Bab II-up Fix Terbaru

download Bab II-up Fix Terbaru

of 16

Transcript of Bab II-up Fix Terbaru

19

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Landasan Teori1. Halitosisa. Gambaran Umum HalitosisHalitosis merupakan bau nafas yang dikeluarkan pada rongga mulut dan memiliki bau tidak sedap. Halitosis yang terjadi dapat mengganggu kehidupan sehari-hari. Kondisi ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya karena kebersihan mulut yang kurang baik, gingivitis, ulser pada mulut, dan serostomia. Seseorang dapat dikategorikan mengalami halitosis bila memiliki kadar H2S > 1,5 ng/10ml; CH3SH > 0,5 ng/10 ml dan (CH3)2S > 0,2 ng/10 ml (Sopapornamorn dkk., 2006; Wijayanti dkk., 2010). Halitosis dikelompokan menjadi genuine halitosis, pseudo halitosis dan halitofobia. Genuine halitosis merupakan kondisi halitosis yang dapat diverifikasi secara objektif dan bersifat sementara, seperti nafas pada pagi hari. Pseudo halitosis merupakan kondisi dimana penderita berpikir halitosis namun tidak ada bukti objektif mengalami halitosis. Halitofobia merupakan kondisi pasien tetap percaya mengalami halitosis meskipun tidak ada bukti menderita halitosis (Scully dan Greenman, 2008).

b. Etiologi HalitosisGunardi dan Wimardhani (2009) menjelaskan bahwa terdapat faktor penyebab terjadinya halitosis yaitu faktor intraoral dan ekstraoral. Faktor intraoral terdiri dari bakteri aerob dan anaerob sedangkan faktor ekstraoral berasal dari kondisi sistemik penderita. Bakteri yang mengakibatkan halitosis antara lain Prevotella intermedia, Prevotella nigrescens dan Treptonema denticola. Bakteri ini berhubungan dengan kadar hydrogen sulfide. Bekteri Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, dan Tanerella forsythesis jenis bakteri ini berhubungan dengan kadar methyl mercaptan. Faktor ekstra oral penyebab terjadinya halitosis adalah kondisi sinusitis kronik, faringitis, laryngitis, dan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, gastrointestinal, gagal organ hepar. Penggunaan obat juga mempengaruhi terjadinya halitosis. Penggunaan obat tersebut seperti kloral hidrat, isobrid dinitrat, dimetil sulfoksida dan bahan sitotoksik (Gunardi dan Wimardhani, 2009). Peningkatan kondisi halitosis dapat dipengaruhi oleh penurunan fisiologis aliran saliva, kurangnya pembersihan oral secara fisiologis seperti gerakan otot wajah dan oral yang dapat merangsang ekskresi saliva, kebersihan mulut yang kurang terjaga dan kondisi kelaparan. Kegiatan makan dapat mengurangi kondisi halitosis (Scully dan Greenman, 2008).Mikroorganisme dapat menimbulkan halitosis dengan menghasilkan efek metabolisme berupa Volatil Sulfur Compounds (VSC). VSC yang terdiri dari methyl mercaptan (CH3SH), hydrogen sulfide (H2S), dan dimethylsulfida ( (CH3)2S), serta poliamin dan asam lemak rantai pendek. Komponen gas ini terdapat pada celah gingiva, saliva, permukaan lidah dan daerah rongga mulut lainnya (Kini dkk., 2012; Wijayanti dkk., 2010). c. PatofisiologiHalitosis disebabkan oleh aktivitas bakteri pada debris makanan dan sel-sel epitel rongga mulut. Bakteri tersebut memproduksi Volatile Sulfur Compounds (VSC). Umumnya Volatile Sulfur Compounds (VSC) yang diproduksi, terdiri dari hydrogen sulfide (H2S) memiliki bau seperti telur busuk, dimethylsulfide ( (CH3)2S) seperti bau kubis busuk, dan methyl mercaptan (CH3SH) seperti bau kotoran. Methyl mercaptan dipercaya sebagai komponen halitosis yang paling banyak (Ongole dan Shenoy, 2010).Asam amino yang mengandung sulfur (cysteine) diuraikan oleh bakteri anaerob. Bakteri anerob tersebut melepaskan VSC. Zat non-sulfur seperti diamine [cadaverine (bau cadaver) dan putrescine (bau daging busuk)], aseton dan asetaldehida juga berkontribusi terhadap halitosis yang berasal dari rongga mulut. Zat yang memproduksi bau potensial lainnya meliputi indole (digunakan dalam jumlah kecil pada parfum, namun jumlah besar dapat menghasilkan bau ofensif), skatole (bau kotoran), asam karboksilat rantai pendek seperti butirat dan asam valerik (bau keringat kaki) dan amonia. Aktivitas bakteri meningkat pada pH 7.2 dan dihambat pada pH 6,5 (Ongole dan Shenoy, 2010).d. Manifestasi Klinis HalitosisBeberapa tanda halitosisi adalah bau tidak sedap yang keluar dari rongga mulut. Hingga saat ini halitosis merupakan salah satu masalah yang terdapat pada rongga mulut (Wijayanti dkk., 2010).e. Penatalaksanaan HalitosisPenatalaksanaan halitosis dapat dilakukan dengan menjaga dan melakukan kontrol kebersihan rongga mulut. Halitosis lokal dapat dilakukan perawatan dengan pembersihan secara mekanis dan kimiawi. Proses mekanis yang dilakukan adalah menyikat gigi dan lidah, sedangkan proses kimiawi dengan obat kumur dan pasta gigi. Penyikatan gigi dan lidah pada umumnya kurang berpengaruh dalam mengurangi halitosis, namun prosedur tersebut dibutuhkan untuk menjaga kebersihan mulut. Hal tersebut dapat mencegah kondisi periodontitis yang umumnya berdampak halitosis (Kini dkk., 2012). Prosedur kimiawi terhadap halitosis seperti obat kumur dan pasta gigi cukup efektif mengurangi halitosis. Obat kumur seperti klorheksidin diglukonat menunjukan hasil yang baik pada halitosis (Gunardi dan Wimardhani, 2009). Keefektifitasan berkumur dalam mengurangi halitosis adalah:

1) Berkumur dengan menggunakan air. Penggunaan cara ini hanya efektif selama 15 menit;2) Minyak esensial, memiliki efek antibakteri sementara namun terukur dapat mengurangi halitosis;3) Zinc chloride dapat mengurangi tingkatan VSC. Ion zionic menghambat VSCs selama 10 jam dan mengurangi halitosis sebesar 71%;4) Klorheksidin adalah agen antibakteri dan efektif melawan bakteri gram negatif dan gram positif, namun memiliki efek rasa yang pahit (Kini dkk., 2012).f. Parameter HalitosisBeberapa teknik untuk mengevaluasi halitosis telah banyak dikembangkan dan dilakukan percobaan. Teknik-teknik tersebut antara lain penggunaan alat seperti Jerome 631 - X H2S Analyzer (Arizona Instrument, Tempe, AZ, Amerika Serikat) dan Halimeter (Interscan Corp, Chatsworth, CA, USA) serta penggunaan metode analisis seperti kromatografi gas dan metode organoleptik yang menggunakan hidung manusia berdasarkan sistem indera penciuman (Baharvand dkk., 2008). Beberapa teknik untuk mengukur halitosis antara lain:1) Gas Chromatography atau Kromatografi GasKromatografi gas merupakan teknik yang digunakan untuk menilai napas halitosis. Kromatografi gas dengan flame photometry digunakan untuk mengukur Volatile Sulfur Compounds (VSC) yang terdapat pada rongga mulut (CH3SH, H2S, dan (CH3)2S). Zat-zat lain yang berhubungan dengan halitosis seperti cadaverine, putrescine dan skatole juga dapat dideteksi. Perangkat portabel kromatografi gas seperti Oral ChromaTM merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur tiga kandungan gas dalam Volatile Sulfur Compounds (VSC), yaitu H2S (hydrogen sulfide), CH3SH (methyl mercaptan), dan (CH3)2S (dimethylsulfide). Pengukuran kadar gas tersebut memiliki standar nilai minimal seseorang dikategorikan memiliki halitosis (Ongole dan Shenoy, 2010; Indradi dkk, 2013).

Kromatografi gas memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut menurut Ongole dan Shenoy (2010):

a) Kelebihan dari kromatografi gas, yaitu:

(1) Dapat mengidentifikasi komponen-komponen dari sampel gas;

(2) Sistem dapat mendeteksi gas dalam jumlah menit bahkan ketika pasien telah menggunakan agen untuk menghambat halitosis.

b) Kekurangan dari kromatografi gas, yaitu:

(1) Teknik memerlukan keahlian peneliti yang terlatih;

(2) Mesin dan peralatan mahal serta bukan berbentuk portabel.2) HalimeterBaharvand dkk. (2008) menjelaskan bahwa halimeter merupakan salah satu alat untuk mendiagnosis halitosis yang menggunakan sensor elektrokimia untuk mendeteksi adanya Volatile Sulfur Compounds (VSC) di udara. Teknik pengukuran menggunakan sulfide monitor (halimeter) tes yaitu pasien diminta untuk menutup mulut selama tiga menit sebelum pengukuran sambil tetap bernapas melalui hidung. Pasien yang sudah menutup mulut selama tiga menit, kemudian sebuah sedotan plastik sekali pakai dipasang pada mouthpiece dari halimeter dan dimasukkan ke dalam mulut pasien dan pasien diminta untuk bernapas sebentar melalui sedotan selama 30 detik. Prosedur ini diulang tiga kali berturut-turut pada setiap pasien dan pada setiap pengukuran nilai kadar Volatile Sulfur Compounds (VSC) akan tercatat oleh halimeter. Langkah selanjutnya adalah menghitung nilai rata-rata dari tiga pencatatan dan nilai akhir untuk setiap pasien tercatat sebagai parts per billion (ppb) sulfida. Berdasarkan produsen halimeter, pengukuran terbagi menjadi tiga kategori yaitu normal (80-160 ppb), weak (160-250 ppb) atau malodour dari jarak dekat, dan strong (> 250 ppb) malodour dari jarak yang lebih jauh (Baharvand dkk., 2008).3) BANATes BANA merupakan salah satu metode pengukuran halitosis secara tidak langsung. Tes ini bertujuan untuk menilai kultur bakteri halitosis pada rongga mulut, smears, dan enzim. Metode ini akan membantu dalam identifikasi kation organisme yang menghasilkan malodor. Tes BANA (N-benzoyl-DL-arginine naphthylamide) dilakukan untuk menilai aktivitas proteolitik bakteri anaerob. Tes ini menjadi pengukuran cepat untuk mengevaluasi senyawa malodor yang non-sulfur (Ongole dan Shenoy, 2010).

4) OrganoleptikOrganoleptik merupakan salah satu cara mendeteksi bau mulut dengan cara yang sederhana. Penilaian menggunakan indra penciuman berdasarkan persepsi subyektif tanpa menggunakan instrumen analisis. Penggunaan metode organoleptik guna mendapatkan seberapa kuat kondisi halitosis. Evaluasi organoleptik digunakan pada skala 0-5. Skor 0 menandakan tidak terdeteksi halitosis sedangkan skor 5 memiliki kondisi halitosis yang terparah (Lee, 2009).2. Mikroflora yang berhubungan dengan HalitosisMikroflora yang dapat menyebabkan timbulnya halitosis meliputi Fusobacterium nucleatum, Prevotella intermedia, dan Tannerella forsythensis. Bakteri lainnya yang telah diketahui terlibat dalam produksi Volatile Sulfur Compounds (VSCs) mencakup Prophyromonas gingivalis, Porphyromonas endodontalis, Treponema denticola yang merupakan, Aggregatibacter actinomycetemcomitans (sebelumnya dikenal sebagai Actinobacillus actinomycetemcomitans), Atopobium parvulum, Campylobacter rectus, Desulfovibrio species, Eikenella corrodens, Eubacterium sulci, Fusobacterium spesies dan Peptostreptococcus micros. Isolat Klebsiella dan Enterobacter dilaporkan menimbulkan bau busuk secara in vitro yang menyerupai halitosis dalam pemakaian gigi tiruan. Bakteri anaerob proteolitik gram negatif ini terletak di daerah yang relatif tetap pada rongga mulut, seperti poket periodontal, bagian posterior dorsal permukaan lidah, dan regio interdental (Ongole dan Shenoy, 2010).3. Volatile Sulfur Compounds (VSC)a. DefinisiVolatile Sulfur Compound merupakan kumpulan gas yang mengandung sulfur dan dikeluarkan melalui udara pernapasan. Gas ini merupakan hasil metabilosme aktivitas bakteri dan menimbulkan bau yang tidak sedap (Wijayanti dkk., 2010).b. Komponen1) Hydrogen Sulfide (H2S)

H2S merupakan gas dengan karakteristik bau seperti telur busuk. Secara alami gas ini terdapat pada mata air dengan belerang, gunung berapi, dan gas alam lainnya. Bakteri mengeluarkan H2S selama dekomposisi sulfur. Zat ini memiliki rumus molekul H2S dan berat molekul sebesar 30,08. Gas ini tidak berwarna dan memiliki sifat racun bila dihirup dalam waktu yang lama. Umumnya satu gram gas H2S dapat larut dalam 187 ml air pada 100 C. gas ini dapat larut kedalam alcohol dan eter (Sumardjo, 2009).2) Methyl mercaptan (CH3SH)Gas metil merkaptan memiliki karakteristik bau menusuk seperti kubis yang membusuk. Merkaptan dapat disebut sebagai alkohol dengan oksigen gugus hidroksinya diganti dengan atom belerang (Sumardjo, 2009).3) Dimethylsulfide (CH3)2SGas dimetil sulfida memiliki karakteristik bau yang manis yang tidak menyenangkan. Gas ini memiliki nama alkil alkil sulfida atau diakil sulfida atau dialkil tioeter (Sumardjo, 2009).c. Mikroorganisme dapat menimbulkan halitosis dengan menghasilkan efek metabolisme berupa Volatil Sulfur Compounds (VSC). VSC merupakan suatu kumpulan gas yang mengandung sulfur dan dikeluarkan melalui udara pernapasan (Wijayanti dkk., 2010). VSC yang terdiri dari methyl mercaptan (CH3SH), hydrogen sulfide (H2S), dan dimethylsulfida (CH3)2S), serta poliamin dan asam lemak rantai pendek. Komponen gas ini terdapat pada celah gingiva, saliva, permukaan lidah dan daerah rongga mulut lainnya (Kini dkk., 2012). 4. Apel (Pyrus malus)a. Taksonomi Apel (Pyrus malus)Tanaman apel dapat memiliki taksonomi sebagai berikut.

1) Divisio : Spermatophyta2) Sub Divisio : Angiospermae

3) Klas : Dicotyledone4) Ordo : Rosales5) Family : Rosaceae6) Genus: Malus7) Spesies : Malus sylvesteris Millb. Kandungan Senyawa Fitokimia Apel (Pyrus malus)Samudin (2009 dalam Ashari, 1995) mengungkapkan bahwa tanaman apel mengandung air, karbohidrat terutama berupa fruktosa, kalium, kalsium, besi, fosfor, vitamin A, B1, B2, B6 dan vitamin C, Protein, kalori dan lemak. Kandungan fitokimia pada apel yang memiliki sifat antioksidan adalah golongan flavonoid, senyawa fenolik, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan beberapa asam organik polifungsional (Susanto dan Setyohadi, 2011).Apel memiliki kandungan senyawa fenolik yang tinggi. Polifenol merupakan hasil metabolik sekunder dari tanaman. Polifenol terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu flavonoid dan asam fenolat. Senyawa flavonoid merupakan senyawa polifenol dengan 15 atom karbon yang terdiri dari dua cincin benzene. Cincin ini dihubungkan menjadi satu dengan rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon (Satrohamidjojo, 1996).

Gambar 2.1 Struktur senyawa flavonoidSumber: Satrohamidjojo (1996).Polifenol ini memiliki sifat antibakteri dan banyak terdapat pada kulit apel. Karakteristik lain dari polifenol adalah aktivitas antibakteri, anti-inflamasi, antioksidan dan antivirus. Sifat antibakteri polifenol dapat mempengaruhi perilaku bakteri pathogen. Senyawa fenolik diantaranya catehin, procyanidin dan asam klorogenat. Konsentrasi polifenol tinggi pada apel segar, hal ini dibuktikan terdapat pengurangan kadar flavonoid pada jus apel (Sluis dkk., 2005; Fratianni dkk., 2007). Contoh polifenol adalah flavonoid dengan pemanjangan sisi rantai asam dan penambahan C2. Senyawa polifenol ini memiliki kerangka karbon 15 yang dikenal sebagai C6-C3-C6. Penelitian mengenai ekstrak apel Granny Smith memiliki kandungan fenolik tinggi dan sifat antibakterinya memberikan efek terhadap mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme tersebut adalah Escherichia coli ATCC 25922, Escherichia Coli 35218, Staphylococcus aureus ATCC 29213, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 (Alberto dkk., 2006; Ferrazzano dkk., 2011).c. Manfaat Kandungan Buah ApelYulianti dkk. (2007) menjelaskan bahwa buah apel memiliki kandungan yang sangat bermanfaat, diantaranya adalah:1) Flavonoid

Apel merupakan buah kaya serat flavonoid dan fitokimia. Berdasarkan data institut kanker Nasional Amerika Serikat, apel adalah buah yang paling banyak mengandung flavonoid. Flavonoid dapat menjaga tubuh dari polusi lingkungan dan radikal bebas.2) Zat fitokimia

Zat ini dapat berfungsi sebagai antioksidan penghancur kolesterol jahat (Low Density Lipoprotein) dan meningkatkan kolesterol baik atau High Density Lipoprotein. Beberapa zat fotokimia tersebut adalah asam elagat yang diketahui sebagai obat antikanker, glutation sebagai antikanker yang menangkal efek racun logam berat.3) Pektin, Boron, dan TaninPektin merupakan serat larut yang terkandung dalam buah. Pektin berkhasiat menurunkan kolesterol. Boron pada apel berperan langsung membantu wanita mempertahankan kadar estrogen. Apel mangandung tanin dengan konsentrasi tinggi. Berdasarkan Journal American Dental Assosiation pada tahun 1998 menyatakan tanin dapat mencegah kerusakan gigi dan penyakit gusi yang disebabkan tumpukan plak.4) Polifenol Polifenol terdapat hampir diseluruh tanaman, buah apel, teh dan wine. Konsentrasi yang tinggi terletak pada daun dan bagian luar tanaman. Khasiat polifenol adalah antibakteri, antioksidan, dan pembasmi karsinogen (Rozaline, 2006).

B. Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka Teori Pengaru Konsumsi Buah Apel (Pyrus Malus) Terhadap Kadar Volatile Sulfur Compounds Pada Rongga Mulut Saat Puasa Menggunakan Analisisi Kromatrografi Gas

Halitosis

Pengukuran Halitosis

Etiologi

Ekstra Oral

Intra Oral

Sistemik:

DM, gastrointestinal

Bakteri :

Prevotella intermedia

Tehnik Kromatografi Gas

Volatile Sulfur Compounds (VSC)

Menurunkan kadar VSC

CH3SH

H2S

(CH3)2S

Self cleansing

Polifenol (antibakteri)

Penatalaksanaan

Buah Apel

Alami

Kimia

Mekanik