BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/834/2/BAB...

22
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sibling Rivalry pada remaja akhir 1. Pengertian sibling rivalry pada remaja akhir Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus Indonesia-Inggris (2009) disebut sebagai sibling rivalry ini banyak terjadi pada anak-anak. Sibling rivalry adalah keemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Hal ini terjadi pada orang tua yang memiliki anak lebih dari satu (Lusa, 2010). Menurut kamus besar psikologi sibling rivalry adalah satu kompetisi antar saudara kandung, adik dan kakak laki- laki, adik dan kakak perempuan, atau adik perempuan dengan kakak laki-laki (Chaplin, 2006). Menurut Gichara (2006) sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan cemburu diantara saudara kandung. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Shaffer (2002) sibling rivalry adalah suatu kompetisi, kecemburuan dan kebencian antar saudara kandung, yang sering kali muncul saat hadirnya saudara yang lebih muda. Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/834/2/BAB...

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sibling Rivalry pada remaja akhir

1. Pengertian sibling rivalry pada remaja akhir

Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus

Indonesia-Inggris (2009) disebut sebagai sibling rivalry ini banyak terjadi pada

anak-anak. Sibling rivalry adalah keemburuan, persaingan dan pertengkaran

antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Hal ini terjadi pada orang tua

yang memiliki anak lebih dari satu (Lusa, 2010). Menurut kamus besar psikologi

sibling rivalry adalah satu kompetisi antar saudara kandung, adik dan kakak laki-

laki, adik dan kakak perempuan, atau adik perempuan dengan kakak laki-laki

(Chaplin, 2006).

Menurut Gichara (2006) sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan

cemburu diantara saudara kandung. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh

Shaffer (2002) sibling rivalry adalah suatu kompetisi, kecemburuan dan

kebencian antar saudara kandung, yang sering kali muncul saat hadirnya saudara

yang lebih muda.

Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa

terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang

seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan

berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika

pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa

14

berkelanjutan sepanjang hidup anak. Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai

kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah

saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Setiawati,

2007).

Sibling rivalry kerap terjadi pada masa kanak-kanak namun

dimungkinkan berlanjut hingga dewasa (Yulia dan Priatna, 2006). Ketika individu

beranjak pada masa dewasa , individu harus melewati masa remaja akhir.

Menurut Monks (2006) remaja seringkali diartikan sebagai masa transisi dari

masa anak-anak ke masa dewasa. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tapi

tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Monks (2006) juga berpendapat

bahwa remaja dibagi menjadi empat bagian yaitu : pra-remaja usia 10-12 tahun,

masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun, dan

masa remaja akhir usia 18-21 tahun. Menurut Santrock (2011) masa remaja dibagi

menjadi tiga yaitu remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18

tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun..

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas peneliti menarik kesimpulan

mengenai pengertian dari sibling rivalry. Sibling rivalry yang dalam bahasa

Indonesia berarti persaingan antar saudara kandung ini, pengertian lebih lanjutnya

adalah sebuah bentuk persaingan, kecemburuan, kebencian dan kompetisi yang

terjadi diantara saudara kandung baik itu laki-laki atau perempuan pada keluarga

yang memiliki anak lebih dari satu , dikarenakan takut kehilangan kasih sayang

orangtua.

15

2. Aspek-aspek sibling rivalry pada remaja akhir

Menurut Yati dan Mangunsong (2008) aspek-aspek persaingan antar

saudara kandung, yaitu :

a) Aspek komunikasi

Berkaitan dengan tuntutan lingkungan dan orang tua terhadap diri

seseorang seorang anak. Komunikasi yang lancar diantara semua anggota

keluarga baik itu ibu, ayah maupun saudara kandung akan meminimalkan

kemungkinan terjadinya sibling rivalry.

b) Aspek afeksi

Afeksi yang diharapkan oleh seorang anak mencakup pengungkapan

kasih sayang juga perhatian yang diperolah dari orang tua atau keluarga.

Anak akan merasa aman ketika dia dapat mengungkapkan kasih sayangnya

dan juga mendapat perhatian dari kedua orang tuanya.

c) Aspek motivasi

Mencakup motivasi untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan

lingkungan juga keinginan diri. Terkadang tuntutan orang tua terhadap

anaknya akan mempengaruhi motivasi dari anak itu sendiri.

Menurut Hurlock (2002) ada 5 bentuk-bentuk dalam persaingan antar

saudara kandung, yaitu :

a) Tidak mau membantu dan bekerjasama antar saudara kandung.

Biasanya ini terjadi pada seorang kakak yang ketika diminta oleh

adaiknya membantu melakukan sesuatu tetapi sang kakak tidak mau

membantu, menolak bahkan mengabaikan si adik.

16

b) Tidak mau berbagi dengan saudara kandung

Membagi sesuatu itu umum atau biasa terjadi antar saudara kandung.

Terutama pada saudara kandung yang tidak ada sibling rivalry diantara

mereka. Namun bagi mereka saudara kandung yang mengalami sibling

rivalry untuk berbagi dengan saudara kandungnya merupakan hal yang sulit.

c) Adanya serangan agresif terhadap saudara kandung

Serangan-serangan agresif ini biasa terjadi ketika persaingan antar

saudara kandung itu kemudian berubah menjadi perkelahian. Adapun

serangan agresif itu bermacam macam bentuknya : ada agresifitas verbal

yang berupa mengejek, memarahi, berteriak, membentak, dan menuduh

sedangkan agresifitas non verbal biasanya berupa memukul, menendang,

menampar, menjambak rambut, mendorong atau melemparkan sebuah

benda

d) Saling mengadukan kesalahan saudara kandung pada orang tua

Demi mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang

tua, saudara kandung cenderung melakukan segala hal salah satunya adalah

dengan mengadukan kesalahan dari saudaranya dengan tujuan mendapatkan

perhatian orang tua atau penilaian orang tua terhadap saudaranya berubah.

e) Merusak barang milik saudara kandung

Merusak barang milik saudaranya merupakan bentuk persaingan atau

rasa iri yang jelas diperlihatkan pada saudara kandungnya.

Berdasarkan pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

aspek – aspek dari sibling rivalry menurut Yati dan Mangunsong (2008) ada tiga

17

yaitu aspek komunikasi, aspek afeksi dan aspek motivasi sedangkan menurut

Hurlock (2002) aspek dari sibling rivalry dibagi menjadi lima yaitu : tidak mau

membantu dan bekerja sama dengan saudara kandungnya, tidak mau berbagi

dengan saudara kandungnya, adanya serangan agresif terhadap saudara kandung,

saling mengadukan kesalahan saudara kandung kepada orang tua, dan merusak

barang milik saudara kandung. Aspek-aspek sibling rivalry yang akan digunakan

oleh peneliti adalah aspek sibling rivalry menurut Hurlock (2002) karena aspek-

aspek tersebut dinilai oleh peneliti lebih nyata , lebih terperinci dan lebih mungkin

digunakan dalam skala penelitian.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry pada remaja

Menurut Hurlock (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

hubungan antar saudara kandung adalah sebagai berikut, yaitu :

a) Sikap orang tua

Sikap orang tua pada anaknya dipengaruhi oleh sejauh mana anak

mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga

dipengaruhi oleh sikap dan perilaku anak terhadap anak yang lain dan

terhadap orang tuanya.

b) Urutan posisi dalam keluarga

Semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka

diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang

diberikan kepadanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi peran itu peran

yang diberikan, bukan peran yang dipilih sendiri, maka kemungkinan terjadi

perselisihan besar sekali.

18

c) Jenis kelamin saudara kandung

Anak laki-laki dan perempuan bereaksi sangat berbeda terhadap

saudara laki-laki atau perempuan. Misalnya dalam kombinasi perempuan-

perempuan, terdapat lebih banyak iri hati daripada dalam kombinasi laki-

perempuan atau laki-laki. Seorang kakak perempuan kemungkinan lebih

cerewet dan suka mengatur terhadap adik perempuannya daripada adik

lelakinya.

d) Perbedaan usia antar saudara kandung

Perbedaan usia pada saudara kandung akan mempengaruhi cara

mereka bereaksi satu terhadap yang lain dan cara orang tua memperlakukan

mereka. Bila perbedaan usia antar saudara itu besar, baik jika anak berjenis

kelamin sama maupun berlainan, hubungan mereka lebih ramah , koperatif,

dan kasih mengasihi terjalin daripada bila usia mereka berdekatan.

e) Jumlah saudara

Jumlah saudara yang lebih sedikit cenderung menghasilkan hubungan

yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Bila

anak banyak saudara, disiplin cenderung otoriter. Bahkan bila ada

antagonisme dan permusuhan, ekspresi terbuka perasaan ini dikendalikan

dengan ketat. Hal ini tua santaim permisif terhadap perilaku anak,

memungkinkan antagonisme dan permusuhan yang dinyatakan dengan

terbuka, sehingga tercipta suasana yang diwarnai perselisihan.

19

f) Jenis disiplin

Hubungan antar saudara kandung tampak jauh lebih rukun dalam

keluarga yang menggunakan disiplin otoriter dibandingkan dengan keluarga

yang mengikuti disiplin permisif. Bila anak dibiarkan bertindak sesuka hati,

hubungan antar saudara kandung kerap kali menjadi tidak terkendali.

Disiplin yang demokratis dapat mengatasi sebagian kekacauan akibat

disiplin permisif, tetapi dampaknya tidak sebesar disiplin otoriter. Tetapi

secara keseluruhan disiplin demokratis menciptakan hubungan yang lebih

menyenangkan dan sehat.

g) Pengaruh orang luar

Tiga cara orang luar keluarga langsung mempengaruhi hubungan antar

saudara, yaitu kehadiran orang luar di rumah, tekanan orang luar pada

anggota keluarga, dan perbandingan anak dengan saudaranya oleh orang

luar. Hal ini mungkin sekali menimbulkan perselisihan baru atau

memperhebat perselisihan antar saudara yang sudah ada

Selain teori yang dipaparkan oleh Hurlock (2003), adapula teori

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Priatna dan

Yulia (2006). Menurut Priatna dan Yulia sibling rivalry dipengaruhi oleh :

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak-anak.

Adapun jenisnya adalah sebagai berikut :

20

a. Tempramen

Seorang anak yang bertempramen keras akan sulit untuk

mengalah dari saudaranya. Mereka akan selalu berusaha menjadi yang

pertama dan tidak mau dikalahkan oleh saudarannya. Akan lebih baik

jika hanya salah satu dari mereka yang bersaudara yang memiliki

tempramen tersebut tetapi jika keduanya juga memiliki tempramen

tersebut maka mereka akan sering terlibat dalam pertengkaran yang

dan menimbulkan persaingan.

b. Perbedan jenis kelamin

Berbeda jenis kelamin memang bukan hal yang bisa ditentukan

oleh manusia itu sendiri tetapi dengan adanya perbedaan tersebut

mungkin dapat memunculkan kecemburuan. Karena berbeda jenis

kelamin tentunya orng tua akan memperlakukan mereka secara

berbeda. Tidak hanya perlakuan yang berbeda tetapi peran merekapun

akan berbeda.

c. Perbedaan usia

Usia akan membuat tuntutan orang tua terhadap anak menjadi

beraneka ragam disesuaikan dengan usianya. Anak dengan usia yang

lebih tua akan diberi tuntutan yang lebih banyak dibandingkan dengan

anak yang usianya lebih muda. Hal tersebut yang kemudian banyak

menimbulkan kecemburuan dan berkibat pada timbulnya sibling

rivalry.

21

2. Faktor Eksternal

Faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan atau diluar

diri anak-anak, diantaranya adalah

a. Urutan kelahiran

Urutan kelahiran dimungkinkan juga menjadi penyebab

munculnya perilaku sibling rivalry. Anak dengan urutan kelahiran

pertama sebelum memiliki saudara menerima kasih sayang orang

tuanya secara penuh tetapi ketika kehadiran saudara baru mereka

merasakan kasih orang tua mereka mulai berkurang. Hal tersebut yang

kemudian menimbulkan kecemburuan.

b. Jumlah saudara

Semakin banyak jumlah saudara dalam keluarga akan membuat

orang tua sedikit berkurang dalam memperhatikan anak yang satu

dengan yang lainnya, semakin banyak pula cinta yang harus dibagi

pada semua anaknya.

c. Pengetahuan ibu

Seorang ibu yang pengetahuan mengenai sibling rivalryny

rendah akan kesulitan ketika menghadapi anaknya yang berperilku

sibling rivalry. minimnya pengetahuan ibu mengenai hal tersebut

membuat ibu memberikan pemecahan permasalah yang salah atau

tidak sesuai dengan keadaan yang ada.

22

d. Pengaruh orang luar

Pengaruh orang luar dalam artian orang yang bukan anggota

keluarga inti seperti nenek dsb, terkadang justru memperparah kondisi

sibling rivalry yang diciptakan oleh anak-anak. Orang diluar keluarga

inti dapat berpengaruh menurunkan intensitas ataupun menaikkan

intensitas sibling rivalry.

e. Pola asuh

Pola asuh orang tua yang terbagi menjadi 3 yaitu pola asuh

otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Dalam

penelitian ini peneliti memilih pola asuh permisif sebagai objek yang

akan dikaji lebih dalam. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Rofi’ah (2013) dengan tema penelitian “Pola

asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5

tahun”. Dimana hasil penelitian itu mengatakan bahwa ada hubungan

pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5

tahun dengan kekuatan korelasi sebesar 0,608. Adapula penelitian

serupa juga dilakukan oleh Bjorkqvist dkk (2007) dengan tema

penelitian “ Sibling Rivalry Among Adolescents” dengan hasil

penelitian dimana tidak ada perbedaaan antara remaja laki-laki dengan

remaja perempuan terhadap intensitas munculnya perilaku sibling

meskipun dari usia 15 tahun sampai 18 tahun terjdi penurunan

intensitas munculnya perilaku sibling rivalry dari beberapa episode

dalam seminggu hingga sesekali dalam satu bulan.

23

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor

yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Hurlock (2002) adalah sikap orang

tua, urutan posisi dalam keluarga, jenis kelamin saudara kandung, perbedaan usia,

jumlah saudara, jenis disiplin dan pengaruh orang luar, sedangkan menurut

Priatna dan Yulia (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry dibagi

menjadi 2 jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri

atas tempramen, perbedaan usia dan perbedaan jenis kelamin, sedangkan faktor

eksternal terdiri atas nomor urut kelahiran, jumlah saudara, pengaruh orang luar,

pengetahuan ibu serta pola asuh yang lebih spesifik menjadi pola asuh permisif .

Faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Priatna dan Yulia

(2006) dipilih peneliti sebagai kajian dalm penelitian ini dikarenakan faktor-faktor

tersbut dirasa lebih mendekati dengan data yang didapat peneliti dilapangan.

Faktor yang mempengaruhi sibling rivalry pada remaja yang akan dipilih oleh

peneliti sebagai variabel penelitian adalah pola asuh permisif yang kemudian

dikaitkan dengan persepsi, dan dijadikan variabel penelitian sebagai persepsi

terhadap pola asuh permisif.

4. Sibling Rivalry pada Remaja Akhir

Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus Indonesia-

Inggris (2009) disebut sebagai sibling rivalry ini banyak terjadi pada anak-anak.

Sibling rivalry adalah keemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara

laki-laki dan saudara perempuan. Hal ini terjadi pada orang tua yang memiliki

anak lebih dari satu (Lusa, 2010). Menurut kamus besar psikologi sibling rivalry

24

adalah satu kompetisi antar saudara kandung, adik dan kakak laki- laki, adik dan

kakak perempuan, atau adik perempuan dengan kakak laki-laki (Chaplin, 2006).

Menurut Gichara (2006) sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan

cemburu diantara saudara kandung. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh

Shaffer (2002) sibling rivalry adalah suatu kompetisi, kecemburuan dan

kebencian antar saudara kandung, yang sering kali muncul saat hadirnya saudara

yang lebih muda.

Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa

terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang

seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan

berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika

pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa

berkelanjutan sepanjang hidup anak. Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai

kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah

saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Setiawati,

2007).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas peneliti menarik kesimpulan

mengenai pengertian dari sibling rivalry. Sibling rivalry yang dalam bahasa

Indonesia berarti persaingan antar saudara kandung ini, pengertian lebih lanjutnya

adalah sebuah bentuk persaingan, kecemburuan, kebencian dan kompetisi yang

terjadi diantara saudara kandung baik itu laki-laki atau perempuan pada keluarga

yang memiliki anak lebih dari satu, dikarenakan takut kehilangan kasih sayang

orangtua

25

Sibling rivalry kerap terjadi pada masa kanak-kanak namun dimungkinkan

berlanjut hingga dewasa (Yulia dan Priatna, 2006). Ketika individu beranjak pada

masa dewasa , individu harus melewati masa remaja akhir. Menurut Monks

(2006) remaja seringkali diartikan sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke

masa dewasa. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tapi tidak pula

termasuk golongan orang dewasa. Monks (2006) juga berpendapat bahwa remaja

dibagi menjadi empat bagian yaitu : pra-remaja usia 10-12 tahun, masa remaja

awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun, dan masa remaja

akhir usia 18-21 tahun. Menurut Santrock (2011) masa remaja dibagi menjadi tiga

yaitu remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun dan

masa remaja akhir 18-21 tahun.

Menurut Erikson (Santrock, 2011) remaja akhir yang berada dalam tahap

kelima teori kehidupan merupakan individu yang memiliki karakter ingin diakui

dan dianggap keberadaannya oleh orang-orang disekitarnya. Hal tersebut erat

kaitannya dnegan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja akhir yaitu

menguasi kemampuan membina hubungan yang lebih matang dengan teman

sebaya atau lawan jenis, menguasi kemampuan melaksanakan peranan sosial

sesuai dengan jenis kelamin, menerima keadaan fisik dan mengaktualisasikan

secara aktif, mencapai kemerdekaan emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya (Havinghurst dalam Prayitno, 2006).

Remaja akhir memiliki emosi yang berbeda bila dibandingkan dengan

individu pada masa kanak-kanak (Hurlock, 2002). Emosi-emosi yang biasa terjadi

pada kalangan remaja akhir yaitu emosi marah, takut, khawatir, cemburu, iri hati,

26

afeksi bahagia dan rasa ingin tahu (Hurlock, 2002). Remaja akhir mudah marah

jika dianggap sebagai anak kecil karena remaja kahir pada tahan tersebut sangat

ingin dianggap sebagai orang dewasa (Hurlock, 2002).

Sibling rivalry dapat terjadi pada remaja dikarenakan remaja mengalami

ketakutan apabila saudaranya menjadi lebih unggul bila dibandingkan dengan

dirinya. Ketakutan pada diri remaja mengarah pada hal-hal yang abstrak. Remaja

akhir mengalami ketakutan jika dirinya tidak diterima oleh anggota kelompok

sehingga remaja berusaha menjadi lebih unggul agar dapat diterima dan dinilai

baik oleh orang-orang disekitanya terutama orang tuanya (Hurlock, 2002).

Tidak hanya ketakutan saudara kandungnya akan menjadi lebih unggul

salah satu alasan sibling rivalry dapat terjadi pada remaja adalah karena

kekhawatiran remaja akhir berkaitan dengan status pergaulan sosial (Hurlock,

2002). Remaja akhir akan berlomba mendapatkan status yang kemudian akan

membuiat remaja akhir bangga akan dirinya, sebaliknya apabila remaja akhir tidak

berusaha mendapatkan status maka remaja kahir khawatir dirinya tidak akan

diterima oleh lingkungan sosialnya. Remaja akhir yang terlibat sibling rivalry

dengan saudara kandungnya akan cenderung menampakkan rasa cemburu yang

dimiliki dan melakukan penolakan atas lingkungan yang tidak sesuai dengan

egonya (Shiebler, 2003).

Menurut Boyle (dalam Vevandi dan Tairas, 2015) sibling rivalry adalah

perilaku antagonis atau permusuhan yang terjadi antar saudara kandung yang

sering kali ditandai dengan perselisihan dalam memperebutkan waktu, perhatian,

cinta dan kasih sayang dari kedua orang tua. Untuk memperoleh perhatian orang

27

tua tidak jarang remaja akhir membesar-besarkan suatu hal dengan menceritakan

saudaranya secara hiperbola kepada orang tuanya. Sibling rivalry pada remaja

akhir dapat memunculkan perilaku negatif yang berupa agresifitas. Hanya saja

agresifitas pada masa remaja akhir berbeda dnegan agresifitas pada masa kanak-

kanak. Pada masa remaja akhir agresifitas yang dimunculkan lebih banyak berupa

agresifitas verbal (Shiebler, 2003). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Bjorkqvist dkk (2007) dengan tema penelitian “ Sibling Rivalry Among

Adolescents” dengan hasil penelitian dimana tidak ada perbedaaan antara remaja

laki-laki dengan remaja perempuan terhadap intensitas munculnya perilaku sibling

rivalry meskipun dari usia 15 tahun sampai 18 tahun terjadi penurunan intensitas

munculnya perilaku sibling rivalry dari beberapa episode dalam seminggu hingga

sesekali dalam satu bulan.

B. Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif

1. Pengertian persepsi terhadap pola asuh permisif

Menurut Robbins (2003) persepsi adalah kesan yang diperoleh oleh

individu melalui panca indra kemudian dianalisis (diorganisir), diintepretasi dan

kemudian di evaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Pendapat

serupa juga dikemukakan oleh Purwodarminto (1999) persepsi adalah tanggapan

langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal

melalui pengindraan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli,

peneliti menyimpulkan persepsi adalah hasil berupa kesan yang diperoleh melalui

panca indra setelah diproses, intepretasi dan dievaluasi oleh individu. Dalam

penelitian ini objek persepsi yang dikaji adalah pola asuh permisif.

28

Jenis pola asuh permisif adalah pola asuh yang diterapkan orang tua

dimana orang tua memberikan kebebasan yang lebih pada anak tanpa adanya

bimbingan dan arahan dari orang tua (Hurlock, 2002). Selain itu menurut Hurlock

(2002) pada pola asuh permisif ini anak yang akan lebih mendominasi hubungan

antara orang tua dan anak, bahkan anak akan lebih sering terlihat menekan orng

tua dibandingkan dengan sebaliknya.

Lain halnya dengan Santrock (2011) yang membagi pola asuh permisif

menjadi 2 jenis yaitu pola asuh permisif indifferent dimana orang tua benar-benar

tidak peduli bahkan ikut campur terhadap kehidupan anak sehingga anak dalam

kehisdupan sosialnya menjadi tidak terkendali. Orang tua mengembangkan pola

asuh tersebut dikarenakan orang tua menganggap ada lebih banyak aspek

kehidupan lainnya yang lebih penting dari pada kehidupan anak. Yang kedua

adalah pola asuh permisif indulgen yang artinya orng tua sangat terlibat dalam

kehidupan anaknya tetapi orang tua tidak memberikan batasan atau aturan kepada

si anak. Orang tua membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka sukai

dan mereka sehingga mengakibatkan anak menjadi kurang terkendali sikapnya,

cenderung manja dan selalu menuntut orang tua menuruti setiap permintaanya.

Pola asuh permisif lebih sering diciptakan oleh orang tua yang terlalu

baik kepada anak. Para orang tua akan memberikan kebebasan pada anak mereka

serta menerima dan memaklumi perilaku anak mereka, tetapi para orang tua

dengan pola asuh permisif ini kurang memberikan tuntutan tanggung jawab dan

perilaku yang baik sesuai dengan lingkungan (Lestari, 2012).

29

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi

terhadap pola asuh permisif adalah sebuah kesan mengenai pola asuh yang

diterapkan orang tu dalam kehidupan sehari-hari yang diperoleh oleh remaja

melalui panca indra, kemudian diinterpretasikan sebagai cara orang tua dalam

membimbing lebih erat lagi kaitannya dengan aturan dan kebebasan yang

diterapkan oleh orangtua.

2. Aspek-Aspek Persepsi Pola Asuh Permisif

Aspek-aspek persepsi pola asuh permisif dalam penelitian ini mengacu

pada aspek-aspek objek persepsi yaitu pola asuh permisif. Menurut Hurlock

(2002) aspek-aspek pola asuh permisif dirumuskan sebagai berikut:

a) Kontrol terhadap anak kurang

Hal ini lebih erat kaitannya dengan orangtua yang tidak memberikan

aturan yang mengikat kepada anak mengenai segala hal termasuk cara

bersikap atau berperilaku yang sesuai dengan norma masyarakat. Pada

aspek ini orang tua juga tidak memperdulikan kepada siapa anak mereka

berteman.

b) Pengabaian keputusan

Orang tua tidak merasa perlu ikut campur dalam kehidupan anak-anak

mereka. Orang tua akan membiarkan anak mereka membuat keputusan baik

itu keputusan besar ataupun keputusan kecil. Maka dari itu anakpun tidak

merasa perlu meminta pertimbangan orang tua ketika mereka akan membuat

sebuah keputusan.

30

c) Orang tua bersifat masa bodoh

Orang tua tidak akan memberikan hukuman kepada anak mereka yang

melanggar aturan atau norma. Orang tuapun tidak merasa perlu

memperdulikan anak-anak mereka baik itu ketika anak mereka berbuat baik

ataupun membuat kesalahan. Orang tua akan sangat mengabaikan anak-anak

mereka.

d) Pendidikan bersifat bebas

Pendidikan yang diberikan orang tua lebih pada keinginan anak

mereka. Mereka tidak akan memberikan nasihat atau referensi mengenai

pendidikan yang harus diterima oleh anak-anakny. Pendidikan agama dn

norma menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh orang tua dengan pola

asuh permisif.

Berdasarkan uraian aspek-aspek sibling rivalry dari Hurlock (2002)

kontrol terhadap anak kurang, pengabaian keputusan, orang tua bersikap masa

bodoh, dan pendidikan yang bersifat bebas. Aspek-aspek tersebut yang kemudian

akan digunkan peneliti pada penelitian ini. Alasan peneliti memilih aspek tersebut

dikarena aspek-aspek tersebut yang lebih mendekati keadaan lingkungan tempat

peneliti akan melakukan penelitian.

C. Hubungan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif dengan Sibling

Rivalry pada remaja akhir.

Setiap informasi yang diperoleh oleh individu akan diperoses dan

dipersepsikan sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan individu tersebut.

persepsi sendiri merupakan suatu tanggapan langsung atau serapan dari sutu

31

proses pengolahan informasi yang diperoleh melalui panca indra (Purwodarminto,

1999). Pola asuh permisif merupakan objek kajian dari persepsi itu sendiri. Pola

asuh permisif menurut Hurlock (2002) dijelaskan sebagai suatu jenis pola asuh

yang diterapkan orang tua, dimana orang tua memberikan kebebasan yang lebih

pada anak tanpa adanya bimbingan dan arahan dari orang tua.

Persepsi remaja akhir terhadap pola asuh orang tua, dimana pola asuh

tersebut diterima dan diserap remaja melalui proses pengindraan akan

menghasilkan penilaian remaja akhir terhadap pola asuh yang diterima. Persepsi

terhadap pola asuh permisif ini dapat menimbulkan respon negatif dan juga

respon positif yang berkaitang dengan hubungan antar saudara kandung. Hal ini

didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rofi’a (2013) dengan tema

penelitian “Pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5

tahun” dimana hasil penelitian menyebutkan ada korelasi antara pola asuh dengan

kejadian sibling rivalry.

Respon negatif yang dimungkinkan timbul akibat persepsi terhadap pola

asuh permisif adalah meningkatnya kejadian sibling rivalry. sibling rivalry adalah

sikap bermusuhan dan cemburu diantara saudara kandung (Gichara, 2006).

Sibling rivalry juga diartikan sebagai persaingan antar saudara kandung yang

biasa terjadi pada masa kanak-kanak dan akan berangsur-angsur berkurang seiring

meningkatnya kedewasaaan seseorang (Haritz, 2008). Namun hal tersebut

dimungkinkan pula akan berlanjut hingga usia dewasa jika persepsi anak terhadap

pola asuh permisif yang diterapkan orang tua merupakan persepsi yang negatif.

Persepsi negatif akan membentuk sebuah respon negatif pula (Haritz, 2008).

32

Respon negatif tersebut muncul dikarenakan orang tua dengan pola asuh

permisif akan cenderung tidak memperdulikan anak-anaknya, sehingga anak akan

melakukan apapun untuk memperoleh perhatian dari orangtua mereka (Santrock,

2011). Pola asuh permisif yang diterapkan orang tua akan membuat orang tua

kurang memberikan kontrol terhadap anak-anak mereka termasuk ketika anak-

anak bertengkar dengan saudara kandungnya (Rofi’a, 2013).

Hurlock (2002) memaparkan dalam pola asuh permisif memiliki empat

aspek yatu kontrol terhadap anak kurang, pengabaian keputusan, orang tua

bersifat masa bodoh dan pendidikan yang bersifat bebas. Aspek pola asuh

permisif yang pertama adalah kontrol terhadap anak kurang yang diartikan

sebagai orang tua tidak melibatkan kuasanya terhadap anak. Orang tua cenderung

membebaskan dan tidak menentang kemauan anak, dalam hal ini orang tua tidk

memperdulikan kepada siapa anak mereka berteman. Kontrol yang kurang dari

orang tua terhadap anaknya dimungkinkan anak meningkatkan kejadian sibling

rivalry dikarena tanpa kontol dari orang tua, anak-anak akan bersikap sesuka hati

kepada saudara mereka (Fleming, 2007). Tingkat persaingan akan menjadi

semakin tinggi dikarenakan anak merasa tidak adanya keadilan dan kebijaksanaan

dari orang tua terhadap perbuatan yang mereka lakukan.

Aspek pola asuh permisif yang kedua adalah pengabain keputusan.

Pengabaian keputusan ini orang tua kan memberikan kebebasan pada anak-

anaknya dalam membuat keputusan tanpa perlu memberikan pertimbangan atau

nasihat berkaitan dengan keputusan tersebut (Hurlock, 2002). Ketika anak-anak

terlibat sibling rivalry dengan saudara mereka, orang tua mereka tidak akan

33

memberi nasihat atau mengingatkan jika hal tersebut tidak sebaiknya dilakukan.

Hal yang tersebut yang kemudian menjadikan anak bertindak dan membuat

keputusan mengenai saudara mereka sesuka hati. Mereka tidak akan segan-segan

membuat keputusan menyakiti saudara mereka, karena mereka paham orang tua

mereka akan selalu mengikuti setiap keputusan yang dibuat.

Aspek pola asuh permisif yang ketiga adalah orang tua bersifat masa

bodoh. Bersifat masa bodoh ini dikarenakan orang tua merasa ada hal lain yang

lebih penting didunia ini selain anak-anak mereka (Hurlock, 2002). Anak-anak

tanpa teguran dan nasihat dari orang tua akan menjadi tidak terkendali sikap dan

perilaku mereka terhadap orang lain termasuk saudara kandung mereka. Sibling

rivalry akan menjadi tidak terkontrol lagi ketika orang tua bersifat masa bodoh

dan tidak memperdulikan kehidupan anak-anak mereka. Anak dengan kekuasan

yang lebih akan semakin menindas saudara mereka yang lemah, terlebih orang tua

mereka yang tidak memperdulikan segala hal yang terjadi pada anak-anak mereka

(Fleming, 2007).

Yang terakhir adalah aspek pendidikan yang bersifat bebas, dimana

orang tua membiarkan anak-anak mereka memilih pendidikan yang mereka sukai.

Pendidikan tentunya akan membut pola berpikir anak yang berubah. Baik itu

pendidikan yang sesuai ataupun yang tidak sesuai dengan anak-anak. Sibling

rivalry menjadi tinggi intensitasnya ketika anak tidak memperoleh pendidikan

yang baik mengenai hubungan antar saudara kandung, norma dan agama. Anak-

anak menjadi tidak memiliki pegangan atau pandangan hidup yng baik. mereka

hanya akan berpegang pada prinsip dan aturn yang mereka buat (Hurlock, 2002).

34

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi tergadap

pola asuh permisif memiliki hubungan positif dengan perilaku sibling rivalry.

Persepsi terhadap pola asuh permisif dapat menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan meningkatnya perilaku sibling rivalry, dikarenakan orang tua

dengan pola asuh tersebut orang tua membebaskan anak-anaknya dalam berbuat

maupun mengambil keputusan.

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis terdapat

hubungan yang positif antara persepsi terhadap pola asuh permisif dengan sibling

rivalry remaja akhir. Artinya semakin permisif pola asuh dipersepsikan oleh

remaja akhir maka perilaku sibling rivalry pada remaja akhir akan cenderung

semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tidak permisif pola asuh dipersepsikan oleh

remaja maka perilaku sibling rivalry pada remaja akhir akan cenderung semakin

rendah.