BAB III RITUAL MANGEJING DALAM MASYARAKAT...
Transcript of BAB III RITUAL MANGEJING DALAM MASYARAKAT...
BAB III
RITUAL MANGEJING DALAM MASYARAKAT WAIWUNGA
3.1. Gambaran Umum
3.1.1. Desa Makamenggit
Desa Makamenggit merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten
Sumba Timur, kecamatan Nggaha Ori Angu. Luas wilayah Kecamatan Nggaha
Ori Angu adalah 286,4 Km2 (28,640 Ha) atau 4,09% dari luas wilayah Kabupaten
Sumba Timur (7000,5 Km2) dan jumlah Penduduk 9,272 jiwa atau 3,84% dari
total penduduk Sumba Timur (241,416).
Gambar 1. Peta Propinsi NTT Gambar 2. Kampung Waiwunga di Desa Makamenggit Kabupaten Sumba Timur
Letak desa Makamenggit berjarak 40 km dari Ibu Kota Waingapu, dan
sangat strategis karena merupakan jalur utama lintas antar kabupaten Sumba
Timur dengan kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
Luas wilayah desa Makamenggit adalah 30,03 km2 (3000 Ha) atau 10,47% dari
luas wilayah Kecamatan Nggaha Ori Angu, dengan jumlah penduduk sebanyak
2662 jiwa1. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan
peternak. Sedangkan yang menjadi pegawai negeri hanya 29 kepala keluarga.
1 Sumba Timur Dalam Angka tahun 2014
37
Dalam kehidupan keagamaan, terdapat 3 aliran keagamaan yang dianut,
yaitu agama suku asli Marapu, Kristen Protestan (Gereja Kristen Sumba serta
sejumlah denominasi Bethel, Pentakosta, Gereja Misi Injili Indonesia) dan
Katholik Roma. Secara kuantitas jumlah penduduk desa Makamenggit dapat
dilihat pada tabel ini:
Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Makamenggit berdasarkan Dusun2
No
DUSUN PENDUDUK
JUMLAH
KET L P
1 Tundu Nyai Pareta 183 158 341
2 Pada Njara Hamu 176 168 344
3 Matawai Pandengi 141 157 298
4 Matawai Panamung/Waiwunga
130
132
262
TOTAL PENDUDUK 630 615 1245
Disamping data kependudukan diatas, terdapat pula tipologi masyarakat
berdasarkan sistem sosial yang merupakan bentukan asli masyarakat tersebut,
yaitu pembagian masyarakat berdasarkan klan (kabihu). Pembagian masyarakat
berdasarkan pengelompokan kabihu sekaligus menunjuk pula pada marapu (ilahi)
yang diyakini, disembah, dipuja dan dihormati dalam oleh masing-masing kabihu.
Marapu adalah entitas tertinggi dalam keyakinan religius orang Sumba.
Secara leksikal Marapu berasal dari dua kata yaitu “Ma” yang berarti “yang”, dan
“rapu” yang berarti “dipuja, dihormati, disembah, atau didewakan”. Dalam
pengertian lain, marapu dapat juga diartikan sebagai “yang tersembunyi”.3
Pemahaman umum masyarakat Sumba bahwa yang dipuja, disembah, didewakan,
serta tersembunyi tersebut adalah roh-roh nenek moyang, kekuatan supranatural,
dan hal-hal yang transenden dan melampaui kemampuan manusia. Marapu inilah
2 Sumber : Data Desa Makamenggit Tahun 2016. Diambil Tanggal 19 September 2016 3 Wellem, Injil dan Marapu, 41-42.
38
yang memiliki peran sebagai perantara manusia dengan Tuhan atau ilahi tertinggi
“Na Ndapa Tiki Tamu, Ndapa Nyura Ngara”. Ilahi tertinggi tersebut tidak
terjangkau oleh manusia, tidak boleh disebut dan dipanggil namaNya, oleh karena
itu melalui Marapu, manusia dapat berkomunikasi kepada Yang Ilahi. Konsepsi
tentang Yang Ilahi sering diungkapkan pula dengan menggunakan kata Marappu.
Huruf p menjadi pembeda Marapu sebagai pengantara dan Marappu sebagai Ilahi
tertinggi.4 Pembagian kabihu dan marapu di Desa Makamenggit dapat dilihat
pada tabel dibawah.
Tabel 2. Nama Kabihu dan Marapu di Desa Makamenggit5
No Nama Kabihu Nama Marapu
1 Ratu Umbu Halaya – Rambu Mbitu
2 Hudu Njara Nggiku, Njara Ngopa, Kamburu Mbana Malau Nganja
3 Karita Ndatar Nggadi – Malowa Mahuka.
4 Payeti Kabira Kalawu – Kabal Mataurang
5 Mbarapapa Lauki Mayi
6 Lebakaruku Mbora Mbay, Dai Hamba Panduka Patihina.
7 Marapeti Nyamba Hawongu, Dendi Uhu, Dendi watar
8 Katinnah Leming Kapu Mbaji, Huhu Kahili Kadu.
Kabihu-kabihu ini secara teritorial hidup dan menempati wilayah tertentu
secara berkelompok dengan kabihu-kabihu lain yang memiliki ikatan kekerabatan.
Tempat-tempat tinggal secara berkelompok inilah yang disebut kampung atau
praingu. Salah satu kampung yang menjadi fokus penelitian ini adalah Kampung
Waiwunga.
4 Bnd. Marthen Menggeng, Ibadah dalam Agama Suku, Edisi khusus (Makassar:Jurnal
STT Intim Makassar, 2004), 68 5 Hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Makamenggit, Julius Turu Njurumbaha, serta
Tokoh Adat Bapak Nggau Behar,pada tanggal 19 September 2016; hasil FGD di Kampung
Waiwunga pada 24 September 2016
39
3.1.2. Kampung Waiwunga
Identitas komunal Waiwunga dapat diamati berdasarkan lokasi tempat
tinggal mereka yaitu kampung atau praingu. Pada umumnya masyarakat Sumba
memiliki lokasi perumahan ditempat tinggi dan terletak diatas bukit yang disebut
kampung atau Praingu. Praingu merupakan pusat pelaksanaan semua tradisi adat
istiadat dan aktivitas religius Marapu. Praingu (kampung dapat dikatakan sebagai
simbol dari adat, tradisi dan kepercayaan masyarakat. Ciri utama sebuah kampung
Sumba adalah rumah-rumah yang dibangun berdekatan satu sama lainnya dan
membentuk lingkaran serta terdapat kuburan ditengah-tengah kampung.
Gambar 3. Foto Kampung Waiwunga diambil tanggal 19 September 2016
Kampung Waiwunga adalah salah satu kampung tradisional di Desa
Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur. Kampung
ini terletak di bukit yaitu lokasi perumahan paling tinggi, dan berjarak 8 km dari
pusat Desa Makamenggit ke arah selatan. Secara leksikal Waiwunga berarti mata
air gala-gala atau mata air pohon turi. Dinamai demikian oleh masyarakat
setempat karena dibawah sebatang pohon gala-gala atau pohon turi yang tumbuh
diwilayah Kampung Waiwunga, mengalir keluar mata air kecil yang menjadi
sumber air bagi masyarakat setempat hingga sekarang ini. Mata air tersebut
merupakan air resapan (kulup) dalam lubang alami sedalam 1 meter dan menjadi
40
sumber air masyarakat. Akses sumber air bersih bagi masyarakat terletak di
sungai yang berjarak 5 km dari pemukiman.
Secara teritorial wilayah administratif, masyarakat Waiwunga masuk
dalam wilayah dusun Matawai Panamung. Untuk lebih memahami tentang
Kampung Waiwunga, akan digambarkan beberapa hal berikut terkait dengan
demografi, geografi, iklim, kekeraban serta kosmologi.
3.1.2.1. Demografi
Berdasarkan kependudukan Kampung Waiwunga terdiri dari 262 jiwa
(L:130, P:132), dengan mayoritas latar belakang mata pencaharian adalah petani
dan peternak. Jumlah Kepala Keluarga yaitu 89 KK. Pertambahan dan penurunan
jumlah penduduk di Kampung Waiwunga disebabkan oleh kematian, kelahiran,
perkawinan, serta perpindahan dari kampung ke tempat lain diluar kampung
Waiwunga. Mayoritas keyakinan keagamaan penduduk Waiwunga adalah
penganut agama suku Marapu. Walaupun secara kenyataan banyak generasi
mudanya telah menjadi simpatisan6 (terlibat) dalam kelompok keagamaan Kristen
Protestan dalam hal ini Gereja Kristen Sumba, Bethel, dan Gereja Misi Injili
Indonesia. Hal ini nampak dalam tabel berikut:
Tabel 3. Penduduk Kampung Waiwunga Berdasarkan Kepercayaan yang Dianut (N=262)
No
(1)
Kepercayaan Jumlah
Penduduk (2)
N (3)
% (4)
1 Marapu 236 90
2 Gereja Kristen Sumba 17 6
3 Gereja Misi Injii Indonesia 9 4
Jumlah Total 262 100
6 Simpatisan adalah terminologi yang digunakan oleh Gereja Kristen Sumba untuk
menunjuk identitas keanggotaan seseorang yang masih beragama Marapu namun telah aktif atau
terlibat dalam persekutuan Gereja.
41
Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat dikatakan bahwa Agama Marapu
masih dominan dianut masyarakat Kampung Waiwunga.7 Pengaruh Agama
Marapu pada kehidupan mereka nampak jelas dalam kehidupan bertani dan
beternak. Seluruh aktivitas bertani maupun beternak selalu diwarnai dengan ritual
keagamaan Marapu.
Terdapat 14 rumah di dalam Kampung Waiwunga serta beberapa rumah
lain di kebun atau sawah, maupun lokasi lain di luar kompleks kampung. Dalam
setiap rumah di kampung Waiwunga, ditempati oleh lebih dari satu kepala
keluarga.8 Secara umum rumah-rumah di kampung (praingu) ini baik yang
berukuran besar maupun kecil, memiliki kesamaan bentuk. Dalam tradisi setiap
rumah seharusnya beratapkan alang. Namun karena keterbatasan sumber daya
alam (alang) pada masa kini akibat seringnya terjadi kebakaran padang serta
berkembang biaknya sejenis rumput (dalam bahasa lokal dinamai taikabala) yang
mendesak pertumbuhan alang sehingga nyaris punah, maka kebanyakan rumah di
kampung Waiwunga menggunakan atap seng, kecuali 3 rumah yang masih
menggunakan atap alang, tanpa merubah konstruksi rumah yang kental dengan
7 Penjelasan Bapak Diki Takanjanji sebagai Rato (Imam) dari kabihu Leba Karuku pada
FGD tanggal 24 September 2016. Menurutnya bahwa generasi muda yang menjadi simpatisan di
gereja baik Gereja Kristen Sumba (GKS) maupun Gereja Misi Injii Indonesia (GMII) karena
kebanyakan mereka berada diluar kampung untuk mengikuti pendidikan atau mencari pekerjaan.
Mereka juga tidak dilarang jikalau itu keputusan dan pilihannya. 8 Dalam tradisi kawin-mawin masyarakat Sumba juga Waiwunga, apabila terdapat pihak
keluarga laki-laki belum dapat menyelesaikan kewajiban adat kawin mawin (belis) terhadap keluarga perempuan, dalam bentuk hewan atau ternak besar (kuda, kerbau), maka mempelai perempuan belum dapat sepenuhnya beralih tempat tinggal atau pindah rumah apalagi marga. Perempuan tersebut bersama suaminya tetap tinggal di rumah keluarga perempuan (hangera).
Sekalipun secara faktual, keluarga perempuan tidak melarang pula bagi mereka apabila
berkeinginan membuat rumah sndiri, namun seringkali pula bahwa keinginan tinggal bersama
dilatarbelakangi ikatan emosional dan perasaan nyaman. Itulah sebabnya dengan tinggal bersama
mereka dapat kerja bersama disawah, kebun, maupun beternak. Demikian juga ada perasaan aman,
serta dapat saling mendukung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. (Wawancara dengan Pura
Tanya: Ketua Agama Marapu Desa Makamenggit,), Waiwunga, 24 September 2016.
42
makna dan filosofi sosio-religiusnya. Rumah bagi masyarakat Waiwunga (Sumba
pada Umumnya) merupakan pusat dari segala aktivitas sosial maupun religiusnya
karena dirumahlah segala aktivitas dan relasi dilakukan.
Gambar 4. Model Rumah Adat Sumba Secara
Umum
Gambar 5. Model Rumah Adat di Kampung
Waiwunga
Secara umum klasifikasi rumah bagi orang Sumba (Waiwunga) terbagi
atas dua fungsi yaitu rumah kampung (uma praingu) dan rumah kebun (uma
woka). Uma praingu memiliki nilai sakral karena merupakan rumah yang
dibangun di dalam kampung dan berfungsi sebagai tempat ritual (Hamayang) dan
penyimpanan benda-benda suci marapu. Uma Praingu berfungsi sosial yaitu
sebagai tempat hidup keluarga serta interaksi dengan sesama, berfungsi ekonomi
yaitu sebagai tempat penyimpanan makanan, dan berfungsi politik yaitu sebagai
tempat terjadinya perundingan, pengambilan keputusan maupun pusat praktek
kepemimpinan keluarga, kabihu, dan kampung. Setiap kabihu memiliki Uma
praingu untuk melaksanakan fungsi-fungsinya diatas. Dalam fungsi yang seperti
ini, uma praingu seringkali disebut uma bakul atau rumah besar/bersama karena
menjadi pusat dari kekerabatan dan aktivitas sosial-religius. Penghargaan sosial,
kenyamanan bathin, serta penjelasan identitas akan diperoleh dalam bobot yang
tinggi ketika pelaksanaan berbagai kegiatan adat istiadat maupun religius untuk
kawin mawin, kematian, serta ritual-ritual inti pertanian, dilaksanakan di uma
43
praingu atau uma bakul. Sedangkan uma woka merupakan rumah yang dibangun
di dataran lebih rendah dari kampung dan berfungsi untuk kegiatan pertanian
maupun peternakan.
3.1.2.2. Geografi dan Iklim
Secara geografis dan iklim, lingkungan alam disekitar kampung
Waiwunga termasuk wilayah kering dan jauh dari sumber air. Dikelilingi oleh
padang savana yang hijau saat musim penghujan, namun coklat dan kering disaat
musim kemarau. Hal ini tidaklah mengherankan karena kampung Waiwunga
berada pada daratan Pulau Sumba bagian tengah yang wilayahnya terdapat
singkapan batu-batuan berkadar kapur tinggi.9 Kekeringan menjadi salah satu
penyebab kekurangan air bersih dan krisis pangan. Kekeringan ini disebabkan
oleh rendahnya curah hujan di kabupaten Sumba Timur yang mana setiap
tahunnya berkisar 1162.8 milimeter/tahun.10 Artinya bahwa hujan di wilayah
Sumba Timur hanya terjadi sekitar tiga bulan dalam setahun. Kesulitan air bersih,
serta kebakaran padang yang sering terjadi secara rutin, menjadi ancaman
tersendiri bagi masyarakat Sumba Timur termasuk masyarakat Waiwunga. Hal ini
diperparah dengan perubahan iklim yang ekstrim sehingga sulit untuk memastikan
musim secara tepat. Masyarakat Waiwunga masih menggunakan penanggalan
musim berdasarkan gejala-gejala alam sebagai arahan dan pedoman aktivitas
hidupnya. Penanggalan musim itu sendiri menunjukkan sikap masyarakat
9 Mubyarto dkk, Etos Kerja Dan Kohesi Sosial, (Jogyakarta: P3PK UGM, 1991), 7;
Daerah yang memiliki porositas lapisan tanah gampingan, secara keseluruhan mengalami
kekurangan air yang serius. 10 Sumber: Stasiun Meteorologi Kelas III Mau Hau, Waingapu, 2013; Sumba Timur
Dalam Angka, 2014
44
Waiwunga yang menyatu dengan alam beserta semua makluk penghuninya, serta
menunjukkan eratnya hubungan manusia dengan Penciptanya.
Tabel 4. Kalender Musim Masyarakat Sumba Timur Wilayah Desa Makamenggit-Kampung Wawunga11
Bapak Diki Takanjanji sebagai salah satu tokoh adat Kabihu Leba
Karuku, mengatakan bahwa sangat sulit untuk menggunakan tanda-tanda alam12
seperti tahun 1990-an untuk memastikan musim hujan yang tepat pada masa
sekarang serta memulai masa kerja pada setiap musim bercocok tanam. Karena
11 Sumber data: FGD Waiwunga 24 September 2016 12 Tanda-tanda alam yang dimaksud adalah kalender musim bercocok tanam berdasarkan
gejala alam tumbuh-tumbuhan, perilaku binatang liar, serta tanda-tanda bintang dilangit
(terlampir)
45
itu, banyak pula masyarakat Waiwunga yang tidak mendapatkan hasil secara
maksimal.13 Menyikapi kondisi ini, masyarakat Waiwunga seringkali
melaksanakan ritual hamayang (sembahyang) di Katoda Kawindu yang ada
disekitar rumah atau hamayang-hamayang khusus di katoda woka (altar
persembahan kebun) dilokasi mata air atau kebun untuk meminta hujan.
Sembahyang khusus tersebut dikenal dengan hamayang karai wai urang
(sembahyang meminta air hujan) seperti yang dilaksanakan oleh masyarakat
Kampung Waiwunga pada tanggal 29 Desember 2016. Hamayang ini
dilaksanakan karena tidak adanya curah hujan bagi tanaman jagung, padi, maupun
ubi-ubian yang sudah ditanam dan terancam rusak karena kekeringan.
3.1.2.3. Kekerabatan Sebagai Pengorganisasian Sosial
Masyarakat Waiwunga bercorakkan masyarakat komunal yang terikat
erat dengan klan (kabihu). Sebagaimana telah disinggung pada bab satu, Kabihu
adalah ikatan kelompok atau kekerabatan yang terbentuk karena pertalian darah
atau turunan. Jumlah kabihu yang terdapat dalam masyarakat Waiwunga yaitu 4
Kabihu: Pertama, Kabihu Leba Karuku dengan nama Marapu Mbora Mbay, Dai
Hamba Panduka Patihina. Kedua, Kabihu Marapeti dengan Marapu Nyamba
Hawongu, Dendi Uhu, Dendi watar; Ketiga, Kabihu Hudu dengan Marapu Njara
Nggiku, Njara Ngopa, Kamburu Mbana Malau Nganja. Keempat, Kabihu Katina,
Leming Kapu Mbaji, Huhu Kahili Kadu. Secara khusus Marapu Kabihu Leba
Karuku dianggap sebagai Marapu Ratu (Imam). Marapu Kabihu Marapeti,
berperan sebagai Marapu makanan. Marapu Kabihu Hudu, berperan sebagai dewa
13 FGD Waiwunga, 24 September 2016
46
hewan sekaligus makanan. Sedangkan Marapu Kabihu Katina berperan sebagai
Marapu kilat/halilintar atau Marapu yang menjadi pertanda alam.
Pola kekerabatan ini menjadi acuan dalam pembagian hak kepemilikan
dan pengolahan tanah. Status kepemilikan dan hak pengolahan tanah dilakukan
berdasarkan jumlah kabihu atau marga yang ada. Tanah-tanah tersebut terdiri atas
tanah sawah tadahan atau sawah yang dikerjakan pada saat musim hujan saja,
kebun, serta padang penggembalaan.
3.1.2.4. Perilaku Sosial-Religius
Tipikalisasi kehidupan sosio-religius dan kemasyarakatan masyarakat
Waiwunga terdiri dari tiga jenis kelompok adat yaitu: Pertama, adat kawin
mawin; kedua, adat kematian; Ketiga, adat bercocok tanam. Penggunaan istilah
adat disini terkait erat dengan prinsip keutuhan sikap sosial dan religius serta
kemasyarakatan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Manakala
adat kawin mawin dilaksanakan, pada saat yang sama juga dilaksanakan ritual-
ritual pendukung dalam setiap tahapan adat tersebut. Demikian juga bagi jenis
adat kematian dan bercocok tanam. Ritual-ritual yang dilaksanakan baik skala
kecil maupun besar14 selalu menjadi bagian dari setiap penyelenggaraan even
tersebut. Perilaku dan tata cara yang mewarnai setiap ritual mencerminkan nilai,
norma dan keyakinan yang berasal dari religiusitas Marapu.
14 Ritual berskala kecil yaitu ritual yang dilaksanakan oleh sang Rato (imam) saja dengan
bersembahyang di kado (altar) dan mengorbankan ayam sebagai media sembahyang. Sedangkan
ritual berskala besar selalu melibatkan orang banyak atau anggota kabihu dan korban
persembahannya selain ayam juga babi. Korban persembahan tersebut dilakukan diatas katoda
(altar), dalam rumah besar (tempat pertemuan bersama) atau dihalaman rumah besar dan
disaksikan oleh semua yang hadir.
47
3.1.2.5. Fisik dan Ekonomi
Sekalipun alam gersang dan tandus serta cenderung tidak bersahabat,
masyarakat Waiwunga tetap bertahan hidup dilokasi kampungnya dan
mengusahakan pertanian lahan kering serta kebun jagung, kacang tanah, ubi-ubian
dilahan-lahan kering yang terdapat disekitar kampungnya. Umumnya masa panen
hasil pertaniannya dilaksanakan pada sekitar bulan Juni-Agustus. jagung yang
dipanen diikat setiap buahnya sepanjang sekitar 1 meter, kemudian disimpan di
atas loteng rumah dan dikeringkan dengan pola pengasapan. Sedangkan hasil
panen padi, setelah dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari,
padi disimpan. Khusus masyarakat Waiwunga, padi awal yang dipanen dan
dianggap paling baik kualitasnya, tidak boleh dikonsumsi sebelum dilaksanakan
hamayang (sembahyang) kepada Marapu. Padi inilah yang disebut Uhu
Kawungang (Padi Awal), dan Hamayang atau sembahyang yang dimaksud adalah
Mangejing yang akan dibahas tersendiri dalam bagian tulisan ini.
Setiap kepala keluarga atau marga memiliki lokasi bercocok tanam
sawah tadahan dan juga kebun jagung rata-rata 1ha. Berdasarkan wawancara
dengan Bapak Diki Takanjanji selaku tokoh adat dari kabihu Lebakaruku, tanah-
tanah ini merupakan pembagian dan warisan turun temurun oleh setiap marga
dalam kabihu. Oleh karena itu, mengupayakan tanah adalah untuk menjaga
hubungan yang harmonis dengan leluhur dan Marapu.15 Dalam Agama Marapu
orang Sumba bekerja keras bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, namun lebih dari itu adalah untuk memenuhi tuntutan atau ajaran
15 FGD Waiwunga tanggal 24 September 2016.
48
Marapu.16 Tantangan alam yang kering dan tandus justru memotivasi untuk tetap
mengolahnya dalam kebersamaan baik intra kabihu maupun antar kabihu.
Semuanya dilakukan secara bersama-sama, karena kebersamaan itulah yang
menjadi kekuatan dalam menyikapi alam yang keras.
Dalam perkembangannya seiring dengan kebijakan pembangunan
ekonomi oleh pihak pemerintah Kabupaten Sumba Timur, Pemerintah Desa
Makamenggit juga membentuk kelompok-kelompok tani dan usaha ekonomi
masyarakat. Terdapat 10 kelompok tani di tengah-tengah masyarakat Waiwunga
yang dibentuk berdasarkan teritorial wilayah RT/RW, untuk menjalankan
program-program pembangunan ekonomi masyarakat. Dua kelompok tani yang
secara fomal telah dikukuhkan sebagai kelompok tani resmi bentukan Pemerintah
Desa Makamenggit adalah kelompok Ray Ruping (19 anggota) dan Matawai
Pataku (20 anggota). Kelompok-kelompok ini memiliki agenda kerja baik rapat,
pelatihan, maupun jadwal-jadwal kegiatan bertani yang telah disepakati sebagai
program kelompok. Pelaksanaan kegiatan kelompok berada dalam koordinasi dan
pengawasan pemerintah Desa Makamenggit.
Disamping bertani, masyarakat Waiwunga juga beternak sapi, kuda,
kerbau, babi maupun ayam. Ternak-ternak peliharaan ini tidak hanya
dimaksudkan untuk kepentingan ekonomis sebagai sumber makanan ataupun
mengerjakan sawah dan kebun, namun juga berfungsi sosial-religius dan budaya.
Fungsi sosialnya adalah untuk kepentingan hewan adat atau dapat disumbangkan
kepada sesama anggota kabihu atau kabihu lain yang membutuhkan untuk urusan-
16 Mubyarto, Etos Kerja Dan Kohesi Sosial, 45.
49
urusan adat istiadat tertentu. Sedangkan fungsi religiusnya yaitu menjadi korban
persembahan dalam ritual-ritual yang dilakukan. Organ-organ tubuh bagian dalam
(hati dan empedal) dari ternak tertentu seperti babi dan ayam, memiliki fungsi
religius pula sebagai sarana petunjuk atau tanda tertentu yang diberikan oleh
Marapu atau juga menjadi pertanda terjadinya peristiwa atau kejadian tertentu
(baik maupun buruk) dalam kehidupan kabihu atau kampung. Dengan melihat
bentuk dan tanda-tanda tertentu, seorang Rato dapat meramalkan masa depan
kehidupan yang dihadapi.
3.1.2.6. Simbol Religi
Berbagai aktivitas pertanian yang dilakukan senantiasa disertai dengan
praktek-praktek ritual yang menggunakan berbagai media simbol religi atau
disebut Tanggu Marapu (benda-benda suci Marapu). Beberapa simbol fisik yang
dominan dalam praktek ritual pertanian bagi masyarakat Waiwunga adalah
Katoda Praingu (altar persembahan umum/kampung), Katoda Kawindu (altar
persembahan kabihu), Katoda woka (altar persembahan di kebun atau sawah),
Mbola (tempat penyimpanan makanan) dan Wurung Tana (periuk tana).
Gambar 6: Katoda Kabunggur Gambar 7:Katoda Kawindu Gambar 8:Rato dan Hamayang
Katoda Praingu dipergunakan sebagai tempat untuk melaksanakan ritual
bagi kepentingan umum kampung Waiwunga. Rato atau imam agama Marapu
50
akan melaksanakan hamayang diatas Katoda Praingu, dan mempersembahkan
korban seekor ayam (manu) untuk menyampaikan permohonan kabunggur (warga
kampung) kepada Marapu serta mencari tahu kehendak Marapu dengan
memeriksa hati ayam. Katoda Praingu terletak di tengah kampung. Sedangkan
Katoda Kawindu tidak jauh berbeda dengan Katoda Praingu sebagai tempat
menyampaikan permohonan dan mencari tahu kehendak Marapu. Perbedaannya
adalah Katoda Kawindu merupakan altar hamayang dan persembahan khusus bagi
masing-masing kabihu yang letaknya pada bagian timur dari setiap rumah adat
kabihu-kabihu, dan oleh karena itu dapat saja terletak di depan, samping atau
belakang rumah adat setiap kabihu. Katoda Woka (altar kebun/sawah), yaitu altar
persembahan yang terletak di kebun atau sawah. Ritual sembahyang khusus
dilaksanakan oleh Rato untuk kepentingan keberhasilan kegiatan pertanian yang
dilaksanakan dan dihindarkan dari segala hambatan dan bencana alam.17
Simbol fisik berikutnya adalah Mbola yaitu anyaman daun pandan, daun
lontar, atau rotan (iwi) yang berbentuk bulat dan dipergunakan sebagai tempat
menyimpan padi, beras, atau makanan matang seperti nasi dan lauk pauk.
Gambar9: Tanggu Marapu yang terdiri dari Mbola, Wurung Tana, Kaba Rii, Huru, dan Tanga Wahil.
Gambar 10: Tokoh Adat Habaita Hikir dari Kabihu Ratu
17 Terdapat sejumlah katoda lain yang menjadi tempat pelaksanaan sembahyang
(hamayang) sesuai kebutuhan seperti katoda padang (padang), katoda karambua (katoda
kerbau/hewan) dan sebagainya. Namun rinciandiatas adalah jenis-jenis katoda utama dan umum
yang dipergunakan oleh masyarakat Kampung Waiwunga.
51
Terdapat pula Wurung Tana (periuk tanah) yang terbuat dari tanah
(tempayan) dan dipergunakan untuk tempat air minum. Bagi masyarakat
Waiwunga, setiap kabihu memiliki sejumlah Mbola dan Wurung Tana yang sudah
dikhususkan secara turun temurun dan menjadi tanggu marapu (benda suci
marapu). Mbola dan Wurung Tana menjadi simbol keterwakilan setiap marga
dalam kabihu. Sebelum pelaksanaan ritual pasca panen mangejing, maka Mbola
dan Wurung tana milik marga-marga dalam kabihu akan diturunkan dari tempat
suci diatas bubungan rumah melalui suatu ritual khusus. Kedua tanggu Marapu
inilah yang menjadi bahasa undangan kepada setiap marga dalam kabihu untuk
menghadiri prosesi ritual mangejing yang akan dilaksanakan sesuai pahamang
(kesepakatan para tetua kabihu). Setiap marga wajib menghadiri dan memiliki
tanggungjawab masing-masing untuk warganya dengan membawa bahan
makanan dan lauk pauk, baik berupa padi atau beras untuk nasi, serta lauk pauk
berupa ayam atau babi. Demikian juga Wurung Tana harus diisi dengan air.
Semua pembawaan dan aktivitasnya merupakan sumbangan bagi kabihu akan
diletakkan dalam Mbola dan Wurung Tana, serta menjadi wujud kehadirannya
dan kesatuannya sebagai bagian dari kabihu. Menurut Bapak Pura Tanya dan
Bapak Diki Takanjanji, Mbola dan Wurung Tana ini adalah ikatan bagi setiap
marga dalam kabihu untuk hadir dalam hamayang mangejing. Kehadirannya akan
membuat pelaksanaan ritual pasca panen mangejing menjadi sempurna. Namun
ketidakhadiran akan menjadikan kekurangan terutama dalam hal kebersamaan
(Kahaung).18 Melengkapi kedua simbol Mbola dan Wurung Tana diatas, terdapat
18 FGD Waiwunga 24 September 2016
52
pula beberapa benda suci atau tanggu marapu seperti kaba-ri (mangkok sayur),
yang terbuat dari tempurung kelapa, Hurru (sendok) yang terbuat dari kayu, dan
tanga-wahil (tempat sirih pinang). Prinsipnya bahwa kehadiran marga dalam
kabihu adalah suatu keharusan untuk mengisi, memanfaatkan benda-benda suci
tersebut sesuai tanggungjawab religius dan wujud kebersamaan sebagai bagian
dari kabihu.
3.1.2.7. Kosmologi
1). Tanah Sebagai Pusat Bumi
Berdasarkan FGD terungkap bahwa mengolah tanah merupakan
kewajiban bagi masyarakat Waiwunga untuk mengucapkan terimakasih pada Sang
Ilahi-Na Ndapa Tiki Tamu, Ndapa Nyura Ngara (Yang tidak dapat disebut dan
dipanggil namanya). Tanah (tana) dipahami sebagai daratan yang mereka injak,
tempat mereka dilahirkan, dan meneruskan kehidupan ini. Disamping itu Tana
bukan hanya daratan, juga merupakan totalitas ekosistem yang berisi makluk-
makluk dan benda-benda yang yang berada di atasnya.19
Pemahaman tentang tana ini terkait dengan keyakinan bahwa Marapu
telah berupaya mencari tanah dan memberikannya kepada mereka. Di tana inilah
sejak jaman leluhur tersebut, mereka menggantungkan kehidupan dan dapat
berkomunikasi melalui Marapu kepada Ndapa Tiki Tamu, Ndapa Nyura Ngara.
Segala sesuatu yang dilakukan dalam kaitan dengan mengolah tanah, akan diawali
dengan menyampaikan permohonan melalui sembahyang (hamayang) di atas altar
persembahan (Katoda). Tana menjadi pusat dari relasi dengan Marapu dan Yang
19 FGD Waiwunga.....2016
53
Ilahi serta alam semesta, atau dengan kata lain Tana menjadi proyeksi interaksi
sosial religius bagi masyarakat Waiwunga.
2). Kampung Sebagai Praingu Marapu
Kampung atau praingu menjadi simbol dari sistem kepercayaan, adat,
ekonomi, dan politik. Di dalam kampunglah sistim-sistim tersebut dijaga dan
direproduksi melalui interaksi mereka satu sama lainnya ketika berhadapan
dengan adat dan realitas sehari-hari yang menawarkan hal-hal yang baru. Hal-hal
dari alam mendapat penyesuaian dalam adat dan kepercayaan sehingga
membentuk pandangan mereka dalam membentuk kampung. Posisi rumah,
kuburan, bentuk rumah, dan aktivitas sehari-hari mengikuti arti dan makna yang
mereka temukan di alam dan menjadi proyeksi dari makna religius yang dianut.20
Gambar 11. Rumah Adat Sumba Dalam Keutuhan Fungsinya
Konstruksi rumah orang Sumba secara umum dan khususnya di kampung
Waiwunga, menggambarkan fenomena mikrokosmis dalam hal mana manusia,
makluk lainnya (ternak atau hewan) serta Marapu memiliki tempatnya masing-
masing. Dunia manusia menempati posisi tengah tepatnya di balai-balai. Dibawah
balai-balai merupakan dunia binatang. Sedangkan diatas balai-balai atau loteng
20 Jimmy Marcos Immanuel, Marapu Dalam Bencana Alam: Pemaknaan Dan Respons
Masyarakat Wunga Sumba Timur (Yogyakarta:CRCS, 2013), 139-143.
54
menjadi tempat makanan. Bubungan rumah yang berada di atas loteng,
merupakan tempat Marapu yang kehadirannya ditandai oleh tanggu marapu
(benda-benda suci).
Masyarakat Waiwunga memahami kampung sebagai gambaran dari
Praingu Marapu (Kampung Marapu). Praingu Marapu merupakan tujuan akhir
perjalanan jiwa (ndewa) 21 manusia setelah meninggal. Dalam pemahaman orang
Sumba, di Praingu Marapu, jiwa (ndewa) orang yang telah meninggal melakukan
aktivitas yang sama dengan manusia yang masih hidup. Itulah sebabnya kampung
menjadi proyeksi dari kehidupan di Praingu Marapu yang dengannya manusia
yang hidup berupaya meniru kehidupan pola hidup marapu sekaligus melalui
kampung, manusia yang hidup masih terus dapat berhubungan dengan para arwah
leluhurnya di Praingu Marapu.
3.2. Ritual Pertanian Dalam Masyarakat Waiwunga
3.2.2. Jenis-jenis Ritual Pertanian Satu Musim Berocok Tanam
Jenis-jenis ritual pertanian dalam satu musim bercocok tanam dalam
masyarakat Waiwunga dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema 3: Ritus Pertanian Dalam Satu Musim Bercocok Tanam
21 Penyebutan jiwa bagi orang Sumba Timur dalam bentuk dua kata Ndewa-Hamangu.
ndewa adalah jiwa yang pergi ke praingu marapu, sedangkan hamangu merupakan roh yang
tinggal menetap di kampung atau dalam rumah. Sekalipun memiliki pengertian yang berbeda,
namun dalam pengucapannya seringkali digunakan bersama-sama yaitu ndewa-hamangu; Bnd.
Harun Hadiwijono, Religi Suku Murga di Indonesia, Cet.3 (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2013), 29.
55
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa ritual-ritual pertanian
terdiri dari: Pertama, Kangguruk Handakang, Katuba Rupanjara (Bunyi guntur
dan kilat pertama kali diawal musim hujan). Ritual ini dilaksanakan sesaat setelah
mendengarkan guntur dan kilat pada awal musim hujan dengan melaksanakan
sembahyang khusus untuk mempersiapkan bibit padi dan jagung (Papuru winni
uhu, winni watar); Kedua, Katoda Ukurungu: sembahyang yang dilaksanakan di
atas katoda pada saat membawa semua bibit padi dan jagung, perlengkapan
makan dan minum serta ayam korban persembahan ke lokasi kebun atau sawah;
Ketiga, Putu Tana (mengambil tanah). Ritual ini dimaksudkan untuk membuang
jauh segala bentuk hama ditanah, hama tikus atau segala jenis binatang yang dapat
merusakkan tanaman; Keempat, Padira Wai-kombu Kandara (membatasi air dan
penyakit tanaman), merupakan ritual yang dilaksanakan untuk kesuburan tanaman
dan agar hama penyakit tanaman tidak menjadi hambatan kesuburan tanaman
tersebut; Kelima, Katoda Woka-Katiku Woka (Sembahyang di kepala kebun dan
sawah) : ritual untuk melindungi kebun atau sawah secara menyeluruh; Keenam,
Homba Pola, Hemi Kau (Seleksi) : merupakan ritual yang dilaksanakan untuk
melakukan seleksi terhadap tanaman padi atau jagung yang kurang berbuah atau
produktif. Dalam hal ini, setiap tanaman yang tidak berbuah atau kurang produktif
akan dipotong dan dibuang; Ketujuh, Pakabba (menghalalkan atau mengijinkan):
Ritual yang dibuat untuk menghalalkan tanaman jagung atau padi yang sudah bisa
dimakan. Terutama untuk tanaman jagung, tanpa ritual ini maka sekalipun jagung
muda sudah bisa dimakan, tidak diperbolehkan atau pamali untuk dimakan;
Kedelapan, Liku Mamalai, Ai Lama Jangga (tali ikat yang panjang, dan tiang
56
kayu yang tinggi): ritual yang dilaksanakan untuk mengawali memetik jagung
atau memanen padi; Kedelapan, Kau Uhu Kawungang (Panen padi awal), ritual
panen padi atau jagung terbaik dari sawah dan kebun yang dipanen paling awal,
dikhususkan buat marapu (ilahi); Kesembilan, Kanjeku Kaheli (Membersihkan
balai-balai): Ritual yang dilaksanakan untuk mempersiapkan balai-balai tempat
penampungan jagung atau padi; Kesepuluh, Pamangu atau Mangejing
(Sembahyang Umum/Perjamuan) merupakan ritual puncak dari seluruh rangkaian
ritual bercocok tanam.
3.2.3. Ritus Mangejing
Berdasarkan kategorisasi ritual sesuai musim, ritus mangejing merupakan
ritual musiman masyarakat Suku Sumba yang beragama Marapu. Bagi
masyarakat Waiwunga, mangejing dilaksanakan setahun sekali pada pasca panen
untuk berterimakasih kepada Marapu karena musim bercocok tanam telah dilalui.
Mangejing juga merupakan ritual yang melegitimasi pemanfaatan uhu kawungang
(padi awal) dan menandai persiapan bekerja dalam musim bercocok tanam
berikutnya.
Berikut adalah hal-hal yang terkait dengan ritual mangejing yang
dilaksanakan oleh masyarakat Waiwunga di Desa Makamenggit, Kecamatan
Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur. 22
3.2.3.6. Pengertian Ritus Mangejing
Mangejing atau sembahyang/pemujaan merupakan ritual tahap akhir dari
seluruh rangkaian ritual keagamaan selama satu (1) tahun periode bercocok tanam
22 FGD Waiwunga ..........2016
57
dalam masyarakat Sumba, untuk berterimakasih kepada Yang Ilahi atas segala
hasil yang telah diterima selama satu musim atau periode (satu tahun) bercocok
tanam maupun beternak. Mangejing merupakan salah satu ritual yang
dilaksanakan masyarakat Sumba dalam kegiatan bercocok tanam. Ritual lain yang
dilaksanakan secara periode empat (4) tahunan adalah Pamangu Langu
(Sembahyang tahun baru) yang dilaksanakan secara kolektif oleh semua kabihu
dalam satu kampung. Terdapat pula ritual Pamangu Ndewa (Penyembahan Jiwa)
yang dilaksanakan secara periode delapan (8) tahunan yang dilaksanakan dalam
skala besar oleh sejumlah kampung dan kabihu-kabihu (klan) terkait.23
Secara harafiah mangejing berarti penyembahan kepada Ilahi Tertinggi
yang disebut “Na Ndapa Tiki Tamu, Na Ndapa Nyura Ngara” (Yang tidak dapat
disebut dan dipanggil namanya). Ilahi Tertinggi “Na Ndapa Tiki Tamu, Ndapa
Nyura Ngara” sangat kudus dan suci sehingga manusia tidak layak untuk
menyebut namanya ataupun menyapa secara langsung. Oleh karena itu,
penyembahan mangejing yang dilakukan selalu menggunakan perantara dengan
Ilahi. Perantara komunikasi antara manusia dengan Ilahi Tertinggi adalah
Marapu, yang dalam pelaksanaan mangejing adalah arwah leluhur yang sudah
mati. Dengan ritual khusus, diyakini bahwa arwah leluhur akan hadir bersama-
sama dengan manusia dalam proses penyembahan kepada Ilahi.
Penyembahan ini juga dimaksudkan sebagai sarana untuk mengadakan
pembersihan diri serta memperbaiki relasi baik relasi vertikal (dengan Ilahi)
maupun relasi horisontal dengan sesama manusia dan alam, sekaligus memohon
23 Frans Wora Hebi, Ringkiknya Sandel Harumnya Cendana, (Sumba Timur: Pemda
Kabupaten Sumba Propinsi Timur-Nusa Tenggara Timur, 2002), 54.
58
perlindungan dan hasil yang semakin melimpah dari Ilahi pada periode musim
bercocok tanam yang akan dijelang. Disamping itu, mangejing juga menjadi ritual
yang menghalalkan penggunaan hasil kerja (panen) baik padi maupun jagung
yang diperoleh selama satu periode ini. Hasil kerja yang dimaksud disebut Uhu
Kawungang (padi awal) yaitu padi terbaik di sawah yang dipanen paling awal dan
dikhususkan sebagai persembahan kepada Yang Ilahi. Padi ini hanya akan
dimakan pada saat puncak pelaksanaan mangejing atau setelah pelaksanaan ritual
tersebut. Dalam beberapa penyebutan mangejing sering disebut Pamangu Kabba
(sembahyang menghalalkan) hasil panen setiap tahun, atau pamangu kawungang
(sembahyang hulu hasil) setiap tahun. Namun dalam konteks penelitian dan
tulisan ini, istilah mangejing dipakai karena merupakan istilah khusus bagi
masyarakat Kampung Waiwunga khususnya dan secara umum di wilayah Desa
Makamenggit.
3.2.2.2. Waktu Pelaksanaan Mangejing
Mangejing dilaksanakan setelah panen dan seluruh hasil panen telah
terkumpul namun belum dimasukkan ke dalam rumah besar atau Uma Bakul.
Pelaksanaannya berkisar bulan Agustus sampai September. Ketepatan waktu
pelaksanaan sangat terkait beberapa hal: Pertama, Hondu Raing (penetapan
waktu), yaitu penentuan waktu yang sudah dilakukan pada periode sebelumnya
(pelaksanaan mangejing waktu yang lalu); Kedua, Gejala-gejala alam seperti
tanda bintang, atau setelah bunga pohon walakeri (dadap) bersemi; Ketiga,
Persiapan dan kesiapan pihak penyelenggara (kabihu), dalam hal pemberitahuan
59
kepada anggota maupun kerabat lainnya, kesiapan dari segi ekonomi dan
perlengkapan-perlengkapan sembahyang.
Lamanya waktu pelaksanaan kurang lebih empat (4) hari. Hal ini
berkaitan erat dengan pamatu maling (malam persiapan) dalam hal mana semua
anggota kabihu dan para undangan berkumpul di tempat penyelenggaraan
mangejing atau uma bakul/uma praingu (hari pertama), penjemputan arwah
leluhur (hari kedua), pelaksanaan ritual puncak mangejing (hari ketiga), serta
pahewa (bubar) yaitu kembali ketempat tinggal masing-masing. Kampung yang
dimaksud adalah kampung utama sebagai tempat awal mula keberadaan kabihu.
3.2.2.3. Latar Belakang Pelaksanaan Mangejing
Beberapa hal yang melatar-belakangi pelaksanaan mangejing adalah
sebagai berikut: Pertama, mangejing merupakan ritual yang telah mentradisi bagi
masyarakat Waiwunga sebagai warisan leluhur yang terus dipertahankan. Dengan
tetap melaksanakan ritual mangejing, hubungan dengan yang Ilahi juga tetap
terjaga terutama dengan Marapu yang adalah arwah leluhurnya.; Kedua,
Mangejing merupakan ritual keagamaan yang terakhir dari seluruh rangkaian
ritual bercocok tanam dan beternak maupun kegiatan-kegiatan keagamaan selama
musim bertani dan beternak yang telah dilewati. Dengan demikian mangejing
merupakan ekspresi semua hubungan baik dengan Marapu sebagai perantara Ilah
Tertinggi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Dalam mangejing, kabihu-
kabihu menyampaikan harapan dan permohonannya agar mendapatkan hasil kerja
yang berlimpah dalam usaha, serta mendoakan arwah leluhur agar mendapatkan
60
tempat dan ketenangan di praingu marapu (kampung marapu);24 Ketiga,
Mangejing merupakan ritual yang mempersiapkan masa kerja bercocok tanam
berikutnya. Ritual ini akan menentukan dan menetapkan waktu-waktu
pelaksanaan kegiatan bertani, serta upacara-upacara keagamaan pada periode yang
akan datang. Diyakini bahwa manusia perlu membuat jadwal bekerja yang akan
disampaikan kepada Marapu. Pengingkaran terhadap kesepakatan ini adalah juga
pengingkaran terhadap keberadaan Marapu; Keempat, Mangejing berfungsi
menyatukan bagi masyarakat Waiwunga. Secara khusus bagi anggota kabihu,
menjadi suatu kewajiban untuk menghadiri ritual mangejing karena setiap
keluarga yang merupakan anggota kabihu, memiliki kewajiban menggunakan
periuk miliknya dengan menanak nasi bagi keluarganya. Keluarga tersebut akan
membawa sumbangan beras dan ayam atau babi sebagai lauk pauk. Kehadirannya
akan menyempurnakan pelaksanaan ritual mangejing. Ketidakhadirannya akan
mengurangi kualitas ritual yang dilaksanakan dan dapat berdampak negatif dalam
berbagai aspek baik hubungan horisontal dalam kekerabatan kabihu, maupun
terganggunya hubungan kabihu dengan Yang Ilahi; Kelima, Dalam fungsi
penyatuan tersebut, ritual mangejing mempersiapkan instrumen penyucian diri
bagi setiap anggota kabihu. Berbagai persoalan keluarga maupun kekerabatan
secara lebih luas didalam ataupun luar kabihu, diupayakan penyelesaiannya dalam
rangkaian ritual mangejing
24 Bandingkan dengan konsep Surga dalam Agama Kristen.
61
3.2.2.4. Aktor Ritual Mangejing
Secara kolektif aktor dalam penyelenggaraan ritual mangejing adalah
kabihu yang bersangkutan. Sedangkan pesertanya tidak terbatas bagi warga intra
kabihu saja, melainkan juga melibatkan warga masyarakat eksternal kabihu atau
warga masyarakat umum yang memiliki hubungan kekerabatan. Secara individual
beberapa aktor yang berperan secara langung dalam pelaksanaan mangejing
adalah Rato (Imam) sebagai pengarah tahapan-tahapan dan memperjelas makna-
makna hakiki dari ritual mangejing. Disamping itu terdapat Wunang (Duta
Pelaksana) yang akan menyampaikan segala permohonan dan ungkapan-
ungkapan suci dalam mangejing kepada seorang khusus yang melaksanakan
sembahyang Mahamayang. Aktor sentral ketiga adalah Mahamayang (pendoa)
yaitu yang menyampaikan seluruh doa-doa suci sebagai permohonan atau harapan
warga kabihu yang telah dirumuskan oleh Rato dan Wunang, kepada Ilahi
tertinggi dengan perantaraan Marapu. Sedangkan para anggota kabihu memiliki
fungsi dan peran menunjang kelancaran pelaksanaan mangejing dengan kehadiran
dan kerja samanya. Kehadiran anggota kabihu adalah suatu kewajiban religius
sebagai tindakan melengkapi keberadaan benda-benda suci marapu (tanggu
marapu) menurut penamaan marga atau keluarga masing-masing dalam kabihu.
Sedangkan kerja sama yang dimaksud adalah saling memberikan sumbangan
makanan dan lauk-pauk, mengolahnya, mengisi tempayan air sesuai penamaan
marga atau keluarga dalam kabihu, ataupun bekerja sama dalam menjamu para
undangan yang hadir.
62
3.2.2.5. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Mangejing
Pelaksanaan ritual mangejing secara garis besar terdiri dari tiga tahap
yaitu tahap Kanjeku Kaheli (membersihkan balai-balai), Tahap Hau Maling (Satu
malam) dan tahap Mangejing (sembahyang puncak). Pada setiap tahap
dilaksanakan sembahyang khusus sesuai dengan pokok-pokok pemujaan atau
permohonan yang ditandai dengan persembahan seekor ayam.
Gambar 12: Pemeriksaan hati ayam persembahan oleh Rato (Imam agama Marapu)
Hati ayam persembahan diperiksa oleh Rato untuk mengetahui petunjuk
Marapu tentang apakah permohonannya diterima, apakah masih terdapat
hambatan yang harus diatasi, atau kejadian-kejadian baik atau buruk, berhasil atau
gagal dalam hidup anggota kabihu pada hari-hari yang dihadapi. Hasil ramalan
atau bacaan Rato pada hati ayam, akan diberitahukan pada semua anggota kabihu.
Selanjutnya adalah deskripsi tahapan pelaksanaan ritual mangejing yang
dilaksanakan oleh masyarakat Waiwunga.
1). Tahapan Kanjeku Kaheli
Kanjeku kaheli berarti menyapu atau membersihkan balai-balai sebagai
tempat untuk meletakkan uhu kawungang (padi awal).25 Kadangkala makna
kanjeku kaheli juga dipahami sebagai pembersihan diri. Sedangkan yang
25 Padi awal yaitu padi pilihan dan terbaik yang dipanen pertama-tama.. Padi ini menjadi
padi khusus untuk dipersembahkan kepada Ilahi, dan sebelum padi ini ditumbuk, dimasak
kemudian dimakan ketika acara puncak mangejing, maka padi-padi lain yang dipanen kemudian
belum boleh dimakan.
63
dimaksudkan dengan uhu kawungang adalah padi pilihan dan terbaik yang
dipanen pertama-tama. Padi ini khusus untuk dipersembahkan kepada Ilahi.
Sebelum uhu kawungang ditumbuk, dimasak kemudian dimakan pada acara
puncak mangejing, padi-padi lain yang dipanen belakangan belum boleh dimakan.
Mengawali hamayang kanjeku kaheli, terdapat tiga tahapan awal yang
harus ditempuh yaitu: Pertama, Kau Uhu Kawungang (panen padi awal)
dilakukan dan padi awal tersebut dibawa ke balai-balai rumah besar (Uma Bakul);
Kedua, Pauhing (pertemuan atau perundingan), merupakan langkah penyamaan
persepsi oleh kabihu yang bersangkutan untuk menyiapkan segala sesuatu bagi
kelancaran pelaksanaan upacara. Dalam tahap ini para tetua kabihu akan
mengutus orang untuk menyampaikan undangan kepada seluruh anggota kabihu
yang jauh maupun dekat, yang berdomisil di kampung ataupun yang dikebun dan
tempat-tempat lainnya guna menghadiri ritual mangejing yang akan dilaksanakan.
Pada saat inilah Rato (Imam) akan melaksanakan hamayang (sembahyang)
khusus untuk menurunkan semua tanggu marapu (Mbola dan periuk serta benda-
benda suci lainnya) yang merupakan milik keluarga-keluarga kabihu sebagai
perangkat memasak. Tanggu Marapu tersebut hanya boleh dipergunakan oleh
yang namanya disebut sebagai pemilik; Ketiga, tahap hawari (pembersihan diri),
yaitu tahap bagi seluruh anggota kabihu yang bersangkutan untuk mengakui
segala kesalahan atau penyimpangan dalam kehidupannya yang telah dilakukan.
Tahap hawari inilah yang melayakkan seseorang untuk terlibat secara langsung
dalam upacara yang suci ini.
64
Setelah keseluruhan langkah ini ditempuh, barulah upacara penyembahan
pertama atau Hamayang Kanjeku Kaheli dilaksanakan. Dalam penyembahan
pertama ini, dikurbankanlah dua (2) ekor ayam sebagai kurban persembahan yang
mengaminkan dua (2) pokok doa yang dinaikkan. Pertama, Manu Waimaringu
(ayam penyucian), yaitu ayam persembahan sebagai tanda syukur atas semua hasil
yang sudah didapat, dan untuk menolak bala atas makanan serta hasil kerja yang
telah didapat selama satu musim bercocok tanam; Kedua, Manu Kanjeku Kaheli
(ayam pembersih balai-balai), diperuntukkan agar makanan yang telah didapat
menjadi suci, sehingga layak ditempatkan di tempat yang bersih (balai-balai), dan
juga simbol pengakuan salah bagi warga kabihu agar layak mengikuti keseluruhan
proses mangejing.
Bersamaan dengan dikurbankannya dua ekor ayam persembahan
di dalam rumah besar (Uma Bakul), di halaman depan rumah besar juga
dikorbankan dua (2) ekor babi. Babi pertama dimaksudkan sebagai kurban
persembahan yang akan merangkum dan menghantar seluruh permohonan
manusia (kabihu) kepada Ilahi Tertinggi. Sedangkan yang seekor lagi adalah
untuk makan bersama bagi semua warga yang hadir.
2). Tahap Hau Maling
Hau Maling berarti satu malam. Satu malam yang dimaksudkan adalah
hitungan malam sesudah uhu kawungang (padi awal) diletakkan di balai-balai
Uma Bakul, dan satu malam arwah leluhur diyakini telah berada di Uma Bakul.
Pelaksanaan sembahyang Hau Maling dilakukan setelah beberapa tahap awal:
Pertama, Bai Uhu Kawungang (Menumbuk Padi Awal). Padi awal diyakini belum
65
tercemar serta telah disucikan, ditumbuk dan akan dimasak untuk persembahan
kepada Ilahi lewat Marapu arwah orang mati. Padi ini ditumbuk oleh para
perempuan yang masih gadis (suci) sejumlah delapan (8) orang sesuai dengan
jumlah Marapu arwah orang mati yang akan dibangkitkan, serta permohonan-
permohonan suci yang akan disampaikan nanti.
Kedua, Pahadang Ndewa Mameti (Membangkitkan arwah orang Mati).
Setelah padi awal ditumbuk sebagai persiapan sesajian, maka arwah leluhur yang
sudah mati (Marapu) harus dibangkitkan dan dijemput masuk ke dalam rumah
besar (uma bakul). Dengan terlebih dahulu melakukan sembahyang, maka Rato
dan Wunang akhirnya menghantar para penjemput sejumlah delapan (8) orang
yang menunggang kuda untuk melakukan penjemputan arwah. Para penjemput
pergi ke kuburan leluhur dan menaburkan sirih-pinang di atas kuburan/lokasi
kuburan. Sesudah itu para penjemput kembali ke rumah besar dengan membawa
arwah leluhur yang dalam keyakinan mereka telah mengikuti ke kampung adat
atau uma bakul (rumah besar). Ketika para penjemput tiba di kampung, seluruh
warga kampung menjemput arwah leluhurnya dengan cara mengisi dan
menyajikan sirih pinang pada delapan (8) tempat sirih pinang milik leluhurnya.
Peristiwa penjemputan ini menandakan bahwa arwah leluhur yang sudah mati
diyakini telah berada dalam rumah besar bersama-sama dengan warga kabihu
untuk melakukan sembahyang puncak dari pengucapan syukur ini.26
Ketiga, Hamayang Katoda Kawindu (Sembahyang di Altar Pengusir Bala
dan Hambatan). Sembahyang ini dimaksudkan untuk mengusir seluruh hambatan
26 Angka delapan (8) dalam jumlah penjemput dan tempat sirih pinang adalah simbol
keepercayaan kepada para leluhur yang melelui delapan (8) lapis langit seperti digambarkan pada
bagian berikutnya dalam Bab IV.
66
dan tantangan yang menyertai para Marapu maupun hambatan-hambatan bagi
kelancaran tahapan ritual selanjutnya.
Setelah ketiga langkah ini dilaksanakan, tibalah pada puncak acara dari
tahap ini yaitu Hamayang Hau Maling. Hamayang Hau Maling dilaksanakan
dengan urutan-urutan yang sama dengan Hamayang Kanjeku Kaheli, namun
memiliki pokok-pokok doa yang berbeda. Dalam Hamayang Hau Maling,
terdapat empat (4) pokok doa yang mana setiap doa selalu diaminkan dengan
penyembelihan atau pengurbanan seekor ayam. Penyebutan nama ayam pada
tahap ini sekaligus penyebutan pokok doa atau permohonan:
Pertama, Manu Waimangiru (Ayam Ucap Syukur) adalah ayam kurban
yang menjadi simbol dari ucapan terimakasih dan permohonan masyarakat kabihu
agar segala yang dilakukannya disucikan atau dilayakkan oleh Na Ndapa Tiki
Tamu, Na Ndapa Nyura Ngara.
Kedua, Manu Hau Maling (Ayam Satu Malam), merupakan ayam kurban
sebagai simbol bahwa pelaksanaan hamayang mangejing telah melalui satu
malam, yang juga berarti bahwa arwah para leluhur dan Uhu Kawungang (padi
awal) telah berada satu malam ditengah-tengah masyarakat kabihu.
Ketiga, Manu Pari Njoru Muru, Winu Mbata Dita (Ayam untuk padi
yang mati muda, dan pinang mudah yang patah pucuk). Ayam ini merupakan
simbol doa yang dinaikkan oleh masyarakat kabihu bagi sanak saudaranya kaum
kerabatnya yang telah meninggal dunia pada usia muda
Keempat, Manu Meti Madangu (Ayam untuk kematian umum).
Merupakan ayam kurban bagi semua keluarganya, ataupun yang memiliki kaitan
67
keluarga yang telah meninggal tetapi sudah tidak diketahui lagi namanya dan
lokasi kuburannya.
3). Tahap Puncak Mangejing
Tahapan ini adalah tahapan penutupan dari keseluruhan ritual
keagamaan dalam bidang pertanian selama satu musim bercocok tananam atau
dalam satu tahun. Dengan dipimpin oleh Rato (Imam), Wunang (Duta Pelaksana)
Mahamayang (pendoa), serta dihadiri oleh seluruh anggota kabihu, hamayang
Mangejing dilaksanakan. Dibawah arahan Rato, Wunang menyampaikan seluruh
permohonannya kepada Mahamayang, untuk selanjutnya oleh Mahamayang
seluruh permohonan dan doa (Kalarat Marapu) dinaikkan kepada Ilahi dengan
perantara Marapu. Permohonan yang dinaikkan dalam tahap ini dapat dilihat
dalam jumlah ayam sekaligus penanda dari pokok-pokok permohonan itu:
Pertama, Ina Manu (Ayam utama), adalah seekor ayam kecil yang
diyakini masih suci dan menjadi ayam kurban utama yang menuntun seluruh
permohonan kepada Ilahi.
Kedua, Manu Hondu Raing (Ayam Pengikat/Penentu Waktu). Ayam ini
merupakan simbol dari perjanjian manusia untuk melaksanakan segala titah Ilahi
dalam kehidupannya selama ia bekerja, serta permohonan manusia untuk
ketepatan waktu kerja dan musim untuk masa bercocok tanam berikutnya.
Ketiga, Manu Ndewa Njara (Ayam untuk Harta Benda dan Kekayaan),
ayam ini merupakan simbol permohonan kesejahteraan ekonomi kepada Ilahi.
Keempat, Manu Luku La Mananga (Ayam Bagi Arwah Banyak Orang),
adalah ayam simbol bagi arwah banyak orang yang telah meninggal di laut atapun
68
di sungai, danau serta tempat-tempat berair, agar dilapangkan jalannya menuju ke
negeri Marapu sehingga dapat tiba tanpa hambatan.
Kelima, Manu Papa Uhu (Ayam sebagai lauk atau pendamping nasi),
merupakan ayam kurban yang diharapkan mendapat berkat dari Ilahi agar dapat
menjadi lauk pauk dalam kehidupan masyarakat Kabihu.
Seluruh permohonan ini disampaikan kepada Ilahi Tertinggi melalui
Marapu dan dirangkum menjadi satu dengan kurban dua ekor babi sebagai
penghantar permohonan doa-doanya. Setelah sembahyang mangejing ini selesai,
barulah uhu kawungang (padi awal) dimasak untuk dimakan. Hal ini merupakan
pertanda bahwa segala makanan yang didapat selama satu musim periode bekerja
telah dapat dimanfaatkan dengan bebas. Berakhirnya mangejing merupakan
langkah awal bagi periode kerja yang baru, sebab seluruh tatanan waktu telah
diatur, dan siap untuk melaksanakan kerja dimusim bercocok yang baru.
3.2.2.6. Cuplikan Doa Suci: Kalarat Marapu
Doa suci atau Kalarat Marapu yang dinaikkan oleh masyarakat Kabihu
melalui Rato dan Wunang dalam rangkaian ritus mangejing, disesuaikan dengan
tahapan masing-masing ritual mangejing ini. Namun dalam kepentingan untuk
mengetahui muatan doa suci dalam acara mangejing, penulis hanya melakukan
terjemahan yang bersifat umum. Artinya bahwa tidak menterjemahkan setiap kata
atau kalimat dalam alur dan alunan doa suci, tetapi hanya cuplikan inti secara
substansial saja. Hal ini dilakukan disamping kesulitan tempat untuk menampung
semua kalimat doa yang diucapkan, tetapi juga mengingat bahwa doa-doa yang
dilakukan pada setiap tahap selalu mengandung beberapa pengulangan dari doa
69
yang dinaikkan pada tahapan sebelumnya. Berikut ini adalah muatan doa yang
dapat dipaparkan dalam bentuk terjemahan umum:
Doa Suci Kanjeku Kaheli
Mahamayang o..o! (Yang akan berdoa o..o..!)..sebanyak 4 kali.
Adalah benar bahwa semalam telah disepakati, dan pada siang hari ini kita
mulai menjalankan sembahyang. Karena itulah kita telah menjalankan
undangan sejak kemarin dan waktu-waktu lalu untuk menyamakan tekad
dalam melaksanakan sembahyang. Sehingga dengannya kuda tidak dapat
melewati, dan anjing tidak dapat melompati. Biarlah kami membersihkan
balai-balai hingga beras yang segenggam, dan pinang yang sedikit dapat
dipersembahkan dengan sebenarnya. Karena itulah kita menjalankan
sembahyang...wahai yang akan berdoa..!
Doa Suci Hau Maling
Ma Hamayang o...o...! (sebanyak 4 kali)
Adalah benar, setelah masuk dalam perundingan bersama, dan telah
mengetahui maksud dan tujuan, biarlah semua berlalu satu malam dulu
sebelum kita melaksanakan sembahyang. Biarlah agar Yang Ilahi
mengetahui waktunya, bahwa sesudah malam berselang, dan tiba pada siang
hari, itulah saatnya untuk melaksanakan sembahyang. Karena itulah kita
bersepakat semalam wahai Yang akan berdoa!
Doa Suci Mangejing (Sembahyang Puncak)
Ma Hamayang o...o (4 kali)
Sungguh benar bahwa kita telah berada di pagi hari sesudah diselangi
malam yang telah kita sepakati bersama. Kini kita telah menyiapkan ayam
kurban, dan sirih pinang di loteng untuk Marapu, serta sirih pinang di balai-
balai untuk manusia. Apabila kita mengatakan bahwa ayam dan sirih pinang
telah siap, itu merupakan seruan pemberitahuan kepada Ilahi Tertinggi (Na
Ndapa Tiki Tamu, Na Ndapa Nyura Ngara) melalui cermin di air dan
bayangan di darat.
Ma Hamayang o...o..!
Walaupun tidak sesuai dengan tata cara sebenarnya, namun kami buat
sekedarnya. Kami sudah menyiapkan kawadak hawala (keratan emas murni)
sebagai tanda syukur, dan induk ayam yang akan meneruskan kepada Ilahi
Tertinggi. Karena itulah kami membiarkan kuda melanggar dan anjing
melompati pada waktu sirih bertunas muda dan pinang yang telah dapat
dibelah dua. Dengan demikian tidak bisa dilanggar lagi kesepakatan bersama, ibarat jagung yang diikat satu, serta bulirnya tidak terpisah dari barisan butir dan tongkolnya. Kiranya maksud dan tujuan ini sampai kepada Puncak Yang Tertinggi, wahai Yang akan berdoa!
70
Doa Suci Mangejing (Sembahyang puncak)
Ma Hamayang o..o..!
Ketahuilah Yang berdoa! Ayam telah siap dan nasi telah matang. Juga
pahapa (sirih pinang) di loteng dan balai-balai telah siap. Kini nyatakanlah
kepada Ilahi Tertinggi, ketika tiba bulan memakan nasi dan tahun makan
sirih, yang segenggam dan yang setempurung biarlah sampai kepada Yang
Ilahi.Untuk itu kami mengikat satu harapan agar tahun mendatang sama
dengan sekarang ini, agar di tahun yang akan datang apabila saya menanam
di kebun, tabur di ladang, di tempat nasi dan tempat minum, saya
mendapatkan yang sama dengan sekarang ini; yaitu jagung yang besasr dan
padi yang bermayang panjang, yang tidak merana baik di pinggir maupun di
tengah, sehingga dengan demikian kami tidak lupa bulan makan nasi, dan
tahun makan sirih pinang. Untuk itulah kami melakukan sembahyang ini.
Ho....Ma Hamayang o...o...!
Sungguh benar ayam penentu waktu, sehingga dengan pasti kami
menentukan, biarlah supaya tepat ketika kami menabur di depan maupun di
belakang, baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Untuk itulah
kami mempersembahkan satu keratan emas murni dan satu ekor ayam agar
mendapatkan curahan berkat dan menjadi sejahtera. Kami
mempersembahkan satu ekor ayam khusus untuk perkembangbiakkan kuda
(Manu Ndewa Njara), agar Yang Tertinggi melambaikan tanganNya, dan
memberikan mas, perak, kuda, keturunan dan kejayaan.
Biarlah ayam yang seekor ini, dan keratan emas menjadi makanan dan
minumanNya. Untuk itulah kami berjanji dengan pasti untuk menjaga tidak
seperti pintal tali yang dilanggar kuda, dan dilompati anjing, agar baik di
sungai dan di laut, dan embun gunung akan menyuburkan tanaman,
mengembangbiakkan ternak kita. Walaupun tatacara ini tidak beraturan,
biarlah dijelaskan oleh orang yang disewa – Kataka Pakahewa-
Mahamayang (Yang berdoa), sehingga Ilahi membenarkan urutan-
urutannya.
Ma Hamayang o..o..!
Telah ada keratan emas! Biarlah arwah-arwah yang telah mati mendapatkan
tidur yang nyaman untuk tempat berbaringnya. Untuk itu kami menyiapkan
keratan emas dan 1 ekor babi untuk makan nasi dan minum air bagi Yang
Ilahi.
Kini tibalah kita memberikan makan keratan emas dan 1 ekor babi kepada
arwah leluhur Mbiara Mbahu yang belum pernah diberi makanan sehingga
hidupnya merana. Kami memberi makanan sekarang ini agar arwah si mati
tidak merana, dan dapat tiba di negeri Marapu tanpa hambatan serta dapat
melihat yang ditinggalkannya (cucu, cicit, semua keluarganya) baik yang
susah maupun yang senang. Babi dan keratan emas juga untuk semua cucu,
cicit yang telah mati, jangan ditangisi, biarlah arwah si mati dalam
pangkuan nenek dapat makan bersama dan tidak menjadi beban bagi yang
hidup.Juga bagi orang di rumah lain (kerabat) yang mati muda, supaya
dengan tata cara ini mereka dapat bersatu dan makan bersama. Biarlah
71
didengar oleh Marapu bahwa kita sudah bersepakat tentang 5 ekor ayam dan
1 ekor babi serta keratan emas murni.
Oleh karena Yang Berdoa (Kataka Pakahewa-Mahamayang) dapat saja
melakukan kesalahan dalam tata cara Marapu ini, maka tanda mohon maaf
kami adalah keratan emas. Kiranya Marapu membenarkannya!
Ma Hamayang o...o...4 kali!
3.3. Hambatan Pelaksanaan Ritual Mangejing Tahun 2016
Perlu pula dikemukakan bahwa berdasarkan FGD 24 September 2016,
para tokoh adat kampung Waiwunga mengatakan bahwa pelaksanaan ritual
mangejing untuk tahun 2016 sedang dirundingkan. Terdapat keraguan apakah
dapat dilaksanakan atau tidak. Beberapa persoalan yang menjadi hambatan
adalah: Pertama, pekerjaan pembangunan uma bakul (rumah besar) sebagai pusat
kegiatan adat istiadat dan keagamaan masih dalam proses. Rampungnya pekerjaan
ini terkait dengan belum cukupnya ketersediaan bahan-bahan rumah terutama
bahan lokal kayu. Kedua, kurangnya kesiapan secara ekonomis yaitu bahan
makan dan minum, terutama diakibatkan gagal panen yang sudah terjadi dalam
beberapa tahun terakhir. Kegagalan panen terjadi akibat curah hujan yang tidak
menentu serta perubahan iklim yang ekstrim. Jikalau mangejing yang
dilaksanakan berskala besar, konsekwensinya jumlah orang yang berkumpul pasti
banyak karena bukan hanya dari kalangan kabihu atau warga kampung Waiwunga
saja, namun juga melibatkan kabihu-kabihu lain diluar kampung Waiwunga.
Ketiga, kondisi musim hujan yang tidak pasti sehingga kebanyakan masyarakat
Waiwunga sebagai petani perlu mengantisipasi musim dengan sedini mungkin
mempersiapkan lahan kebun maupun sawah. Pekerjaan persiapan tersebut
sekarang terintegrasi dengan jadwal kerja kelompok-kelompok tani yang
dikoordinir oleh Pemerintahan Desa Makamenggit. Sementara kegiatan
72
kelompok-kelompok tani tidak sebatas hanya bekerja di sawah atau kebun saja,
namun juga berisi agenda-agenda rapat, pertemuan, dan pelatihan berkenaan
dengan berbagai implementasi program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Konfirmasi terakhir yang dilakukan kepada Bapak Pura Tanya selaku
tokoh adat,27 memastikan bahwa ritual mangejing untuk tahun 2016 tidak
dapat dilaksanakan dengan latar belakang kendala seperti yang sudah
dicantumkan di atas. Dalam kenyataan bahwa hambatan seperti ini sudah
terjadi dalam tiga tahun terakhir diakibatkan kendala-kendala seperti tercatat
diatas.
27 Wawancara melalui Telphon pada tanggal 8 Nopember 2016
73