BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

11
24 BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian merupakan wilayah yang secara administrasi bagian dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara geografis terletak pada 0°53’ - 1°41’ LS dan 103°23 - 104°31 BT dengan luas 5.445 km² dengan ketinggian ibukota-ibukota kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkisar antara 1 sampai 5 m dpl, 63 % kawasannya adalah perairan dan tanah gambut. Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan undang-undang No. 54 Tahun 1999 Undang-Undang No. 14 Tahun 2000 dengan luas 5.445 km 2 atau 10,2% dari luas wilayah Provinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya undang- undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan Perda No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2011 2031, termasuk perairan dan 27 pulau kecil (11 pulau belum bernama) menjadi 9.005 km² yang terdiri dari daratan seluas 5.445 km dan lautan/perairan seluas 3.560 km. Panjang pantai sekitar 191 km atau 90,5 % dari panjang pantai provinsi Jambi yang terletak di pantai Timur Pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kepulauan Riau. Kabupaten Tanjung Jabung Timur berbatasan langsung pada bagian Utara dengan Laut Cina Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan [29]. Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk ke dalam aliran hilir DAS Batanghari. Daerah penelitian mencakup 3 lokasi, yaitu lapangan Al, lapangan Vion, dan Lapangan Ita. Lapangan Vion merupakan titik percabangan DAS Batanghari yang akan mengalir memasuki lapangan Al dan lapangan Ita dan menuju hilir DAS Batanghari.

Transcript of BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

Page 1: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

24

BAB III

GEOLOGI REGIONAL

3.1 Daerah Penelitian

Daerah penelitian merupakan wilayah yang secara administrasi bagian dari

Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara

geografis terletak pada 0°53’ - 1°41’ LS dan 103°23 - 104°31 BT dengan luas 5.445

km² dengan ketinggian ibukota-ibukota kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung

Timur berkisar antara 1 sampai 5 m dpl, 63 % kawasannya adalah perairan dan tanah

gambut. Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan undang-undang

No. 54 Tahun 1999 Undang-Undang No. 14 Tahun 2000 dengan luas 5.445 km2 atau

10,2% dari luas wilayah Provinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya undang-

undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

dan Perda No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Tanjung Jabung Timur tahun 2011 – 2031, termasuk perairan dan 27 pulau kecil (11

pulau belum bernama) menjadi 9.005 km² yang terdiri dari daratan seluas 5.445 km

dan lautan/perairan seluas 3.560 km. Panjang pantai sekitar 191 km atau 90,5 % dari

panjang pantai provinsi Jambi yang terletak di pantai Timur Pulau Sumatera yang

berbatasan langsung dengan Provinsi Kepulauan Riau.

Kabupaten Tanjung Jabung Timur berbatasan langsung pada bagian Utara

dengan Laut Cina Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Muaro

Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi, sebelah Timur berbatasan

dengan Laut Cina Selatan [29]. Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk ke dalam

aliran hilir DAS Batanghari. Daerah penelitian mencakup 3 lokasi, yaitu lapangan Al,

lapangan Vion, dan Lapangan Ita. Lapangan Vion merupakan titik percabangan DAS

Batanghari yang akan mengalir memasuki lapangan Al dan lapangan Ita dan menuju

hilir DAS Batanghari.

Page 2: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

25

3.2 Tatanan Tektonik Cekungan Sumatera Selatan

Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang

berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indo-Australia, yang bergerak ke arah

Utara hingga Timur Laut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zona

penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah Barat Pulau Sumatera dan selatan

Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zona

interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zona konvergensi dalam berbagai

bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indo-Australia tersebut dapat mempengaruhi

keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan

tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan

busur belakang [30]. Pulau Sumatera merupakan hasil tumbukan antara lempeng

samudera (Indo-Australia) dari arah Selatan dan lempeng benua (Eurasia) dari arah

Utara. Hasil dari tumbukan tersebut adalah berupa zona subduksi diikuti dengan

pergerakan lempeng secara strike slip fault pada zona sesar utama yaitu pada Sesar

Mentawai dan Sesar Sumatera. Produk dari kegiatan tektonik tersebut adalah

terbentuknya dua tipe cekungan pada Pulau Sumatera yaitu cekungan depan busur

(fore arc basin) pada bagian Selatan Pulau Sumatera dan cekungan belakang busur

(back arc basin) pada bagian tengah hingga Utara Pulau Sumatera. Cekungan

tersebut terbentuk oleh sistem pull apart basin hasil dari pergerakan strike slip fault

dari kedua sesar utama pada Pulau Sumatera. Cekungan Sumatera Selatan merupakan

cekungan belakang busur (back-arc basin) yang dibentuk oleh tiga fase tektonik

utama, yaitu:

1. Fase Syn-Rift selama Paleosen Akhir sampai Miosen Awal, membentuk

graben mengarah ke Utara yang diisi endapan Eosen sampai Miosen

Awal dan dicirikan dengan pergerakan Lempeng Eurasia yang searah

jarum jam.

2. Fase Post-Rift dan subsidence dari Miosen Awal sampai Pliosen Awal

yang dicirikan dengan arah pergerakan lempeng eurasia yang berlawanan

jarum jam.

Page 3: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

26

3. Fase Syn-Orogenic/Inversi yang merupakan proses gaya kompresional

yang melibatkan batuan dasar, inversi cekungan, dan pembalikan sesar

pada Pliosen yang membentuk antiklin, yang merupakan perangkap

utama di daerah tersebut [30].

Daerah penelitian merupakan bagian dari Sub Cekungan Jambi. Sub Cekungan

Jambi di Cekungan Sumatera Selatan ini adalah rangkaian half-graben berumur

Paleogen yang ber arah umum Timur Laut-Barat Daya, diantaranya adalah Tembesi

high, Berembang deep, Sengeti-Setiti high, Tempino-Kenali Asam deep, Ketaling

high, Ketaling depression, Merang high, dan Merang deep [30]. Sub Cekungan Jambi

memiliki dua pola struktur yang berbeda yaitu pola struktur berarah Timur Laut-Barat

Daya sebagai pengontrol dari pembentukan graben dan pengendapan Formasi Talang

Akar dan pola struktur berarah Barat Laut-Tenggara yang berkaitan dengan tektonik

kompresi dan menghasilkan sesar naik dan antiklin.

3.3 Sedimentologi dan Stratigrafi

Secara regional Tanjung Jabung Timur termasuk dalam Cekungan Sumatera

Selatan. Fase sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan berlangsung menerus

selama zaman Tersier disertai dengan penurunan dasar cekungan hingga ketebalan

sedimen mencapai 600 meter [31]. Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan terdiri dari

satu siklus besar sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan

fase regresi pada akhir siklus. Stratigrafi pada Cekungan Sumatera Selatan dapat

dikenal satu daur besar (megacycle) yang terdiri dari suatu transgresi yang diikuti

regresi [32] Sedimentasi yang terjadi selama Tersier berlangsung pada lingkungan

laut setengah tertutup. Pada fase transgresi terbentuk urutan fasies darat-transisi-laut

dangkal dan pada fase regresi terbentuk urutan sebaliknya yaitu, laut dangkal-transisi-

darat [33]. Stratigrafi umum daerah Cekungan Sumatera Selatan adalah sebagai

berikut [34].

1. Pre-Tertiary Basements

Berdasarkan proses pembentukannya, bagian basements area Cekungan

Sumatera Selatan tersusun atas 4 (empat) satuan batuan yaitu, satuan

Page 4: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

27

batuan metamorf (phylite, schist, quartzite, dan marbl), satuan batuan

vulkanik yang tersusun atas tufa dan litik, satuan batuan granitonit

(batuan asal kontinen), dan satuan batuan oviolit yang merupakan batuan

asal kerak samudera yang terdiri atas basalt, meta-basalt, rijang,

betulempung, dan batulumpur gampingan.

2. Paleogene – Neogen

Kelompok batuan ini terdiri dari 7 (tujuh) formasi sesuai dengan rincian

berikut ini:

a. Formasi Lahat

Formasi ini dibagi menjadi 2 (dua) kelompok klastik, yaitu klastik

kasar dan anggota klastik halus dengan ketebalan sekitar 200-760

m. Formasi ini diendapkan pada area daratan sampai dengan area

transisi.

b. Formasi Talang Akar (TAF)

Formasi ini tersusun atas batupasir kasar – sangat kasar dengan

perselingan batuserpih dan batubara dengan ketebalan sekitar 300

m. Formasi ini berumur Awal Miosen bagian bawah. Formasi ini

berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf [35].

c. Formasi Batu Raja

Formasi Batu Raja tersusun atas batugamping terumbu (coral reef)

dan batugamping klastik yang diendapkan selama awal hingga

Miosen dengah dengan ketebalan sekitar 60–75 m. Formasi ini

diendapkan pada bagian intermediate-shelfal [35].

d. Formasi Gumai

Formasi Gumai tersusun atas perselingan batu serpih gampingan

dengan sisipan batu gamping, napal, dan batulanau. Formasi ini

didominasi oleh fosil foraminifera dan diendapkan pada pada

kondisi transgresi di dalam Cekungan Sumatera Selatan yang

terlampar cukup luas. Formasi ini diendapkan di laut terbuka

(neritik) [35].

Page 5: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

28

e. Formasi Air Benakat

Formasi Air Benakat tersusun atas batu lempung dengan kandungan

fosil foraminifera dan makin ke atas sering dijumpai batu pasir

sebagai sisipan dengan ketebalan sekitar 100-1100 m. Formasi Air

Benakat diendapkan selama fase regresi zaman Miosen tengah dan

Miosen akhir. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal

[35].

f. Formasi Muaraenim

Formasi ini tersusun atas batulempung, batuserpih, batupasir, dan

beberapa lapisan batubara dengan ketebalan sekitar 450–750 m dan

berumur Miosen awal hingga Pliosen awal. Formasi ini diendapkan

pada area laut dangkal transisi hingga darat.

g. Formasi Kasai

Secara umum formasi ini tersusun oleh tufaan, dan batu lempung

tufaan dan berumur Pliosen akhir hingga Pleistosen. Formasi ini

diendapkan pada fase akhir regresi pada lingkungan transisi fluvial.

Endapan yang menutup Cekungan Sumatera Selatan termasuk ke dalam

sedimen Kuarter yang terendapkan di atas sedimen Tersier dan batuan dasar Pra-

Tersier serta dibatasi oleh ketidakselarasan terdiri dari breksi, batupasir, dan

batulempung serta produk vulkanik yang berasal dari Bukit Barisan [36]. Endapan

Kuarter terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kasai dan tidak terpengaruh

oleh perlipatan umur Plio-Pleistosen (Gambar 3.2). Volkanik andesitik kuarter

biasanya berlimpah pada bukit barisan yang juga di antara sungai lematang dan Enim

dengan banyak produk intrusi dan ekstrusi yang sekarang membentuk kelompok

Bukit Asam, Serelo, dan Jelapang. Batuan lain yang termasuk ke dalam endapan

Kuarter adalah liparit yang mengisi lembah pada daerah pasumah bagian Selatan dari

Pegunungan Gumai. Tuff andesit dan lahar pada daerah pasumah berasal dari

gunungapi barisan seperti dempo, dan terendapkan sepanjang sungai utama [37].

Daerah penelitian yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tersusun oleh

endapan Kuater (Gambar 3.2) yang terdiri dari:

Page 6: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

29

1. Satuan Endapan aluvium yang tersusun oleh litologi berupa kerakal,

kerikil, pasir, lanau, dan lempung.

2. Satuan Endapan rawa yang tersusun oleh litologi pasir, lanau, lempung,

lumpur, dan gambut.

Gambar 3.1 Kolom stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan [38]

Gambar 3.2 Stratigrafi daerah penelitian [39]

Page 7: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

30

3.4 Geologi Regional

Lokasi wilayah berada pada ketinggian 1-5 mdpl. Wilayah ini berdataran

rendah yang sangat luas dan sebagian ditutupi hutan lahan gambut yang alami.

Litologi daerah tersebut tersusun atas satuan endapan aluvial dan satuan endapan

rawa (Gambar 3.1). Endapan aluvium merupakan endapan sekunder hasil rombakan

batuan di permukaan yang telah terbentuk sebelumnya. Endapan ini terdiri dari

material lepas berupa lempung, pasir, kerikil dan kerakal. Hingga saat ini, proses

pengendapan material-material tersebut masih berlangsung sedangkan endapan rawa

terdiri dari material sisa-sisa tumbuhan (gambut) dan material lepas yang berukuran

lempung dan pasir serta diperkirakan berumur Holosen [40].

Gambar 3.3 Peta geologi Tanjung Jabung Timur [41]

Titik VES

Page 8: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

31

3.5 Geomorfologi

Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan daerah dimana sebagian

merupakan dataran rendah yang landai dan pantai (Gambar 3.4). Geomorfologi

daerah penelitian dapat dibedakan menjadi tiga satuan, yaitu [42]:

1. Satuan Morfologi Perbukitan Bergelombang Kuat

Satuan morfologi ini meliputi bagian Barat Daya-Timur dan memanjang

dari Utara ke Selatan dengan puncak tertinggi seperti perbukitan

Talanguncang di bagian Utara, sementara di bagian Selatan terdapat

beberapa perbukitan dengan aliran sungai antara lain Sungai Kenali,

Sungai Air Hitam, Sungai Landasumbatang dan Sungai Antaui. Daerah

satuan morfologi ini merupakan daerah imbuhan air tanah dangkal.

2. Satuan Morfologi Perbukitan Bergelombang Lemah

Satuan morfologi ini meliputi bagian Utara dan menerus ke arah Timur

Laut daerah penyelidikan. Puncak perbukitan di daerah ini adalah Bukit

Telur yang meliputi daerah Geragai, Pangkalan durian dan Nibung Putih

di bagian Utara. Sementara itu di bagian Selatan meliputi daerah

Pematang Rotan, Sego Sebatang, Rawang Padang Burung dan Pematang

Cempadak Tiga. Satuan morfologi perbukitan lemah ini pada umumnya

ditutupi endapan vulkanik dan granit-diorit. Kemiringan lereng morfologi

ini antara 2 – 4%, dengan ketinggian antara 10 – 40 m diatas permukaan

laut (dpl).

3. Satuan Morfologi Dataran

Satuan morfologi ini terdiri atas dataran pantai, dataran sungai dan rawa.

Pada umumnya daerah ini cukup luas, meliputi bagian tengah sampai

Timur daerah penyelidikan dan juga di sekitar pantai Selat Berhala yang

dilalui oleh aliran Sungai Batanghari. Daerah ini ditutupi oleh endapan

aluvium. Morfologi pedataran ini umumnya dipakai sebagai lahan

pemukiman dan pertanian. Sebagian morfologi ini merupakan rawa-rawa

yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Page 9: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

32

Lokasi penelitian yang secara umum berada di dataran rendah mengakibatkan

seringnya permukaan lahan tertutup oleh air pasang. Daerah pasang surut seperti ini

ditandai pula dengan didapatinya aliran sungai yang relatif banyak. Wilayah

Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbagi atas 5 DAS, yaitu DAS Mendahara, DAS

Lagan, DAS Batanghari, DAS Air Hitam dan DAS Benuh serta aliran sungai Batang

Hari, Batang Berbak, Batang Mendahara dan Batang Lagan, serta Batang Air Hitam.

Daerah aliran sungai yang melalui daerah penelitian adalah DAS Batanghari. DAS

Batanghari merupakan air permukaan yang utama mengalir melewati Kota Jambi

yang berasal dari Pegunungan Bukit Barisan Provinsi Sumatera Barat melewati Kota

Jambi dan bermuara di Selat Berhala [43]. Bagian hilir sungai bercabang dua yaitu

Sungai Batanghari yang arahnya ke Muara Sabak dan cabang satu lagi yaitu Sungai

Berbak mengarah ke Nipah Panjang. Secara umum pola aliran sungai daerah

penyelidikan dapat dibedakan menjadi pola aliran parallel-meandering dan

subdendritik [42]:

1. Pola aliran parallel-meandering terdapat pada morfologi pedataran. Pola

ini menunjukkan adanya kontrol litologi serta kemiringan topografi yang

relatif datar ke arah Timur. Pada morfologi dataran aluvial, gradient

sungai sangat kecil dan penampang sungai berbentuk U, agak lebar, dan

alirannya relatif lambat dan bersifat influen.

2. Pola aliran subdendritik terdapat di bagian dengan morfologi perbukitan

bergelombang lemah dan kuat. Sungai mempunyai penampang berbentuk

V dengan derajat kemiringan yang relatif kecil sehingga air mengalir

relatif lambat. Umumnya sungai-sungai tersebut bersifat.

Sungai bersifat influen yakni aliran permukaan tersebut mengisi aliran air tanah.

Kondisi geologi DAS Batanghari secara litologi memperlihatkan jenis litologi batuan

yang terdiri dari kerikil, pasir, lanau, dan lempung kemudian hasil gunung api berupa

lava, lahar, tufa, dan breksi, batu gamping atau dolomite. Bagian atas DAS

Batanghari terdapat struktur geologi berupa sesar Semangko (yang memanjang di

sepanjang pulau Sumatera atau Pegunungan Bukit Barisan) dijumpai di bagian atas

Page 10: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

33

DAS Batanghari yang juga merupakan garis pemisah utama air permukaan antara

sungai–sungai yang bermuara ke Pantai Timur Sumatera [43].

Berdasarkan geometri DAS Batanghari berbentuk meandering (berkelok-kelok)

dan pada sepanjang kedua tanggulnya dimanfaatkan sebagai pemukiman dan lahan

pertanian. Geometri sungai yang berkelok-kelok menjadi alasan utama tingginya

erosi pada sungai. Sungai berkelok (meander) yang proses pengendapannya terjadi

pada daerah dengan kemiringan yang semakin berkurang sehingga kecepatannya akan

menurun. Meander terbentuk karena adanya proses erosi. Erosi terjadi apabila energi

yang membawa aliran air dari hulu ke hilir lebih besar daripada yang diperlukan

maka akan berakibat penggerusan di badan sungai sehingga material sedimen ikut

terangkut bersama aliran sungai. Di daerah meander erosi biasanya terjadi di tikungan

luar. Hal ini disebabkan karena adanya energi aliran yang seolah-olah menghantam

tebing karena aliran secara alamiah akan mencari jalan lurus sehingga sebagian

material tebing sungai akan terbawa. Sedangkan di tikungan dalam karena kurangnya

energi untuk membawa seluruh aliran air bersama-sama dengan angkutan sedimen

yang tersuspensi maka sebagian akan mengendap di daerah tersebut.

Kemiringan sungai yang rendah (low river gradient) mengakibatkan sungai

tersebut sangat dipengaruhi oleh air pasang (tidal dominated). Geometri meandering

dan keberadaan ox-bow lake mengindikasikan aktifnya erosi secara lateral dan

pengendapan secara berulang. Oleh karena itu, pengendapan sistem alur sungai

menjadi salah satu faktor penting dalam rangkaian urut-urutan fasies aluvium. Tipe

wilayah antar alur sungai yang merupakan bagian sedimen aluvium, yaitu daerah

yang dipengaruhi oleh alur sungai seperti dataran banjir dan daerah di luar jangkauan

alur sungai tersebut [2]. Erosi terjadi pada daerah dengan kemiringan yang cukup

terjal serta karakteristik tanah yang labil. Biasanya erosi akan terjadi bersamaan

dengan naiknya debit air/banjir, dengan demikian dengan semakin sering terjadinya

banjir maka erosi akan semakin meningkat.

Morfotometri DAS Batanghari yang termasuk pola subdendritik memiliki pola

aliran yang cabang-cabang sungainya menyerupai struktur pohon, percabangan tidak

teratur dengan arah dan sudut yang beragam, yang merupakan perakitan anak-anak

Page 11: BAB III GEOLOGI REGIONAL 3.1 Daerah Penelitian

34

sungai dengan sungai utama. Pada umumnya pola aliran sungai subdendritik

dikontrol oleh litologi batuan yang homogen (Gambar 3.5).

Gambar 3.4 Kenampakan geomorfologi dan topografi daerah penelitian [41]

Gambar 3.5 Pola aliran sungai Tanjung Jabung Timur [41]