Bab Iiii Trauma Traktus Urinaria

32
BAB III TRAUMA TRAKTUS URINARIA 3.1 Trauma ginjal Cedera ginjal adalah cedera yang paling umum dari sistem genitourinaria. Ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung di sebelah posterior, tulang vertebra, tulang costa bagian bawah, dan organ abdomen di sebelah anterior. Patah tulang costa dan prosessus transversus vertebra mungkin menembus parenkim ginjal atau pembuluh darah. Sebagian besar cedera terjadi karena kecelakaan mobil atau kecelakaan saat olahraga, terutama pada pria dan anak laki-laki. Ginjal dengan kondisi patologis yang ada seperti hidronefrosis atau tumor ganas lebih mudah pecah jika terkena trauma ringan. Karena 25% curah jantung (cardiac outflow) berjalan melalui ginjal, makan trauma ginjla dapat mengakibatkan kehilangan darah yang cepat. a) Etiologi 1. Trauma langsung ke abdomen, pinggang, dan panggul 2. Trauma tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Contohnya : tabrakan kendaraan pada kecepatan tinggi dapat mengakibatkan trauma ginjal karena cepat perlambatan dan menyebakan cedera pembuluh darah utama. Trauma dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian, jatuh, dan olahraga. Jenis cedera

Transcript of Bab Iiii Trauma Traktus Urinaria

BAB III

TRAUMA TRAKTUS URINARIA

3.1 Trauma ginjal

Cedera ginjal adalah cedera yang paling umum dari sistem genitourinaria. Ginjal

dilindungi oleh otot-otot punggung di sebelah posterior, tulang vertebra, tulang costa bagian

bawah, dan organ abdomen di sebelah anterior. Patah tulang costa dan prosessus transversus

vertebra mungkin menembus parenkim ginjal atau pembuluh darah. Sebagian besar cedera

terjadi karena kecelakaan mobil atau kecelakaan saat olahraga, terutama pada pria dan anak

laki-laki. Ginjal dengan kondisi patologis yang ada seperti hidronefrosis atau tumor ganas

lebih mudah pecah jika terkena trauma ringan. Karena 25% curah jantung (cardiac outflow)

berjalan melalui ginjal, makan trauma ginjla dapat mengakibatkan kehilangan darah yang

cepat.

a) Etiologi

1. Trauma langsung ke abdomen, pinggang, dan panggul

2. Trauma tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan

ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Contohnya : tabrakan

kendaraan pada kecepatan tinggi dapat mengakibatkan trauma ginjal karena cepat

perlambatan dan menyebakan cedera pembuluh darah utama.

Trauma dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian,

jatuh, dan olahraga. Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul,

luka tembus (luka tusuk, luka tembakan), setiap luka seperti di daerah panggul harus

dianggap sebagai penyebab cedera ginjal sampai terbukti sebaliknya. Terdapat cedera

viseral abdomen dalam 80% luka tembus pada ginjal.

b) Patologi dan klasifikasi

Laserasi dari trauma tumpul biasanya terjadi pada bidang melintang ginjal.

Mekanisme cedera dianggap sebagai kekuatan yang ditransmisikan dari pusat yang

berdampak pada parenkim ginjal. Dalam cedera deselerasi cepat, goncangan ginjal di

dalam rongga retroperitoneum (ginjal bergerak ke atas atau ke bawah), menyebabkan

peregangan mendadak pada pedikel ginjal dan kadang-kadang terjadi avulsi parsial

atau total. Peregangan mendadak pedikel ginjal tersebut, dapat menimbulkan robekan

tunika intima arteri renalis. Robekan ini memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah

yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-

cabangnya.

Gambar 8. Mekanisme cedera ginjal. Gambar kiri: pukulan langsung ke perut. Gambar kecil

menunjukkan kekuatan yang memancar dari hilus ginjal. Gambar kanan: Jatuh pada bokong dari

ketinggian (contrecoup ginjal). Gambar kecil menunjukkan arah gaya yang bekerja pada ginjal

dari atas, dapat terjadi robekan dari pedikel ginjal.

Klasifikasi patologis cedera ginjal awal, sesuai dengan hasil pemeriksaan pencitraan maupun

hasil eksplorasi ginjal, adalah sebagai berikut :

Grade 1 (the most common) : kontusio ginjal atau hematoma perirenal (parenkim ginjal).

Terdapat hematuria mikroskopik (paling umum terjadi), gross hematuria (jarang).

Pencitraan normal

Grade 2 : laserasi parenkim ginjal terbatas pada cortex ginjal. Hematoma perirenal

biasanya kecil

Grade 3 : laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri

segmentalis

Grade 4 : laserasi ginjal sampai mengenai sistem kalises ginjal, mungkin terdapat

trombosis arteri renalis karena trauma tumpul, dan vena segmentalis

Grade 5 : - avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi tormbosis arteri renalis

- Ginjal terbelah (shatered)

Gambar 9. Klasifikasi cedera ginjal. Kelas I dan II yang kecil. Kelas III, IV, dan V adalah utama. A: Grade

I-mikroskopik atau gross hematuria, terdapat temuan normal pada studi radiografi, kontusio atau terkandung

hematoma subcapsular tanpa laserasi parenkim. B: Kelas II-nonexpanding, terbatas hematoma perirenal atau

laserasi kortikal kurang dari 1 cm tanpa ekstravasasi kemih. C: Kelas III-laserasi lebih dari 1 cm ke dalam

korteks sampai medula ginjal tanpa ekstravasasi kemih. D: Kelas IV-laserasi parenkim memanjang melalui

corticomedullary dan ke dalam kalises. Mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis. E: Kelas IV-

trombosis dari arteri segmentalis tanpa laserasi parenkim. Perhatikan iskemia parenkim yang

sesuai. F: Kelas V-trombosis dari arteri renalis. menunjukkan tunika intima dan trombosis

distal. G: Kelas V-beberapa luka besar, menghasilkan "hancur" ginjal. H: Kelas V-avulsi arteri

renalis utama atau vena atau keduanya.

c) Kelainan patologi lanjut

1. Urinoma

Robekan dalam yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan ekstravasasi urin dan

komplikasi akhir dari perinephric massa ginjal yang besar, dan pada akhirnya

terjadi hidronefrosis

2. Hidronefrosis

Hematoma besar di retroperitoneum dan ekstravasasi urin dapat menyebabkan

fibrosis inperinephric pada persimpangan ureteropelvis, menyebabkan

hidronefrosis. Tindak lanjut eksretoris urography diindikasikan pada semua kasus

trauma ginjal.

3. Arteriovenous fistula

Fistula arteriovenosa mengkin terjadi setelah luka tembus tetapi tidak umum

4. Renal vascular hypertension

Fibrosis dari trauma dapat menyempitkan arteri ginjal dan dapat menyebabkan

hipertensi vaskular ginjal (kurang dari 1% kasus).

Gambar 10. Temuan patologis akhir trauma ginjal. Kiri : stenosis ureteropelvis dengan

hidronefrosis sekunder untuk fibrosis dari ekstravasasi darah dan urin. Kanan : atrofi ginjal

yang disebabkan oleh cedera (stenosis) dari suplai darah arteri.

d) Temuan klinis

Mikroskopis hematuria atau gross hematuria pada trauma abdomen menunjukkan

cedera pada saluran kemih. Beberapa kasus cedera vaskular ginjal ada yang tidak

berhubungan dengan hematuria. Bila tidak ada hematuria, kemungkinan cedera berat

seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal tetap ada. Kasus-kasus

tersebut hampir selalu akibat cedera deselerasi dan merupakan indikasi untuk dilakukan

pemeriksaan pencitraan. Tingkat cedera ginjal tidak sesuai dengan derajat hematuria,

karena gross hematuria dapat teradi di trauma ginjal ringan dan dapat hanya hematuria

ringan pada trauma ginjal berat.

Namun tidak semua pasien dewasa dengan trauma tumpul memerlukan evaluasi

pencitraan ginjal. Miller dan McAninch (19950 membuat rekomendasi berikut

berdasarkan temuan lebih dari 1800 trauma tumpul ginjal : pasien dengan gross hematuria

atau hematuria mikroskopik dengan syok (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) harus

menjalani penilaian radiografi; pasien dengan hematuria mikroskopis tanpa syok tidak

perlu. Namun, jika pemeriksaan fisik atau cedera terkait mengarah kecurigaan dari trauma

ginjal, pencitraan ginjal harus dilakukan. Hal ini terutama berlaku pada pasien dengan

trauma deselerasi, yang mungkin terjadi trauma ginjal tanpa adanya tanda klinis

hematuria.

e) Tanda dan gejala

Tanda-tanda perlu dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat :

1. Syok atau tanda-tanda kehilangan darah karena perdarahan retroperitoneal

2. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, perut bagian atas

dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya ekimosis pada daerah tersebut

3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosessus spinosus vertebra

4. Cedera deselerasi yang berat akibat terjatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu

lintas

5. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang

6. Nyeri abdomen difus pada pemeriksaan palpasi, umumnya ditemukan pada pada

daerah pinggang atau perut bagian atas, akut abdomen yang biasanya

menunjukkan perdarahan di rongga peritoneal.

7. Teraba massa mungkin merupakan tanda hematoma retroperitoneal atau

ekstravasasi urin

8. Jika retroperitoneum telah robek, darah dapat masuk ke dalam rongga peritoneal

tapi tidak teraba ada massa, menimbulkan gejala rangsang peritoneum. Bising

usus negatif

9. Pemeriksaan laboratorium : hematuria makroskopik atau mikroskopik

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal bervariasi tergantung

pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya.

Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang

terjadi.

Pada trauma derajat ringan mengkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang,

terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik atau mikroskopik.

Pada trauma major atau ruptur pedikel ginjal seringkali pasien datang dalam keadaan

syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin

membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan

IVP, karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan

hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera

dilakukan eksplorasi laparatomi untuk menghentikan perdarahan.

f) Pemeriksaan penunjang

1. IVP (Intravena Pyelography)

Pemeriksaan dilakukan dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi ± 2

ml/kgBB, guna melihat tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal

kontralateral. Pemeriksaan ini dilakukan jika diduga ada :

Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal

Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik

Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik

dengan disertai syok

Adanya trauma ginjal akan terlihat pada IVP berupa eksresi kontras yang

berkurang (bandingkan dengan kontralateral), garis psoas atau kontur ginjal yang

menghilang karena tertutup oleh ekstravasasi urin atau hematoma. Pemeriksaan IVP

pada kontusio ginjal sering menunjukkan gambaran sistem pelvikalises normal.

Dalam keadaan ini pemeriksaan USG abdomen dapat menunjukkan adanya hematoma

parenkim ginjal yang terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul ginjal yang masih

utuh.

Kadang kala kontusio ginjal yang cukup luas menyebabkan hematoma dan

edema parenkim ginjal yang hebat sehingga memberikan gambaran sistem

pelvikalises yang spesifik atau bahkan tak tampak (non visualized). Sistem

pelvikalises yang tak tampak pada IVP dapat pula terjadi pada ruptur pedikel, robekan

intima yang disertai trombosis dan kadang-kadang karena spasme atau pasien yang

berada dalam keadaan syok berat saat menjalani IVP. Pada derajat IV adanya

ekstravasasi kontras, hal ini karena robeknya sistem pelvikalises ginjal. Ekstravasasi

ini akan tampak semakin luas pada ginjal yang mengalami fragmentasi (terbelah)

pada cedera derajat V.

Gambar 11. Radiografi antero-psoterior ureter dan pelvis renalis setelah suntikan

IV senyawa yodium yang dieksresikan oleh ginjal. Terlihat calises renales.

Gambar 11. Trauma tumpul ginjal kiri menunjukkan ekstravasasi (tanda panah)

pada urogram intravena

2. CT scan abdomen

Jika IVP belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal

nonvisualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi. Penilaian

dimulai dengan Ct scan abdomen, merupakan cara yang paling langsung dan efektif

untuk mengetahui adanya trauma ginjal. Teknik ini noninvasif dan jelas dalam

mendefinisikan laserasi parenkim dan eksktravasasi urin, menunjukkan luasnya

hematoma retroperitoneal, mengidentifikasi jaringan nonviable, dan menguraikan

cedera organ sekitarnya seperti pankreas, limpa, hati dan usus. Jika CT scan tidak

tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan IVP (intravena pyelogram).

Gambar 12. Computed tomography scan ginjal setelah pisau menusuk luka. Laserasi

dengan terlihat adanya ekstravasasi urin dan hematom retroperitoneal.

3. Arteriografi

Arteriografi dapat menilai arteri renalis dan cedera parenkim. Trombosis arteri

dan avulsi ginjal yang terbaik didagnosis dengan arteriografi dan mungkin ketika

ginjal tidak divisualisasikan pada studi pencitraan.

Gambar 13. Arteriogram mengikuti trauma tumpul abdomen, menunjukkan temuan

khas trombosis akut arteri ginjal (panah) dari ginjal kiri

4. Radionuklida

Radionuklida scan ginjal telah digunakan dalam penilaian trauma ginjal. Namun,

dalam manajemen darurat, teknik ini kurang sensitif dibandingkan arteriografi atau

CT scan.

g) Komplikasi

1. Komplikasi awal

Perdarahan

Berat perdarahan retroperitoneal dapat menyebabkan exanguination cepat.

Pasien harus diperhatikan dengan seksama, dengan pengawasan yang teliti

terhadap tekanan darah dan hematokrit. Langkap penanganan awal harus

di lakukan sejak dini. Ukuran dan perluasan massa yang teraba harus

dipantau dengan hati-hati. Perdarahan berhenti spontan dalam 80-85%

kasus. Perdarahan retroperitoneal persisten atau gross hematuria berat

mungkin memerlukan tindakan laparatomi segera.

Ekxtravasasi urin

Ekstravasasi urin dari ginjal mungkin menunjukkan adanya fraktur,

timbul massa yang memperluas (urinoma) di retroperitoneum. Hal tersebut

rentan terhadap pembentukan abses dan sepsis. Sebuah hematom

peritoneal dapat menyebabkan demam ringan (38,3 ° C), tetapi suhu yang

lebih tinggi menunjukkan adanya infeksi. Abses perinephric dapat

menyebabkan nyeri abdomen dan nyeri panggul

2. Komplikasi lanjut

Hipertensi, hidronefrosis, fistula arteriovenosa, pembentukan kalkulus,

pielonefritis merupakan komplikasi akhir yang penting. Hati-hati pemantauan

tekanan darah beberapa bulan perlu diwaspadai untuk hipertensi. Di 3-6 bulan,

urogram eksretoris lanjutan atau CT scan harus diperoleh untuk memastikan

bahwa jaringan parut perinephric tidak menyebabkan hidronefrosis, atrofi ginjal

dan terdeteksi oleh urography tindak lanjut. Perdarahan berat akhir mungkin

muncul 1-4 minggu setelah cedera.

h) Pengelolaan

Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus difikirkan untuk

melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak

memerlukan tindakan operasi.

1. Tindakan konservatif

Tindakan konservatif berupa istirahat di tempat tidur, analgesik untuk

menghilangkan nyeri, serta observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi

lokal, kadar hemoglobin, hematokrit, serta endapan urin.

2. Tatalaksana darurat

Tujuan dari manajemen dini pengobatan yang tepat dari keadaan syok dan

perdarahan, resusitasi lengkap dan evaluasi cedera yang terkait.

3. Pembedahan darurat

Cedera tumpul

Cedera tumpul pada ginjal 85% biasanya tidak memerlukan tindakan

pembedahan. Perdarahan berhenti secara spontan dengan istirahat dan

hidrasi. Kasus dimana operasi diindikasikan termasuk yang terkait dengan

adanya perdarahan retroperitoneal yang persisten, ekstravasasi urin, bukti

nonviable parenkim ginjal, dan cedera pedikel ginjal (kurang dari 5% dari

semua cedera ginjal)

Gambar 14. Alogaritma untuk penanganan trauma tumpul pada orang dewasa

Gambar 15. Alogaritma untuk penanganan trauma tumpul pada anak-anak

Luka tembus

Pada luka tembus harus dilakukan eksplorasi pembedahan. Sebuah

perkecualian yang jarang untuk aturan tersebut, ketika pada pemeriksaan

penunjang yang lengkap didapatkan hanya sedikir parenkim yang cedera,

dan tanpa ekstravasasi urin. Dalam 80% dari kasus cedera penetrasi (luka

tembus), yang terkait cedera organ membutuhkan tindakan operasi

laparatomi.

Gambar 15. Alogaritma untuk penanganan trauma tembus pada orang dewasa

4. Pengobatan pada keadaan komplikasi

Pada urinoma retroperitoneal atau abses perinephric dilakukan tindakan

drainase. Hipertensi maligna membutuhkan perbaikan pembuluh darah atau

nephrectomy. Hidronefrosis mungkin memerlukan koreksi bedah atau nefrektomi.

i) Prognosis

Dengan follow up yang cermat, kebanyakan trauma ginjal mempunyai prognosis yang

sempurna dengan penyembuhan spontan dan pengembalian fungsi ginjal. Follow up,

urografi eskretori dan monitoring tekanan darah dapat memastikan deteksi dan

manajemen yang tepat untuk hidronefrosis akhir dan hipertensi.

3.2 Trauma ureter

Trauma ureter jarang terjadi, merupakan 1% dari seluruh cedera traktus urogenitalia,

karena ureter merupakan struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal

dengan ukuran kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Cedera ini dapat

terjadi karena trauma dari luar yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, atau trauma

iatrogenik. Kecelakaan deselerasi dapat mengavulsi ureter dari pelvis ginjal. Operasi

endourologi transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu, atau litotripsi

batu ureter) dan orepasi di dareah pelvis (diantaranya adalah operasi ginekologi, bedah

digestif atau bedah vaskular) dapat menyebabkan cedera ureter iatrogenik. Cedera ureter

umumnya tidak berdiri sendiri, sering disertai cedera organ lain, sperti duodenum, kolon,

pembuluh darah besar, atau organ intrabdomen.

a) Gejala

Jika ureter telah sepenuhnya atau sebagian diligasi selama operasi, pasca operasi

biasanya ditandai dengan demam 38,3C- 33,8 C, nyeri di panggul dan tubuh bagian

bawah

Pasien tersebut sering mengalami ileus paralitik dengan mual dan muntah

Terdapat ureterovaginal atau fistula kulit, biasanya terjadi pada 10 hari pasca operasi

Cedera ureter akibat kekerasan eksternal harus di curigai pada pasien yang telah

mengalami tusukan atau tembakan sampai ke retroperitoneum

Bagian pertengahan dari ureter, paling umum tertembus cedera, biasanya terkait

pembuluh darah dan cedera perut bagian viseral lainnya.

b) Tanda

Hidronefrosis akut dari hasil ureter yang diligasi menyebabkan nyeri pelvis yang

terasa sangat nyeri dan nyeri abdomen dengan mual dan muntah di awal perjalanan

pasca operasi dan di sekitar ileus

Mungkin terdapat tanda dan gejala peritonitis akut jika ada ekstravasasi vesica

urinaria ke rongga peritoneal

Jika diduga terdapat kebocoran urin, cairan yang keluar dari luka operasi, pipa

drainase atau vagina mungkin diindentifikasi sebagai urin dengan menentukan

konsentrasi kreatinin yang memperlihatkan konsentrasi kreatinin yang sama kadarnya

dengan yang berada di dalam urin. Selain itu pemeriksaan dengan pemberian zat

warna (injeksi 10 mL indigo carmine IV) yang dieksresikan lewat urin, akan

memberikan warna biru gelap pada cairan di dalam pipa drainase atau pada luka

operasi.

Pemeriksaan laboratorium : hematuria mikroskopis (90% kasus)

Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria

c) Diagnosis

Pada cedera ureter akibat trauma tajam biasanya ditemukan hematuria mikroskopik.

Obstruksi usus pasca operasi dan peritonitis mungkin dapat menyebabkan gejala

yang sama pada mereka yang mengalami obstruksi ureter akut. Demam, "perut

akut," dan mual terkait dan muntah setelah operasi pelvis, merupakan indikasi untuk

skrining sonografi atau ekskretoris urography untuk menentukan apakah telah terjadi

cedera ureter .Infeksi dari luka yang dalam harus dipertimbangkan setelah operasi

pada pasien dengan demam, ileus, dan nyeri lokal.

Temuan yang sama konsisten dengan ekstravasasi dari urin dan pembentukan

urinoma.

Pielonefritis akut pada periode awal pasca operasi mungkin juga menghasilkan

temuan serupa dengan cedera ureter. Sonografi menunjukkan hasil yang normal, dan

urografi tidak menunjukkan bukti obstruksi.

Pada cedera ureter bilateral terdapat peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah.

Pada pemeriksaan BNO- IVP, setelah injeksi bahan kontras, tertundanya ekskresi

merupakan tanda adanya hidronefrosis,tampak ekstravasasi kontras, lokasi cedera

ureter atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma..

Ureterography Retrograde menunjukkan tempat yang tepat dari obstruksi atau

ekstravasasi. Apabila IVP tidak memberi keterangan yang jelas, pielografi retrograd

dapat menunjukkan cedera serta letaknya.

Gambar 16. ekstravasasi urin (panah) pada ureter kanan

Pemeriksaan USG menguraikan hidroureter atau ekstravasasi urin yang

berkembang menjadi urinoma, dapat mengesampingkan cedera ureter pada awal

periode setelah operasi.

Radionuklida scanning menunjukkan tertundanya ekskresi pada sisi yang

terluka, dengan bukti meningkatnya jumlah karena akumulasi urin di pelvis ginjal.

Yang besar keuntungannya, namun hal tersebut berada dalam penilaian dari fungsi

ginjal setelah koreksi bedah.

d) Komplikasi

Cedera ureter mungkin terlihat rumit karena pembentukan striktur dengan hasil

hidronefrosis di daerah cedera.

Ekstravasasi urin kronis dari cedera yang belum diketahui dapat menyebabkan

pembentukan urinoma retroperitoneal yang besar.

Pielonefritis dari hidronefrosis dan infeksi saluran kencing mungkin memerlukan

drainase proksimal cepat.

e) Pengobatan

Pengobatan yang tepat dari cedera ureter diperlukan. Jika cedera tidak

diketahui sampai 7-10 hari setelah kejadian dan tidak ada infeksi, abses, atau

komplikasi lain ada, diindikasikan reexploration segera dan

perbaikan. Yang paling penting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi

dan menghilangkan obstruksi. Rekonstruksi ureter bergantung pada jenis, bentuk, luas

serta letak cedera. Tujuan dari perbaikan saluran kemih dapat

mencapai debridement lengkap, bebas dari ketegangan spatulated

anastomosis, kedap penutupan, isolasi anastomosis dari kontaminasi bila disertai

cedera usus, pemamakian bidai dalam anastomosis bila perlu, stenting ureter (pada

kasus tertentu), dan drainase retroperitoneal.

Untuk cedera bagian atas, dapat dilakukan uretero-ureterostomi, nefrostomi,

uretero-kutaneostomi, autotransplantasi, dan nefrektomi bila rekonstruksi tidak

memungkinkan. Pada cedera ureter bagian tengah dapat dilakukan uretero-

ureterostomi atau transuretero-ureterostomi.

Gambar 17. Pemulihan cedera ureter. A. (1) jarak defek pendek, (2) anastomosis

ureteroureterostomi langsung; B (1) jarak defek panjang, (2) transuretero-

ureterostomi; C defek distal; ureterosistostomi dengan tabung yang dibuat dari

sebagian dinding buli-buli menurut boari : (1) ujung ureter, (2) tabung boari, (3) luka

dinding kandung kemih (yaitu tempat plastik boari) di jahit. D defek panjang:

autotransplantasi ke fosa iliaka. E : diversi arus urin : (1) Nefrostomi, (2) pielostomi,

(3) dinding perut. F ureterostomi sementara: (1) kateter ureter, (2)

ureterokutaneostomi.

Alternatif rekonstruksi ureter distal adalah uretero-urreterostomi, uretero-

neosistostomi, misalnya melalui tabung yang dibuat dari dinding kandung kemih yang

disebut boari flap atau nefrostomi.

f) Prognosis

Prognosis untuk cedera ureter sempurna pada dianosis yang dibuat lebih awal dan

bedah korektif telah dilakukan

3.3 Trauma Vesica Urinaria

Trauma vesica urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan

penatalaksanaan segera. Trauma pada vesica urinaria seringkali merupakan daya eksternal

yang berhubungan dengan fraktur pelvis (sekitar 15% dari semua fraktur pelvis berkaitan

dengan trauma vesica urinaria atau trauma ureter), dapat menimbulkan kontusio atau ruptur

vesica urinaria. Pada kontusio hanya terjadi memar pada dinding vesika urinaria dengan

hematuria tanpa ekstravasasi urin. Trauma iatrogenik dapat disebabkan karena prosedur

ginekologi dan prosedur ekstensif pelvis lainnya. Juga hasil dari operasi hernia dan operasi

transuretra.

a) Patogenesis

Tulang pelvis melindungi vesica urinaria dengan baik, ketika pelvis mengalami fraktur

karena trauma benda tumpul, fragmen dari tempat fraktur akan berperforasi ke vesica

urinaria. Perforasi ini biasanya menghasilkan ruptur ekstraperitoneal, jika urinnya

terinfeksi, perforasi vesica urinaria ekstraperitoneal mungkin menghasilkan abses pelvis

yang dalam, dan inflamasi pelvis yang hebat.

Ketika vesica urinaria terisi hampir melebihi kapasitasnya, sebuah pukulan langsung

pada abdomen bagian bawah akan mengakibatkan gangguan pada vesica urinaria. Tipe

gangguan ini biasanya adalah intraperitoneal, urin akan mengalir ke kavitas abdominal.

Gambar 18. (1) (a) cedera pada abdomen bagian bawah sewaktu kandung kemih penuh

menyebabkan ruptur vesica urinaria intraperitoneal, (2) (b) fraktur tulang panggul

menyebabkan ruptur vesica urinaria ekstraperitoneal

b) Temuan klinis

Fraktur pelvis biasanya terjadi dengan ruptur vesica urinaria dalam 90% kasus.

Diagnosis fraktur pelvis bisa dibuat awal dalam ruang gawat darurat dengan kompresi

lateral pada tulang pelvis, karena tempat fraktur akan memperlihatkan krepitasi dan

terasa nyeri terhadap sentuhan.

c) Gejala

Pasien biasanya tidak bisa berkemih

Hematuria

Kebanyakan pasien mengeluh nyeri pada pelvis, abdomen bagian bawah.

d) Tanda

Perdarahan hebat berkaitan dengan fraktur pelvis menyebabkan syok hemorragic

Tusukan pada abdomen bagian bawah dugaan trauma pada vesica urinaria

yang ditandai dengan lunaknya area suprapubik dan abdomen bagian bawah

Ekstravasasi urin atau darah ke intraperitoneal akut abdomen

Pada pemeriksaan rectal, tandanya mungkin tidak dapat dicermati karena

luasnya hematoma pelvis.

e) Temuan laboratorium

Katerisasi biasanya diperlukan pada pasien dengan trauma pelvis tetapi tidak perlu

jika pemberhentian perdarahan ureteral telah dilakukan. Pemberhentian perdarahan ureter

mengindikasikan luka uretral dan urethrogam diperlukan sebelum katerisasi. Urin di ambil

dari vesica urinaria pada katerisasi inisial yang harusnya dikultur untuk memastikan apakah

infeksi ada atau tidak ada.

f) X-ray

Pemeriksaan x-ray abdominal memperlihatkan fraktur pelvis, terdapat tanda

kekaburan pada abdomen bagian bawah tanda adanya ekstravasasi urin dan darah. CT scan

abdomen seharusnya dilakukan untuk mendapatkan kepastian apakah terdapat cedera ginjal

dan ureter.

Gangguan vesica urinaria terlihat pada cystografi. Vesica urinaria diisi dengan 300 ml

kontras material, dan dilakukan pencitraan pada abdomen bagian bawah. Medium kontras

harus bisa keluar semuanya dan pada pencitraan kedua abdomen bagian bawah di dapatkan

vesica urinaria yang kosong. Pencitraan ini penting karena mendemonstrasikan area yang

mengalami ekstravasasi extraperitoneal urin dan darah.

g) Komplikasi

Ekstravasasi urin ke extraperitoneal dapat menyebabkan abses pelvis, jika urin

menjadi terinfeksi, hematoma pelvis dapat menjadi terinfeksi juga. Ruptur vesica urinaria

dengan ekstravasasi intraperitoneal dapat menjadi kavitas abdominal yang mengakibatkan

peritonitis

h) Penanganan

1. Tindakan pembedahan

Insisi abdominal harus dibuat pada garis tengah. Adanya hematoma pelivis di

arah lateral haruslah dihindari, karena dapat mengakibatkan perdarahan dari

terlepasnya tampon dan adnya infeksi pada hematoma dengan lanjutannya berupa

abses pelvis. Vesica urinaria harus dibuka pada garis tengah dengan hati-hati. Setelah

perbaikan, tabung kistostomi suprapubis biasanya diletakkan pada tempatnya untuk

memenuhi drainase urin dan mengontrol perdarahan.

Pada ruptur vesica urinaria ektraperitoneal, dilakukan tindakan drainase kateter

ureter (10 hari akan terjadi penyembuhan yang adekuat) blood clot yang luas pada vesica

urinaria atau tempat cedera yang melibatkan leher vesica urinaria harus dirawat.

Sedangkan untuk vesica urinaria yang dibuka dibagian midline, harus secara cermat di

inspeksi dan laserasi ditutup dari dalam. Laserasi ekstraperitoneal vesica urinaria

biasanya meluas sampai ke leher kandung kemih dan harus diperbaiki dengan cermat.

Beberapa cedera dirawat dengan katerisasi yang tertanam dan diversi suprapubik.

Pada ruptur vesica urinaria intraperitoneal, vesica urinaria harusnya diperbaiki

dengan pendekatan transperitoneal setelah inspeksi transvesikal dengan hati-hati dan

penutupan berbagai perforasi lainnya. Semua cairan ekstravasasi dari kavitas peritoneal

dikeluarkan. Vesica urinaria kemudian ditutup sempurna diatas area yang luka, dengan

dilakukan cistostomi suprapubik

i) Prognosis

Dengan perawatan yang sesuai, prognosisnya sempurna. Sistostomi suprapubik dapat diangkat

dalam waktu 10 hari dan pasien seringkali dapat buang air dengan normal. Dilakukan kultur

urin untuk memastikan apakah infeksi memerlukan perawatan lebih lanjut.

3.4 Trauma Uretra

Cedera uretra jarang terjadi dan seringkali terjadi pada laki-laki dan jarang pada

wanita, biasanya berhubungan dengan fraktur pelvis atau jatuh yang mengangkang. Berbagai

bagian dari uretra mungkin dapat terjadi laserasi, transeksi atau konfusi. Manajemen

tergantung dari tingkat cedera. Uretra dipisahkan menjadi 2 divisi anatomis. Uretra posterior

terdiri dari uretra prostatika dan uretra membranosa. Uretra anterior terdiri dari uretra

pendulous dan bulbous.

a) Gejala

Pasien biasanya mengeluh nyeri abdominal bagian bawah dan

ketidakmampuan untuk berkemih

b) Tanda

Terdapat darah pada meatus uretral, mnegindikasikan bahwa perlu dilakukan

urethrografi

Terdapat suprapubik yang lunak, fraktur pelvis, pada palpasi dapat ditemukan

hematoma, vesica urinaria yang penuh

Pada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematoma pada penis

dan skrotum

Pada pemeriksaan rectal, hematoma pelvis dapat menyerupai prostat pada

palpasi

c) Diagnosis

Ruptur uterta posterior harus dicurigai bila terdapat sedikit darah di meatus uretra

disertai patah tulang pelvis, selain itu pada pemeriksaan colok dubur ditemukan

prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital.

Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi karena pindah ke kranial. Pada ruptur

uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau instrumentasi dan darah

yang menetes dari meatus uretra

d) Terapi

bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau

organ lain, cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari

kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan

kateter silikon selama tiga minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga

tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya di pasang

kateter secara langsir

pada ruptur uretra anterior totak, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan

anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silikon

selama 3 minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan pemasangan

kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang

cedera. Kateter sistostomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem

tenyata penderita bisa buang air kecil.