BAB III Analisa Kasus(7)

download BAB III Analisa Kasus(7)

of 30

Transcript of BAB III Analisa Kasus(7)

BAB III ANALISA KASUS

A. EPIDEMIOLOGI HCC adalah salah satu tumor yang paling sering di seluruh dunia. Epidemiologi HCC tergambar pada dua pola utama, satu di Amerika Utara dan Eropa Barat dan yang satu lagi di negara-negara non-barat, seperti negara-negara di Afrika sub-Sahara, Asia sentral dan Asia Tenggara, dan Amazon basin. Laki-laki lebih sering terkena dan biasanya lebih umum terjadi pada dekade ke 3 dan ke 4 kehidupan. HCC menyebabkan 662.000 kematian per tahun di seluruh dunia. 1. Negara Non-barat Pada beberapa bagian di dunia seperti Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara HCC merupakan kanker tersering, umumnya lebih sering menyerang laki-laki dibanding perempuan, dan usia kemunculan antara remaja dewasa dan 30an. Variasi ini disebabkan oleh pola yang berbeda dari transmisi hepatitis B pada populasi yang berbeda. Predisposisi menjadi kanker lebih besar pada penderita yang terinfeksi saat masih dalam kandungan atau sesaat setelah lahir daripada penderita yang terinfeksi kemudian.. Waktu antara infeksi hepatitis B dan perkembangan menjadi HCC dapat bertahun-tahun hingga berdekade, namun dari diagnosis HCC hingga sampai pada kematian periode ketahanan rata-rata hanya 5,9 bulan, berdasarkan studi orang Cina selama 1970-80an, atau 3 bulan (median survival time) di Afrika Sub-Sahara berdasarkan buku Manson mengenai tropical diseases. HCC adalah kanker yang paling banyak menyebabkan kematian di Cina. Makanan terinfeksi dengan Aspergillus flavus (khususnya kacang dan jagung yang disimpan selam musim dingin) yang menghasilkan aflatoxin, memiliki faktor resiko HCC lainnya. 2. Amerika Utara dan Eropa Barat Kebanyakan tumor ganas hati ditemukan di negara barat merupakan metastase (penyebaran) dari tumor di manapun Di negara barat, HCC umumnya tampak sebagai kanker yang jarang, normalnya diawali dengan penyakit hati. Sering dideteksi dengan ultrasound screening, dan dapat ditemukan dengan fasilitas kesehatan lebih awal dibanding di negara berkembang seperti di Afrika Sub-Sahara. 13

Porfiria hepatik akut dan kronik (porfiria intermiten akut, porfiria cutanea tarda, coproporphyria herediter, variegate porphyria) dan tyrosinemia type I merupakan faktor resiko hepatocellular carcinoma. Diagnosis porphyria hepatik akut (AIP, HCP, VP) harus tampak pada pasien dengan hepatocellular carcinoma tanpa faktor resiko yang khas hepatitis B atau C, sirosis hati alkoholik atau hemokromatosis. Karier genetik aktif dan laten dari porphyria hepatik akut beresiko terhadap kanker ini, walaupun karier genetik laten telah berkembang pada usia lebih tua dari penderita dengan gejala klasik. Pasien dengan porfiria hepatik akut harus dimonitor kemungkinan hepatocellular carcinoma.1,3

B. ETIOLOGI Telah diketahui bahwa ada daerah-daerah di mana insidens karsinoma hati tinggi dan ada yang rendah. Data-data yang ada sekarang ini tidak cukup untuk menarik kesimpulan apakah pada kedua daerah tersebut karsinoma hati disebabkan oleh stimulus yang sama tetapi berbeda kekuatannya, ataukah jenis stimulus yang bekerja dalam kedua daerah tersebut berlainan. Bila melihat perbedaan dalam distribusi umur untuk Afrika dan Amerika, tampaknya keterangan yang ke dua itulah yang lebih mungkin. Pada daerahdaerah tertentu terdapat kenaikan insidens hepatoma, akan tetapi tidak didapatkan korelasi dengan kenaikan insidens kanker alat-alat tubuh lain. Maka stimulus yang bekerja dalam daerah tersebut dapat dianggap hanya karsinogenik untuk hati, tidak untuk alat-alat lain. Hipotesa-hipotesa yang akan diajukan harus dapat menerangkan mengapa di daerah tertentu insidensnya tinggi, selain itu harus dapat juga menerangkan mengapa terdapat perbedaan distribusi umur yang menyolok pada berbagai daerah. 1. Mineral Tahun 1960 HADDOW mengemukakan bahwa besi dapat merupakan zat karsinogenik. Hal ini menarik perhatian karena pada orang-orang Bantu ditemukan hemosiderin dalam jumlah besar, yang mencapai 4 - 5% berat kering dari hati. Tetapi banyak daerah-daerah lain dengan insidens tinggi di mana siderosis jarang ditemukan. Dilaporkan bahwa dalam jaringan kanker hati kadar logam seng (Zn) dan cobalt menaik, sedang kadar molybdenum menurun banyak. Makna daripada penemuan ini masih belum diketahui.

14

2. Obat-obat penduduk asli dan zat-zat hepatotoksik Zat-zat hepato-karsinogenik yang telah dibuktikan pada percobaan-percobaan dengan binatang ada berpuluh-puluh jumlahnya, misalkan : golongan aromatic amine, aromatic amide, zat warna azo, nitrosamine, ethionine, thiourea, alkaloid pyrrolizidine dan sebagainya. Apakah zat-zat tersebut juga karsinogenik bagi manusia masih merupakan pertanyaan. Misalkan kita anggap bahwa zat-zat tersebut ada dalam obatobat asli penduduk, sukar diterangkan bagaimana mungkin bahwa zat tersebut demikian luas distribusinya, dari Asia sampai Afrika dalam masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebudayaannya. Di Jamaica sering ditemukan penyakit hati "veno-occlusive". akibat alkaloid senecio, sedang lasiocarpine yang terdapat di dalam alkaloid tersebut dalam dosis tunggal dapat menyebabkan kerusakan luas pada hati tikus. Meskipun demikian di daerah tersebut tidak ada kenaikan insidens karsinoma hati. Alkohol jelas dapat menyebabkan kerusakan hati ; dan misalkan diambil asumsi bahwa kerusakan ini merupakan predisposisi untuk timbulny karsinoma, mengapa di Amerika Serikat dan Eropa di mana alkohol sering diminum insidens kanker hatinya justru jauh lebih kecil dari pada di Afrika. 3. Pengaruh pencemaran lingkungan Zat-zat pencemar lingkungan telah dipikirkan sebagai faktor penyebab hepatoma. SAMUEL mengemukakan bahwa herbisida Maleic-hydrazide sangat hepatokarsinogenik untuk tikus. Akibat kontaminasi ini, dalam setahun seseorang dapat memakan zat ini dalam dosis sebesar 12 kali dosis yang diperlukan untuk menyebabkan kanker. Tetapi inipun dapat dianggap tak berpengaruh di Afrika di mana pencemaran alam masih sedikit sekali. 4. Parasit HOU melaporkan kemungkinan Clonorchis sinensis sebagai parasit penyebab karsinoma hati di Tiongkok selatan, tetapi kelainan yang didapati terutama adalah adenokarsinoma saluran empedu intrahepatik. Tingginya insidens hepatoma di daerah Tumen oleh SHAIN dihubungkan dengan infestasi yang luas dari parasit Opistor-chis.

15

5. Pengaruh malnutrition Diet tertentu dapat mempenagaruhi efek karsinogenik berbagai zat pada percobaan; diet tanpa cholin saja dapat menimbulkan kanker hati pada binatang percobaan. Data-data ini dan fakta bahwa hepatoma banyak ditemukan pada masyarakat dengan diet yang jelek, membuat kita berpikir apakah malnutrition sendiri dapat menyebabkan hepatoma pada manusia. Hipotesa ini disokong oleh data bahwa kwashiorkor ditemukan secara meluas di daerah-daerah di mana insidens hepatoma tinggi. Selain itu telah diketahui bahwa kwashiorkor dapat menyebabkan perlemakan hati yang luas, sehingga ada yang memikirkan kemungkinan rangkaian malnutrition perlemakan hati cirrhosis kanker. Ini adalah pendapat yang salah karena perlemakan hati akibat kwashiorkor tidak pernah menyebabkan cirrhosis (s). Disamping itu sejauh ini tidak ditemukan korelasi geografik antara tingkat gizi, defisiensi zat makanan khusus dan kanker hati. Sebagai contoh, di banyak daerah di India dan Amerika Latin ditemukan malnutrition yang luas, tetapi sedikit ditemukan karsinoma hati. 6. Pengaruh Aflatoxin Aflatoxin adalah sejenis toksin yang dihasilkan oleh jamur-jamur Aspergilus danPennicilium. Aflatoxin ini ditemukan dalam kacang tanah pada tahun 1960 di Inggris yang menyebabkan kematian 100.000 ekor kalkun. Pada penyelidikan belakangan didapatkan bahwa aflatoxin adalah suatu zat hepatokarsinogenik yang kuat sekali, dapat menimbulkan hepatoma pada berbagai jenis binatang. Dari sini diambil hipotesa bahwa zat inilah yang menyebabkan karsinoma hati pada berbagai daerah. Hal yang menyokong hipotesa ini adalah ditemukannya aflatoxin dalam dosis tinggi dalam berbagai jenis makanan sehari-hari : beras, jagung, ubi kayu, kacang tanah, oncom, tembakau, susu dan sebagainya. Penyelidikan di Bogor menyokong hal ini. CAMPBELL dan SALAMAT melaporkan bahwa di Filipina di daerah-daerah yang insidens hepatomanya tinggi terdapat konsumsi dari peanut butter dan jagung yang terkontaminasi. Di Thailand, SHANK dan WOGAN menunjukkan hubungan yang erat antara frekwensi kanker hati dan distribusi makanan yang terkontaminasi aflatoxin di pasar-pasar. Meskipun aflatoxin sampai saat ini dipandang sebagai salah satu zat hepatokarsinogenik yang terkuat dan telah ditunjukkan hubungannya dengan distribusi makanan terkontaminasi di berbagai daerah, namun hubungan langsung antara karsinoma hati dan konsumsi aflatoxin masih belum dapat dibuktikan. Seandainya 16

belakangan nanti memang terbukti bahwa aflatoxinlah penyebab kanker hati pada manusia, akan dapat diterangkan mengapa insidens karsinoma hati tinggi di Afrika dan Asia karena- di daerah-daerah ini banyak bahan makanan yang terkontaminasi dalam kadar tinggi, tetapi masih belum dapat diterangkan mengapa ada perbedaan dari distribusi menurut golongan umur di Afrika dan Amerika misalnya. 7. Peranan dari virus Pada tahun-tahun belakangan ini perhatian para penyelidik diarahkan pada kemungkinan virus sebagai penyebab kanker hati. Virus tersebut adalah virus hepatitis, tetapi bukti-bukti yang ada sekarang ini masih bersifat spekulasi, berdasarkan atas observasi-observasi berikut ini : (a). Di Asia dan Afrika, kanker hati sering berkembang dari cirrhosis "posthepatitis" atau "post nekrotik". Meskipun cirrhosis ini dianggap merupakan akibat dari infeksi virus hepatitis, banyak kasus-kasus yang tidak mengalami icterus. Gambaran patologik yang sama dapat dilihat juga pada cirrhosis akibat alkoholisme. Hepatitis virus adalah endemik di Afrika dan Asia, dan pernah terjadi epidemi-epidemi yang diikuti dengan cirrhosis. Cirrhosis post hepatitis ini menunjukkan gambaran yang sama dengan cirrhosis dimana kanker hati timbul, ini menyokong bahwa keduanya disebabkan penyebab yang sama -- virus hepatitis. Disamping itu tak ada penyebab lain yang pernah dilaporkan sebagai penyebab jenis cirrhosis ini untuk Afrika dan Asia. (b). Didapatkan anggapan-anggapan yang luas bahwa cirrhosis post-nekrotik adalah akibat nekrosis massif yang akut, sekali saja hal ini terjadi dapat disertai timbulnya cirrhosis. Tetapi pada percobaan tak dapat ditimbulkan cirrhosis hanya dengan menginduksi nekrosis masif sekali saja. Disamping itu ternyata cirrhosis tersebut dapat timbul juga sebagai akibat hepatitis kronik progressif. Jadi cirrhosis dapat terjadi juga meskipun pada serangan pertama tidak ada icterus. Hepatitis kronik tersebut akan menunjukkan inhibisi dan stimulasi epitel yang oleh HADDOW digambarkan sebagai sifat khas proses karsinogenik. (c). Penyelidikan dengan mikroskop elektron belum dapat menunjukkan adanya partikel virus pada hepatoma, tetapi virus tersebut juga tidak dapat ditunjukkan secara pasti pada penderita-penderita hepatitis. 17

(d). Permulaan penyakit kanker hati di Afrika relatip pada usia yang muda, distribusi umurnya relatip konstan dan ditambah dengan laporan adanya variasi musiman di Johannesburg menyokong bahwa penyebabnya suatu virus. Kesukaran hipotesa ini ialah mengapa di daerah-daerah dengan insidens hepatoma yang rendah mungkin disertai insidens hepatitis virus yang tinggi. Disamping itu tidak dapat dibuktikan adanya variasi insidens hepatoma berdasarkan variasi insidens hepatitis yang berubah-ubahmenurut musim di Denmark. "TWO STAGE THEORY" : karena hipotesa berdasarkan virus saja tidak memuaskan, diajukan teori ini. Teori ini menyatakan bahwa kerusakan hati yang didapat pada masa kanak-kanak menyebabkan reaksi yang berlebih-lebihan terhadap zat-zat hepatotoksik setelah dewasa. Stimulus yang menyebabkan kerusakan pada masa kanak-kanak tersebut ialah malnutrition/kwashiorkor. Meskipun kanker hati mungkin jarang ditemukan di daerah di mana kwashiorkor banyak didapat, tetapi di daerah-daerah di mana kwashiorkor jarang atau tak terdapat tidak terdapat insidens hepatoma yang tinggi. Di Singapura, SHANMUGARATNAM menemukan bahwa hepatoma jauh lebih banyak ditemukan pada orang-orang Tionghoa yang dilahirkan di daratan Tiongkok, meskipun 80% dari mereka itu telah tinggal di Singapura lebih dari 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang mula-mula sekali terjadi sebelum terjadi hepatoma telah didapat pada umur yang masih muda. Di Afrika didapatkan bukti bahwa kwashiorkor dapat menyebabkan kelainan metabolisme hati tanpa menyebabkan kelainan histologik. Kelainan ini, meskipun bukan langsung bersifat serogenik, menunjukkan bahwa ada kemungkinan terjadinya kerusakan metabolisme lebih lanjut. Apakah pada keadaan tersebut infeksi virus hepatitis merupakan "promoting agent" atau merupakan "initiating agent" masih belum diketahui. Perbedaan frekwensi yang terlihat diatas dapat diakibatkan oleh beberapa hal, misalnya faktor tehnik, di mana HAA terdapat didalam serum tetapi tak dapat ditunjukkan dengan immunoelectrosmophorese yang biasa karena kadarnya.4,5 Pada pasien terdapatnya riwayat minum alkohol sejak usia 30 tahun. Frekuensi minum alkohol 3x/bulan. Banyaknya minum 500 ml dan jenis alcohol yang sering dikonsumsi pasien adalah Bir.

18

C. PATOGENESIS DAN METASTASIS Hepatocellular carcinoma, seperti kanker lainnya, berkembang saat terjadi mutasi menjadi seluler yang menyebabkan sel bereplikasi dengan kecepatan lebih tinggi dan/atau berakibat terjadinya apoptosis. Khususnya, infeksi kronis Hepatitis B dan/atau C dapat membantu perkembangan hepatocellular carcinoma dengan secara berulang menyebabkan sistem imun tubuh menyerang sel hati, beberapa karena terinfeksi virus. Sementara siklus kerusakan yang menetap ini yang diikuti oleh perbaikan dapat terjadi kesalahan saat perbaikan yang pada gilirannya dapat mengarah pada carcinogenesis, hipotesis ini lebih bersifat aplikasi saat ini pada Hepatitis C. Namun pada Hepatitis B, integrasi genom virus dengan sel yang terinfeksi merupakan faktor yang paling erat hubungannya dengan keganasan. Piliahan lain, konsumsi berulang sejumlah besar ethanol dapat berakibat sama. Toxin aflatoxin dari species jamur Aspergillus tertentu merupakan carcinogen dan membantu carcinogenesis hepatocellular cancer dengan membentuknya di hati. Prevalensi tinggi kombinasi aflaxtoxin dan hepatitis B di negara-negara seperti China dan Afrika barat telah mengarah pada perkembangan heptatocellular yang cepat di daerah ini. Virus hepatits lainnya seperti hepatitis A tidak berpotensi menjadi infeksi kronis dan tidak berkaitan dengan hepatocellular carcinoma. Metastasis intrahepatik dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe atau infiltrasi langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika, vena porta atau vena kava. Dapat terjadi metastasis pada varises esofagus dan di paru. Metastasis sistemik seperti kelenjar getah bening di porta hepatis tidak jarang terjadi, dan dapat juga sampai di mediastinum. Bila sampai peritoneum, dapat menimbulkan asites hemoragik, yang berarti sudah memasuki stadium terminal.6

D. MANIFESTASI KLINIS Keluhan. Pada awal penyakit kadang-kadang tidak ada keluhan, atau keluhannya samar-samar, sehingga pasien tidak sadar sampai pada suatu saat tumor sudah besar. Keluhan yang sering dirasakan adalah adanya perasaan sakit atau nyeri yang sifatnya tumpul, tidak terus menerus, terasa penuh di perut kanan atas, tidak ada nafsu makan karena perut selalu terasa kenyang sehingga berat badan menurun secara drastis. Pasien 19

merasakan adanya pembengkakan perut kanan atas atau daerah epigastrium, kadangkadang ada keluhan seperti peritonitis lokal atau difus. Dalam keadaan seperti itu perlu dipikirkan perdarahan intra-abdominal. Gejala Gejala klinis bervariasi, biasanya dibedakan menjadi enam tipe: 1. Klasik ditandai dengan malaise, anoreksia, berat badan menurun, perut terasa penuh, nyeri epigastrium, hati membesar, berbenjol-benjol, asitosis. 2. Demam gejala utama demam menggigil, perasaan lemah, nyeri perut kanan atas. Hal ini timbul oleh karena nekrosis sentral tumor atau perdarahan. 3. Abdomen Akut mula-mula tidak bergejala, kemudian tiba-tiba terjadi nyeri perut hebat, mual, muntah, tekanan darah menurun sampai terjadi renjatan. Biasanya hal ini karena adanya perdarahan tumor. 4. 5. Ikterus tumor memberi gejala ikterus obstruktif. Metastatik tanda metastasis pada tulang, kadang-kadang tanpa teraba massa tumor dihati. 6. Tersamar ditemukan secara kebetulan pada laparotomi dan pada pemeriksaan lain. Kebanyakan pasien KHS disertai dengan sirosis hati sebagai penyakit dasarnya. Gejala yang dijumpai tergantung pada keadaan pasien pada waktu datang ke dokter. Pada tahap awal biasanya tidak ada keluhan atau gejala yang khas, tapi kalau sudah sampai stadium lanjut baru teraba hati membesar dengan konsistensi keras, sering berbenjol. Gejala ini paling khas ditemukan disamping adanya asitesis, ikterus, pembesaran limpa, dan bising arteri.

Pada pasien terdapatnya gejala-gejala positif untuk diagnosa hepatoma seperti nyeri perut bagian kanan atas,perut terasa penuh, nafsu makan menurun, terdapatnya riwayat penurunan berat badan, terasa benjolan di perut kanan atas yang sifat nyerinya tumpul dan tidak berterusan. Pada pasien ini tergolong dalam gejala klinis yang termasuk dalam tipe 1 yaitu adanya gejala malaise, anoreksia, berat badan menurun, perut terasa penuh, nyeri epigastrium, hati membesar dan permukaan berbenjol-benjol atau berdungkul-dungkul.

20

Manifestasi Paraneoplastik Tumor hati dapat menghasilkan bahan-bahan yang bisa masuk ke dalam sirkulasi dan menimbulkan beberapa keadaan. Juga tumor hati dapat membuat beberapa protein kasino-fetal, seperti alfa fetoprotein (AFP) dan CEA (carcino embryonic antigen).1,7

E. DIAGNOSIS, SCREENING DAN MONITORING Laboratorium Dalam menegakkan diagnosa suatu tumor ganas hati, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi darah rutin, fungsi hati, dan sebagainya. Pada karsinoma hepatoseluler, dapat dijumpai leukositosis, anemia, gangguan pembekuan darah, serum feritin meningkat, dan peningkatan nilai serum glutamicoxaloacetic transaminase (SGOT) serta serum glutamic-pyruvate transaminase (SGPT). Pada karsinoma fibrolamellar, dijumpai anemia ringan, lekositosis, dan peningkatan nilai SGOT/SGPT. Pada hepatoblastoma terdapat anemia ringan, lekositosis, peningkatan serum kolesterol, dan peningkatan nilai SGOT/SGPT pada 15-30% kasus. Pada pemeriksaan laboratoriun hepatokolangiokarsinoma, didapati lekositosis sedangkan nilai SGOT/SGPT normal. Pada karsinoma hepatoseluler campuran dijumpai lekositosis, gangguan pembekuan darah, anemia, dan peningkatan SGOT/SGPT. Pada karsinoma kistadenoma, pada pemeriksaan darah fungsi hati didapati normal. Pada karsinoma kandung empedu dijumpai kenaikan kadar bilirubin direk /indirek dan serum SGOT/SGPT serta serum kolesterol. Pada pasien ditemukan adanya anemia ringan, leukositosis, peningkatan SGOT dan SGPT. Tumor Marker 'Petanda Tumor' Petanda tumor yaitu zat yang kehadiran dan atau kenaikan kadarnya di dalam serum ataupun cairan tubuh yang lain menandakan adanya tumor. Suatu petanda kanker yang baik haruslah memenuhi beberapa syarat berikut: 1. Dapat melacak adanya kanker atau tumor pada tahap dini pada suatu populasi yang belum menunjukkan suatu gejala apapun juga.

21

2. Dapat membedakan suatu jenis kanker atau tumor dari suatu kanker atau tumor yang lain dan juga dari penyakit yang bukan keganasan. 3. Dapat memberi prognosis dan memperingatkan akan adanya rekurensi.

Ketiga persyaratan tersebut sangat ideal sehingga tidak ada yang sempurna. Biserte dan kawan-kawan mengajukan persyaratan yang lebih longgar, yaitu petanda tumor atau kanker yang sempurna ada atau meningkat kadarnya pada seluruh penderita penyakit keganasan dan haruslah tidak ada atau dalam batasbatas normal pada orang-orang yang tidak menderita tumor. Berbagai jenis petanda tumor ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Protein dan polipeptida: hormon-hormon dari jenis polipeptida, enzim-enzim, antigen membran, dan macam-macam protein onkofetal. 2. Substansi yang lebih sederhana: steroid, hormon-hormon yang merupakan metabolit asam amino tertentu, serta poliamin yang juga merupakan metabolit asam amino, namun tidak bersifat hormonal. Ada sekitar 50-60 jenis zat yang diajukan sebagai petanda tumor atau dihubungkan dengan adanya satu atau beberapa jenis tumor. Pada karsinoma hepatoseluler, petanda tumor meliputi alfa feto protein (AFP) yang meninggi, karsinoma embrionik antigen yang meninggi, serum asam alfa glutamyl transferase dan serum vitamin B-12 binding protein, serta serum neurotensin. Pada hepatoblastoma berupa peningkatan serum AFP. Pada hepatokolangio karsinoma berupa peningkatan serum keratin dan pada karsinoma hepatoseluler campuran berupa peningkatan serum keratin. Pada karsinoma kistadenoma, petandanya tidak jelas. Sedang pada angiosarkoma adalah faktor VIII related antigen. Pada sarkoma undifferentiated, dapat dijumpai serum vimentin dan alfa 1-antitrypsin pada alfa 1antithymotrypsin sebagai petanda tumor. Serum Alpha Fetoprotein Pemeriksaan Alfa Feto Protein (AFP) secara klinik pada karsinoma hepatoseluler pertama kali dilakukan Abelev. Setelah itu, penyelidikan dilakukan di mana-mana. Pada hepatoblastoma dijumpai kenaikan 60--70% kadar AFP, karsinoma hepatoseluler 50%, dan fibrolamellar 21%. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Serum AFP untuk setiap penderita hepatomegali. 22

Astuti mengembangkan cara pemeriksaan ELISA untuk serum AFP di Bandung (kadar normal 20 ng/ml), dan terbukti 14 kasus kadarnya 15 ng/ml (normal). Ia berkesimpulan, pemeriksaan ELISA mempunyai kepekaan yang tinggi dan tidak kalah dengan RIA. Dari penelitian di atas, terlihat bahwa pemeriksaan AFP hampir spesifik untuk karsinoma hepatoseluler. Namun, kadar AFP juga dapat meninggi pada berbagai tumor lain seperti hepatoblastoma, dan dapat pula menjadi petunjuk penilaian keganasan. Eselby memperlihatkan kenaikan serum AFP hanya 40% pada karsinoma hepatoseluler, dan 70% pada pasien hepatoplastoma. Pong pipet di Thailand melaporkan dari 17 kasus tumor ganas hati, 8 karsinoma hepatoseluler, dan 9 orang penderita hepatoblastoma yang sama-sama memperlihatkan kenaikan serum AFP 100%. Kadar alfa feto protein normal dijumpai pada fibrolamellar dan kolangiokarsinoma. Mencari Lesi Fokal 1. Pemeriksaan Radiologi (Foto Polos Abdomen) Pada penderita yang diduga menderita penyakit hati, dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen. Jika didapati karsinoma hepatoseluler, terutama pada orang dewasa, sering terlihat kalsifikasi. Sedangkan pada kolangio karsinoma dan hemangioma kadang-kadang mengalami kalsifikasi. Kalsifikasi dijumpai kira-kira 6% dari tumor ganas hati. 2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi terutama berguna untuk menentukan adanya massa dan pembesaran hati serta perbedaan antara tumor padat atau kista. Gambaran USG karsinoma hati primer fase dini memperlihatkan nodul gema berdensitas rendah dan homogen atau heterogen. Hal ini terjadi karena dalam jaringan tumor hati primer hanya ditemukan sel karsinoma yang mengandung pembuluh darah kapiler dan tidak mengandung stroma intraseluler. Bentuk soliter sering memperlihatkan suatu nodul besar berdensitas tinggi. Bentuk campuran adalah campuran bentuk noduler dan difusi, noduler dengan soliter, soliter dengan difusi.

23

Masatosi kudo dalam penelitiannya mengatakan bahwa bentuk karsinoma hepatoseluler dengan diameter < 1 cm USG dapat mendeteksi 2 dari 5 orang penderita pada USG kedua. Untuk diameter 1--2 cm, USG dapat mendeteksi 11 dari 15 orang penderita pada USG awal dan 13 dari 25 orang pada USG kedua. Untuk diameter 2--3 cm USG dapat mendeteksi 8 dari 10 orang pada USG selanjutnya16. USG memiliki sensitivitas 84% pada karsinoma hepatoseluler. 3. Computed Tomography (CT) Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan yang sering dilakukan. Dengan pemeriksaan CT akan didapat bermacam-macam densitas jaringan lunak dan susunan potongan melintang yang beruntun sehingga diperoleh gambar berbagai organ sekaligus. Pada kanker hati primer, akan tampak vaskularisasi yang meningkat, yaitu peninggian densitas tumor. Sedangkan pada kanker hati, metastatik tampak avaskuler, yaitu densitas tumor sama. 4. Pemeriksaan Skintigrafi (Scaning) Skintigrafi hati sering dipakai untuk mendeteksi kelainan hati. Teknik ini merupakan pemeriksaan hati yang sederhana, mudah, dan noninvasif. Visualisasi hati melalui pemeriksaan ini bergantung pada proses fisiologis dimana sel-sel poligonal (60%) yang mampu menangkap secara selektif dan mengeluarkan kembali radiofarmaka ke dalam darah umumnya kelainan lokal. Baik yang jinak ataupun yang ganas akan tampak sebagai suatu daerah kosong (Space Occupying Lesion = SOL) karena kelainan tersebut tidak menyerap radiofarmaka dan disebut daerah dingin. Nilai diagnostik skintigrafi terbatas karena: 1. Tidak dapat mendeteksi kelainan dengan diameter < 2 cm. 2. Interprestasi sering tidak tepat karena variasi ukuran, bentuk, dan posisi hati. 3. Sukar untuk menilai kelainan hati pada vena porta. 4. Adanya SOL belum menentukan jenis kelainannya.

24

1. Pemeriksaan Angiografi Dengan pemeriksaan ini, dapat diperoleh gambaran arteri coeliac, arteri mesenterika, dan cabang-cabangnya di dalam hati (arteriogram) dengan menyuntikkan zat konstras ke dalam arteri femoralis kanan atau kiri melalui kateter. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk menentukan lokasi, diagnosis, dan menentukan apakah dapat dioperasi atau tidak serta menentukan efek pengobatan dan terapi (embolisasi). Tumor disuplai darah oleh arteri hepatika. Arteri coeliac dan mesenterika superior yang selektif dapat mendemonstrasikan lesi tersebut. Infus dengan menggunakan kontras yang selektif, terutama bernilai dalam mengenali tumor-tumor yang kecil. Kesulitan mungkin dijumpai dalam membedakan nodul-nodul regeneratif dalam sirosis hati. Penampakannya dapat dihubungkan dengan bentuk anatomi kasar dari tumor. Bentuk arteri yang ganjil dengan penumpukan, tertarik, dan perubahan tempat dari pembuluh darah. Pembuluh darah mungkin sklerosis, lumennya irreguler, dan dapat dalam bentuk pecahan. Shunt vena sering dapat ditunjukkan dengan pengisian lesi, vena porta mungkin berubah jika terdapat invasi tumor. Dengan Doppler Ultrasound dapat menunjukkan penyebaran intravaskuler dari tumor. Masatosi Sumida dan kawan melakukan penelitian ketepatan angiografi dalam menentukan diagnosis karsinoma hepatoselular pada 215 penderita. Hasilnya, terjadi perubahan angiografi berupa peningkatan frekuensi dilatasi, pergeseran tempat dari arteri dan shunt arteri portal dalam fase arterial, peningkatan aliran darah kecil dan vaskularisasi, serta warna tumor fase kapiler. Secara keseluruhan, nilai diagnostik dari angiografi untuk karsinoma hepatoseluler tinggi. Masatosi Kudo melakukan penelitian pada karsinoma hepatoseluler. Pada diameter < 1 cm dapat mendeteksi 3 dari 5 penderita, dan diameter 1-2 cm dapat mendeteksi 13 dari 15 penderita. Juga pada diameter seluler di mana pada diameter < 1 cm dapat mendeteksi 3 dari 5 penderita, diameter 1-2 cm dapat mendeteksi 13 dari 15 penderita, dan diameter 2-3 cm dapat mendeteksi 8 dari 10 penderita.

25

2. Peritoneoskopi Akhir-akhir ini, pemeriksaan rongga peritoneum dengan endoskopi sering dilakukan. Lebih-lebih jika digabungkan dengan biopsi yang terarah. Dengan laparoskopi ini, pemeriksaan makin lebih aman dan hasil yang diperoleh semakin bertambah baik. Beberapa kepustakaan melaporkan hasil positif sebanyak 90% pada pemeriksaan sebanyak 300 kali dan 400 kali pemeriksaan laparoskopi. Pada proses keganasan di hati, baik yang primer ataupun metastasis, dengan pengamatan endoskopi dan biopsi terarah, akan memberi manfaat besar. Dengan laparoskopi dapat diamati besar, bentuk, warna, dan permukaan hati itu sendiri. 3. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) Dari laporan yang dipublikasikan menunjukkan kegunaan MRI untuk meneliti tumor hati primer pada anak-anak. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan MRI lebih baik jika dibandingkan dengan teknik pemeriksaan lain. MRI dapat menjelaskan secara akurat (tepat) keterlibatan parenkim dan batasbatas tumor. Struktur vaskuler, terutama vena hepatik dan vena kava inferior, lebih jelas bahkan pada pasien terkecil sekalipun. MRI lebih dapat menentukan secara lebih akurat stadium tumor sebelum pengobatan dibanding CT Scan. 4. Biopsi Hati Untuk menegakkan diagnosis penyakit hati, perlu dilakukan pemeriksaan histologis jaringan hati dengan melakukan biopsi hati. Dalam satu seri penelitian di luar negeri dengan biopsi hati membuta, diperoleh hasil sebanyak 80%, sedangkan sisanya mengalami kegagalan atau tidak membuahkan hasil. Dengan biopsi hati membuta, informasi yang salah sebanyak 30% pada sirosis hati dan 40--60% pada metastasis. Hasil yang lebih memuaskan pada penyakit hati yang difus. Untuk diagnosis biopsi hati membuta dapat dipakai 2 metode, Menghini dengan cara aspirasi dan metode Vim Silverman yaitu dengan cara memotong jaringan hati. Biopsi hati merupakan diagnosa pasti (gold standard) dalam menegakkan diagnosis tumor ganas hati. Pada pasien ini, rencana pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis HCC adalah dengan melakukan pemeriksaan kadar serum AFP, USG abdomen, dan juga CT-Scan thorax dan abdomen.3,5

26

F. PATOLOGI Secara makroskopis, kanker hati dapat tampak sebagai sebuah tumor noduler atau infiltratif. Tipe noduler dapat soliter (massa besar) atau multiple (saat berkembang sebagai komplikasi sirosis). Nodul tumor bulat hingga oval, abu-abu atau hijau (bila tumor memproduksi cairan), tak berkapsul. Tipe difuse menginfiltrasi vena porta, atau vena hepatik (jarang). Secara mikroskopis, terdapat empat tipe arsitektural dan sitologis (pola) hepatocellular carcinoma: fibrolamellar, pseudoglandular (adenoid), pleomorphic (giant cell) dan clear cell. Pada bentuk berdiferensiasi baik, sel tumor tampak seperti hepatosit, membentuk trabekula, pita dan jaring, dan mungkin mengandung bile pigment di sitoplasma. Pada bentuk berdifferensiasi buruk, sel epitel ganas discohesive, pleomorphic, anaplastic, besar. Tumor memiliki stroma yang terbatas dan nekrosis sentral karena vaskularisasi sedikit.

G. STAGING Gambaran penting yang mengarahkan pengobatan meliputi: ukuran penyebaran (stadium) keterlibatan liver vessels kemunculan kapsul tumor kemunculan metastase extrahepatik kemunculan nodul anak vaskularisasi tumor MRI merupakan metode imaging terbaik untuk mendeteksi kemunculan kapsul tumor. Beberapa sistem yang dapat dipakai untuk staging HCC adalah : Tumur-Node-Metastases (TNM) Staging System Okuda Staging System Cancer of the Liver Italian Program (CLIP) Scoring System 27

Chinese University Prognostic Index (CUPI) Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) Staging System

Staging hepatoma pada pasien ini belum bisa ditentukan karena diperlukan hasil pemeriksaan penunjang seperti USG abdomen dan CT-Scan thorax kemudian telah terbukti hepar yang teraba jelas terdiagnosis hepatoma.7

H. PENGOBATAN Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multinodulatitas, resektabilitas HCC sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status klinis, sistem skor Child-Pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Reseksi Hepatik Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik, HCC difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat memengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi. Indikasi hepatektomi Kemajuan yang pesat dalam diagnosis KHS telah memungkinkan untuk menggambarkan lokasi anatomi, besar tumor, tingkat inflltrasi, obstruksi vena porta Intra-hepatik oleh invasi tumor dan juga adanya nodul-nodul metastasis. Demikian pula gambaran sirosis hati yang menyertai yang lebih jelas. Beberapa penemuan diatas 28

penting untuk menetapkan Indikasi operasi. Pembedahan merupakan kontra indikasi jika ditemukan metastase multipel dalam daerah porta. Pembedahan hati (reseksi) pada stadium dini penyakit, merupakan pengobatan yang paling baik dan paling bisa diharapkan memberikan penyembuhan. Pada hati yang tidak sirosis hati pengangkatan jaringan hati sampai 75% telah merupakan prosedur yang aman dan baku. Namun pada penderita sirosis hati dirnana sering menyertai 70-90% KHS di Indonesia akan terdapat risiko yang besar dalam tindakan pembedahan. Penilaian batas tindakan bedah. Penilaian cadangan kapasitas hati rnasih merupakan salah satu masalah yang amat penting dan paling sukar. Dibawah ini beberapa kriteria dapat dipergunakan. 1. Kriteria Child Kriteria Child sebenarnya dimaksudkan untuk memllih penderita dengan varises esofagus pada penderita sirosis hati, untuk tindakan pembedahan shunt. Namun demikian dapat juga dipergunakan untuk penilaian untuk tindakan pembedahan lain. Terdapat 3 klasifikasi A,B dan C. Pada penderita dengan kriteria C dianjurkan untuk tidak dilakukan operasi. 2. Indociyanine green (ICG) Tes ICG dapat dipakai untuk penilaian indikasi operasi. Tes dilakukan dengan pengukuran kecepatan menghilangnya secara maksimal (R max) setelah pemberian sejumlah maksimum ICG. Risiko operasi dianggap rendah jika Rmax lebih dari 1.0 mg/kg/menit.Reseksi besar jaringan dikerjakan jika R max kurang dari 0,4 mg/kg/menit. Lobektomi dapat dikerjakan jika R max lebih dari 0,8 mg/kg/menit, segmentase tumor atau irigasi pembedahan daerah hepatik jika Rmax lebih dari 0,4 mg/kg/menit. Jika R max diantara 0,3 dan 0,4 mg/kg/menit hanya sebagian kecil hati saja yang bisa direseksi.

29

3. Tes toleransi glukosa oral Ada 2 bentuk TTGO oral yaitu bentuk parabola dimana fungsi hati masih normal dan bentuk linier jika fungsi hati tidak baik. Bentuk parabola ialah jika kadar gula darah kembali ke normal dalam 2 jam dan linier jika tidak kembali. 4. Pengukuran cytochrome A dan Mitokondria sel hati Pada saat operasi biopsi hati dilakukan dan diadakan pengukuran jumlah mitokondria sel hati. Pada proses sirosis hati, jumlah enzim respirasi sebagai respon terhadap kebutuhan energi akan bertambah. Jika enzim respirasi tidak bertambah dan jumlahnya dibawah normal, rnaka keaktivan fosforilasi mitokondria sangat rendah. Dalam tingkat Ini kejadian kernatian pasca operasi setelah hepatektomi lebih dan 90%. Macam operasi 1. Segmentektomi lateral lobus kiri 2. Lobektomi kiri 3. Lobektomi kanan 4. Segmentektomi kanan. Transplantasi Hati Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan kesintasan 3 tahun mencapai 80%, bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai kesintasan 5 tahun sebesar 92 %. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor di dalam maupun di luar transplan. Rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan diametemya lebih dari 5 cm.

30

Ablasi Tumor Perkutan Destruksi dati sel neoplastik dapat dieapai dengan bahan kimia (alkohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser dan cryoablation). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor keeil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar keljanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter < 5 'em) pada pasien sirosis Child-Pugh A, kesintasan 5 tahun dapat meneapai 50%. PEl bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-Child A. Radiofrequencyablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi daripada PEl dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3 em, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEL. Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke-38 seeara bermakna dibandingkan dengan kelompok plasebo (kelompok plasebo 49%; kelompok terapi PEl atau reseksi kuratif 22%).

Terapi Paliatif Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child-Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vaskular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.

31

Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi anti estrogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.1,3,7 Penatalaksanan terhadap pasien ini antara lain adalah: Istirahat. Diet hati III. Dilakukan perbaikan cairan tubuh pasien dengan IVFD NaCl untuk memperbaiki hiponatremianya. Untuk mengurangi sesak nafas yang dialami pasien bisa dengan pemberian O2 3L/menit kanul.

Pemberian vitamin B1, B6, B12 adalah untuk membantu memperlancar prosesmetabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang berujung pada pelepasan energi serta membantu dalam metabolisme pembentukan sel darah merah bagi menangani masalah anemia ringan pada pasien.

TUBERKULOSIS Latar belakang Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.

Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 - 1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 32

propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk. Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun. Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).

Definisi : Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

Kuman Tuberkulosis : Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

Cara Penularan : Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran 33

linfe,saluran

napas,

atau

penyebaran

langsung

kebagian-nagian

tubuh

lainnya.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Resiko Penularan : Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 - 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.

Riwayat terjadinya Tuberkulosis Infeksi Primer : Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 - 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan 34

menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) : Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut : Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.

Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.

Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.

Pengaruh Infeksi HIV : Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

35

Gejala - gejala Tuberkulosis Gejala Umum : Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.

Gejala Lain Yang Sering Dijumpai : Dahak bercampur darah. Batuk darah. Sesak napas dan rasa nyeri dada.

Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. Pada pasien ini terdapatnya gejala batuk secara terus menerus lebih dari 3 minggu yaitu selama satu bulan. Pasien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi dan sering berkeringat banyak terutama pada waktu malam . Selain itu, riwayat penurunan badan, nafsu makan menurun dan perasaan kurang enak badan atau lemas juga terdapat pada pasien ini.

Diagnosis Tuberkulosis (TB)

Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa. Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif. pemeriksaan lain, misalnya biakan. Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS : Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka

36

-

Kalau

hasil

SPS

positif,

didiagnosis

sebagai

penderita

TB

BTA

positif.

- Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.

- Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif. - Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

Pada pasien ini ,hasil Rontgen menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi kuman TBC dengan tampaknya infiltrat dan perselubungan pada lapangan paru kiri basal tetapi haruslah dilakukan pemeriksaan BTA sputum I, II, III untuk menegakkan diagnosa pasti TB.

ALUR DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA Di Indonesia, pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis Karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium Tuberculosis . Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis. Misalnya pada penderita HIV / AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan Morbili.

Terapi TBC Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan 37

menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan. Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini. Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan. Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000. Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi.

Imunisasi Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua 38

bulan. Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya. Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati.Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi inilah yang menjadi kunci pengontorlan TBC di AS. Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80 persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak perlu lagi dilaksanakan. Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak dan masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi Indonesia.9,10 Pada pasien ini direncanakan untuk terapi obat anti TBC (OAT) selama 6 bulan. Kombinasi obat yang sering digunakan adalah isoniazid, rifampicin dan pyrazinamid. Selain itu pasien juga disuruh untuk berhenti merokok, diberi asupan vitamin dan gizi yang cukup untuk terapi yang lebih efektif dan salah satu daripada tindakan pencegahan infeksi kuman TBC.

39

I. PROGNOSIS Pada umumnya prognosis Karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah buruk. Tanpa pengobatan biasanya terjadi kematian kurang dari satu tahun sejak keluhan pertama. Pada pasien KHS stadium dini yang dilakukan pembedahan dan diikuti dengan pemberian sitostatik, umur pasien dapat diperpanjang antara 4-6 tahun, sebaliknya pasien KHS stadium lanjut mempunyai masa hidup yang lebih pendek. Pada pasien ini prognosisnya adalah malam pada quo ad vitam dan quo ad fungsionam sekiranya jelas terdiagnosa KHS. Untuk prognosis sementara adalah dubia ad malam karena diagnosis sementaranya adalah suspek hepatoma.

KESIMPULAN Seorang laki-laki 54 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS. 1 bulan SMRS Os mengeluh perut sebelah kanan atas terasa ada benjolan keras, besarnya sekitar 3 jari. Nyeri perut bagian kanan atas yang menjalar ke pinggang bagian belakang. Perut terasa penuh, mual ada, muntah tidak ada, nafsu makan menurun. Os juga mengeluh sesak nafas, sesak tidak dipengaruhi emosi, aktivitas dan cuaca. Batuk ada, dahak ada, berwarna putih jumlah gelas aqua. Sakit kepala tidak ada, merasa mudah letih, badan terasa melayang, demam ada tidak terlalu tinggi, BAK biasa. BAB lancar warna biasa. 2 minggu SMRS Os mengeluh mata os kuning, benjolan di perut sebelah kanan semakin membesar. BAK Os mulai berwarna gelap seperti teh dan BAB keras berwarna coklat kehitaman. 1 minggu SMRS Os mengeluh benjolan di perut sebelah kanan semakin besar sekitar 6 jari dan semakin nyeri. Berat badan os menurun 6kg sejak mulai sakit, badan semakin terasa lemas. Demam ada tidak terlalu tinggi dan berkeringat banyak. BAK Os berwarna gelap seperti teh tua dan BAB keras warna kehitaman. Pada riwayat penyakit dahulu, Os menyatakan bahwa riwayat sakit kuning tidak ada, riwayat transfusi darah tidak ada, riwayat hipertensi tidak ada, riwayat sakit jantung tidak ada, riwayat mengkonsumsi obat-obatan tradisional tidak ada dan riwayat minum OAT disangkal. Os mempunyai riwayat kebiasaan dengan merokok sejak usia 17 tahun 1 bungkus sehari. Os mengatakan telah berhenti merokok sejak mulai sesak nafas 1 bulan SMRS. Terdapat juga riwayat minum alkohol sejak usia 30 tahun. 40

Frekuensi minum alkohol 3x/bulan banyaknya kira-kira 500 ml. Jenis alkohol yang biasa diminum Os adalah bir. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 92 kali/menit reguler, isi dan tegangan cukup, pernapasan 24 kali/menit, suhu badan 37,0 0C, sklera ikterik (+), konjungtiva anemis (-). Paru: ronkhi basah sedang di basal paru kiri dan kanan,wheezing (-). Abdomen: Kanan lebih cembung dari kiri, venektasi (-), lemas, nyeri tekan (+), hepar teraba 6 jari di bawah arcus costae, tepi tumpul, permukaan berdungkul-dungkul, konsistensi keras, lien tidak teraba. Ekstremitas: eritema palmaris (-), edema pretibial (-). Pemeriksaan penunjang: Hb 11,6 g/dl, Ht 33 vol %, leukosit 16.200/mm3, trombosit 296.000/mm3, DC 0/1/2/76/18/3, LED 20 mm/jam, BSS 91 mg/dl, asam urat 4,6 mg/dl, ureum 40 mg/dl, creatinin 1,0 mg/dl, natrium 126 mmol/l, kalium 4,1 mmol/l, protein total 6,3 g/dl, albumin 3,0 g/dl, globulin 3,3 g/dl, bilirubin total 8,15 mg/dl, bilirubin direk 8,00 mg/dl, bilirubin indirek 0,15 mg/dl, fosfatase alkali 490 u/l, SGOT 205 u/l, SGPT 142 u/l.

Berdasarkan data-data diatas, maka diagnosis sementara pasien ini adalah suspek hepatoma + suspek TB paru kasus baru. Etiologi terjadinya hepatoma pada pasien ini kemungkinan adalah akibat faktor pengaruh alkoholisme dalam jangka wattu yang lama. Pasien ini datang dengan gejala, keluhan dan hasil pemeriksaan fisik yang khas seperti keluhan nyeri perut kanan atas dan terasa ada benjolan keras di perut sebelah kanan atas. perut terasa penuh, ikterus, hepatomegali dengan tepi tumpul, permukaan berdungkuldungkul dan konsistensi keras sehingga diagnosis hepatoma dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan laboratorium pun mendukung diagnosis ini karena didapat hipoalbumin yang menandakan fungsi hati menurun, peningkatan SGOT dan SGPT akibat daripada fungsi sel-sel hepatosit yang terganggu dan biasanya meningkat pada hepatoma. Namun untuk menegakkan diagnosis secara pasti, harus dilakukan USG Abdomen dan pemeriksaan biopsi hati. Dan juga dilakukan pemeriksaan serum AFP yang merupakan tumor marker khusus pada hepatoma.. Selain itu pasien sering batuk sampai berdahak warna putih, terdapatnya demam tidak terlalu tinggi dan berkeringat banyak terutama pada malam hari, adanya bunyi ronkhi basah sedang pada basal paru kiri dan kanan, sehingga pasien 41

terdiagnosis TB paru. Diperlukan pemeriksaan BTA sputum I,II,III, untuk menegakkan diagnosis pasti. Pada umumnya prognosis pada kasus hepatoma adalah jelek karena tanpa pengobatan biasanya terjadi kematian kurang dari satu tahun sejak dari keluhan pertama. Sekiranya dilakukan pembedahan dan pemberian obat-obatan sitostatik, umur pasien diperpanjang antara 4-6 tahun. Prognosis quo ad vitam adalah dubia ad malam dan prognosis quo ad functionam adalah dubia ad malam.

42