BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum. II.pdfA. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum. Asas...

48
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum. Asas Equality Before The Law: 1 asas yang menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Karena itu setiap orang harus diperlakukan sama, memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada pilih kasih atau pandang bulu, satu sama lain mendapat perlakuan yang sama. Asas Lex Superior Deerogat Lex inferiory: 2 asas berlakunya undang-undang, yang menyatakan bahwa undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi. Misalnya, Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah; Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang; dan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. B. Warganegara Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2006. Setiap negara mempunyai wewenang untuk menentukan siapakah yang dapat menjadi warga negaranya. Kedaulatan negara dalam menentukan status kewarganegaraan juga diimbangi dengan kebebasan dari warga untuk menentukan hak kewarganegaraannya. Hal ini dinyatakan dalam Artikel 15 Deklarasi Universal HAM tahun 1948 yang berbunyi: “setiap orang berhak atas sesuatu 1 Riduan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 16 2 Ibid, hlm. 141

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum. II.pdfA. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum. Asas...

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum.

    Asas Equality Before The Law:1 asas yang menyatakan, bahwa setiap orang

    mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Karena itu setiap orang harus

    diperlakukan sama, memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada pilih kasih

    atau pandang bulu, satu sama lain mendapat perlakuan yang sama.

    Asas Lex Superior Deerogat Lex inferiory:2 asas berlakunya undang-undang,

    yang menyatakan bahwa undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh

    bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi. Misalnya,

    Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah; Peraturan

    Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang; dan undang-undang

    tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

    B. Warganegara Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2006.

    Setiap negara mempunyai wewenang untuk menentukan siapakah yang dapat

    menjadi warga negaranya. Kedaulatan negara dalam menentukan status

    kewarganegaraan juga diimbangi dengan kebebasan dari warga untuk menentukan

    hak kewarganegaraannya. Hal ini dinyatakan dalam Artikel 15 Deklarasi Universal

    HAM tahun 1948 yang berbunyi: “setiap orang berhak atas sesuatu

    1 Riduan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 16

    2 Ibid, hlm. 141

  • 12

    kewarganegaraannya. Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut

    kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraan.”3

    Dalam Konstitusi Negara Indonesia yaitu dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat (2)

    dikatakan bahwa: “setiap warga negara dan penduduk diatur dengan undang-

    undang.”

    Di Indonesia terkait dengan pengaturan kewarganegaraan yang telah

    diamanatkan oleh UUD 1945 telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 12

    Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

    Dahulu sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang

    kewarganegaraan Republik Indonesia, di Indonesia diberlakukan Undang-undang No.

    62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dijelaskan dalam

    Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 didasarkan

    pertimbangan bahwa secara filosofis, yuridis, dan sosiologis UU No. 62 Tahun 1958

    sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan

    Indonesia. secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuan-

    ketentuan yang belum sejalan dengan ketentuan falsafah Pancasila, antara lain karena

    bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar

    warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-

    anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pemberlakuan undang-undang tersebut

    adalah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak

    Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar

    1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami

    perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak

    warga negara. Secara sosiologis, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi

    dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari

    masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya

    3Sri Harini Dwiyatmi et al.., Pendidikan Kewarganegaraan, Widya Sari, Salatiga, 2010, hlm. 281-282

  • 13

    persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya

    kesetaraan dan keadilan gender.4

    Pengertian warga negara menurut Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 yaitu,

    dikatakan: “yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa

    Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang

    sebagai warga negara.”

    Penjelasan dari bunyi pasal tersebut memberikan penegasan bahwa untuk

    “orang-orang bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga

    negara sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas

    kehendaknya sendiri. Sedangkan pengertian dari “orang-orang bangsa lain” yang

    dimaksud adalah orang-orang seperti peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab yang

    bertempat tinggal di Indonesia, yang mengakui Indonesia sebagai tumpah darahnya

    dan sikap setia kepada negara Republik Indonesia.5

    Dalam UU No. 12 Tahun 2006 tidak menyebutkan warganegara keturunan

    (yang dalam hal ini WNI suku Tionghoa), jadi dapat dipahami bahwa baik warga

    negara suku Tionghoa maupun pribumi asli sudah sama-sama berstatus sebagai warga

    negara Indonesia (WNI) menurut undang-undang ini.

    Dengan adanya ketentuan yang baru tersebut diharapkan tidak ada lagi

    pembedaan penamaan penduduk Indonesia atas golongan pribumi dan keturunan

    yang dapat memicu konflik antar penduduk di Indonesia.6

    Di dalam Penjelasan Umum I Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, guna

    untuk menenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat Undang-Undang

    Dasar, Undang-Undang ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau

    universal, yaitu asas ius sanguinis, Ius soli dan campuran.

    4 Ibid, hlm. 295 5 Ibid, hlm. 291

    6 Ibid, hlm. 294

  • 14

    Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini, sebagai berikut:

    1. Asas Ius Sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan

    kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan

    negara tempat kelahiran.

    2. Asas Ius Soli (low of the soil) secara terbatas adalah asas yang

    menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat

    kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan

    ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

    3. Asas Kewarganegaraan Tunggal adalah asas yang menentukan satu

    kewarganegaraan bagi setiap orang.

    4. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas adalah asas yang menentukan

    kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang

    diatur dalam undang-undang ini.

    Adapun dasar penyusunan Undang-Undang Kewarganegaan Indonesia

    memiliki Asas-asas khusus diantaranya:

    1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan

    kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang

    bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang

    memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

    2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa

    pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga

    negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam negeri maupun di luar

    negeri.

    3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang

    menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan

    yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

    4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak

    hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat

    permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

  • 15

    5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam

    segala hak ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku,

    ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender.

    6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas

    yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus

    menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya

    dan hak warga negara pada khususnya.

    Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan mengakibatkan orang tersebut

    memiliki pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan.

    Kewarganegaraan menghasilkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban

    warganegara, maupun negara yang bersifat timbal balik. Setiap hak-hak warganegara

    wajib dihormati, dilindungi, dan difasilitasi, serta dipenuhi oleh negara.7

    C. Hukum Agraria Nasional.

    Dalam tatanan hukum pertanahan nasioanal, hubungan hukum antara orang,

    baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, serta perbuatan hukumnya

    terkait dengan tanah, telah diatur dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang

    Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini disahkan dan

    diundangkan pada tanggal 24 September 1960.

    Menurut Boedi Harsono, pengertian hukum agraria dalam UUPA bukan

    hanya satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang

    hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber daya

    alam tertentu yang termasuk pengertian „agraria‟ sebagai yang diuraikan dalam

    UUPA. Kelompok bidang hukum tersebut meliputi:8

    7 Ibid, hlm. 313 8 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia “Konsep Dasar dan Implementasi”,

    Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006, Hlm. 4-5

  • 16

    a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti

    permukaan bumi.

    b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.

    c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan

    galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan.

    d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam

    yang terkandung di dalam air.

    e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur dalam Ruang Angkasa

    (bukan ”space law”), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan

    unsur-unsur dalam riang angkasa yang dimaksudkan dalam pasal 48 UUPA.

    Hadirnya UUPA ini mencabut semua ketentuan peraturan perundang-

    undangan keagrariaan yang berlaku sebelumnya dan menggantikan dengan satu

    aturan hukum agraria yang bersifat nasional, yang sekaligus UUPA mengakhiri

    politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis. Dengan berlakunya UUPA ini

    tidak dikenal lagi istilah hak-hak atas tanah menurut hukum barat seperti hak

    eigendom, hak postal, hak erfpacht, dan lain sebagainya. Sebagai gantinya dikenal

    istilah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk

    bangunan, dan sebagainya.9

    Hukum agraria nasional ini didasarkan pada hukum adat yang tidak

    bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, serta mengindahkan unsur-

    unsur fundamental di bidang agraria, yaitu perubahan dari hukum agraria kolonial

    menjadi hukum agrarian nasional yang mempunyai sifat unifikasi hukum (kesatuan

    hukum), sederhana, dan yang menjamin hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Dasar pemikiran dan landasan politik agraria nasional yang dianut di dalam

    UUPA yang didasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi sebagai

    berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

    oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat”.

    9 Richard Edy, op.cit, hlm. 1

  • 17

    Negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik, seperti telah dicantumkan

    dalam pasal tersebut di atas, Negara cukup bertindak sebagai penguasa untuk

    memimpin dan mengatur kekayaan nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    Dari ketentuan dalam pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa kekuasaan yang

    diberikan kepada Negara memberikan kewajiban kepada Negara untuk mengatur

    pemilikan dan menentukan kegunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah

    Negara dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.10

    Hal yang menyangkut tujuan pokok yang ingin dicapai dengan hadirnya

    UUPA sebagai hukum agraria Indonesia ini adalah:11

    1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang

    akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan

    keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka

    masyarakat yang adil dan makmur.

    2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan

    dalam hukum pertanahan.

    3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai

    hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan.

    1. Gambaran Hukum Tanah Nasional.12

    Sifat-sifat nasional Hukum Tanah.

    UUPA memulai dengan menyebutkan dalam Konsiderannya cacat-cacat dan

    kekurangan-kekurangan Hukum Tanah yang lama, sebagai yang telah dibicarakan

    dalam Bab II. Berhubung dengan itu hukum tanah yang lama tersebut harus

    diganti dengan hukum tanah yang baru (Hukum Tanah Nasional). Hukum tanah

    10

    Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 1 11 Supriadi, op.cit, hlm. 2-3 12

    Boedi Harsono, Hukum Agraria Nasional : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya; Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 162-163

  • 18

    yang baru ini harus bersifat nasional baik mengenai segi fomal maupun

    materiilnya.

    Sifat nasional formal: Sifat nasional formalnya Hukum Tanah Nasional

    harus harus dibuat oleh pembentuk Undang-Undang Indonesia, dibuat di

    Indonesia dan disusun dalam bahasa Indonesia. lagipula Hukum Tanah Nasional

    berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di

    wilayah negara. UUPA telah memenuhi syarat nasional yang formal itu.

    Sifat nasional materiil: Sifat nasional materiilnya Hukum Tanah yang baru

    harus nasional pula, yaitu berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem

    dan isinya. Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam Konsiderannya

    (“Berpendapat” huruf a s/d d), bahwa Hukum Agraria/Tanah yang baru itu:

    a. Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah;

    b. Harus sederhana;

    c. Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia;

    d. Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;

    e. Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat

    mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur;

    f. Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;

    g. Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman

    dalam segala soal agraria;

    h. Harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa,

    Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, sebagai asas

    kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa, seperti yang tercantum di dalam

    Pembukaan Undang-Undang Dasar;

    i. Harus merupakan pelaksanaan daripada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959

    dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam

    Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960;

    j. Harus melaksanakan pula ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar,

    yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin

  • 19

    penggunaannya hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa

    dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; penggunaan itu bisa

    secara perseorangan maupun secara gotong royong.

    2. Subyek pemegang hak-hak atas tanah.

    Sesuai dengan asas kebangsaan yang tercantum di dalam Pasal 1 UUPA maka

    Pasal 9 ayat 1 menentukan, bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat

    mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.

    Dalam UUPA pengertian warga negara Indonesia yang dimaksudkan ini

    adalah warga negara Indonesia dalam arti tunggal, dalam UUPA tidak menyebutkan

    adanya perbedaan antara warga negara Indonesia asli ataupun warga negara Indonesia

    keturunan.

    Dalam hubungannya dengan tanah maka hubungan yang sepenuhnya itu

    adalah hubungan hak milik. Atas dasar ketentuan itu maka Pasal 21 ayat 1 UUPA

    menetapkan, bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai tanah

    dengan hak milik, bagi orang asing tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas

    tanah. Bukan hanya hak milik yang tidak dapat dipunyai oleh orang-orang asing,

    tetapi juga hak guna usaha dan hak guna bangunan (Pasal 30 ayat 1 dan Pasal 36 ayat

    1 UUPA).

    Bagi orang-orang asing hanya terbuka kemungkinan untuk menguasai tanah

    dengan hak pakai atau hak sewa (Pasal 42 dan Pasal 45), yaitu hak-hak atas tanah

    yang member wewenang yang terbatas dan berjangka waktu pendek. Sebenarnya

    orang-orang asing tidak perlu mempunyai tanah sendiri. Untuk keperluan tempat

    tinggal dan usahanya dapatlah mereka menyewa bangunan-bangunan kepunyaan

    warga negara Indonesia.13

    13 Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 81

  • 20

    Di dalam Pasal 21 ayat 3 UUPA masih dibuka kemungkinan bagi orang asing

    untuk memperoleh dan menguasai tanah hak milik selama waktu 1 tahun. Seorang

    asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran

    harta karena perkawinan, demikian pula seorang warga negara Indonesia yang

    mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA kehilangan

    kewarganegaraannya diwajibkan melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu

    tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraannya itu.

    Selama satu tahun itu ia boleh menguasai tanahnya sebagai pemilik.

    Ketentuan yang serupa juga terdapat di dalam Pasal 30 ayat 2 UUPA (HGU) dan

    Pasal 36 ayat 2 UUPA (HGB).

    Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het

    natuurlijkeepersoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan

    hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang

    ditetapkan oleh Pemerintah dan telah memenuhi syarat-syaratnya (Peraturan

    Pemerintah No. 38 Tahun 1963), sesuai den Pasal 21 ayat 1 dan 2 UUPA.

    Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai tanah

    dengan hak eigendom, baik ia warga negara maupun orang asing, baik ia warga

    negara maupun orang asing, bahkan badan hukumpun boleh mempunyai hak

    eigendom, baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.14

    Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUPA maka menurut Pasal 21 ayat 1

    UUPA hanya warga negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik. sebagaimana

    telah dijelaskan , bahwa larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang

    Indonesia asli dan keturunan asing. Dalam pada itu biarpun menurut Pasal 9 ayat 2

    UUPA tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara, akan tetapi dalam hak

    pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan

    tunggal dan rangkap.

    14 Ibid, hlm. 85

  • 21

    Berkewarganegaraan rangkap artinya bahwa disamping kewarganegaraan

    Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 21 ayat 4 UUPA menentukan,

    bahwa selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai

    kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Ini

    berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah

    dipersamakan dengan orang asing.

    Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, sudah selayaknya orang-orang

    yang membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai

    kewarganegaraan negara lain, dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga

    negara Indonesia lainnya. Dengan demikian maka yang boleh mempunyai tanah

    dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal saja.

    Biarpun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja

    yang dapat memiliki tanah, akan tetapi dalam hal-hal tertentu selama waktu yang

    terbatas UUPA masih memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia

    yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik.

    Diberikannya kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan perikemanusiaan.15

    Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal

    24 September 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau

    percampuran harta karena perkawinan wajib melepaskan hak itu di dalam jangka

    waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Ketentuan ini berlaku juga

    terhadap seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah

    tanggal 24 September 1960 kehilangan kewarganegaraannya. Jangka waktu dihitung

    sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. 16

    Berlakunya Pasal 21 ayat 3 UUPA ini, juga berlaku terhadap warganegara

    Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap ataupun jika orang yang awalnya

    berkewarganegaraan Indonesia tunggal, tetapi kemudian kewarganegaraannya

    menjadi rangkap. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat 4 UUPA.

    15

    Ibid, hlm. 87 16 Ibid

  • 22

    Cara-cara yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat 3 di atas adalah cara

    memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan

    pada terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Ada pun cara-cara yang tidak

    diperbolehkan karena dilarang oleh Pasal 26 ayat 2 UUPA, seperti jual beli, tukar

    menukar, hibah, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan lain yang dimaksudkan

    untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing,

    kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia

    mempunyai kewarganegaraan asing, atau badan hukum yang tidak ditetapkan oleh

    pemerintah, dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri.

    Bahwa dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan. Kalau hak

    milik itu dilepaskan maka hak tersebut menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah

    Negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta

    kembali tanah yang bersangkutan dengan hak yang dapat dipunyainya, yaitu bagi

    orang asing diberikan hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan

    rangkap diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.17

    Tujuan dari pada ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA itu adalah pada satu pihak

    untuk mengakhiri pemilikan tanah yang bertentangan dengan asas Pasal 9 ayat 1

    UUPA dan ketentuan Pasal 21 ayat 1 dan pada lain pihak memberikan kesempatan

    kepada pemilik untuk mengakhiri pemilikan itu dengan cara yang dianggap sesusai

    dengan kepentingannya. Maka tidaklah keberatan jika di dalam rangka memenuhi

    ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut hak miliknya dialihkan kepada pihak lain

    asal pihak yang menerima peralihan itu memenuhi syarat sebagai pemilik. Sebagai

    seorang pemilik ia memang berwenang untuk mengalihkan haknya itu. Kemungkinan

    yang kedua serupa mengenai hak guna usaha (Pasal 30 ayat 2 UUPA) dan hak guna

    bangunan (Pasal 36 ayat 2 UUPA).18

    Menurut Pasal 21 ayat 3 UUPA maka hak miliknya menjadi hapus karena

    hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain

    17

    Ibid, hlm. 88 18 Ibid, hlm. 88-89

  • 23

    yang membebaninya tetap berlangsung. Maksud „hapus karena hukum‟ artinya bahwa

    hak milik itu hapus dengan sendirinya atas kekuatan ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA

    setelah jangka waktu satu tahun tersebut habis. Dengan demikian, maka untuk

    hapusnya hak milik itu tidak disyaratkan adanya suatu keputusan dari instansi

    manapun, baik pengadilan maupun eksekutif. Tidak diperlukan adanya keputusan

    yang bersifat kontitutif. Tetapi biarpun demikian agar ada ketegasan bagi pihak-pihak

    yang berkepentingan (bekas pemilik, instansi-instansi agraria, khususnya Kepala

    Kantor Pendaftaran Tanah yang berkewajiban untuk mencatatnya dan pihak ketiga)

    maka hapusnya hak tersebut sebaiknya ditegaskan dengan suatu surat keputusan dari

    instansi agraria yang berwenang.19

    Surat keputusan itu bersifat deklaratoir, yaitu untuk menegaskan atau

    menyatakan berlakunya ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut terhadap hak milik

    yang bersangkutan. Instansi yang berwenang mengeluarkan surat keputusan yang

    dimaksudkan itu menurut PMDN No. 1 Tahun 1967 adalah Menteri Dalam Negeri /

    Direktur Jenderal Agraria.20

    Adapun kemungkinan bila tanah hak milik menjadi kepunyaan bersama dari

    orang WNI tunggal dan orang asing atau WNI yang berkewarganegaraan rangkap, hal

    ini sebenarnya tidak diatur secara tegas, tetapi dalam buku Eddy Ruchiyat yang

    berjudul Politik Pertanahan diggunakan analogi, bahwa pihak pemilik bersama yang

    tidak mempunyai syarat juga berkewajiban untuk mengakhiri pemilikannya di dalam

    jangka waktu satu tahun. Jika kewajiban itu tidak dipenuhi, maka bukan bagiannya

    saja yang menjadi hapus tetapi hak milik itu seluruhnya dan tanahnya menjadi tanah

    Negara. Hak milik itu tidak dapat hapus sebagian saja karena merupakan kepunyaan

    bersama, hingga tidak dapat ditentukan bagian tanah yang mana kepunyaan pihak

    yang tidak memenuhi syarat itu.

    Sebaliknya jika hak pemilik bersama itu tidak dihapus, maka akan timbul

    keadaan di mana seorang yang tidak memenuhi syarat dapat terus mempunyai hak

    19

    Ibid. hlm. 89 20 Ibid

  • 24

    milik. Adapun perlindungan hukum bagi pihak yang memenuhi syarat atas pemilikan

    bersama, bahwa setelah tanah yang bersangkutan menjadi tanah Negara maka pihak

    yang memenuhi syarat mempunyai proritas utama untuk memintanya kembali dengan

    hak milik, dengan kewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada Negara

    sebesar bagian dari bekas pemilik bersama yang tidak memenuhi syarat itu. 21

    3. Hak Atas Tanah : Hak Milik dan Hak Guna Bangunan.

    Dalam bunyi UUD 1945 Pasal 28H ayat (4) yang mengatur Hak Asasi

    Manusia (HAM) dikatakan bahwa: “setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi

    dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

    Hak kepemilikan pribadi tersebut juga kaitannya dengan hak milik atas tanah

    yang diberikan kepada tiap warga negara Indonesia, dan hak milik yang dimiliki oleh

    warga negara tersebut harus dilindungi dan tidak boleh diambil oleh negara yang

    dalam hal ini pemerintah maupun pemerintah daerah secara sewenang-wenang.

    Hak-hak atas tanah yang akan dibahas disini meliputi: Hak Milik dan Hak

    Guna Bangunan saja. Pembahasan dari kedua hak atas tanah tersebut dikarenakan

    hanya kedua hak atas tanah tersebut yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia

    dan berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

    1. Hak Milik (HM).

    Pengaturan yang mengatur terkait dengan hak milik atas tanah oleh UUPA

    diatur dalam Pasal 20 s/d Pasal 27 UUPA, sampai sekarang belum ada undang-

    undang tersendiri yang mengatur mengenai hak milik, yang memang perlu dibuat

    berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UUPA.

    Pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA, yakni:

    21 Ibid, hlm. 90

  • 25

    (1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

    dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 UUPA

    (semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial).

    (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

    Sifat dari hak milik membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik

    adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah.

    pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak

    terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagaimana hak eigendom menurut

    pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan

    sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.22

    Kata-kata “terkuat dan

    terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna

    bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukan, bahwa di antara hak-

    hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (artinya: paling)

    kuat dan terpenuh.23

    Jadi, sifat khas dari hak milik ialah hak yang turun-temurun, terkuat dan

    terpenuh. Bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti hak itu tidak mudah

    hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, hak

    tersebut wajib didaftarkan.24

    Hak milik mempunyai sifat turun-temurun, artinya dapat diwarisi oleh ahli

    waris yang mempunyai tanah. Hal ini berarti Hal ini berarti hak milik tidak

    ditentukan jangka waktunya seperti misalnya, hak guna bangunan dan hak guna

    usaha. Hak milik tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang

    mempunyainya, melainkan kepemilikannya akan dilanjutkan oleh ahli warisnya

    setelah ia meninggal dunia. Tanah yang menjadi objek hak milik (hubungan

    22

    Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 60 23

    Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan. 2000, hlm. 12 24

    Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama, Djilid Kedua, Jakarta, Djambatan, 1971, hlm. 55

  • 26

    hukumnya) itu pun tetap, artinya tanah yang dipunyai dengan hak milik tidak

    berganti-ganti, melainkan tetap sama.25

    “Terpenuh” maksudnya hak milik itu memberikan wewenang yang paling

    luas kepada yang memenuhi hak jika dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Hak

    milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya, seorang pemilik tanah bisa

    memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang dari hak milik:

    menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada

    orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. Hak milik tidak berinduk

    kepada hak atas tanah lain, karena hak milik adalah hak yang paling penuh,

    sedangkan hak-hak lainnya itu kurang penuh.26

    Jika dilihat dari peruntukannya, hak

    milik tidaklah terbatas. Adapun hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja,

    juga hak guna usaha terbatas hanya untuk keperluan usaha pertanian dan bisa untuk

    bangunan.

    Selama tidak ada pembatasan-pembatasan dari pihak penguasa, maka

    wewenang dari seorang pemilik tidak terbatas. Seorang pemilik bebas dalam

    mempergunakan tanahnya. Pembatasan itu ada yang secara umum berlaku terhadap

    masyarakat, dan ada juga yang khusus, yaitu terhadap tanah yang berdampingan,

    harus saling berdampingan, harus saling menghormati, tidak boleh memperkosa.27

    Setelah melihat pengertian dari hak milik yang diatur dalam UUPA, hak milik

    atas tanah juga memiliki sifat dan ciri-ciri, hal tersebut juga terdapat dalam UUPA.

    Sifat dan ciri-ciri hak milik adalah sebagai berikut:28

    1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus

    didaftarkan. (Pendaftaran yang dilakukan tersebut bertujuan untuk

    menjamin kepastian hukum atas pemilikan tanah tersebut. Kepastian

    hukum yang dimaksud adalah kepastian mengenai orang / badan hukum

    yang menjadi pemegang hak yang disebut juga dengan kepastian 25

    Ibid. 26 Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 61 27

    Ibid. 28 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 54

  • 27

    mengenai subjek hak, disamping itu juga mengenai letak batas-batasnya

    serta luas bidang-bidang tanah yang juga disebut dengan kepastian

    mengenai objek hak29

    ). Terkait pengaturan yang mengatur pendaftaran

    hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UUPA, yang

    menyatakan:

    (1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan

    pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut

    ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 (Pemerintah

    mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

    untuk menjamin kepastian hukum, yang ditetapkan dengan Peraturan

    Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

    (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian

    yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan

    pembebanan hak tersebut.

    2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal 20

    UUPA).

    3. Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo. Pasal

    26 UUPA).

    4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat

    dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak

    pakai, hak sewa, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang. Hak milik

    sebaliknya tidak dapat berinduk pada hak atas tanah lainnya.

    5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 25

    UUPA).

    6. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 27 UUPA).

    7. Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat (3) UUPA).

    29 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 19

  • 28

    Adapun juga bahwa batas waktunya hak milik atas tanah tidak terbatas

    tergantung dari pemilik tanah tersebut.30

    Meskipun hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh dibandingkan

    dengan hak-hak lainnya, hak milik juga memiliki fungsi sosial seperti hak-hak

    lainnya (Pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung arti bahwa hak milik atas tanah

    tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi pemiliknya, harus diusahakan

    pula agar sedapat mungkin bermanfaat bagi orang lain atau kepentingan umum bila

    keadaan memang memerlukannya. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh

    menganggu ketertiban dan kepentingan umum.31

    Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA, dikatakan yang dapat

    mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia hanyalah:32

    a. Warga Negara Indonesia (WNI).

    b. Badan-Badan Hukum yang ditunjuk Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun

    1963, tertanggal 19 Juni 1963, yakni:

    1. Bank-Bank Negara:

    - Bank Indonesia.

    - Bank Dagang Negara.

    - Bank Negara Indonesia 1946.

    2. Koperasi Pertanian.

    3. Badan-Badan Sosial.

    4. Badan-Badan Keagamaan.

    Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang

    sudah dipunyai sejak tanggal 24 September 1960 (sebelum berlakunya UUPA),

    sedang sesudah tangga; tersebut diberikan hak guna bangunan atau hak pakai.33

    30

    Ibid, hlm. 23 31

    Purnadi Halim Purbacaraka, Sendi0Sendi Hukum Agraria, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 28. 32 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 6. 33

    Soedharyo Soimin, Statua Hak dan Pembebasan Tanah, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 4.

  • 29

    Bahwa selain dari badan-badan hukum diatas ini tidak diberikan hak milik

    atas tanah, melainkan hanya diberi hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha

    (HGU), dan hak pakai (HP). Pemberian hak selain hak milik tersebut dengan

    pertimbangan bahwa badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik.34

    Dalam

    hal ini dapat dilihat bahwa badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik adalah

    badan-badan hukum yang erat kaitannya dengan keagamaan, sosial, dan hubungan

    perekonomian.

    Sedangkan untuk kepemilikan tanah dengan hak milik bagi warga negara

    asing (WNA) di Indonesia tetap dilarang, hal tersebut termaktum dalam bunyi Pasal

    24 ayat (4) UUPA, yang menyatakan: “selama seorang disamping kewarganegaraan

    Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai

    tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.”

    Bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA menyatakan bahwa: “orang asing yang sudah

    berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik, karena pewarisan tanpa

    wasiat, atau percampruan harta karena perkawinan, demikian pula warga negara

    Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, didalam

    jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya

    kewarganegaraan itu, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena

    hukum, dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung.”

    Dari bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa

    dimungkinkan WNA dapat memiliki hak milik atas tanah tetapi jangka waktunya

    hanya satu tahun, setelah satu tahun hak milik tersebut harus dilepaskan kepada

    subyek hukum yang memenuhi syarat. Karena jika WNA tersebut tidak melepaskan

    hak milik tersebut, hak tersebut akan hapus karena hukum dan tanahnya menjadi

    tanah Negara dengan sendirinya.

    Di Indonesia salah satu hak dari warga negara yang harus dilindungi dan

    diakui oleh negara adalah hak warga negara untuk berhak memiliki hak milik atas

    34

    H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, hlm. 34.

  • 30

    tanah, yang hak milik atas tanah tersebut merupakan hak asasi setiap warga negara

    Indonesia, terkecuali yang tidak dapat diberikan hak milik atas tanah di Indonesia

    adalah warga negara asing (WNA) dan badan hukum asing yang mempunyai

    perwakilan di Indonesia. bagi mereka yang ingin menggunakan dan mengelola tanah

    di Indonesia oleh pemerintah hanya diberikan hak pakai atas tanah saja.

    Terkaitannya dengan proses terjadinya hak milik atas tanah merupakan

    rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, hal tersebut terdapat

    didalam Pasal 22 UUPA. Proses terjadinya hak milik tersebut dapat terjadi

    berdasarkan:

    (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan

    Pemerintah.

    (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak

    milik terjadi karena:

    a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan

    dengan Peraturan Pemerintah.

    b. Ketentuan Undang-Undang.

    Bahwa penjelasan dari ke 3 cara terjadinya hak milik tersebut, yaitu:35

    - Menurut hukum adat.

    Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah

    (pembukaan hutan). Artinya, pembukaan tanah (hutan) tersebut

    dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang

    dipimpin oleh ketua adat melalui sistem penggarapan, yaitu matok

    sirah, matok sirah gilir gelang, dan sistem bleburan atau terjadi

    karena timbulnya”lidah tanah (aanslibbing). Lidah tanah adalah tanah

    yang timbul / muncul karena terbeloknya arus sungai atau tanah di

    pinggir pantai, biasanya terjadi dari lumpur yang makin lama makin

    35 Richard Edy, op.cit, Hlm. 5

  • 31

    tinggi dan mengeras. Dalam hukum adat, lidah tanah yang tidak begitu

    luas menjadi hak bagi pemilik tanah yang terbatas. Hak milik tersebut

    dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten / kota setempat

    untuk mendapatkan sertifikat hak miliknya.

    - Penetapan Pemerintah.

    Hak milik atas tanah ini terjadi karena permohonan pemberian hak

    milik atas tanah (semula berasal dari tanah Negara) oleh pemohon

    dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh

    Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setlah semua terpenuhi, BPN

    menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH tersebut

    wajib didaftarkan oleh pemohon kepada kepala kantor pertanahan

    kabupaten / kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan

    diterbitkan sebagai sertifikat hak milik atas tanah.

    - Ketentuan Undang-Undang.

    Terjadinya hak milik atas tanah ini didasarkan karena konversi

    (perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA, semua hak atas

    tanah yang ada harus diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang

    diatur dalam UUPA.

    Selain terjadinya hak milik atas tanah, bahwa hak milik atas tanah yang

    dimiliki warga negara dapat pula hapus. Hapusnya hak milik tersebut diatur menurut

    Pasal 27 UUPA. Hapusnya hak milik tersebut bila:

    a. Tanahnya jatuh kepada Negara:

    1. Karena pencabutan hak berdasarkan untuk kepentingan umum,

    kepentingan bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat

    (Pasal 18 UUPA).

    2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.

    3. Karena diterlantarkan.

    4. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak

    milik atas tanah (Pasal 21 ayat (3)).

  • 32

    5. Karena peralihan hak mengakibatkan tanahnya berpindah kepada

    pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas

    tanah (Pasal 26 ayat (2)).

    b. Tanahnya musnah; misalnya karena bencana alam.

    2. Hak Guna Bangunan (HGB).

    Pengaturan hak guna bangunan (HGB) dalam UUPA diatur dalam Pasal 35

    s/d Pasal 40 UUPA. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan ini diatur

    pula dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

    Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

    Pasal 35 ayat (1) UUPA menyatakan pengertian dari hak guna bangunan

    adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang

    bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

    Menurut penjelasan Pasal 35 UUPA, karena hak guna bangunan tidak

    mengenai tanah pertanian, maka hak guna bangunan, selain atas diberikan tanah yang

    dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang. Hak

    guna bangunan dapat diberikan atas tanah Negara maupun tanah milik orang lain.

    Pasal 35 ayat (1) UUPA tersebut mengandung unsur-unsur penting dari hak guna

    bangunan, yakni:36

    a. Peruntukan HGB. HGB adalah hak untuk: mendirikan dan mempunyai

    bangunan atas tanah. Bangunan tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian

    maupun rumah tempat usaha (rumah toko atau rumah tempat usaha/kantor),

    bangunan tempat kegiatan olahraga, bangunan tempat kegiatan pariwisata

    serta bangunan-bangunan lainnya. Meskipun, HGB dapat dimanfaatkan bagi

    bangunan rumah tempat tinggal, namun lembaga HGB itu sesungguhnya

    diciptakan untuk memperkaya lembagahukum hak atas tanah menurut hukum

    adat yang lebih dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan usaha warga negara

    36 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 136-138

  • 33

    dan badan hukum Indonesia. Tegasnya, penciptaan lembaga hukum HGB

    adalah lebih dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan usaha dari

    warga negara, sedangkan untuk hunian lebih merupakan maksud dari hak

    milik. Oleh karena itu, tidak sesuai dengan maksud awal dari Hukum Tanah

    Nasional kalau suatu Pemerintah Daerah di wilayah perkotaannya membuat

    kebijakan untuk memberikan HGB kepada kepentingan pembangunan rumah

    (hunian) dengan agar lebih murah untuk menggantiruginya ketika suatu waktu

    dibutuhkan untuk kepentingan umum. Konsisten dari hal itu pulalah, maka

    diambil suatu kebijakan kemudahan untuk memberikan peningkatan HGB

    menjadi HM bagi pemilik rumah yang masih berstatus HGB di lingkungan

    perumahan.

    b. Objek Tanah HGB. Objek tanah yang dapat diberikan HGB dapat berupa:

    tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Pasal 21 PP No. 40

    Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna

    Bangunan adalah: (a) tanah negara; (b) tanah Hak Pengelolaan; dan (c) tanah

    Hak Milik.

    c. Jangka Waktu HGB. Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 tahun,

    sehingga kalau dalam jangka waktu tersebut belum digunakan untuk

    mempunyai atau mendirikan bangunan, maka HGB tersebut seyogianya tidak

    dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat (2) UUPA menyatakan: “Atas permintaan

    pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-

    bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang

    dengan waktu paling lama 20 tahun.”

    Dapat diperpanjang atau dapat diperbaharui berarti bahwa perpanjangan atau

    perubahan HGB dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai persyaratan

    perpanjangan atau pembaruan HGB tersebut, seperti yang ditentukan dalam

    Pasal 26 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

    Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yakni:

  • 34

    a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,

    sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;

    b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh

    pemegang hak;

    c. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

    yang bersangkutan;

    d. Mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan (bagi Hak

    Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan).

    Sedangkan dalam Pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996, menyatakan:

    (1) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22

    diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat

    diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun.

    (2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas

    pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di

    atas tanah yang sama.

    Menurut Pasal 27 PP No. 40 Tahun 1996, permohonan perpanjangan itu

    diajukan 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya HGB tersebut.

    Jika telah diperoleh perpanjangan atau pembaharuan, maka harus didaftarkan

    lagi pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Mengenai tata cara mengajukan

    permohonan atau pembaharuan dari HGB atau pembaharuan dari HGB ini

    serta syarat-syaratnya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.37

    Selanjutnya Pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa untuk

    kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan

    HGB dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang

    ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak

    Guna Bangunan. Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau

    37 Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op.cit, hlm. 27

  • 35

    pembaharuan HGB dan perincian uang pemasukannya dicantumkan dalam

    keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.

    Uang pemasukan yang diperlukan untuk baik perpanjangan atau pembaharuan

    ini dapat ditentukan pada saat pertama kali diajukan permohonan HGB.

    Tampaknya dengan ketentuan seperti ini, dari pihak pemerintah atau kas

    negara, memperlihatkan kebutuhan akan uang pemasukan ini. Tetapi di lain

    pihak adanya ketegasan pembayaran uang pemasukan secara di muka untuk

    permintaan perpanjangan maupun pembaharuan HGB ini menjadi juga suatu

    jaminan dan merasa “lebih aman” bagi pihak peminta HGB ini. Karena dari

    semulanya dia sudah harus membayar uang pemasukan ini, baik untuk hak

    pertama kali dia minta maupun untuk perpanjangan maupun pembaharuan

    daripada HGB bersangkutan itu. Demikian maka jumlah uang pemasukan

    yang harus dibayar oleh si peminta ini adalah lebih besar. Tetapi di lain pihak

    ia mendapat kepastian bahwa tidak akan ditolak perpanjangannya atau

    pembaharuan yang akan dimintanya itu. Kemudian dinyatakan bahwa untuk

    selanjutnya dalam acara perpanjangan atau pembaharuan HGB ini ia akan

    hanya dikenakan biaya administrasi. Besarnya biaya administrasi ini

    ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Satu dan

    lain setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (selanjutnya

    persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan dari HGB ini

    dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam Keputusan Pemberian

    HGB).38

    d. Peralihan HGB. Menurut Pasal 35 ayat (3) UUPA menyatakan: ”Hak guna

    bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Bahwa

    berdasarkan pada Pasal 34 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 meyatakan bahwa

    peralihan HGB itu terjadi karena: (a) jual beli, (b) tukar menukar, (c)

    penyertaan dalam modal, (d) hibah, (e) pewarisan. Poin (a) sampai dengan (d)

    38 Ibid, hlm. 27-28

  • 36

    disebut peralihan karena ada perbuatan hukum, sedangkan poin (e) yakni

    pewarisan terjadi karena peristiwa hukum, bukan karena perbuatan hukum.39

    Pada peralihan hak atas tanah menurut ayat (2) tersebut harus didaftarkan

    pada kantor pertanahan.

    e. Pembebanannya. Pasal 39 UUPA menyatakan: Hak Guna Bangunan dapat

    dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Selanjutnya, Pasal

    33 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa: (a) HGB dapat dijadikan

    jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan; dan (b) Hak Tanggungan

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya HGB.

    f. Pembuktiannya. Pasal 38 UUPA menyatakan:

    (1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian

    juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan

    menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.

    (2) Pendaftaran termasuk ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat

    mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak

    tersebut kecuali dalam waktu hal hak itu hapus karena jangka waktunya

    berakhir.

    Kaitannya dengan subyek hak guna bangunan, Pasal 26 ayat (1) UUPA

    menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah: (a) warga

    negara Indonesia; dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

    dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya, Pasal 36 ayat (2) UUPA tersebut

    menyatakan: “orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan

    tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam

    dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada

    pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang

    memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika

    hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka

    39 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 141

  • 37

    waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak

    pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan

    Peraturan Pemerintah”.

    Ketentuan yang sama mengenai subyek HGB ini dapat dilihat pada Pasal 19

    dan Pasal 20 PP No. 40 Tahun 1996. Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan:

    bahwa yang menjadi pemegang HGB adalah: (a) warga negara Indonesia; dan (b)

    badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

    Indonesia. Selanjutnya, Pasal 20 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan:

    (1) Pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun

    wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak

    lain yang memenuhi syarat.

    (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena

    hukum.

    Mengenai luas HGB yang dapat dipunyai oleh subyek HGB sampai saat ini

    belum ada ketentuan yang membatasinya. Oleh karena itu pembatasan pemilikan

    tanah yang belum diatur oleh UU No. 56 Prp. Tahu 1960 tentang Penetapan Luas

    Tanah Pertanian, hanya melakukan pembatasan terhadap pemilikan tanah pertanian,

    sedangkan untuk tanah perumahan dan bangunan lainnyaoleh pasal 12 UU No. 56

    Prp. Tahun 1960 itu akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Namun sampai

    sekarang PP tersebut belum ada. Oleh karena itu, sebagai langkah pragmatisnya,

    pembatasan tanah perumahan itu dilakukan melalui instrument perizinan peralihan

    hak atas tanah seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun

    1961. Di dalam Peraturan Menteri Agraria itu dinyatakan bahwa orang sudah

    menguasai 5 (lima) bidang tanah, maka apabila ia memohon pendaftaran hak atas

  • 38

    tanah yang baru dipunyainya lagi diwajibkan untuk memperoleh izin pemindahan

    hak.40

    Menurut Pasal 30 PP No. 40 Tahun 1996, bahwa Pemegang Hak Guna

    Bangunan memiliki kewajiban untuk:

    a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya

    ditetapkan dalam keputsan pemberian haknya;

    b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan

    sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjuan pemberiannya;

    c. Memelihara kelestarian baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta

    menjaga kelestarian lingkungan hidup;

    d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna bangunan

    kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik

    sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;

    e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala

    Kantor Pertanahan.

    Inti yang dinyatakan dalam Pasal 31 PP No. 40 Tahun 1996, apabila ternyata

    tanah HGB bersangkutan dalam keadaan geografis atau lingkungan atau karena soal-

    soal lain demikian rupa letaknya hingga mengurung dan menutup pekarangan tanah

    orang lain dari jalan lalu lintas umum atau jalan air, maka si pemegang HGB wajib

    memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain untuk pekarangan atau

    bidang tanah yang terkurung itu. Jadi ini adalah prinsip yang berlaku demi kerukunan

    tetangga. Maka jalan keluar atau jalan air ini selalu harus diberikan kepada tetangga

    ini. Supaya mereka inipun tidak terkurung dan tidak mempunyai akses sama sekali

    kepada jalan umum.41

    Si pemegang HGB berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanahnya itu

    selama waktu yang ditentukan dan ia bisa mendirikan dan mempunyai bangunan

    untuk keperluan pribadi dan usahanya. Disamping itu dia juga dapat mengalihkan hak

    40

    Ibid, hlm. 140 41 Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op. cit, hlm. 29

  • 39

    menguasai dan mempergunakan ini kepada pihak lain dan juga dapat dibebani dengan

    hak-hak tanggungan tertentu (Pasal 32 PP No. 40 Tahun 1996).

    Untuk menjamin hutang, maka HGB dapat dijadikan jaminan dengan dibebani

    Hak Tanggungan (Pasal 33 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996). Pembebanan ini telah

    diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Tahun 1996 No. 4 mengenai Hak

    Tanggungan. Ditentukan pula seperti haknya dengan HGB, bahwa apabila telah

    hapus HGB ini, maka Hak Tanggungan juga sebagai suatu hak yang aksesoir turut

    menjadi hapus (Pasal 33 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996).

    Mengenai peralihan hak guna bangunan, bahwa menurut Pasal 34 ayat (1) PP

    No. 40 Tahun 1996 maka hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada

    pihak lain.

    Mengenai cara-cara beralihnya HGB kepada pihak lain ditentukan dalam

    Pasal 34 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996. Peralihan hak guna bangunan ini terjadi

    karena hal-hal sebagai berikut:

    a. Jual beli;

    b. Tukar menukar;

    c. Penyertaan dalam modal;

    d. Hibah;

    e. Pewarisan.

    Semua cara peralihan HGB kepada pihak lain adalah lazim dan dikenal dalam

    sistem hukum yang berlaku. Jika telah berlaku peralihan HGB, maka hal ini harus

    didaftarkan pada kantor Pertanahan. Peralihan HGB karena jual beli (kecuali melalui

    lelang), tukar menukar dan penyertaan dalam modal serta hibah harus dilakukan

    dengan suatu akta yang dibuat di hadapan PPAT (Pasal 34 ayat (4) PP No. 40 Tahun

    1996). Kalau dilakukan jual beli melalui lelang, maka cukup dibuktikan dengan

    Berita Acara Lelang (Pasal 34 ayat (5) PP No. 40 Tahun 1996).

    Mengenai peralihan HGB karena pewarisan harus diberikan dengan surat

    wasiat dan keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang (Pasal 34 ayat

    (6) PP No. 40 Tahun 1996). Untuk mereka yang hidup di bawah sistem BW dan

  • 40

    KUHD Barat, maka pejabat yang berwenang menurut hukum yang berlaku untuk

    memberikan Surat Keterangan Waris (Certificaat Van Erfrecht) adalah Notaris.

    Untuk lain-lain golongan rakyat, misalnya pribumi, maka yang berwenang adalah

    Pengadilan Negeri atau mereka yang beragama Islam Pengadilan Agama

    bersangkutan.42

    Untuk Peralihan HGB atas tanah Hak Pengelolaan dengan persetujuan tertulis

    dari pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 34 ayat (7) PP No. 40 Tahun 1996).

    Kemudian peralihan HGB atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari

    pemegang Hak Milik yang bersangkutan (Pasal 34 ayat (8) PP No. 40 Tahun 1996.

    Terkait dengan cara terjadinya HGB diatur dalam Pasal 37 UUPA, yang

    menyatakan bahwa HGB dapat terjadi karena: (a) Penetapan Pemerintah, bagi tanah

    yang dikuasai langsung oleh negara; dan (b) perjanjian yang berbentuk otentik

    karena Penetapan Pemerintah antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak

    yang memperoleh HGB itu, bagi tanah hak milik.

    Pada bagian cara terjadinya HGB ini, perlu kiranya dijelaskan bahwa

    Keputusan Pemberian HGB (termasuk HM, HGU, dan HP) bukan merupakan alat

    bukti hak. Karena para pemegang Keputusan Pemberian Hak itu masih harus

    mendaftarkan Keputusan Pemberian Hak tersebut. Sebelum mendaftarkannya, harus

    terlebih dahulu ditunaikan berbagai kewajiban penerima hak, seperti pembayaran Bea

    Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan.43

    Seperti yang disebut dalam Pasal 103 Peraturan Menteri Negara Agraria /

    Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak

    Atas Tanah dan Hak Pengelolaan, menyatakan: bahwa setiap penerima hak atas

    tanah harus memenuhi kewajiban sebagai berikut: (a) membayar BPHTB dan uang

    pemasukan kepada Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (b) memelihara

    tanda-tanda batas; (c) menggunakan tanah secara optimal; (d) mencegah kerusakan-

    kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah; (e) menggunakan tanah sesuai kondisi

    42

    Ibid, hlm. 31 43 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 141

  • 41

    lingkungan hidup; (f) kewajiban yang tercantum dalam sertifikatnya. Selanjutnya

    dinyatakan bahwa jika penerima hak tidak memenuhi kewajiban tersebut, Menteri

    (sekarang Kepala BPN) dapat membatalkan haknya sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pengaturan terkait dengan terjadinya HGB, selain diatur dalam UUPA diatur

    lebih lanjut dalam Pasal 22 s/d Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996.

    Pasal 22 PP No. 40 Tahun 1996:

    (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan

    pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

    (2) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan

    keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk

    berdasarkan usuk pemegang Hak Pengelolaan.

    (3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permononan dan pemberian diatur

    lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

    Pasal 23 PP No. 40 Tahun 1996:

    (1) Pemberian Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22

    didaftar dalam buku tanah pada Kantor Petanahan.

    (2) Hak Guna Bangunan atas tanah negara atau atas tanah Hak Pengelolaan

    terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan.

    (3) Sebagai tanah bukti hak kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan

    sertifikat hak atas tanah.

    Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996:

    (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh

    pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

    Tanah.

    (2) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

    (3) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak

    didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

  • 42

    (4) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna

    Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputsan

    Presiden.

    Selain dapat terjadinya HGB, bahwa HGB ini dapat pula hapus. Pasal 40

    dalam UUPA yang mengatur mengenai cara-cara hapusnya HGB, tetapi pengaturan

    berkaitan dengan hapusnya HGB tersebut diperinci lebih lanjut dalam Pasal 35 PP

    No. 40 Tahun 1996:

    a. Karena berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan semula baik dalam putusan

    pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.

    b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau

    pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir karena ada alasan-alasan

    tertentu, yaitu:

    1. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh pemegang hak, dan/atau

    dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dapam pasal 30,

    31 dan pasal 32; atau

    2. Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian

    pemberian HGB antara si pemegang HGB dan pemegang Hak Milik atau

    dengan perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan tanah; atau

    3. Karena ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan kekuatan

    hukum yang tetap.

    Sudah jelas bahwa jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka

    sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1266 dan seterusnya BW,

    maka pihak yang lain dapat meminta pembatalan.

    Dalam suatu perjanjian timbal balik semua pihak harus melakukan prestasi

    atau kewajiban yang diletakan kepadanya. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka

    menurut hukum pihak yang lain dapat minta pembatalan. Kemudian dapat

    juga diadakan pembatalan tentunya jika telah ternyata kesalahan-kesalahan ini

    daripada pihak penerima HGB, seperti terurai dalam keputusan bersangkutan

  • 43

    dan keputusan ini harus tidak dapat dibanding atau dikasasi lagi karena harus

    mempunyai kekuatan hukum yang tetap.44

    c. Dilepaskan secara sukarela, oleh pemegang haknya sebelum jangka

    waktunya berakhir. Jadi terjadi pelepasan oleh si pemegang hak tentu saja

    akan berakhir juga sebelum jangka waktu selesai. Karena sudah tidak

    dikehendaki lagi hak ini oleh si pemegang hak, maka dapatlah ia

    melepaskannya secara sukarela.

    d. Kemudian, karena adanya pencabutan hak milik sesuai dengan Undang-

    Undang No. 20 Tahun 1961. Tapi untuk berlakunya undang-undang ini harus

    dipenuhi berbagai persyaratan antara lain bahwa pencabutan hak ini harus

    dilangsungkan berdasarkan keputusan presiden, dan juga harus disertai

    dengan ganti rugi serta umumnya ganti rugi ini harus dilakukan secara

    ”prompt, adequate, and effective” (secara tunai, segera dan wajar serta

    efektif). Artinya jika hendak ditransfer uang bersangkutan uang bersangkutan

    ke luar negari, karena yang dicabut hak miliknya adalah orang asing, maka hal

    ini dapat dilakukannya secara bebas.45

    e. Karena diterlantarkan. Tentu saja orang yang memperoleh hak atas sebidang

    tanah harus memelihara dengan baik dan tidak pada tempatnya untuk

    menelantarkannya.46

    f. Jika tanahnya musnah, maka hak atas tanah itu juga akan musnah. Hal ini

    adalah sesuai dengan ketentuan dalam BW mengenai musnahnya karena

    misalnya terbakar rumah yang telah disewa. Hubungan sewa menyewa akan

    menjadi putus karena objek rumah bersangkutan yang disewa ini ternyata

    telah dibakar habis. Karena itu maka adalah menjadi putus hubungan antara

    penyewa yang menyewa itu.47

    44

    Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op.cit, hlm. 32 45 Ibid, hlm. 32-33 46

    Ibid 47 Ibid

  • 44

    g. Ketentuan jika orang atau pihak yang memegang HGB ini sudah tidak

    memenuhi lagi persyaratan untuk menjadi subjek daripada hak ini, yaitu status

    kewarganegaraannya sudah menjadi asing. Maka HGB nya juga akan menjadi

    hapus (Pasal 20 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996).

    Mengenai tata cara lebih lanjut tentang hapusnya HGB akan diatur dengan

    Keputusan Presiden (Pasal 35 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996). Akibat daripada

    hapusnya HGB ialah sepanjang HGB ini adalah atas tanah negara, bahwa tanahnya

    akan menjadi tanah negara kembali (Pasal 36 ayat (1) PP No 40 Tahun 1996).

    Sedangkan hapusnya HGB atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya

    kembali kedalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 36 ayat (2) PP No.

    40 Tahun 1996). Apabila HGB hapus atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya

    kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Milik (Pasal 36 ayat (3) PP No. 40

    Tahun 1996).

    HGB atas tanah negara hapus dan tidak diperpanjang atau tidak diperbaharui,

    maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan diwajibkan untuk membongkar

    bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada

    negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak

    hapusnya Hak Guna Bangunan tersebut (Pasal 37 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996).

    Apabila bangunan dan harta benda di atasnya masih diperlukan, maka kepada

    bekas pemegang HGB ini diberikan ganti rugi. Bentuk dan jumlahnya ganti rugi

    diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Penentuan apakah bangunan dan

    benda-benda di atasnya itu masih diperlukan atau tidak, dilakukan berdasarkan

    kepentingan umum dengan mengingat kepentingan bekas pemegang dan juga

    peruntukan daripada tanah bersangkutan itu selanjutnya (Pasal 37 ayat (2) PP No. 40

    Tahun 1996).

    Pembongkaran daripada bangunan dan benda di atasnya dilaksanakan atas

    biaya daripada bekas pemegang HGB ini (Pasal 37 ayat (3) PP No. 40 Tahun 1996).

    Apabila jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi

    kewajibannya untuk membongkar bangunan dan benda yang berada di atas tanah

  • 45

    bekas HGB tersebut, maka bangunan dan benda yang ada di atas tanah bekas HGB ini

    dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan ini

    (Pasal 37 ayat (4) PP No. 40 Tahun 1996).

    Dalam hal hapusnya HGB atas tanah Hak Pengelolaan dan atas tanah Hak

    Milik pihak lain, maka bekas pemegang HGB ini wajib menyerahkan tanahnya

    kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik, serta harus dipenuhi

    ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan

    ini atau atas dasar perjanjian pemberian HGB atas tanah Hak Milik bersangkutan

    (Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996).

    Dalam Memori Penjelasan ditegaskan lebih jauh bahwa penyelesaian

    penguasaan bekas-bekas HGB atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Milik ini,

    sesudah hapusnya HGB itu, dilaksanakan sesuai Perjanjian Penggunaan Tanah Hak

    Pengelolaan atau Perjanjian Pemberian HGB antara pemegang Hak Milik dan

    pemegang Hak Guna Bangunan bersangkutan. Jadi syarat-syarat dari perjanjian inilah

    yang harus diikuti.48

    4. Asas-Asas Hukum Agraria Nasional

    Dengan berlakunya UUPA pada tahun 1960, maka Indonesia memiliki

    Hukum Agraria Nasional. Di dalam hukum agraria nasional (UUPA) terdapat

    beberapa asas-asas, tetapi dalam penulisan skripsi ini hanya dituangkan asas-asas

    yang berkaitan, diantaranya adalah sebagai berikut:

    1. Asas Nasionalitas.

    Asas Nasionalitas adalah:49

    asas yang menghendaki bahwa hanya

    bangsa Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hukum

    sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang

    terkandung di dalamnya. Menurut asas ini, hanya bangsa indonesia yang

    48

    Ibid, hlm. 35 49 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hlm. 84

  • 46

    dapat mempunyai hak milik, hak guna bangunan, dan hak guna usaha.

    Orang asing dapat memanfaatkan bumi Indonesia hanya dengan hak

    pakai atau hak sewa.

    Asas ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) dan Pasal 21

    UUPA sebagai dasar juridisnya menyatakan bahwa hanya warga negara

    Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hukum sepenuhnya

    dengan BARA. Dan hanya warga negara Indonesia saja yang dapat

    memiliki hak milik. Hal ini penting untuk menjaga persatuan bangsa dan

    negara khususnya dalam hubungan antara hukum agraria dan

    HANKAM.50

    2. Asas Keadilan / Persamaan.

    Persamaan dalam penguasaan atas BARA yang tidak membeda-

    bedakan jenis kelamin, golongan kaya dan golongan miskin, bahkan tidak

    membedakan suku bangsa.51

    Asas ini diatur pada Pasal 9 ayat (2) UUPA. Pasal ini

    menempatkan subyek hukum baik laki-laki maupun perempuan tidak

    dibedakan dalam kesempatan untuk memperoleh kenikmatan atas BARA.

    Bahkan tidak membedakan golongan, sehingga UUPA tidak menerapkan

    diskriminasi karena jenis kelamin maupun golongan karena hal demikian

    memang bertentangan dengan rasa keadilan bangsa Indonesia ataupun

    HAM. Hal demikian perlu ditandaskan sebab perbedaan antara subyek

    hukum (pria atau wanita) dalam hukum adat masih dikenal atas

    pemilikan sebidang tanah. pengaturan eksplisit demikian tetap

    dipertahankan agar supaya ketentuan ini menjadi pedoman secara ketat,

    sehingga adil dan terkandung pemerataan kesempatan. Demikian pula

    kesempatan yang sama semua warga negara untuk memiliki dan

    50

    Sri Harini Dwiyatmi, Hukum Agraria, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 2008, hlm. 12 51 Sri Harini Dwiyatmi, op.cit, hlm. 84

  • 47

    menguasai secara terbuka dan menurut hukum atas tanah-tanah di seluruh

    wilayah tanpa membatasi berdasarkan tidak saja jenis kelamin juga suku

    dan warna kulit.52

    3. Asas Hak Menguasai Negara.

    Asas ini menyatakan bahwa sebagai organiasi kekuasaan

    tertinggi, negara diberi wewenang untuk mengatur peruntukan tanah atau

    berkewajiban untuk mengatur penggunaan tanah serta pemberian tanah.

    Dalam hal ini, negara bukan sebagai pemilik tanah (BARA).53

    Konsep

    negara sebagai pemilik hanya ada pada saat negara indonesia dalam

    penjajahan Belanda. Sejak berlakunya UUPA yang lahir tahun 1960

    prinsip yang ada sebelumnya ditegaskan dihapus. Yang ada kini prinsip

    hak menguasai Negara yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2

    UUPA. Hak menguasai dari negara berasal dari Pasal 33 ayat (3) UUD

    1945 sebagai pasal pertama yang mengatur tentang hukum Agraria di

    Indonesia yang mencakup bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam

    yang terkandung di dalamnya. Bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang

    terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

    sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara meliputi

    semua BARA, baik yan sudah dihaki seseorang maupun yang belum

    dihaki. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sedang dipunyai orang

    dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Dan kekuasaan negara

    atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau

    pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.54

    52 Sri Harini Dwiyatmi, op.cit, hlm. 14 53

    Sri Harini Dwiyatmi, op.cit, hlm. 83-84 54 Sri Harini Dwiyatmi, op,cit. hlm 15-16

  • 48

    D. Hak Asasi Manusia dan Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

    1. Hak Asasi manusia (HAM).

    Pasal 27 ayat (1) menyatakan: “Setiap warga negara bersama kedudukannya

    di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

    itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam bunyi pasal ini dapat dipahami bahwa

    setiap warga negara sama dimata hukum (equality before the law) baik hak dan

    kewajibannya sebagai warga negara, antara yang satu dengan yang lainnya tanpa

    adanya diskriminasi.

    UUD 1945 melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai makluk ciptaan

    Tuhan yang paling sempurna. Perlindungan HAM tersebut terluang dalam UUD 1945

    Pasal 28A sampai Pasal 28J. Beberapa pasal yang terkait dalam penulisan ini

    diantaranya:

    Pasal 28D ayat (1), menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

    perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

    hukum”.

    Pasal 28D ayat (4), menyatakan: “Setiap orang berhak atas status

    kewarganegaraan”.

    Pasal 28H ayat (2), menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

    perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

    mencapai persamaan dan keadilan”.

    Pasal 28H ayat (4), menyatakan: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi

    dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa

    pun”.

    Pasal 28I ayat (1), menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

    kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,

    hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut

  • 49

    atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

    dikurangi dalam keadaan apa pun”.

    Pasal 28I ayat (2), menyatakan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

    bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan

    terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

    Pasal 28I ayat (4), menyatakan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan

    pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama

    pemerintah”.

    Pasal 28J ayat (1), menyatakan: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia

    orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.

    Di Indonesia pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) diatur lebih

    lanjut dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.

    Bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri

    manusia, bersifat universal dan langgeng karena itu harus dilindungi, dihormati,

    dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

    Definisi Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 39

    Tahun 1999 yaitu: seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

    manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

    yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,

    pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

    martabat manusia.

    Definisi hak asasi manusia menurut John Locke, adalah : hak-hak yang

    diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.55

    Oleh

    karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini

    sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan

    merupakan hal kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.

    55

    Srijanti, A. Rahman H. I., Purwanto S. K., Pendidikan kewarganegaraan Perguruan Tinggi Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 200

  • 50

    HAM sebagai suatu hak dilindungi oleh hukum yang berlaku (applicable

    law), dimana tuntutan dari HAM tersebut ditujukan kepada negara yang diwakili oleh

    pemerintah dan pejabat-pejabatnya.56

    Perbedaan HAM dengan hak lainnya adalah:57

    1. - HAM tidak diperoleh;

    - Tidak dapat dialihkan;

    - Tidak diperkenankan untuk dirampas karena hak ini melekat pada diri

    manusia;

    - HAM itu melekat pada semua diri manusia sepanjang hidupnya dan;

    - HAM merupakan hak yang tidak dapat dicabut.

    2. Kewajiban utamanya jatuh pada negara bukan pada individu-individu.

    Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM beberapa pasal yang berkaitan

    dengan penulisan dalam skripsi ini, diantaranya:

    Pasal 2 menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi

    hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati

    melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati,

    dan ditegakan demi meningkatkan martabat kemanusiaan, kesehjahteraan,

    kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”.

    Pasal 3 ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

    perlindungan dan pengakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan

    pengakuan yang sama di didepan hukum”.

    Pasal 3 ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi

    manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.

    Pasal 4 menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan

    pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

    untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak

    56 Louis Henkin, The Rights of Man Today, New York: Center for the study of Human Rights, Columbia University, 1988, hlm. 1-2 57 Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, hlm. 17

  • 51

    dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak

    dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

    Pasal 5 ayat (1) menyatakan “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang

    berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai

    dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”.

    Pasal-pasal tersebut sebagai pasal atas penerapan asas “equality before the

    law”. Pengertian dari asas “equality before the law” adalah:58

    asas yang menyatakan,

    bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, karena itu,

    setiap orang harus diperlakukan sama, memperoleh hak dan kewajiban yang sama.

    Tidak ada pilih kasih atau pandang bulu, satu sama lain mendapatkan perlakuan yang

    sama.

    Selain pasal-pasal yang menganut asas “equality before the law” tersebut,

    terdapat pula HAM yang mengatur tentang hak untuk hidup yang diatur dalam:

    Pasal 9 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan

    hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.

    Pasal 9 ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman,

    damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”.

    Adapun hak asasi yang mengatur hak atas kebebasan pribadi yang terkait

    dengan kewarganegaraan, yang diatur dalam:

    Pasal 26 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak memiliki, memperoleh,

    mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya”.

    Pasal 26 ayat (2) menyatakan “Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya

    dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada

    kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga

    negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    58 Riduan Syahrani, op.cit, hlm. 16

  • 52

    Pasal 27 ayat (1) menyatakan “Setiap warga negara indonesia berhak untuk secara

    bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik

    Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    Adapun pengaturan terkait tentang hak atas rasa aman, yang diatur dalam:

    Pasal 29 ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,

    keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”.

    Pasal 29 ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum

    sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”.

    Selain itu terdapat pengaturan hak asasi manusia yang mengatur tentang hak

    atas kesehjahteraan, yang diatur dalam:

    Pasal 36 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik

    sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,

    keluarganya, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum”.

    Pasal 36 ayat (2) menyatakan “Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan

    sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.

    Pasal 36 ayat (3) menyatakan “Hak milik mempunyai fungsi sosial”.

    Pasal 37 ayat (1) menyatakan “Pencabutan hak milik atas suatu benda demi

    kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar

    dan segara serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

    undangan”.

    Pasal 37 ayat (2) menyatakan “Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum

    demi kepentingan umum harus dimusnahkan atai tidak diberdayakan, baik untuk

    selamanya maupun untuk sementara waktu, amka hal itu dilakukan dengan

    mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

    kecuali ditentukan lain”.

    Pasal 40 menyatakan “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta

    berkehidupan yang layak”.

  • 53

    Pasal yang mengatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab,

    yaitu:

    Pasal 71 menyatakan “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,

    melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam

    undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional

    tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Republik Indonesia”.

    Pasal 72 menyatakan “Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang

    hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang

    lain”.

    Adapun pembatasan dan larangan untuk melindungi hak asasi manusia, yaitu

    yang terdapat dalam:

    Pasal 74 menyatakan “Tidak satu ketentuan dalam undang-undang ini boleh

    diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak mana pun dibenarkan

    mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar

    yang diatur dalam undang-undang ini”.

    Terkait dengan pemenuhan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi

    Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti yang tertuang dalam

    Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999.

    2. Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

    Definisi diskriminasi adalah:59

    setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan

    yang langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,

    etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,

    keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan

    pengakua, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar

    59 Pasal 1 Angka 3, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  • 54

    dalam kehidupan baik individual maupun kelolektif dalam bidang politik , ekonomi,

    hukum, sosial, dan budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

    Diskriminasi biasanya dialami oleh kaum minoritas yang terkait dengan rasa

    tau etnis yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat.

    Di Indonesia terkait dengan diskriminasi ras dan etnis telah dihapuskan,

    dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan

    Diskriminasi Ras dan Etnis.

    Dalam pertimbangan muncul dan diberlakukannya Undang-Undang

    penghapusan diskriminasi ras dan etnis ini, bahwa umat manusia berkedudukan sama

    di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan

    hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis. Bahwa segala

    tindakan diskriminasi juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan

    Deklarasi Universal HAM. Selain itu bahwa diskriminasi merupakan hambatan bagi

    hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian keserasian,

    keamanan, dan kehidupan bermata pecaharian diantara warga negara yang pada

    dasarnya hidup berdampingan.

    Selain itu bahwa Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa

    Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang

    tercermin dalam sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan

    amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala

    bentuk dikriminasi ras dan etnis.

    Definisi dari diskriminasi ras dan etnis adalah:60

    segala bentuk perbedaan,

    pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan ras dan etnis, yang

    mengakibatkan pencabutan dan pengurangan pengakuan, perolehan dan pelaksanaan

    HAM dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan dibidang sipil, politik, ekonomi,

    sosial dan budaya.

    60

    Pasal 1 Angka 1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

  • 55

    Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas

    persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang

    diselenggarakan dengan tetap memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya, dan

    hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 2 Ayat

    (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2008). sedangkan penghapusan diskriminasi ras dan

    etnis bertujuan untuk mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan,

    perdamaian, keser