BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI DAN … 2.pdfdiasuransikan Tidak semua resiko dapat...
-
Upload
duongtuyen -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI DAN … 2.pdfdiasuransikan Tidak semua resiko dapat...
27
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI DAN PERJANJIAN KREDIT
2.1 Asuransi
2.1.1 Pengertian asuransi
Kebutuhan terhadap perlindungan atau jaminan asuransi bersumber dari
keinginan untuk mengatasi ketidakpastian (uncertainty).Ketidak pastian mengandung
risiko yang dapat menimbulkan ancaman pagi setiap pihak, baik secara pribadi
maupun sebagai pelaku usaha. Ketidakpastian melahirkan kebutuhan untuk mengatasi
risiko kerugian yang mungkin timbul ketidakmampuan, kesalahan ataupun dari
berbagai sebab lain yang tidak terduga sehingga asuransi merupakan salah satu
bentuk pengalihan resiko. 1
Dalam perjanjian asuransi dimana tertanggung dan penanggung mengikat
suatu perjanjian tentang hak dan kewajiban masing- masing perusahan asuransi
membebankan sejumlah premi yang harus dibayar tertanggung.Premi yang harus
dibayar sebelumnya dilakukan penafsiran terdahulu atau diperhitungkan dengan nilai
resiko yang dihadapi, semakin besar risiko, semakin besar premi yang harus
dibayarkan.
Resiko dimasa yang akan datang terjadi terhadap kehidupan seseorang atau
untuk mengurangi risiko yang tidak di inginkan dimasa yang akan datang, seperti
kehilangan, resiko kebakaran, resiko pinjaman kredit bank atau resiko lainnya
1A. Junaidi Ganie, cetakan 1, 2011 Hukum Asuransi Indonesia. Sinar Grafika Offset Jakarta.h.2
28
perusahan asuransi yang mau menanggung resiko tersebut yang dihadapi nasabahnya
baik perorangan maupun badan usaha.
Menurut farida hasyim bahwa pengertian asuransi atau pertanggungan adalah:
“suatu perjanjian diantara satu pihak untuk mempertanggungkan kembaliresiko yang telah diterimanya kepada pihak lain, dengan mana seorang penanggungmengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untukmemberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan ataukehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karenasuatu peristiwa yang tidak tentu.”2
Sedangkan definisi yang lebih luas terdapat pada pasal 1 angka (1) Undang –
undang Nomor 2 tahun 1992 mengatur Tentang Usaha Perasuransian yang
menyatakan bahwa:
“asuransi atau pertanggungan itu adalah perjanjian antara kedua belah pihakdengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung karenakerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, ataupuntanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita oleh pihaktertanggung yang timbul terhadap peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikansuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seorang yangdipertanggungkan.”
Menurut pendapat dari kasmir bahwa Tentang Usaha Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penaggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari seatu peristiwa yang tidak
2Farida Hasyim, 2009, Hukum Dagang, Sinar Grafika Offset Jakarta,hal. 32.
29
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.3
Pada saat seseorang mengalihkan resikonya kepada perusahaan asuransi sebagai
penanggung, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah semua resiko dapat
diasuransikan Tidak semua resiko dapat diasuransikan. Resiko yang dapat
diasuransikan adalah:
1. Resiko yang dapat diukur dengan uang
2. Resiko homogen (risiko yang sama dan cukup banyak dijamin oleh asuransi)
3. Resiko murni (risiko ini tidak mendatangkan keuntungan)
4. Resiko partikular (risiko dari sumber individu)
5. Resiko yang terjadi secara tiba-tiba (accidental) bukan karena direncanankan,
tetapi murni karena misalnya meninggal karena kecelakaan
Pengertian yang lazim dari asuransi atau pertanggungan, antara lain:
1. Asuransi atau pertanggungan selalu berhubungan dengan resiko ( Insurance is
to do with risk )
2. Fondasi dari suatu asuransi atau pertanggungan adalah masalah resiko
3. Pemindahan suatu resiko lazim disebut sebagai asuransi
Dari definisi-definisi tentang asuransi atau pertanggungan diatas diketahui
bahwa tujuan asuransi adalah mengalihkan resiko dari tertanggung yang mempunyai
3 Kasmir, 2011, dasar dasar perbankan, cetakan ke-15, PT Rajagrafindo persada Jakarta, hal 259.
30
kepentingan terhadap obyek asuransi kepada penanggung yang timbul sebagai akibat
adanya ancaman bahaya terhadap harta kekayaan atau terhadap jiwanya.
1.1.2 Perjanjian Asuransi
Dalam pasal 246 KUHD yang berisi tentang pengertian dari asuransi
menyebutkan bahwa perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian timbal
balik, artinya bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian itu adalah
seimbang. Artinya pihak pertama, penanggung dan pihak kedua tertanggung,
mempunyai kedudukan yang sama, hak dan kewajiban yang seimbang.
Asuransi sebagai suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana
yang telah disyaratkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
yaitu Pasal 1320 yaang berbunyi sebagai berikut:
Menurut advendi S, elsi kartika, menyatakan sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat: 4
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal”.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut
subjek atau pihak-pihak dalam perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan syarat
keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek dari perjanjian. “Sepakat
meraka yang mengikatkan dirinya”,
4Advendi S,Elsi Kartika, 2007, Hukum Dalam Ekonomi (Edisi II), Grasindo,Jakarta, hal.32
31
Dan Pasal 1321 KUHD Perdata, yang menetapkan:“Tiada sepakat yang sah
apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan
atau penipuan”.
Selain itu juga harus tetap memenuhi beberapa pasal lainnya yang melindungi
Pasal 1320, antara lain pasal-pasal:
1. Pasal 1323 yang mensyaratkan tidak boleh ada paksaan.
2. Pasal 1328 yang mensyaratkan tidak boleh ada penipuan, dan
sebagainya.
Adapun syarat-syarat sahnya pertanggungan asuransi adalah:5
1. Kesepakatan (consensus);
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi meliputi:
b. Benda yang menjadi objek asuransi;
c. Pengalihan risiko dan pembayaran premi;
d. Evenemen dan ganti kerugian;
e. Syarat-syarat khusus asuransi;
f. Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua
belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan
5http://bilongtuyu.blogspot.co.id/2013/05/syarat-sahnya-perjanjian-asuransi.html,diaksestanggal 25 juli 2015
32
secara tidak langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi
melalui jasa pertantara.
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dibuat secara bebas, artinya
tidak berada di bawah pengaruh, tekanan atau paksaan dari pihak tertentu. Kedua
belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Kewenangan (authority);
Kedua belah pihak tertanggung dan penanggung berwenang melakukan
perbuatan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan
berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif.
Kewenangan subjektif artinya kedua belah pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak
berada di bawah perwalian (trusteeship) atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan
objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek
asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri.
3. Objek tertentu (fixed object);
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan,
dapat berupa kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat
pula berupa jiwa manusia. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek
asuransi tertentu itu harus jelas dan pasti.
Tertanggung sebagai pihak yang mengasuransikan objek asuransi harus
mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan objek asuransi tertentu.
Mempunyai hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan
33
atau jiwa yang menjadi objek asuransi. Sedangkan mempunyai hubungan tidak
langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas benda objek
asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah benar sebagai
pemilik atau mempunyai kepentingan terhadap benda objek asuransi.
Menurut ketentuan Pasal 299 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan
adalah orang yang mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang
diperdagangkan dan kapal yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila
diasuransikan juga, maka asuransi tersebut batal.
4. Kausa yang halal (legal cause);
Kausa yang halal adalah dalam melakukan perjanjian asuransi, isi dari
perjanjian tersebut tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
5. Peberitahuan (notification)
Pemberitahuan tentang adanya perjanjian dalam hal ini para pihak
mengumumkan hal atau isi dari perjanjian kepada masing-masing pihak, jadi
perjanjian tersebut disepakati dan diketahui isinya oleh para pihak.
6. Teori objektifitas (objectivity theory);
Menurut teori ini, setiap asuransi harus mempunyai objek tertentu. Jenis,
identitas dan sifat objek asuransi harus diberitahukan oleh tertanggung kepada
penanggung, tidak boleh ada yang disembunyikan. Sifat objek asuransi mungkin
dapat menjadi sebab timbulnya kerugian. penanggung dapat mempertimbangkan
apakah dia menerima pengalihan risiko asuransi dari tertanggung atau tidak.
34
Keunggulan teori ini adalah penanggung dilindungi dari perbuatan
tertanggung yang tidak jujur (in bad faith). Sebaliknya, tertanggung selalu dimotivasi
untuk berbuat jujur (in good faith) dan selalu berhati-hati melakukan pemberitahuan
sifat objek asuransi kepada penanggung. Kelemahan teori ini adalah tertanggung
mengetahui cacat tersembunyi yang melekat pada objek asuransi yang mungkin
menjadi alasan kepada penanggung untuk menyatakan asuransi batal setalah terjadi
evenemen.
Pengaturan pemberitahuan Tertanggung wajib melakukan pemberitahuan
kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada
saat mendaftarkan asuransi dan Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya
asuransi batal. 6
Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah atau
tidak benar atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung atas objek
asuransi, menyebabkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga
apabila setelah diadakan asuransi, terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD tidak tergantung pada ada atau
tidaknya itikad baik pada tertanggung. Apabila tertanggung keliru memberitahukan
tanpa kesengajaan, juga akan mengakibatkan batalanya asuransi. Kecuali telah
diperjanjikan lain oleh penanggung dan tertanggung. Biasanya perjanjian seperti ini
dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausula “sudah diketahui”.
6Mashudi, Chidir Ali, 1995, Hukum asuransi ,Mandar Maju, Bandung, hal.45
35
Perjanjian asuransi pada dasarnya adalah perjanjian yang mempunyai tujuan
untuk memberikan ganti rugi, dalam perjanjian asuransi tersebut membutuhkan
adanya suatu dokumen. Dokumen Perjanjian asuransi atau pertanggungan
merupakan suatu perjanjian yang mempunyai suatu sifat yang khusus dan unik,
sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu yang sangat khas
dibandingkan dengan perjanjian yang lainnya. Sifat dari perjanjian asuransi
sebagaimana terdapat dalam Pasal 257 dan 258 KUHD sebagai berikut:
1. Asuransi merupakan perjanjian berdasarkan consensus, dapat terjadi setelah
ada kata sepakat, artinya merupakan perjanjian tanpa bentuk:
2. Asuransi merupakan sifat kepercayaan yang istimewa, saling percaya
mempercayai di antara para pihak yang menentukan perjanjian itu sendiri.
Muhamad abdulkadir menyatakan bahwa perjanjian asuransi diterbitkan seketika
setelah ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari penanggung
dan tertanggung mulai berlaku sejak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani
(berlaku konsensus).7
Pasal 255 KUHD menyebutkan bahwa suatu asuransi atau pertanggungan
harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis.
Menurut Pasal 257 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) KUHD, polis hanya
digunakan sebagai alat bukti dan bukan sebagai syarat mutlak untuk adanya suatu
perjanjian asuransi atau pertanggungan.
7Muhammad Abdulkadir, 2002, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
36
1.1.3 Dasar hukum asuransi
Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah bisnis
untuk pertama kalinya lahir pada tahun 1992 dengan disahkannya UU Nomor 2
Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Sebelum lahirnya UU Nomor 2 Tahun
1992, asuransi sebagai bisnis diatur melalui berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan
Keputusan Presiden (Kepres) berserta peraturan di bawahnya. Untuk membedakan
pengaturan asuransi sebagai sebuah bisnis dari pengaturan asuransi sebagai sebuah
perjanjian, selanjutnya, UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian akan
disebut Undang – Undang Asuransi, Dasar Hukum yang mengatur tentang asuransi
adalah:
1) Asuransi diatur dalam pasal 1774 KUH Perdata yang berbunyi :
“suatu perjanjian untung untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya ,mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak,bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Yang diatur di dalam pasal1774 tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa besarnya kewajibanpenanggung digantungkan pada peristiwa yang tidak pasti, dimana kewajibantersebut dapat dipenuhi apabila perstiwa yang ditanggung benar benar terjadi. “
2) Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Jika KUHD
mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdataan, maka Undang-undang
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian lebih mengutamakan pengaturan
asuransi dari segi bisnis, yakni menjalankan usaha perasuransian harus sesuai
dengan aturan hukum perasuransian dan perusahaan yang berlaku; dan publik
administratif, maksudnya kepentingan masyarakat dan Negara tidak boleh
dirugikan. Jika hal dilanggar, maka pelanggaran tersebut diancam dengan saksi
37
pidana dan saksi administratif, sesuai dengan PP No. 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
3) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
Terdapat dua cara pengaturan asuransi dalam KUHD, yaitu pengaturan yang
bersifat umum dan pengaturan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat
umum terdapat dalam buku I Bab 9 Pasal 146-286 KUHD yang berlaku bagi
semua jenis asuransi, baik yang sudah diatur dalam KUHD maupun yang diatur
di luar KUHD, kecuali jika secara khusus ditentukan lain. Pengaturan yang
bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 pasal 287-308 KUHD dan Buku II
Bab IX dan Bab X pasal 592-695 KUHD dengan rincian sebagai berikut:
a) Bab IX. Asuransi atau pertanggungan pada umumnya, pengaturannya
mulai dari pasal 246-286
b) Bab X. Asuransi atau pertanggungan terhadap bahaya-bahaya kebakaran,
terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum
dipaneni, dan tentang pertanggungan jiwa.
2.1.4 Prinsip asuransi
Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan
perasuransian.
Berikut adalah prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam Asuransi:8
8Teguh Soedarsono, 2004, Penerapan azas dan prinsip penaatan hukum dalam kebijakan pengelolaanlingkungan hidup , Ratna Sari, Michigan, H. 68
38
1. Insurable Interest (Kepentingan Yang Dipertanggungkan)
obyek yang diasuransikan apabila menderita kerugian keuangan seandainya
terjadi musibah yang menimbulkan kerugian atau kerusakan atas obyek
tersebut.Kepentingan keuangan ini memungkinkan mengasuransikan harta benda
atau kepentingan.Apabila terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan dan
terbukti bahwa tidak memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka
tidak berhak menerima ganti rugi.9
2. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)
Yang dimaksudkan adalah bahwa berkewajiban memberitahukan sejelas-
jelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan
obyek yang diasuransikan.Prinsip inipun menjelaskan risiko-risiko yang dijamin
maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara
jelas serta teliti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut
berlaku:
Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak
asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat kami menyetujui kontrak tersebut.Pada
saat perpanjangan kontrak asuransi.Pada saat terjadi perubahan pada kontrak
asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan
itu.
9Ibidh.68
39
3. Indemnity (Indemnitas)
Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan
ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan Anda setelah terjadi kerugian
menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian dan tertanggung tidak
berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang di derita.
2. Subrogation(Subrogasi)
Prinsip subrogration (perwalian) ini berkaitan dengan suatu keadaan
dimana kerugian yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan
pihak ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan hak perwalian kepada
penanggung oleh tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Dengan kata lain,
apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak
ketiga, maka XYZ, setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung,
mengganti kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak
ketiga tersebut.
3. Mekanisme Aplikasi subrogasi
Tertanggung harus memilih salah satu sumber pengantian kerugian, dari
pihak ketiga atau dari asuransi. Kalau tertanggung sudah menerima penggantian
kerugian dari pihak ketiga, tidak mendapatkan ganti rugi dari asuransi, kecuali
jumlah penggantian dari pihak ketiga tidak sepenuhnya.
40
Kalau tertanggung sudah mendapatkan penggantian dari asuransi tidak
boleh menuntut pihak ketiga. Karena hak menuntut tersebut sudah dilimpahkan
ke perusahaan asuransi.
7. Contribution(Kontribusi)
Mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan
asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan maka secara
otomatis berlaku prinsip kontribusi.
Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila telah membayar penuh ganti rugi
yang menjadi hak tertanggung, maka berhak menuntut perusahaan-perusahaan
lain yang terlibat suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi
harta benda) untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya
sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.Prinsip ini tidak
berlaku bagi asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan diri yang berkaitan dengan
meninggal dunia atau cacat tetap.
8. Proximate Cause (Kausa Proksimal)
Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau
kecelakaan, maka pertama-tama mencari sebab-sebab yang aktif dan efisien yang
menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga pada akhirnya
terjadilah musibah.
41
1.1.5 Jenis asuransi
Menurut pendapat dari Achmad Ichsan, mengenai jenis-jenis dari asuransi
dilakukan penggolongan sebagai berikut:10
1) Asuransi Krugian atau asuransi umum yang terdiri dari asuransi kebakaran
dan asuransi pertanian.
2) Asuransi Jiwa
3) Asuransi Pengangkutan laut.
Dilihat dari segi fungsinya, Asuransi terbagi dalam beberapa jenis sesuai
dengan yang diasuransikan, dalam pasal 3 huruf (a) Undang-undang no.2 tahun 1992
asuransi dilihat dari segi fungsinya terdiri atas tiga jenis yaitu :
1. Asuransi Kerugian ( non life insurance )
Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
2. Asuransi Jiwa ( life insurance )
Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan
resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Jenis – jenis asuransi Jiwa adalah:
a) Asuransi Berjangka ( Term Insurance )
10Achmad Ichsan, 1986, Dunia usaha Indonesia, Pradnya Paramita, hal..331
42
Asuransi berjangka adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis
yang menyediakan suatu jaminan terhadap resiko yang meninggal dunia dalam
periode waktu tertentu.
b) Asuransi Jiwa Seumur Hidup ( whole Life Insurance )
Yaitu polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis
seperti pada term insurance, yang merupakan penyempurnaan asuransi term
insurance yang tidak memiliki nilai tunai, ketika kontrak berakhir dan
tertanggung masih sehat walafiat, ada nilai tunai yang diberikan.
c) Asuransi Dwiguna ( Endowment Insurance )
Merupakan produk dari asuransi term Insurance (berjangka) yang dapat
memiliki keuntungan ganda.
d) Unit Link
Merupakan sutau asuransi yang memiliki dua wadah, sebagai suatu
proteksi dan investasi.
3. Re – Asuransi ( reinsurance )
Adalah asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap
resiko yang dihadapi oleh perusahan asuransi kerugian dan atas perusahan
asuransi jiwa.Asuransi ini dapat digolongkan ke dalam 3 jenis yaitu:11
a. Bentuk Treaty
b. Bentuk Facultative
11 URL : http://www.academia.edu/7215594/jenis_asuransi, diakses tanggal 22 April 2015
43
c. Kombinasi dari keduanya
1.2 Pengertian Perjanjian Kredit
1.2.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak,
mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul
karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan.
Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju
untuk melakukan sesuatu. Menurut Subekti, kata sepakat berarti suatu persesuaian
paham dan kehendak antara dua pihak. Berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut
berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang
lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu
satu sama lain.12
Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan yang
diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut merupakan pengertian yang tidak
sempurna dan kurang memuaskan, karena terdapat beberapa kelemahan.
12Subekti, 1990, Aneka Perjanjian (Cetakan Kesepuluh).: PT Citra Aditya Bakti Bandunghal. 26.
44
Menurut Abdul kadir perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan. Uraian tersebut memberikan makna bahwa perjanjian selalu
merupakan perbuatan hukum persegi dua atau jamak, untuk itu diperlukan kata
sepakat para pihak. Ada beberapa pakar atau ahli hukum lain yang memberikan
definisi yang berbeda pada perjanjian.
Pengertian perjanjian menurut Handri Raharjo, “Suatu hubungan hukum
dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu
dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling
mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat
hukum”13
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat
yangtelah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu:
a. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
13Handri Raharjo, 2009 Hukum Perjanjian di Indonesia. Pustaka Yustisia. Yogyakarta: hal.42
45
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Sepakat yaitu kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang
mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihakpihak.
Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara kewenangan hukum dengan
kecakapan berbuat adalah kewenangan hukum maka subyek hukum dalam hal
sedanga pada kecakapan berbuat subjek hukumnya aktif, dan yang termasuk cakap di
sini adalah orang dewasa, sehat akal pikrnya, tidak dilarang oleh Undang-undang.
Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian yaitu yang
pertama objek yang akanada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan
dapat dihitung. Yang kedua adalah objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang
yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). 14
Suatu sebab yang halal yang memiliki maksud antara lain, sebab adalah isi
perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian dan
halaladalah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
14Satrio, J, 1999, Hukum perikatan: perikatan pada umumnya, Alumni,H.87
46
1.2.2 Perjanjian Kredit
Dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi di masyarakat maka perlu
adanya perhatian untuk melakukan suatu pembinaan serta perlindungan terhadap
pengusaha kecil dan menengah terutama dalam penyediaan dana yang diperlukan
oleh pengusaha kecil dan menengah tersebut dalam menjalankan suatu kegiatan
usahanya hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan fungsi dan peranan
lembaga keuangan bank.
Secara etimologis, istilah kredit berasal dari bahasa Latin, credere yang berarti
kepercayaan. Di dalam konteks perbankan, kredit berarti orang yang mendapatkan
kepercayaan dari bank dimana kepercayaan yang diperoleh sesuai dengan kegiatan
utama perbankan yaitu meminjamkan uang kepada masyarakat.Sehingga kredit dapat
dikatakan bahwa nasabah yang mendapat kepercayaan dari bank dalam bentuk
pinjaman sejumlah uang.15
Menurut UU No.10 tahun 1998 pasal 1 butir 11, dirumuskan bahwa
pengertian dari kredit adalah
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan berdasarkanpersetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihaklain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelahjangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
15Arus Akbar Silondae dan Wirawan B.Ilyas 2012, pokok-pokok Hukum Bisnis Jakarta:Salemba, hal.73.
47
Menurut pendapat dari Sutan remi syahdeni, tentang Persetujuan atau perjanjian
pinjam meminjam adalah: 16
1) Bahwa di dalam pembentukan Undang – undang bermaksud untuk
menegaskan bahwa antara hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual
antara bank dengan debitur yang berbentuk pinjam meminjam sehingga
hubungan kredit bank berlaku ketentuan perikatan pada umumnya.
2) Hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian pinjam meminjam dalam
bentuk tertulis Rumusan pemberian atau pembiayaan berdasarkan ketentuan.
Dalam pemberian atau pembiayaan pada Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
/Debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai yang diperjanjikan.17
Untuk dapat memahami pengertian perikatan dan perjanjian, terlebih dahulu
harus mengetahui adanya perbedaan penggunaan istilah “Verbintenis” dan
“Overeekomst”. Kata “Verbintenis” dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
tiga istilah, yaitu: Perikatan, Perhutangan, dan Perjanjian. Untuk “Overeekomst”
dipakai dua istilah, yaitu: Perjanjian dan persetujuan.Verbintenis berasal dari kata
kerja Verbinden yang artinya mengikat, jadi di sini menunjukan adanya ikatan dan
16Sutan Remi Syahdeni, 1993 kebebasan Berkontrak dan perlindungan yang seimbang Bagipara pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal 180.
17Sentosa Sembiring, cetakan III 2012, Hukum Perbankan, CV.mandar Maju Bandung, hal200
48
hubungan, yaitu suatu ikatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain di mana
masing-masing terikat pada hak dan kewajibanya. 18
Sedangkan Overeekomst berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya
setuju atau sepakat, jadi mengandung kata sepakat sesuai dengan asas
konsensualisme, yaitu pada dasarnya, perjanjian dan perikatan timbul karenanya
sudah dilahirkan pada detik tercapainya kesepakatan. Penulis menggunakan kata
perjanjian yang Sama artinya dengan persetujuan terjemahan dari istilah
Overeenkomst.
Mengenai definisi tentang perikatan menurut pendapat para sarjana adalah:19
1) R. Subekti
Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)
antara dua orang yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu.
2) Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara
dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditor) dan
pihak lain berkewajiban (debitor) atas sesuatu prestasi.
18Arus Akbar Silondae dan Wirawan B.Ilyas 2012, pokok-pokok Hukum Bisnis Jakarta:Salemba, hal.79.
19http://www.jurnalhukum.com/pengertian-perikatan/ diakses tanggal 7 juli 2015
49
Menurut pendapat dari sutan remi syahdeni tentang Aspek yuridis pada suatu
perjanjian kredit yaitu karena adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.
Sehingga, analisis secara yuridis yang dilakukan oleh bank terhadap calon debitur
meliputi tentang analisis terpenuhinya syarat – syarat sahnya suatu perjanjian yaitu
adanya kesepakatan diantara kedua pihak yaitu pihak Bank dengan pihak calon
debitur. 20
Dalam buku III Perdata tidak dicantumkan secara tegas yang menjadi
ketentuan yang khusus mengatur perjanjian kredit. Namun demikian berdasarkan asas
kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian
kredit sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum,
kesusilaan dan kepatutan. Dengan adanya kesepakatan yang telah ditandatangani atas
perjanjian kredit tersebut oleh para pihak, maka pada saat itu perjanjian lahir dan
mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang – undang. Dan pasal – pasal
dari buku III kitab Undang-Undang Hukum perdata merupakan hukum pelengkap
(aanvullendrecht) berarti bahwa para pihak dalam perjanjian diperbolehkan
mengesampingkan peraturan – peraturan yang termuat dalam buku III Kitab Undang
– Undang Hukum Perdata. Para pihak diberi kebebasan mengadakan perjanjian yang
berisi apa saja sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.21
20Sutan Remi Syahdeni, 1993 kebebasan Berkontrak dan perlindungan yang seimbang Bagipara pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal 146.
21 Dr.Rudyanti Derotea tobing, 2014, Hukum Perjanjian Kredit, Penerbit Laksbang GrafikaSleman Yogyakarta, hal 200
50
Dalam hukum perjanjian mengandung sistim terbuka dimana asas kebebasan
yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, maka perjanjian
mempunyai arti penting pada saat ditetapkan kapan lahirnya suatu perjanjian
diantaranya adalah :
a. Kesempatan penarikan kembali atas penawaran;
b. Penentuan resiko
c. Pada saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluarsa;
d. Menentukan tempat terjadinya perjanjian
Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara debitur dengan
kreditur yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana debitur berkewajiban
untuk membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur, dengan berdasarkan
syarat-syarat dan ketentuan serta kondisi yang telah disepakati oleh para pihak
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya
asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat
terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang
diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang
yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian
kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan
51
persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika memang menghendaki apa yang
disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman, melukiskan pengertian sepakat sebagai
pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-
pihak.Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).Pernyataan
pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).Jadi pertemuan
kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itu.
Dilihat dari pembuatannya, suatu perjanjian kredit dapat digolongkan
menjadi:22
1. Perjanjian Kredit di bawah tangan, yaitu perjanjian kredit yang dibuat oleh
dan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit tersebut tanpa
melibatkan pihak pejabat yang berwenang/Notaris.Perjanjian Kredit Di
bawah tangan ini terdiri dari:
1) Perjanjian kredit di bawah tangan biasa;
2) Perjanjian kredit di bawah tangan yang dicatatkan di kantor notaris
(Waarmerking);
3) Perjanjian kredit di bawah tangan yang ditandatangani di hadapan
notaris namun bukan merupakan akta notarial (legalisasi).
2. Perjanjian Kredit Notariil yaitu perjanjian yang dibuat dan ditandatangani
oleh para pihak di hadapan Notaris. Perjanjian Notariil merupakan akta
22Achmad Ichsan, 1986, Dunia usaha Indonesia, Pradnya Paramita, H.325
52
yang bersifat otentik (dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang
berwenang/Notaris).
Untuk membuat suatu struktur dari perjanjian kredit pada umumnya terdiri
dari bagian sebagai berikut;
1) Kepala / Judul
2) Komparisi
Adalah bagian dari perjanjian kredit yang memuat keterangan identitas
para pihak.
3) Premis
Premis merupakan bagian dari akta yang berisi uraian yang memuat alasan-
alasan atau dasar pertimbangan para pihak dalam membuat perjanjian
kredit.Dalam premis dimuat hal-hal atau pokok-pokok pikiran yang
merupakan konstalasi fakta-fakta secara singkat dan yang menggerakkan
para pihak untuk mengadakan perjanjian kredit.
4) Batang Tubuh
Batang tubuh berisikan hal-hal yang disetujui oleh para pihak, berupa
klausula-klausula, baik klausula hukum maupun klausula komersial yang
berkaitan dengan pemberian fasilitas kredit.
5) Kolom Tanda tangan(Signature Page)
Kolom tanda tangan berisikan tanda tangan para pihak pembuat perjanjian.
53
Pada umumnya isi klausula yang tercantum dalam perjanjian kredit dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:23
1. Klausula Hukum (Legal Clauses)
Klausula Hukumadalah klausula yang berisikan ketentuan-ketentuan hukum
yang biasanya berlaku untuk pemberian fasilitas kredit.Termasuk dalam
klausula ini antara lain seperti klausula perlindungan Bank, Debet Rekening,
Condition Precedent, Pernyataan daan Jaminan (Representation and
Warranties), Covenant dan lain-lain.
2. Klausula Komersial (Commercial Clauses)
Klausula Komersial adalah klausula yang berkaitan dengan aspek komersial
dalam pemberian fasilitas kredit, seperti jenis fasilitas kredit, jumlah fasilitas
kredit, jangka waktu kredit, ketentuan pembayaran besarnya angsuran,
ketentuan tentang denda dan bunga, asuransi, dan lain-lain. Dalam praktek,
bentuk dan materi Perjanjian Kredit tidak selalu sama, disesuaikan dengan
jenis fasilitas yang diberikan. Namun demikian dalam suatu perjanjian
kredit pada umumnya berisi klausula-klausula sebagai berikut:
3. Klausula Fasilitas Kredit
Ketentuan–ketentuan yang berkaitan fasilitas kredit umumnya terdiri dari:
Jenis, jumlah, dan jangka waktu fasilitas.Perubahan mata uang
pinjaman (klausula ini digunakan terutama untuk pinjaman non-Rupiah),
23Johannes Ibrahim, 2004, Mengupas tuntas kredit komersial dan konsumtif dalam perjanjiankredit bank: perspektif hukum dan ekonomi, Mandar Maju, H.78
54
Penarikan fasilitas kredit, jangka waktu penarikan, cara penarikan, bukti
Cara Pembayaran kembali (installment )atau langsung.pembayaran kembali
lebih cepat/awal (Voluntary or Mandatory).Bunga,Komisi dan Fee.Bunga
denda (apabila terjadi keterlambatan pembayaran).
4. Klausula Pernyataan Debitur (Representations and Warranties)
Klausula ini berisikan pernyataan-pernyatan dari Debitur mengenai:
Kewenangan bertindak, Kekuatan Perjanjian, Tidak ada tuntutan/sengketa
dari pihak ketiga terutama yang dapat berakibat secara materiil, kebenaran
data-data yang diberikan oleh Debitur termasuk diantaranya Laporan
Keuangan, keabsahan Debitur untuk menjalankan usaha yang dibuktikan
dengan perijinan dari lembaga-lembaga yang berwenang, Tidak adanya
tunggakan Pajak yang harus dibayar, serta Debitur tidak dalam keadaan
pailit atau digugat pailit oleh Pihak ketiga.
5. Klausula Affirmative Covenant
Dalam pelaksanaan pemberian kredit Bank harus memberikan batasan-
batasan yang harus dipenuhi oleh Debitur (Affirmative Covenant) selama
dalam masa pemberian kredit. Ada beberapa covenant standard yang
biasanya wajib dicantumkan dalam perjanjian kredit adalah:
Menggunakan Fasilitas Kredit seperti yang dipersyaratkan;
Mengasuransikan seluruh barang-barang yang dijadikan jaminan/agunan
Fasilitas Kredit;
55
Memberikan ijin kepada Bank atau petugas-petugas yang diberi kuasa
oleh Bank untuk: (a) melakukan pemeriksaan (audit) terhadap buku-buku,
catatan-catatan dan administrasi Debitur serta memeriksa keadaan barang-
barang jaminan, dan (b) melakukan peninjauan ke dalam proyek,
bangunan-bangunan lain dan kantor-kantor yang digunakan Debitur;
Memberikan segala informasi/keterangan/data-data (seperti, namun tidak
terbatas pada laporan keuangan Debitur): (a) segala sesuatu sehubungan
dengan keuangan dan usaha Debitur, (b) bilamana terjadi keadaan yang
dapat mempengaruhi keadaan usaha atau keuangan Debitur, setiap waktu,
baik diminta maupun tidak diminta oleh Bank;
Menyerahkan data yang diminta oleh Bank dalam rangka pengawasan
pemberian kredit yaitu, antara lain namun tidak terbatas pada Laporan
keuangan, laporan inventory, daftar tagihan dan lain-lain.
Selain covenant dapat pula ditambahkan affirmative covenant lain yang
disesuaikan dengan struktur dari fasilitas kredit yang diberikan.
Dengan berlakunya Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April
1999 tentang Undang - undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka dalam isi
perjanjian kredit harus pula memenuhi ketentuan-ketentuan dalam UUPK.
Menurut pendapat dari Ahmadi miru sutarman tentang hal lain yang perlu
diperhatikan dalam perjanjian kredit, seperti mengenai pencantuman klausula Baku
56
yang mengakibatkan kerugian dari pihak debitur. Dimana dalam perjanjian kredit
dilarang mencantumkan klausula Baku, antara lain: 24
1. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya.
2. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
1.3 Syarat sahnya perjanjian
Dalam setiap perjanjian kredit ada beberapa klausul baku untuk menjadi
sahnya suatu perjanjian dan harus memenuhi empat syarat yaitu:25
1) Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para
pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai
segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara
bebas, tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian
24Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, 2004, Hukum perlindungan konsumen, RajaGrafindoPersada, hal. 95
25Juajir Sumardi, 2012, Hukum perusahaan transnasional dan franchise, Arus Timur, Makasarhal. 43
57
atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah
dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3) merupakan pokok perjanjian dan Syarat ini diperlukan untuk dapat
menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4) Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai
maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang
tidak halal ialah jika dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan
tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian
tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal
demi hukum.
5) Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut
syarat- syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan
syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan.
Sepakat atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah pihak. Dalam suatu
perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk mengikatkan diri pada yang
lain. Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara diam-diam. Kehendak
58
yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu terjadi karena paksaan (dwang),
kehilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog) 26
Bagi orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, yaitu
bahwa setiap orang dewasa dan sehat pikirannya.Beberapa golongan orang oleh
undang-undang dinyatakan “tidak cakap” untuk melakukan sendiri perbuatan-
perbuatan hukum.Mereka itu ialah orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan
(curatele) dan wanita yang bersuami (pasal 1130 KUH.Perdata).
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal tertentu atau
suatu barang yang cukup jelas atau tertentu yang diperjanjikan hak dan kewajiban
kedua belah pihak jika terjadi suatu perselisihan jelas. Barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan.27
Dari kelima syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus benar-
benar dipenuhi dan dipatuhi di dalam membuat suatu perjanjian. Apabila syarat
kesatu dan kedua (syarat subjektif) tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta pada hakim agar perjanjian itu
dibatalkan. Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak
dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian.
26Ali Hasymi, 2011 Hukum Asuransi Indonesia.Sinar Grafika Offset Jakarta, hal 56
27Abdulkadir Muhammad, 1999, Hukum asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, hal.60
59
1.4 Asas asas perjanjian
Yang dimaksud dengan asas adalah latar belakang dari suatu peraturan
yang kongkrit, Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (Lima) asas yang dikenal
antara lain adalah;28
1) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang
diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman
renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes,
28 Kartini muljadi,gunawan widjaja,2008, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Rajawalipers, hal 206
60
John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang
bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”. Teori leisbet fair” menganggap bahwa the invisible hand
menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah tidak
boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat
ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi.Pihak yang kuat
menentukan kedudukan pihak yang lemah.Pihak yang lemah berada dalam
cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de
homme par l’homme.
2) Asas Konsensualisme (Concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPer. pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.Asas ini merupakan
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah
pihak.Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum
Jerman.Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme,
tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian
61
formal.Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan
secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).Sedangkan perjanjian
formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis
(baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan
contractus innominat.Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila
memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.Asas konsensualisme yang berkaitan
dengan bentuk perjanjian.29
3) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt
servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.Asas
pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.\
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer.Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum
gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan
antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
29Juajir Sumardi, 2012, Hukum perusahaan transnasional dan franchise, Arus Timur,Makasar H. 85
62
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.Namun, dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum,
yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya.Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.
4) Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh maupun kemauan baik dari para pihak.Asas itikad baik terbagi menjadi
dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.\
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah
laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada
akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas
itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini.
5) Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
63
perseorangan saja dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal
1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. ketentuan ini
sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus
untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak
yang membuatnya. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat
oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun
demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal
1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan
perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat
yang ditentukan.Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur
tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer
untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang
memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317
64
KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer
memiliki ruang lingkup yang luas.