BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar...

40
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar 1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Kebutuhan dasar manusia adalah unsur-unsur yang dibutuhkan manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis untuk mempertahankan kehidupan. Menurut teori Hierarki kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan Abraham Maslow, ada lima kategori kebutuhan dasar, yaitu: a. Kebutuhan fisiologis Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar, yaitu kebutuhan fisiologis seperti oksigen, cairan (minuman), nutrisi (makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan tidur, serta kebutuhan sosial. b. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan Kebutuhan rasa aman dan perlindungan dibagi menjadi perlindungan fisik dan perlindungan psikologis. Perlindungan fisik meliputi perlindungan atas ancaman tubuh atau hidup. Ancaman tersebut dapat berupa penyakit, kecelakaan, bahaya dari lingkungan dan sebagainya. Perlindungan psikologis yaitu perlindungan atas ancaman dari pengalaman yang baru dan asing. Misalnya, kekhawatiran yang dialami seseorang ketika pertama kali masuk sekolah karena merasa terancam oleh keharusan untuk berinteraksi dengan oranglain. c. Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki merupakan kebutuhan untuk saling memiliki dan dimiliki terdiri dari memberi dan menerima kasih sayang, mendapatkan kehangatan keluarga, memiliki sahabat, dan diterima oleh kelompok sosial.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar...

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar

    1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia

    Kebutuhan dasar manusia adalah unsur-unsur yang dibutuhkan

    manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun

    psikologis untuk mempertahankan kehidupan. Menurut teori Hierarki

    kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan Abraham Maslow, ada lima

    kategori kebutuhan dasar, yaitu:

    a. Kebutuhan fisiologis

    Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar, yaitu

    kebutuhan fisiologis seperti oksigen, cairan (minuman), nutrisi

    (makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal,

    istirahat dan tidur, serta kebutuhan sosial.

    b. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan

    Kebutuhan rasa aman dan perlindungan dibagi menjadi

    perlindungan fisik dan perlindungan psikologis. Perlindungan fisik

    meliputi perlindungan atas ancaman tubuh atau hidup. Ancaman

    tersebut dapat berupa penyakit, kecelakaan, bahaya dari lingkungan

    dan sebagainya. Perlindungan psikologis yaitu perlindungan atas

    ancaman dari pengalaman yang baru dan asing. Misalnya,

    kekhawatiran yang dialami seseorang ketika pertama kali masuk

    sekolah karena merasa terancam oleh keharusan untuk berinteraksi

    dengan oranglain.

    c. Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki

    Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki merupakan

    kebutuhan untuk saling memiliki dan dimiliki terdiri dari memberi

    dan menerima kasih sayang, mendapatkan kehangatan keluarga,

    memiliki sahabat, dan diterima oleh kelompok sosial.

  • 8

    d. Kebutuhan harga diri

    Kebutuhan harga diri meliputi perasaan tidak tergantung kepada

    oranglain, dan mendapatkan penghargaan terhadap diri sendiri dan

    orang lain.

    e. Kebutuhan aktualisasi diri

    Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi dalam

    Hierarki Maslow, berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada

    oranglain atau lingkungan untuk mencapai diri sepenuhnya.

    2. Konsep Dasar Aktivitas

    Kemampuan beraktivitas merupakan kebutuhan dasar yang

    dibutuhkan oleh setiap manusia. Kemampuan tersebut meliputi berdiri,

    berjalan, bekerja dan lain sebagainya. Dengan beraktivitas tubuh akan

    menjadi sehat, seluruh sistem tubuh dapat berfungsi dengan baik dan

    metabolisme tubuh dapat optimal. Disamping itu, kemampuan bergerak

    (mobilisasi) juga dapat mempengaruhi harga diri dan citra tubuh

    seseorang. Kemampuan beraktivitas seseorang dipengaruhi oleh sistem

    persarafan dan muskuloskeletal yang adekuat (Haswita dan Reni

    Sulistyowati, 2017).

    Menurut KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) aktivitas

    merupakan segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang

    terjadi baik fisik maupun non-fisik merupakan suatu aktivitas. Aktivitas

    fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan otot rangka yang memerlukan

    suatu pengeluaran energi. Kurangnya aktivitas fisik akan menjadi salah

    satu faktor independen dalam suatu penyakit kronis yang menyebabkan

    kematian secara global. Jadi, berdasarkan beberapa penjelasan diatas

    aktivitas fisik merupakan kegiatan keaktifan tubuh untuk bergerak yang

    memerlukan energi yang dihasilkan oleh otot rangka dari sistem

    muskuloskeletal (WHO, 2008).

  • 9

    3. Sistem Tubuh Yang Berperan Dalam Aktivitas

    Pergerakan merupakan rangkaian aktivitas yang terintegrasi antara

    sistem muskuloskeletal dan sistem persarafan di dalam tubuh (Haswita

    dan Reni Sulityowati, 2017).

    a. Sistem Muskuloskeletal

    Sistem muskuloskeletal terdiri atas rangka (tulang), otot dan sendi.

    Sistem muskuloskeletal sangat berperan dalam pergerakan dan

    aktivitas manusia.

    1) Tulang

    Tubuh manusia terusun oleh tulang-tulang. Tulang satu dengan

    yang lainnya dihubungkan melalui sendi kemudian membentuk

    rangka.

    Fungsi rangka antara lain:

    a) Menyokong jaringan tubuh, termasuk memberi bentuk pada

    tubuh (postur tubuh)

    b) Melindungi bagian tubuh yang lunak, termasuk seperti otak,

    paru-paru, hati dan medulla spinalis.

    c) Sebagai tempat melekatnya otot dan tendon, termasuk juga

    ligamen

    d) Sebagai sumber mineral, seperti garam, fosfat, dan lemak.

    e) Berperan dalam proses produksi sel darah (Haswita dan Reni

    Sulistyowati, 2017).

    2) Otot

    Otot merupakan organ yang memiliki elastisitas dan

    kontraktilitas yaitu kemampuan untuk meregang dan

    memendek, serta kembali kepada posisi semula. Kemampuan

    ini yang memungkinkan organ yang menyertainya dapat

    bergerak, seperti gerakan pada tulang usus, jantung, paru paru

    dan organ lainnya. Otot tersusun oleh serat otot yang

    berisiprotein kontraktil yaitu miofibril-miofibril. Masing-

    masing miofibril tersusun tersusun atas miofilamen, yaitu

  • 10

    miofilamen tebal disebut myosin dan miofilamen tipis yang

    tersusun atas aktin, troponin dan tropomiosin. Pergerakan

    terjadi karena adanya kontraksi yang di akibatkan oleh aktin dan

    myosin.

    Jenis kontraksi otot:

    a) Kontraksi isometrik.

    Kontraksi ini tidak terjadi pemendekan otot selama

    kontraksi karena tidak memerlukan sliding myofibril, tetapi

    terjadi secara paksa. Misalnya, saat kita mengangkat barang

    yang sangat berat, mendorong meja dengan tangan lurus

    sehingga terjadi tegangan.

    b) Kontraksi isotonik

    Kontraksi ini terjadi pemendekan otot, terapi tegangan pada

    otot tetap konstan. Kontraksi ini memerlukan energi yang

    besar. Contoh jenis kontraksi ini adalah saat mengangkat

    beban menggunakan otot bisep. Beachii, kegiatan makan,

    menyisir, dan lain-lain (Tarwoto dan Wartonah, 2015).

    3) Sendi

    Sendi menghubungkan antar tulang yang di dukung dengan

    adanya ligamen dan tendon. Ligamen menstabilkan tulang

    diantara tulang dan lebih elastis daripada tendon. Sendi dapat

    diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu:

    a) Sendi yang tidak dapat digerakkan (sendi sinartrosis) seperti

    pada sutura,epifisis, dan diafisis.

    b) Sendi yang sedikit dapat digerakkan (sendi amfiartosis)

    seperti pada simfisis.

    c) Sendi yang dapat bergerak bebas (sendi diartrosis) seperti

    gerak pada siku, pergerakan lutut, jari tangan. (Tarwoto dan

    Wartonah, 2015)

    b. Sistem Persarafan

    Sistem persarafan berperan dalam mengontrol fungsi motorik.

  • 11

    Pusat pengendalian pergerakan adalah serebelum, korteks serebri,

    dan basal ganglia. Serebelum berperan dalam koordinasi aktivitas

    motorik pergerakan dan keseimbangan. Korteks serebri berperan

    dalam mengontrol aktivitas motorik yang disadari. Basal ganglia

    berperan dalam mempertahankan postur.

    Sistem Persarafan memiliki beberapa fungsi, yaitu:

    1) Saraf aferen (reseptor), berfungsi menerima rangsangan dari

    luar kemudian meneruskannya ke susunan saraf pusat.

    2) Sel saraf atau neuron, berfungsi membawa impuls dari bagian

    tubuh satu ke bagian tubuh lainnya.

    3) Sistem saraf pusat, berfungsi memproses impuls dan kemudian

    memberikan respon melalui saraf aferen.

    4. Konsep Mekanika Tubuh

    Mekanika tubuh adalah suatu usaha mengkoordinasikan sistem

    muskuloskeletal dan sistem saraf dalam mempertahankan keseimbangan,

    postur dan kesejajaran tubuh selama mengangkat, membungkuk,

    bergerak dn melakukan aktivitas sehari-hari. Mekanika tubuh adalah

    penggunaan organ tubuh secara efisien dan efektif sesuai dengan

    fungsinya. Mekanika tubuh meliputi tiga elemen dasar, yaitu:

    a. Body alignment (postur tubuh). Susunan geometrik bagian-bagian

    tubuh dalam hubungannya dengan bagian tubuh yang lain.

    b. Balance/keseimbangan. Keseimbangan bergantung pada interaksi

    antara center gravity dan base of support .

    c. Coordinated body movement (gerakan tubuh yang terkoordinasi),

    yitu mekanika tubuh berinteraksi dalam fungsi muskuloskeletal dan

    sistem saraf.

    5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas

    Menurut Wahit Iqbal Mubarak & Lilis Indawati,(2015) faktor yang

    mempengaruhi aktivitas diantaranya adalah :

  • 12

    a. Perumbuhan dan perkembangan

    Usia serta perkembangan sistem muskuloskeletal dan persarafan

    akan berperan terhadap postur tubuh, proporsi tubuh, massa tubuh,

    pergerakan, serta refleks tubuh seseorang.

    b. Kesehatan fisik

    Gangguan pada sistem muskuloskeletal atau persarafan dapat

    menyebabkan dampak yang negatif pada pergerakan dan mekanika

    tubuh seseorang. Adanya penyakit, trauma, atau kecacatan dapat

    mengganggu sistem pergerakan dan struktur tubuh.

    c. Status mental

    Gangguan mental atau afektif seperti depresi atau stres kronis dapat

    memengaruhi seseorang untuk bergerak. Individu yang mengalami

    depresi cenderung tidak antusias dalam mengikuti kegiatan tertentu,

    bahkan kehilangan energi untuk melakukan perawatan hygiene.

    Demikian juga dengan stres yang berkepanjangan, kondisi ini dapat

    menguras energi sehingga individu kehilangan semangat untuk

    beraktivitas.

    d. Gaya hidup

    Perubahan pola hidup seseorang dapat menimbulkan stres dan

    kemungkinan besar akan menimbulkan kecerobohan dalam

    melakukan aktivitas, sehingga dapat menganggu kordinasi antara

    sistem musuluskeletal dan neurologi, yang dapat menyebabkan

    perubahan mekanika tubuh.

    e. Sikap dan nilai personal

    Nilai-nilai yang tertanam dalam keluarga dapat mempengaruhi

    aktivitas yang akan dilakukan oleh individu. Sebagai contoh, anak-

    anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang senang

    melakukan kegiatan olahraga sebagai contoh rutinitas akan belajar

    menghargai aktivitas fisik.

  • 13

    f. Nutrisi

    Nutrisi berfungsi bagi organ tubuh untuk mempertahankan status

    kesehatan. Apabila pemenuhan nutrisi tidak adekuat, hal ini dapat

    mengakibatkan kelelahan atau kelemahan otot yang akan

    mengakibatkan penurunan aktivitas atau pergerakan.

    Sebaliknya, kondisi nutrisi yang berlebih dapat menyebabkan

    terbatasnya pergerakan tubuh sehingga individu menjadi mudah

    lelah.

    g. Stress

    Status emosi seseorang akan berpengaruh terhadap aktivitas

    tubuhnya. Perasaan tertekan, cemas, dan depresi dapat menurunkan

    semangat seseorang untuk beraktivitas. Kondisi ini ditandai dengan

    penurunan nafsu makan, perasaan tidak bergairah, dan pada

    akhirnya menyendiri.

    h. Faktor sosial

    Individu dengan tingkat kesibukan yang tinggi secara tidak

    langsung akan sering menggerakkan tubuhnya. Sebaliknya,

    inidividu yang jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar tentu

    akan lebih sedikit beraktivitas atau menggerakkan tubuhnya.

    6. Pengertian Mobilitas dan Immobilitas

    Mobilitas merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak

    secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi

    kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Vasra, 2016).

    Immobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak

    secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan, misalnya

    mengalami trauma atau cedera (Vasra, 2016). Berdasarkan uraian di atas

    mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk melakukan pergerakan

    secara mudah dan teratur tanpa adanya hambatan, sedangkan

    immobilisasi adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan

  • 14

    pergerakan secara mudah dan teratur di karenakan adanya kondisi yang

    mengganggu pergerakan.

    7. Jenis-Jenis Mobilitas dan Immobilitas

    a. Jenis Mobilitas

    1) Mobilitas penuh

    Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk

    bergerak secara penuh dan bebas, sehingga dapat melakukan

    interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas

    penuh ini merupakan fungsi saraf motoris volunter dan sensoris

    untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

    2) Mobilitas sebagian

    Mobilitas sebagian adalah kemampuan seseorang untuk bergerak

    dengan batasan yang jelas, sehingga tidak mampu bergerak secara

    bebas karena di pengaruhi oleh gangguan saraf motoris dan

    sensoris pada area tubuhnya. hal ini dapat dijumpai pada kasus

    cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas

    sebagian di bagi menjadi dua jenis, yaitu:

    a) Mobilitas sebagian temporer merupakan kemampuan

    individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya

    sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma

    reversibel pada sistem muskuloskeletal, seperti adanya

    dislokasi sendi dan tulang.

    b) Mobilitas sebagian permanen merupakan kemampuan

    individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya tetap.

    Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang

    irreversibel. Contohnya terjadi hemiplagia karena stroke,

    paraplegi karena cedera tulang belakang dan untuk kasus

    poliomielitis terjadi karena terganggunya sistem saraf

    motoris dan sensoris (Vasra, 2016).

  • 15

    b. Jenis Immobilitas

    1) Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara

    fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi

    pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak

    mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga

    tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi

    tekanan.

    2) Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang

    mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang

    mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

    3) Imobilitas emosional, keadaan ketika seseorang mengalami

    pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara

    tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan

    stress berat yang disebabkan karena bedah amputasi ketika

    seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau

    kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

    4) Imobilitas sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan

    dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya

    sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial

    (Pratama, 2018).

    8. Manfaat Mobilitas

    a. Gerak tubuh secara teratur membuat tubuh menjadi segar.

    b. Gerak tubuh secara teratur dapat memperbaiki tonus otot dan sikap

    tubuh, mengontrol berat badan, mengurangi stres, dan dapat

    meningkatkan relaksasi.

    c. Gerak tubuh merangsang peredaran darah ke otot dan organ tubuh

    yang lain sehingga dapat meningkatkan kelenturan tubuh.

    d. Gerak tubuh dapat merangsang pertumbuhan (Kasiati dan Ni Wayan

    Dwi Rosmalawati, 2016).

  • 16

    9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas

    Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

    diantaranya:

    a. Gaya hidup

    Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas

    seseorang, karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan

    sehari-hari. Proses penyakit atau injury dapat mempengaruhi

    kemampuan mobilitas karena dapat mempengaruhi fungsi sistem

    tubuh.

    b. Kebudayaan

    Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi oleh

    kebudayaan sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering

    berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya

    ada orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan

    budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.

    c. Usia dan status perkembangan

    Kemampuan mobilitas pada tingkat usia berbeda, ini dikarenakan

    kemampuan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.

    Maka semakin tua usia seseorang, kemampuan aktivitas untuk

    bergerak semakin berkurang (Vasra, 2016).

    d. Proses penyakit/cedera

    Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena

    dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang

    menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan gerak pada

    ekstremitas bagian bawah.

    e. Tingkat energi

    Energi merupakan sumber untuk melakukan mobilitas. Agar

    seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi

    yang cukup.

  • 17

    B. Tinjauan Asuhan Keperawatan

    1. Pengkajian Keperawatan

    Pengkajian merupakan tahap pertama dalam proses keperawatan.

    Data yang komprehensif dan valid akan menentukan penetapan diagnosis

    keperawatan dengan tepat dan benar, selanjutnya akan berpengaruh

    terhadap perencanaan keperawatan. Tujuan dari pengkajian adalah

    didapatkannya data yang komprehensif yang mencakup data biopsiko

    spiritual. Tahap pengkajian merupakan proses dinamis yang

    terorganisasi, meliputi empat elemen dari pengkajian yaitu pengumpulan

    data secara sistematis, memvalidasi data, memilah, dan mengatur data

    dan mendokumentasikan data dalam format (Tarwoto dan Wartonah,

    2015).

    Pengkajian keperawatan dalam proses keperawatan meliputi:

    a. Data pasien

    b. Keluhan umum. Pasien tidak dapat melakukan pergerakan

    merasakan nyeri pada area fraktur, rasa lemah dan tidak dapat

    melakukan aktivitas.

    c. Riwayat kesehatan sekarang. Kapan pasien mengalami fraktur,

    bagaimana terjadinya dan bagian tubuh mana yang terkena.

    d. Riwayat kesehatan sebelumnya. Apakah pasien pernah mengalami

    penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kesehatan sekarang.

    Misalnya apakah pasien memiliki penyakit tertentu seperti kanker

    tulang atau apakah pasien pernah mengalami kecelakaan

    sebelumnya.

    e. Riwayat kesehatan keluarga. Apakah anggota keluarga pasien

    memiliki penyakit keturunan yang mungkin akan mempengaruhi

    kondisi sekarang. Penyakit keluarga yang berhubungan dengan

    patah tulan, seperti osteoporosis.

    f. Riwayat psikososial. Konsep diri pasien immobilisasi mungkin

    terganggu, oleh karena ini kajian gambar ideal diri, harga diri,

  • 18

    identitas diri serta interaksi pasien dengan anggota keluarga maupun

    dengan lingkungan tempat tinggalnya.

    g. Aktivitas sehari-hari. Pengkajian ini bertujuan melihat perubahan

    pola yang berkaitan dengan terganggunya asistem tubuh serta

    dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar pasien.

    h. Pemeriksaan fisik

    1) Gambaran Umum:

    a) Keadaan umum: baik/buruk, kesadaran (komposmetis, apatis,

    sopor, koma, gelisah)

    b) Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan)

    c) Pemeriksaan secara sistematik diperiksa dari kepala, leher,

    kelenjar getah bening, dada (thorax), perut (abdomen: hepar),

    kelamin.

    d) Bagian ekstremitas atas dan bawah serta punggung (tulang

    belakang).

    2) Keadaan lokal

    Pemeriksaan muskuloskeletal:

    a) Look (inspeksi)

    Perhatikan yang dilihat:

    (1) Sikatrik (jaringan parut, baik yang alamiah maupun

    buatan, yaitu pembedahan)

    (2) Birth mark (bekas melahirkan)

    (3) Fistula

    (4) Warna (kemerahan, kebiruan/livide, hiperpigmentasi)

    (5) Benjolan, pembengkakan, cekukan dengan hal-hal yang

    tidak biasa, misalnya ada rambut diatasnya

    (6) Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas)

    (7) Cara jalan pasien (gait, sewaktu masuk kamar periksa)

  • 19

    b) Feel (palpasi)

    Sebelum dilakukan palpasi, terlebih dahulu perbaiki posisi

    penderita agar di mulai dari posisi netral/posisi anatomi.

    Pemeriksaan ini memberikan informasi dua arah bagi

    pemeriksa dan penderita. Karena itu perlu diperhatikan wajah

    penderita atau menanyakan perasaan penderita. Yang perlu

    dicatat pada palpasi adalah:

    (1) Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban

    kulit

    (2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi

    atau hanya oedema terutama pada daerah persendian.

    (3) Nyeri tekan (terderness), krepitasi, catat adanya kelainan

    Otot: tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi

    benjolan yang terdapat di permukaan tulang atau melekat

    pada tulang. Selain itu juga diperiksa status

    neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan

    perlu ditentukan permukaannya, konsistensinya dan

    pergerakan terhadap permukaan atau dasar, nyeri atau

    tidak dan ukurannya.

    c) Move (pergerakan)

    Setelah memeriksa feel, pemeriksaan diteruskan dengan

    menggerakkan anggota gerak dan dicatat apakah terdapat

    keluhan nyeri pada pergerakan. Pada pemeriksaan move,

    periksalah anggota bagian tubuh yang normal terlebih dahulu.

    Selain untuk mendapatkan kerjasama dari penderita juga untuk

    mengetahui gerakan normal penderita, evaluasi keadaan

    sebelum dan sesudah dilakukan pergerakan.

    (1) Apabila ada fraktur akan terdapat gerakan abnormal di

    daerah fraktur (kecuali fraktur incomplete)

    (2) Pergerakan yang perlu dilihat adalah pergerakan aktif dan

    pasif

  • 20

    (3) Pemeriksaan sendi

    (a) Bandingkan antara bagian kiri dan kanan tentang

    bentuk, ukuran, tanda radang

    (b) Adanya nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri sumbu

    (c) Adanya bunyi krepitasi

    (d) Adanya kontraktur sendi

    (e) Nilai Range Of Motion (ROM) secara aktif dan pasif

    Range of Motion (ROM) merupakan jumlah maksimal

    gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu

    dari tiga potongan tubuh yaitu sagital, frotal, tranversal

    (Asmadi, 2009). Range of Motion (ROM) adalah latihan

    gerak sendi untuk meningkatkan aliran darah perfusi dan

    mencegah kekakuan otot/sendi (Anggraeni, 2015). Tujuan

    ROM antara lain: mempertahankan atau meningkatkan

    kekuatan dan kelenturan otot, menjaga fleksibilitas dari

    masing-masing persendian, mencegah kontraktur pada

    persendian (Asmadi, 2009). Latihan gerak sendi dapat

    segera dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot

    (endurance) sehingga memperlancar aliran darah serta

    suplai oksigen untuk jaringan sehingga akan mempercepat

    proses penyembuhan (Anggraeni, 2015).

    Latihan gerak sendi/Range of Motion (ROM) dibagi

    menjadi 5 yaitu:

    1. Aktif Asistif Range of Motion (AAROM) adalah

    kontraksi aktif dari otot dengan bantuan kekuatan

    eksternal yang tidak sakit. AAROM meningkatkan

    fleksibelitas kekuatan otot, meningkatkan koordinasi

    otot dan mengurangi ketegangan pada otot sehingga

    dapat mengurangi rasa nyeri.

    2. Aktif Resistif ROM (ARROM) kontraksi aktif dari otot

    melawan tahanan yang diberikan, tahanan dari otot

  • 21

    dapat diberikan dengan berat/beban, alat, tahanan

    manual, atau berat badan. Tujuannya meningkatkan

    kekuatan otot dan stabilitas.

    3. Isometrik exercise adalah bentuk latihan dimana otot

    yang dilatih tidak mengalami perubahan panjang dan

    tanpa adanya pergerakan dari sendi. Sehingga latihan

    akan menyebabkan ketegangan pada otot bertambah.

    4. Isotonik exercise (aktif rom dan pasif rom) adalah

    kontraksi terjadi jika otot dan yang lainnya memendek

    (konsentrik) atau memanjang (ensentrik) melawan

    tahanan tertentu atau hasil dari pergerakan sendi.

    Contoh isometric exercise, fleksi atau ekstensi

    ekstremitas. Isotonik exercise tetap menyebabkan

    ketegangan pada otot yang menimbulkan rasa nyeri

    pada otot.

    5. Isokinetik exercise adalah latihan dengan kecepatan

    dinamis dan adanya tahanan pada otot serta

    persendian dengan bantuan alat. Isokinetik

    menggunakan consentrik dan ensentrik kontraksi

    (Anggraeni, 2015).

    Pemeriksaan Range Of Motion (ROM) merupakan

    pemeriksaan yang dilakukan dengan pengukuran luas

    gerakan sendi (derajat) yang terjadi dari kontraksi dan

    pergerakan otot. Pemeriksaan dilakukan dengan cara

    meminta klien untuk menggerakkan masing-masing

    persendian sesuai gerakan normal baik aktif maupun

    pasif. Jenis gerakan: fleksi, ekstensi, hiperekstensi,

    rotasi, sirkumduksi, supinasi, pronasi, abduksi,

    adduksi, oposisi. Sendi yang di gerakkan: ROM aktif

    (seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki

    oleh klien secara aktif). ROM pasif (seluruh persendian

  • 22

    tubuh atau hanya pada bagian ektremitas yang

    terganggu dan klien tidak mampu melaksanakan secara

    mandiri (Oktadoni Saputra dan Rizki Hanriko, 2016).

    Tabel 2.1 Derajat kekuatan otot

    Skala Presentase kekuatan

    normal

    Keterangan

    0 0 Pralisi sempurna

    1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot

    dapat dipalpasi atau dilihat

    2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi

    3 50 Gerakan normal melawan gravitasi

    4 75 Gerakan penuh normal melawan

    tahanan minimal

    5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang

    normal melawan gravitasi dan tahanan

    penuh

    (Saputra, 2013)

    Tabel 2.2 Tingkat kemampuan aktivitas

    Tingkat

    aktivitas/mobilitas

    Kategori

    Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh

    Tingkat 1 Memerlukan alat untuk mobilisasi

    Tingkat 2 Memerlukan bantuan untuk pengawasan orang lain untuk

    mobilisasi

    Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan peralatan

    untuk mobilisasi

    Tingkat 4 Sangat tergantung pada bantuan alat dan orang lain serta

    tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan

    (Saputra, 2013)

    i. Pemeriksaan penunjang

  • 23

    1) Radiologi untuk mengetahui kelainan bentung tulang, skoliosis,

    lordosis, kiposis, fraktur, tumor tulang, spondilitis, trauma tulang

    belakang, dan keadaan jantung atau paru.

    2) Pemeriksaan laboratorium, seperti elektrolit kalsium, fosfat.

    3) Pemeriksaan darah lengkap seperti eritrosit, leukosittrombosit,

    dan hemoglobin (Tarwoto dan Wartonah, 2015).

    2. Diagnosis Keperawatan

    Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai

    status kesehatan atau masalah aktual atau risiko dalam rangka

    mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk

    mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien

    yang ada pada tanggung jawabnya (Tarwoto dan Wartonah, 2015).

    Beberapa diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada masalah

    gangguan mobilitas fisik. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

    (2017):

    a. Gangguan mobilitas fisik

    Definisi: keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih

    ekstremitas secara mandiri.

    Penyebab:

    1) Kerusakan integritas struktur tulang

    2) Perubahan metabolisme

    3) Ketidakbugaran fisik

    4) Penurunan kendali otot

    5) Penurunan kekuatan otot

    6) Keterlambatan perkembangan

    7) Kekakuan sendi

    8) Kontraktur

    9) Malnutrisi

    10) Gangguan muskuloskeletal

    11) Gangguan neuromuskular

  • 24

    12) Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia

    13) Efek agen farmakologis

    14) Program pembatasan gerak

    15) Nyeri

    16) Kurang terpapar tentang aktivitas fisik

    17) Kecemasan

    18) Gangguan kognitif

    19) Keengganan melakukan pergerakan

    20) Gangguan sensori persepsi

    Gejala dan tanda mayor

    Subjektif: mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas.

    Objektif: kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM)

    menurun.

    Gejala dan tanda minor

    Subjektif: nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan,

    merasa cemas saat bergerak.

    Objektif: sendi kaku, gerkan tidak, terkoordinasi, gerakan

    terbatas, fisik lemah.

    Kondisi klinis terkait: stroke, cedera medula spinalis, trauma,

    fraktur, osteosrthritis, osteomalasia, keganasan.

    b. Intoleransi aktivitas

    Definisi: ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-

    hari.

    Penyebab:

    1) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

    2) Tirah baring

    3) Kelemahan

    4) Imobilitas

    5) Gaya hidup monoton

    Gejala dan Tanda Mayor

  • 25

    Subjektif: mengeluh lelah

    Objektif: frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat

    Gejala dan Tanda Minor

    Subjektif: dipsnea saat/setelah aktivitas, merasa tidak nyaman

    seelah beraktivitas, merasa lemah

    Objektif: tekanan darah berubah

  • 26

    a. Gangguan mobilitas fisik

    1) Dukungan ambulasi

    Definisi: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan berpindah

    Tindakan observasi:

    a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya

    Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan

    kesulitan terhadap keadaan yang dialami.

    b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi

    Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

    c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum

    memulai ambulasi

    Rasional: mengidentifikasikan adanya perubahan tekanan

    darah dan frekuensi jantung sebelum dan sesudah dilakukan

    ambulasi.

    d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi

    Rasional: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan

    potensial peningkatan tekanan darah.

    Tindakan terapeutik:

    a) Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu (mis.tongkat,

    kruk)

    Rasional: membantu dalam peningkatan aktifitas dengan

    menggunkan alat bantu.

    b) Fasilitasi melakukan ambulasi dini

    Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,

    mencegah terjadinya kontraktur.

    Tindakan edukasi:

    a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi

    Rasional: memberikan pemahaman mengenai manfaat

    tindakan yang didahulukan.

  • 27

    b) Anjurkan melakukan ambulasi dini, misalnya duduk di tempat

    tidur.

    Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,

    mencegah terjadinya kontraktur.

    c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (misalnya

    duduk di tempat tidur, berjalan dari tempat tidur kekursi roda,

    berjalan dari tempat tidur kekamar mandi,berjalan sesuai

    toleransi).

    Rasional: menurunkan komplikasi tirah baring dan

    meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.

    2) Dukungan Mobilisasi

    Definisi: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas

    pergerakan fisik.

    Tindakan observasi :

    a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya

    Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan

    kesulitan terhadap keadaan yang dialami.

    b) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan

    Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

    Tindakan terapeutik :

    a) Fasilitasi aktivitas mobiltas dengan alat bantu (mis.pagar

    tempat tidur)

    Rasional: membantu dalam peningkatan aktifitas dengan

    menggunkan alat bantu.

    b) Fasilitasi melakukan pergerakan, latihan isometrik

    Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,

    mencegah terjadinya kontraktur.

    Tindakan edukasi :

    a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

  • 28

    Rasional: memberikan pemahaman mengenai manfaat

    tindakan yang didahulukan.

    b) Anjurkan melakukan mobilisasi dini

    Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,

    mencegah terjadinya kontraktur.

    c) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan

    (mis.duduk ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah

    dari tempat tidur kekursi).

    Rasional: menurunkan komplikasi tirah baring dan

    meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.

    b. Intoleransi aktivitas

    1) Manajeman energi:

    Definisi: mengidentifikasi dan mengelola penggunaan energi

    untuk mengatasi atau mencegah kelelahan dan mengoptimalkan

    proses pemulihan.

    Observasi:

    a) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan

    kelelahan

    Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan

    kesulitan terhadap keadaan yang dialami.

    b) Monitor kelelahan fisik

    Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

    c) Monitor pola dan jam tidur

    Rasional: mengkaji perlunya mengidentifikasi intervensi

    yang tepat.

    d) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan

    aktivitas

    Rasional : mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

  • 29

    Terapeutik:

    a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (misalnya

    cahaya, suara, kunjungan)

    Rasional: meningkatkan kenyamanan istirahat serta

    dukungan fisiologis/psikologis.

    b) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif

    Rasional: mencegah kekakuan sendi, kontraktur, kelelahan

    otot, meningkatkan kembalinya aktivitas secara dini.

    c) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat

    berpindah atau berjalan

    Rasional: mengoptimalkan energi yang belum digunakan.

    Edukasi:

    a) Anjurkan tirah baring

    Rasional: meningkatkan kenyamanan istirahat serta

    dukungan fisiologis/psikologis.

    b) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

    Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,

    mencegah terjadinya kontraktur.

    c) Anjurkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

    Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

    Kolaborasi:

    a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan

    asupan makanan

    Rasional: mempercepat proses penyembuhan

    2) Terapi Aktivitas:

    Definisi: menggunakan aktivitas fisik, kognitif, sosial, dan

    spiritual tertentu untuk memulihkan keterlibatan, frekuensi, atau

    durasi aktivitas individu atau kelompok.

    Observasi:

    a) Identifikasi kemampuan beraktivitas

  • 30

    Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan

    kesulitan terhadap keadaan yang dialami.

    b) Monitor respons emosional, fisik, sosial, dan spiritual

    terhadap aktivitas

    Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

    Terapeutik:

    a) Bantu klien untuk melakukan aktivitas dan tetapkan tujuan

    aktivitas yang konsisten sesuai kemampuan fisik, psikologis,

    dan sosial

    Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

    b) Bantu klien dalam melakukan aktivitas fisik rutin (misalnya

    ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri) sesuai kebutuhan

    Rasional: mencegah kekakuan sendi, kontraktur, kelelahan

    otot, meningkatkan kembalinya aktivitas secara dini.

    c) Bantu klien dalam melakukan aktivitas ibadah di tempat

    tidur (misalnya sholat dengan posisi di atas tempat tidur,

    membaca kitab suci) jika sesuai

    Rasional: meningkatkan aktivitas ibadah yang dapat

    membantu proses pemulihan.

    d) Libatkan anggota keluarga dalam melakukan aktivitas klien,

    jika perlu

    Rasional: dukungan kelurga dapat meningkatkan proses

    pemulihan.

    e) Jadwalkan kegiatan aktivitas klien dalam melakukan

    kegiatan sehari-hari

    Rasional: mencegah kepenatan dan pengumpulan energi

    dalam proses pemulihan.

    Edukasi:

    a) Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari

  • 31

    Rasional: menyediakan pengetahuan dasar mengenai

    tindakan yang akan dilakukan

    b) Ajarkan melakukan aktivitas yang dipilih

    Rasional: meningkatkan pengembalian fungsi normal tubuh

    dan meningkatkan perasaan sehat.

    c. Gangguan pola tidur

    1) Dukungan Tidur

    Definisi: memfasilitasi siklus tidur dan terjaga yang teratur.

    Observasi:

    a) Identifikasi pola aktivitas dan tidur

    Rasional: mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi

    yang tepat.

    b) Identifikasi faktor yang dapat mengganggu tidur

    (fisik/psikologis).

    Rasional: membantu dalam mengidentifikasi maslah yang

    dapat mengganggu tidur.

    c) Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu tidur

    (misalnya kopi, teh, alkohol, makan mendekati waktu-waktu

    tidur, minum banyak air sebelum tidur.

    Rasional: membantu dalam peningkatan kenyamanan tidur.

    d) Identifikasi penggunaan obat tidur

    Rasional: penggunaan obat tidur yang membantu pasien

    dalam beristirahat.

    Terapeutik:

    a) Modifikasi lingkunan (misalnya pencahayaan, kebisingan,

    suhu, matras, dan tempat tidur

    Rasional: meningkatkan kenyamanan istirahat serta

    dukungan fisiologis/psikologis.

    b) Batasi waktu tidur siang, jika perlu

  • 32

    Rasional: membantu dalam penggunaan energi untuk

    beraktivitas.

    c) Bantu klien membuat jadwal tidur

    Rasional: membantu menginduksi tidur

    d) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan

    (misalnya pijat, pengaturan posisi, terapi akupresur)

    Rasional: memberikan situasi kondusif untuk tidur

    e) Bantu klien menyesuaikan jadwal pemberian obat atau

    tindakan untuk menunjang siklus tidur terjaga

    Rasional: membantu pasien dalam beristirahat selama

    periode transisi dari rumah ke lingkungan baru.

    Edukasi:

    a) Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit

    Rasional: memberikan pemahaman pada pasien mengenai

    pentingnya istirahat/tidur.

    b) Anjurkan klien untuk tidur tepat waktu

    Rasional: membantu dalam pengaturan penggunaan energi

    untuk beraktivitas.

    c) Anjurkan menghindari makanan/minuman yang

    mengganggu tidur

    Rasional: mengurangi faktor yang dapat mengganggu proses

    istirahat/tidur.

    d) Ajarkan cara nonfarmakologi untuk mempermudah proses

    tidur (mendengarkan murottal. matikan lampu kamar)

    Rasional: memberikan situasi kondusif untuk tidur tanpa

    penggunaan cara farmakologi

    2) Edukasi aktifitas/istirahat

    Definisi: mengajarkan pengaturan aktivitas dan istirahat.

    Observasi:

    a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi

  • 33

    Rasional: memahami kemampuan pasien dalam menerima

    informasi.

    Terapeutik

    a) Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan istirahat

    Rasional: mencegah kepenatan dan meningkatkan perasaan

    sehat.

    b) Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai

    kesepakatan

    Rasional: mencegah kepenatan dalam beristirahat dan

    meningkatkan pengetahuan mengenai istirahat/tidur.

    c) Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk

    bertanya

    Rasional: mengkaji pengetahuan pasien dan keluarga selama

    proses belajar.

    Edukasi

    a) Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/ olahraga rutin

    Rasional: mencegah kepenatan dan meningkatkan

    pengetahuan serta perasaan sehat.

    b) Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas

    bermain atau aktivitas lainnya

    Rasional: mencegah kepenatan dan meningkatkan perasaan

    sehat.

    c) Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat (misalnya

    kelelahan, sesak nafas saat aktivitas)

    Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat

    memberikan informasi mengenai pemulihan.

    4. Implementasi

    Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam

    rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri

    (independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independen)

  • 34

    adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau

    keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari

    petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang

    didasarkan hasil keputusan bersama,seperti dokter dan petugas kesehatan

    lain.

    Bentuk implementasi keperawatan adalah sebagai berikut:

    a. Bentuk perawatan pengkajian untuk mengidentifikasi masalah baru

    atau mempertahankan masalah yang ada.

    b. Pengajaran atau pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu

    menambah pengetahuan tentang kesehatan.

    c. Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien.

    d. Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga profesional kesehatan

    lainnya sebagai bentuk perawatan holistik.

    e. Bentuk penatalaksanaan secara spesifikatau tindakan untuk

    memecahkan masalah kesehatan.

    f. Membantu pasien dalam melakukan aktivitas sendiri.

    5. Evaluasi

    Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.

    Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan

    dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan

    keperawatan yang diberikan.

    Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut:

    a. Daftar tujuan-tujuan pasien

    b. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu

    c. Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien

    d. Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak

    jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak

    kesalahannya, lalu dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang

    ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.

  • 35

    C. Tinjauan Konsep Penyakit

    1. Definisi Fraktur

    Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau

    tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang,

    dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur

    yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Amin Huda Nurafif dan

    Hardhi Kusuma, 2015).

    Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu

    tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga

    terganggu (Joyce M. Black dan Jane Hokanson Hawks, 2014).

    Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang yang dapat

    disebabkan oleh dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik,

    kontraksi otot yang sangat kuat dan secara tiba-tiba atau dorongan yang

    tidak langsung (A. Aziz Alimul Hidayat, 2006).

    Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur

    adalah terputusnya kontinuitas tulang yang normal akibat trauma benda

    tajam maupun tumpul yang terjadi secara mendadak dan bahkan

    kontraksi otot yang berlebihan. Fraktur dapat menyebabkan rasa nyeri,

    pembengkakan, deformitas, krepitasi, perdarahan, pemendekan, dan

    gangguan fungsi tulang.

    2. Etiologi Fraktur

    Menurut (Wiarto, 2017) secara etiologi fraktur disebabkan karena

    kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung dan kekerasan akibat

    tarikan otot.

    a. Kekerasan langsung

    Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya

    kekerasan. Fraktur yang demikian sering bersifat fraktur terbuka

    dengan garis patah atau melintang

  • 36

    b. Kekerasan tidak langsung

    Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang

    jauh dari tempat terjadinya kekerasan. yang patah biasanya adalah

    bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vector kekerasan.

    c. Kekerasan akibat Tarikan Otot

    Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat

    berasal dari pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari

    ketiganya dan penarikan.

    3. Gejala Klinis

    Menurut (Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015) gejala-

    gejala pada fraktur adalah:

    a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak

    b. Nyeri pembengkakan

    c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas ,jatuh dari ketinggian atau

    jatuh di kamar mandi pada orangtua, penganiayaan, tertimpa benda

    berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga)

    d. Gangguan fungsi anggota berat

    e. Deformitas

    f. Kelainan Gerak

    g. Krepitasi atau datang dengan gejala lain

    Tabel 2.3 Waktu penyembuhan luka pada orang dewasa

    Lokalisasi Waktu Penyembuhan

    Falang/metacarpal/metatarsal/kosta 3-6 minggu

    Distal radius 6 minggu

    Diafisis ulna dan radius 12 minggu

    Humerus 10-12 minggu

  • 37

    Klavikula 6 minggu

    Panggul 10-12 minggu

    Femur 12-16 minggu

    Kondilus femur/fibula 8-10 minggu

    Tibia/fibula 12-16 minggu

    Vertebra 12 minggu

    (Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015)

    Menurut (Istianah, 2018) gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi,

    berat dan jumlah kerusakan pada struktur lain. Pengkajian gejala klinis

    untuk fraktur meliputi:

    a. Aktivitas/istirahat

    Pasien memperlihatkan keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian

    yang cedera. Kemungkinan terjadi sebagai akibat langsung dari

    fraktur atau akibat sekunder pmbengkakan jaringan dan nyeri.

    b. Sirkulasi

    Pasien menunjukkan gejala/tanda:

    1) Peningkatan tekanan darah, mungkin terjadi akibat respons

    terhadap nyeri atau kecemasan. Sebaliknya penurunan tekanan

    darah mungkin terjadi bila pendarahan.

    2) Takikardia.

    3) Penurunan atau hilang denyut nadi pada bagian distal area cedera,

    pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur.

    4) Hematoma area fraktur.

    c. Neurosensori

    Pasien menunjukkan gejala dan tanda:

    1) Hilang gerakan atau sensasi.

    2) Parestesia (kesemutan), deformitas lokal, angulasi abnormal,

    pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan atau

    kehilangan fungsi.

  • 38

    3) Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang cedera

    sebagai akibat langsung dari fraktur atau pembengkakan jaringan

    dan nyeri.

    4) Agitasi, mungkin berhubungan dengan nyeri, kecemasan atau

    trauma lain.

    d. Rasa tidak nyaman

    Pasien menunjukkan gejala/tanda:

    1) Nyeri hebat tiba-tiba ada saat cedera, mungkin terlokalisasi pada

    area fraktur, berkurang pada imobilisasi.

    2) Spasme/kram setelah imobilisasi.

    3) Pembengkakan lokal yang dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba.

    4. Klasifikasi Fraktur

    Menurut (Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015), jenis-jenis

    fraktur antara lain:

    a. Klasifikasi etiologis

    1) Fraktur traumatic

    2) Fraktur patologis, terjadi pada tulang karena adanya

    kelainan/penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang

    (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi secara spontan

    atau akibat trauma ringan

    3) Fraktur stres, terjadi karena adanya stres yang kecil dan berulang-

    ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur

    tulang jarang ditemukan pada anggota gerak atas.

    b. Klasifikasi klinis

    1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan

    antara fragmen tulang dengan dunia luar.

    2) Fraktur terbuka (compoun fraktur), bila terdapat hubungan antara

    fragmen tulang dengan dunia luar, karena adanya perlukaan

    kulit.

    3) Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed, union,

    nonunion, infeksi tulang.

  • 39

    Fraktur terbuka dibagi atas tiga derajat (menurut R.Gustino),

    yaitu:

    a) Derajat I

    (1) Luka ≤ 1cm

    (2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka

    remuk

    (3) Fraktur sederhana, transversal, atau komunitif ringan

    (4) Kontaminasi minimal

    b) Derajat II

    (1) Laserasi ≥ 1cm

    (2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi

    (3) Fraktur kominutif sedang

    (4) Kontaminasi sedang

    c) Derajat III

    Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur

    kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

    Menurut (Istianah, 2018) jenis-jenis fraktur antara lain:

    a. Berdasarkan garis

    1) Fraktur komplit, apabila garis patah melalui seluruh

    penampang tulang atau melalui kedua konteks tulanng

    2) Fraktur inkomplit, apabila garis patah tidak melalui

    penampang tulang.

    b. Berdasarkan bentuk fraktur dan kaitannya dengan mekanisme

    trauma.

    1) Fraktur tansfersal, fraktur dengan garis patah tegak lurus

    terhadap sumbu panjang tulang. Jika segmen pada tulang

    direposisi atau direduksi kembali ke tempat semula, maka

    segmen akan stabil dan biasanya akan mudah dikontrol dengan

    bidai gips.

  • 40

    2) Fraktus oblique, fraktur dengan garis patah membentuk sudut

    terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil.

    3) Fraktur serial, fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstremitas.

    Kondisi ini dapat menimbulkan sedikit kerusakan jaringan

    lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.

    4) Fraktur kompresi, fraktur yang terjadi ketika dua tulang

    menumpuk pada tulang ketiga yang berada diantaranya,

    misalnya satu vertebra dengan vertebra lain.

    5) Fraktur anulas, fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada

    tempat insisi tendon atau ligament, contohnya fraktur patella.

    c. Berdasarkan jumalah garis fraktur

    1) Fraktur communite, terjadi banyak garis fraktur atau banyak

    fragmen kecil yang terlepas.

    2) Fraktur segmental, apabila garis patah lebih dari satu tetapi tidak

    berhubungan sehingga satu ujung yang tidak memiliki

    pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh.

    3) Fraktur multiple, garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang

    yang berlainan tempat.

    d. Berdasarkan kaitan antara fragmen dengan lingkungan luar tubuh.

    1) Fraktur terbuka, apabila terdapat luka yang menghubungkan

    tulang yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.

    Fragmen terbuka dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu:

    a) Pecah tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit

    terkontaminasi ringan, luka ≤ 1cm.

    b) Kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi ≥ 1cm.

    c) Luka besar sampai dengan 8cm, kehancuran otot, kerusakan

    neuromaskular, kontaminasi besar.

    2) Fraktur tertutup, terjadi pada tulang yang abnormal atau sakit.

    Penyebab terbanyaknya adalah osteoporosis dan osteomalacia.

    Dampak dari fraktur yang dapat menyebabkan gangguan

    mobilitas fisik yaitu, terjadinya fraktur dari trauma langsung dan

  • 41

    tidak langsung. Dapat menyebabkan diskontinuitas pada tulang

    yang fraktur, selanjutnya terjadi perubahan jaringan sekitar yang

    mengakibatkan pergeseran pada tulang dan tulang mengalami

    kesulitan untuk bergerak, maka terjadilah gangguan mobilitas

    fisik.

    (Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015)

    Gambar 2.1 Klasifikasi fraktur

    5. Fase Penyembuhan Fraktur

    a. Fase Hematum

    1) Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematum

    disekitar fraktur

    2) Setelah 24 jam suplai darah disekitar fraktur meningkat

    b. Fase Granulasi Jaringan

    1) Terjadi 1-5 hari setelah injuri

    2) Pada tahap phagositosis aktif granulasi jaringan yang berisi

    pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast

    c. Fase Formasi Callus

    1) Terjadi 6-10 hari setelah injuri

    2) Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus

    d. Fase ossificasi

    1) Mulai pada 2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh

  • 42

    2) Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan

    endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah

    e. Fase Konsolidasi dan Remodelling

    Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus dengan

    oksifitas osteoblast dan osteuctac (Pranata, 2016).

  • 43

    5. Patofisisologi Fraktur

    (Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015)

    Gambar 2.2 Patofisiologi fraktur

    Trauma Langsung Trauma Tidak

    Langsung Kondisi

    Patologis

    Fraktur

    Diskontinuitas tulang

    Nyeri akut Pergeseran fragmen

    tulang

    Perub. jaringan perifer

    Kerusakan

    fragmen

    tulang

    Spasme otot Tekanan sumsum

    tulang lebih tinggi dari

    kapiler

    Pergeseran

    fragmen tulang

    Peningkatan tenaga

    kapiler Melepaskan

    katekolamin Deformitas

    Pelepasan

    histamin Metabolisme

    asam lemak

    Gangguan fungsi

    ekstremitas

    Protein plasma hilang

    Kerusakan

    mobilitas fisik

    Bergabung

    dengan trombosit Edema

    Emboli

    Laserasi kulit Penekanan

    pembuluh darah Menyumbat

    pembuluh darah

    Kerusakan

    integritas kulit

    Resiko infeksi

    Reso infeksi

    Putus vena/arteri

    Ketidakefektifan

    perfusi jaringan

    perifer

    Kehilangan volume

    cairan

    Perdarahan

    Resiko syok

    (hipovolemik)

  • 44

    6. Pemeriksaan Diagnostik

    Pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada kasus

    fraktur adalah:

    a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya

    fraktur.

    b. Scan tulang, tonogram, atau scan CT/MRI untuk memperhatikan

    fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

    c. Ateriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan

    vaskular.

    d. Hitung darah lengkap. Hemokonsentrasi mungkin meningkat

    atau menurun pada perdarahn, selain itu peningkatan leukosit

    mungkin terjadi sebagai respons terhadap peradangan.

    e. Kretinin. Trauma otot meningktkan beban kreatinin untuk klien

    ginjal.

    f. Profil koagulasi. Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,

    transfusi atau cedera organ hati (Istianah, 2018).

    7. Penatalaksanaan

    a. Penatalaksanaan Fraktur

    1) Diagnosis dan penilaian fraktur Rekognisi

    Kerusakan jaringan lunak yang tampak nyata dapat

    memungkinkan terjadinya fraktur dan dibutuhkan pemasangan

    bidai segera dan pemeriksan lebih lanjut (Price & Wilson, 1990).

    Rekognisi (pengenalan) merupakan pemeriksaan terhadap

    riwayat kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang

    berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh

    penderita sendiri, menentukan apakah ada kemungkinan fraktur

    dan apakah perlu dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari

    adanya fraktur (Lukman & Ningsih, 2012).

    2) Reduksi

  • 45

    Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen

    tulang yang patah untuk kembali pada letak asalnya. Fraktur

    tertutup pada tulang panjang sering ditangani dengan reduksi

    tertutup. Evaluasi awal dapat dilaksanakan dengan

    pemasangan bidai/gips dan untuk mengurangi nyeri selama

    tindakan klien dapat diberi narkotika intravena, sedatif atau

    blok saraf lokal (Lukman & Ningsih, 2012).

    Tujuan dari reduksi adalah untuk mengembalikan panjang

    dan kesejajaran garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi

    tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi

    manual atau mekanis untuk menarik fraktur, kemudian

    memanipulasi untuk mengembalikan kesejajaran garis normal.

    Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan, maka bila

    dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan

    menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan

    posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi

    internal tersebut antara lain pen, kawat skrup dan plat. Alat-

    alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan

    Open Reduction Internal Fixation (ORIF). Pembedahan terbuka

    ini akan mengimobilisasikan fraktur hingga bagian tulang

    yang patah dapat tersambung kembali (Istianah, 2018).

    3) Retensi

    Retensi merupakan tindakan mempertahankan reduksi, sebagai

    aturan umum maka gips yang dipasang untuk mempertahankan

    reduksi harus melewati sendi diatas fraktur dan dibawah fraktur.

    Bila kedua sendi posisinya membentuk sudut dengan sumbu

    longitudinal tulang patah maka koreksi angulasi dan oposisi

    dapat dipertahankan, sekaligus mencegah perubahan letak

    rotasional (Lukman & Ningsih, 2012).

    Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran

    fragmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam

  • 46

    penyatuan. Pemasangan plat atau traksi dimasukkan untuk

    mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur

    (Istianah, 2018).

    4) Rehabilitasi

    Rehabilitasi merupakan tahap pemulihan. Kapsula sendi, otot,

    dan ligamen berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips

    atau bidai dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk gerakan

    aktif dan pasif serta penguatan otot (Sabiston, 1994).

    Megendalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.

    (Istianah, 2018).