BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS...

25
14 BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA 2. Marapu 2.1. Pemahaman tentang Marapu Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Dharma dalam Qoyim menggambarkan sistem kepercayaan lokal mengandung dua dimensi yakni kepercayaan, ajaran, dan tingkah laku serta keberagaman kepercayaan serta ajaran dalam perilaku pengikut suatu agama. 1 Penulis memahami bahwa kehidupan masyarakat Sumba dalam menjalani kepercayaan lokal mempunyai arti penting bagi kehidupannya. Kepercayaan Marapu bagi masyarakat Sumba merupakan hasil penafsiran manusia atas makna kehidupan yang diyakini kebenaranya. Kepercayaan lokal seperti Marapu dapat dipergunakan manusia untuk membenarkan tingkah lakunya. Menurut Wellem, kepercayaan Marapu adalah kepercayaan terhadap dewa atau Illah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka dapat memberi berkat, perlindungan, pertolongan yang baik jika disembah. Jika tidak mereka akan memberikan malapetaka atas manusia. Seluruh kepercayaan ini terangkum dalam kata 1 Dharma T. Palekahelu, Marapu dalam Kekuatan di Balik Kekeringan (Salatiga: Disertasi UKSW, 2010), 21.

Transcript of BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS...

Page 1: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

14

BAB II

MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS AGAMA DAN

BUDAYA

2. Marapu

2.1. Pemahaman tentang Marapu

Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu dapat dilihat

dari beberapa sudut pandang. Dharma dalam Qoyim menggambarkan sistem

kepercayaan lokal mengandung dua dimensi yakni kepercayaan, ajaran, dan

tingkah laku serta keberagaman kepercayaan serta ajaran dalam perilaku pengikut

suatu agama.1 Penulis memahami bahwa kehidupan masyarakat Sumba dalam

menjalani kepercayaan lokal mempunyai arti penting bagi kehidupannya.

Kepercayaan Marapu bagi masyarakat Sumba merupakan hasil penafsiran

manusia atas makna kehidupan yang diyakini kebenaranya. Kepercayaan lokal

seperti Marapu dapat dipergunakan manusia untuk membenarkan tingkah

lakunya.

Menurut Wellem, kepercayaan Marapu adalah kepercayaan terhadap dewa

atau Illah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh)

dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka dapat memberi berkat, perlindungan,

pertolongan yang baik jika disembah. Jika tidak mereka akan memberikan

malapetaka atas manusia. Seluruh kepercayaan ini terangkum dalam kata

1 Dharma T. Palekahelu, Marapu dalam Kekuatan di Balik Kekeringan (Salatiga: Disertasi UKSW,

2010), 21.

Page 2: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

15

Marapu.2 Adapun yang dimaksud dengan Kepercayaan Marapu ialah sistem

keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan terhadap arwah –arwah leluhur.

Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu

yang bersifat supranatural, dan kekuatan supranatural. Dalam artinya pemujaan

didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan

kehidupan sehari – hari dan kekuatan alam lain.

Konsepsi masyarakat Sumba ini dapat di gambarkan bahwa eksistensi

Tuhan sangat dibedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang adikodrati

maupun tempatnya yang jauh di atas sana. Semula, ketika para Marapu belum

turun ke bumi, hubungan antara manusia dengan Ilah tertinggi dapat terjalin

secara langsung. Namun, ketika mereka memutuskan untuk tinggal di bumi, maka

relasi antara Tuhan dan manusia kemudian terputus. Jalinan komunikasi dengan

Tuhan hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek moyang, yaitu para

Marapu. Kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal

kejahatan, sakit, musibah, atau untuk menjamin keselamatan. Orang Sumba

percaya dengan memberikan sesaji kepada roh halus yang berada dekat dengan

masyarakat, maka roh halus tersebut akan melihat dan menjaga mayarakat dari hal

– hal yang buruk. Orang Sumba percaya bahwa benda atau tempat-tempat tertentu

didiami oleh kuasa-kuasa gaib (roh-roh) tertentu.

Dekatnya hubungan Marapu dengan Alkhalik, membuat masayarakat

memahami Marapu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Alkhalik itu

sendiri. Untuk itulah mereka juga menganggap bahwa Marapu memiliki kekuatan

2 F. D. Wellem, Injil........, 42.

Page 3: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

16

supranatural, walaupun mereka menyadari bahwa kekuatan itu sebenarnya

bersumber dari Alkhalik.3

2.2. Fungsi dan Peran Marapu

Marapu berfungsi untuk menjembatani hubungan dengan Alkhalik sebagai

pemilik semesta alam yang ada. Marapu dipercayai akan menolong mereka, baik

dalam kehidupan saat ini maupun setelah kematian. Mereka juga percaya bahwa

melalui Marapu, manusia diberi berkat dan pertolongan sepanjang manusia

berperilaku baik. Jika tidak, manusia akan mendapat bencana atau malapetaka

dalam kehidupan mereka.4 Penulis memahami bahwa fungsi Marapu penting bagi

masyarakat Sumba. Komunikasi antara manusia dengan Tuhan dalam tradisi

masyarakat ini hanya bisa sampai ke Tuhan melalui Marapu (arwah nenek

moyang). Marapu dalam hal ini memiliki peran sebagai penyambung komunikasi

dalam membantu manusia untuk dapat menerima berkat-berkat dan pertolongan

dari Tuhan sehingga hanya melalui Marapulah ungkapan permohonan seseorang

atau masyarakat dapat sampai ke Tuhan.

Orang Sumba memasuki Sumba melalui Tanjung Sasar dan muara sungai

Pandawai. Pola penyebaran berdasarkan klan-klan (kabihu) yang bersaudara dan

biasanya terdiri dari empat klan (kabihu). Di tempat yang baru mereka mendirikan

tempat pemukiman yang disebut Paraingu (kampung). Setiap paraingu pada

umunya hanya terdiri dari beberapa rumah serta letak antar paraingu sangat jauh.

3 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 118.

4 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 116.

Page 4: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

17

Paraingu didirikan di atas bukit dan dikelilingi oleh pagar batu yang tinggi dan

tanaman berduri (kaktus). Hal ini dimaksudkan untuk melindungi diri dari

serangan musuh yang sering terjadi (perang antar paraingu).5 Penulis melihat

bahwa ciri khas kehidupan masyarakat seperti ini menggambarkan bahwa setiap

paraingu menunjukkan identitas masyarakat Sumba yang masih menganut

kepercayaan lokal.

Paraingu mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumba.

Di sanalah mereka berdiam, dan disanalah adat istiadat, ritus-ritus keagamaan

diselenggarakan. Kegiatan sosial, ekonomi, politik (pemerintahan), keagamaan

dan kebudayaan berpusat di dalam paraingu. Paraingu merupakan salah satu

bentuk ikatan persekutuan masayarakat Sumba. Bentuk ikatan persekutuan

lainnya adalah persekutuan klan (kabihu). Masyarakat Sumba terdiri dari banyak

klan yang disebut kabihu. Kabihu merupakan suatu kelompok orang seketurunan

yang didasarkan pada garis keturunan ayah (patrilineal). Berdasarkan mitologi

orang Sumba, penentuan dan pembagian kabihu sudah di tetapkan sejak dahulu

kala bersama-sama dengan kedudukan, tugas dan wewenang masing-masing

dalam masyarakat. Penulis melihat bahwa hal ini menunjukkan masyarakat

Sumba sudah di atur secara terstuktur secara turun temurun dalam ruang lingkup

kekeluargaan yang erat dan kedudukan masing-masing dalam masyarakat

merupakan pengikat agar budaya dan kepercayaan ini tetap ada secara turun

temurun.

5 F. D. Wellem, Injil........, 33.

Page 5: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

18

Orang Sumba percaya kepada suatu kuasa yang tertinggi. Kuasa yang

tertinggi ini menguasai alam semesta ini. ia merupakan suatu Ilah yang tertinggi,

namun kurang memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keagamaan

orang Sumba. Dalam kehidupan keagamaan sehari-hari, Ilah yang memainkan

peranan yang penting adalah Ilah yang lebih rendah, yaitu Marapu dan kuasa-

kuasa Ilah lainnya. Tampaknya, Ilah tertinggi ini beristirahat sementara

penyelenggaraan alam semesta diserahkan kepada ilah-ilah yang lebih rendah.

Nama Ilah tertinggi itu adalah Anatala. Nama ini dipandang keramat. Oleh karena

itu, nama ini tidak dapat disebut sembarangan. Jika nama itu disebut

sembarangan, orang akan tertimpa malapetaka. Nama Ilah tertinggi diyakini

mempunyai kekuatan magis. Nama itu hanya boleh disebut oleh Imam dalam

suatu ritus keagamaan yang disebut upacara Perjamuan Dewa (Pamangu Ndewa)

yang diadakan setiap delapan tahun.6

Orang Sumba hanya mengungkapkan Ilah tertinggi dengan ungkapan-

ungkapan yang melukiskan hakikat, sifat, dan tindakan-tindakannya. Kata ibu dan

bapak (Ina-Ama) dipergunakan secara paralel tanpa maksud mengungkapkan

bahwa Ilah tertinggi terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Ilah tertinggi tetap hanya satu oknum (esa). Ilah ini merupakan Ilah yang

tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya (Hupu Ina-Hupu Ama).

Dialah yang menciptakan manusia (Mawulu Tau-Maiji Tau), langit dan bumi

(Namapadikangu awangutana). Ia menciptakan dengan tangan dan perkataannya

6 F. D. Wellem, Injil........, 42.

Page 6: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

19

(Namawulu wangulima-namahawada wangu ngaru) dan dengan memakai bahan,

yaitu batu dan tanah liat (Namawulu la watu-namalalata la loja). Segala sesuatu

berasal darinya. Ia adalah bapa dan ibu dari segala sesuatu (Ina Mbulu-Ama

Ndaba) dan melebihi manusia (Marihi-Mamangunju). Ilah inilah yang

memberikan tata dan norma dan kehidupan kepada manusia yang berupa adat

istiadat yang harus ditaati oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ia

merupakan sumber hukum dan aturan (Ina Nuku-Ama Hara). Ilah ini tetap

memperhatikan tingkah laku manusia. Ia merupakan maha-penglihat dan tidak ada

satu pun yang tidak dilihat dan diketahuinya (Namapaita paniningu-namangadu

katandakungu), ia mendengar segala sesuatu (Namambalaru kahiluna-Nama

bokulu wua matana). Kesalahan dan kekeliruan manusia diperhatikannya dengan

seksama (Namapatandangu majipi munjala-mapatandagu mandoku mandanga),

dan ia mempunyai kasih yang besar dan maha pengampun (Namabokulu

panamunguna namalerangu paainguna).7

Pada mulanya terdapat relasi yang erat antara Ilah tertinggi manusia.

Manusia masih berhubungan langsung dengan sang pencipta apabila mereka

memerlukan sesuatu. Di tempat yang bernama halaman rata dan balai berkilat,

dibawah naungan pohon jeruk dan jati (Talora Mbidahu Mau Mundi, Bangga

Bila-Mau jati) yang merupakan lapisan langit yang kedelapan, manusia mulai

mengembangkan kebudayaannya, seperti membuat rumah, tambur, berkebun, dan

sebagainya. Mereka membuat rumah yang sangat besar, yaitu rumah yang terdiri

dari delapan tingkat. Namun pembangunan rumah ini tidak terselesaikan karena

7 F. D. Wellem, Injil........, 43.

Page 7: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

20

timbul perselisihan diantara mereka. Kemudian manusia merasa tidak senang

berdiam di sana. Mereka turun ke bumi di Malaka Tanabara atas persetujuan Sang

Pencipta dengan memakai tangga besi teras kayu (Panongu bahi-panongu watu).

Dengan turunnya manusia ke bumi, hubungan langsung antara Sang Pencipta dan

manusia terputus.

Kepercayaan kepada Marapu adalah kepercayaan kepada arwah para

leluhur. Arwah para leluhur dipercayai dapat memberikan malapetaka jika tidak di

pedulikan. Pada umumnya setiap Marapu terikat pada klan (kabihunya). Setiap

klan mempunyai Marapu sendiri. Masing-masing Marapu mempunyai sejarah

sendiri yang terkait erat dengan sejarah klan. Oleh karena itu, leluhur biasa di

sebut Marapu Klan. Marapu Klan adalah pemimpin, pendiri, pahlawan klannya

dan di sekitarnya dibentuk mite-mite yang melukiskan bahwa ia mempunyai

kekuatan-kekuatan supranatural.8

2.3. Ritual Marapu

Permohonan atas pertolongan Marapu disampaikan melalui ritual yang

dilaksanakan diberbagai tempat sesuai dengan maksud dan tujuan dari ritual.

Ritual bisa dilakukan di Paraingu (kampung adat yang diarea kampung ini berdiri

rumah-rumah dari setiap Kabihu (Kelompok Klan/Marga) yang ada disekitarnya,

rumah kebun, padang, hutan, pinggir laut, atau disumber-sumber air. Ritual

dilakukan pada medium-medium yang dipercayai sebagai representasi tempat

8 F. D. Wellem, Injil........, 46.

Page 8: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

21

kehadiran Marapu dan dilengkapi dengan berbagai kebutuhan ritual seperti

binatang kurban (Ayam, babi, dan ternak lainnya), sesaji seperti sirih pinang, air

minum, nasi dalam tempurung dan sebagainya.9 Penulis melihat bahwa hal ini

dilakukan secara turun temurun dan sudah menjadi tradisi kebudayaan masyarakat

Sumba yang menganut kepercayaan Marapu. Tempat-tempat dan cara yang

dilakukan dalam ritual menunjukkan bahwa manusia memiliki hubungan yang

erat dengan alam semesta.

Ritual kepada Marapu adalah bentuk komunikasi masyarakat dengan

Alkhalik dan Marapu yang mereka percayai. Ritual dilakukan untuk memohon

petunjuk memohon bantuan, meminta ampun atas perbuatan salah yang telah

dilakukan atau mengungkapkan terima kasih atas sesuatu yang sudah didapat oleh

mereka. Kegiatan ritual ini mencakup keseluruhan kehidupan manusia, antara lain

ritual untuk perkawinan, kematian dan lainnya. 10

Penulis melihat bahwa hal ini

menunjukkan ritual merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat

Marapu serta menjadi jembatan antara seseorang atau masyarakat penganut

kepercayaan Marapu dengan Tuhan. Segala hal yang berhubungan dengan

kehidupan orang Marapu diyakini merupakan bagian dari pekerjaan Alkhalik

yang membentuk pola hidup yang harus dilalui oleh manusia mulai dari lahir

sampai mati, termasuk didalamnya apabila seseorang mengalami sakit.

9 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 119.

10 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 120-121.

Page 9: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

22

2.4. Konseling Pastoral

2.4.1. Pemahaman Konseling Pastoral

Konseling pastoral dianggap sebagai obat mujarab, suatu ilmu yang bersifat

rohani. Artinya konseling pastoral pada hakekatnya dipandang sebagai suatu

proses pertolongan yang rohani. Istilah pastoral ditekankan dalam konseling

pastoral. Bagi orang Kristen seharusnya upaya pertolongan melalui konseling

pastoral didasarkan atas dan berakar dalam tugas penggembalaan seorang pendeta,

karena tugas-tugas itu telah berkembang selama beberapa abad dan terus

berkembang sebagai reaksi terhadap tuntunan Firman Allah dan kebutuhan-

kebutuhan manusia. Tugas penggembalaan ternyata sering dijalankan oleh

seorang pendeta karena itu memang merupakan sebagian dari kewajiban

profesinya.11

Konselor menurut Rogers dalam Aart Van Beek berperan sebagai

pendorong yang memampukan konseli agar mengungkapkan dan memahami

perasaan-perasaannya yang sesungguhnya. Rogers seorang tokoh yang terkenal

menolak peranan konselor sebagai penasihat dengan alasan bahwa melalui nasihat

konselor kurang menghargai subyektivitas klien. Hendaknya arah proses

konseling ditentukan oleh konseli, sebab konseli (bukan konselor) yang menjadi

pusat perhatian dalam proses konseling.12

Warna khas konseling pastoral adalah

proses pertolongan yang ada hakekatnya adalah psikologis antara seorang

penolong dengan seorang atau beberapa orang yang ditolongnya dengan maksud

11 Aart M. Van Beek, Sebuah Buku Pegangan Bagi ParaPenolong di Indonesia (Semarang: Satya

Wacana, 1987), 3. 12 Aart M. Van Beek, Sebuah Buku...........,4.

Page 10: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

23

meringankan penderitaan dari yang ditolong. Melalui proses itu diharapkan

konseli dapat memperoleh kekuatan baru dan wawasan yang baru untuk

memahami dan jika mungkin mengatasi permasalahan yang dihadapinya.

Konseling pastoral adalah konseling plus pastoral, jadi konseling pastoral

itu sendiri dapat dikatakan memiliki cakupan yang lebih lengkap dari pada

konseling itu sendiri, bukan memperluas dan bukan juga mempersempit

konseling. Karena memang yang di sumbangkan oleh pastoral terhadap konseling

adalah dimensi-dimensi rohaniah dan satu perspektif menyeluruh. Kata pastoral

berasal dari bahasa latin yang berarti gembala (Pastor). Seseorang yang bersifat

pastoral (pastoral adalah kata sifat dari Pastor) adalah seorang yang bersifat

seperti gembala, yang bersedia merawat, memelihara, melindungi dan menolong

orang lain. Bahkan seorang pastor merasa bahwa karya semacam itu adalah yang

seharusnya dilakukannya katakanlah bahwa itu adalah tanggung jawab dan

kewajiban baginya.13

2.4.2. Fungsi dan peran konseling pastoral

Adapun fungsi yang dapat kita perhatikan dalam memberikan konseling

pastoral yang dijabarkan sebagai berikut:14

a) Pertama, menyembuhkan (Healing), fungsi ini mengarahkan klien untuk

mengatasi sakit dengan membantu mereka menuju pada keutuhan dan

13

Aart M. Van Beek, Sebuah Buku...........,6. 14

Clinebell, Tipe-Tipe Dasar ............ 53.

Page 11: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

24

membimbing kearah kemajuan diluar kondisinya terdahulu. Penulis

memahami bahwa tujuan dari fungsi ini juga konselor dapat mengatasi

beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan klien pada satu keutuhan

dan arah yang dituju klien lebih baik dari kondisi sebelumnya.

b) Kedua, mendukung (Sustaining), fungsi ini menolong klien yang sakit

(terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada

waktu yang lampau. Penulis memahami bahwa fungsi ini akan menolong

klien melewati suatu keadaan yang dapat dilewati dalam proses pemulihan

kekeadaan semula atau penyembuhan dari masalah yang kemungkinan

membuat klien kehilangan harapan untuk bertahan. Hal ini perlu adanya

dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekat.

c) Ketiga, membimbing (Guiding), fungsi ini membantu klien dalam

pengambilan keputusan atau pilihan yang pasti dapat mempengaruhi

keberadaan jiwa mereka dimasa sekarang dan masa yang akan datang.

Penulis memahami bahwa fungsi ini dapat dijalankan konselor untuk

menolong klien ketika berada dalam kebingungan menentukan pilihan yang

pasti diantara berbagai pikiran dan alternatif masalah jika pilihan tersebut

dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang

akan datang.

d) Keempat, memulihkan (Reconciling), fungsi ini membantu sebuah usaha

bagi klien dalam membangun hubungan-hubungan yang rusak kembali di

antara manusia dan sesama manusia dan di antara manusia dengan Allah.

Penulis memahami bahwa fungsi ini akan membantu konselor dalam

Page 12: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

25

menangani klien yang dapat mengusahakan suatu keinginan untuk

membangun ulang hubungan-hubungan yang telah rusak diantara manusia

dengan Allah dan sesamanya dan dalam hal ini klien tidak saja memulihkan

relasi komunikasinya dengan sesama melainkan fungsi ini membantu klien

juga untuk mengembangkan nilai-nilai spiritualitasnya.

e) Clinebell menambahkan fungsi kelima dari penggembalaan, fungsi yang

juga bersifat mendasar dan merupakan suatu motif yang langgeng dalam

sejarah gereja yaitu, memelihara atau mengasuh (nurturing). Tujuan dari

memelihara adalah memampukan orang untuk mengembangkan potensi-

potensi yang diberikan Allah kepada mereka, di sepanjang perjalanan hidup

mereka dengan segala lembah-lembah, puncak-puncak dan dataran-

datarannya.

Dengan menekankan model-model untuk memenuhi kelima fungsi

tradisional ini, maka pemeliharaan dan konseling gereja bergerak dari model yang

terutama bersifat medis atau psikoterapis (suatu model penyembuhan penyakit

jiwa) sehingga memperoleh kembali identitas pastoralnya.

Melalui pengembangan spiritualnya, orang dapat memperbaiki,

membangun, dan membina hubungan dengan sesamanya, mengalami

penyembuhan dan pertumbuhan serta mengembangkan potensi-potensi yang

dianugerahkan Allah baginya.15

Melalui hal ini penulis memahami bahwa

keterikatan hubungan dalam konseling pastoral tidak hanya sebatas konselor

melakukan perjumpaan dan percakapan dengan konseli tetapi melalui konseling

15

J. D. Engel,Pastoral.................. 10.

Page 13: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

26

pastoral yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan relasi yang dibangun dalam

melaksanakan konseling pastoral ini manusia tidak hanya sebatas membangun

hubungan relasi yang baik dan terpercaya dengan sesama tetapi membantu konseli

untuk membangun dan memposisikan spiritual mereka dengan Allah.

2.4.3. Pendekatan Konseling Pastoral

Perlu ditegaskan bahwa jika kita bersedia meningkatkan keterampilan dan

pengetahuan konseling, maka kita perlu menghindari diri dari pandangan

masyarakat tradisional mengenai konseling yaitu mengenai pertolongan. Yang

dihindari adalah posisi dan fungsi penasihat dalam rangka konseling karena

seorang konselor bukanlah semata-mata seorang penasihat tetapi lebih tepat jika ia

disebut sebagai pendamping.

Dalam mengadakan konseling pastoral di konteks Indonesia kini perlu kita

memperhatikan pendekatan konseling pastoral dengan masalah-masalah yang

khusus, sang penolong sangat dibantu kalau ia memilih beberapa fokus yang

khusus sebagai berikut:16

a) Pertama, fokus pada keadaan khusus konseli. Keadaan dari manusia yang

dikonseling selalu berbeda. Kurang bijaksana dan agak sombong jika konselor

langsung menganggap sudah tahu apa yang dibutuhkan konseli. Sebaliknya,

diharapkan konselor memperhatikan secara teliti keadaan konseli sebagai

keadaan unik yang memerlukan pendekatan khusus.

16

Aart M. Van Beek, Sebuah Buku...........,22.

Page 14: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

27

b) Kedua, fokus pada kepribadian konseli. Tidak semua konseli senang dengan

pendekatan yang sama, bukan saja karena keadaan mereka pada saat pertemuan

konseling, tetapi juga karena kepribadian mereka yang khas. Ada yang suka

mengungkapkan perasaan, ada juga yang ingin mendekati persoalan secara

rasional; ada yang terbuka, ada juga yang tertutup; ada yang bersedia di kritik

secara halus, ada juga yang melihat sumber persoalan pada orang-orang lain

saja. Kepribadian rupanya di Indonesia pada khususnya sering sangat di

pengaruhi oleh kebudayaan.

c) Ketiga, fokus pada kebudayaan konseli. Setiap situasi interaksi sosial jika

dibiarkan untuk waktu yang agak lama akan menghasilkan makna,

mempengaruhi cara berpikir, cara beremosi, dan motivasi konseli dalam

konseling sehingga perlu mendapatkan perhatian dari konselor.

d) Keempat, fokus pada kronologi hidup. Manusia tidak statis, selalu dalam

proses berubah dan berkembang. Ini berarti bahwa ia berubah sedikit banyak

dalam cara berpikir, cara beremosi, dan motivasi sehingga penting sekali

konselor sadar mengenai fase hidup konseli pada saat tertentu. Setiap fase

hidup akan menimbulkan permasalahannya sendiri. Harusnya konselor

menyadari itu.

e) Kelima, kehidupan manusia ialah sangat kompleks karena berisi banyak aspek.

Ada aspek jasmani, aspek mental atau psikis, aspek sosial ekonomis, aspek

sosial-budaya, aspek sosial-keluarga, aspek rohani/ spiritual. Aspek fisik

menggambarkan hubungan konseli dengan tubuhnya, aspek sosial

Page 15: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

28

hubungannya dengan orang lain atau lingkungan, aspek psikis menggambarkan

hubungannya dengan jiwanya, aspek spiritual hubungannya dengan Allah.

2.4.4. Pendeta sebagai Konselor Pastoral

Pekerjaan Pendeta merupakan panggilan untuk melayani. Panggilan

melayani untuk berhubungan dengan orang lain, agar mereka dapat hidup bersama

dalam hubungan kemanusiaan yang wajar, tetapi pendeta juga diharapkan

mengerti hubungannya dengan Tuhan sehingga dapat menjadi perantara yang

mendamaikan dan memulihkan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya.

Dalam sejarah perkembangannya teologi, jabatan Pendeta atau panggilan khusus

Pendeta dikaitkan dengan profesi. Profesi dipahami Calvin sebagai suatu

panggilan yang dikaitkan dengan kerja. Kemampuan, keterampilan dan

penambahan pengetahuan adalah suatu prestasi dari kerja.17

Profesi dan panggilan pendeta memperkuat arti dari pelayanan pastoral

dengan alasan bahwa:18

a) Pendeta adalah rekan sekerja Allah yang mengarahkan hatinya kedalam

pelayanan yang berpusat pada Allah dan setia memampukan orang lain

mengenal diri sendiri dan Allah. Dalam pemaparan ini penulis memahami

bahwa pendeta tidak hanya melayani masalah dari pribadi seseorang saja tetapi

pendeta juga dalam permasalahannya dengan komunitas tempat ia berada

17

J. D. Engel,Pastoral........, 89. 18

J. D. Engel,Pastoral........, 91.

Page 16: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

29

sehingga pendeta hadir untuk melaksanakan panggilannya di tengah kehidupan

manusia yang hidup dalam berbagai persoalan.

b) Pendeta menempatkan pelayanan di dalam terang Roh Kudus dalam menjawab

pergumulan-pergumulan sekitar masalah kemanusiaan. Penulis memahami

bahwa masalah batin seseorang membutuhkan peran roh kudus sehingga ada

topangan, dukungan dan kekuatan agar bisa bertahan dalam hidupnya. Pendeta

yang memberikan pelayanan pastoral pun tidak bisa mendampingi tanpa

bantuan Allah dan Roh Kudus. Jika Allah dan Roh Kudus tidak ada dalam diri

pendeta dan konseli maka pelayanannya akan kehilangan spirit dan sentuhan

kasihnya. Pendeta sebagai konselor pastoral selalu bersentuhan dengan apa

yang disebut relasi terhadap sesamanya. Relasi yang dibangun jika pendeta

menganggap orang lain berharga dan membutuhkan perhatian dan kasih

sayang. Keberhasilan pendeta tidak diukur dari banyaknya orang yang datang

kepadanya, tetapi banyaknya orang yang merasakan sentuhan kasih Kristus

melalui pelayanannya.

2.5. Konseling Lintas Agama dan Budaya

2.5.1. Pemahaman Konseling Lintas Agama dan Budaya

Menurut Parkes, Laungani, dan Young, semua budaya “memiliki agama

yang dominan dan terorganisasi dimana aktivitas dan kepercayaan mencolok

(upacara, ritual, hal-hal tabu, dan perayaan) dapat berarti dan berkuasa. Pengaruh

agama dapat dilihat dari semua jalinan budaya. Agama sebagai cara pandang telah

ditemukan dalam setiap budaya selama ribuan tahun. Menurut Haviland dan

Page 17: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

30

rekannya “cara pandang erat kaitannya dengan kepercayaan dan praktek

agama”.19

Agama menyatukan semua pengikutnya dalam pencarian mereka akan

bimbingan dan petunjuk mengenai bagaimana untuk memperlakukan orang lain

dan memperoleh kedamaian batin.20

Pemaparan diatas dipahami oleh penulis

bahwa agama mempengaruhi cara pandang dan hidup seseorang dalam

bertingkahlaku dengan lingkungannya sehingga kepercayaan yang dianut dalam

suatu lingkungan masyarakat memiliki keterikatan yang erat dalam kehidupan

seseorang untuk mendapatkan hidup yang damai dengan sesamanya.

Hubungan klien dan konselor selalu dipengaruhi oleh budaya dan latar

belakang sejarah klien dan konselor.21

Penulis melihat bahwa akan ditemui

perbedaan sehingga hal ini harus dipelajari dan dipahami oleh kedua pihak agar

konseling yang terjadi bisa berjalan efisien karena agama adalah fitur lain dari

budaya oleh karena itu dalam proses konseling perlu bagi konselor

mempertimbangkan dalam hal ini memahami budaya yang berbeda antara klien

dan konselor.

Teolog Indonesia Andreas A. Yewangoe berpendapat bahwa “bagaimana

memberi pemahaman kepada orang-orang percaya pada Kristus atau Gereja yang

didalamnya sebagai pendiri Rumah Sakit Kristen Lende Moripa di Sumba untuk

hadir dan melaksanakan tugas-tugas kesaksian di Indonesia tanpa merusak

persaudaraan dan kerukunan dengan sesama bangsa yang beragama lain. Serentak

dengan pemikiran seperti ini membuat Yewangoe berupaya memperkuat civil

19Larry A. Samovar, dkk, Komunikasi Lintas Budaya, Salatiga: Salemba Humanika, 2010, 121.

20Larry A. Samovar, dkk, Komunikasi........, 123.

21M. Jumarin, Dasar-dasar Konseling Lintas Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, 20.

Page 18: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

31

society, suatu masyarakat yang beradab dan saling menerima dan menghargai

perbedaan-perbedaan yang ada.22

Ungkapan Yewangoe bahwa Allah adalah Tuhan atas semua manusia dan

bekerja dalam semua Agama dalam rangka menghadirkan keselamatan dan

kehidupan yang berpengharapan.23

Penulis melihat bahwa hal ini menunjukkan

kepada konselor bahwa ketika kita di perhadapkan dengan pasien yang Non

Kristen maka tidak selamanya mereka harus masuk atau pindah agama kristen

dulu barulah mereka bisa memperoleh keselamatan dan pengharapan mereka akan

terkabulkan. Tidak seperti itu yang diharapkan sehingga konselor tidak harus

memaksakan pandangan atau kepercayaan, keyakinan agamanyalah yang paling

benar untuk diterima dalam proses konseling atau hanya Kristenlah yang dapat

menolong pasien, karyawan dan tim medis yang di konseling. Dalam kepercayaan

apapun juga mereka dapat menemukan keselamatan dan kehidupan yang

berpengharapan.

2.5.2. Fungsi dan Peran Konseling Lintas Agama dan Budaya

Agama dan budaya adalah kedua hal penting yang tidak bisa di pisahkan.

Agama adalah bagian dari kebudayaan. Sekalipun pada masa kini cenderung

agama dan kebudayaan dianggap sebagai perbedaan, namun perbedaan Agama

dan Budaya tidak harus membuat konselor atau konseli bermusuhan atau

melakukan perdebatan tetapi perbedaan tersebut dapat diterima ketika pendeta

22

Ebenhaizer I. Nuban Tmo, Gereja Lintas Agama, Salatiga: Satya wacana University Press, 2013,

32. 23

Ebenhaizer I. Nuban Tmo, Gereja Lintas Agama......., 35.

Page 19: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

32

sebagai konselor mampu belajar juga dari pengalaman iman yang dialami dan

diyakini oleh klien. Dalam konteks sebagai konselor, maka Augsburger

mengemukakan bahwa Konselor yang mampu secara budaya dibedakan oleh lima

karakteristik yang bisa terukur dan dipelajari yang melindungi mereka, konseli,

dan proses konseling yaitu:24

a) Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu pemahaman yang

jernih mengenai nilai-nilai budayanya sendiri dan asumsi-asumsi dasar.

Mereka mengenali kebiasaan-kebiasaan manusia mana yang mereka pandang

sesuai atau tidak sesuai, diharapkan atau tidak diharapkan, membangun

kehidupan atau menghancurkan. Mereka sepenuhnya sadar bahwa orang lain

memegang nilai dan asumsi yang berbeda, yang sah bahkan ketika nilai dan

asumsi tersebut berbeda dengan apa yang dipahaminya. Pemahaman ini telah

diinternalisasi sebagai pengetahuan (kognitif) dan kesadaran (afektif) sehingga

konselor terhindar dari ketidaksengajaan memaksakan nilai atau secara tidak

sadar mempengaruhi orang lain untuk menerima arahan yang berbeda dengan

komunitasnya.

b) Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu kapasitas untuk

menyambut, memasuki, dan menghargai pandangan orang lain tanpa

mengingkari legitimasi mereka. Mereka dapat merasakan empati yang

mengasumsikan suatu landasan budaya yang sama, dan merasakan nyaman

pada batasan-batasan pandangan. Mereka dapat memasuki dunia orang lain,

merasakan perbedaannya, dan menghargai perbedaan, namun di satu sisi

24

David W. Ausbureger, Pastoral Cunseling Across Culture, Philadelphia : The Westminster Press,

hal. 20-21, 1986

Page 20: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

33

memegang teguh keunikan dunianya sendiri. Konselor yang memiliki

kesadaran budaya mencari sumber pengaruh dalam orang dan konteks, contoh

individu dan lingkungan. Tindakan dan para pelaku, tingkah laku dan konteks,

interaksi konseling tertentu dan lingkungan budaya harus dilihat, dipahami, dan

dihormati.

c) Konselor yang memiliki kesadaran budaya mampu bertindak melampaui teori,

orientasi, atau teknik konseling, dan menjadi manusia yang efektif. Mereka

benar-benar elektik dalam konseling mereka, bukan dalam pemilihan acak

teknik yang bekerja tetapi fleksibilitas keilmuan yang memungkinkan mereka

untuk memilih serangkaian ketrampilan konseling tertentu sebagai suatu

pilihan yang dipertimbangkan mengenai ketepatannya terhadap pengalaman

hidup konseli tertentu.

d) Konselor yang memiliki kesadaran budaya melihat diri mereka sebagai warga

universal yang terhubung dengan semua manusia tetapi juga berbeda dari

mereka semua. Mereka hidup di dunia ini, bukan hanya dalam komunitas atau

negara mereka. Dunia ini adalah rumah mereka, semua manusia telah menjadi

saudara mereka. Sehingga mereka menghormati perbedaan dan juga

persamaan, keunikan dan juga kesamaan.

Adapun fungsi dan peran utama konseling lintas Agama dan budaya yaitu

proses pemberian bantuan dari seorang konselor terhadap konseli yang berbeda

agama dan latar belakang budaya.

Page 21: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

34

2.5.3. Pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya

Walaupun sama-sama mengandung hal yang suci, “agama” tampaknya

memerlukan keterikatan pada suatu organisasi yang berbagai kepercayaan, nilai,

dan aturan moral yang sama, sedangkan “spiritualitas” menyiratkan suatu

hubungan atau kesadaran dalam konteks pemaknaan yang lebih luas yaitu berbagi

secara unik dan intuitif pengalaman bersama orang lain atau sesuatu yang

melampaui individulisme, diri sendiri, dan ego. Spiritualitas mencakup semua hal

yang menyangkut spiritual, transpersonal, dan religius dan juga menyiratkan

bahwa seseorang tidak harus menjadi orang beragama (religius) untuk menjadi

spiritual, dan sebaliknya.25

Karya komprehensif mereka konseling yang beragam budaya: teori dan

praktik, Sue dan Sue memberikan sejumlah panduan bagi konselor yang

menghadapi cara dan penyembuhan tradisional, termasuk untuk menghindari

penyimpangan sistem kepercayaan budaya inti klien; Untuk menjadi akrab dengan

bentuk penyembuhan non-Barat dan kesesuaian mereka dengan konteks budaya;

Untuk memahami bagaimana orang lain mengalami dan hidup di dunia dengan

belajar tentang kepercayaan dan penyembuhan pribumi; Untuk menghindari

perangkap mendiskreditkan sebuah isu penduduk lokal; Menemukan cara untuk

menggunakan dan memberi pasangan layanan penyembuh tradisional; Untuk

25

Peter Bray. 2011. Naming Spirituality in Counsellor Education. New Zealand Journal of

Counselling, p.76-97

Page 22: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

35

menerima bahwa spiritualitas adalah aspek sah dari pekerjaan kesehatan mental,

dan untuk mengenali bahwa penyembuhan asli adalah aktivitas masyarakat.26

Poin-poin ini memiliki implikasi besar bagi pelatihan konselor untuk bekerja

dengan beragam kelompok budaya yang karenanya penyembuhan pribumi

merupakan pandangan dunia yang signifikan.27

Penulis memahami bahwa hal ini

memberikan gambaran tugas pelayanan pendeta Rumah Sakit dalam

melaksanakan pastoral bagi pasien Marapu dalam pelayanannya dengan tidak

merusak kedamaian persaudaraan dan kerukunan dengan sesama yang beragama

lain apalagi masyarakat dengan konteks di Sumba yang masih sangat kental dalam

kepercayaan adat istiadat yaitu Marapu dalam melakukan penyembuhan secara

tradisional, maka perlu ada pelatihan khusus bagi para pendeta yang adalah

konselor.

Kajian terhadap konsep tentang sakit dan peyembuhan di lingkungan

masyarakat tradisional suku Zulu, Afrika Selatan ditemukan bahwa saat ini telah

tumbuh kesadaran dalam gereja mengenai pelayanan lintas budaya. Kebutuhan

akan toleransi, pemahaman yang lebih baik mengenai perbedaan budaya, dan

empati merupakan factor utama yang harus dilanjutkan dalam kehidupan sebagai

warga desa global. Kajian terhadap pelayanan 20 orang pendeta terhadap pasien

26

Peter Bray. 2011. Naming Spirituality in Counsellor Education. New Zealand Journal of

Counselling, p.76-97 27

Peter Bray. 2011. Naming Spirituality in Counsellor Education. New Zealand Journal of

Counselling, p.76-97

Page 23: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

36

lintas agama di Rumah Sakit Overbrook, Amerika Serikat dikemukakan dua

strategi yang perlu dikembangkan oleh pihak rumah sakit :28

a) Neutralizing, para pendeta biasanya menetralisir perbedaan agama dengan

pasien yang mereka layani dengan menekankan pada hal-hal apa yang sama-

sama mereka miliki. Dengan demikian pasien akan memandang mereka

sebagai penopang pasien dan bukan mewakili tradisi agama sang pendeta.

Pasien dan keluarganya seringkali bertanya: “Anda pendeta dari gereja

mana?...dan saya akan menjawab dengan penuh ceria….Saya bekerja di

rumah sakit dan saya disni bukan dari gereja tertentu. Saya disini bagi pasien

dan tidak untuk diri saya sendiri….dan 99 % orang-orang akan merespon

dengan berkata “Baiklah, kita semua berdoa untuk Tuhan yang sama”. Lebih

lanjut pendeta menjembatani perbedaan agama dengan menekankan tentang

kemanusiaan-yang mereka sebut sebagai spiritualitas-hal universal yang

menghubungkan semua orang. Para pendeta yang memiliki sikap progresif

dan terbuka terhadap tradisi agama-agama lain tidak mengalami tekanan yang

berat ketika berinteraksi dengan pasien.

b) Code-Switching, para pendeta pada titik tertentu juga melakukan pelayanan

konseling pastoral dengan penyesuaian terhadap bahasa, simbol, dan kadang-

kadang ritual agama yang dianut pasien dan keluarga mereka. Misalnya

pendeta melakukan pelayanan terhadap pasien beragama Katolik, maka doa

yang diucapkan harus menyesuikan dengan tradisi Katolik. Agar bisa

28

Wendy Cadge, Emily Sigalow. 2013. Negotiating Religious Differences: The Strategies of

Interfaith Chaplains in Healthcare. Journal for the Scientific Study of Religion (2013) 52(1):146–

158

Page 24: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

37

melakukan hal-hal semacam ini, para pendeta harus mengikuti pleatihan seara

intensif.

Rangkuman dalam bab 2:

Penulis memahami dari teori yang di gunakan maka fungsi dan pendekatan

dalam konseling pastoral kemudian akan memiliki peran penting dalam hal

baik konselor maupun konseli dapat menemukan identitas diri yang baru dan

pemahaman teologis yang jelas sehingga konseling pastoral yang dilakukan

dapat mengutuhkan kehidupan konseli dan konselor dalam segala aspek baik

dalam fisik, mental, sosial dam spiritualitasnya. Mengingat adanya budaya

dan kepercayaan yang berbeda-beda maka pola konseling pastoral akan di

kombinasikan kedalam konseling lintas agama dan budaya sehingga nilai-

nilai spiritual antara pendeta sebagai konselor dengan pasien yang di

konseling bisa menemukan nilai spiritualitasnya masing-masing sesuai

keyakinannya.

Penulis memahami bahwa kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan yang

bersumber pada zaman megalitik. Inti kepercayaan yang berkembang pada

masyarakat megalitik adalah roh nenek moyang setelah mati tidak akan pergi

selamanya, namun hanya berpindah tempat dari kehidupan nyata ke

kehidupan alam akhirat. Adanya budaya dan kepercayaan ini sehingga

masyarakat Sumba melakukan ritual-ritual baik untuk memohon akan

kesembuhan terhadap suatu sakit yang diderita, meminta pertolongan dan

meminta perlindungan serta restu akan sesuatu hal yang ingin mereka jalani.

Page 25: BAB II MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13330/2/T2_752015005_BAB II...Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu

38

Penulis melihat bahwa faktor kebudayaan dan kepercayaan yang masih dianut

oleh masyarakat Sumba, maka sebagai konselor yang adalah pendeta harus

benar-benar memahami akan konteks yang ada. Kebudayaan dan kepercayaan

adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan dari jiwa seseorang yang sudah di

anut secara turun temurun dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu

konseling yang dilakukan harus berdasarkan pada budaya yang ada sehingga

pencapaian akan nilai-nilai spiritual dari orang yang di konseling membantu

konseli menemukan jati dirinya tanpa adanya pemaksaan dari pihak manapun.

Pendeta yang adalah konselor harus mampu memahami dan melakukan

pendekatan-pendekatan yang cocok bagi pasien yang dilayani.