BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar...
-
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia adalah unsur-unsur yang dibutuhkan
manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun
psikologis untuk mempertahankan kehidupan. Menurut teori Hierarki
kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan Abraham Maslow, ada lima
kategori kebutuhan dasar, yaitu:
a. Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar, yaitu
kebutuhan fisiologis seperti oksigen, cairan (minuman), nutrisi
(makanan), keseimbangan suhu tubuh, eliminasi, tempat tinggal,
istirahat dan tidur, serta kebutuhan sosial.
b. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan
Kebutuhan rasa aman dan perlindungan dibagi menjadi
perlindungan fisik dan perlindungan psikologis. Perlindungan fisik
meliputi perlindungan atas ancaman tubuh atau hidup. Ancaman
tersebut dapat berupa penyakit, kecelakaan, bahaya dari lingkungan
dan sebagainya. Perlindungan psikologis yaitu perlindungan atas
ancaman dari pengalaman yang baru dan asing. Misalnya,
kekhawatiran yang dialami seseorang ketika pertama kali masuk
sekolah karena merasa terancam oleh keharusan untuk berinteraksi
dengan oranglain.
c. Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki
Kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki merupakan
kebutuhan untuk saling memiliki dan dimiliki terdiri dari memberi
dan menerima kasih sayang, mendapatkan kehangatan keluarga,
memiliki sahabat, dan diterima oleh kelompok sosial.
-
8
d. Kebutuhan harga diri
Kebutuhan harga diri meliputi perasaan tidak tergantung kepada
oranglain, dan mendapatkan penghargaan terhadap diri sendiri dan
orang lain.
e. Kebutuhan aktualisasi diri
Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi dalam
Hierarki Maslow, berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada
oranglain atau lingkungan untuk mencapai diri sepenuhnya.
2. Konsep Dasar Aktivitas
Kemampuan beraktivitas merupakan kebutuhan dasar yang
dibutuhkan oleh setiap manusia. Kemampuan tersebut meliputi berdiri,
berjalan, bekerja dan lain sebagainya. Dengan beraktivitas tubuh akan
menjadi sehat, seluruh sistem tubuh dapat berfungsi dengan baik dan
metabolisme tubuh dapat optimal. Disamping itu, kemampuan bergerak
(mobilisasi) juga dapat mempengaruhi harga diri dan citra tubuh
seseorang. Kemampuan beraktivitas seseorang dipengaruhi oleh sistem
persarafan dan muskuloskeletal yang adekuat (Haswita dan Reni
Sulistyowati, 2017).
Menurut KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) aktivitas
merupakan segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang
terjadi baik fisik maupun non-fisik merupakan suatu aktivitas. Aktivitas
fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan otot rangka yang memerlukan
suatu pengeluaran energi. Kurangnya aktivitas fisik akan menjadi salah
satu faktor independen dalam suatu penyakit kronis yang menyebabkan
kematian secara global. Jadi, berdasarkan beberapa penjelasan diatas
aktivitas fisik merupakan kegiatan keaktifan tubuh untuk bergerak yang
memerlukan energi yang dihasilkan oleh otot rangka dari sistem
muskuloskeletal (WHO, 2008).
-
9
3. Sistem Tubuh Yang Berperan Dalam Aktivitas
Pergerakan merupakan rangkaian aktivitas yang terintegrasi antara
sistem muskuloskeletal dan sistem persarafan di dalam tubuh (Haswita
dan Reni Sulityowati, 2017).
a. Sistem Muskuloskeletal
Sistem muskuloskeletal terdiri atas rangka (tulang), otot dan sendi.
Sistem muskuloskeletal sangat berperan dalam pergerakan dan
aktivitas manusia.
1) Tulang
Tubuh manusia terusun oleh tulang-tulang. Tulang satu dengan
yang lainnya dihubungkan melalui sendi kemudian membentuk
rangka.
Fungsi rangka antara lain:
a) Menyokong jaringan tubuh, termasuk memberi bentuk pada
tubuh (postur tubuh)
b) Melindungi bagian tubuh yang lunak, termasuk seperti otak,
paru-paru, hati dan medulla spinalis.
c) Sebagai tempat melekatnya otot dan tendon, termasuk juga
ligamen
d) Sebagai sumber mineral, seperti garam, fosfat, dan lemak.
e) Berperan dalam proses produksi sel darah (Haswita dan Reni
Sulistyowati, 2017).
2) Otot
Otot merupakan organ yang memiliki elastisitas dan
kontraktilitas yaitu kemampuan untuk meregang dan
memendek, serta kembali kepada posisi semula. Kemampuan
ini yang memungkinkan organ yang menyertainya dapat
bergerak, seperti gerakan pada tulang usus, jantung, paru paru
dan organ lainnya. Otot tersusun oleh serat otot yang
berisiprotein kontraktil yaitu miofibril-miofibril. Masing-
masing miofibril tersusun tersusun atas miofilamen, yaitu
-
10
miofilamen tebal disebut myosin dan miofilamen tipis yang
tersusun atas aktin, troponin dan tropomiosin. Pergerakan
terjadi karena adanya kontraksi yang di akibatkan oleh aktin dan
myosin.
Jenis kontraksi otot:
a) Kontraksi isometrik.
Kontraksi ini tidak terjadi pemendekan otot selama
kontraksi karena tidak memerlukan sliding myofibril, tetapi
terjadi secara paksa. Misalnya, saat kita mengangkat barang
yang sangat berat, mendorong meja dengan tangan lurus
sehingga terjadi tegangan.
b) Kontraksi isotonik
Kontraksi ini terjadi pemendekan otot, terapi tegangan pada
otot tetap konstan. Kontraksi ini memerlukan energi yang
besar. Contoh jenis kontraksi ini adalah saat mengangkat
beban menggunakan otot bisep. Beachii, kegiatan makan,
menyisir, dan lain-lain (Tarwoto dan Wartonah, 2015).
3) Sendi
Sendi menghubungkan antar tulang yang di dukung dengan
adanya ligamen dan tendon. Ligamen menstabilkan tulang
diantara tulang dan lebih elastis daripada tendon. Sendi dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu:
a) Sendi yang tidak dapat digerakkan (sendi sinartrosis) seperti
pada sutura,epifisis, dan diafisis.
b) Sendi yang sedikit dapat digerakkan (sendi amfiartosis)
seperti pada simfisis.
c) Sendi yang dapat bergerak bebas (sendi diartrosis) seperti
gerak pada siku, pergerakan lutut, jari tangan. (Tarwoto dan
Wartonah, 2015)
b. Sistem Persarafan
Sistem persarafan berperan dalam mengontrol fungsi motorik.
-
11
Pusat pengendalian pergerakan adalah serebelum, korteks serebri,
dan basal ganglia. Serebelum berperan dalam koordinasi aktivitas
motorik pergerakan dan keseimbangan. Korteks serebri berperan
dalam mengontrol aktivitas motorik yang disadari. Basal ganglia
berperan dalam mempertahankan postur.
Sistem Persarafan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1) Saraf aferen (reseptor), berfungsi menerima rangsangan dari
luar kemudian meneruskannya ke susunan saraf pusat.
2) Sel saraf atau neuron, berfungsi membawa impuls dari bagian
tubuh satu ke bagian tubuh lainnya.
3) Sistem saraf pusat, berfungsi memproses impuls dan kemudian
memberikan respon melalui saraf aferen.
4. Konsep Mekanika Tubuh
Mekanika tubuh adalah suatu usaha mengkoordinasikan sistem
muskuloskeletal dan sistem saraf dalam mempertahankan keseimbangan,
postur dan kesejajaran tubuh selama mengangkat, membungkuk,
bergerak dn melakukan aktivitas sehari-hari. Mekanika tubuh adalah
penggunaan organ tubuh secara efisien dan efektif sesuai dengan
fungsinya. Mekanika tubuh meliputi tiga elemen dasar, yaitu:
a. Body alignment (postur tubuh). Susunan geometrik bagian-bagian
tubuh dalam hubungannya dengan bagian tubuh yang lain.
b. Balance/keseimbangan. Keseimbangan bergantung pada interaksi
antara center gravity dan base of support .
c. Coordinated body movement (gerakan tubuh yang terkoordinasi),
yitu mekanika tubuh berinteraksi dalam fungsi muskuloskeletal dan
sistem saraf.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas
Menurut Wahit Iqbal Mubarak & Lilis Indawati,(2015) faktor yang
mempengaruhi aktivitas diantaranya adalah :
-
12
a. Perumbuhan dan perkembangan
Usia serta perkembangan sistem muskuloskeletal dan persarafan
akan berperan terhadap postur tubuh, proporsi tubuh, massa tubuh,
pergerakan, serta refleks tubuh seseorang.
b. Kesehatan fisik
Gangguan pada sistem muskuloskeletal atau persarafan dapat
menyebabkan dampak yang negatif pada pergerakan dan mekanika
tubuh seseorang. Adanya penyakit, trauma, atau kecacatan dapat
mengganggu sistem pergerakan dan struktur tubuh.
c. Status mental
Gangguan mental atau afektif seperti depresi atau stres kronis dapat
memengaruhi seseorang untuk bergerak. Individu yang mengalami
depresi cenderung tidak antusias dalam mengikuti kegiatan tertentu,
bahkan kehilangan energi untuk melakukan perawatan hygiene.
Demikian juga dengan stres yang berkepanjangan, kondisi ini dapat
menguras energi sehingga individu kehilangan semangat untuk
beraktivitas.
d. Gaya hidup
Perubahan pola hidup seseorang dapat menimbulkan stres dan
kemungkinan besar akan menimbulkan kecerobohan dalam
melakukan aktivitas, sehingga dapat menganggu kordinasi antara
sistem musuluskeletal dan neurologi, yang dapat menyebabkan
perubahan mekanika tubuh.
e. Sikap dan nilai personal
Nilai-nilai yang tertanam dalam keluarga dapat mempengaruhi
aktivitas yang akan dilakukan oleh individu. Sebagai contoh, anak-
anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang senang
melakukan kegiatan olahraga sebagai contoh rutinitas akan belajar
menghargai aktivitas fisik.
-
13
f. Nutrisi
Nutrisi berfungsi bagi organ tubuh untuk mempertahankan status
kesehatan. Apabila pemenuhan nutrisi tidak adekuat, hal ini dapat
mengakibatkan kelelahan atau kelemahan otot yang akan
mengakibatkan penurunan aktivitas atau pergerakan.
Sebaliknya, kondisi nutrisi yang berlebih dapat menyebabkan
terbatasnya pergerakan tubuh sehingga individu menjadi mudah
lelah.
g. Stress
Status emosi seseorang akan berpengaruh terhadap aktivitas
tubuhnya. Perasaan tertekan, cemas, dan depresi dapat menurunkan
semangat seseorang untuk beraktivitas. Kondisi ini ditandai dengan
penurunan nafsu makan, perasaan tidak bergairah, dan pada
akhirnya menyendiri.
h. Faktor sosial
Individu dengan tingkat kesibukan yang tinggi secara tidak
langsung akan sering menggerakkan tubuhnya. Sebaliknya,
inidividu yang jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar tentu
akan lebih sedikit beraktivitas atau menggerakkan tubuhnya.
6. Pengertian Mobilitas dan Immobilitas
Mobilitas merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Vasra, 2016).
Immobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak
secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan, misalnya
mengalami trauma atau cedera (Vasra, 2016). Berdasarkan uraian di atas
mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk melakukan pergerakan
secara mudah dan teratur tanpa adanya hambatan, sedangkan
immobilisasi adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
-
14
pergerakan secara mudah dan teratur di karenakan adanya kondisi yang
mengganggu pergerakan.
7. Jenis-Jenis Mobilitas dan Immobilitas
a. Jenis Mobilitas
1) Mobilitas penuh
Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak secara penuh dan bebas, sehingga dapat melakukan
interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas
penuh ini merupakan fungsi saraf motoris volunter dan sensoris
untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
2) Mobilitas sebagian
Mobilitas sebagian adalah kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan yang jelas, sehingga tidak mampu bergerak secara
bebas karena di pengaruhi oleh gangguan saraf motoris dan
sensoris pada area tubuhnya. hal ini dapat dijumpai pada kasus
cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas
sebagian di bagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Mobilitas sebagian temporer merupakan kemampuan
individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya
sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma
reversibel pada sistem muskuloskeletal, seperti adanya
dislokasi sendi dan tulang.
b) Mobilitas sebagian permanen merupakan kemampuan
individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya tetap.
Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang
irreversibel. Contohnya terjadi hemiplagia karena stroke,
paraplegi karena cedera tulang belakang dan untuk kasus
poliomielitis terjadi karena terganggunya sistem saraf
motoris dan sensoris (Vasra, 2016).
-
15
b. Jenis Immobilitas
1) Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara
fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi
pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak
mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga
tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi
tekanan.
2) Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang
mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3) Imobilitas emosional, keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara
tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan
stress berat yang disebabkan karena bedah amputasi ketika
seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau
kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
4) Imobilitas sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya
sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial
(Pratama, 2018).
8. Manfaat Mobilitas
a. Gerak tubuh secara teratur membuat tubuh menjadi segar.
b. Gerak tubuh secara teratur dapat memperbaiki tonus otot dan sikap
tubuh, mengontrol berat badan, mengurangi stres, dan dapat
meningkatkan relaksasi.
c. Gerak tubuh merangsang peredaran darah ke otot dan organ tubuh
yang lain sehingga dapat meningkatkan kelenturan tubuh.
d. Gerak tubuh dapat merangsang pertumbuhan (Kasiati dan Ni Wayan
Dwi Rosmalawati, 2016).
-
16
9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas
Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya:
a. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas
seseorang, karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan
sehari-hari. Proses penyakit atau injury dapat mempengaruhi
kemampuan mobilitas karena dapat mempengaruhi fungsi sistem
tubuh.
b. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi oleh
kebudayaan sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya
ada orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan
budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
c. Usia dan status perkembangan
Kemampuan mobilitas pada tingkat usia berbeda, ini dikarenakan
kemampuan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
Maka semakin tua usia seseorang, kemampuan aktivitas untuk
bergerak semakin berkurang (Vasra, 2016).
d. Proses penyakit/cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena
dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang
menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan gerak pada
ekstremitas bagian bawah.
e. Tingkat energi
Energi merupakan sumber untuk melakukan mobilitas. Agar
seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi
yang cukup.
-
17
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap pertama dalam proses keperawatan.
Data yang komprehensif dan valid akan menentukan penetapan diagnosis
keperawatan dengan tepat dan benar, selanjutnya akan berpengaruh
terhadap perencanaan keperawatan. Tujuan dari pengkajian adalah
didapatkannya data yang komprehensif yang mencakup data biopsiko
spiritual. Tahap pengkajian merupakan proses dinamis yang
terorganisasi, meliputi empat elemen dari pengkajian yaitu pengumpulan
data secara sistematis, memvalidasi data, memilah, dan mengatur data
dan mendokumentasikan data dalam format (Tarwoto dan Wartonah,
2015).
Pengkajian keperawatan dalam proses keperawatan meliputi:
a. Data pasien
b. Keluhan umum. Pasien tidak dapat melakukan pergerakan
merasakan nyeri pada area fraktur, rasa lemah dan tidak dapat
melakukan aktivitas.
c. Riwayat kesehatan sekarang. Kapan pasien mengalami fraktur,
bagaimana terjadinya dan bagian tubuh mana yang terkena.
d. Riwayat kesehatan sebelumnya. Apakah pasien pernah mengalami
penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kesehatan sekarang.
Misalnya apakah pasien memiliki penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau apakah pasien pernah mengalami kecelakaan
sebelumnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga. Apakah anggota keluarga pasien
memiliki penyakit keturunan yang mungkin akan mempengaruhi
kondisi sekarang. Penyakit keluarga yang berhubungan dengan
patah tulan, seperti osteoporosis.
f. Riwayat psikososial. Konsep diri pasien immobilisasi mungkin
terganggu, oleh karena ini kajian gambar ideal diri, harga diri,
-
18
identitas diri serta interaksi pasien dengan anggota keluarga maupun
dengan lingkungan tempat tinggalnya.
g. Aktivitas sehari-hari. Pengkajian ini bertujuan melihat perubahan
pola yang berkaitan dengan terganggunya asistem tubuh serta
dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar pasien.
h. Pemeriksaan fisik
1) Gambaran Umum:
a) Keadaan umum: baik/buruk, kesadaran (komposmetis, apatis,
sopor, koma, gelisah)
b) Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan)
c) Pemeriksaan secara sistematik diperiksa dari kepala, leher,
kelenjar getah bening, dada (thorax), perut (abdomen: hepar),
kelamin.
d) Bagian ekstremitas atas dan bawah serta punggung (tulang
belakang).
2) Keadaan lokal
Pemeriksaan muskuloskeletal:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan yang dilihat:
(1) Sikatrik (jaringan parut, baik yang alamiah maupun
buatan, yaitu pembedahan)
(2) Birth mark (bekas melahirkan)
(3) Fistula
(4) Warna (kemerahan, kebiruan/livide, hiperpigmentasi)
(5) Benjolan, pembengkakan, cekukan dengan hal-hal yang
tidak biasa, misalnya ada rambut diatasnya
(6) Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas)
(7) Cara jalan pasien (gait, sewaktu masuk kamar periksa)
-
19
b) Feel (palpasi)
Sebelum dilakukan palpasi, terlebih dahulu perbaiki posisi
penderita agar di mulai dari posisi netral/posisi anatomi.
Pemeriksaan ini memberikan informasi dua arah bagi
pemeriksa dan penderita. Karena itu perlu diperhatikan wajah
penderita atau menanyakan perasaan penderita. Yang perlu
dicatat pada palpasi adalah:
(1) Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban
kulit
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau hanya oedema terutama pada daerah persendian.
(3) Nyeri tekan (terderness), krepitasi, catat adanya kelainan
Otot: tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi
benjolan yang terdapat di permukaan tulang atau melekat
pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan
perlu ditentukan permukaannya, konsistensinya dan
pergerakan terhadap permukaan atau dasar, nyeri atau
tidak dan ukurannya.
c) Move (pergerakan)
Setelah memeriksa feel, pemeriksaan diteruskan dengan
menggerakkan anggota gerak dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pada pemeriksaan move,
periksalah anggota bagian tubuh yang normal terlebih dahulu.
Selain untuk mendapatkan kerjasama dari penderita juga untuk
mengetahui gerakan normal penderita, evaluasi keadaan
sebelum dan sesudah dilakukan pergerakan.
(1) Apabila ada fraktur akan terdapat gerakan abnormal di
daerah fraktur (kecuali fraktur incomplete)
(2) Pergerakan yang perlu dilihat adalah pergerakan aktif dan
pasif
-
20
(3) Pemeriksaan sendi
(a) Bandingkan antara bagian kiri dan kanan tentang
bentuk, ukuran, tanda radang
(b) Adanya nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri sumbu
(c) Adanya bunyi krepitasi
(d) Adanya kontraktur sendi
(e) Nilai Range Of Motion (ROM) secara aktif dan pasif
Range of Motion (ROM) merupakan jumlah maksimal
gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu
dari tiga potongan tubuh yaitu sagital, frotal, tranversal
(Asmadi, 2009). Range of Motion (ROM) adalah latihan
gerak sendi untuk meningkatkan aliran darah perfusi dan
mencegah kekakuan otot/sendi (Anggraeni, 2015). Tujuan
ROM antara lain: mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan kelenturan otot, menjaga fleksibilitas dari
masing-masing persendian, mencegah kontraktur pada
persendian (Asmadi, 2009). Latihan gerak sendi dapat
segera dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot
(endurance) sehingga memperlancar aliran darah serta
suplai oksigen untuk jaringan sehingga akan mempercepat
proses penyembuhan (Anggraeni, 2015).
Latihan gerak sendi/Range of Motion (ROM) dibagi
menjadi 5 yaitu:
1. Aktif Asistif Range of Motion (AAROM) adalah
kontraksi aktif dari otot dengan bantuan kekuatan
eksternal yang tidak sakit. AAROM meningkatkan
fleksibelitas kekuatan otot, meningkatkan koordinasi
otot dan mengurangi ketegangan pada otot sehingga
dapat mengurangi rasa nyeri.
2. Aktif Resistif ROM (ARROM) kontraksi aktif dari otot
melawan tahanan yang diberikan, tahanan dari otot
-
21
dapat diberikan dengan berat/beban, alat, tahanan
manual, atau berat badan. Tujuannya meningkatkan
kekuatan otot dan stabilitas.
3. Isometrik exercise adalah bentuk latihan dimana otot
yang dilatih tidak mengalami perubahan panjang dan
tanpa adanya pergerakan dari sendi. Sehingga latihan
akan menyebabkan ketegangan pada otot bertambah.
4. Isotonik exercise (aktif rom dan pasif rom) adalah
kontraksi terjadi jika otot dan yang lainnya memendek
(konsentrik) atau memanjang (ensentrik) melawan
tahanan tertentu atau hasil dari pergerakan sendi.
Contoh isometric exercise, fleksi atau ekstensi
ekstremitas. Isotonik exercise tetap menyebabkan
ketegangan pada otot yang menimbulkan rasa nyeri
pada otot.
5. Isokinetik exercise adalah latihan dengan kecepatan
dinamis dan adanya tahanan pada otot serta
persendian dengan bantuan alat. Isokinetik
menggunakan consentrik dan ensentrik kontraksi
(Anggraeni, 2015).
Pemeriksaan Range Of Motion (ROM) merupakan
pemeriksaan yang dilakukan dengan pengukuran luas
gerakan sendi (derajat) yang terjadi dari kontraksi dan
pergerakan otot. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
meminta klien untuk menggerakkan masing-masing
persendian sesuai gerakan normal baik aktif maupun
pasif. Jenis gerakan: fleksi, ekstensi, hiperekstensi,
rotasi, sirkumduksi, supinasi, pronasi, abduksi,
adduksi, oposisi. Sendi yang di gerakkan: ROM aktif
(seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki
oleh klien secara aktif). ROM pasif (seluruh persendian
-
22
tubuh atau hanya pada bagian ektremitas yang
terganggu dan klien tidak mampu melaksanakan secara
mandiri (Oktadoni Saputra dan Rizki Hanriko, 2016).
Tabel 2.1 Derajat kekuatan otot
Skala Presentase kekuatan
normal
Keterangan
0 0 Pralisi sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot
dapat dipalpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi
3 50 Gerakan normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh normal melawan
tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh
(Saputra, 2013)
Tabel 2.2 Tingkat kemampuan aktivitas
Tingkat
aktivitas/mobilitas
Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan alat untuk mobilisasi
Tingkat 2 Memerlukan bantuan untuk pengawasan orang lain untuk
mobilisasi
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan peralatan
untuk mobilisasi
Tingkat 4 Sangat tergantung pada bantuan alat dan orang lain serta
tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan
(Saputra, 2013)
i. Pemeriksaan penunjang
-
23
1) Radiologi untuk mengetahui kelainan bentung tulang, skoliosis,
lordosis, kiposis, fraktur, tumor tulang, spondilitis, trauma tulang
belakang, dan keadaan jantung atau paru.
2) Pemeriksaan laboratorium, seperti elektrolit kalsium, fosfat.
3) Pemeriksaan darah lengkap seperti eritrosit, leukosittrombosit,
dan hemoglobin (Tarwoto dan Wartonah, 2015).
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai
status kesehatan atau masalah aktual atau risiko dalam rangka
mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk
mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien
yang ada pada tanggung jawabnya (Tarwoto dan Wartonah, 2015).
Beberapa diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada masalah
gangguan mobilitas fisik. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(2017):
a. Gangguan mobilitas fisik
Definisi: keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri.
Penyebab:
1) Kerusakan integritas struktur tulang
2) Perubahan metabolisme
3) Ketidakbugaran fisik
4) Penurunan kendali otot
5) Penurunan kekuatan otot
6) Keterlambatan perkembangan
7) Kekakuan sendi
8) Kontraktur
9) Malnutrisi
10) Gangguan muskuloskeletal
11) Gangguan neuromuskular
-
24
12) Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
13) Efek agen farmakologis
14) Program pembatasan gerak
15) Nyeri
16) Kurang terpapar tentang aktivitas fisik
17) Kecemasan
18) Gangguan kognitif
19) Keengganan melakukan pergerakan
20) Gangguan sensori persepsi
Gejala dan tanda mayor
Subjektif: mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas.
Objektif: kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM)
menurun.
Gejala dan tanda minor
Subjektif: nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan,
merasa cemas saat bergerak.
Objektif: sendi kaku, gerkan tidak, terkoordinasi, gerakan
terbatas, fisik lemah.
Kondisi klinis terkait: stroke, cedera medula spinalis, trauma,
fraktur, osteosrthritis, osteomalasia, keganasan.
b. Intoleransi aktivitas
Definisi: ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-
hari.
Penyebab:
1) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
2) Tirah baring
3) Kelemahan
4) Imobilitas
5) Gaya hidup monoton
Gejala dan Tanda Mayor
-
25
Subjektif: mengeluh lelah
Objektif: frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif: dipsnea saat/setelah aktivitas, merasa tidak nyaman
seelah beraktivitas, merasa lemah
Objektif: tekanan darah berubah
-
26
a. Gangguan mobilitas fisik
1) Dukungan ambulasi
Definisi: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan berpindah
Tindakan observasi:
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya
Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan
kesulitan terhadap keadaan yang dialami.
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
memulai ambulasi
Rasional: mengidentifikasikan adanya perubahan tekanan
darah dan frekuensi jantung sebelum dan sesudah dilakukan
ambulasi.
d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
Rasional: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan tekanan darah.
Tindakan terapeutik:
a) Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu (mis.tongkat,
kruk)
Rasional: membantu dalam peningkatan aktifitas dengan
menggunkan alat bantu.
b) Fasilitasi melakukan ambulasi dini
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
Tindakan edukasi:
a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
Rasional: memberikan pemahaman mengenai manfaat
tindakan yang didahulukan.
-
27
b) Anjurkan melakukan ambulasi dini, misalnya duduk di tempat
tidur.
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (misalnya
duduk di tempat tidur, berjalan dari tempat tidur kekursi roda,
berjalan dari tempat tidur kekamar mandi,berjalan sesuai
toleransi).
Rasional: menurunkan komplikasi tirah baring dan
meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.
2) Dukungan Mobilisasi
Definisi: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas
pergerakan fisik.
Tindakan observasi :
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainya
Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan
kesulitan terhadap keadaan yang dialami.
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
Tindakan terapeutik :
a) Fasilitasi aktivitas mobiltas dengan alat bantu (mis.pagar
tempat tidur)
Rasional: membantu dalam peningkatan aktifitas dengan
menggunkan alat bantu.
b) Fasilitasi melakukan pergerakan, latihan isometrik
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
Tindakan edukasi :
a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
-
28
Rasional: memberikan pemahaman mengenai manfaat
tindakan yang didahulukan.
b) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
c) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(mis.duduk ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur kekursi).
Rasional: menurunkan komplikasi tirah baring dan
meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.
b. Intoleransi aktivitas
1) Manajeman energi:
Definisi: mengidentifikasi dan mengelola penggunaan energi
untuk mengatasi atau mencegah kelelahan dan mengoptimalkan
proses pemulihan.
Observasi:
a) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan
kesulitan terhadap keadaan yang dialami.
b) Monitor kelelahan fisik
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
c) Monitor pola dan jam tidur
Rasional: mengkaji perlunya mengidentifikasi intervensi
yang tepat.
d) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
Rasional : mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
-
29
Terapeutik:
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (misalnya
cahaya, suara, kunjungan)
Rasional: meningkatkan kenyamanan istirahat serta
dukungan fisiologis/psikologis.
b) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
Rasional: mencegah kekakuan sendi, kontraktur, kelelahan
otot, meningkatkan kembalinya aktivitas secara dini.
c) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Rasional: mengoptimalkan energi yang belum digunakan.
Edukasi:
a) Anjurkan tirah baring
Rasional: meningkatkan kenyamanan istirahat serta
dukungan fisiologis/psikologis.
b) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
mencegah terjadinya kontraktur.
c) Anjurkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
Kolaborasi:
a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan
Rasional: mempercepat proses penyembuhan
2) Terapi Aktivitas:
Definisi: menggunakan aktivitas fisik, kognitif, sosial, dan
spiritual tertentu untuk memulihkan keterlibatan, frekuensi, atau
durasi aktivitas individu atau kelompok.
Observasi:
a) Identifikasi kemampuan beraktivitas
-
30
Rasional: membantu menentukan derajat kerusakan dan
kesulitan terhadap keadaan yang dialami.
b) Monitor respons emosional, fisik, sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
Terapeutik:
a) Bantu klien untuk melakukan aktivitas dan tetapkan tujuan
aktivitas yang konsisten sesuai kemampuan fisik, psikologis,
dan sosial
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
b) Bantu klien dalam melakukan aktivitas fisik rutin (misalnya
ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri) sesuai kebutuhan
Rasional: mencegah kekakuan sendi, kontraktur, kelelahan
otot, meningkatkan kembalinya aktivitas secara dini.
c) Bantu klien dalam melakukan aktivitas ibadah di tempat
tidur (misalnya sholat dengan posisi di atas tempat tidur,
membaca kitab suci) jika sesuai
Rasional: meningkatkan aktivitas ibadah yang dapat
membantu proses pemulihan.
d) Libatkan anggota keluarga dalam melakukan aktivitas klien,
jika perlu
Rasional: dukungan kelurga dapat meningkatkan proses
pemulihan.
e) Jadwalkan kegiatan aktivitas klien dalam melakukan
kegiatan sehari-hari
Rasional: mencegah kepenatan dan pengumpulan energi
dalam proses pemulihan.
Edukasi:
a) Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari
-
31
Rasional: menyediakan pengetahuan dasar mengenai
tindakan yang akan dilakukan
b) Ajarkan melakukan aktivitas yang dipilih
Rasional: meningkatkan pengembalian fungsi normal tubuh
dan meningkatkan perasaan sehat.
c. Gangguan pola tidur
1) Dukungan Tidur
Definisi: memfasilitasi siklus tidur dan terjaga yang teratur.
Observasi:
a) Identifikasi pola aktivitas dan tidur
Rasional: mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi
yang tepat.
b) Identifikasi faktor yang dapat mengganggu tidur
(fisik/psikologis).
Rasional: membantu dalam mengidentifikasi maslah yang
dapat mengganggu tidur.
c) Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu tidur
(misalnya kopi, teh, alkohol, makan mendekati waktu-waktu
tidur, minum banyak air sebelum tidur.
Rasional: membantu dalam peningkatan kenyamanan tidur.
d) Identifikasi penggunaan obat tidur
Rasional: penggunaan obat tidur yang membantu pasien
dalam beristirahat.
Terapeutik:
a) Modifikasi lingkunan (misalnya pencahayaan, kebisingan,
suhu, matras, dan tempat tidur
Rasional: meningkatkan kenyamanan istirahat serta
dukungan fisiologis/psikologis.
b) Batasi waktu tidur siang, jika perlu
-
32
Rasional: membantu dalam penggunaan energi untuk
beraktivitas.
c) Bantu klien membuat jadwal tidur
Rasional: membantu menginduksi tidur
d) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
(misalnya pijat, pengaturan posisi, terapi akupresur)
Rasional: memberikan situasi kondusif untuk tidur
e) Bantu klien menyesuaikan jadwal pemberian obat atau
tindakan untuk menunjang siklus tidur terjaga
Rasional: membantu pasien dalam beristirahat selama
periode transisi dari rumah ke lingkungan baru.
Edukasi:
a) Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
Rasional: memberikan pemahaman pada pasien mengenai
pentingnya istirahat/tidur.
b) Anjurkan klien untuk tidur tepat waktu
Rasional: membantu dalam pengaturan penggunaan energi
untuk beraktivitas.
c) Anjurkan menghindari makanan/minuman yang
mengganggu tidur
Rasional: mengurangi faktor yang dapat mengganggu proses
istirahat/tidur.
d) Ajarkan cara nonfarmakologi untuk mempermudah proses
tidur (mendengarkan murottal. matikan lampu kamar)
Rasional: memberikan situasi kondusif untuk tidur tanpa
penggunaan cara farmakologi
2) Edukasi aktifitas/istirahat
Definisi: mengajarkan pengaturan aktivitas dan istirahat.
Observasi:
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
-
33
Rasional: memahami kemampuan pasien dalam menerima
informasi.
Terapeutik
a) Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan istirahat
Rasional: mencegah kepenatan dan meningkatkan perasaan
sehat.
b) Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan
Rasional: mencegah kepenatan dalam beristirahat dan
meningkatkan pengetahuan mengenai istirahat/tidur.
c) Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk
bertanya
Rasional: mengkaji pengetahuan pasien dan keluarga selama
proses belajar.
Edukasi
a) Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/ olahraga rutin
Rasional: mencegah kepenatan dan meningkatkan
pengetahuan serta perasaan sehat.
b) Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas
bermain atau aktivitas lainnya
Rasional: mencegah kepenatan dan meningkatkan perasaan
sehat.
c) Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat (misalnya
kelelahan, sesak nafas saat aktivitas)
Rasional: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independen)
-
34
adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau
keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari
petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang
didasarkan hasil keputusan bersama,seperti dokter dan petugas kesehatan
lain.
Bentuk implementasi keperawatan adalah sebagai berikut:
a. Bentuk perawatan pengkajian untuk mengidentifikasi masalah baru
atau mempertahankan masalah yang ada.
b. Pengajaran atau pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu
menambah pengetahuan tentang kesehatan.
c. Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien.
d. Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga profesional kesehatan
lainnya sebagai bentuk perawatan holistik.
e. Bentuk penatalaksanaan secara spesifikatau tindakan untuk
memecahkan masalah kesehatan.
f. Membantu pasien dalam melakukan aktivitas sendiri.
5. Evaluasi
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan
dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan.
Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut:
a. Daftar tujuan-tujuan pasien
b. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu
c. Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien
d. Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak
jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, lalu dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang
ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
-
35
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang,
dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Amin Huda Nurafif dan
Hardhi Kusuma, 2015).
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga
terganggu (Joyce M. Black dan Jane Hokanson Hawks, 2014).
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang yang dapat
disebabkan oleh dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik,
kontraksi otot yang sangat kuat dan secara tiba-tiba atau dorongan yang
tidak langsung (A. Aziz Alimul Hidayat, 2006).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang yang normal akibat trauma benda
tajam maupun tumpul yang terjadi secara mendadak dan bahkan
kontraksi otot yang berlebihan. Fraktur dapat menyebabkan rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, krepitasi, perdarahan, pemendekan, dan
gangguan fungsi tulang.
2. Etiologi Fraktur
Menurut (Wiarto, 2017) secara etiologi fraktur disebabkan karena
kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung dan kekerasan akibat
tarikan otot.
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur yang demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah atau melintang
-
36
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vector kekerasan.
c. Kekerasan akibat Tarikan Otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berasal dari pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari
ketiganya dan penarikan.
3. Gejala Klinis
Menurut (Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015) gejala-
gejala pada fraktur adalah:
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak
b. Nyeri pembengkakan
c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas ,jatuh dari ketinggian atau
jatuh di kamar mandi pada orangtua, penganiayaan, tertimpa benda
berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga)
d. Gangguan fungsi anggota berat
e. Deformitas
f. Kelainan Gerak
g. Krepitasi atau datang dengan gejala lain
Tabel 2.3 Waktu penyembuhan luka pada orang dewasa
Lokalisasi Waktu Penyembuhan
Falang/metacarpal/metatarsal/kosta 3-6 minggu
Distal radius 6 minggu
Diafisis ulna dan radius 12 minggu
Humerus 10-12 minggu
-
37
Klavikula 6 minggu
Panggul 10-12 minggu
Femur 12-16 minggu
Kondilus femur/fibula 8-10 minggu
Tibia/fibula 12-16 minggu
Vertebra 12 minggu
(Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015)
Menurut (Istianah, 2018) gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi,
berat dan jumlah kerusakan pada struktur lain. Pengkajian gejala klinis
untuk fraktur meliputi:
a. Aktivitas/istirahat
Pasien memperlihatkan keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian
yang cedera. Kemungkinan terjadi sebagai akibat langsung dari
fraktur atau akibat sekunder pmbengkakan jaringan dan nyeri.
b. Sirkulasi
Pasien menunjukkan gejala/tanda:
1) Peningkatan tekanan darah, mungkin terjadi akibat respons
terhadap nyeri atau kecemasan. Sebaliknya penurunan tekanan
darah mungkin terjadi bila pendarahan.
2) Takikardia.
3) Penurunan atau hilang denyut nadi pada bagian distal area cedera,
pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur.
4) Hematoma area fraktur.
c. Neurosensori
Pasien menunjukkan gejala dan tanda:
1) Hilang gerakan atau sensasi.
2) Parestesia (kesemutan), deformitas lokal, angulasi abnormal,
pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan atau
kehilangan fungsi.
-
38
3) Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang cedera
sebagai akibat langsung dari fraktur atau pembengkakan jaringan
dan nyeri.
4) Agitasi, mungkin berhubungan dengan nyeri, kecemasan atau
trauma lain.
d. Rasa tidak nyaman
Pasien menunjukkan gejala/tanda:
1) Nyeri hebat tiba-tiba ada saat cedera, mungkin terlokalisasi pada
area fraktur, berkurang pada imobilisasi.
2) Spasme/kram setelah imobilisasi.
3) Pembengkakan lokal yang dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba.
4. Klasifikasi Fraktur
Menurut (Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015), jenis-jenis
fraktur antara lain:
a. Klasifikasi etiologis
1) Fraktur traumatic
2) Fraktur patologis, terjadi pada tulang karena adanya
kelainan/penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang
(infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi secara spontan
atau akibat trauma ringan
3) Fraktur stres, terjadi karena adanya stres yang kecil dan berulang-
ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur
tulang jarang ditemukan pada anggota gerak atas.
b. Klasifikasi klinis
1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (compoun fraktur), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, karena adanya perlukaan
kulit.
3) Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed, union,
nonunion, infeksi tulang.
-
39
Fraktur terbuka dibagi atas tiga derajat (menurut R.Gustino),
yaitu:
a) Derajat I
(1) Luka ≤ 1cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk
(3) Fraktur sederhana, transversal, atau komunitif ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Derajat II
(1) Laserasi ≥ 1cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
Menurut (Istianah, 2018) jenis-jenis fraktur antara lain:
a. Berdasarkan garis
1) Fraktur komplit, apabila garis patah melalui seluruh
penampang tulang atau melalui kedua konteks tulanng
2) Fraktur inkomplit, apabila garis patah tidak melalui
penampang tulang.
b. Berdasarkan bentuk fraktur dan kaitannya dengan mekanisme
trauma.
1) Fraktur tansfersal, fraktur dengan garis patah tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Jika segmen pada tulang
direposisi atau direduksi kembali ke tempat semula, maka
segmen akan stabil dan biasanya akan mudah dikontrol dengan
bidai gips.
-
40
2) Fraktus oblique, fraktur dengan garis patah membentuk sudut
terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil.
3) Fraktur serial, fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstremitas.
Kondisi ini dapat menimbulkan sedikit kerusakan jaringan
lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
4) Fraktur kompresi, fraktur yang terjadi ketika dua tulang
menumpuk pada tulang ketiga yang berada diantaranya,
misalnya satu vertebra dengan vertebra lain.
5) Fraktur anulas, fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada
tempat insisi tendon atau ligament, contohnya fraktur patella.
c. Berdasarkan jumalah garis fraktur
1) Fraktur communite, terjadi banyak garis fraktur atau banyak
fragmen kecil yang terlepas.
2) Fraktur segmental, apabila garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan sehingga satu ujung yang tidak memiliki
pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh.
3) Fraktur multiple, garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang
yang berlainan tempat.
d. Berdasarkan kaitan antara fragmen dengan lingkungan luar tubuh.
1) Fraktur terbuka, apabila terdapat luka yang menghubungkan
tulang yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fragmen terbuka dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu:
a) Pecah tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit
terkontaminasi ringan, luka ≤ 1cm.
b) Kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi ≥ 1cm.
c) Luka besar sampai dengan 8cm, kehancuran otot, kerusakan
neuromaskular, kontaminasi besar.
2) Fraktur tertutup, terjadi pada tulang yang abnormal atau sakit.
Penyebab terbanyaknya adalah osteoporosis dan osteomalacia.
Dampak dari fraktur yang dapat menyebabkan gangguan
mobilitas fisik yaitu, terjadinya fraktur dari trauma langsung dan
-
41
tidak langsung. Dapat menyebabkan diskontinuitas pada tulang
yang fraktur, selanjutnya terjadi perubahan jaringan sekitar yang
mengakibatkan pergeseran pada tulang dan tulang mengalami
kesulitan untuk bergerak, maka terjadilah gangguan mobilitas
fisik.
(Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015)
Gambar 2.1 Klasifikasi fraktur
5. Fase Penyembuhan Fraktur
a. Fase Hematum
1) Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematum
disekitar fraktur
2) Setelah 24 jam suplai darah disekitar fraktur meningkat
b. Fase Granulasi Jaringan
1) Terjadi 1-5 hari setelah injuri
2) Pada tahap phagositosis aktif granulasi jaringan yang berisi
pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast
c. Fase Formasi Callus
1) Terjadi 6-10 hari setelah injuri
2) Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
d. Fase ossificasi
1) Mulai pada 2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
-
42
2) Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan
endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
e. Fase Konsolidasi dan Remodelling
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus dengan
oksifitas osteoblast dan osteuctac (Pranata, 2016).
-
43
5. Patofisisologi Fraktur
(Amin Huda Nurafif dan Hardhi Kusuma, 2015)
Gambar 2.2 Patofisiologi fraktur
Trauma Langsung Trauma Tidak
Langsung Kondisi
Patologis
Fraktur
Diskontinuitas tulang
Nyeri akut Pergeseran fragmen
tulang
Perub. jaringan perifer
Kerusakan
fragmen
tulang
Spasme otot Tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari
kapiler
Pergeseran
fragmen tulang
Peningkatan tenaga
kapiler Melepaskan
katekolamin Deformitas
Pelepasan
histamin Metabolisme
asam lemak
Gangguan fungsi
ekstremitas
Protein plasma hilang
Kerusakan
mobilitas fisik
Bergabung
dengan trombosit Edema
Emboli
Laserasi kulit Penekanan
pembuluh darah Menyumbat
pembuluh darah
Kerusakan
integritas kulit
Resiko infeksi
Reso infeksi
Putus vena/arteri
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
perifer
Kehilangan volume
cairan
Perdarahan
Resiko syok
(hipovolemik)
-
44
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada kasus
fraktur adalah:
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya
fraktur.
b. Scan tulang, tonogram, atau scan CT/MRI untuk memperhatikan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Ateriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskular.
d. Hitung darah lengkap. Hemokonsentrasi mungkin meningkat
atau menurun pada perdarahn, selain itu peningkatan leukosit
mungkin terjadi sebagai respons terhadap peradangan.
e. Kretinin. Trauma otot meningktkan beban kreatinin untuk klien
ginjal.
f. Profil koagulasi. Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi atau cedera organ hati (Istianah, 2018).
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Fraktur
1) Diagnosis dan penilaian fraktur Rekognisi
Kerusakan jaringan lunak yang tampak nyata dapat
memungkinkan terjadinya fraktur dan dibutuhkan pemasangan
bidai segera dan pemeriksan lebih lanjut (Price & Wilson, 1990).
Rekognisi (pengenalan) merupakan pemeriksaan terhadap
riwayat kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang
berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh
penderita sendiri, menentukan apakah ada kemungkinan fraktur
dan apakah perlu dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari
adanya fraktur (Lukman & Ningsih, 2012).
2) Reduksi
-
45
Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen
tulang yang patah untuk kembali pada letak asalnya. Fraktur
tertutup pada tulang panjang sering ditangani dengan reduksi
tertutup. Evaluasi awal dapat dilaksanakan dengan
pemasangan bidai/gips dan untuk mengurangi nyeri selama
tindakan klien dapat diberi narkotika intravena, sedatif atau
blok saraf lokal (Lukman & Ningsih, 2012).
Tujuan dari reduksi adalah untuk mengembalikan panjang
dan kesejajaran garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi
tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi
manual atau mekanis untuk menarik fraktur, kemudian
memanipulasi untuk mengembalikan kesejajaran garis normal.
Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan, maka bila
dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan
menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan
posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi
internal tersebut antara lain pen, kawat skrup dan plat. Alat-
alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan
Open Reduction Internal Fixation (ORIF). Pembedahan terbuka
ini akan mengimobilisasikan fraktur hingga bagian tulang
yang patah dapat tersambung kembali (Istianah, 2018).
3) Retensi
Retensi merupakan tindakan mempertahankan reduksi, sebagai
aturan umum maka gips yang dipasang untuk mempertahankan
reduksi harus melewati sendi diatas fraktur dan dibawah fraktur.
Bila kedua sendi posisinya membentuk sudut dengan sumbu
longitudinal tulang patah maka koreksi angulasi dan oposisi
dapat dipertahankan, sekaligus mencegah perubahan letak
rotasional (Lukman & Ningsih, 2012).
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran
fragmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam
-
46
penyatuan. Pemasangan plat atau traksi dimasukkan untuk
mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur
(Istianah, 2018).
4) Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tahap pemulihan. Kapsula sendi, otot,
dan ligamen berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips
atau bidai dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk gerakan
aktif dan pasif serta penguatan otot (Sabiston, 1994).
Megendalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
(Istianah, 2018).