BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang...

24
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tanah Dalam pengertian secara umum, tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan bahan organik yang telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang kosong diantara partikel partikel padat tersebut. Tanah berguna sebagai bahan bangunan pada berbagai macam pekerjaan teknik sipil, disamping itu tanah berfungsi juga sebagai pendukung pondasi dari bangunan. Ukuran partikel tanah beragam antara lebih besar dari 100 mm sampai dengan kurang dari 0.001 mm. Kebanyakan jenis tanah terdiri dari campuran dari beberapa ukuran dan biasanya lebih dari dua rentang ukuran. Secara umum, tanah disebut kohesif bila partikel partikelnya saling melekat setelah dibasahi kemudian dikeringkan dan diperlukan gaya yang cukup besar untuk meremas tanah tersebut. Tanah non kohesif apabila partikel tanah tidak mempunyai lekatan antar partikel. Ukuran partikel dari tanah adalah sangat beragam dengan variasi yang cukup besar. Tanah umunya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), atau lempung (clay). Klasifikasi ini bergantung pada ukuran partikel yang paling dominan pada tanah tersebut. Untuk menerangkan tentang tanah berdasarkan ukuran ukuran partikelnya, beberapa organisasi telah mengembangkan batasan batasan ukuran golongan jenis tanah (soil-separate- size limits). Tabel berikut merupakan pengklasifikasian jenis tanah menurut beberapa organisasi :

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang...

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tanah

Dalam pengertian secara umum, tanah didefinisikan sebagai material yang

terdiri dari agregat (butiran) mineral – mineral padat yang tidak tersementasi

(terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan organik yang telah

melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang kosong diantara

partikel – partikel padat tersebut. Tanah berguna sebagai bahan bangunan pada

berbagai macam pekerjaan teknik sipil, disamping itu tanah berfungsi juga sebagai

pendukung pondasi dari bangunan.

Ukuran partikel tanah beragam antara lebih besar dari 100 mm sampai

dengan kurang dari 0.001 mm. Kebanyakan jenis tanah terdiri dari campuran dari

beberapa ukuran dan biasanya lebih dari dua rentang ukuran. Secara umum, tanah

disebut kohesif bila partikel – partikelnya saling melekat setelah dibasahi

kemudian dikeringkan dan diperlukan gaya yang cukup besar untuk meremas

tanah tersebut. Tanah non – kohesif apabila partikel tanah tidak mempunyai

lekatan antar partikel.

Ukuran partikel dari tanah adalah sangat beragam dengan variasi yang

cukup besar. Tanah umunya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand),

lanau (silt), atau lempung (clay). Klasifikasi ini bergantung pada ukuran partikel

yang paling dominan pada tanah tersebut. Untuk menerangkan tentang tanah

berdasarkan ukuran – ukuran partikelnya, beberapa organisasi telah

mengembangkan batasan – batasan ukuran golongan jenis tanah (soil-separate-

size limits). Tabel berikut merupakan pengklasifikasian jenis tanah menurut

beberapa organisasi :

4

Tabel 2.1 Batasan – batasan Ukuran Golongan Tanah

Nama Golongan Ukuran butiran (mm)

Kerikil Pasir Lanau Lempung

Massachusetts Institute of

Techonology >2 2 – 0.06 0.06 – 0.002 <0.002

U.S. Departement of Agriculture >2 2 – 0.05 0.05 – 0.002 <0.002

American Asosiation of State

Highway and Transportation Officials

(AASHTO)

76.2 -2 2 – 0.075 0.075 – 0.002 < 0.002

Unified Soil Clasification System 76.2 – 4.75 4.75 –

0.075

Halus (Lanau dan

Lempung < 0.075)

Sumber : Craig dan Susilo (1989)

Analisis ukuran partikel dari sebuah contoh tanah melibatkan penentuan

presentase berat partikel dalam rentang ukuran yang berbeda. Distribusi ukuran

partikel tanah berbutir kasar dapat ditentukan dengan metode pengayakan (sieving

analysis). Contoh tanah dilewatkan melalui satu set saringan standar yang

memiliki lubang yang makin kecil ukurannya dari atas ke bawah. Berat tanah

yang tertahan di setiap saringan ditentukan dan presentase kumulatif dari berat

tanah yang melewati tiap saringannya dihitung. Jika terdapat partikel – partikel

halus pada tanah, contoh tanah tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu dari

butiran halus tersebut dengan cara mencucinya dengan air melalui saringan

berukuran terkecil.

Distribusi ukuran partikel tanah berbutir halus atau fraksi butir halus dari

tanah berbutir kasar dapat ditentukan dengan metode pengendapan (sedimentasi).

Metode ini didasarkan atas hukum Stokes. Apabila suatu contoh tanah dilarutkan

dalam air, partikel – partikel tanah akan mengendap dengan kecepatan yang

berbeda – beda tergantung dari bentuk, ukuran, dan beratnya. Untuk lebih

mudahnya partikel tanah dapat dianggap berbentuk bulat (bola). Contoh tanah

yang akan diuji terlebih dahulu dibersihkan dari material organik dengan

menggunakan hydrogen peroksida. Contoh tersebut kemudian dibuat menjadi

suspensi di dalam larutan air suling dari larutan pemisah butir – butir ditambahkan

agar partikel – partikel satu sama lain saling terpisahkan.

Distribusi ukuran partikel tanah dapat digambarkan dengan sebuah kurva

diatas kertas semi logaritmik, dimana ordinatnya adalah presentase berat

5

partikelnya yang lebih kecil dari ukuran absisnya yang diketahui. Makin landai

kurva distribusinya, makin besar rentang distribusinya; makin curam kurva, makin

kecil rentang distribusinya. Tanah berbutir kasar dideskripsikan bergradasi baik

jika tidak ada partikel – partikel yang ukurannya mencolok dalam suatu rentang

distribusi dan jika masih terdapat partikel yang berukuran sedang. Secara umum

tanah bergradasi baik diwakili oleh kurva distribusi yang cembung dan mulus.

Tanah berbutir kasar dideskripsikan bergradasi buruk, jika ukurannya seragam

atau jika tidak atau jarang terdapat partikel berukuran sedang (terdapat loncatan

ukuran tanah). Ukuran partikel digambar (pada kurva) dengan skala logaritmik

sebagai absis.

Kurva distribusi ukuran butiran dapat digunakan untuk membandingkan

bebrapa jenis tanah yang berbeda – beda. Selain itu ada 3 parameter dasar yang

dapat ditentukan dari kurva tersebut, dan parameter tersebut dapat digunakan

dalam pengklasifikasian tanah berbutir kasar. Parameter tersebut antara lain :

a. Ukuran efektif (effective size)

b. Koefisien keseragaman (uniformly coefficient)

c. Koefisien Gradasi (coefficient of gradation)

Diameter dalam kurva distribusi ukuran butiran yang bersesuaian dengan

10% yang lebih halus (lolos ayakan) didefinisikan sebagai ukuran efektif atau

D10. Koeisien keseragaman diberikan dengan hubungan:

(2.1)

Dimana :

Cu = Koefisien keseragaman

D60 = Diameter yang bersesuaian dengan 60% lolos ayakan yang

ditentukan dari kurva distribusi ukuran butiran

Koefisien gradasi dinyatakan sebagai

(2.2)

6

Dimana:

Cc = Koefisien gradasi

D30 = diameter yang bersesuaian dengan 30% lolos ayakan

Makin tinggu harga Cu, makin besar rentang distribusi partikel tanah. Tanah

bergradasi baik biasanya memiliki Cc sekitar 1 sampai 3.

2.2. Tegangan Dalam Tanah

Besarnya gaya – gaya yang menjalar dari partikel ke partikel lainnya

dalam kerangka tanah telah diketahui sejak tahun 1923, ketika Terzaghi

mengemukakan prinsip tegangan efektif yang didasarkan pada data hasil

percobaan. Untuk rentang tegangan yang biasa dijumpai dalam praktek, masing –

masing partikel padat dan air dapat dianggap tak kompresibel, di lain pihak, udara

bersifat sangat kompresibel. Tanah dapat divisualisasikan sebagai suatu kerangka

partikel tanah yang membatasi pori – pori yang mana pori – pori tersebut

mengandung air dan udara. Volume kerangka tanah secara keseluruhan dapat

berubah akibat penyusunan kembali partikel – partikel padat pada posisinya yang

baru, terutama dengan cara menggelincir yang menyebabkan terjadinya perubahan

gaya – gaya yang bekerja diantara partikel – partikel tanah. Kompresibilitas

kerangka tanah yang sesungguhnya tergantung pada susunan struktural tanah

tersebut.

2.2.1 Tegangan Efektif

Tegangan efektif adalah gaya per satuan luas yang dipikul oleh butir –

butir tanah. Perubahan volume dan kekuatan tanah tergantung pada tegangan

efektif di dalam masa tanah, makin tinggi tegangan efektif suatu tanah, makin

padat tanah tersebut.

Prinsip tersebut hanya berlaku untuk tanah yang jenuh sempurna.

Tegangan – tegangan yang berhubungan dengan prinsip tersebut adalah :

a) Tegangan normal total (σ) , pada bidang di dalam tanah, yaitu gaya per

satuan luas yang ditransmisikan pada arah normal bidang dengan

mengangggap bahwa tanah adalah material padat saja

7

b) Tekanan air pori (u), merupakan tekanan air pengisi pori – pori udara

diantara partikel – partikel padat

c) Tegangan normal efektif (σ‟) pada bidang yang mewakili tegangan yang

dijalarkan hanya melalui kerangka tanah saja.

Hubungan ketiga tegangan diatas adalah :

σ = σ‟ + u (2.3)

2.2.2 Tegangan Horisontal (Tegangan Lateral)

Dalam bidang hidrolika, diketahui bahwa tekanan pada benda cair akan

memili nilai yang sama pada berbagai arah. Namun, berbeda dengan tanah, sangat

jarang terjadi pada lapisan tanah alam yang bagian dasarnya memiliki tegangan

horizontal yang sama nilainya dengan tegangan vertikalnya. Adapun persamaan

dari perbandingan tegangan horizontal dan vertikal adalah :

σh = Kσv (2.4)

Dimana K merupakan koefisien tekanan tanah. Karena permukaan air

tanah dapat berfluktuasi sehingga dapat merubah nilai tegangan total, maka

koefisien K tidak konstan nilainya pada lapisan tanah. Untuk menghindari

masalah muka air yang fluktuatif sehingga dapat merubah nilai tegangan total,

maka koefisien K tidak konstan nilainya pada lapisan tanah. Untuk menghindari

masalah muka air tanah yang fluktuatif, perbandingan tersebut harus dalam

keadaan efektif.

σh‟ = Koσv‟ (2.5)

Ko adalah koefisien penting dalam bidang geoteknik. Biasa dinamakan

koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam (coefficient of earth pressure at

rest). Hal tersebut menyatakan kondisi tegangan dalam tanah berada dalam

keadaan efektif dan tidak tergantung dari level muka air. Bahkan jika kedalaman

berubah, Ko tetap konstan selama lapisan tanah dan kepadatan yang sama.

8

2.3 Kekuatan Geser Tanah

Salah satu sifat yang terpenting adalah kekuatan geser atau kemampuan

tanah untuk menahan gesekan sepanjang bidang geser dengan massanya.

Kekuatan geser merupakan karakteristik tanah yang dapat menjaga keseimbangan

pada permukaan lereng. Keruntuhan geser tanah terjadi bukan disebabkan karena

hancurnya butir – butir tanah, tetapi karena adanya gerak relatif antara butir –

butir tanah terserbut.

Pada tanah berbutir halus (kohesif) misalnya lempung, kekuatan geser

yang dimiliki tanah disebabkan oleh adanya gaya kohesi atau lekatan antara butir

– butir tanah (c soil). Pada tanah berbutir kasar (non kohesif), kekuatan geser

disebabkan karena adanya gesekan antara butir – butir tanah sehingga sering

disebut sudut geser dalam (υ soil). Pada tanah yang merupakan campuran antara

tanah halus dan tanah kasar (c dan υ soil), kekuatan geser disebabkan karena

adanya lekatan (karena kohesi) dan gesekan antara butir – butir tanah (karena υ

soil).

Jika pada suatu titik tertentu pada masa tanah, tegangan geser bernilai

sama dengan kuat gesernya, maka saat itulah terjadi keruntuhan. Menurut

Coloumb, kuat geser tanah pada suatu titik pada bidang tertentu, dapat

diekpresikan sebagai suatu fungsi linier dari tegangan normal pada saat

keruntuhan pada titik yang sama pada bidang tersebut.

τf = c + σf tan υ (2.6)

Dimana c (kohesi) dan υ (sudut geser) merupakan parameter kuat geser.

Berdasarkan prinsip bahwa tegangan geser pada tanah hanya dapat ditahan oleh

partikel padatnya, maka kuat geser harus diekspresikan sebagai suatu fungsi

dalam kondisi efektifnya, yaitu sebagai berikut :

τf = c‟+q‟tan υ

Hubungan parameter kuat geser dengan prinsip tegangan efektif pada saat

keruntuhan dapat dilihat pada gambar berikut, dimana lingkaran Mohr

menunjukkan kasus dengan c‟>0.

9

Gambar 2.1 Kriteria Keruntuhan Mohr – Coloumb

Sumber : Braja M. Das (2008)

2.4 Likuifaksi

Likuifaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan tanah yang terjadi di tanah

non-kohesif karena adanya penambahan tekanan pori akibat gempa bumi.

Tegangan pori yang meningkat mengakibatkan penurunan dari kekuatan geser,

dan bahkan dapat hilang sama sekali. Tanah yang kehilangan semua kekuatan

gesernya akan berlaku seperti cairan vicious. Pada fenomena likuifaksi tanah akan

menyerupai “pasir hisap”. Oleh karena „terhisapnya‟ bangunan ke dalam tanah

dapat merusak struktur secara keseluruhan, missal : retak, miring pada bangunan,

dan keruntuhan.

2.4.1 Definisi Likuifaksi

Likuifaksi merupakan kondisi dimana tanah mendapat beban siklik,

misalnya beban yang diakibatkan oleh gempa bumi, sehingga mengakibatkan

tanah tersebut berdeformasi dari solid menjadi cair (Liquefied). Dalam hal ini,

tanah yang mengalami likuifaksi adalah tanah non-kohesif yang tersaturasi (celah

– celah partikelnya terisi oleh air). Kandungan air tersebut akan memberikan

tekanan pada partikel tanah sehingga menyebabkan hilangnya ikatan pada partikel

– partikel tanah tersebut. Sebelum terjadi gempa tekanan air pori relatif rendah,

namun guncangan dari gempa dapat memicu kenaikan tekanan air dalam tanah

sampai pada titik dimana partikel – partikel tanah dapat saling bergerak atau

kehilangan ikatannya.

10

Beban yang bekerja merupakan beban siklik (dinamik) yang umumnya

diakibatkan oleh gempa. Pada saat beban gempa bekerja dalam kondisi undrained

sedangkan tanah berjenis pasir berada dalam kondisi tersaturasi, maka tegangan

air pori akan naik, sehingga tanah tersebut akan kehilangan kekuatannya atau

dalam kondisi extreme kekuatan gesernya dapat mencapai nol.

Fenomena yang terkait dengan likuifaksi adalah flow liquefaction dan

cyclic mobility. Keduanya sangat penting untuk diperhatikan dalam mengevaluasi

bahaya likuifaksi. Flow liquefaction adalah peristiwwa dimana terjadi aliran –

aliran tanah. Hal ini terjadi apabila teganan geser statis yang diperhitungkan untuk

mencapai kesetimbangan pada suatu masa tanah jauh lebih besar daripada

tegangan geser tanah dalam kondisi cair (liquefied). Dengan kata lain, deformasi

yang terjadi merupakan akibat dari teganan geser statik (static shear stress). Pada

peristiwa flow liquefaction ini, terdapat dua karakteristik yang dapat dilihat yaitu

kecepatan aliran dan perpindahan material tanah yang sangat besar.

Cyclic mobility merupakan fenomena lainnya yang juga dapat

menyebabkan deformasi permanen yang sangat besar akibat adanya guncangan

gempa. Berbeda dengan flow liquefaction, dalam static mobility kondisinya adalah

tekanan geser statis lebih kecil dibandingkan dengan tegangan geser tanah cair.

Pada fenomena ini, deformasi yang terjadi diakibatkan oleh pembebanan siklik

dan teganan geser statik. Dalam hal ini, deformasi yang terjadi adalah deformasi

lateral (lateral spreading).

Tercatat bahwa likuifaksi sebagai akibat dari gempa telah banyak terjadi di

seluruh dunia. Beberapa diantaranya adalah gempa Alaska, AS (1964), Niigata,

Jepang (1964) dan Kobe, Jepang (1995).

2.4.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Likuifaksi

Untuk dapat memahami likuifaksi, diperlukan pengenalan kondisi yang

terdapat pada tanah sebelum terjadinya gempa. Tanah terdiri dari partikel –

partikel yang menyusunnya. Jika dilihat lebih dekat maka akan terlihat bahwa

setiap partikel berhubungan dengan partikel – partikel yang lainnya. Karena

adanya gaya berat dari partikel tanah, maka terdapatlah gaya antar partikel. Gaya

11

inilah yang membuat setiap partikel tanah dapat berada tetap pada posisinya

sehingga ada yang dimaksud dengan kekuatan tanah.

Likuifaksi terjadi apabila suatu pasir yang tersaturasi strukturnya terpecah

akibat adanya pembebanan yang berlebihan dan terus – menerus. Karena

strukturnya hancur, maka partikel – partikel penyusun pasir tersebut akan terus

bergerak cenderung membentuk suatu konfigurasi baru yang lebih keras. Pada

saat terjadinya gempa, air yang berada dalam pori – pori tanah non-kohesif tidak

sempat mengalir keluar, dan terperangkap sehingga partikel – partikel tanah tidak

dapat bergerak dan merapat untuk membentuk konfigurasi yang lebih padat.

Dengan adanya pembebanan akibat gempa, tekanan air dalam tanah akan

meningkat sehingga memperkecil gaya partikel tanah sehingga kekuatannya

tanahnya menjadi menurun. Pada kasus – kasus yang ekstrim, tekanan air pori

akan menjadi sangat tinggi sehingga partikel – partikel tanah kehilangan kontak

satu sama lainnya. Jika hal itu terjadi, maka tanah akan kehilangan kekuatannya

dan berlaku seperti cairan, maka peristiwa tersebut dinamakan likuifaksi.

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya likuifaksi pada

tanah antara lain adalah jenis tanah, kedalaman air tanah, kepadatan tanah, umur

dari deposit, fabrik dan gradasi partikel, riwayat tegangan, nilai Over

Consolidation Ratio (OCR), kondisi tegangan in situ, bentuk dari partikel.

Kepadatan dari tanah pasir dapat dinyatakan dengan nilai relative density

(Dr). Semakin besar nilai Dr, maka akan semakin besar tahanannya terhadap

bahaya likuifaksi. Likuifaksi umumnya terjadi pada tanah yang bergradasi

seragam (uniformly graded soil). Sementara tanah yang bergradasi baik (well

graded soil) umumnya mempunyai tahanan terhadap likuifaksi lebih besar

dibandingkan dengan tanah bergradasi buruk. Hal ini disebabkan oleh partikel –

partikel kecil yang terdapat pada tanah bergradasi baik akan dapat mengisi rongga

yang ada diantara partikel yang besar, sehingga potensi untuk mengalami

perubahan volume pada kondisi drain akan menjadi lebih kecil akibat undrained

loading.

Semakin tua umur deposit tanah maka akan semakin besar tahannya

terhadap bahaya likuifaksi. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya proses

sementasi antara partikel. Semakin besar nilai OCR maka semakin besar nilai Ko

12

yang mana akan menaikkan tegangan eketif rata – rata. Tahanan terhadap

likuifaksi akan meningkat dengan meningkatnya tegangan efektif confining. Suatu

daerah dimana level muka airnya tinggi atau dekat ke permukaan akan lebih

mudah mengalami proses likuifaksi dibandingkan dengan daerah dimana muka air

terdapat pada posisi yang cukup dalam.

Tanah dengan partikel yang berbentuk bundar akan lebih mudah

mengalami likuifaksi dibandingkan dengan tanah dengan partiket bersudut. Hal

ini disebabkan tanah dengan partikel berbentuk bundar lebih mudah untuk

dipadatkan.

2.5 Gempa Bumi

2.5.1 Teori Lempeng Tektonik

Teori lempeng tektonik yang dikembangkan sejak tahun 1960-an

merupakan teori yang menggambarkan bagaimana gempa bumi terjadi. Menurut

teori lempeng tektonik, permukaan bumi terdiri dari lempeng – lempeng tektonik

yang berbeda – beda, biasa disebut dengan lempeng lithosphere, dengan masing –

masing pelat memiliki kerak atau lapisan dan bagian yang lebih kaku pada mantel

terluar. Lempeng – lempeng tektonik ini bergerak aktif dan menimbulkan

pelepasan energi akibat tekanan yang dihasilkan oleh pergerakan lempeng –

lempeng tersebut. Tekanan tersebut kian membesar dan mencapai keadaan dimana

tekanan tersebut tidak dapat ditahan oleh pinggiran lempeng, pada saat itulah

gempa bumi terjadi. Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan – perbatasan

lempeng tersebut.

Batas lempeng (plate boundaries) dibedakan menjadi tiga jenis

berdasarkan cara lempengan tersebut bergerak relatif satu sama lain. Tiga jenis

lempeng tersebut adalah :

a) Batas Divergen (Divergent Boundaries)

Batas Divergen terjadi ketika dua lempeng bergerak saling menjauhi satu

sama lain. Magma panas yang keluar ke permukaan akibat pergerakan dua

lempeng ini akan mengalami proses pendinginan dan membentuk

punggung – punggung bukit. Gempa bumi yang terjadi akibat

pembentukkan punggung bukit ini hanya terjadi di sekitar puncak bukit,

13

pada saat kerak baru terbentuk. Gempa ini relatif kecil dan terjadi pada

kedalaman yang dangkal

b) Batas Kovergen (Covergent Boundaries)

Berbeda dengan batas Divergen, batas Covergent ini terjadi ketika dua

lempeng bergerak bergesekan saling mendekati satu sama lain sehingga

membentuk zona subduksi (subduction zone) ketika salah satu lempeng

bergerak di bawah lempeng lainnya.

c) Batas Transform (Transform Boundaries)

Batas transform atau biasa disebut Patahan (Fault) terjadi pada saat

lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain tanpa

menimbulkan efek konstruktif ataupun destruktif pada lapisan bumi seperti

yang terjadi pada Batas Divergen dan Kovergen. Pada saat pergerakan

relatif kedua lempeng sejajar satu sama lain, zona patahan strike-slip

(strike-slip fault zone) terbentuk pada Batas Transform.

2.5.2 Sumber Gempa

Pada prinsipnya gempa merupakan suatu peristiwwa pelepasan energi

pada perbatasan lempeng lempeng tektonik, oleh karena itu lokasi sumber gempa

umunya berada pada perbatasan pelat – pelat tektonik yang mengalami patahan

atau gesekan. Berikut merupakan istilah – istilah yang sering terkait dengan

sumber gempa

a) Tempat sumber gempa didalam bumi disebut focus atau hypocenter

b) Titik di permukaan bumi yang letaknya tepat diatas sumber gempa disebut

epicenter

c) Jarak antara sumber gempa dengan tempat di permukaan bumi yang

terlanda gempa disebut jarak hypocenter

14

2.5.3 Besaran Kekuatan Gempa

Terdapat dua cara dalam mengukur kekuatan gempa, yaitu berdasarkan

magnitude gempa (earthquake magnitude) dan berdasarkan intensitas kerusakan

yang diakibatkan (earthquake intensity). Magnitude gempa tidak bergantung pada

kepadatan populasi suatu wilayah, maupun jenis konstruksi suatu bangunan yang

ada di wilayah tersebut, sedangkan intensitas mengukur bahaya kerusakan yang

diakibatkan oleh gempa pada bangunan dan reaksi orang – orang di suatu wilayah.

a) Local Earthquake Magnitude

Pada tahun 1935, Prof. Charles Richter mengembangkan skala

besaran gempa untuk gempa dangkal serta memiliki episentrum

berjarak kurang dari 600 km. Skala besaran gempa ini

dikembangakan sebagai skala besaran Richter. Karena skala

besaran ini dikembangkan untuk gempa dangkal dan lokal, skala

ini juga dikenal sebagai Local Magnitude Scale (ML). Richter

mendefinisikian magnitude lokal gempa sebagai logaritma berbasis

10 dari amplitude gelombang gempa maksimum dalam mikron

direkam menggunakan seismograf Wood-Anderson yang terletak

pada jarak 100 km dari episentrum gempa

ML = log A – log Ao = log A/Ao (2.7)

Dengan :

ML : Besaran Gempa

A : Amplitudo jejak gempa maksimum (mm) yang direkam

seismograf

Ao : 0,001 mm (skala gempa lokal nol yang berhubungan

dengan besaran gempa terkecil yang pernah direkam)

Pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya berpengaruh dari

jumlah energi yang dilepaskan (Gempa Skala Richter), akan tetapi

juga bergantung dari jarak episenter gempa dan jarak hypocentre

gempa. Gempa yang melepaskan energi sangat bersar tetapi kadang

15

– kadang kurang terasa di permukaan tanah karena jarak sumber

gempa yang sangat jauh di dalam bumi.

b) Earthquake Intensity

Ukuran gempa yang dapat langsung mempengaruhi struktur adalah

intensitas lokal gempa yaitu besar kecilnya getaran di permukaan

tanah di daerah yang dilanda gempa. Karena besar atau intensitas

getaran tanah pada saat dilanda gempa tidak sama maka disebut

intensitas lokal. Intensitas gempa lokal berhubungan langsung

dengan percepatan tanah maksimum yang berarti berhubungan pula

dengan besar kecilnya kerusakan bangunan. Untuk skala standar

internasional digunakan skala Modified Mercalli dan dinyatakan

dalam symbol MM. Skala Modified Mercalli terdiri dari 12

tingkatan.

2.6 Tes CPT (Cone Penetrometer Test)

Tes CPT (Cone Penetrometer Test) atau yang lebih sering disebut tes

sondir merupakan penetrometer statis yang dipakai secara luas di Indonesia. Alat

ini berasal dari negeri Belanda dan dikenal dengan sebutan Dutch-cone

Penetrometer Test. Prinsip kerja alat ini adalah menekan ujung penetrometer

(konus) ke bawah dengan mesin penekan yang dijangkarkan pada tanah. Ada dua

macam ujung penetrometer yang biasa dipakai, yaitu konus (standard type) dan

bikonus (friction sleeve atau adhesion jacket type).

Konus ini berupa kerucut dengan sudut 60° dengan luas penampang

10cm2, yang dipasang pada suatu rangkaian stang dalam dan selubung luar. Pada

tipe standar, hasil pengukuran berupa perlawanan ujung saja (nilai konus). Hal ini

didapatkan dengan cara menekan hanya pada stang dalam saja. Gaya yang

diperlukan untuk menekan ujung konus diukur dengan alat pengukur tekanan

yang diapasang pada mesin penekan. Pengukuran dilakukan pada kedalaman –

kedalaman tertentu yang telah ditetapkan dan biasanya dilakukan setiap

kedalaman 20cm. Setelah pengukuran pada suatu kedalaman dilakukan, maka

selubung luar ditekan sampai kedalaman berikutnya, kemudian pengukuran

16

selanjutnya dilakukan dengan cara menekan stang dalam dan gaya yang

diperlukan diukur dengan membaca alat pengukur tekanan.

Pada tipe bikonus, hasil pengukuran yang didapat adalah nilai konus dan

nilai hambatan lekat, yang dilakukan dengan dengan cara menekan stang dalam.

Pada awalnya, penekanan stang dalam hanya menyebabkan masuknya ujung

konus, sehingga dengan demikian hanya nilai konus yang diukur. Setelah konus

ditekan sedalam 4cm,maka penekanan selanjutnya akan menyebabkan tertekannya

konus dan selubung lekatan (friction sleeve) secara bersama – sama, sedalam 4cm.

Jadi nilai yang terbaca pada alat pengukur tekanan adalah jumlah dari nilai konus

dan hambatan lekat. Nilai hambatan lekat didapatkan dengan mengurangkan nilai

konus dari jumlah nilai konus dan hambatan lekat. Untuk mendapatkan

pembacaan berikutnya, selubung luar ditekan, sehingga konus, setang dalam dan

selubung lekatan akan tertekan bersama – sama. Selanjutnya setang dalam

ditekan, dan prosesnya berulang seperti yang telah dijelaskan diatas.

Ada dua jenis mesin penekan, yaitu tipe menengah dan tipe berat. Tipe

menengah dapat mengukur tekanan sampai 150kg/cm2, sedangkan tipe berat dapat

mengukur sampai 400kg/cm2. Kedalaman penetrasi dapat mencapai 30m bisa

lapisan berupa lapisan tanah lunak.

2.7 Tes SPT (Standard Penetration Test)

Uji penetrasi standar (SPT) adalah uji yang dilaksanakan bersamaan

dengan pengeboran untuk mengetahui baik perlawanan dinamik tanah maupun

pengambilan contoh terganggu dengan teknik penumbukan. Kelebihan dan alasan

utama tes ini digunakan secara luas karena tes ini murah dan sederhana. Parameter

kekuatan tanah yang didapat adalah perkiraan, tetapi dapat memberikan panduan

yang berguna dalam kondisi tanah dimana tidak memungkinkan untuk

mendapatkan sampel bor yang kualitasnya memadai. Prosedur tes SPT di

Indonesia mengacu pada SNI 4153 – 2008. Uji SPT terdiri atas uji pemukulan

tabung belah dinding tebal ke dalam tanah dan disertai pengukuran jumlah

pukulan untuk memasukkan tabung belah sedalam 300 mm (1 ft) vertikal.

Uji penetrasi standar (SPT) dilaksanakan bersamaan dengan pengeboran

untuk mengetahui baik perlawanan dinamik tanah maupun pengambilan contoh

17

terganggu dengan teknik penumbukan. Uji SPT terdiri atas uji pemukulan tabung

belah dinding tebal ke dalam tanah dan disertai pengukuran jumlah pukulan untuk

memasukkan tabung belah sedalam 300 mm (1 ft) vertikal. Dalam sistem beban

jatuh ini digunakan palu dengan berat 63,5 kg (140 lb) yang dijatuhkan secara

berulang dengan tinggi 0,76 m (30 in). Pelaksanaan pengujian dibagi dalam tiga

tahap, yaitu berturut-turut setebal 150 mm (6 in) untuk masing – masing tahap.

Tahap pertama dicatat sebagai dudukan, sementara jumlah pukulan untuk

memasukkan tahap kedua dan ketiga dijumlahkan untuk memperoleh nilai

pukulan N atau perlawanan SPT (dinyatakan dalam pukulan /0,3 m atau pukulan

per feet). Uji SPT dilakukan pada setiap 2 meter pengeboran dan dihentikan pada

saat uji SPT N diatas 60 N berturut turut sebanyak 3 kali. Dari data/informasi

yang diperoleh dapat digunakan untuk menggambarkan profil daya dukung tanah

yang di gambarkan pada grafik SPT.

2.8 Metode Untuk Mengevaluasi Potensi Likuifaksi

Dalam menganalisis potensi likuifaksi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu

tes uji laboratorium dan pendekatan perhitungan dari tes uji lapangan. Tugas akhir

ini bertujuan untuk mendapatkan hasil nilai potensi likuifaksi dari hasil uji

lapangan yaitu dengan data CPT (sondir) dan SPT serta membandingkan nilai

CRR yang didapat dari masing – masing data. Adapun untuk menganalisis potensi

likuifaksi dibutuhkan nilai rasio tegangan siklik (CSR) dan nilai rasio tahanan

siklik (CRR) yang bisa didapat dari nilai SPT dan CPT

Metode untuk mengevaluasi potensi likuifaksi adalah dengan cara

mendapatkan nilai faktor keamanan dari hasil perbandingan nilai CRR (Cyclic

Resistance Ratio) yaitu nilai yang mencerminkan kekuatan terhadap beban siklik

yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan nilai CSR (Cyclic Stress Ratio) yaitu

nilai tegangan yang disebabkan oleh gempa bumi. Faktor keamanan yang

digunakan tidak boleh kurang dari satu, karena jika kurang dari satu maka tanah

akan mengalami likuifaksi.

FS=

18

Dimana :

jika FS = 1 (kondisi kritis)

jika FS > 1 (tidak terjadi likuifaksi)

jika FS < 1 (terjadi likuifaksi)

2.8.1 Metode Evaluasi CSR

Pada tahun 1971 Seed dan Idriss memformulasikan persamaan untuk rasio

tegangan siklik sebagai berikut :

(

) (

) rd (2.8)

Dimana :

amax : akselerasi puncak horizontal pada permukaan tanah yang disebabkan oleh

gempa

g : gravitasi

σv : tegangan overburden vertikal dan tegangan overburden vertikal efektif

σvo : tegangan overburden vertikal efektif

rd : koefisien tegangan reduksi

Idriss (1999) menunjukan bahwa nilai rd menunjukkan fungsi dari

kedalaman dan earthquake magnitude (Mw). Dan persamaan berikut menunjukkan

hasil dari analisis tersebut

rd = exp ( α(z) + β(z) M) (2.9)

α(z) = -1.012 – 1.126 sin ( ((z)/11.73) + 5.133) (2.10)

β(z) = 0.106 + 0.118 sin ( ((z)/11.38) + 5.412) (2.11)

Dimana :

z : kedalaman dalam meter

Mw : Momen magnitude

19

Persamaan diatas secara matematik dapat diterapkan pada kedalaman < 34m.

Namun ketidakpastian nilai rd dengan meningkatnya kedalaman, maka persamaan

diatas sebenarnya hanya bisa diterapkan pada kedalaman kurang dari 20m.

2.8.2 Metode Evaluasi CRR

Dalam mengevaluasi nilai CRR dilakukan pendekatan perhitungan CRR

yang diambil dari consensus NCEER tentang ketahanan tanah terhadap Likuifaksi

tahun 1998 mengenai analisis likuifkasi dan literatur buku yang dibuat oleh I.M.

Idriss dan R.W. Boulanger yang berjudul “Soil Liquefaction During Earthquake”

tahun 2008

Beberapa uji lapangan telah memperoleh penggunaan umum untuk

evaluasi potensi likuifaksi, termasuk tes penetrasi standar (SPT), cone penetration

tes(CPT), kecepatan gelombang geser pengukuran (Vs), dan tes BPT. Namun

batasan pada tulisan ini hanya pada evaluasi data dari CPT dan SPT

2.8.2.1 Metode Evaluasi CRR Berdasarkan Data SPT

Diambil dari sebuah consensus NCEER tentang ketahanan tanah terhadap

Likuifkasi tahun 1998 mengenai analisis likuifkasi didapatkan metode evaluasi

CRR dengan kriteria untuk evaluasi tahanan likuifaksi berdasarkan nilai SPT telah

digunakan selama bertahun – tahun. Kriteria tersebut sebagian besar diwujudkan

dalam plot kurva antara nilai SPT terkoreksi (N1)60 dan nilai CSR.

Gambar 2.2 Kurva Hubungan CRR dengan nilai SPT terkoreksi dengan M=7.5

Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)

20

Kurva CRR pada grafik ini adalah diposisikan untuk memisahkan daerah

dengan data indikasi likuifaksi dengan data yang menunjukkan non-likuifaksi.

Kurva dikembangkan untuk tanah dengan fines content (FC) sebesar 5%. Kurva

CRR untuk fines content <5% adalah kriteria penetrasi dasar untuk

penyederhanaan prosedur dan selanjutnya disebut sebagai “kurva dasar SPT pasir

murni”.

Persamaan berikut ini dikembangkan oleh I.M. Idriss dan R.W. Boulanger

untuk faktor koreksi (N1)60 penyetaraan clean sand, (N1)60cs :

(N1)60cs = α + β (N1)60 (2.12)

Dimana α dan β adalah koefisien yang didapat dari hubungan persamaan berikut :

α = 0 untuk FC < 5%

α = exp [1.76 – (190/FC2)] untuk 5% < FC < 35%

α = 5.0 untuk FC > 35%

β = 1.0 untuk FC < 5%

β = [0.99 + (FC1.5

/1,00)] untuk 5% < FC < 35%

β = 1.2 untuk FC > 35%

Adapun faktor koreksi lainnya yang dibutuhkan untuk perhitungan (N1)60.

(N1)60 = NMCNCECBCRCS (2.13)

Dimana :

NM : Nilai tahanan penetrasi standar

CN : Faktor normalisasi Nm terhadapt tegangan overburden pada umumnya

CE : Koreksi ratio energy hammer (ER)

CB : Koreksi untuk diameter lubang bor

CR : Faktor koreksi dari panjang batang

CS : Koreksi untuk sampel

21

Berikut adalah tabel koreksi SPT yang dimodifikasi dari Skempton (1986).

Tabel 2.2 Nilai Koreksi untuk Nilai N SPT

Sumber Idriss dan Boulanger (2008)

I.M. Idriss dan R.W. Boulanger tahun 2008 telah memodifikasi nilai dari

beberapa parameter seperti (N1)60 , ∆(N1)60 dan CRR7.5 yang terangkum dalam

persamaan – persamaan berikut :

(N1)60 cs = (N1)60 + ∆ (N1)60 (2.14)

∆ (N1)60 =

– (

)

(2.15)

22

CRR7.5= (

(

)

– (

)

(

)

)

(2.16)

2.8.2.2 Metode Evaluasi CRR Berdasarkan Data CPT

Keuntungan utama dari test CPT adalah tahanan penetrasi profil tanah

yang terus menerus dapat dikembangkan menjadi interpretasi statigrafi. Data yang

dihasilkan oleh CPT umumnya lebih konsisten dan memiliki repeatability yang

baik sehingga data yang didapat relatif mendekati satu sama lain. Statigrafi yang

didapatkan dari CPT memiliki kemampuan lebih dalam interpretasi data tahanan

likuifakasi dibandingkan SPT.

Korelasi empiris telah dikembangkan antara tipe tanah dengan nilai CPT.

Jadi tipe dari tanah dapat ditentukan tanpa menggambil sampel tanah. Gambar2.3

merupakan kurva empiris yang mengkategorikan tanah menjadi sembilan perilaku

tanah yang berbeda.

Gambar 2.3 Grafik Klasifikasi Tanah Berdasarkan qc dan Fr

Sumber Idriss dan Boulanger (2008)

Dalam buku Soil Liquefaction During Earthquake karangan I.M. Idriss

dan R.W. Boulanger diketahui bahwa nilai CRR7.5 sebagai berikut :

23

CRR7.5 = (

(

)

(

)

(

)

) (2.17)

Jika nilai qc1Ncs < 211

CRR7.5 = 2

Jika nilai qc1Ncs > 211

Normalisasi dari tahanan cone penetration didapatkan sebagai berikut :

qc1N = CN

(2.18)

CN = (

)

(2.19)

Dimana :

CN : Faktor Normalisasi tahanan ujung konus

n : eksponen yang bergantung pada jenis tanah

qc : tahanan ujung konus

Korelasi empiris telah dikembangkan antara tipe tanah dengan nilai CPT.

Jadi tipe dari tanah dapat ditentukan tanpa menggambil sampel tanah. Gambar ..

merupakan kurva empiris yang mengkatgorikan tanah menjadi sembilan perilaku

tanah yang berbeda. Rasio friksi CPT (fs) umumnya meningkat dengan

meningkatnya fines content dan sifat plastisitas tanah, yang memungkinkan

perkiraan kasar dari jenis tanah dan finest content dapat ditentukan dari data CPT.

Robertson dan Wride (1998) membuat kembali dengan penyempurnaan grafik

sebelumnya untuk mengestimasi jenis tanah. Batasan antara jenis tanah 2 – 7

dapat diperkirakan dari lingkaran konsentrik dan dapat digunakan untuk

memperhitungkan pengaruh karakteristik tanah terhadap qc1n dan CRR. Jari – jari

lingkaran tersebut, biasa didefinisikan indeks tipe perilaku tanah Ic dihitung dari

persamaan berikut :

Ic = [(3.47 – log Q)2 + (1.22 + log F)

2]0.5

(2.20)

Q = (

) (

)

(2.21)

F = (

) (2.22)

24

Dimana :

Ic : Indek Perilaku Tipe Tanah

Q : Tahanan Konus Ternormalisasi

F : Friction Ratio

fs : Friction Sleeve

Perhitungan nilai ekuivalen normalisasi CPT (qc1N)cs dapat ditentukan

dengan persamaan berikut :

qc1Ncs = qc1N + ∆qc1N (2.23)

∆qc1N = (

) (

(

) ) (2.24)

FC = 2.8 Ic2.6

(2.25)

2.8.3 Faktor Koreksi Untuk data CRR

Pada perhitungan CRR, baik menggunakan data SPT atau CPT, data yang

diperoleh merupakan perhitungan CRR pada Mw=7.5 dan tekanan 1atm

(100KPa). Jika perencanaan menggunakan gempa rencana selain dari momen

magnitude gempa 7.5 maka diperlukan faktor koreksi yaitu Magnitude Scaling

Factor (MSF). CRR juga harus dikoreksi terhadap Overburden Correction

Factor, yaitu faktor koreksi terhadap tegangan overburden sebesar 1atm.

2.8.3.1 Magnitude Scaling Factor (MSF)

Magnitude Scaling Factor digunakan untuk menyesuaikan perhitungan

CRR dengan gempa rencana yang ditentukan dengan nilai CRR7.5. Perhitungan

nilai MSF dapatkan dari persamaan berikut :

MSF = (

) (2.26)

Dengan nilai MSF ≤ 1.8. Nilai MSF yang didapatkan pada rumus diatas

diperlihatkan pada gambar 2.4

25

Gambar 2.4 Magnitude Scaling Factor yang dikembangkan oleh beberapa peneliti

Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)

2.8.3.2 Overburden Correction Factor (Kσ)

Overburden correction factor (Kσ) telah diterangkan oleh Seed(1983)

untuk menyesuaikan nilai CRR tegangan overburden yang didapat dari pengujian

tanah dengan nilai CRR dengan nilai tegangan overburden 1atm (100KPa). Nilai

dari Kσ yang dianjurkan dihitung dengan persamaan berikut :

Kσ = (

) (2.27)

Dimana nilai dari koefisien Cσ bisa didapatkan dari Dr (kerapatan relatif) atau

nilai N penetrasi standar yang telah terkoreksi N1(60).

(2.28)

√ (2.29)

26

Gambar 2.5 Korelasi nilai Kσ dengan tegangan vertikal efektif

Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)