BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga-lembaga pemerintahan baru dan penguatan lembaga-lembaga yang telah ada (Fukuyama, 2004). Persoalan utama yang sedang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah peran kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan sentralistik ke paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari pergeseran ini adalah lahirnya reformasi kebijakan disemua sektor pembangunan. Akibat lahirnya kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya memberikan dampak posistif terhadap pembangunan tetapi juga membuka peluang lahirnya pembangunan yang eksploitatif bagi sumberdaya alam (Ngakan at al. 2005). Reformasi kelembagaan terjadi akibat desakan kebutuhan akan pembangunan. Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra untuk pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan mengelola pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan daerah. Pelimpahan kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan keputusan sektoral, yang mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat cukup membatasi pada tugas berskala nasional, sedangkan tugas berskala daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pembagian keuangan dan personalia negara (financial and manpower sharing) antara pusat dan daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya (political, and social cultural power) kepada daerah (Salam 2004). Peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal memiliki posisi yang sangat urgen. Pengelolaan Sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu sampai saat ini belum memiliki konstribusi nyata dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Aktivitas manusia baik yang tinggal dipegunungan maupun yang berdiam di pesisir semunya menyumbang proses

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga-lembaga pemerintahan

baru dan penguatan lembaga-lembaga yang telah ada (Fukuyama, 2004).

Persoalan utama yang sedang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah peran

kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan sentralistik ke

paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari pergeseran ini adalah

lahirnya reformasi kebijakan disemua sektor pembangunan. Akibat lahirnya

kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya memberikan dampak posistif terhadap

pembangunan tetapi juga membuka peluang lahirnya pembangunan yang

eksploitatif bagi sumberdaya alam (Ngakan at al. 2005).

Reformasi kelembagaan terjadi akibat desakan kebutuhan akan

pembangunan. Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan

antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra untuk

pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan mengelola

pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan daerah. Pelimpahan

kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan keputusan sektoral, yang

mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat cukup membatasi pada tugas

berskala nasional, sedangkan tugas berskala daerah diserahkan kepada pemerintah

daerah. Kedua, pembagian keuangan dan personalia negara (financial and

manpower sharing) antara pusat dan daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan

politik, adat dan budaya (political, and social cultural power) kepada daerah

(Salam 2004).

Peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal memiliki

posisi yang sangat urgen. Pengelolaan Sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu

sampai saat ini belum memiliki konstribusi nyata dalam pembangunan daerah

bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang

memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya

membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi

sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan

masyarakat pesisir dan nelayan. Aktivitas manusia baik yang tinggal

dipegunungan maupun yang berdiam di pesisir semunya menyumbang proses

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

degradasi lingkungan hidup dikawasan pinggiran laut. Diantara semua aktivitas

tersebut, pertanian (akibat aplikasi pestisida dan pupuk kimia) dan pertambangan

(misal: pertambangan emas) memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi

pencemaran pesisir. Ancaman yang nyata bukan saja kerusakan ekosistem,

melainkan ancaman terhadap kualitas dan kuantitas penyediaan pangan berbasis

kelautan. Persoalan lain adalah perubahan tataguna lahan pesisir akibat proses

kapitalisme sumberdaya alam pesisir seperti tampak pada konversi hutan

mangrove ke pertambakan yang mengubah ekosistem pesisir secara radikal

(Dharmawan, 2009).

Akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya jika tidak diatur

dengan kebijakan dan regulasi yang berpihak terhadap kelestarian dan

keberlanjutan akan menimbulkan dampak eksploitasi terhadap sumberdaya.

Dalam beberapa kasus, sumberdaya pesisir seringkali mendapat beban yang

sangat berat, selain karena posisinya yang berada didaerah hilir, juga struktur

wilayahnya yang sangat terbuka dan selama ini tidak mendapat prioritas

pembangunan akibat paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Lahirnya

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai

perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia.

Semangat otonomi yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah

desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom.

Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut wilayah otonom

dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota (Bengen, 2009).

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menjelaskan bahwa setiap pemerintah

dan masyarakat di wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan

sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan

sumberdaya alam pesisir dan laut dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan

kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila

daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa

memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Bengen, 2009).

Selanjutnya, tata kelola pemerintah daerah dihadapkan pada realitas politik yaitu

perseteruan dan persaingan antar pemerintah daerah dalam mengeksploitasi

sumberdaya alam sebagai akibat rejim otonomi daerah. Selain itu eco-governance

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

pemerintah daerah sangat buruk sementara desakan jebakan hutang yang diderita

Indonesia dalam tinjaun ekonomi politik menyebabkan proses eksploitasi dan

penghancuran sumberdaya alam dan lingkungan akan makin intensif ke depan

(Dharmawan, 2009).

2.1. Pengertian Wilayah Pesisir

Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah

pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering

maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

surut, angin laut dan perembesan air asin. Kearah laut mencakup bagian laut yang

masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan

aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan

pencemaran (Brahtz 1972; Soegiarto 1976 dalam Direktorat Jenderal Pesisir dan

Pulau Kecil, 2003). Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pengertian wilayah pesisir

adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh

perubahan didarat dan laut.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 ditegaskan

bahwa Perairan pesisir dan laut yang berbatasan dengan daratan melipurti periaran

sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang

menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuaria teluk, perairan dangkal, rawa

payau dan laguna. (Beatly 1994 dalam Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Kecil

2003). Dahuri et al. (1996) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah

perairan antara daratan dan lautan dimana ke arah darat adalah jarak secara arbiter

dan rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah

propinsi atau state di suatu Negara. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan

antara daratan dan perairan laut. Secara fisiologi didefinisikan sebagai wilayah

antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut

air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta

dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang

materinya berupa kerikil.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

Menurut Dahuri et al. (1996), dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di

batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, kearah darat wilayah ini mencakup

daerah-daerah dimana proses-proses oseanografi (angin laut, pasang-surut,

pengaruh air laut dan lain-lain) yang masih dapat dirasakan pengaruhnya. Kedua,

kearah laut daerah-daerah dimana akibat proses-psoses yang terjadi di darat

(sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar, dan lain-lain), maupun yang

disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan

pencemaran. Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air

yang berasal dari daratan yang relative tinggi (elevasi landai, curam atau sedang)

dengan masa air laut yang relative rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya.

Karakteristik yang demikian oleh Ghofar (2004), dinyatakan bahwa secara

alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrien (nutrient trap).

Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi perusakan lingkungan secara massif karena

pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran

(pollutants trap).

2.2. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir

Kawasan pesisir di Indonesia terkenal dengan kekayaan dan

keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber alam yang dapat pulih

(renewable) maupun yang tidak dapat pulih (unrenewable). Sumber daya alam

pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta

di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan

pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pengembangan

wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah

peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi

sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996).

Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk

memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk meregulasi

pemanfaatannya.

Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan

dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri et al.

(2001), potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

yakni (1) Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2) Sumberdaya

tidak dapat pulih (unrenewable resources), (3) Energi lautan dan (4) Jasa-jasa

lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih

terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove,

terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine

culture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian,

minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (ocean thermal

energy convertion), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang

termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa

kewenangan kabupaten kota untuk mengelola sumberdaya wilayah laut sepertiga

dari kewenangan provinsi 12 (dua belas) mil yang meliputi kewenangan

eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung

jawab untuk melestarikannya. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil juga menjelaskan secara tegas

tentang pengertian sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yakni sumberdaya

hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan.

Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbuh karang, Padang lamun, mangrove

dan biota laut lain. Sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar

laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan

dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar

laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta

energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.

2.3. Pengertian Kelembagaan

Secara umum (Parsons dalam Scott, 1993) mengemukakan bahwa

kelembagaan kultural adalah hubungan antara organisasi dan lingkungannya

dengan sistem nilai yang terlembagakan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa dimensi

kelembagaan oleh individu adalah kesepakatan-kesepakatan norma yang

kemudian menjadi dasar untuk setiap tindakan individu. Kelembagaan adalah

sebuah sistem norma yang membatasi relasi individu atau organisasi. Pada

komunitas-komunitas bahari, di negara-negara berkembang termasuk indonesia,

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

terdapat sekurang-kurangnya empat kelembagaan atau pranata tradisional

(traditional institution) yang tetap bertahan, yaitu pranata kekerabatan

(kinsip/domestic institution), pranata agama atau kepercayaan (religious

institution), pranata ekonomi (economic institution), dan pranata pendidikan

(education institution) (Kusnadi, 2002).

Ketentuan pokok kelembagaan pemerintah daerah adalah menyangkut

mekanisme, bentuk dan susunan kelembagaan daerah beserta perangkatnya.

Ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

Kelembagaan daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2003. Isu

utama dalam penataan kelembagaan di daerah adalah pada jumlah yang

diperkenankan bagi setiap daerah untuk membentuk instansi baik berupa dinas,

badan, kantor maupun bagian. Berdasarkan PP No. 8 tahun 2003 ini, kriteria

penataan organisasi perangkat daerah didasarkan atas perhitungan skor penetapan,

di mana faktor-faktor umum yang diperhatikan diantaranya luas wilayah, jumlah

penduduk, ratio belanja pegawai dalam APBD, jumlah kecamatan dan desa, serta

aspek karakteristik daerah pengembangan atau pertumbuhan. Namun demikian,

kriteria yang dikembangkan ini tidak mencerminkan realitas teknis yang menjadi

tugas dari setiap lembaga yang akan dibentuk sehingga hasil perhitungan yang

diperoleh juga sering tidak mendasari perlunya pembentukan suatu satuan

birokrasi tertentu (Dwiyanto et al. 2005).

Kelembagaan pemerintah daerah adalah kelembagaan yang ada didalam

daerah. Sedangkan perangkat daerah adalah organisasi atau lembaga pemerintah

daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Perangkat daerah terdidri atas sekertariat daerah, dinas daerah,

lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan desa (Ambordi dan

Prihawantoro 2002). Selanjutnya, Dorward et al. (1998) dalam (Kartodiharjo dan

Jhamtani, 2006) mengatakan bahwa penataan kelembagaan merupakan upaya

untuk mengurangi biaya transaksi. Dalam pembangunan ekonomi, biaya transaksi

mengakibatkan penyimpangan perilaku yang akhirnya menimbulkan ekonomi

biaya tinggi. Ketidakseimbangan pemilikan hak, dan penguasaan terhadap

sumberdaya alam, ketidakseimbangan informasi akan menentukan biaya transaksi,

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

dan ukuran biaya transaksi menentukan perilaku serta pengambilan keputusan

individu atau organisasi.

Penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan

seharusnya memadukan pengetahuan tentang ekosistem dan sumberdaya alam

dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan. Pengetahuan tersebut bukan

hanya berkaitan dengan keterbatasan daya dukung, melainkan juga sifat-sifatnya

yang kemudian dapat diklasifikasikan sebagai private goods, club goods, common

pool goods dan public goods (Ostrom 1977) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani,

2006). Pengetahuan ini menentukan ketepatan kelembagaan. Misalnya,

kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods didasarkan pada beberapa

prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya, teknologi yang digunakan

dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun

pengakuan oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pengetahuan mengenai karakteristik

sumberdaya alam dapat diadopsi menjadi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam

sangat tergantung pada tata pemerintahan dan transaksi-transaksi politik yang

menentukan peraturan perundangan serta ketepatan kebijakan dalam

mengintervensi struktur pasar. Lebih jauh peraturan-perundangan menentukan

hak-hak yang diterima masyarakat dalam pengambilan keputusan, pada saat yang

sama pengambilan keputusan mereka dipengaruhi pertimbangan untung-rugi serta

kemampuan dan kapasitas untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut.

Dalam kondisi demikian dinamika dan transaksi akan tumbuh di dalam

kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Salah satu indikator terdapatnya masalah dalam kelembagaan adalah

dengan melihat kinerja yang dihasilkan oleh kelembagaan. Apabila hasilnya

berupa kerusakan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup, maka dapat

diduga ada masalah dalam lembaga bersangkutan, informasi antara pelaku tidak

seimbang, kapasitas tidak seimbang, masalah dalam hal menetapkan hak atas

sumberdaya alam, perilaku menyimpang- rent seeking dan rent seizing (Ross

2001 dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Semuanya disebabkan

oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan politik antara pemerintah,

pelaku usaha komersial (swasta) dan masyarakat madani. Hubungan Hubungan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan

keputusan dapat di lihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat saat ini semakin dipengaruhi

mekanisme pasar, sementara hak atas sumberdaya alam serta kapasitas

masyarakat untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya sangat minim. Beberapa

contoh mengenai pertambangan emas tanpa ijin (PETI), pencurian kayu dan

penjarahan hutan, penangkapan ikan berlebihan menunjukkan keadaan tersebut.

Sementara itu implementasi perundang-undangan yang dilaksanakan dengan

pendekatan sektoral cenderung meningkatkan eksploitasi, bukan mengendalikan

kerusakan sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

2.4. Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan

Kinerja pembangunan sumberdaya alam dewasa ini tidak dapat dilepaskan

dari dua kejadian penting, yaitu krisis ekonomi dan pelaksanaan otonomi daerah.

Akar krisis ekonomi telah membuka mata mengenai besarnya korupsi dan kolusi

yang melingkupi seluruh sendi kehidupan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan

yudikatif); sementara (awal) pelaksanaan otonomi daerah menghadirkan persoalan

governance, khususnya menyangkut kewenangan pemanfaatan sumberdaya alam,

yang masih sulit diprediksi arah penyelesaiannya (Fahmi et al. 2003).

PERATURAN PERUNDANGA

N

Hak atas Sumberdaya

Alam

PENGETAHUAN

Komoditi -Private goods Daya dukung -Common pool

goods Bentang -Public goods Alam(stock)

Karakteristik Ekosistem Sumberdaya Alam

Norma, Etika,

SIKAP

KAPASIT

Modal, Teknologi, Informasi

PENGAMBILAN

KEPUTUSAN

PERTIMBANGAN UNTUNG-

RUGI

Struktur Pasar

PERTIMBANGAN UNTUNG-

RUGI

PASAR DALAM NEGERI DAN

GLOBAL

TATA

Yudikatif

Eksekutif Legislatif

KINERJA : Kerusakan Sumberdaya Alam dan Degradasi Lingkungan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam

dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dengan tetap

terjaganya fungsi lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan

sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh

perubahan didarat dan laut.

Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati,

sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati meliputi ikan,

terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya

nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi

infstruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan dan jasa-jasa

lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah

air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang

terdapat di wilayah pesisir.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir

adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan

eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk mencegah hal ini berlanjut, adanya

kelembagaan yang kuat dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi

keniscayaan bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir

(Bengen, 2009).

Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem,

organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan perundang-undangan

yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir semestinya dapat mengurangi

tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir,

keselarasan peran antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Pengaturan

pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum yang berfungsi preventif

menjaga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati.

Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya

keanekaragaman hayati laut adalah : (1) Pemanfaatan berlebih (over eksploitation)

sumberdaya hayati, (2) Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang

merusak lingkungan, (3) Perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) Pencemaran,

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

(5) Introduksi spesies asing, (6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan

pembangunan lainnya, (7) Perubahan iklim global serta bencana alam (Dahuri,

2001).

Kepemilikan sumberdaya alam bersifat kompleks. Di satu pihak ada

bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan

kerugian bagi masyarakat banyak (public benefit/cost), di pihak lain sumberdaya

alam dapat berupa komoditi (private goods) yang manfaatnya hanya dinikmati

oleh perorangan. Karena itu, tersedia pilihan-pilihan bentuk hak-hak (rights) –

lazim disebut rejim hak (regimes of property rights) terhadap sumberdaya alam,

berkisar dari yang dikuasai negara (state property), diatur bersama didalam suatu

kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common property), atau berupa

hak individu (private property) (hanna, dkk. 1996 dalam Hariadi Kartodiharjo dan

Jhamtani, 2006). Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan

sumberdaya alam dan menentukan keterkaitan serta ketergantungan antara

kelompok masyarakat tertentu dengan lainnya (Bromley 1991 dalam Kartodiharjo

dan Jhamtani, 2006).

Kesadaran nilai strategis dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara

berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang

dihargainya hak masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir

seperti sasi, mane’e, panglima laot dan awig-awig, terbatasnya ruang partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip

pengelolaan pesisir belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari

berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaannya belum mampu mengeliminasi

faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada

sumberdaya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumberdaya non

hayati disubstitusi dengan sumberdaya lain (Kusnadi, 2002).

Aspek kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di era otonomi daerah

perlu mendapatkan perhatian serius dan pengkajian mendalam. Masalah

pengelolaan sumberdaya pesisir mengalami bentuk aktualitas baru dan relevan

menjadi objek kajian. Terdapat kerancuan pemahaman bahwa pemerintah daerah

seringkali mempunyai persepsi bahwa pelaksanaan otonomi daerah identik

dengan kewenangan dan keleluasaan semata. Bahkan terdapat persepsi yang

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

berpandangan bahwa otonomi daerah hanya ditekankan pada upaya memperbesar

pendapatan daerah. Pemerintah daerah hanya cenderung mengedepankan upaya

memperoleh dan memperbesar sumber-sumber pendapatannya tanpa

memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya.

Perlunya pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

pengelolaan sumberdaya pesisir kepada pemerintah daerah adalah untuk

mencegah timbulnya konflik antara pemerintah daerah dan masyarakatnya yang

mengambil manfaat dari sumberdaya pesisir. Oleh karenanya, peraturan

perundang-undangan dan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan

sumberdaya pesisir diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih pengaturan

penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir (Dharmawan, 2009).

Isu utama yang lain adalah perusakan hutan mangrove dan perusakan

terumbu karang. Menurut balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Jeneberang Walanae, tahun 2001 luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan adalah

26.909 Ha sangat memperihatinkan jika dibandingkan dengan data tahun 1980an.

Kerusakan hutan mangrove juga berdampak buruk bagi terumbuh karang,

produksi ikan, nener alam, intrusi air laut dan parawisata pantai. Kerusakan hutan

mangrove disebabkan antara lain kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan

penegakan hukum. Perusakan ekosistem terumbu karang terjadi akibat

penangkapan ikan dengan pengeboman, pengambilan karang untuk pembangunan,

dan pencemaran akibat dari aktifitas manusia. Rusaknya terumbu karang telah

menyebabkan turunnya produksi ikan Malaja dipesisir wilayah Kabupaten Luwu

dan turunnya produksi ikan ekor kuning serta nener alam di wilayah pesisir Teluk

Bone.

2.5. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Efektifitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia,

membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan dari

banyak tingkatan antara lain; level pemerintahan pusat, level pemerintahan lokal

dan level komunitas. Pertama, dalam level pemerintahan pusat salah satu poin

agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal, tentunya ada dua

aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat desentralisasi lebih efektif;

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail

dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal (Satria, 2004).

Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung

membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah

yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level komunitas

revitalisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari

desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah

pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang

baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik

dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan

lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan

nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan (Satria, 2004).

Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya

peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk

meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan

terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan

yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan.

Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk

membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka

kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi

lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat

memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan

sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara

pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat

penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Satria, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Balitbangda Sulawesi Selatan maka dapat

dirumuskan sembilan program indikatif yang dapat dilakukan dalam rangka

peningkatan ketahanan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di pantai

Timur Sulawesi Selatan, yaitu : (1) Program pengembangan lembaga keuangan

masyarakat; (2) Program peningkatan keterampilan manajemen usaha dan

pemasaran; (3) Program penyehatan lingkungan; (4) Program peningkatan sarana

pendukung produksi; (5) Program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam; (6)

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya buatan; (7) Program optimalisasi

pemanfaatan jasa lingkungan; (8) Program peningkatan kualitas sumberdaya

manusia; dan (9) Program peningkatan kualitas kelembagaan (Balitbangda Sulsel

2006).

Selanjutnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa : (1) Sumberdaya

alam, sumberdaya buatan, jasa lingkungan cukup potensial dan mempunyai

prospek pengembangan yang baik, namun hingga saat ini belum memberikan

kontribusi yang optimal bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (2)

Kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya dapat menunjang upaya

peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (3) Infrastruktur wilayah yang ada

masih terbatas, sehingga belum dapat memberikan dukungan penuh bagi upaya

peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (4) Kebijakan menyangkut

kelembagaan tingkat kabupaten masih jauh dari cukup sehingga belum ada

instrumen pengelolaan yang memadai; dan (5) Skala usaha dan produk usaha

mikro, kecil, menengah dan koperasi masih sangat kecil sehingga belum dapat

memberi kontribusi yang basar bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah di

Pantai Timur Sulawesi Selatan (Balitbangda Sulsel, 2006).

Dari hasil penelitian pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pantai

Timur Sulawesi Selatan, maka ada lima kebijakan yang direkomendasikan, yaitu :

(1) Optimalisasi Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa lingkungan; (2)

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kondisi sosial ekonomi

masyarakat; (3) Peningkatan infrastruktur ekonomi wilayah; (4) Kebijakan

pengelolaan pada tingkat kabupaten perlu disempurnakan; dan (5)

Penyempurnaan kelembagaan pengelolaan, terutama di tingkat kabupaten

(Balitbangda Sulsel, 2006).

2.6. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat

Pembangunan dapat memiliki makna sebagai upaya membangun

masyarakat sekaligus mempertahankan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya

pesisir. Program-program pembangunan saat ini sebagian besar bersumber dari

wacana pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis

masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi nelayan. Dengan semangat

partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya

alam (Nasution et al. 2007). Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat

sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai didalam program-program

pengelolaan sumberdaya pesisir diberbagai negara di dunia, khususnya dinegara-

negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan diwilayah asia pasifik

seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang semakin

mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini dalam rangka

menjawab tuntutan otonomi daerah (Dahuri et al. 2001).

Dengan diberikannya wewenang kepada daerah dalam pengelolaan pesisir

dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untuk kabupaten memberikan

peluang yang besar bagi pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis

masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan

mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil

berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan berbasis

masyarakat mensyaratkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah dan

masyarakat. Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan

adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter.

Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital) dan pemerintah dengan

kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir

dalam pengelolaannya (Bengen, 2009).

Ciri sumberdaya alam pesisir yang sebagian besar bersifat common

property dan open access, bagi beberapa masyarakat nelayan berpandangan

bahwa semua orang berhak memanfaatkannya, sehingga jika tidak diikuti oleh

regulasi yang tepat, akan menyebabkan pemanfaatan yang eksploitatif. Kondisi ini

membutuhkan perhatian bagi semua stakeholder untuk ikut bertanggungjawab

dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Pengelolaan sumberdaya alam

pesisir berbasis ekosistem dan masyarakat yang bersumber dari kekuatan modal

sosial diharapkan dapat mengurangi sikap selfish dan free rider. Dengan kekuatan

masyarakat dan dukungan regulasi yang berpihak terhadap paradigma

pembangunan keberlanjutan (sustainable) diharapkan pula mampu menjawab

krisis dan degradasi sumberdaya alam pesisir (Bengen, 2009).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

Berbagai permasalahan yang cukup kompleks dalam pengelolaan kawasan

dan pengelolaan sumberdaya pesisir perlu untuk segera di atasi. Pada beberapa

daerah pengelolaan kawasan pesisir membawa dampak terhadap degradasi

kualitas lingkungan pesisir. Disamping itu pengelolaan kawasan pesisir juga

membawa dampak terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pedoman

umum pengelolaan kawasan pesisir di sangat diperlukan karena beberapa hal

antara lain : (1) Berbagai permasalahan dalam pengelolaan kawasan pesisir

disebabkan karena belum adanya regulasi yang jelas sebagai pedoman dan

panduan dalam pengelolaan kawasan pesisir. (2) Pengelolaan kawasan pesisir

selama ini cenderung bersifat sektoral. Misalnya kegiatan reklamasi pantai untuk

pembangunan kawasan perumahan atau pelabuhan kadang-kadang kurang

memperhatikan kondisi daya dukung lingkungan. Demikian juga pembangunan

kawasan wisata di daerah pesisir kadang-kadang kurang memperhatikan

dampaknya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. (3) Kawasan

pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem tidak dapat dilihat hanya dalam batas

wilayah administratif pemerintahan. Sebagai suatu kesatuan ekosistem

pengelolaan kawasan pesisir pada Daerah Otonom yang berbatasan perlu

dilakukan secara terpadu. (4) Kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan

kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat daerah merupakan suatu kebijakan nasional yang perlu

dipertahankan dan dikembangkan. Kewenangan Daerah dalam mengelola

kawasan pesisir perlu ditingkatkan implementasinya (Irwansyah, 2007).

Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis masyarakat

adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan melihat, keberpihakan

regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah,

informasi dan pengetahuan, struktur pasar dan respon stakeholder terhadap

kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini akan menjadi kajian dalam

penelitian ini dengan melihat kebijakan, respon dan perilaku stakeholder terhadap

pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu, yang memiliki potensi

sumberdaya pesisir yang cukup besar.

Upaya penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat

membutuhkan langkah-langkah baik yang bersifat makro maupun mikro. Langkah

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

makro merupakan tugas pemerintah untuk mengakui eksistensi sistem

pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur civil society lainnya untuk melakukan

advokasi. Sementara itu langkah mikro merupakan tugas pemerintah dan civil

society untuk melakukan langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas

organisasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), serta pelengkapan sarana dan

prasarana pengelolaan (Satria, 2009).

Berbagai kajian menunjukkan bahwa institusi komuniti dapat

menyediakan common-pool reosurces dengan lebih baik, termasuk jika

dibandingkan dengan institusi negara. pemanfaatan institusi komuniti yang telah

terbentuk, khususnya komuniti karena kesamaan teritorial, untuk mengelola suatu

kawasan tertentu yang langsung berkaitan dengannya, serta mengembangkan

aransemen institusional multi-pihak untuk mengelola common-pool resources

yang berada di luar kawasan yang disebut sebelumnya. Untuk mengokohkan

kedua aransemen institusional dimaksud, dapat dikaji prinsip desain (design

principle) institusi yang mampu bertahan lama menyediakan common-pool

resources, sebagaimana dirumuskan oleh Ostrom dan Edella (1996) yang

mengatakan bahwa prinsip desain tersebut adalah: (1) Adanya batas (boundaries)

yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang

memanfaatkan, maupun berkaitan dengan common-pool resourcesnya sendiri; (2)

Kesesuaian antara aturan (rules) pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal;

(3) Modifikasi susunan pilihan-kolektif (collective-choice arrangements),

khususnya di tingkat aturan operasional, mengikutsertakan (dalam pengambilan

keputusan) pihak-pihak yang terkena dampaknya; (4) Pemantauan perilaku

pengambil manfaat (appropriators) dan kepada siapa pemeriksa kondisi common-

pool resources bertanggungjawab; (5) Sanksi berjenjang terhadap setiap

pelanggar aturan-main; (6) Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan (7)

Pengakuan minimal atas hak komuniti untuk mengorganisasikan diri (Fahmi et al.

2003).

Berdasarkan pendekatan yang menjadi pilihan dalam penelitian ini, pada

penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu

terpadu berbasis masyarakat, akan melihat kesiapan di tingkat lokal bahwa ketiga

jalur aksi (worlds of action), yaitu tingkat pilihan operasional (operational

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

choice), tingkat pilihan kolektif (collective choice) dan tingkat pilihan

konstitusional (constitutional choice), yang sebelumnya dipersepsikan terpisah

satu sama lain, sesungguhnya merupakan tiga wilayah pengambilan keputusan

yang terkait satu sama lain (Fahmi et al. 2003), semestinya menjadi pertimbangan

bagi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk

Bone Kabupaten Luwu.

2.7. Analisi Kebijakan

Persoalan keadilan selalu mendapatkan tempat yang istemewa di setiap

perbincangan intelektual selama ini karena permasalahan karena persoalan

keadilan tidak pernah tuntas, selalu saja ada ketidakpuasan terhadap persoalan

keadilan. Setiap tercipta suatu keadilan dalam masyarakat, orang akan selalu

menyalahkan pemerintah sebagai biang keladi karena kebijakannya terhadap

publik dianggap tidak berpihak terhadap mereka yang merasakan ketidakadilan.

Tuduhan tersebut sangat beralasan karena memang inti dari kebijakan adalah studi

tentang keputusan (decision) dan tindakan (action) pemerintah dalam

fokustrasinya terhadap kebutuhan publik. Apabila pemerintah tidak berpihak atau

tidak fokus terhadap publik, maka masyarakat berhak menolaknya (Fermana,

2009).

Selanjutnya menurut Fermana (2009) bahwa sejak akhir abad 19 sampai

sekarang, pada umumnya analisis kebijakan di ukur lewat ilmu alam (natural

sciences) yang beranggapan bahwa persoalan sosial dapat diselesaikan dengan

pendekatan saintifik positivistik. Pendekatan ini mengaku dirinya sebagai objektif

dan bebas dari nilai sehingga dalam menentukan putusan suatu kebijakan publik

membebaskan diri dari nilai-nilai (normativitas). Model kebijakan ini juga akan

cenderung pada kebijakan yang otoriter karena hanya di putuskan oleh beberapa

orang ahli saja yang disebut teknokrat. Pendekatan positivistik dalam kebijakan

juga disebut pendekatan developmentalisme. Di Indonesia pendekatan ini tumbuh

berkembang pada masa orde baru dengan jargon trilogi pembangunan, yaitu

stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Demi ketiga hal tersebut pemerintah

berhak merekayasa ruang publik dan mengebiri pendapat publik mengikuti tujuan

pembangunan yang top down dan otoriter.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

Pendekatan-pendekatan tersebut gagal mencapai kesuksesan memenuhi

rasa keadilan masyarakat karena problem manusia tidak hanya ditentukan oleh

segelintir orang saja dengan cara kerja yang disamakan dengan ilmu alam.

Permasalahan analisis kebijakan adalah berhubungan dengan pertanyaan siapa

yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan dalam suatu kebijakan. Hal ini dapat

didekati dengan memahami lebih awal makna keadilan yang secara umum

dibangun atas lima dasar yaitu (1) Preferensi individu (individual preferences).

Preperensi individu penting karena karena menjadi dasar bagi apa yang

diinginkan manusia, jika preferensinya terpenuhi maka individu tersebut akan

merasakan keadilan. (2) Etika (ethic). Dari etika konsep baik dan buruk berasal,

jika sesuatu dianggap baik maka keadilan mengikutinya begitu pula sebaliknya.

(3) Kebebasan Individu (individual freedom). Kebebasan individu adalah bagian

dari kebutuhan dasar manusia, yang mana manusia menginginkannya untuk

terpenuhi, oleh sebabnya jika kebebasan tidak terpenuhi atau terhambat maka rasa

keadilan akan dituntut. (4) Hak Individu (individual right). Jika hak individu

terpenuhi dan tidak dilanggar, rasa keadilan akan terpenuhi, begitu pula

sebaliknya. (5) Distribusi Keadilan (distribution of justice). Tersalurnya distribusi

nilai-nilai keadilan seperti persamaan hak, dan kebebasan manusia, akan sangat

menentukan nilai keadilan.

Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai

sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks

dimana kebijakan beroperasi. Sementara itu kebijakan yang menunjuk pada

kerangka kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian

tujuan-tujuan pembangunan kedalam beragam program dan proyek. Menurut

Dunn (1991), ada tiga bentuk atau model analisis kebijakan, yaitu Pertama Model

Prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada

konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Kedua Model

Retrospektif yaitu analisis kebijakan yang dilakukan terhadap kebijakansetelah

suatu kebijakan di implementasikan. Model ini biasanya disebut model evaluatif.

dan yang Ketiga Model Integratif yang merupakan perpaduan antara kedua model

diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

karena analisis ini dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang

mungkin timbul baik sebelum maupun sesudah kebijakan diterapkan.

2.7.1. Analisis isi (Content Analysis) Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk

menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip

wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Krippendorf, 1980). Teknik

penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi

yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari

(Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku

manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi

(Fraenkel dan Norman. 1996). Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena

sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang

diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang

terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan

antar penguji (Fraenkel dan Norman. 1996). Analisis isi (content analysis) untuk

keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan

tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dari pusat hingga ke daerah penelitian

dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan

sosial.

2.7.2. Proses perubahan kebijakan

Keputusan dan pembuatan suatu kebijakan publik harus mengakomodasi

tuntutan masyarakat, yang tuntutan tersebut didelegasikan kepada seseorang atau

kelompok dalam model demokrasi perwakilan. Kebijakan publik yang tidak

mengakomodasi tuntutan masyarakat tidak mempunyai legitimasi, dan tidak

memenuhi rasa keadilan, yang menjadi cita-cita sosial masyarakat. Pada intinya

keputusan dan pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah adalah public policy

consists of political decisions for implementing program to achieve societal goals

”kebijakan publik terdiri dari keputusan politis untuk mengimplementasi program

dalam meraih tujuan demi kepentingan masyarakat” (Fermana, 2009).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh

para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan

pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah

suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam

Rosylin (2008) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa

pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi

juga melibatkan proses ”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan

kebijakan memainkan peranan utama.

Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut

sebagai model linier. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-

sense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut

(Sutton 1999) :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.

2. Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan

hambatan yang mungkin terjadi.

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat.

5. Pelaksanaan kebijakan.

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Menurut (IDS, 2006) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai

karakteristik sebagai berikut :

1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang

sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan

masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata

bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.

2. Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak

menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada

percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran-

ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau

hasil kebijakan tunggal yang optimal.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

3. Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin

tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa

permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.

4. Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta

saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran

utama.

5. Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para

pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan

untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai).

6. Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling

membangun’ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi

(produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.

7. Co-produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk

mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan

berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan,

dan selanjutnya didiskusikan.

8. Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai

perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan.

Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam

suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling

berhubungan yaitu :

1. Pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’,

Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan

lain sebagainya)

2. Para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka

terhubung) dan

3. Politik dan kepentingan (apakah yang merupakan dasar dinamika

kekuasaan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

Gambar 3. Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan

Sumber : Institute of Development Studies (2006).

Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative

development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan

kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan

(Gambar 3). Mereka sering menetapkan keyakinan-keyakinan tersebut sebagai

kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok

kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena

akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar,

berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam

peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau

arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk

melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu

kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan

baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan (policy

coalition/network) dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi

sangat berpengaruh.

2.7.3. Analisis stakeholder

Partisipasi masyarakat semakin diperhatikan sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dalam setiap kebijakan lingkungan, sehingga para pengambil

keputusan perlu memahami pihak-pihak yang dipengaruhi oleh keputusan dan

tindakan yang mereka ambil, dan yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi

hasilnya. Mengidentifikasi stakeholder merupakan langkah awal dan penting

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52590/BAB II... · dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri

dalam setiap kegiatan partisipatif. Namun, seringkali stakeholder diidentifikasi

dan dipilih secara ad-hoc sehingga berpotensi meminggirkan kelompok-kelompok

penting, membuahkan hasil yang bias dan membahayakan kelangsungan jangka

panjang proses dan dukungan atas kebijakan.

Dalam kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam,

analisis stakeholder digunakan sebagai suatu pendekatan yang dapat

memberdayakan para stakeholder marjinal untuk mempengaruhi proses

pengambilan keputusan. Sedangkan dalam penelitian kebijakan, analisis

stakeholder telah dilihat sebagai suatu cara untuk menghasilkan informasi atas

aktor-aktor yang relevan untuk memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan

pengaruh mereka pada proses pengambilan keputusan (Burgha and Varvasovsky,

2000). Analisis stakeholder menanyakan siapa pihak yang berkepentingan, yang

memiliki kekuatan untuk mempengaruhi apa yang terjadi, bagaimana pihak-pihak

ini berinteraksi, dan berdasarkan informasi ini, bagaimana mereka mungkin dapat

berkerjasama secara lebih efektif.