BAB I RITUAL MANGEJING: MAKNA INTEGRASI SOSIAL...

15
BAB I RITUAL MANGEJING: MAKNA INTEGRASI SOSIAL DALAM RITUAL PASCA PANEN DI SUMBA TIMUR 1.1. Latar Belakang Corak keagamaan kosmis memiliki konsep bahwa manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta, sehingga hidupnya harus disesuaikan dengan tertib alam raya. Alam semesta diyakininya mempunyai kekuatan-kekuatan supra-natural yang melampaui kekuatan manusia dan mampu mengendalikan kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia mengolah dan mengerjakan alam sekitarnya untuk mengupayakan agar terjalin hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Bentuk inilah yang menjadi pangkal dari kesadaran manusia akan adanya jiwa dalam dirinya sebagai asal mula religi. 1 Koentjaraningrat mendefinisikan religi sebagai sistem perbuatan manusia untuk mencapai maksudnya dengan menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan yang ada di alam, baik berupa benda-benda untuk berkomunikasi dengan makhluk halus dan dewa-dewa, maupun secara langsung kepada makhluk halus dan dewa-dewanya. Asal mula religi itu disebabkan oleh adanya kepercayaan yang mengatakan bahwa segala benda dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar alam ini mempunyai kekuatan sakti yang berada di luar kekuatan manusia. 2 Kekuatan-kekuatan gaib tersebut kemudian diformulasikan kedalam konsepsi-konsepsi yang abstrak dan kompleks, serta didukung dengan dongeng- dongeng suci tentang sifat dan kehidupan dewa yang menguasai dunia, dan untuk 223. 1 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan (Jakarta:Penerbit Djambatan, 1971), 78. 2 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1974), 2

Transcript of BAB I RITUAL MANGEJING: MAKNA INTEGRASI SOSIAL...

BAB I

RITUAL MANGEJING: MAKNA INTEGRASI SOSIAL DALAM

RITUAL PASCA PANEN DI SUMBA TIMUR

1.1. Latar Belakang

Corak keagamaan kosmis memiliki konsep bahwa manusia merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta, sehingga hidupnya harus

disesuaikan dengan tertib alam raya. Alam semesta diyakininya mempunyai

kekuatan-kekuatan supra-natural yang melampaui kekuatan manusia dan mampu

mengendalikan kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia mengolah dan

mengerjakan alam sekitarnya untuk mengupayakan agar terjalin hubungan yang

harmonis antara manusia dan alam. Bentuk inilah yang menjadi pangkal dari

kesadaran manusia akan adanya jiwa dalam dirinya sebagai asal mula religi.1

Koentjaraningrat mendefinisikan religi sebagai sistem perbuatan manusia

untuk mencapai maksudnya dengan menyadarkan diri pada kemauan dan

kekuasaan yang ada di alam, baik berupa benda-benda untuk berkomunikasi

dengan makhluk halus dan dewa-dewa, maupun secara langsung kepada makhluk

halus dan dewa-dewanya. Asal mula religi itu disebabkan oleh adanya

kepercayaan yang mengatakan bahwa segala benda dan tumbuh-tumbuhan yang

ada di sekitar alam ini mempunyai kekuatan sakti yang berada di luar kekuatan

manusia.2 Kekuatan-kekuatan gaib tersebut kemudian diformulasikan kedalam

konsepsi-konsepsi yang abstrak dan kompleks, serta didukung dengan dongeng-

dongeng suci tentang sifat dan kehidupan dewa yang menguasai dunia, dan untuk

223.

1 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan (Jakarta:Penerbit Djambatan, 1971), 78. 2 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1974),

2

selanjutnya direalkan dalam diri manusia primitif (nenek moyang) sebagai

turunan dewa tersebut.3

Konsekuensi dari pemahaman bahwa manusia sebagai keturunan dewa

yang menciptakan dan menguasai dunia, maka sudah menjadi keharusan bagi

manusia untuk mengusahakan keselarasan dan keseimbangan hubungannya

dengan kekuatan gaib yang tersembunyi di alam dewa itu, lewat upayanya

menjalin relasi yang harmonis dengan alam semesta (pengelolaan alam semesta)

serta sesama manusia. Hal ini dapat terlihat melalui pola-pola tradisionalnya

untuk mengelola alam sekitarnya maupun pola-pola relasi sosial kemasyarakatan

yang nampak dalam ritus yang dipraktekkan melalui ritual – ritual masyarakat.

Ritus merupakan sesuatu yang sangat esensial dan penting dalam

kehidupan suatu masyarakat. Bagi suku-suku atau kelompok masyarakat yang

mempraktikkan ritual, menolak ritual atau memboikot ritual adalah sama dengan

mencederai agama dan komunitas. Kekuatan ritual terletak pada kolektivitasnya

dalam hal mana ritual itu melekat dan memaksa seorang individu untuk menjadi

bagian dari kolektivitas itu sendiri. Emile Durkheim mengatakan bahwa kesatuan

dan kepaduan suatu masyarakat bukan saja karena ikatan darah, namun karena

kesamaan nama dan lambang yang sama (totem), dari kepercayaan akan adanya

ikatan bersama dengan kategori-kategori hal-ihwal tertentu, serta dari ritus-ritus

yang juga mereka praktekkan bersama-sama.4 Durkheim lebih lanjut menegaskan

bahwa representasi-representasi religius adalah representasi-representasi kolektif

3 Rachmat Subagya, Agama Dan Alam Kerohanian Asli Indonesia (Ende-Flores: Nusa

Dua, 1979), 65. 4 Emile Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama Yang Paling Dasar, Tran. Inyiak

Ridwan Muzir, M.Syukuri, First edition (Jogyakarta: IRCISod, 2011), 252.

3

yang mengungkapkan realitas-realitas kolektif; ritual-ritual merupakan bentuk

tindakan (a way of acting) yang hanya lahir ditengah kelompok-kelompok

manusia dan tujuannya adalah melahirkan, mempertahankan atau menciptakan

kembali keadaan-keadaan mental (mental state) tertentu dari kelompok-kelompok

itu.5 Evan Pritchard dalam penjelasan tentang pemikiran Durkheim, mengatakan

agama primitif adalah kultus marga dan bahwa marga (klan) itulah “tuhan”. Ritus

merupakan aturan-aturan tingkah laku dan perilaku atau tindakan masyarakat

terhadap dirinya sendiri. Ritus merupakan upaya masyarakat menyadari dirinya

dan untuk memelihara rasa solidaritas bersama bagi kelangsungan masyarakat

tersebut. Ritual berfungsi sebagai pertama, mengikat anggota-anggota klan

menjadi satu; kedua, secara kolektif mempengaruhi rasa solidaritas kelompok

(fungsi sosial).6 Dalam prespektif fenomenologi agama, Mariasusai Dhavamoni

juga menegaskan ritual sebagai agama dalam tindakan, dalam hal mana melalui

simbol-simbol dalam ritus, terjadi pengungkapan pengalaman keagamaan secara

empiris dan memberi kemungkinan “suatu perpanjangan dan penampakan ilahi.”7

Ritual diperlukan juga untuk menetapkan keseimbangan baru didalam hubungan-

hubungan yang berubah, untuk memperoleh penyatuan kembali.8

Dengan demikian hakekat ritual bukan saja sebagai suatu fenomena

religius yang menggambarkan hubungan manusia dengan Yang Ilahi, namun

sekaligus menjadi suatu fenomena sosial yang mengekspresikan totalitas

kehidupan sebuah masyarakat. Ritual berperan dan sangat mempengaruhi

5 Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama Yang Paling Dasar, 29-30. 6 Evan Pritchard, Teori-teori Tentang Agama Primitif, (Jakarta: PLP2M, 1984), 72,73,81 7 Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius,1995), 167 8 Dhavamoni, Fenomenologi Agama, 176.

4

keseluruhan proses hidup dan keberlangsungan eksistensi sebuah masyarakat.

Dalam pemahaman ini, ritual dapat dikatakan sebagai representasi kehidupan

masyarakat itu sendiri sejak awal maupun sepanjang peradaban masyarakat

tersebut.

Dalam konteks Sumba, Ritual Mangejing merupakan salah satu ritual

yang sangat esensial dan merupakan puncak dari serangkaian ritual9 pertanian

yang dilaksanakan selama musim bercocok tanam dalam setahun. Pengertian

Mangejing adalah sembahyang atau pemujaan kepada Ilahi Tertinggi yang disebut

“Na Ndapa Tiki Tamu, Na Ndapa Nyura Ngara” (Yang tidak dapat disebut dan

dipanggil namanya). Penyembahan atau pemujaan ini dilakukan untuk

berterimakasih atas segala hasil yang telah diterima selama satu musim atau

periode (satu tahun) bercocok tanam maupun beternak dan mengawali

pemanfaatan hasil tersebut. Ilahi Tertinggi “Na Ndapa Tiki Tamu, Ndapa Nyura

Ngara” sangat kudus dan suci sehingga manusia tidak layak untuk menyebut

namanya ataupun menyapa secara langsung. Oleh karena itu, penyembahan

(mangejing) yang dilakukan selalu menggunakan perantara dalam hal ini Marapu

(Yang suci, yang dipuja, yang disembah), yang dalam pelaksanaan mangejing

adalah arwah leluhur yang sudah mati. Sebagai sebuah ritual puncak, pelaksanaan

Ritual Mangejing dilakukan secara kolektif oleh klan-klan (kabihu)10 dengan

melibatkan seluruh anggota kabihu serta kabihu-kabihu terkait lainnya. Dalam

konteks ini, ritual mangejing menjadi konfigurasi sosial-religius bagi masyarakat

9 Dalam setiap tahap bercocok tanam (bertani) sejak persiapan lahan, penanaman,

pemeliharaan hingga panen, selalu dilakukan ritual. 10 Klan (kabihu) adalah satu pengelompokan sosial kemasyarakatan berdasarkan marga

atau kelompok keluarga-keluarga luas dan terikat oleh tradisi-tradisi adat istiadat maupun ritual-

ritual secara khas kabihu.

5

Sumba yang menyatukan masyarakat terebut dalam keseluruhan aspek

kehidupannya.

Kebutuhan mendesak dari penelitian ini adalah untuk melakukan

pengkajian terhadap sistem nilai budaya dan religiusitas masyarakat Sumba guna

menggali sejauhmana sistem nilai sosio-religius dan kebudayaan tersebut

mempengaruhi integrasi sosial masyarakat Sumba. Hal ini penting sebagai upaya

memahami secara lebih komprehensif kondisi objektif masyarakat Sumba pada

masa kini dan membangun ramalan-ramalan baru11 fenomena perubahan yang

mungkin terjadi.

Banyak penelitian telah dilakukan dalam kaitan dengan adat-istiadat dan

kebudayaan Sumba. Oe.H. Kapita12 menuliskan buku-buku tentang Sumba dan

adat istiadatnya. Kapita mendeskripsikan kebudayaan Sumba secara umum dalam

kaitan dengan kepercayaan Marapu, struktur sosial, sejarah suku-suku, maupun

perjumpaan kebudayaan Sumba dengan Gereja Kristen Sumba, serta perubahan

masyarakat Sumba dalam konteks berbangsa dan bernegara. Demikian juga

disertasi Fred Djara Wellem13 dalam studi Historis Teologis tentang perjumpaan

Injil dengan Masyarakat Sumba periode 1876-1990. Wellem menekankan

perjumpaan Injil dan Marapu telah membentuk suatu masyarakat baru di Sumba,

11 Istilah Imre Lakatos Dalam Program Riset Ilmu Pengetahuan (155). Menurut Lakatos

perbedaan antara sains dan pseudosains adalah bahwa sebuah sains adalah sains yang bisa

menciptakan peramalan-peramalan terhadap fenomena baru. Pseudosains tidak menciptakan

peramalan-peramalan baru dan karena itu gagal disebut sains. Sebuah sains mampu menciptakan

peramalan-peramalan terhadap fakta-fakta, entah ditemukan atau tidak. Sebuah program penelitian

disebut progresif ketika dia membuat ramalan-ramalan mengejutkan yang dikonfirmasi dan

degeneratif ketika ramalannya tidak akurat atau hanya memoles teori agar sesuai dengan fakta. 12 Buku-bukunya antara lain Sumba Dalam Jangkauan Jaman tahun 1976, Masyarakat

Sumba dan Adat Istiadat Tahun 1980, Sejarah Pergumulan Injil di Sumba 1982, dan Pamangu Ndewa–Perjamuan Dewa 1985.

13 Fred Djara Wellem, Injil dan Marapu,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)

6

yaitu masyarakat Kristen serta terbentuknya Gereja Kristen Sumba seperti yang

dijumpai saat ini.14 Kajian lain yang terkait dengan ritual pertanian dilakukan oleh

Dharmaputra Palekahelu.15 Namun perhatiannya lebih kepada perspektif modal

spiritual masyarakat Sumba dalam menghadapi kekeringan dan kemiskinan.

Terdapat pula penelitian tentang Sumba dalam kaitan dengan kebudayaan namun

dalam perspektif pengembangan ekonomi lokal yang dilakukan oleh Jacqueline

Vel. Penelitian ini lebih melihat struktur keluarga dan rumah sebagai filosofi dasar

orang Sumba dalam mengembangkan konsep dan perilaku ekonomi dalam

kehidupan kesehariannya. Pada setiap bab terdapat contoh mengenai cara

mempelajari ekonomi lokal, yaitu kegiatan-kegiatan berkenaan dengan produksi,

distribusi dan konsumsi materi sesuai kebutuhan, dan pengorganisasian kegiatan-

kegiatan tersebut. Pola-pola organisasi ekonomik, pertama-tama tercermin dalam

hubungan- hubungan sosial. Pertukaran barang materi, misalnya kuda dan kerbau,

juga uang dan bahan makanan, berfungsi sebagai sarana untuk membangun dan

memperkokoh hubungan sosial.16 Penelitian lain dilakukan oleh Yendri A.H.

Yetty Leiloh. Dalam penelitian ini Yetty menekankan identitas baru penganut

Marapu sebagai hasil perjumpaan dengan Gereja dan kebijakan pariwisata

pemerintah. Pada satu sisi terjadi sinkretisme antara keyakinan Marapu dengan

Injil, dan pada sisi lain penganut Marapu harus beradaptasi terhadap upaya

eksploitasi ritual pasola dan wulla poddu demi kepentingan wisata. Dalam

14 Wellem, Injil dan Marapu, ix 15Dharmaputra Palekahelu, Marapu: Kekuatan Dibalik Kekeringan, (UKSW, 2010) 16 Jacqueline Vel, Ekonomi-Uma:Penerapan adat dalam dinamika ekonomi berbasis

kekerabatan, (Jakarta: Van Vollenhoven Institute KITLV-Jakarta, 2010), x-xiii

7

konteks ini terjadi perubahan identitas asli menjadi identitas penganut marapu

yang baru.17

Penelitian- penelitian di atas telah menjelaskan banyak aspek dari budaya

Sumba. Namun, penelitian–penelitian tersebut belum melihat aspek integrasi

sosial dalam ritus masyarakat Sumba. Karena itu, penulis akan meneliti makna

integrasi sosial dalam ritual pasca panen (mangejing) di Sumba Timur. Sebagai

suatu ritual yang dilaksanakan secara periodik dalam ritme kehidupan rutin orang

Sumba, ritual Mangejing memiliki signifikasi tersendiri secara sosio-religius.

Karena itu, ritual Mangejing dianggap cukup representatif menggambarkan sistim

nilai sosial-religiusitas masyarakat Sumba terutama pada aspek integrasi sosial

dalam kabihu.

Penelitian ini akan mengacu pada pandangan-pandangan teoritis dalam

kaitan dengan integrasi sosial dan ritual itu sendiri, dan selanjutnya pandangan-

pandangan tersebut akan menjadi perspektif teori dalam proses penelitian dan

penulisan hasil penelitian. Perspektif pertama adalah pandangan Clifford Geertz

yang melihat ritual sebagai rumusan-rumusan yang kelihatan dari pandangan-

pandangan, abstraksi pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk-bentuk yang

dapat diindrai, perwujudan konkrit gagasan-gagasan, sikap-sikap, putusan-

putusan, kerinduan-kerinduan atau keyakinan-keyakinan. Ritual berfungsi

mensintesiskan suatu etos bangsa yaitu: nada, ciri, kualitas kehidupan mereka,

moralnya, gaya estetis, suasana hati, serta pandangan hidup.18 Agama sebagai

sebuah sistem budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang mendefinisikan

17 Yendri A.H.Yetty Leyloh, Identitas Penganut Marapu Berhadapan Dengan Gereja Dan Pariwisata di Sumba Barat, (Jogyakarta: Thesis Univ.Sanata Dharma, 2007), x

18 Clifford Gerrtz, Kebudayaan & Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 4-6

8

agama sebagai: 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun suasana

hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri

seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum;

4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual; 5) Yang pada

akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.19 Dalam

kaitan dengan integrasi sosial, Geertz mengatakan bahwa integrasi sosial terdiri

dari integrasi bermakna-logis dan integrasi fungsional-kausal.20 Integrasi

bermakna-logis adalah integrasi khas bagi kebudayaan, yaitu sebuah integrasi

yang menggambarkan kesatuan gaya, kesatuan implikasi logis, kesatuan makna.

Sedangkan integrasi fungsional-kausal adalah jenis integrasi yang ditemukan

dalam suatu organisme, dimana seluruh bagiannya terpadu dalam suatu jaringan

kausal; masing-masing bagiannya merupakan suatu unsur didalam lingkaran

sebab akibat, yang berulang, yang menjaga kelangsungan sistim.21 Perspektif

kedua, Viktor Turner yang mengatakan bahwa ritual secara politik memiliki peran

integratif dan sebagai bagian dari mekanisme sosial yang memulihkan

keseimbangan dan solidaritas sosial. Ritus berkaitan dengan masyarakat,

merupakan ikatan utama antar orang dan kelompok, penampakan dari keyakinan

religius dan praktek-prakteknya, mendorong orang-orang untuk melakukan dan

menaati tatanan sosial tertentu, serta memberi motivasi dan nilai-nilai pada tingkat

125.

19 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, (New York: Basic Group,1973), 87-

20 Kutipan Geertz terhadap konsep P.Sorokin, Sosial and Cultura Dynamics, 3 jilid (New

York, 1937); Lihat Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, 74. 21 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, (New York: Basic Group,1973),, 74

9

paling dalam. Sehingga dengan memahami ritual, kita dapat memiliki pemahaman

tentang kondisi sosio-religius dan sistim suatu masyarakat.22

Pemilihan Cliford Geertz adalah karena banyak melakukan penelitian di

Indonesia. Dengan demikian kajian-kajian kritis keilmuannya dalam konteks

Indonesia akan sangat membantu karena memiliki kedekatan geografis maupun

karakteristik kebudayaan. Disamping alasan geografis tersebut, perspektif Geertz

yang kritis tentang pembilahan konsep kebudayaan dan sistim sosial dalam upaya

memodifikasi pendekatan fungsional sehingga lebih efektif dalam memahami

fenomena perubahan sosial akibat distingsi kebudayaan, merupakan kerangka

teori yang memadai dalam menganalisis struktur kebudayaan dan sosial

masyarakat Sumba. Sedangkan Victor Turner akan membantu penelitian ini

terutama dalam menguraikan struktur suatu ritual dengan kompleksitas simbol

dan perilaku maupun tahapan-tahapannya. Sebagai model analisis terhadap proses

perubahan dalam masyarakat, pendekatan “dialektika monumental” dari Peter

L.Berger yang terdiri dari tiga momentum juga akan dipakai dalam himpunan

teori yang dirujuk. Perspektif dialektika Berger akan sangat menolong untuk

mengamati proses eksternalisasi suatu masyarakat, kondisi objektivasi dan

internalisasi masyarakat sebagai proses penyerapan dan pembentukan identitas

baru.23

Permasalahan yang dihadapi adalah bahwa besar kemungkinan ritual

mangejing bukan lagi menjadi suatu kewajiban religius yang wajib dan rutin

22 Victor Turner, Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Aldine de

Gruyter, 1969), 18; Lihat juga Y.W.Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas

dan Komunitas Menurut Victor Tuner, (Jogyakarta: Kanisius, 1990), 21 – 67; Brian Morris,

Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, (Jogjakarta: AK Group, 2003), 299. 23 Peter L.Berger, Langit-langit Suci, (Jakarta:PT Pustaka-LP3ES Indonesia, 1994), 4-5.

10

dilaksanakan setiap tahun sesuai dengan kalender musim bercocok tanam bagi

masyarakat Sumba Timur secara umum. Kemungkinan berikutnya adalah jikalau

hal tersebut adalah kondisi sekarang, maka dapat diduga telah terjadi pergeseran

pemahaman akan tata cara, otoritas maupun makna substansial dari ritual

mangejing itu sendiri. Dampak lanjut dari situasi ini adalah akan terjadi distingsi

pelaksanaan ritual yang berpotensi menciptakan disintegrasi sosial. Kondisi ini

dapat mempengaruhi kohesivitas sosial dan lunturnya identitas komunal karena

melebur dalam tatanan masyarakat secara umum. Banyak kemungkinan serta

asumsi yang dapat diberikan seperti melemahnya etos kerja mengelola alam

(pertanian) sebagai bagian dari upaya manusia beribadah dan menjaga

keharmonisan hubungannya dengan yang ilahi dan alam. Namun untuk

kepentingan penelitian ini, keseluruhan permasalahan tersebut terangkum dalam

masalah inti yaitu makna integrasi sosial dalam ritual mangejing.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka rumusan pertanyaan

penelitiannya adalah: “Bagaimanakah peran ritual mangejing dalam pembentukan

integrasi sosial masyarakat Waiwunga di Sumba Timur?”

Mengacu pada pertanyaan-pertanyaan diatas maka penelitian ini

bertujuan untuk menjelaskan peran ritual mangejing dalam pembentukan integrasi

sosial dalam masyarakat Kampung Waiwunga di Sumba Timur.

Adapun Manfaat Penelitian ini adalah: Pertama, manfaat teoritisnya

adalah mendapatkan konsep makna Integrasi Sosial dibalik Ritus Mangejing

dalam masyarakat Sumba Timur; Kedua, manfaat praktisnya adalah: 1), Bagi

kepentingan masyarakat Sumba Timur, dapat lebih memahami kekuatan sosial-

11

religius sebagai pembentuk identitas sosial dan eksistensinya ditengah-tengah

perubahan yang sedang dan akan terjadi; 2). Gereja mampu menjadikan

kebudayaan lokal sebagai bingkai dalam berteologi dan dapat melakukan refleksi

kritis tentang aspek pertumbuhan dan perkembangan dirinya secara kreatif, kritis

dan positif, serta dapat menciptakan kembali interaksi dinamis dari Injil-Gereja-

Budaya, yang lebih konstruktif bagi pembangunan masyarakat.

1.2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif

dengan pola deskriptif-eksploratif. Paradigma penelitian kualitatif dianggap

relevan dengan kebutuhan penelitian yang akan dilakukan karena memiliki

karakter penelitian untuk memahami situasi, peristiwa, kelompok, atau interaksi

sosial tertentu dan dapat diartikan sebagai proses investigasi yang didalamnya

peneliti secara perlahan memaknai suatu fenomena sosial dengan membedakan,

membandingkan, menggandakan, mengatalogkan, dan mengklasifikasi objek

penelitian. Penelitian kualitatif memberikan pilihan-pilihan strategi yang memadai

bagi kepentingan penelitian ini, terutama dengan strategi etnografi, grounded

theori, studi kasus, fenomenologi, dan naratif.24 Mengacu pada prinsip pendekatan

kualitatif, maka penelitian ini berupaya memberikan desain deskriptif kualitatif 25

tentang fenomena-fenomena tertentu secara rinci, dengan mana syarat

keterwakilan cukup longgar, namun keseksamaan harus terjamin demi

24 John W.Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,

Cetakan ke-2 (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 19-20, 292. 25 H.M.Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif:Edisi Kedua, (Jakarta: Prenada Media

Group, 2007), 67-70.

12

obyektivitas fakta yang ada. Kesimpulan-kesimpulannya bisa dalam bentuk

permasalahan yang lebih tajam atau hipotesis-hipotesis.

Instrumen penelitian yang dipakai adalah wawancara non-terstruktur,

observasi dengan pemanfaatan alat bantu (alat rekam suara, gambar, dan lain-

lain). Secara garis besar substansi pertanyaan untuk wawancara dibagi dalam dua

(2) kelompok besar yaitu: a). Pertanyaan sekitar data-data responden, dan b)

pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan makna integrasi sosial dibalik ritus

mangejing.

Dalam penelitian yang bersifat deskriptif-eksploratif, responden bisa

dipilih purposif. Responden dipilih atas dasar jabatan dalam suku atau Klan

(kabihu), dan kepercayaan (Marapu dan Non-Marapu). Berdasarkan kriteria

tersebut dipilih 4 responden kunci dan dua (2) diantaranya adalah Imam Agama

Suku (Rato) sebagai responden kunci. Ritual mangejing dipergunakan sebagai

satuan analisis, sekaligus sebagai satuan amatan.

Dalam penelitian ini diupayakan pengumpulan data primer dan data

sekunder. Data primer mencakup data tentang responden yang meliputi nama,

umur, jenis kelamin, kepercayaan, jabatan dalam Kabihu dan lain-lain. Data

primer juga mencakup pemahaman responden mengenai ritual Mangejing dan

pengaruh sosio-religius terhadap makna integrasi sosial. Sumber data primer juga

diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan kunci,

yaitu dua (2) orang Rato. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari keadaan

demografi, geografi, jumlah pemeluk agama, dan lain-lain.

13

Kedua jenis data tersebut di atas diperoleh dengan teknik sebagai berikut:

a). Wawancara non terstruktur dilakukan kepada responden dan informan kunci

yang terdiri dari Rato satu orang dan lima orang Tua-Tua Adat; b). Observasi non-

sistematis (tidak menggunakan instrumen pengamatan), dilakukan langsung di

lapangan di lokasi kampung Waiwunga; c). Studi kepustakaan, untuk mempelajari

bahan-bahan yang berhubungan dengan pokok yang hendak dikaji.

Data yang terkumpul dianalisis dengan dua pendekatan yaitu secara

kualitatif dan secara kuantitatif. Analisis kualitatif menerapkan teknik Analisa Isi

(Content Analysis) dengan langkah-langkah dimulai dari reduksi data, penyajian

data dalam bentuk tabel-tabel sederhana, dan kemudian dilakukan penarikan

kesimpulan. Juga menggunakan strategi kualitatif yaitu dengan menerapkan

analisa proses, fenomenologi, kultur dan struktur sosial. Cara analisis ini pada

dasarnya dapat dilakukan ketika peneliti masih di lapangan, yang secara terus-

menerus melakukan pencatatan lapang dan mengklasifikasikannya. Analisis

kuantitatif ditempuh dengan cara mengupayakan informasi dari responden dan

informan kunci, kemudian dikategorikan sesuai dengan tujuan penelitian.

Lokasi penelitian adalah Kampung Waiwunga, Desa Makamenggit,

Kecamatan Nggaha Oriangu, Kabupaten Sumba Timur. Alasan pemilihan lokasi

adalah karena komunitas masyarakat yang berada di lokasi tersebut masih kuat

dipengaruhi tradisi Marapu (Agama Suku Sumba) sekalipun secara statistik

kebanyakan sudah tercatat beragama Kristen. Konteks ini menarik karena terjadi

dinamika pembauran tradisi Marapu yang mewarnai banyak aspek kehidupan

14

sosial-religus masyarakat setempat, dengan ketatnya tata aturan bergereja yang

membatasi perilaku sosial-budaya dalam kehidupan sehari-hari.

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi kritis dalam

mengkonstruksi pola hubungan sosial-religus yang integratif dan berkontribusi

positif dalam membangun peradaban masyarakat setempat maupun tempat-tempat

lainnya di wilayah Sumba Timur.

Out put penelitian ini juga diharapkan pertama, dapat menjadi rujukan

berbagai pihak dalam melakukan rekayasa sosial bagi peningkatan kualitas hidup

masyarakat; kedua, menjadi salah satu karya ilmiah dalam khasanah keilmuan

sosial-religius.

1.3. Sistimatika Penulisan

Tesis ini akan ditulis dalam beberapa bagian yang terbagi atas beberapa

bab yaitu:

1.3.1. Pada Bab I memuat Pendahuluan; dalam bagian ini penulis akan

memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan untuk mensistematisasikan laporan hasil penelitian.

1.3.2. Pada Bab II mencakup teori tentang ritus dan integrasi sosial dari

perspektif Clifford Geertz dan Victor Turner serta sejumlah pandangan

yang disebutkan dalam Bab I sebagai dasar teoretis untuk menganalisis

situasi dan kondisi sosial objek penelitian, Kebudayaan dan Struktur Sosial

Masyarakat Sumba.

15

1.3.3. Pada Bab III berisi hasil penelitian mengenai “Makna Integrasi Sosial

Dalam Ritual Mangejing Di Sumba Timur” yang mencakup uraian

mengenai: Gambaran Umum Masyarakat di Kampung Waiwunga,

Pengorganisasian Sosial, Perilaku Sosio-Religius, Kosmologi, Aspek Fisik

dan Ekonomi serta deskripsi pelaksanaan ritual Mangejing di Masyarakat

Kampung Waiwunga; yang merupakan suatu proses dari pengumpulan

data dengan teknik observasi, wawancara, dan Focus Group Discussion

(FGD), serta berfungsi untuk mendeskripsikan Makna Integrasi Sosial

Dalam Ritus Mangejing di Sumba Timur.

1.3.4. Pada Bab IV berisi tentang pembahasan dan analisis data “Makna Integrasi

Sosial Dalam Ritual Mangejing di Kampung Waiwunga” yang mencakup

uraian mengenai: Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Bermakna Logis;

Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Fungsional Kausal; Integrasi Sosial

dan Perubahan Perilaku; Perubahan Perilaku dan Bukan Makna; dengan

berlandaskan teori ritus dan integrasi sosial menurut Clifford Geertz serta

Victor Turner.

1.3.5. Pada bab V ini merupakan penutup yang mencakup kesimpulan penelitian,

baik temuan teoretis maupun praktis, serta rekomendasi

16