkandung dalam sastra lisan Gorontalo. Jadi,
lumadu terbagi atas dua bentuk, bentuk lumadu sebagai sastra lisan dan lumadu
sebagai gaya bahasa.
Lumadu sebagai sastra lisan adalah lumadu yang semata-mata sebuah karya
sastra daerah yang berbentuk lisan dan diwariskan secara turun-temurun melalui
lisan. Sedangakan lumadu sebagai gaya bahasa adalah lumadu yang berfungsi sebagai
unsur pemabangun dalam sastra lisan lain. Sebagian berpendapat, bahwa teka-teki
merupakan jenis dari lumadu. Namun, sedikit perbedaan dari yang ditemukan.
Berdasarkan temuan ini diintroduksi bahwa teka-teki bukan merupakan sastra lisan
lumadu tapi tergolong dalam sastra lisan tanggi. Tapi gaya bahasa lumadu terkandung
dalam sastra lisan tanggi. Berdasarkan hasil wawancara, bahwa lumadu adalah sastra
lisan, dan dalam sastra lisan bisa saja terkandung lumadu. Jika informasinya seperti
ini, maka disimpulkan bahwa lumadu yang terdapat dalam sastra lisan bukan lagi
sastra lisan tapi sebuah gaya bahasa. Secara teori bahwa tidak ada karya sastra dalam
tubuh karya sastra, melainkan unsur pembangun yang terdapat dalam tubuh karya
sastra. Kemudian, dijelaskan bahwa lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan
yang lain berbentuk perumpamaan yang berfungsi mempehalus bahasa. Jadi,
disimpulkan bahwa lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan lain merupakan
sebuah gaya bahasa lokal.Diferensi yang terjadi dalam analisis ilmiah ini dengan
analisis sebelumnya, merupakan sebuah kedinamisan pengetahuan.
Berdasarkan hasil analisis, bahwa persamaan antara sastra lisan lumadu
dengan gaya bahasa lumadu terdapat pada perumpamaannya. Sedangkan
perbedaannya terletak pada bentuknya, penamaannya, dan signifikasinya. Untuk lebih
jelasnya, diuraikan penjelasannya sebagai berikut.
1. Sastra Lisan Lumadu
Sastra lisan lumadu adalah sastra lisan yang hadir dalam bentuk ungkapan
tradisional, yang berbentuk perumpamaan, berfungsi sebagai alat pengubah dan
pencegah terjadinya dekadensi moral. Sastra lisan lumadu digunakan untuk
menasehati, menyindir, dan mengajarkan prinsip-prinsip hidup. Penggunaan lumadu
sebagai alat pertahanan dekadensi moral selaras dengan fungsi karya sastra yaitu
mengajarkan. Diksi yang digunakan dalamlumadu, berfungsi untuk memperhalus dan
mempersantun ungkapan. Kesantunan dan kehalusan diksi dapat dijadikan alat
pengajaran yang lebih mudah untuk diterima.Lumadu dibagi atas beberapa jenis,
yaitu:
1. Lumadu prinsip, adalah lumadu yang di dalamnya terkandung pesan-pesan
prinsip kehidupan yang harus dijadikan sebagai landasan kehidupan.
2. Lumaduperingatan, adalah lumadu yang di dalamnya terkandung
peringatan akan kesalahan yang telah dilakukan.
3. Lumadu sindiran, adalah lumadu yang di dalamnya terdapat sindiran yang
secara implisit penyampaiannya sebagai teguran.
4. Lumadu doa, adalah lumadu yang berisi doa dan harapan agar sesuatu
yang diinginkan tekabul.
Diksi dalam sastra lisan lumadu dapat berubah-ubah tapi pesan yang
disampaikan tetap sama. Diksi yang berubah, tidak mengubah gaya dan struktur yang
terdapat di dalamnya. Gaya perumpamaan dan struktur bebas dalam sastra lisan
lumadu tidak berubah meski diksinya berubah. Bahkan perubahan ini tidak mengubah
makna yang tekandung di dalamnya. Contohnya, lumadu yang berbunyi amula didu
tunthu u mololohe ali, bo ma ali u mololohe tunthu yang artinya “seperti bukan lagi
timba yang mencari sumur, tapi sumur yang mencari timba”. Berdasarkan latar
budaya, lumadu ini digunakan untuk menyindir wanita yang melakukan tindakan
tidak terhormat karena mengejar laki-laki yang seharusnya laki-laki yang mengejar
wanita. Jadi, secara makna bahwa “sumur” dari arti kata ali disimbolkan dengan
seorang wanita karena wanita sikapnya harus menunggu di tempat, dan tunthu yang
berarti “timba” disimbolkan dengan laki-laki, karena laki-laki yang bergerak
mengejar wanita. Dalam ranah pengajaran melalui sindiran, lumadu ini sering diganti
dengan lumadu yang berbunyi amula didu wadala u hemololohe hu’oyoto, bo ma
hu’oyoto u hemololohe wadala, yang artinya “seperti bukan lagi kuda yang mencari
rumput, tapi rumput yang mencari kuda”. Secara fungsi, lumadu ini juga digunakan
sebagai sindiran bagi wanita yang mengejar laki-laki, kemudian secara struktur,
lumadu ini juga terdiri atas dua kalimat, bahkan makna symbol di dalamnya tetap
seperti lumadu sebelumnya. Jadi, sastra lisan lumadu adalah sastra lisan yang
diksinya tidak bersifat paten, namun bertujuan sama. Sastra lisan lumadu adalah
sastra lisan perumpamaan.
Ciri-ciri lumadusebagai sastra lisan ialah sebagai berikut:
Struktur dan isi berbentuk peribahasa
Penggunaan diksi selalu bergaya perbandingan
Penyampaian pesannya utuh
Tidak digunakan dalam prosesi adat, tapi digunakan dalam kehidupan
sehari-hari
Berifungsi sebagai sarana pembentukan moral
Penggunaan diksinya santun
2. Gaya bahasa Lumadu
Gaya bahasa lumadu adalah gaya bahasa perumpamaan sebagai unsur yang
terdapat dalam tubuh sastra lisan Gorontalo. Sastra lisan lumadu berbeda dengan gaya
bahasa lumadu. Sastra lisan lumadu berfungsi sebagai alat pendidikan moral, yang
kehadirannya tercipta secara serta-merta dan tidak bersifat paten diksinya, sedangkan
gaya bahasa lumadu adalah gaya bahasa perumpamaan dalam penyampaiannya. Di
dalam lumadu terdapat gaya bahasa lumadu, tapi gaya bahasa lumadu bisa hadir
dalam setiap sastra lisan Gorontalo.Lumadu terkandung dalam sastra lisan adalah
gaya bahasa perumpamaan. Gaya bahasa ini diesbut oleh msyarakat Gorontalo
dengan sebuatan lumadu.
Lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan yang lain, tidak dapat
berfungsi maknannya, apabila tidak dihubungkan dengan kalimat-kalimat sajak yang
lain. Contohnya pada tuja’i prosesi mopolengge, sebagai berikut.
Wombu hulawa tuluto
“cucunda emas nan murni”
Bulewe mombuto
“kembang sudah mekar”
Ami mongotiyombu tuluto
“kami para pemangku adat”
Momudu’o momuloto
“menjemput dan mempersilahkan”
Wonu towuli mohuto
“apabila berkenan”
Ayitayi to eluto
“peganglah pedangmu”
Baris pertama dan baris kedua adalah lumadu yang berbentuk gaya bahasa.
Baris pertama dan kedua tidak dapat dikatakan sebagai sastra lisan lumadu, karena
kedua lumadu tersebut tidak akan berfungsi maknannya apabila tidak dihubungkan
dengan baris-baris sajak yang lain. Oleh sebab itu, lumadu dalam tubuh sastra lisan
adalah sebuah gaya bahasa bukan sebuah sastra lisan.lumadu yang disebut sebagai
sastra lisan adalah ungkapan perumpamaannya berfungsi dalam penyampaian pesan,
sedangakan lumadu dalam tubuh sastra, seperti pada tuja’i di atas, disebut gaya
bahasa karena penyampaian pesannya tidak akan utuh apabila tidak dihubungkan
dengan makna baris yang lain. Jadi, lumadu dalam tubuh sastra lisan adalah gaya
bahasa yang dijadikan sebagai salah satu unsur pemabangun sastra lisan tersebut.
Lumadu sebagai gaya bahasa adalah warisan karakteristik sastra lisan
Gorontalo. Jika ditinjau lebih teliti, dalam teori bahasa dan sastra dikenal majas
perbandingan yang memiliki persamaan dengan lumadu. Salah satu majas
perbandingan ialah metafora. Metafora adalah majas yang membandingakan dua hal
dengan cara yang singkat dan padat. Contoh metafora yaitu, “ telah gugur ribuan
bunga bangsa demi negara ini”. Gatra bunga bangsa dalam kalimat tersebut
merupakan metafora, sebab bunga bangsa diartikan sebagai para pejuang negeri.
Kemudian pada lumadu, contohnya yaitu, amula didu tunthu u mololohe ali, bo ma
ali u mololohe tunthu yang artinya “seperti bukan lagi timba yang mencari sumur,
tapi sumur yang mencari timba”. Kata “sumur” dalam lumadu disimbolkan dengan
seorang wanita, dan kata “timba” disimbolkan dengan seorang laki-laki. Jika ditinjau
kemabali bahwa gaya bahasa majas metafora sama dengan gaya bahasa lumadu yang
telah populer di Gorontalo sejak berabad-abad yang lalu. Akan tetapi, sebagai bentuk
penghoramatan kepada leluhur yang telah mewariskan gaya bahasa ini, lumadu tetap
disebut lumadu, metafora tetap disebut metafora.
Ciri-ciri lumadu sebagai gaya bahasa adalah sebagai berikut:
Terdapat dalam tubuh sastra lisan
Sebagai unsur pemabangun dalam sastra lisan
Terikat oleh rima dalam sajak
Digunakan dalam prosesi adat dan kehidupan sehari-hari
Penggunaan diksi selalu bergaya perbandingan
Penggunaan diksinya santun
Penyampaian pesan tidak utuh apabila terpisah dari baris-baris sajak
yang lain dalam sastra lisan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lumadu bukan hanya sebagai sastra lisan dan
terbagi dalam beberapa jenis, tapi lumadu juga berbentuk gaya bahasa sastra lisan.
4.2.2 Kedudukan sastra lisan Lumadu dalam masyarakat Gorontalo
Dekadensi moralitas yang terjadi di seluruh dunia merupakan sebab dari
kurangannya pendidikan dari lingkungan keluarga, sehingga dekadensi moral
merambah ke lingkungan sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat. Masyarakat pada
belahan dunia barat adalah masyarakat yang telah berproses dengan jutaan ilmu
pengetahuan, yang ternyata berakibat pada terjadinya dekadensi moral. Ilmu
pengetahuan yang terus berkembang telah bersikap sombong dan menentang tradisi-
tradisi atau pengetahuan kuno yang dianggap ketinggalan. Sikap sombong ternyata
adalah awal kehancuran dan kemorosotan moral yang terjadi di lingkungan sosial
mereka. Tapi jika ditinjau lebih dalam, ternyata pengetahuan kuno yang dianggap
ketinggalan merupakan pengetahuan yang di dalamnya terkandung jutaan kearifan
yang dapat dijadikan sebagai tameng dari tejadinya dekadensi moral.
Indonesia adalah negara yang beragam suku, beragam budaya, dan beragam
bahasa telah tertimpa dekadensi moral. Indonesia ketika era majapahit, dahulu disebut
nusantara, adalah tanah yang sangat kental dengan budayanya. Budaya yang kuat
dapat berdampak pada kekuatan mental yang berakar dari kesucian moral. Dekadensi
moral di Indonesia di awali dengan penjajahan Belanda, yang memperkenalkan
pemikiran-pemikiran liberal dan gaya hidup yang tak bermoral. Dekadensi moral
yang diderita oleh mereka, ditularkan kepada Indonesia yang ketika itu masih
berpegang teguh pada ajaran-ajaran tradisi leluhur.
Setiap daerah di Indonesia yang beragam budayanya, terdapat pengetahuan
kuno yang merupakan tradisi dari leluhur mereka. Pengetahuan kuno tidak bersifat
ilmiah tapi bersifat intuisi. Contohnya, pengetahuan dalam dunia kedokteran, atau
bahasa tradisionalnya yaitu tabib. Dalam dunia kedokteran modern, obat-obatan yang
di dalamnya terkandung efek penyembuh dapat dibuktikan secara ilmiah, melalui
pembuktian zat-zat yang terkandung dalam obat. Obat pada zaman ini berbentuk pil.
Berbeda dengan zaman dahulu, pengetahuan kuno dalam dunia kedokteran atau tabib,
obat-obatan yang berbentuk ramuan, terkandung efek penyembuh yang tidak dapat
dibuktikan secara ilmia, namun dapat dibuktikan secara intuisi atau keyakinan. Meski
tidak dapat dibuktikan efek penyembuh dari obat tradisional, namun di zaman ini,
efek penyembuh obat tradisional dapat dibuktikan, dan ternyata jauh lebih baik dari
obat-obatan yang beredar di zaman ini disebabkan zat yang tekandung dalam obat
tradisional lebih alami dibandingkan obat modern. Hal ini sebagi bukti bahwa
pengetahuan kuno lebih ampuh dari pengetahuan modern.
Layaknya penyakit, dekadensi moral yang terjadi dalam masyarkat social
merupakan penyakit yang harus diobati dengan solusi yang tepat. Dekadensi moral
adalah penyakit social yang perlu dwaspadai keberadaannya. Penyakit social tidak
dapat disembuhkan dengan obat pil atau ramuan. Penyakit social harus disembuhkan
dengan solusi pengetahuan social yang dapat merestorasi kembali keseimbangan
hidup. Temuan paham-paham social oleh para ilmuwan dipercaya dapat
menanggulangi dekadensi moral. Ternyata paham social seperti itu adalah akar dari
dekadensi moral. paham social marxisme, yang dipelopori oleh Karl Marx, dipercaya
dapat memperbaiki tatanan sosial yang rusak, dan ternyata paham social ini
merupakan akar dari lahirnya paham komunis. Paham komunis berakibat trejadinya
dekadensi moral yang tergambar melalui pembunuhan dan diktatorisme.
Di Indonesia terjadi dekadensi moral era orde lama, yang kini dikenal dengan
G 30 S PKI. Indonesia sebenarnya merupakan negara yang kaya akan obat dekadensi
moral. Obat dari dekadensi moral yang telah ada sejak dahulu, yaitu kearifan lokal
yang dapat dijadikan tameng dan obat bagi dekadensi moral. Indonesia adalah negara
dengan sejuta kearifan lokal yang beragam, dan hal itu tertuang dalam sastra lisan-
sastra lisan daerah. Sastra lisan berfungsi sebagai obat dekadensi moral, karena dalam
sastra lisan terdapat petuah-petuah sebagai pengajaran dalam pembentukan moralitas.
Di negara Indonesia terdapat satu daerah yang berkebudayaan luas, yaitu Gorontalo.
Gorontalo adalah daerah yang di dalamnya terdapat ribuan petuah yang dapat
dijadikan sebagai tameng dekadensi moral. Di daerah Gorontalo terdapat salah satu
ragam sastra lisan yang dijadikan sebagai alat pengajaran dan pembentukan moral,
yaitu Lumadu. Lumadu adalah sastra lisan yang di dalamnya terkandung pengajaran,
peringatan, dan pandangan-pandangan hidup, yang dapat dijadikan tameng dekadensi
moral. Lumadu juga dapat dijadikan obat atas dekadensi moral, karena lumadu
berfungsi sebagai alat peringatan yang berbentuk halus melalui sindiran apabila
seseorang telah melenceng tindakannya. Lumadu berisi bukan hanya pengajaran yang
berfungsi sebagai tameng tapi juga berisi peringatan sebagai obat dekadensi moral.
Pada dasarnya dalam perihal dekadensi moral, lumadu dapat dijadikan sebagai
pencegah dan juga dapat dijadikan sebagai solusi. Namun, dalam kenyataan bahwa
Indonesia yang telah ditimpa dekadensi moral, ternyata juga berpengaruh pada
moralitas orang-orang Gorontalo. Orang Gorontalo pada umumnya, tidak lagi
mengenal adanya petuah atau nasihat yang ada dalam lumadu. Bahkan sindiran yang
diguna an sebagai peringatan atas tindakan yang tidak baik, tidak lagi dibudayakan
dalam lingkungan keluarga, padahal keluarga adalah lingkup sosial yang terkecil. Jika
dari lingkungan keluarga tidak ada pencegahan maka akan berakibat pada lingkungan
sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat.
Propaganda modern berdampak negatif pada perkembangan moral masyarakat
Gorontalo. Diperkirakan dampak negatif tersebut dimulai pada era 70-an. Sebagai
bukti, generasi 70-an yang saat ini telah berkeluarga tidak begitu tahu tentang
lumadu, dan dalam keluarga mereka tidak lagi ada pengajaran atau sindiran ketika
anak bertindak salah. Hingga pada generasi 80 dan 90-an, yang saat ini telah dewasa,
tidak paham tentang lumadu yang berisi petuah-petuah dan nasihat-nasihat. Hal ini
disebabkan pada era 70-an orang-orang Gorontalo mulai berkiblat pada dunia barat
dan tidak peduli terhadap pesan yang disampaikan oleh orang tua mereka atau
generasi terdahulu.
Eksistensi sastra lisan lumadu tidak terlihat lagi di lingkungan masyarakat.
Tidak terlihat bukan berarti hilang atau punah, tapi tersembunyi dan hanya segelintir
orang yang mengetahuinya. Segelintir orang tersebut diantarnya, tokoh adat, praktisi
budaya, dan akademisi budaya. Ketiga kelompok ini berusaha dalam pemertahanan
dan pelestarian luamdu sebagai alat pengajaran dalam masyarakat Gorontalo.
Eksistensi lumadu yang mulai redup, berakibat pada dekadensi moral masyarakat
yang semakin lama tiba pada puncakannya.
Ketiga kelompok tersebut, yaitu tokoh adat, praktisi budaya, dan akademisi
budaya, tidak seluruhnya berpemahaman mendalam tentang lumadu. Bahkan tokoh
adat atau pemangku adat, yang diyakini sebagai pengawal dan pelestari tradisi dan
budaya, ternyata tidak seluruhnya paham akan lumadu. Contohnya, ketika dalam
prosesi pernikahan, seorang tokoh adat melafalkan sajak dengan menggunakan
perumpamaan yang berdiksi kasar. Berdasarkan pendapat seorang tokoh adat, bahwa
tindakan seperti ini terjadi karena kurangnnya pemahaman tentang lumadu. Seorang
tokoh adat yang diyakini sebagai pelestari tradisi dan budaya ternyata tidak paham
akanlumadu secara dalam, apalagi individu dalam masyarakat. Eksitensi sastra lisan
lumadu mulai redup termakan zaman.
Modernitas yang melanda Gorontalo berakibat fatal terhadap pemertahanan
lumadu. Pemertahanan lumadu dalam masyarakat Gorontalo diintervensi langsung
oleh pemerintah melalui tokoh-tokoh adat. Namun, hal ini ternyata tidak maksimal,
karena intervensi yang dilakukan terkesan membiarkan para tokoh adat bergerak
dengan sendirinya. Selain itu, tidak adanya konstitusi daerah sebagai pengatur dalam
pemertahanan lumadu, berakibat pada kesulitan tokoh adat dalam
mempertahankannya. Sarana dan prasarana dalam memperkenalkan lumadu ke
masyarakat, yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Adapun seminar-seminar
kebudayaan hanya terbatas pada akademisi dan segelintir orang yang peduli. Jadi,
dalam pemertahanan eksistensi lumadu dibutuhkan solusi yang baru.
Tindakan yang harus dilakukan dalam pemertahanan lumadu adalah dengan
diadakannya promosi atau pentas yang dibalut dengan dunia modernitas. Generasi
muda dilanda modernitas, untuk itu pemertahanan lumadu harus dimulai dari generasi
agar tercipata regenerasi selanjutnya. Pada saat ini film adalah komoditas utama di
tingkat generasi muda, mungkin pemerintah dengan sikap yang peduli seharusnya
mengucurkan dana untuk pembuatan film yang di dalamnya banyak menyinggung
lumadu. Pengucuran dana harus dengan jumlah yang banyak agar film yang
dihasilkan bagus dan tidak ketinggalan modernitas. Banyak film-film Gorontalo yang
pembiayaannya sangat minim sehingga dihasilkan film dengan kualitas gambar yang
rendah. Hal ini akan berdampak pada minat generasi muda. Intinya, pengucuran dana
yang besar untuk pemertahanan lumadu harus berani dilakukan oleh pemerintah, dan
setiap elemen masyarakat yang peduli terhadap budaya harus tetap istiqomah dalam
pengembangan dan pelestriannya.