BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA...

99
36 BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG 3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar, guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM sampai abad 3 M 1 (Setiono, 2002:17). Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa 1 Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17.

Transcript of BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA...

36

BAB III

KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA

BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG

3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang

Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum

rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang

Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena

berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar,

guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat,

Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut

memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu

berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan

gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya

Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil

di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM

sampai abad 3 M1 (Setiono, 2002:17).

Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan

lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah

berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun

berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa

1 Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17.

37

pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM), ternyata Tiongkok

telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse.

Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu

satu tahun karena pengaruh musim, sehingga banyak pengembara (pedagang) dari

daratan Cina yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta

dengan negeri yang kaya ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat

mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan

yang berkepanjangan.

Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Cina yang menetap

antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting

adalah orang-orang Cina mau dan dapat memepertahankan kependudukannya.

Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan

hidup berdampingan dengan damai2.

Menurut catatan yang ada, orang-orang Cina mulai berdatangan ke

Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk

berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho

mcngunjungi Jawa, Cheng Ho menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari

para pedagang Cina yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu,

kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Cina melakukan

perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri. Dalam sejarah

diketahui pada zaman Mataram kuno kira - kira abad VII, Semarang sudah

merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu di kaki 2 Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakkiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. Hlm.

206-211.

38

bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik (kini

masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral) dan Bukit Mugas

(sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom

bensin) hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota

terdapat antara lain bukit Candi dan Bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedung

Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah

banyak yang bermukim di sana.

Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Cina yang pertama kali

bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan atau

Chineese Road yaitu institusi resmi orang Cina yang terdiri dari Mayor, Kapten,

dan Letnan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengurusi masalah-

masalah ringan dalam kelompok mereka seperti pencatatan perkawinan yang

terdapat di setiap kota besar di Indonesia, disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien

atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah

Semarang. Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang

dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan

dikalangan etnik Tionghoa bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng

dengan sebutan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah

anakhronisme, Maestro Cheng Ho pun di kemudian hari dikenal dengan banyak

sebutan, diantaranya adalah Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa

Lang3. Cheng Ho adalah utusan dari Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming untuk

3 Hidayatullah, A.F. 2005. Kelenteng Sam Po Kong (Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa

Islam di Kota Semarang. Semarang. Skripsi Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo.

Hlm. 35.

39

mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Lautan Selatan dari tahun 1405

sampai tahun 1433 dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 14064

(Kasmadi dan Wiyono, 1985:77). Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya

untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam (Banten).

Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak,

Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang.

Wang Jinghong (Ong King Hong), sang jurumudi dan sepuluh awak kapal

lainnya yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho

ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban, karena Wang Jinghong sakit

keras dan setelah sembuh dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal,

mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu

(Simongan). Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman

penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga etnik Cina yang lebih

dahulu datang ke Semarang.

Belakangan orang-orang etnik Cina yang merantau ke Semarang memilih

bertempat tinggal di sekitar Kelenteng Sam Po Kong karena Gedung Batu

memiliki Hong-sui (Geomancy) yang bagus dibandingkan dengan daerah lain di

Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk

yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping

untuk "ngalap berkah" dari Sam Po Kong.

4 Kasmadi, Hartono. dan Wiyono. 1985. Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950).

Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi

dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Hlm. 77.

40

Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang etnik

Tionghoa benama Souw Pan Djiang yang jago silat dan di rumahnya sering

diadakan semacam diskusi dengan warga etnik Tionghoa yang lain tentang kiat-

kiat berdagang di Semarang. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama

Panjangan, dulu disebut sebagai desa Sepanjang, yang berasal dari kata Pan-

Djiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang5 (Liem

Thian Joe, 1933). Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang

ataupun daerah lain mayoritas adalah pedagang berbagai jenis barang khas daratan

Tiongkok seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan

dari mereka (pedagang Cina) adalah membawa uang tangci sebagai alat

pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang

ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng (merangkai)

uang tersebut dan melilitkannya di pinggang. Saat itu, penduduk Semarang

menyebutnya uang Kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu seperti

Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo menyebutnya dengan uang

Gobok.

Sebelum kedatangan orang Belanda, penduduk etnik Tionghoa di

Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat.

Mereka hidup membaur dan berkulturasi dengan budaya masing-masing.

Disamping berdagang. orang etnik Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai

petani dan tukang. Umumnya mereka tidak membawa serta istri dari Tiongkok

5 Joe, Liem Thian. 1933. Riwayat Semarang: Dari Djamanja Sam Po Sampe

Terhapoesnja Kongkoan. Tjitakan Pertama. Semarang-Batavia: Boekhandel-Ho

Kim Yoe.

41

dan menikah dengan perempuan local sehingga lahirlah keturunan campuran yang

biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski

demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang etnik Tionghoa

terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok.

Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja,

artinya orang Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan

silang antara orang etnik Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok

bukan hanya orang etnik Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi

penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi

dari para perantau etnik Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia yang ada di

sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi

para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan

campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia.

Penggolongan diatas jelas bermuatan politis, sebagaimana sentimen anti-Cina

yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, kemudian

diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Presiden Soeharto6. Orang-orang

Cina seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok.

Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan

masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dan

6 Vasanty, Puspa. 2002. Kebudayaan Orang-Orang Cina di Indonesia. dalam

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan ke-19. Jakarta:

Djambatan. Hlm. 353-357.

42

berperilaku seperti pribumi. Adapun totok, adalah orang-orang Cina pendatang

baru, yang datang baru sekitar satu0dua generasi, dan berbahasa Cina7

Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy Quarter-

Master General to the Forces Serving in Java, menyatakan orang-orang Cina

tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan untuk membawa

atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya

mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan

gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang etnik Tionghoa yang segera

datang ke Batavia kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar

bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa8.

Migrasi wanita etnik Cina ke Asia tenggara baru di mulai pada abad ke-l9

dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran etnik Tionghoa hanya terdiri laki-laki

saja. Migrasi wanita etnik Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan

kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang etnik Tionghoa

baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam.

Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr.Josef Glinko

(2000), pakar antropolog Universitas Airlangga menyatakan, khusus untuk

masyarakat Cina sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah

airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tk mau mereka lantas kawin

dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak beranak ikut menghuni

Indonesia. “Lha, mana yang tetap non pribumi kalau begini? Hanya orang bodoh

yang mempersoalkanya........”.

7 Rustopo. 2007. Menjadi Jawa.Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 62-68.

8 Setiono, Op.cit. 53-54.

43

Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di

tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana

keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab,

India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa

yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar

“kota lama” (Heerenstraat), yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda

masuk Semarang mulai awal abad ke-17.

Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah

kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram

dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran

Trunojoyo melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II,

Souw Pan Djiang bersama warga etnik Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu

silat, berada di pihak Trunojoyo.

Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura

meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan

untuk meminta bantuan kepada VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie),

yaitu kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur (memonopoli)

perniagaan di negeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya

Kumpeni, dan orang etnik Cina menyebutnya Kong Pan Ge9.

VOC tersebut bertugas menumpas para pemberontak Trunojoyo. VOC

atau Kompeni berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Informasi tentang

tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam

9 Hidayatullah. Op.cit. 53.

44

Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J.

Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie disebutkan

bahwa Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan

menurut Raffles dalam bukunya Raffles History of Java disebutkan bahwa

pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 173110

.

Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang

kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaan Kompeni sejak tanggal 15

Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan karya dari Liem Thian Joe, peristiwa itu

terjadi pada 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut

sehingga Semarang diambil alih oleh pemerintah Belanda yang secara otomatis

diterapkan pemerintahan kolonial Belanda.

Perpindahan pemukiman orang-orang etnik Tionghoa yang lazim disebut

pecinan, dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah

Kelurahan Kranggan, adalah bermula dari perlawanan orang-orang etnik

Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya

10.000 orang etnik Cina. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat

ditumpas oleh Belanda.

Untuk mengantisipasi peristiwa serupa, pemerintah Belanda di Semarang

memaksa pindah orang-orang etnik Tionghoa di Gedung Batu untuk bermukim di

Semarang yaitu di daerah Kali Semarang agar mudah diawasi. Daerah-daerah itu

meliputi daerah sekitar Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan

Kali Koping. Untuk pengawasan dibangunlah sebuah gedung sebagai tangsi

10

Ibid. Hlm.52

45

militer di ujung Bojong tepatnya di jalan Djurnatan. Gedung tersebut di namakan

“De Werttensbergse Kazerne”. Namun sekarang gedung itu telah dimusnahkan,

menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza.

Alasan Belanda memindahkan orang-orang etnik Tionghoa yaitu agar

mudah diawasi dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga etnik

Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu Belanda memperkenankan warga etnik

Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam

wilayah yang ditetapkan oleh penguasa.

Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali

Semarang. Kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King,

Gang Pinggir, dan Pekojan yang pada waktu itu merupakan akses terpenting

sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman.

Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan

Beteng11

. Akibatnya orang-orang etnik Tionghoa lalu mendirikan bangunannya

sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekas-bekasnya, misalnya,

jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara

sangat sempit.

Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Orang-orang

etnik Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu

judi. Pusat perjudian terkonsentrasi di daerah Gang. Pinggir, tepatnya di ujung

Gang Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian di kawasan baru tersebut adalah

berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi yang tidak hanya

11

Joe.Op.cit. Hlm. 6.

46

orang etnik Tionghoa, pendatang dari India, Arab, Persia, Belanda dan juga orang

Jawa sendiri pun ikut serta agar mudah mendapatkan uang. Pihak Belanda pun

memungut pajak judi. Dan pada tahun 1724 pemerintah Belanda mengeluarkan

uang resmi. Meski di Semarang waktu itu telah beredar pula uang Gobok (Tangci)

dan Real. Uang resmi yang dikeluarkan Belanda disebut dengan Hollandsche

Duitten. Sementara uang Gobok berlaku hingga tahun 1855, kemudian diganti

dengan uang Cent12

(Tio,tth:21).

Perlu untuk diketahui, saat itu kali Semarang masih jernih dan dalam,

sehingga kapal-kapal berukuran sedang bisa masuk dan bersandar di Kali Koping

Gang Pinggir yang kemudian membawa kemajuan pesat bagi daerah Pecinan

sampai ke arah timur yang sekarang dikenal dengan nama Petudungan.

Pembauran antara warga etnik Tionghoa dengan penduduk asli maupun dari suku-

suku lain yang mayoritas beragama Islam dengan ditunjang adanya sebuah

Pesantren, membawa Petudungan berkembang pesat hingga hutan-hutan dibuka

untuk pemukiman baru dan jalan sebagai akses menuju Demak terutama melewati

jalan Ambengan.

Setelah peristiwa pembantaian orang etnik Tionghoa pada bulan Oktober

1740 oleh Kompeni Belanda, terjadilah pengungsian besar-besaran dari Jakarta ke

daerah Jawa Tengah. Maka terbentuklah konsentrasi pemukiman etnik Tionghoa

di Semarang, dan di sana berdirilah kelenteng-kelenteng seperti Kwee Lak Kwa

(TITD Sinar Samudera), Tay Kak Sie, dan lain sebagainya.

Kemudian pada tahun 1797, pihak Belanda membuka hutan-hutan di

12

Tio. Op.cit. Hlm.21.

47

daerah Pekojan yang pada saat itu dikenal sebagai tempat bermukimnya orang

Koja, yaitu warga keturunan India yang menikah dengan penduduk asli setempat.

Pembukaan hutan tersebut untuk kenyamanan warga Belanda. Akibatnya

pekuburan etnik Tionghoa dipindahkan di kaki bukit Candi, yaitu disekitar jalan

Sriwijaya, jalan Gergaji, dan jalan Diponegoro atau jalan Siranda. Untuk

keperluan acara pemindahan kuburan tersebut, warga etnik Tionghoa mengadakan

upacara besar-besaran untuk menolak bala. Untuk mengenangnya dibuatlah

inskripsi yang bertuliskan "Lam Boe 0 Mie Too Hoet Kian An", yang dipahatkan

di ujung jalan Petolongan yang tembusannya sampai jalan Pekojan13

.

Dalam perkembangannya, daerah Pekojan masuk ke dalam wilayah

Pecinan. Seiring bertambahnya pendatang yang bermukim, menyebabkan

pelebaran daerah Pekojan. Sampai-sampai bekas penjara di pojok perempatan

Djurnatan pun diubah menjadi pusat pertokoan.

Untuk keamanan daerah Pecinan, warga etnik Tionghoa mengajukan izin

kepada pemerintah Belanda selaku penguasa agar diperbolehkan membangun

pintu gerhang di empat penjuru daerah Pecinan. Pertama, di jalan Sebandaran

yang menikung ke arah jalan Jagalan. Kedua, di sudut jalan Cap Kau King

berbatasan dengan jalan Benteng. Ketiga, di jalan Gang Warung. Dan keempat, di

seberang jembatan Pekojan. Akhirnya pada tahun 1811, Semarang jatuh ke tangan

Inggris. Ketika itu Gubernur Jenderal Hindia-Belanda adalah Jenderal Jannssens.

Penyerahan kekuasaan dilakukan di Benteng Ungaran yang sekarang menjadi

sebuah asrama.

13

Ibid. Hlm. 21

48

Setelah perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang berlaku mulai 15

Desember 1960, orang-orang Etnik Tionghoa yang semula berstatus warga negara

asing (WNA), ada yang memilih menjadi WNI, tetapi ada pula yang menolak atau

ditolak sebagai WNI. Status hukum WNI berdasarkan perjanjian Dwi

Kewarganegaraan RI-RRC itu dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Inpres

Nomor 2 Tahun 1980 dan Kepres Nomor 13 Tahun 1980. Orang-orang Etnik

Tionghoa WNI kemudian menerima SBKRI dari Camat setempat atas nama Ketua

Pengadilan Negeri.

3.2. Sejarah Masuknya Agama Tao di Kota Semarang

Agama Tao berasal dari negeri Tiongkok (China) sejak 7000 tahun yang

lalu, umumnya agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Huang Di) karena

beliau yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai Tao dalam menjalankan

pemerintahannya. Dikembangkan oleh Lao Tzu dengan Kitab Suci Tao De Jing

yang ditulisnya, kemudian oleh Zhang Tao Ling mengkodifikasikan ritus-ritus

keagamaan Tao seperti tentang bagaimana cara memuja (sembahyang) pada Dewa

dengan baik dsb, sehingga ajaran-ajaran Tao menjadi sebuah institusi keagamaan

yang well organized.

Diyakini bahwa agama Tao masuk dan berkembang di Indonesia sejak

abad 6 SM seiring dengan masuknya etnik Tionghoa pada wilayah Nusantara

yang dapat dibuktikan dengan kronik bangsa Han yang saat itu berada dibawah

kepemimpinan Kaisar Wang Ming, para pendatang dari daratan China ini masuk

membawa agama-agama yang berkembang di negeri Tiongkok sambil melakukan

49

kegiatan perdagangan. Agama-agama yang berkembang di Tiongkok selain agama

Tao, adalah Khonghucu dan Buddha, para pendatang ini mengaplikasikan nilai-

nilai kegamaan dalam ajaran Tao dengan membangun sejumlah kelenteng sebagai

tempat ibadah.

Dan pada masa-masa pelayaran Laksamana Cheng Hoo antara tahun

1405-1433 telah menemukan akulturasi budaya antara Tiongkok-Nusantara

dengan adanya sejumlah kelenteng yang tersebar di seluruh wilayahnya, dan

diantara sejumlah kelenteng itu adalah Jin De Yuan yang dilukiskan oleh seniman

Belanda F.Velentjin pada tahun 1726 tapi sayangnya kelenteng ini kemudian

terbakar habis saat terjadi peristiwa berdarah bagi etnik Tionghoa di Batavia tahun

1740 14

.

Kedatangan agama Tao di Kota Semarang tidak dapat diketahui dengan

pasti, akan tetapi banyak tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama di

daerah ini yang mengaitkan dengan datangnya etnik Cina di Kota Semarang

khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Hal ini ditandai dengan jatuhnya dinasti

Ming pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang imigran besar-

besaran bangsa Cina ke berbagai bangsa di Asia tenggara, salah satunya

Indonesia. Orang Cina yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari dua

propinsi, yakni Propinsi Fujien (Fukien) dan Guangdong (Kwan Fu)15

.

Adanya gelombang imigran tersebut berkaitan dengan iklim politik yang

kurang menguntungkan di negeri Tiongkok, karenna pada dinasti Qing tidak

14

Setiono. Op.cit. Hlm.26. 15

Dewi. Shinta, ISR., 2005, Boen Bio, Benteng Terakhir Umat Khonghucu, Surabaya :

Penerbit JB. Books. Hlm. 2.

50

memberi keleluasaan atau kebebasan kepada orang Cina. Selain itu, keadaan alam

yang kurang subur juga turut mendoorong terjadinya migrasi tersebut. Oleh

karena itu, orang-orang Cina tersebar kemana-mana, terutama suku Hokkian dan

suku Kwong Fu (Kanton). Orang-orang Hokkian lebih banyak berdiam di Jawa

dan menjalankan profesinya sebagai pedagang, sedangkan orang Kwan Fu lebih

banyak berdiam di Sumattera dan kalimantan Barat, serta menjalankan profesinya

sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan.

Kedatangan orang-orang Cina tersebut telah membawa tradisi-tradisi

leluhurnya dan atau budaya-budaya leluhurnya yang sudah lama berkembang di

daerah asalnya, seperti: agama dan kepercayaan tradisonal. Hal ini sebagaimana

yang dikemukakan oleh Tan I Ming (Wawancara, 21 Mei 2014), bahwa banyak,

kalau bukan sebagian besar masyarakat dari daratan Cina yang mengenal dan

memeluk agama, seperti Kong Hu Cu dan Tao. Bahkan, pada abad ke 17 sudah

ada bangunan-bangunan tua di Kota Semarang yang bernama klenteng, seperti

Klenteng Siu Hok Bio di Wotgandul Timur. Konon, klenteng ini didirikan pada

tahun 1753 oleh komunitas etnik Tionghoa yang dikenal sebagai klenteng tertua

di Kota Semarang. Di klenteng ini, dewa utama adalah Hok Teng Tjeng, yang

merupakan dewa utama dalam ajaran Taoisme.

Selain itu, di Kota Semarang juga terdapat bangunan klenteng tua yang

disebut “Klenteng Tay Kak Sie”. Klenteng ini dibangun sekitar tahun 1746,

sebagaimana tertulis pada pintu masuk klenteng Tay Kak Sie itu. Pada awalnya,

Klenteng Tay Kak Sie ini digunakan untuk memuja Yang Mulia Dewi Welas Asih

Koan Sie Im Po Sat. Dalam perkembangannya, klenteng tersebut digunakan

51

sebagai tempat pemujaan berbagai Dewa Dewi dari aliran Tao maupun

Konfusianisme. Hal ini ditandai dengan adanya ornamen-ornamen dan atau

simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan Tao, dan Konfusianisme,

seperti: atap klenteng yang berhiaskan sepasang naga sedang memperebutkan

matahari. Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang melambangkan

keadilan, kekuatan, dan penjaga barang-barang suci. Naga atau Liong mempunyai

makna sebagai lambang kejayaaan atau kemakmuran karena persatuan dari

berbagai unsur yang ada. Selain itu, di atas klenteng terdapat simbol singa atau

qillin sebagai lambang panjang umur, kemegahan, kebahagiaan, kebajikan, dan

kebijaksanaan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Tao sudah masuk di tanah Jawa,

khususnya Kota Semarang. Bahkan, jauh sebelum itu agama Tao telah masuk di

tanah Jawa sekitar abad ke 15. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh

Hariyono16

bahwa pada abad ke 15 telah ada orang Cina di Jawa yang beragama

Tao. Hal ini dapat dilihat ketika Raden Patah ingin menegakan Islam di tanah

Jawa, dimana seluruh pantai utara dikuasainya. Namun, ketika sampai di

Semarang (di sekitar Sam Po Kong), pasukan tidak menaklukkan orang yang tidak

beragama Islam, karena penduduk disitu memiliki kemahiran membuat kapal

yang akan berguna untuk melebarkan kekuasaan Demak. Bahkan, Pengrajin kapal

ini ikut membantu menyelesaikan masjid Demak.

16

Rahmadani, Arnis, 2007, Religi Etnis Cina di Jawa, Semarang: Balai Litbang Agama

Semarang. Hlm. 62.

52

Bagi umat Tao, ritual keagamaan berada di tempat-tempat peribadatan

Tridharma (TITD) yang dikenal dengan sebutan klenteng, sedangkan klenteng

pada hakikatnya merupakan tempat ibadat bersama bagi umat Tridharma. Sebagai

ciri umat Tridharma adalah terbiasa untuk menghargai dan merasa ikut memiliki

kedua ajaran yang lain, meskipun biasanya setiap orang condong pada satu ajaran

saja17

.

Di Tiongkok, konsep semacam ini dikenal dengan “Sam Kauw” dalam

dialek Hokkian berarti tiga (sam) agama/ajaran (kauw), yang dimaksud adalah tiga

ajaran yang meliputi Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme. Di Indonesia,

konsep “sam kauw” dikenal dengan istilah “Tridharma” yang didirikan oleh Kwee

Tek Hoay pada tahun 1934.

Etnik Tionghoa sangat menghargai nilai-nilai kemuliaan keluarga

berdasarkan ajaran-ajaran baik dari agama Tao, Khonghucu dan juga agama

Buddha, ketiga agama ini telah tersinkretasi menjadi suatu pranata nilai yang ajeg

dalam budaya Thionghoa. Medio tahun 1930-an para tokoh dari kalangan etnik

Thionghoa merasa bahwa semakin banyak anggotanya yang melupakan nilai-nilai

luhur tersebut, dimulai dengan adanya Thiong Hwa Hwee Kwan (THHK) yang

merupakan organisasi yang berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Khonghucu hadir

untuk mengembalikan masyarakat Thionghoa untuk kembali menegakkan prinsip-

prinsip luhur budaya timur yang telah terkikis oleh kapitalisme barat. Kehadiran

THHK membawa semangat baru bagi Kwee Tek Hoay untuk mendirikan Sam

Kauw Hwee (San Jiao Hui, yakni Masyarakat Tiga Agama), tujuan organisasi ini 17

Herman Jaya, David. 2013, Bahan Penataran Dharmaduta Tridharma Jawa Tengah,

Semarang : PTITD se-Indonesia. Hlm. 7.

53

adalah mempersatukan, menyebarluaskan ajaran tiga agama (Tao, Khonghucu,

dan Buddha).

Tapi pada dasarnya organisasi ini lebih bersifat kekeluargaan bagi intern

etnik Tionghoa, dan tidak bermaksud untuk memfusikan ketiga agama menajdi

satu agama tunggal sebagaimana yang diungkapkan oleh D.E.Willmott, sebagai

berikut:

“Ajaran tumimbal lahir tidak diselaraskan dengan ajaran leluhur, dan cara-

cara hidupyang agak berbeda yang disiratkan dalam Kesalehan

Khonghucuisme, Peninggalan Keduniawian Budhisme, dan Kepasifan

Taoisme, dianjurkan secara terpisah atau bersama. Banyak anggota dan

penceramah terutama merupakan penganut dari salah satu dari ketiga

agama itu, sementara meminjam gagasan-gagasan yang sesuai dari dua

yang lain” (Suryadinata, 2002:180).

Organisasi Sam Kauw Hwee inilah yang kemudian beralih nama menjadi

Tri Dharma pada masa-masa setelah G 30S PKI yang menstigmaisasi Tionghoa

baik secara kultural, politik, dan ini berdampak dengan enggannya pemerintah

mengakui kedua agama Tiongkok (Tao dan Khonghucu) sebagai sebuah agama,

lain halnya dengan agama Budha yang lebih dikenal di Indonesia (karena agama

Budha sebelumnya telah menjadi suatu agama mayoritas saat era nusantara).

Di tempat ibadat Tridharma ini, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas

sembahyang bersama (pemujaan dewa/dewi atau altar sam kauw) sehingga

terpelihara ikatan kebersamaan antar sesama orang Tionghoa. Namun, secara

keyakinan umat Tridharma percaya kepada “Trinabi” (sam kauw Seng Jin/San

Jiao Seng Ren) secara seimbang, yakni nabi Kong Cu, nabi Lao Tse, dan Budha.

Pendirian tempat ibadat Tridharma ini dimaksudkan untuk membendung arus

54

kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil barat pada orang-orang Cina.

Dengan kesatuan umat “tiga agama”, maka dianggap cukup kuat dalam

membendung kritenisasi itu. Setelah Indonesia merdeka 1945, maka Tridharma

sudah bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali

yang kemudian berubah menjadi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Kini,

Tridharma bernaung di bawah Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama

Republik Indonesia.

3.3. Perkembangan Agama Tao di Kota Semarang

Di Indonesia, ketika negara hadir dengan melabeli agama Tao hanya

sebagai salah satu nilai filsafat kebudayaan yang berasal dari hasil pemikiran

masyarakat etnik Tionghoa yang berasal dari daratan Cina, pendapat negara

menjadi begitu dangkal tanpa memikirkan lebih bijak bahwa agama erat kaitannya

dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap kekuatan sang Pencipta bagi setiap

penganutnya. Keyakinan para umat terhadap keberadaan Tuhan didasari dengan

dogma-dogma teologi kanonik.

Agama Tao dianggap hanya sebagai suatu nilai filsafat karena adanya

prasangka-prasangka etnik terhadap etnik Tionghoa, dan sayangnya nilai-nilai

dalam agama Tao berbeda jamaknya agama yang diakui oleh negara seperti Islam,

Katolik, Kristen Protestan, Hindhu dan Budha sehingga dengan mudahnya label

itu melekat pada agama Tao. Nilai-nilai moral pada agama Tao bersumber pada

Kitab Suci Tao De Jing yang kurang dikenal masyarakat secara umum, imbasnya

55

prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa menguat pada umat Tao yang

dianggap “tidak beragama” namun hanya “percaya pada Tuhan Yang Maha Esa”.

Pengakuan Negara terhadap agama tertentu yang dianggap memiliki

jumlah penganut dihitung secara kuantitas patut menjadi kajian di masa

mendatang karena persoalan utama adalah apakah kriteria utama untuk bisa

menentukan sebuah agama bisa diakui secara resmi di Negara Kesatuan Republik

Indonesia ? Apakah agama dengan penganut yang sedikit tidak bisa mendapatkan

tempat di rumah sendiri di tanah air Indonesia ? Apakah yang menjadi konsep

pengakuan agama oleh pemerintah adalah agama tersebut harus berasal dari

Timur Tengah sehingga agama asli yang lahir dan berkembang di tanah air hingga

kini belum bisa memperoleh pengakuan secara legal dari pemerintah. Ini sangat

kontradiksi ketika agama Baha’i yang juga menjadi salah satu agama import

sudah memperoleh pengakuan dan pelayanan oleh Negara. Tentu hal ini akan

menjadi kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya yang masih belum diakui oleh

negera. Meskipun penganut sedikit, agama-agama yang berkembang di Indonesia

sudah lama dipeluk oleh masyarakat/suku/etnik yang mendiami bumi nusantara

sehingga eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka konsep

untuk melihat agama bisa diterima atau tidak oleh pemerintah tentunya juga harus

dilihat secara sosiologis dan cultural. Peneliti memandang bahwa melalui

perumusan teori 4Cs yang dikembangkan oleh Swidler dan Mojzes tentang agama

dapat dijadikan pedoman oleh pemerintah dalam mengakui sebuah agama yang

sudah lahir, berkembang, dan dipeluk secara turun temurun oleh rakyat Indonesia.

Memang konsekuensinya, akan ada banyak agama di tanah air bila setiap agama

56

yang memenuhi kriteria 4 Cs di kemudian hari menjadi agama resmi di Indonesia.

Bila sudah diakui, tentu saja diperlukan aturan untuk mewujudkan kerukunan

antarumat beragama. Kearifan lokal di setiap daerah memungkinkan pemeluk

agama tersebut bisa hidup berdampingan dan menjalin hubungan satu sama

lainnya. Tentu saja kehadiran Negara masih diperlukan untuk melakukan

pembinaan kehidupan keagamaan sehingga toleransi antarumat beragama tetap

terjaga di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsepsi agama akan sangat berbeda bagi setiap agama dan umat dari

agama itu sendiri, jika kita melihat konsepsi agama dalam Islam dan Katolik

tentunya sangat berbeda, begitu pula antara Hindhu dan Kristen Protestan pun

akan terjadi hal yang sama. Lantas bagaimana dengan agama Tao?

Selama ini agama Tao dalam pandangan awam seringkali dikaitkan

dengan agama Buddha karena beberapa kemiripan dalam ritus peribadatannya,

misalnya penilaian awam ini muncul karena masyarakat melihat bahwa umat

Budha melakukan ritus keagamaan dengan menggunakan salah satu sarana seperti

hio (dupa) yang juga dapat ditemui dalam ritus keagamaan Tao. Jadi sebenarnya

apa yang dapat dikatakan sebagai “agama”? Konsepsi tentang agama akan

menjadi sangat debatable dari perspektif setiap individu yang meyakininya. Oleh

sebab itu agama dalam keanekaragamannya itu hanya memerlukan deskripsi

(penggambaran) untuk memahaminya, bukan definisi (batasan).

Di Semarang, banyak umat Tao yang mengunjungi Kelenteng Tay Kak Sie

untuk melaksanakan ritual keagamaan. Hal ini disebabkan oleh nuansa klenteng

tua yang memiliki arsitektur bagus, baik dari segi ornamen maupun hiasan-

57

hiasannya. Bahkan, kebanyakan dewa/dewi dalam Kelenteng Tay Kak Sie ini

adalah dewa/dewi agama Tao. Sementara itu, kelenteng ini kurang memiliki

fasilitas ritual keagamaan bagi umat Tao yang memadai, seperti: ruang atau

tempat pemujaaan dewa/dewi agama Tao. Karena itu, ada beberapa tokoh umat

Tao yang tergabung dalam Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) untuk

memikirkan tentang pendirian kelenteng di tempat lain yang lebih representatif.

Perlu diketahui bahwa PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk

paguyuban dan bersifat kekeluargaan serta bebas dijadikan wadah bagi seluruh

umat Tao di Indonesia. Organisasi ini bersifat sosial (bukan politik) dan tidak

mencampuri urusan para anggotanya dalam permasalahan ibadahnya. Karena itu,

PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah tempat bernaung dan bersatunya

umat Tao di Indonesia. Di Kota Semarang ini PUTI terbentuk pada tanggal 3

Januari 2001, yang diketuai oleh Edhy Prasetyo Hartono. Organisasi PUTI ini

memiliki kegiatan sosial, seperti: bakti sosial untuk musibah gempa dan gunung

meletus, pemberian bantuan alat-alat tulis bagi anak-anak sekolah kurang mampu,

dan pemberian sembako bagi orang-orang miskin, donor darah, dan sebagainya.

Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) ialah suatu organisasi yang

bergerak dibidang sosial yang memiliki kegiatan antara lain donor darah,

kunjungan ke panti jompo dan yatim piatu, serta berpartisipasi dalam membantu

korban bencana alam. Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) memiliki visi dan

misi sebagai berikut:

1) Visi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):

Menggalang persaudaraan antar umat Tao di seluruh Indonesia untuk

58

menciptakan sinergi dengan memperhatikan keselarasan dan

keharmonisan hubungan antar umat beragama di Indonesia, untuk

mengisi pembangunan bangsa dan negara Indonesia secara proaktif dan

positif.

2) Misi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):

Mengkordinasi dan merangkum aspirasi umat Tao Indonesia demi

tegaknya persatuan dan persaudaraan diantara penganut Tao dari

berbagai macam aliran dan persaudaran demi terciptanya komunikasi,

saling pengertian dan keselarasan gerak dalam kegiatan keagamaan

maupun kegiatan sosial untuk turut mewujudkan pembangunan manusia

Indonesia yang ber-Ketuhanan dan berkepribadian luhur seutuhnya.

Melalui paguyuban inilah, mereka umat Tao membahas pendirian tempat

ibadah agama Tao dan akhirnya mereka dapat membangun rumah ibadah klenteng

yang dikenal dengan “Sinar Tao” di Jl. Madukoro Blok AA/BB Semarang.

Lembaga keagamaan ini telah terdaftar di Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu

dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 15 Desember 2003.

Kemudian kelenteng ini diresmikan oleh Drs I Wayan Sanjaya, M. Si (Dirjen

Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha) pada tanggal 18 Januari 2004.

Meskipun klenteng ini secara administratif dibawah naungan TITD yang terdata

di Kementerian Agama Wilayah Jawa Tengah, tetapi pembinaan agama Tao

dilakukan melalui Majlis Tri Dharma Indonesia (MTI) yang berpusat di Lampung.

Hal ini dikarenakan hanya majelis inilah yang dianggap bisa memberikan

pembinaan agama Tao kepada umat di Kelenteng “Sinar Tao” di Semarang.

59

Jadi, kelenteng bukan saja merupakan tempat ibadat yang mampu

memenuhi kebutuhan spiritual umatnya, namun ia juga sekaligus merupakan pusat

kebudayaan Cina, serta pusat kegiatan dan interaksi sosial para warga etnik

Tionghoa, yang secara psikologis merasa berada di rumah sendiri. Bagi warga

etnik Tionghoa, melestarikan kelenteng adalah ibarat mempertahankan rumahnya

sendiri18

.

Umat Tao di Semarang beribadah di Wan Fu Gong Dao Guan atau sering

disebut sebagai Tempat Ibadah Sinar Tao. Tempat Ibadah Sinar Tao didirikan

pada tahun 2002 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat

Hindu & Budha, Bapak Drs. I Wayan Suarjaya, M.Sc. pada tanggal 18 Januari

2004.

Wan Fu Gong merupakan kelenteng Tao di Semarang, meski demikian

umatnya juga berasal dari kota-kota di Jawa Tengah. Dao Guan Dao Jia (tempat

ibadah agama Tao) didominasi warna merah dan kuning. Ditinjau dari bentuk dan

bahan strukturnya cukup modern yakni menggunakan pipa besi sebagai konstruksi

atapnya, sehingga bisa dikatakan bahwa tempat ibadah ini mempertimbangkan

“ramah lingkungan”19

.

Kategori untuk tempat ibadah ini ialah Dao Guan, yang bernama Wan Fu

Gong. Dimana sesuai dengan kategori Dao Guan, seperti halnya di negara yang

lainnya, yaitu merupakan sebuah tempat beribadah dan penyelenggaraan upacara

18

Tjan K. 2007. Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma. Semarang: Benih

Bersemi. Hlm. 10-11. 19

Seputar Semarang, 2007, Sinar Tao: Peringatan Kebesaran Tai Shang Lao Jun,

Semarang, Edisi 196 Tahun IV. Hlm. 11.

60

ritual agama Tao, disamping itu juga memberikan bimbingan kerohanian berupa

penjabaran ajaran agama Tao pada umatnya serta memberikan pelayanan-

pelayanan lainnya pada umatnya seperti upacara pengangkatan anak (Kwe-pang

anak), upacara bersyukur, upacara pemberkatan pernikahan, dan upacara

kematian. Wan Fu Gong Dao Guan dapat dikatakan merupakan yang pertama dan

satu-satunya Dao Guan yang didirikan di Jawa Tengah, dimana sebagai tuan

rumahnya adalah Maha Dewa Tai Shang Lao Jun.

Tempat Ibadah Sinar Tao merupakan sebuah tempat ibadah bagi umat Tao

di Semarang dan sekitarnya dan memiliki ciri khas yaitu kesemua sosok Dewa

dan Dewi nya merupakan Dewa Dewi yang dipuja oleh umat Tao. Kegiatan dan

pengelolaan dari tempat ibadah ini dilakukan oleh Yayasan Sinar Tao Semarang

dan juga didukung oleh Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) DPC Semarang

dan mendapat bimbingan kerohanian dari Majelis Tri Dharma Indonesia yang

berpusat di Jakarta.

Organisasi keagamaan bagi umat Tao awalnya memang menjadi satu

dengan MATRISIA (Majelis Tri Dharma Indonesia) bersama dengan agama

Khonghucu dan Buddha. karena agama Tao dan Khonghucu tidak dianggap

sebagai agama maka pelaksanaan pembinaannya berada di bawah Perwalian Umat

Budha Indonesia (Walubi).

Walubi tediri dari berbagai macam organisasi Budha Dharma/Shangha-

Shangha, diantaranya adalah MATRISIA, MAPANBUMI (Majelis Pandita Budha

Dharma Indonesia), MAJABUMI (Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia),

61

Majelis Agama Budha Dharma Kasogatan Indonesia, Majelis Agama Budha

Maitreya Indonesia (MABUMI).

Diawali dengan Resolusi MPRS No. III/Res/MPRS/1966 tentang

Pembinaan Kesatuan Bangsa yang memberikan perhatian penuh terhadap suatu

kondisi keagamaan yang ada di negara Indonesia, yang diungkap dalam Pasal 1

sebagai berikut:

(1) Mengintensifkan pendidikan Agama sebagai unsur mutlak untuk nation

dan character building di semua sekolah dan lembaga pendidikan,

dengan memberikan kesempatan yang seimbang;

(2) Melarang usaha penambahan dan pengembangan doktrin-doktrin yang

bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme- Leninisme

(Komunisme).

Resolusi ini memberikan gambaran bahwa pendidikan keagamaan sangat

penting dalam menjaga stabilitas pertahanan keamanan nasional Indonesia yang

sempat terganggu oleh insiden G 30 S PKI, PKI sebagai partai yang memiliki

kecenderungan ideologi politik kiri (komunis) dianggap lekat dengan budaya

China karena komunisme saat itu berjaya di RRC (Republik Rakyat China).

Imbasnya segala hal yang berbau China menjadi seolah-olah adalah komunis,

inilah yang menjadikan agama Tao direduksi maknanya hanya menjadi sebuah

aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berlakunya Inpres No.14

Tahun 1967 tentang Adat Istidat tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat

Cina mengharuskan pelaksanaan kegiatan ibadat “agama Cina” terbatas dalam

62

lingkungan keluarga dan perseorangan, dengan adanya ketentuan ini maka umat

Tao (dan Khonghucu) dibatasi laku peribadatannya.

Pemerintah yang saat itu menjustifikasi Negara Cina memiliki pengaruh

yang besar terhadap hadirnya komunisme di Indoensia, menginginkan stabilitas

nasional sesuai dengan karakter budaya lokal dan disertai kondisi spiritual

keagamaan yang masif dalam setiap kegiatan pemerintahan demi terwujudnya

cita-cita bangsa.

Melalui TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia menyatakan

kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha dan oleh karenanya

manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai

dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar Kemanusiaan

Yang Adil dan Beradab sesuai TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman

Penghyatan dan Pengamalan Pancasila alinea 4.

TAP MPR No.II/MPR/1978 kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri

Agama dengan memberikan interpretasi subyektif yang menyatakan bahwa aliran

kepercayaan adalah bukan agama dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun

1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan, Instruksi

Menag ini menjadi landasan pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam yang

merasa perlu dikeluarkannya petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran

formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221a Tahun 1975 Tentang

Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan

63

Dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan Serta Peraturan

Pelaksanaannya.

Hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978

No.K-212/Set.Neg/10/1978 itu ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri

dengan dikeluarkannya surat edaran pada semua Gubernur dan Bupati di seluruh

wilayah Indonesia, disinilah masalah mulai timbul SE Mendagri No.477/74054

tanggal 18 November 1978 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada

Lampiran SK.Mendagri No.221a Tahun 1975, memberikan interpretasi yuridis

bahwa yang dimaksud dengan agama terbatas hanya pada lima agama saja yakni

Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Budha. Surat edaran inilah yang

kemudian menjadi dasar pengakuan oleh negara terhadap lima agama,

implikasinya diluar kelima-nya tersebut dapat dikatakan hanya sebagai sebuah

“aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan saat itu agama

Khonghucu dan agama Tao adalah yang termasuk kedalam kategori ini

Oleh karena itu, Kelenteng “Sinar Tao” ini tetap di bawah naungan TITD

sehingga menggnakan altar “Tri Nabi” yakni nabi Kong Cu, Nabi Lao Tse, dan

Budha Sakyamuni/Gautama. Hanya saja, pembinaan agama (Tao) nya dilakukan

melalui Majelis Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di lampung, bukan

Majelis Tao Indonesia (MTI) yang berpusat di Medan. Perlu diketahui bahwa

kelenteng di Jawa Tengah yang mendapat pembinaan MTI Pusat Lampung

hanyalah kelenteng “Sinar Tao” di Jl Madukoro Semarang dan kelenteng “Sinar

Kasih Tao” di Jl. Sriwijaya, Magelang. Di dalam kelenteng ini, patung-patung

atau arca-arca yang lebih dominan adalah patung atau arca dewa/dewi yang

64

disembah oleh umat Agama Tao. Hal ini terlihat pada kelenteng “Sinar Tao” yang

memiliki 13 patung, yakni: Maha Dewa Dai Sang Lauw Cin, Dewa Erl Lang

Shen, Dewa Jay Shen Ya, Dewa Fuk Tek Cen Shen, Dewa Shien Thien Sang Tie,

Dewa Pau Shen Ta Tie, Dewa Zhen Huang Lauw Yek, Dewa Kwan Shen Tie Cin,

Dewa Kwang Tek Cuen Huang, Dewi Ciu Thien Sien Nie, Dewi Thien Sang Shen

Muk, Dewa/Dewi Hek Hek Erl Sien, dan Dewa Yek Shia Lau Ren.

Jika dilihat ornamennya, maka Kelenteng Sinar Tao dan Kelenteng Sinar

Kasih Tao tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng lainnya yang lebih mistis,

patung-patungnya kecil, dan suasana di dalamnya terkesan gelap dan angker.

Berbeda dengan kelenteng “Sinar Tao” atau kelenteng “Sinar Kasih Tao” yang

memiliki arsitektur modern dan elegan, sehingga seluruh ruang terkesan terang,

terbuka, dan bercahaya. Kemudian ornamen-oranamen yang mencolok hanya

pada pintu gerbang depan yang terdapat dua naga (kanan dan kiri), dan depan

pintu masuk yang terdapat patung singa atau killin, dan dua tiang besar di depan

pintu masuk terukir ornamen naga juga. Sedangkan di atas atap rumah hanya

berbentuk genteng biasa, tidak seperti kelenteng-kelenteng lainnya yang terdapat

ornamen patung naga dan atau killin. Meski patung-patung didominasi oleh

dewa/dewi agama Tao, tetapi tidak menutup kemungkinan agama lain (Konghucu

dan Budha) melakukan pemujaan/ sembahyang di kelenteng ini.

Di dalam klenteng ini terdapat simbol ajaran Tao yang sangat dogmatis,

yakni simbol Tao (Tai Ji, artinya keagungan yang tak terbatas) yang berbentuk

lingkaran di bagi menjadi dua bagian secara simetris, yakni satu bagian yang

terang dan bagian lainnya yang gelap. Bagian yang gelap melambangkan “Yin” (-

65

) dan bagian yang terang melambangkan “Yang” (+). Yin melambangkan malam,

gelap, bumi, air, dingin, batin, feminin, dan sebagainya. Sedangkan “Yang”

melambangkan siang, terang, langit, panas, keras, fisik, maskulin, dan sebagainya.

Keberadaan “Yin” dan “Yang” adalah saling berlawanan tetapi juga saling

membutuhkan, sehingga bersatunya “Yin” dan “Yang” dalam satu lingkaran

sebagai lambang harmoni, yang disebut kesempurnaan dalam Tao (Tai Ting).

Dalam pandangan Huston Smith20

, asas Yinyang menunjukkan segala

pertentangan yang mendasar dalam hidup ini, seperti: baik-jahat, aktif-pasif,

positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan

seterusnya. Akan tetapi, asas ini merupakan dualisme yang berlawanan tetapi

tidak bertentangan secara mutlak. Karena itu, asas Yinyang ini pada hakikatnya

menolak segala dikhotomi yang tajam, sebab asas-asas ini mengandung makna

saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya.

Pada saat ini, umat Tao di Kota Semarang mengalami perkembangan yang

lebih banyak didominasi oleh orang-orang dari daratan Cina. Menurut Tan I Ming

(Wawancara, tanggal 20 Mei 2014), bahwa jumlah umat Tao di Kota Semarang

berkisar antara 500 orang sampai 600 orang. Hal ini terlihat pada saat perayaan

hari kebesaran Kelenteng Sinar Tao, yang banyak dihadiri umat Tao dari berbagai

daerah, seperti: Yogjakarta, Magelang, Temanggung, Solo, Ambarawa, Salatiga,

Temanggung, Kudus, dan Jepara. Akan tetapi, umat Tao yang aktif mengikuti

kegiatan dan sembahyang di kelenteng Sinar Tao ini hanya sekitar 100 s/d 150

orang. Jumlah umat sebanyak ini dapat dilihat ketika terjadi upacara sembahyang 20

Smith, Huston. 1999. Agama-Agama Manusia (Terj.). Saafroedin Bahar. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 247.

66

atau pemujaan dewa/dewi pada setiap tanggal 1 dan atau tanggal 15 bulan Imlek.

Namun, jika dilihat pada upacara sembahyang atau pemujaan dewa/dewi pada hari

minggu maka umat Tao hanyab berkisar antara 40-50 orang

3.4. Ajaran Agama Tao

Agama, secara umum dapat di definisikan sebagai seperangkat aturan dan

peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya

dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan

mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Bagi penganutnya, agama

bersisikan ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi

manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akherat. Karena

itu, Parsudi Suparlan21

mengatakan bahwa agama merupakan sistem keyakinan

dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan diwujudkan dalam tindakan-

tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual

ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.

Dalam hal ini, ajaran agama Tao secara umum dapat dijelaskan melalui

definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan. Definisi agama itu

adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes.

Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed,

code, cult, dan community yang akan diuraikan sebagai berikut:

21

Suparlan, Parsudi. Loc cit. hlm.v.

67

“Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that

goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life; Code of behavior or

ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one

aspect or another of the Creed; Cult means all the ritual activities that relate the

follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly.

Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward

representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter;

Community-structure refers to the relationship among the followers. This can

vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through

a”republican” structure as Presbyterians have, to a monarchical structure, as

with some Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe”.

3.4.1. Tao Ditinjau dari Definisi Kepercayaan (Creed)

1) Kepercayaan kepada Tuhan

Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak

dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa

atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti

misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya.

Creed adalah pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut

Yang Mutlak itu yang berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya

Yang Mutlak itu sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang

disebut Non-Theos. Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa,

68

yang disebut Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa

berarti bukan illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja.

Tao meyakini adanya Tuhan, akan tetapi konsep Tuhan tidak mudah

difahami dengan akal-budi manusia. Untuk menjelaskannya, perlu difahami

konsep “Tao” atau “Dao” dalam metafisika Taoisme. Konsep Tao atau Dao dapat

diartikan sebagai “kebenaran sejati” atau “kebenaran yang paling hakiki”. Tao

juga dapat diartikan sebagai “keberadaan” atau “jalan kehidupan” (way of life),

sehingga siapa saja yang bisa menyelaraskan dengan Tao maka berbahagialah

hidupnya. Selain itu, Tao juga bisa diartikan sebagai sumber atau asal usul alam

semesta.

Dalam kitab Tao Te Tjing disebutkan bahwa Tao adalah sumber segala

sesuatu. Dan segala sesuatu muncul dari satu sumber yang sama. Langit yang luas,

bumi yang kukuh, alam yang indah, lembah yang subur, semuanya berasal dari

yang satu itu. Menurut Tjan K22

bahwa kebenaran sejati dan atau sumber segala

sesuatu adalah hakikat Tuhan Yang Maha Esa.

Tao menggunakan lambang Ba Kua Dai Chi sebagai lambang keagamaan.

Ba Kua melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta dan juga

melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru dan 8 arah (Ba). Dai Chi

merepresentasikan hakikat substansi Tao dimana lambang Yin menunjukan kesan

“tiada”, lambang Yin menunjukkan sifat Tao yang tidak berwujud, tidak bernama,

Maha Agung, dan tiada berbatas. Sedangkan lambang Yang menunjukkan “ada”,

22

Tjan K., 2013, Ajaran Dao Secara Ringkas, dalam bahan Penataran Dharmaduta

Tridharma, Semarang : PITD se- Indonesia. Hlm. 15.

69

lambang ini mendeskripsikan fungsi dan karya dari Tao yang merupakan awal

dari segala yang ada di alam semesta, dengan kata lain lambang ini

mereprsentasikan sifat Maha Pencipta dan Maha Kuasa.

Tuhan, dalam agama Tao bukan sosok dan bukan sebuah nama, melainkan

keberadaan yang absolut (The Existence and The Absolute). Dia adalah satu-

satunya yang ada, tak ada lainnya dan tak ada saingannya, Dia dinamakan “Taiji”

yang melambangkan dao sebagai ke-ada-an, ke-satu-an, dan atau ke-esa-an

mutlak. Dari Yang Esa (The One) ini melahirkan “Yang Dua”, yakni “Yang” dan

“Yin”. Tjan K mengatakan bahwa Yin Yang adalah sifat dualisme segala ciptaan,

yakni aspek positif (yang) dan aspek negatif (yin). Kedua sifat ini bisa bersifat

saling melengkapi, saling bergantian, saling berlawanan, dan saling menandingi,

seperti: ada-tiada, pria-wanita, siang-malam, tinggi-rendah, baik-jelek, dan

sebagainya23

Dari Yang Dua tersebut akan melahirkan Yang Ketiga (Shan Chai), yakni

bumi, langit, dan manusia, dan dari Yang Ketiga melahirkan semua makhluk

(kesatuan alam semesta). Karena itu, konsep Tuhan dalam agama Tao sebenarnya

tidak mengenal istilah penciptaan, melainkan melahirkan, yakni Yang Satu (Tao)

melahirkan Yang Dua (Yang dan Yin), dan yang Dua melahirkan Yang Tiga

(Kesatuan Yang dan Yin atau kesatuan alam semesta dan manusia). Hal ini

sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Liping (2005:96): Tao creates one,

One creates two, Two creates three, And three creates everything in the world

23

Tjan K & Kwa Tong Hay, 2010, Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa,

Yogjakarta : Penerbit Kanisius Hlm. 38.

70

(Tao melahirkan yang satu, Yang satu melahirkan yang dua, yang dua melahirkan

yang tiga, dan yang tiga melahirkan segala sesuatu yang ada di dunia).

Tuhan, atau sebut nama apa saja yang diberikan kepada-Nya tidak pernah

mengharapkan sesuatu, dan tidak pernah menuntut sesuatu dari manusia. Akan

tetapi, manusia terkadang memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga mencari

perlindungan kepada “Sang Penguasa Alam”. Karena itu, mulailah manusia

berusaha mengadakan hubungan yang lebih pribadi dengan menjalankan

pemujaan-pemujaan dan atau persembahyangan untuk memohon perlindungan.

Tuhan, dalam agama Tao biasanya disebut sebagai “Tian Gong” atau “Thian

Kong” dalam dialek Hokkian). Bagi umat Tao, Thian adalah penguasa tertinggi

alam semesta ini, sebab itu kedudukanNya berada di tempat yang paling agung.

Dengan demikian, Tao atau Dao merupakan realitas tertinggi yang

dibayangkan sebagai lambang Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Lika24

(2012:88),

Tao atau Dao adalah Dzat Yang Maha Agung, Yang Mahabesar, absolut, kekal,

dan abadi. Dia menciptakan dan atau mengatur seluruh isi alam semesta.Dia tidak

berawal dan tiada berakhir. Dia maha adil dan maha pengasih tanpa pandang bulu,

sehingga semua manusia di hadapan Tao atau Dao adalah sama, tidak ada yang

lebih tinggi antara yang satu dengan lainnya. Batasan yang membedakannya

adalah apakah manusia mampu mengamalkan ajaran Dao (Xiu Dao) sampai

mendapatkan Dao dan bersatu dengan-Nya.

24

Lika, ID., 2012, Dao De Jing, Kitab Suci Utama Agama Tao, Jakarta : Penerbit

Kompas Gramedia. Hlm. 88.

71

Sebagaimana yang terjadi di Indonesia ketika negara memberikan

penilaian terhadap agama-agama tertentu dengan perspektif yang berbeda dari

keyakinan umat, tolok ukur yang digunakan adalah nilai-nilai moral yang ada

pada agama tersebut memiliki perbedaan yang mungkin jamak ditemui pada

agama yang “dikehendaki” oleh negara (Islam, Katolik, Kristen Protestan,

Hindhu, dan Budha) yang memunculkan stigma bahwa “keyakinan umat” tidak

dapat disebut sebagai “agama” namun hanya sebagai falsafah terhadap Tuhan atau

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Jika ditilik lebih lanjut sebenarnya makna kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa adalah memang suatu pemikiran filosofis tentang keberadaan

Tuhan dan ini merupakan esensi dari semua agama yang ada di dunia, lantas

keengganan negara untuk mengakui agama Tao adalah suatu pandangan subyektif

yang muncul karena alasan-alasan berlatar-belakang prasangka etnik yang telah

mengakar di Indonesia sejak lama.

Negara sebagai pengayom bagi setiap warga negaranya memberikan

perlindungan, jaminan dan pengakuan terhadap agama atau keyakinan mereka.

Agama menjadi salah satu hak paling asasi bagi manusia, dimana karena sifat

agama itu sendiri yang sakral dan sangat bergantung pada keyakinan dan

kepercayaan dari setiap individu yang begitu personal.

2) Kepercayaan terhadap Nabi dan Dewa/Dewi

Agama Tao mempercayai adanya dzat yang Maha Agung, Maha Esa,

Maha Sempurna yang disebut dengan Tian atau Dhian (Tuhan), namun agama

72

Tao juga meyakini akan adanya dewa-dewi. Agama Tao percaya bahwa sosok

mortal manusia dapat menjadi dewa karena sanggup berbuat jasa yang besar bagi

masyarakat ataupun orang lain, kategori perbuatan-perbuatan baik tersebut,

sebagai berikut:

a. Bisa memberikan keteladanan yang luar biasa dalam perilaku kebijaksanaan

untuk umat manusia;

b. Berjasa besar dalam membangun/memperjuangkan kedamaian bagi negara dan

masyarakatnya;

c. Bisa mencegah/menanggulangi bencana yang membahayakan umat manusia;

d. Sanggup menyumbangkan nyawanya demi membela keyakinan tentang

kebenaran sejati.

Di dalam Agama Tao juga terdapat kepercayaan terhadap nabi, yakni Nabi

Lao Zi. Ia dikenal sebagai perintis ajaran Taoisme dan sekaligus penulis kitab

terbesar agama tao, yakni kitab “Tao Te Ching”. Masyarakat pada saat itu sangat

menghormati Nabi Lao Zi karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya

sehingga banyak orang yang meminta nasehat kepadanya. Karena itu, nama Lao

Zi dikenang oleh masyarakat sepanjang masa, baik sebagai seorang filosuf yang

dihormati dan sebagai seorang suci atau dewa yang sangat dimuliakan.

Dia dilahirkan di negeri Cina sekitar tahun 640 SM, yang konon berusia

sekitar 150 – 200 tahun. Usia yang sepanjang ini diyakini dapat dicapai oleh

umatnya karena ia hidup di jalan Tao sebagai prinsip dasar hidupnya. Namanya

sendiri adalah Erh, sedangkan nama keluarganya adalah Li, sehingga nama Lao Zi

seringkali disebut Li Erh. Bahkan, nama Lao Zi seringkali disebut sebagai “putra

73

tua”, “sahabat tua”, dan atau “sang guru tua”. Hal ini dimaksudkan sebagai gelar

penghormatan dan kecintaan kepada Lao Zi yang mengembangkan ajaran Tao

untuk menuju kesatuan dan keselarasan dengan alam.

Semasa mudanya, Lao Tzi pernah bertugas sebagai seorang pegawai

kerajaan pada masa Dinasti Chou (111-255 SM). Di kerajaan ini, ia diberi tugas

untuk mengelola dokumen-dokumen dan surat-surat kuno yang bersejarah, serta

buku-buku suci dan rahasia. Dengan pengalamannya ini, Lao Zi dapat

mempelajari sejarah dan data-data peninggalan sejarah serta memperhatikan

kejadian-kejadian di sekelilingnya, termasuk memperhatikan keadaan sosial dan

politik kerajaan itu. Dalam masa kerjanya, ia menekankan dan sekaligus

mempraktekkan sebuah kehidupan yang jauh dari keinginan diri atau hasrat

semata, yaitu suatu kehidupan yang murni dan bersih. Keadaan yang demikian ini

sangat membantu Lao Zi untuk membentuk sebuah teori atau ajaran, yang dikenal

sebagai aliran Taoisme.

Dalam agama Tao, ada tiga tokoh yang dimuliakan sebagai leluhur agama

Tao, yakni Kaisar Kuning (Huang Di), Lao Zi, dan Zhang Ling. Kaisar kuning

diakui sebagai cikal bakal orang Cina dan sekaligus diakui sebagai cikal bakal

Taoisme. Lao Zi adalah penerus dan pengembang ajaran Tao yang dirintis oleh

Huang Di, sehingga ia dikenal sebagai penggubah Taoisme. Kemudian ia dikenal

sebagai Nabi Lao Zi yang mengajarkan kitab kepada para pengikut-pengikutnya,

yakni “Tao Te Ching”. Kemudian Zhang Ling dikenal sebagai Zhang Dao Ling

(guru langit) sebagai pendiri sekte ortodoks Tao. Sekte ini mengajarkan umatnya

74

untuk melakukan amal secara luas dan menjadikan Tao sebagai agama orang

Cina.

Sebagai ciri umum agama Tao adalah memuja arwah di alam semesta,

seperti langit, bumi, binatang, gunung, sungai, angin, orang suci, leluhur, dan

sebagainya. Bahkan, pemujaan terhadap arwah yang menghuni tubuh manusia,

seperti roh jantung, roh paru-paru, roh hati, dan roh ginjal. Pemujaan yang

termulia adalah Tao, tetapi Tao sendiri di luar jangkauan akal manusia. Karena

itu, agama Tao memanusiakan Tao menjadi tiga maha roh (Trisuci) yang bernama

“San Qing (Tiga Mahasuci), yakni Yuan Shi, Ling-bao, dan Dao-de. Mereka

itulah dikenal sebagai dewa tertinggi dalam agama Tao, yakni Yu Qing, Shang

Qing, dan Thai Qing. San Qing ini sebagai sumber segalanya, tetapi mereka tidak

menguasai alam semesta, sebab yang menguasainya adalah Shang Di, yakni Thian

Gong, yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tjan K, 2010:50-51).

Itulah sebabnya agama Tao dapat dikatakan sebagai suatu agama

polytheisme yang menyembah dewa-dewa. Hal ini sebagaimana terlihat di

Kelenteng Sinar Tao Semarang, dewa/dewi yang dipuja oleh umat Tao meliputi:

dewa langit yang divisualisasikan sebagai Thian Kung, Dewa Thai Shang Lao

Yun sebagai sang Maha Dewa, Dewa Cheng Huang Lao Ye, Dewa Xuan Tian

Shang Di, Dewa Bao Sheng Da Di, Dewa Fu De Zheng Shen, Dewa Guang Ze

Zun Wang, Dewa Er Lang Sen, Dewa Jiu Tian Yuan Nu, Dewa Tian Shang Sheng

Mu, Dewa Cai Shen Lao Ye, Dewa Guan Sheng Di Jun, Dewa Yue Yia Lao Ren,

dan Dewa He He Er Xian. Dewa-dewa tersebut, biasanya dipuja oleh umat Tao

75

pada setiap tanggal 1 dan tanggal 15 bulan Imlek (Lunar) dan pada hari-hari

kebesaran dewa/dewi.

3.4.2. Tao Ditinjau dari Definisi Tindakan/Perilaku (Code)

Code merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat

adanya kepercayaan (creed). Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan

pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori

tindakan etis. Code yaitu seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan

dalam Creed tadi seperti harus berbuat kebajikan dan sebagainya.

Agama Tao memiliki ajaran moralitas yang sangat tinggi, yang tercermin

dalam prinsip dasar Tao, yakni “Kesetiaan” dan “Bakti”. Agama Tao mengajarkan

umatnya untuk menghormati langit dan bumi, menghormati leluhur, mengasihi

sesama, dan berdamai dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, agama Tao

mengajarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan damai. Karena itu, pengembangan

diri bagi umat Tao meliputi dua aspek, yakni aspek ke dalam dan aspek keluar.

Dalam aspek keluar, agama Tao mengajarkan bahwa seseorang harus setia,

berbakti, berbuat kebajikan dan cermat. Dalam aspek ke dalam, agama Tao

mengajarkan bahwa seseorang harus jujur, teguh memegang prinsip yang baik dan

benar. Hal ini dimaksudkan untuk memajukan diri sendiri, membantu orang lain

tanpa ada batasan apapun.

Berbuat baik sangat ditekankan dalam agama Tao, sebagaimana yang

dikatakan oleh Taw Taubing (Wawancara, tanggal 23 Mei 2014), sebagai berikut:

76

“Dalam teks Tai Shang Gan Yin Pian disebutan bahwa bila seseorang telah

mencapai Tao, maka ia akan menjadi yang terdepan dalam berbuat

kebaikan, welas asih pada orang lain, berdedikasi tinggi pada tugasnya,

membantu orang yang patut dibantu dengan tanpa pamrih, hormat pada

orang tua, memberi perhatian yang besar kepada yang muda, tidak

merusak leingkungan termasuk tanah, tumbuh-tumbuhan dan serangga,

berempati dan berusaha membantu kepada orang yang membutuhkannya,

berempati dan berusaha menyelamatkan kepada orang-orang yang sedang

dirundung kemalangan, memandang keberuntungan orang lain sebagai

keberuntungannya sendiri, dan sebaliknya memandang kemalangan orang

lain sebagai kesusahan dirinya sendiri”.

Ajaran etika tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga

terwujud sikap dan perilaku yang baik ketika berhubungan dengan sesama umat

Tao ataupun masyarakat pada umumnya. Dengan etika semacam ini, maka akan

tercipta hubungan yang harmonis dan teratur ntara sesama umat beragama. Dalam

kehidupan sehari-hari, etika semacam ini terlihat pada cara-cara berpakaian,

berbicara, berjalan, bahkan makan dan tidur. Semua aspek kehidupan ini tidak

hanya dilakukan oleh Taois (umat Tao), melainkan juga pendeta Tao. Hal ini

disebabkan oleh tanggung jawab seorang pendeta Tao yang harus memiliki moral

dan mental yang baik dibandingkan umat biasa.

Oleh karena itu, seorang pendeta Tao harus memenuhi aturan atau

ketentuan etika agama Tao agar mencapai tingkat religiusitas yang lebih tinggi.

Hal ini dimaksudkan agar seorang pendeta Tao tidak melakukan perbuatan yang

tidak baik, perkataan dan perilaku yang membahayakan moral. Keberadaan

aturan ini pada hakikatnya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan

kemurnian dan integritas umat ataupun pendeta agar selalu menuju di jalan Tao.

Etika semacam ini sebenarnya bersumber pada ajaran “Yin Yang” yang

menyebutkan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang

77

saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung

satu sama lain. Ajaran ini kan dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang

harmonis dan damai.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan hal agama menjadi menarik

untuk disimak dimana kita tahu bahwa berbicara tentang agama tidak akan

terlepas dari hal-hal yang bersifat spiritual, dimana sesuatu yang sacred (suci),

ghaib, ataupun mungkin mistis ada di dalamnya. Namun semua ini takkan lepas

dari apa yang disebut sebagai “umat”, golongan yang mendukung dan meyakini

akan keberadaan agama sebagai sarana pendekatkan diri pada sang Causa Prima

(biasa disebut dengan Tuhan, Dewa, Allah) yang bersifat transedental dan

tentunya berlawanan dengan keprofanan manusia.

Keyakinan umat akan keberadaan Tuhan dimanifestasikan kedalam ritus

peribadatan yang telah dinisbatkan dalam Kitab Suci yang bersumber dari wahyu-

Nya, ritus-ritus ini dapat bersifat individual maupun komunal. Agama menjadi

suatu pranata nilai yang memberikan pedoman bagi manusia (umatnya) dalam

menjalani kehidupan dunia dan pencapaian kesempurnaan di akhirat, karenanya

pelaksanaan nilai-nilai keagamaan ini disertai pula dengan sanksi yang bersifat

transeden berupa dosa dari Tuhan.

Bagi manusia peran agama sebagai pedoman dalam mempertanyakan

keberadaan dirinya sendiri serta alam semesta tidak dapat dipisahkan dari

pandangan hidup yang diwarnai oleh perasaan sakral (suci) sehingga sulit bagi

orang lain diluar lingkungan agama tersebut melihat bagaimana agama

mempengaruhi perilaku manusia, dimana pemeluk agama diliputi oleh keyakinan,

78

kesetiaan, dan kekaguman terhadap nilai-nilai moral dalam agama (Nothingham,

2002:4). Akan sangat bijaksana bagi kita untuk tidak menilai agama dari

perspektif personal kita yang tentunya akan sangat berbeda dengan para

penganutnya, dimana tolok ukur agama berada pada religusitas umat dari agama

itu sendiri.

Sumber-sumber kebajikan bagi umat Tao tertuang dalam kitab suci yang

menjadi pegangan hidup bagi umat Tao. Agama Tao juga mempercayai adanya

kitab suci yang bernama “Tao Te Ching”. Kitab ini merupakan pemikiran Nabi

Lao Zi yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika bagi umat manusia yang

ditulis pada abad ke 6 SM. Penulisan kitab ini terdiri atas 5.000 kata, dan tersusun

dalam 81 bab, yang terdiri atas dua bagian, yakni: 1). bagian pertama terdiri atas

37 bab yang menerangkan tentang Tao, yang diyakini ada dimana-mana dan asal

mula dari segala sesuatu yang di alam ini; 2). bagian kedua terdiri atas 44 bab

yang menerangkan tentang Te (kebajikan), yakni daya dan atau kekuatan yang

diperoleh dengan mengikuti Tao. Karena itu, isi kitab ini pada prinsipnya adalah

mengembangkan jalan Tao agar selaras dengan kehidupan alam.

Selain kitab Tao Te Ching tersebut, agama Tao juga mengenal kitab lain,

yakni Kitab Chuangzi dan Kitab Liezi. Kitab Chuangzi merupakan kumpulan 33

bab essai yang terdiri atas tiga bagian, yakni bab dalam, bab luar, dan bab lain-

lain. Kitab ini lebih banyak diperuntukkan untuk rakyat jelata sebagai pedoman

hidup mereka dibandingkan dengan para penguasa. Kitab Liezi merupakan

kumpulan cerita-cerita dan hiburan-hiburan dalam filsafat. Kitab ini juga berisikan

bahan-bahan yang ditulis selama 600 tahun, terutama yang berkaitan dengan

79

ajaran-ajaran untuk memahami agama Tao. Secara umum ajaran dari agama Tao

bersumber dari Kitab Suci Tao De Jing (Kitab tentang Kebijakan dan Kebajikan),

namun agama Tao juga memiliki sejumlah kitab suci lainnya yang harus diyakini

oleh umatnya, antara lain:

a. Dai Sang Lao Jun Zhen Jing (Kitab Suci Maha Dewa Dai Sang Lao Jin);

b. Er Lang Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Er Lang Shen);

c. Fu Tek Zhen Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Fu Tek Zhen Shen);

d. Wang Di Zhi Jing (Empat Kitab Kaisar Kuning(Huang Di);

e. Dai Bing Jing (Kitab Dai Bing atau Kitab Aman Sentosa);

f. Qing Jing Jing (Kitab Hening Tanpa Pamrih);

g. Shen Tian De Tao Zhen Jing (Kitab Suci demi Mendapat Tao dan Naik Ke

Langit).

Kitab-kitab tersebut pada hakikatnya adalah tiga kitab klasik Tao yang

saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Hal ini terlihat pada pembukaan

kitab Tao Te Ching yang menyebutkan:

“Tao yang dapat dijabarkan bukanlah Tao yang sejati; nama yang dapat

diberikan pada Nya, bukanlah arti yang sesungguhnya. Dia adalah tak

bernama, dan tak berwujud, serta tak terjangkau oleh pemikiran normal.

Tao adalah sumber dari semua kehidupan, sesuatu yang bukan pribadi

tetapi bukan Dewa/Roh. Tao adalah sesuatu yang tak bernama tetapi

berada di belakang layar alam semesta ini. Kehidupan ini sinonim dengan

Keberadaan, dengan Tuhan, dengan Allah” (Anand Krisna, 1998: xv)”.

Selama ini banyak hal-hal negatif yang berhembus tentang agama Tao di

Indonesia, selain karena pengaruh stigma yang diterima etnik Cina juga adanya

kesesatan informasi tentang keberadaan agama Tao. Agama Tao sering pula

80

dianggap sebagai ajaran mistis, misterius, dan seolah-olah enggan bersentuhan

dengan dunia luar, semua ini lebih karena minimya pemahaman masyarakat

tentang bagaimana sebenarnya agama Tao. Orang cenderung menjustifikasi

agama Tao hanya sebagai nilai-nilai filsafat karena tidak mampu menangkap

essensi ajaran Tao yang tertuang pada Kitab Suci Tao De Jing, kitab suci ini berisi

5000 kata bijak dari Lao Tzu yang sederhana namun memiliki makna yang dalam

sehingga banyak orang menilai dengan subyektifitasnya sendiri

(multiinterpretable) dan terkadang menimbulkan kesesatan pemahaman.

3.4.3. Tao Ditinjau dari Definisi Peribadatan (Cult)

Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam hubungan dengan Creed

sebagai cara upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai

tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki

kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi.

Setiap agama memiliki sistim upacara yang bertujuan untuk mencari

hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk

halus yang mendiami alam gaib. Sistim upacara ini terdiri atas beraneka-ragam

upacara dengan berbagai macam unsurnya, seperti berdoa, bersaji, bersujud,

berkorban, makan bersama, dan sebagainya25

Dalam agama Tao, sistim upacara

yang dilakukan oleh penganutnya berbentuk pemujaan atau sembahyang.

Setiap tanggal 1 dan 15 bulan (Imlek), umat agama Tao senantiasa

melaksanakan ritual keagamaan di kelenteng Sinar Tao. Pada tanggal-tanggal

25

Koentjaraningrat, Op.cit.138-139.

81

tersebut umat Tao berdatangan menuju ke Kelenteng Sinar Tao di jl. Madukoro

Blok AA/BB Semarang. Sebagian diantara mereka datang secara individual

(perorangan), dan sebagian diantara mereka datang dengan keluarganya, seperti

anak dan isterinya. Ketika datang, mereka langsung masuk ke dalam klenteng

untuk mengambil “hio” atau dupa yang telah disediakan oleh pengurus kelenteng.

Kemudian mereka langsung melakukan pemujaan/sembahyang ke dewa/dewi

agama Tao. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan pemujaan/sembahyang ini

adakalana dilakukan secara perorangan, dan adakalanya dilakukan secara

bersama/berkelompok.

Pertama-tama, pemujaan/sembahyang dilakukan di hadapan Dewa Langit,

sebagai manifestasi Tian Kong, Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pemujaan/

sembahyang di hadapan Maha Dewa Lao Zi, lalu secara berturut-turut melakukan

pemujaan/sembahyang di hadapan dewa/dewi agama Tao, sebagai-mana tersebut

di atas. Setelah itu, mereka berkumpul di tempat yang telah disediakan untuk

saling bertegur sapa, bercerita, berdiskusi, dan sebagainya. Pada saat inilah

pengurus yayasan atau tokoh-tokoh agama tao memberikan informasi-informasi

penting kepada umat, baik menyangkut masalah keagamaan ataupun masalah-

masalah lainnya, seperti: tata cara ibadah, bakti sosial, dan sebagainya. Kemudian

pertemuan diakhiri dengan pemujaan/sembahyang bersama yang dipimpin oleh

tokoh-tokoh agama Tao.

Selain itu, pemujaan/sembahyang dewa/dewi juga dilakukan pada hari-hari

kebesaran agama Tao, seperti perayaan hari kebesaran Sang Maha Dewa Lao Zi.

Di kelenteng Sinar Tao, perayaan hari kebesaran dilakukan pada tanggal 15 bulan

82

5 Imlek. Pada saat ini diselenggarakan upacara pemujaan/sembahyang bersama,

sebagaimana pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Hanya saja, masyarakat Tao

yang mengikutinya berjumlah lebih banyak. Jika pada pemujaan/sembahyang

tanggal 1 dan 15 bulan Imlek hanya diikuti sekitar 100 – 150 orang, maka pada

kebesaran ini diikuti oleh umat Tao sekitar 500 – 600 orang. Hal ini disebabkan

peserta ritual keagamaan tidak hanya berasal darai kota Semarang, melainkan dari

umat Tao di luar kota Semarang, seperti; Solo, Jepara, Kudus, Woonosobo,

Magelang, dan Temanggung.

Agama Tao dalam menghitung hari menggunakan penanggalan “Imlek”

yang merupakan hasil karya dari Khuang Cheng Zi sejak ±2703 tahun yang lalu.

Penanggalan Imlek ini menggunakan perhitungan berdasarkan peredaran bulan.

Penanggalan ini selain digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga dalam

menentukan hari-hari besar kegamaan dalam agama Tao, hari-hari besar yang

dirayakan oleh umat Tao sebagai berikut:

83

Tabel 1:

Hari-Hari Besar Agama Tao Yang Diperingati Oleh Umat Tao

Tanggal Bulan (Imlek) Keterangan Nama Dewa-Dewi

15 5 Imlek Maha Dewa Tao Thay Shang Lao Jun

19 2 Imlek Kelahiran Dewi Gwan

Yin

Gwan Yin (Welas Asih)

19 6 Imlek Naik Ke Surga

19 9 Imlek Wafatnya Dewi Gwan

Yin

9 9 Imlek Pelindung Anak Li Na Zha

24 6 Imlek Dewa Kesetiaan Gwan Gong

3 3 Imlek Penjaga Langit Xuan Thian Zhang Di

2 2 Imlek Penjaga Bumi Fu De Zheng Shen

22 4 Imlek Dewa Kekayaan Chai Shen Ye

22 2 Imlek Dewa Petani Gong De Jun Ong

23 3 Imlek Dewi Penjaga Laut Thien Shang Shen Mu

28 8 Imlek Dewa Pelindung Er Lang Zhen

9 9 Imlek Pelindung Wanita Ciu Thian Xian Nie

19 7 Imlek Penguasa Waktu Tai Su Ye

15 3 Imlek Dewa Pengobatan Bao Sheng Da Di

3 2 Imlek Dewa Pendidikan Wan Chang Tee Cin

84

Dalam menjalankan pemujaan/sembahyang kepada dewa/dewi, umat Tao

harus melaksanakan “San Li Jiu Kou”, yakni membungkuk tiga kali dan bersujud

tiga kali hingga menyentuhkan jidadnya ke matras atau lantai. Bersujud dan

membungkuk merupakan tradisi Cina untuk menunjukkan penghormatan yang

paling tinggi. Penghormatan dilakukan dengan cara melipat dua tangan di depan

perut dan menurunkannya selagi membungkukkan badan ke depan. Pada

umumnya, saat menghormati para dewa hendaknya dilakukan dengan membakar

dan memasang dupa atau hio, karena hal ini memiliki makna bahwa asap dupa

merupakan sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para

dewa/dewi.

85

Foto: Peribadatan Umat Tao

86

3.4.4. Tao Ditinjau dari Definisi Komunitas (Community)

Antara Khonghucu dengan Tao sama-sama tergabung dalam Tridharma

sebagai satu organ kesatuan hanya ada di Indonesia. Tridharma tidak pernah

mempunyai hubungan ke negara lain. Tridharma lahir karena dahsyatnya misi-

misi Agama Nasrani yang berorientasi menyedot Umat Buddha keturunan

Tionghoa pada akhir abad 19. Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee

setelah Tiong Hoa Hwee Koan gagal memelihara dan mengembangkan ajaran

Khong Hu Cu dan Beliau menganggap Khong Kauw Hwee yang didirikan di Solo

pada tahun 1918 dan di kota-kota lain kurang memasyarakat atau kurang

memberikan harapan.

Ong Kie Tjay membentuk Tempat Ibadat Tri Dharma karena klenteng-

klenteng di Jawa Timur terancam punah sebagai akibat dari persepsi yang kurang

lengkap dari Penguasa Perang Daerah terhadap klenteng yang dianggapnya

sebagai Lembaga Kecinaan yang non agama pasca G30S/PKI tahun 1965. Tahun

1954 lahir di Bogor Persatuan Pemuda Pemudi Sam Kauw Indonesia (P3SKI)

yang kini menjadi Pemuda Tridharma Indonesia. Salah satu pendirinya adalah

Souw Tjiang Poh atau lebih dikenal dengan nama Yogamurti bermukim di

Bandung.

Istilah Tridharma (3 agama) adalah nama baru dari Sam Kauw (dari bhs.

Hokkian: Sam = tiga, Kauw = agama, maklum nama yang berbau Cina harus ganti

nama). Sam Kauw Hwee didirikan pada Mei 1934 oleh Kwee Tek Hoay, dengan

tujuan untuk membendung Kristenisasi pada orang-orang Tionghoa. Karena

perubahan agama (menjadi Kristen) dianggap sebagai penolakan unsur

87

kebudayaan Tionghoa oleh orang Tionghoa sendiri. Dalam pandangan Sam Kauw

Hwee, tiga agama ini dapat disebut sebagai agama Tionghoa.

“itoe Sam Kauw aken mendjadi satoe philosofie agama jang paling

lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bangsa Tionghoa

jang leloehoernja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboean taon laloe”.

(tulisan Kwee Tek Hoay di Sam Kauw Gwat Po edisi Feb 1939).

Konsep Tridharma/SamKauw/Sanjiao/Tiga Agama bukan hanya ada di

Indonesia, tetapi sudah berakar mulai abad ke-12 di Tiongkok. Ditambah dengan

sifat bangsa Tionghoa yang suka mencampur adukkan ajaran agama (sinkretisme)

yang ada. Banyak bagian kebudayaan Tionghoa yang sudah tercampur-baur

dengan unsur dari ketiga agama ini.

Tridharma (Hanzi: hanyu pinyin: sanjiao) adalah sebuah kepercayaan yang

tidak dapat digolongkan ke dalam agama apapun. Tridharma disebut Samkau

dalam dialek Hokkian, berarti harfiah tiga ajaran. Tiga ajaran yang dimaksud

adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme.

Tridharma lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan

tradisional masyarakat Tionghoa sebagai hasil dari sinkretisme ketiga filsafat yang

mempengaruhi kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok sejak 2500 tahun lalu.

Tridharma adalah Sam Kauw / San Jiao.

Sam Kauw / San Jiao adalah Tiga Agama/Ajaran yang merupakan keimanan yang

dianut secara merata umum oleh orang Tionghoa yang oleh orang orang Barat

dikatakan sebagai Chinese Religion atau Agama Tionghoa. Bila sampai saat ini

banyak orang di luar mengatakan bahwa Tridharma itu bagian dari Buddha maka

88

secara organisatoris memang benar bahwa organisasi Tridharma berada di bawah

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Kementerian Agama RI.

Lao Tze mengajarkan bahwa Tao adalah sumber misteri, kedalaman dasar

dari ada. Konsep Tao tersebut mempunyai makna metafisik sebagai kebenaran

absolut, realitas terakhir, dasar yang kekal dari ada. Dalam Konfusianisme konsep

Tao mempunyai makna etis. Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, ketiga

agama tersebut hidup berdampingan saling melengkapi dan isi mengisi, disamping

memang sejalan dengan praktek kesalehan Cina. Seorang penganut

Konfusianisme, misalnya, akan meminta seorang pendeta agama Buddha untuk

membacakan doa bagi orang yang mati karena Buddha memberikan perspektif

yang menarik tentang orang mati. Selain itu ia juga akan mempraktekan ajaran-

ajaran Tao untuk menentukan tempat penguburan yang baik. Konfusianisme

mengajarkan bagaimana belajar menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam dunia

filsafat, inilah yang merupakan inti dari ajaran etika.

Community yakni umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan

Cult yang sama. Adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam

kepercayaan itu. Secara organisatoris, umat Tao di Kota Semarang dipimpin oleh

pengurus yayasan Sinar Tao yang sudah mengalami beberapa kali perubahan

kepengurusan. Pada awal berdirinya, yayasan Sinar Tao ini diajukan oleh

beberapa orang tokoh agama Tao ke Kantor Notaris Roekiyanto, SH tertanggal 3

Desember 2001. Tokoh Umat Tao tersebut adalah Amen Wahyudi Tairas, Dede

Leota, Lie Ka Moh, Tan I Ming, dan Andi Sandjojo Tairas. Keenam orang tokoh

tersebut tinggal di Kota Semarang, yang kemudian disebut sebagai dewan pendiri

89

Yayasan Sinar Tao yang berkedudukan di Kota Semarang. Dewan pendiri tersebut

mengangkat beberapa orang pengurus yang terdiri atas ketua yaitu Thomas

Susanto, wakil ketua yaitu Hardjo Subagyo Suprapto, sekretaris yaitu Slamet

Sugiyo, wakil sekretaris yaitu Robert Athur Wijaya, bendahara yaitu Adhitama

Nugraha S, wakil bendahara yaitu Handrijana Hardha, humas yaitu Harry

Kristianto dan wakil humas yaitu Sugiyanto Nitisastro. Semua pengurus tersebut

beretnik Tionghoa dan bertempat tinggal di Kota Semarang.

Kemudian pengurus Yayasan Sinar Tao melakukan perubahan

kepengurusan baru yang ditetapkan oleh akte notaris tertanggal 01 April 2010,

sebagai berikut:

Penasehat : Pimpin Lika

Ketua Umum : Hadi Sugiyono

Sekretaris I : Hardjo Subagio Suprapto

Bbendahara I : Nyonya Debbie Wijaya

Bendahara II : Nyonya Titik Sianiwati

Kemudian pada tahun 2013 diadakan pergantian kepengurusan baru yang

dipimpin oleh Oey Taw Ping (Hadi Sugiyono). Dalam menjalankan

kepemimpinan nya, ia dibantu oleh seorang wakil ketua bernama Liem Cheik

Tiong dan dua orang sekretaris bernama Paw Ping Gwan dan Tao Hok Nguan.

Sebagai bendahara adalah Song Mei Juan dan Jessica Movin Hadi. Mereka

disebut sebagai pengurus harian dalam kepengurusan ini. Kemudian mereka

dibantu oleh pengurus-pengurus lainnya, yakni: seksi rumah tangga adalah Siaw

Sin Chen dan Oei Gwan Tjing; Pembantu muda adalah Tan I Ming, Hoo Ming

90

Mei, dan Ong Sioe Gwat; Seksi konsumsi adalah Kho Lioe Hwa dan Law Jen

Sion; seksi keamanan adalah Teng Paw Kwok; seksi upacara dan ritual adalah

Khow Tjuan Hok dan Go Sow They; seksi kerohanian/litbang adalah They Kien

Tjong dan Tan I Ming.

Secara kelembagaan, kelenteng Sinar Tao ini dibina oleh dua majelis,

yang keduanya di bawah naungan Bimas Budha Kementerian Agama RI. Sebagai

tempat ibadat Tridharma (TITD), Kelenteng Sinar Tao ini terdaftar sebagai

lembaga keagamaan Buddha sehingga mendapat pembinaan langsung dari Bimas

Buddha Kementerian Agama Kota Semarang. Di sisi lain, Kelenteng Sinar Tao ini

mendapat pembinaan keagamaan, secara khusus agama Tao dari Majelis

Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di Lampung. Perlu diketahui bahwa

MTI ini berbeda dengan organisasi keagamaan Tao yang dibentuk oleh “Taosu

Kusumo” pada tahun 1974 di Medan, Sumatera Utara. Organisasi ini

dideklarasikan oleh simpatisan Tao pada tahun 1992 di Jakarta, dengan nama

Majelis Tao Indonesia (MTI).

Di Jawa Tengah, telah terbentuk sebuah lembaga keagamaan Dewan

Pimpinan Wilayah Majelis Tridharma Indonesia Daerah Tingkat I Propinsi Jawa

Tengah, dengan susunan pengurus sebagai berikut:

Ketua : Adi Sandjoyo Tairas

Wakil Ketua : Thomas Susanto

Sekretaris : Harjo Subagyo Suprapto

Bendahara : Handrijana Hardha

Wakil Bendahara : Kuswanto Soeharsono

91

Humas : Slamet Sugiyo

Semua pengurus tersebut adalah umat agama Tao yang aktif di kelenteng

“Sinar Tao” Semarang. Pada umumnya, mereka adalah orang-orang keturunan

etnik Tionghoa yang sibuk dengan urusan bisnis. Meskipun demikian, mereka

biasanya dapat berkumpul di kelenteng pada hari pemujaan/sembahyang tanggal 1

dan 15 bulan Imlek dan atau pada hari-hari kebesaran, seperti Hari Kebesaran

Maha Dewa Lao Zi. Dilihat dari personilnya, sebagian diantara mereka memiliki

rangkap jabatan dalam organisasi di lingkungan kelenteng Sinar Tao. Hal ini

terlihat pada beberapa orang yang duduk di organisasi Yayasan Sinar Tao, namun

sebagian ada yang duduk di organisasi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI),

dan sebagian ada yang duduk di organisasi Majelis Tridharma Indonesia (MTI).

Berdirinya Paguyuban Umat Tao Indonesia, banyak mendapatkan respon

terutama dari kalangan Taoyu. Banyak timbul pertanyaan mengenai keberadaan

PUTI ini merupakan sebagai sebuah ekspresi sikap untuk mengetahui lebih

banyak dan dalam mengenai PUTI. Dalam kesempatan ini, sekretariat PUTI

PUSAT berusaha menginformasikan hal-hal mengenai PUTI ini terutama untuk

kalangan Taoyu. PUTI didirikan dengan latar belakang inisiatif beberapa aktifis

Taoyu yang merasakan perlunya sebuah badan (organisasi) Tao untuk

mengantisipasi perkembangan Tao kita yang semakin besar dan memerlukan

sebuah wadah resmi untuk menampung semua aspirasi gerak serta menjadi

perwakilan dalam berhubungan keluar, baik dalam aspek sosial maupun dalam

aspek hukumnya. PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk Paguyuban,

sehingga bersifat sangat kekeluargaan dan bebas dalam menjadi wadah bagi

92

seluruh umat Tao di Indonesia. Oleh karena itu secara otomatis semua umat Tao

dapat menjadi anggotanya. PUTI adalah organisasi yang bersifat sosial (bukan

politik) selain itu PUTI tidak mencampuri urusan para anggotanya dalam

permasalahan ibadah (siutao)nya. PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah

tempat bernaung serta bersatunya umat Tao di Indonesia. Berdirinya PUTI dengan

kepengurusan Pusatnya di Jakarta ini, sampai saat ini telah disukung para Taoyu

di berbagai daerah dengan berdirinya PUTI Daerah, antara lain:

1. PUTI Daerah Jakarta, tanggal 10 Oktober 2000

2. PUTI DaerahLampung, tanggal 28 Oktober 2000

3. PUTI Daerah Mojokerto, tanggal 14 November 2000

4. PUTI Daerah Jombang, tanggal 8 Desember 2000

5. PUTI Daerah Surabaya, tanggal 21 Desember 2000

6. PUTI Daerah Jambi, tanggal 24 Desember 2000

7. PUTI Daerah Bali, tanggal 11 Januari 2001

8. PUTI Daerah Kediri, tanggal 21 Januari 2001

9. PUTI Daerah Semarang, tanggal 3 Februari 2001

10. PUTI Daerah Kedu, tanggal 4 Februari 2001

Secara umum, organisasi keagamaan Tao di Semarang ini memiliki

kegiatan-kegiatan, antara lain:

a. Bidang Pendidikan

Dalam pendidikan, umat agama Tao di kelenteng “Sinar Tao”

memiliki kajian keagamaan. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada setiap

93

hari minggu dan diikuti sekitar 20 – 25 orang. Peserta kajian kebanyakan

diikuti oleh para remaja agama Tao, namun ada sebagian umat yang berusia

tua. Sedangkan orang yang mengajar kajian ini (pembina) adalah tokoh-tokoh

agama Tao, seperti: Iwan Budiwiyono, Adhi Sandjojo, dan Amen Wijaya.

Adapun materi yang dikaji adalah hal-hal yang berkenaan moralitas dan budi

pekerti, seperti berbakti kepada kedua orang tua, setia kepeda negara, mawas

diri, dan sebagainya.

b. Bidang Sosial

Dalam bidang sosial, umat agama tao seringkali mengadakan kegiatan

sosial kepada masyarakat sekitar. Kegiatan ini berbentuk bakti sosial dan

donor darah. Kegiatan bakti sosial dilakukan sebanyak 2 – 3 kali dalam

setahun. Dalam kegiatan ini, sasarannya adalah panti asuhan dan anak yatim,

panti jompo, panti wreda, fakir miskin, dan anak-anak sekolah, bahkan korban

bencana alam. Khusus kegiatan bakti sosial yang diberikan kepada masyarakat

sekitar, biasanya dilakukan pada saat menjelang hari Raya Lebaran.

Adakalanya, kegiatan ini diberikan dalam bentuk santunan sosial, bantuan

pendidikan, dan bazar atau pasar murah. Sementara itu, kegiatan donor darah

dilakukan dengan mengundang PMI ke kelenteng Sinar Tao, yang biasanya

dilakukan menjelang peringatan Hari Kebesaran Mahadewa di Kelenteng

Sinar Tao. Seluruh rangkaian kegiatan ini, dikoordinir oleh Tan I Ming,

seorang ketua organisasi Paguuban Umat Tao Indonesia (PUTI) Cabang Kota

Semarang.

94

c. Hubungan Umat Beragama

Dalam hal ini, hubungan umat beragama yang dimaksud adalah

hubungan intern dan antar umat beragama. Dalam hubungan intern umat

beragama terlihat pada peringatan hari Kebesaran di lingkungan kelenteng-

kelenteng di Kota semarang. Biasanya, setiap kelenteng saling memberi

undangan selaku anggota Perkumpulan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD)

ketika sedang mengadakan perayaan hari kebesaran. Pada saat ini, para ketua

TITD berkumpul dan saling berinteraksi antara satu sama lain. Diantara

pimpinan kelenteng di Semarang yang saling mengundang, antara lain:

Kelenteng Tay Kak Sie Gang Lombok, Kelenteng Xuan Tian Shang Grajen,

Kelenteng Sinar Samodra di Jalan Gang Pinggir, Kelenteng Siu Hok Bio di

Jalan Wotgandul, dan Kelenteng See Hoo Kiong di jalan Sebandaran, dan

Kelenteng Tri Setia Bakti di Jalan Tanggul Raya.

Dalam hubungan antar umat beragama, umat agama Tao seringkali

mendapat undangan sembahyang arwah yang diselenggarakan oleh yayasan

Perkumpulan Sosial “Boen Hian Tong” Rasa Dharma, yang terletak di jalan

Gang Pinggir 31 Semarang. Yayasan ini merupakan perkumpulan warga etnik

Tionghoa yang diyakini tertua di Semarang, sebab perkumpulan ini berdiri

sejak tahun 1876. Dengan perkumpulan ini, sesama warga etnik Tionghoa

merasakan suasana keakraban karena seringnya berkumpul bagi warga etnik

Tiongghoa di Yayasan Rasa Dharma ini.

95

Keakaraban etnik Tionghoa dengan etnik Jawa juga tercermin pada

kegiatan Barongsai. Pentas seni Barongsai biasanya diselenggarakan pada hari

raya Imlek. Pemain Barongsai tidak hanya etnik Tionghoa namun etnik Jawa

juga ikut memainkan Liong. Gerakan meliuk-meliuk di atas kayu sebagai

tempat pijakan untuk melompat dengan iringan bunyi-bunyian gendering khas

Tionghoa. Dengan sambutan ini, etnik Tionghoa yang beragama apapun,

termasuk agama Tao dapat merayakan Imlek kembali secara terbuka.

Dari uraian tersebut, aktivitas sosial yang melibatkan umat beragama

yang berbeda-beda adalah sembahyang arwah. Dalam pelaksanaannya,

kegiatan ini diikuti oleh tujuh umat beragama, seperti Islam, Kristen, Katolik,

Hindu, Budha, Khonghucu dan Tao. Perlu diketahui bahwa ketujuh umat

beragama ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni enam umat beragama telah

diakui sebagai agama yang sah kepemelukannya (Islam, Kristen, Katholik,

Hindu, dan Budha), sedangkan sebuah agama (Tao) yang belum diakui sebagai

agama yang sah kepemelukannya. Masing-masing umat beragama tersebut

berkumpul dan mendoakan para arwah sesuai dengan agama dan

kepercayaannya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan oleh masing-masing

umat beragama karena dilandasi dengan semangat dalam membangun

kerukunan antar umat beragama di daerah ini.

3.5. Pencantuman Agama Tao Dalam KTP Terkait Status Kewarganegaraan

Mengingat anasir yang jamak ditemui sebagai prasyarat ketika suatu

negara berdiri, yaitu adanya warga negara, wilayah dan sebuah pemerintahan yang

96

berdaulat yang saling terkait dan bersifat kumulatif. Sebagai sebuah wadah politik

masyarakat (a state of political society) dimana peran anggota yang bergabung di

dalamnya menjadi sebuah elemen yang sangat penting, dengan kata lain sebagai

sebuah organisasi negara dikuatkan oleh rakyat (warga negara) sebagai

anggotanya (Raz, 1978:6).

Meski elemen warga negara sebagai anggota negara menjadi begitu

penting, tetapi kita tidak dapat menafikkan kedua syarat lainnya sebagai suatu

kesatuan yang membangun sebuah negara. Adanya warga negara tidak akan

memiliki arti apabila wilayah sebagai tempat bernaung tidak dimiliki, dan ketika

keduanya telah dipenuhi tanpa suatu pemerintahan yang berdaulat maka negara

tersebut belum dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Dipengaruhi oleh sejarah perkembangan negara maka definisi tentang

warga negara menjadi begitu beragam, definisi tersebut berkaitan dengan kondisi

yang menentukan kelayakan seseorang disebut sebagai “warga negara”

berdasarkan klasifikasi tertentu yang sesuai dengan zaman ketika sebuah negara

berdiri.

Pada saat zaman Yunani kuno penggolongan warga negara tentunya

berbeda dengan apa yang terjadi di masa kini, seperti apa yang diungkapkan oleh

Plato dalam karyanya yang berjudul “Republic”.

Plato mendeskripsikan penggolongan warga negara menjadi tiga bagian

(kelas) yaitu; pertama, golongan pemimpin yang berasal dari para filsuf umumnya

disebut sophia karena kebijaksanaannya. Kedua, golongan yang memiliki

keberanian dan keteguhan hati untuk berkorban demi negara dengan menjaga

97

keamanan negara. Kaum andreia ini bersama golongan pertama seluruhnya

melayani negara, dan karenanya mereka tidak hidup berkeluarga dan tidak

memilki kekayaan. Kelas ketiga terdiri dari orang-orang yang memiliki

keutamaan lain, yakni pengendalian diri (soophrosune). Yaitu para petani dan

tukang, dimana mereka tidak memiliki peranan dalam negara26

.

Konsepsi ini didasarkan pada pemikiran Plato tentang keadilan, diyakini

oleh Plato bahwa umumnya setiap manusia lebih bisa melihat hal-hal yang besar

daripada yang bersifat lebih kecil. Sehingga untuk terciptanya suatu negara yang

adil maka diperlukan unsur yang sangat penting untuk membangunya, yakni

individu yang adil sebagai seorang warga negara. Keadilan akan tercipta ketika

warga negara yang terbagi ke dalam kelas-kelas tersebut bertindak sesuai dengan

tempatnya dan tugas yang telah menjadi konsekuensinya.

Lain halnya dengan Aristoteles berpendapat bahwa negara itu merupakan

suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu, yang terbentuk karena adanya

penggabungan manusia dimulai dari organisasi terkecil berupa keluarga. Dengan

kata lain manusia (individu) tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau negara,

terdapat korelasi erat yang terjalin diantara keduanya. Sehingga yang dimaksud

dengan warga negara adalah manusia-manusia yang hidup di dalam polis sebagai

satu kesatuan, karena pada hakekatnya manusia adalah seorang “mahluk polis”

atau (zoon politikoon)27

.

26

Huijbers, Theo. 1988. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Cetakan Ke-empat.

Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 23. 27

Soehino. 2000. Ilmu Negara. Cetakan Ke-tiga. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 25.

98

Dewasa ini di ranah hukum tata negara orang-orang yang berdiam di

dalam wilayah suatu negara biasa disebut penduduk dan terbagi menjadi dua,

yaitu warga negara dan orang asing. Menurut John Alder dalam “Constitusional

and Administrative Law”, bahwa perbedaan kedudukan antara warganegara dan

orang asing adalah;

“In this general sense citizenship means full membership of a state.

Citizenship can be distinguished from other relationships in that

citizenship involves rights againts and duties to the whole community as

opposed to those who concerning only people we know personally such as

friends and family or right arising by agreement. In the civic republican

tradition (Chapter1), citizenship is particularly associated with active

participation entitlements of individuals againts the state. The unpleasant

side of citizenship is that it entails ‘exclusion’ in the sense of an

unwelcoming attitude to those regarded as non-citizens, who in UK law

are labelled ‘aliens’.

Yang dimaksud dengan warganegara adalah anggota dari suatu negara

dimana hubungan diantara keduanya diatur secara yuridis, dengan disertai

konsekuensi berupa privileges dan immunities. Selain menerima privileges dan

immunities tersebut mereka harus membuktikan loyalitasnya kepada negara

dengan dibebani sejumlah kewajiban (duty). Orang asing atau aliens adalah

penduduk diluar warganegara yang berdiam di wilayah suatu negara dengan suatu

kondisi permission, dan hubungan yang terjalin diantara orang asing-negara

hanya berlangsung saat dia menempati wilayah negara tersebut.

Status kewarganegaraan sejak seseorang dilahirkan sampai maut

menjemputnya dirasakan sangat penting, hal ini merupakan langkah awal untuk

menentukan seseorang tunduk pada yurisdiksi suatu negara. Karena status

kewarganegaraan terkait dengan pemenuhan dan perlakuan yang harus dipenuhi

dalam wilayah hukum perdata maupun hukum pidana, namun yang paling utama

99

adalah di wilayah hukum publik dimana relasi yang terjalin antara negara-

warganegara lebih nyata28

.

Ketika seseorang telah dengan jelas mengakui dirinya sebagai seorang

warganegara, dan mau tunduk kedalam yurisdiksi negara tersebut sebagai bentuk

loyalitasnya maka ikatan antara negara dan warganegara tersebut umumnya

dinyatakan dalam bentuk surat-surat, baik keterangan maupun keputusan yang

digunakan sebagai bukti adanya keanggotaan tersebut. Di awal-awal masa

kemerdekaan pengaturan tentang bukti identitas kependudukan erat kaitannya

dengan usaha pemerintah dalam mengawasi orang asing yang hadir di wilayah

negara, patut dipahami tindakan pemerintah tersebut karena saat itu stabilitas

pertahanan dan keamanan negara dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Salah satu bentuk bukti identitas diri kependukan berupa KTP atau biasa

disebut Kartu Tanda Penduduk yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 angka

(14) Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Sebelum kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2006 pengaturan KTP

diatur dalam Kepres No.52 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk,

pengaturan pendaftaran penduduk diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri

melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 1977 tentang Pelaksanaan

Pendaftaran Penduduk dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 tahun 1982

tentang Pelaksanaan Administrasi Penduduk di Desa dan Kelurahan.

28

Sartono, Romlah. Upaya Hukum Mengatasi Apatride (Stateless). Yuridika No.2

Tahun XI,Maret-April 1996.

100

Perkembangan agama Tao di Semarang sudah sejak cukup lama, sejalan

dengan datangnya etnik Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, perkembangannya

hingga kini tergolong sangat lamban, karena agama ini tidak mengenal missi

melainkan hanya warisan leluhurnya. Selain itu, perkembangan agama ini juga

mengalami keterpurukan selama 30 tahun lebih karena kebijakan pemerintah yang

kurang menguntungkan, terutama di masa Orde Baru. Hal ini terlihat pada

kebijakan pemerintah yang berupa Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang

Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Implikasi dari adanya peraturan ini

adalah agama ataupun adat istiadat yang berasal dari daratan Cina, seperti agama

Tao terlarang di Indonesia. Hal ini berimplikasi juga pada pencatuman agama

dalam administrasi kependudukan, terutama KTP.

Di era reformasi, perkembangan agama ini mulai terbuka, yang ditandai

dengan dicabutnya Inpres No 14/1967 dan diterbitkannya Keppres No 6/2000.

Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia,

beliau mengeluarkan kebijakan berupa Keppres No.6 Tahun 2000 tentang

Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat

Istiadat China yang melarang agama dan adat istiadat China beredar di Indonesia

secara terang-terangan. Keppres No.6 Tahun 2000 ini melegalkan segala aktivitas

kegamaan dan adat istiadat Cina yang sempat dilarang, dan kemudian Presiden

Megawati menyikapinya dengan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari besar

keagamaan, yakni sebagai hari libur nasional.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun

memberikan angin segar terhadap perkembangan aktivitas keagamaan dan adat

101

istiadat Cina. Hal ini terlihat pada sambutannya pada peringatan Imlek di bulan

Februari tahun 2006, yaitu:

“... Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah.

Walaupun saya masih sering mendengar adanya keluhan, biasanya berkaitan

dengan pelayanan administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah

agama, dan mencatatkan perkawinan”.

Oleh karena itu, pelayanan dan bimbingan hak-hak sipil bagi umat

beragama Tao selama ini dirasakan lebih baik dibandingkan dengan era-era

pemerintahan sebelumnya. Pada era pemerintahan terdahulu, umat Tao seolah

dipaksakan untuk masuk agama lain, karena umat agama Tao harus memilih salah

satu agama yang diakui kepemelukannya oleh pemerintah, yakni Islam, Katolik,

Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Dalam hal ini, umat agama Tao memilih

agama Buddha untuk dicantumkan dalam KTP, karena sebagai aliran/sekte

“Tridharma”. Meskipun demikian, umat agama Tao dalam kehidupan sehari-hari

diberikan kebebasan untuk menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan

keyakinannya. Bagi umat agama Tao, mencantumkan agama apapun di dalam

KTP bukan masalah, karena essensi beragama tidak berada di KTP, melainkan

berada dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kehidupan bermasyarakat.

3.6. Legitimasi Hak Warga Negara Melalui Kartu Tanda Penduduk

Status kewarganegaraan membedakan antara warga negara dan orang

asing, tentunya perbedaan ini membawa konsekuensi yang tidak sama bagi

keduanya. Tidak dapat diingkari kondisi riil suatu negara dimana wilayahnya

didiami oleh tidak hanya penduduk yang notabene warga negaranya sendiri,

102

melainkan juga orang asing yang datang walaupun mungkin hanya bersifat

sementara. Kehadiran orang asing ini tidak akan mudah diawasi apabila tidak

diakomodir oleh suatu mekanisme yang terorganisir dengan baik, untuk itu

dibutuhkan suatu sistem administrasi pendaftaran penduduk.

Sistem administrasi pendaftaran penduduk ini akan membantu negara

untuk memperoleh data yang pasti tentang siapa saja yang termasuk kedalam

kategori warga negara atau orang asing, karena data-data kependudukan tersebut

akan mempengaruhi kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam

mewujudkan cita-cita bangsa melalui pembangunan.

Sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28 Tahun

2005 Tentang Petunjuk Teknis Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk

Dan Pencatatan Sipil Di Daerah bahwa pada dasarnya sistem administarasi

kependudukan merupakan bagian sistem administrasi negara, yang mempunyai

peran penting dalam pemerintahan dan pembangunan dimana sistem administrasi

kependudukan ini diarahkan pada:

a Pemenuhan hak asasi setiap orang di bidang pelayanan administrasi

kependudukan;

b Peningkatan kesadaran penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta

dalam pelaksanaan kependudukan;

c Pemenuhan data statistik kependudukan dan statistik peristiwa kependudukan;

d Dukungan terhadap perencanaan pembangunan kependudukan secara nasional,

regional dan lokal;

103

e Dukungan terhadap pembangunan sistem administrasi kependudukan guna

meningkatkan pemberian pelayanan publik tanpa diskriminasi.

Sayangnya selama ini kegiatan administrasi kependudukan mengalami

banyak kendala dan ruwet, tidak heran karena terlalu banyak aturan tentang

masalah administrasi kependudukan yang tumpang tindih. Sesuai dengan

Penjelasan Umum Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan bahwa aturan-aturan administrasi kependudukan sebelumnya

masih mengacu pada ketentuan yang ada pada produk hukum kolonial sehingga

benyak ditemui perlakuan diskriminatif di dalamnya yang membeda-bedakan

suku, keturunan, dan agama.

Dijelaskan bahwa selain adanya diskriminasi tersebut, kegiatan

administrasi kependudukan tidak didukung oleh kemampuan pemerintah dalam

mengelola informasi kependudukan dalam suatu database yang akuntabel,

seringkali karena kelemahan ini seseorang mampu memiliki KTP ganda

(http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=detail_berita&id=1157)

Kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Adminstrasi

Kependudukan diharapkan mampu menjadi problem solving bagi kegiatan

administrasi kependudukan, dalam Undang-Undang ini terdapat pengaturan

tentang NIK (Nomor Induk Kependudukan) yakni nomor yang secara khusus

diberikan sebagai bukti diri penduduk yang bersifat unik, khas, tunggal dan

melekat pada seseorang sepanjang masa. Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1), ayat (2)

dan ayat (3), sebagai berikut:

(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK

104

(2) NIK sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur

hidup dan selamanya, yang diberikan oleh pemerintah dan

diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah

dilakukan pencatatan biodata.

(3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap

Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor,

surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi,

sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya.

Sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-Undang No.23 Tahun 2006

Tentang Administrasi Kependudukan bahwa hal penting dari pengaturan

mengenai penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) merupakan identitas

penduduk Indonesia dan kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi jati

diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang administrasi

kependudukan. Sebagai kunci akses dalam pelayanan kependudukan NIK

dikembangkan kearah identifikasi tunggal bagi setiap penduduk. Untuk penerbitan

NIK, setiap penduduk wajib mencatatkan biodata Penduduk yang diawali dengan

pengisian formulir biodata Penduduk di desa/kelurahan secara benar. NIK wajib

dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan, baik dalam pelayanan

Pendaftaran Penduduk maupun Pencatatan Sipil, serta sebagai dasar penerbitan

berbagai dokumen yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan.

Langkah awal untuk mendapatkan NIK adalah melaksanakan kewajiban

melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi kepada Instansi Pelaksana

105

sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi:

“Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan

Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan

memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan

Pencatatan Sipil.”

Ketentuan diatas mewajibkan setiap penduduk untuk melaporkan peristiwa

kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya, mekanismenya secara

umum diawali dengan melakukan pencatatan peristiwa kependudukan dan

peristiwa penting yang dialami oleh penduduk kepada instansi pelaksana.

Pengaturan tentang pencatatan tersebut diatur oleh suatu peraturan petunjuk teknis

pelaksanaan tentang penyelenggaraan pendaftaran penduduk, karena Undang-

Undang No.23 Tahun 2006 ini baru diundangkan pada tanggal 29 Desember 2006

maka peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan masih belum terbentuk sehingga

masih mengggunakan peraturan pelaksana yang berlaku sebelumnya sesuai

dengan Pasal 102 dari Undang-Undang ini yang berbunyi sebagai berikut:

“Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan

Pelaksanaan yang berkaitan dengan Administrasi Kependudukan

dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”

Maka mekanisme pencatatan pendaftaran penduduk ini masih

menggunakan peraturan lama yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28

Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan

Pencatatan Sipil di Daerah, mekanisme pencatatan biodata penduduk disebutkan

didalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun 2005 Tentang

106

Petunjuk Teknis Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan

Pencatatan Sipil di Daerah, sebagai berikut:

1. Untuk WNI

Dalam Pencatatan Biodata Penduduk, Petugas melakukan tugasnya

sebagai berikut:

a Memeriksa status penduduk dan kebenaran surat bukti keterangan yang

dimiliki, seperti:

(1) Surat Pengantar dari RT/RW atau Dusun/Lingkungan;

(2) Dokumen Penduduk yang dimiliki, antara lain Kartu Tanda Penduduk

atau Akta Kelahiran;

(3) Surat Keterangan Pendaftaran Kedatangan dari Luar Negeri (Khusus

NIK WNI yang baru datang dari Luar negeri).

b Melakukan verifikasi dan validasi isian formulir biodata penduduk dan

kelengkapan berkas pendaftaran biodata penduduk;

c Mengirimkan formulir ke Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK)

dan mengarsipkan biodata.

2. Untuk Penduduk Orang Asing

Khusus untuk penduduk Orang Asing, pelaporan diri untuk pencatatan

biodata penduduk dilakukan oleh unit kerja yang mengelola pendaftaran

penduduk dan pencatatan sipil di kabupaten/kota, sebagai berikut:

a Memeriksa status penduduk dan kebenaran surat bukti keterangan yang

dimiliki, seperti:

(1) Surat Pengantar dari RT/RW/dusun/lingkungan;

107

(2) Izin Tinggal Terbatas atau Izin Tinggal Tetap;

b Menerima dan meneliti isian formulir biodata penduduk dan kelengkapan

berkas pendaftaran biodata penduduk;

c Mengirimkan formulir ke Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK)

dan mengarsipkan berkas biodata.

Output dari kegiatan pencatatan biodata penduduk tersebut adalah

diterbitkannya Dokumen Kependudukan yang meliputi:

a Biodata Penduduk: adalah keterangan yang berisi elemen data tentang jati diri,

informasi dasar serta riwayat perkembangan dan perubahan keadaan yang

dialami oleh Penduduk sejak saat kelahiran;

b KK (Kartu Keluarga): adalah kartu identitas keluarga yang memuat data

tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota

keluarga;

c KTP (Kartu Tanda Penduduk): adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti

diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seleuruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d Surat Keterangan Kependudukan: adalah surat keterangan yang paling sedikit

memuat keterangan tentang nama lengkap, NIK, jenis kelamin, tempat tanggal

lahir, agama, alamat, Peristiwa Penting dan Peristiwa Kependudukan

seseorang, yang meliputi; Surat Keterangan Pindah; Surat Keterangan Pindah

Datang; Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri; Surat Keterangan Datang

dari Luar Negeri; Surat Keterangan Tempat Tinggal; Surat Keterangan

Kelahiran; Surat Keterangan Lahir Mati; Surat Keterangan Pembatalan

108

Perkawinan; Surat Keterangan Pembatalan Perceraian; Surat Keterangan

Kematian; Surat Keterangan Pengangkatan Anak; Surat Keterangan Pelepasan

Kewarganegaraan Indonesia; Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas;

Surat Keterangan Pencatatan Sipil.; dan

e Akta Pencatatan Sipil: adalah dokumen yang dihasilkan dari kegiatan

Pencatatan Sipil yang terdiri atas:

1. Register Akta Pencatatan Sipil, memuat antara lain:

a Jenis peristiwa penting;

b NIK dan ststus kewarganegaraan;

c Nama orang yang mengalami Peristiwa Penting;

d Nama dan identitas pelapor;

e Tempat dan tanggal peristiwa;

f Nama dan identitas saksi;

g Tempat dan tanggal dikeluarkannya akta;

h Nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang.

2. Kutipan Akta Pencatatan Sipil, terdiri atas kutipan akta:

a Kelahiran;

b Kematian;

c Perkawinan;

d Perceraian; dan

e Pengakuan anak

109

Dari kelima dokumen kependudukan yang ada tersebut, hanya KTP –lah

yang menjadi suatu bukti diri identitas seorang penduduk yang bersifat personal

yang bersentuhan langsung dengan kehidupan bermasyarakat. KTP menjadi bukti

diri yang pertama kali akan dipertanyakan kepada seorang penduduk ketika

melaksanakan aktivitas yang mensyaratkan identitas diri, contohnya ketika

seseorang hendak berurusan dengan bank maka KTP-lah yang diminta sedari awal

untuk legitimasi statusnya, bahkan KTP erat sekali kaitannya dengan masalah

pemilu atau pilkada dimana data kependudukan yang tercantum dalam KTP

menjadi dasar menentukan seseorang berhak mengikuti pemilu atau tidak. KTP

berkaitan erat dengan hak-hak keperdataan maupun hak-hak kenegaraan29

.

Oleh karenanya setiap penduduk wajib memiliki KTP dan wajib dibawa

kemanapun mereka pergi sebagaimana yang diatur ketentuan Pasal 63 ayat (1) jo

Pasal 63 ayat (5) Undang-Undang No.23 Tahun 2006, yang berbunyi:

(1) “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki

Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah

kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”

(5) “Penduduk yang telah memiliki KTP wajib membawa pada saat

bepergian”.

KTP (Kartu Tanda Penduduk) mencantumkan gambar lambang Garuda

Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan

tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status

perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa

29

Media Praja. Saatnya Menertibkan Admintrasi Kependudukan. Media Praja Edisi 1-15

November 2006.

110

berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta

memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

Masalah mulai timbul ketika KTP bergesekan dengan suatu komunitas

penduduk yang memiliki perbedaan kondisi dengan apa disyaratkan oleh

pemerintah, ketika seorang penduduk hendak mengajukan haknya untuk

memperoleh bukti diri status kependudukannya berupa KTP terganjal pada

masalah religi yang diyakininya. Masalah ini dialami oleh sejumlah penduduk

yang memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan yang diakui oleh pemerintah,

dalam hal ini umat Tao adalah salah satu entitas penduduk yang mengalami

perlakuan diskriminatif ketika menuntut haknya memperoleh KTP sebagai bukti

diri yang dilegitimasi.

Umat Tao mengalami hambatan karena keyakinan mereka tidak dapat

dicantumkan di kolom agama dalam format KTP tersebut, keyakinan yang dianut

oleh mereka (agama Tao) dianggap bukanlah “agama” atau lebih tepatnya

bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Lantas “agama” yang

bagaimanakah yang dapat diterima oleh pemerintah sehingga layak untuk

dicantumkan dalam KTP sebagai bagian dari identitas seorang penduduk ?.

Ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Tentang

Administrasi Kependudukzn yang berbunyi:

“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi

Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat

kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database

kependudukan”

111

Sedangkan dari Penjelasan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang ini juga

tidak memberikan gambaran yang berarti tentang apa yang dimaksud dengan

istilah “agama yang belum diakui” dan “pengahayat kepercayaan”, karena yang

ada hanya keterangan “cukup jelas”. Padahal belumlah jelas dengan apa yang

dimaksud oleh ketentuan tersebut terhadap konsepsi “agama yang belum diakui”

dan “penghayat kepercayaan”.

Di dalam Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juga

tidak memberikan penjelasan yang berarti tentang konsepsi “agama yang belum

diakui”, namun di dalam peraturan pelaksana ini dijelaskan tentang apa yang

dimaksud dengan “penghayat kepercayaan”. Pasal 1 angka (19) PP No.37 Tahun

2007 menyatakan bahwa:

“Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya

disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan

meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa”.

Tentunya para penghayat kepercayaan ini akan “mempercayai” sesuatu hal

yang dapat dikategorikan sebagai suatu sistem kepercayaan, Pasal 1 angka (18)

dari Peraturan ini menjelaskan bahwa:

“Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan

pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan

keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang

ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia”.

Bila kita mengikuti definisi tentang aliran kepercayaan dari ketentuan PP

No.37 Tahun 2007 bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

merupakan keyakinan personal yang diimplementasikan pada ritus habitual wujud

112

ketaqwaan terhadap Tuhan. Namun janggalnya adalah ritus ibadat itu bersumber

dari pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa

Indonesia, apakah lantas “aliran kepercayaan” seperti Tao dapat dikategorikan

sebagai kepercayaan terhadap Tuhan yang nilai-nilainya bersumber dari kearifan

lokal bangsa Indonesia?

Dan jawaban yang kita dapatkan adalah bahwa Tao tidak merupakan

agama lokal bangsa Indonesia, karena nilai-nilai ajaran kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa dalam kedua agama ini tidaklah bersumber dari kearifan

lokal bangsa Indonesia melainkan kearifan budaya Tiongkok (China). Bila aturan

dari PP No.37 Tahun 2007 menjadi suatu alas hukum untuk melarang umat Tao

menuliskan identitas keagamaannya pada kolom agama di KTP karena bukanlah

“agama” melainkan “aliran kepercayaan” tidak dapat dibenarkan, secara logika

kita dapat mengatakan bahwa agama Tao adalah agama lokal Tiongkok dan bukan

agama lokal bangsa Indonesia laiknya ajaran Sapta Dharma dan Subud.

Dari beberapa ketentuan diatas tidak memberikan gambaran kepada kita

mengapa masalah kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa

dapat mengahambat seseorang untuk memperoleh KTP, dimana kartu tersebut

merupakan hak penduduk untuk dilegitimasi statusnya sebagai bagian dari entitas

penduduk di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ternyata

permasalahan ini bersumber dari keruwetan yang terjadi selama beberapa dekade

yang lampau dalam sejarah bangsa Indonesia, berujung dari problematika

kewarganegaraan yang dialami oleh etnik Tionghoa secara general yang terjadi

113

jauh sebelum Indonesia medeka namun diperparah oleh kondisi pasca G 30 S PKI

yang menimbulkan prasangka kultural terhadapnya.

Agama Tao adalah agama yang berasal dari negeri Tiongkok (China)

sebagai negeri asal etnik Tionghoa, jadi penganut Tao umumnya berasal dari etnik

tersebut. Segala yang berbau China atau Cina dianggap buruk dan lekat dengan

aliran kiri (komunis: PKI) sehingga pemegang otoritas saat itu mengambil

kebijakan berupa Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama,

Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Implikasi dari adanya peraturan ini adalah

baik agama maupun adat istiadat yang berasal dari China terlarang di Indonesia,

sehingga “agama” seperti Tao pun dilarang keberadaannya. Tak pelak di bidang

administrasi kependudukan agama-agama itu pun tidak dapat dicantumkan dalam

dokumen kependudukan, terutama KTP. Polemik ini diperparah dengan

munculnya SE Mendagri No.477/74054 tentang Petunjuk Pengisian kolom

Agama pada tanggal 18 Nopember 1978, yaitu:

“....Berdasarkan Ketetapan MPR NO.IV/MPR/1978, tentang Garis-garis

Besar Haluan Negara, dan sesuai dengan Instruksi Menteri Agama No.4

Tahun 1978 jelas dinyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan

Agama. Agama yang diakui oleh Pemerintah ialah: Islam, Katolik, Kristen

Protestan, Hindu dan Budha. Dan memperhatikan juga hasil Sidang

Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978No.K-

212/Set Neg/10/78 maka perlu dikeluarkan petunjuk pengisian kolom

“Agama” pada lampiran formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri

No.221a Tahun 1975”.

Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

“Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model

A dan B tentang izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka

bagi yang tidak menganut salah satu dari kelima Agama yang resmi diakui

oleh Pemerintah seperti antara lain penganut kepercayaan Terhadap Tuhan

Yang Maha Esa dan lain-lain maka pada kolom Agama pada fomulir

dimaksud cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-).”

114

Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa KTP merupakan

legitimasi status penduduk, sehingga dengan adanya bukti idetitas diri itu mereka

dapat mengajukan claim akan haknya maupun mengakses semua lini kehidupan

bermasyarakat. Realita yang terjadi di masyarakat ketika para penganut agama

Khonghucu maupun Tao hendak mengurus KTP mereka kembali dihadang oleh

masalah teknis karena sedari awal mereka telah dikategorikan sebagai “agama

setrip” – karena sesuai petunjuk pengisian kolom agama yang mengharuskan

agama mereka cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-) atau setrip,

sehingga istilah agama setrip melekat padanya – seharusnya kolom agama di KTP

mereka pun diisi dengan tanda (-) namun yang terjadi mereka diharuskan

berafiliasi dengan “agama resmi” – dengan kata lain mereka diharuskan

kompromi dengan menafikkan keyakinan yang dianutnya dengan mencantumkan

keenam agama yang diakui pada KTP.

Dalam perkembangannya karena KTP begitu crucial tidak sedikit para

penganut agama Tao, sehingga penganut agama Tao tersebut terpaksa

mengingkari ajaran agamanya berafiliasi dengan agama resmi, mereka menuliskan

kolom agama yang ada dalam KTP tersebut dengan mencantumkan “agama

resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia saat ini tapi seringkali mereka

cenderung memilih agama Budha sebagai identitas keagamaannya.

Diskriminasi di bidang pelayanan KTP ternyata tidak berpengaruh pada

pelayanan perkawinan bagi umat Tao yang sudah dilayani oleh Pemerintah

Indonesia. Sejak Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan berlaku, maka pengaturan tentang pencatatan sipil tunduk pada

115

Undang-Undang No.23 Tahun 2006 karena kegiatan pencatatan sipil masuk ke

dalam kegiatan Administrasi Kependudukan.

Sebelumnya Pemerintah Indonesia dalam hal pelayanan perkawinan

memakai Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2

Januari 1974 mengharuskan setiap perkawinan dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaan dari para penduduk dan dicatatkan, seperti yang

dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yaitu:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu;

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Pelaksanaannya diatur dalam PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ditindak lanjuti dengan

Surat Menteri Dalam Negeri No.221 a Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pencatatan

Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan

Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya.

Menegok masa lalu ketika dimulai berlakunya Inpers No 14 Tahun 1967

Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa yang membatasi

tentang keberadaan Tao yang dianggap hasil kebudayaan China membuat

perkawinan dan pencatatan perkawinan yang dilaksanakan umat ini memiliki

pengaturan yang berbeda dengan agama-agama lain yang diakui oleh pemerintah.

Hal ini membuat perkawinan yang dilaksanakan dengan hukum agama Tao tidak

dapat diakui oleh pemerintah, yang ditegaskan oleh Surat Edaran Menteri Dalam

116

Negeri No.477/74054 tanggal 11 Novemeber 1978 Tentang Petunjuk Pengisian

Kolom “Agama” pada lampiran SK.Mendagri No.221 a Tahun 1975 Tentang

Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil

Sehubungan dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan

Pelaksanaannya, sebagai berikut:

… Sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221 a

Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian

pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya Undang-

Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya perlu dijelaskan

bahwa:

Berdasarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, tentang Garis-garis Besar

Haluan Negara, dan sesuai dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun

1978 jelas dinyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan Agama.

Agama yang diakui oleh Pemerintah ialah: Islam, Katolik,

Kristen/Protestan, Hindu dan Budha.

Dan memperhatikan juga hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkan

tanggal 27 September 1978 No.K-212/Set Neg/10/78 maka perlu

dikeluarkan petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran

SK.Menteri Dalam Negeri No.221 a Tahun 1975.

Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model A

dan B tentang izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka bagi

yang tidak menganut agama resmi diakui oleh Pemerintah seperti antara

lain penganut keprcayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lain-lain

maka pada kolom Agama pada formulir dimaksud cukup diisi dengan

tanda garis pendek mendatar (-)”.

Sehubungan dengan sikap pemerintah terhadap agama-agama diluar

agama resmi (biasa disebut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa)

dan pelaksanaan perkawinan, pencatatan perkawinan dan perceraian, terdapat

beberapa surat edaran dari menteri-menteri (dimungkinkan bisa menimbulkan

masalah bagi jaminan hak beragama di Indoensia, karena seharusnya muatan surat

edaran tidaklah mengikat secara hukum) terkait yang memberikan baik petunjuk

pengisian kolom agama maupun tata cara perkawinan bagi mereka, yaitu:

117

1. Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Mei 1977 No.Pem.18/2/45 Perihal

Pengangkatan Pimpinan Tuntunan Kerohanian Sapta Darma Jawa Timur

sebagai Pembantu Catatan Sipil;

2. Surat Menteri Agama tanggal 3 Juni 1978 Perihal Masalah Menyangkut

Aliran Kepercayaan;

3. SK.Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep.089/J.A/9/78 Tentang Larangan

Pengedaran/Penggunaan Surat Kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat

Srati Darma Yogyakarta;

4. Surat Edaran Menteri Agama tanggal 18 Oktober 1978 No.B.VI/11215/78

Tentang Masalah penyebutan Agama, perkawinan, sumpah dan penguburan

jenazah bagi umat beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan;

5. Surat Menteri Agama tanggal 28 Desember 1979 No.MA/650/1979 Tentang

Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa;

6. Surat Edaran Mendagri tanggal 12 Januari 1980 No.477/286/S.J Tentang

Pencatatan Perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa;

7. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia (bersifat rahasia) tanggal 18 Mei

1981 No.R-651/D.1/1981 Tentang Petunjuk Presiden R.I. tentang perkawinan

pria dan wanita penganut Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

8. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia(bersifat rahasia) tanggal 29

September 1984 No.R-1274/D.3/9/1984 Tentang PerkawinanMenurut Tata

Cara Kepercayaan;

118

9. Surat Menteri Dalam Negeri (bersifat rahasia) tanggal 15 November 1984

No.X.474.2/4000/PUOD Tentang Perkawinan Menurut Tata Cara

Kepercayaan;

10. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia (bersifat rahasia)tanggal15 April

1985 No.R-625/D.4/4/1985 Tentang Pengiriman Surat Depdagri

No.X.474.2/4000/PUOD Tentang Perkawinan Menurut Tata Cara

Kepercayaan tanggal 15 Nopember 1984.

Hal-hal pokok yang menyangkut tentang pencatatan sipil bagi umat Tao

tunduk pada peraturan tentang pencatatan sipil secara umum sesuai Kepres No.12

Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan

Catatan Sipil, hanya saja jika terdapat kolom agama yang harus diisikan dalam

formulir harus diisikan sesuai petunjuk Surat Edaran Menteri Dalam Negeri

No.477/74054 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama”, yakni dengan tanda

garis pendek mendatar (-).

Umat Tao berbeda dengan umat Khonghucu yang kini agamanya sudah

resmi diakui oleh Pemerintah Indonesia. Pada masa umat Khonghucu belum

dilayani Pemerintah Indonesia pada pelayanan perkawinan bisa dilihat pada kasus

perkawinan yang dimulai pada tahun 1995 ketika khalayak dikejutkan oleh

perlawanan dari pasangan Budy Wijaya dan Lanny Guito yang ditolak untuk

mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya karena keduanya

dianggap melakukan perkawinan tidak sesuai dengan agama resmi tetapi sesuai

“ajaran” Khonghucu, sehingga pasangan ini memutuskan untuk menggugat KCS

Surabaya pada PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).

119

Akibatnya perkawinan keduanya dianggap tidak pernah ada dan hal ini

membuat anak hasil dari perkawinan itu yang bernama Fuji tidak dapat

dikeluarkan akte kelahiran, reaksi keras bermunculan dari banyak kalangan seperti

Dede Oetomo, Eko Soegitario, Sri Soemantri, bahkan Gus Dur seorang

cendekiawan muslim yang concern terhadap hak-hak beragama. Dibandingkan

dengan Khonghucu yang melakukan perlawanan secara represif terhadap

pemerintah, umat Tao cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan

pendekatan persuasif, keyakinan yang bersumber dari ajaran agama Tao membuat

mereka lebih kompromistis sehingga muncul penilaian awam bahwa mereka lunak

atau mungkin berada dalam kondisi hypocrisy sebagaimana yang dicetuskan oleh

Djohan Effendy. Umat Tao selama ini ketika bergesekan dengan kegiatan yang

mensyaratkan keyakinannya dituliskan dalam sebuah dokumen memilih untuk

menuruti kehendak umum dengan menuliskan agama Budha sebagai agamanya.

Umat Tao selama ini ketika bergesekan dengan kegiatan yang

mensyaratkan keyakinannya dituliskan dalam sebuah dokumen kependudukan

memilih untuk menuruti kehendak umum dengan menuliskan agama Budha

sebagai agamanya. Sikap umat Tao itu tidak lepas dari azas dasar yang dianut oleh

umat Tao yang bersumber pada Kitab Suci Tao De’ Jing yang berati “Aturan

mengenai Jalan dan Kebajikan” mengajarkan bahwa:

“Water is like the highest good

Because it flows to the lowest place

While people strive to move upward

Water goes freely downward

And on its effortless course

Nourishes everything in its path

Such is the way of the Tao.(The qualities of Tao, Tao De Jing 8)

120

....It means that Tao is like water, flexible, yielding, but relentless.

Mysteriously its essences is fluid, like water. And like astream of water, if

an obstacle impedes Tao’s progress, it goes around it. Wheter we conceive

of Tao in terms of event, people, nature, action or nonaction, Tao

continues to flow unceasingly, coursing like a river toward an unknown

destiny” 30

Perjuangan ini membuahkan hasil di era Gus Dur sebagai Presiden

Republik Indonesia, beliau mengeluarkan kebijakan berupa Keppres No.6 Tahun

2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan

dan Adat Istiadat China yang melarang agama dan adat istiadat China beredar di

Indonesia secara terang-terangan. Walaupun kehadiran dari Keppres ini adalah

sebagai reaksi dari peristiwa Budy Wijaya-Lanny Guito yang notabene merupakan

umat Khonghucu, namun korelasi yang terjalin dengan agama Tao adalah dimana

keduanya adalah agama yang berasal dari China dan banyak dianut oleh etnik

Cina.

Keppres No.6 Tahun 2000 ini melegalkan segala aktivitas kegamaan dan

adat istiadat China yang sempat dilarang, selepas era pemerintahan Abdurahman

Wahid penggantinya yakni Megawati menyikapi masalah Khonghucu dengan

menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari besar keagaamaan dan sebagai hari

libur nasional. Saat pemerintahan Presiden SBY, juga memberikan angin segar

terhadap perkembangan agama Khonghucu, dimulai dari statement yang

dikeluarkan oleh Presiden sendiri ketika menghadiri peringatan Imlek pada bulan

Februari tahun 2006 yang lalu, yaitu:

30

Simpkins, Alexander. 2002. Tao in Ten. Boston: Tutle Publishing Boston. Hlm.

12.

121

“Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah. Walaupun

saya masih sering mendengar adanya keluhan, biasanya berkaitan dengan

pelayanan administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah

agama, dan mencatatkan perkawinan”31

Tindak lanjut dari pernyataan Presiden itu adalah langkah yang diambil

oleh Mendagri Moh. Ma’ruf melalui SE.Mendagri No.470/336/SJ yang

memerintahkan agar gubernur, bupati, dan wali kota se Indonesia memberikan

pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut Khonghucu dengan

menambah keterangan agama Khonghucu pada dokumen kependudukan yang ada

selama ini. Logika yang timbul kemudian adalah jika serangkaian tindakan yang

diambil oleh para penguasa tersebut merupakan kebijakan untuk menyelesaikan

perlakuan diskriminatif yang diterima oleh etnik Thionghoa secara umum dan

khususnya penganut agama Khonghucu. Maka selayaknya kebijakan tersebut

berlaku pula pada agama Tao dan penganutnya, karena kedua agama itu

bersumber dari negara yang sama yakni China.

Jika pemerintah konsisten dengan hierarki norma peraturan perundang-

undangan maka SE.Mendagri No.470/336/SJ yang memerintahkan setiap

gubernur, bupati/walikota di setiap daerah di wilayah Indonesia untuk

mempermudah umat Khonghucu dalam mencatatkan agama Khonghucu dalam

setiap dokumen kependudukan tidak perlu dikeluarkan oleh Mendagri, dengan

alasan yaitu:

31

Taufik, Ahmad. Penantian Panjang Penganut Khonghucu. Tempo. 27 Maret-2

April 2006. Hlm. 67.

122

a. Adanya Sila Pertama Pancasila yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” membawa

gambaran bahwa bangsa Indonesia meyakini akan adanya Tuhan Yang Maha

Esa, dan menunjukkan bahwa Indonesia adalah religious nation state.

b. Sila Pertama Pancasila mendasari pikiran yang terkandung dalam Pasal 29

Undang-Undang Dasar 1945, Pasal ini tidak memberikan batasan (limitasi)

terhadap agama-agama apa saja yang dapat berkembang di Indonesia, dan/atau

agama-agama apa saja yang diberikan pengakuan oleh negara..

c. Adanya Undang-Undang No.1/Pn.Ps/1965 Tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memberikan perlindungan

tehadap agama-agama yang ada di Indonesia tidak memberikan batasan

terhadap agama-agama tertentu untuk dapat berkembang dan diakui oleh

negara, selain itu penyebutan keenam agama dalam Pasal 1 Undang-Undang

ini hanya merupakan deskripsi agama-agama yang banyak dianut oleh

penduduk Indonesia.

d. Dikeluarkanya Kepres No.6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Inpres No.14

Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dengan

sendirinya telah memberikan legitimasi atas keberadaan “agama-agama lokal

China” yang semula teralienasi oleh Inpres No.14 Tahun 1967 dan aturan-

aturan pelaksanaanya.

e. Materi muatan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tidak seharusnya memiliki

muatan produk hukum setingkat undang-undang, dimana materi muatan

SE.Mendagri No.470/336/SJ bersifat regelling yang mengikat untuk umum

123

seharusnya hanya ada pada undang-undang yang merupakan produk hukum

yang dikeluarkan oleh wilayah kekuasaan legislatif bersama Presiden.

Menilik ruwetnya masalah pengisian kolom agama pada KTP

menimbulkan kondisi pro-kontra terhadap dicantumkannya agama sebagai bagian

dari format KTP, tanggapan yang timbul tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga

kelompok, yaitu:

a Setuju akan dicantumkannya kolom agama sebagai bagian dari format KTP,

dan negara memberi penegasan agama apa saja yang diakui

b Setuju dicantumkannya kolom agama pada KTP, dan jenis agama yang dapat

dituliskan diserahkan kepada individu masing-masing untuk menentukannya.

Atau dengan kata lain tidak ada limitasi terhadap agama-agama untuk diakui

oleh negara.

c Tidak perlu adanya kolom agama, karena agama tidak ada kaitannya dengan

hak publik yang dapat dinikmati oleh individu.

Sebagaimana yang diungkap oleh Franz Magnis-Suseno bahwa:

“kebenaran agama kita bukan milik kita orang beragama, melainkan rahmat

Tuhan....Tidak usahlah kita menjadi hakim atas keyakinan orang lain”32

.

3.7. Pelayanan Hak-Hak Sipil Bagi Umat Tao Oleh Pemerintah Saat Ini

Jaminan konstitusi terhadap kemerdekaan beragama sebagaimana dalam

UUD 1945 pasal 29 tidak saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk

hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan

32

Suseno, Franz Magnis. 1998. Agama-agama, Kerukunan, dan Kerendahan Hati, dalam

Franz Magnis Suseno. Mencari Makna Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.

11.

124

kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Umat agama-agama dan penganut

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara berhak untuk

mendapatkan pelayanan negara tanpa diskriminasi. Salah satu prinsip pelayanan

publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63

tahun 2004 adalah prinsip kesamaan hak, di mana pelayanan publik tidak

diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender,

status ekonomi.

Enam agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,Budha, dan

Khonghucu telah mendapatkan pelayanan dalam struktur organisasi Kementerian

Agama. Aliran kepercayaan juga telah diakomodir kepentingannya oleh

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi kebudayaan.

Namun agama lainnya, di luar 6 agama di atas mengalami persoalan dalam

mendapatkan pelayanan dari negara yang disebabkan karena identitas keagamaan

mereka. Hak anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai

dengan agama dan oleh guru yang seagama juga tidak terpenuhi. Pendidikan

agama dalam regulasi yang ada hanya merujuk pada pendidikan agama untuk

enam agama besar saja.

Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah Negara memiliki kesulitan-

kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang

ada di Indonesia. Sementara pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan

pelayanan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia sebagaimana

pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa beliau adalah

menterinya semua agama. Oleh karena itu dibutuhkan definisi dan kriteria agama

125

yang tepat untuk konteks pelayanan negara.

Tao bisa menjadi fenomena kebangkitan agama di negara modern yang

lebih menunjukkan pertumbuhan religius movement yang beriringan dengan

munculnya sejenis religiousitas yang tersembunyi (invisible religion),

perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia juga diwarnai berbagai

kecenderungan pemikiran dan gerakan. Hubungan antara etnik Cina dan

agama Tao telah melahirkan apa yang disebut elective affiliation. Konsep

elective affiliation yaitu suatu kedekatan agama tertentu dengan nilai-nilai,

struktur sosial, kelas sosial, kelompok sosial, atau etnik tertentu33

.

Analisis Peneliti terhadap keberadaan agama Tao bahwa agama Tao

merupakan model ethno-religius di Indonesia yang tampak dalam fenomena

agama yang menjadi identitas komunitas tertentu, dalam hal ini komunitas

tersebut adalah komunitas Tionghoa, maka peneliti memberikan istilah bagi

agama Tao sebagai “Agama Marginal” di Indonesia. Dengan istilah

“Marginalized Religion”, maka posisi kelompok keagamaan itu dipahami

sebagai konstruksi dari dinamika internal kelompok itu dan relasinya secara

sosial dan politis dengan kelompok lain. Menurut peneliti, “Marginalized

Religion” itu sebenarnya adalah model dari “Pencarian Spiritualitas (Seeking

Spirituality)”. “Pencarian” ini dapat diartikan sebagai upaya untuk pengukuhan

kembali konsep manusia sempurna (whole person), termasuk rasa memiliki

secara emosional dan intuitif. Karakter “pencarian” yang seringkali menembus

batas-batas agama formal dan mapan inilah yang meletakkan religiusitas gaya 33

Kurtz, Lester. 1995. God in The Global Village. California: Pine Forge Press. Hlm. 13-

14.

126

baru ini sebagai “agama marginal”.

Di dalam meneliti perkembangan Tao, peneliti berpendapat bahwa Tao

sebagai gerakan agama baru (new religious movement) di era modern ini atau

yang biasa dikenal dengan sebutan “new age”, meskipun selama ini Tao

merupakan termasuk salah satu ajaran Tri Dharma. Sebutan “New Age”

merupakan nama gerakan spiritual yang concern pada perdamaian dan

menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh setiap agama. Agama

Tao merupakan salah satu bentuk penting dalam fenomena kebangkitan agama

di Indonesia. Peneliti juga memberikan suatu analisa bahwa agama Tao

merupakan suatu gerakan spiritual lintas iman (multi faith spiritual movement),

karena didalam ajaran agama Tao, selain kepercayaan terhadap ajaran Tao juga

lebih dekat dengan akar praktek agama Buddha.

Kebangkitan spiritualisme semacam ini dapat menumbuhkan persoalan

baru mengenai kebebasan, pluralisme, dan hak-hak minoritas di Indonesia.

Kalangan etnik tertentu dianggap “belum beragama” sejauh mereka belum

memeluk satu diantara “agama resmi” yang diakui di Indonesia, mereka

dianggap hanya memiliki “religi” atau “kepercayaan”.

Bahkan Koentjaraningrat menyarankan, bahwa ketiga istilah baik

agama, religi, maupun kepercayaan memiliki definisi sendiri-sendiri. Agama

merupakan yang diakui secara resmi dalam negara kita, religi merupakan

sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, dan kepercayaan

merupakan komponen kedua dalam tiap agama dan religi.

Meskipun kata “kepercayaan” dicantumkan dalam UUD 1945 bukan

127

berarti hidup mereka terjamin. Dalam interpretasi-interpretasi selanjutnya kata

“kepercayaan” terus mengalami tarik menarik. Hal ini yang pada akhirnya

membuat aliran kepercayaan dan agama-agama suku di bawah pengawasan dan

pembinaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan yang berdiri pada

tahun 197834

.

Menurut pemahaman peneliti bahwa dalam pandangan penguasa negara

(pemerintah) dan penguasa “agama universal”, maka bila ada komunitas

keagamaan yang dianggap menyimpang dari “agama mainstream” yang dianut

negara, maka komunitas keagamaan tersebut harus “dibersihkan” atau

“ditundukkan” ke dalam wadah agama yang sudah ditentukan penguasa dengan

sejumlah syarat, diantaranya adalah “agama lokal” harus merubah sistem

ajarannya dan disesuaikan dengan ajaran atau pandangan doctrinal “agama

mainstream” yang berlaku. Apabila menolak, maka negara tidak akan

mengakui mereka sebagai “agama” dan hanya sebatas sebagai “aliran

kepercayaan”. Menurut peneliti, istilah “aliran kepercayaan” adalah sebuah

istilah yang “diskriminatif” karena bagi umat yang mengakui agama Tao pasti

mereka akan tetap menganggap Tao sebagai agama.

Menurut pemahaman peneliti, bahwa Konstitusi, Perundangan, dan

Peraturan Pemerintah Indonesia sejauh ini memang belum memberi perlakuan

yang sama terhadap “agama universal” dan “agama lokal”, apalagi “agama

baru”. Penafsiran dan pemaknaan dari Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat 2

masih menempatkan “agama universal” dan “agama lokal” pada dua kutub

34

Saidi, Anas. (Ed.). 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta. Jakarta:

Desantara. Hlm. 34.

128

yang “diametral” dan “kontradiktif”. “Agama universal” ditempatkan sebagai

“agama resmi” yang diakui negara, sementara “agama lokal” dianggap “bukan

agama” tetapi hanya “aliran kepercayaan”.

Berdasarkan TAP MPR No.4 Tahun 1978, maka “agama universal”

yang diakui Pemerintah Indonesia yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu,

Buddha. Dan Khonghucu TAP MPR No.4 Tahun 1978 sering dijadikan sebagai

acuan yuridis-formal mengenai legitimasi keagamaan di Indonesia. Ketegasan

tentang 5 agama resmi selanjutnya termuat dalam Surat Edaran Menteri Dalam

Negeri No.477/74054 tanggal 18 Desember 1978 sehingga menghapus

ketentuan lama yang termaktub dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia

No.1 Tahun 1965 sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara No.2736

Tahun 1965, dan juga UU No.5 Tahun 1965 yang mengakui Konghucu sebagai

bagian dari “agama mainstream” yang diakui Pemerintah Indonesia. Penetapan

Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 ini tidak hanya dicantumkan

Konghucu tetapi juga Yahudi, Zaratrustra, Shinto, dan Taoisme. Tapi

pencantuman inipun sebetulnya hanya bersifat konstatasi tentang agama-agama

yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, bukan bersifat

pembatasan bahwa hanya agama-agama itulah yang diakui dan berhak hidup di

Indonesia, tetapi dalam prakteknya tidak demikian. Konghucu kembali menjadi

agama yang diakui Pemerintah Indonesia pada masa Pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid, sedangkan terhadap “agama-agama baru” tampaknya

Pemerintah Indonesia belum bisa memberikan jaminan.

TAP MPR No.4 Tahun 1978 tidak hanya memuat peraturan mengenai

129

“agama resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia tetapi juga telah menarik

garis yang tegas antara “agama” dan “aliran kepercayaan”. “Agama” sebagai

sesuatu yang luhur dan “aliran kepercayaan” hanya menduduki posisi “kelas

dua” dibawah “agama”. Ketetapan ini ditindaklanjuti Pemerintah Republik

Indonesia melalui Kemnetrian Agama dalam sebuah Instruksi Menteri Agama

No.4 Tahun 1978 yang menolak “kelompok aliran kepercayaan” sebagai

“agama” dan melepaskannya dari pembinaan oleh Kementerian Agama.

Adanya sejumlah peraturan dan perundangan yang “diskriminatif”

berdampak pada pandangan yang sinis dan tidak empatik dari masyarakat

mayoritas terhadap komunitas keagamaan lokal. Adanya perlakuan

diskriminatif tersebut dapat mengakibatkan “agama lokal” kurang dihargai dan

akhirnya mengalami diskriminasi, terpinggirkan, terpuruk, terhegemoni, dan

kehilangan haknya untuk dihargai sebagai bagian dari kemajemukan agama.

Menurut peneliti, sebutan istilah “agama marginal” sangatlah tepat diberikan

untuk keberadaan agama Tao di Indonesia.

Sejak Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan berlaku, maka pengaturan tentang pencatatan sipil tunduk pada

Undang-Undang No.23 Tahun 2006 karena kegiatan pencatatan sipil masuk ke

dalam kegiatan Administrasi Kependudukan. Meskipun keberadaan agama Tao

di Indonesia sebagai “agama marginal” namun pada kenyataannya kehidupan

beragama umat Tao berjalan secara alamiah tanpa adanya hambatan. Setelah

sekian lama mengalami berbagai macam diskriminasi, namun umat Tao

cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan pendekatan persuasif. Saat ini,

130

dalam hal perkawinan, umat agama Tao tidak mengalami hambatan dalam

pencatatannya. Ketika terjadi perkawinan, maka terlebih dahulu tokoh agama Tao

menguruskan persyaratan administrasi atau surat-surat berkenaan dengan syarat-

syarat perkawinan. Melalui Majlis Tridharma Indonesia (MTI), surat-surat

tersebut diserahkan ke Kantor Catatan Sipil. Setelah ditentukan hari

perkawinannya, maka perkawinan dilaksanakan di kelenteng “Sinar Tao” di Jl.

Madukoro AA/BB Semarang. Sebelum upacara perkawinan dimulai, mereka

melakukan sembahyang di kelenteng “Sinar Tao, tepatnya di depan altar Maha

Dewa Lao Zi. Upacara perkawinan dipimpin oleh ruhaniwan/pendeta agama Tao,

yakni Adhi Sandjojo Tairas. Di tempat inilah seluruh keluarga calon penganten

laki-laki dan perempuan untuk mengikuti upacara ritual perkawinan dan sekaligus

menyaksikan pencatan perkawinan oleh seorang utusan Kantor Catatan Sipil Kota

Semarang.

Prosesi perkawinan umat Tao nampak ketika diatas altar Maha DewaTao,

diletakkan 5 macam buah sebagai lambang dari U Fuk (Lima kebahagiaan). Di

kanan-kiri hiolo terdapat 9 pasang lilin merah yang diatur dari yang pendek ke

yang tinggi. Sebagai pemanis, diletakkan rangkaian bunga. Ada pula yang

memasang kain merah untuk semakin memeriahkan ruangan.

Begitu tiba, pengantin dijemput oleh sepasang Huang Ie yang bertugas

sebagai penjemput pengantin. Mereka dibawa ke ruang upacara dengan diiringi

lagu Kwe Ming Li.

Upacara pun segera dimulai. Pemimpin upacara yang berjumlah 3 orang

memimpin para Fu Fak untuk sembahyang. Setelah para Fu Fak berdiri di kanan-

131

kiri tempat upacara, barulah pengantin dan orang tua mereka diantar ke depan

altar untuk sembahyang, diiringi lagu Kung Huo. Pengantin beserta orang tua

sembahyang dengan menggunakan 1 hio besar dipimpin oleh salah seorang

pemimpin upacara.

Seusai sembahyang, orang tua pengantin dipersilahkan duduk di tempat

yang telah disediakan. Orang tua mempelai pria di sebelah kanan dan orang tua

mempelai wanita di sebelah kiri.

Acara Cing Ciu (Mempersembahkan arak) dimulai. Dengan diiringi lagu

Syiek Suang Jing atau terima kasih, kedua mempelai Kui (bersujud)

mempersembahkan arak sebagai lambang hormat serta terima kasih mereka

kepada orang tua yang telah membesarkan, mendidik serta memberikan kasih

sayang sehingga dewasa dan dapat mulai menempuh sebuah kehidupan sendiri

yang mandiri.

Acara dilanjutkan dengan suatu Tanya jawab antara pemimpin upacara

dengan pengantin. Para pemimpin upacara berhak menilai apakah kedua

mempelai memang cukup layak secara mental untuk membangun sebuah rumah

tangga sendiri.

Selanjutnya adalah Acara Tukar Cincin. Dengan diiringi lagu Se Yen

(Kuucap Janji), mempelai berdua saling mengikatkan diri. Para pemimpin

upacarapun memberikan beberapa nasehat yang berguna dalam kehidupan

pernikahan mereka kelak. Puncaknya pernikahan disahkan dengan memberikan

simbol berupa kalungan hati kepada masing-masing pengantin, yang kemudian

disatukan dengan sebuah kalungan besar berbentuk hati juga, sebagai tanda

132

bersatunya dua hati. Hadirin serentak memberikan tepuk tangan sambil

menyanyikan lagu Cu Fuk, yang berarti selamat berbahagia.

Upacara diakhiri dengan ucapan selamat dari para pemimpin upacara

beserta Fu Fak yang lalu diikuti oleh keluarga dan hadirin. Sebelum meninggalkan

Taokwan, kedua mempelai sembahyang mengucapkan terima kasih. Lagu

Gembira Ria dan Tao Ciao Ti Ce (Umat Tao) mengantar kepergian mereka.

Demikianlah, dua buah hati telah menjadi satu, bahu membahu menempuh sebuah

kehidupan yang baru.

Begitu juga dalam ritual kematian, umat agama Tao memberikan

pelayanan bagi umat yang meningggal dunia. Ritual kematian yang dimaksudkan

adalah serangkaian kegiatan untuk mengurus jenazah sampai ke pemakaman.

Dalam hal ini, pengurus kelenteng “Sinar tao” terlebih dahulu mengadakan ritual

kematian, yang dinamakan “Jao Tu”. Upacara ini dimaksudkan untuk

menghantarkan arwah ke alam keabadian, yang diikuti oleh keluarga yang

berduka. Biasanya, upacara Jao Tu dilakukan oleh 12 orang ruhaniwan, dan salah

satunya berlaku sebagai pemimpin upacara yang membacakan doa-doa atau

mantra-mantra agar almarhum memperoleh kehidupan yang damai, dan

memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi keturunan yang ditinggalkannya.

Ritual kematian tersebut dilakukan di rumah duka, tempat almarhum

disemayamkan, seperti di Rumah Duka Iwan dan Rumah Duka Pantiwilasa. Di

tempat inilah, mereka melakukan ritual kematian dengan pembakaran dupa.

Diantara mereka ada seorang yang bertugas membawa Siang Fen (bubuk

133

cendana) yang akan dibakar di anglo kecil di bawah peti jenazah agar harumnya

tembus ke langit tingkat sembilan.

Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa pelayanan hak-hak sipil

oleh pemeritah dirasakan jauh lebih baik oleh umat agama Tao, karena pemerintah

telah memberikan kelonggaran-kelonggaran sebagai warga negara Indonesia,

seperti: hak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan

pelayanan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan sebagainya. Bagi umat agama

Tao, perlakuan diskriminatif selama ini tidak direspon secara frontal, melainkan

cenderung untuk bersikap persuasif dan dialogis. Hal ini terlihat ketika umat Tao

disyaratkan agar mencantumkan agama Budha dalam sebuah dokumen

kependudukan, dan mereka memilih untuk menurutinya.

Sikap umat Tao semacam ini tidak lepas dari azas dasar yang dianut oleh

umat Tao yang bersumber pada Kitab Suci “Tao Te Ching”, yang berarti “Aturan

mengenai Jalan dan Kebajikan”. Karena itu, umat agama Tao tidak banyak

tuntutan kepada pemerintah, utamanya berkenaan dengan pengakuan terhadap

agama Tao. Sebab hal ini membawa konsekwensi yang lebih berat kepada

eksistensi agama Tao sendiri, seperti: penyiapan SDM, penyiapan sarana dan

prasarana, bahkan penyiapan struktur kelembagaan.

Sejak era pemerintahan Gus Dur, etnik Tionghoa Indonesia telah

merasakan “kemerdekaan” untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya,

Pelayanan bagi Tao Yuan (umat Tao) kini pun sudah tersebar di sejumlah

Taokuan (tempat ibadah umat Tao ) yang tersebar di Indonesia yaitu Thay Ping

Gong Sinar Suci Jakarta; Wan Fu Gong Sinar Mulia Bandung; Zheng Dao Gong

134

Dewa Agung Jambi; Qing Jing Gong Suci Mulia Bandar Lampung; Zi Xiao Gong

Sinar Bakti Bangka; Xuan Guang Gong Sinar Agung Tao Palembang; Ci Ai Dao

Guan Cinta Kasih Mojokerto; Qing Ping Gong Sinar Damai Makassar; Jing Hua

Gong Sinar Murni Medan; Zheng Shan Gong Sinar Sejati Binjai; Wan Fu Gong

Sinar Tao Semarang; Thay Qing Gong Maha Suci Surabaya; dan Tao Kwan Sinar

Cerah Pontianak (http://taoindonesia.info/2011/10/20/taokuan-tempat-ibadah-

umat-tao-di-indonesia/ Diunduh 17 Agustus 2013 – 11.59 WIB)