BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengendalian Kualitas
Menurut Sofjan Assauri (2004) pengawasan mutu adalah kegiatan untuk memastikan
apakah kebijakan dalam hal mutu (standar kualitas) dapat tercermin dalam hasil akhir.
Dengan kata lain pengawasan mutu merupakan usaha untuk mempertahankan mutu atau
kualitas dari barang yang dihasilkan, agar sesuai dengan spesifikasi produk yang telah
ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan pimpinan perusahaan. Tidak hanya dalam bidang
industri kontrol kualitas dibutuhkan, tetapi juga pada bidang manajemen pun memegang
peranan yang sangat penting. Pengendalian kualitas produk dalam proses produksi
merupakan faktor yang sangat penting bagi dunia industri, karena pengendalian kualitas
yang baik dan dilakukan secara terus menerus akan dapat mendeteksi ketidaknormalan
atau kecacatan secara cepat, sehingga dapat segera dilakukan tindakan antisipasinya.
Mutu atau kualitas produk diukur dengan derajat kepuasan konsumen, dalam arti seberapa
tinggi taraf kepuasan yang diperoleh dibandingkan dengan besar pengorbanan yang telah
dikeluarkan. Mutu atau kualitas produk yang diharapkan pelanggan adalah tidak adanya
cacat pada produk yang diterima pada pelanggan
Menurut Sofjan Assauri (2004) secara garis besar pengawasan (pengendalian) mutu
dapat dibedakan atau dikelompokkan ke dalam dua tingkatan, yaitu pengawasan selama
pengolahan (proses) dan pengawasan dari hasil yang telah diselesaikan. Berikut
penjelasannya :
1. Pengawasan selama pengolahan (proses)
Pengawasan proses ini haruslah berurutan dan teratur dari awal hingga akhir.
Apabila dimulai dengan suatu kesalahan, maka harus dibuat suatu keterangan
yang diteruskan kepada pelaksana di awal untuk dilakukan penyesuaian kembali.
Pengawasan pada proses ini, termasuk juga pengawasan bahan-bahan yang
akan digunakan untuk proses.
2. Pengawasan barang jadi yang telah diselesaikan
Walaupun telah diadakan pengawasan mutu dalam tingkat-tingkat proses tetapi
hal ini tidak dapat menjamin bahwa tidak ada hasil yang rusak atau kurang baik
ataupun tercampur dengan hasil yang baik. Untuk menjaga agar barang-barang
yang dihasilkan baik atau tidak baik untuk sampai ke konsumen, maka diperlukan
adanya pengawasan atas barang hasil akhir atau produk selesai.
Dalam melakukan pengendalian mutu diperlukan perbaikan terus menerus, sehingga
perusahaan dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan mutu yang berubah-ubah. Pada
dasarnya langkah-langkah pengendalian mutu menerapkan konsep dari siklus Deming’s
yang ditemukan oleh Dr. W. Edward Deming. Siklus tersebut terdiri dari :
1. Plan (Perencanaan)
Dalam tahap ini perusahaan menetapkan standar mutu, merencanakan cara atau
metode, teknologi, materials tooling, dan para pekerja untuk pencapaian mutu
yang diharapkan.
2. Do (Pelaksanaan)
Pelaksanaan dari rencana perusahaan, termasuk didalamnya proses produksi,
pengendalian mutu, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan untuk mencapai
tujuan perusahaan.
3. Check (Pemeriksaan)
Memeriksa produk hasil produksi, apakah sudah sesuai dengan standar yang
ditetapkan perusahaan sebelumnya.
4. Action (Tindakan)
Tahap ini merupakan tindak lanjut dari tahap sebelumnya (check), yaitu
mengambil tindakan atas penemuan dari pemeriksaan yang di lakukan. Jika hasil
yang telah dicapai sesuai dengan sasaran, maka dilakukanlah standarisasi baik
terhadap hasil produksi, maupun terhadap proses atau cara pencapaiannya,
sehingga hasil yang telah memenuhi standar tersebut dapat dipertahankan. Tetapi
jika produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar yang ditetapkan, maka harus
dicari penyebabnya dan dilakukan tindakan atas penyebab tersebut.
5. Analize (Analisis)
Pada tahap ini dilakukan analisis atas tahap-tahap yang sebelumnya. Selain itu
juga dapat menganalisis apakah produk dapat diterima di pasaran dalam hal mutu,
biaya dan criteria-kriteria lainnya. Hasil dari analisa ini dapat menjadi acuan untuk
perencanaan (plan) berikutnya.
Proses pengendalian ini harus dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan, sehingga peningkatan mutu dapat dicapai secara sistematis
dan terus menerus. Berikut gambar dari siklus Deming :
III-2
Gambar 3.1 Siklus Deming
Sumber : PL Jain (2003)
Terdapat empat belas poin Deming untuk perbaikan mutu, sebagai berikut :
1. Bangun tujuan pekerjaan melalui inovasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
2. Adopsi sebuah filosofi baru yang tidak mengijinkan adanya kesalahan dan
kegagalan pada masa sebelumnya.
3. Berhentilah bergantung pada inspeksi masal dalam membentuk mutu. Bentuk
mutu dari awal.
4. Hentikan praktik menghargai kontrak berdasarkan tawaran harga rendah.
5. Perbaiki secara konstan dan terus menerus sistem produksi dan jasa untuk
meningkatkan mutu dan produktivitas, yang gilirannya secara konstan
menurunkan biaya.
6. Lembagakan on job training.
7. Lembagakan kepemimpinan. Tujuannya harus dapat membantu para pekerja dan
teknologi yang dpat dimiliki dapat bekerja dengan baik.
8. Hapuskan rasa takut, sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara efektif.
9. Hilangkan dinding pemisah antar departemen, sehingga semua pekerja dapat
bekerja menjadi satu tim.
10. Hilangkan slogan, desakan dan target bagi tenaga kerja.
11. Hilangkan kuota dan manajemen berdasarkan sasaran. Gantikan dengan
kepemimpinan.
12. Hilangkan penghalang yang dapat merampas kebanggaan karyawan atas
keahliannya tersebut.
13. Giatkan program pendidikan dan perbaikan sendiri.
14. Buatlah transformasi pekerjaan setiap orang dan siapkan setiap pekerja untuk
mengerjakannya.
III-3
Menurut Fruman (2002) berikut ini pengertian beberapa istilah yang berkaitan dengan
mutu :
1. Internal customer (konsumen internal)
Yaitu orang berikutnya dalam perusahaan yang akan menerima produk atau jasa
dari bagian lain.
2. External customer (konsumen eksternal)
Yaitu pengguna akhir dari suatu produk atau jasa.
3. Customer Requirement (persyaratan konsumen)
Yaitu standar kinerja yang berhubungan dengan kebutuhan spesifik pelanggan.
4. Detection (penemuan)
Yaitu strategi reaktif yang berusaha mengidentifikasi dan memperbaiki produk dan
jasa yang cacat atau rusak setelah produk atau jasa tersebut diproduksi.
5. Prevention (pencegahan)
Yaitu strategi proaktif yang berusaha mengidentifikasi dan memperbaiki produk
atau jasa yang cacat atau rusak sebelum produk atau jasa tersebut diproduksi.
Sebagai contoh, pengidentifikasian dan perbaikan selama fase desain atau tahap
pengembangan , pengawasan produksi yang telah terbukti cukup berpengaruh
terhadap karakteristik produk.
6. Defect (kerusakan)
Yaitu suatu keadaan atau kondisi yang tidak sesuai dengan persyaratan
pelanggan yang membuat produk atau jasa tidak terpakai.
7. Inspection (pemeriksaan)
Yaitu tindakan pengukuran, pemeriksaan, analisis dan pengujian karakteristik dari
suatu item, produk, atau proses dan membandingkan hasilnya dengan
persyaratan khusus untuk mengetahui tingkat kesesuaian.
8. Productivity (produktivitas atau daya produksi)
Yaitu pengukuran output terhadap input.
9. Specification (spasifikasi)
Yaitu atribut yang spesifik dan dapat diukur yang memenuhi persyaratan
konsumen.
Menurut Evans dan Lindsay (2002), pengertian mutu dapat dibagi ke dalam beberapa
criteria yaitu :
III-4
1. Judmental Criteria (kriteria penilaian)
Adalah gagasan, pikiran atau pandangan konsumen mengenai mutu, yaitu bahwa
bermutu berarti unggul atau sangat baik. Pandangan ini mengacu bahwa mutu
tidak dapat didefinisikan secara jelas. Kita hanya dapat melihat mutu ketika kita
melihat dan merasakan suatu produk atau jasa. Unggul atau sangat baik bersifat
abstrak dan subyektif karena standar unggul atau sangat baik sangat berbeda
diantara benak para konsumen.
2. Product-Based Criteria (Kriteria berdasarkan produk)
Definisi lain dari mutu bahwa mutu adalah sebuah fungsi yang spesifik, variabel
yang dapat dihitung dan perbedaan dalam mutu merefleksikan perbedaan jumlah
atribut suatu produk atau jasa. Interpretasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat atau jumlah karakteristik suatu produk atau jasa sepadan dengan bermutu
tinggi. Dampak negatifnya, mutu sering diasumsikan berhubungan dengan harga
dimana semakin tinggi harga suatu produk atau jasa maka semakin tinggi pula
mutu produk atau jasa tersebut. Tetapi suatu produk atau jasa tidak perlu mahal
untuk dianggap bermutu baik oleh konsumen.
3. Use-Based Criteria (Kriteria berdasarkan pengguna)
Definisi ketiga tentang mutu berdasarkan pada anggapan mutu diukur oleh
keinginan konsumen. Konsumen memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda-
beda, karenanya standar mutu pun berbeda-beda. Interpretasi ini membawa kita
pada definisi berdasakan pengguna : mutu didefinisikan sebagai kecocokan pada
maksud penggunaan.
4. Value-Based Criteria (kriteria berdasarkan nilai)
Pendekatan keempat untuk mendefinisikan mutu adalah berdasarkan nilai yaitu
kegunaan atau kepuasan terhadap harga. Berdasarkan pandangan tersebut,
produk atau jasa yang bermutu adalah sesuatu yang berguna dan memuaskan
yang dijual pada harga yang rendah atau produk dan jasa yang menawarkan
kegunaan dan kepuasan yang lebih baik pada tingkat harga yang sebanding.
Pendekatan nilai terhadap mutu menggabungkan tujuan perusahaan pada
keseimbangan karakteristik produk dan jasa (sisi mutu menurut konsumen) dan
efisiensi perusahaan (sisi operasi).
5. Manufacturing-Based Criteria (Kriteria berdasarkan pabrikasi)
III-5
Mutu didefinisikan sebagai keluaran yang diinginkan dari praktek perekayasaan
dan pabrikasi, atau kesesuaian spesifikasi.
6. Integrating Perspective on Quality (mutu berdasarkan pelanggan)
Meskipun mutu suatu produk atau jasa sangatlah penting bagi semua individu
melalui sebuah sistem produksi-distribusi, bagaimana mutu dilihat mungkin
tergantung pada salah satu posisi dalam sistem tersebut, yang mana, entah itu
dari sisi desainer, produsen, distributor atau konsumen.
7. Custmer-Driven Quality (mutu berdasarkan pelanggan)
Definisi resmi data terminology mutu telah distandarisasi pada tahun1978 oleh
American National Standards Institute (ANSI) dan The American Society for
Quality
(ASQ). Sementara menurut kedua lembaga tersebut (ANSI & ASQ),
mendefinisikan mutu sebagai berikut :
“The totality of features and characteristics of a product or service that
bears on its ability to satisfy given needs”.
3.2 Kegagalan Produk
Pengendalian mutu dilakukan bukan hanya pada proses produksi ( in-line inspection),
tetapi juga pada saat penerimaan material (incoming inspection) maupun pada produk jadi
yang dihasilkan perusahaan (outgoing inspection). Dari berbagai inspeksi ini, yang
merupakan action dari pengendalian mutu dapat diketahui adanya kegagalan pada produk.
dengan adanya kegagalan produk ini dapat menyebabkan keuntungan perusahaan
berkurang, baik secara materi maupun non-materi (reputasi perusahaan), bahkan dapat
menyebabkan kerugian besar.
Dengan dilakukannya pengendalian mutu, dapat dicari faktor-faktor penyebab
kegagalan produk dan cara untuk menanggulanginya, sehingga jumlah persentase
kegagalan produk dapat dikurangi dan efisiensi perusahaan dapat tercapai dengan baik.
Selain itu juga pengendalian mutu dapat membantu perusahaan menghasilkan produk-
produk dengan mutu yang konsisten dan dapat memuaskan pelanggan.
Seperti yang dikatakan oleh Charles T. Horngren dan George Foster (2000) yang
mendefinisikan produk cacat dan produk yang dapat dikerjakan kembali (rework) sebagai
berikut :
III-6
“Spoilage is units of production whether fully or partially completed that do not
me the standars required by customers for good units and thath are discrarded or
sold for reduce prices.”
“Rework is units of production that do not met the standars required by
customers for finished units that are subsequently repaired and sold as acceptable
finished units.”
3.3 Alat-alat Bantu dalam Pengendalian Mutu
3.3.1 Diagram Pareto
Menurut Gaspersz (2001) diagram Pareto adalah suatu diagram atau grafik
batang yang menjelaskan hierarki dari masalah-masalah yang timbul atau
menjelaskan masalah berdasarkan urutan banyaknya kejadian. Fungsi diagram Pareto
adalah menentukan prioritas penyelesaian masalah. Masalah yang paling banyak
terjadi ditunjukkan oleh grafik batang pertama yang tertinggi serta ditempatkan pada
sisi paling kiri, dan seterusnya sampai masalah yang paling sedikit terjadi ditunjukkan
oleh grafik batang terakhir yang terendah serta ditempatkan pada sisi paling kanan.
Sedangkan menurut Grant dan Leavenwort, (1988) diagram pareto digunakan
untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi tipe-tipe yang tidak sesuai. Diagram Pareto
didasarkan pada hasil kerja Alfredo Pareto, seorang ahli ekonomi pada abad ke-19. Di
dalamnya terdapat dua garis vertikal, dimana garis sebelah kiri menunjukkan frekuensi
dalam histogram dan sebelah kanan menunjukkan frekuensi persentase kumulatif.
Skala frekuensi kumulatif merupakan faktor utama ynag dibutuhkan dalam
pengelolaannya. Di bawah ini contoh diagram pareto :
Gambar 3.1 Diagram Pareto
Sumber : PL Jain (2003)
Diagram Pareto dapat digunakan sebagai alat interpretasi untuk :
III-7
1. Menentukan frekuensi relatif dan urutan pentingnya masalah atau
penyebab dari masalah yang ada.
2. Memfokuskan perhatian pada isu-isu kritis dan penting dengan
pembuatan ranking terhadap masalah atau penyebab dari masalah
tersebut secara signifikan.
3.3.2 Diagram Fishbone
Menurut Lee J. Krajewski dan Larry P. Ritzman diagram fishbone atau diagram
ishikawa atau diagram sebab akibat adalah diagram yang menunjukkan hubungan
antara sebab dan akibat. Diagram ini mengorganisir presentasi dari ide ke dalam
berbagai kategori yang menyebabkan suatu akibat. Penyebab-penyebab tersebut
dapat diklasifikasikan dalam 5M, yaitu man (manusia), measurement (pengukuran),
machines (mesin-mesin), material (bahan baku), method (metode) serta lingkungan
(environment). Metode ini (Lee J. Krajewski dan Larry P. Ritzman) dapat melalui
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengetahui permasalahan yang terjadi dan ungkapakan masalah itu sebagai
suatu pertanyaan masalah.
b. Kumpulkan penyebab yang mungkin terjadi dengan menggunakan teknik
brainstorming atau membentuk anggota tim yang memiliki ide-ide berkaitan
dengan masalah yang sedang dihadapi.
c. Gambarkan diagram dengan pertanyaan masalah ditempatkan pada sisi kanan
(membentuk kepala ikan) dan kategori utama, seperti material, man, machine,
method, measurement, dan environment ditempatkan pada cabang utama
(membentuk tulang-tulang besar dari ikan), kategori utama ini dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan
d. Tetapkan setiap penyebab dalam kategori utama yang sesuai dengan
menempatkan pada cabang yang sesuai.
e. Untuk setiap penyebab yang mungkin, tanyakan “Mengapa?” untuk menempatkan
akar penyebab, kemudian daftarkan akar-akar penyebab itu pada cabang-cabang
yang sesuai dengan kategori utama (membentuk tulang-tulang kecil dari ikan).
f. Interpretasikan diagram fishbone itu dengan melihat penyebab-penyebab yang
muncul secara berulang, kemudian dapatkan kesepakatan melalui konsesus
tentang penyebab tersebut. Selanjutnya fokuskan perhatian pada penyebab yang
dipilih melalui konsesus itu.
III-8
g. Tetapkan hasil analisis dengan menggunakan diagram fishbone dengan cara
mengembangkan dan mengimplementasikan tindakan korektif yang dilakukan itu
efektif, karena telah menghilangkan akar penyebab dari masalah yang dihadapi.
Gambar 3.2 Diagram Fishbone
Sumber : Vincent Gaspersz (2002)
3.3.3 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Kegagalan (failure) dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena natural dari produk
atau proses apapun. Kemunculan kegagalan terkadang sulit untuk bisa diprediksi,
sementara sering sekali dampak yang diakibatkan dari kegagalan yang bersangkutan
relatif signifikan terhadap performansi produk atau proses. Failure Mode and Effect
Analysis (FMEA) adalah tool yang sangat efektif untuk mengelola kegagalan yang umum
digunakan di berbagai industri. FMEA mampu mengidentifikasi potensi kegagalan yang
ada di dalam suatu produk atau proses dan kemudian melakukan pembobotan untuk
mendapatkan prioritas terhadap potensi kegagalan yang sangat signifikan yang perlu
untuk segera ditangani. Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) (George,2005) yaitu
suatu pendekatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi kegagalan suatu produk, jasa
III-9
atau proses sehingga bisa memperkecil akibat yang terjadi. FMEA ini bisa digunakan saat
mendesign suatu sistem baru, merubah suatu sistem dll. Pada penelitian ini FMEA
digunakan sebagai alat untuk mengetahui jenis kegagalan yang paling kritis sehingga
memerlukan penanganan terlebih dahulu.
Suatu mode kegagalan (FMEA) adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan,
kondisi diluar spesifikasi yang ditetapkan, atau perubahan dalam produk yang
menyebabkan terganggunya fungsi dari produk (Gaspers, 2002).
FMEA baik sekali digunakan pada sistem manajamen mutu untuk jenis industri
manapun. Standar ISO/TS-16949 (standar sistem manajemen mutu untuk industri
automotive) mensyaratkan dilakukannya FMEA pada saat perancangan produk maupun
perancangan proses produksi. ISO-9001 tidak secara explicit mensyaratkan dilakukannya
FMEA. Meski begitu, baik sekali bila perusahaan menerapkannya untuk memenuhi
persyaratan tentang tindakan pencegahan.
FMEA ( Failure Mode and Effects Analysis ) pada awal dibuat oleh Aerospace
Industry pada tahun 1960-an. FMEA mulai digunakan oleh Ford pada tahun 1980-an,
AIAG ( Automotive Industry Action Group ) dan Amaerican Society for Quality Control
(ASQC) menetapkannya sebagai standar pada tahun 1993. Saat ini FMEA merupakan
salah satu core tools dalam ISO/TS 16949:2002 ( Techical Specification for Automotive
Industry ). FMEA adalah suatu alat yang secara sistematis mengidentifikasi akibat atau
konsekuensi dari kegagalan sistem atau proses, serta mengurangi atau mengeliminasi
peluang terjadinya kegagalan. FMEA merupakan living document sehingga dokumen perlu
di up date secara teratur, agar dapat digunakan untuk mencegah dan mengantisipasi
terjadinya kegagalan. FMEA digolongkan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Design FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa pontential failure
modes, sebab dan akibatnya terlah diperhatikan terkait dengan karakteristik desain,
digunakan oleh Design Responsible Engineer or Team
b. Process FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa pontential failure
modes, sebab dan akibatnya terlah diperhatikan terkait dengan karakteristik
prosesnya, digunakan oleh Manufacturing Engineer or Team.
Design FMEA akan menguji fungsi dari komponen, sub sistem dan sistem. Modus
pontensialnya dapat berupa kesalahan pemilihan jenis material, ketidaktepatan spesifikasi
dan yang lainnya. Seharusnya dilakukan sejak desain produk awal. Process FMEA akan
menguji kemampuan proses yang akan digunakan untuk membuat komponen, sub sistem
III-10
dan sistem. Modus pontensialnya dapat berupa kesalahan operator dalam merakit part,
adanya variasi proses yang terlalu besar sehingga produk diluar batas spesifikasi yang
telah ditetapkan serta faktor yang lainnya. Seharusnya dilakukan desain proses
manufaktur. Ada beberapa alasan mengapa kita perlu menggunakan FMEA diantaranya
lebih baik mencegah terjadinya kegagalan dari pada memperbaiki kegagalan,
meningkatkan peluang kita untuk dapat mendeteksi terjadinya suatu kegagalan,
mengindentifikasi penyebab kegagalan terbesar dan mengeliminasinya, mengurangi
peluang terjadinya kegagalan dan membangun kualitas dari produk dan proses. FMEA
akan sangat berguna sebagai suatu aktivitas “ before the event”. Keuntungan yang dapat
diperoleh dari penerapan FMEA diantaranya meningkatkan keamanan, kualitas dan
keandalan, nama baik perusahaan, kepuasan konsumen, biaya pengembangan yang lebih
murah dan adanya catat historis dari peristiwa kegagalan. Dalam FMEA terdapat sekitar
21 item yang isi berdasarkan format standar AIAG yaitu sebagai berikut:
1. Penomoran FMEA : untuk memudahkan proses dokumentasi FMEA di beri nomor.
2. Item : Tuliskan nama dan nomor dari sistem, sub sistem atau komponen.
3. Process Responsibility : Tuliskan Departemen, group bila perlu tuliskan suplier dari
pembuat produk tersebut.
4. Prepared by : Tuliskan nama, nomor telephone, atau engineer yang terlibat.
5. Model years : Tuliskan tahun pembuatannya.
6. Key Date : tuliskan awal pembuatan dari FMEA.
7. FMEA Date : Tuliskan tanggal selesainya FMEA.
8. Core Team : Tuliskan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan FMEA.
9. Proses function/ requirement : Tuliskan penjelasan secara sederhana dari proses atau
operasi yang akan di analisis seperti proses pengelasan, bubut, tap, perkitan)
10. Potensial Failure Mode : Modus kegagalan potensial didefiniskan sebagai proses yang
potensial akan menimbulkan kegagalan pada proses produksi.
11. Potensial Effect of Failure : Adalah efek yang ditimbulkan oleh adanya modus
kegagalan potensial pada konsumen.
12. Severity : Adalah rangking yang menunjukan efek yang serius yang berasal dari
modus kegagalan.
13. Classification : Kolom yang digunakan untuk mengklasifikasikan beberapa jenis produk
kusus atau mempunyai karakteristik proses khusus.
III-11
14. Potensial Cause/ Machanism of failure : Adalah bagaimana sebuah kegagalan dapat
terjadi, dan menjelaskan sesuatu yang dapat mnegkorkesi atau mengkontrol.
15. Occurrence : Adalah sesuatu yang secara spesifik menerangkan rata-rata kegagalan
yang akan terjadi.
16. Current Proses Control : Suatu penjelasan yang menerangkan sebuah kontrol yang
dapat mendeteksi modus kegagalan yang akan terjadi.
17. Detection : Deteksi adalah rangking yang menerangkan deteksi yang terbaik yang
dapat mengkontrol.
18. Recomemended Action : Perkiraan dari seorang engineer untuk mengurangi atau
mencegah yang didasarkan terhadap nilai RPN tertinggi (didapat dari Severity x
Occurence x Detection ), severity tertinggi atau yang lainnya yang di desain oleh
sebuah team.
19. Responsibility for the recommended Action : Tuliskan masing-masing pemenuhan
untuk pencapaian rekomendasi aksi.
20. Action taken : Setelah aksi di terapkan pada proses, tulis secara jelas aksi aktual dan
tanggal effektifnya.
21. Action result : Setelah pencegahan/koreksi aksi yang telah di indetifikasi, lakukan
peramalan dan catat hasil dari severity, occurrence dan rangking dari deteksi.
Kalkulasi dan catat hasil dari RPN.
Terdapat lima tipe FMEA yang bisa diterapkan dalam sebuah industri manufaktur,
yaitu :
a. System, berfokus pada fungsi sistem secara global
b. Design, berfokus pada desain produk
c. Process, berfokus pada proses produksi, dan perakitan
d. Service, berfokus pada fungsi jasa
e. Software, berfokus pada fungsi software
Berikut ini adalah tujuan yang dapat dicapai oleh perusahaan dengan penerapan
FMEA:
a) Untuk mengidentifikasi mode kegagalan dan tingkat keparahan efeknya
b) Untuk mengidentifikasi karakteristik kritis dan karakteristik signifikan
c) Untuk mengurutkan pesanan desain potensial dan defisiensi proses
d) Untuk membantu fokus engineer dalam mengurangi perhatian terhadap produk
dan proses, dan membentu mencegah timbulnya permasalahan.
III-12
Salah satu faktor yang menentukan kesuksesan (key success factor) implementasi
FMEA adalah : TIMELINESS . Artinya :
FMEA adalah before-the-event action, bukan after-the-fact.
FMEA adalah preventive action , dan bukan corrective action
Dari penerapan FMEA pada perusahaan, maka akan dapat diperoleh keuntungan –
keuntungan yang sangat bermanfaat untuk perusahaan, (Ford Motor Company, 1992)
antara lain:
a. Meningkatkan kualitas, keandalan, dan keamanan produk
b. Membantu meningkatkan kepuasan pelanggan
c. Meningkatkan citra baik dan daya saing perusahaan
d. Mengurangi waktu dan biaya pengembangan produk
e. Memperkirakan tindakan dan dokumen yang dapat mengurangi resiko
Sedangkan manfaat khusus dari Process FMEA bagi perusahaan adalah:
1. Membantu menganalisis proses manufaktur baru.
2. Meningkatkan pemahaman bahwa kegagalan potensial pada proses manufaktur
harus dipertimbangkan.
3. Mengidentifikasi defisiensi proses, sehingga para engineer dapat berfokus pada
pengendalian untuk mengurangi munculnya produksi yang menghasilkan produk
yang tidak sesuai dengan yang diinginkan atau pada metode untuk meningkatkan
deteksi pada produk yang tidak sesuai tersebut.
4. Menetapkan prioritas untuk tindakan perbaikan pada proses.
5. Menyediakan dokumen yang lengkap tentang perubahan proses untuk memandu
pengembangan proses manufaktur atau perakitan di masa datang.
Tahapan FMEA sendiri adalah sebagai berikut (Manggala, 2005):
1. Menentukan komponen dari sistem / alat yang akan dianalisis.
2. Mengidentifikasi potensial failure / mode kegagalan dari proses yang diamati.
3. Mengidentifikasikan akibat (potential effect) yang ditimbulkan potensial failure
mode.
4. Mengidentifikasi penyebab (potential cause) dari failure mode yang terjadi pada
proses yang berlangsung.
5. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan observasi lapangan dan brainstorming) dalam
point:
III-13
a. Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan terhadap
konsumen (severity)
b. Frekuensi terjadinya kesalahan (occurrence)
c. Alat kontrol akibat potential cause (detection)
d. Nilai RPN (Risk Potential Number) didapatkan dengan jalan mengalikan nilai
SOD (Severity, Occurrence, Detection).
6. Nilai RPN menunjukkan keseriusan dari potential failure, semakin tinggi nilai RPN
maka menunjukkan semakin bermasalah. Tidak ada angka acuan RPN untuk
melakukan perbaikan.
Output dari Process FMEA adalah:
a. Daftar mode kegagalan yang potensial pada proses.
b. Daftar critical characteristic dan significant characteristic.
c. Daftar tindakan yang direkomendasikan untuk menghilangkan penyebab
munculnya mode kegagalan atau untuk mengurangi tingkat kejadiannya dan untuk
meningkatkan deteksi terhadap produk cacat bila kapabilitas proses tidak dapat
ditingkatkan.
FMEA merupakan dokumen yang berkembang terus. Semua pembaharuan dan
perubahan siklus pengembangan produk dibuat untuk produk atau proses. Perubahan
ini dapat dan sering digunakan untuk mengenal mode kegagalan baru. Mengulas dan
memperbaharui FMEA adalah penting terutama ketika:
a) Produk atau proses baru diperkenalkan.
b) Perubahan dibuat pada kondisi operasi produk atau proses diharapkan berfungsi.
c) Perubahan dibuat pada produk atau proses (dimana produk atau proses
berhubungan). Jika desain produk dirubah, maka proses terpengaruh begitu juga
sebaliknya.
d) Konsumen memberikan indikasi masalah pada produk atau proses.
Cara melakukan FMEA (George, 2005):
1. Melakukan peninjauan terhadap proses atau produk yang akan diteliti
2. Melakukan brainstorming terhadap kegagalan yang mungkin tejadi
3. Tulis akibat yang akan terjadi dari setiap kegagalan yang mungkin terjadi
4. Hitung nilai Severity dan Occurance dari kegagalan tersebut. Severity (keparahan)
merupakan tingkat/ rating yang mengindikasikan keseriusan efek dari jenis
III-14
kegagalan potensial sedangkan Occurrence yaitu rating yang berhubungan
dengan probabilitas terjadinya kegagalan.
5. Tulis bentuk control yang yang sudah dilakukan terhadap jenis kegagalan serta
hitung nilai detectionnya. Control merupakan tindakan yang diambil untuk
mengontrol terjadinya kegagalan. Detection adalah rating yang berhubungan
dengan kemungkinan bahwa control proses yang ada akan mendeteksi suatu jenis
kegagalan pelayanan sebelum sampai kepada pelanggan.
6. Hitung nilai RPN untuk setiap akibat kegagalan dengan cara mengalikan nilai
Severity dan Occurance serta Detection
7. Gunakan nilai RPN untuk menentukan kegagalan mana yang harus diprioritaskan
untuk ditangani terlebih dahulu
8. Buat rencana untuk mengurangi atau menghilangkan akibat yang muncul jika
kegagalan tersebut terjadi.
Tabel 3.1 Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)Sumber : (Gaspers, 2002)
Jenis
Cacat
Mode
of
Failure
Cause
of
Failure
Effect
of
Failure
Frequency
of
Occurrence
(1-10)
Degree
of
Severity
(1-10)
Chance
of
Detection
(1-10)
Risk
Priority
(1-1000)
5x6x7
Ran
k
1 2 3 4 5 6 7 8 9
III-15
Tabel 3.2 Rating FMEA
Sumber : (Gaspers, 2002)
Colum
n Value
Frequency of
OccurenceSeverity for Quality
Probability of
Detection
1 Hampir tidak pernah
terjadi (remote)
Tidak berpengaruh (minor) Pasti terdeteksi
(very high)
2 Hampir tidak pernah
terjadi (remote)
Sedikit berpengaruh, tidak terlalu
kritis (low)
Pasti terdeteksi
(very high)
3 Sangat jarang, relatif
(low)
Sedikit berpengaruh, tidak terlalu
kritis (low)
Kemungkinan besar
terdeteksi (high)
4 Sangat jarang, relatif
(low)
Cukup berpengaruh, cukup kritis
(moderate)
Kemungkinan besar
terdeteksi (high)
5 Sangant jarang, relatif
sedikit (low)
Cukup berpengaruh, cukup kritis
(moderate)
Mungkin terdeteksi
(moderate)
6 Kadang-kadang terjadi
(moderate)
Cukup berpengaruh, cukup kritis
(moderate)
Mungkin terdeteksi
(moderate)
7 Kadang-kadang terjadi
(moderate)
Sangat berpengaruh, kritis (high) Kemungkinan kecil
terdeteksi (low)
8 Sering terjadi (high) Sangat berpengaruh, kritis (high) Kemungkinan kecil
terdeteksi (low)
9 Sulit untuk dihindari
(very high)
Pasti berpengaruh, sangat
merugikan, sangat kritis
(very high)
Mungkin tidak
terdeteksi (very low)
10 Sulit untuk dihindari
(very high)
Pasti berpengaruh, sangat
merugikan, sangat kritis (very
high)
Tidak terdeteksi
(none)
III-16
Tabel 3.3 Action Planning for Failure Modes
Sumber : (Gaspers, 2002)
Rank Failure Mode Actionable Cause Design
Action/Potential
Solutions
Design
Validation
Setelah menentukan standarisasi nilai RPN, maka pada tahap ini dilakukan
implementasi dari recomanded action yang telah dibuat. Dengan membandingkan antara
kondisi sistem sebelum implementasi dengan setelah implementasi, maka nantinya akan
dapat dilihat hasil dari implementasi tersebut. Action Planning for Failure Modes dibuat
untuk menentukan tindakan yang sesuai untuk dilakukan terutama untuk modus kegagalan
yang memiliki nilai resiko kegagalan yang tinggi. Data yang digunakan adalah hasil analisis
FMEA dengan melihat urutan prioritas (rank) dari modus-modus kegagalan yang paling
penting untuk diberi perhatian khusus. Selanjutnya dibuat solusi-solusi yang sesuai untuk
mengeliminasi akar penyebab permasalahan.
Setelah menentukan solusi maka dipikirkan cara memvalidasi tiap solusi tersebut.
Validasi ini berguna pada saat melihat hasil perbaikan untuk memastikan implementasi
solusi telah dilakukan dengan baik. Design validation dapat berupa dokumen atau kondisi
yang terjadi apabila solusi telah diimplementasikan dengan benar, maka dari itu pihak
manajemen perusahaan harus melakukan pemeriksaan design validation.
III-17
Top Related