BAB III

30

Click here to load reader

Transcript of BAB III

Page 1: BAB III

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengendalian Kualitas

Menurut Sofjan Assauri (2004) pengawasan mutu adalah kegiatan untuk memastikan

apakah kebijakan dalam hal mutu (standar kualitas) dapat tercermin dalam hasil akhir.

Dengan kata lain pengawasan mutu merupakan usaha untuk mempertahankan mutu atau

kualitas dari barang yang dihasilkan, agar sesuai dengan spesifikasi produk yang telah

ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan pimpinan perusahaan. Tidak hanya dalam bidang

industri kontrol kualitas dibutuhkan, tetapi juga pada bidang manajemen pun memegang

peranan yang sangat penting. Pengendalian kualitas produk dalam proses produksi

merupakan faktor yang sangat penting bagi dunia industri, karena pengendalian kualitas

yang baik dan dilakukan secara terus menerus akan dapat mendeteksi ketidaknormalan

atau kecacatan secara cepat, sehingga dapat segera dilakukan tindakan antisipasinya.

Mutu atau kualitas produk diukur dengan derajat kepuasan konsumen, dalam arti seberapa

tinggi taraf kepuasan yang diperoleh dibandingkan dengan besar pengorbanan yang telah

dikeluarkan. Mutu atau kualitas produk yang diharapkan pelanggan adalah tidak adanya

cacat pada produk yang diterima pada pelanggan

Menurut Sofjan Assauri (2004) secara garis besar pengawasan (pengendalian) mutu

dapat dibedakan atau dikelompokkan ke dalam dua tingkatan, yaitu pengawasan selama

pengolahan (proses) dan pengawasan dari hasil yang telah diselesaikan. Berikut

penjelasannya :

1. Pengawasan selama pengolahan (proses)

Pengawasan proses ini haruslah berurutan dan teratur dari awal hingga akhir.

Apabila dimulai dengan suatu kesalahan, maka harus dibuat suatu keterangan

yang diteruskan kepada pelaksana di awal untuk dilakukan penyesuaian kembali.

Pengawasan pada proses ini, termasuk juga pengawasan bahan-bahan yang

akan digunakan untuk proses.

2. Pengawasan barang jadi yang telah diselesaikan

Walaupun telah diadakan pengawasan mutu dalam tingkat-tingkat proses tetapi

hal ini tidak dapat menjamin bahwa tidak ada hasil yang rusak atau kurang baik

ataupun tercampur dengan hasil yang baik. Untuk menjaga agar barang-barang

Page 2: BAB III

yang dihasilkan baik atau tidak baik untuk sampai ke konsumen, maka diperlukan

adanya pengawasan atas barang hasil akhir atau produk selesai.

Dalam melakukan pengendalian mutu diperlukan perbaikan terus menerus, sehingga

perusahaan dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan mutu yang berubah-ubah. Pada

dasarnya langkah-langkah pengendalian mutu menerapkan konsep dari siklus Deming’s

yang ditemukan oleh Dr. W. Edward Deming. Siklus tersebut terdiri dari :

1. Plan (Perencanaan)

Dalam tahap ini perusahaan menetapkan standar mutu, merencanakan cara atau

metode, teknologi, materials tooling, dan para pekerja untuk pencapaian mutu

yang diharapkan.

2. Do (Pelaksanaan)

Pelaksanaan dari rencana perusahaan, termasuk didalamnya proses produksi,

pengendalian mutu, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan untuk mencapai

tujuan perusahaan.

3. Check (Pemeriksaan)

Memeriksa produk hasil produksi, apakah sudah sesuai dengan standar yang

ditetapkan perusahaan sebelumnya.

4. Action (Tindakan)

Tahap ini merupakan tindak lanjut dari tahap sebelumnya (check), yaitu

mengambil tindakan atas penemuan dari pemeriksaan yang di lakukan. Jika hasil

yang telah dicapai sesuai dengan sasaran, maka dilakukanlah standarisasi baik

terhadap hasil produksi, maupun terhadap proses atau cara pencapaiannya,

sehingga hasil yang telah memenuhi standar tersebut dapat dipertahankan. Tetapi

jika produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar yang ditetapkan, maka harus

dicari penyebabnya dan dilakukan tindakan atas penyebab tersebut.

5. Analize (Analisis)

Pada tahap ini dilakukan analisis atas tahap-tahap yang sebelumnya. Selain itu

juga dapat menganalisis apakah produk dapat diterima di pasaran dalam hal mutu,

biaya dan criteria-kriteria lainnya. Hasil dari analisa ini dapat menjadi acuan untuk

perencanaan (plan) berikutnya.

Proses pengendalian ini harus dilakukan secara terus-menerus dan

berkesinambungan, sehingga peningkatan mutu dapat dicapai secara sistematis

dan terus menerus. Berikut gambar dari siklus Deming :

III-2

Page 3: BAB III

Gambar 3.1 Siklus Deming

Sumber : PL Jain (2003)

Terdapat empat belas poin Deming untuk perbaikan mutu, sebagai berikut :

1. Bangun tujuan pekerjaan melalui inovasi dan perbaikan secara berkelanjutan.

2. Adopsi sebuah filosofi baru yang tidak mengijinkan adanya kesalahan dan

kegagalan pada masa sebelumnya.

3. Berhentilah bergantung pada inspeksi masal dalam membentuk mutu. Bentuk

mutu dari awal.

4. Hentikan praktik menghargai kontrak berdasarkan tawaran harga rendah.

5. Perbaiki secara konstan dan terus menerus sistem produksi dan jasa untuk

meningkatkan mutu dan produktivitas, yang gilirannya secara konstan

menurunkan biaya.

6. Lembagakan on job training.

7. Lembagakan kepemimpinan. Tujuannya harus dapat membantu para pekerja dan

teknologi yang dpat dimiliki dapat bekerja dengan baik.

8. Hapuskan rasa takut, sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara efektif.

9. Hilangkan dinding pemisah antar departemen, sehingga semua pekerja dapat

bekerja menjadi satu tim.

10. Hilangkan slogan, desakan dan target bagi tenaga kerja.

11. Hilangkan kuota dan manajemen berdasarkan sasaran. Gantikan dengan

kepemimpinan.

12. Hilangkan penghalang yang dapat merampas kebanggaan karyawan atas

keahliannya tersebut.

13. Giatkan program pendidikan dan perbaikan sendiri.

14. Buatlah transformasi pekerjaan setiap orang dan siapkan setiap pekerja untuk

mengerjakannya.

III-3

Page 4: BAB III

Menurut Fruman (2002) berikut ini pengertian beberapa istilah yang berkaitan dengan

mutu :

1. Internal customer (konsumen internal)

Yaitu orang berikutnya dalam perusahaan yang akan menerima produk atau jasa

dari bagian lain.

2. External customer (konsumen eksternal)

Yaitu pengguna akhir dari suatu produk atau jasa.

3. Customer Requirement (persyaratan konsumen)

Yaitu standar kinerja yang berhubungan dengan kebutuhan spesifik pelanggan.

4. Detection (penemuan)

Yaitu strategi reaktif yang berusaha mengidentifikasi dan memperbaiki produk dan

jasa yang cacat atau rusak setelah produk atau jasa tersebut diproduksi.

5. Prevention (pencegahan)

Yaitu strategi proaktif yang berusaha mengidentifikasi dan memperbaiki produk

atau jasa yang cacat atau rusak sebelum produk atau jasa tersebut diproduksi.

Sebagai contoh, pengidentifikasian dan perbaikan selama fase desain atau tahap

pengembangan , pengawasan produksi yang telah terbukti cukup berpengaruh

terhadap karakteristik produk.

6. Defect (kerusakan)

Yaitu suatu keadaan atau kondisi yang tidak sesuai dengan persyaratan

pelanggan yang membuat produk atau jasa tidak terpakai.

7. Inspection (pemeriksaan)

Yaitu tindakan pengukuran, pemeriksaan, analisis dan pengujian karakteristik dari

suatu item, produk, atau proses dan membandingkan hasilnya dengan

persyaratan khusus untuk mengetahui tingkat kesesuaian.

8. Productivity (produktivitas atau daya produksi)

Yaitu pengukuran output terhadap input.

9. Specification (spasifikasi)

Yaitu atribut yang spesifik dan dapat diukur yang memenuhi persyaratan

konsumen.

Menurut Evans dan Lindsay (2002), pengertian mutu dapat dibagi ke dalam beberapa

criteria yaitu :

III-4

Page 5: BAB III

1. Judmental Criteria (kriteria penilaian)

Adalah gagasan, pikiran atau pandangan konsumen mengenai mutu, yaitu bahwa

bermutu berarti unggul atau sangat baik. Pandangan ini mengacu bahwa mutu

tidak dapat didefinisikan secara jelas. Kita hanya dapat melihat mutu ketika kita

melihat dan merasakan suatu produk atau jasa. Unggul atau sangat baik bersifat

abstrak dan subyektif karena standar unggul atau sangat baik sangat berbeda

diantara benak para konsumen.

2. Product-Based Criteria (Kriteria berdasarkan produk)

Definisi lain dari mutu bahwa mutu adalah sebuah fungsi yang spesifik, variabel

yang dapat dihitung dan perbedaan dalam mutu merefleksikan perbedaan jumlah

atribut suatu produk atau jasa. Interpretasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

tingkat atau jumlah karakteristik suatu produk atau jasa sepadan dengan bermutu

tinggi. Dampak negatifnya, mutu sering diasumsikan berhubungan dengan harga

dimana semakin tinggi harga suatu produk atau jasa maka semakin tinggi pula

mutu produk atau jasa tersebut. Tetapi suatu produk atau jasa tidak perlu mahal

untuk dianggap bermutu baik oleh konsumen.

3. Use-Based Criteria (Kriteria berdasarkan pengguna)

Definisi ketiga tentang mutu berdasarkan pada anggapan mutu diukur oleh

keinginan konsumen. Konsumen memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda-

beda, karenanya standar mutu pun berbeda-beda. Interpretasi ini membawa kita

pada definisi berdasakan pengguna : mutu didefinisikan sebagai kecocokan pada

maksud penggunaan.

4. Value-Based Criteria (kriteria berdasarkan nilai)

Pendekatan keempat untuk mendefinisikan mutu adalah berdasarkan nilai yaitu

kegunaan atau kepuasan terhadap harga. Berdasarkan pandangan tersebut,

produk atau jasa yang bermutu adalah sesuatu yang berguna dan memuaskan

yang dijual pada harga yang rendah atau produk dan jasa yang menawarkan

kegunaan dan kepuasan yang lebih baik pada tingkat harga yang sebanding.

Pendekatan nilai terhadap mutu menggabungkan tujuan perusahaan pada

keseimbangan karakteristik produk dan jasa (sisi mutu menurut konsumen) dan

efisiensi perusahaan (sisi operasi).

5. Manufacturing-Based Criteria (Kriteria berdasarkan pabrikasi)

III-5

Page 6: BAB III

Mutu didefinisikan sebagai keluaran yang diinginkan dari praktek perekayasaan

dan pabrikasi, atau kesesuaian spesifikasi.

6. Integrating Perspective on Quality (mutu berdasarkan pelanggan)

Meskipun mutu suatu produk atau jasa sangatlah penting bagi semua individu

melalui sebuah sistem produksi-distribusi, bagaimana mutu dilihat mungkin

tergantung pada salah satu posisi dalam sistem tersebut, yang mana, entah itu

dari sisi desainer, produsen, distributor atau konsumen.

7. Custmer-Driven Quality (mutu berdasarkan pelanggan)

Definisi resmi data terminology mutu telah distandarisasi pada tahun1978 oleh

American National Standards Institute (ANSI) dan The American Society for

Quality

(ASQ). Sementara menurut kedua lembaga tersebut (ANSI & ASQ),

mendefinisikan mutu sebagai berikut :

“The totality of features and characteristics of a product or service that

bears on its ability to satisfy given needs”.

3.2 Kegagalan Produk

Pengendalian mutu dilakukan bukan hanya pada proses produksi ( in-line inspection),

tetapi juga pada saat penerimaan material (incoming inspection) maupun pada produk jadi

yang dihasilkan perusahaan (outgoing inspection). Dari berbagai inspeksi ini, yang

merupakan action dari pengendalian mutu dapat diketahui adanya kegagalan pada produk.

dengan adanya kegagalan produk ini dapat menyebabkan keuntungan perusahaan

berkurang, baik secara materi maupun non-materi (reputasi perusahaan), bahkan dapat

menyebabkan kerugian besar.

Dengan dilakukannya pengendalian mutu, dapat dicari faktor-faktor penyebab

kegagalan produk dan cara untuk menanggulanginya, sehingga jumlah persentase

kegagalan produk dapat dikurangi dan efisiensi perusahaan dapat tercapai dengan baik.

Selain itu juga pengendalian mutu dapat membantu perusahaan menghasilkan produk-

produk dengan mutu yang konsisten dan dapat memuaskan pelanggan.

Seperti yang dikatakan oleh Charles T. Horngren dan George Foster (2000) yang

mendefinisikan produk cacat dan produk yang dapat dikerjakan kembali (rework) sebagai

berikut :

III-6

Page 7: BAB III

“Spoilage is units of production whether fully or partially completed that do not

me the standars required by customers for good units and thath are discrarded or

sold for reduce prices.”

“Rework is units of production that do not met the standars required by

customers for finished units that are subsequently repaired and sold as acceptable

finished units.”

3.3 Alat-alat Bantu dalam Pengendalian Mutu

3.3.1 Diagram Pareto

Menurut Gaspersz (2001) diagram Pareto adalah suatu diagram atau grafik

batang yang menjelaskan hierarki dari masalah-masalah yang timbul atau

menjelaskan masalah berdasarkan urutan banyaknya kejadian. Fungsi diagram Pareto

adalah menentukan prioritas penyelesaian masalah. Masalah yang paling banyak

terjadi ditunjukkan oleh grafik batang pertama yang tertinggi serta ditempatkan pada

sisi paling kiri, dan seterusnya sampai masalah yang paling sedikit terjadi ditunjukkan

oleh grafik batang terakhir yang terendah serta ditempatkan pada sisi paling kanan.

Sedangkan menurut Grant dan Leavenwort, (1988) diagram pareto digunakan

untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi tipe-tipe yang tidak sesuai. Diagram Pareto

didasarkan pada hasil kerja Alfredo Pareto, seorang ahli ekonomi pada abad ke-19. Di

dalamnya terdapat dua garis vertikal, dimana garis sebelah kiri menunjukkan frekuensi

dalam histogram dan sebelah kanan menunjukkan frekuensi persentase kumulatif.

Skala frekuensi kumulatif merupakan faktor utama ynag dibutuhkan dalam

pengelolaannya. Di bawah ini contoh diagram pareto :

Gambar 3.1 Diagram Pareto

Sumber : PL Jain (2003)

Diagram Pareto dapat digunakan sebagai alat interpretasi untuk :

III-7

Page 8: BAB III

1. Menentukan frekuensi relatif dan urutan pentingnya masalah atau

penyebab dari masalah yang ada.

2. Memfokuskan perhatian pada isu-isu kritis dan penting dengan

pembuatan ranking terhadap masalah atau penyebab dari masalah

tersebut secara signifikan.

3.3.2 Diagram Fishbone

Menurut Lee J. Krajewski dan Larry P. Ritzman diagram fishbone atau diagram

ishikawa atau diagram sebab akibat adalah diagram yang menunjukkan hubungan

antara sebab dan akibat. Diagram ini mengorganisir presentasi dari ide ke dalam

berbagai kategori yang menyebabkan suatu akibat. Penyebab-penyebab tersebut

dapat diklasifikasikan dalam 5M, yaitu man (manusia), measurement (pengukuran),

machines (mesin-mesin), material (bahan baku), method (metode) serta lingkungan

(environment). Metode ini (Lee J. Krajewski dan Larry P. Ritzman) dapat melalui

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengetahui permasalahan yang terjadi dan ungkapakan masalah itu sebagai

suatu pertanyaan masalah.

b. Kumpulkan penyebab yang mungkin terjadi dengan menggunakan teknik

brainstorming atau membentuk anggota tim yang memiliki ide-ide berkaitan

dengan masalah yang sedang dihadapi.

c. Gambarkan diagram dengan pertanyaan masalah ditempatkan pada sisi kanan

(membentuk kepala ikan) dan kategori utama, seperti material, man, machine,

method, measurement, dan environment ditempatkan pada cabang utama

(membentuk tulang-tulang besar dari ikan), kategori utama ini dapat diubah sesuai

dengan kebutuhan

d. Tetapkan setiap penyebab dalam kategori utama yang sesuai dengan

menempatkan pada cabang yang sesuai.

e. Untuk setiap penyebab yang mungkin, tanyakan “Mengapa?” untuk menempatkan

akar penyebab, kemudian daftarkan akar-akar penyebab itu pada cabang-cabang

yang sesuai dengan kategori utama (membentuk tulang-tulang kecil dari ikan).

f. Interpretasikan diagram fishbone itu dengan melihat penyebab-penyebab yang

muncul secara berulang, kemudian dapatkan kesepakatan melalui konsesus

tentang penyebab tersebut. Selanjutnya fokuskan perhatian pada penyebab yang

dipilih melalui konsesus itu.

III-8

Page 9: BAB III

g. Tetapkan hasil analisis dengan menggunakan diagram fishbone dengan cara

mengembangkan dan mengimplementasikan tindakan korektif yang dilakukan itu

efektif, karena telah menghilangkan akar penyebab dari masalah yang dihadapi.

Gambar 3.2 Diagram Fishbone

Sumber : Vincent Gaspersz (2002)

3.3.3 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Kegagalan (failure) dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena natural dari produk

atau proses apapun. Kemunculan kegagalan terkadang sulit untuk bisa diprediksi,

sementara sering sekali dampak yang diakibatkan dari kegagalan yang bersangkutan

relatif signifikan terhadap performansi produk atau proses. Failure Mode and Effect

Analysis (FMEA) adalah tool yang sangat efektif untuk mengelola kegagalan yang umum

digunakan di berbagai industri. FMEA mampu mengidentifikasi potensi kegagalan yang

ada di dalam suatu produk atau proses dan kemudian melakukan pembobotan untuk

mendapatkan prioritas terhadap potensi kegagalan yang sangat signifikan yang perlu

untuk segera ditangani. Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) (George,2005) yaitu

suatu pendekatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi kegagalan suatu produk, jasa

III-9

Page 10: BAB III

atau proses sehingga bisa memperkecil akibat yang terjadi. FMEA ini bisa digunakan saat

mendesign suatu sistem baru, merubah suatu sistem dll. Pada penelitian ini FMEA

digunakan sebagai alat untuk mengetahui jenis kegagalan yang paling kritis sehingga

memerlukan penanganan terlebih dahulu.

Suatu mode kegagalan (FMEA) adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan,

kondisi diluar spesifikasi yang ditetapkan, atau perubahan dalam produk yang

menyebabkan terganggunya fungsi dari produk (Gaspers, 2002).

FMEA baik sekali digunakan pada sistem manajamen mutu untuk jenis industri

manapun. Standar ISO/TS-16949 (standar sistem manajemen mutu untuk industri

automotive) mensyaratkan dilakukannya FMEA pada saat perancangan produk maupun

perancangan proses produksi. ISO-9001 tidak secara explicit mensyaratkan dilakukannya

FMEA. Meski begitu, baik sekali bila perusahaan menerapkannya untuk memenuhi

persyaratan tentang tindakan pencegahan.

FMEA ( Failure Mode and Effects Analysis ) pada awal dibuat oleh Aerospace

Industry pada tahun 1960-an. FMEA mulai digunakan oleh Ford pada tahun 1980-an,

AIAG ( Automotive Industry Action Group ) dan Amaerican Society for Quality Control

(ASQC) menetapkannya sebagai standar pada tahun 1993. Saat ini FMEA merupakan

salah satu core tools dalam ISO/TS 16949:2002 ( Techical Specification for Automotive

Industry ). FMEA adalah suatu alat yang secara sistematis mengidentifikasi akibat atau

konsekuensi dari kegagalan sistem atau proses, serta mengurangi atau mengeliminasi

peluang terjadinya kegagalan. FMEA merupakan living document sehingga dokumen perlu

di up date secara teratur, agar dapat digunakan untuk mencegah dan mengantisipasi

terjadinya kegagalan. FMEA digolongkan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Design FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa pontential failure

modes, sebab dan akibatnya terlah diperhatikan terkait dengan karakteristik desain,

digunakan oleh Design Responsible Engineer or Team

b. Process FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa pontential failure

modes, sebab dan akibatnya terlah diperhatikan terkait dengan karakteristik

prosesnya, digunakan oleh Manufacturing Engineer or Team.

Design FMEA akan menguji fungsi dari komponen, sub sistem dan sistem. Modus

pontensialnya dapat berupa kesalahan pemilihan jenis material, ketidaktepatan spesifikasi

dan yang lainnya. Seharusnya dilakukan sejak desain produk awal. Process FMEA akan

menguji kemampuan proses yang akan digunakan untuk membuat komponen, sub sistem

III-10

Page 11: BAB III

dan sistem. Modus pontensialnya dapat berupa kesalahan operator dalam merakit part,

adanya variasi proses yang terlalu besar sehingga produk diluar batas spesifikasi yang

telah ditetapkan serta faktor yang lainnya. Seharusnya dilakukan desain proses

manufaktur. Ada beberapa alasan mengapa kita perlu menggunakan FMEA diantaranya

lebih baik mencegah terjadinya kegagalan dari pada memperbaiki kegagalan,

meningkatkan peluang kita untuk dapat mendeteksi terjadinya suatu kegagalan,

mengindentifikasi penyebab kegagalan terbesar dan mengeliminasinya, mengurangi

peluang terjadinya kegagalan dan membangun kualitas dari produk dan proses. FMEA

akan sangat berguna sebagai suatu aktivitas “ before the event”. Keuntungan yang dapat

diperoleh dari penerapan FMEA diantaranya meningkatkan keamanan, kualitas dan

keandalan, nama baik perusahaan, kepuasan konsumen, biaya pengembangan yang lebih

murah dan adanya catat historis dari peristiwa kegagalan. Dalam FMEA terdapat sekitar

21 item yang isi berdasarkan format standar AIAG yaitu sebagai berikut:

1. Penomoran FMEA : untuk memudahkan proses dokumentasi FMEA di beri nomor.

2. Item : Tuliskan nama dan nomor dari sistem, sub sistem atau komponen.

3. Process Responsibility : Tuliskan Departemen, group bila perlu tuliskan suplier dari

pembuat produk tersebut.

4. Prepared by : Tuliskan nama, nomor telephone, atau engineer yang terlibat.

5. Model years : Tuliskan tahun pembuatannya.

6. Key Date : tuliskan awal pembuatan dari FMEA.

7. FMEA Date : Tuliskan tanggal selesainya FMEA.

8. Core Team : Tuliskan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan FMEA.

9. Proses function/ requirement : Tuliskan penjelasan secara sederhana dari proses atau

operasi yang akan di analisis seperti proses pengelasan, bubut, tap, perkitan)

10. Potensial Failure Mode : Modus kegagalan potensial didefiniskan sebagai proses yang

potensial akan menimbulkan kegagalan pada proses produksi.

11. Potensial Effect of Failure : Adalah efek yang ditimbulkan oleh adanya modus

kegagalan potensial pada konsumen.

12. Severity : Adalah rangking yang menunjukan efek yang serius yang berasal dari

modus kegagalan.

13. Classification : Kolom yang digunakan untuk mengklasifikasikan beberapa jenis produk

kusus atau mempunyai karakteristik proses khusus.

III-11

Page 12: BAB III

14. Potensial Cause/ Machanism of failure : Adalah bagaimana sebuah kegagalan dapat

terjadi, dan menjelaskan sesuatu yang dapat mnegkorkesi atau mengkontrol.

15. Occurrence : Adalah sesuatu yang secara spesifik menerangkan rata-rata kegagalan

yang akan terjadi.

16. Current Proses Control : Suatu penjelasan yang menerangkan sebuah kontrol yang

dapat mendeteksi modus kegagalan yang akan terjadi.

17. Detection : Deteksi adalah rangking yang menerangkan deteksi yang terbaik yang

dapat mengkontrol.

18. Recomemended Action : Perkiraan dari seorang engineer untuk mengurangi atau

mencegah yang didasarkan terhadap nilai RPN tertinggi (didapat dari Severity x

Occurence x Detection ), severity tertinggi atau yang lainnya yang di desain oleh

sebuah team.

19. Responsibility for the recommended Action : Tuliskan masing-masing pemenuhan

untuk pencapaian rekomendasi aksi.

20. Action taken : Setelah aksi di terapkan pada proses, tulis secara jelas aksi aktual dan

tanggal effektifnya.

21. Action result : Setelah pencegahan/koreksi aksi yang telah di indetifikasi, lakukan

peramalan dan catat hasil dari severity, occurrence dan rangking dari deteksi.

Kalkulasi dan catat hasil dari RPN.

Terdapat lima tipe FMEA yang bisa diterapkan dalam sebuah industri manufaktur,

yaitu :

a. System, berfokus pada fungsi sistem secara global

b. Design, berfokus pada desain produk

c. Process, berfokus pada proses produksi, dan perakitan

d. Service, berfokus pada fungsi jasa

e. Software, berfokus pada fungsi software

Berikut ini adalah tujuan yang dapat dicapai oleh perusahaan dengan penerapan

FMEA:

a) Untuk mengidentifikasi mode kegagalan dan tingkat keparahan efeknya

b) Untuk mengidentifikasi karakteristik kritis dan karakteristik signifikan

c) Untuk mengurutkan pesanan desain potensial dan defisiensi proses

d) Untuk membantu fokus engineer dalam mengurangi perhatian terhadap produk

dan proses, dan membentu mencegah timbulnya permasalahan.

III-12

Page 13: BAB III

Salah satu faktor yang menentukan kesuksesan (key success factor) implementasi

FMEA adalah : TIMELINESS . Artinya :

FMEA adalah before-the-event action, bukan after-the-fact.

FMEA adalah preventive action , dan bukan corrective action

Dari penerapan FMEA pada perusahaan, maka akan dapat diperoleh keuntungan –

keuntungan yang sangat bermanfaat untuk perusahaan, (Ford Motor Company, 1992)

antara lain:

a. Meningkatkan kualitas, keandalan, dan keamanan produk

b. Membantu meningkatkan kepuasan pelanggan

c. Meningkatkan citra baik dan daya saing perusahaan

d. Mengurangi waktu dan biaya pengembangan produk

e. Memperkirakan tindakan dan dokumen yang dapat mengurangi resiko

Sedangkan manfaat khusus dari Process FMEA bagi perusahaan adalah:

1. Membantu menganalisis proses manufaktur baru.

2. Meningkatkan pemahaman bahwa kegagalan potensial pada proses manufaktur

harus dipertimbangkan.

3. Mengidentifikasi defisiensi proses, sehingga para engineer dapat berfokus pada

pengendalian untuk mengurangi munculnya produksi yang menghasilkan produk

yang tidak sesuai dengan yang diinginkan atau pada metode untuk meningkatkan

deteksi pada produk yang tidak sesuai tersebut.

4. Menetapkan prioritas untuk tindakan perbaikan pada proses.

5. Menyediakan dokumen yang lengkap tentang perubahan proses untuk memandu

pengembangan proses manufaktur atau perakitan di masa datang.

Tahapan FMEA sendiri adalah sebagai berikut (Manggala, 2005):

1. Menentukan komponen dari sistem / alat yang akan dianalisis.

2. Mengidentifikasi potensial failure / mode kegagalan dari proses yang diamati.

3. Mengidentifikasikan akibat (potential effect) yang ditimbulkan potensial failure

mode.

4. Mengidentifikasi penyebab (potential cause) dari failure mode yang terjadi pada

proses yang berlangsung.

5. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan observasi lapangan dan brainstorming) dalam

point:

III-13

Page 14: BAB III

a. Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan terhadap

konsumen (severity)

b. Frekuensi terjadinya kesalahan (occurrence)

c. Alat kontrol akibat potential cause (detection)

d. Nilai RPN (Risk Potential Number) didapatkan dengan jalan mengalikan nilai

SOD (Severity, Occurrence, Detection).

6. Nilai RPN menunjukkan keseriusan dari potential failure, semakin tinggi nilai RPN

maka menunjukkan semakin bermasalah. Tidak ada angka acuan RPN untuk

melakukan perbaikan.

Output dari Process FMEA adalah:

a. Daftar mode kegagalan yang potensial pada proses.

b. Daftar critical characteristic dan significant characteristic.

c. Daftar tindakan yang direkomendasikan untuk menghilangkan penyebab

munculnya mode kegagalan atau untuk mengurangi tingkat kejadiannya dan untuk

meningkatkan deteksi terhadap produk cacat bila kapabilitas proses tidak dapat

ditingkatkan.

FMEA merupakan dokumen yang berkembang terus. Semua pembaharuan dan

perubahan siklus pengembangan produk dibuat untuk produk atau proses. Perubahan

ini dapat dan sering digunakan untuk mengenal mode kegagalan baru. Mengulas dan

memperbaharui FMEA adalah penting terutama ketika:

a) Produk atau proses baru diperkenalkan.

b) Perubahan dibuat pada kondisi operasi produk atau proses diharapkan berfungsi.

c) Perubahan dibuat pada produk atau proses (dimana produk atau proses

berhubungan). Jika desain produk dirubah, maka proses terpengaruh begitu juga

sebaliknya.

d) Konsumen memberikan indikasi masalah pada produk atau proses.

Cara melakukan FMEA (George, 2005):

1. Melakukan peninjauan terhadap proses atau produk yang akan diteliti

2. Melakukan brainstorming terhadap kegagalan yang mungkin tejadi

3. Tulis akibat yang akan terjadi dari setiap kegagalan yang mungkin terjadi

4. Hitung nilai Severity dan Occurance dari kegagalan tersebut. Severity (keparahan)

merupakan tingkat/ rating yang mengindikasikan keseriusan efek dari jenis

III-14

Page 15: BAB III

kegagalan potensial sedangkan Occurrence yaitu rating yang berhubungan

dengan probabilitas terjadinya kegagalan.

5. Tulis bentuk control yang yang sudah dilakukan terhadap jenis kegagalan serta

hitung nilai detectionnya. Control merupakan tindakan yang diambil untuk

mengontrol terjadinya kegagalan. Detection adalah rating yang berhubungan

dengan kemungkinan bahwa control proses yang ada akan mendeteksi suatu jenis

kegagalan pelayanan sebelum sampai kepada pelanggan.

6. Hitung nilai RPN untuk setiap akibat kegagalan dengan cara mengalikan nilai

Severity dan Occurance serta Detection

7. Gunakan nilai RPN untuk menentukan kegagalan mana yang harus diprioritaskan

untuk ditangani terlebih dahulu

8. Buat rencana untuk mengurangi atau menghilangkan akibat yang muncul jika

kegagalan tersebut terjadi.

Tabel 3.1 Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)Sumber : (Gaspers, 2002)

Jenis

Cacat

Mode

of

Failure

Cause

of

Failure

Effect

of

Failure

Frequency

of

Occurrence

(1-10)

Degree

of

Severity

(1-10)

Chance

of

Detection

(1-10)

Risk

Priority

(1-1000)

5x6x7

Ran

k

1 2 3 4 5 6 7 8 9

III-15

Page 16: BAB III

Tabel 3.2 Rating FMEA

Sumber : (Gaspers, 2002)

Colum

n Value

Frequency of

OccurenceSeverity for Quality

Probability of

Detection

1 Hampir tidak pernah

terjadi (remote)

Tidak berpengaruh (minor) Pasti terdeteksi

(very high)

2 Hampir tidak pernah

terjadi (remote)

Sedikit berpengaruh, tidak terlalu

kritis (low)

Pasti terdeteksi

(very high)

3 Sangat jarang, relatif

(low)

Sedikit berpengaruh, tidak terlalu

kritis (low)

Kemungkinan besar

terdeteksi (high)

4 Sangat jarang, relatif

(low)

Cukup berpengaruh, cukup kritis

(moderate)

Kemungkinan besar

terdeteksi (high)

5 Sangant jarang, relatif

sedikit (low)

Cukup berpengaruh, cukup kritis

(moderate)

Mungkin terdeteksi

(moderate)

6 Kadang-kadang terjadi

(moderate)

Cukup berpengaruh, cukup kritis

(moderate)

Mungkin terdeteksi

(moderate)

7 Kadang-kadang terjadi

(moderate)

Sangat berpengaruh, kritis (high) Kemungkinan kecil

terdeteksi (low)

8 Sering terjadi (high) Sangat berpengaruh, kritis (high) Kemungkinan kecil

terdeteksi (low)

9 Sulit untuk dihindari

(very high)

Pasti berpengaruh, sangat

merugikan, sangat kritis

(very high)

Mungkin tidak

terdeteksi (very low)

10 Sulit untuk dihindari

(very high)

Pasti berpengaruh, sangat

merugikan, sangat kritis (very

high)

Tidak terdeteksi

(none)

III-16

Page 17: BAB III

Tabel 3.3 Action Planning for Failure Modes

Sumber : (Gaspers, 2002)

Rank Failure Mode Actionable Cause Design

Action/Potential

Solutions

Design

Validation

Setelah menentukan standarisasi nilai RPN, maka pada tahap ini dilakukan

implementasi dari recomanded action yang telah dibuat. Dengan membandingkan antara

kondisi sistem sebelum implementasi dengan setelah implementasi, maka nantinya akan

dapat dilihat hasil dari implementasi tersebut. Action Planning for Failure Modes dibuat

untuk menentukan tindakan yang sesuai untuk dilakukan terutama untuk modus kegagalan

yang memiliki nilai resiko kegagalan yang tinggi. Data yang digunakan adalah hasil analisis

FMEA dengan melihat urutan prioritas (rank) dari modus-modus kegagalan yang paling

penting untuk diberi perhatian khusus. Selanjutnya dibuat solusi-solusi yang sesuai untuk

mengeliminasi akar penyebab permasalahan.

Setelah menentukan solusi maka dipikirkan cara memvalidasi tiap solusi tersebut.

Validasi ini berguna pada saat melihat hasil perbaikan untuk memastikan implementasi

solusi telah dilakukan dengan baik. Design validation dapat berupa dokumen atau kondisi

yang terjadi apabila solusi telah diimplementasikan dengan benar, maka dari itu pihak

manajemen perusahaan harus melakukan pemeriksaan design validation.

III-17