BAB III HUKUM KEWARISAN BADUYrepository.uinbanten.ac.id/4612/4/BAB 3.pdf · mawaris terbagi menjadi...
Transcript of BAB III HUKUM KEWARISAN BADUYrepository.uinbanten.ac.id/4612/4/BAB 3.pdf · mawaris terbagi menjadi...
128
BAB III
HUKUM KEWARISAN BADUY
A. Hukum Kewarisan Islam
Hukum waris dalam Islam dalam Bahasa Arab dinamakan
ilmu faraid artinya ilmu “pembagian”, atau lebih jelas di artikan
suatu ilmu yang menerangkan tata cara pembagian harta dari
seseorang yang telah meninggal dengan pembagian-pembagian
yang telah ditentukan untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya.1
Dalam istilah hukum yang berlaku digunakan kata
kewarisan, dengan mengambil kata asal “waris” dengan
tambahan awal “ke” dan akhiran “an”. Kata waris itu sendiri
dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula
proses. Dalam arti yang pertama mengandung makna “hal ihwal
orang yang menerima harta warisan” dalam arti kedua
mengandung kata “hal ihwal peralihan harta dari yang mati
1 Saifuddin arif, Praktek Pembagian Harta Peningalan Berdasarkan
Hukum Waris Isla, (Jakarta: PP Darunnajah, 2007), h. 5
129
kepada yang masih hidup”. Arti terakhir ini yang digunakan
dalam istilah hukum.2
Sedangkan menurut bahasa waris ialah berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum
kepada kaum yang lain. pengertian menurut bahasa ini tidaklah
terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Adapun dalam itilah
lain, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang
meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.3
Menurut KHI pasal 171 huruf a yang dimaksud dengan
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa –siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing. Harta warisan menurut hukum
Islam yaitu, sejumlah harta benda serta segala hak dari yang
meninggal dunia dalam keadaan bersih. Artinya, harta
2 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana,
2004), h. 7 3 Muhammad Ali Ash shabuni, Pembagian Harta Waris Menurut
Islam, (Jakarta: Gema Insani Pers 2001), h33
130
peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah
harta benda serta segala hak, setalah dikurangi dengan
pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran
lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris.4
Sementara itu, harta warisan menurut KHI pasal 171 huruf e
memberi pengertian yaitu harta bawaan yang ditambah bagian
dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurasan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Dasar dan sumber utama dari Hukum Islam sebagai
hukum agama adalah Alqur‟an dan sunnah Nabi. Yang secara
langsung mengatur permasalahan kewarisan tersebut antara lain:
Surat an-Nisa ayat 7 :
هورجال حرك ا م انصيب ل قربنوٱهوٱل حرك ا م صيب اولونساء ل نٱهو
نو قرباحركٱل م نولونساءصيب ا ل قربنوٱهو
ٱل ا روط ف ي
4 Muhammad Yasir Fauzi, Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol 9, No. 2 Agustus 2016, h.63
131
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang
telah ditetapkan.”
Ketentuan dalam ayat ini merupakan sebuah landasan dalam
menunjukka bahwa dalam agama Islam antara laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai hak atas waris, bahwa
perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban. Bahwa Islam mengakui wanita sebagai subjek hukum,
dalam keadaan tertentu mampunyai hak waris, di jelaskan dalam
ayat Al-qur‟an sebagai berikut:
Surat An-Nisa Ayat 8:
حوإذا ثض ٱهقس ا ول
بأ موٱهقر ت يوٱل م س ىفٱل ىٱرزق ل ا وقل ي
عروفا ي ل ق
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,
anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik”.
Surat An-Nisa ayat 9:
132
ولخش ي ٱل ا ق فويخ ى عوي ا خاف فا ع ط ث ي ذر ى خوف ي ا حرك ل لل ٱ
ا لسديد اق ولقل
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Surat An-Nisa ayat 10:
إن ي ٱل ل يو
أ كونميأ ت ٱل ا ار ى بط ف كون
يأ ا إن ا عو
يرا ع نس وسيصو
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka).
Surat An-Nisa ayat 11:
يصيكى ٱلل ظ ح ن ير ر ل للذ ى دك ول
أ نف ي ثي
ل ٱ ق ف نساء ك فإن
ي ذورٱذنخ فو ا فو ة حد و ج ك ن وإ حرك ا ي ٱلصف ا د ح و هك ي ة
ول
133
ا دسي حرٱلس ا لكم ن ك ن ۥإ ل يك ى ه إن ف ل ۥو ورذ و ل ۥو ه ا ة
أ
يلٱلثود فل كن إن فۥف ة إخ ي
دس ل ٱلس و
أ ا ة يص ث وصي عد ب ي
ي
أ حدرون ل ؤكى ا ب
وأ ؤكى ءاةا ىدي ي فريظث عا نف هكى قرب
هأ لل ٱ
إن ٱلل ا احمي نعوي ك
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Surat An-Nisa ayat 12:
134
يا صف ۞وهكى ل و ل كن فإن ول ل يك هى إن جكى و ز
أ حرك
عفوكى ب ٱلر ول ن دي و
أ ا ة ي يص ث وصي د ع ب ي حرك ا عم ب ٱلر ا م
ول كى ه يك ى ه ن إ هكىحركخى ن ك ن فإ فو ل و ٱلث ي حركخىن ا م
و
أ ث و لل رث ي ن رج ن ك وإن دي و
أ ا ة حصن ث وصي عد ب ة
رأ م ۥولٱ و
أ خ
أ
ا ي د ح و فوك خج
دس أ ٱلس
أ ا ك ثفإن فك لك ذ ي ف كء ش ى
ٱلثودن ي ث وصي ار مظ ير غ دي و
أ ا ة يص ث وصي عد ب هي وٱلل ٱلل ى عوي
حويى
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
135
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Ayat-ayat diatas adalah ayat yang menjelaskan kewarisan
secara langsung serta masih ada lagi ayat-ayat yang berkaitan
dengan kewarisan yang menjadi sumber dan rujukan dasar hukum
kewarisan.
Hadist dari Muhammad Abdullah Ibnu Abbas yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
ل عويوسوىقا للع بيصلىا ال ع سرضياللع عتا ا:عإة لحق أ
وا ضةأ ر,اهفرائ قيفلولىرجنذل واهألبخارئ)فاة (ر
“Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang
berhak dan selebihnya kepada laki-laki dari keturunan laki-laki
yang terdekat.”5
5 Al-bukhori, Shahih Bukhari, (Kairo: Darr wa Mathba Asy-
Sya‟biy,T.t) juz. IV, h. 181
136
Hadist Nabi yang diriwayatkan dari Imron bin Hussein
menurut riwayat Imam Abu Daud:
لأناة قا يوسوىف للعو لىا بيص تىال نرجنأ نةحسيأ را عع
س للكالسد فقا تفالىيييراح تىيا (رواهأةداو)اةاةن
“Dari Umron bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatang
nabiSaw. Sambil berkata: “bahwa anak laki-laki dari anak laki-
laki saya meninggal dunia, apa yang dapat dari harta
warisannya”.Nabi Berkata: “kamu mendapat seperenam”.
Adapun syarat pembagian warisan serta halangan untuk
menerima warisan menurut Islam adalah sebagai berikut:
1. Tiga syarat mendapatkan harta peninggalan atau warisan,
ayitu:
a. Pewaris benar-benar telah meninggal dunia. Baik
meninggal (mati) hakiki, yaitu kematian seseorang
yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian,
bahwa seorang telah meninggal dunia, maupun mati
hukmi, adalah kematian seseorang yang secara
yuridis ditetapkan melalui putusan hakim dinyatakan
137
telah meninggal dunia, ini bisa terjadi seperti dalam
kasus seseorang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa
diketahui dimana dan bagaimana keadaannya.
b. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia, atau dengan putusan hakim
dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal.
Maka, jika dua orang yang saling mempunyai hak
waris satu sama lain meninggal bersama-sama, tetapi
tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dulu, maka
di antara mereka tidak terjadi waris-mewarisi.
Misalnya, orang yang meninggal dalam satu
kecelakaan penerbangan, tenggelam, kebakaran dan
sebagainya.6
c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan
pada ahli waris, atau dengan kata lain, benar-benar
dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak
waris. Syarat ketiga ini disebutkan sebagaisuatu
penegasan yang diperlukan, terutama di pengadilan
6 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2001), Cet. 14, h. 20
138
meskipun secara umum telah disebutkan dalam sebab-
sebab kewarisan.
2. Adanya beberapa sebab yang menjadi penghalang bagi
seseorang untuk mendapatkan warisan, dalam fiqih
mawaris terbagi menjadi 2 macam yaitu, hijb bil washafi
dan hajb bish syakhshy. Hajb bil washafi adalah
mencegah ahli waris dari mendapatkan seluruh haknya,
seperti membunuh, atau murtad, yaitu keluar dari agama
atau beda agama. Hajb bish syakhshy yakni adanya orang
yang lebih berhak daripadanya sehingga memahjubkan
(menghalanginya) untuk memperoleh bagian harta waris.7
a. Berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan
penghalang ini adalah hadits Nabi yang mengajarkan
bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta
orang kafir dan orang kafir tidak berhak waris harta
orang muslim.
7 Muhammad Jawad Mughaniyah, Fiqh Lima Mazhab, terjemah
Masykur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera Basri Tama,
2004), h568
139
b. Pembunuhan. Hadits Nabi mengajarkan bahwa
pembunuhan tidak berhak mewaris atas peninggalan
orang yang dibunuh. Yang dimaksud dengan
membunuh adalah membunuh dengan sengaja yang
mengandung unsur pidana. Sementara pembunuhan
yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah:
1) Pembunuhan karena khiilaf
2) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
3) Pembunuhan yang dilakukan karena tugas, dan
4) Pembunuhan karena „uzur untuk membela diri.
c. Perbudakan. Perbudakan dianggap sebagai
penghalang waris mewarisi ditinjau dari dua sisi. Oleh
karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta
peninggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat
mewariskan harta untuk ahli warisnya, niscaya yang
memiliki warisan tersebut adalah tuannya, sedangkan
budak tersebut merupakan orang asing (bukan anggota
keluarga yuannya). Budak juga tidak dapat
140
mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya
karena dianggap tidak mempunyai sesuatu.
d. Perbedaan tempat tinggal (Berlainan Negara),
sebenarnya perbedaan kewarganegaraan ini tidak
melarang para pemeluk agama Islam untuk saling
mewarisi dengan demikian para ulama telah
bersepakat bahwa meskipun tempat tinggal berjuahan
atau bahkan berbeda tempat tinggal (negara) seorang
muslim tetap menjadi pewaris kerabat muslim lainnya.
Sedangkan hajb bish syakhshy terdiri dari dua macam
yaitu:
a. Hajb hirman terhalangnya seseorang untuk
memperoleh seluruh bagian harta warisan, padahal
seharusnya ia mendapatkannya. Seperti terhalangnya
kakek oleh seorang ayah. Ada 6 orang yag tidak dapat
di hajb hirman sehingga selama meraka akan
141
mendapatkan warisan yaitu: anak laki-laki kandung,
anak perempuan kandung, ayah, ibu, suami dan istri.8
b. Hajb Nuqsha‟n, yaitu berkurangnya bagian seorang
ahli waris dari semestinya yang ia terima karena
adanya orang lain. Dengan demikian Hajb Nuqsha‟n
tidak menghalangi sama sekali orang yang berhak
menerima waris namun mengurangi bagiannya
sehingga ia tidak dapat memperoleh bagiannya secara
maksimal.
Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan
peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang
menerima kadar jumlah harta dan waktu terjadinya peralihan
harta. Asas-asas tersebut yaitu:
1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku
dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa
8 Muhammad Ali Al-Sabonuni, Hukum Kewarisan, Terjemah,
Hamdan Rasyid, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2005), h. 107
142
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya
dan asas ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:
a. Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum
meninggal ia tidak dapat menolak peralihan harta
tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya,
maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang
ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu sebelum
meninggal ia tidak perlu memikirkan atau
merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena
dengan meninggalnya seseorang secara otomatis
hartanya beralih kepada ahli warisnya.
b. Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa
harta orang yang meninggal itu beralih dengan
sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali
oleh Allah. Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam
diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan
harta karena pada peralihan berarti beralih dengan
sendirinya sedangkan pada kata pengalihan ialah
usaha seseorang.
143
c. Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah
dapat dilihat dari kata “mafrudan” secara etimologis
berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan,
kata-kata tersebut dalam terminologi ilmu Fikih,
berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah
kepadanya, yaitu berarti bagian waris sudah
ditentukan.
d. Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa
penerima harta, dan mereka yang berhak atas harta
peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti.
2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam
hukum kewarisan Islam adalah seseorang menerima hak
kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk
labih jelasnya asas bilateral ini dapat dilihat dalam surah
an-Nisa ayat : 7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan
dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh
warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga
144
dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah
pihak orang tuanya. Ayat ini merupakan dasar bagi
kewarisan bilateral selanjutnya dipertegas dalam surah an-
Nisa:11
ٱيصيكى لل حظ ن ير لر ىللذ دك ول
أ نٱف ي ثيل ء ا نس ك فإن
ق يٱف اذنخ و ةف حد و نكج احركوإ ي ذورا ف ٱفو لص ي ةول
ا ي حد و سٱهك د حرلس ا لكم ن ك ن ۥإ ل يك ى ه إن ف ۥول
وورذ ۥول يفل ه ا ة
د ٱأ للثو ن ك ن ۥفإ ي
فل ة س ٱإخ د لس ي
ي
أ ن حدرو ل ؤكى ا ب
وأ ؤكى ءاةا ي د و
أ ا ة يص ث وصي عد ىب
ي ظث فري عا قربهكىنف
هٱأ لل ن ٱإ لل ا احمي ي عو ن ك
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
145
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
3. Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli
waris (secara individu) berhak atas bagian yang
didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainnya.
Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris
secara individu berhak mendapatkan semua harta yang
telah menjadi bagiannya. Ketentuan ini dapat dijumpai
dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang secara
garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki maupun
perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya
dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta yang
146
telah ditentukan. Yang mengemukakan bahwa bagian
masing-masing ahli waris ditentukan.
4. Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah
keseimbangan antara hak dengan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan
dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan
bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak
kewarisan.
5. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya
peralihan harta hanya semata-mata karena adanya
kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak
dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila
pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat
dilakukan dengan pewarisan.
B. Hukum Kewarisan Adat
147
Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai pengertian
hukum adat, yang dikemukakan oleh berbagai ahli dalam bidang
hukum adat, baik dari sarjana Indonesia maupun dari sarjana luar
negeri. Akan tetapi secara umum, pengertian hukum adat adalah
suatu aturan atau hukum yang tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan, yang meliputi peraturan hidup, dan
meskipun tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib atau
pemerintah, namun ditaati dan didukung oleh masyarakat
berdasarkan atas keyakinan yang telah turun temurun dari nenek
moyang yang kemudian dijadikan kekuatan hukum.9
Sistem hukum adat bersumber dari peraturan-peraturan
hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta
dipertahankan oleh masyarakat dengan penuh kesadaran.
Sehingga hukum adat mempunyai tipologi tradisional yang
berpangkal pada keinginan nenek moyang, yang diterapkan
9 Dwi Sulastri, Pengantar Hukum Adat, (Bandung: CV, Pustaka Setia,
2015), cet 1, h. 26
148
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun dalam
kancah sosial lainnya.10
Hukum adat biasa nya berbeda dari satu daerah terhadap
daerah lainnya, perbedaan terjadi karena kondisi tempat, bahasa,
dan kebiasaan masyarakat yang berbeda pula. Misalnya orang
Minangkabau datang ke daerah Sunda dengan membawa tradisi-
tradisinya, secara cepat mereka akan mengikuti adat Sunda.
Setiap daerah mempunyai adat lokal yang sesuai dengan
karakteristik dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada
masyarakat tersebut.
Hukum adat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia
diantaranya adalah hukum adat keagamaan, hukum adat
perantauan, hukum adat teritorial, dan hukum adat genealogis.11
Penjelasan undang-undang dasar 1945 dalam BAB VI
Pasal 18 ayat 18 ayat (2) menyatakan bahwa dalam teritoir negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturendelandelandchappen dan volksgemeenschappen
10
Dwi Sulastri, Pengantar Hukum Adat,......h. 5 11
Dwi Sulastri, Pengantar Hukum Adat,......h. 26
149
seperti desa di Jawa dan Bali, negeri Minangkabau, dusun dan
marga di palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.12
Istilah “hukum adat” adalah terjemahan dari istilah dalam
bahasa Belanda “adatrecht”. Orang pertama yang menggunakan
istilah “adatrecht” adalah Snouck Hurgronje, beliau seorang ahli
sastra ketimuran berkebangsaan Belanda. Istilah tersebut, yang
kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven
sebagai istilah teknis – yusridis.13
Istilah kebiasaan adalah terjemahan dari bahasa Belanda
gewoonte, sedangkan istilah adat berasal dari istilah Arab yaitu
12
Anonimus, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, (Jakarta: Sekjen
MPR RI, 2011), h. 51 13
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar,
(Jakarta: Pradanja Paramita, 1991), h. 9
150
adah, yang dimaksudkan juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan
dan adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.14
Ilmu hukum membedakan pengertian kebiasaan dan adat,
perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai
prilaku atau tingkah laku manusia , atau dilihat dari segi sejarah
pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.15
Sebagai prilaku manusia istilah biasa berarti apa yang
selalu terjadi, apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti
kelaziman. Misalnya mengucapkan salam adalah kebiasaan orang
Islam kepada orang lain yang beragama Islam, sedangkan
menjawab salam tidak saja kebiasaan perseorangan akan tetapi
juga kebiasaan masyarakat. Apabila kebiasaan itu selalu
dilakukan oleh orang banyak, maka kebiasaan itu menjadi adat,
jadi adat adalah kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan
oleh masyarakat.16
14
Halim Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: PT,
Alumni, 2013), Cet, ke 5, h. 29 15
Halim Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia,..........h. 30 16
Halim Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia,............h. 37
151
Perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian
istilah kebiasaan dan adat, ada kebiasaan di luar perundang-
undangan dan ada kebiasaan yang diakui perundang-undangan,
sedangkan adat selalu diartikan di luar perundangan karena tidak
tertulis.
Hukum adat merupakan hukum yang tidak bisa lepas dari
masyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya masyarakat
Indonesia telah patuh terhadap hukum adat yang merupakan
hukum tidak tertulis yang telah mendarah daging bagi masyarakat
Indonesia sejak dilahirkan.17
Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah yang
menunjukan aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat
tertentu tidak secara tertulis dalam suatu aturan yang dibuat oleh
pemerintah, namun hukum adat tersebut dapat tumbuh dan
berkembang pada masyarakat sekitar atau adat lokal.
Mendefinisikan hukum adat sangat sulit sekali karena:
17
Soerojo Wihnjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,
(Jakarta: Gunung Agung, 1995), Cet, XIV, h.78
152
1. Hukum adat itu masih dalam pertumbuhan;
2. Hukum adat secara langsung selalu membawa kita kepada
dua keadaan yang justru merupakan sifat dan pembawaan
hukum adat itu, ialah
a. Tertulis dan tidak tertulis
b. Pasti atau tidak pasti;
c. Hukum raja, atau hukum rakyat, dan sebagainya.18
Hukum adat merupakan hukum yang hidup di negara
Indonesia, yang memiliki jiwa, sifat, serta kepribadian sendiri,
kepribadian Indonesia dan berdasarkan Pancasila, sedang
bentuknya bisa tertulis maupun tidak tertulis. Dalam masyarakat
Indonesia terdapat tiga macam persekutuan hukum, yaitu:
1. Persekutuan hukum genealogis, yang warganya mempunyai
hubungan erat atas keturunan yang sama, dan faktor
keturunan (genealogis faktor) merupakan hal yang penting
sekali.
18
Imam Sudarajat, Asas-Asas Hukum Adat, (Yogyakarta: Liberti,
2008), h. 6
153
2. Persekutuan hukum teritorial, yang warganya terikat oleh
suatu daerah dan wilayah tertentu, yang faktor teritorial
(teritorial faktor) merupakan hal yang penting sekali,
3. Persekutuan hukum genealogis-teritorial, yang faktor
genealogis maupun faktor teritorial mempunyai tempat yang
berarti.19
Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan oleh para
ahli hukum atau sarjana hukum, yaitu:
a. R. Supomo
R. Supomo membagi definisi hukum adat yaitu:
1) Hukum adat adalah hukum non statuair, adalah hukum
yang sebagian besar merupakan hukum kebiasaan dan
sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat ini juga
meliputi hukum yang berdasarkan keputusan-
keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum, hukum
adat berurat dan berakar pada kebudayaan tradisional.
19
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesi, (Jakarta: CV, Rajawali,
1981), h15
154
2) Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, hukum yang
hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan
dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di
desa-desa, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 32
UUDS 1950.
Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang
tidak tertulis menurut R. Soepomo adalah:
a) Peraturan legislatif yang tidak tertulis;
b) Hukum yang hidup dalam hukum
kenegaraan;
c) Keputusan-keputusan Hakim;
d) Hukum kebiasaan, termasuk aturan pedesaan
dan keagamaan.20
b. Soekanto
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan
bersifat paksaan memiliki sanksi hukum.21
20
Dewi Sulastri, Pengantar Hukum Adat, (Bandung: CV, Pustaka
Setia, 2015), Cet. 1, h. 26
155
c. Hazairin
1) Adat adalah resapan kesusilaan dalam masyarakat,
yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-
kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu.22
2) Perbedaan sifat dan corak antara kaidah kesusilaan
dengan kaidah hukum dapat dilihat dari bentuk
perkuatannya (sanksinya). Dalam ajaran Islam dikenal
dengan ahkamu khamsah yaitu 1). Fardu (wajib), 2.
Haram (larangan), 3. Sunnah-mandub-mustahab
(anjuran), 4. Makruh (celaan), 5. Jaiz (kebolehan).23
d. M.M. Djojodigoeno
Hukum adat adalah hukum yang hidup yang pada
pelaksanaannya tidak terkait pada ugeran-ugeran (norma)
hukum (pepacak-pepacak perundangan dan norma preseden
21
C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2014), Cet. 3, h. 4 22
Hazairin, Kesusilaan dan Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1952), Lihat
pula, C. Dewi Wulansari, Azas Adat Indonesia Suatu Penganta, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2014), Cet. 3, h.5 23
Hazairin, Hadist Kewarisan dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Tinta
Mas, 1962), h. 8
156
yang telah ada. Hukum adat apabila dilawan dengan hukum
perundang-undangan, maka hukum adat itu adalah hukum
yang tidak bersumber pada peraturan.24
Ada dua kategori sumber hukum, yaitu sumber
kekuasaan negara dan kekuasaan rakyat:
1) Kekuasaan negara meliputi:
a) Perundangan, sebagai keputusan legislatif;
b) Keputusan pejabat, seperti keputusan eksekutif
atau yudikatif
2) Kekuasaan rakyat meliputi:
a) Adat kebiasaan;
b) Keputusan kelembagaan;
c) Pemberontakan terhadap kekuasaan
pemerintah dan perang saudara.25
e. Soediman Kartohadiprodjo
1) Perbedaan hukum adat dan hukum tidak tertulis
24
Djojodigoeno, Asas-Asas Hukum Adat, (Yogyakarta: Gajahmada,
1958), h. 7 25
Djojodigoeno, Asas-Asas Hukum Adat..h. 7
157
Memang hukum adat itu berbentuk tidak tertulis
tetapi tidak dapat dilupakan bahwa dunia pemikiran
(denkstruktur) yang menjadi dasar hukum adat adalah
jauh berlainan dari hukum tidak tertulis atau hukum
kebiasaan sebagaimana terdapat dalam pasal 15 AB.
Istilah hukum adat tidak tertulis lebih luas artinya dari
hukum adat. Oleh karena hukum adat adalah suatu jenis
hukum tidak tertulis yang tertentu, yang mempunyai dasar
pemikiran yang khas, yang prinsipil berbeda dengan dari
hukum tertulis lainnya. Hukum adat yang karena tersusun
dengan dasar pemikiran tertentu yang prinsipal berbeda
dengan pemikiran hukum barat.26
2) Hukum nasional harus berdasarkan hukum adat
Hukum itu sebagai gejala dan pergaulan yang
hidup selalu bergejolak, dalam keadaan dorong-
mendorong dengan gejala yang lain. Oleh kerana itu
26
Soediman Kartohadiprodjo, Hukum Nasional Beberapa Tcatatan,
(Jakarta: Bima Cipta, 1968), h. 28
158
hukum nasional harus berlandaskan hukum adat atau asas-
asas pemikiran hukum adat.27
f. Bushar Muhammad
Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah
laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik
yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan
kesusiliaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena
dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat, maupun
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas
pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa
adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa
memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, yaitu dalam
keputusan lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat, dan
hakim)
g. H. Halim Hadikusuma
Istilah hukum adat berasal dari bahasa Arab Hukm dan
Adah. Kata Huk‟m (jama: ahkam) mengandung arti perintah
atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Dari
27
Soediman Kartohadiprodjo, Hukum Nasional Beberapa
Tcatatan,.......h. 28
159
kedua kata itu lahirlah istilah hukum adat yang mengandung
arti aturan kebiasaan.
Pengertian hukum adat menurut sejarah Barat :
1) Cornelis Van Vollenhoven
Cornelis Van Vollenhoven sebagai orang pertama
yang telah menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan,
sehingga hukum adat dapat sejajar dengan hukum dan ilmu
hukum yang lain. Ia mengartikan bahwa hukum adat adalah
himpunan peraturan tentang prilaku yang berlaku bagi orang-
orang pribumi dan orang-orang timur asing pada satu pihak
mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan dalam
keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).28
Rumusan
Cornelis Van Vollenhoven sangat tepat untuk
mendeskripsikan adat rech pada zaman tersebut bukan untuk
hukum adat masa kini.29
2) Berend Ter Haar Bzn
28
Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia,
(Jakarta: Jambatan, 1983), h. 14. Lihat pula, Hilman Hadikusuma, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 13 29
Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan
Republik Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1984), h. 17-18
160
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang
menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum
(dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta
mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan
berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.30
Adat dapat dikatakan hukum ketika adanya keputusan
tentang hukum oleh para petugas hukum masyarakat atau
petugas hukum adat. Pendapat Ter Haar Bzn banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Jhon Chipman Gray dari Inggris
dengan teorinya “ all the law is judge made law” (semua
hukum itu adalah hukum keputusan hakim), sebagaimana
yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon (Amerika
Serikat, Afrika Selatan) yang menganut sistem “pradilan
preseden” dimana para hakim wajib mengikuti yurisprudensi
keputusan hakim terdahulu. Sistem ini tidak sejalan dengan
sistem peradilan Belanda di Indonesia yang berpegang pada
hukum kodifikasi.
30
Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), h 12
161
Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum
waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi
bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa di dalam hukum
waris adat tidak semata–mata hanya menguraikan tentang
waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas
dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hukum waris
adat adalah hukum adat yang memuat garis–garis ketentuan
tentang sistem dan asas–asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta
warisan itu di alihkan penguasaan dan pemillikannya dari
pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya
adalah hukum penerusan harta kekayaan dari satu generasi
kepada keturunannya. Dalam hal ini perhatikan bagaimana
pendapat para ahli hukum adat di masa lampau tentang
hukum waris adat.
TEER HAAR Menyatakan :
“… het adaterfrecht de rechtsregelen, welke
betrekking hebben op het boeiende, eeuwige process van
162
doorgeven e overgaan van het materiele en immateriele
vermogen van generatie.”31
“… hukum waris adat adalah aturan–aturan hukum
yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan
dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi ke generasi.”
SOEPOMO menyatakan :
“ hukum adat waris membuat peraturan–peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang–barang harta benda dan barang–barang yang tidak
berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan
manusia (generatie) kepada turunannya.”32
Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan–
ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada
para ahli waris nya. Cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau
31
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 7. 32
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,,..... h. 8.
163
setelah pewaris meninggal dunia. Jadi bukanlah sebagaimana
dikemukakan WIRJONO.
“… pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu
adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak–hak
dan kewajiban–kewajiban tentang kekayaan seorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain
yang masih hidup.”33
Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara
penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang
melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari
wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu
meninggalkan harta kekayaan. Perhatikan istilah warisan
diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan
bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akibat dari
kematian seorang, sedangkan kami mengartikan warisan itu
adalah bendanya dan penyelesaian harta benda seseorang
kepada ahli warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.34
33
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,...... h. 8. 34
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,,..... h. 10
164
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat –
sifat tersendiri yang khas, Indonesia yang berbeda dari
Hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya
terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia
yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka
Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah
kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna
mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian dalam
hidup.35
Bangsa Indonesia murni alam fikirannya berazas
kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai
lebih diutamakan dari sifat–sifat kebendaan dan
mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak
sudah banyak kecenderungan adanya keluarga–keluarga yang
mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup
kekerabatan atau ketetanggaan maka hal itu merupakan suatu
35
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung,
1978, h. 41
165
krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan
asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.36
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak
merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi
merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi
menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli warisnya.
Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan, dan
uang penjualan itu lalu dibagi–bagikan kepada para ahli waris
menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam
Hukum Waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat
dibagi–bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para
ahli waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak
terbagi adalah milik bersama para ahli waris, ia tidak boleh
dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan
dinikmati.
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai
jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para
36
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris Indonesia,......h. 43
166
tua–tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan
jika harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual)
oleh ahli waris kepada orang lain harus dimintakan pedapat
diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak
ketetanggaan dalam kerukunan kekerabatan.37
Seperti telah dikemukakan bahwa hukum waris
merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang
terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, pokok pangkal uraian
tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia
menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang
terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan
dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda,
yaitu :
1. Sistem Patrilineal, yaitu kekeluargaan yang menarik
garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki.
37
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,.......h. 10.
167
2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang
menarik garis keturunan pihak nenek moyang
perempuan.
3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang
menarik garis keturunan dari dua sisi baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu. Didalam sistem ini
kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam
hukum waris sama dan sejajar.
Dari ketiga keturunan di atas, mungkin masih ada
variasi yang lain yang merupakan perpaduan dari ketiga
sistem tersebut, misalnya sistem patrilineal beralih-alih
(alternerend) dan sistem unilateral berganda (dubbel
unilateral) namun tentu saja masing-masing sistem memiliki
ciri khas yang berbeda dengan sistem yang lainnya.
Di samping sistem kekeluargaan yang sangat
berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris terutama
terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan
yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga sistem
kewarisan yaitu :
168
a. Sistem kewarisan individual yaitu sistem kewarisan
yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi
secara perorangan, misalnya di : Jawa, Batak,
Sulawesi, dan lain-lain.
b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem menentukan
bahwa para ahli waris mewarisi harta peninggalan
secara bersama-sama (kolektif) sebab harta
peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi
pemiliknya kepada masing-masing ahli waris.
c. Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan
yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris
hanya diwarisi oleh seorang anak.38
Atau pengalihan
hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai
pemimpin rumah tangga.39
Sistem pewarisan mayorat
contohnya di Pulau Bali, dimana anak laki-laki tertua
mempunyai hak mayorat tetapi dengan kewajiban
38
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Presfektif Islam,
Adat, dan BW, (Bandung: PT Refika Aditama 2014), h 43. 39
Hilman Hadikusuma, Hukum Keluarga Adat, Jakarta, Fajar Agung,
1987, h. 29.
169
memelihara adik-adiknya serta mengawinkan
mereka.40
Azas mayorat dalam pewarisan anak sulung ini dapat
menjadi lemah, apabila di antara anak lelaki yang lebih muda
menuntut agar harta warisan orang tua dibagi guna modal
kehidupan keluarganya. Di Bali keadaan ini sudah mulai
berkembang, bahwa sistem mayorat melemah karena anak
sulung tidak lagi menetap menunggu rumah tua, melainkan
telah pula mengikuti perkembangan zaman hidup di kota.41
Ketiga sistem pewarisan tersebut masing masing tidak
langsung menunjuk pada satu bentuk susunan masyarakat
tertentu tempat sistem pewarisan itu berlaku. Sistem tersebut
dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan
masyarakat, bahkan dalam satu bentuk susunan masyarakat
dapat ditemui lebih dari satu sistem pewarisan.
40
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris Indonesia, Bandung, Sumur,
1978, h. 153 41
Hilman Hadikusuma, Hukum Keluarga, … h. 74.
170
Kemudian di dalam hukum waris adat dikenal
beberapa prinsip (azas umum) di antaranya adalah sebagai
berikut :
1) Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara
menurun, maka warisan ini dilakukan secara ke atas
atau ke samping. Artinya yang menjadi ahli waris
ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan
keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau
keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh
pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini
juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara
sepeninggalan harta dan keturunan mereka yaitu
keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan
pengertian bahwa keluarga yang terdekat
mengecualikan keluarga yang jauh.
2) Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan
seseorang itu langsung dibagi di antara para ahli waris
ketika si pewaris meninggal dunia, tetapi merupakan
satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan
171
adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak
tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi
untuk selamanya.
3) Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat
(Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai ahli
waris dari ayahnya, maka tempat dari anak itu
digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia
tadi (cucu dari sepeninggalan harta).
4) Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi),
dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak
sendiri (kandung).42
Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan
sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap
dipetahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa hukum
waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang
sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau
bilateral.
42
Hilman Hadikusuma, Hukum Keluarga, … h. 82
172
Harta warisan merupakan objek hukum waris yang
berarti semua harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang
meninggal dunia (pewaris). Pengertian harta dalam hal ini tidak
saja menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis saja,
melainkan meliputi pula harta yang mempunyai arti religius.
Soeripto menjelaskan bahwa setiap keluarga Hindu Bali
mempunyai harta / kekayaan keluarga berupa harta benda baik
yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada
hubungannya dengan keagamaan/upacara-upacara keagamaan
dan harta tidak mempunyai nilai magis religius antara lain :
harta akas kaya, harta jiwa dana, harta druwe gabro.
Ditinjau dari macamnya, harta warisan menurut
hukum adat dapat dibedakan menjadi :
1) Harta Pusaka
Harta Pusaka adalah harta yang mempunyai nilai
magis religius dan lazimnya tidak dibagi-bagi. Proses
pewarisannya dipertahankan di lingkungan keluarga
secara utuh dan turun temurun jangan sampai keluar dari
lingkungan keluarga. Di Bali harta pusaka ini umumnya
173
berkaitan dengan tempat-tempat persembahyangan,
sehingga keutuhannya tetap dipertahankan demi
kepentingan keagamaan dan bukan untuk kepentingan
lain. Hal ini mengingat masyarakat Bali yang mayoritas
menganut agama Hindu. Adapun yang termasuk jenis
harta pusaka di Bali adalah sanggah, keris pengentas,
alat-alat upacara, tanah bukti pemerajaan, laba pura dan
druwe tengah.
2) Harta Bawaan
Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya
bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri dalam
perkawinan melainkan merupakan pemberian karena
hubungan cinta kasih, balas jasa atau karena sesuatu
tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda
tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan ini
disebut harta bebaktan yang terdiri dari :
a) Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh
suami / istri masing-masing atas jerih payah
sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan.
174
Setelah kawin dan mereka hidup rukun
sebagai suami istri, maka harta aksa kaya ini
jadi harta bersama / druwe gabro.43
b) Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus
ikhlas dari orang tua kepada anaknya baik
laki-laki maupun wanita sebelum masuk
perkawinan. Pemberian jiwa dana ini bersifat
mutlak dan berlaku seketika, ini berarti bahwa
penerima jiwa dana dapat
memindahtangankan harta tersebut tanpa
meminta izin dari saudara-saudaranya. Begitu
pula apabila anak wanita yang kawin keluar,
istri yang cerai dari suamnya, ia tetap berhak
membawa harta jiwa dana tersebut.
3) Harta Bersama
Harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami istri
dalam perkawinan. Pada hukum adat Bali disebut harta
43
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
Diterjemhakan oleh K. Ng. Soebekti Proesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta,
1982, h. 226
175
druwe gabro. Penyebutan istilah harta bersama ini
ternyata belum ada keseragaman di Bali, ada yang
menyebut guna kaya, maduk sekaya, pekaryan sareng,
peguna kaya, sekaya bareng kalih dan sebagainya. Apabila
terjadi perceraian, barang-barang yang disebut barang guna
kaya (druwe gabro) itu harus dibagi dua sama rata.44
Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan
merupakan golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena
mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli
waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak menjadi ahli waris,
apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi
dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota
keluarga dari peninggal warisan untuk menjadi ahli waris
tertutup.45
Imam Sudiyat,46
memberikan pendapat bahwa pada
umumnya yang menjadi ahli waris ialah para warga yang paling
44
I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya
Dilengkapi dengan Yuriprudensi, Cetakan Kedua, Bali, Setia Kawan, 1987, h.
27.
46
Iman Sudiyat, Peta Hukum Waris Indonesia, Kertas Kerja
Simposium Hukum Waris Nasional, 1983, h. 162.
176
karib dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang dibesarkan
di dalam keluarga/brayat si pewaris, yang pertama-tama mewarisi
ialah anak-anak kandung. Jadi ahli waris utama dalam hukum
adat adalah anak kandung dan dasar mewaris dalam hukum adat
adalah hubungan darah. Apabila pewaris tidak mempunyai anak
kandung maka anak angkat berhak atas warisan sebagai anak,
bukan sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak telah
menghapuskan perangainya sebagai orang asing dan
menjadikannya perangai anak, maka anak angkat berhak atas
warisan sebagai seorang anak.47
Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem
kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah
anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli
waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum
kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak
perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg dengan
melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si
laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini
47
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum, … h. 218.
177
si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si
laki-laki berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan
berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di
keluarga itu. Bagi laki-laki yang kawin nyeburin, kedudukannya
dalam warisan adalah sebagai wanita.48
C. Sistem Kewarisan Baduy
Ahli waris adalah orang yang menurut aturan tertentu
berhak menerima harta warisan dari seseorang yang telah
meninggal, aturan tersebut tentu saja harus disepakati oleh orang-
orang yang terlibat didalamnya karena kalo tidak, masalah seperti
ini menjadi petaka bagi keluarga yang ditinggalkan. Berebut
harga warisan orang tua tidak jarang membuat orang lupa akal
sehatnya oleh karna itu lah keberadaan yang mengatur masalah
harta warisan sangat diperlukan.49
Di “Baduy Luar” tidak adanya stratifikasi atau kasta.
Dalam pembagian warisan pun tidak ada perbedaan antara anak
48
I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali, … h. 38. 49
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat
Kanekes, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral
Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
Javanologi, 1984/1985), h.65.
178
laki-laki dan perempuan. Warisan itu di bagi dengan rata.
Warisan di “Baduy Luar” seperti kalung, perabotan rumah
tangga, Leuit dan lain-lain. Di “Baduy Dalam” pun sama warisan
itu di bagi rata antara anak laki-laki dan perempuan, yang dapat
membedakan bentuk warisan saja seperti emas di “Baduy Dalam”
itu tidak ada. Di Cibeo, Cikartawana dan juga Cikeusik bentuk
warisan nya itu berupa perabotan rumah tangga dan leuit.50
Dalam pembagian harta warisan di Baduy cukup berbeda-
beda, seperti di “Baduy Dalam”, dalam pembagian harta
warisannya di sama ratakan tidak membedakan laki-laki ataupun
perempuan akan tetapi sang anak tertua akan mendapatkan harta
warisannya dan bagi sang ibu atau istri tidak memiliki atas
warisannya.” Biasanya harta yang diwariskan adalah benda-
benda seperti : peralatan rumah dan lumbung padi untuk tanah di
Baduy Luar dilarang di wariskan di karenakan tanah di Baduy
Dalam adalah milik bersama.51
50
Asep Kurnia, dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, h. 43 51
Asep Kurnia, dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy
Bicara,.........h. 48
179
Menurut keterangan Mang Yardi dari Cibeo, dalam
perkara warisan, suku Baduy lebih cenderung menganut model
masyarakat patrilineal; anak laki-laki mewarisi bagian harta lebih
besar ketimbang anak perempuan. “Sebenarnya sama, warisan
untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan. Bedanya
anak laki-laki mewarisi tanggung jawab lebih besar untuk
memelihara adat. Membimbing keluarga tetap pada jalur
kehidupan adat. Lurus dan adil sesuai aturan adat Baduy. “ Ujar
Ayah Mursid sedikit mengoreksi. Hal ini menunjukan bahwa
penghormatan terhadap kedudukan dan peran kaum perempuan di
masyarakat “Baduy Dalam” sangat baik.52
Dalam pembagian harta waris berdasarkan adat
masyarakat Baduy tidak hanya satu sistem pembagian, tergantung
masyarakat daerah atau kampung mana yang melaksanakan
pembagian warisan. Dikarenakan dalam masyarakat Baduy ada
satu desa yang menganut agama Islam, yang mana dalam
pembagian waris menurut Islam meski belum secara keseluruhan
52
Wawancara pribadi dengan Yardi (Tokoh masyarakat Cibeo Baduy
Dalam ) Kanekes, Leuwidamar, 28 Juli 2018 .
180
merujuk pada faraidh yang selama ini digunakan oleh masyarakat
muslim pada umum nya.53
Berbeda dengan masyarakat “Baduy Dalam”, yang mana
dalam pembagian sistem warisnya menggunakan hukum waris
tersendiri. Yang mana dalam pembagian warisnya sangat
dipengaruhi dengan sistem kekerabatan yang berlaku.54
Sistem kekerabatan masyarakat Baduy sama dengan
kekerabatan masyarakat Sunda lainnya yang dijalani secara
parental. Hubungan kekerabatan ini tidak dipengaruhi oleh status
kewarganegaraan. Orang Tangtu, orang Panamping, dan orang
Dangka yang mempunyai hubungan darah tetap menjadi kerabat.
Perbedaan status hanya mempengaruhi kemungkinan perkawinan
diantara mereka. Seorang cucu Puun yang tinggal di Panamping
atau Dangka tetap akan diakui sebagai cucunya walaupun ia
53
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji
Rosid ( Tokoh Agama di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22
Agustus 2018 . 54
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji
Rosid ( Tokoh Agama di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22
Agustus 2018 .
181
kehilangan hak untuk mewarisi jabatan kakeknya, karena jabatan
Puun hanya boleh dipegang oleh oarang Tangtu.55
Dalam sistem kekerabatan Baduy, hubungan lineal
(keturunan langsung ke atas ke bawah), hubungan kolateral
(sejajar atau menyamping) dan hubungan affinal (terjadi karena
perkawinan) berlaku sistem dan istilah yang sama seperti yang
digunakan oleh masyarakat sunda dulur Baduy. Kalau ada
perbedaan istilah justru terjadi dengan istilah yang digunakan di
daerah Banten.56
Secara umum dapatlah dikemukakan bahwa dalam
penggunaan istilah kekerabatan lineal terdapat pergeseran istilah
dalam bahasa sunda yang sekarang dibandingkan dengan Bahasa
Sunda kuno. Urutan keturunan sesudah ego dalam kropak 630
dan 632 adalah : anak-indung-umpi-cicip-muning-santana-
anggasantana-pratisantana-putuh wakas (putus jejak).57
55
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat
Kanekes. h.65 56
Wawancara pribadi dengan Jaro Saija, Kanekes, Leuwidamar, 28
Juli 2018. 57
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat
Kanekes, h.66.
182
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi ahli waris dalam hukum waris adat masyarakat Baduy
adalah sama dengan kewarisan yang berlaku secara umum. Akan
tetapi masyarakat Baduy tidak membagikan harta warisan ke
garis keturunan ke atas (ayah, ibu dan kakek). dan dapat
disimpulkan bahwa yang mendapat hak waris dalam masyarakat
Baduy adalah : anak laki–laki, anak perempuan, dan terus garis
keturunan ke bawah.
D. Proses Pembagian Harta Waris
Dalam praktek pembagian warisan masyarakat Baduy,
hampir sama dengan pembagian warisan pada umumnya. Harta
warisan dibagikan setelah pewaris meninggal dunia dan setelah
jenazah pewaris selesai dimakamkan oleh keluarga dan para tetua
adat setempat.58
Dalam pembagian harta warisan dibagikan dengan dihadiri
oleh para anggota keluarga yang terdiri dari istri atau suami,
anak, saudara laki – laki dan saudara perempuan. Akan tetapi
58
Wawancara pribadi dengan Jaro Saija, Kanekes, Leuwidamar, 28
Juli 2018
183
meskipun dalam pembagian harta warisan dihadiri oleh para
saudara, dalam pembagian harta warisan hanya dibagikan kepada
keturunan saja atau anak. Dan tidak dibagikan kepada suami
ataupun istri yang ditinggalkan. Menurut pendapat lain, proses
dan pengatur pembagian warisan diataur oleh sabah-sabah
mereka dengan disaksikan oleh para Kokolotan Lembur, Sanak
keluarga dari kedua orang tua nya bahkan harus disaksikan oleh
tokoh adat yang terdekat dengan tempat dimana mereka tinggal.
Untuk menunjukan kejelasan tentang hak-hak dari pembagian
tersebut, maka pembagian tersebut diperlihatkan secara terbuka
sehingga tidak ada sakwa sangka antara para pewaris di keluarga
mereka. Misalnya satu keluarga punya anak laki-laki satu orang,
anak perempuan tiga orang. Maka bila orang tua mereka
meninggal seluruh harta kekayaan keluarga tersebut harus dibagi
rata menjadi empat bagian yang sama. Khusus untuk anak laki-
laki memiliki kewajiban lebih dalam hal tanggung jawab untuk
membimbing, mengarahkan, dan meluruskan hak-hak anak
lainnya.59
59
Zaenal Abidin, dkk, Nilai-Nilai Tradisional Masyarakat Baduy,
184
Mereka juga mengenal adanya istilah wasiat orang tua.
Makasud wasiat disini adalah penitipan keputusan orang tua
tentang pemberian hak warisan khusus pada anak bukan anak
kandung ( anak pulung/anak asuh) atau pada kerabat tertentu
yang disetujui oleh anak-anak mereka dan ada saksi nya. Besar
kecilnya, banyak tidaknya warisan yang diperoleh anak asuh atau
kerabat tersebut tergantung pada isi wasiatnya, dan ini harus
dipatuhi oleh sabah-sabah mereka. Wasiat di Baduy tidak berupa
surat atau tulisan atau dalam bentuk akte notaris ( belum ada
budaya tulisan ), tetapi dalam bentuk ucapan lisan dengan
disaksikan oleh orang tertentu dan sabah-sabah nya. Menurut
hukum Islam pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum
dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan
waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli
waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama daria ayah kandungnya. Dengan demikian, anak
angkat tidak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya.
Untuk melindungi hak dari anak angkat tersebut, maka orang tua
Pusat Kajian Sejarah dan Budaya (PKSB), 2016, h. 46
185
angkat dapat memberikan wasiat asalkan tidak melebihi 1/3 harta
peninggalannya.60
Harta kekayaan yang menjadi bahan pembagian warisan
adalah seluruh kekayaan yang ada yang menjadi milik orang tua
nya, baik dalam bentuk barang, uang, emas atau tanah garapan
maupun tanah milik yang berada dilokasi luar Baduy. Secara rinci
adalah61
:
1. Rumah
2. Leuit (Lumbung Padi)
3. Barang atau alat rumah tangga
4. Pakaian
5. Uang
6. Emas untuk orang Baduy Luar
7. Tanah garapan
8. Tanah milik
9. Gadayan
10. Pohon-pohonan
60
Zaenal Abidin, dkk, Nilai-Nilai Tradisional Masyarakat
Baduy,...........h. 47 61
Asep Kurnia, dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy
Bicara,........... h. 220
186
Untuk menghindari terjadinya kekisruhan atau
persengketaan dikemudian hari terutama pembagian harta, tanah,
dan rumah, pada umumnya orang tua memberikan hak warisan
ketika masih hidup dengan cara diberikan ancang-ancang atau
rencana penunjukan areal hak warisan dalam bahasa mereka
disebut sebagai “ akuan sementara “, dengan ditunjukan batas-
batas yang menjadi hak anak-anak mereka. Pada masalah tertentu
karena keterbatasan kekayaan, misalnya kasus pembagian rumah,
rumah hanya satu, sedangkan anak ada 4, maka
dimusyawarahkan rumah itu dibagaimanakan. Bila hasil
musyawarah dibagi 4, maka rumah itu ditaksir harganya dulu,
kemudian hasil taksiran itu dibagi 4 dan biasanya ada anak yang
menanggung jawab untuk membeli. Terkadang diberikan kepada
anak tertua dengan pemikiran rasa kasih sayang, tetapi
berdasarkan musyawarah.62
Dan dalam masyarakat Baduy pun dikenal dengan istilah
ahli waris pengganti yang dapat menggantikan orang tuanya yang
lebih dulu meninggal dari kakek nya yang memiliki harta
62
Asep Kurnia, dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy
Bicara,........... h. 225
187
warisan. Karena memang di Indonesia Dalam hukum adat
mengenal prinsip ahli waris pengganti. Yang mana seorang anak
dapat bertindak sebagai ahli waris pengganti dari ayahnya. Begitu
juga ada kesamaan dalam hal cucu yang tidak mendapat bagian
bila adanya anak laki – laki yang menjadi penghalang.63
Dalam pembagian warisan masyarakat Baduy dikenal
juga istilah batalnya warisan, yang mana batalnya atau
dihapuskannya hak waris ini disebabkan dengan keluarnya
anggota keluarga dari tanah Baduy, seperti masyarakat Baduy
yang keluar ke kota dan menetap menjadi orang kota maka secara
otomatis hak warisnya terputus, begitu juga masyarakat Baduy
yang keluar dan menjadi penghuni Baduy muslim dan masuk
Islam maka hak warisnya juga teruputus secara langsung. Dalam
hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris/batalnya
warisan yaitu:64
1. Pembunuhan
63
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
(BW), Cet Ke – 2, (Jakarta: Sinar Grafika. 2000), h.123 64
Sayid Sabiq, Fikih Sunah Jilid IV “Faraid (Waris)” ..................h.
28
188
Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris,
misalnya seseorang anak membunuh ayahnya maka ia tidak
berhak mendapatkan warisan. Pembunuhan yang dilakukan ahli
waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya
untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana
membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan
pembunuhan terhadap si pewaris. Mengingat, banyak cara yang
ditempuh seseorang untuk mengahabisi nyawa orang lain,
termasuk si korban adalah keluarganya sendiri.
2. Berbeda Agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan
agama ahli waris.65
Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan
ahli warisnya beragama Kristen, atau sebaliknya.
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa apabila seseorang ahli waris masuk Islam
sebelum pembagian warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang
65
Ahmad Kuzairi, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik
Atas Harta Tinggalan) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996 h, 62
189
untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah
hilang sebelum harta warisan dibagi.66
3. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah
karena status kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status
formalnya sebagai hamba sahaya (budak).(Ibid., hal 39.) Islam
sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya
Islam sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya
dimerdekakan. Pada hakikatnya, perbudakan tidak sejalan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran
Islam.
Sementara itu di dalam Pasal 173 KHI seseorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
66
Ahmad Kuzairi, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik
Atas Harta Tinggalan) ,.......h. 73
190
Dalam masyarakat Baduy apabila ahli waris dari yang
meninggal sudah tidak ada semua atau dengan kata lain tidak ada
ahli warisnya maka harta warisan yang berupa rumah, alat-alat
rumah tangga, lumbung padi, tanah serta lainnya akan dijual,
dan uang hasil penjualannya akan digunakan untuk kepentingan
bersama dalam memenuhi kebutuhan kampung. Misalnya
membeli bambu untuk saluran air dan juga pembangunan
jembatan.67
Pembagian warisan dipimpin atau diatur oleh saudara si
mayit yaitu mamang (paman). Dan bilamana tidak ada ahli waris
maka mamang (paman) yang mengatur warisan disini tetap tidak
mendapat bagian, akan tetapi ia yang bertanggung jawab atas
harta warisan yang harus dijual. Dan memanfaatkannya untuk
kepentingan bersama.68
Perihal penentuan hubungan kewalian, sama seperti pada
umumnya yang mana hubungan kewalian dan hubungan nasab
diperoleh dengan melalui perkawinan, dan adapun hal lain yang
67
Wawancara pribadi dengan Jaro Saija, Kanekes, Leuwidamar, 28
Desember 2018 68
Wawancara pribadi dengan Yardi (Toko Masyarakat Cibeo Baduy
Dalam ) Kanekes, Leuwidamar, 28 Desember 2018
191
menjadikan hubungan kekerabatan yang dapat dijadikan ahli
waris itu adalah pengangkatan anak atau dengan kata lain “anak
pulung” seperti yang sudah dijelaskan di atas.69
Ditinjau dari segi hukum adat, terdapat (istilah) yang
menunjukkan mengenai keinginan perlakuan harta milik
seseorang setelah orang tersebut meninggal dunia. Cara pertama
dikenal dengan hibah wasiat yang merupakan pengaruh dari
Hukum Islam. Yang mana dalam perbuatan pemilik memiliki
tujuan agar bagian tertentu dari harta kekayaannya
diperuntukkan bagi salah seorang ahli warisnya sejak saat
pewaris yang bersangkutan meninggal kelak. Pada suatu
kesempatan, dihadapan para ahli waris, sipemilik menyebutkan
harta tertentu yang disediakan untuk anak tertentu pula.70
Kompilasi Hukum Islam menetukan kewajiban orang tua
angkat untuk memberikan wasiat wajibah kepada anak angkatnya
untuk kemashlahatan anak angkat sebagaimana orang tua angkat
telah dibebani tanggung jawab untuk mengurus segala
69
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji
Rosid ( Tokoh Agama di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22
September 2018 . 70
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat Di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011). h. 64.
192
kebutuhannya. Kendati secara dalil naqli tidak ditemukan secara
eksplisit, tetapi hal itu dapat dikaitkan dengan firman Allah
antara lain dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 10671
:
ا ي
أ ي ي ٱل حدكى
أ حض إذا ةيكى دة صه ا ي تءا ٱل ي ثح ٱلصيان ٱث ف بخى ض خى
أ إن يركى غ ي ءاخران و
أ كى ي عدل ضذوا ر
ٱل
صيتث ي تخكى ص
تنفأ بسٱل ات ن عد ب ي ٱلص ة و ة ن ا فيقس ٱلل ن إٱرحبخى ة تي نض ۦل دة صه كخى ل و ب قر ا ذ ن ك ول ا ث ٱلل ل إذا ا ن إ
ي ١٠٦ٱلأذ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang
kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di
antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu
ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya
bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi
Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang
sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib
kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian
Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk
orang-orang yang berdosa".
Sedangkan mengenai ketentuan besar wasiat sebanyak–
banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan sesuai dengan Hadis
Riwayat Al-Bukhari dari Saad bin Abi Waqqas :
71
Mushaf al-Bantani, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Majelis Ulama
Indonesia Provinsi Banten (Serang: LPQ Kemenag. RI, 2012).
193
طر قال ل قلت أوصي بمالي كله قال ل قلت فالشه قلت يا رسىل الله
الثلث قال فالثلث والثلث كثير إوهك أن تدع ورثتك أغىياء خير مه أن تدعهم
كفهفىن الىهاس في أيديهم عالة يت
Artinya: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat
untuk menyerahkan seluruh hartaku (kepada putrid tunggalku, pent.)”.
Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau setengahnya?”
Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau sepertiganya?”
Beliau bersabda: “Ia sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan
menengadahkan tangan-tangan mereka.72
Meskipun demikian, wasiat itu pada hakekatnya akan
lebih baik dan utama serta lebih patut apabila jumlah wasiat
dikurang dari sepertiga harta peninggalan, karena Nabi
Muhammad SAW senang wasiat dengan kurang dari sepertiga.73
Mengenai „Ashobah, tidak ada satupun masyarakat Baduy
yang mengenal sistem „Ashobah karena setiap harta warisan
harus dibagikan habis kepada anak dan keturunan saja,
masyarakat Baduy tidak mengenal yang namanya bagian-bagian
72
Muttafaq „alaih: Shahiih al-Bukhari (V/363, no. 2742), dan ini
lafazhnya, Shahiih Muslim (III/250, no. 1628), Sunan Abi Dawud (VIII/64, no.
2847), Sunan an-Nasa-i (VI/242). 73
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta
Peninggalan, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, DIrektorat
Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), h.90.
194
yang enam macam yang biasa dikenal dengan furudh al-
muqoddaroh yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6, yang mana bagian-
bagian tersebut adalah bagian yang sudah ditentukan untuk para
ahli waris yang ditinggalkan.74
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh
masyarakat Baduy Luar maupun “Baduy Dalam”, tidak ada
sumber atau acuan yang menjadi undang-undang atau aturan tetap
dalam pembagian warisan. Akan tetapi di daerah Baduy muslim
sudah mengenal dan menggunakan istilah Musyawarah yang
mana hal tersebut mereka kenal dengan sebutan Mashlahat.75
Khusus di “Baduy Luar” karena hukum adat mereka
membolehkan terjadinya penceraian maka kekayaan sesegera
mungkin dibagikan atau diberikan pada anak dan mantan istrinya
sebagai bentuk pertanggungjawaban kepala keluarga agar anak
dan mantan istri bisa mandiri. Bapaknya kembali berusaha dan
berupaya untuk mendapatkan harta kekayaan dengan keluarga
74
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji
Rosid ( Tokoh Agama di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22
September 2018 . 75
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji
Rosid ( Tokoh Agama di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22
September 2018
195
barunya. Dalam hal ini anak yang tadi tetap berhak meminta
bantuan kepada bapaknya walau sudah berkeluarga dengan istri
yang baru. Di masyarakat Baduy peranan bapak sebagai kepala
rumah tangga sangat menentukan dalam hal pembagian
warisan.76
Khusus pembagian warisan “Baduy Dalam” ada catatan
khusus, yaitu mereka tidak diperkenankan meiliki emas dan
memiliki tanah tambahan tidak dikenalnya penceraian maka
pembagian harta warisan semakin mudah dan semakin adil. Harta
kekayaan yang didapat dibagi sebagai warisan lebih utama adalah
leuit, rumah, pepohonan, tanah akuan/ tanah garapan, pendek kata
selain emas dan tanah milik.77
76
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji
Rosid ( Tokoh Agama di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22
September 2018 77
Wawancara Pribadi dengan Jaro Sami, Cikeusik, Kanekes
Leuwidamar, 20 Desember 2018.