asas asas-kurikulum(3)
-
Upload
bali-dgunners -
Category
Documents
-
view
16.111 -
download
0
Embed Size (px)
description
Transcript of asas asas-kurikulum(3)

KATA PENGANTAR
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu
pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai
tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan
perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil
yang maksimal.
Mengembangkan kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana
karena banyak sekali pertanyaan yang dapat dikemukakan untuk dipertimbangkan.
Misalnya: Apakah yang ingin dicapai? Manusia yang bagaimana yang diharapkan
akan dibentuk? Apakah yang diutamakan kebutuhan sekarang atau masa
mendatang? Apakah hakikat anak harus dipertimbangkan atau diperlukan sebagai
orang dewasa? Dan segudang pertanyaan lagi yang kesemuanya menyangkut asas-
asas yang mendasari setiap kurikulum, yaitu asas filosotis, asas psikologis, asas
sosiologis dan asas organisatoris.
Dengan kurikulum yang sesuai dan tepat, maka dapat diharapkan sasaran
dan tujuan pendidikan akan dapat tercapai secara maksimal.
Buku ini penting bagi para mahasiswa, para guru dan siapa saja yang
berminat dan berkecimpung di bidang pendidikan.

DAFTARISI
Kata Pengantar
Bab 1 : Pengertian Dan Asas-Asas Kurikulum
Bab 2 : Asas-Asas Fisiologi
Bab 3 : Asas Psikologis Anak
Bab 4 : Asas Psikologis Anak
Bab 5 : Proses Perubahan Dan Perbaikan Kurikulum
Bab 6 : Kurikulum Dan Masyarakat
Bab 7 : Organisasi Kurikulum
Bab 8 : Menentukan Scope Dan Sequence Dalam Pembinaan Kurikulum
Bab 9 : Mengubah Kurikulum
Bab 10 : Penutup
Daftar Buku

BAB1
PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS
KURIKULUM
Masa depan bangsa terletak dalam tangan generasi muda. Mutu bangsa di
kemudian hari bergantung pada pendidikan yang dikecap oleh anak-anak sekarang,
terutama melalui pendidikan formal yang diterima di sekolah. Apa yang akan
dicapai di sekolah, ditentukan oleh kurikulum sekolah itu. Jadi barang siapa yang
menguasai kurikulum memegang nasib bangsa dan negara. Maka dapat dipahami
bahwa kurikulum sebagai alat yang begitu vital bagi perkembangan bangsa dipegang
oleh pemerintah suatu negara. Dapat pula dipahami betapa pentingnya usaha
mengembangkan kurikulum itu. Oleh sebab setiap guru merupakan kunci utama
dalam pelaksanaan kurikulum, maka ia harus pula memahami seluk-beluk
kurikulum. Hingga batas tertentu, dalam skala mikro, guru juga seorang
pengembang kurikulum bagi kelasnya.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN KURIKULUM
Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam
kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus
tahun 1856. Artinya pada waktu itu ialah: " L a race course; a place for running; a
chariot. 2. a course in general; applied particulary to the course of study in a
university". Jadi dengan "kurikulum" dimaksud suatu jarak yang harus ditempuh
oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. "Kurikulum" juga
berarti "chariot," semacam kereta pacu pada zaman dulu, yakni suatu alat yang
membawa seorang dari "start" sampai "finish".
Di samping penggunaan "kurikulum" semula dalam bidang olah raga,
kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di
perguruantinggi.

Dalam kasus Webster tahun 1955 "kurikulum diberi arti '"a. A course esp. a
specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree,
b. The whole body of courses offered in an educational institution, or department
thereof, -. the usual sense." Di sini "kurikulum" khusus digunakan dalam pendidikan
dan pengajaran, yakni sejumlah mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di
perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat.
"Kurikulum" juga berarti keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga
pendidikan.
Di Indonesia istilah "kurikulum" boleh dikatakan baru menjadi populer sejak
tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang ,memperoleh pendidikan
di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar pendidikan.
Sebelumnya yang lazim digunakan ialah "rencana pelajaran". Pada hakikatnya
kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran. Hilda Taba dalam bukunya
Curriculum Development, Theory and Practice mengartikan sebagai "a plan for
learning", yakni sesuatu yang direncanakan untuk pelajaran anak.
Dalam buku ini kami gunakan istilah "kurikulum," karena pengertian
kurikulum banyak mengalami perkembangan, berkat pemikiran yang banyak oleh
tokoh-tokoh pendidikan mengenai kurikulum, sehingga dapat meliputi hal-hal yang
tidak direncanakan, namun turut mengubah kelakuan anak didik. Kurikulum juga
bukan lagi sekedar sejumlah mata pelajaran , akan tetapi mendapat liputan yang jauh
lebih luas. Maka karena itu istilah "rencana pelajaran" rasanya terlampau sempit dan
terikat oleh pengertian tradisional, yang sangat terbatas pada bahan pelajaran dalam
buku pelajaran.
Dalam teori, tetapi juga dalam praktik, pengertian kurikulum yang lama
sudah banyak ditinggalkan. Para ahli pendidikan kebanyakan memberi arti dan isi
yang lebih luas daripada semula. Selain itu pengertiannya pun senantiasa dapat
berkembang dan mengalami perubahan. Perubahan itu antara lain terjadi karena
orang tak kunjung puas dengan hasil pendidikan sekolah dan selalu ingin
memperbaikinya. Memang tak mungkin disusun suatu kurikulum yang baik serta
mantap sepanjang zaman. Suatu kurikulum hanya mungkin baik untuk suatu
masyarakat tertentu pada masa tertentu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang mengubah masyarakat dan dengan sendirinya kurikulum pun
tak dapat tiada hams disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Di samping itu banyak timbul pendapat-pendapat baru tentang hakikat dan
perkembangan anak, caranya belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan, dan
Iain-lain, yang memaksa diadakannya perubahan dalam kurikulum. Pengembangan
kurikulum adalah proses yang tak henti-hentinya, yang harus dilakukan secara
kontinu. Jika tidak, maka kurikulum menjadi usang atau ketinggalan zaman. Makin
cepat perubahan dalam masyarakat, makin sering diperlukan penyesuaian
kurikulum.
Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah. Praktek
pendidikan di sekolah senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori
kurikulum. Bukan sesuatu yang aneh, bila suatu teori kurikulum baru menjadi
kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian. Kelambanan ini terjadi antara lain
karena guru-guru banyak yang lebih ingin berpegang pada yang telah ada, merasa
lebih aman dengan praktik-praktik rutin dan tradisional daripada mencobakan hal-
hal baru, yang memerlukan pemikiran dan usaha yang lebih banyak dan ada kalanya
menuntut perubahan pada diri guru itu sendiri. Itu sebabnya maka kurikulum masih
banyak diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus disampaikan kepada
anak.
BEBERAPA DEFINISI KURIKULUM
Seperti telah dikemukakan di atas, perubahan zaman menuntut kurikulum
baru dan sering juga pengertian baru mengenai makna kurikulum itu sendiri.
Perubahan zaman memberi tugas-tugas baru kepada sekolah, di antaranya tugas-
tugas yang sediakala dipikul oleh lembaga-lembaga lain seperti rumah tangga,
pemerintah, petugas agama, dan Iain-lain. Misalnya, anak-anak gadis biasanya
belajar memasak, menjahit, mengurus rumah, dan pekerjaan lain dari ibunya. Dunia
modern sering mengharuskan ibu-ibu bekerja, dan tidak sempat lagi mendidik
anaknya dalam keterampilan rumah tangga. Maka tugas ibu itu dipercayakan kepada
sekolah dengan memberi pelajaran PKK. Ada pula ibu-ibu yang tak puas dan
merasa bosan hanya terikat oleh rutin rumah tangga dan ingin

menentukan karirnya sendiri. Demikian pula soal kesehatan jasmani anak,
keamanan lalu lintas, keterampilan vokasional, pendidikan seks, pencegahan minum
alkohol atau ganja, kepramukaan, pendidikan, agama, dan hal-hal lain lambat laun
digeser tanggung-jawab pendidikannya kepada sekolah. Dengan demikian
kurikulum sekolah tidak hanya meliputi mata pelajaran tradisional, melainkan
berbagai kegiatan lain yang bersifat edukatif, di dalam maupun di luar sekolah.
Dengan bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam
defmisi kurikulum, sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya
kurikulum itu. Akhirnya setiap pendidik, setiap guru harus menentukan sendiri
apakah kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang akan
mempengaruhi kegiatan belajar-mengajar dalam kelas maupun di luar kelas.
Di bawah ini kami berikan sejumlah defmisi kurikulum menurut beberapa
ahli kurikulum.
1. J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning for
Better Teaching and Learning (1956) menjelaskan arti kurikulum sebagai
berikut. " The Curriculum is the sum total of school's efforts to influence
learning, whether in the clasroom, on the playground, or out of school." Jadi
segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruangan
kelas, di halaman sekolah atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum
meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra-kurikuler.
2. Harold B. Albertycs. dalam Reorganizing the High-School Curriculum (1965)
memandang kurikulum sebagai "all of the activities that are provided for
students by the school". Seperti halnya dengan defmisi Saylor dan Alexander,
kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran, akan tetapi juga meliputi
kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan luar kelas, yang berada di bawah tanggung
jawab sekolah. Defmisi melihat manfaat kegiatan dan pengalaman siswa di luar
mata pelajaran tradisional.

3. B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores memandang kurikulum
sebagai "a sequence of potential experiences set up in the school for the purpose
of disciplining children and youth in group ways of thinking and acting".
Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial
dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan
berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4. William B. Ragan, dalam buku Modern Elementary Curriculum (1966)
menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut: "The tendency in recent decades has
ben to use the term in a broader sense to refer to the whole life and program of
the school. The term is used ... to include all the experiences of children for
which the school accepts responsibility. It denotes the results of efferorts on the
part of the adults of the community, and the nation to bring to the children the
finest, most whole some influences that exist in the culture."
Ragan mengunakan kurikulum dalam arti yang luas, yang meliputi
seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak di
bawah tanggung-jawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan
pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan sosial
antara guru dan murid, metode mengajar, cara mengevaluasi termasuk
kurikulum.
5. J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School
lmprovemant (1973) juga menganut defmisi kurikulum yang luas. Menurut
mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara
mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar,
bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural
mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
Ketiga aspek pokok, program, manusia dan fasilitas sangat erat hubungannya,
sehingga tak mungkin diadakan perbaikan kalau tidak diperhatikan ketiga-
tiganya.

6. Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam
bukunya Changing the Curriculum : a Social Process (1946) is mengemukakan
bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan,
keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah,
yakni anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia (termasuk penjaga
sekolah, pegawai administrasi dan orang lainnya yang ada hubungannya dengan
murid-murid ). Jadi kurikulum meliputi segala pengalaman dan pengaruh yang
bercorak pendidikan yang diperoleh anak di sekolah. Defmisi Miel tentang
kurikulum sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan hanya pengetahuan,
kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, apresiasi, cita-cita serta norma-norma,
melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh pegawai sekolah.
Langeveld seorang ahli pendidikan Belanda dalam bukunya Leerboek der
Pedagogische Psychologie membedakan apa yang disebutnya opvoedingsmiddelen
dan opvoedingsfaktoren Istilah pertama berarti alat-alat pendidikan, yaitu segala
sesuatu yang dengan sengaja dilakukan oleh sipendidik terhadap anak-didik guna
mempengaruhi kelakuannya, seperti menjelaskan, menganjurkan, memuji, melarang
atau menghukum. Istilah kedua berarti faktor-faktor pendidikan, meliputi keadaan
lingkungan pendidikan seperti kebersihan ruangan, keramahan pendidik, jadi tidak
merupakan tindakan yang disengaja. Kita lihat bahwa Alice Miel mencakup kedua
hal itu dalam pengertian kurikulumnya yakni alat pendidikan dan faktor pendidikan.
Tak semua ahli kurikulum menganut pendirian yang begitu luas. Hilda Taba
berpendapat bahwa defmisi yang terlampau luas mengaburkan pengertian kurikulum
sehingga menghalangi pemikiran dan pengolahan yang tajam tentang kurikulum. Jika
kurikulum dirumuskan sebagai "segala usaha yang dilakukan oleh sekolah untuk
memperoleh hasil yang diharapkan dalam situasi di dalam maupun di luar sekolah"
atau sebagai" sejumlah pengalaman yang potensial dapat diberikan oleh sekolah
dengan tujuan agar anak dan pemuda dibiasakan berpikir dan berbuat menurut
kelompok atau masyarakat tempat ia hidup", maka defmisi yang luas itu
membuatnya tidak fungsional. Maka Hilda Taba memilih posisi yang tidak
terlampau luas dan tidak pula terlampau sempit, karena defmisi yang sempit tidak lagi
diterima oleh sekolah modern.

Hilda Taba mengemukakan, bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum
merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berparsitipasi sebagai anggota
yang produktif dalam masyrakatnya. Tiap kurikulum, bagaimanapun polanya, selalu
mempunyai komponen-komponen tertentu, yakni pernyataan tentang tujuan dan
sasaran, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar
dan mengajar, dan akhirnya evaluasi hasil belajar. Perbedaan kurikulum terletak pada
penekanan pada unsur-unsur tertentu.
7. Edward A. Krug dalam The Secondary School Curriculum (1960) menunjukkan
pendirian yang terbatas tapi realistis tentang kurikulum. Defmisinya ialah "A
Curriculum Consists of the means used to achieve or carry out given purposes of
schooling". Kurikulum dilihatnya sebagai cara-cara dan usaha untuk mencapai
tujuan persekolahan. la membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan
anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga,
lembaga agama, masyarakat, dan Iain-lain. la dengan sengaja menggunakan
istilah "schooling" untuk menjelaskan apa sebenarnya tugas sekolah.
Memborong segala tanggung jawab atas pendidikan anak akan merupakan
beban yang terlampau berat, sehingga tidak mungkin dilakukan dengan baik.
Maka karena itu Krug membatasi kurikulum pada : 1. organized classroom
instruction, yaitu pengajaran di dalam kelas, 2. kegiatan-kegiatan tertentu di luar
pengajaran itu, seperti bimbingan dan penyuluhan, kegiatan pengabdian masyarakat,
pengalaman kerja yang bertalian dengan pelajaran, dan perkemahan sekolah. Akan
tetapi kegiatan-kegiatan akhir masih bersifat kontroversial.
Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna
mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya bersifat idea, suatu
cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan dibentuk. Kurikulum ini
lazim mengandung harapan-harapan yang sering berbunyi muluk-muluk.
Apa yang dapat diwujudkan dalam kenyataan disebut kurikulum yang real.
Karena tak segala sesuatu yang direncanakan dapat direalisasikan, maka terdapatlah
kesenjangan antara idea dan real curriculum.

Smith dan kawan-kawan memandang kurikulum sebagai rangkaian
pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak, jadi dapat disebut
potential curriculum. Namun apa yang benar-benar dapat diwujudkan pada anak
secara individual, misalnya bahan yang benar-benar diperolehnya, disebut actual
curriculum.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga
kita peroleh penggolongan sebagai sebagai berikut:
1. Kurikulum dapat dilihat sabagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan
dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang misalnya berisi sejumlah
mata pelajaran yang harus diajarkan.
2. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan
oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa mengajarkan berbagai
mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala kegiatan yang dianggap dapat
mempengaruhi perkembangan siswa misalnya perkumpulan sekolah,
pertandingan, pramuka, warung sekolah dan Iain-lain.
3. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang
diharapkan akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang benar-benar
dipelajari.
4. Kurikulum sebagi pengalaman siswa. Ketiga pandangan diatas berkenaan
dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang
secara aktual menjadi kenyataan pada tiap siswa. Ada kemungkinan, bahwa apa
yang diwujudkan pada diri anak berbeda dengan apa yang diharapkan menurut
rencana.
Mengenai masalah kurikulum senantiasa terdapat pendirian yang berbeda-
beda, bahkan sering yang bertentangan. Ketidakpuasan dengan kurikulum yang
berlaku adalah sesuatu yang biasa dan memberi dorongan mencari kurikulum baru.
Akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim sering dilakukan dengan
mendiskreditkan kurikulum yang lama, pada hal kurikulum itu pun mengandung

kebaikan, sedangkan kurikulum pasti tidak akan sempurna dan akan tampil
kekurangannya setelah berjalan dalam beberapa waktu.
Dalam praktiknya biasanya tidak dapat pertentangan yang begitu tajam
seperti yang digambarkan dalam teorinya. Pada umumnya guru itu konservatif dan
cenderung berpegang pada cara-cara yang lama yang telah dikuasainya dan menurut
pengalamannya memberi hasil yang baik. la tidak mudah melepaskan yang lama
yang sudah terbukti kebaikannya, sebelum ia yakin bahwa yang baru itu ternyata
lebih baik lagi. Juga ada kemungkinan untuk mengawinkan yang baru dengan yang
lama. Maka karena itu jarang akan terdapat bahwa suatu teori tentang kurikulam
dilaksanakan secara murni. Selain itu berbagai jenis kurikulum dapat hidup bersama
tanpa menimbulkan konflik.
Adanya berbagai tafsiran tentang kurikulum tak perlu merisaukan, karena
justru dapat memberi dorongan untuk mengadakan inovasi mencari bentuk -bentuk
kurikulum baru. Pandangan yang berbeda-beda itu memberi dinamika dalam
pemikiran tentang kurikulum secara kontinu tanpa henti-hentinya.
Bila dalam buku ini kami uraikan kurikulum dalam bentuk murninya
menurut teori yang mendasarinya, jadi menonjolkannya dalam bentuk yang ekstrim,
perlu kita ketahui bahwa dalam praktik pendidikan sering terjadi campuran atau
adanya berbagai bentuk kurikulum yang hidup bersama secara damai.
ASAS-ASAS KURIKULUM
Mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana
karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan yang dapat
diajukan untuk diperhitungkan. Misalnya : Apakah yang ingin dicapai, manusia
yang bagaimana yang diharapkan akan dibentuk? Apakah akan diutamakan
kebutuhan anak pada saat sekarang atau masa mendatang? Apakah hakikat anak
harus dipertimbangkan, ataukah ia diperlakukan sebagai orang dewasa? Apakah
kebutuhan anak itu? Apakah harus dipentingkan anak sebagai individu atau sebagai
anggota kelompok? Apakah yang harus dipentingkan, mengajarkan kejujuran atau
memberi pendidikan umum? Apakah pelajaran akan didasarkan

atas disiplin ilmu ataukah dipusatkan pada masalah sosial dan pribadi?
Apakah semua anak harus mengikuti pelajaran yang sama
taukah is diizinkan memilih pelajaran sesuai dengan minatnya? Apakah
seluruh kurikulum sama bagi semua sekolah secara uniform, atau diberi kelonggaran
untuk menyesuaikannya dengan keadaan daerah? Apakah hasil belajar anak akan
diuji secara uniform ataukah diserahkan pada penilaian guru yang dapat
mempelajari anak itu dalam segala aspek selama waktu yang panjang ?
Semua pertanyaan itu menyangkut asas-asas yang mendasari setiap
kurikulum, yakni :
1. Asas filosofis yang berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan
filsafat negara.
2. Asas psikologis yang memperhitungkan faktor anak dalam kurikulum yakni a.
psikologi anak, perkembangan anak, b. psikologi belajar, bagaimana proses
belajar anak.
3. Asas sosiologis, yaitu keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya,
kebudayaan manusia, hasil kerja manusia herupa pengetahuan, dan Iain-lain.
4. Asas organisatoris yang mempertimbangkan bentuk dan organisasi bahan
pelajaran yang disajikan.
Walaupun dalam buku ini keempat asas itu akan dipaparkan lebih lanjut,
dirasa perlu memberikannya lebih dahulu secara singkat.
1. Asas Filosofis
Sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang "baik".
Apakah yang dimaksud dengan "balk" pada hakikatnya ditentukan oleh nilai-nilai,
cita-cita atau filsafat yang dianut negara, tapi juga guru, orang tua, masyarakat
bahkan dunia. Perbedaan filsafat dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan
dalam tujuan pendidikan, jadi juga bahan pelajaran yang disajikan, mungkin juga
cara mengajar dan menilainya. Pendidikan di negara otokratis akan berbeda dengan
negara yang demokratis, pendidikan di negara yang menganut agama Budha akan
berlainan denagan pendidikan di negara yang memeluk agama Islam

atau Kristen. Kurikulum tak dapat tiada mempunyai hubungan yang erat
dengan filsafat bangsa dan negara terutama dalam menentukan manusia yang dicita-
citakan sebagai tujuan yang harus dicapai melalui pendidikan formal.
2. Asas Psikologis
a. Psikologi anak
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan
situasi-situasi di mana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakatnya. Selama
berabad-abad anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada orang
dewasa dan karena itu mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan
perkembangannya. Baru setelah Rousseau anak itu dikenal sebagai anak, dan
dilakukan penelitian ilmiah untuk lebih mengenalnya, dan sejak permulaan abad ke-
20 anak kian mendapat perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan
kurikulum. Timbullah aliran yang disebut progresif, bahkan kurikulum yang semata-
mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak, yaitu "Child centered
curriculum". Kurikulum ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap kurikulum
yang ditentukan oleh orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan dan minat anak.
Tentu saja kurikulum yang begitu ekstrim mengutamakan salah satu dasar akan
mempunyai kekurangan-kekurangan. Namun gerakan ini tak dapat tiada menarik
perhatian para pendidik, khususnya para pengembang kurikulum, untuk selalu
menjadikan anak sebagai salah satu pokok pemikiran.
b. Psikologi belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa
anak-anak dapat dididik, dapat dipengaruhi kelakuannya. Anak-anak dapat belajar,
dapat menguasai sejumlah pengetahuan, dapat mengubah sikapnya, dapat menerima
norma-norma, dapat menguasai sejumlah keterampilan. Soal yang penting ialah :
bagaimanakah anak itu belajar? Kalau kita tahu betul, bagaimana proses belajar itu
berlangsung, dalam keadaan yang bagaimana belajar itu memberi hasil yang sebaik-
baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan cara yang
seefektif-efektifnya.

Oleh sebab belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, maka
timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain.
Penelitian dilakukan untuk lebih mendalam memahami proses belajar ini, banyak di
antaranya dengan melakukan eksperimen.
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa tiap teori itu mengandung
kebenaran, akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan proses
belajar itu, jadi yang mencakup segala gejala belajar, dari yang sederhana sampai
yang paling pelik.
Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar-mengajar. Dengan demikian
ada hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi belajar dan psikologi anak.
Karena hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadi salah satu dasar
kurikulum.
3. Asas Sosiologis
Anak tidak hidup sendiri terisolasi dari manusia lainnya, ia selalu hidup
dalam suatu masyarakat. Di situ ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus
dilakukannya dengan penuh tanggung-jawab, baik sebagai anak, maupun sebagai
orang dewasa kelak. Ia banyak menerima jasa dari masyarakat dan ia sebaliknya
harus menyumbangkan baktinya bagi kemajuan masyarakat. Tuntutan masyarakat
tak dapat diabaikannya.
Tiap masyarakat mempunyai norma-norma, adat kebiasaan yang tak dapat
tiada harus dikenal dan diwujudkan anak dalam pribadinya lalu dinyatakannya
dalam kelakuannya. Tiap masyarakat berlainan corak nilai-nilai yang dianutnya.
Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Perbedaan ini harus di-
pertimbangkan dalam kurikulum. Juga perubahan masyarakat akibat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pertimbangan dalam kurikulum.
Oleh sebab masyarakat suatu faktor yang begitu penting dalam
pengembangan kurikulum, maka masyarakat dijadikan salah satu asas. Dalam hal ini
pun harus kita jaga, agar asas ini jangan terlampau mendominasi sehingga

timbul kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau "society-
centered curriculum".
4. Asas Organisatoris
Asas ini herkenaan dengan masalah, dalam bentuk yang bagaimana bahan
pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah,
ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan, misalnya
dalam bentuk broad-field atau bidang studi seperti IP A, IPS, Bahasa, dan Iain-lain.
Ataukah diusahakan hubungan secara lebih mendalam dengan menghapuskan segala
batas-batas mata pelajaran, jadi dalam bentuk kurikulum yang terpadu. Ilmu jiwa
asosiasi yang berpendirian bahwa keseluruhan sama dengan jumlah
bagianbagiannya cenderung memilih kurikulum yang subject-centered, atau yang
berpusat pada mata pelajaran, yang dengan sendirinya akan terpisah-pisah.
Sebaliknya ilmu jiwa Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan, karena keseluruhan
itu bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Aliran
psikologi ini lebih cenderung memilih kurikulum terpadu atau integrated kurikulum.
Kembali perlu di ingatkan, bahwa tidak ada kurikulum yang baik dan tidak
baik. Setiap organisasi kurikulum mempunyai kebaikan akan tetapi tidak lepas dari
kektirangan ditinjau dari segi-segi tertentu. Selain itu, bermacam-macam organisasi
kurikulum dapat dijalankan secara bersama di satu sekolah, bahkan yang satu dapat
membantu atau melengkapi yang satu lagi.
Kurikulum yang bagaimana yang harus dipilih? Pertanyaan itu diajukan
karena macamnya kemungkinan. Dalam mengembangkan kurikulum harus diadakan
pilihan, jadi selalu hasil semacam kompromi antara anggota panitia kurikulum.
Sering dikatakan bahwa "curriculum is a matter of choice", kurikulurri adalah soal
pilihan. Dalam hal ini pilihan banyak bergantung pada pendirian atau sikap
seseorang tentang pendidikan. Pada umumnya dapat dibedakan dua pendirian
utama, yakni yang tradisional dan yang progresif.
KURIKULUM TRDISIONAL ATAU PROGRESIF

Kurikulum tradisional yang ingin mengawetkan yang lama tidak dengan
sendirinya buruk dan merugikan, oleh sebab apa yang diawetkan, selalu yang baik,
apakah itu nilai-nilai, barang seni, benda, dan sebagainya. Namun dalam masa
perubahan yang serba dinamis ini, menutup mata bagi perubahan akan merugikan
diri sendiri. Sebaliknya kurikulum modern - progresif juga tidak dengan sendirinya
baik dan luput dari, berbagai kekurangan.
Menjalankan kurikulum progresif akan banyak mendapat tentangan, antara
lain dari pihak guru yang terkenal karena sikap konservatifnya, juga orangitua yang
telah mengecap pendidikan tradisional dan merasakan manfaatnya. Kesulitan yang
dihadapi kurikulum progresif ialah, bahwa orang mengharapkan hasil-hasil
tradisional dari sekolah yang progresif. Sekolah progresif misalnya mementingkan
kemampuan memecahkan masalah dan menggunakan pengetahuan secara
fungsional untuk memecahkan masalah itu. Tidak diharapkan siswa mempunyai
pengetahuan yang uniform. Namun orang tua masih mengharapkan agar murid-
murid hafal akan nama-nama geografis, tahun-tahun dan tokoh-tokoh sejarah,
terampil dalam hitungan di luar kepala, dan Iain-lain. Sekolah progresif harus dinilai
berdasarkan prinsip-prinsip sekolah itu. Kita inginkan agar anak-anak kreatif,
sanggup berpikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, kita ingin
agar anak sanggup mengadakan penelitian dan penemun, namun kita mengadakan
ujian nasional yang uniform yang tidak menghiraukan perbedaan individual, dan
terutama menonjolkan hafalan, tidak mengizinkan perbedaan pendapat, menentukan
lebih dahulu mana yang benar yang dicoba anak mencari atau menerkanya bila
menghadapi ujian bercorak objektif
Di bawah ini kami cantumkan beberapa perbedaan antara pendirian
tradisional dan progresif.
Penganut kurikulum tradisional berpegang pada kurikulum yang didasarkan
atas subjek atau mata pelajaran, yang biasanya diberikan secara terpisah-pisah.
Bahan mata pelajaran diambil dari berbagai disiplin ilmu yang dibina dan senantiasa
dikembangkan para ilmuwan dan karena itu mendapat penghargaan tinggi dari
masyarakat. Kurikulum tradisional ini telah bertahan selama beberapa abad dan
diduga akan bertahan terus sepanjang masa. Dianggap

bahwa ilmu mempunyai nilai tersendiri dan karena itu dapat dipelajari demi
ilmu itu sendiri. Selain itu mempelajari ilmu akan mengembangkan kemampuan
intelektual anak.
Penganut kurikulum progresif atau modern tidak menolak ilmu, akan tetapi
tidak dipelajari demi ilmu sendiri, akan tetapi untuk digunakan dalam memecahkan
suatu masalah. Sambil memecahkan masalah siswa mengumpulkan ilmu yang
diperlukan. Mengumpulkan ilmu demi ilmu yang tidak fungsional hanya
membebani otak dengan hal-hal yang mubazir. Tujuan pendidikan bukan hanya
mengembangkan aspek intelektual saja melainkan keseluruhan pribadi anak dalam
segala aspek.
Dalam kurikulum tradisional diperlukan pengarahan, pengawasan, kontrol
dan disiplin yang ketat, agar siswa mempelajari bahan yang sama dan mencapai
tingkat penguasaan yang sama. Sebaliknya kurikulum yang progresif lebih banyak
memberi kebebasan kepada siswa untuk menentukan apa yang akan dipelajarinya,
sesuai dengan minat dan kesanggupannya dalam suasana yang mengizinkan
kebebasan.
Apa yang dipelajari dalam kurikulum tradisional dianggap akan berguna
kelak di kemudian hari anak, karena banyak pelajaran yang sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan kehidupan anak dalam masyarakat. Di lain pihak, kurikulum
progresif memilih masalahmasalah yang nyata dalam kehidupan anak dan
masyarakat.
Kurikulum tradisional menyamaratakan semua siswa baik mengenai bahan,
metode belajar-mengajar, maupun evaluasi. Kurikulum progresif memperhatikan
bahkan membantuperkembangan keunikan individu.
Kurikulum tradisional menerima kenyataan dalam masyarakat sebagaimana
adanya, sedangkan kurikulum progresif berusaha untuk mengubah lingkungan untuk
membentuk dunia yang lebih baik.
Kalau diteliti lebih lanjut dapat lagi kita temui perbedaan lain antara kedua
pendekatan dalam pengembangan kurikulum. Dapat kita katakan, bahwa kurikulum
progresif merupakan reaksi dalam berbagai bentuk terhadap

kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam kurikulum tradisional.
Namun betapapun kritik terhadap kurikulum tradisional, kurikulum ini tetap
bertahan.
Juga kurikulum progresif tidak bebas dari kritik yang tajam dari berbagai
pihak. Yang paling berpengaruh ialah kritik bahwa kurikulum ini kurang
mengembangkan kemampuan intelektual anak, sehingga setelah peluncuran
Sputnik, aliran progresif mengalami pukulan hebat, dengan ditonjolkannya kembali
kurikulum yang berdasarkan disiplin ilmu, akan tetapi akibatnya ialah, bahwa faktor
anak kembali dianaktirikan.
KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM
Ralph W.Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and
Instruction (1949), salah satu buku yang paling berpengaruh dalam pengembangan
kurikulum, mengajukan 4 pertanyaan pokok, yakni :
1. Tujuan apa yang harus dicapai sekolah?
2. Bagaimanakah memilih bahan pelajaran guna mencapai tujuan itu?
3. Bagaimanakah bahan disajikan agar efektif diajarkan?
4. Bagaimanakah efektivitas belajar dapat dinilai?
Berdasarkan pertanyaan itu, maka diperoleh keempat komponen kurikulum
yakni, (1) tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) proses belajar-mengajar, (4) evaluasi atau
penilaian. Keempat komponen itu dapat kita gambarkan dalam bagan sebagai
berikut:
„ TUJUAN
i,
EVALUASIBAHAN
\^ *^-~ PBM
Keempat komponen itu saling berhubungan. Setiap komponen bertalian erat
dengan ketiga komponen lainnya. Tujuan menentukan bahan apa yang akan

dipelajari, bagaimana proses belajarnya, dan apa yang harus dinilai. Demikian pula
penilaian dapat mempengaruhi komponen lainnya. Pada saat dipentingkan-

nya evaluasi dalam bentuk ujian, misalnya Ebtanas, UMPTN, maka timbul
kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai tujuan kurikulum, proses
belajar-mengajar cenderung mengutamakan latihan dan hafalan.
Bila salah satu komponen berubah, misalnya ditonjolkannya tujuan yang
baru, atau proses belajar-mengajar, misalnya metode baru, atau cara penilaian, maka
semua komponen lainnya turut mengalami perubahan. Kalau tujuannya jelas, maka
bahan pelajaran, PBM, maupun evaluasi pun lebih jelas.
Pola kurikulum yang dikemukakan oleh Tyler ini tampaknya sangat
sederhana, namun dalam kenyataannya lebih kompleks daripada yang diduga. Tak
mudah menentukan tujuan pendidikan atau pelajaran, tak mudah pula menentukan
bahan yang tepat guna mencapai tujuan itu, misalnya bahan untuk mendidik anak
agar menjadi manusia pembangun, jujur, kerja keras, dan sebagainya. Menentukan
PBM yang efektif tak kurang sulitnya, karena keberhaslannya baru diketahui setelah
dinilai.
Konsep tayle tentang komposisi kurikulum tentu mendapat kritik, namun
masih dipertimbangkan hingga sekarang.
RANGKUMAN
1. Kurikulum yang semula berarti jarak yang harus ditempuh, kemudian menjadi
sejumlah mata pelajaran yang harus dilalui untuk mendapat ijazah.
2. Para ahli kurikulum "modern" cenderung memberikan pengertian yang lebih
luas, sehingga meliputi kegiatan di luar kelas, bahkan juga mencakup segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi kelakuan siswa, termasuk kebersihan kelas,
pribadi guru, sikap petugas sekolah, dan Iain-lain.
3. Kurikulum dapat dipandang dari berbagai segi, yakni, curriculum as a product,
as a program, as intended learnings, as the experiences of the learner. Dapat pula
kita memandangnya sebagai formal curriculum, ideal, real, actual curriculum
atau potential learning experiences.

4. Ada kebaikan dan kelemahan pengertian kurikulum yang terlampau luas atau
terlampau sempit. Hilda Taba memandang kurikulum sebagai "a plan for
learning".
5. Ada kecenderungan pengertian kurikulum meluas, karena banyak tugas yang
sedianya oleh rumah tangga dan lembaga informal lainnya dibebankan kepada
sekolah.
6. Kurikulum senantiasa harus diubah karena perubahan masyarakat akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan kurikulum berjalan
kontinu kalau tidak mau ketinggalan zaman.
7. Karena adanya macam-macam defmisi kurikulum, tiap guru harus menentukan
tafsirannya sendiri. Pilihannya itu akan mempengaruhi konsepsinya tentang
tugasnya sebagai pendidik. la dapat menganut pendirian yaang tradisional atau
progresif.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Jelaskan perkembangan pengertian kurikulum.
2. Jelaskan arti kurikulum sebagai product, program, intended learnings, the
experiences of the learner. Juga pengertian kurikulum formal, real, ideal,
potential, actual.
3. Bandingkan berbagai defmisi yang tercantum dalam pelajaran, antara lain
mengenai luas cakupannya.
4. Bagaimanakah pengertian kurikulum di sekolah kita?
5. Dikatakan, bahwa praktik kurikulum jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan
teorinya. Jelaskan.
6. Sebutkan asas-asas kurikulum. Selidiki azas-azas itu pada kurikulum yang
berlaku di sekolah kita.
7. Menurut Saudara siapakah yang mengembangkan kurikulum? Apakah orangtua,
begitu juga murid harus tout dalam pengembangan kurikulum?
8. Bagaimana pendapat Saudara tentang guru sebagai pengembang kurikulum?
9. Di antara asas-asas kurikulum, asas manakah yang paling banyak mengalami
perubahan? Mana yang paling sedikit atau tidak berubah?
10. Perbedaan apakah yang mungkin timbul di antara anggota panitia
pengembangan kurikulum?

11. Bila dibandingkan kurikulum sebelum dan sesudah kita merdeka perbedaan
apakah kiranya yang kita dapati?
12. Jelaskan adanya hubungan yang erat di antara komponenkomponen kurikulum.
Jelaskan bahwa perubahan dalam satu komponen mempengaruhi komponen
lainnya.
13. Ada kurikulum yang tidak direncanakan, yakni "hidden curriculum" atau
kurikulum yang tersembunyi. Tahukah Saudara apa maksudnya dan memberi
beberapa contoh?

BAB 2ASAS-ASAS FILOSOFIS
Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil
keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Untuk tiap keputusan harus ada
dasarnya. Filsafat adalah cara berpikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai
akarnya tentang hakikat sesuatu.
Ada orang yang berpendapat bahwa guru tak perlu mempelajari filsafat,
karena sangat abstrak dan karena itu tak praktis dan tidak ada manfaatnya bagi
pekerjaannya. Pendirian itu terlampau picik, karena apa yang dilakukan guru harus
didasarkan pada apa yang dipercayai, diyakininya sebagai benar dan baik. Filsafat
itu antara lain menentukan kepercayaan kita tentang : apakah hakikat manusia,
khususnya hakikat anak dan sifat-sifatnya, apakah sumber kebenaran dan nilai-nilai
yang hendaknya menjadi pegangan hidup kita, tentang apakah yang baik, apakah
hidup yang baik, apakah yang sebaiknya diajarkan kepada anak-didik, apakah
peranan sekolah dalam masyarakat, apakah peranan guru dalam proses belajar
mengajar, dan Iain-lain.
Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang
apa yang mereka junjung tinggi. Filsafat yang kabur akan menimbulkan kurikulum
yang tidak menentu arahnya. Kini terdapat berbagai aliran filsafat, masing-masing
dengan dasar pemikiran tersendiri. Di sini akan kami bicarakan dengan singkat
beberapa buah yakni :
1. Aliran Perennialisme
Aliran ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui
pengetahuan yang "abadi, universal dan absolut" atau "perennial" yang ditemukan
dan diciptakan para pemikir unggul sepanjang masa, yang dihimpun dalam "the
Great Books" atau "Buku Agung". Kebenaran dalam buku itu bertahan teguh
terhadap segala perubahan zaman.
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subject atau mata
pelajaran yang terpisah sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan

seperti IPA atau IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat
mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi
yang diajarkan, sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni rupa, olah
raga sebaiknya dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran yang
sulit karena memerlukan inteligensi tinggi. Kurikulum ini memberi persiapan yang
sungguhsungguh bagi studi di perguruan tinggi.
2. Aliran Idealisme
Filsafat ini berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari "atas", dari dunia
supranatural dari Tuhan. Boleh dikatakan hampir semua agama menganut filsafat
idialisme. Kebenaran dipercayai datangnya dari Tuhan yang diterima melalui
wahyu. Kebenaran ini, termasuk dogma dan norma-normanya bersifat mutlak. Apa
yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup ialah memenuhi kehendak
Tuhan.
Filsafat ini umumnya diterapkan di sekolah yang berorientasi religius.
Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah dan
membaca Kitab Suci. Biasanya disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukuman
yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari sekolah. Namun pendidikan intelektual
juga sangat diutamakan dengan menentukan standar mutu yang tinggi.
3. Aliran Realisme
Filsafat realisme mencari kebenaran di dunia ini sendiri. Melalui
pengamatan dan penelitian ilmiah dapat ditemukan hukumhukum alam. Mutu
kehidupan senatiasa dapat ditingkatkan melalui kemajuan dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tujuan hidup ialah memperbaiki kehidupan melalui penelitian
ilmiah.
Sekolah yang beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah
mantap sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistemetis dalam
berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran. Di sekolah akan dimulai dengan teori-
teori dan prinsip-prinsip yang fundamental, kemudian praktik dan aplikasinya.

Karena mengutamakan pengetahuan yang esensial, maka pelajaran "embel-
embel" seperti keterampilan dan kesenian dianggap tidak perlu.
Kurikulum ini tidak memperhatikan minat anak, namun diharapkan agar
menaruh minat terhadap pelajaran akademis. la harus sungguh-sungguh mempelajari
buku-buku berbagai disiplin ilmu. Penguasaan ilmu yang banyak berkat studi yang
intensif adalah persiapan yang sebaik-baiknya bagi lanjutan studi dan kehidupan
dalam masyarakat. Dapat dibayangkan banyaknya murid yang tidak mampu
mengikuti studi akademis serupa ini.
4. Aliran Pragmatisme"
Aliran ini juga disebut aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan
berpendapat bahwa kebenaran adalah buatan manusia berdasarkan pengalamannya.
Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran adalah tentatif dan dapat berubah. Yang
baik, ialah yang berakibat baik bagi masyarakat. Tujuan hidup ialah mengabdi
kepada masyarakat dengan peningkatan kesejahteraan manusia.
Tugas guru bukan mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan,
melainkan memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan
guna memecahkan masalah, atas dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat di
lakukan oleh anak sendiri, bukan karena "dipompakan ke dalam otaknya". Yang
penting ialah bukan "what to think" melainkan "how to think" yakni melalui
pemecahan masalah. Pengetahuan diperoleh bukan dengan mempelajari mata
pelajaran, melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan
masalah.
Aliran pragmatisme sering sejalan dengan aliran rekonstruksionisme yang
berpendirian bahwa sekolah harus berada pada garis depan pembangunan dan
perubahan masyarakat. Sekolah ini menjauhi indoktrinasi dan mengajak siswa
secara kritis menganalisis isu-isu sosial.
Dalam perencanaan kurikulum orangtua dan masyarakat sering dilibatkan
agar dapat memadukan sumber-sumber pendidikan formal dengan sumber sosial,

politik dan ekonomi guna memperbaiki ekonomi kondisi hidup manusia.
Banyak di antara penganut aliran ini memandang sekolah sebagai masyarakat kecil.
5. Aliran Eksistensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu sebagai faktor dalam menentukan apa
yang baik dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan
masing-masing secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung
perasaan orang lain. Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri, merealisasikan diri.
Sekolah yang berdasarkan eksistensialisme mendidik anak agar is
menentukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas orang lain. la
hrus bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggungjawab.
Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan Iain-
lain dari pihak luar. Anak harus mencari identitasnya sendiri, menentukan
standardnya sendiri dan kurikulumnya sendiri. Dengan sendirinya mereka tidak
dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.
Dari segala mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang paling menarik
mereka Pendidikan moral tidak diajarkan kepada mereka, juga tidak ditetapkan
aturan-aturan yang harus mereka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat
non-directive, di mana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan
tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak.
Cicero memandang filsafat sebagai ilmu tentang hal-hal yang semuluk-
muluknya. Filsafat ialah "induk segala ilmu". Tujuan filsafat ialah membentuk suatu
pandangan yang sistematis tantang keseluruhan ilmu. Ini berarti bahwa seorang ahli
filsafat harus dapat mencernakannya dan mengasimilasikannya berkat proses yang
disebut berpikir. Pekerjaan ini sangat sulit dan tak mungkin dilakukan oleh setiap
orang biasa. Ilmu pengetahuan dewasa ini sangat luas dan pelik dan tak mungkin
lagi bagi seorang untuk menguasainya, bahkan satu cabang disiplin ilmu sekalipun
sulit dikuasai sepenuhnya. Dalam arti ini, tak mungkin setiap orang mempunyai
filsafat. Dan bila dikatakan bahwa tiap guru harus mempunyai filsafat, maka kata itu
digunakan dalam arti yang berlainan, yakni

sebagai "suatu sistem nilai-nilai", suatu pandangan hidup. Manusia telah
menemukan tenaga atom berkat kemajuan ilmu pengetahuan, akan tetapi bila
ditanya, untuk apakah tenaga itu digunakan, untuk perang yang dapat
menghancurkan umat manusia atau untuk peningkatan kehidupan manusia, maka
kita memasuki lapangan nilai-nilai atau filsafat. Ilmu menemukan pengetahuan dan
teknologi, akan tetapi penggunaannya ditentukan oleh filsafat atau nilai-nilai.
Kalau filsafat di tafsirkan sebagai sistem nila-nilai, apakah setiap orang
dapat mempunyai suatu filsafat sendiri? Filsafat dengan pengertian ini telah ada
sejak ada manusia di bumi ini, sejak Adam dan Hawa. Dalam arti ini filsafat
bukanlah sesuatu yang maha-sulit dan pelik, melainkan sesuatu yang biasa yang
dapat dimiliki setiap orang yang berpikir dan mencoba menafsirkan makna dan nilai
hidup bagi dirinya, dan mencari suatu sistem nilai-nilai yang menjadi pegangannya
dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya dan dengan demikian
memberi corak tertentu kepada kelakuannya. Filsafat ialah pendapat yang sejujur-
jujurnya tentang makna hidup baginya.
Walaupun tiap orang pernah berpikir tentang apa arti hidup ini baginya,
belum tentulis dikatakan mempunyai suatu filsafat hidup. Sering seorang kurang
sadar dan kurang jelas mengetahui nilai-nilai apa yang dianutnya. Pandangan hidup
kabur, tak konsisten, tak berakar prinsip-prinsip yang jelas. Kelakuannya tidak
menunjukkan corak tertentu.
Filsafat ialah sesuatu yang menunjukan suatu sistem, yang dapat
menentukan arah hidup dan serta menggambarkan nilai-nilai apa yang paling
dihargai dalam hidup seseorang. Filsafat serupa inilah yang harus dimiliki setiap
guru, setiap pendidik, agar dapat membantu anak membentuk pandangan hidup
yang sehat. Dalam filsafat gurulah terkandung gambaran tentang masyarakat yang
akan dibangun, manusia apakah yang harus dibentuk, kurikulum apakah yang akan
digunakan. Tujuan, metode, alat pendidikan, pandangan tentang anak, ditentukan
oleh filsafat yang dianutnya. Pendidikan yang diberikan berdasarkan filsafat tidak
merupakan rangkaian perbuatan mekanis yang lepas-lepas akan tetapi merupakan
suatu kebulatan mengarah kepada tujuan tertentu.

Sekolah tanpa filsafat laksana kapal tanpa kemudi. Filsafat yang berbeda
atau bertentangan di kalangan pendidik tak akan membawa bahtera pendidikan ke
arahtujuantertentu.
Segala keputusan yang diambil mengenai pendidikan atau kurikulum, bila
ditelusuri secara lebih mendalam, mempunyai dasar filosofis. Sering filsafat yang
mendasarinya tidak dinyatakan secara eksplisit. Keputusan tentang PPSI, CBSA,
muatan lokal, pendidikan dasar 9 tahun, tentu ada dasar falsafahnya. Demikian pula
di dalam kelas, bila guru menghukum atau memuji anak, menjalankan disiplin keras
atau lunak, mendorong atau melarang anak menjadi penyanyi, membolehkan anak-
anak bekerja sama, menyuruh anak mencari data dari lapangan, di belakang
tindakan itu ada falsafahnya. Tentu diharapkan agar tindakan itu mempunyai dasar
filosofis yang konsisten.
APAKAH GUNA FILSAFAT PENDIDIKAN?
Pentingnya filsafat bagi pendidikan nyata bila kita ketahui besar manfaatnya
bagi kurikulum yakni :
1. Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing.
Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik
anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat
itu. Jadi filsafat menentukan tujuan pendidikan.
2. Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil
pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.
3. Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai
tujuan itu.
4. Filsafat memberi kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-
lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
5. Tujuan pendidikan memberi petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana
tujuan itu telah tercapai.
6. Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar mengajar, bila jelas
diketahui apa yang ingin dicapai.
FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA

Tujuan pendidikan, yang ingin dicapai dengan pendidikan ditentukan oleh
filsafat yang dianut oleh pemerintah, atau penguasa dalam suatu negara. Kalau
pemerintahan bertukar, dengan sendirinya tujuan pendidikan pun berubah sama
sekali.
Pemerintah Belanda yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad
menganut paham imperialisme dan kolonialisme yang bertujuan untuk
mempertahankan agar lebih lama dapat memperoleh keuntungan dari tanah
jajahannya antara lain dengan menghalangi, memperlambat, atau sangat membatasi
pendidikan bagi orang Indonesia. Kebanyakan anak yang bersekolah hanya di
sekolah desa yang boleh dikatakan tak mendapat kesempatan untuk melanjutkan
pelajaran. Segelintir anak dibolehkan memasuki sekolah yang berbahasa Belanda
akan tetapi jalan ke sekolah lanjutan sangat dipersempit. Bahasa Belanda digunakan
untuk menahan orang lolos ke sekolah yang lebih tinggi. Adanya sekolah lanjutan
hanya karena keperluan mereka akan pegawai di kantor pemerintah atau swasta.
Kurikulum di sekolah yang berbahasa Belanda sama dengan yang apa yang berlaku
di negeri Belanda sendiri. Untung masih bisa lolos beberapa anak Indonesia untuk
mengecap pendidikan tinggi, antara lain Soekarno, Hatta dan Iain-lain yang berhasil
menghentikan penjajahan dari bumi Indonesia ini.
Jepang yang kemudian menduduki negara kita, segera menghapus segala
sisa-sisa pendidikan yang berbau Belanda. Bahasa Jepang di ajarkan sebagai
pengganti bahasa Belanda dan mujurnya bahasa Indonesia menjadi bahasa
pengantar di semua tingkatan sekolah. Latihan militer diberikan untuk membantu
mereka dalam mempertahankan jajahannya. Hormat terhadap kaisar Jepang di
tanamkan dalam upacara-upacara.
Kemerdekaan Indonesia yang kita rebut dari tangan penjajah, merombak
sistem pendidikan secara radikal dengan mendasarkannya atas filsafat bangsa kita,
yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
PANCASILA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN

Pancasila yang kita akui dan terima sebagai filsafat dan pandangan hidup
bangsa kita, yang dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dijadikan pula
filsafat pendidikan kita.
Seperti dinyatakan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1968, Pancasila
adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan negara kita. Di samping itu, bagi kita
Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Kesadaran dan cita-cita
moral Pancasila sudah berurat berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia, yang
mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan, jika dapat
dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia secara
pribadi, dalam hubungan dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya,
maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah, dan kebahagiaan rohaniah.
Seperti kita ketahui, Pancasila terdiri atas :
1. Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Walaupun Pancasila dirumuskan menjelang kemerdekaan kita, pada
hakikatnya ia telah hidup dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu kala dalam
moral, adat istiadat, dan kebiasaan bangsa kita. " Dengan adanya kemerdekaan
Indonesia, maka Pancasila itu bukanlah lahir, atau baru dijelmakan, tetapi sebe-
narnya, dengan adanya kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, Pancasila itu
bangkit kembali" (M. Nasroen, dalam Pantjasila Pusaka Lama , 1954 )
Oleh sebab Pancasila diakui sebagai pandangan hidup bangsa, maka sudah
seharusnya prinsip-prinsip itu di sampaikan kepada generasi muda melalui
pendidikan dan pengajaran.

Dalam undang-undang tentang dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah,
bab III, pasal 4, tercantum :
" Pendidikan dan pengajaran berdasarkan asas-asas yang termaktub dalam
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan
kebangsaan Indonesia".
Asas-asas itu seyogianya diwujudkan dalam pendidikan di sekolah maupun
di luar rumah. Asas-asas yang masih bersifat umum itu masih perlu diuraikan agar
lebih jelas untuk dijadikan pedoman dalam pendidikan.
Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Agama sering merupakan pokok persengketaan antara manusia dengan
sesamanya, bahkan sejak berabad-abad hingga sekarang bangsa-bangsa bersengketa
karena perbedaan agama dan menimbulkan banyak penderitaan, walaupun tiap
agama pada prinsipnya tidak menganjurkan penganutnya untuk menyakiti orang
lain.
Perbedaan agama juga terdapat di Indonesia, namun senantiasa hidup damai
berdampingan. Perang agama seperti terdapat di benua lain tidak pernah kita kenal
di Tanah air kita. Bahkan saling membantu mendirikan mesjid atau gereja oleh
orang sekampung yang berbeda agama bisa terjadi. Agama tidak menimbulkan
keretakan dalam agama dan adat-istiadat.
Pancasila menjamin hak setiap warga Indonesia memuja Tuhan dan
memeluk agamanya masing-masing. Bahwa agama dipentingkan oleh pemerintah
nyata dengan diwajibkannya pelajaran agama di sekolah, dari SD sampai Perguruan
Tinggi. Sekolah berkewajiban membantu anak-anak hidup menurut agamanya
sambil memupuk rasa toleransi, pengertian dan rasa hormat terhadap penganut
agama lain.
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, yang juga dinamakan "Ekaprasetia
Pancakarsa", memberi petunjuk nyata dan jelas tentang wujud kelima sila dalam
Pancasila.

Mengenai sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa diberi uraian sebagai
berikut :
(1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(2) Hormat-menghormati dan bekerja-sama antara pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
(3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
(4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nasionalisme yang melewati batas, yakni " chauvinisme" dapat mengandung
bahaya, karena mendewakan negara sendiri sambil memandang rendah terhadap
bangsa-bangsa lain. Nasionalisme yang berlebihan sering menimbulkan peperangan
dan karena itu harus dibatasi. Kerja sama antar bangsa menjadi syarat mutlak bila
kita ingin mencegah pemusnahan umat manusia dari permukaan bumi ini. Sila
Kemanusiaan dalam Pancasila menghargai manusia dan menghormati setiap bangsa.
Atas dasar Kemanusiaan kita turut berusaha memelihara perdamaian dunia.
Soal dunia adalah soal tiap negara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi menciutkan segala jarak dan membuat dunia ini relatif kecil, sehingga apa
yang terjadi di suatu negara mempengaruhi bagian-bagian lain di dunia. Masalah
ledakan penduduk, populasi udara dan lautan, percobaan bom atom, menipisnya
lapisan ozon, menjadi masalah bagi semua negara, termasuk kita di Indonesia.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab diuraikan sebagai berikut:
(1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia.
(2) Saling mencintai sesama manusia.
(3) Mengembangkan sikap tenggang rasa.
(4) (Tak) semena-mena terhadap orang lain.

(5) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
(6) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(7) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(8) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia,
karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan
bangsa lain.
Sila Persatuan Indonesia
Sila ini merupakan dorongan yang kuat dalam membebaskan Tanah Air kita
dari belenggu penjajahan dan kolonialisme. Sila ini dianggap sangat penting dalam
menciptakan pendidikan nasional. Kesatuan Bangsa dan Negara merupakan syarat
mutlak dalam pembangunan negara kita. Telah sering kesatuan negara kita diancam
oleh perpecahan, namun tetap tegak teguh dengan perkasa. Sekolah berkewajiban
untuk memupuk rasa kebangsaan, rasa kesatuan dan persatuan dalam hati sanubari
tiap anak. Mereka harus dengan rasa bangga dapat mengatakan "Saya anak
Indonesia" dari daerah mana pun mereka berasal.
Memupuk rasa persatuan sangat mutlak diperlukan, karena keadaan
geografis Indonesia, yang terdiri atas ribuan pulau, tersebar dalam jarak
seperdelapan khatulistiwa, dihuni oleh penduduk yang mempunyai ratusan macam
bahasa dan adat istiadat yang terbentuk selama berabad-abad dalam keadaan isolasi
alamiah. Terbentuknya kesatuan dan persatuan sungguh merupakan suatu prestasi
nasional yang luar biasa, bila kita pikirkan bahwa negara lain yang kecil namun
dilanda oleh perpecahan yang menjerumuskan penduduk ke dalam jurang
kesengsaraan. Kesatuan Indonesia dibantu oleh alat komunikasi yang kian canggih
dan mendekatkan apa yang semula jauh.
Kesatuan bukanlah tujuan akan tetapi suatu jalan atau alat untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap bangsa Indonesia.
Sila Persatuan Indonesia selanjutnya diuraikan sebagai berikut :

(1) Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
(2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
(3) Cinta Tanah Air dan Bangsa.
(4) Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
(5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka
Tunggal Ika.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan.
Kerakyatan atau demokrasi sering ditafsirkan sebagai hak setiap warga
negara untuk memilih pemerintahan sendiri. Dasar ini mengakui, bahwa manusia
mempunyai hak yang sama untuk menentukan politik negara. Negara itu bukan
untuk dinikmati oleh hanya segelintir manusia yang berkuasa politis atau ekono-mis,
melainkan untuk kepentingan seluruh rakyat. Keputusan diambil berdasarkan
musyawarah, dengan jalan perundingan oleh wakil-wakil yang dipilih rakyat dan
tidak didiktekan oleh pihak atasan. Agar rakyat dapat mengeluarkan pendapat secara
bertanggung jawab, perlulah pendidikan.
Demokrasi dikatakan mempunyai tiga prinsip utama, yakni:
(1) Rasa hormat terhadap pribadi dan harkat manusia.
(2) Kepercayaan, bahwa setiap manusia biasa mempunyai pikiran yang sehat dan
dapat berpikir inteligen.
(3) Kerelaan berbakti kepada kesejahteraan bersama.
Demokrasi menjamin hak setiap warga negara, tanpa menghiraukan
kesukuan, agama, jenis kelamin, atau kedudukan. Hal ini antara lain dinyatakan
dalam Undang-Undang Dasar yang menyatakan, bahwa "Tidak seorang pun boleh
diperbudak, diperulur, atau diperhamba"
Asas ini mempunyai pengaruh penting dalam pendidikan, antara lain dalam
huhungan orang tua atau guru terhadap anak. Anak pun manusia penuh dan harus
dihormati pendapatnya, harus diberi kesempatan mengeluarkan pendapatnya secara
bebas, diturutsertakan dalam diskusi dalam hal-hal yang menyangkut

dirinya. Sikap demokrasi menghapuskan sisa-sisa sikap feodalisme dan
kolonialisme yang bertindak otokratis dan otoriter. Dalam metode mengajar pun
lebih banyak diadakan diskusi dalam suasana bebas namun berdisiplin. Anak wanita
diberi kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan apa pun sampai tingkat
yang setinggi-tingginya.
Sila ini selanjutnya diuraikan sebagai berikut:
(1) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
(2) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Dengan itikad baik dan tanggung-jawab menerima dan melaksanakan.
(6) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
(7) Keputusan yang diambil hams dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mempunyai hak yang sama dalam memilih wakil rakyat belum cukup.
Setiap orang ingin agar kebutuhannya sehari-hari dipenuhi, seperti makan yang
cukup, pakaian, kesempatan berekreasi, memiliki rumah sendiri, menyekolahkan
anak sampai tingkat yang setinggi-tingginya, mendapatkan pekerjaan, dan
menikmati hari tua yang tenang.
Rakyat.kita masih banyak tergolong miskin, walaupun negara kita terkenal
sebagai negara yang kaya raya. Kekayaan melimpah, ekspor kita meningkat secara
drastis, namun pembagiannya belum merata, sehingga jurang kaya-miskin kian
melebar. Sila keadilan sosial menuntut agar kekayaan dan kemakmuran itu

merata bagi segenap rakyat kita. Akan tetapi di samping itu kita tidak boleh
enggan menyingsing lengan dan bekerja keras. Anak-anak dididik agar
menghormati setiap pekerjaan yang jujur dan tidak memandang rendah terhadap
pekerjaan dengan tangan. Anak juga hams diajar hidup hemat dengan menabung
untukharidepan.
Akhirnya sila diuraikan lagi sebagai berikut:
(1) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
(2) Bersikap adil.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4) Menghormati hak-hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
(6) Menjauhkan sikap pemerasan terhadap orang lain.
(7) Tidak bersikap boros.
(8) Tidak bergaya hidup mewah.
(9) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
(10) Suka bekerja keras.
(11) Menghargai hasil karya orang lain.
(12) Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Agar Pancasila daya yang dinamis yang mewarnai seluruh tindakan kita, kita
masing-masing harus merenungkan, memahami, menghayatinya dengan berpegang
pada "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila" atau " Eka Prasetia
Pancakarsa".
TUJUAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Dalam Tap. MPR No.II / MPR / 1988 tentang GBHN tercantum :
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja
keras, bertanggungjawab, mandiri, cerdas, danterampil serta sehat jasmani
danrohani.
Pendidikan nasional harus juga mampu menumbuhkan dan memperdalam
rasa cinta kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar
dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap
serta perilaku yang inovatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu
mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri
serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.
Dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (pasal 4), tertera :
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan yang berbudi luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan rohani dan jasmani, berkepribadian yang
mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara, dasar pendidikan Nasional
adalah Falsafah Negara Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Pasal 3 mengatakan:
(1) Tujuan pendidikan Nasional adalah membentuk manusia pembangunan yang
berpancasila dan membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya,
memiliki pengetahuan dan keterthripilan, dapat mengembangkan kreativitas
dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang
rasa dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti
yang luhur, mencintai bangsanya, dan sesama manusia sesuai dengan ketentuan
yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
(2) Seluruh program pendidikan terutama Pendidikan Umum dan bidang studi Ilmu
Pengetahuan Sosial, harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila dan unsur-
unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa nilai-nilai 1945 kepada Generasi
Muda.

Tujuan Pendidikan Nasional yang sangat umum itu diuraikan lebih
lanjut dalam tujuan institusional yakni tujuan yang harus dicapai oleh suatu
jenis sekolah tertentu. Bagi SMA misalnya tujuan institusional umum ialah
agar lulusannya:
a. Menjamin warga negara yang baik sebagai manusia yang utuh sehat, kuat lahir
dan batin.
b. Menguasai hasil-hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari
pendidikan di Sekolah Menengah Umum tingkat Pertama.
c. Memiliki bekal untuk melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan yang lebih
tinggi dengan menempuh :
1. program umum yang sama bagi semua siswa.
2. program pilihan bagi mereka yang mempersiapkan dirinya untuk studi di
lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
d. memiliki bekal untuk terjun ke masyarakat dengan mengambil keterampilan
untuk bekerja yang dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan minatnya dan
kebutuhan masyarakat.
Tujuan khusus pendidikan SMA adalah agar lulusan :
a. Dibidangpengetahuan:
1. Memiliki pengetahuan tentang agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar kenegaraan dan Pemerintahan
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Memiliki pengetahuan yang fungsional tentang fakta dan kejadian penting
yang aktual, baik lokal, regional, nasional, maupun internasional.
4. Menguasai pengetahuan dasar dalam bidang matematika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa (khususnya bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris) serta menguasai pengetahuan yang cukup lanjut dalam satu
atau beberapa dari bidang pengetahuan tersebut di atas.
5. Memiliki pengetahuan tentang berbagai jenis dan jenjang pekerjaan yang
ada di masyrakat serta syarat-syaratnya.
6. Memiliki pengetahuan tentang berbagai unsur kebudayaan dan tradisi

nasional. 7. Memiliki pengetahuan dasar tentang kependudukan,
kesejahteraan keluarga, dan kesehatan.
b. Dibidangketerampilan:
1. Menguasai cara belajar yang baik.
2. Memiliki keterampilan memecahkan masalah dengan sistematis.
3. Mampu membawa/memahami isi bacaan yang agak lanjut dalam bahasa
Indonesia dan bacaan sederhana dalam bahasa Inggris yang berguna
baginya.
4. Memiliki keterampilan mengadakan komunikasi sosial dengan orang lain,
lisan maupun tulisan dan keterampilan mengekspresi diri sendiri, lisan
maupun tertulis.
5. Memiliki keterampilan olah raga dan kebiasaan olah raga.
6. Memiliki keterampilan sekurang-kurangnya dalam satu cabang kesenian.
7. Memiliki keterampilan dalam segi kesejahteraan keluarga dan segi
kesehatan.
8. Memiliki keterampilan dalam bidang administrasi dan kepemimpinan.
9. menguasai sekurang-kurangnya satu jenis keterampilan untuk bekerja sesuai
dengan minat dan kebutuhan lingkungan.
c. Di bidang nilai dan sikap:
1. Menerima dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menerima dan melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang dianutnya, serta menghormati dan kepercayaan Tuhan
Yang Maha Esa yang dianut orang lain.
3. Mencintai sesama manusia, bangsa, dan lingkungan sekitarnya.
4. Memilki sikap demokratis dan tenggang rasa.
5. Memiliki rasa tanggung jawab dalam pekerjaan dan masyarakat.
6. Dapat mengapresiasi kebudayaan dan tradisi nasional.
7. Percaya pada diri sendiri dan bersikap makarya.
8. Memiliki minat dan sikap positif terhadap ilmu pengetahuan.
9. Memiliki kesadaran akan disiplin dan patuh pada peraturan yang berlaku,
bebas danjujur.

10. Memiliki inisiatif, daya kreatif, sikap kritis, rasional dan obyektif dalam
memecahkanpersoalan.
11. Memiliki sikap hemat dan produktif.
12. Memiliki minat dan sikap yang positif dalam konstruktif terhadap olah raga
dan hidup sehat.
13. Menghargai setiap jenis pekerjaan dan prestasi kerja di masyarakat tanpa
memandang tinggi rendahnya nilai sosial/ekonomi masing-masing jenis
pekerjaan tersebut dan berjiwa pengabdian kepada masyarakat.
14. Memiliki kesadaran menghargai waktu.
Demikianlah secara lengkap tujuan institusional yang harus diwujudkan
kepada murid-murid SMA. Tujuan itu pun masih bersifat umum dan perlu diuraikan
lagi menjadi tujuan yang terperinci yakni: Tujuan kurikuler yaitu tujuan yang harus
dicapai oleh suatu program bidang studi, dan tujuan instruksional, yang harus
dicapai oleh suatu pelajaran.
Tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia pembangunan yang
ber-Pancasila, yang kemudian diuraikan dalam sejumlah butir-butir sebagai
penjelasan makna tiap sila, diuraikan selanjutnya dalam tujuan-tujuan yang lebih
kongkrit berupa tujuan-tujuan institusional, antara lain yang harus dicapai oleh tiap
tingkatan dan jenis sekolah. Tujuan-tujuan ini pun masih terlampau umum untuk
dapat diwujudkan dalam situasi kelas. Karena itu tiap tujuan institusional masih
perlu diuraikan dalam tujuan tiap bidang studi yang mempunyai tujuan yang lebih
spesifik, namun masih perlu lagi diperinci dalam tujuan-tujuan yang dapat
direalisasikan dalam kelas, yang masih dapat bersifat umum, yang disebut Tujuan
Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Di bawah ini
kami berikan beberapa contoh TIU dan TIK.
Contoh 1.
Bidang Studi : Ilmu pengetahuan sosial
Mata Pelajaran : Ekonomi dan koperasi
Topik : Produksi nasional dan pendapatan Nasional
Kelas : I (satu)

Semester : 1 (pertama)
Waktu : 3 x45 menit
Tujuan Instruksional
1. Tujuan Instruksional Umum
Agar siswa mengetahui serta memahami Produksi Nasional dan Pendapatan
Nasional.
2. Tujuan Instruksional Khusus
1.1. Agar siswa dapat menjelaskan perbedaan dan persamaan antara Produksi
Nasional dan Pendapat Nasional.
1.2. Agar siswa dapat menyebutkan unsur dari Produksi Nasional dan
Pendapatan Nasional.
1.3. Agar siswa dapat menghitung Pendapatan Nasional.
1.4. Agar siswa dapat menyebutkan kegunaan pengetahuan besarnya
Pendapatan Nasional.
1.5. Agar siswa dapat mengukur tingkat kemakmuran suatu negara.
1.6. Agar siswa dapat menyebutkan akibat dari Pendapatan Nasional yang
konstan dari tahun ke tahun.
(Dikutip dari: Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975. Pedoman
Pelaksanaan Kurikulum, uku : III. A. 2, Model Satuan Pelajaran, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976, h. 156).
Contoh 2.
Bidang Studi : IPA
Mata Pelajaran : Biologi
Topik : Konsep tentang hidup, teori-teori tentang asal-usukl
kehidupan.
Kelas : I (satu)

Semester : 1 (pertama)
Waktu :6jamPelajaran
Jumlah jam pelajaran yang 6 jam itu dialokasikan sebagai berikut : 3 jam
untuk pendahuluan dan 2 jam untuk sub pokok bahasan :
1. Asal kehidupan
2. Ciri-cirimahlukhidup
3. Pembedaan antara biotik dan abiotik; sedang I jam pelajaran untuk
mengadakan evaluasi pokok bahasan tersebut di atas.
Tujuan Instruksional Khusus
1. Dihadapkan pada sejumlah perubahan situasi, siswa dapat menyebutkan sifat-
sifat tertentu yang merupakan sifat khas dari mahluk hidup.
2. Dihadapkan kepada sejumlah pernyataan, siswa memilih pernyataan tertentu
yang dikemukakan oleh Teori Generatio Spontanea.
3. Dihadapkan kepada sejumlah usaha untuk perkembangan teori tentang asal-usul
kehidupan, siswa dapat memilih usaha tertentu yang dicapai oleh percobaan
Pasteur.
4. Dihadapkan kepada sifat-sifat zat, siswa dapat memilih zat tertentu menjadi
alasan mengapa Stenley Miller menggunakan campuran air, amoniak,, dan
metan dalam eksperimennya.
5. Dihadapkan kepada sejumlah perubahan teori-teori asal-usul kehidupan, siswa
dapat menyebutkan perubahan tertentu yang diakibatkan oleh percobaan Stenley
Miller.
6. Dihadapkan kepada sejumlah nama orang yang berjasa dalam asal-usul
kehidupan, siswa dapat menunjukkan dengan tepat hasil penemuan tertentu dari
orang tersebut.
7. Dihadapkan kepada sejumlah kegiatan hidup, siswa dapat menunjukan dengan
tepat proses proses yang terganggu akibat kegiatan hidup tertentu.
(Kurikulum SMA, pedoman Pelaksanaan, him. 184).
Dalam contoh-contoh di atas kita lihat usaha untuk menguraikan tujuan
instruksional umum menjadi sejumlah tujuan instruksional khusus yang

diharapkan dapat mencapai apa yang terkandung dalam tujuan instruksional
umum, atau dalam topik bahasan. Selanjutnya diharapkan, bahwa tujuan
instruksional umum ini merupakan bagian dari tujuan bidang studi yang memberi
sumbangan kepada tujuan yang lebih tinggi yaitu pembentukan manusia
pembangunan yang ber-Pancasila. Walupun jauh jarak antara tujuan instruksional
khusus dengan tujuan pendidikan nasional, namun diharapkan bahwa setiap tujuan,
betapapun spesifiknya selalu merupakan bagian dan sumbangan kepada tercapainya
tujuan pendidikan nasional itu. Tiap tujuan kegiatan mengajar-belajar di sekolah
memperoleh maknanya dalam rangka tujuan pendidikan nasional itu.
Kita lihat di sini dari suatu usaha untuk memperoleh tujuan yang spesifik,
yang dirumuskan sebagai tujuan instruksional khusus. Dasar pikiran ialah bahwa
makin spesifik tujuan itu makin jelas diketahui metode untuk mencapainya dan
makin mudah pula hasil belajar dinilai sebagai umpan-balik atau feedback untuk
membantu anak memperbaiki kekurangannya.
Dengan sendirinya semua tujuan yang lebih khusus bertalian erat dengan
tujuan yang lebih umum, bahkan merupakan analisis yang makin terinci dari tujuan
yang lebih umum. Semua tujuan-tujuan yang khusus merupakan usaha kearah
tercapainya tujuan umum yang akhirnya menuju kepada wujudnya tujuan
pendidikan nasional.
MENGKHUSUSKAN TUJUAN
Sejak semula para ahli kurikulum menyadari perlunya merinci tujuan yang
bersifat umum menjadi tujuan yang lebih khusus. Tujuan pendidikan nasional
dikhususkan menjadi tujuan institusional, yaitu tujuan tiap lembaga pendidikan dari
SD sampai Perguruan Tinggi. Tujuan pendidikan institusional yang masih sangat
umum ini masih perlu diuraikan menjadi tujuan kurikuler dan selanjutnya dalam
tujuan instruksional umum lazim dikenal sebagai TIU dan tujuan instruksional
khusus atau TIK.
Buku pedoman kurikulum yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menguraikan tujuan sampai tingkat TIU, sehingga guru mendapat
kesempatan untuk merumuskan TIK. Di sini kita harus hati-hati dan jangan

memandang TIK sebagai tujuan yang terpenting yang harus dicapai. Kita keliru bila
menganggap bahwa tujuan yang harus dikejar guru adalah TIK. Tujuan pendidikan
apa yang ditentukan sebagai tujuan pendidikan nasional. Jadi TIK harus dipandang
sebagai langkah untuk mencapai TIU, dan TIU suatu langkah pula guna mencapai
tujuan kurikuler dan seterusnya sehingga segala usaha sekolah akhirnya bermuara
pada tujuan pendidikan nasional.
Tujuan Pendidikan Nasional
4 tfTujuan Institusional
If}Tujuan Kurikuler
inTujuan Instruksional Umum (TIU)
inTujuan Instruksional Khusus (TIK)
Untuk merumuskan TIK kita dapat memperhatikan beberapa petunjuk yang
diberikan Robert F. Mager dalam buku Preparing Instructional Objectives
Pertama : Rumuskan TIK dalam bentuk kelakuan siswa. la harus dapat
memperlihatkan penguasaannya dalam kelakuan atau perbuatan yang dapat kita
amati, yang "observable" tapi juga yang "measurable" atau dapat diukur
keberhasilanya. Untuk itu kita harus menggunakan kata kerja tertentu yang
memungkinkan kita mengamati keberhasilannya belajar. Misalnya kata kerja seperti
dapat mengatakan, menggambarkan, menguraikan, memperdengarkan,
menunjukkan, dan sebagainya. Kata kerja seperti memahami, memikirkan,
mengerti, merasakan, dan Iain-lain tak dapat dilihat sebab terjadi dalam diri siswa.
Kedua : Rumuskan pula kondisi-kondisi di mana kelakuan itu akan nyata,
misalnya dengan menggunakan kalkulator, mesin tulis, atlas, kamus, dan
sebagainya.

Ketiga : Rumuskan pula secara spesifik kriteria tentang tingkat keberhasilan
siswa dalam mencapai tujuan itu. Misalnya dapat menyebut 9 dari sepuluh butir,
mengetik satu halaman dalam waktu tertentu dengan sebanyak-banyaknya 2 salah.
Merumuskan tujuan secara spesifik sangat banyak faedahnya. Guru tahu
dengan jelas tujuan apa yang harus dicapainya, ia dapat menentukan bahan apa yang
harus diberikannya, ia juga dapat memilih metode mengajar yang lebih tepat, dan ia
dapat mengetahui hasil belajar siswa. Di lain pihak siswa pun tahu apa yang harus
dikuasainya. Karena penilain dapat dilakukan dengan segera, guru dapat memberi
balikan guna membantu siswa mengadakan perbaikan.
Namun demikian banyak pula kelemahanya. TIK sering berupa fakta,
informasi, pengetahuan, yakni tujuan kognitif yang paling rendah menurut
taksonomi Bloom. Hasil belajar banyak merupakan hafalan, sehingga kemampuan
berpikir kurang dikembangkan. Selain itu apa yang dipelajari berupa pengetahuan
yang lepas. Uraian TIU menjadi TIK dapat memecah kebulatan bahan pelajaran,
sehingga terjadi atomosasi pengetahuan. Selain itu hal-hal yang bersifat kognitif
seperti sikap tidak observable dan measitreable, dan karena itu akan diabaikan. TIK
berupa fakta dan informasi tidak mempunyai nilai transfer artinya tidak dapat
digunakan menghadapi situasi-situasi yang belum pernah dipelajari. Sistem ujian
kita sangat menyuburkan TIK dan oleh sebab hasil belajar berdasarkan TIK dapat
diamati dan diukur maka TIK digunakan untuk mengetahui prestasi sekolah,
kegiatan guru. Dengan ini guru dan kepala sekolah dapat di minta
pertanggungjawaban (accountability).
PERUMUSAN TUJUAN MENURUT HILDA TABA
Hilda Taba dalam Curriculum Development memberikan petunjuk-petunjuk
yang berikut dalam merumuskan tujuan, sebagai berikut:
Rumusan tujuan harus meliputi : 1. proses mental,
yaitu metode untuk melakukan sesuatu

2. produk, bahan yang bertalian dengan itu.
Contoh : M,Memperoleh keterampilan menggunakan peta (proses) untuk mencari
ibukota negara-negara di Amerika Selatan (produk)". Memiliki kesanggupan
untuk membedakan (proses) fakta dan opini" (produk).
Sering rumusan tujuan itu kurang lengkap dan hanya mengemukakan satu aspek,
misalnya " keterampilan mengguna-kan peta", atau " kesanggupan berpikir
kritis". Jadi dalam merumuskan tujuan hendaknya sekaligus kita cakup "mental
process" dan "product of learning". Sering dipersoalkan, yang manakah lebih
penting, proses atau produk belajar.
Tujuan yang hanya berisi produk, akan mengutamakan penguasaan fakta,
informasi, atau pengetahuan. Proses mental seperti kesanggupan menganalisis,
menafsirkan, membandingkan, memecahkan masalah, atau berpikir logis
diabaikan. Ujian termasuk Ebtanas, sebagian besar mengenai produk dan sangat
minimal mengenai proses. Membuat butir-butir ujian dalam bentuk test objektif
lebih sukar dan penilaiannya juga lebih sulit.
3. Tujuan yang kompleks harus lebih dispesifikkan, sehingga lebih jelas bentuk
kelakuan yang diharapkan. Misalnya, "mengapresiasi kesenian" yang terlampau
umum dapat lebih dikhususkan menjadi" mengapresiasi tari Bali".
4. Dalam merumuskan tujuan harus dinyatakan bentuk kelakuan yang diharapkan
dari kegiatan belajar itu. Mempelajari agama-agama lain tidak dengan
sendirinya memupuk sikap toleransi sebagai basil belajar sampingan atau apa
disebut "concomitant learning". Kita harus secara khusus menye-butkan
toleransi sebagai tujuan yang ingin kita capai dan memberikan kegiatan-kegiatan
belajar yang serasi untuk menimbulkan sikap itu.
5. Tujuan sering bersifat " development", yaitu tidak dapat dicapai sekaligus, akan
tetapi harus dikembangkan secara kontinu. Misalnya, " berpikir kritis" atau "
kesanggupan memecahkan masalah" memerlukan waktu yang lama agar
tercapai. Ada tujuan yang sangat spesifik yang dapat tercapai dalam waktu
singkat. Akan tetapi kita keliru bila kita anggap bahwa semua tujuan bersifat
terminal dan segera terpenuhi. Ada tujuan yang mungkin tidak tercapai selama

belajar di sekolah, bahkan ada pula yang tak dapat tercapai sepenuhnya selama
hidup, seperti kerelaan berkorban untuk sesama manusia, menyerahkan diri
sepenuhnya kepada kehendak Tuhan, demikian pula prinsip-prinsip ideal
lainnya.
6. Tujuan hendaknya realistis, dalam arti bahwa tujuan itu benar-benar dapat
dicapai anak pada tingkat dan usia tertentu, atau selama jam pelajaran, atau
selama belajar di sekolah itu. Tujuan yang sangat indah kedengaran, akan tetapi
tidak mungkin terwujudkan, sebaiknya jangan dijadikan tujuan pelajaran.
Karena itu kita hams tahu batas-batas kemampuan anak berdasarkan studi
tentang anak dan pengalaman. Adakalanya terlampau tinggi kita perk irakan
kesanggupan anak, akan tetapi sering pula terlampau rendah. Adakalanya anak-
anak telah pandai membaca sebelum masuk sekolah, akan tetapi ia masih harus
mengikuti pelajaran membaca permulaan, yang sangat membosankannya.
7. Tujuan harus meliputi segala aspek perkembangan anak yang menjadi tanggung
jawab sekolah. Pada umumnya tujuan itu meliputi aspek kognitif, nilai dan sikap
serta keterampilan psikomotoris.
PENGKHUSUSAN TUJUAN MENURUT BENYAMIN BLOOM
Dalam perumusan tujuan, para penyusun kurikulum banyak memperoleh bantuan
dari buku Taxonomy of Educational Objectives (1956) oleh Benjamin Bloom, cs,.
Mereka membagi tujuan-tujuan pendidikan dalam tiga ranah (domain), dan tiap
ranah dirinci lagi dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik yang hierarkis.
A. Tujuan-tujuan Kognitif
Ranah kognitif atau cognitive domain meliputi segi intelektual dan proses
kognitif, yakni :
1. Mengetahui, yakni mempelajari dan mengingat fakta, kata-kata, istilah,
peristiwa, konsep, prinsip, aturan, kategori, metodologi, teori, dan sebagainya.
2. Memahami, yakni menafsirkan sesuatu, menterjemahkannya dalam bentuk lain,
menyatakannya dengan kata-kata sendiri, mengambil kesimpulan

berdasarkan apa yang diketahui, menduga akibat sesuatu berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki, dan sebagainya.
3. Menerapkan, yaitu menggunakan apa yang dipelajari dalam situasi baru,
mentransfer.
4. Menganalisis, yaitu menguraikan suatu keseluruhan dalam bagian-bagian untuk
melihat hakikat bagian-bagiannya serta hubungan antara bagian-bagian itu.
5. Mensintesis, yaitu menggabungkan bagian-bagian dan secara kreatif membentuk
sesuatu yang baru.
6. Mengevaluasi, yakn menggunakan kriteria untuk menilai sesuatu.
B. Tujuan-tujuan Afektif
Ranah afektif atau, affective domain, berkenaan dengan kesadaran akan
sesuatu, perasaan, dan penilaian tentang sesuatu.
1. Memperhatikan, menunjukkan minat, sadar akan adanya suatu gejala, kondisi,
situasi, atau masalah tertentu, misalnya keindahan dalam musik gamelan, atau
arsitektur gedung lama. la menunjukkan kesediaannya untuk mendengarnya atau
melihatnya dan tidak mengelakkannya.
2. Merespons atau memberi reaksi terhadap gejala, situasi, atau kegiatan itu sambil
merasa kepuasan.
3. Menghargai, menerima suatu nilai, mengutamakannya, bahkan menaruh
komitmen terhadap nilai itu. la percaya akan kebaikan nilai itu dan rela untuk
mempertahankannya.
4. Mengorganisasi nilai dengan mengkonsepsualisasi dan mensistematisasinya
dalam pikirannya.
5. Mengkarakterisasi nilai-nilai, menginternalisasinya, menjadikannya bagian dari
pribadinya dan menerimanya sebagai falsafah hidupnya.
C. Tujuan-tujuan Psikomotor
Ranah psikomotor atau psycho-motor domain, meliputi tingkat kegiatan
yang berikut:

1. Melakukan gerakan fisik seperti berjalan, melompat, berlari, menarik,
mendorong, dan memanipulasi.
2. Menunjukan kemampuan perseptual secara visual, auditif, taktial, kinestetik,
serta mengkordinasi seluruhnya.
3. Memperlihatkan kemampuan fisik yang mengandung ketahanan kekutan,
kelenturan, kelincahan dan kecepatan bereaksi.
4. Melakukan gerakan yang terampil serta terkordinasi dalam permainan, olah
raga, dan kesenian.
5. Mengadakan komunikasi non-verbal, yakni dapat menyampaikan pesan melalui
gerak muka, gerakan tangan, penampilan, dan ekspresi kreatif seperti tarian.
Buah pikiran Bloom cs menjadi populer setelah timbul aliran dalam
pendidikan ke arah pengkhususan tujuan, sehingga hasil belajar dapat diamati dan
diukur.
Ketiga ranah itu saling berhubungan sebagai aspek kelakuan manusia.
Pengetahuan selalu memerlukan keterampilan misalnya keterampilan membaca,
berpikir, dan Iain-lain dan disamping itu juga minat dan penghargaan (afektif)
tentang apa yang dipelajari. Demikian pula apresiasi musik tak lepas dari
pengetahuan dan keterampilan berkenaan dengan musik. Dalam pengajaran ketiga
aspek itu perlu mendapat perhatian. Selain memberi pengetahuan tentang suatu
bidang studi sebaiknya juga dipupuk sikap positif terhadap bidang studi itu serta
keterampilan yang terkait. Sering ketiga ranah itu dipisah-pisahkan dalam
merumuskan tujuan instruksional khusus.
Rincian tiap ranah mempunyai hierarki. Misalnya dalam ranah koqnitif,
pemahaman lebih "tinggi" daripada pengetahuan penerapan, lebih tinggi dari pada
pemahaman, dan seterusnya. Demikian pula halnya dengan rincian ranah-ranah
lainnya.
BEBERAPA TUJUAN PENDIDIKAN LAINNYA
Pada tahun 1859 seorang yang bernamaa Herbert Spencer yang pada
dasarnya bukan pendidik dan juga tidak mengecap pendidikan formal secara

teratur jadi lebih merupakan otodidak, mengajukan pertanyaan yang sangat
penting, yang hingga sekarang masih harus dipertimbangkan oleh setiap
pengembangan kurikulum: " What knowledge is of most worth?". Pengetahuan apa
yang paling berharga? Apa yang harus diajarkan yang paling berharga bagi
kehidupan seseorang? la menganjurkan hal-hal yang berikut:
1. Self-preservation, hal-hal yang bertalian dengan usaha melangsungkan hidup,
seperti hidup sehat, mencegah penyakit, hidup teratur, melindungi diri terhadap
gangguan yang datang dari alam, dari manusia lainnya, dari berbagai situasi
hidup, dan Iain-lain.
2. Securing the necessities of life, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
hidup dengan melakukan pekerjaan.
3. Rearing a family, mengurus dan memelihara rumah tangga, bertanggung jawab
atas pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
4. Maintaining proper social and political relationship yaitu memelihara hubungan
baik dengan masyarakat dan memenuhi kewajibannya terhadap negara.
6. Enjoying leisure time yaitu memanfaatkan waktu senggang untuk menikmatinya
dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan.
Hal-hal yang dikemukakan Herbert Spencer ini kira-kira satu setengah abad
yang lalu, masih berlaku sampai sekarang dan sering dipertimbangkan dalam
pengembangan kurikulum. Di sini Herbert Spencer sangat mengutamakan relevansi
pendidikan. Banyak yang diajarkan di sekolah yang tidak jelas apa kaitannya
dengan kehidupan anak sehari-hari. Alasan memberinya ialah bahwa pelajaran itu
berguna kelak bila melanjutkan pelajaran.
Tujuan pendidikan yang juga cukup terkenal ialah The Seven Cardinal
Principles yaitu tujuh prinsip yang pokok, sebagai berikut:
1. Health (kesehatan),
2. Command of fundamental processes (penguasaan keterampilan fundamental
seperti membaca, menulis, berhitung).
3. Worthy home membership (menjadi anggota keluarga yang berharga).
4. Vocational efficiency (efisiensi dalam pekerjaan).

5. Citizenshop (kewarganegaraan).
6. Worthy use of leisure (penggunaan waktu senggang secara bermanfaat),
7. Satisfaction of relegious needs (pemuasan kebutuhan keagamaan) (1918).
Kita lihat banyak persamaannya dengan apa yang dianjurkan oleh Herbert
Spencer sebelumnya.
Selanjutnya akan kami berikan tujuan-tujuan pendidikan menurut
Educational Policies Commission (1938), yaitu :
1. Self-realization, perwujudan pribadi.
2. Human relationship, hubungan antar-manusia
3. Economic efficciency, efisiensi ekonomi.
4. Civic responsibility, tanggung jawab warga negara.
Setiap tujuan masih diuraikan lebih lanjut. Misalnya "economic efficiency"
dirinci sebagai berikut. Produsen yang terdidik merasakann kepuasan atas pekerjaan
yang baik, mengetahui syarat-syarat dan kesempatan kerja, memilih jabatan yang
tepat, mencapai kemajuan dalam jabatan yang dipilih, memelihara dan
mempertinggi tingkat efisiensi kerja, menghargai nilai sosial pekerjaan. Sebagai
konsumen yang terdidik is merencanakan ekonomi hidupnya sendiri, membentuk
norma-norma guna mengatur pengeluarannya, merupakan pembeli yang tahu dan
cakap, mengambil tindakan yang tepat untuk menjaga kepentingannya.
Tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas hanya sekadar bahan perbandingan
dengan kurikulum kita.
RANGKUMAN
1. Filsafat ialah ilmu yang mencari kebenaran sampai akar- akarnya, jadi suatu
kegiatan intelektual. Dalam pengembangan kurikulum biasanya dipandang
sebagai sistem nilai-nilai.
2. Tujuan pendidikan ditentukan oleh filsafat suatu bangsa.
3. Walapun setiap orang mengenal nilai-nilai, agar dapat dikatakan is
mempunyai filsafat nilai-nilainya itu harus merupakan suatu sistem, jadi

konsisten dan saling berhubungan.
4. Dalam kurikulum sering tercantum tujuan-tujuan yang muluk-muluk tetapi
belum tentu dapat direalisasikan. Jadi keadaan sekolah tidak memberi
gambaran tentang keadaan yang sebenarnya.
5. Filsafat bangsa dan negara dengan sendirinya menjadi tujuan pendidikan
nasional serta harus pula menjadi filsafat para pengembang kurikulum dan juga
guru dalam pelaksanaannya.
6. Filsafat pendidikan harus menjadi "way of life" yang diterapkan dalam
lingkungan sekolah.
7. Tujuan pendidikan nasional sangat umum dan masih perlu diuraikan menjadi
tujuan institusional, kurikuler, tujuan instruksional umum dan khusus.
8. Tujuan pendidikan kita didasarkan atas Pancasila, UUD 1945, dan GBHN.
Setiap guru harus mempunyai gambaran yang jelas tentang dasar-dasar
pendidikan nasional itu, agar semua pelajaran diarahkan guna membentuk
manusia yang dicita-citakan.
9. Untuk membentuk manusia seutuhnya harus diperhatikan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor dalam segala tingkatannya.
10. Benjamin Bloom membantu dalam merumuskan tujuan yang lebih spesifik
dalam ketiga ranah.
11. Hilda Taba mempersyaratkan agar dalam rumusan tujuan tercakup proses dan
produk.
12. Herbert Spencer menganjurkan tujuan-tujuan yang relevan dengan kehidupan
manusia sehari-hari. Buah pikirannya itu masih berpengaruh sampai sekarang.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apakah pengertian Saudara tentang filsafat?
2. Apakah menurut Saudara setiap orang mempunyai filsafat? Coba

selidiki pada orang-orang di sekitar Saudara apakah mereka dapat dikatakan
mempunyai suatu filsafat?
3. Norma-norma biasanya diperoleh dari berbagai sumber, seperti agama, falsafah
negara, adat-istiadat, pengalaman pribadi, dan Iain-lain. Coba tuliskan norma-
norma yang Saudara junjung tinggi. Diskusikan dengan teman.
4. Apakah guna filsafat bagi pendidikan. Tunjukkan bagaimana filsafat itu
diterapkan dalam kurikulum kita.
5. Tunjukkan perbedaan kurikulum berhubungan dengan peredaan filsafat
pendidikan sebelum dan sesudah kemerdekaan.
6. Bagaimana gambaran Saudara tentang manusia yang demokratis? Apakah sifat-
sifat itu telah nyata di sekolah? Masih adakah pengaruh feodalisme dalam
masyarakat kita?
7. Bagaimana pendapat Saudara tentang tujuan-tujuan yang dikemukakan Herbert
Spencer, the Seven Cardinal Principles, dan Educational Policies Commission?
Adakah yang dapat atau tidak dapat Saudara terima? Apa alasan Saudara.
8. Bagaimanakah pandangan Saudara tentang manusia Pancasila? Apakah telah
melihatnya dalam kenyataan?
9. Diskusikan tujuan pendidikan nasional dalam Kurikulum SMA.
lO.Bandingkan tujuan institusional bagi SD, SMP, dan SMA. Perhatikan
persamaan dan perbedaannya. Selidiki hingga mana tujuan-tujuan itu telah di liputi
oleh bidang studi yang diberikan di berbagai tingkatan sekolah. 11. Hingga
manakah TIK harus dikhususkan, misalnya " agar anak dapat mengatakan beberapa
tugas wall kota, agar anak dapat menyebut nama wall kota, agar anak mengenal
gambar wali kota, agar anak dapat men gatakan usia wali kota, agar anak dapat
mengatakan alamat wall kota. Apakah pengkhu-susan TIK tidak dapat berlebihan?

12.Apakah kebaikan dan kelemahan TIK? Manakah lebih pen- ting, TIK atau TIU?
Bagaimana hubungan timbal balik antara TIK dan TIU?
13. Berikan sejumlah petunjuk tentang perumusan TIK.
14.Bagaimana syarat yang diajukan Hilda Taba dalam merumuskan tujuan
pelajaran. Beri pendapat Saudara.
15. Pilih satu TIU, lalu rumuskan TIK-nya. Minta teman lain juga melakukannya.
Diskusikan.
16. Selidiki tujuan-tujuan pelajaran, lalu tinjau dari segi taksonomi Bloom, baik
mengenai ranahnya maupun tentang tingkatannya.
17.Bagaimanakah dapat Saudara ketahui ada tidaknya kesamaan antara tujuan guru
dan tujuan siswa. Diskusikan bila ada persamaan dan perbedaannya.

BAB 3
ASAS PSIKOLOGIS KURIKULUM
DAN PSIKOLOGIS BELAJAR
PENDAHULUAN
Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum pengetahuan tentang
psikologi anak dan bagaimana anakbelajar, sangat diperlukan, antara lain dalam
1. seleksi dan organisasi bahan pelajaran,
2. menentukan kegiatan belajar yang paling serasi,
3. merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai.
Apa yang akan dipelajari memerlukan pengenalan perkembangan anak,
akan tetapi bagaimana anak belajar membutuhkan pengetahuan tentang berbagai
teori belajar. Walaupun telah banyak diketahui tentang belajar, namun masih banyak
yang belum diketahui, masih belum jelas betul secara terinci apa yang harus
dilakukan agar anak belajar. Hal ini antara lain disebabkan penelitian dan
eksperimen tentang belajar yang dilakukan dalam laboratorium yang terbatas jumlah
variabelnya, yang sering dilakukan terhadap binatang, jadi jauh berbeda dengan
situasi belajar di dalam kelas. Selain itu yang diselidiki kebanyakan ialah belajar
pada tingkatan mental rendah, sedangkan belajar pada tingkatan mental tinggi masih
memerlukan penelitian yang lebih banyak.
Belajar itu ternyata sangat kompleks. Apa yang dipelajari bermacam-
macam. Ada bedanya belajar fakta atau informasi, lain belajar memecahkan
masalah, lain pula mempelajari nilai-nilai. Tak ada satu teori belajar yang dapat
mencakup segala macam jenis belajar. Banyak macam teori belajar seperti teori ilmu
jiwa atau daya atau mental disiplin, teori S-R yang behavioristik, teori Gestalt atau
teori lapangan, dan Iain-lain dan belum ada teori belajar yang dapat
mempertemukannya.
Guru-guru sering tidak menyadari asas teori belajar yang digunakannya.
PPSI menggunakan teori belajar yang berbeda dengan pendekatan proses. Guru

mengajar menurut apa yang diperkirakannya akan memberi hasil yang baik
dan ini sering dilakukan dengan menggunakan berbagai teori belajar.
Dalam bab ini akan kita bicarakan teori belajar menurut ilmu jiwa daya
(mental disipline), teori asosiasi (S-R), conditioning, teori Gestalt, teori lapangan,
dan pendapat berbagai tokoh psikologi seperti Gagne, Bandura, dan Bruner.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN BELAJAR
Apakah sebenarnya belajar itu, belum diketahui sepenuhnya, sama dengan
proses psikis lainnya. Bermacam-macam teori mencoba menjelaskannya ditinjau
dari segi tertentu, dengan dasar filosofis yang berbeda tentang hakikat manusia.
Suatu teori belajar ialah suatu pandangan terpadu yang sistematis tentang cara
manusia berinteraksi dengan lingkungan sehingga terjadi suatu perubahan kelakuan.
Tiap guru mengajar dapat diketahui teori yang mendasarinya, walaupun guru itu
sendiri kurang atau tidak menyadarinya. Mengenal teori kiranya dapat membantu
guru memahami atas dasar apa ia melakukannya.
Sejak ada manusia di dunia ini ia belajar dan ada yang mengajarnya. Tiap
orang tua mendidik anaknya, mengajarnya berbagai pengetahuan, keterampilan,
norma-norma, dan sebagainya. Rasanya semua lancar walaupun tak seorang pun
memikirkan atau menghiraukan ada tidaknya dasar teorinya belajar dan mengajar
dan semua belajar secara wajar. Namun orang mendirikan sekolah belajar itu
dijadikan masalah, dan ternyata sangat kompleks dan pelik. Apa yang dipelajari di
sekolah berbeda sekali di rumah atau di ladang.
Defmisi belajar berbeda menurut teori yang dianut. Secara tradisional belajar
dianggap sebagai menambah pengetahuan. Yang diutamakan ialah aspek intelektual.
Anak-anak disuruh mempelajari berbagai macam mata pelajaran yang memberinya
berbagai pengetahuan yang menjadi miliknya, kebanyakan dengan menghafalnya.
Pendapat lain yang lebih populer ialah memandang belajar sebagai
perubahan kelakuan, suatu "change of behavior". Suatu defmisi yang sering dikutip
ialah yang diberikan oleh Ernest R. Hilgard, sebagai berikut:

Learning is the process, by which an activity originates or is changed
through training procedures (Whether in the laboratory on in the natural
environment) as distinguishe from changes by factors not atributable to training.
Seorang belajar bila ia ingin melakukan suatu kegiatan sehingga
kelakuannya berubah. Ia dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat
dilakukannya. Ia menghadapi situasi dengan cara lain. Kelakuan harus kita pandang
dalam arti yang luas yang meliputi pengamatan, pengenalan, perbuatan,
keterampilan, minat, penghargaan, sikap, dan Iain-lain. Jadi belajar tidak hanya
mengenai bidang intelektual saja, akan tetapi seluruh pribadi anak, kognitif, efektif,
maupun psikomotor. Bila* guru mengajar matematika, sejarah, biologi, dan Iain-
lain. Ia hendaknya jangan merasa puas bila pengetahuan anak bertambah, akan
tetapi juga agar anak mempunyai sikap anak yang positif dan menyukai mata
pelajaran itu. Perubahan karena mabuk atau keletihan bukan hasil belajar karena
tidak diperoleh melalui kegiatan belajar. Demikian pula kemampuan binatang
karena pertumbuhan instink, seperti membuat sarang, bukan hasil belajar.
Bila kita terima belajar sebagai perubahan kelakuan, maka pendidik
menghadapi tiga soal:
1. Ia harus mengetahui kelakuan apa yang diharapkan dari anak. Hal ini
berkenaan dengan tujuan yang akhirnya ditentukan oleh falsafah pendidikan.
2. Ia mengetahui hingga manakah taraf perkembangan anak, agar bahan
pelajaran dapat dikuasai anak.
3. Ia harus tahu bagaimana anak belajar, bagaimana guru mengajarkannya, kondisi
apa yang harus dipenuhi agar terjacti proses belajar yang berlfasil.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, kita akan lebih lanjut membicarakan
beberapa teori belajar yang banyak diterapkan dalam proses belajar-mengajar.
TEORI ILMU JIWA DAYA ATAU MENTAL DISIPLIN
Teori pelajar yang paling tua ini beranggapan, bahwa "otak" atau mental
manusia terdiri atas sejumlah "faculties" atau daya- day a. Tiap daya mempunyai
fungsi tertentu, maka ada daya-ingat, daya-pikir, daya tanggap, daya-fantasi, dan

Iain-lain. Tujuan pendidikan ialah memperkuat daya-daya itu dan ini dilakukan
dengan latihan untuk mendisiplinnya. Daya-ingat misalnya dapat dilatih dengan
menghafal nama-nama kota, nama pahlawan, tahun-tahun sejarah, kata-kata asing,
bahkan juga kata atau suku-kata yang tidak mengandung arti. Daya-pikir dilatih
dengan menghadapkan anak dengan berbagai soal, makin sulit makin baik, karena
nilai latihnya makin tinggi. Mata pelajaran yang dianggap paling ampuh untuk
mendisplin daya-pikir ialah matematika, dahulu juga bahasa Latin yang cukup pelik.
Seperti pada daya-ingat, juga pada daya-pikir ini tak dihiraukan apa yang dipelajari,
bukan penguasaan bahan yang dipentingkan. Itu semua boleh dilupakan. Akan tetapi
yang tinggal ialah daya-ingat, daya-pikir. Daya-pikir yang telah terlatih akan dapat
digunakan untuk memikirkan apa saja. Siswa yang telah terlatih daya-pikirnya
melalui matematika akan mudah melanjutkan pelajarannya untuk menjadi ahli
hukum, insinyur, akuntan, ahli manajemen, apa saja. Jadi melatih daya-daya mental
itu banyak persamaannya dengan melatih otot. Otot terlatih dapat mengerjakan apa
saja. Demikian pula "otak" yang sudah diasah sampai tajam dapat "menyayat"
segala masalah. Ini berarti bahwa transfer menurut teori ini bersifat mutlak. Daya
yang terlatih dapat digunakan untuk apa saja. Kesanggupan berpikir yang terlatih
dianggap dengan sendirinya dapat dipakai, dapat dipindahkan atau ditransfer dalam
bidang-bidang lain dalam kehidupan. Di sini yang diutamakan bukan penguasaan
bahan, peningkatan kemampuan berbagai daya mental itu. Teori ini lazim juga
disebut teori mental disiplin, juga teori berdasarkan "faculty psychology".
Teori "mental disipline" ini sekarang tidak dapat diterima oleh kebanyakan
ahli psikologi dan pendidik profesional. Penelitian eksperimental membuktikan,
bahwa daya ingatan tidak bertambah meningkat kemampuannya dengan menghafal
sajak-sajak. Demikian pula latihan mental dengan matematika tidak dengan
sendirinya meningkatkan kemampuan belajar politik atau bahasa. Walaupun telah
dianggap tak berlaku lagi, namun di sekolah teori ini masih dianut. Ada pula
sejumlah ilmuwan, pendidik, dan orang tua merasa yakin akan nilai fisika,
matematika untuk meningkatkan kemampuan anak berpikir.

Teori ini didasarkan atas anggapan, bahwa manusia terdiri atas dua bagian,
yakni bagian rohaniah (dalam istilah psikologi ini "mind") dan bagian jasmaniah
(substance, matter, body). Substansi fisik ada persamaannya dengan benda lain
seperti batu, gunung, binatang, tanaman, mempunyai ukuran panjang, lebar, berat.
Akan tetapi "mind" tidak mempunyai ukuran namun sesuatu yang nyata ada.
Kepercayaan akan dualisme pada manusia, jiwa- raga, rohaniah-jasmaniah, masih
banyak dianut. Lokasi "mind" tak dapat ditentukan dengan pasti, namun dianggap
dalam "otak" yang dianggap alat untuk berbagai kegiatan mental.
Untuk mendidik anak, perlu "mind"nya dikembangkan dan ini dilakukan
dengan latihan. Dianggap makin keras latihannya, makin berkembang "mind" itu.
Salah satu fungsi mental ialah berpikir yang dapat dikembangkan dengan bahan
pelajaran seperti matematika, karena sulitnya. Tujuan latihan ini yang utama bukan
untuk menguasai bahan matematika. Yang paling berharga ialah latihan yang
diberikan pelajaran itu. Bahannya dapat dilupakan, akan tetapi kemampuan berpikir
itu sebagai akibat latihan itulah yang penting, karena kemampuan ini akan
memungkinkan anak memikirkan segala hal lain. "Mind substance" dianggap sama
dengan otot, yang dapat dilatih menjadi kuat dan dapat digunakan untuk berbagai
pekerjaan. Makin keras latihan, makin kuat otot itu.
Salah satu pendirian dalam aliran ini ialah faculty psychology, yang
menganggap bahwa "mind" itu terdiri atas sejumlah bagian atau "faculty", yang
masing-masing mempunyai fungsi atau daya tertentu. Yang utama ialah daya-
pengenalan, perasaan dan kemauan. Daya pengenalan terbagi dalam daya persepsi,
imajinasi, ingatan, dan berpikir atau penalaran. Daya-pikir memberi kemampuan
untuk memecahkan berbagai masalah untuk mengambil keputusan. Daya-kemauan
juga dianggap sangat penting. Tanpa kemauan yang baik, manusia tidak dapat
memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya dalam tnasyarakat. Kalau manusia
dianggap tidak intrinsik jahat sejak lahir, maka perlulah dilatih kemauan anak
kearah yang baik. Kemauan yang baik dapat menaklukkan hawa nafsu jahat dan
memberi kekuatan untuk memilih dan melakukan yang baik. Kemauan adalah kunci
keberhasilan. Seperti halnya dengan latihan otot, kemauan juga harus diheri latihan
keras dengan memberi pekerjaan yang herat, sulit dan membosankan.

Kalau perlu guru tak perlu segan memberi kecaman, celaan, hukuman, bahkan
menggunakan camhuk untuk memaksa anak menyelesaikan pekerjaannya.
Pendidikan serupa ini tidak menghiraukan keinginan atau minat anak, juga tidak
memperhitungkantingkat perkembangan anak.
Pendirian "mental disipline" ini banyak mendapat kritik dan dibantah
kebenarannya secara ilmiah. Thorndike dan Woodworth melakukan berbagai
eksperimen untuk menguji kebenaran teori ini dan memperoleh kesimpulan, bahwa
teori ini tak dapat dipertahankan secara ilmiah. Latihan daya mental dalam suatu
bidang tidak dengan sendirinya meningkatkan kemampuan dalam bidang lain.
Melatih kebersihan dalam bidang tertentu, misalnya pakaian, tidak dengan
sendirinya mempengaruhi kebersihan tulisan anak. Demikian pula dibuktikannya
bahwa peningkatan kemampuan mental umum hanya sedikit akibat pelajaran di
sekolah. Peneliti lain membuktikan bahwa dalam peningkatan kemampuan mental
tidak ada kelebihan satu mata pelajaran dibanding dengan pelajaran lain, misalnya,
matematika tidak lebih unggul dalam melatih anak berpikir dibanding dengan
sejarah atau ilmu bumi. Anak yang pintar sering mengambil matematika di mana ia
dapat menunjukkan kepintarannya dan ia akan banyak memperoleh manfaat dari
pelajaran itu. Akan tetapi anak yang tidak pintar, tidak akan banyak mendapat
keuntungan dari pelajaran itu.
Sekolah yang menjalankan teori mental disipline ini cenderung disebut
sebagai sekolah yang baik, karena mengutamakan pelajaran yang sulit seperti
matematika dan fisika, akan tetapi dapat disangsikan kebenarannya, karena banyak
anak yang tak tahan akan keluar atau dikeluarkan dari sekolah, sehingga yang
tinggal hanya anak yang pandai. Jadi sekolah itu baik bukan karena keunggulan
pengajaran dalam matematika, fisika, kimia, dan lain- lain, melainkan karena
keunggulan siswa yang masih bertahan.
Kini teori mental disipline ini sudah tidak diterima lagi di kalangan
kebanyakan ahli psikologi. Namun masih ada lagi ilmuwan, orangtua dan guru yang
yakin akan kebaikan latihan mental ini dan mempraktikkannya di sekolah maupun
dalam lingkungan keluarga. Dari segi penelitian ilmiah telah dibuktikan bahwa
latihan daya-daya mental tidak otomatis dapat ditransferkan dalam bidang-

bidang lain. Transfer memang ada, tetapi bukan dengan cara mendisiplin
daya mental.
ILMU JIWA ASOSIASI, TEORI S-R
Dari semua teori belajar lainnya, barangkali teori inilah yang paling banyak
diterapkan di sekolah. Bila sekolah dipandang sebagai tempat memperoleh
pengetahuan, maka metode yang paling ampuh ialah metode S-R yaitu
menghubungkan stimulus dan respon. Dengan stimulus dimaksud rangsangan dari
dalam, tapi kebanyakan dari luar, berupa pertanyaan, soal, situasi atau keada- an
yang dihadapi. Bila guru mengajarkan hitungan 2 + 3 = (Stimulus) maka diharapkan
jawaban 5 (Respons). Demikian pula "ibu kota Kolumbia" (Stimulus) ialah
"Bogota" (Respons). Demikianlah banyak pengetahuan yang dapat dikuasai anak
melalui S-R. Mereka yang menghadapi ujian Ebtanas atau UMPTN dan Iain-lain,
juga yang menghadapi kuis "Cepat Tepat" menggunakan teori S-R ini. Dengan
mengadakan hubungan antara S-R siswa memberi jawaban yang cepat dan tepat bila
menghadapi tes.
Teori ini mulai bangkit setelah karya J.B. Watson (1878- 1958) bapak aliran
Behaviorisme dan Throndike, aliran Connectionisme, yang pada dasarnya termasuk
behaviorisme. Tokoh- tokoh lain dalan aliran behaviorisme ini antara lain Albert
Bandura, Robert M. Gagne, Robert Glasser, B. F. Skinner, yang mementingkan
behavior atau kelakuan yang dapat diamati. Itu sebabnya maka aliran ini dapat
mengadakan eksperimen untuk membuktikan kebenaran teorinya. Hal-hal yang
terjadi dalam din i manusia, yang tidak dapat dilihat dan diabaikan.
Ide asosiasi telah terdapat pada John Locke dan Herbart akan tetapi baru
kemudian teori ini didukung oleh penelitian ilmiah.
Tokoh yang sangat mempengaruhi aliran ini ialah Ivan P. Pavlov (1849-1936).
Dalam eksperimennya i6 memberi makanan kapada anjing dan pada saat yang sama
ia membunyikan lonceng. Dengan pembedahan ia dapat mengukur air liur yang
dikeluarkan anjing itu sewaktu melihat makanan. Setelah beberapa kali ini
dilakukan, lonceng dibunyikan tanpa diberi makanan, namun demikian air liur
anjing keluar juga. Bahwa air liur keluar bila disodorkan makanan pada anjing

yang lapar, sesuatu yang wajar. Hal itu tidak akan terjadi bila lonceng
dibunyikan. Akan tetapi dalam kondisi seperti di atas, yakni membunyikan lonceng
bersamaan dengan makanan, sifat bunyi lonceng itu berubah menjadi stimulus yang
telah dikondisi, atau conditioned stimulus, dan respon yang diberikan menjadi
conditioned response. Apa yang terjadi dapat kita gambarkan sebagai berikut
makanan (S)..............................................air liur keluar (R)
lonceng berbunyi (S)..............tidak terjadi apa-apa
makanan (S)..........air liur (R)
bunyi lonceng
bunyi lonceng (CS)........................air liur (CR)
Di sini terjadi suatu proses belajar-mengajar. Anjing dapat diajar
mengeluarkan air liur dengan cara mengkondisi, atau conditioning. Cara belajar ini
banyak terdapat dalam kehidupan sehari- hari. Lampu lalu lintas merah - mobil
berhenti, lonceng sekolah berbunyi anak berkumpul, kita pulang dari sekolah -ingin
segera makan, jam menunjuk pukul delapan - anak kecil tidur.
Tokoh yang banyak pengaruhnya terhadap pengajaran di sekolah ialah
Edward L. Thorndike, yang menganut aliran connectionisme, yaitu hubungan antara
dua hal yang dikenal sebagai S-R bond. la melakukan penelitian dan percobaan
dengan binatang, dan berkat penelitian yang banyak itu yang jauh melebihi jumlah
percobaan oleh Pavlov, ia menemukan sejumlah "hukum belajar", antara lain
1. The Law of Exercise or Repetition. Makin sering S-R dilatih makin lama
hubungan itu bertahan, jadi latihan memperkmat hubungan S-R.
2. The Law of Effect. Hubungan S-R dipererat bila disertai rasa senang.
Masih ada lagi sejumlah hukum belajar lainnya, akan tetapi yang tersebut di
atas kiranya yang paling berguna bagi prose belajar.
Dalam proses belajar itu kita lihat pentingnya ulangan, disertai pujian untuk
membangkitkan semangat anak belajar. Mendapat pujian, merasa sukses, memberi

dorongan belajar. Proses belajar rasanya mekanistis yang diatur oleh guru. Tak ada
tempat untuk "insight" atau tujuan yang bermakna. Manusia dipandang sebagai
kumpulan S-R. Makin banyak S-R dimilikinya, makin mampu ia menghadapi
berbagai situasi dalam hidupnya.
Dari pihak penganut behaviorisme lainnya ia mendapat kritik karena rasa
puas, rasa senang bukan kelakuan yang "observable" dan "measurable".
Apa yang dilakukan Pavlov disebut "classical conditioning ", mungkin inilah
bentuk conditioning yang paling tua. Conditioning oleh Thorndike disebut
"instrumental conditioning" karena S-R yang berhasil disertai oleh pujian sebagai
upah atau reinforcement. Memberikan respons yang tepat merupakan instrumental
untuk memperoleh pujian.
Seorang behavioris lain yang juga sangat berpengaruh ialah B.F. Skinner.
Ialah yang pertama membuat belajar berprograma dan mesin belajar. Pengaruhnya
sangat besar dalam perkembangan teknologi pendidikan dan di Indonesia PPSI,
prosedur pengembangan sistem instruksional. Alirannnya dikenal sebagai "operant
conditioning" yang sangat efektif melatih binatang dan juga bagi anak-anak. Ia
memandang guru sebagai arsitek dan pembangun kelakuan siswa. Baginya psikologi
adalah ilmu atau science kelakuan yang dapat diamati dan banyak kelakuan yang
terlihat. Belajar ialah perubahan kelakuan atau kemungkin-an kelakuan dan ini
tercapai melalui "operant conditioning"
"Operant conditioning" adalah proses belajar yang mengusahakan
mempertinggi kemungkinan timbulnya kelakuan tertentu. Dalam "operant
conditioning" organisme, termasuk manusia, harus melakukan sesuatu. Semua
kelakuan manusia adalah hasil "operant conditioning" atau "operant reinforcement".
Seorang berbuat sesuatu, karena diberi reinforcement. Misalkan seekor anjing
mengangkat kaki depannya dan sesaat kemudian diberi makanan (menjadi
reinforcement) maka timbul kemungkinan ia akan melakukannya kelak. Apa sebab
anjing itu mengangkat kaki tak dapat dipastikan sebelumnya. Akan tetapi sewaktu
kita bersiul, atau bertepuk tangan atau batuk, dan pada salah satu stimulus itu anjing
itu mengangkat kaki depannya seakan-akan memberi salam,

maka kesempatan itu digunakan untuk memantapkannya dengan
memberi "reinforcement".
Jadi "reinforcement" tidak serentak dengan Respon, akan tetapi sesudahnya.
Mula-mula organisme, dalam hal ini anjing, membuat Respon yang diinginkan, lalu
diberi "reinforcement" berupa "upah atau "reward". "Reward" ini "mereinforce"
Respon, yang menyebabkan akan besar kemungkinan timbulnya Respon ini.
Respons itu menjadi alat atau instrumental guna memperoleh Reinforcement itu.
Apa yang dilakukan anjing itu disebut operan karena beroperasi terhadap
lingkungan dan menimbulkan konsekuensi tertentu, dalam hal ini mendapat upah.
Maka karena itu aliran Skinner ini disebut aliran "operant conditioning" yaitu
mengkondisi operant, juga dapat disebut "reinforcement conditioning" atau
mengkondisi "reinforcement".
Tujuan dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Tiap bagian, tiap langkah
dapat dicapai melalui "operant conditioning".
Skinner sangat berhasil dalam melatih binatang. Melalui langkah-langkah ia
dapat melatih binatang sampai tercapai kelakuan yang diinginkan. Bila dalam
langkah-langkah itu timbul yang tidak sesuai maka diabaikan saja, akan tetapi bila
timbul kelakuan yang cocok, maka dimantapkan dengan "reinforcement". Dengan
"operant conditioning" ini Skinner dapat membentuk kelakuan. Katanya "operant
conditioning shapes behavior as the sculptor shapes a lump of clay", "operant
conditioning" membentuk kelakuan seperti pematung membentuk segumpal tanah
Hat.
Manusia, menurut pendapatnya adalah mesin, sekalipun sangat kompleks, dan
tak mungkin dapat diciptakan manusia - kecuali dengan cara biologis. Akhir-akhir
ini mesin makin merupakan manusia dan dibentuk sesuai dengan manusia, akan
tetapi di lain pihak manusia ternyata lebih merupakan mesin, misalnya otak
dibandingkan komputer yang berisi modul.
Demikian pula kelakuan manusia dapat dikendalikan sehingga melakukan apa
yang telah dicondition.

Mengenai pelajaran disekolah, Skinner melihat bahwa guru mengajar sangat
tidak efisien dan efektif. Bila binatang dapat dilatih dengan cara ilmiah apa sebab
cara itu tak dapat dimanfaatkan bagi pengajaran di sekolah. Maka ia menciptakan
belajar berprogamma. Bahan pelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang
dilatih langkah demi langkah dengan memberikan reinforcement langsung setelah
setelah tiap respons. Anak dapat melakukannya menurut kecepatan masing-masing.
Kritik Skinner tentang pengajaran di sekolah antara lain bahwa pelajaran tidak
disukai, jarak antara kelakuan dan reinforcement terlampau jauh, tidak ada langkah-
langkah yang sistematis menuju tujuan, dan reinforcement terlampau langka.
Teori Skinner ini sesuai dengan teknologi pendidikan, belajar kompetensi,
dan akuntabilitas pendidikan.
TEORI GESTALT
Dasar pokok aliran psikologi ini pertama kalinya dirumuskan Max
Wertheimer pada tahun 1912 yang berbunyi, " keseluruhan lebih dari jumlah
bagian-bagiannya." Kelebihan itu terjadi karena manusia cenderung melihat suatu
pola, organisasi, integrasi atau konfigurasi dalam apa yang dilihatnya. Konfigurasi
yang membentuk kebulatan keseluruhan itu disebut dalam bahasa Jerman Gestalt,
suatu istilah yang sukar diterjemahkan dan karena itu dipertahankan dalam semua
bahasa. Demikianlah lahir teori Gestalt, juga disebut teori organismik, dan teori
psikologi lapangan (field psychology).
Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka dalam buku " The Mentality of Apes"
(1925) dalam eksperimen menguji hipotesis Thorndike tentang "Trial-and-error",
yaitu bahwa dalam memecahkan suatu masalah, individu atau binatang akan
melakukan perbuatan-perbuatan secara acakan dan akhirnya secara kebetulan akan
dapat memecahkannya. Dalam percobaan dengan simpanse ternyata, bahwa
binatang itu memecahkan masalah secara tiba- tiba, karena, menurut Kohler, ia
mendapat "insight", pemecahan dalam hubungan unsur-unsur situasi itu.
Salah satu anggapan psikologi behaviorisma yang paling merusak ialah bahwa
dalam belajar, individu itu pasif, ia menerima stimulus dan memberi

respons secara sereotip dan otomatis. Stimulus dianggap sebab dan respons
dianggap sebagai akibat. Manusia seperti mesin yang sangat baik desainnya yang
dapat dikendalikan. Siswa dapat dikendalikan oleh guru dengan bahan yang dipilih
pengembang kurikulum. Manusia dapat dikondisi menurut kemauan penguasa atau
masyarakat.
Kunci dalam psikologi Gestalt, ialah "insight". Belajar ialah mengembangkan
insight pada anak dengan melihat hubungan antara unsur-unsur situasi problematis
dan dengan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar bukan sesuatu
yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan eksplorasi,
menggunakan imajinasi dan bersifat kreatif, jadi jauh berbeda dengan psikologi
behavioristik yang memandang belajar sebagai mekanistik dan deterministik.
"Insight" ialah mula-mula adanya perasaan, "hunches" petunjuk yang samar-
samar tentang adanya pola, hubungan antara unsur-unsur suatu masalah, pada suatu
saat tiba-tiba menjadi terang. Bagaimana timbulnya " insight tak selalu, dan sering
dapat diverbalisasikan, dinyatakan dengan kata-kata, karena terjadinya dalam
lompatan pikiran dan intuisi. Simpanse memperoleh "insight" dan tentu tak dapat
membahasakannya. "Insight" adalah jawaban atau hipotesis sementara, yang
mungkin benar atau tidak. Kebenarannya masih perlu diuji.
Guru tak dapat memberi " insight", walaupun dapat membantu, murid
sendirilah yang harus menemukannya sendiri menurut pikirannya sendiri, menurut
makna yang dilihatnya dalam situasi itu. "Insight" belum berarti memahami suatu
masalah sepenuhnya, akan tetapi hingga batas tertentu. "Insight" juga belum dapat
digeneralisasi. Untuk itu jumlahnya harus cukup banyak dengan pengalaman yang
kaya. Generalisasi yang diperoleh sering dirumuskan dalam bentuk " Jika maka Bila
tercapai generalisasi maka dapat digunakan atau ditransfer dalam situasi lain yang
pada prinsipnya menunjukkan persamaan. Namun transfer tidak dengan sendirinya
akan terjadi, walaupun prinsip itu telah dipahami sepenuhnya. Seorang sarjana dapat
bersifat ilmiah dalam bidangnya, misalnya fisika, akan tetapi dalam bidang sosial
yang tidak bertindak ilmiah, bahkan percaya akan mistik dan superstisi. Atau ia
tidak mengenal situasi dalam hubungannya dengan prinsip itu,

atau ia tak mau, atau tak sanggup menerapkannya, misalnya ia tahu harus
berkorban untuk sesama manusia, namun ia lebih memperhatikan kepentingannya
sendiri.
Transfer dapat terjadi bila terbuka kesempatan untuk menerapkannya dalam
situasi yang dilihatnya sebagai kesempatan dan ada hasrat untuk menggunakannya.
Membantu siswa memperoleh generalisasi dapat dilakukan dengan tiga cara.
Pertama: Guru merumuskannya, menjelaskannya dan kemudian menyuruh siswa
menerapkannya. Kedua : Guru memberi latar belakang secukupnya, dan segera bila
siswa merasakan ia memahaminya, ia disuruh mengaplikasikannya. Ketiga : Guru
memberi latar belakangnya, siswa disuruh menemukan generalisasinya, lalu
merumuskannya. Ternyata, bahwa metode kedua lebih efektif dalam transfer.
Kurt Lewin (1890-1947), juga penganut teori keseluruhan, adalah pionir
psikologi lapangan atau field psychology. Untuk memahami seseorang, kita harus
mengetahui segala sesuatu tentang dirinya, buah pikirannya, prinsip-prinsipnya,
konsep diri dan apa saja yang dapat mengidentifikasi dirinya. Dengan lapangan
psikologis dimaksud situasi psikologis di mana ia berada. Psikologi ini disebut juga
psikologi lapangan kognitif Kognitif berasal dari " cognoscere" (Latin) artinya
mengenal tentang bagaimana cara orang memahami dirinya dan lingkungannya, dan
bagaimana ia menggunakan kognisinya dalam tindakannnya terhadap lingkungan
atau "life-space"nya dengan segala faktor yang terdapat didalamnya.
Menurut teori lapangan, belajar adalah proses interaksional, dalam mana
individu memperoleh "insight" baru atau modifikasi yang lama. Belajar ialah
modifikasi life-space, yang meliputi tujuan seseorang, hal-hal yang ingin
dielakkannya, halangan antara dirinya dengan tujuan, jalan yang mungkin
ditempuhnya dan sebagainya. Bagi guru, makin dikenalnya life-space siswa, makin
dapat ia meramalkan kelakuan siswa itu dan dengan demikian makin dapat ia
memberi bantuan.

John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismik atau teori
lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pack dasarnya
tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkan proses
induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis, dan
menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam pemikiran
reflektif tidak digunakan laboratorium sehingga dapat digunakan dalam pemecahan
segala macam masalah termasuk masalah sosial. Langkah-langkah dalam
pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal:
1. Mengenal dan merumuskan masalah. Masalah timbul bila terdapat perbedaan
atau pertentangan antara tujuan-tujuan, antara data, dan sebagainya.
2. Merumuskan hipotesis itu, yaitu kemungkinan jawaban dalam bentuk
generalisasi yang ditemukan sendiri, yang harus diuji kebenarannya. Pada
dasarnya, semua generalisasi merupakan hipotesis yang senantiasa perlu diuji
kebenarannya. Hipotesis itu berkisar antara dugaan berdasarkan informasi
minimal sampai prinsip atau hukum dengan verifikasi yang tinggi tarafaya.
3. Menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan.
4. Mentes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis
berdasarkan data atau pengalaman.
5. Mengambil kesimpulan, yakni menerima hipotesis, menolaknya,
memodifikasinya, atau menyatakan bahwa berdasarkan data yang ada belum
dapat diambil kesimpulan.
Prinsip-prinsip belajar menurut teori Gestalt.
1. Belajar itu berdasarkan keseluruhan
Keseluruhan lebih dari jumlah-jumlah bagian. Bagian-bagian hanya
mengandung arti dalam hubungannya dengan keseluruhan. Mengubah bagian akan
mengubah juga keseluruhannya. Sebuah kalimat lebih berarti daripada jumlah kata-
kata atau hurufnya.
Kata-kata dalam kalimat dapat dipahami dalam hubungannya dalam kalimat
itu. Mengubah atau menghilangkan suatu kata akan mengubah arti seluruh kalimat
itu. Kalimat itu sendiri baru diketahui artinya dalam hubungannya dengan

keseluruhan karangan atau cerita. Musik yang dimainkan oleh suatu orkes
berbeda sekali dengan jumlah lagu-lagu yang dimainkan .oleh setiap pemain satu
per satu.
Bagian-bagian hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan. Fakta-
fakta yang lepas tidak mengandung arti dan karena itu mudah dilupakan. Menghapal
peristiwa-peristiwa atau tahun-tahun dalam sejarah atau nama-nama dan hasil bumi
dalam mata pelajaran IPS tak berapa faedahnya, bila kita tidak memahami
hubungannya dengan keseluruhan yang lebih luas.
Demikian pula pendidik-pendidik modern berpendapat bahwa mata pelajaran-
mata pelajaran yang lepas-lepas kurang manfaatnya sebab tidak berdasarkan atas
keseluruhan ini. Itu sebabnya maka orang berusaha untuk mengadakan hubungan
antara berbagai mata pelajaran yang disebut korelasi antara mata pelajaran, malahan
dapat juga meniadakan segala batas-batas antara mata pelajaran- mata pelajaran
dengan meng-mtegrasi-kannya.
Yang diberikan ialah masalah atau pokok yang luas yang harus dpecahkan
oleh anak-anak. Dalam menyelesaikannya mungkin sekali anak-anak mempelajari
hal-hal berkenaan dengan sejarah, ilmu hayat, kesenian dan sebagainya, akan tetapi
apa saja yang dipelajari, tidak merupakan fakta-fakta terlepas, melainkan senantiasa
sebagai bagian dalam hubungan yang lebih luas. Pengajaran serupa ini lazim disebut
pengajaran "unit" atau pengajaran proyek. Prinsip keseluruhan ini ternyata
mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kurikulum, baik mengenai isinya
maupun mengenai organisasinya.
2. Anakyang belajar merapakan keseluruhan
Sekolah yang tradisional bertujuan : menyampaikan kultur atau kebudayaan
kepada murid-murid dengan jalan menumpukan sejumlah pengetahuan ke dalam
ingatan anak dengan harapan, bahwa ia akan menggunakannya kelak bila ia telah
dewasa Pengajaran serupa ini sering disebut intelektualistis, sebab dititik-beratkan
pada pendidikan intelek atau dalam kebanyakan hal sebenarnya pada pendidikan
ingatan saja. Tetapi anak itu tidak hanya mempunyai intelek saja, ia seorang pribadi,
suatu keseluruhan yang menghadapi situasi-situasi bukan hanya secara intelektual,

melainkan juga secara emosional, sosial, dan jasmaniah. Bila Icita

mengajarkan IPS misalnya, kita dapat berusaha, sehingga anak itu mengerti akan
bahan pelajaran itu. Akan tetapi di samping.itu murid itu mungkin juga belajar benci
akan gurunya atail kepada pelajaran itu atau kepada segala sesuatu yang berbau
pelajaran sekolah. Mengenai pendidikan intelektual mungkin kita mencapai hasil
yang baik, akan tetapi dalam pendidikan emosinya kita gagal.
Sebab itu, dalam pengajaran modern, orang bukan hanya mengajarkan
berbagai mata pelajaran, akan tetapi mengutamakan tujuan mendidik si anak,
membentuk seluruh pribadinya anak seutuhnya.
Dalam pada itu, anak itu tidak hanya dipandang sebagai murid sekolah saja;
pribadi anak tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya di luar sekolah, di rumah,
dan di lingkungan sekitarnya. Suasana sekolah sedapat-dapatnya diselaraskan
dengan suasana rumah. Sekolah hendaknya dijadikan bukan hanya tempat anak
mempelajari berbagai-bagai ilmu, akan tetapi juga tempat mereka hidup dan belajar
hidup. Kurikulum di sekolah disesuaikan dengan apa yang diperlukan anak bagi
kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian dicegah adanya jurang yang sering
terdapat antara sekolah dengan kehidupan di luar sekolah untuk mencapai integrasi
pribadi murid.
3. Belajar berkat "insight"
Teori asosiasi mementingkan ulangan dan pembiasaan dalam proses belajar.
Belajar serupa ini bersifat mekanis. Teori organisme. memandang "insight",
pemahaman atau tilikan sebagai syarat mutlak dalam hal belajar. Dengan "insight"
dimaksud suatu saat dalam proses belajar, sewaktu seseorang melihat atau mendapat
pengertian tentang seluk-beluk sesuatu, atau melihat hubungan tertentu antara
unsur-unsur dalam suatu situasi yang mengandung suatu problema atau kepelikan.
Dalam percobaan oleh Kohler dengan simpansi, binatang itu berhasil
menyambungkan dua kerat bambu untuk meraih pisang yang diletakkan di luar
kandangnya. Pada saat kera itu melihat hubungan antara unsur-unsur dalam situasi
yang problematis itu, (yakni antara unsur-unsur bambu, dirinya, jeruji, pisang) ia
memperoleh "insight" atau suatu "Aha Erlebnis".

Hal yang demikian terjadi juga pada manusia yang menghadapi situasi yang
mengandung kesulitan dan sering secara tiba-tiba memahami seluk-beluk situasi itu,
setelah ia mendapat "insight". Pemahaman tidak diperoleh semata-mata dengan
jalan mengulangulangi dan latihan-latihan seperti pada teori asosiasi. Apa
sebenarnya "insight" ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya.
Bagi pembinaan kurikulum, prinsip "insight" ini berarti bahwa anak-anak
harus dihadapkan kepada masalah-masalah, dalam bentuk proyek atau unit yang
mengandung problema-problema yang harus dipecahkan.
4. Belajarberdasarkanpengalaman
Belajar memberi hasil yang sebaiknya-baiknya bila didasarkan pada
pengalaman. Pengalaman ialah suatu interaksi, yakni aksi dan reaksi, antara individu
dengan lingkungan. Individu menjalani pengaruh lingkungan, jadi ada aksi dari
lingkungan terhadap individu, akan tetapi sebaliknya individu juga bereaksi
terhadap pengaruh lingkungan itu. la berbuat sesuatu, yakni memper-timbangkan,
mengolah, memikirkan pengaruh lingkungan itu. Bila seorang anak kena api, maka
hal itu suatu kejadian atau peristiwa dan belum merupakan suatu pengalaman.
Kejadian itu akan menjadi pengalaman, apabila anak itu mengolahnya,
menghubungkannya dengan pengalaman yang sudah, mentafsirkannya, dan
mengambil kesimpulan, bahwa api itu sesuatu yang berbahaya yang dapat
menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat menentukan sikapnya dan dapat menjaga
diri terhadap api kelak. Berkat pengalaman itu ia belajar, kelakuannya berubah,
artinya bahwa ia bertindak lebih efektif dan serasi dalam menghadapi situasi-situasi
hidupnya.
Anak itu mula-mula akan memandang api sebagai sesuatu yang berbahaya,
akan tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman lain ternyata bahwa api itu tidak
selalu berbahaya, akan tetapi banyak sekali manfaatnya dan memberi kesenangan
kepada manusia. Pengalaman pertama rupanya tidak benar seluruhnya dan .karena
itu harus dirombak, direorganisasi atau disusun kembali. Belajar ialah reorganisasi
pengalaman-pengalaman yang lampau yang ternyata tidak Iengkap, tidak sempurna.
Oleh sebab tidak ada pengetahuan dan pengalaman kita yang

sempurna, kita harus senantiasa mereorganisasi pengalaman kita selama kita
hidup.
Pendapat lama dan teori-teori yang lampau sering harus disempurnakan atau
diganti dengan yang baru ternyata lebih balk daripada yang sudah-sudah. Manusia
senantiasa membuat penemuan baru dan mereorganisasi pengetahuan yang lama dan
dengan demikian memperluas kebudayaan dunia. Manusia terus belajar dan tak
akan kunjung selesai meningkatkan pengetahuannya.
Belajar itu baru timbul bila seseorang menemui suatu situasi baru, suatu soal,
kesulitan atau problema. Dalam menghadapinya ia akan menggunakan segala
pengalamannya yang sudah-sudah. Jika dengan pengalaman-pengalaman itu ia
sanggup mengatasinya, tidak akan timbul proses belajar. Ia sekedar menggunakan
pengalaman yang lampau itu. Tetapi bila ternyata bahwa penga lamannya yang ada
tidak cukup untuk mengatasinya, ia akar, mengalami semacam frustrasi.
keseimbangannya terganggu, lalu ia mencoba mencari jalan untuk memecahkan soal
itu. Di antara percobaaan itu ada yang tak berhasil, itu dikesampingkannya.
Percobaan itu dilanjutkannya jadi proses belajar berlangsung tertr sarapai kesulitan
itu diatasinya.
Di sini pun kita lihat, seperti dianjurkan oleh penganut-penganut prinsip-
prinsip belajar yang telah tersebut di atas betapa perlunya diusahakan, agar
kurikulum itu berupa problema-problema yang dihadapkan kepada anak-anak untuk
dipecahkannya agar ia belajar.
5. Belajar ialah suatu proses perkembangan
Manusia ialah suatu organisme yang tumbuh dan berkembang menurut cara-
cara tertentu. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu yang kita kehendaki. Anak-
anak baru dapat mempelajarinya dan mencernakannya, bila ia telah matang untuk
bahan pelajaran itu. Kita ketahui, bahwa kepada anak-anak kelas satu SD belum
dapat diberikan teori-teori tentang listrik atau tata negara, karena mereka belum
matang untuk itu.
Kesiapan anak untuk mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh
kematangan atau taraf pertumbuhan batiniah, tetapi juga dipengaruhi oleh

lingkungan, yakni oleh pengalaman-pengalaman yang telah diperoleh anak
itu. Misalnya kesiapan untuk membaca akan lebih cepat terdapat pada anak-anak
yang telah berkenalan dengan buku-buku bergambar di rumah atau yang sering
dibacakan cerita-cerita dari buku oleh ibu bapaknya, sebelum ia menginjak sekolah,
daripada anak-anak yang tidak pernah memperoleh pengalaman-pengalaman dengan
buku. Jadi tak perlu kita hanya menunggu-nunggu saja. Kita dapat menciptakan
situasi- situasi dan lingkungan bagi anak yang dapat mempercepat atau
membangkitkan kesiapannya untuk mempelajari sesuatu.
Dalam hal ini tak semua anak sama. Anak-anak berbeda pengalaman dan
kematangannya, sekalipun umurnya sama. Perbedaan individual ialah suatu prinsip
yang harus dipikirkan dalam pembinaan kurikulum Memaksakan semua anak
mempelajari bahan yang sama tidak dapat dipertahankan. Karena itu kurikulum
harus disusun sedemikian, sehingga sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan
perbedaan individual, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Anak yang
pandai harus diberi kemungkinan menyelesaikan lebih banyak pelajaran daripada
anak yang kurang pandai dan anak-anak harus dapat mengembangkan bakatnya
dalam berbagai lapangan.
6. Belajar ialah proses yang kontinu
Anak-anak tidak hanya belajar di sekolah, akan tetapi juga di luar sekolah.
Mereka memperoleh juga pengalaman-pengalaman berkat radio, surat kabar,
majalah, pergaulan di rumah, perkumpulan pemuda, kepanduan, bioskop,
permainan, dan sebagainya. Malahan kerapkali hal-hal yang dipelajari dengan tak
sengaja di luar sekolah dan sebelum bersekolah lebih mendalam lagi, oleh sebab
tujuan- tujuan yang mereka kejar di situ lebih menarik, lebih memuaskan, lebih
menyenangkan dan sesuai dengan kebutuhannya daripada tujuan-tujuan yang
ditentukan dan sering dipaksakan oleh sekolah. Lagi pula di luar mereka banyak
memperoleh pengalaman- pengalaman langsung atau first-hand experiences.
Mereka tidak bicara tentang padi, ikan, layang-layang dan sebagainya, akan
tetapi mereka turut memotong padi, mereka menangkap ikan di sungai, mereka
membuat dan bermain layang- layang dan sebagainya. Di sekolah mereka
kebanyakan membaca dan mendengarkan saja. Kurikulum yang modern

menyesuaikan pelajaran sekolah dengan kehidupan, permainan, kesukaan, dan minat
anak di luar sekolah. Apa yang dahulu dianggap sebagai aktivitas extrakurikuler,
yakni aktivitas anak di luar pelajaran seperti perkumpulan sekolah, hobby anak-
anak, kepanduan dan Iain-lain, dimasukkan oleh sekolah ke dalam kurikulum, jadi
menjadi tanggung jawab sekolah.
Kontinuitas juga diusahakan dengan meniadakan tinggal kelas. Anak yang
tinggal kelas tidak kontinu pelajarannya oleh sebab ia harus mengulangi bahan yang
sama selama satu tahun. Kurikulum hendaknya disusun sedemikian, sehingga tiap
anak terus maju sesuai dengan kecepatannya masing-masing.
Kontinuitas harus pula ada dalam pelajaran sekolah rendah, menengah, dan
tinggi. Seperti anak main dari kelas yang satu ke kelas berikutnya, demikian pula
anak itu harus pula maju dari sekolah rendah ke sekolah menengah dan seterusnya.
Pertanyaan timbul, apakah Sekolah Dasar harus terpisah benar-benar dari SMP dan
sekolah ini harus terpisah pula dari SMA ? Apakah tidak dapat disatukan sekolah-
sekolah itu seluruhnya menjadi sekolah dari kelas 1 sarnpai kelas 12 ?
Kontinuitas akan terganggu pula apabila pelajaran di sekolah berlainan atau
bertentangan dengan norma-norma yang diajarkan di rumah. Maka timbullah
konflik dalam diri si murid. Ia harus berpegang pada dua macam norma. Apa yang
dipelajarinya di sekolah tidak dapat dilangsungkan dan dipraktikkan di rumah. Itu
sebabnya sekolah harus mengenal keadaan, kebiasaan, adat-istiadat di rumah anak.
Sekolah harus bekerja sama dengan rumah dan badan-badan lain dalam masyarakat
sehingga semuanya turut serta membantu perkembangan anak yang harmonis.
Sekolah modern mengajak orang tua agar turut serta dalam menentukan
kurikulum. Dari orang tua sungguh dapat diterima saran-saran yang baik sekali
untuk dipertimbangkan oleh staf guru-guru agar dimasukkan ke dalam kurikulum.
Sering pula orang tua diminta bantuannya untuk turut melaksanakan kurikulum.
7. Belajar lebih berhasil bila dihuhungkan dengan minat keinginan dan tujuan
anak.

Hal ini tercapai apabila pelajaran itu langsung berhubungan dengan apa
yang diperlukan murid-murid dalam kehidupannya sehari-hari atau apabila
mereka tahu dan menerima tujuannya. Seorang murid yang berbakat dan ingin
menjadi penyanyi akan giat mempelajari teori musik, oleh sebab sesuai dengan
tujuannya, sekalipun teori musik itu sendiri kurang menarik. Akan tetapi dalam
hubungannya dengan cita-cita anak itu, usaha itu mengandung arti baginya. la
memahami tujuan pelajaran itu, ia yakin akan ada faedahnya bagi kehidupannya
dan karena itu ia giat belajar. Dikatakan bahwa anak itu didorong oleh motivasi
yang intrinsik, sebab ia ingin mencapai tujuan yang terkandung dalam pelajaran
itu sendiri.
Kita dapat mengajarkan kepada anak-anak hal-hal tentang bermacam-macam
penyakit yang kemudian ditanyakan pada ulangan. Tujuan anak ialah mencapai
angka yang baik. Atau barangkali ia belajar karena takut kepada guru, takut tinggal
kelas, atau ingin menyenangkan hati orang tuanya. Anak seperti ini didorong oleh
motivasi yang ekstrinsik sebab ia mengejar tujuan, yang sebenarnya letak di luar
pelajaran itu. Lain halnya kalau di suatu daerah berjangkit penyakit, lalu anak-anak
belajar betul-betul untuk mengetahui seluk-beluk penyakit itu agar dapat menjaga
diri terhadap penyakit itu. Motivasi yang intrinsik ini tentu lebih baik hasilnya. Di
sekolah yang menginsafi hal ini, kurikulum sedapat mungkin disesuaikan dengan
minat kebutuhan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh anak-anak.
Pelajaran diberikan dalam bentuk unit atau proyek yang berkenaan dengan
masalah-masalah yang dihadapi oleh anak-anak. Proyek itu dibicarakan dan
dirundingkan bersama oleh guru dan murid-murid agar mereka lebih jelas
memahami tujuan dan faedahnya. Di sini anak-anak turut serta menentukan
kurikulum.
Kurikulum di sekolah yang tradisional sepenuhnya ditetapkan oleh pihak
atasan. Murid-murid tidak diajak berunding dan mereka harus menerimanya, kerap
kali tanpa melihat faedah yang langsung bertalian dengan tujuan dan minatnya. Di
sini kebanyakan digunakan motivasi ekstrinsik; anak-anak dipaksa

belajar dengan macam-macam hukuman dan pujian dengan angka-angka dan
ujian-ujian.
Kalau di atas dikatakan, bahwa anak-anak diajak turut berunding, bahwa
kurikulum disesuaikan dengan minat dan tujuan anak, ini sekali-kali tidak berarti
bahwa seluruh kurikulum semata-mata ditentukan oleh keinginan anak saja. Cara ini
memang pernah diadakan pada sekolah progresif yang child-centered, atau berpusat
pada keinginan anak melulu dan mengalami kesulitan-kesulitan. Ada hal-hal yang
mungk in kurang disukai oleh anak-anak namun hams mereka pelajari karena
tuntutan masyarakat. Anak-anak tidak mengenal tujuan pendidikan dan karena itu
tidak mungk in mengetahui apakah yang juga perlu bagi mereka. Memperturut
keinginan anak saja tidak menjamin usaha yang efektif ke arah tujuan pendidikan.
Akan tetapi ini tidak berarti pula bahwa keinginan dan kebutuhan anak harus
diabaikan begitu saja. Membina kurikulum yang baik ialah suatu hasil usaha
bersama antara pihak atasan dengan guru-guru, murid-murid orang tua serta badan-
badan lain dalam masyarakat.
Di sini akan kami berikan lagi beberapa teori belajar yang terkenal, yang turut
mempengaruhi kurikulum dan proses belajar mengajar, antara lain apersepsi
Herbart, belajar sosial Bandura, konseptualisme Bruner, dan konsis belajar Gagne.
TEORI APERSEPSI HERBART
J.F. Herbart (1776-1841) pengganti filsuf Jerman terkenal Immanuel Kant
tahun 1841, dapat dipandang sebagai tokoh pertama psikologi belajar modern yang
menyimpang dari teori ilmu jiwa daya. Pengaruh Herbart dalam abad dua puluh
sangat besar. Buah pikirannya mendominasi pendidikan guru dan pendidikan
umumnya di Amerika Serikat dan bagian lain dunia ini dan hingga sekarang idenya
masih banyak digunakan, walaupun tidak di bawah namanya. Secara teoretis
namanya telah lenyap dari dunia psikologi dewasa ini, namun dalam praktik apa
yang dikemukakannya masih berlaku.
Herbart terkenal karena konsep appersepsi yang dikemukakannya. Apersepsi
ialah proses asosiasi antara ide atau Vorstellung yang baru dengan yang lama yang
tersimpan dalam bawah sadar individu. Setiap ada masuk persepsi baru

maka ia disambut oleh yang lama. Ide yang lama berlomba kekuatan untuk
memasuki alam sadar untuk menyambut ide baru. Bila seorang melihat kapal
terbang misalnya, maka mungkin akan timbul ide burung, atau perjalanan yang
pernah dilakukan ke luar negeri, atau kemajuan teknologi, entah yang mana
bergantung pada kekuatan ide yang disimpan atau bahan persepsi yang tersedia.
Persepsi atau pengamatan diperoleh dari lingkungan melalui alat-dria. Melalui
asosiasi diperoleh ide yang sederhana, yang menjadi lebih kompleks melalui
asosiasi selanjutnya. Penggabungan ide-ide dapat dibandingkan dengan proses
kimiawi atau "mental chemistry".
Sebelumnya, John Locke (1632-1704) telah mengemukakan teori "tabula
rasa" yang mengatakan bahwa "otak" (mind) manusia semulanya waktu lahir, masih
kosong seperti papan tulis bersih. Akan tetapi perangsang, pengalaman dari luar,
mengisi mind itu. Apa saja yang diketahui manusia datangnya dari luar diri orang
itu. Dalam "otak" itu terjadi hubungan atau asosiasi antara ide-ide.
Masalah asosiasi telah dikemukakan Aristoteles pada abad ke-4 SM.
Dikatakannya bahwa asosiasi cenderung terjadi antara hal-hal yang tampil
bersamaan (kontiguitas), yang datang berurutan (suksesi), yang mempunyai
persamaan anti (similaritas) dan yang berlawanan (kontras).
Menurut Locke ide-ide itu pasif. Herbart sebaliknya, berpendapat bahwa ide-
ide itu aktif, dinamis, mempunyai kekuatan untuk bergabung, jadi berlomba untuk
bergabung dengan ide baru yang masuk. Akan tetapi manusia itu sendiri pasif, dan
hanya merupakan wadah tempat asosiasi itu berlangsung. Jadi "mind" itu adalah
isinya. Ide mempunyai kekuatan bergabung atau menolak bergabung, ada afmitas
menarik atau menolak, misalnya "murid" dan "guru" akan saling menarik, akan
tetapi "murid" dan "ramalan cuaca" mungkin tidak.
Bagi Herbart semua persepsi pada hakikatnya apersepsi, oleh setiap persepsi
cenderung akan bergabung dengan bahan yang telah ada. Tanpa pengalaman yang
ada, suatu pengamatan atau ide tak ada artinya dan tak akan diperdulikan.
Sebaliknya ide yang telah tersimpan, akan tetapi tak mempunyai kesempatan
bergabung lambat laun akan lenyap dengan sendirinya.

Herbart percaya, bahwa ide yang baik akan menghasilkan kemauan yang baik
dan perbuatan yang baik. Jadi kemauan bergantung pada pikiran. Tugas guru ialah
memberikan buah pikiran yang baik agar anak berbuat yang baik. Tujuan
pendidikan, menurut Herbart ialah mendidik anak menjadi manusia yang bermoral
baik. Seni mengajar ialah menyajikan buah pikiran yang dapat digunakan siswa
sepanjang hidupnya. Guru dapat dipandang sebagai "arsitek" dan pembangunan
"mind" dan demikian pula watak siswa.
Minat sangat dipentingkan, pelajaran harus dibuat menarik dan ini tercapai
dengan metode mengajar yang baik, didukung oleh bahan apersepsi yang banyak.
Apa yang disebut apersepsi, sekarang diberi nama "entry behavior".
Walaupun teori Herbart ini menunjukkan kelemahan karena terlampau
menonjolkan peranan guru, banyak pula sumbangannya kepada pendidikan, antara
lain:
- la telah mengecam teori ilmu-jiwa daya.
- la menekankan pendekatan psikologis dalam belajar-mengajar dan
mengemukakan metode mengajar yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Pendidikan guru menjadi usaha yang penting.
- la mengemukakan pentingnya minat siswa dalam proses belajar.
- la juga membuka jalan untuk mengadakan penelitian dan eksperimen ilmiah
mengenai proses belajar-mengajar.
Metode mengajar yang dikemukakan oleh Herbart dan kawan-kawan yaitu
kelima langkah itu, sudah cukup terkenal, yakni :
1. Persiapan. Guru mengingatkan siswa tentang pengalaman atau pelajaran yang
lampau agar ide-ide yang relevan timbul dalam kesadaran siswa.
2. Penyajian. Guru menyajikan fakta baru, mungkin melalui demontrasi tentang
pokokyangdibicarakan.
3. Berbandingan dan abstraksi. Jika guru melakukan kedua langkah di atas dengan
baik, siswa akan melihat kesamaan ide yang baru dengan yang telah diketahui,
maka terjadi asosiasi antara yang baru dengan yang lama. Dengan abstraksi
dimaksud melihat unsur-unsur persamaan.

4. Generalisasi. Pack langkah ini siswa mencoba memberi nama kepada kedua
pasangan fakta atau ide sebagai suatu prinsip.
5. Aplikasi. Prinsip yang baru ditemukan itu diterapkan untuk menjelaskan fakta
lain untuk memecahkan soal lain. Guru dapat meminta siswa untuk menjelaskan
gejala, fakta, atau masalah lain.
Walaupun metode ini telah kolot, belum banyak guru yang menerapkannya
sepenuhnya. Sering guru hanya menjelaskan sesuatu, kadang-kadang ada yang
membangkitkan pengetahuan yang relevan yang telah dimiliki siswa, atau dengan
istilah sekarang, mengadakan pre-test. Tak banyak pula guru yang memberi ke-
sempatan kepada siswa untuk merumuskan generalisasi dalam bentuk suatu prinsip
dan seterusnya menyuruh siswa untuk menerapkannya dalam situasi lain. Jika
pendidikan kita masih berpusat pada guru, maka metode Herbart masih dapat
membantu guru.
PSIKOLOGI KOGNITIF JEROME BRUNER
Jerome Bruner (1915- ) menjadi sangat terkenal dalam dunia pendidikan,
setelah Sputnik, sewaktu Amerika Serikat mencari kurikulum baru untuk mengejar
ketinggalan dalam pendidikan dibanding dengan Uni Sovyet. Bruner
mengumpulkan ilmuwan yang paling terkemuka yang bersama dengan ahli
pendidikan menyusun buku pelajaran baru dengan proses belajar-mengajar yang
baru pula.
Ada dua prinsip penting yang dikemukakan dalam tulisannya, yakni
1. perolehan pengetahuan adalah proses aktif
2. individu secara aktif merekonstruksi pengalamannya dengan menghubungkan
pengetahuan baru dengan "internal modal" atau struktur kognitif yang telah
dimilikinya.
Dalam proses belajar, anak itu partisipan aktif, ia memilih dan
mentransformasi informasi. Tiap orang membentuk suatu model berstruktur tentang
dunia. Ia melihat dunia dengan caranya sendiri. Model itu memungkinkannya untuk
meramalkan, menginterpolasi, mengekstrapolasi. Dengan intrapolasi dimaksud
mengubah pandangan dengan mengaplikasi

pengetahuan baru. Ekstrapolasi ialah mengangkat informasi pada taraf yang
melebihi taraf sekadar informasi.
Menurut Bruner, kita melihat dunia ini bukan seperti melihatnya pada cermin,
akan tetapi sebagai konstruk atau model dengan mengorganisasi informasi dalam
bentuk yang lebih umum, sehingga dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Model
itu bukan sekadar kumpulan informasi, akan tetapi jauh melebihinya. Adanya model
itu timbul karena adanya kemampuan manusia untuk mendiskriminasi, melihat
persamaan dan membentuk konsep atau kategori.
Belajar ialah memperoleh informasi, yang bersamaan atau yang bertentangan
dengan yang ada, mentransformasinya, yaitu memanipulasinya dengan intrapolasi
dan ekstrapolasi, agar sesuai dengan tugas yang dihadapi, dan mengecek
keserasiannya dengan tugas. Untuk ini diperlukan pertimbangan dan penilaian.
Pendekatan Bruner disebutnya "konseptualisme instrumental" berdasarkan
dua segi proses kognitif, yakni.
1. manusia mengkonstruksi model pada dirinya tentang dunia realitas, dan ia
mengenal dunia berdasarkan model itu.
2. model itu semula diadopsi, diterima dari kebudayaannya, kemudian
mengadopsi, menyesuaikannya bagi keperluan dirinya. Persepsi pada hakikatnya
proses konstruktif, mengkategorisasi informasi atau mengangkat informasi pada
taraf kategori. Karena itu manusia tidak pasif, juga tidak reaktif, melainkan aktif
Perkembangan menurut Bruner melalui tiga fase, yakni fase "enactive, iconic,
dan symbolic". Anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan
atau ke belakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat
temannya bermain), ini fase "enactive". Kemudian pada fase "iconic", ia
menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan, dan akhirnya ia menggu-nakan
bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan. Ini fase "symbolic".

Menurut Bruner, sekolah didirikan masyarakat sebagai alat untuk
meningkatkan kemampuan intelektual anak. Bagaimanakah pendidikan melakukan
tugas itu ?
1. Menerjemahkan teori menjadi struktur yang dapat dipahami anak melalui dialog
antara guru dan anak.
2. Mengembangkan rasa kepercayaan pada siswa akan kemampuannya
memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan mentalnya.
3. Membimbing siswa agar ia sendiri dapat mempelajari berbagai macam bahan
pelajaran atau memecahkan masalah yang dirumuskannya sendiri.
4. Menggunakan kemampuan mentalnya secara ekonomis dengan mencari
relevansi dan memahami struktur bahan yang dipelajarinya.
5. Memupuk kejujuran intelektual.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan ialah mempelajari disiplin ilmu.
Walaupun isinya berguna, namun yang lebih penting ialah mempelajari cara
berpikir dalam disiplin ilmu itu, cara ilmu itu memecahkan masalah.
Mengenai proses belajar-mengajar Bruner memberikan beberapa petunjuk :
1. Memberi pengalaman agar siswa belajar bagaimana cara belajar, bagaimana cara
memecahkan masalah.
2. Menstruktur pengetahuan, mengusahakan agar siswa memahami struktur
pelajaran. Memahami berarti dapat menghubungkannya dengan berbagai hal
lain. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu, namun kita dapat menga-jarkan
prinsip-prinsipnya yang pokok, yang disebut strukturnya.
3. Urutan penyajian bahan dapat dilakukan dari yang sederhana sampai yang lebih
abstrak. Tiap pengetahuan dapat disajikan dalam bentuk yang sederhana yang
dapat dipahami anak pada tingkat usianya. Kepada anak dapat diajarkan tentang
komputer, statistik, dalam bentuk yang benar dan jujur, misalnya dengan taraf
enactive, kemudian iconic, dan akhirnya symbolic.
Suatu konsep, prinsip, atau masalah pokok tidak dapat dipahami segera, bahkan
ada yang tidak kunjung dipahami sepenuhnya, akan tetapi berangsur-angsur
makin dipahami. Bahan serupa itu dapat diajarkan di SD, SMP, SMA, bahkan
selanjutnya di Perguruan Tinggi. Kurikulum yang membicarakan

pokok yang sama pada tingkatan yang senantiasa bertambah tinggi, disebut
kurikulum spiral. Pancasila misalnya, dapat dibicarakan pada berbagai tingkat
pendidikan. Keuntungan kurikulum spiral ialah bahwa bahan dapat diajarkan
lebih awal dan dengan demikian mempercepat kesiapan atau "readiness" tanpa
menunggunya secara pasif. Itu sebabnya, Bruner tidak merasa terikat oleh
perkembangan menurut fase perkembangan seperti dikemukakan oleh Piaget.
Pengaruhnya sangat besar bagi pengembangan kurikulum dengan memberikan
sejumlah mata pelajaran jauh lebih awal daripada sediakala.
4. Motivasi belajar. Bruner menganjurkan untuk mengurangi motivasi ekstrinsik,
sering berupa pujian, hadiah, angka baik, dan Iain-lain dan mengutamakan
motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik ialah bila siswa menguasai pelajaran,
sanggup memecahkan masalah yang sulit, menaruh minat, merasa turut terlibat,
merasa diri kompeten. Keberhasilan dan kegagalan bertalian dengan tugas dapat
menjadi motivasi intrinsik. Keberhasilan tak perlu lagi diberi hadiah atau pujian,
ada kemungkinan siswa belajar untuk memperolehnya. Hadiah yang paling
berharga terdapat dalam keberhasilan melakukan tugas. Kegagalan dapat
menjadi motivasi intrinsik bila menjadi cambuk untuk mengeluarkan usaha yang
lebih banyak. Akan tetapi kegagalan yang disertai hukuman akan merusak.
5. Pemecahan masalah dilakukan dengan merumuskan hipotesis yang dicek
kebenarannya berdasarkan data yang relevan. Pemecahan masalah dapat juga
tercapai dengan menggunakan intuisi, yaitu proses berpikir yang tidak dapat
diverbalisasi. Diharapkan siswa dididik agar dapat menemukan jawaban atas
masalah dengan usaha sendiri. Apa yang ditemukan sendiri lebih mantap dan
mempunyai nilai transfer tinggi.
PRINSIP-PRINSIP UMUM
Walaupun belum ada satu teori belajar yang berlaku bagi semua jenis belajar,
menurut Hilgard, telah ada sejumlah prinsip yang umum dapat diakui kebenarannya.

1. Ada perbedaan individual mengenai kesanggupan belajar. Apa yang dapat
dipahami oleh anak pandai, belum dapat dipahami oleh anak yang kurang
pandai.
2. Motivasi mempertinggi hasil belajar.
3. Motivasi yang berlebih-lebihan dapat menimbulkan gangguan emosional.dan
mengurangi efektivitas belajar.
4. Pada umumnya hadiah, pujian, dan sukses lebih menggiatkan orang belajar
daripada hukuman, celaan, dan kegagalan.
5. Motivasi intrinsik memberi hasil yang lebih baik daripada tnotivasi ekstrinsik.
6. Kegagalan dalam belajar sebaiknya diatasi dengan adanya keberhasilan pada
masa yang lampau.
7. Tujuan hendaknya realistis, jangan terlampau tinggi atau rendah agar
menimbulkan kegiatan belajar yang tinggi.
8. Hubungan tidak baik dengan guru dapat menghalangi prestasi belajar yang
tinggi.
9. Hasil belajar yang sebaik-baiknya dicapai bila murid turut akttf mengolah dan
mencernakan bahan pelajaran dan tidak sekedar mendengarkan saja.
10. Bahan dan tugas yang bermakna bagi murid lebih diterima dan dipelajari murid
daripada bahan dan tugas yang tak dipahami maksudnya.
11. Untuk menguasai sesuatu sepenuhnya, misalnya memainkan lagu pada piano,
diperlukan latihan yang banyak sehingga tercapai "overlearning".
12. Keterangan tentang hasil yang baik atau kesalahan yang dibuat, membantu
murid belajar.
13. Transfer hal yang dipelajari kepada situasi atau problema baru, akan lebih
terjamin bila murid itu sendiri menemukan hubungan antara kedua hal itu dan
selama belajar mendapat kesempatan menerapkannya dalam berbagai macam
situasi.
14. Ulangan sebaiknya dilakukan secara berkala agar lebih lama dapat diingat.
PENGARUH TEORI BELAJAR TERHADAP KURIKULUM
Teori ilmu jiwa daya bertujuan mencapai mental disiplin, yakni melatih daya
mental terutama daya pikir. Tujuan ini sangat sempit. Bahan pelajaran dapat
uniform bagi anak. Bahan pelajaran yang melatih daya pikir menduduki tempat

yang penting. Dalam penentuan bahan, faktor anak tak berapa dihiraukan.
Bahan itu disusun menurut urutan yang logis sesuai dengan sistematik mata
pelajaran itu, jadi biasanya dimulai dengan defmisi atau klasifikasi ilmiah baru
kemudian obyek-obyek atau contoh-contoh yang konkrit.
Teori asosiasi mengutamakan bahan pelajaran yang spesifik, yang terdiri atas
sejumlah S-R dan dikuasai melalui penyajian yang cermat, hafalan, dan ulangan.
Yang disajikan adalah unsur-unsur yang atomistis, bukan ide-ide yang prinsipiil.
Penyajian hal-hal yang spesifik dengan cara yang sangat teliti itu tampak dalam
pengajaran berprograma (programmed instruction) dan "teaching machines". Juga
"job analysis" seperti dilakukan untuk pertama kalinya oleh Charters didasarkan atas
teori itu.
Teori Gestalt atau field theory mempunyai tujuan yang luas, yakni bukan
hanya memberikan pengetahuan tapi juga proses menghadapi dan memecahkan
masalah, pengembangan pribadi, dan sikap terhadap dunia. Dalam menentukan
bahan pelajaran dipertimbangkan minat dan perkembangan anak, lingkungan
masyarakat anak dan bahan dari berbagai matapelajaran. Kurikulum meliputi
perkembangan sosial, emosional, dan intelektual. Organisasi bahan pelajaran dan
metode mengajar mengutamakan hubungan dan integrasi serta pemahaman. Fakta-
fakta atau informasi spesifik diperlukan untuk memperoleh pemahaman itu. Berbeda
dengan teori asosiasi, yang banyak memberi peranan "pasif kepada anak, teori
Gestalt ini memandang belajar sebagai proses yang memerlukan aktivitas anak.
Karena itu digunakan metode problem-solving dan inquiry-approach. Anak sendiri
harus menemukan jawaban masalah, dengan bimbingan serta bantuan guru sejauh
diperlukan.
TEORI BELAJAR DAN ILMU MENGAJAR
Mengenai proses belajar itu seridiri kita hadapi berbagai-bagai kesulitan.
Banyak macam-macam teori tentang belajar yang di- pakai secara campur-aduk
dalam praktek. Teori belajar menurut "mental discipline" atau ilmu jiwa daya
digunakan bersama dengan teori belajar menurut teori stimulus dan response serta
teori conditioning. Lagi pula banyak jenis-jenis belajar, seperti belajar ketrampilan
motoris, mengingat fakta-fakta dan informasi, ketrampilan intelektual seperti

membentuk konsep, belajar menurut "inquiry approach" memecahkan
masalah, dan belajar sikap, emosi, nilai-nilai, hubungan sosial, dan sebagainya.
Karena itu tidak ada satu teori umum sebagai pegangan untuk segala jenis belajar
itu.
Kebanyakan teori itu tidak didukung oleh eksperimen-eksperimen. Penelitian
hanya dilakukan mengenai bentuk belajar yang sederhana dengan binatang. Kita
dapat menyaksikan apakah hasil penelitian itu berlaku pula bagi manusia dalam
belajar halhal yang jauh lebih kompleks. Penelitian mengenai belajar dalam situasi
belajar dalam kelas bersifat penelitian jangka pendek, bukan mengenai hal-hal
jangka panjang. Variabel dalam situasi belajar dalam kelas tidak dapat dikuasai
sepenuhnya karena banyaknya variabel itu. Lingkungan tempat anak belajar perlu
pula diperhatikan, karena anak itu senantiasa merupakan organisme dalam
lingkungan yang turut mempengaruhinya dalam belajar.
Lagi pula arti istilah-istilah dan pengertian pokok dalam berbagai teori belajar
sebenarnya masih kabur, misalnya "insight" dalam teori Gestalt, "reinforcement"
"trial-and-error" dan pengaruh pujian dan hukuman dalam belajar menurut teori
asosiasi.
Pada umumnya dapat kita katakan bahwa teori asosiasi lebih serasi untuk
mempelajari hal-hal yang sederhana, akan tetapi kurang sesuai untuk soal-soal yang
memerlukan proses mental yang kompleks seperti berpikir atau memecahkan suatu
masalah dan untuk mempelajari sikap, minat, atau emosi. Akan tetapi cara belajar
menurut teori ini lebih mudah dikuasai, hasilnya segera dapat diketahui dan dinilai.
Bahkan untuk belajar serupa ini Thorndike telah merumuskan sejumlah "laws of
learning", misalnya bahwa hubungan S-R bertambah erat bila sering diulangi, bila
hubungan itu disertai rasa senang atau puas, dan sebagainya.
Di lain pihak teori Gestalt atau field theory lebih sesuai untuk mempelajari
hal-hal yang kompleks, yang mengandung masalah. Akan tetapi kelemahannya
ialah, bahwa teori ini terlampau banyak variabelnya, terlampau kompleks dan tidak
dapat dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang cepat dan

cermat. Hanya petunjuk-petunjuk umum yang dapat diberikan.

Oleh sebab belum ditemukan teori belajar yang pasti, maka sebenarnya belum
dapat disusun suatu ilmu mengajar atau "science of teaching" yang dapat
meramalkan dengan pasti hasil suatu kegiatan mengajar.
RANGKUMAN
1. Belajar pada umumnya diartikan sebagai perubahan dalam kelakuan seseorang
sebagai akibat pengaruh usaha pendidikan.
2. Ada berbagai-bagai teori belajar yang masing-masing mempunyai kebaikan dan
kekurangan. Adanya kekurangan suatu teori belajar tidak berarti kita harus
mengabaikan seluruhnya.
3. Beberapa teori belajar yang terkenal ialah teori belajar menurut ilmu jiwa daya,
teori asosiasi (termasuk conditioning), dan teori organismic (Gestalt atau Field
theory).
4. Tiap teori belajar mempunyai anggapan tertentu mengenai transfer belajar.
5. Teori asosiasi dike mbangkann oleh Skinner dalam "belajar berprograma" dan
"teaching machines".
6. Teori Gestalt mengutamakan prinsip keseluruhan, "insight" masalah, tujuan,
pengalaman, minat.
7. Walaupun teori belajar berbeda-beda, namun ada prinsip-prinsip yang pada
umumnya dapat diterima.
8. Teori belajar yang dianut berpengaruh terhadap kurikulum yang dibina. Teori
ilmu jiwa daya mengutamakan latihan mental yang diperoleh melalui bahan
pelajaran, teori asosiasi mengutamakan penguasaan bahan pelajaran sendiri,
sedangkan teori Gestalt mementingkan perkembangan pribadi anak dalam
usahan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalam hidupnya.
9. Teori belajar juga mempengaruhi proses dan kegiatan mengajar-belajar. Namun
mengajar belum didukung oleh psikologi belajar yang diperkuat oleh
eksperimentasi. Karena belajar dalam kelas banyak variabel yang tidak dapat
dikuasai, maka percobaan kebanyakan dapat dilakukan tentang belajar menurut
asosiasi.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apakah yang dimaksud dengan belajar ? Berikan beberapa defmisi.

2. Bagaimanakah teori belajar menurut ilmu jiwa daya ?
3. Apakah pengaruh teori belajar itu terhadap kurikulum ?
4. Bagaimana belajar itu menurut teori asosiasi ?
5. Apakah pengaruhnya terhadap kurikulum ?
6. Bagaimana pendirian teori Gestalt atau "organismic" tentang belajar.
7. Apakah pengaruh teori belajar terakhir ini terhadap kurikulum ?
8. Bagaimanakah pendapat teori-teori belajar itu tentang transfer?
9. Dan i ketiga teori yang dibicarakan teori manakah menurut pendapat saudara
paling besar pengaruhnya terhadap kurikulum kita sekarang ? Berikan alasan-
alasan saudara ?
10. Dalam praktek pengajaran suatu teori dapat melengkapi yang satu lagi.
Benarkah pendapat ini ?
11. Sebutkan beberapa prinsip yang secara umum dapat diterima oleh semua teori.
12. Apakah orang yang mempelajari matematika akan lebih sanggup berpikir logis-
sistematis daripada orang yang tidak mempelajarinya ?
13. Apakah ahli matematika dengan sendirinya sanggup me- mecahkan masalah-
masalahpolitik, sosial, dan ekonomi ?
14. Coba cari alasan-alasan untuk mengatakan bahwa dalam matapelajaran sosial
anak-anakjuga dapat dididik berpikir.
15. Cari bukti-bukti bahwa anak-anak pra-sekolah juga dapat berpikir.
16. Apa sebab belajar menurut teori asosiasi masih sangat banyak diterapkan ?
Apakah pengaruh ujian, test masuk, dan sebagainya ?
17. Bagaimanakah pendapat J. Piaget tentang perkembangan kesanggupan berpikir
pada anak?
18. Selidiki soal belajar di luar sekolah ? Apakah belajar di luar sekolah itu kurang
pentingnya ?

BAB 4
ASAS PSIKOLOGIS ANAK
PENDAHULUAN
Fungsi sekolah ialah (1) menyampaikan kebudayaan kepada generasi muda
demi kelanjutan bangsa dan negara, (2) memberi sumbangan kepada perhaikan dan
pembangunan masyarakat, dan (3) mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Untuk
melakukan tugas itu dengan baik, khususnya fungsi ketiga, hams diperhitungkan
anak sebagai faktor penting dalam pengembangan kurikulum.
Pada umumnya faktor anak masih belum mcndapat perhatian yang
selayaknya. Salah satu sebabnya ialah bahwa bahan pelajaran terlampau
diutarnakan, dengan mengharuskan anak menyesuaikan diri dengan bahan itu
dengan segala kesulitannya. Namun "apa" yang diajarkan erat kaitannya dengan
pertanyaan kepada "siapa" diajarkan, untuk lebih mengetahui "bagaimana"
mengajarkannya.
Ada masanya dahulu anak disamakan .dengan orang dewasa dalam miniatur.
Anak dituntut berkelakuan seperti orang dewasa, ia dinilai menurut ukuran orang
dewasa, bahkan dalam pakaian pun ia mengikuti orang dewasa.
Tokoh pertama yang membuka mata dunia untuk melihat dan memperlakukan
anak sebagai anak, bahwa anak itu lain daripada orang dewasa, namun manusia
penuh sebagai individu, ialah J.J. Rousseau (1712-1778). Dalam bukunya yang
terkenal Etnile ia menguraikan fase-fase perkembangan anak, dari kecil sampai
dewasa, perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang menuntut perlakuan
sesuai dengan sifat perkembangannya.
Rousseau antara lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang datang dari
Tuhan adalah baik, akan tetapi dapat menjadi rusak dalam tangan manusia yang
telah dipengaruhi kebudayaan. Ia menganjurkan agar anak diberi kesempatan untuk
berkembang menurut kodrat alam masing-masing. Ki Hajar Dewantara me-nyatakan
sebagai Tut wuri handayani.

Banyak tokoh-tokoh pendidikan yang membaca buku karangan Rousseau
sangat terpengaruh, seperti J.H. Pestalozzi (1746 - 1826), F. Froebel (1776 -1841),
Maria Montessori ( ), dan banyak tokoh lain seperti Ki Hajar Dewantara, juga John
Dewey.
Ada mengatakan, bahwa perubahan yang paling besar dalam pendidikan
dalam abad ke-20 ini ialah menonjolnya kedudukan peranan anak dalam kurikulum.
John Dewey memandangnya sebagai "suatu revolusi" yang menjadikan anak
sebagai pusat pendidikan, seperti perubahan yang dicetuskan Cpernicus yang
menjadi matahari dan bukan bumi sebagai pusat jagat raya. Bila selama ini anak
harus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ditentukan oleh orang dewasa, kini
kurikulumlah yang harus disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan taraf
perkembangan anak. Sekarang tak mungkin lagi kurikulum dikembangkan tanpa
memperhitungkan anak dan perkembangannya.
PERKEMBANGAN ANAK
Perkembangan anak - fisik, emosional, sosial, dan mental- intelektual -faktor
yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam pengembangan kurikulum. Banyak
peneliti yang telah mempelajari anak secara ilmiah, ada yang mengadakan studi
cross- sectional, yakni mempelajari sejumlah besar anak pada usia tertentu, ada pula
studi longitudinal, yang mengikuti perkembangan anak selama bertahun-tahun,
bahkan sampai dewasa. Penelitian perkembangan anak Indonesia masih menunggu
ilmuwan yang berminat.
Berdasarkan berbagai penelitian itu, maka diperoleh sejumlah antara lain :
- Anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, ada masa bayi, masa kanak-
kanak permulaan, masa kanak-kanak lanjutan, masa transesensi menjelang
adolesensi. Pada tiap taraf anak menunjukkan sifat-sifat dan kebutuhan tertentu.
Antara tahap-tahap itu sehenarnya tidak ada batas tertentu yang tegas, karena
perkembangan itu berjalan secara berangsur-angsur.
- Kecepatan perkembangan itu tidak merata. Ada saat-saat cepat atau akselerasi,
ada masa tenang seakan-akan tidak ada perubahan yang disebut "plateau" atau
dataran, ada pula saat yang lambat perkembangannya atau retardasi.

Terdapat hubungan antara perkembangan aspek satu dengan satu lagi.
Perkembangan fisik yang cepat mempengaruhi aspek sosial dan emosional.
Karena cepat perkembangannya, ia lebih besar dan tinggi daripada teman
sekelasnya dan ini dapat mengganggu hubungannya dengan murid-murid lain.
Juga dapat timbul rasa ketegangan dan kegelisahan. Selain itu dapat timbul
minat, sikap dan masalah-masalah baru. Pelajarannya pun mungkin terpengaruh.
Banyak kesulitan yang dihadapi anak karena perkembangan fisik yang tidak
normal.
- Ada perbedaan pola perkembangan antara anak-anak. Ada anak yang pada
awalnya lamban belajar, atau tak dapat mengikuti pelajaran, akan tetapi pada
usia yang lebih lanjut seakan-akan mekar dan menunjukkan prestasi yang luar
biasa. Hal ini bertalian dengan soal kematangan. Ada saatnya anak belum
dapat mempelajari sesuatu, misalnya membaca permulaan, karena belum siap,
belum matang, akan tetapi setelah tercapai kematangan, maka ia cepat dan
mudah menguasainya. Memaksa anak mempelajari sesuatu sebelum saat
kematangan hanya menimbulkan frustrasi yang menyulitkan hidup anak serta
menimbulkan rasa benci terhadap sekolah selain memberi konsep-diri rendah
pada anak.
Karena ada perbedaan pola perkembangan anak, maka kurikulum harus
memperhatikan perbedaan individual itu. Kurikulum kebanyakan didasarkan
atas asumsi bahwa perkembangan anak semuanya sama. Maka ditentukan ba-
han pelajaran yang sama, digunakan metode yang sama dalam proses belajar-
mengajar. Mengizinkan variasi dalam pelajaraan berhubung dengan perbedaan
individual akan sangat menguntungkan bagi anak. Banyak macam usaha untuk
memperhatikan perbedaan individual pada anak. Akan tetapi pelaksanaannya
memerlukan guru yang lebih kompeten daripada mengajar bahan yang uniform
dalam segala aspeknya.
- Adanya pola umum dalam perkembangan anak memungkinkan
pengembangan kurikulum untuk memperkirakan bahan apa yang akan sesuai
kepada kelompok umur tertentu.
Mengenai perkembangan anak dipersoalkan, apakah perbedaan pada anak
disebabkan oleh faktor genetis atau pembawaan, atau faktor lingkungan. Apakah

misalnya kematangan membaca dapat dipengaruhi oleh keluarga yang
menyediakan bacaan, majalah, gambar-gambar, TV, dan Iain-lain, ataukah kita
harus menunggu secara pasif sampai saat kematangan itu tiba dengan sendirinya'?
Apakah I.Q. anak konstan, ataukah dapat ditekan atau ditingkatkan melalui mutu
lingkungan? Ternyata lingkungan dapat mempengaruhinya. Anak-anak dari
lingkungan sosial-ekonomi yang haik lebih mengikuti pelajaran daripada anak-anak
dari rumah tangga miskin.
Pengetahuan tentang perkembangan anak, masih kurang jelas penerapannya dalam
kurikulum, walaupun selalu menjadi pokok pertimbangan. Salah satu sebabnya
ialah, bahwa penelitian sering hanya meliputi salah satu aspek, misalnya aspek
jasmani, aspek inteligensi, dan Iain-lain. Kesulitan bagi pengembang kurikulum
ialah melihat perkembangan anak sebagai keseluruhan yang bulat.
ANAK SEBAGAI KESELURUHAN
Sekolah tradisional terutama bertugas menyampaikan sejumlah pengetahuan
melalui berbagai mata pelajaran. Pendidikan serupa ini mengutamakan aspek
intelektual Orangtua mengirimkan anaknya ke sekolah agar menjadi pandai dalam
arti mengumpulkan pengetahuan yang banyak. Juga anak giat belajar demi ilmu
yang akan diperolehnya. Dengan ilmu yang banyak lebih terjamin masa depannya
untuk melanjutkan pelajarannya yang hanya dimungkinkan bila lulus dalam ujian
yang justru menguji pengetahuannya. Aspek kepribadian lainnya tidak mendapat
pertimbangan.
Karena aspek intelektual diutamakan, maka segi pendidikan lainnya
cenderung diabaikan, seperti kepandaiannya bergaul, minatnya terhadap kesenian
atau olahraga. Lambat laun konsep tentang pendidikan mengalami perubahan dan
sekolah modern menaruh perhatian kepada perkembangan seluruh pribadi anak,
baik mengenai segi jasmani, emosi, sosial maupun intelektual. Anak dinilai bukan
hanya berdasarkan prestasi intelektualnya, akan tetapi dalam segala segi
kepribadiannya secara komprehensif. Sebenarnya pribadi anak selalu merupakan
suatu kebulatan dan tak dapat dipisah-pisah dalam bagian-bagian yang lepas-lepas.
Anak yang terganggu kesehatannya, sakit, lapar atau lelah, anak yang mengalami
kesulitan emosional karena frustrasi, anak yang terisolasi dalam kelas

tanpa teman, anak yang merasa dibenci oleh guru, dengan atau tanpa alasan,
anak yang merasa dirinya rendah karena konsep-diri yang rendah, anak-anak serupa
itu akan terganggu dalam pelajarannya .
Anak menerima pelajaran bukan hanya dengan "kepalanya", akan tetapi juga
dengan "hatinya" . Guru sebagai pelaksana kurikulum hendaknya jangan melihat
dirinya hanya sebagai pengajar yang menyampaikan bahan pelajaran, ia juga
pendidik yang berusaha mengembangkan segala potensi anak agar menjadi manusia
seutuhnya. Guru harus pandai, harus banyak tahu, hams menguasai disiplin ilmu, itu
benar dan sangat diinginkan, akan tetapi ia juga pendidik dan tugas ini memerlukan
kompetensi dan pribadi yang jauh lebih luas daripada sekadar pengetahuan.
ANAK SEBAGAI PRIBADI TERSENDIRI
Tak ada dua orang yang sama dalam segala hal di dunia ini. Selalu terdapat
perbedaan antara dua individu karena pengaruh pembawaan dan lingkungan. Dari
segi pembawaan hanya anak kembar identik yang sama, akan tetapi bila mereka
ditempatkan dalam lingkungan yang jauh berbeda, maka akan tampak berbagai
perbedaan di antara mereka.
Anak-anak saling berbeda, jasmaniah, rohaniah, emosional, dan sosial.
Mereka juga berbeda dalam segi inteligensi, tinggi dan berat badan, tekanan darah,
minat stabilitas emosional, kesehatan, kecepatan bereaksi, kecepatan membaca,
keterampilan berhitung, latar belakang, sosial-ekonomi, pendidikan di ramah,
kesukuan, agama, keterampilan motoris, cita-cita dan dalam banyak hal lain,
sehingga tak mungkin dua orang sama. Ada pula perbedaan jenis kelamin yang
perlu mendapat perhatian agar mereka dapat melakukan tugasnya sesuai dengan
tuntutan masyarakat. Usia anak-anakpun ada perbedaannya walaupun duduk di kelas
yang sama. Bila Saudara memperhatikan suatu kelas, atau mengamati sekelompok
anak bermain, dalam waktu lima menit Saudara akan melihat berbagai perbedaan
antara anak-anak.
Juga pada diri anak sendiri terdapat perbedaan dalam perkembangannya
dalam berbagai bidang. Anak berbakat mungkin cepat perkembangan

intelektualnya akan tetapi ketinggalan dalam aspek sosial emosionalnya. Anak
yang cepat berkembang secara fisik, mungkin sulit mengikuti pelajaran akademis
Kepandaian anak dalam suatu bidang studi mungkin berbeda dengan penguasaan
bidang lain.
Apakah sekolah harus berusaha melenyapkan perbedaan individual itu atau
setidaknya memperkecilnya? Di sekolah tradisional, dalam pendidikan masal
umumnya, perbedaan individual kurang dapat diperhatikan, malah sering tidak
diacuhkan. Kurikulum uniform, pelajaran sama bagi semua, metode belajar-
mengajar juga sama demikian juga penilaiannya. Pada jam yang sama semua anak
melakukan pekerjaan yang sama membuat hitungan yang sama, menulis kalimat
yang sama, menggambar barang yang sama. Pelajaran diresapi oleh keserbasamaan.
Pada saat tertentu semua akan dihadapkan kepada ujian akhir yang sama pula yang
dapat dinilai dengan menggunakan komputer untuk memberi cara penilaian yang
sama. Tampaknya pendidikan demikian berusaha menempa anak-anak yang pada
hakikatnya serba-ragam menjadi manusia yang serba-sama.
Kurikulum yang ditentukan oleh pihak atasan uniform bagi jenis pendidikan
yang sama. Untuk lebih menjamin kesamaan, maka tujuan diuraikan sampai taraf
spesifik termasuk bahan pelajaran yang terkait dan juga proses belajar-mengajar dan
buku pelajarannya. Dengan sendirinya guru sebagai pelaksana kurikulum akan patuh
berpegang pada ketentuan itu. Apakah masih ada kemungkinan bagi guru
memandang dirinya sebagai pengembang kurikulum dalam arti mikro untuk
menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan anak dan keadaan lingkungan sekolah?
juga di tingkat Perguruan Tinggi terdapat gejala yang sama dengan menentukan
mata kuliah untuk tiap jurusan, sering tanpa kesempatan untuk mengadakan pilihan.
Dari segi hakikat individu yang berbeda-beda, memaksa pelajar mengikuti
pelajaran yang sama akan merugikannya. Ada kurikulum yang fleksibel yang
memungkinkan siswa mengadakan pilihan. Ada sistem semester pada hakikatnya
bertujuan memberi pilihan itu, dan walaupun pelajaran yang diikuti berbeda-beda,
jumlah kredit akan menentukan apakah telah dipenuhi syarat untuk lulus. Dengan
sistem kredit, mahasiswa tidak terbatas lagi perkuliahannya pada apa yang

disediakannya dalam satu jurusan, akan tetapi semua mata kuliah di
universitas terbuka baginya. Dengan demikian universitas akan sungguh-sungguh
menjadi universitas dan bukan kumpulan fakultas atau jurusan.
Memperhatikan perbedaan individual tidak berarti bahwa semua pelajaran
harus berbeda. Ada hal-hal yang termasuk pengetahuan umum yang hams dimiliki
oleh setiap siswa yang diharapkan dari setiap warga negara. la harus mengenal
falsafah negara, harus menguasai bahasa nasional, sejarah, bangsa mempunyai
badan yang sehat, dan sebagainya. Akan di samping itu ia hendaknya dapat
menikmati pendidikan sesuai dengan bakat dan minatnya.
Perbedaan individual sangat besar nilainya. Kemajuan-kemajuan dalam
banyak lapangan hidup justru diperoleh berkat orang-orang yang mempunyai
pendirian, kemampuan dan pikiran yang orisinal, yang lain daripada yang lain.
Inisiatif orang-orang yang mencari jalan-jalan baru sering membawa kemakmuran
dan kemudahan bagi umat manusia, walaupun mereka pada awalnya mendapat
kecaman, tantangan, bahkan celaan. Kreativitas dan inisiatif ini sering dibunuh atau
tidak dipupuk di sekolah tradisional. Ini berarti kerugian besar bagi bangsa dan
negara, karena dengan demikian banyak bakat disia-siakan. Pendapat modern
menginginkan program sekolah yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi
perkembangan bakat anak. Kurikulum yang uniform pasti tidak akan memenuhi
keinginan itu.
Tiap anak berbeda dengan anak lain. Untuk mendapat gambaran yang lebih
jelas tentang perbedaan itu dalam pengajaran, perlu kita perhatikan hal-hal berikut:
a. Walaupun tiap anak unik, persamaan antara manusia lebih besar daripada
perbedaannya.
b. Namun demikian perbedaan itu lebih besar daripada uang diduga si pendidik.
c. Perbedaan itu sebagian besar bersifat kuantitatif, bukan kualitatif, misalnya,
semua anak mempunyai inteligensi, akan tetapi tarafnya berbeda-beda, ada
yang tinggi, ada yang rendah.
d. Kesanggupan yang luar biasa pada umumnya bukanlah akibat kompensasi,
yakni ditimbulkan oleh kekurangan di bidang lain. Kelemahan di bidang

tertentu, tidak dengan sendirinya membangkitkan kesanggupan istimewa di bidang
lain.
e. Perbedaan individual tidak hanya dalam bidang inteligensi, akan tetapi juga
dalam bidang emosional, sosial, fisik, sikap, dan Iain-lain yang harus
dipertimbangkan dalam pendidikan.
f. Sifat-sifat seseorang harus ditinjau dalam rangka keseluruhan pribadinya.
Menyesuaikan kurikulum dan pengajaran dengan perbedaan individual adalah
usaha yang memerlukan pemikiran, kreativitas, pengertian, serta hasrat untuk
memberikan yang sebaik-baiknya kepada tiap anak. Selain itu perlu usaha untuk
mengenal anak secara individual.
KEBUTUHAN ANAK
Kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan anak. Ada kurikulum yang
secara ekstrem mendasarkan kurikulum semata-mata pada kebutuhan anak, yang
disehut child-cebtered curriculum Ditinjau dari segi pshikologis-didaktis banyak
kebaikannya. Pelajaran didasarkan atas minat anak, anakturut serta merencanakan
apa yang ingin dipelajarinya. Akan tetapi banyak pula kelemahannya, antara lain:
a. Anak-anak sering tidak mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkannya.
b. Pelajaran tidak dapat lebih dahulu direncanakan guru, karena baru lahir dalam
rundingan dengan anak. Tiap tahun pelajaran berlainan karena anaknya
berganti. Jadi tidak ada pegangan bagi guru dan murid tentang pelajaran yang
akan datang. Tidak ada pula kontinuitas dalam pelajaran dari tahun ke tahun.
c. Memperturutkan anak belum menjamin kesesuaiannya dengan tujuan
pendidikan.
d. Sebenarnya tak ada pelajaran yang sepenuhnya individual, sebab selalu
berlangsung dalam konteks sosial. Anak berada dalam masyarakat dan apa
yang dipelajari harus juga memenuhi tuntutan masyarakat.
Karena keberatan-keberatan itu kurikulum serupa itu hanya dilakukan pada
sekolah-sekolah eksperimen. Namun demikian eksperimen itu besar pengaruhnya
terhadap kurikulum selanjutnya. Bermacam-macam cara yang dijalankan untuk
memperhatikan perbedaan individual dalam proses belajar-mengajar.

Kebutuhan anak dapat digolongkan dengan berbagai cara. Salah satu cara
ialah membaginya atas : kebutuhan jasmani, kebutuhan pribadi, dan sosial.
KEBUTUHAN JASMANIAH
Setiap anak ingin bergerak dan menggunakan badannya. Anak-anak suka
berlari-lari melompat-lompat, memanjat-manjat dan melakukan aktivitas-aktivitas
jasmaniah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan memberikan pendidikan jasmani. Dalam
arti modern pendidikan jasmani bertujuan mendidik manusia, yakni mewujudkan
tujuan pendidikan dengan menggunakan kejasmanian sebagai titik bertolak, akan
tetapi tujuan khusus yaitu membentuk manusia yang sehat dan kuat merupakan
aspek yang penting pula. Bangsa kita pada umumnya belum cukup sehat dan kuat
menurut normanorma tertentu.
Di samping pendidikan jasmani harus diusahakan adanya keseimbangan
antara bekerja dengan istirahat, harus diperhatikan agar anak-anak cukup tidur,
cukup bermain serta mendapat makanan yang sehat.
Kesehatan dan pertumbuhan jasmani hendaknya senantiasa di bawah asuhan
dokter danjururawat sekolah.
KEBUTUHAN PRIBADI
Anak-anak mempunyai dorongan untuk memuaskan keinginan untuk
mengetahui sesuatu, untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan jalan
bahasa, pekerjaan, lukisan, seni, suara, atau gerak. Mereka ingin menguasai suatu
keterampilan, ingin merasai kepuasan atas hasil atau sukses yang mereka capai.
Mereka ingin dipuji atas usaha mereka, sekalipun hasil mereka itu jauh di bawah
norma-norma orang dewasa. Setiap anak ingin diakui dan dihormati sebagai
individu yang mempunyai tempat dan hak dalam masyarakat sekolah, rumah tangga,
dan dunia sekitarnya. Anak-anak ingin mempunyai harga diri dan ,harkat sebagai
manusia. Anak-anak ingin ingin aktif. Dorongan ini mudah kita lihat pada setiap
anak. Di sekolah dorongan ini sering dikekang dan ditekan agar murid-murid tidak
melanggar disiplin yang tegang yang menginginkan, agar anak diam duduk diam di
bangku sambil mendengarkan ucapan-ucapan guru dan ia dituduh anak nakal bila
ditunjukkannya keaktifannya.

Sekolah zaman sekarang berusaha memenuhi kebutuhankebutuhan itu dengan
memberi anak-anak kebebasan bergerak, bekerja, mengadakan percobaan-
percobaan dan melakukan tugas-tugas lain, asal saja jangan menganggu orang lain.
Kebebasannya dibatasi oleh hak-hak orang lain yang juga merupakan haknya
sendiri. kelas itu dijadikan semacam laboratorium atau ruang kerja di tempat anak-
anak belajar dalam suasana yang lebih leluasa.
KEBUTUHAN SOSIAL
Tak mungkin manusia itu hidup lepas dari masyarakat. Seorang bayi tidak
akan mungkin hidup serta mengembangkan pembawaannya tanpa bantuan orang
tuanya dan banyak orang lain yang tak terhitung jumlahnya. Setiap manusia harus
hidup dalam hubungan yang erat dengan orang lain untuk mencapai
kebahagiaannya. Mencari hubungan dengan orang lain ialah dorongan yang wajar
pada tiap anak.
Membimbing anak agar ia menjadi mahluk sosial ialah suatu fungsi sekolah
yang amat penting. Bila ini kita akui, maka kita menyangsikan manfaat cara yang
dipakai sekolah yang memaksa murid-murid duduk diam, melarang mereka
membicarakan pelajaran serta bantu-membantu dalam memecahkan suatu soal. Di
sekolah lebih diutamakan persaingan daripada gotong-royong.
Kurikulum modern memberi murid-murid lebih banyak kebebasan bekerja
sama dalam kelompok untuk melakukan tugas-tugas. Murid-murid diajak berunding
untuk menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah-langkah untuk
mencapai tujuan itu. Dalam hal ini pendapat setiap anak dihargai dan
dipertimbangkan. Dengan demikian sekolah dijadikan suatu masyarakat tempat
murid-murid mempraktikkan hak dan kewajihan anggota-anggota masyarakat yang
demokratis. Human relationship atau hubungan antar-manusia hendaknya lebih
dipentingkan di sekolah. Dari penyelidikan-penyelidikan ternyata bahwa
kebahagiaan seseorang dalam kehidupan dan jabatannya bukanlah ditentukan oleh
pengetahuan intelektualnya, melainkan terutama oleh kesanggupannya untuk
bergaul dan bekerja sama dengan orang lain.

Seperti dikatakan di atas, ada bermacam-macam cara untuk membagi
kebutuhan anak. Saudara dapat mempelajarinya lebih lanjut dalam buku-buku
tentang psikologi anak.
KEBUTUHAN MENURUT BEBERAPA TOKOH
Salah satu daftar kebutuhan manusia yang pokok yang cukup terkenal ialah
yang dihasilkan oleh Abraham Maslow atas dasar penelitian yang luas dan
mendalam, yakni kebutuhan akan:
1. survival, kebutuhan fisiologis, untuk hidup, survival.
2. security, atau rasa aman
3. love and belonging, kebutuhan akan cinta-kasih
4. self-esteem, kebutuhan akan harga-diri
5. self-actualization, kebutuhan untuk merealisasikan kepribadian yang penuh.
Agar dapat merealisasikan diri, agar dapat mengembangkan potensi yang
dimiliki sepenuhnya, hams dipenuhi segala kebutuhan yang dibawanya, oleh sebab
kebutuhan itu bersifat hierarkis. Tak dapat anak merasa aman, bila ia merasa
kelaparan, tak mungkin mempunyai harga-diri bila tidak dicintai, tidak merasa aman
dan mendapat kecukupan dalam keperluan makanan, pakaian, dan lain- lain.
Kebutuhan yang tertinggi yang harus dicapai ialah self- realization, yakni
menemukan identitasnya, siapa dia, apa yang diinginkannya, akan menjadi apa ia.
Agar ini tercapai ia harus dibantu untuk mengetahui apa yang dapat dilakukannya
dan diberi kesempatan untuk agar ia berhasil melakukannya dengan baik. Rasa
berhasil, sukses dalam pekerjaan dan pelajaran, termasuk pelajaran sekolah,
membantu anak ke arah self-actualization. Dalam kurikulum perlu diusahakan
keseimbangan antara kebutuhan institusional dan kebutuhan pribadi anak.
Lingkungan, termasuk guru dan orangtua, dapat membantu, dapat pula menghalangi
anak mentiju self-realization.
Louis Raths mengembangkan teorinya tentang kebutuhan pokok yang
menunjukkan sejumlah persamaan dengan Maslow. Ia membedakan delapan macam
kebutuhan, yakni:

1.The need for love and affection (cinta kasih)
2. The need for achievement (Keberhasilan)
3. The need for belonging (diterima dalam kelompok)
4. The need for self-respect (harga-diri)
5. The need to be free from deep feelings of guilt (bebas dari rasa berdosa yang
mendalam)
6. The need to be free from deep feelings of fear (bebas dari rasa takut yang
mendalam)
7. The need for economic security (rasa aman dalam keuangan, dan Iain-lain)
8. The need for understanding of self (pengenalan diri).
Menurut Raths guru dapat mempelajari cara-cara memenuhi kebutuhan itu
dalam rangka pelajaran di sekolah. Guru dapat mengidentifikasi kelakuan anak yang
tak-sosial, walaupun ia bukan ahli psikologi atau psikiatri. Tujuan Raths ialah agar
guru herusaha menciptakan lingkungan belajar yang memberi rasaaman kepada
anak-anak. Ia meminta perhatian guru yang lebih banyak terhadap kebutuhan
emosional anak dengan keyakinan, bahwa bila kebutuhan ini dipenuhi, maka anak
akan lebih berhasil melakukan tugas-tugas sekolah lainnya.
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN MENURUT EARL KELLEY
Earl Kelley mengemukakan pendirian bahwa kepribadian seluruhnya atau hampir
seluruhnya dibina dalam hubungan atau interaksi dengan manusia lainnya, jadi
dalam hubungan sosial seorang bayi telah memiliki perlengkapan untuk
berkembang, akan tetapi ia tidak akan dapat mengembangkan dirinya bila tidak
dalam kehadiran orang lain: Anak-anak perlu senantiasa meng adakan interaksi
positif dengan anak-anak maupun orang dewasa, sehingga memiliki kepribadian
yang dapat berfungsi sepenuhnya, "a fully functioning self. Int dapat dilakukan
dalam kegiatan belajar dan kegiatan lainnya di sekolah. Menurut Earl Kelley pribadi
yang berfungsi penuh, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut - Ia berpikir baik tentang
dirinya, demikian pula tentang orang lain serta mengetahui bahwa orang lain penting
baginya.

- la melihat dirinya sebagai pribadi yang senantiasa dalam proses perkembangan
secara dinamis, dan dalam penycmpurnaan diri melihat nilai membuat
kesalahan.
- la melihat pentingnya manusia baginya, mengembangkan dan menghormati
nilai-nilai kemanusiaan. la tahu, tak ada jalan dalam hidupnya selain berpegang
pada nilai-nilai.
- Oleh sebab hidup ini senantiasa berubah dan berkembang, ia akan senantiasa
kreatif dalam peranannya.
Guru-guru dapat menggunakan prinsip-prinsip di atas sebagai pegangan untuk
mencapai tujuan kurikulum di sekolah. Mengembangkan kepribadian anak juga akan
membantunya mencapai tujuan-tujuan lain.
DEVELOPMENTAL TASKS
Seperti kami katakan, kebutuhan anak ditinjau dari segi psiko-biologis, tak
perlu bertentangan dengan kebutuhannya ditinjau dari segi masyarakat. Berbarengan
dengan pertumbuhan anak, masyarakat mempunyai tuntutan tentang kelakuannya.
Tiap individu mempunyai tugas-tugas tertentu, yang diharapkan masyarakat dapat
dan harus dilaksanakannya. Sewaktu masih bayi ibu mengganti bajunya, akan pada
usia tertentu ibu mengharapkan ia dapat melakukannya sendiri. Makin tambah
usianya, makin banyak hal-hal yang diharapkan orang tua dan masyarakat umum
daripadanya.
Gejala ini dituangkan Erikson dan yang lebih terkenal R. J. Havighurst dalam
konsep developmental tasks yakni tugas-tugas yang harus dipenuhi oleh seseorang,
sesuai dengan taraf perkembangannya. Ini diharapkan, bahkan dituntut oleh
lingkungannya. Bila ia dapat memenuhinya, ia akan merasa senang, dan ia akan
berhasil melakukan tugas-tugas selanjutnya. Akan tetapi bila ia tidak dapat
memenuhinya ia akan mendapat celaan dan kecaman, maka ia tidak merasa bahagia
dan tidak akan sanggup melakukan tugas berikutnya dengan berhasil baik.
Developmental tasks ini meningkat dengan bertambah usianya, dari anak
sekolah, pemuda, dan seterusnya. Developmental tasks ini tak ada akhirnya,

dihadapi oleh anak, pemuda, orang dewasa, masa tua, masa pensiun, sampai
akhir hayat.
Developmental tasks berbeda menurut kebudayaan tempat anak itu hidup,
misalnya berbeda di berbagai daerah di Tanah Air kita, berbeda dengan negara lain.
Adanya developmental tasks ini memberi gambaran lain tentang kebutuhan
anak. Dalam arti psikologis kebutuhan itu bersifat individual, sedangkan dari segi
"developmental tasks" mengandung aspek sosial. Ditinjau dari segi ini kurikulum
yang "child-centered" yang ekstrimtak dapat dipertahankan.
Implikasi "developmental tasks" bagi kurikulum ialah, bahwa kurikulum yang
didasarkan atas konsep itu akan mempertemukan kebutuhan perkembangan fisik,
sosial, motivasi, emosi, dan Iain-lain secara terpadu. Selanjutnya dapat memperjelas
tujuan pendidikan dan saat yang lebih tepat untuk mengajarkannya. Sukses dalam
"developmental tasks" memberi pengaruh positif terhadap prestasi sekolah.
Selanjutnya kami berikan "developmental tasks" bagi anak sekolah dan pemuda.
Kita harus menyelidiki hingga manakah pokok-pokok yang di atas merupakan
masalah-masalah bagi anak-anak Indonesia. Penelitian serupa ini perlu diadakan,
kalau kita ingin membantu murid-murid memecahkan kesukaran pribadinya dengan
membicarakannya di sekolah. Dengan memasukkannya ke dalam kurikulum, kita
memberikan bimbingan kepada anak untuk menyesuaikan diri dengan dunia dan
dengan dirinya sendiri yang sedang mengalami persoalan itu.
Seperti telah dikatakan, kebutuhan anak, ditinjau dari psikobiologis tidak
perlu bertentangan dengan kebutuhannya ditinjau dari sudut masyarakat. Salah satu
usaha untuk mempertemukan kedua aspek itu dilakukan oleh R.J. Havighurst yang
menggunakan pengertian "developmental tasks" yakni tugas-tugas yang tak dapat
tiada harus dipenuhi oleh setiap anak sesuai dengan setiap taraf perkembangannya
yang dituntut oleh lingkungan atau masyarakat. Memenuhi tugas itu berarti
kebahagiaan dan sukses dalam melakukan tugas-tugas berikutnya.

Kegagalan memenuhinya berarti kesusahan bagi individu, celaan oleh
masyarakat dan kesulitan untuk tugas-tugas selanjutnya.
Developmental tasks" untuk anak-anak ialah :
1. Mempelajari kecekatan jasmani yang perlu untuk permainan-permainan biasa.
2. Membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sebagai organisme yang hidup.
3. Belajar bergaul dengan teman-temannya sebaya.
4. Mempelajari peranan sosial sebagai anak laki-laki atau perempuan.
5. Memperoleh kecakapan-kecakapan fundamental dalam membaca, menulis, dan
berhitung.
6. Membentuk pengertian-pengertian yang perlu untuk kehidupan sehari-hari.
7. Membentuk kata-hati, kesusilaan, dan skala norma-norma.
8. Mencapai kemerdekaan pribadi.
9. Memupuk sikap terhadap golongan dan lembaga-lembaga sosial.
"Developmental tasks" bagi pemuda menurut Havighurst sebagai berikut :
1. Mencapai hubungan sosial yang lebih memuaskan dan lebih matang dengan
anggota jenis kelamin lain.
2. Menerima dan mempelajari tugas atau peranan menurut jenis kelamin masing-
masing sesuai dengan norma-norma masyarakat. Anak gadis menerima dan
mempelajari tugasnya wanita dan anak laki-laki sebagai bakal bapak yang akan
bertanggung jawab atas rumah tangganya.
3. Menerima baik keadaan badannya dan menggunakannya dengan efektif.
Pemuda-pemuda ada yang bercita-cita mempunyai tampan seperti bintang film
akan tetapi keadaan jasmaninya mungkin kurang sesuai dengan idamannya itu.
Tugasnya ialah menerima bentuk badannya itu sebagaimana adanya dan
menggunakan sebaik-baiknya.
4. Memperoleh kemerdekaan emosional lepas dari kebergantungannya dari orang
tua dan orang dewasa lain, membebaskan dirinya dari sifat-sifat yang kekanak-
kanakan. Tugas ini harus telah dimulai sejak kecil. Tugas ini sering dipersulit
oleh adat istiadat, sikap orang tua, dan faktor-faktor lain.

5. Memperoleh kemerdekaan ekonomi. tugas ini terutama berlaku bagi anak pria
akan tetapi berangsur-angsur bertambah penting bagi anak-anak wanita.
6. Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu jabatan. Jabatan itu penting dalam
masyarakat dan menjamin kemerdekaan ekonomi serta memberi kedudukan
sosial.
7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Tujuannya
ialah memperoleh sikap yang positif terhadap kehidupan keluarga dan
pendidikan anak-anak.
8. Memperoleh kecakapan dan pengertian yang diperlukan untuk menjadi warga
negara yang baik, yakni pengertian tentang undang-undang pemerintah,
ekonomi, politik, lembaga-lembaga sosial, dan Iain-lain.
9. Memupuk kelakuan yang secara sosial dapat dipertanggung jawabkan, yakni
dengan turut serta dalam kehidupan masyarakat dan negara sebagai orang
dewasa dan memperhitungkan norma-norma masyarakat dan kelakuannya.
10. Memperoleh sejumlah norma sebagai pegangan untuk kelakuannya yang
digunakannya sebagai pandangan hidup untuk memahami kedudukannya di
dunia ini serta hubungannya dengan manusia lain.
"Developmental tasks" yang dikemukakan oleh Havighurst harus pula kita
selidiki kebenarannya bagi anak-anak Indonesia dan menyesuaikannya dengan
keadaan yang dihadapi oleh pemuda-pemuda dalam masyarakat kita.
Tugas-tugas yang dihadapi mereka ditentukan oleh pertumbuhan psiko-
biologis yang mungkin mempunyai dasar persamaan bagi seluruh pemuda di seluruh
dunia, tetapi juga menunjukkan perbedaan karena tuntutan masyarakat yang
berlainan di berbagai tempat.
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Seorang ahli psikologi Swiss, Jean Piaget selama 40 tahun mengadakan
penelitian tentang perkembangan intelektual atau proses berpikir anak, dari bayi
sampai masa pemuda. la antara lain menemukan bahwa anak-anak pada mulanya
masih berpikir

menurut apa yang dilihatnya, misalnya bahwa gelas yang lebih tinggi lebih
banyak isinya daripada gelas yang pendek, walaupun sebenarnya isinya sarna,
karena isi gelas tinggi dipindahkan ke dalam gelas pendek. Anak-anak haru dapat
memusatkan perhatiannya kepada satu variabel. la belum dapat melihat hubungan
antara dua variabel, tinggi dan lebar gelas, yang diperhatikannya hanya tingginya. la
juga belum dapat memahami bahwa satu objek dapat mempunyai lebih dari satu ciri
yang dapat dimasukkan dalam klasifikasi yang berbeda-beda, misalnya bahwa
seorang dapat tinggal sekaligus di Bandung dan di Jawa.
Akan tetapi proses berpikir anak berkembang terus berkat bertambahnya
pengalaman daan pengetahuannya. Pada usia sekitar 7 tahun telah tampak pemikiran
logis pada anak. la telah dapat melihat hubungan antara bagian dengan keseluruhan,
juga dapat melihat analogi. Akan tetapi pada fase pertama pemikirannya terutama
mengenai data yang konkrit. Kegiatan mentalnya ditu-jukannya kepada objek dan
kejadian yang kongkret yang langsung di hadapannya.
Pada fase berikut, sekitar usia 12 tahun ia mulai herpikir secara abstrak
dengan menggunakan generalisasi dan konsep-konsep.
Perkembangan intelektual menurut Piaget dalam garis besarnya adalah
sebagai berikut:
1. Fuse senso-motoris (bayi - 2 tahun)
- gerak refleks, koordinasi tangan - mulut, koordinasi tangan - mata,
koordinasi pengamatan alat - dria (sensory) dan gerakan (motoris),
mencari benda yang diambil dari penglihatannya, mengadakan berbagai
usaha untuk mencapai tujuan.
2. Fase pra-operasional (2 - 7 tahun)
- masalah dipecahkan dengan memikirkannya, perkembangan bahasa dan
persepsi yang cepat (2 - 4 tahun), pikiran dan bahasa bersifat ego-sentris,
subjektif, hanya dari pandangannya sendiri, orientasi menurut bagaimana
ia melihat sesuatu, mengetahui tangan kanannya, akan tetapi bukan tangan
kanan orang yang menghadapinya, pandangan animistis, memandang
benda mati seperti makhluk hidup, misalnya matahari tidur, mengacaukan
khayal dan kenyataan.

3. Fase operasional konkrit (7-11 tahun)
- memahami reversibilitas, misalnya volume air tetap, walaupun bentuk
bejana berbeda; mulai dapat berpikir mengenai masalah konkrit, berpikir
sambil memanipulasi benda; masih belum dapat memecahkan masalah
verbal yang agak kompleks.
4. Fase operasi formal (11-15 tahun)
- semua jenis masalah logis, termasuk mengemukakan dan menguji
hipotesis dapat dipecahkan; telah dapat menganalisis validitas cara-cara
berpikir; pemikiran formal masih egosentris dalam arti masih ada
kesukaran untuk menyesuaikan yang ideal dengan kenyataan.
Dengan operasi mental dimaksud mengoperasionalkan pikiran, atau pendek
kata berpikir. Adanya pembagian dalam fase-fase tidak berarti bahwa ada batas yang
tegas antara fase-fase itu. Perkembangan intelektual berjalan secara kontinu.
Faktor-faktor yang dapat membantu perkembangan intelektual antara lain :
a. kematangan, terutama pertumbuhan, namun dapat dipengaruhi.
b. pengalaman, pengaruh lingkungan.
c. transmisi sosial, apa yang diperolehnya dari lingkungan kebudayaannya,
namun perlu diolah secara mental.
d. keseimbangan, artinya bahwa bila dihadapkan dengan masalah akan
mengalami gangguan keseimbangan dan tidak akan puas sebelum masalah
dipecahkan untuk mengembalikan keseimbangannya pada taraf yang lebih
tinggi. Jika ia menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan struktur
mentalnya, ia harus mengadaptasikannya dengan membentuk struktur mental
yang lebih tinggi. Setelah itu dapat mengasimilasi hal-hal yang tercakup oleh
struktur mentalnya. Proses adaptasi dan asimilasi berjalan terus demikian
mengembangkan kemampuan intelektualnya.
PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL
Dalam garis besarnya perkembangan emosional bergerak dari kedudukaan
kebergantungan ke taraf ketidak-bergantungan atau kemandirian, dan dari perhatian
untuk diri-sendiri ke orientasi kepada orang lain.

Pack mulanya anak sangat bergantung terutama kepada orang tuanya,
khususnya ibunya, oleh sebab ia masih serba-lemah, serba tak tahu. Untuk segala
kebutuhannya ia memerlukan bantuan lingkungannya. Dengan berkembangnya
dalam bidang fisik, intelektual, dengan bertambahnya pengalamannya, lambat laun
ia lebih mampu mengurus diri sendiri. Dan akhirnya, menjelang kedewasaan dalam
banyak hal ia telah mandiri dan tak lagi banyak bergantung kepada orang tua sampai
ia dewasa dengan kemandirian penuh.
Dalam perkembangan sosialnya, ia mula-mula hanya menaruh perhatian
kepada kepentingan dan perasaannya saja. Pada usia sekolah dan sepanjang di SD,
ia berangsur-angsur menaruh perhatian kepada orang lain. Ia dapat mengikat tali
persahabatan dengan teman lain, ia mulai dapat mempengaruhi kelakuan orang lain
dan senantiasa memperluas lingkaran pesahabatannya. Perhatiannya masih banyak
terhadap orang-orang yang dekat padanya dalam keluarga.
Lambat laun, menjelang dan selama masa pubertas, ikatannya dengan teman
sebaya bertambah erat, bahkan pengaruh teman melebihi pengaruh orangtua, yang
makin merosot. Anak itu, yang mencari identitasnya sendiri serta kemandirian mulai
berkonflik dengan orangtua, apalagi bila orangtua ingin memperlakukannya seperti
sediakala. Pada scat inilah terjadi krisis identitas. Ia mulai bertanya, "Siapa saya?"
Siapa dia, bagaimana konsep dirinya banyak diperolehnya dari feedback atau reaksi
orang lain terhadap kelakuannya.
Ia selanjutnya berkembang sebagai anggota masyarakat yang lebih luas,
seperti anggota masyarakat negara dan dunia.
Ia juga harus mengembangkan diri dalam hubungannya dengan anggota jenis
kelamin lain, mengembangkan kemampuan untuk mengadakan hubungan intim dan
akrab dengan seseorang sebagai persiapan untuk membentuk rumah tangga sendiri.
Kurikulum sekolah hendaknya membantu anak dalam transisi sosial untuk
melepaskan diri dari ikatan keluarga dan pengaruh temah sebaya, untuk mencari
identitasnya sendiri serta kemandirian yang diperlukan bagi setiap orang yang
dewasa.

Perkembangan moral
Tokoh yang paling terkenal yang telah ineneliti perkembangan moral anak
ialah Lawrence Kohlberg. la memilih 50 orang, berusia antara 10-28 tahun, lalu
mewawancarai mereka tiap tiga tahun selama 18 tahun. Dalam wawancara itu anak
itu dihadapkan kepada situasi yang mengandung dilemma moral yang metnberi
kemungkinan macam-macam jawaban. Peneliti ingin mengetahui apa alasan atau
sebab anak memilih jawaban tertentu. Berdasarkan penelitian ternyata bahwa
perkembangan moral anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut urutan tertentu.
Tak mungkin seorang melompati salah satu tahap.
Kohlberg menemukan enam tingkatan dalam perkembangan moral yakni
tingkatan pra-konvensional, konvensional, pascakonvensional dan masing-masing
tingkatan terbagi dalam dua bagian.
Tingkatan pra-konvensional
Pada tingkatan ini anak telah dapat merenspons terhadap aturan dan akan
tetapi baik dan buruk diukur dari konsekuensi fisiknya berupa hukuman atau
ganjaran dan pujian yang ditentukan oleh orang yang memegang otoritas.
1. Orientasi hukuman dan kepatuhan
Sesuatu dianggap baik bergantung pada hukuman atau akibat fisik baginya
yang menyakitkan atau menyenangkan. Hukuman harus dihindari dengan
menunjukkan kepatuhan. Kepatuhan baik, karena tidak menimbulkan konsekuensi
fisikyangmerugikan.
2. Orientasi instrumental
Tindakan baik bila memberi kepuasan bagi diri atau juga bagi orang lain.
Bahkan kita berbuat baik agar orang lain baik pula kepada kita. Berhuat baik
merupakan instrumen atau alat untuk menerima kebaikan dari orang lain. Kita
menolong orang lain agar ia kelak akan menolong kita.
Tingkatan konvensional
Pada tahap ini anak ingin memelihara hubungan baik dengan orang lain,
keluarga, masyarakat, negara, menurut apa yang diharapkan, tanpa mementingkan
konsekuensinya. Apa yang diharapkan oleh orang yang dianggap sebagai sesuatu

yang berharga. Karena itu ia ingin menyesuaikan diri dengan harapanharapan
itu dengan menunjukkan kesetiaannya kepada ketentuan-ketentuan demi ketertiban
masyarakat.
3. Orientasi kerukunan antar individu
Kelakuan yang baik ialah yang menyenangkan orang lain, yang dilakukan
dengan itikad baik. Ia berkelakuan baik bukan untuk memperoleh keuntungan bagi
dirinya akan tetapi karena kebaikan itu diharapkan oleh masyarakat daripadanya.
4. Orientasi hukum dan aturan
Kelakuan yang baik ialah mematuhi dan menghormati aturan, undang-undang
dan hukum yang telah ditentukan oleh yang yang berkuasa demi ketertiban
masyarakat. Mematuhi peraturan adalah kewajiban baginya. Tingkatan pasca-
konvensional atau tingkat otonom, tingkat berprinsip.
Pada tingkatan ini individu merumuskan nilai-nilai atau prinsip-prinsip
moralnya atas pemikiran kritis serta mendalam.
5. Orientasi kontrak-sosial legalistik
Suatu tindakan dianggap baik sesuai dengan hak individu atas pemikiran yang
luas serta mendalam serta diterima baik oleh seluruh masyarakat. Bila ada
kesepakatan masyarakat mengenai prinsip tertentu, maka secara legal undang-
undang dapat diubah berdasarkan pertimbangan rasional demi kepentingan
masyarakat.
6. Orientasi prinsip etis yang universal
Tindakan dianggap benar bila dilakukan berdasarkan keputusan hati-nurani
atau kata-hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang universal seperti keadilan
sosial, kesamaan hak manusia, dan harkat manusia sebagai individu.
Tidak semua orang akan dapat mencapai tingkat moral tertinggi ini.
Kebanyakan orang hanya dapat mencapai tingkat keempat.

Secara sederhana tingkat perkembangan moral (Kohlberg) dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman.
2. Sesuaikan diri agar memperoleh pujian atau ganjaran dan agar kebaikan itu
mendapat balasan.
3. Sesuaikan diri agar mengelakkan kecaman atau kebencian orang.
4. Sesuaikan diri untuk mencegah tindakan dari orang yang berkuasa.
5. Seuaikan diri agar mendapat penghargaan dari orang yang memandangnya dari
segi kepentingan umum.
6. Sesuaikan diri agar jangan mengutuk diri sendiri. (Shaver, J.P dan Strong, W.
h.149)
Ada berbagai cara untuk mempelajari anak, antara lain :
a) mengamati dalam berbagai situasi dan lingkungan, bukan saja dalam situasi
kelas melainkan juga sewaktu bermain-main, berkaryawisata, bersandiwara dan
Iain-lain, bukan di sekolah saja, melainkan juga di luar sekolah.
b) mengadakan percakapan dengan anak, dengan orang tuanya dan dengan orang-
orang lain yang ada hubungannya dengan anak itu.
c) menggunakan test dan angket. Pada masa yang akan datang diharapkan akan ada
bermacam-macam test untuk mengenal inteligensi anak Indonesia dan segi-segi
kepribadian lainnya.
d) mempelajari anak dalam hubunganya dengan anak-anak lain dengan metode
sosiometri.
e) mengadakan catatan berkala atau anecdotal record mengenai kelakuan anak itu
dalam situasi-situasi tertentu.
f) menyelidiki hasil-hasil pekerjaan anak.
g) menyuruh anak membuat huku harian.
h) mengumpulkan segala keterangan mengenai anak itu dalam bentuk "cumulative
record" yakni pengumpulan segala keterangan mengenai anak itu, yang dimulai
pada saat ia masuk ke Taman Kanak-kanak dan terus-menerus ditambah dari
tahun ke tahun dan "menyertai" anak ke sekolah mana saja pun ia pindah.

i) mengadakan penyelidikan yang mendalam mengenai riwayat hidup dan
kelakuan anak (case study), biasanya mengenai anak yang sukar dididik. j)
mempelajari buku-buku tentang anak-anak.
RANGKUMAN
1. Pandangan tentang anak berubah secara radikal oleh Jean Jacques Rousseau.
Sejak itu anak menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam kurikulum.
Banyaktokoh pendidikan yang dipengaruhi olehnya.
2. Pendidikan harmonis mencakup perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor,
atau perkembangan intelektual, emosional, social dan fisik.
3. Anak merupakan keseluruhan dan bereaksi sebagai keseluruhan terhadap
lingkungannya.
4. Tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain daripada yang lain.
Kurikulum hendaknya memperhitungkan keunikan anak agar ia sedapat
mungkin dapat berkembang sesuai dengan bakatnya.
5. Walaupun tiap anak berbeda dengan anak lain, banyak pula persamaan antara
mereka. Maka sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua.
6. Kurikulum yang semata-mata didasarkan atas kebutuhan dan minat anak yakni
child-centered curriculum dikatakan ekstrem karena anak selalu berada dalam
masyarakatnya dan tak dapatmelepaskan diri dari tuntutan masyarakat.
7. Kebutuhan anak dapat ditinjau dari segi anak dan dari segi masyarakat. Kedua
segi ini harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum.
8. Abraham Maslow, Louis Raths, Earl Kelly mempunyai pandangan tertentu
tentang kebutuhan anak.
9. Robert Havighurst mempertemukan perkembangan individu dengan tuntutan
atau harapan masyarakat dalam konsep " developmental tasks".
10. Jean Piaget mengadakan studi yang mendalam tentang perkembangan
intelektual anak. Ia membedakan fase sensomotoris, fase pra-operasional., fase
operasional kongkret, dan fase operasional formal.
11. Lawrence Kohlberg menggunakan pola Piaget untuk mempelajari
perkembangan moral pada anak.
12. Ada berbagai cara bagi guru untuk mempelajari anak.

PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Perhatikan sekelompok anak bermain atau berkumpul. Catat perbedaan-
perbedaan yang Saudara observasi.
2. Apakah jasa Rousseau bagi pendidikan. Bandingkan pendapat Rousseau dengan
semboyan pendidikan kita "Tut Wuri Handayani".
3. Pilih salah satu anak yang tinggal dekat Saudara.
4. Apa tafsiran Saudara bahwa anak itu suatu keseluruhan. Adakah bukti Saudara.
5. Selidiki hingga mana perbedaan individual diperhatikan di sekolah kita. Cuba
pikirkan apa sebab demikian halnya.
6. Andaikata Saudara ingin memperhatikan perbedaan individual bagaimanakah
dapat melakukannya dalam pelajaran yang Saudara berikan. Kesulitan apakah
Saudara hadapi?
7. Bandingkan kebutuhan anak menurut Abraham Maslow dengan apa yang
dikemukakan Raths, dan Kelly. Adakah persamaan antara ketiga pendapat itu?
yang manakah yang paling menarik bagi Saudara? Alasannya ?.
8. Bila diperhatikan kebutuhan anak yang disebut oleh Maslow, Ratsh dan Kelly,
yang manakah yang Saudara rasa perlu diberi perhatian dalam pendidikan kita?
9. Yang manakah di antara "The Ten Imperative Needs" yang menarik bagi
Saudara yang menurut pendapat Saudara perlu dipertimbangkan dalam
kurikulum kita?
10. Sesuaikah kebutuhan pemuda seperti dikemukakan Donald Doane dengan
kebutuhan pemuda kita?
11. Bandingkan "developmental tasks" di desa dan di kota. Adakah perbedaannya?
Dalam hal apa, dan apa sebabnya?
12. Adakah Saudara lihat perbedaan "developmental tasks" dahulu dan sekarang?
Apa sebab terjadi perubahan itu?
13. Coba terapkan beberapa cara guru untuk mengenal anak.

BAB 5 PROSES PERUBAHAN DAN PERBAIKAN
KURIKULUM
MAKNA PERUBAHAN KURIKULUM
Bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat hertanya dalam arti
apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen
yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses belajar-mengajar. Kurikulum
dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan
sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya saling berkaitan. Kurikulum dapat
juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu
dan perlu direvisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi
dengan murid dalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan
sepenuhnya betapapun rincinya direncanakan, karena dala:n interaksi dalam kelas
selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan
sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya merjadi pengembang
kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan
jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang tertinggi
dalam kelakuan anak-didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungariya dengan
kepribadian guru.
Kurikulum yang formal, mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas
daripada kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil,bukan sekadar buku pedoman,
melainkan segala sesuatu yang dialami ailak dalam kelas, ruang olah raga, waning
sekolah, tempat bermain, karyawisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata
mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum
dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab
menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum di sini berarti mengubah semua
yang terlibat di dalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah,
juga orang tua dan masyarakat umumnya yang ber-kepentingan dalam pendidikan
sekolah. Dalam hal ini dikatakan, bahwa

perubahan kurikulum adalah perubahan social, curriculum change is social
change.
PERUBAHAN DAN PERBAIKAN
Perubahan tak selalu sama dengan perbaikan, akan tetapi perbaikan selalu
mengandung perubahan. Perbaikan berarti meningkatkan nilai atau mutu. Perubahan
adalah pergeseran posisi, kedudukan atau keadaan yang mungkin membawa
perbaikan, akan tetapi dapat juga memperburuk keadaan. Anak yang mula-mula tak
mengenal ganja, dapat berubah menjadi anak yang mengenalnya lalu terlibat dalam
kejahatan. Perubahan di sini tidak membawa perbaikan. Namun demikian sering
diadakan perubahan dengan maksud terjadinya perbaikan.
Perbaikan selalu dikaitkan dengan penilaian. Perbaikan diadakan untuk
meningkatkan nilai, dan untuk mengetahuinya digunakan kriteria tertentu.
Perbedaan kriteria akan memberi perbedaan pendapat tentang baik-buruknya
perubahan itu. Perubahan, sekalipun memberi perbaikan dalam segala hal bagi
semua orang. Dalam bidang kurikulum kita lihat betapa banyaknya ide dan usaha
perbaikan kurikulum yang dicetuskan oleh berbagai tokoh pendidikan yang terkenal.
Macam-macam kurikulum telah diciptakan dan banyak di antaranya telah
dijalankan. Apa yang mula-mula diharapkan, akhirnya ternyata menimbulkan
masalah lain, sehingga kurikulum itu ditinggalkan atau diubah. Ada masanya
pelajaran akademis yang diutamakan, kemudian tampil anak sebagai pusat
kurikulum, sesudah itu yang dipentingkan ialah masyarakat, akan tetapi timbul pula
perhatian baru terhadap pengetahuan akademis. Namun demikian, dalam sejarah
pendidikan, tak pernah sesuatu kembali dalam bentuk aslinya. Biasanya yang lama
itu timbul dalam bentuk yang agak lain, pada taraf yang lebih tinggi. Misalnya, bila
dalam pelajaran akademis diutamakan hafalan fakta dan informasi, kemudian
diutamakan prinsip-prinsip utama. Bila pada ketika kurikulum sepenuhnya
dipusatkan pada anak, kemudian disadari bahwa tak dapat anak hidup di luar
masyarakat. Disadari bahwa dalam kurikulum tak dapat diutamakan hanya satu
aspek saja, akan tetapi semua aspek : anak, masyarakat, maupun pengetahuan secara
berimbang.
BAGAIMANA TERJADINYA PERUBAHAN

Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni fase
inisiasi, yaitu taraf permulaan ide perubahan itu dilancarkan, dengan menjelaskan
sifatnya, tujuan, dan luas perubahan yang ingin dicapai, fase legitimasi, saatnya
orang menerima ide itu dan fase kongruensi, saat orang mengadopsinya, me-
nyamakan pendapat sehingga selaras dengan pikiran para pencetus, sehingga tidak
terdapat perbedaan nilai lagi antara penerima dan pencetus perubahan.
Untuk mencapai kesamaan pendapat, berbagai cara yang dapat digunakan,
misalnya motivasi intrinsik dengan janji kenaikan gaji atau pangkat, memperoleh
kredit, dapat juga, paksaan keras atau halus, dengan menggunakan otoritas atau
indoktrinasi. Dapat juga dengan membangkitkan motivasi intrinsik dengan
menjalankan sikap ramah, akrab, penuh kesabaran dan pengertian, mengajak turut
berpatisipasi, mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan bersama.
Perubahan akan lebih berhasil, bila dari pihak guru dirasakan kekurangan dalam
keadaan, sehingga timbul hasrat untuk memperbaikinya demi kepentingan bersama.
Perubahan yang terjadi atas paksaan dari pihak atasan, biasanya tidak dapat bertahan
lama, segera luntur dan hanya diikuti secara formal dan lahiriah. Menjadikan
perubahan sebagai masalah, melibatkan semua yang terlibat dalam perumusan
masalah, pengumpulan data, menguji alternatif, dan selanjutnya mengambil
kesimpulan berdasarkan percobaan, dianggap akan lebih mantap dan meresap dalam
hati guru. Akan tetapi karena prosedur ini makan waktu dan tenaga yang banyak,
dan selain itu diinginkan perubahan yang uniform di semua sekolah, maka sering
dijalankan cara otoriter, indoktrinatif, tanpa mengakui kemampuan guru untuk
berpikir sendiri dan hanya diharuskan menerima saja. Cara ini efisien, namun dalam
jangka panjang tidak efektif Dan bila ada perubahan atau perbaikan baru, yang lama
ditinggalkan saja tanpa membekas.
PERUBAHAN GURU
Perubahan kurikulum tak akan dapat dilaksanakan tanpa perubahan pada guru
sendiri. Seperti manusia lainnya, guru juga sering tidak mudah berubah, karena telah
biasa dengan cara-cara yang lama. Setiap perubahan akan dapat mengganggu
ketenteramannya. Guru cenderung bersifat konservatif, sebab

tugasnya terutama untuk melestarikan kebudayaan dengan menyampaikannya
kepada generasi muda.
Namun apabila ia merasa ketidakpuasan dengan keadaan, maka ia mencari
cara baru untuk mengatasi kekurangan yang dirasakannya pada dirinya dan dalam
situasi pendidikan. Pada saat itu ia terbuka bagi perubahan. Bila ia memperoleh
informasi melalui ceramah atau bacaan, maka ia dapat memperoleh pandangan baru
tentang pendidikan. Ia melihat situasi dengan mata lain. Timbul padanya kebutuhan
dan motivasi untuk menerima perubahan yang dapat memberi perbaikan. Seorang
yang ingin melancarkan perubahan, harus berusaha menimbulkan kebutuhan itu
pada guru-guru. Selain itu ia jangan bertindak sebagai orang yang serba tahu yang
akan mengubah kelakuan guru. Hendaknya ia sebanyak mungkin melibatkan guru
dalam proses perubahan itu. Ia dapat bersama guru merumuskan masalah yang
dihadapi yang akan dipecahkan bersama, mencari hipotesis atau alternatif,
mengumpulkan data, mengambil keputusan, menguji-cobakannya dan
mengevaluasinya. Perubahan hendaknya disertai pengalaman yang kongkret. Dalam
proses itu hendaknya selalu diusahakan komunikasi terbuka, sehingga guru-guru
bebas mengemukakan pendapatnya. Walaupun petugas itu mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi, hendaknya ia hati-hati menggunakan kekuasaan dan
kewibawaannya.
Ia juga menentukan bagaimana memandang guru, apakah sebagai orang yang
kurang terdidik yang memerlukan latihan, atau makhluk psikologis yang dapat
dibujuk, atau sebagai makhluk ekonomis yang harus diberi insentif, uang, atau
sebagai pegawai yang dapat dipaksa agar patuh, ataukah sebagai seorang profesional
yang bertanggung jawab atas mutu profesinya, atau sebagai makhluk rasional yang
dapat diajak berpikir dalam memecahkan masalah bersama. Sikap petugas
pembaharu banyak berpengaruh atas kemantapan perubahan yang diinginkan.
Guru adalah tokoh utama dalam kelasnya. Ia akan menentang perubahan yang
akan mengurangi kedudukannya. Metode yang meniadakan peranan guru dan
terutama didasarkan atas bahan yang telah tersusun, tidak akan diterima guru

dengan senang hati. Juga perubahan yang meminta pengorbanan tenaga,
waktu, dan pikiran akan menemui pertentangan. la hendaknya diakui sebagai
manusia.
Orang yang berperan sebagai pengubah kurikulum hams dapat bekerja-sama,
harus dapat mempengaruhi orang dan memberi inspirasi. la harus mempunyai
sensitivitas sosial, terbuka bagi pikiran orang lain dan terbuka bagi perubahan. Akan
tetapi ia harus seorang profesional, namun rendah hati dan tidak memamerkan
pengetahuannya.
MENGUBAH LEMBAGA ATAU ORGANISASI
Mengubah lembaga atau organisasi menghadapi kesulitan lain. Tiap organisasi
mempunyai struktur sosial tertentu. Tiap orang mempunyai status tertentu dan
menjalanakan peranan tertentu yang memberinya harga diri atau kekuasaan.
Mengadakan dalam struktur itu dapat mengancam kedudukan seseorang. Sering
pula organisasi itu mempunyai hierarki yang ketat, mengikuti prosedur yang tetap.
Untuk mengadakan perubahan, harus diketahui dan dipertimbangkan keadaan yang
ada.
Menurut para ahli dalam "social engineering" dalam usaha mengadakan
perubahan dapat dilalui empat Iangkah, yakni 1, menganalisis situasi, 2.
menentukan perubahan yang perlu diadakan, 3. mengadakan perubahan itu, dan 4.
memantapkan perubahan itu.
Sikap orang terhadap perubahan berbeda-beda. Ada yang bersedia
menerimanya, ada yang menentangnya terang-terangan atau diam-diam, ada pula
yang acuh-tak-acuh. Ada yang ikut-ikutan tanpa komitmen, ada yang ikut sekadar
mengamankan diri karena takut bila ia mendapat tindakan. Hendaknya dicegah
timbulnya popularisasi, yaitu dua pihak yang bertentangan. Perubahan hanya dapat
berhasil bila semua bekerja-sama. Diusahakan mengenal daya-daya yang membantu
dan menghalangi perubahan itu dan diadakan usaha untuk memperkuat daya-daya
yang menyokong sambil melemahkan, melumpuhkan bahkan meniada-kan daya-
daya yang menghambat. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan dan kepekaan sosial.

Semua harus menyadari adanya masalah yang dihadapi serta kemungkinan
untuk mengadakan perubahan. Diusahakan agar semua menaruh minat terhadap
usaha itu. Diberi waktu untuk membicarakan dan memikirkan makna perubahan itu
bagi lembaga atau organisasi dan dengan percobaan itu bagi lembaga atau organisasi
dan dengan percobaan mempraktikkannya memperlihatkan manfaat perubahan itu.
Bila timbul keyakinan akan kebaikan perubahan itu, maka besar harapan akan
diterima dan digunakan untuk masa selanjutnya.
KELAMBANAN PERUBAHAN DALAM PENDIDIKAN
Dibandingkan dengan bidang pertanian, perubahan dalam pendidikan berjalan
dengan lamban sekali. Praktik-praktik yang telah dijalankan ratusan tahun yang lalu
masih berlaku, sedangkan cara-cara yang baru sangat sukar diterima dan
membudaya. Dapat disebut beberapa sebab kelambanan itu. Pertama, pendidikan,
termasuk kurikulum belum cukup mempunyai dasar ilmiah. Belum dapat
diramalkan dengan pasti apa yang akan terjadi bila dijalankan metode tertentu.
Terlampau banyak variabel yang mempengaruhi hasil suatu tindakan pendidikan.
Setiap metode, demikian pula tiap kurikulum, betapapun banyak kebaikannya,
mempunyai sejumlah kelemahan. Kedua, pendidikan, termasuk kurikulum, tidak
mempunyai petugas tertentu, yang bersedia memberi bantuan kapan saja diperlukan,
seperti halnya dalam bidang pertanian yang menyediakan petugas lapangan. Juga
Kanwil tidak menyediakan petugas yang bersedia dipanggil kapan saja guru atau
sekolah memerlukan bantuannya guna mengatasi kesulitan yang dihadapi berkenaan
dengan pelaksanaan kurikulum. Ketiga, guru atau siapa saja yang mengadakan
perbaikan, tidak mendapat insentif dan hanya menerima penghargaan fmansial
berupa gaji seperti guru lain yang hanya mengikuti tradisi. Keempat, kebanyakan
guru mempertahankan cara-cara lama yang telah teruji dan telah dikenalnya dengan
baik dan dijalankan secara rutin. Kelima, kurikulum yang uniform menghambat
ruang gerak guru untuk mengadakan perubahan dan menimbulkan kesan,
seakanakan tiap penyimpangan dari apa yang telah ditentukan dalam pedoman
kurikulum akan dianggap sebagai pelanggaran. Akan tetapi seperti telah
dikemukakan di atas, betapapun rincinya kurikulum ditentukan oleh pusat, selalu
cukup banyak kesempatan bagi guru untuk berperan sebagai pengembang
kurikulum. Tentu saja diharapkan agar guru-

guru lebih banyak diberi peluang untuk mencari cara-cara baru atau lebih
menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan murid dan lingkungan. Pengawasan
yang terlampau ketat dari atasan akan menghambat berkembangnya inisiatif dan
kreativitas guru dan merendahkannya menjadi sekadar tukang yang banyak bekerja
secara otomatis dan rutin, padahal mengajar itu selalu merupakan "adventure" penuh
rahasia yang menarik untuk dipikirkan.
TINGKAT PERUBAHAN
Peruhahan kurikulum dapat kecil dan sangat terbatas, dapat pula luas dan
mendasar. Perubahan itu dapat berupa : I . substitusi, 2. alterasi, 3. variasi, 4.
restrukturiSasi, dan 5. orientasi baru.
Substitusi dapat berupa mengganti buku pelajaran, misalnya IPS dengan buku
karangan orang lain yang dianggap lebih baik. Jadi di sini perubahan itu sangat kecil
hanya mengganti atau menukar buku pelajaran. Alterasi juga berarti perubahan,
dalam hal ini misalnya menambah atau mengurangi jam pelajaran untuk bidang
studi tertentu, yang dapat mempengaruhi jam pelajaran bidang studi lain.. Perubahan
ini lebih sulit diadakan dibanding dengan substitusi, karena perlu diyakini apa sebab
perlu jam pelajaran ditambah, sedangkan di pihak lain dikurangi waktunya. Dengan
variasi dimaksud menerima metode yang berhasil di sekolah lain untuk dijalankan di
sekolah sendiri, dengan meniadakan yang lama. Perubahan serupa ini memerlukan
perubahan pada guru yang hams mempelajari dan menguasai cara baru itu.
Perubahan ini lebih sulit lagi dibandingkan dengan perubahan sebelumnya. Lebih
banyak risikonya ialah restrukturisasi, misalnya menjalankan team teaching, yang
memberi peranan baru kepada guru dan memerlukan tenaga dan fasilitas baru. Dan
akhirnya, perubahan yang paling besar risikonya ialah bila dituntut orientasi nilai-
nilai baru, misalnya peralihan dari kurikulum . yang "subject-centered" menjadi
"unit approach", atau kurikulum yang berpusat pada pengetahuan akademis menjadi
kurikulum yang berpusat pada anak atau macam-macam pendekatan lain dalam
kurikulum.
STUDI TENTANG KEBERHASILAN PERUBAHAN KURIKULUM
Othanel Smith dan D. Orlosky mempelajari berbagai perubahan dan
pembaruan kurikulum dalam 80 tahun akhir-akhir ini di Amerika Serikat, yakni

yang terjadi sebelum dan sesudah 1950. Keberhasilan perubahan atau pembaruan
mereka beda penilaian 1 sampai 4. Nilai 1 berarti bahwa ide pembaruan itu tidak
dilaksanakan di sekolah dan sukar dicari realisasinya di sekolah. Nilai 2 artinya,
bahwa perubahan itu tidak diterima secara meluas, namun mempunyai pengaruh
terhadap pendidikan. Nilai 3 artinya perubahan dan nilai 4 menunjukkan bahwa
perubahan itu telah berhasil memasuki semua sekolah, jadi telah membudaya.
Ternyata bahwa kurikulum seperti Core curriculum, Creative education,
Thirty school experiment, hanya berupa ide akan tetapi tidak ada perwujudannya di
sekolah. Juga Activitiy Curriculum, Community school, Sex education dan Unit
method kurang mendapat "pasaran". Sebaliknya Driver education, Elective System,
Environmental education, Safety education dan Vocational and technical education
pada umumnya diterima baik oleh kebanyakan sekolah.
Apa sebab ada yang diterima sedangkan ada pula yang kebanyakan ditolak?
Ternyata menambah atau mengurangi mata pelajaran lebih mudah diterima daripada
reorganisasi seluruh kurikulum. Misalnya Driver education, Environmental
education, Vocational and technical education dapat diterima dengan mudah,
sedangkan Thirty school experiment yang mengharuskan perom-bakan kurikulum
secara menyeluruh hanya tinggal cita-cita yang tak berwujud. Merombak kurikulum
mengandung banyak risiko tanpa jaminan akan berhasil baik.
Perubahan tidak akan diterima atau bertahan lama, bila kurang dukungan dari
masyarakat, seperti halnya dengan Sex education, atau mendapat tantangan dari
pihak guru, karena mengurangi .atau menghilangkan kekuasaan guru, atau
mengubah peranannya. Atau, bila terlampau banyak tuntutan, pikiran, tenaga, waktu
dan pengorbanan dari pihak guru, seperti Activity curriculum, Community school,
Creative education atau Core curriculum.
Selain itu, perubahan kurikulum hendaknya menyesuaikan diri dengan
"kebudayaan" guru, yaitu cara mereka lazimnya berpikir dan berbuat, selain dengan
kebudayaan masyarakat. Penelitian dan perkembangan ternyata tidak

efektif dalam perubahan kurikulum. Perubahan harus responsif terhadap
kebu-tuhan dan kemampuan guru.
Dalam perubahan kurikulum kepala sekolah memainkan peranan yang sangat
penting, karena dialah yang mempunyai kekuasaan dan kewibawaan dan
kepemimpinan untuk melancarkan, melanjutkan, dan memantapkan perubahan. Juga
bahan pelajaran seperti paket pelajaran, pusat alat instruksional dapat mem-beri
sumbangan dalam perubahan kurikulum. Selain itu penataran atau mengikuti kuliah
di perguruan tinggi untuk mengikuti perkembangan pengetahuan dalam disiplin
tertentu, demikian juga inservice education dan pengembangan staf, dapat memberi
bantuan masing-masing dalam perubahan kurikulum.
BEBERAPA PETUNJUK TENTANG PROSES PERUBAHAN
KURIKULUM
Di bawah ini diberi sejumlah saran-saran singkat tentang Iangkah-langkah
dalam proses mengubah kurikulum :
1. Pupuklah suasana dan kondisi kerja yang serasi. Suasana kerja harus memberi
kesempatan bagi peserta untuk mengeluarkan buah pikirannya secara bebas.
Saran-saran mereka harus diperhatikan. Mereka harus diikutsertakan dalam
merumuskan dan memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Keberhasilan
perubahan bergantung pada kualitas dan kuantitas para peserta. Ada kalanya
diperlukan bantuan dari orang lain, misalnya dari Kanwil atau Perguruan Tinggi
Perlu disediakan sumber dan bahan yang diperlukan. Hen-daknya dijauhi hal-hal
yang dapat mengganggu.
2. Berikan waktu yang cukup, jangan terlampau cepat, jangan pula terlampau
lambat. Mendesak agar cepat bekerja akan cepat menghasilkan pekerjaan yang
tergesa-gesa dan tidak cermat. Pelaksanaan perubahan memerlukan waktu. Ada
kalanya untuk suatu program, misalnya perbaikan pengajaran bahasa, diperlukan
waktu 3-4 tahun.
3. Tentukan kegiatan yang sesuai, misalnya ada yang lebih serasi bila dilakukan
oleh panitia, kelompok studi, workshop, konperensi, seminar, dapat pula
mengadakan wawancara, observasi, demonstrasi, atau menggunakan alat-alat
seperti tape-recorder, TV, dan Iain-lain.

4. Tentukan prosedur penilaian dalam tiap usaha perubahan. Evaluasi dimaksud
untuk memperoleh gambaran tentang taraf tercapainya tujuan. Setelah
dirumuskan tujuan perubahan, hams segera ditentukan cara menilai hingga mana
tercapainya tujuan itu. Baru kemudian ditentukan kegiatan-kegiatan untuk
mencapai tujuan itu.
PROSES PERBAIKAN KURIKULUM
Seperti telah dikemukakan, kurikulum bermacam-macam tafsirannya. Pada
satu pihak, kurikulum dipandang sebagai buku pedoman dan wewenang untuk
mengembangkannya ialah pusat, kementerian Depdikbud. Yang dihasilkan ialah
suatu kurikulum nasional yang menentukan garis-garis besar apa yang harus di-
ajarkan kepada murid-murid. Di pihak lain, kurikulum dapat ditafsirkan sebagai
segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan sekolah yang mempengaruhi perubahan
kelakuan para siswa dengan berpedoman pada kurikulum yang ditentukan oleh
Pemerintah. Dalam arti terakhir ini, perbaikan kurikulum terutama tergantung pada
guru. Dialah menentukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kelasnya. Dalam
posisi itu boleh dikatakan ialah pengembang kurikulum, dan ada tidaknya perbaikan
pengajaran dalam kelasnya bergantung pada ada tidaknya usaha guru.
Tak semua guru sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum,
karena ia memandang dirinya sekadar sebagai pelaksana kurikulum, yang berusaha
jangan menyimpang sedikit pun dari ketentuan dari atasan. Apa yang ditentukan
oleh atasanya sebenarnya masih jauh dari lengkap. Yang diberikan terutama garis-
garis besarnya, dan kalaupun dirincikan, mustahil meliputi kegiatan guru-siswa
sampai hal yang sekecil-kecilnya. Kurikulum sekolah kita, menentukan hanya
sampai tujuan instruksional umum, TIU. Yang merumuskan TIK-nya ialah guru.
Bahan pelajaran juga hanya pokok-pokoknya, masih banyak yang harus dilengkapi
guru. Demikian pula, metode yang dianjurkan sangat terbatas dan tidak spesifik.
Banyak lagi kesempatan bagi guru untuk secara kreatif memilih dari sejumlah besar
metode, strategi, atau model mengajar yang tersedia. Penilaian formatif dan sumatif
untuk pelajaran yang diajarkan guru, sepenuhnya dalam tangan guru. Ia tidak terikat
pada test tertulis, akan tetapi dapat men-

jalankan penilaian yang lebih komprehensif yang meliputi aspek emosional,
moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. la dapat menilai kemampuan kognitif
pada tingkat mental yang jauh lebih tinggi daripada yang dapat diukur dengan
Ebtanas. Dialah yang dapat menilai aspek-aspek kepribadian anak. Ialah yang
berada dalam posisi strategis untuk mengenal perkembangan anak, fisik, mental,
etis, estetis, sosilal, dan Iain-lain.
Antara kurikulum nasional yang dijadikan pedoman sampai perubahan
kelakuan anak, masih terdapat jarak yang cukup luas, yang memerlukan pemikiran,
kreativitas, dan kegiatan guru. Dalam hal inilah ia harus sadar akan fungsinya
sebagai pengembang kurikulum. Fungsi ini tentu harus lebih disadari kepala sekolah
yang bertanggung-jawab atas pendidikan di seluruh sekolahnya dan seyogianya
berusaha sedapat mungkin mengadakan perbaikan kurikulum sekolahnya Tiap
sekolah berbeda dengan sekolah lain, walaupun berada di kota yang sama,apalagi
sekolah di daerah lain yang berbeda sifat geografi dan sosial-ekonominya. Dan tiap
guru berbeda pribadinya dengan guru lain. Juga muridnya menunjukkan ciri-ciri
khas yang mungkin bertukar dari tahun ke tahun.
Pada umumnya guru kita masih belum menyadari peranannya sebagai
pengembang kurikulum. Kurikulum kita uniform di samping usaha untuk sedapat
mungkin mengatur apa yang harus dilakukan oleh guru sampai yang sekecil-
kecilnya. Meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam
pendekatan. Pertama, menyusun paket pelajaran sedemikian rupa, sehingga guru
hanya berperan untuk mengatur distribusi bahan itu menurut kecepatan anak.
Pelajaran itu dapat berupa modul atau pelajaran berprograma. Pendekatan kedua
ialah meningkatkan mutu guru sehingga mampu menjalankan bahkan
memperbaikinya bila ada kelemahannya. Pendekatan pertama sangat mahal selain
banyak kekurangannya. Pendekatan kedua memerlukan guru yang profesional,
berkompetensi tinggi, guru yang berjiwa dinamis dan terbuka bagi pembaruan.
Pendekatan ini pun tak mudah dijalankan karena menuntut kualitas guru yang tinggi
yang masih belum terpenuhi pada saat ini.
Kurikulum yang uniform dapat menjadi alasan bagi guru untuk menjauhi
inisiatif perbaikan dan hanya menunggu instruksi dari pihak atasan. Sebaliknya

atasan yang tidak merangsang guru untuk bersifat dinamis dan memberi
kesempatan serta dorongan untuk mencobakan perbaikan atas pemikiran sendiri dan
tidak turut serta dalam usaha perbaikan dan penyesuaian dengan keadaan setempat,
cenderung mematikan kreativitas guru.
Kurikulum tak kunjung sempurna dan senantiasa dapat diperbaiki. Bahan
segera usang karena kemajuan zaman, pelajaran hams memperhatikan perbedaan
individu dan mencari relevansi dengan kebutuhan setempat, dan sebagainya. Bila
kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah, kita harus memperhatikan sejumlah
dasar-dasar pertimbangan, agar usaha itu berhasil baik, antara lain :
• Mengetahui tujuan perbaikan
• Mengenal situasi sekolah
• Mengetahui kebutuhan siswa dan guru
• Mengenal masalah yang dihadapi sekolah
• Mengenal kompetensi guru
• Mengetahui gejala sosial
• Mengetahui perkembangan dan aliran dalam kurikulum
Mengetahui Tujuan Perbaikan.
Langkah pertama ialah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya ingin
dicapai, bagaimana cara mencapainya, bagaimana melaksanakannya, apakah perlu
dicari proses belajar-mengajar baru, sumber belajar apa yang diperlukan, bagaimana
mengorganisasi bahan itu, bagaimana menilainya, bagaimana me-manfaatkan
balikannya. Ada kemungkinan, tujuannya harus diperjelas atau diubah, demikian
pula desain perbaikan atau implementasinya dan metode penilaiannya. Jadi
perbaikan kurikulum tak kunjung berakhir dan bergerak terus. Kurikulum bukan
benda mati akan tetapi sesuatu yang hidup mengikuti perkembangan zaman.
Mengenal Keadaan Sekolah.
Sering guru-guru tidak mengenal betul situasi sekolah yang sebenarnya,
misalnya kurang mengenal potensi guru, sumber belajar yang tersedia di sekolah
atau lingkungan, kurang mengenal keadaan masyarakat lingkungan, tidak mengenal
sejarah perkembangan sekolah atau memahami kurikulum sekolah

sebagai keseluruhan serta hubungannya dengan instansi lain, atau bantuan
yang dapat diperoleh, misalnya dari staf perguruan tinggi, termasuk IKIP.
Mempelajari Kebutuhan Murid Dan Guru.
Agar ada dorongan untuk memperbaiki kurikulum harus disadari adanya
kesenjangan antara keadaan yang nyata dengan apa yang diharapkan oleh kurikulum
resmi atau apa yang diinginkan siswa dan guru. Mengetahui kebutuhan itu
merupakan titik tolak bagi usaha perbaikan. Tujuan pendidikan seperti diharapkan
Pemerintah dapat memberi dorongan untuk mengadakan perubahan dalam keadaan
sekarang yang dirasa tidak memuaskan. Untuk melaksanakan perbaikan itu perlu
diadakan studi yang lebih luas guna memperoleh data lain yang dirasa perlu. Data
tentang siswa, keadaan siswa secara keseluruhan, macam-macam golongan etnis,
jumlah penerimaan, lulusan dan putus sekolah, hasil belajar, perkembangan fisik,
sosial, moral, intelektual, keadaan rumah tangga, kebudayaan masyarakat anak,
nilai-nilai dan harapan masa depan, cara murid belajar, konsep-diri anak, bahan
pelajaran, proses belajar-mengajar, relevansi kurikulum, dan sebagainya. Dalam
semua hal itu mungkin terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu mendapat
perhatian.
Untuk memperoleh data dapat digunakan test tertutup dan terbuka,
wawancara, angket, sosiometri, analisis pekerjaan murid, observasi, dan Iain-lain.
Juga dapat diadakan brainstorming dengan guru, orangtua atau murid untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan dalam pendidikan di sekolah. Untuk mengetahui
kebutuhan mana yang dirasa paling penting untuk diatasi, dapat diminta guru
mengadakan ranking untuk kemudian didiskusikan selanjutnya dan memilih yang
dirasa paling urgen. Suatu masalah ialah, apakah guru-guru memang ingin
mengadakan perbaikan yang dianjurkan, bagaimanakah menyisipkan perbaikan itu
kedalam kurikulum resmi, apakah perbaikan itu sungguh-sungguh mengenai inti
persoalan ataukah hanya menyinggung gejalanya.
Mengenal Masalah Yang Dihadapi Sekolah.
Sebaliknya yang dijadikan fokus perbaikan ialah masalah-masalah yang
dihadapi guru dalam pekerjaannya sehari-hari, yang sering berkenaan dengan
metode mengajar, memperhatikan perbedaan individual, memilih bahan pelajaran

yang lebih serasi, organisasi kelas, fasilitas yang membantu proses belajar-
menga-jar, cara meningkatkan motivasi siswa belajar, dan Iain-lain. Masalah juga
dapat berasal dari rnurid, orangtua, masyarakat atau pemerintah.
Masalah yang dipilih hendaknya jangan terlampau luas sehingga sukar
dikendalikan. Sebaliknya jangan pula terlampau sempit sehingga tak bermakna.
Masalah yang dianjurkan oleh pihak luar, mungkin tidak dirasa relevan, tidak prakis
oleh guru dan tidak akan mendapat dukungan.
Jika telah ditentukan dan disetujui masalah perbaikan yang akan dikerjakan,
masalah itu dapat diperlukan sebagai cara pemecahan masalah pada umumnya,
yakni merumuskan masalahnya, menentukan hipotesis, mengumpulkan data,
mencobakannya apakah benar hipotesis itu, mengambil kesimpulan,
mengimplementasikannya, menilai untuk mcmperoleh balikan, mengadakan pe-
rubahan, dan seterusnya sampai tercapai hasil yang memuaskan.
Mengenal Kompetensi Guru.
Untuk memperbaiki kurikulum perlu diketahui kompetensi guru sebagai
partisipan dalam pengembangannya, pengetahuan mereka tentang seluk-beluk
kurikulum, bahan pelajaran, proses mengajar-belajar, psikologi anak, sosiologi, dan
sebagainya, selain kompetensi umum, seperti kemampuan membuat perencanaan,
kemampuan untuk mencetuskan ide-ide baru, kemampuan mem-pertemukan
pandangan yang bertentangan, serta memupuk suasana yang menyenangkan,
kemampuan bekerja-sama untuk menghasilkan pekerjaan yang bermutu,
kemampuan untuk mengarahkan dan mengkoordinasi, kemampuan menganalisis
situasi dan menafsirkan perbuatan, kemampuan memilih dari sejumlah alternatif,
kemampuan mengadakaan eksperimen dan penelitian, kemampuan untuk
menanyakan pertanyaan yang relevan, kemampuan menyatakan pikiran secara lisan
dan tulisan, serta menggunakan alat, seperti komputer.
Mengenal Gejala Sosial.
Perbaikan kurikulum dapat berasal dari desakan dari dalam dunia pendidikan,
maupun dari luarnya. Dari dalam pendidikan dorongan ke arah perbaikan dapat
bersumber dari guru, kepala sekolah, rnurid, dapat juga dari

penilik sekolah atau dari kementerian. Tiap guru mengalami hal-hal yang tidak
memuaskan yang perlu diperbaikinya. Murid-murid pun mempunyai sejumlah
keluhan tentang kekurangan yang dirasakannya tentang sekolah. Kepala sekolah
sudah sewajarnya mencita-citakan sekolah yang baik. Pemilik sekolah dalam
kunjungannya tentu akan memberi sejumlah saran ke arah perbaikan kurikulum.
Juga dari pihak luar datang usul-usul perbaikan sekolah, karena tiap orangtua
mengharapkan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anaknya. Orangtua pada
umumnya belum menyadari sepenuhnya peran mereka dalam perbaikan sekolah.
Namun suara masyarakat tentang pendidikan sering dicetuskan melalui koran dan
mass media lainnya. Perguruan tinggi juga dapat menunjukkan keluhannya tentang
mutu lulusan SMA dan konsumer para lulusan lembaga pendidikan merasakan
kekurangan dalam tenaga kerja.
Tak semua keluhan itu dapat dipenuhi. Lagi pula keluhan itu perlu
dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh sebab tidak tiap keluhan
mempunyai dasar yang kuat yang didukung oleh fakta. Namun adanya keluhan itu
seharusnya mendorong para pendidik untuk menilai diri sendiri dan berusaha
memperbaikinya. Hingga kini, pada umumnya para pendidik, khususnya guru-guru
belum berani mengambil inisiatif mengadakan perbaikan sendiri, lalu membiarkan
keadaan berlangsung, sampai pada suatu saat lahir kurikulum baru, yang belum
tentu memberi perbaikan. Kurikulum yang barn sama sekali cenderung
melenyapkan segala kebaikan kurikulum yang lampau. Bila kurikulum diperbaiki
secara kontinu, tak perlu diambil risiko besar untuk mengadakan pembaruan total
yang dapat menimbulkan goncangan besar di kalangan guru-guru. Kurikulum yang
baik tidak diperoleh sekaligus dengan adanya kurikulum yang baru sama sekali.
Kurikulum harus dibangun terus menerus, sedikit demi sedikit yang lazim disebut
sebagai "broken front". Tak dapat kurikulum serentak diperbaiki dalam segala
"front". Misalnya, guru suatu bidang studi yang dinamis dapat memperbaiki
pengajaran hidang studinya, yang mungkin tidak dilakukan guru bidang studi
lainnya. Demikian juga suatu sekolah yang "favorit" karena mutunya, dapat lebih
meningkatkannya lagi, tanpa menunggu kemajuan sekolah lain yang ketinggalan.
Masing-masing sekolah dapat berusaha mencapai

"excellence", keunggulan dan tiap guru dapat mengusahakan tercapainya mutu yang
senantiasa meningkat. Perlombaan sehat antara sekolah dalam peningkatan mutu
hendaknya jangan dihalangi. Sekolah yang ketinggalan dalam hal tertentu dapat
belajar dari sekolah yang telah maju. Kurikulum yang uniform mengenal standard
minimal tidak menghambat mencapai mutu yang setinggi-tingginya.
Mengetahui Aliran-aliran Dalam Pengembangan Kurikulum.
Kurikulum adalah bidang yang subur bagi penelitian. Banyak buku dan
karangan terbit berkenaan dengan studi tentang kurikulum. Berbagai aliran timbul
untuk mencari alternatif baru sebagai reaksi terhadap praktik kurikulum yang
berlaku sekarang. Tiap aliran mengandung hal-hal yang positif yang dapat
memperluas pandangan guru tentang kurikulum yang dapat mendorongnya untuk
menerapkannya sejauh itu mungkin. Ide-ide baru dapat menjadi pokok diskusi di
kalangan guru, asal diadakan waktu khusus oleh kepala sekolah untuk
membicarakan kurikulum sekolah secara berkala.
Tak semua aliran baru dalam kurikulum dapat diterapkan. Banyak di
antaranya yang hanya berupa ide saja tanpa direalisasikan. Namun ada saja
kemungkinan mengambil aspek-aspek tertentu yang dapat memberikan perbaikan
dalam rangka kurikulum yang berlaku. Biasanya guru tidak berpegang secara ketat
pada satu pola kurikulum tertentu. Biasanya ia bersifat eklektik, memilih apa yang
dirasanya bermanfaat bagi tujuan tertentu. Ia dapat pada suatu saat menggunakan
teori belajar S-R mematuhi PPSI dan sesaat lagi menerapkan pendekatan proses
yang berdasarkan teori belajar Gestalt. Maka karena itu guru dapat membukakan
diri terhadap berbagai aliran dalam pengembangan kurikulum.
LANGKAH-LANGKAH DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM DI
SEKOLAH
Agar usaha perbaikan kurikulum di sekolah dapat berhasil baik hendaknya
diperhatikan langkah-langkah yang berikut:
- Adakan penilaian umum tentang sekolah, dalam hal apa sekolah itu lebih baik atau
lebih rendah mutunya daripada sekolah lain, adanya diskrepansi antara
kenyataan dengan apa yang diharapkan berbagai pihak, sumber-sumber yang
tersedia atau tidak tersedia, dan Iain-lain.

- Selidiki berbagai kebutuhan, antara lain kebutuhan siswa, kebutuhan guru, dan
kebutuhan akan perubahan dan perbaikan.
- Mengidentifikasi masalah serta merumuskannya, yang timbul berdasarkan studi
tentang berbagai kebutuhan yang tersebut di atas lalu memilih salah satu yang
dianggap paling mendesak.
- Mengajukan saran perbaikan, sebaiknya dalam bentuk tertulis, yang dapat
didiskusikan bersama, apakah sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku,
menilai maknanya bagi perbaikan sekolah dan menjelaskan makna serta im-
plikasinya.
- Menyiapkan desain perencanaannya yang mencakup tujuan, cara mengevaluasi,
menentukan bahan pelajaran, metode penyampaiannya, percobaan, penilaian,
balikan, perbaikan, pelaksanaan, dan seterusnya.
- Memilih anggota panitia, sedapat mungkin sesuai dengan kompetensi masing-
masing.
- Mengawasi pekerjaan panitia, biasanya oleh kepala sekolah.
- Melaksanakan hasil panitia oleh guru dalam kelas. Oleh sebab pekerjaan ini
tidak mudah, kepala sekolah hendaknya senantiasa menyatakan penghargaannya
atas pekerjaan semua yang terlibat dalam usaha perbaikan ini.
- Menerapkan cara-cara evaluasi, apakah yang direncanakan itu dapat
direalisasikan. Apa yang indah di atas kertas, belum tentu dapat diwujudkan.
- Memantapkan perbaikan, bila ternyata usaha itu berhasil baik dan dijadikan
pedoman selanjutnya.
Pada taraf permulaan hendaknya diambil suatu proyek yang sederhana, yang
besar harapannya dapat dilaksanakan dengan baik. Ketidakberhasilan akan
menimbulkan kekecewaan dan keengganan untuk mengadakan perbaikan di masa
mendatang. Perlu pula memilih orang-orang yang benar-benar bermotivasi untuk
mengadakan perbaikan dan mempunyai kompetensi yang memadai. Perlu pula
ditentukan batas waktu perencanaan dan pelaksanaan proyek ini. Perbaikan
kurikulum memerlukan waktu lama sebelum membudaya, kadang-kadang 2 sampai
5 tahun, bergantung pada luas perbaikan yang akan diadakan. Jadi jangan didesak
melakukannya dengan tergesa-gesa. Ada perbaikan kurikulum yang fundamental
yang makan waktu puluhan tahun. Sering kurikulum yang dijalankan

masih mirip dengan yang terdapat puluhan bahkan ratusan tahun yang silam.
Perubahan kurikulum senantiasa melibatkan perubahan manusia yang
melaksanakannya. Agar kurikulum berubah demi perbaikan, guru sendiri harus
berubah atau diizinkan, bahkan didorong untuk berubah.
PESERTA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
Siapakah yang diikut-sertakan dalam pengembangan kurikulum merupakan
suatu masalah. Apakah hanya pejabat Depdikbud ataukah masih diperlukan peserta
lain? Setelah Jeomr Bruner yang mengutamakan struktur disiplin ilmu, para ahli
disiplin ilmu dari universitas banyak dilibatkan dalam pengembangan kurikulum,
oleh dianggap kurikulum adalah terutama menyampaikan ilmu pengetahuan. Di
belakangnya terkandung asumsi bahwa kurikulum menyusun suatu dokumen yang
menjadi pegangan apa yang harus dipelajari siswa. Akan tetapi kurikulum yang
sesungguhnya ialah apa yang terjadi dalam kelas dalam interaksi siswa dengan guru
dan siswa lainnya dan dengan lingkungan. Dalam kelas, kurikulum adalah benda
hidup yang dinamis, bukan hanya sekumpulan halaman cetakan belaka. Dalam kelas
kurikulum resmi itu memperoleh bentuk yang tersendiri bila diterjemahkan dalam
interaksi hidup antara guru dan siswa. Untuk melaksanakan kurikulum itu dan juga
dalam usaha untuk mengubahnya agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
anak dalam masyarakat tertentu diperlukan peserta lain. Dalam proses perbaikan
kurikulum seperti ini diperlukan partisipasi dari semua yang tiap hari terlibat dalam
kurikulum yakni guru, murid, kepala sekolah dan pemilik sekolah dari Kanwil. Bila
pendidikan mendapat sorotan dan kritik, merekalah yang pertama-tama yang harus
berusaha mengadakan perbaikan. Dalam arti yang luas, banyak lagi yang turut
terlibat dalam mutu kurikulum, seperti Pemerintah, perguruan tinggi, khususnya
IKIP, orangtua, para ahli kurikulum dan berbagai lapisan masyarakat umumnya,
seperti golongan agama, industri, politik, dan Iain-lain.
Dalam garis besarnya kita dapat membaginya dalam dua golongan, yaitu
daya-daya dari dalam sekolah dan dari luar sekolah. Kritik dan saran dari pihak luar
biasanya bersifat umum, sedangkan sekolah harus menerjemahkannya dalam
kegiatan yang lebih spesifik dan operasional. Yang memegang peranan dalam

proses perbaikan kurikulum ialah guru oleh sebab dialah yang paling bertanggung-
jawab atas mutu pendidikan anak-didiknya. Guru menghadapi kesulitan tersendiri,
oleh sebab pada hakikatnya ia bekerja dalam dunia terisolisasi. Apa yang dikerjakan
dalam kelasnya tertutup bagi dunia luar. Jarang sekali pelajarannya dihadiri oleh
orang luar, sehingga ia tidak memperoleh input tentang proses belajar-mengajar
dalam kelasnya. Ia cenderung masuk cengkeraman rutin, mengulangi caranya
mengajar dari tahun ke tahun sampai akhir jabatannya. Pengalamannya selama
puluhan tahun dapat merupakan pengalaman yang sama diulangi puluhan kali dan
tidak tumbuh dalam profesinya. Ia hanya dapat berkembang, bila ia membiasakan
diri (1) berunding dan bertukar pikiran dengan siswa, terbuka bagi pendapat mereka,
(2) belajar terus dengan membaca literate profesional, (3) bertukar pikiran dan
pengalaman dengan teman guru-guru lainnya atau dengan kepala sekolah. Sikap
keterbukaan ini memungkinkannya belajar dari murid, dari buku dan dari orang lain.
Pertumbuhannya ini dapat dibantu, bila sekolah secara berkala mengadakan rapat
khusus untuk membicarakan hal-hal berkenaan dengan kurikulum serta
perbaikannya. Sebagian dari waktu libur sekolah dapat dimanfaatkan untuk
membicarakan kekurangan-kekurangan dalam penyelenggaraan kurikulum dan
secara bersama mencari usaha perbaikan. Hasil pembicaraan akan diterapkan dalam
kelas masing-masing lalu didiskusikan kemudian untuk menilai pengalaman guru
masing-masing. Dengan demikian guru-guru lebih memahami seluk-beluk
kurikulum dan menyadari peranannya sebagai pengembang kurikulum, atau
pelaksana kurikulum yang kreatif evaluatif. Mereka akan lebih memahami bahwa
gurulah unsur utama dalam kurikulum.
Pada saat ini guru belum menganggap dirinya seorang yang boleh bicara,
bahkan yang mempunyai keahlian dalam bidang kurikulum, khususnya dalam hal
kurikulum kelas atau bidang studinya. la menganggap dirinya hanya sebagai
pelaksana, ibarat tukang yang harus melaksanakan pekerjaan menurut instruksi. Jadi
ia hanya terlibat dalam praktik, tanpa memikirkan dan merenungkan apa yang
dilakukannya. Semboyan "learning by doing" mempunyai satu syarat. Orang tidak
belajar dengan sekadar berbuat; melakukan pekerjaan berkali-kali tidak memberi
pelajaran. Berbuat hanya menghasilkan pelajaran, bila direnungkan apa yang

dilakukan dan meningkatkannya pada taraf yang lebih abstrak, konseptual,
dan teoritis. Perkembangan profesional guru juga terhambat karena tidak adanya
perkumpulan profesional hagi berbagai golongan guru, seperti guru SD, SMP,
SMA, dan Iain-lain., juga perkumpulan guru dalam bidang studi tertentu yang tidak
terbatas pada tingkatan sekolah. Adanya perkumpulan profesional dengan
terbitannya dapat merangsang guru untuk senantiasa melihat profesinya sebagai
masalah yang secara kontinu mendorongnya untuk berpikir tentang kurikulum dan
dengan demikian mempercepat perbaikan dan modernisasi pendidikan kita.
PARTISIPASI GURU
Tiap guru mempunyai reaksi individual terhadap perbaikan kurikulum. Pada
umumnya guru akan bersifat kritis dan menilainya, apakah perbaikan itu hanya
bersifat teori, apakah dapat dilakukan dalam kelasnya, atau menganggap bahwa cara
yang lama lebih bermanfaat dan yang baru terlampau banyak menuntut waktu dan
tenaga. Jika ia menyaksikan pelaksanaan, atau mengalami sendiri kegunaannya,
maka ia akan lebih mudah menerimanyl karena instruksi atau paksaan, maka
perbaikan itu tidak akan lama bertahan.
Dalam usaha untuk mengadakan perubahan kurikulum, hendaknya diselidiki
sikap dan reaksi guru terhadap perubahan itu dan mempertimbangkannya.
Perubahan harus diterima dengan rasa komitmen agar berhasil baik. Guru
mempunyai pandangan sendiri tentang kurikulum dan keberhasilan perubahan
bergantung pada kesesuaiannya dengan nilai-nilai guru dan taraf partisipasinya
dalam perubahan itu.
PARTISIPASI MURID
Pada umumnya kita belum mempertimbangkan peranan siswa dalam
pengembangan kurikulum dan mereka memang tidak mempunyai kompetensi dalam
bidang itu. Namun pada tingkat kegiatan kelas, bila guru bertanya, bagaimana
pendapatnya tentang , pelajaran, apa yang ingin dipelajarinya tentang suatu topik,
atau bila guru mengajak siswa turut-serta dalam perencanaan suatu kegiatan belajar,
pada pokoknya mereka sudah dilibatkan dalam kurikulum. Di sekolah progresif
kepada murid diberikan peranan yang lebih besar lagi tentang apa yang mereka
harapkan dari pelajaran. Partisipasi murid sama sekali tidak

berarti bahwa keinginan mereka hams diperturut akan tetapi pandangan mereka
dapat dimanfaatkan, sekalipun keputusan selalu di tangan guru. Memaksakan
kurikulum yang tidak mereka sukai, yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan
mereka, akan menimbulkan rasa benci bahkan protes, sekalipun tersembunyi
terhadap pelajaran dan sekolah yang mereka nyatakan dalam perbuatan yang tidak
diinginkan.
PARTISIPASI KEPALA SEKOLAH
Kepala sekolah mempunyai kedudukan strategis dalam perbaikan kurikulum
dan berbeda di garis depan perubahan kurikulum. Sebagai pemimpin profesional ia
menerjemahkan perubahan masyarakat dan kebudayaan ke dalam kurikulum.
Perubahan dalam sikap pemuda-pemudi akibat dinamika masyarakat tidak dapat
diabaikannya. Ialah tokoh utama yang mendorong guru agar senantiasa mencari
perbaikan dan mengembangkan diri. la sendiri hams mempunyai latar belakang
yang mendalarn tentang teori dan praktik kurikulum. Perubahan kurikulum hanya
akan berjalan dengan dukungan dan dorongan kepala sekolah. ia dapat mem-
bangkitkan atau mematikan perubahan kurikulum di sekolahnya.
Masih ada lagi golongan lain yang dapat membantu perbaikan kurikulum
antara lain para inspeksi di Kanwil dan juga para orangtua dan tokoh-tokoh
masyarakat. Walaupun banyak orang yang dapat memberi sumbangan kepada
perbaikan kurikulum, hendaknya kepala sekolah dan guru-guru selalu rnemegang
peranan utama untuk menerima, mempertimbangkan, dan memutuskan apa yang
akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kepala sekolah dan stafnya tak dapat
tiada hams bekerja dalam kerangka patokan yang ditetapkan oleh Depdikbud.
KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN
Telah banyak diadakan penelitian untuk mengetahui apakah sebenarnya
kepemimpinan itu, namun tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan.
Rupanya kepemimpinan itu lebih kompleks daripada yang diduga semula dan
timbul beberapa teori tentang hakikat kepemimpinan ini.
Ada kalanya dianggap bahwa seorang lahir sebagai pemimpin jadi bukan
karena pengalaman. Pemimpin dianggap sebagai orang yang jauh lebih banyak

tahu dan lebih kompeten daripada pengikutnya. Pemimpin ialah orang yang
menentukan sedangkan yang lain harus mematuhinya. Anggapan demikian
menganut konsep yang otokratis tentang kepemimpinan. Dalam organisasi yang
demokratis pemimpin dianggap sebagai orang yang dapat membantu anggota lain
untuk mengidentifikasi tujuan yang bermakna bagi kelompok dan membantu dalam
mencapai tujuan itu. Sebagai pembantu, kepemimpinan dianggap sebagai layanan
kepada kelompok. Apa yang dilakukan pemimpin sama pentingnya dengan
bagaimana caranya melakukannya.
Berbagai teori telah dipikirkan untuk menjelaskan hakikat kepemimpinan,
akan tetapi tak ada yang dapat menjelaskan semua gejala kepemimpinan itu dengan
memuaskan.
Salah satu teori memandang kepemimpinan sebagai orang yang memiliki
sejumlah sifat yang membuatnya seorang pemimpin, antara lain empat yaitu
identifikasi dengan kebutuhan orang lain, kemampuan menyesuaikan diri dengan
norma kelompok, kesediaan memberi bantuan, pengendalian emosi, inteligensi
tinggi : sosial, verbal maupun akademis, berminat untuk memimpin, bersemangat.
Daftar ini rasanya masih dapat diperluas, menurut pengalaman dan pendapat
seseorang. Kita tidak tahu yang mana di antara sifat-sifat itu yang paling penting.
Ada pula yang memandang kepemimpinan sebagai sesuatu yang dibagi
bersama antara anggota kelompok guna mencapai tujuan-tujuan yang ditentukan
bersama. Pemimpin ditunjuk oleh kelompok untuk tujuan tertentu untuk jangka
waktu yang tertentu, karena dialah yang dianggap paling kompeten untuk tugas itu.
Jadi kepemimpinan bergantung pada tugas yang dihadapi.
Teori ketiga ialah memandang kepemimpinan sebagai fungsi suatu situasi.
Dalam segala situasi tertentu tampil pemimpin tertentu. Situasi itu membutuhkan
seorang pemimpin yang dianggap mampu mengatasi masalah yang ditimbulkan
situasi itu secara efektif. Jadi pemimpin yang cocok untuk suatu situasi tidak akan
cocok untuk situasi lain, dan seorang tidak akan menjadi pemimpin yang efektif
dalam segala situasi.

Ketiga teori itu ada kebenarannya, namun tidak dapat berlaku dalam segala
situasi kepemimpinan. Mungkin kepemimpinan bertalian dengan faktor-faktor
pribadi, sikap dan kebutuhan "pengikut" atau anggota kelompok pada saat tertentu,
timbul dalam situasi tertentu, bangkit dalam struktur suatu kelompok.
Kepemimpinan mungkin fungsi interaksi antara berbagai variabel itu yang
membuka kesempatan timbulnya pemimpin yang sentral tanpa menghalangi orang
lain untuk menjalankan kepemimpinan bersama. dalam berbagai situasi pada waktu-
waktu tertentu.
Pemimpin tidak memiliki sejumlah ciri yang sama, namun selalu
menunjukkan kualitas tinggi dalam hal tertentu. Kepemimpinan berbeda menurut
sifat lingkungan, sifat tugas, distribusi kekuasaan, dan prioritas tujuan.
Efektivitas kepemimpian antara lain bergantung pada kualitas hubungan
antara pemimpin dan anggota kelompok, adanya saling percaya, saling
menghormati, kekompakan, semangat atau moral tinggi, pemanfatan buah pikiran
anggota.
Dalam kepemimpinan dapat dibedakan dua corak, yaitu yang berorientasi
pada tugas, dan yang berorientasi pada hubungan manusiawi. Yang berorientasi
pada tugas ingin agar pekerjaan selesai, mengutamakan hasil dengan menentukan
standar, menetapkan waktu penyelesaian pekerjaan, mengeritik pekerjaan yang tak
bermutu, mendorong anggota bekerja dengan tenaga penuh agar mencapai
kemajuan.
Di lain pihak, kepemimpinan yang mengutamakan hubungan manusiawi,
berusaha agar ia disenangi, memelihara hubungan antar manusia yang baik,
memupuk rasa hormat-menghormati, percaya-mempercayai, berusaha agar
pekerjaan menyenangkan, bersedia mendengarkan buah pikiran orang, namun tidak
memberi hasil seperti kepemimpinan yang berorientasi pada tugas. Masalahnya
ialah bagaimana mempertemukan kedua pendekatan itu, yaitu menjadi pemimpin
yang disukai dan mencapai hasil yang diinginkan, atau menjadi pemimpin yang
tidak hanya disenangi akan tetapi juga berhasil dan efektif.

Kepemimpinan yang berorientasi pack tugas dapat menyeleweng menjadi
kepemimpinan yang otokratis yang dapat bersifat paternalistik, demokratis semu,
menggunakan ancaman atau rasa takut.
Kepemimpinan sering memerlukan otoritas atau kekuasaan. Tanggung jawab
tanpa diberi kekuasaan tertentu cenderung tidak memberi hasil. Dalam perubahan
kurikulum pemilik sekolah, kepala sekolah atau guru harus diberi kekuasaan atau
wewenang agar dapat menjalankan tanggung jawabnya untuk membuat rencana
guna perbaikan.
Kepemimpinan juga ditentukan oleh pandangan pemimpin terhadap manusia.
la dapat memandang manusia sebagai makhluk yang pada hakikatnya baik dan dapat
diberi kepercayaan akan berkembang dan melakukan tugasnya dengan baik.
Sebaliknya ia dapat memandang manusia yang pada hakikatnya buruk, egoistis dan
kerena itu perlu dididik, diorientasi kearah perbaikan. Dapat pula manusia
dipandang netral, tidak baik atau buruk akan tetapi mempunyai kebebasan untuk
memilih dan memerlukan kesempatan dan hantuan menggunakan kehebasannya
untuk memilih yang baik.
STRATEGI KEPEMIMPINAN DALAM PERUBAHAN KURIKULUM
Dengan strategi dimaksud rencana serangkaian usaha untuk mencapai tujuan,
dalam hal ini perubahan atau perbaikan kurikulum. Untuk mengubah kurikulum
dapat diikuti strategi yang berikut:
1. Mengubah seluruh sistem pendidikan yang hanya dapat dilakukan oleh
pusat yakni Depdikbud karena mempunyai wewenang penuh untuk mengadakan
perubahan kurikulum secara total. Perubahan ini menyeluruh dan dijalankan secara
uniform di seluruh negara. Usaha besar-hesaran ini hanya dapat dikordinasi oleh
pusat dengan memberikan pernyataan kebijaksanaan, petunjuk-petunjuk
pelaksanaan dan hukum pedoman. Strategi ini sangat ekonomis mengenai waktu dan
tenaga bila mengadakan perubahan kurikulum secara uniform dan menyeluruh.

Dianggap bahwa di kantor pusat telah dihimpun personalia profesional yang
paling unggul yang diberi fasilitas yang seluas-luasnya untuk merencanakan
perubahan kurikulum itu sebaik-baiknya.
Ada sejumlah kelemahan yang terdapat dalam pendekatan ini. Memusatkan
perubahan kurikulum di kantor pusat tidak cukup melibatkan semua pakar
kurikulum profesional yang tersebar di seluruh negara. Cara ini cenderung bersifat
birokratis yang dikatakan menyusun kurikulum "di belakang meja tulis" oleh tokoh-
tokoh yang tidak atau kurang menceburkan diri dalam praktik sekolah yang
sebenarnya. Bila semua perubahan kurikulum hanya datang dari pusat, dalam jangka
panjang ini dapat mengekang dan membatasi perbaikan kurikulum secara kreatif
oleh guru-guru di seluruh negara. Memperbaiki kurikulum berarti hanya menerima
kebijaksanaan orang-orang yang secara resmi diberi status sebagai pe-mimpin
urusan kurikulum.
2. Mengubah kurikulum tingkat lokal.
Kurikulum yang nyata, yang riil, hanya terdapat di mana guru dan murid
berada, yakni di sekolah dan dalam kelas. Di sinilah dihadapi masalah kurikulum
yang sesungguhnya. Dalam kelas kurikulum menjadi hidup, bukan hanya secarik
kertas. Dalam menghadapi anak, mau tak mau setiap guru akan menghadapi
masalah yang harus diatasinya. Dalam pelaksanaan kurikulum dalam kelas terhadap
murid yang berbeda-beda, tak dapat tiada guru harus mengadakan penyesuaian.
Bagaimanapun ketatnya perincian kurikulum, guru selalu mendapat kesempatan
untuk mencobakan pikirannya sendiri. Pedoman kurikulum hanya dapat dijiwai oleh
guru dan pribadi guru terjalin erat dengan cara ia melaksanakan kurikulum itu.
Kelaslah yang menjadi garis depan perubahan dan perbaikan kurikulum.
Di bawah pimpinan kepala sekolah dapat diadakan rapat seluruh staf, atau
setiap tingkatan atau bidang studi. Rapat-rapat mengenai perbaikan kurikulum
sebaiknya dilakukan secara kontinu oleh sebab tujuannya tidak diperoleh sekaligus.
Perbaikan yang sesungguhnya akan terjadi bila guru sendiri menyadari
kekurangannya, ada kalanya atas pemikirannya sendiri, atau interaksinya dengan

siswa dan dalam diskusi dengan teman guru lainnya. Usaha perbaikan yang
dijalankan oleh guru-guru memerlukan kordinasi kepala sekolah.
Perubahan kurikulum di sekolah tidak berarti bahwa sekolah itu menyendiri
dan melepaskan diri dari kurikulum resmi. Sekolah itu tetap bergerak dalam rangka
kurikulum resmi yang berlaku akan tetapi berusaha untuk menyesuaikannya dengan
kebutuhan anak dan lingkungannya serta berusaha untuk meningkatkannya. Ada
menyebutnya "kurikulum plus". Kurikulum resmi hanya memberikan kurikulum
minimal yang diharapkan harus dicapai oleh segenap siswa di seluruh Indonesia.
Sama sekali tidak dilarang memberi bahan yang lebih mendalam dan luas bagi anak-
anak yang berbakat. Adanya perbedaan antara apa yang diajarkan di suatu sekolah
tidak perlu mempersulit anak pindah sekolah, selama sekolah itu mengajarkan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip atau struktur ilmu, sedangkan isinya secara detail
tidak esensial.
3. Memberikan pendidikan in-service dan pengembangan staf.
Dianggap bahwa kurikulum sekolah akan mengalami perbaikan jika mutu
guru ditingkatkan. In-service training dianggap lebih formal, dengan rencana yang
lebih ketat dan diselenggarakan atas instruksi pihak atasan. Pengembangan staf atau
staff development lebih tak-formaal, lebih bebas disesuaikan dengan kebutuhan
guru. Guru misalnya dapat disuruh mengobservasi dan menilai dirinya mengajar
yang telah divideo-tape. Apa yang dipelajari dalam inservice dan pengembangan
staf hendaknya dipraktikkan.
4. Supervisi.
Dahulu pemilik sekolah mengunjungi sekolah untuk mengadakan inspeksi dan
memberi penilaian terhadap guru dan sekolah. Kedatangannya dipandang sebagai
hari mendung penuh rasa takut yang dihadapi guru dengan segala macam tipu
muslihat. Kini pengertian supervisi sudah berubah. Tujuannya ialah membantu guru
mengadakan perbaikan dalam pengajaran. Supervisi adalah memberi pelayanan
kepada guru untuk memperoleh proses belajar-mengajar yang lebih efektif Bila
dirasa perlu penilik sekolah dapat memberikan demonstrasi bagaimana
melaksanakan suatu metode baru. Seorang pemilik sekolah harus

senantiasa mempelajari perkembangan kurikulum dan metode mengajar
modern dan dapat pula menerapkannya. Ialah sebenarnya menjadi hulubalang dalam
modernisasi pendidikan.
5. Reorganisasi sekolah.
Reorganisasi diadakan bila sekolah itu ingin merombak seluruh cara mendidik
di sekolah itu dengan menerima cara yang baru sama sekali. Hal ini antara lain dapat
terjadi bila sekolah itu akan menjalankan misalnya team teaching, non-grading,
metode unit, open school, dan Iain-lain yang memerlukan perubahan dalam semua
aspek pengajaran, seperti bentuk ruangan, fasilitas, penjadwalan, tugas guru,
kegiatan siswa, administrasi, dan sebagainya. Hal serupa ini akan jarang terdapat di
negara kita dewasa ini, kecuali bila diadakan eksperimen dengan metode baru,
misalnya pengajaran modul.
6. Eksperimentasi dan penelitian.
Negara kita tidak tertutup bagi macam-macam pembaruan dalam pendidikan.
Kemajuan komunikasi dan transpor membuka pendidikan kita bagi berbagai
pengaruh di bagian lain dunia ini. CM kemajuan ialah perubahan dan perbaikan,
juga dalam bidang pendidikan di sekolah. Penelitian atau research pendidikan belum
cukup dilakukan di negara kita ini. Biasanya penelitian tidak langsung dapat
ditetapkan dan melalui fase yang lama sebelum diterima secara umum.
Yang lebih mungkin dilaksanakan ialah eksperimentasi, yakni mencobakan
metode atau bahan baru. Pada dasarnya setiap kurikulum baru harus diujicobakan
lebih dahulu sebelum disebarkan di semua sekolah. Risiko pembaruan kurikulum
tanpa ujicoba sangat besar, dapat menghamburkan biaya dan tenaga yang banyak,
tanpa jaminan bahwa pembaruan itu akan membawa perbaikan.
Percobaan metode baru dilakukan secara berkala, antara lain sekolah
pembangunan yang kemudian menjadi PPSI cukup dikenal, sayang tidak berbekas
selanjutnya. Demikian pula CBSA dan "muatan lokal" diujicobakan selain
percobaan lainnya.

Secara kecil-kecilan yang tidak sistematis, sebenarnya tiap guru pernah
mengadakan eksperimentasi. Bila misalnya ada murid yang suka ribut dalam kelas,
guru menempatkannya di bangku paling depan, dengan hipotesis, bahwa dengan
pengawasan yang lebih ketat murid itu akan berubah kelakuannya. Ada guru yang
menganjurkan anak yang ketinggalan agar belajar bersama dengan murid yang
pandai, atau guru memberi tanggungiawab kepada murid yang nakal. Bila diselidiki
boleh dikatakan bahwa tiap guru pernah melakukan percobaan kecil-kecilan seperti
ini, bila ia menghadapi suatu kesulitan dan mencari jalan untukmengatasinya.
Penelitian adalah cara yang secara sistematis mengikuti langkah-langkah
tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Biasanya guru jarang melakukannya.
Yang banyak dilakukan guru ialah percobaan kecil-kecilan yang kurang
sistematis bila is menyadari adanya masalah yang dihadapinya dan berniat untuk
mengatasinya. Masalah akan timbul, bila guru itu mengadakan evaluasi tentang
pekerjaannya sendiri, dan selain itu peka terhadap kritik dari dunia luar, melihat
kekurangan pendidikan berdasarkan Ebtanas atau evaluasi lainnya, dan umumnya
bila merasa kurang puas dengan apa yang dilakukannya.
Perbaikan kurikulum pada hakikatnya terjadi dalam kelas dan dalam hal ini
guru memegang peranan yang paling utama. Maka guru harus lebih menyadari
peranannya sebagai pengembang kurikulum.

BAB 6KURIKULUM DAN MASYARAKAT
PENDIDIKAN DAN KEHIDUPAN
Pada zaman dahulu, waktu manusia masih hidup dalam rombongan-
rombongan masyarakat kecil, terpencil dan sederhana, pendidikan anak-anak untuk
kehidupannya dalam masyarakat itu diselenggarakan di luar sekolah, tanpa sekolah.
Segala sesuatu yang perlu bagi pendidikannya, diperoleh anak dari orang-orang di
lingkungannya tanpa pendidikan formal di sekolah. Anak-anak meniru dan
mengikuti kelakuan dan pekerjaan orang dewasa, sehingga mereka pandai mengolah
tanah, menanam padi, memancing ikan atau berburu. Dengan jalan demikian mereka
dapat mengurus diri sendiri dan mencari nafkahnya dalam masyarakat itu. Di
samping itu ia mempelajari adat istiadat yang turun temurun dari nenek moyangnya,
sehingga ia dapat mengatur kelakuannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku
di lingkungannya itu. Demikianlah anak-anak memperoleh pendidikan yang lengkap
serta fungsional dalam masyarakat yang statis itu.
Akan tetapi pendidikan itu tidak serasi lagi apabila terjadi perubahan-
perubahan dalam masyarakat, yang menuntut syarat-syarat yang lebih tinggi dan
lebih berat dari tiap warga negara. Anak-anak hams memiliki bermacam-macam
ketrampilan dan sejumlah besar pengetahuan agar hidupnya terjamin. Orang tua
pada umumnya tidak mampu lagi memberikan pendidikan yang layak untuk
mempersiapkan anak-anak untuk memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh
masyarakat. Yang mendidik anak-anak ialah orang-orang yang mendapat latihan
khusus untuk tugas itu. Makin maju masyarakat, makin banyak yang harus diperoleh
anak-anak, makin banyak mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak-anak dan
karena itu bertambah lamalah mereka harus bersekolah.
Perubahan dalam masyarakat, terutama akhir-akhir ini sangat cepatnya,
sehingga sering sekolah tidak sanggup mengikuti jejak kemajuan masyarakat.
Akibatnya: sekolah bertambah lama bertambah jauh ketinggalan dan dicap
konservatif, tradisional. Sekolah tidak dapat bergerak secepat masyarakat, dan

sering sekolah berpegang teguh pada mata pelajaran yang dahulu memang fungsi-
onal, akan tetapi dalam masa modern ini sudah tidak lagi memenuhi tuntutan zaman.
Timbullah kecaman bahwa sekolah itu kolot, mengasingkan diri dari masyarakat
dan karena itu tidak mampu dan serasi lagi untuk mempersiapkan anak-anak bagi
kehidupan mereka dalam dunia modem ini. Kritik serupa ini akan selalu timbul dan
mengharuskan sekolah untuk meninjau kurikulumnya kembali agar lebih relevan
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
MASYARAKAT KITA DEWASA INI
Mendidik anak dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat
tempat ia hidup. Karena itu setiap pembina kurikulum hams senantiasa mempelajari
keadaan, perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat.
Salah satu ciri masyarakat ialah perubahannya yang cepat akibat
perkembangan ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam teknologi, yang sering
tidak dapat kita ramalkan akibatnya. Produksi mobil yang berjumlah ratusan juta
menimbulkan masalah jalan raya, keamanan, kecelakaan, kejahatan, mobilitas, dan
sebagainya yang banyak merepotkan karena kita tidak sanggup mengatasinya pada
waktunya.
Perubahan-perubahan yang hebat dan cepat dalam masyarakat memberikan
tugas yang lebih luas dan lebih berat kepada sekolah. Sekolah yang tradisional, yang
hanya menoleh ke belakang pasti tidak dapat memberikan pendidikan yang relevan.
Bagaimana menghadapi perubahan ini bukan sesuatu yang gampang. Anak-anak
yang kini memasuki SD akan menghadapi dunia yang sangat berbeda dengan
masyarakat 15 atau 20 tahun lagi bila ia menyelesaikan studinya di universitas.
Segala sesuatu mudah menjadi usang, karena cepatnya segala sesuatu berubah.
Seorang pengarang bernama Norman Cousins menulis buku "Modern Man is
Obsolete" untuk memberi peringatan bahwa kita akan segera terbelakang bila kita
tidak senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial, politik, ekonomi.
Perkembangan ini menyebabkan lenyapnya jenis pekerjaan tertentu dan
timbulnya berbagai macam pekerjaan lain. Pekerjaan kasar semakin lama semakin

berkurang, sedangkan pekerjaan baru memerlukan pendidikan yang lebih
lama. Fleksibilitas untuk mempelajari pekerjaan barn perlu dalam zaman modem
ini. Anak-anak harus belajar berpikir sendiri untuk menghadapi berbagai persoalan
baru dan jangan hanya disuruh menghafal jawaban atas pertanyaan yang telah
usang. Perubahan masyarakat mengharuskan kurikulum senantiasa ditinjau kembali.
Kurikulum yang baik pada suatu saat, sudah tidak lagi sesuai dalam
keadaanyangberubah.
Kemajuan teknologi memperbesar kebergantungan manusia pada manusia
yang lainnya. Tidak ada lagi zaman sekarang yang dapat memenuhi keperluan
keluarganya. Di kota manusia menjadi semata-mata konsumtif. Makanan, minuman,
pakaian, pembuangan sampah, rekreasi, dan seribu satu macam kebutuhan lainya
hanya diperolehnya berkat jasa orang lain. Pemogokan buruh lapangan terbang,
pengangkut sampah, pegawai pos, dan sebagainya akan sangat mengganggu
kehidupan masyarakat Maka perlulah anak-anak dididik untuk menghargai jasa
orang lain dan memberikan jasanya kepada masyarakat.
Juga negara makin lama makin bergantung pada negara-negara lain. Maka
pentinglah anak-anak juga dididik dalam hubungan manusia dengan dunia
internasional. Permusuhan dan peperangan dapat menimbulkan bahaya kemusnahan
umat manusia karena tidak berhasil memupuk kerja sama antar bangsa-bangsa.
Peranan keluarga berubah bila dibandingkan dengan dahulu. Keluarga masih
merupakan lembaga yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi
anak Kurangnya rasa kasih sayang orang tua dapat menimbulkan sikap agresif atau
kelainan lain dalam watak seseorang.
Akan tetapi keluarga sudah banyak melepaskan fungsinya yang dahulu.
Rekreasi yang dulu berpusat dalam keluarga kini sudah berpindah ke hioskop,
lapangan olah raga atau pusat rekreasi lainnya. Anak tidak lagi mempelajari suatu
pekerjaan dari ayahnya, akan tetapi ia memperolehnya dari sekolah kejuruan.
Seorang gadis tidak lagi belajar menjahit dan ibunya, ia mengikuti suatu kursus.

Banyak fungsi keluarga sudah harus dibebankan kepada sekolah. Ada
pendidik yang mengeluh bahwa kurikulum sekolah terlampau berat bebannya, dan
menginginkan agar tugas sekolah dibatasi pada pendidikan akadeinis, sedangkan
kesehatan misalnya diserahkan kepada dokter. Namun anak itu merupakan suatu
keseluruhan dan mau tak mau sekolah harus pula memperhatikan segala aspek
perkembangan anak. Maka karena itu di sekolah-sekolah yang maju juga disediakan
fasilitas untuk kesehatan, pemeriksaan gigi, makan siang, bimbingan penyuluhan,
dan sebagainya.
Masalah lain yang dihadapi dalam masyarakat ialah pertambahan penduduk
yang cepat. Sekalipun dengan giat diusahakan keluarga berencana, namun penduduk
Indonesia bertambah sekitar 3 juta tiap tahun atau satu orang tiap 7,5 detik. Eksplosi
penduduk itu dengan sendirinya mempengaruhi soal persediaan makanan, air bersih,
perumahan, transport, rumah sakit, keamanan, pendeknya semua aspek kehidupan,
termasuk pendidikan. .Hanya menambah fasilitas pendidikan serta tenaga pengajar
untuk pertambahan penduduk 3 juta tiap tahun ia sudah merupakan pekerjaan
raksasa, apalagi menjalankan kewajiban belajar bagi semua anak berusia 7-12 tahun
yang berjumlah sekitar 25 juta orang. Anak-anak berusia 13-18 tahun jumlahnya
sekitar 17 juta pada tahun 1974 hanya 4 juta yang bersekolah sedangkan yang
belajar di universitas hanya sekitar seperempat juta atau 2,5% dari pemuda berusia
18-28 tahun.
Jumlah anak yang putus sekolah juga sangat mengkhawatirkan. Sekitar 63%
dan anak-anak yang memasuki SD tidak dapat menyelesaikannya. Dalam zaman
modern dengan teknologi yang maju masyarakat kita memerlukan rakyat yang
terdidik. Kalau negara yang maju sudah sekurang-kurangnya memberikan pen-
didikan menengah atas, dan bahkan berusaha memberikan pedidikan tinggi kepada
semua warga-negaranya, maka dalam perjuangan hidup, bangsa yang rendah
pendidikannya pasti akan menderita kerugian.
Maka perlulah kurikulum sekolah ditinjau kembali dengan tujuan agar
hendaknya kurikulum itu jangan menjadi sebab maka demikian banyaknya anak
yang putus sekolah.

Kemajuan teknolologi dalam bentuk alat transpor memungkinkan manusia
bepindah tempat dari pulau ke pulau, dari desa ke kota. Urbanisasi merupakan gejala
yang umum di seluruh dunia dengan segala problema yang berkaitan dengan itu.
Perpindahan penduduk melenyapkan isolasi suku-bangsa. Pendidikan untuk
memupuk saling pengertian antar suku bangsa yang beraneka ragam dengan
menghilangkan prasangka atau buruk sangka perlu mendapat perhatian untuk
memperkuat rasa kesatuan bangsa kita.
Tidak setiap kemajuan dalam ilmu pengetahuan teknologi membawa
keuntungan dan kebahagiaan bagi umat manusia, bahkan sering justru membawa
masalah-masalah yang lebih pelik lagi. Demikian pula tidak tiap perubahan atau
pembaharuan berarti kemajuan. Hanya sering kita terlambat mengenal akibat-akibat
perkembangan itu. Maka perlu pulalah anak-anak diajak menilai secara kritis
perubahan-perubahan dalam masyarakat sekitarnya dan dalam dunia umumnya.
Di atas telah dikemukakan beberapa masalah bertalian dengan masyarakat.
Masih banyak lagi masalah lain, dan tiap masalah menimbulkan masalah-masalah
baru.
Sekolah tak dapat tiada hams memperhatikannya bila kita ingin mendidik
anak yang serasi untuk masyarakat sekarang. Bagaimana mempertimbangkannya
dalam kurikulum adalah tugas yang terusmenerus akan dihadapi oleh guru,
pendidik, dan pembina kurikulum.
FUNGSI SEKOLAH DAN KURIKULUM
Kurikulum sekolah banyak ditentukan oleh tanggapan orang tentang apakah
sebenarnya fungsi sekolah bagi masyarakat. Tidak mudah memperoleh pendapat
yang sama mengenai tugas sekolah.
Pada satu pihak kita lihat sekolah itu sebagai lembaga yang harus
mengawetkan kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang dengan
menyampaikan kepada generasi muda. Akan tetapi tidak ada kepastian apakah dari
kebudayaan itu yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum. Apakah kebudayaan
daerah, adat istiadat, kesenian daerah harus disampaikan kepada

semua anak di daerah itu, bahkan kepada anak-anak di luar daerah itu? Apakah
kebudayaan lama itu masih sesuai dengan keadaan sekarang? Apakah kebudayaan
itu tak dapat menghalangi kemajuan dan perkembangan rasa nasional yang kuat?
Haruskah kepada anak-anak diajarkan apa yang dipelajari orang tua mereka dahulu?
Bahwa sekolah hams menyampaikan unsur-unsur yang baik dan berfaedah tak dapat
disangkal, namun bahan apa yang harus dipilih masih dapat menjadi persoalan.
Di lain pihak ada anggapan bahwa fungsi sekolah adalah memajukan
masyarakat dan bertindak sebagai "agent of change". Banyak yang pernah
diharapkan dari sekolah. Ada masanya dengan pengajaran dapat dilenyapkan
kemiskinan, kemelaratan, kejahatan dan macam-macam penyakit masyarakat
lainnya.
John Dewey memandang sekolah sebagai alat yang paling efektif untuk
merekonstruksi dan memperbaiki masyarakat melalui pendidikan individu. Sekolah
percobaan yang didirikannya merupakan masyarakat kecil tempat anak-anak belajar
dengan melakukan berbagai kegiatan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
G.S. Counts mempunyai pendirian yang lebih jauh lagi. la tidak hanya
mengharapkan bahwa pendidikan harus membawa perubahan dalam masyarakat
akan tetapi mengubah tata-sosial, dan mengatur perubahan sosial.
Juga B. Othanel Smith bicara tentang pendidikan sebagai management and
control of social change and as social engineering, and of educators as statesmen. la
mengatakan bahwa kita telah cukup memiliki pengetahuan tentang "social
engineering" dan dapat memanfaatkannya untuk menguasai dan mengatur per-
kembangan masyarakat. Kalau kita tidak rnengendalikannya, maka perkembangan
masyarakat karena kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan akan menghancurkan
umat manusia sendiri. la menganjurkan, agar kebudayaan yang diwariskan harus
senantiasa ditinjau secara kritis dari segi keadaan dan problema zaman sekarang.
Tak semua orang akan dapat menerima fungsi sekolah yang demikian, apalagi
dalam masyarakat yang kompleks sekarang ini. Para ahli sosiologi

berpendapat bahwa sekolah sebagai lembaga yang didirikan oleh masyarakat,
hanya dapat mencapai tujuan menurut norma-norma ynag ada dalam masyarakat itu.
Maka tidaklah rnungkin sekolah itu mendahului peruhahan dalam masyarakat, akan
tetapi hanya dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan
masyarakat. jadi fungsi sekolah selalu konservatif. Kurikulum sekolah selalu
ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaannya tempat sekolah itu berada.
Namun kita jangan meremehkan peranan sekolah dalam perubahan
masyarakat, sekalipun tidak pula terlampau membesar-besarkannya.
Fungsi lain yang telah dikemukakan oleh John Dewey ialah fungsi sekolah
untuk mengembangkan individu. sekolah yang ekstrim dalam hal ini adalah sekolah
yang child-centered. Akan tetapi tidak ada sekolah yang mengabaikan fungsi ini
dengan berusaha merealisasikan potensi-potensi yang ada pada anak secara optimal.
Dalam undang-undang dasar kita juga dikemukakan agar setiap anak dapat
dikembangkan sesuai dengan bakat masingmasing.
Dengan mengemukakan berhagai fungsi sekolah itu jangan kita anggap bahwa
fungsi yang satu bertentangan dengan yang lain. Kita jangan membuat kesalahan
memandang sekolah masyarakat sebagai lawan sekolah yang berpusat pada anak,
atau kebutuhan masyarakat sebagai lawan kebutuhan individu.
Mengembangkan masyarakat hanya rnungkin dengan mengembangkan
individu. Demikian pula perkembangan dan kemajuan individu juga berarti
kemajuan bagi masyarakat. Maka dalam pembinaan kurikulum tak rnungkin
kebutuhan individu dipisahkan dari kebutuhan masyarakat.
KONSERVATISME SEKOLAH.
Pada hakekatnya sekolah itu tak dapat tiada hares bersifat konservatif, bila
kita berpendirian, bahwa tugas sekolah ialah menyampaikan kultur atau kebudayaan
kepada anak-anak. Kebudayaan ialah hasil pengalaman manusia pada masa yang
lampau. Dari warisan itu dipilih hal-hal yang dianggap perlu bagi pendidikan anak-
anak yang di sajikan dalam bentuk mata pelajaran.

Kebudayaan, hasil pengalaman manusia yang lampau, memang sangat banyak
mengandung hal-hal yang sangat berguna bagi kehidupan sekarang. Manusia tidak
hidup dalam suatu vocuum, suatu kekosongan, ia hasil masa lampau dan menuju
kemasa yang akan datang. Kebudayaan disampaikan kepada anak-anak karena
dianggap betul-betul berfaedah dan mengandung arti bagi masa kini dan masa
depan.
Sekolah ialah suatu lembaga sosial untuk mewujudkan tujuantujuan sosial.
Sekolah didirikan oleh masyarakat untuk anak-anak agar mereka mempertahankan,
memelihara, dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat itu. Sekolah ialah alas
utama yang digunakan masyarakat agar generasi muda menerima cara-cara hidup
yang dianggap baik oleh masyarakat itu. Dengan me-nyampaikan kebudayaan itu
tercapailah kesamaan norma, sikap, nilai-nilai pada semua warga negara. Itu
sebabnya maka pada suatu pihak sekolah itu harus konservatif. Akan tetapi ini
hanya salah satu aspek dari tugasnya. Kalau sekolah hanya berpegang pada tugas ini
saja, maka mungkin sekalilah sekolah itu ketinggalan zaman. Di samping peranan
konservatif sekolah mempunyai juga peranan evaluatif dan kreatif
Dengan peranan evaluatif dimaksud, bahwa anak-anak tidak hanya menerima
begitu saja apa yang mereka peroleh dari generasi yang lama. Mereka hendaknya
diberi kesempatan untuk menilainya secara kritis berhubung dengan dinamika
masyarakat. Kadang-kadang perlu meninjau kembali kesesuaian nilai-nilai yang
lama dalam keadaan yang baru. Ini tidak berarti bahwa segala yang lama itu tidak
berguna, atau segala yang baru itu baik. Akan tetapi kalau yang lama itu ternyata
tidak sesuai lagi, maka haruslah dicari jalan-jalan baru. Di sinilah hendaknya
sekolah memberi kesempatan kepada murid-murid yang berbakat untuk
menciptakan sesuatu yang baru untuk kepentingan masyarakat seluruhnya. Ini tidak
berarti, bahwa murid akan menciptakannya selama bersekolah, akan tetapi sekolah
jangan mematikan inisiatif dan kreati ,itas murid-murid. Inilah peranan kreatif dari
sekolah.
Faktor lain yang menyebabkan sekolah itu konservatif terletak dalam diri
manusia sendiri. Manusia mempunyai sifat konservatif dalam arti cenderung

untuk mempertahankan yang ada. Manusia sukar menyimpang dari kebiasaan
atau adat istiadat. la lamban dan enggan berubah, malahan sering menentang
perubahan, kalau yang lama itu memuaskannya. la lebih senang mengikuti jejak-
jejak tradisi, karena perubahan dan pembaruan meminta tenaga dan pikiran.
Demikian pula halnya di sekolah. Sekali suatu mata pelajaran dimasukkan ke
sekolah, sukar mengubah atau mengeluarkannya walaupun tidak cocok lagi dengan
perkembangan masyarakat. Dan guru sulit melepaskan diri dari cara-cara ia dahulu
diajar dan dari jenis-jenis mata pelajaran yang diperolehnya waktu ia masih murid.
Itulah salah satu sebab, maka kurikulum yang baru sukar meng-gantikan kurikulum
yang tradisional yang telah berpuluh-puluh tahun lamanya diikuti oleh guru-guru.
Karena itu pembaruan pengajaran harus dimulai dalam diri guru sendiri. Tanpa
perubahan pada diri guru, segala usaha ke arah pembaruan akan menemui
kegagalan. Bahwa sifat inertia atau kelambanan itu banyak ter-dapat justru di
kalangan guru, terbukti dari kenyataan, bahwa desakan untuk pembaruan pendidikan
kebanyakan datang dari tokoh-tokoh yang asalnya bekerja di luar lapangan
persekolahan seperti Rousseau, Decroly, Montessori, Herbert Spencer, dan lain-
lain.
Sifat konservatisme ini ada juga faedahnya. Karena sifat ini, maka orang
berhati-hati menerima pembaharuan-pembaharuan yang belum diuji dan dicobakan
lebih dahulu dengan hasil yang memuaskan. Pembaruan yang tergesa-gesa dicegah
dengan adanya sifat konservatisme ini sebagai faktor pengontrol. Hanya saja sifat
ini hendaknya jangan terlalu berkuasa, sehingga pintu sekolah tertutup rapi untuk
segala sesuatu yang berbau pembaruan pendidikan.
KURIKULUM DAN MASYARAKAT YANG DINAMIS
Masyarakat senantiasa berubah dan terus-menerus akan berubah. Masyarakat
kita sekarang jauh berlainan daripada masyarakat nenek moyang kita dan berlainan
pula dengan masyarakat yang akan dihadapi oleh anak cucu kita pada masa
mendatang. Ilmu pengetahuan dan teknologi ialah daya-daya yang sangat
mempercepat perubahan dalam masyarakat, sehingga merupakan suatu revolusi.
Perubahan teknologi dalam beberapa tahun akhir-akhir ini saja lebih hebat dan lebih
banyak daripada yang pernah dialami nenek kita sepanjang

hidupnya. Segala perubahan itu sedikit banyak mempengaruhi cara hidup dan
cara berpikir manusia: Karena kemajuan clalam lapangan pengangkutan dan
perhubungan, dunia ini telah menjadi suatu kesatuan. Tak ada lagi daerah atau
negara yang terpencil. Segala sesuatu yang penting yang terjadi di suatu daerah,
segera diketahui di semua pelosok di dunia. Ketegangan di suatu negara, apakah itu
Zaire, Laos atau Timur Tengah, menimbulkan ketegangan pula di seluruh dunia.
Dunia ini rasanya bertambah kecil. Pendapatan-pendapatan baru segera tersebar di
seluruh dunia dan mempengaruhi hidup manusia seperti listrik, radio, TV, kapal
terbang, makanan kaleng, telepon, dan sebagainya.
Di samping membawa kebahagiaan, kemajuan ilmu pengetahun dan teknik
banyak juga mengandung bahaya apabila disalah gunakan. Bahaya kehancuran
dengan born atom memberi tugas baru kepada umat manusia, untuk bekerjasama
agar dapat hidup damai berdampingan di dunia ini. Sekolah tidak dapat menutup
mata untuk masalah-masalah internasional seperti polusi, eksplosi penduduk, dan
sebagainya yang juga mengenai diri setiap orang. Sekolah hendaknya turut serta
memberi sumbangan ke arah terciptanya dunia yang bahagia dan aman bagi seluruh
umat manusia.
Masyarakat kita sekarang ini sangat dinamis dan senantiasa akan berubah.
Berdasarkan kenyataan ini, dapatkah dipertahankan kurikulum yang statis, kolot,
dan membatu? Misalnya rencana pelajaran yang bercorak kolonial tidak dapat
dipertahankan clalam negara yang telah merdeka. Bila diterima sebagai prinsip,
bahwa sekolah harus mendidik untuk kehidupan, bahwa sekolah harus
mempersiapkan anak-anak untuk masyarakat, maka kurikulum seharusnya
disesuaikan dengan gerak-gerik dan perubahanperubahan masyarakat itu. Isi
kurikulum harus senantiasa dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat.
Karena kurikulum harus dinamis dan ini hanya mungkin dengan bentuk kurikulum
yang fleksibel, yakni yang dapat diubah menurut kebutuhan dan keadaan. Dengan
demikian kurikulum itu cukup elastis, sehingga senantiasa terbuka untuk
memberikan hahan pelajaran yang penting dan perlu bagi murid-murid pada saat
dan tempat tertentu. Karena kurikulum tidak dapat ditentukan secara mutlak dan
uniform untuk semua sekolah clalam bentuk suatu rencana pelajaran terurai yang
harus diikuti oleh guru hingga detail yang sekecil-kecilnya.

Kurikulum yang uniform mematikan inisiatif guru, mengekang kebebasannya
dan menutup kemungkinan untuk menyesuaikan kurikulum dengan keadaan
masyarakat dan kebutuhan murid-murid setempat. Kurikulum yang uniform juga
bertentangan dengan prinsip untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan
inidividual. Keadaan dan kebutuhan yang serba ragam di berbagai daerah di Tanah
Air kita memerlukan kurikulum yang fleksibel, sehingga keperluan-keperluan
masyarakat itu dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Hanya dengan jalan
demikian sekolah dapat memberikan pendidikan yang fungsional, sehingga anak-
anak benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi masalah-masalah di dalam
masyarakat tempat is hidup.
SEKOLAH MASYARAKAT
Menurut Olsen*) perkembangan persekolahan di Amerika Serikat melalui tiga fase.
1. Sekolah akademis atau Sekolah Tradisional.
Sekolah ini bersifat "book-centered" atau berpusat pada buku pelajaran.
Kurikulum bersifat subject-sentered yang memberikan pengetahuan yang logic
sistematis. Anak-anak dalam kelas kebanyakan duduk di bangku sambil
menghafal, mendengarkan atau melamun. Pendidikan ini kurang memperhatikan
perbedaan individual, minat dan kebutuhan anak-anak. Pelajaran-pelajaran
terlepas dari kehidupan masyarakat. Hubungan dengan lingkungan sangat sedikit.
Walaupun disebut tradisional, sistem ini masih sangat umum terdapat di sekolah-
sekolah kita.
2. Sekolah progresif
Sekolah ini bersifat child-centered. Kurikulum didasarkan atas minat dan
kebutuhan anak-anak dan pemuda, sedangkan kebutuhan mereka sebagai orang
dewasa dalam masyarakat sering diabaikan. Di sekolah ini disiplin lebih lunak,
anak-anak diberi lebih banyak kebebasan; rundingan antara guru dengan murid
sangat diutamakan dalam merencanakan apa yang akan dipelajari di sekolah.
Walaupun sekolah yang semata-mata child-centered boleh dikatakan tidak ada
lagi, prinsip-prinsip aliran ini sangat berharga bagi perbaikan pengajaran.

3. Sekolah masyarakat atau community school.
Sekolah ini bersifat life-centered. Yang menjadi pokok pelajaran ialah kebutuhan
manusia, masalah-masalah dan proses-proses sosial dengan tujuan untuk
memperbaiki kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai
laboratorium tempat anak belajar, menyelidiki dan turut serta dalam usaha-usaha
masyarakat yang mengandung unsur pendidikan. Sekolah ini menurut sertakan
orang banyak dalam proses pendidikan untuk mempelajari problema-problema
sosial. Sekolah ini merupakan pusat masyarakat untuk melakukan
pertemuanpertemuan, upacara-upacara dan usaha-usaha lain. Dengan jalan
demikian terbukalah pintu antara sekolah dengan masyarakat, sehingga sekolah
dapat memasuki masyarakat dan masyarakat dapat memasuki sekolah.
CIRI-CIRI SEKOLAH MASYARAKAT *)
Menurut Olsen ciri-ciri Community School ialah sebagai berikut:
1. Sekolah itu memperbaiki mutu kehidupan setempat pada saat sekarang Berkat
sekolah maka orang dalam masyarakat menjadi manusia yang lebih baik,
jasmaniah, emosional, sosial, material. Hubungan antar-suku bertambah erat,
kejahatan pemuda, penyakit menular berkurang dengan adanya usaha sekolah
kearah itu. Sekolah ini mendidik anak-anak menjadi manusia yang lebih baik
dalam dunia yang lebih baik.
2. Sekolah itu menggunakan masyarakat sebagai laboratorium tempat belajar.
Belajar tidak hanya terbatas antara empat dinding kelas. Kalau kita ingin
memupuk pengertian, minat, dan ketrampilan yang penting guna perbaikan
kehidupan masyarakat, talc dapat tiada anak-anak harus diberi kesempatan
sebanyak-banyaknya untuk mempelajari masyarakat berkat pengalaman
langsung. Buku-buku dan bacaan-bacaan lain memang penting juga, akan tetapi
tidak memadai. Sekolah membuka pintu untuk mengadakan hubungan

timbal balik dengan masyarakat. Orang-orang diundang ke sekolah untuk memberi
keterangan-keterangan mengenai bidang keahliannya. Murid-murid pergi ke luar
melakukan karyawisata untuk menyelidiki usaha pertanian, perindustrian,
perumahan, dan sebagainya. Di samping bukubuku, sekolah masyarakat
menggunakan lingkungan sebagai sumber pelajaran yang sangat penting.
3. Gedung sekolah itu menjadi pusat kegiatan masyarakat.
Sekolah itu tidak hanya untuk kepentingan anak-anak melainkan juga untuk
orang dewasa. Gedung sekolah dapat digunakan untuk pertemuan dan rapat-
rapat, untuk perayaanperayaan dalam lingkungan itu. Pemberantasan buta huruf,
kursus-kursus untuk wanita, pertandingan-pertandingan olahraga dan Iain-lain
dapat dilakukan di sekolah, karena sekolah itu kepunyaan bersama seluruh
masyarakat.
4. Sekolah itu mendasarkan kurikulum pada proses-proses dan problema-
problema kehidupan dalam masyarakat.
Inti kurikulum terdiri atas kebutuhan manusia dalam masyarakat sekarang dan
masa depan, seperti soal mencari nafkah, kewajiban warganegara, menjaga
kesehatan, memperbaiki kehidupan kekeluargaan, bergaul dengan orang-orang
lain, dan sebagainya. Dengan jalan demikian terdapat hubungan erat antara
pelajaran di sekolah dengan tuntutan-tuntutan kehidupan masyarakat yang
mengandung arti bagi murid dan karena itu lebih merangsang kegiatan anak-anak
untuk belajar.
5. Sekolah itu menurut sertakan orang tua dalam urusan-urusan sekolah.
Sekolah bukan hanya urusan guru, akan tetapi juga termasuk tanggung jawab
seluruh masyarakat. Orang tua, dalam bentuk POMG atau sejenis turut
membantu sekolah, bukan hanya dalam bidang material, tetapi juga dalam
lapangan pendidikan. Mengenai hal-hal tertentu sering diadakan perundingan
antara guru dengan orang tua dan pemimpin-pemimpin dalam masyarakat guna
perbaikan sekolah.
6. Sekolah itu turut mengkoordinasikan masyarakat.

Untuk memperbaiki taraf kehidupan dalam suatu masyarakat segala lembaga-
lembaga dan badan-badan dalam masyarakat itu harus bekerjasama, seperti
dalam hal pemeliharaan kebersihan dan kesehatan, penyelenggaraan rekreasi,
memberantas prasangka dan takhayul, dan Iain-lain. Dalam hal ini sekolah dapat
menjalankan peranan yang penting dengan bekerjasama atau menggembleng
semua tenaga yang terdapat di lingkungan itu.
7. Sekolah itu dapat melaksanakan dan menyebarkan filsafat negara dalam segala
hubungan antar-manusia.
Sekolah itu suatu lembaga yang tidak hanya memberi penjelasan saja tentang
filsafat negara, melainkan juga mempraktekkannya di sekolah itu sendiri dan
dalam hubungannya dengan masyarakat.
MASYARAKAT SEBAGAI SUMBER PELAJARAN
Pengajaran mencapai hasil sebaik-baiknya, apabila didasarkan atas interaksi
antara murid-murid dengan sekitarnya. Apa yang dipelajari anak hendaknya hal-hal
yang juga terdapat dalam masyarakat dan karena itu berguna bagi hidup anak sehari-
hari. Bila masalah-masalah yang dihadapinya dalam hidupnya di luar sekolah
dijadikan pokok-pokok untuk dipelajari di sekolah, maka ia lebih paham akan
masalah-masalah itu dan lebih sanggup mengatasinya, seperti: Bagaimanakah cara-
cara bergaul yang baik? Bagaimanakah sikap pemuda terhadap orang tua, terhadap
adat, bioskop, bacaan cabul, propaganda, perbedaan agama, dan suku bangsa?
Apakah yang harus dilakukan dalam waktu senggang? Bagaimanakah pemuda-
pemudi harus menjaga diri dalam masa modern ini? Bagaimanakah harus
menghadapi pengaruh kebudayaan asing? Apakah kekurangan-kekurangan di
kampung atau kota yang perlu diperbaiki? Banyak lagi masalah-masalah lain yang
dapat dijadikan bahan pelajaran selama kurikulum itu bersifat fleksibel. Hal yang
demikian boleh dikatakan tidak mungkin, kalau kurikulum itu uniform dan statis.
Kurikulum ialah sesuatu yang hidup, yang dinamis, yang mengikuti - dan bila
mungkin - turut menentukan atau membimbing perkembangan masyarakat di
lingkungan sekolah itu. Karena itu kurikulum tidak boleh lepas dari masyarakat.
Oleh sebab masyarakat di berbagai tempat di Tanah Air kita berbeda-beda,
maka sekolah-sekolah setempat

hendaknya diberikan kebebasan hingga batas-batas tertentu, untuk
menentukan kurikulum sendiri dengan menyesuaikannya dengan keadaan dan
kebutuhan masyarakat itu. Untuk itu harus diselidiki keadaan masyarakat. Antara
lain dapat diselidiki:
1. Keadaan fisis lingkungan, yang mempengaruhi corak kehidupan dan
kebudayaan masyarakat itu, yaitu:
a) Iklim suatu daerah. Mata pencaharian ditentukan oleh suhu, hujan dan angin,
tetapi juga aspek-aspek lain daripada kehidupan atau masyarakat.
b) Luas daerah. Kehidupan kampung kecil berlainan dengan kota besar,
demikian pula suasana kekeluargaannya.
c) Topografi daerah. Apakah daerah itu letak di pegunungan atau dekat pantai,
apakah pulau terpencil atau jauh di pedalaman ataukah daerah itu banyak
hubungannya dengan dunia luar. Topografi turut menentukan
matapencarian, adat istiadat dan Iain-lain.
d) Keadaan tanah. Tanah kering atau banyak air, tanah gersang atau subur
berpengaruh sekali terhadap kehidupan masyarakat.
e) Kekayaan alam. Kehidupan dan corak masyarakat turut ditentukan oleh
kekayaan alam berupa hutan, barang tambang, danau-danau, dan sebagainya.
2. Penduduk. Selain dan kekayaan geografis daerah, harus juga dipelajari hal-hal
tentang manusia yang menghuninya. Antara lain dapat dipelajari:
a) Jumlahnya. Kampung kecil berbeda masyarakatnya dengan kota besar. Kota
menjadi besar karena faktor-faktor tertentu.
b) Mata pencarian. Apakah yang dilakukan orang untuk mencari nafkahnya.
Bagaimanakah tingkat kehidupan orang di lingkungan itu? Usaha apakah
yang dapat dijalankan untuk mempertinggi taraf kehidupan itu? Siapa-
siapakah yang kaya dan siapakah yang lemah ekonominya.
c) Susunan penduduk. Bagaimanakah perbandingan jumlah penduduk dari
berbagai golongan? Bagaimanakah kedudukan tiap golongan?
d) Pendidikan. Berapa banyakkah yang buta huruf, tamatan SD, SL dan
Perguruan Tinggi? Berapa banyakkah yang tidak melanjutkan pelajarannya?
Banyakkah anak-anak yang tidak bersekolah?

3. Organisasi-organisasi masyarakat. Manusia dalam masyarakat tidak hidup sendiri-
sendiri, melainkan membentuk kelompok, badan-badan atau organisasi yang
mempunyai tujuan tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan dan problema-
problema tiap-tiap kelompok. Antara lain dapat dipelajari: Organisasi-organisasi
dan perkumpulan-perkumpulan seperti perkumpulan dagang, politik, olah raga,
kepanduan, organisasi wanita, pemuda, buruh, dan sebagainya. Lembaga-lembaga
seperti keluarga, sekolah, pemerintah.
Badan yang terpenting dalam pendidikan anak ialah rumah tangga. Di situlah
anak itu mula-mula mempelajari bahasa. Di situlah ia mempelajari hubungan-
hubungan sosial serta menerima norma-norma tentang yang buruk dan yang baik.
Pengaruh rumah tangga tidak terhenti, walaupun anak itu telah bersekolah. Setiap
anak telah memperoleh sejumlah pendidikan dan pengalaman-pengalaman tertentu
sebelum ia menduduki bangku sekolah. Pendidikan di sekolah tak mungkin
dilakukan dengan baik, tanpa kerjasama yang erat dengan orang tua.
Selain dari rumah tangga juga dari badan-badan lain diperlukan bantuan,
seperti dari badan-badan pemerintahan, kepolisian, jawatan pertanian, organisasi
keagamaan, badan-badan rekreasi, perkumpulan-perkumpulan pemuda, pemimpin-
pemimpin perusahaan, dan Iain-lain.
Yang bertanggung jawab atas pendidikan anak bukan hanya guru-guru dan
orang tua, melainkan seluruh masyarakat. Toko buku yang dengan diam-diam
menjual bacaan cabul, bioskop yang membolehkan anak-anak di bawah umur
menonton film yang tak sesuai dengan usianya, pemerintahan kota yang tidak
menyediakan lapangan olah raga tetapi menggunakannya untuk mendirikan gedung-
gedung, mereka semua tidak luput dari tanggung jawab itu.
Itu sebabnya harus ada kerjasama yang erat antara badan-badan masyarakat,
supaya di luar sekolah dan rumah tangga, anak-anak senantiasa mendapat pengaruh
yang sebaik-baiknya. Itu pula sebabnya maka ada sekolah yang turut

mencampuri perkumpulanperkumpulan dan usaha-usaha pemuda dan anak-
anak di luar sekolah dan memandangnya sebagat bagian daripada kurikulum.
Garis-garis besar yang diberikan di atas memberikan gambaran sepintas lalu,
bahwa masyarakat atau lingkungan sungguh-sungguh merupakan sumber bahan
pelajaran yang sangat kaya dan luas, yang tidak dapat diabaikan begitu saja, lalu
berpegang saja pada suatu buku pelajaran.
Agar lingkungan dapat menjadi sumber dan Moratorium pelajaran, guru
sendiri harus lebih dahulu menyelidiki lingkungan sekolah. Kalau guru itu betul-
betul melakukannya, ia akan terperanjat, betapa banyaknya yang dapat drjadikan
pelajaran dalam radius 1 km. saja sekeliling sekolahnya. Yang dapat diselidiki ialah
hal-hal mengenai pertanian, industri, perniagaan, rekreasi, transport, lalu lintas,
lembaga-lembaga pendidikan, gedung-gedung perumahan, tumbuh-tumbuhan,
binatang, juga kebutuhan-kebutuhan masyarakat, kebaikan dan kekurangan-
kekurangan, norma-norma, takhyul, adat istiadat, peraturan-peraturan, sejarah,
kesehatan, pemerintahan, kesenian, kehidupan keluarga, kepolisian, kegiatan
pemuda, wanita, dan Iain-lain. Sungguh banyak bahan dari masyarakat yang dapat
dijadikan pelajaran bagi murid-murid.
CARA-CARA MENGGUNAKAN MASYARAKAT DALAM PELAJARAN
a. Karyawisata atau field trip.
Murid-murid dapat kita bawa ke luar kelas untuk mempelajari berbagai-bagai
hal. Karyawisata selalu .mempunyai tujuan belajar, jadi berbeda dengan piknik atau
bertamasya untuk menikmati keindahan alam atau untuk gerak badan. Karyawisata
mungkin hanya memakan waktu beberapa menit saja, kalau anak-anak pergi ke luar
kelas untuk melihat burung yang hinggap di atap sekolah atau memakan beberapa
jam atau beberapa minggu kalau harus pergi ke tempat yang jauh, malahan juga
beberapa bulan, kalau
murid membuat perjalanan keliling dunia, andaikan ada uang untuk itu. Seperti telah
kita bicarakan di atas, banyak yang dapat dipelajari anak-anak dengan karyawisata
seperti ke sawah, kebun, pabrik, kantor pos, gedung area, taman bunga, jalan raya,
lapangan terbang, dan sebagainya.

Sering karyawisata hanya dapat dilakukan dengan bantuan masyarakat. Yang
empunya pabrik, direktur rumah sakit, inspektur polisi, dan sebagainya harus
mempunyai pengertian tentang makna karyawisata hagi pendidikan dan
memberikan bantuan dan kesempatan sepenuhnya kepada murid-murid untuk
meninjau tempat-tempat itu. Dengan demikian mereka tout serta menjadikan
masyarakat suatu laboratorium tempat anak-anak mengadakan penyelidikan dan
belajar. Di sini tidak dibicarakan lebih lanjut cara-cara menyelenggarakan
karyawisata agar berhasil baik.
b. Menggunakan orang sebagai sumber.
Dalam tiap masyarakat betapapun kecilnya, terdapat orang-orang yang
mempunyai pengalaman, kecakapan, atau pengetahuan yang khusus mengenai satu
lapangan. Petani banyak pengetahuannya tentang menanam dan memelihara padi,
tukang kayu dapat berbicara tentang pembuatan rumah. Demikian pula dokter,
saudagar, tukang becak, pembesar dalam pemerintahan, polisi, tentara, bidan,
pendeta, haji, wartawan, pemain bola, dan Iain-lain masing-masing dapat
mempunyai pengetahuan dan keahlian yang khusus yang dapat digunakan oleh
sekolah. Mereka dapat diundang ke sekolah untuk memberi keterangan-keterangan
mengenai suatu pokok yang sedang dipelajari oleh anak-anak. Seorang pengurus
PMI berbicara tentang usaha-usaha yang dijalankan untuk meringankan penderitaan
umat manusia, tukang becak dapat menceritakan pahit getir dan kegembiraan
penghidupannya, seorang camat dapat menjelaskan hal berhubungan dengan urusan
kampung, seorang inspektur polisi memberi penerangan betapa perlunya orang taat
kepada peraturan-peraturan
lintas, seorang Arab atau India memberikan penjelasan tentang negaranya masing-
masing dan seterusnya. Contoh-contoh dapat kita tambah lagi, sumber ini sangat
luas dan kaya. Akan tetapi sayang ssekali, sumber ini masih belum cukup
dimanfaatkan untuk memperkaya kurikulum di sekolah.
c. Pengabdian masyarakat.
Dari murid diharapkan, agar mereka tidak hanya memperhatikan dan
mempelajari apa yang ada dan yang terjadi dalam masyarakat. Mereka tidak boleh
menjadi penonton saja, akan tetapi dalam pelbagai hal mereka dapat tout serta

dalam usaha-usaha masyarakat. Malahan ada kalanya sekolah menjadi
pendorong dan turut aktif memperbaiki keadaan masyarakat. Terutama di daerah-
daerah yang terbelakang, sekolah dapat memelopori masyarakat ke arah perbaikan
dan pembaharuan. Misalnya murid-murid dapat turut membersihkan dan
memperindah kampung, memberantas tikus dan nyamuk, membuat kakus, menanam
buah-buahan, sayur-sayuran atau bunga-bungaan yang baru. Pengalaman serupa ini
memberi pelajaran kepada murid-murid, bahwa mereka dapat membantu
masyarakat dan dapat mengubah dan memperbaiki keadaan sekitarnya. Dengan
turut serta dalam usaha-usaha perbaikan masyarakat anak-anak mendapat pengertian
yang lebih mendalam tentang masyarakat itu.
d. Pengalaman kerja dalam masyarakat.
Cara lain untuk memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan pendidikan para
pemuda ialah memberi kepada mereka pengalaman-pengalaman bekerja di samping
pelajaran di sekolah. Pada suatu masa setiap orang harus menjabat suatu pekerjaan
untuk mencari nafkahnya. Besar faedahnya, kalau pemuda-pemuda diberi
kesempatan untuk mengenal pekerjaan di berbagai perusahaan, pabrik-pabrik, dan
kantor-kantor, di bawah pimpinan orang yang kompeten. Tujuannya ialah
menambah pengertian pemuda-pemuda tentang pekerjaan dan memupuk sikap yang
sehat terhadap dunia pekerjaan. Pekerjaan yang dipelajari anak hendaknya sesuai
dengan kebutuhan dan minatnya.
CARA MEMANFAATKAN MASYARAKAT
Untuk menjadikan suatu sekolah life-centered, tak dapat tiada harus diselidiki
sumber-sumber pelajaran apakah yang terdapat dalam masyarakat itu, apakah yang
dapat disumbangkan oleh masyarakat itu untuk pendidikan anak-anak. Di samping
buku-buku pelajaran, masyarakat memberi bahan pelajaran yang penting sekali.
Bagaimanakah cara-cara mengumpulkan bahan-bahan itu? a. Guru-guru bersama-
sama berusaha menyelidiki masyarakat itu dan mengumpulkan hal-hal yang kiranya
dapat memperkaya kurikulum sekolah itu. Masyarakat itu dibagi atas beberapa
aspek seperti: keadaan alam, sejarah, penduduk, transpor dan perhubungan,
kehidupan kekeluargaan, industri dan jabatan-jabatan, kesehatan, pendidikan,
agama, rekreasi, pemerintahan, dan seba-

gainya. Guru-guru masing-masing menyelidiki hal-hal manakah dalam
masyarakat itu yang dapat dipelajari berkenaan dengan tiap kategori. Bahan-bahan
mengenai tiap kategori dimasukkan ke dalam map tersendiri dan dapat senantiasa
diperlengkap.
b. Kepada orang tua murid dan kepada orang-orang lain dapat dikirimkan daftar
pertanyaan dalam bidang manakah mereka dapat bertindak sebagai manusia
sumber, atau mempunyai barang-barang atau alat-alat yang kiranya dapat
dipergunakan untuk pendidikan anak-anak. Diminta pula keterangan waktu mana
ia dapat datang ke sekolah, atau apabila ia dapat menerima murid, berapa jumlah
murid yang dapat datang, dan sebagainya. Dapat juga ditanyakan hal-hal apa yang
diketahuinya yang dapat membantu memperkaya pendidikan anak-anak.
c. Dapat juga dikirim daftar pertanyaan kepada perusahaan-perusahaan, apakah
mereka bersedia menerima murid-murid berkunjung ke sana dengan tujuan
pendidikan. Diminta keterangan anak-anak berusia berapakah mereka bersedia
menerimanya, berapa jumlah murid yang baik berkunjung ke sana, pada hari-hari
apa dan pukul berapa.
Segala keterangan mengenai masyarakat yang dapat memberi bahan untuk
pelajaran hendaknya disusun secara sistematis, sebaiknya dengan menggunakan
sistem kartu. Bahan ini senantiasa dapat diperluas. Pada kartu itu harus pula dicatat
keterangan-keterangan mengenai pokok itu, misalnya setelah mengadakan field- trip
atau setelah mengundang seorang manusia sumber ke sekolah. Juga harus diadakan
administrasi yang cermat, supaya misalnya suatu perusahaan tidak terlampau sering
dikunjungi, sehingga mengganggu pekerjaan mereka, sedangkan perusahaan-
perusahaan lain hampir tak pernah drjadikan obyek pelajaran.
Guru maupun masyarakat harus menyadari, bahwa pengalaman-pengalaman
yang terpimpin yang diperoleh murid-murid dalam masyarakat merupakan bagian
yang hakiki dan pendidikan modern yang efektif. Untuk itu harus ada kerjasama
yang erat antara sekolah dengan masyarakat demi kepentingan sang anak. Orang tua
dapat diturut sertakan dalam usaha-usaha sekolah sebagai anggota POMG,

atau badan sejenis, sebagai manusia sumber, sebagai anggota panitia, antara
lain dalam pembinaan kurikulum.
Akan tetapi bukan hanya masyarakat dapat membantu sekolah, sekolah pun
dapat berjasa kepada masyarakat. Sekolah dapat dijadikan tempat untuk
mengadakan rapat-rapat, untuk pertunjukan-pertunjukan, pameran, kursus-kursus.
Sekolah dapat menyediakan perpustakaan dan alat-alat sekolah untuk digunakan
oleh masyarakat. Dengan jalan demikian sekolah menjadi pusat masyarakat.
RANGKUMAN
1. Dalam masyarakat yang sederhana anak-anak banyak mempelajari hal-hal yang
diperlukannya sebagai orang dewasa dalam masyarakat itu sendiri secara
informal.
2. Dalam masa modern tugas pendidikan untuk mempersiapkan anak agar dapat
berdiri sendiri, dibebankan kepada sekolah.
3. Masyarakat modern cepat berubah, sehingga banyak hal segera menjadi usang.
Pembaharuan kurikulum harus dilakukan secara kontinu.
4. Kurikulum bergantung pada fungsi sekolah dalam masyarakat, yakni apakah
untuk mengawetkan kehudayaan dengan menyampaikannya kepada generasi
muda, mengubah masyarakat, ataukah mengembangkan individu. Ketiga fungsi
itu sebenarnya tak perlu dipertentangkan, akan tetapi dapat dipertemukan.
Namun selalu akan ada perbedaan tekanan.
5. Sekolah masyarakat sangat mengutamakan faktor masyarakat dalam
kurikulumnya.
6. Sekolah tak boleh berdiri terpisah dari masyarakat. Berbagai cara dapat
dilakukan untuk membawa sekolah ke masyarakat dan scbaliknya.
7. Masyarakat merupakan sumber yang kaya bagi pengajaran di sekolah.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Bandingkan pendidikan anak di desa dan di kota.
2. Masalah-masalah pokok apakah yang dihadapi umat manusia pada saat ini?
Hingga manakah masalah-masalah itu dimasukkan ke dalam kurikulum?
3. Sekolah itu konservatif Apa sebab sekolah harus konservatif?

4. Menurut pendapat saudara, dapatkah sekolah mengubah masyarakat? Dapatkah
sekolah mendahului perkembangan masyarakat atau hanya mengikuti
perkembangan masyarakat?
5. Perbedaan apakah yang tampak bagi saudara dalam pendidikan sewaktu saudara
masih kecil dengan pendidikan dewasa ini? Dapatkah saudara sebutkan sebab-
sebab perubahan itu?
6. Dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah
kehidupan masyarakat. Dapatkah saudara menunjukkan contoh-contoh
berdasarkan observasi dan pengalaman sendiri? Apakah implikasinya bagi
kurikulum?
7. Peranan keluarga modern sudah berlainan dengan zaman dahulu, satu-dua
generasi yang lalu. Peranan apakah yang tak dapat dilakukan lagi oleh keluarga
yang dibebankan kepada sekolah?
8. Bagaimana pandangan John Dewey tentang fungsi sekolah?
9. Apa dimaksud dengan "social engineering"?
10. Bandingkan kurikulum SD pada zaman penjajahan Belanda dengan kurikulum
sekarang. Can perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh perubahan
masyarakat.
11. Sebutkan ciri-ciri sekolah masyarakat. Apa sebab ide sekolah masyarakat
demikian tidak dijadikan pola sekolah kita sekarang? Adakah keberatan-
keberatannya?
12. Coba selidiki lingkungan sekolah dengan radius 1 km. sumber-sumber pelajaran
apa yang terdapat di situ?
13. Bagaimanakah cara-cara memanfaatkan masyarakat dan lingkungan untuk
kepentingan masyarakat? Apa sebab sumber yang kaya ini kurang digarap oleh
sekolah-sekolah kita?
14. Menurut penilaian saudara, apakah sekolah kita telah cukup disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat, atau dengan kata lain apakah kurikulum telah relevan
dengan kebutuhan masyarakat? Jelaskan dengan contoh-contoh.
15. Relevansi kurikulum dengan kebutuhan masyarakat harus senantiasa ditinjau
kembali. Apa sebabnya?

16. Diskusikan apakah di daerah pertanian pelajaran bertani selalu relevan bagi
semua murid.
17. Diskusikan apakah orang tua baik diturut sertakan dalam urusan sekolah
termasukkurikulumnya.

BAB 7
ORGANISASI KURIKULUM
Organisasi kurikulum yaknii pola atau bentuk bahan pelajaran disusun dan
dismapaikan kepada murid-murid, merupakan suatu dasar yang penting sekali dalam
pembinaan kurikulum dan bertalian erat dengan tujuan program pendidikan yang
hendak dicapai, karena bentuk kurikulum turut menentukan bahan pelajaran,
urutannya dan cara menyajikan kepada murid-murid. Tujuan-tujuan yang dicapai
dengan kurikulum berdasarkan mata pelajaran yang terpisah-pisah. Demikian pula
berlainan cara penyampaiannya dan isi pelajarannya. Tujuan-tujuan pendidikan
yang mengenai seluruh pribadi anak dihalang-halangi oleh kurikulum yang disusun
untuk memupuk segi intelektual. Tentu saja subject-curriculum dapat juga
membentuk segi-segi lain dari pribadi anak, akan tetapi organisasi kurikulum
tertentu sangat mempengaruhi bentuk-bentuk pengalaman apakah yang akan
disajikan kepada anak-anak. Kurikulum berdasarkan proyek atau unit dengan
sendirinya misalnya menyuruh anak-anak menyelidiki sendiri, mengadakan
karyawisata, mengadakan interview, menggunakan berbagai-bagai sumber, dan
sebagainya dan tidak terikat pada satu buku pelajaran tertentu. Selain itu organisasi
kurikulum menentukan juga peranan guru dan murid dalam pembinaan kurikulum.
JENIS-JENIS KURIKULUM
Kurikulum bermacam-macam bentuknya. Bentuk yang paling dikenal dan
sangat meluas pemakaiannya ialah subject curriculum. Subject berarti mata
pelajaran. Subject jangan dikacaukan dengan subject matter, yang berarti bahan
pelajaran. Setiap kurikulum, juga integrated curriculum mempunyai subject matter,
yaitu mempunyai bahan pelajaran tertentu. Jadi subject curriculum berarti
kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran, disebut juga subject-centered
curriculum yang artinya kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran. Karena mata
pelajaran itu pada umumnya diajarkan secara terpisah-pisah, maka disebut juga
separate subject-curriculum.

Kurikulum ini banyak mempunyai ciri-ciri yang menguntungkan, namun juga
banyak mempunyai kelemahan. Karena kelemahan itu banyak timbul kritik dari para
ahli kurikulum yang menganjurkan bentuk kurikulum lain.
Maka timbullah berbagai bentuk kurikulum lain yang dianggap sebagai reaksi
terhadap subject curriculum itu. Mereka yang menganggap bahwa subject
curriculum memberi pengetahuan yang lepas-lepas, atomistis, atau fragmentaris
menganjurkan kurikulum yang integrated atau dipadukan, yang tidak mengenal
batas-batas antara mata pelajaran. Para ahli yang mengecam subject curriculum
karena dalam proses belajar anak itu hanya pasif, menganjurkan suatu bentuk
kurikulum yang lebih mengaktifkan anak-anak dalam proses belajar, yang mereka
sebut activity curriculum. Ada pula yang menganggap bahwa subject curriculum
terlampau mengutamakan pengalaman umat manusia yang lampau, yakni
kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang, yang dituangkan dalam bentuk
mata pelajaran, sehingga pengetahuan anak menjadi verbalistis. Mereka ini
menginginkan kurikulum yang didasarkan atas pengalaman langsung agar pelajaran
lebih bermanfaat. Kurikulum yang mereka anjurkan disebut experience curriculum.
Demikian pula subject curriculum dikecam karena kurang memberi pelajaran
yang bertalian dengan kehidupan anak seharihari dalam lingkungan masyarakatnya.
Mereka ini menganjurkan life curriculum. Ada pula yang berusaha mencakup segala
kebaikan bentuk kurikulum yang mengadakan reaksi terhadap subject curriculum,
yakni core curriculum.
Kita akan bicarakan berbagai bentuk kurikulum itu. Perlu kami berikan
peringatan yang berikut. Setiap kurikulum mempunyai ciri-ciri yang baik, akan
tetapi juga mempunyai kelemahan-kelemahan, ditinjau dari segi tertentu. Kritik-
kritik terhadap bentuk kurikulum tertentu adalah kritik-kritik yang diajukan oleh
orang-orang yang tidak menyetujui bentuk kurikulum tersebut. Kita harus meninjau
kecaman itu secara kritis. Orang yang menganjurkan sesuatu yang baru, biasanya
berusaha memberi kecaman yang tajam untuk mendiskreditkannya. Ada kalanya
kecaman itu obyektif, akan tetapi kadang-kadang agak dilebih-lebihkan.

Selanjutnya perlu kita perhatikan, bahwa pertentangan yang tajam itu
biasanya terdapat pada taraf teoretis. Dalam praktik tidak tampak pertentangan
serupa itu.
Juga hams kita ketahui bahwa berbagai bentuk kurikulum yang ^baru' itu
jarang terdapat dalam kenyataan dalam bentuknya yang murni. Ada kalanya bentuk
kurikulum itu hanya terdapat dalam teori raja. Namun berbagai bentuk kurikulum
ada pengaruhnya terhadap pemikiran tentang kurikulum dan sering pula dalam
pelaksanaannya. Demikian pula subject curriculum tidak selalu tampil dalam
bentuknya yang buruk. Kurikulum ini dapat dimodifikasi, diperkaya, dan
disesuaikan dengan pemikiran-pemikiran baru tentang kurikulum. Selanjutnya akan
kita bicarakan berbagai bentuk atau organisasi kurikulum.
I. SEPARATE-SUBJECT CURRICULUM
Kurikulum ini disebut demikian, oleh sebab segala bahan pelajaran disajikan
dalam subject atau mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang satu lepas dari yang
lain. Organisasi subject curriculum dianggap berasal dari zaman Yunani kuno.
Orang Yunani telah mengajarkan berbagai bidang studi seperti kesusasteraan,
matematika, filsafat dan ilmu pengetahuan ditambah dengan musik dan atletik.
Orang Romawi menerimanya dari orang Yunani sambil mengadakan perobahan.
Mereka mengadakan dua kategori utama yakni trivium (gramatika, retorika, dan
logika) dan quadrivium (arithmetika, geometri, astronomi, dan musik), yang
kemudian dikenel sebagai " the seven liberal arts " yang memberikan pendidikan
umum.
Pada abad pertengahan tujuan pendidikan menjadi praktis dan vokasional. Di
universitas misalnya dipelajari tiga bidang utama, yakni teologi, kedokteran, dan
hukum. Tidak jelas apa yang terjadi dengan " the seven liberal arts " itu. Yang
diketahui ialah bahwa bahasa Latin menjadi matapelajaran yang sangat penting.
Baru pada abad ke-19 mulai berkembang matapelajaran-matapelajaran dengan
pesatnya. Setiap mata pelajaran harus lebih (lulu berjuang sebelum diakaui dan
diterima sebagai mata pelajaran di sekolah seperti bahasa ibu, bahasa asing, fisika,
biologi, dan sebagainya. Juga timbul berbagai matapelajaran yang dianggap

nonakademis seperti tata buku, pekerjaan tangan, pertanian, pendidikan
jasmani, pendidikan kesejahteraan keluarga, dan sebagainya. Kini terdapat ratusan
mata pelajaran di sekolah maupun universitas. Inilah jenis kurikulum yang
umumnya terdapat di kebanyakan negara, juga di Indonesia, baik di SD maupun di
Sekolah Menengah sampai Universitas.
Apakah sebenarnya subject atau mata pelajaran itu? Subject itu ialah hasil
pengalaman umat manusia sepanjang masa, atau kebudayaan dan pengetahuan yang
dikumpulkan oleh umat manusia sejak dulu kala. Bahan ini lalu disusun secara logis
dan sistematis, disederhanakan dan disajikan kepada anak-anak di sekolah sebagai
mata pelajaran setelah disesuaikan dengan usia dan kematangan murid-murid. Untuk
itu bahan pelajaran dibagi-bagi untuk tiap-tiap kelas. Batas-batas bahan pelajaran itu
dihormati benar dan biasanya tidak dilampaui. Dikelas I SD dahulu anak-anak
berhitung dengan bilangan 1 sampai 20. Kalau ia menghadapi soal-soal di atas 20,
biasanya ia hams menunggu pemecahannya sampai ia naik kelas 2. Jadi dalam mata
pelajaran itu sendiri terdapat batas-batas yang memisahkan bahan pelajaran untuk
tiap kelas, seakan-akan terbagi atas petak-petak. Batas-batas terdapat pula antar
mata pelajaran yang satu dengan yang satu lagi. Tiap mata pelajaran diberikan
tersendiri lepas dari mata pelajaran lain pada jam pelajaran tertentu. Biasanya
sejarah diberikan terpisah dari ilmu bumi, walaupun kedua mata pelajaran itu erat
hubungannya.
Dengan demikian sukarlah terdapat suatu kebulatan dalam pengetahuan anak-
anak. Mereka sering hanya menumpukkan bermacam-macam pengetahuan. Tentu
ini juga disebabkan oleh metode mengajarnya.
Jelaslah bahwa pada pokoknya kurikulum serupa ini berdasarkan ilmu jiwa
assosiasi yang mengharapkan timbulnya pribadi yang bulat sebagai hasil jumlah
pengetahuan yang diperoleh anak.
Dengan suatu kurikulum, sekolah memberikan kepada anak-anak
pengalaman-pengalaman untuk mengembangkan pribadinya sesuai dengan tujuan
pendidikan. Anak-anak (dan manusia umumnya) belajar berkat pengalaman.
Sebelum anak bersekolah, telah banyak sekali ia belajar dan pengalaman dalam

kehidupannya sehari-hari. Hasil pelajaran serupa itu dianggap permanen dan tidak
dilupakan. Karena itu sekolah modern menggunakan pengalaman-pengalaman anak
itu sendiri sebagai bahan pelajaran. Yang dipelajari ialah hal-hal yang berhubungan
langsung dengan kehidupan anak. Dalam subject curriculum anak-anak dipaksakan
mempelajari pengalaman umat manusia yang lampau, yang tidak selalu bertalian
erat dengan pengalaman anak itu sendiri. Oleh sebab itu banyak yang tidak dapat
diselami oleh anak itu sendiri, lalu dihafal untuk diingat dan kemudian dilupakan.
Kurikulum yang subject-centered ini terutama ditujukan kepada pembentukan
intelektual dan kurang mengutamakan pembentukan pribadi anak sebagai
keseluruhan.
Kurikulum serupa ini biasanya ditentukan terlebih dahulu oleh ahli-ahli atau
para pembina pendidikan. Hal ini mungkin, oleh sebab luas atau scope bahan
pelajaran dapat ditentukan. Biasanya yang menentukannya ialah suatu panitia yang
terdiri atas tokoh-tokoh dan ahli-ahli pendidikan lain dan para ahli dalam disiplin
tertentu. Mereka inilah menetapkan apakah diperlukan anak-anak kelak dalam
kehidupannya dalam masyarakat. Jadi dalam kurikulum ini sudah lebih dahulu
ditentukan pengalaman-pengalaman apakah yang akan diterima anak selama ia
bersekolah. Oleh sebab bahan pelajaran itu biasanya telah ditetapkan oleh buku,
maka besarlah pengaruh buku pelajaran. Bahkan sering kurikulum itu semata-mata
ditentukan oleh buku pelajaran itu, sehingga tujuan pendidikan menyempit menjadi
menguasai sejumlah pengetahuan yang tercantum dalam buku. Tentu saja guru yang
baik tidak akan sudi diperhamba oleh buku dan mencari berbagai jalan untuk
memperkaya kurikulum itu dan menyesuaikan sedapat mungkin dengan kebutuhan
anak-anak setempat.
Oleh karena pengetahuan yang harus dikuasai anak tertentu banyaknya, maka
kurikulum ini mudah dijadikan uniform atau seragam di seluruh negara, dengan
maksud agar pendidikan di mana saja sama tarafnya. Untuk memperkuat
keseragaman itu diberikan pula rencana pelajaran terurai yang menentukan dalam
garis-garis kecil apa yang harus disajikan kepada murid-murid setiap minggu, setiap
jam. Kurikulum yang seragam ini memudahkan anak-anak pindah sekolah. Pada
akhir sekolah dapat diadakan ujian negara yang uniform pula. Keseragaman

bahan pelajaran yang diberikan kepada semua anak dalam suatu kelas menimbulkan
kesalahan didaktis untuk menyamaratakan semua murid, yang pandai, maupun yang
kurang pandai. Untuk mencari jalan tengah biasanya guru menyesuaikan pelajaran
dengan anak-anak yang " sedang " kepandaiannya. Tentu saja cara ini tidak
memuaskan bagi anak-anak yang pandai karena pelajaran itu dianggapnya
terlampau mudah dan tidak merangsangnya untuk mengeluarkan segenap tenaga dan
pikirannya. Sebaliknya bagi anak yang kurang pandai, pelajaran itu terlampau cepat
dan ia makin lama makin jauh ketinggalan. Menyesuaikan pelajaran dengan
kebutuhan minat, kesanggupan, dan pengalaman anak secara individual merupakan
suatu hal yang sukar dan karena itu tidak sering dilakukan dalam kurikulum yang
berdasarkan susunan mata pelajaran yang terpisah-pisah ini. Kurikulum yang
berpusatkan mata pelajaran ini masih sangat banyak dipakai, karena banyak
mengandung hal yang menguntungkan.
MANFAAT SEPARATE-SUBJECT CURRICULUM
1. Bahan pelajaran dapat disajikan secara logis dan sciternuas.
Menurut pengertiannya subject itu ialah hasil pengalaman umat manusia pada
masa yang lampau yang tersusun logis sistematis. Tiap mata pelajaran mengandung
sistematik tertentu. Berhitung dimulai dengan bilangan-bilangan kecil dan kemudian
meningkat kepada bilangan-bilangan besar. Ilmu pasti mulai dengan pengertian-
pengertian dasar, kemudian diberikan bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Geografi
dimulai dengan daerah yang dekat, kemudian dibicarakan daerah-daerah yang makin
jauh. Sejarah disusun dari masa purba sampai kepada zaman sekarang. Demikian
dapat kita lihat, bahwa setiap mata pelajaran atau disiplin mempunyai sistematik
tertentu. Dengan mengikuti sistematik itu anak-anak juga terlatih berpikir menurut
struktur disiplin, misalnya dengan mempelajari matematik, anak dapat berpikir
secara matematis, dan sebagainya. Logika dan sistematik setiap cabang berpikir
secara matematis, dan sebagainya. Logika dan sistematik setiap cabang pengetahuan
ini tidak akan dapat ditemukan anak itu sendiri. Oleh sebab itu jalan yang efisien
ialah memberikan saja kepada anak-anak ilmu pengetahuan itu dalam susunan yang
logis seperti telah dipikirkan oleh ahli-ahli.

Diharapkan pula agar pengetahuan, pengertian, kecakapan-kecakapan yang
diperoleh anak-anak dalam mata pelajaran itu dapat juga digunakannya dalam
kehidupannya sehari-hari.
2. Organisasi kurikulum ini sederhana, mudah direncanakan dan dilaksanakan.
Dari segala macam kurikulum, kurikulum inilah yang paling mudah disusun,
direorganisasi, ditambah, atau dikurangi. Masalah scope dan sequence tidak berapa
menimbulkan kesulitan. Scope terutama soal menentukan jumlah dan jenis mata
pelajaran yang harus disajikan oleh sekolah. Sequence adalah soal menentukan
urutan mata pelajaran yang harus diberikan dalam tiap kelas.
Dalam menentukan kurikulum ini banyak pula bantuan diperoleh dan buku-
buku pelajaran yang telah diakui baik, sehingga lebih memudahkan luas (scope) dan
urutan (sequence) bahan pelajaran di tiap kelas.
Melaksanakan kurikulum ini pun tidak menimbulkan kesulitan. Guru-guru
pada umumnya dapat berpegang pada buku pelajaran yang telah ditentukan, yang
diajarkannya bab demi bab. Apa yang akan diajarkan sudah ditentukan lebih dahulu,
sehingga guru dapat menyesuaikan jumlah waktu dengan jumlah bahan pelajaran
yang harus diberikan setiap kali. Lagi pula guru-guru terutama di SM telah terlatih
dalam matapelajaran-matapelajaran tertentu.
3. Kurikulum ini mudah dinilai.
Kurikulum ini terutama bertujuan menyampaikan sejumlah pengetahuan,
pengertian, dan kecakapan-kecakapan tertentu yang mudah dinilai dengan ujian atau
tes. Ada kalanya bahan pelajaran ditentukan dengan menetapkan buku-buku
pelajaran yang harus dikuasai untuk suatu daerah, malahan untuk seluruh negara,
sehingga dapat diadakan ujian umum yang uniform di seluruh negara.
4. Kurikulum ini juga dipakai di pendidikan tinggi.
SD masih dianggap oleh kebanyakan orang sebagai persiapan untuk SM dan
SM sebagai sekolah persiapan untuk Pendidikan Tinggi. Boleh dikatakan, pada saat
ini setiap perguruan tinggi menggunakan organisasi kurikulum yang bersifat mata
pelajaran yang terpisah-pisah. Oleh sebab itu maka SM pun cenderung mempunyai
organisasi kurikulum yang sama, demikian pula SD.

Kebanyakan orang tua menginginkan agar anak-anaknya kelak melanjutkan
pelajarannya di fakultas. Karena itu kurikulum yang berbentuk subject diterima baik
dan dipertahankan di SD dan SM.
5. Kurikulum ini telah dipakai berabad-ubad lamanya dan sudah menjadi
tradisi.
Kurikulum ini telah digunakan dan diterima baik oleh generasi-generasi yang
lalu, sehingga mendapat dukungan dari orang tua dan para pengajar. Sukar orang
menerima perubahan dalam organisasi kurikulum yang telah bertahan begitu lama.
Orang tua yang mengitimkan anak-anaknya ke sekolah menganggap sewajarnya,
bahwa anak itu mempelajari bermacam-macam mata pelajaran seperti yang mereka
pelajari.
6. Kurikulum ini lebih memudahkan guru.
Kebanyakan guru SL mendapat didikan untuk mengajarkan mata pelajaran
tertentu di SMP dan SMA. Dengan sendirinya mereka lebih senang bekerja di
sekolah yang mempunyai kurikulum yang sesuai dengan pendidikannya di IKIP.
Mereka merasa aman dan tenteram dalam organisasi kurikulum yang subject-
centered ini. Lagi pula, kalau mereka telah mengajar selama beberapa tahun dan
telah menguasai bahan pelajaran (atau buku pelajaran) sepenuhnya, pekerjaan
selanjutnya merupakan rutin yang tidak lagi meminta usaha dan jerih payah. Tiap
tahun ia mengulang-ulangi pelajaran tanpa membutuhkan banyak pikiran dan
kreativitas seperti halnya dalam pengajaran proyek atau unit. Terlebih-lebih apabila
guru itu harus mengajar pagi sore, maka kurikulum ini sesuai benar dengan
kemampuan guru.
7. Kurikulum ini mudah diubah.
Segala perubahan atau perbaikan kurikulum kita hingga saat ini senantiasa
didasarkan pada organisasi berbentuk subject. Perubahan atau perbaikan kurikulum
dicapai dengan menambah atau mengurangi jumlah, isi ataujenis mata pelajaran
sesuai dengan permintaan zaman. Kalau dirasa perlu anak-anak mengetahui tentang
lalu lintas, mengetik, kewargaan negara, pendidikan kependudukan, dan Iain-lain,
maka mata pelajaran itu mudah ditambahkan. Demikian pula mata pelajaran yang
dirasa tidak sesuai lagi, dapat ditiadakan.

8. Organisasi kurikulum yang sistematis seperti yang dimiliki oleh subject-
curriculum esensial untuk menafsirkan pengalaman. Organisasi serupa ini sangat
menghemat waktu dan tenaga dan memberi kemungkinan mempelajari sesuatu
dalam waktu singkat apa yang ditemukan dengan susah payah oleh para sarjana
pada masa lampau.
BERATAN-KEBERATAN TERHADAP SEPARATE-SUBJECT
IRRICULUM
Walaupun kurikulum ini masih sangat umum dipakai di mana-mana karena
banyak mengandung kebaikan-kebaikan, namun banyak pula kelemahan-
kelemahannya dititik dari sudut pendidikan modern. Keberatan-keberatan yang
sering diajukan tentu saja bertalian erat dengan pandangan seseorang mengenai
pendidikan dan pengajaran. Kelemahan-kelemahan kurikulum ini ialah:
1. Kurikulum ini memberikan matapelajaran yang lepas-lepas, yang tidak
berhubungan satu dengan yang lain. Salah satu keberatan yang paling serius ialah
bahwa kurikulum ini membagi pengalaman dan pelajaran anak atas bagian-bagian
yang lepas-lepas, secara fragmentaris yang sebenarnya tak ada dalam dunia
kenyataan. Apabila seorang menghadapi suatu situasi kehidupan, ia mencoba
mengatasinya dengan menggunakan segala pengalaman dan pengetahuannya yang
ada padanya berkenaan dengan situasi itu, tanpa mengindahkan batas-batas
pengetahuan seperti diadakan oleh kurikulum ini. Mata pelajaran yang terpisah-
pisah yang dijadikan pengalaman anak bertentangan dengan dunia kenyataan.
Kurikulum berbentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah tidak mendidik
anak-anak menghadapi situasi-situasi dalam kehidupannya. Matapelajaran-
matapelajaran memberikan kepada anak-anak pengetahuan yang lepas-lepas. Hal ini
diperkuat lagi apabila tiap mata pelajaran diberikan oleh guru yang berlainan seperti
halnya di Sekolah Menengah tanpa mengetahui apa yang diberikan pada pelajaran
lain.

Organisasi kurikulum ini tidak mendorong guru-guru mengadakan integrasi
dalam berbagai mata pelajaran. Bila kita perhatikan Rencana Pelajaran untuk
Sekolah Rakyat yang diterbitkan oleh KPPK. Yogyakarta 1950 misalnya untuk Ilmu
Hayat di kelas V, nyatalah, bahwa Ilmu Hewan, Ilmu Tumbuh-tumbuhan dan Tubuh
Manusia - Kesehatan boleh dikatakan tidak ada hubungannya. Padahal sudah
sewajarnya ada hubungan antara matapelajaran-matapelajaran itu.
Sebagai contoh di sini kami kutip bahan pelajaran Ilmu Hayat untuk kelas V.
a. Ilmu Tumbuh-tumbuhan:
Cempaka kuning, mangga, ketela pohon (singkong), jagung, teh; ubi jalar, tebu,
padi, cengkeh, turi, petai, bunga matahari, puspaindra (bunga tasbih), cosmea,
vinka, dan sebagainya.
b. Ilmu Hewan:
Cecak, kodok, ular, babi, keong, kelelawar, buaya, lipan (kelabang), labah-labah,
ikan, kupu-kupu, badak, rusa, burung hantu, kumbang, dan sebagainya.
c. Tubuh Manusia - Kesehatan:
Dari hal rangka, daging, makanan, bernafas, peredaran darah, urat saraf, kulit,
lidah, hidung, mata, telinga, pengeluaran kotoran, beberapa penyakit.
Kalau guru (dan pengarang buku pelajaran) berpegang pada daftar yang di
atas, maka pada minggu pertama anak-anak akan mempelajari "Cempaka Kuning"
dalam pelajaran Ilmu Tumbuh-tumbuhan, "Cecak" dalam Ilmu Hewan dan "Dari hal
rangka" dalam pelajaran Tubuh Manusia. Jelaslah, bahwa ketiga pokok itu tidak ada
pertaliannya. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, dan anak-anak disuruh
mengumpulkan sejumlah pengetahuan yang lepas-lepas. Inilah salah satu kelemahan
yang paling besar dari kurikulum yang subject-centered ini.
Dalam kurikulum 1975 yang menggunakan broadfield atau bidang studi
seperti IP A, IPS, matematika, dan sebagainya. Integrasi telah dicapai dalam
matapelajaran yang saling berkaitan.

2. Kurikulum ini tidak memperhatikan masalah-masalah sosial yang dihadapi
anak-anak dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam praktik, kurikulum ini bertujuan menyampaikan sejumlah pengetahuan
yang terdapat dalam buku-buku pelajaran yang ditentukan. Sering kali bahan
pelajaran itu tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah yang dihadapi anak-
anak dalam kehidupannya.
Anggapan, ialah bahwa anak-anak telah terlatih dalarn memecahkan masalah-
masalah pelajaran di sekolah, dan karena itu dapat juga memecahkan soal-soal yang
dihadapinya dalam kehidupanya. Tentu saja perlu sekali bagi setiap orang untuk
memiliki pengetahuan. Akan tetapi anak-anak juga harus diberi pengalaman untuk
menggunakan pengetahuan itu secara fungsional dalam kehidupannya. Untuk itu ia
harus diberi kesempatan di sekolah untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya dalarn kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pelajaran di sekolah
dihubungkan dengan pengalaman langsung anak-anak itu. Pelajaran serupa itu lebih
mengandung arti bagi anak-anak dan karena itu lebih menarik dan berrnanfaat. Tak
jarang anak-anak lebih tahu tentang perang Napoleon daripada tentang
perkembangan daerahnya sendiri, atau anak-anak lebih mengetahui tentang susunan
urat saraf cacing tanah daripada tentang cara menjaga kesehatannya sendiri. Oleh
sebab bahan pelajaran terutama didasarkan atas buku pelajaran, maka banyak
masalah yang dihadapi anak dalam hidupnya tidak mendapat tempat dalam
kurikulum Kepada anak-anak jarang diajarkan tentang cara bergaul cara
menggunakan waktu senggang, tentang memahami dirt sendiri terutama bagi
pemuda, tentang jabatan-jabatan dalam masyarakat, tentang kehidupan keluarga,
dan sebagainya. Tentu saja, guru yang merasakan kekurangan kurikulum ini, dapat
menutupi kekurangan ini sedapat mungkin.
3. Kurikulum ini menyampaikan pengalaman umat manusia yang lampau dalam
bentuk yang sistematis dan logis. Sesuatu yang logis tidak selalu psikologis
ditinjau dari segi minat dan perkembangan anak.
Berhubung dengan apa yang diketahui mengenai pertumbuhan dan
perkembangan anak dan mengenai psikologi belajar, maka kurikulum ini banyak

mengandung kekurangan ditinjau dari sudut psikologis. Hal ini lebih-lebih
berlaku bagi anak-anak di SD oleh sebab mereka terutama menambah
pengetahuannya berdasarkan pengalaman-pengalaman langsung yang mengandung
arti baginya, karena bertalian erat dengan kehidupannya dan kebutuhannya sehari-
hari.
Anak-anak kecil sukar melihat tujuan mata pelajaran yang terpisah-pisah itu.
Mereka mempelajarinya atau pada umumnya menghafalnya untuk mendapat angka
yang baik, atau menghindarkan kecaman dan hukuman dari guru dan orang tua, jadi
dengan motivasi yang ekstrinsik. Oleh sebab mereka tidak melihat makna pelajaran,
hasil pelajaran itu dangkal dan verbalistic dan sebagian besar segera pula dilupakan.
Verbalisme ini juga timbul oleh sebab mata pelajaran itu tidak berurat berakar dalam
pengalaman anak itu sendiri. Dalam hal ini pun guru yang baik dapat berusaha untuk
menghubungkan mata pelajaran dengan pengalaman anak.
Murid-murid SM lebih sanggup melihat tujuan mata pelajaran. Mereka tahu
bahwa mata pelajaran itu berguna baginya, kalau ia melanjutkan pelajarannya di
universitas dan ada pula kemungkinan mempunyai minat yang khusus untuk
memperdalam pengetahuannya dalam suatu mata pelajaran tertentu.
4. Tujuan kurikulum ini terlampau terbatas.
Kurikulum ini mengabaikan atau kurang memperhatikan pertumbuhan
jasmaniah, perkembangan sosial dan emosional, karena terutama memusatkan
tujuannya pada perkembangan intelektual. Tentu saja perkembangan intelektual
tujuan yang penting bagi sekolah, akan tetapi konsepsi modern tentang pendidikan
juga menekankan perkembangan aspek-aspek lain dari pribadi anak. Malahan ada
ahli-ahli mental hygiene yang mengemukakan bahwa kurikulum ini dapat merusak
pribadi anak-anak karena mereka dihadapkan kepada situasi-situasi yang tidak
mengandung arti baginya sehingga mereka menghadapi frustrasi yang mengganggu
kesejahteraan rohaninya. Atau mereka meninggalkan sekolah, karena pelajaran tak
sesuai dengan mentalnya dengan kemungkinan besar anak-anak itu menjadi nakal.

Tentu saja guru yang baik dapat juga memperhatikan perkembangan segi-segi
pribadi anak sebagai keseluruhan dan tidak hanya mementingkan segi intelektual
saja.
Guru yang mengajarkan geografi dapat menyampaikan nilai-nilai sosial,
emosional, estetis dan sebagainya kepada anak-anak. Guru yang baik mengetahui,
bahwa setiap pengajaran harus bersifat mendidik. Akan tetapi karena organisasi
kurikulum bersifat subject- centered, maka dalam praktik banyak guru terutama
mementingkan aspek intelektual saja.
5. Kurikulum ini kurang mengembangkan kemampuan berpikir.
Demokrasi dalam rangka Pancasila sebaiknya dipupuk dengan memberi
kesempatan kepada murid-murid untuk menyelidik, berpikir, berbuat, bekerja
sendiri, baik secara perorangan, maupun secara kelompok. Demokrasi
menginginkan warganegara-warganegara yang dapat mengambil keputusan atas
tanggungjawab sendiri. Perbuatannya tidak ditentukan semata-mata oleh orang lain.
la mengumpulkan keterangan-keterangan dan fakta-fakta untuk memecahkan
masalah-masalah. la tidak begitu saja menerima baik apa yang dikatakan orang lain,
akan tetapi memikirkannya secara kritis.
Kurikulum ini mengutamakan penguasaan pengetahuan dengan jalan ulangan
dan hafalan, dan kurang mengajak anak-anak berpikir sendiri. Pertanyaan-
pertanyaan dan soal-soal yang mereka hadapi telah mempunyai jawab-jawab
tertentu, sehingga tidak ada kebebasan menemukan jawaban sendiri. Anak-anak
biasanya menerima segala sesuatu atas otoritas guru atau buku pelajaran.
Selain dari itu bahan pelajaran biasanya lebih dahulu ditetapkan secara
"otoktratis" oleh pihak atasan. Anak-anak tidak diturut sertakan dalam
merencanakan dan membicarakan apa yang akan dipelajari seperti halnya dalam
pengajaran unit.

Walaupun dalam kurikulum ini ada juga yang merangsang anak-anak berpikir
sendiri secara kritis dan dalam batas-batas yang sangat terbatas turut merencanakan
bahan. pelajaran, tetapi organisasi kurikulum ini pada hakekatnya tidak merangsang
kegiatan-kegiatan serupa itu.
6. Kurikulum ini cenderung menjadi stasis dan ketinggalan zaman.
Bahan pelajaran dalam kurikulum ini terutama didasarkan pada pengetahuan
yang telah tercantum dalam buku. Adakalanya suatu buku digunakan dari tahun ke
tahun tanpa peruhahan dan penyesuaian dengan keadaan masyarakat yang dinamis
yang terus-menerus berkembang dengan pesatnya. Itu sebabnya maka pelajaran di
sekolah sering ketinggalan zaman. Apa yang benar pada suatu saat mungkin tidak
sesuai lagi pada zaman yang berikutnya. Dalam pengajaran proyek anak-anak
menghadapi masalah-masalah yang aktual dengan menggunakan bahan dari sumber-
sumber yang up-to- date. Pada zaman atom dan satelit ini murid-murid masih
mempelajari pemadam api yang tidak terpakai lagi, karena berpegang pada
kurikulum yang subject-centered.
Tak semua keberatan terhadap subject curriculum dapat diterima begitu saja.
Fragmentasi, pengajaran sedikit demi sedikit tak dapat dielakkan karena tak
mungkin dipelajari segala sesuatu sekaligus. Walaupun mata pelajaran diberikan
secara terpisah-pisah integrasi akan terjadi juga dalam diri setiap orang. Juga tak
dapat diterima bahwa subject curriculum tidak mendidik anak-anak berpikir. Bahkan
diharapkan agar anak dapat berpikir menurut struktural suatu disiplin, menurut cara
berpikir sarjana dalam bidang ilmu tertentu. Kalaupun anak disuruh menghafal dan
menumpukkan sejumlah pengetahuan yang lepas-lepas, maka itu bukan salah bentuk
organisasi kurikulum, melainkan salah metode mengajarnya. Juga untuk mata
pelajaran dapat dipupuk minat, dan makin banyak pengetahuan anak tentang suatu
mata pelajaran makin besar pula minatnya untuk mempelajarinya lebih lanjut. Juga
tak perlu kurikulum yang subject centered menjadi terbelakang asal guru senantiasa
memperluas ilmunya sesuai dengan perkembangan disiplin itu.
Separate subject curriculum banyak diserang dari berbagai pihak. Akan tetapi
sekalipun tidak ada tokoh atau aliran tertentu yang mempertahankannya,

namun bentuk kurikulum ini masih hidup dengan subur di mana-mana di
dunia. Hal ini tak perlu mengherankan, karena kebaikannya, sedangkan alternatif
yang diberikan, seperti misalnya integrated curriculum sangat banyak menimbulkan
kesulitan dalam penerapannya oleh guru dalam kelas.
Setelah diluncurkannya Sputnik oleh Rusia, maka timbul kritik yang pedas
dan tajam terhadap integrated curriculum sambil menonjolkan pengajaran mata
pelajaran atau disiplin-disiplin ilmu. Para ahli giat mempelajari stuktur setiap
disiplin. Diinginkan agar anak didik menurut struktur disiplin itu, sehingga dalam
pelajaran sejarah ia belajar berpikir seperti ahli sejarah, dalam pelajaran matematika
is belajar berpikir secara matematis. Jutaan dollar dikeluarkan kepada sarjana-
sarjana dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pendidik untuk menghasilkan buku
pelajaran menurut disiplin ilmu itu.
Akan tetapi dalam bidang kurikulum tak akan kunjung tercapai sesuatu yang
sempurna. Senantiasa kita lihat pendapat-pendapat yang bertentangan, yang ingin
saling menghancurkan. Karena setiap bentuk kurikulum mempunyai kebaikan dan
kelemahan, maka memilih suatu bentuk yang ekstrim dengan sendirinya
mengabaikan kebaikan kurikulum yang ditentang itu .
Maka karena itu hams kita elakkan cara berpikir ekstrim dan sepihak
mengenai aliran-aliran dalam kurikulum. Tak ada kurikulum yang hanya
mengutamakan masyarakat dengan mengabaikan sama sekali kepentingan anak.
Demikian pula kurikulum yang semata-mata memberikan mata pelajaran yang
terpisah-pisah. Setiap guru yang baik dengan sendirinya akan mengadakan korelasi
dengan mata pelajaran lain yang dianggapnya perlu untuk memperdalam pengertian
anak.
Sikap yang ekstrem menyebabkan kritik yang sering berlebih-lebihan. Kita
harus mencoba melihatnya dalam proporsi yang sebenarnya.
II. CORRELATED CURRICULUM
Para pendidik yang melihat kelemahan-kelemahan separate-subject
curriculum dan merasa tidak puas dengan kurikulum itu berikhtiar mencari jalan
untuk memberikan kepada murid pengalaman-pengalaman yang ada

hubungannya. Ada yang menghubungkan mata pelajaran yang satu dengan
yang lain dengan memelihara identitas mata pelajaran, ada pula yang menyatu
padukan mata pelajaran dengan menghilangkan identitas mata pelajaran dalam
bidang studi tertentu.
Korelasi dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara :
a. Antara dua mata pelajaran diadakan hubungan secara insidental, yakni kalau
kebetulan ada pertaliannya dengan mata pelajaran lain. Misalnya pada
pelajaran geografi dapat disinggung soal sejarah, ilmu hewan, dan sebagainya.
b. Hubungan yang Iebih erat terdapat, apabila suatu pokok atau masalah tertentu
diperbincangkan dalam berbagai-bagai mata pelajaran, misalnya soal sawah
dibicarakan dalam pelajaran geografi, ilmu tumbuh-tumbuhan, pekerjaan
tangan, menggambar, bernyanyi, dan sebagainya. Setiap mata pelajaran
diberikan pada jam-jam tertentu, jadi berdiri sendiri, akan tetapi memberi
sumbangan masing-masing untuk menyoroti masalah yang dihadapi.
c. Dapat pula beberapa mata pelajaran disatukan, di-fusi-kan dengan
menghilangkan batas masing-masing, misalnya sejarah, ekonomi, sosiologi,
antropologi, geografi, kewargaan negara menjadi IPS atau Ilmu Pengetahuan
Sosial. Demikian pula ilmu alam, kimia, biologi, disatukan menjadi IPA atau
Ilmu Pengetahuan Alam. Dalam pelajaran bahasa dimasukkan bagian-bagian
seperti membaca, mengarang, ejaan, tata bahasa, kesusasteraan, bercakap-
cakap dan Iain-lain. Paduan atau fusi antara beberapa mata pelajaran itu
disebut "broad-field". Broad-field lain ialah matematika yang menyatukan
ilmu ukur, aljabar, dan berhitung. Kesenian melingkapi seni suara, seni lukis,
seni pahat, seni tari, drama dan sebagian dari pendidikan jasmani. Broad-field
itu sendiri merupakan kesatuan yang tidak terbagi-bagi atas bagian-bagian.
Walaupun telah tercapai perpaduan yang erat antara beberapa mata pelajaran,
dasarnya sebenamya masih bersifat subject curriculum, hanya jumlah
pelajaran sangat dikurangi. Jadi broad-field dapat dianggap sebagai modifikasi
subject curriculum yang tradisional.

Biasanya pokok yang dibicarakan berupa problema-problema. Buku ilmu
pengetahuan sosial yang dikarang oleh Lavone A. Hanna berjudul: "Facing
Life's Problems" isinya :
Problem - Solving
Part I. Making the Most of Our Lives
Understanding Ourselves Making and
Keeping Friends Establishing a
Sucessful Marriage Getting Along with
People Who Differ Acquiring an
Education Using Our Leisure Time
Developing a Philosophy of Life.
Part II. Becoming Economically Independent
Choosing an Occupation Becoming .a Wise
Consumer Using Our Resources Wisely
Understanding Our Economic Relations.
Part III. Assuming Citizenship Responsiblities
Participating in Local Community Affairs
Understanding the Functions of Government
Maintaining Our Civil Liberties.
Part IV. Understanding Our World
Democrary Challenges Totalitarianism
Our World Is Interdependent War Is Not
Inevitable.
Buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD kelas IV yang diterbitkan
oleh Departemen P dan K, berisi
1. Lingkungan Alamiah
- Mengendalikan banjir
2. Tata Pemerintahan Daerah

- Bapak Gubernur meninjau desa
- Pemilihan umum
3. Pendidikan
- Semua orang belajar
- Pengalaman sekolah dr. Herman
4. Perhubungan
- Kendaraan dulu dan sekarang, pengangkutan penumpang dan barang
- Jarakyangkianpendek
5. Peninggalan Sejarah
- Mengunjungi Candi Borobudur
- Berziarah ke makam Ibu Kartini
6. Hidup bermasyarakat
- Bermainsepakbola
- Pramuka berkemah
Dalam pelajaran ilmu pengetahuan sosial ini masalah yang di atas dibicarakan
dengan menggunakan bahan dari sejarah, geografi, ekonomi, dan Iain-lain.
BEBERAPA KEUNTUNGAN BROAD FIELD CURRICULUM
1. Korelasi memajukan Integrasi pengetahuan pada murid-murid. Mereka
mendapat informasi mengenai suatu pokok tertentu tidak secara terpisah-pisah
dalam berbagai matapelajaran pada waktu yang berbeda-beda, akan tetapi dalam
satu pelajaran, di mana pokok itu disoroti dari berbagai disiplin mata pelajaran
terentu. Dengan demikian pengetahuan mereka tidak lepas-lepas, melainkan
bertautan, berpadu.
2. Minat murid bertambah apabila ia melihat hubungan antara matapelajaran-
matapelajaran.
3. Pengertian murid-murid tentang sesuatu lebih mendalam, bila didapat
penjelasan dari berbagai matapelajaran.
4. Korelasi memberikan pengertian yang lebih luas karena diperoleh pandangan
dari berbagai-bagai sudut dan tidak hanya dari satu mata pelajaran saja.

5. Korelasi memungkinkan murid-murid menggunakan pengetahuannya lebih
fungsional. Mereka mendapat kesempatan menggunakan pengetahuan dari
berbagai matapelajaran guna memecahkan suatu masalah.
6. Korelasi antara mata pelajaran lebih mengutamakan pengertian dan prinsip-
prinsip daripada pengetahuan dan penguasaan fakta-fakta.
KEKURANGAN-KEKURANGAN KURIKULUMINI
Seperti telah dikatakan, correlated curriculum ialah suatu modifikasi subject
curriculum dan karena itu juga hingga batasbatas tertentu mempunyai kelemahan-
kelemahannya. Kurikulum ia memang memberikan pengetahuan yang lebih bulat
daripada separate-subject curriculum. Akan tetapi orang-orang yang progresif
maupun yang tradisional mempunyai keberatan-keberatan terhadap kurikulum ini.
1. Kurikulum ini pada hakikatnya kurikulum yang subject- centered dan tidak
menggunakan bahan yang Iangsung berhubungan dengan kebutuhan dan minat
anak-anak serta dengan masalah-masalah yang hangat yang dihadapi murid-
murid dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Broad-field tidak memberi pengetahuan yang sistematis serta mendalam
mengenai berbagai mata pelajaran. Pengetahuan yang diperoleh tentang suatu
disiplin sewaktu membicarakan bermacam-macam pokok, tidak berhubungan
erat satu sama "dengan" lain, sehingga tidak merupakan suatu keseluruhan yang
tersusun logic dan sistematis. Pengetahuan anak tentang mata pelajaran itu
bersifat umum dan dangkal dan hanya dapat dipandang sebagai pengantar ke
dalam berbagai mata pelajaran, akan tetapi tidak mencukupi sebagai persiapan
untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi.
3. Guru sering tidak menguasai pendekatan inter-disipliner. Jika spesialisasinya
geografi, ia akan mengutamakan geografi dan menjadikan sejarah,
kewarganegaraan atau ekonomi sebagai pelajaran pembantu.
III. INTEGRATED CURRICULUM
Integrasi berasal dari kata "integer" yang berarti unit. Dengan integrasi
dimaksud perpaduan, koordinasi, harmoni, kebulatan keseluruhan.
Integrated curriculum meniadakan batas-batas antara berbagai-bagai mata
pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan.

Yang penting bukan hanya bentuk kurikulum ini, akan tetapi juga tujuannya.
Dengan kebulatan bahan pelajaran diharapkan kita membentuk anak-anak menjadi
pribadi yang integrated, yakni manusia yang sesuai atau selaras hidupnya dengan
sekitarnya. Orang yang "integrated" hidup dan harmoni dengan lingkungannya.
Kelakuannya harmonis dan ia tidak senantiasa terbentur pada situasi-situasi yang
dihadapinya dalam hidupnya. Apa yang diajarkan sekolah disesuaikan dengan
kehidupan anak di luar sekolah. Pelajaran membantu anak dalam menghadapi
masalahmasalah kehidupan di luar sekolah.
Di sekolah ia belajar bekerja sama dan bergaul dengan murid-murid lain
dengan tujuan agar ia pandai bergaul dan bekerjasama dengan orang-orang lain di
luar sekolah. Integrasi sosial ini lebih diutamakan dalam integrated curriculum
daripada dalam curriculum yang subject centered. Menilik tujuannya kurikulum ini
juga dapat disebut "integrating" curriculum, karena bermaksud untuk
mengintegrasikan pribadi anak.
Integrated curiculum dilaksanakan melalui pengajaran unit. Menurut Caswell
unit ialah 'a series of related activities engaged in by children in the process of
realizing a dominating purpose which is compatible with the aims of education".
Suatu unit mempunyai tujuan yang bermakna bagi anak yang biasnaya dituangkan
dalam bentuk masalah. Untuk memecahkan masalah itu anak-anak melakukan
serangkaian kegiatan yang saling herkaitan. Menghadapkan anak kepada masalah
berarti merangsangnya untuk berpikir dan ia merasa tidak akan merasa puas dan
tenang sebelum memecahkan masalah itu.
Dalam pengajaran unit dengan sengaja anak-anak dididik untuk berpikir
secara ilmiah menurut langkah-langkah yang disebut Dewey "the method of
intelligence."
(1) Seorang berpikir bila ia menghadapi masalah. Masalah itu harus dirumuskan
setajam-tajamnya dan sering pula menganalisanya dalam sejumlah sub-masalah.
(2) Ia memikirkan hipotesis-hipotesis, yaitu cara-cara yang mungkin memberi
jawaban atau penyelesaian masalah itu. Hipotesis-hipotesis itu harus lagi
dicobakan untuk membuktikan benar tidaknya.

(3) Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis itu ia perlu mengumpulkan
keterangan atau data sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara dan dari
berbagai sumber sesuai dengan sifat masalah itu.
(4) Dengan keterangan-keterangan yang diperoleh itu ia menguji kebenaran
hipotesis-hipotesis. Setiap hipotesa dianggap scbagai suatu kemungkinan
jawaban yang harus disangsikan, sampai kebenarannya dibuktikan berdasarkan
data. Ada kemungkinan di antara hipotesa itu ada yang benar. Maka masalah itu
terpecahkan. Akan tetapi mungkin juga tak satupun yang ternyata benar, dan
masalah itu tetap tidak terpecahkan. Maka harus dicari di mana kekurangannya.
Mungkin masalah itu kurang tepat rumusannya, atau masih harus dicari
hipotesis-hipotesis lain, atau mungkin tidak cukup keterangan yang diperlukan
untuk memecahkan masalah itu. Ada kalanya langkah ini meminta waktu dan
tenaga yang banyak, bergantung pada sifat masalahnya. Mungkin suatu masalah
baru dapat dipecahkan setelah puluhan tahun, atau hingga sekarang masih belum
terpecahkan.
(5) Jika diperoleh jawaban berdasarkan pemikiran yang dibenarkan oleh bukti-bukti
yang faktual, maka kesempatan itu dapat dijadikan pegangan bagi perbuatan
atau tindakan kita. Maka kita bertindak secara rasional.
Kalau kita menjalankan integrated curriculum, jelaslah bahwa yang
diutamakan ialah berpikir sendiri atas fakta-fakta yang dicari sendiri dan bukan
menghafal fakta-fakta belaka.
Unit dan ciri-cirinya.
Sekolah-sekolah yang " progresif " berangsur-angsur meninggalkan kurikulum yang
subject-centered, karena dianggap tidak menghasilkan pribadi yang harmonis.
Karena itu pelajaran disusun sebagai keseluruhan yang luas yang disebut "broad
unit". Unit ini mengandung suatu soal atau masalah yang dipelajari anak selama
beberapa minggu atau beberapa bulan.
Ciri-ciri unit:
1. Unit merupakan suatu keseluruhan yang bulat.
Menurut defmisinya unit itu merupakan suatu keseluruhan bahan pelajaran.
Faktor yang menyatukan ialah masalah atau problema yang terkandung dalam

pokok yang akan diselidiki oleh murid-murid. Guru harus menjaga agar pelajaran
tidak menyimpang dari pokok itu. Segala sesuatu yang dilakukan oleh murid-murid
harus senantiasa bertalian erat dengan pokok tersebut dan merupakan sumbangan
guna mencapai tujuan unit itu.
2. Unit menerobos batas-batas mata pelajaran.
Unit tidak terbatas pada suatu atau beberapa mata pelajaran, melainkan
menggunakan segala macam bahan untuk memecahkan soal-soal yang terkandung
dalam unit itu. Batas-batas antara mata pelajaran sebenarnya diadakan oleh sarjana-
sarjana dalam usaha mereka untuk menyusun ilmu pengetahuan. Dalam kehidupan
sehari-hari tak terdapat batas-batas itu. Oleh karena itu dalam suatu unit murid-
murid menggunakan berhitung, sejarah, geografi, ilmu alam, musik, menggambar,
bahasa, dan sebagainya, pendek kata apa saja asal memberikan bahan dan
keterangan untuk memahami pokok yang dipelajari itu. Jadi masalah itu dipecahkan
secara interdisipliner. Bahan-bahan dicari dari pelbagai sumber seperti:
a. dari lingkungan sekitar: toko, area, kebun binatang, kantor pos, taman-taman,
lapanganterbang, sawah, stasion, dan sebagainya.
b. dari orang-orang yang dapat memberikan keterangan: tukang kayu, tukang
becak, kepala kantor, saudagar, dan sebagainya.
c. dari alat-alat peraga: globe, peta, daftar-daftar, gambar, jika mungkin film,
radio, dan sebagainya.
d. dari bacaan: buku, majalah, surat kabar, ensiklopedi, dan sebagainya.
3. Unit didasarkan atas kebutuhan anak.
Kebutuhan itu bersifat pribadi dan social. Ada kebutuhan anak yang timbul
berkenaan dengan pertumbuhan jasmaniah dan perkembangan rohaniah. Di samping
itu ada pula kebutuhan yang ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaan tempat ia
hidup. Dalam merancang unit, guru harus mengenal keadaan sosial-ekonomi anak-
anak. Ia hendaknya menganalisis kebutuhan mereka sebagai per-orangan dan
sebagai kelompok. Dengan demikian guru lebih mengetahui dalam hal manakah
mereka perlu dibantu agar lebih sanggup menghadapi masalah-masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Bila murid melihat faedah dan tujuan

pekerjaan dan pelajaran, maka minat akan bertambah dan pelajaran akan lebih besar
hasilnya.
4. Unit didasarkan pada pendapat-pendapat modern mengenai car a belajar.
Belajar menurut cara unit sesuai dengan teori-teori yang pada saatnya modern
tentang belajar, yakni berdasarkan minat dan kebutuhan anak. Masalah-masalah
yang terkandung dalam unit itu mempunyai arti baginya dan karena itu mereka
dirangsang untuk menelaah dan memecahkan soal itu. Bila murid-murid yakin akan
kebaikan, faedah, dan tujuan pelajaran bagi dirinya, maka tidaklah perlu dipakai
paksaan dan desakan dari luar berupakan hukuman, pujian, angka-angka atau
ancaman.
Apa yang dipelajari dalam unit merupakan keseluruhan, yang saling bertalian
erat dan karena itu lebih dipahami.
Unit senantiasa dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman anak. Anak-
anak diberi kesempatan sebanyak-banyaknya untuk menghayati, mengadakan
penyelidikan dan percobaan, mengumpulkan bahan dari berbagai-bagai sumber,
merumuskan dan menganalisis problema-problems, mencari sendiri jawaban atas
masalah-masalah lalu mengambil kesimpulan yang dijadikannya dasar
perbuatannya. Dengan sendirinya verbalisme dicegah.
Mengenai kebutuhan, minat, kematangan, dan kesanggupan anak prinsip
individualistis lebih mudah dilaksanakan dalam pengajaran unit.
5. Unit memerlukan waktu yang panjang
Dalam organisasi kurikulum yang tradisional anak-anak menerima bermacam-
macam pelajaran yang tak berhubungan satu dengan yang lain masing-masing pada
jam-jam tertentu. Untuk suatu unit diperlukan beberapa jam sehari, kalau perlu
malahan sepanjang hari. Kegiatan-kegiatan dalam unit banyak memerlukan waktu
seperti untuk berkaryawisata, mengumpulkan bahan dari berbagai-bagai sumber,
mengadakan percobaan-percobaan, membuat gambar atau konstruksi, bekerja sama
dalam kelompok, dan sebagainya.

Waktu yang cukup banyak diperlukan benar, bila kita ingin memperdalam
pengertian dalam suatu hal. Pendirian ialah, bahwa lebih baik diberikan waktu
secukupnya untuk mempelajari suatu hal secara mendalam dari pada mempelajari
bermacam-macam hal secara mendangkal yang segera dilupakan pula. Itu sebabnya
maka suatu unit memakan waktu beberapa minggu, dan bila perlu beberapa bulan.
6. Unit itu life-centered.
Dalam unit digunakan setiap kesempatan untuk menghubungkan pelajaran di
sekolah dengan kehidupan sehari-hari, dengan pengalaman-pengalaman anak. Tentu
saja masalah-masalah itu disesuaikan dengan kematangan anak dan kesanggupannya
untuk memahaminya.
Masyarakat dijadikan laboratorium tempat anak mengadakan penyelidikan
dan mengumpulkan bahan-bahan yang tak dapat diperoleh dari buku-buku
pelajaran.
7. Unit menggunakan dorongan-dorongan yang sewajarnya pada anak-anak.
Dalam unit anak-anak diberi kesempatan untuk berbuat, membentuk,
bergerak, menyatakan perasaan dan pikirannya dengan bebas dengan perantaraan
bahasa, musik, lukisan, bekerja dalam kelompok, menyelidiki hal-hal yang sesuai
dengan dorongan yang wajar, sehingga mereka belajar dengan gembira dan penuh
minat. Kelas yang diselenggarakan secara ini, berlainan sekali suasananya dengan
kelas yang pasif, di mana anak-anak duduk diam sambil mendengarkan saja, tanpa
kegairahan.
8. Dalam unit anak-anak dihadapkan kepada situasi-situasi yang mengandung
problema.
Dalam unit anak-anak harus memecahkan masalah-masalah dengan
menggunakan metode ilmiah seperti telah diuraikan di atas, yakni merumuskan
masalah, menganalisisnya, mencari hipotesis-hipotesis kemudian mengumpulkan
keterangan dari buku-buku, pengamatan sendiri atau dari percobaan-percobaan,
mengujui hipotesis-hipotesis dengan menggunakan bahan-bahan yang diperolehnya,
mengambil kesimpulan dan akhirnya bertindak atau berbuat atas

hasil yang diperolehnya. Salah satu tugas sekolah yang penting sekali
bukanlah menyampaikan sejumlah pengetahuan yang harus dihafalnya, melainkan
membantu anak-anak untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya secara
ilmiah. Problem solving menurut scientific method merupakan suatu unsur yang
utama dalam pengajaran unit.
9. Unit dengan sengaja memajukan perkembangan sosial pada anak-anak.
Dalam unit anak-anak mendapat banyak kesempatan untuk bekerjasama
dalam kelompok, misalnya dalam diskusi, membuat rencana, mengumpulkan bahan,
berdramatisasi, dan sebagainya. Mereka belajar menerima dan memberi kecaman
dalam suasan hormat-menghormati, memikul tanggung jawab, dan harga-
menghargai sumbangan masing-masing. Dalam kelompok anak itu merasa dirinya
sebagai anggota yang dihargai dan disukai.
10. Unit direncanakan bersama oleh guru dengan murid.
Guru-guru yang terlalu progresid berpendapat, bahwa di sekolah modern
seharusnya anak-anaklah yang menentukan apa yang harus dipelajari. Bukankah
mereka lebih tahu apa yang menarik minat mereka dan apa yang mereka butuhkan?
Akan tetapi kita jangan lupa, bahwa anak-anak sendiri kerap kali tidak tahu apa
yang sebenarnya perlu bagi mereka. Mereka harus mendapat bimbingan dari guru
yang lebih berpengalaman daripada mereka.
Guru yang tradisional berpendapat, bahwa guru sendirilah yang harus
menetapkan segala sesuatu yang akan diajarkan dalam unit
itu. Guru merencanakan dan menyodorkan rencana itu kepada murid-muridnya.
Murid hanya menerima apa yang telah ditentukan oleh guru.
Dalam pengajaran unit biasanya terdapat kerja sama antara guru dengan murid
dalam menentukan pokok untuk unit itu. Mereka berunding untuk menentukan
rencana pekerjaan berhubung dengan unit itu. Tentu saja pokok untuk itu senantiasa
harus sesuai dengan tujuan pendidikan. Sering pula orang tua diminta bantuannya
dalam menentukan pokok-pokok yang dipandang penting bagi anak-anak dan
bantuan mereka diharapkan pula dalam melaksanakan unit itu.

KEBERATAN TERHADAP INTEGRATED CURRICULUM
1. Guru-guru tidak dididik untuk menjalankan kurikulum seperti ini.
Kurikulum sekolah guru dewasa ini kebanyakan didasarkan atas mata
pelajaraan yang terpisah-pisah, jadi bercorak separate subject atau berdasarkan
broad field (IPS, IP A, Matematika, Bahasa Indonesia), sesuai dengan kurikulum
yang terdapat pada SD dan SM. Memasukkan kurikulum yang baru akan
menimbulkan kesukaran bagi murid-murid dan guru.
2. Kurikulum ini dianggap tidak mempunyai organisasi yang logissistematis.
Karena bahan pelajaran tidak ditetapkan lebih dahulu, akan tetapi
direncanakan dengan mengadakan rundingan dengan murid-murid, maka tidak akan
terdapat di dalamnya susunan yang logis sistematis. Malahan besar bahayanya anak-
anak mendapat bahan yang sama pada kelas lain.
3. Kurikulum ini memberatkan tugas guru.
Bahan pelajaran mungkin sekali tiap tahun berlainan dengan tahun yang
sudah-sudah, baik mengenai pokok-pokok yang dibicarakan, maupun mengenai
isinya. Tiap tahun guru itu boleh dikatakan menghadapi bahan yang barn, dan
karena itu memerlukan lebih banyak inisiatif dan usaha dari guru. Hal ini
merupakan suatu keberatan bagi guru yang lebih suka bekerja menurut rutin dengan
mengikuti buku pelajaran tertentu untuk tiap matapelajaran.
4. Kurikulum ini tidak memungkinkan ujian umum.
Oleh sebab bahan pelajaran boleh dikatakan berlainan setiap tahun, dan tentu
pula berbeda sekali di berbagai sekolah, maka pengetahuan anak-anak pada waktu
tamat tidak sama pula. Kurikulum ini tidak mengharapkan pengetahuan yang sama
untuk semua murid, malahan sedapat mungkin menyesuaikan pelajaran dengan
bakat dan kesanggupan tiap anak dengan keadaan lingkungan anak itu. Karena itu
kurikulum ini tidak menginginkan ujian yang uniform di seluruh negara atau daerah.
Perbedaan bahan pelajaran di berbagai sekolah di berbagai tempat dianggap
pula suatu keberatan bagi anak-anak yang pindah ke sekolah lain.

5.Anak-anak dianggap tidak sanggup menentukan kurikulum.
Dalam organisasi kurikulum ini anak-anak turut serta diajak berunding untuk
menentukan hal-hal yang akan dipelajari. Orang beranggapan, bahwa murid-murid
terlampau muda dan karena itu tak sanggup dan tak cukup berpengalaman untuk
menentukan apa yang perlu bagi pendidikan mereka. Oleh sebab itu pihak atasan,
orang dewasalah yang selayaknya menetapkan sepenuhnya apa yang hams
diajarkan.
6. Alat-alat sangat kurang untuk menjalankan kurikulum
Untuk melaksanakan kurikulum ini diperlukan ruangan-ruangan dan alat-alat
yang khusus. Setidak-tidaknya harus ada perpustakaan yang agak lengkap sebagai
suatu sumber yang penting guna mengadakan penyelidikan-penyelidikan oleh anak-
anak. Gedung-gedung sekolah kita sekarang masih terikat pada filsafat pendidikan
yang tradisional. Lagi pula tiap kelas penuh sesak dengan murid-murid, sehingga
kurikulum modern tak dapat drjalankan dengan efektif.
JAWABAN INTEGRATED CURRICULUM ATAS KEBERATAN-
KEBERATAN YANG DIAJUKAN
Semua keberatan yang di atas ada mengandung kebenaran. Menjalankan
sesuatu yang baru tidak mudah, apalagi kalau yang lama itu didukung oleh tradisi
yang berabad-abad. Mengenai keberatan-keberatan itu kami ingin mengajukan
beberapa catatan.
ad. I. Semua pembaruan harus mulai pada diri guru, pada diri sang pendidik. Syarat
pertama bagi pembaruan ialah, bahwa guru itu harus mengubah dirinya, dan
ini harus dimulai pada pendidikan guru. Itu sebabnya maka pendidikan guru
merupakan faktor yang penting dalam pembaruan pendidikan, oleh sebab guru
itu cenderung mengajar seperti ia sendiri dahulu diajar.
ad. 2. Memang dalam kurikulum ini bahan pelajaran tidak tersusun secara logis-
sistematis seperti yang lazim terdapat dalam suatu buku pelajaran. Kurikulum
ini tidak berpegang pada satu buku, akan tetapi menggunakan segala macam
sumber. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa organisasi

sama sekali tidak ada. Biasanya sekolah telah mempunyai suatu kerangka yang
berisi bidang-bidang yang kirangnya dapat dijadikan pokok pelajaran. Dalam
kerangka itu banyak kebebasan bergerak bagi guru dan murid untuk memilih
pokok-pokok yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Jadi kurikulum ini lebih
fleksibel. Untuk mencegah berulangnya suatu pokok, guru hams mencatat
apa-apa yang telah dibicarakan untuk diketahui oleh guru- guru lain.
ad3. Guru yang dinamis, yang ingin terus berkembang dan turut mengikuti aliran
zaman, yang ingin menyesuaikan pelajaran dengan keadaan masyarakat anak,
justru akan berikhtiar, agar ia jangan dikuasai oleh pekerjaan rutin yang
membosankan.
ad 4. Banyak orang di kalangan pendidikan yang mengakui, bahwa ujian itu
merupakan suatu "penyakit" yang sering menghalang-halangi pembaharuan
dalam pendidikan. Untuk memenuhi tuntutan ujian, maka anak-anak dilatih
menghafal sejumlah pengetahuan yang diharapkan akan "keluar" dalam ujian.
Ujian yang uniform ini seakan-akan tidak memungkinkan guru menyesuaikan
pelajaran dengan kebutuhan individu serta keadaan masyarakat setempat.
Ujian yang uniform ini memang merupakan suatu halangan ke arah
pembaruan. Akan tetapi janganlah ujian itu dipakai sebagai alasan untuk
membenarkan din tidak menjalankan inisiatif ke arah perbaikan pendidikan.
Ada tidaknya ujian, bagi guru yang dinamis tetap ada kesempatan untuk
mengadakan pembaruan.
ad5. Penentuan bahan pelajaran tidak semata-mata diserahkan kepada kehendak
murid-murid. Dalam kurikulum yang "child- centered", yaitu yang berpusat
pada anak, anak-anaklah yang menentukannya, akan tetapi praktik serupa ini
sudah ditinggalkan. Dalam menentukan bahan pelajaran peranan guru tetap
penting. Dialah yang tahu tujuan pendidikan dan nilai suatu pelajaran untuk
mencapai tujuan itu. Dalam rangka tujuan pendidikan itu, anak-anak diturut-
sertakan memilih dan merencanakan, dengan maksud agar anak-anak
menerima dan memahami makna serta tujuan pokok itu.

ad 6. Tanpa alat-alat tak dapat dijalankan kurikulum apa pun dengan efektif. Kita
tahu manfaat alat-alat pelajaran modem seperti film, tape recorder, radio,
televisi, dan sebagainya. Alatalat itu belum dimiliki oleh sekolah-sekolah kita.
Gedung sekolah kita belum memenuhi syarat-syarat pendidikan modem
Akan tetapi kekurangan-kekurangan itu tak perlu menghalangi pembaruan.
Banyak alat pelajaran yang dapat dibuat sendiri tanpa menelan biaya yang banyak
antara lain garnbar-gambar dun rnajalah, alat-alat pengukur dan botol, peta timbul.
Lingkungan merupakan sumber pelajaran yang tak ternilai harganya. Perpustakaan
dapat dibentuk lambat laun. Kalau kurikulum ini dijalankan, dengan sendirinya akan
tampil pengarang-pengarang buku yang sesuai dengan keperluan pengajaran unit,
sehingga perpustakaan anak-anak bertambah lengkap.
MANFAAT KURIKULUM UNIT
1. Segala sesuatu yang dipelajari dalam unit bertalian erat. Anak-anak tidak lagi
mempelajari fakta-fakta lepas yang segera dilupakan, karena tidak digunakan
secara fungsional untuk memecahkan masalah-masalah yang mengandung arti
bagi murid. Untuk memecahkan suatu pokok digunakan bahan dan semua mata
pelajaran. Sebenarnya tidak mungkin diajarkan sejarah dengan baik tanpa ilmu
bumi. Dalam ilmu bumi sering diperlukan ilmu alam, ilmu hayat, dan mata
pelajaran lain. Mengadakan batas-batas yang tegas antara berbagai mata
pelajaran sering merugikan pembentukan pengertian yang luas serta mendalam.
2. Kurikulum ini sesuai dengan pendapat-pendapat modern tentang belajar. Murid-
murid dihadapkan kepada masalah, yang benarbenar berarti bagi kehidupan
mereka, jadi bertalian erat dengan pengalaman mereka. Mereka memecahkannya
dengan pikiran dan penyelidikan sendiri, jadi anak-anak aktif dengan
bermacammacam cara dan tidak pasif menerima apa yang disajikan oleh guru
untuk dihafal.
3. Kurikulum ini memungkinkan hubungan yang erat antara sekolah dengan
masyarakat. Masyarakat drjadikan laboratorium tempat anak-anak

mengumpulkan bahan untuk menyelidiki suatu problema. Masyarakat dapat diturut
sertakan dalam usaha-usaha sekolah.
4. Kurikulum ini sesuai dengan paham demokrasi. Murid-murid dirangsang untuk
berpikir sendiri, bekerja sendiri, memikul tanggung jawab, bekerja sama dalam
kelompok. Mereka diajak turut serta berunding dan merancangkan pelajaran.
Mereka tidak hanya menerima saja apa yang dikatakan guru atau yang
tercantum dalam buku, melainkan dengan kritis membandingkan keterangan-
keterangan dari berbagai sumber.
5. Kurikulum ini mudah disesuaikan dengan minat, kesanggupan dan kematangan
murid, sebagai kelompok maupun sebagai individu.
Menentukan pokok untuk unit.
Dalam menentukan, pokok manakah yang hendaknya dipilih untuk suatu unit
senantiasa harus dipikirkan, bahwa kita harus bekerja dalam rangka tujuan sekolah.
Di samping itu kita harus memperhatikan kebutuhan anak dalam lingkungan itu.
Pokok-pokok untuk unit mungkin sekali berlainan di berbagai sekolah. Malahan di
suatu sekolah pun mungkin pokok untuk unit berbeda dan tahunketahun.
Untuk menentukan, pokok-pokok manakah yang sebaiknya dijadikan unit
yang akan dipelajari anak-anak, kita dapat memajukan pertanyaan-pertanyaan yang
berikut:
1. Apakah pokok itu dibangkitkan oleh minat, kebutuhan dan, pengalaman murid-
murid dalam kelas itu? Bila ternyata tidak atau kurang ada minat yang khusus
untuk pokok itu, sedangkan guru merasa pentingnya pokok itu bagi
perkembangan murid-murid, ia dapat berikhtiar untuk membangkitkan minat itu.
2. Apakah bahan pelajaran itu sesuai dengan taraf kematangan murid?
a. Inikah saat yang sebaik-baiknya bagi murid-murid untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya dari pokok yang akan dipelajari itu, ataukah
lebih baik pelajaran itu diundurkan saja dulu?

b. Apakah bahan pelajaran itu tidak melampaui batas kesanggupan anak dan
lagi pula cukup merangsang mereka untuk mempelajarinya dengan
segenap tenaga?
c. Apakah pokok lain pada saat ini barangkali lebih berfaedah dan
mengandung arti bagi murid-murid, namun tidak kurang nilainya bagi
perkembangan anak?
d. Telah adakah pengalaman-pengalaman pada murid yang dapat digunakan
sebagai landasan bagi pelajaran baru ini?
3. Cukupkah kesempatan dalam pelajaran ini untuk merangsang murid-murid
berpikir dan berbuat sebanyak mungkin?
a. Apakah bahan pelajaran itu akan menimbulkan situasi-situasi di mana
murid-murid harus merencanakan, berdiskusi, merumuskan masalah,
menganalisnya, mengumpulkan bahan dari berbagai sumber, bekerja sama
berpikir untuk memecahkan problema?
b. Apakah bahan pelajaran itu mengandung masalah-masalah sosial yang
penting artinya bagi kehidupan anak-anak sehari-hari?
c. Apakah bahan pelajaran itu menjamin bertambah luasnya pengetahuan
murid-murid yang berguna untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hidup yang
kian hari kian meningkat?
d. Apakah bahan pelajaran itu herisi buah pikiran dan soal-soal yang dapat
menimbulkan diskusi yang akan memperluas alam pikiran dan pandangan
anak?
e. Apakah bahan pelajaran itu cukup memberi kesempatan untuk
mengeluarkan dan menyatakan perasaan dalam berbagai-hagai bentuk?
4. Dapatkah disediakan hal-hal yang berikut untuk melaksanakan unit itu:
a. buku-buku, majalah, gambar, dan alat-alat pelajaran
b. kesempatan berkaryawisata
c. pengalaman-pengalamaan langsung berhubung dengan unit
d. bahan-bahan untuk bermacam-macam bentuk ekspresi.
Dua pendapat.
Pokok-pokok apakah yang harus dipilih untuk dipelajari anak-anak dalam
bentuk unit? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang utama. Yang pertama ialah

berdasarkan kurikulum itu pada "social functions", yakni lapangan-lapangan hidup
sebagai pusat perhuatan-perbuatan manusia. Stratemeyer menyebutnya "persistent
life situations", yakni situasi-situasi atau masalah-masalah hidup yang terus menerus
dihadapi manusia, jadi yang bersifat universal bagi semua kebudayaan di dunia ini
pada yang lampau maupun masa sekarang maupun masa mendatang.
Pendapat kedua ialah mengambil pokok-pokok unit dari kebutuhan anak-
anak, dari problema-problema yang dihadapi anakanak dalam hidupnya.
A. UNIT BERDASARKAN "SOCIAL FUNCTIONS"
Dasar pikiran di sini ialah, bahwa pelajaran hams berdasarkan aktivitas dalam
masyarakat dan kebudayaannya. Tujuan pendidikan yang utama ialah membantu
anak-anak memperoleh kehidupan yang baik dalam lingkungan sosialnya. Karena
kurikulum harus memberikan pelajaran, yang mempunyai arti dan nilai
kehidupannya sehari-hari sehingga ia kelak dapat menyesuaikan diri dengan efektif
sebagai orang dewasa.
Untuk mengetahui, social functions apakah yang terdapat dalam hidup
manusia, banyak digunakan sosiologi dan antropologi kebudayaan.
Baik kelompok yang primitif maupun yang modern dianalisis untuk
menyelidiki social functions apakah kiranya yang terdapat dalam kehidupan
manusia.
Sebenarnya jalan pikiran itu bukan sesuatu yang baru. Herbert Spencer pada
tahun 1859 telah mengemukakannya sebagai tujuan pendidikan, yakni aktivitas-
aktivitas yang berkenaan dengan:
1. Self-preservation.
2. Securing necessaries of life.
3. Rearing and disciplining of offspring.
4. Maintenance of proper social and political relations.
5. Miscellaneous activities which make up the leasure part of life, devoted to the
gratification of the tastes and feelings.

Orang yang pertama-tama menjadikan social functions sebagai dasar
kurikulum ialah H.L. Caswell. la mengemukakan social functions yang berikut:
1. Protection and conservation of life, property, and natural resources.
2. Productions of goods and services and distribution of the returns of
production.
3. Comsumption of goods and services.
4. Communication and transportation of goods and people.
5. Recreation.
6. Expression of aesthetic impulses.
7. Expression of religious impulses.
8. Education.
9. Extension of freedom.
10. Integration of the individual.
11. Exploration.
Salah satu usaha lain untuk menggolongkan lapangan-lapangan hidup ini ialah
Stratemeyer, Forkner dan Mc. Kim.
Mereka menyebutnya "persistent life situations". Dalam garis besarnya
mereka memperoleh lapangan-lapangan sebagai berikut:
I. Situations calling for growth in individual capacities.
a. Health.
1. Satisfying physiological needs.
2. Satisfying emotional and social needs.
3. Avoiding and caring for illness and injury.
b. Intellectual power.
1. Making ideas clear.
2. Understanding the ideas others.
3. Dealing with quantitive relationships.
4. Using effective methods of work.
c. Responsibility for moral choices
1. Determining the nature and extent of individual freedom.
2. Determining responsibility to self and others.

d. Aesthetic expression and appreciation.
1. Finding sources of aesthetic satisfactions in oneself.
2. Achieving aesthetic satisfactions through the environment.
II. Situations calling for growth in social participation.
a. Person to person relationships.
1. Establishing effective social relations with others.
2. Establishing effective working relations with others,
b. Group membership.
1. Deciding when to join a group.
2. Participating as a group member.
3. Taking leadership responsibilities.
c. Intergroup relationships.
1. Working with racial and religious groups.
2. Working with socio-economic groups.
3. Dealing with groups organized for specific action
III. Situations calling for growth in ability to deal with environmentaal
factors and forces.
a. Natural phenomena.
1. Dealing with physical phenomena.
2. Dealing with plant, animal, and insect life.
3. Using physical and chemical forces.
b. Technological resources.
1. Using technological resources.
2. Contributing to technological advance.
c. Economic-social-political structures and forces.
1. Earning a living.
2. Securing goods and services.
3. Providing for social welfare.
4. Molding public opinion.
5. Participating in local and national government. *)
Keuntungan kurikulum berdasarkan lapangan hidup.

1. Dalam kurikulum ini terdapat hubungan erat antara pelajaran dengan kehidupan
sehari-hari. Kurikulum ini dengan sengaja berusaha mengatasi jurang antara
pelajaran sekolah dengan apa yang diperlukan dalam kehidupan. Dalam subject
curriculum anak-anak sukar melihat hubungan itu.
2. Kurikulum berdasarkan social functions atau lapangan hidup memberikan
kepada anak hal-hal yang diperlukannya untuk menghadapi situasi-situasi
hidupnya sebagai warga negara. Kurikulum ini lebih bermanfaat dan
mengandung arti bagi murid-murid. Sebenarnya ini telah tersimpul dalam nomor
1, akan tetapi perlu juga disebut. Tujuan kurikulum ini lebih mudah dipahami
oleh murid-murid, karena untuk melaksanakannya mereka menggunakan
pengalaman-pengalaman langsung. Mereka banyak mengumpulkan keterangan-
keterangan dari masyarakat serta lingkungan sendiri dengan mengadakan
karyawisata dan penyelidikan-penyelidikan lain. Dengan demikian mereka lebih
mudah melihat manfaat dan makna pelajaran itu bagi dirinya.
3. Kurikulum ini sesuai dengan tugas sekolah, yakni mempersiapkan murid untuk
kehidupan dalam masyarakat. Dengan mempelajari lapangan-lapangan hidup
diharapkan anak-anak juga lebih sanggup menyesuaikan diri dengan situasi-
situasi hidup.
4. Kurikulum ini menyajikan bahan pelajaran yang bulat. Pelajaran di sekolah yang
diberikan herpusatkan unit ini bertalian erat, tidak lepas-lepas seperti halnya
dalam separate-subject curriculum.
Keberatan-keberatan terhadap kurikulum ini.
1. Kurikulum ini membagi kehidupan dalam bagian-bagian. Kehidupan sebenarnya
merupakan suatu keseluruhan dan tidak merupakan sepuluh atau sebelas
lapangan kehidupan. Batas-batas itu tidak ada dalam kehidupan. Ada bahayanya,
lapangan-lapangan hidup menjadi matapelajaran-matapelajaran tersendiri
sehingga menjadi semacam subject curriculum yang justru hendak diberantas
oleh kurikulum ini.
2. Kurikulum ini sulit drjalankan. Guru-guru tidak mendapat latihan untuk
menjalankan kurikulum serupa ini. Juga buku-buku dan alat-alat pelajaran lain
menimbulkan kesukaran-kesukaran.

3. Kurikulum ini tidak memberikan pengetahuan, yang tersusun logis sistematis.
Kurikulum ini terutama memberikan bahan yang sesuai dengan keadaan masyarakat
pada masa sekarang dan kurang menyampaikan pengetahuan yang sistematis seperti
yang diperoleh dengan mempelajari subjects atau mata pelajaran. B. UNIT
BERDASARKAN KEBUTUHAN MURID
Dasar pikiran kurikulum ini ialah memberikan pelajaran kepada anak-anak
yang timbul dari kebutuhan anak-anak. Sesuatu dipelajari sebaik-baiknya kalau hal
itu memuaskan kebutuhan kita. Tujuannya ialah agar anak-anak belajar
memecahkan masalah-masalah yang bertalian dengan kebutuhannya dalam
kehidupannya sehari-hari. Bedanya dengan kurikulum berdasarkan social functions
ialah, bahwa dalam social functions diutamakan pendidikan anak-anak untuk
menghadapi situasi-situasi hidup dengan efektif sebagai warga negara yang dewasa,
sedangkan kurikulum yang berpusat pada kebutuhan murid mementingkan masalah-
masalah yang dihadapi anak pada saat ini. Tentu saja sukar diadakan batas yang
tegas. Apa yang penting bagi waktu sekarang mungkin sekali berharga juga untuk
masa depan. Kebutuhan anak pada setiap saat tidak lepas dari social functions atau
lapangan-lapangan hidup, yakni selalu terdapat di dalam lapangan-lapangan hidup
itu. Lagi pula boleh dikatakan tidak ada lagi sekolah yang semata-mata mendasarkan
kurikulum pada kebutuhan anak tanpa memperhatikan manfaatnya bagi kehidupan
anak di dalam masyarakat.
Kebutuhan-kebutuhan anak dapat dibagi sebagai berikut:
1. Kehidupan pribadi.
a. Kebutuhan akan kesehatan pribadi.
b. Kebutuhan akan harga-diri.
c. Kebutuhan akan pandangan dunia dan filsafat hidup.
d. Kebutuhan akan pelbagai minat pribadi.
e. Kebutuhan akan kepuasan estetis.
2. Hubungan sosial yang dekat.
a. Kebutuhan akan hubungan yang lebih matang dengan anggota rumah tangga
dan dengan orang dewasa di luar keluarga.

b. Kebutuhan akan hubungan baik yang lebih matang dengan teman jenis
kelamin yang sama dan yang berlainan.
3. Hubungan sosial-kewarganegaraan.
a. Kebutuhan untuk turut serta bertanggung jawab dalam aktivitas-aktivitas
yang penting.
b. Kebutuhan untuk mendapat penghargaan sosial.
4. Hubungan ekonomi.
a. Kebutuhan untuk merasa kemajuan ke arah status orang dewasa.
b. Kebutuhan untuk mendapat bimbingan dalam memilih jabatan dan
mendapat persiapan untuk suatu pekerjaan.
c. Kebutuhan untuk memilih dan menggunakan barang-barang dan jasa-jasa
dengan bijaksana.
d. Kebutuhan untuk dapat bertindak efektif guna memecahkan masalah-
masalah ekonomi.*)
Apakah kebaikan kurikulum ini?
Kurikulum ini mengandung kebaikan-kebaikan seperti terdapat pada
pengajaran unit umumnya.
Walaupun demikian baik kami sebut beberapa buah:
1. Kurikulum ini menjamin integrasi bahan pelajaran, jadi tidak terdiri atas mata
pelajaran yang lepas-lepas, yang tidak saling berhubungan.
2. Kurikulum ini menyajikan bahan pelajaran yang bertalian erat dengan
pengalaman anak dalam hidupnya. Apa yang dipelajari dapat digunakan secara
fungsional dalam menghadapi situasi dan masalah-masalah hidup anak itu.
3. Kurikulum ini dapat dipertanggungjawabkan secara psikologis. Karena program
sekolah sesuai dengan minat dan kebutuhan anak mereka didorong oleh
motivasi intrinsik untuk mempelajarinya. Anak-anak tahu akan tujuan, makna
dan manfaat pelajaran itu, karena itu ia rela mengeluarkan segenap tenaga
kepada pelajaran ini.
4. Kurikulum ini membentuk pribadi anak. Yang diutamakan bukan hanya
pembentukan intelektual, melainkan seluruh pribadi anak. Selain pengetahuan,
kurikulum ini juga memupuk sikap, norma, penghargaan, dan sebagainya.

5. Kurikulum ini tertuju kepada perkembangan anak. Yang diutamakan ialah justru
hal-hal yang membantu perkembangan anak. Titik berat diletakkan pada anak
dan bukan pada bahan pelajaran. Dalam kurikulum ini diberi perhatian
sepenuhnya kepada perkembangan anak sebagai keseluruhan, yakni jasmaniah,
emosional, sosial, dan juga intelektual.
6. Kurikulum ini berdasarkan pendirian "mental hygiene" atau kesejahteraan
rohani, karena membantu anak-anak mengatasi problema-problema yang
dihadapinya dalam kehidupan. Dalam kurikulum tidak dipaksakan anak-anak
mempelajari yang tidak dipahaminya maknanya, sehingga dapat dicegah
frustrasidankegagalan.
KEBERATAN-KEBERATAN TERHADAP KURIKULUM INI
1. Kurikulum ini tidak memberikan pengetahuan yang logis sistematis seperti yang
diperoleh murid-murid dengan mempelajari berbagai mata pelajaran
yangterpisah-pisah.
2. Dengan kurikulum ini tak dapat ditentukan lebih dahulu bahan pelajaran untuk
tiap kelas karena kebutuhan dan problema anak tak sama dan tahun ke tahun.
Dalam kurikulum ini diperlukan administrasi yang teliti yang mencatat apa-apa
yang telah dipelajari oleh anak-anak. Kesukaran juga dialami anak-anak yang
pindah sekolah.
3. Kurikulum ini sukar untuk dijalankan, karena guru-guru tidak dipersiapkan
untuk kurikulum serupa ini. Lagi pula masyarakat pun rasanya tak akan mudah
menerima kurikulum ini.
4. Kurikulum ini kurang mementingkan masa lampau dan masa depan, karena
terutama membicarakan masalah-masalah yang dihadapi anak-anak pada masa
sekarang.
5. Kurikulum yang terlampau mengutamakan kebutuhan anak, mengabaikan tugas
sosialnya. Sekolah-sekolah yang child-centered yang terlampau progresif sangat
mengutamakan anak itu sendiri, dengan melupakan, bahwa

anak-anak hams juga mengenal masyarakat dan hams hidup dalam hubungan sosial
dalam masyarakat itu. 6. Sukar untuk menentukan, apakah sebenarnya kebutuhan
anak-anak. Anak-anak sering tidak mengetahui apa yang perlu bagi mereka dalam
hidupnya. Sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang anak belum tentu merupakan
kebutuhan bagi seluruh kelas. Gum dapat menentukan kebutuhan itu dengan
mempelajari buku-buku tentang pertumbuhan dan kebutuhan anak, akan tetapi
belum tentu pilihan guru itu betul-betul dirasakan anak-anak sebagai kebutuhannya.
LANGKAH-LANGKAH DALAM MELAKSANAKAN SUATU UNIT
Biasanya suatu unit dilakukan menurut fase-fase yang berikut:
a. Memilih suatu pokok.
Pokok untuk suatu unit mungkin timbul atas anjuran gum kepada murid-murid
untuk memilih salah satu dari beberapa pokok yang dianggap penting oleh guru dan
juga dipandang murid-murid sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi mereka.
Pokok untuk unit dapat juga diperoleh dengan menyuruh anak-anak
menuliskan masalah-masalah yang mereka anggap sangat penting baginya.
Kemudian pokok-pokok itu disusun menurut kategori-kategori tertentu, sehingga
diperoleh beberapa pokok yang meliputi selumh problema-problema yang
dikemukakaan oleh murid-murid. Kemudian diadakan kriteria-kriteria untuk unit
yang dipakai sebagai pegangan agar dapat dilakukan pilihan yang bijaksana. Di sini
pun anak-anak diberi kesempatan memilih pokok apakah yang paling berharga bagi
mereka dan pokok-pokok yang mereka usulkan. Diusahakan agar semua anak
akhirnya menerima baik hasil pilihan kelas itu.
Selanjutnya suatu pokok dapat juga diperoleh berhubung dengan suatu
peristiwa yang aktual dan penting.
b. Merencanakannya.
Dalam fase ini murid menganalisis pokok itu lebih lanjut, sehingga diperoleh
problema-problema yang lebih spesifik. Mereka menentukan tujuan-

tujuan dan faedah apakah yang dapat diberikan oleh unit itu. Setelah diperoleh
sejumlah topik, maka murid-murid dibagi atas kelompok-kelompok. Sedapat
mungkin setiap murid menerima suatu topik yang sesuai dengan kesanggupan dan
minatnya. Setiap kelompok menentukan ketua dan penulis.
c. Mengerjakanunit.
Setelah diketahui dengan jelas problema yang mereka hadapi dan tujuan-
tujuan apa yang dapat dicapai dengan unit itu, maka kelompok-kelompok mulai
mengumpulkan bahan dari perpustakaan, majalah, surat kabar. Kadang-kadang perlu
diadakan wawancara, penyelidikan atau percobaan-percohaan, bila diperlukan untuk
memecahkan masalah kelompok masing-masing.
d. Mengakhiri unit.
Unit itu diakhiri dengan berbagai cara, misalnya dengan memberi laporan
lisan, laporan tertulis, panel disscussion, sandiwara, pameran, dann Iain-lain. Fase
ini juga disebut fase kulminasi, yakni puncak unit, dimana murid-murid
memperlihatkan hasil-hasil yang mereka capai selama mengerjakan unit.
e. Menilaiunit.
Dalam fase ini diselidiki apakah unit itu benar-benar memberi manfaat kepada
setiap peserta, apakah mereka betul-betul belajar, yakni mengalami perubahan
kelakuan berkat unit itu. Apakah tujuan-tujuan semula betul-betul tercapai dalam
unit.
Tujuan-tujuan itu tidak hanya berupa pengetahuan yang bertambah, atau
mencapai meliputi juga segi-segi lain dari pada pribadi anak-anak.
Selanjutnya murid-murid mengemukakan kekurangan-kekurangan dan
kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan unit untuk dipertimbangkan dalam
melakukan unit yang lain pada hari kemudian.
/ Menuju unit-unit baru.
Dan unit ini mungkin sekali timbul problema-problema baru yang dapat
dijadikan pokok untuk unit-unit baru yang akan dikerjakan oleh anak-anak
selanjutnya.

HUBUNGAN ANTAR KETIGA JENIS KURIKULUM
Ketiga macam kurikulum itu tak usah dipandang bertentangan yang satu
dengan yang lain. Yang satu dapat membantu yang lain. Kita dapat memberikan unit
dan di samping itu matapelajaran-matapelajaran yang khusus yang tradisional.
Untuk permulaan, tidak diharapkan seluruh kurikulum diberikan dalam bentuk
unit. Sebaiknya kita masih mengajarkan subjects dan disamping itu memberikan dua
atau tiga kali seminggu pelajaran dalam bentuk unit. Dalam pada itu tentu sangat
menguntungkan apabila untuk mata pelajaran biasa diambil bahan yang
berhubungan dengan unit itu. Pengajaran unit dapat dan perlu pula dibantu oleh
subjects. Apabila dalam unit itu timbul soal-soal yang bersifat matematis, sudah
sewajarnya mata pelajaran ilmu pasti digunakan untuk memecahkan problema.
Demikianlah setiap matapelajaran dapat memberikan sumbangannya untuk
menyelesaikan suatu unit. Dengan menerima pengajaran unit, tidak perlu semua
mata pelajaran dihapuskan. Hal ini malahan akan merugikan.
Sebaliknya mata pelajaran biasa juga mungkin sekali memperoleh manfaat
dari pengajaran unit, oleh sebab dalam unit itu murid-murid banyak mendapat hal-
hal yang bertalian dengan berbagai mata pelajaran dalam situasi yang bermakna.
Mereka lebih fasih berbicara, lebih lancar mengarang laporan, lebih sanggup
menggunakan pengetahuan dari geografi, sejarah, ilmu hayat secara fungsional,
lebih jelas menyadari arti ilmu pasti dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pengajaran
unit tidak merugikan, malahan sangat menguntungkan mata pelajaran biasa.
Apa yang dikatakan mengenai separate subjects juga berlaku bagi broad-fields
yakni paduan antara beberapa matapelajaran seperti IPS, IP A, Bahasa, Matematika,
dan Kesenian. Ketiga macam kurikulum dapat berjalan berdampingan dan bantu-
membantu.
Untuk memperlihatkan hubungan antara ketiga jenis kurikulum itu kami
berikan bagan berikut.
Dalam bagan ini dirangkumkan ketiga jenis organisasi kurikulum itu. Gambar
panah dalam bagan itu menunjukkan inter-relasi antara jenis-jenis

kurikulum itu. Pada unit kita lihat kebulatan bahan pelajaran tanpa batas-batas
antara macam-macam mata pelajaran. Broad fields kita lihat sebagai paduan antara
beberapa mata pelajaran. Pada bagan ini kita lihat pula bahwa subjects maupun
broad-fields dapat membantu pengajaran unit, tetapi sehaliknya pengajaran unit juga
menambah penguasaan anak mengenai subjects ataupun broad-fields.
ACTIVITY CURRICULUM
"Activity curriculum" juga disebut "experience curriculum", atau proyek.
Bentuk kurikulum ini terkenal oleh Laboratory School yang didirikan oleh John
Dewey di University of Chicago, 1896, Meriam's Laboratory School di University
of Missouri, 1904 dan oleh Ellsworth Colling yang mengadakan percobaan dengan
"project curriculum" sebagai penerapan buah pikiran W.H. Kilpatrick dengan
brosurnya "The Project Method", 1918.
Di sekolah percobaan J. Dewey anak-anak tidak mempelajari mata pelajaran
yang konvensional. Kegiatan mereka berpusat pada pekerjaan memasak, menjahit
dan bertukang kayu. Melalui kegiatan ini mereka mengenai hubungan manusia yang
fundamental dengan dunia seperti kegiatan manusia memperoleh makanan,
perlindungan, dan pakaian serta norma-norma hidup. Mereka mengadakan kegiatan
intelektual maupun manual. Dalam pada itu mereka belajar merencanakan dan
mengadakan percobaan. Pelajaran dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung
timbul karena kebutuhan akibat kegiatan-kegiatan itu.

Di sekolah percobaan Meriam juga tidak diajarkan mata pelajaran yang
konvensional. Kegiatan dibagi dalam empat golongan yakni : observasi, permainan,
bercerita, dan pekerjaan tangan. Observasi misalnya meliputi pengamatan
kehidupan tanaman, binatang, manusia, bumi, langit, pabrik dan berbagai pekerjaan.
Permainan terdiri atas permainan dengan alam, listrik, mesin, air, udara dan
sebagainya. Bercerita antara lain meliputi membaca, dramatisasi,bernyanyi, dan
sebagainya. Pekerjaan tangan menggunakan bahan kertas, tali, benang, tekstil, rafia,
kayu, logam dan sebagainya. Meriam berusaha agar sekolah merupakan bagian dan
kehidupan masyarakat.
Activity curriculum baru mulai diterapkan secara lebih luas setelah buku W.H
Kilpatrick, " The Project Method", 1918. Ide itu telah mulai diterapkan oleh E.
Collings pada tahun 1917, jadi sebelum buku itu diterbitkan. Kegiatan-kegiatan di
sekolahnya banyak mirip dengan Meriam yakni (1) proyek mainan yang terdiri atas
kegiatan kelompok seperti permainan, tarian rakyat, dramatisasi, dan kumpulan
social, (2) proyek ekskursi atau karyawisata yang mempelajari masalah-masalah
yang berhubungan dengan lingkungan dan kehidupan manusia, (3) proyek cerita
yang bertujuan menikmati cerita dalam berbagai bentuk-lisan, nyanyian, gambar,
piringan hitam, atau piano (4) proyek tangan yang bertujuan menyatakan buah
pikiran dalam bentuk yang kongkrit seperti menyiapkan minuman, menanam buah-
buahan, dan sebagainya.
Activity curriculum tidak pernah mendapat popularitas seperti subjects
curriculum dan di sekolah menengah tidak pernah mendapat kedudukan yang
kokoh.
Dasar pikiran activity curriculum adalah sebagai berikut : Orang hanya belajar
berkat pengalaman. Belajar atau perubahan kelakuan hanya terjadi, bila bertalian
dengan suatu tujuan yang bermakna bagi individu, dengan kebutuhan atau minatnya.
Belajar hanya terjadi dalam proses interaksi yang aktif. Berpikir hanya dapat
dikembangakan dengan berpikir untuk memecahkan suatu masalah, atau
memecahkan suatu kesulitan. Kegiatan utama dalam activity curriculum ialah
kegiatan yang digunakan dalam metode problem-solving, yaitu masalah-masalah
yang ditentukan sendiri oleh anak-anak. Dalam memecahkan masalah itu

diperoleh pengetahuan dari berbagai disiplin dalam bentuk yang terintegrasi.
Kegiatan anak didorong oleh motivasi intristik. Karena kurikulum ini diutamakan
situasi yang riil serta minat yang spontan, maka tidak dapat diadakan perencanaan
terlebih dahulu. Rencana timbul dengan berkembangnya minat dan buah pikiran
anak. Jam pelajaran yang ketat tidak ada. Dalam bentuk yang ekstrem disiplin
diserahkan kepada kemampuan anak untuk mengatur diri sendiri dan campur tangan
orang dewasa hendaknya dihindarkan. Dalam activity curriculum juga menonjol
kegiatan lahiriah seperti menggambar, membangun, bersandiwara, dan sebagainya.
Dalam perkembangan kurikulum ini selanjutnya pengalaman langsung dan
minat yang spontan lebih-lebih digunakan sebagai bantuan dalam proses belajar dan
bukan sebagai pokok untuk menyusun unit. Minat anak lebih banyak ditentukan
berdasarkan studi, pengalaman atau penelitian.
Yang dianggap menarik minat anak kelas rendah ialah kegiatan-kegiatan yang
berkenaan dengan:
- kehidupan dalam rumah tangga
- alam sekitar
- lingkungan masyarakat yang dekat
- makanan, produksi, dan distribusinya
- transpordankomunikasi
- kehidupan orang dahulu kala
- kehidupan orang di negara lain
- kehidupan sosial
Kurikulum ini memerlukan guru yang mempunyai pendidikan umum yang
luas, yang mendapat latihan yang mendalam tentang perkembangan anak serta
bimbingan dan penyuluhan, dan menguasai metode pengajaran proyek. Juga
diperlukan gedung, lapangan bermain dan ruang kelas yang besar serta fleksibel
yang memungkinkan berbagai ragam kegiatan. Selanjutnya harus ada alat-alat dan
bahan yang diperlukan oleh anak sesuai dengan minatnya.
Sebagai kesimpulan kami cantumkan beberapa ciri activity curriculum:

1. Kurikulum ini ditentukan programnya oleh minat dan tujuan anak.
2. Sambil melakukan kegiatan-kegiatan untuk memecahkan suatu masalah anak-
anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan.
3. Kurikulum ini tidak direncanakan lebih dahulu. Rencana itu berkembang sambil
menjalankan kegiatan. Perencanaan dilakukan bersama oleh murid dan guru.
4. Metode utama yang digunakan ialah metode pemecahan masalah. Yang
dipentingkan bukan hanya hasilnya, melainkan juga proses untuk memecahkan
masalah itu.
Core Curriculum.
Dengan core curriculum dimaksud bagian dari seluruh program pendidikan
yang dianggap penting, fundamental dan esensial yang hams diberikan kepada
setiap murid agar ia menjadi warganegara yang berharga, berguna, serta efektif. Jadi
core curriculum mempunyai arti yang sama dengan pendidikan umum. Atas dasar
itu maka H. Alberty berpendirian bahwa setiap bentuk pendidikan umum dapat
dipandang sebagai core curriculum atau kurikulum inti, apakah disajikan sebagai
matapelajaran yang terpisah-pisah, dikorelasikan, ataupun dalam bentuk broad unit
atau unifield courses. Jadi setiap program pendidikan umum, sekalipun berupakan
daftar matapelajaran wajib menurut pandangan ini harus dianggap sebagai core
curriculum.
Namun banyak ahli kurikulum lain yang merasa perlu untuk membedakan
'core' dengan pendidikan umum. Mereka memandang core curriculum sebagai
kurikulum yang mempunyai cara atau metode tertentu dalam penyajiannya,
sekalipun core curriculum itu juga mengenai pendidikan umum. Jadi dapat
dikatakan bahwa setiap core curriculum termasuk pendidikan umum, akan tetapi
tidak setiap program pendidikan umum berbentuk core curriculum.
Menurut B.O. Smith dkk. core program ini merupakan suatu reaksi terhadap
kurikulum yang terdiri atas mata pelajaran yang terpisah-pisah untuk memperoleh
lebih banyak integrasi dalam pelajaran. Akan tetapi di samping itu kurikulum ini
juga bermaksud untuk memenuhi kebutuhan siswa, memberikan aktivitas yang lebih
banyak dalam proses belajar dan mengadakan hubungan yang lebih erat

antara pelajaran di sekolah dengan kehidupan dalam masyarakat. Maka kurikulum
ini mempunyai tujuan yang agak luas yang meliputi ide-ide yang terdapat dalam
berbagai bentuk kurikulum lainnya yang menyimpang dari subject curriculum.
Ciri-ciri Core Curriculum.
Kurikulum itu mengadakan integrasi dalam bahan pelajaran. Ini dilakukan
dengan menggabungkan atau mengkorelasikan beberapa matapelajaran seperti ilmu
pengetahuan sosial dan bahasa. Akan tetapi banyak pula disajikan dalam bentuk
broad unit.
Sebagai pokok untuk unit dapat digunakan topik-topik dad social functions,
atau masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan atau yang bertalian
dengan minat dan kebutuhan pemuda.
Dengan demikian maka diperoleh beberapa macam program untuk core
curriculum, yakni:
(1) paduan heberapa mata pelajaran, sering antara IPS dan Bahasa Inggris. Pokok-
pokok yang dapat dibicarakan antara lain:
- Negarakita
- Negara-negara lain
- Dunia lama dan dunia barn
- Masa kolonial
Atau dalam bentuk masalah atau pertanyaan:
- Bagaimanakah suatu bangsa dapat meningkatkan mutu penghidupan?
- Bagaimanakah dapat kita hadapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
perkembangan teknologi?
(2) Mengambil pokok-pokok dari "Social functions" atau "major areas of living",
seperti:
- Pengawetan sumber alarn
- Matapencarian
- Pandangan kita terhadap dunia
- Mencegah kecelakaan dan penyakit
- Dunia kita yang kian menciut
- Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap kehidupan kita.

(3) Mengambil pokok dari Masalah-masalah kehidupan seperti:
- masalahpekerjaan
- masalahkewargaannegara
- masalah kehidupan rumahtangga
- masalah waktu senggang
(4) Memilih topik berhubungan dengan minat murid:
- masalah pergaulan
- masalah hubungan dengan anggota j enis kelamin lain
- masalah agama dan kepercayaan.
Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum.
Metode yang diutamakan ialah problem solving. Murid-murid didorong untuk
berpikir kritis dan menggunakan ketrampilan intelektual lainnya menghadapi
masalah-masalah yang bermakna bagi mereka.
Seperti unit lainnya dalam memecahkan pelajaran dimanfaatkan bahan dari
semua mata pelajaran yang diperlukan, karena suatu unit menerobos batas-batas
mata pelajaran. Kegiatan belajar lebih banyak ragamnya jika dibandingkan dengan
subject curriculum.
Kurikulum inti ini mengadakan hubungan yang lebih erat antara pelajaran
dengan kehidupan sehari-hari serta dengan minat dan kebutuhan pemuda.
Metode mengajar lebih fleksibel. Merencanakan bersama dan kerja kelompok
dalam kegiatan belajar banyak dilakukan.
Perbedaan individual diperhatikan dan bimbingan merupakan unsur yang
esensial dalam kurikulum inti ini.
Keberatan-keberatan terhadap core curriculum.
Core curriculum ini mendapat kritik seperti yang diajukan terhadap
pengajaran unit pada umumnya. Salah satu keberatan yang paling dirasakan ialah
bahwa kurikulum tidak berhasil memberikan pengetahuan yang sistematis, seperti
juga dikemukakan terhadap tiap bentuk kurikulum yang menyimpang dari bentuk
subject curriculum. Hal ini disebabkan oleh kegagalan menyusun suatu disain

yang menjamin bahan pelajaran yang sistematis. Kurikulum ini hanya memberikan
kesatuan waktu belajar yang lebih panjang, misalnya dua jam pelajaran berturut-
turut akan tetapi bahan pelajaran sendiri dalam praktik sering tidak memberikan
bahan yang diintegrasikan akan tetapi bahan dari sejumlah mata pelajaran secara
terpisah. Kerap kali satu di antaranya yang paling menonjol, biasanya yang paling
dikuasai oleh guru. Karena guru-guru pada SM pada umumnya mengadakan
spesialisasi tertentu, maka mereka tidak menguasai cara mengajar secara inter-
disipliner. Dan memang pendekatan secara inter-disipliner belum cukup
berkembang untuk diterapkan di sekolah. Itu sebabnya mengajarkan program yang
integrated sangat sukar. Sekalipun digunakan team teaching masih belum terjamin
tercapainya integrasi bahan pelajaran, jika guru-guru masih berpegang pada disiplin
masing-masing. Untuk itu diperlukan orientasi barn. Sebelum ini tercapai maka
pelaksanaan core curriculum biasanya hanya berbentuk kombinasi beberapa mata
pelajaran yang seharusnya harus dipadukan oleh "integrating ideas".
Kesulitan yang dihadapi dalam penerapan kurikulum ini ialah soal guru yang
tidak kompeten. Kurikulum serupa ini memerlukan guru yang mempunyai
pendidikan umum yang luas, sedangkan guru-guru SM mengkhususkan studinya
pada bidang tertentu.
Kesulitan juga timbul karena kurikulum inti ini belum mempunyai buku
pedoman yang memuaskan, sehingga masih banyak yang diserahkan kepada
pemikiran guru masing-masing.
Tentu saja kurikulum yang berbeda dengan subject curriculum akan
mengalami kesulitan dalam lanjutannya ke perguruan tinggi yang dalam persyaratan
masuk dan kurikulumnya masih berpegang pada kurikulum yang berpusat pada mata
pelajaran.
RANGKUMAN
1. Organisasi kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutannya, dan cara
menyajikannya.

2. Bentuk kurikulum yang lebih "tua" dari yang lain ialah subject curriculum yang
berpusat pada mata pelajaran yang tersendiri-sendiri.
3. Sebagai reaksi terhadap apa yang dianggap kekurangan-kekurangan kurikulum
ini timbul organisasi kurikulum yang lain seperti correlated curriculum dan
integrated curriculum. Integrated curriculum dapat berbentuk activity
curriculum, project curriculum atau experience curriculum, life curriculum, atau
core curriculum.
4. Subject curriculum telah ada sejak zaman Yunani yang dilanjutkan oleh orang
Rumawi dalam bentuk trivium (gramatika, retorikam dan logika) dan
quadrivium (arithmatika, geometri, astronomi, dan musik), keduanya dikenal
sebagai "the Seven Liberal Arts".
5. Pada abad pertengahan timbul mata pelajaran yang vokasional (teologi,
kedokteran, hukum) dan kini telah terdapat ratusan macam mata pelajaran,
termasuk yang dianggap non-akademis.
6. Subject sebenarnya pengalaman umat manusia yang disusun secara logis
sistematis.
7. Setiap bentuk kurikulum mempunyai kebaikan dan kekurangan. Kekurangan-
kekurangan suatu kurikulum sering ditonjolkan oleh para penentangnya ditinjau
dari segi pendirian masing-masing.
8. Walaupun subject curriculum banyak dikecam, dan boleh dikatakan hampir tak
ada yang memperjuangkannya, namun bentuk kurikulum masih sangat populer
di mana-mana di dunia, terutama di Perguruan Tinggi.
9. Bentuk kurikulum yang lebih baru, yang juga banyak keuntungannya dan
mempunyai ciri-ciri yang dapat mengatasi kelemahan subject curriculum,
namun tidak mendapat popularitas yang luas, antara lain, karena tidak dapat
memberikan pengetahuan yang sistematis yang masih merupakan syarat bagi
universitas dan karena guru tidak dipersiapkan untuk itu.
10. Metode yang diutamakan dalam integrated curriculum ialah metode "problem
solving" atau metode ilmiah dengan menghadapkan siswa kepada masalah-
masalah yang bermakna baginya.

11. Menjalankan integrated curriculum tidak berarti menyampingkan subject sama
sekali, melainkan memanfaatkannya secara fungsional dalam pemecahan
masalah.
12. Subject curriculum dapat mengatasi kelemahannya dengan memanfaatkan
kebaikan-kebaikan bentuk kurikulum lainnya.
13. Core curriculum selalu mengenai pendidikan umum, walaupun tidak setiap
bentuk pendidikan umum dapat diterima sebagai core curriculum. Core
curriculum lebih mirip kepada kurikulum yang mengusahakan integrasi serta
menyesuaikan bahan pelajaran dengan kebutuhan murid atau masyarakat.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apakah beda subj ect curriculum dengan integrated curriculum?
2. Banyak timbul reaksi terhadap subject curriculum karena kelemahan-
kelemahannya. Sebutkan kekurangan-kekurangan subject curriculum.
3. Dapatkah saudara menerima semua kecaman itu? Tinjau kecaman itu secara
kritis.
4. Apakah beda subject dan subject matter? Adakah subject matter pada integrated
curriculum?
5. Ada mengatakan bahwa trivium mirip dengan jurusan Sosial, Budaya,
sedangkan quadrivium dengan Pasti-Alam. Bagaimana pendapat saudara?
6. Apa sebab subject curriculum tetap bertahan dan terus populer, sekalipun
banyak dikecam?
7. Apakah prinsip-prinsip integrated curriculum? Apa sebab kurikulum ini tidak
meluas, sekalipun banyak mengandung kebaikan?
8. Bagaimanakah langkah-langkah menjalankan suatu broad unit atau pengajaran
unit?
9. Pilih suatu topik dan coba kembangkan menjadi suatu resource unit.
10. Apa dimaksud dengan "social functions" atau pusat-pusat kegiatan manusia?
Sebutkan social functions itu.
11. Apa dimaksud dengan "persistent life situations". Sebutkan.
12. Hingga manakah ada persamaan antara tujuan pendidikan menurut Herbert
Spencer dengan "social functions"?

13. Correlated curriculum menjadi lebih populer dan juga telah menjadi kenyataan
dalam Kurikulum SD dan SM 1975. Jelaskan prinsip-prinsip yang
mendasarinya.
14. Apakah kekurangan-kekurangan correlated curriculum? Bagaimana saran
saudara untuk mengatasinya
15. Sebutkan beberapa tokoh memelopori activity, curriculum atau experience
curriculum. Sebutkan ciri-cirinya.
16. Apakah persamaan dan perbedaan antara Kurikulum Laboratory School
(Dewey), Meriam's Laboratory School, dan proyek (E. Collings).
17. Apakah dimaksud dengan core curriculum. Apa sebab pendapat H. Alberty
tentang core curriculum tidak dapat diterima pihak tertentu?
18. Adakah persamaan antara core curriculum dan activity curriculum?
19. Adakah diskusi antara orang yang menyetujui subject curriculum dengan orang
yang pro integrated curriculum.
20. Bagaimanakah saudara dapat memanfaatkan bentuk kurikulum yang integrated
untuk memperbaiki subject curriculum?

BAB 8
MENENTUKAN SCOPE DAN SEQUENCE DALAM
PEMBINAAN KURIKULUM
PELAJARAN
Menentukan scope, yakni apa yang harus diajarkan merupakan suatu
masalah yang makin lama makin bertambah sulit. Sebabnya ialah:
1) bahan pelajaran cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahun. Tak ada
lagi manusia yang mungkin menguasai seluruh pengetahuan yang ada sekarang.
Spesialisasi dalam pendidikan makin meluas dan tiap spesialisasi memerlukan
bahan pelajaran tambahan. Di samping itu waktu belajar terbatas, demikian pula
kemampuan anak untuk menguasai bahan pelajaran. Maka perlulah diadakan
pilihan tentang apa yang perlu diajarkan.
2) belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga
belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh
semua.
3) Mata pelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan-tujuan
yang baru seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami lingkungan sosial,
memahami dunia internasional dan sebagainya yang dianggap perlu dimasukkan
dalam kurikulum. Sering mata pelajaran baru ditambahkan sedangkan mata
pelajaran lama bercokol terus, sehingga beban belajar bagi anak bertambah
berat. Menambah mata pelajaran dalam masa belajar yang sama sering berarti
makin dangkalnya pengetahuan anak tentang aneka ragam bidang. Mata
pelajaran yang sebenarnya telah usang dipertahankan karena "vested interest"
golongan-golongan tertentu. Demikian pula penambahan mata pelajaran sering
terjadi oleh tekanan golongan tertentu, bukan atas pertimbangan rasional yang
obyektif.
BAHAN PELAJARAN
Bahan pelajaran atau subject matter terdiri atas pengetahuan, nilai-nilai, dan
ketrampilan. Sawah bukan bahan pelajaran akan tetapi yang menjadi bahan

pelajaran ialah pengetahuan tentang sawah itu. Bahan pelajaran adalah
sebagian dari kebudayaan.
Pengetahuan manusia disusun oleh para ahli dalam sejumlah kategori yang
disebut disiplin ilmu. Penyusunan ini dilakukan secara rasional, logis, sistematis
sehingga menjadi suatu sistem yang bulat. Tiap disiplin mempunyai bahan atau isi
tertentu berupa fakta, data, konsep, dan prinsip, akan tetapi juga cara berpikir atau
disiplin berpikir tertentu, yakni cara mengajukan pertanyaan dalam mengadakan
penelitian untuk menghasilkan pengetehuan baru. Misalnya cara berpikir matematis
berbeda dengan cara berpikir historis atau ekonomis.
Disiplin ilmu banyak digunakan sebagai dasar penyusunan kurikulum yang
berbentuk mata pelajaran seperti fisika, biologi, sejarah dan sebagainya. Kurikulum
serupa ini dikatakan mempunyai organisasi yang logis. Bahan pelajaran disajikan
dalam urutan yang logis, misalnya dalam biologi dimulai dengan binatang yang
bersel satu, kemudian bersel banyak dan selanjutnya meningkat kepada binatang
yang berangsur-angsur lebih kompleks strukturnya. Kurikulum yang logis ini sering
tidak ada kaitannya dengan pengalaman anak dalam hidupnya, sehingga apa yang
dipelajari anak sering hanya hafalan kata-kata tanpa makna dan karena itu tidak
memperkaya pribadinya.
Kurikulum yang dianggap lebih bermakna ialah bila bahan pelajaran
dihubungkan atau didasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupannya sehari-
hari, misalnya bila dibicarakan masalah yang nyata seperti soal kesehatan,
kecelakaan lalu-lintas, dan sebagainya. Topik ini dapat diajarkan dengan
menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu seperti biologi, fisika, kimia,
matematika, geografi, dan sebagainya. Dalam hal ini pengetahuan dan disiplin ilmu
itu dipakai secara fungsional untuk memahami suatu masalah. Karena ilmu itu
digunakan secara bermakna, lebih banyak harapan bahan itu akan dipahami dan
diingat. Setelah anak mencapai tingkat perkembangan tertentu, maka mereka dapat
mempelajari disiplin ilmu itu sebagai mata pelajaran. Organisasi bahan serupa ini
disebut psikologis, karena memperhitungkan minat dan tingkat perkembangan jiwa
anak. Perlu dikemukakan, bahwa organisasi yang psikologis tidak dengan sendirinya
bersifat tak-logis.

Yang dijadikan bahan kurikulum bukan hanya isi disiplin ilmu berupa
pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus dengan sengaja diajarkan
proses berpikir kritis, proses penemuan, proses pemecahan masalah, dan
sebagainya. Aspek proses ini masih kurang mendapat perhatian.
Bahan pelajaran yang dituangkan dalam sejumlah besar mata pelajaran
demikian banyaknya sehingga tak mungkin seseorang dapat mempelajari
keseluruhannya selama hidupnya. Ada mata pelajaran yang dianggap perlu
dipelajari oleh semua warga negara seperti membaca, menulis dan berhitung, yang
sudah dapat dilakukan pada tingkat SD. Selanjutnya masih ada mata pelajaran yang
diwajibkan bagi semua siswa seperti bahasa nasional, pendidikan kewarganegaraan,
sejarah nasional, dan Iain-lain. Mata pelajaran ini termasuk pendidikan umum.
Tujuannya ialah agar semua warga negara mempunyai dasar pemikiran yang sama
untuk menjamin keutuhan negara.
Pengetahuan umum juga diartikan sebagai pendidikan yang luas, yang
memberitahukan pengetahuan yang banyak tentang segala macam hal, sehingga ia
dapat berkomunikasi dengan manusia di mana saja di dunia, dapat bertukar pikiran
dengan "the worldwide community of civilized human beings". Menyusun
kurikulum untuk pendidikan umum serupa ini jauh lebih sulit karena sukarnya
mengadakan pilihan dari bahan yang terhingga banyaknya.
Selain pendidikan yang bersifat umum kurikulum juga menyediakan pelajaran
yang membarikan pendidikan khusus yang tidak diharuskan bagi semua pelajar akan
tetapi hanya diikuti siswa yang memilihnya. Pendidikan khusus ini dapat misalnya
mengenai pendidikan kejuruan atau vokasional, dapat pula memberi pendalaman
dalam bidang studi tertentu.
Dalam menyusun kurikulum harus pula dipertimbangkan soal luas dan
kedalaman bahan mata pelajaran. Biasanya makin luas bahan pelajaran makin
kurang mendalam pengetahuan yang diperoleh dalam jangka waktu yang sama.
Ada bahan pelajaran yang umum, yakni hal-hal yang hams dimiliki oleh
semua warga negara, misalnya yang mengenai pemerintahan, norma-norma dalam
kelakuan yang baik, dan sebagainya. Ada pula bahan pelajaran yang khusus, yaitu

diperlukan untuk kepentingan tertentu, misalnya bersipat vokasional, yang
hanya diperlukan oleh orang-orang tertentu.
Dapat pula bahan pelajaran itu dibagi dalam bagian yang deskriptif, yakni
yang mengenai fakta-fakta dan prinsip-prinsip, dan yang normatif, yaitu bertalian
dengan norma-norma, peraturan, moral, estetika, dan nilai-nilai.
Subject matter atau bahan mata pelajaran, dipilih dari persediaan yang sangat
luas yang dapat disajikan kepada anak-anak untuk dipelajari. Pilihan itu harus
dilakukan karena luasnya bahan yang ada, sedangkan apa yang dapat dipelajari
dalam jangka waktu tertentu yang sangat terbatas. Maka perlulah diadakan kriteria
agar memilih bahan itu dapat dilakukan secara lebih rasional.
KRITERIA PENENTUAN BAHAN PELAJARAN
Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran.
Kesulitannya ialah bahwa setiap kriterium mempunyai kelemahannya. Kriteria itu
ialah:
1. Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Setiap
penyusunaan kurikulum dimulai dengan merumuskan tujuan, yang umum
sampai yang khusus. Setelah itu baru ditentukan bahan pelajaran yang dianggap
paling serasi untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Untuk tujuan-tujuan yang khusus
lebih mudah ditentukan bahan pelajarannya dan dapat segera dinilai
keserasiannya. Untuk tujuan-tujuan yang umum keadaannya lebih sukar. Lagi
pula belum ada alai yang dapat mengukur hasil-hasil pendidikan, apalagi yang
mengenai kepribadian seseorang, secara ilmiah.
2. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan generasi yang
lampau. Salah satu fungsi pendidikan ialah menyampaikan kebudayaan bangsa
kepada generasi muda. Banyak di antaranya yang sangat bernilai. Namun belum
tentu apa yang berguna pada masa yang lampau masih berguna pada zaman
sekarang atau untuk masa mendatang. Karena perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang menimbulkan perubahan yang cepat dalam segala aspek
hidup sehingga pengetahuan, norma-norma, dan keterampilan masa lalu harus
senantiasa disesuaikan dengan keadaan baru agar jangan menjadi usang.

3. Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin.
Penguasaan disiplin diperlukan sebagai prasyarat untuk melanjutkan pelajaran
sampai perguruan tinggi. Karena kebanyakan anak demikian pula orang tua
mengharapkan, agar anak itu memasuki perguruan tinggi maka pengaruh
perguruan tinggi terhadap SM bahkan SD sangat besar. Ada yang mengatakan
bahwa pada hakikatnya perguruan tinggi menguasai seluruh sistem pendidikan
dan SD - SM merupakan perguruan tinggi dalam embrio. Usaha-usaha
perubahan dan pembaharuan kurikulum ke arah penyesuaiannya dengan
kebutuhan anak pemuda sering mengalami kesulitan atau kegagalan, karena
dianggap kurang sesuai dengan syarat-syarat masuk ke perguruan tinggi.
Kurikulum yang terlampau mementingkan bahan pelajaran disiplin tertentu
dianggap kurang memenuhi kebutuhan pemuda dan kurang memperhatikan
kebutuhan sosial dalam masyarakat modern yang dinamis.
4. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam hidupnya.
Herbert Spencer pada tahun 1859 mengajukan pertanyaan: '"What knowledge is
of most worth". Pengetahuan apa yang paling besar manfaatnya, yang paling
berguna bagi manusia dalam kehidupannya sehari-hari?
Dasar pikiran di sini ialah, bahwa sekolah yang didirikan oleh masyarakat, harus
memberikan pendidikan dalam bidang-bidang yang diperlukan oleh anak-anak
dalam kehidupan mereka dalam masyarakat. Jadi pendidikan harus relevan
dengan kebutuhaan masyarakat.
Franklin Bobhitt menganalisis kegiatan-kegiatan orang dewasa dalam
masyarakat dengan maksud agar kegiatan-kegiatan itulah diajarkan kepada
anak-anak agar menjadi warga masyarakat yang serasi.
Keberatan yang diajukan terhadap pendirian itu ialah, bahwa apa yang baik
dilakukan untuk zaman sekarang belum tentu baik pula untuk masa depan.
Mengharuskan anak-anak meniru perbuatan generasi tua, berarti
mempertahankan keadaan sekarang, sedangkan keadaan senantiasa berubah.
Lagi pula, karena yang dipakai sebagai ukuran kelakuan orang dewasa, maka
kebutuhan dan sifat perkembangan anak kurang mendapat perhatian utama.
Akhirnya apa yang dilakukan orang dewasa belum tentu sesuai dengan apa yang
seharusnya mereka lakukan.

5. Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Seperti
telah pernah kami kemukakan dengan kebutuhan anak dapat dimaksud (a)
kebutuhan menurut tafsiran, orang dewasa, misalnya bahwa setiap anak harus
belajar menulis, membaca, sejarah, dan sebagainya, atau (b) kebutuhan
berdasarkan perkembangan anak, apa yang benar-benar dirasakan perlu.
Memperturutkan salah satu di antaranya rnembawa kepincangan. Apa yang
dibutuhkan oleh anak menurut pendapatnya tidak selalu baik, sehingga perlu dipilih
berdasarkan antara lain kepentingannya ditinjau dan segi sosial. Lagi pula banyak
hal-hal yang penting sekali bagi anak, yang tidak dengan sendirinya dirasakannya
sebagai kebutuhan. Tentu saja kebutuhan dan minat anak dapat diperluas, sehingga
meliputi hal-hal yang semula tidak menarik minatnya.
Di lain pihak, bila kebutuhan dan minat anak diabaikan, maka kita menyalahi
prinsip-prinsip proses belajar.
Dalam memilih bahan pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda Taba
yakni bahwa untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya
memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau
pengalaman belajar. Tujuan pendidikan merupakan pengetahuan dapat dicapai
dengan menentukan bahan pelajaran, akan tetapi keterampilan mental seperti
berpikir kritis, demikian pula sikap dan norma-norma hanya dapat dipelajari melalui
pengalaman-pengalaman untuk menerapkannya.
la berpendirian bahwa bahan pelajaran tidak boleh dipisahkan dari
pengalaman belajar. Karena itu lebih baik pelajaran dipusatkan pada sejumlah
pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan keterampilan mental, daripada
berusaha meliputi sejumlah bahan yang luas yang hanya dihafal secara mendangkal,
tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental itu. Ketrampilan mental itu dapat
ditransfer dalam situasi-situasi lain yang memerlukan ketrampilan berpikir kritis dan
kreatif untuk memecahkan masalah-masalah dengan menggunakan metode
penemuan (discovery). Juga dianjurkannya ialah agar bahan pelajaran hendaknya
fundamental yang dapat mengembangkan kesanggupan berpikir secara
konsepsional.

Dalam penentuan bahan pelajaran para penyusun kurikulum dipengaruhi oleh
aliran yang dianutnya. Mereka yang mengutamakan subject curriculum akan
mementingkan bahan yang terkandung dalam disiplin. Penganut aliran "progresif'
akan menentukan bahan pelajaran terutama berdasarkan minat anak atau pemuda.
Mereka yang mengutamakan fungsi sosial sekolah mengambil aspek-aspek
kehidupan sosial sebagai dasar untuk menentukan bahan pelajaran. Seperti telah
pernah kami utarakan, setiap pendirian yang ekstrim mempunyai kelemahan. Dalam
pembinaan kurikulum hendaknya kita perhatikan semua faktor yang turut
mempengaruhinya, yaitu faktor anak, masyarakat, maupun disiplin ilmu
pengetahuan. Dalam kenyataan hal ini tidak mudah melakukannya, oleh sebab
manusia senantiasa berpijak pada dasar-dasar tertentu. Mereka yang yakin pada
kebaikan "activity curriculum" tentu akan bertolak dari prinsip-prinsip yang berbeda
dengan penganut "subject curriculum", sekalipun kedua pendirian itu dapat
dipertemukan hingga batas-batas tertentu.
PROSEDUR MENENTUKAN BAHAN PELAJARAN
Berbagai cara dapat diikuti untuk menentukan bahan pelajaran. Cara yang
dipilih banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang
menentukan kurikulum. Jika mereka berpendirian bahwa sekolah harus
menyampaikan kebudayaan masa lampau yang diwariskan oleh nenek moyang,
maka mereka akan mencari unsur-unsur dari kebudayaan itu yang dianggap penting
bagi perkembangan anak-anak. Jika mereka menganggap, bahwa sekolah harus
mempersiapkan anak, agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam
masyarakat, maka bahan yang penting ialah kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang
dewasa dalam kehidupannya. Bahan pelajaran akan berbeda pula bila yang
diutamakan ialah perkembangan mental atau intelek, atau pembangunan masyarakat
barn.
Jadi serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan yang ingin
dicapai. Di bawah ini kami berikan beberapa prosedur yang diikuti dalam penentuan
bahan pelajaran.
Prosedur penentuan bahan pelajaran.
1. Prosedur menerima otoritas para ahli.

Bahan pelajaran ditentukan berdasarkan pendapat seseorang atau suatu
kelompok, yang dianggap mempunyai otoritas, kemampuan, dan keahlian. Lebih
dahulu dirumuskan tujuan pendidikan agar dapat ditentukan bahan pelajaran yang
kirangnya paling serasi untuk mencapainya. Tujuan pendidikan dapat diselidiki
berdasarkan undang-undang dan dokumen-dokumen resmi, dapat juga berdasarkan
studi tentang sosiologi, politik, sejarah dan sebagainya. Kemudian diadakan diskusi
untuk merumuskan dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan itu. Menentukan bahan
pelajaran yang serasi berhubung dengan tujuan itu tidak mudah, karena tidak ada
jaminan apakah dan hinggga manakah bahan itu sungguh-sungguh membawa anak
kepada tujuan itu. Suing para penyusun kurikulum itu dipengaruhi oleh tradisi,
prasangka atau keinginan pribadi.
Dalam praktik sering yang menentukan bahan pelajaran ialah pengarang buku
pelajaran. Tentu saja pengarang itu menggunakan berbagai sumber dalam penulisan
itu. la akan mempelajari kurikulum yang diakui, hasil-hasil lokakarya atau
konferensi, hasil penelitian tentang perkembangan anak, perbendaharaan kata anak,
psikologi belajar, metode mengajar, dan sebagainya. Ada kalanya buku pelajaran
disusun oleh panitia penulisan buku. Buku ini dapat disebarluaskan secara nasional.
Untuk menjamin mutu buku itu, sering diikutsertkan para ahli dalam cahang ilmu
pengetahuan tertentu dan ahli pendidikan.
Prosedur ini banyak diikuti, karena banyak keuntungannya. Buku pelajaran
mempunyai scope dan sequence tertentu, jadi telah jelas apa yang hams diajarkan
dan bagaimana urutannya. Ini memberikan rasa tenteram kepada guru karena ia tak
perlu lagi mencari-cari. Akan tetapi prosedur ini juga tidak membangkitkan
kreativitas guru.
2. Prosedur experimental.
Bahan pelajaran dapat ditentukan secara eksperimental dengan mengadakan
penelitian hingga manakah bahan itu memang serasi untuk mencapai sasarannya.
Biasanya metode ini digunakan untuk menyelidiki keserasian bahan yang khusus
untuk tujuan yang spesifik, agar dapat dikuasai faktor-faktor yang mempengaruhi,
agar keilmiahannya dapat dipertahankan. Misalnya dapat diselidiki cerita-cerita
apakah yang paling disukai anak-anak pada usia tertentu. Kalau percobaan ini

dilakukan pada sejumlah besar anak, maka ada pegangan yang lebih kokoh
dalam pemilihan cerita yang sesuai dengan keinginan anak, daripada hanya
bergantung pada pendapat guru atau pengarang.
Untuk tujuan-tujuan yang lebih umum, metode ini kurang sesuai, karena
sulitnya menguasai semua faktor, termasuk pribadi guru dan pengalaman anak. Juga
perlu dipikirkan, hingga manakah hasil penelitian sekarang berlaku untuk masa
datang, karena misalnya selera anak terhadap cerita-cerita tertentu dapat berubah
karena perkembangan zaman.
3. Prosedur ilmiah atau analitis.
Bahan pelajaran dapat ditentukan dengan menganalisis situasi-situasi di mana
bahan pelajaran itu diperlukan. Dapat dianalisis kegiatan manusia dewasa dalam
kehidupannya sehari-hari seperti yang dilakukan oleh Franklin Bobbitt, dapat pula
dianalisis berbagai jabatan, misalnya jabatan jururawat, guru penerbang,
sekretaresse, dan sebagainya seperti yang mula-mula dilakukan oleh Charters.
Dengan mengetahui kegiatan, ketrampilan, sikap, pengetahuan dan kompetensi-
kompetensi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik, dapat pula
ditentukan bahan pelajaran yang serasi untuk itu.
Analisis pekerjaan atau kegiatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain mengadakan wawancara tentang segala macam tugas seorang pekerja,
melakukan pekerjaan itu sendiri, atau mengobservasi pekerja melakukan tugasnya.
Analisis ini akan menghasilkan daftar sejumlah kegiatan yang dapat disusun
menurut pentingnyaa dan frekuensinya.
Analisis memecahkan keseluruhan tugas dalam kegiatan-kegiatan yang lebih
terinci, sehingga identitas keseluruhan lenyap. Yang dianalisis ialah keadaan
sekarang yang tidak menunjukkan keadaan seharusnya. Namun metode analisis ini
sangat berfaedah untuk menentukan bahan pelajaran bagi tugas dan jabatan yang
jelas dan terbatas unsur-unsurnya.
4. Prosedur konsensus.
Cara keempat ialah memperoleh konsensus dengan meminta pendapat orang-
orang yang dianggap berwewenang, antara lain ahli-ahli dalam bidang studi

tertentu, tokoh-tokoh masyarakat, perusahaan, dan sebagainya. Pendapat-
pendapat itu dapat dikumpulkan dengan daftar pertanyaan yang kemudian ditabulasi
dan diinterpretasi.
Metode ini mudah dilaksanakan, namun konsensus berdasarkan tabulasi dan
suara terbanyak belum menjamin keserasian bahan pelajaran. Ada pula
kemungkinan bahwa pendapat orang yang ditanyai itu dipengaruhi oleh prasangka,
tradisi, keinginan pribadi atau faktor-faktor subyektif lainnya. Sesudah ditabulasi
tidak lagi diadakan diskusi antara mereka yang mengisi daftar pertanyaan itu dan
interpretasinya terserah pada para pengolahnya.
5. Prosedur-prosedur lainnya.
Prosedur-prosedur lain yakni (a) social functions procedure, (b) persistent life
situation procedure dan (c) adolescent needs or problems procedure, menentukan
bahan pelajaran menurut prinsip-prinsip utama yang mendasari kurikulum itu.
(a) Prosedurfungsi-fungsi sosial. Seperti telah dibicarakan sebelumnya dengan
"social functions" atau "major areas of living": dimaksud pusat-pusat kegiatan
manusia dalam masyarakat. Dengan mempelajari pusat-pusat kegiatan manusia ini
anak-anak diharapkan mengenal kehidupan dan masalah-masalah masyarakat
dewasa ini. Fungsi-fungsi sosial itu seperti: perlindungan dan pengawetan hidup,
milik, dan suber alam, produksi, konsumsi, komonikasi dan transpor, dan
sebagainya adalah pokok-pokok sebagai pegangan untuk menentukan kegiatan-
kegiatan belajar. Pokok-pokok ini sangat umum dan masih perlu diuraikan lebih
lanjut oleh para pendidik secara lokal, agar pelajaran itu sesuai dengan keadaan
setempat. Program ini fleksibel dan mungkin sekali mengalami perubahan dari
tahun ke tahun apalagi karena dalam pelaksanaannya diadakan perencanaan bersama
dengan murid seperti lazimnya dilakukan dalam pengajaran broad unit.
Kurikulum ini mengutamakan aspek sosial dan tidak begitu menonjolkan soal
kebutuhan dan minat pelajar, sekalipun tidak mengabaikannya.

(b) Prosedur "persisten life situations".
Prosedur ini memperhatikan kebutuhan, masalah, dan minat anak dan pemuda
menurut taraf perkembangan dalam dunia yang kompleks dan dinamis ini. Masalah-
masalah pokok yang dihadapi itu "persistent" yakni senantiasa pada hakikatnya
sama, dulu, sekarang maupun di masa mendatang di mana saja di dunia ini, akan
tetapi situasinya berbeda-beda dan berubah-ubah. Dengan mengikuti kurikulum ini
murid-murid dipersiapkan untuk menghadapi masalah-masalah itu dalam hidupnya
di masyarakat.
Stratemeyer cs menganalisis situasi-situasi itu sejauh mungkin, namun para
pendidik masih harus mengadakan perencanaan yang lebih terperinci dan kongkret
untuk dilaksanakan dalam kelas. Tentu saja kurikulum serupa ini fleksibel dan
bahan pelajaran harus disesuaikan setiap kali dengan perubahan-perubahan yang
terjadi di dunia maupun setempat. Jadi cara menentukan scope atau ruang lingkup
pelajaran banyak persamaannya dengan prosedur fungsi-fungsi sosial. Seperti
halnya dengan kurikulum fungsi-fungsi sosial kurikulum ini pun dapat
memanfaatkan bahan dari berbagai disiplin atau mata pelajaran, sejauh bahan itu
diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Ada kemungkinan
pengetahuan murid tentang berbagai subject atau mata pelajaran bahkan lebih luas
lagi daripada yang diperoleh melalui kurikulum yang subject-centered hanya tidak
dalam susunan logis sistematis yang lazim
(c) Prosedur kebutuhan atau masalah pemuda.
Prosedur ini bertitik tolak dan kebutuhan pemuda atau masalah-masalah yang
mereka hadapi. Oleh sebab kebutuhan atau masalah itu selalu timbul dalam
lingkungan masyarakat tempat mereka hidup maka dengan sendirinya masalah-
masalah masyarakat juga mendapat perhatian.
Prosedur ini diterapkan dalam "the Eight Year Study" (1932-40) yang
mengadakan percobaan dengan kurikulum ini di 30 sekolah menengah di Amerika
Serikat. Waktu itu ide ini sangat progresif Percobaan ini merupakan suatu sukses,
akan tetapi karena pecahnya Perang Dunia II hasilnya tidak mendanqt cambutan
selayaknya.

Untuk menentukan bahan pelajaran diselidiki buku-buku psikologi, diadakan
questionnaires, checklist, observasi dan sebagainya. Ross Mooney mengumpulkan
132 masalah pemuda yang digolongkannya dalam 11 bidang, yakni: (1) Kesehatan
dan perkembangan jasmani, (2) Keuangan, kondisi hidup dan pekerjaan, (3)
Kegiatan sosial dan rekreasi, (4) Berpacaran, seks dan perkawinan, (5) Hubungan
sosial-psikologis (6) Hubungan pribadi-psikologis, (7) Moral dan agama, (8) Rumah
tangga dan keluarga, (9) Masa depan: Pekerjaan dan pendidikan, (10) Penyesuaian
dengan pelajaran sekolah, (11) Kurikulum dan pengajaran.
Di samping klasifikasi Ross Mooney ini ada lagi cara penggolongan lain. Ini
bergantung pada bahan yang diterima dari orang-orang yang diminta pendapatnya
dan cara menggolongkannya.
Setiap bidang dapat lagi diuraikan lebih lanjut. Dan seperti halnya dengan
prosedur fungsi-fungsi sosial dan "persistent life situation" guru-guru setempat
harus lagi merencanakan bersama, sering dengan murid, juga dengan orang tua,
untuk menyesuaikan kurikulum itu dengan kebutuhan dan masalah pemuda di
sekolah itu. Perubahan senantiasa ada dari tahun ke tahun seperti halnya dengan
kurikulum yang fleksibel lainnya yang berusaha menyesuaikannya dengan tuntutan
murid dan masyarakat.
Untuk membantu guru-guru dalam perencanaan broad unit maka dapat
disusun suatu, resource unit. Resource unit ini merupakan suatu sumber yang dapat
membantu guru untuk merencanakan, mengembangkan, dan menilai suatu unit.
Resource unit menguraikan secara komprehensif dan sistematis tujuan, ruang
lingkup bahan pelajaran berupa konsep-konsep, pokok-pokok, masalah-masalah,
dan sebagainya, berbagai-bagai saran tentang kegiatan-kegiatan mengajar-belajar,
daftar buku, dan alat-alat pengajaran serta cara-cara mengevaluasi unit itu.
MENENTUKAN SEQUENCE DALAM KURIKULUM
"Scope" mengenai apa yang akan diajarkan, yaitu ruang lingkup atau luas
bahan pelajaran, jenis dan bentuk pengalaman-pengalaman belajar, pada berbagai
tingkat perkembangan anak guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Dengan "sequence" (baca: si-kuens) dimaksud urutan pengalaman belajar itu
diberikan. Sering ini diartikan sebagai kapan pengalaman belajar atau bahan
pelajaran itu harus diberikan, atau disempitkan menjadi di kelas berapa bahan
pelajaran tertentu harus diajarkan.
Scope dan sequence erat hubungannya dalam penyusunan kurikulum, oleh
sebab tiap bahan harus diberikan pada waktu yang setepat-tepatnya. Akan tetapi
waktu yang tepat itu tidak selalu mudah ditentukan. Sering ini dilakukan
berdasarkan tradisi. Pembanian pendidikan dapat mengubah kebiasaan lama dan
masalah urutan atau sequence turut mengalami perubahan.
Pada zaman sebelum perang dunia II dirasakan sudah tepat mengajarkan
hitungan dari 1 - 20 di kelas SD, 1- 100 di kelas II, sedangkan pecahan baru boleh
dibicarakan di kelas III. Aljabar dan ilmu ukur baru boleh diajarkan di kelas I SMA,
Ilmu Bumi dimulai di kelas III, ilmu alam baru diajarkan di kelas V, Ilmu Bumi
dunia diberikan di kelas VI, membicarakannya sebelumnya dianggap me-langgar
peraturan dan dirasa terlampau sulit bagi anak karena tidak sesuai dengan
perkembangan dan kemampuannya.
Urutan itu rupanya tidak seketat yang diduga dan mengalami perubahan total
akhir-akhir ini. Matematika modern yang diajarkan di kelas I SD sudah memberikan
aljabar dan ilmu ukur, padahal matematika dianggap suatu disiplin yang tersusun
paling logis dan sistematis mengenai urutannya. Ilmu alam atau fisika, kini dalam
bentuk ilmu pengetahuan alam sudah diberikan sejak kelas I SD, bahkan tidak ada
keberatan untuk mengajarkan di Taman Kanak-kanak
J. Bruner mengatakan bahwa prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat
diajarkan kepada setiap orang pada setiap usaha dalam suatu bentuk tertentu oleh
sebab ide-ide pokok yang mendasari setiap ilmu sebenarnya sederhana.
Juga J. Piaget membuktikan bahwa anak-anak lebih cepat dapat berpikir
secara formal daripada yang diduga semula. Dahulu orang menyangka bahwa anak-
anak belum dapat berpikir logis. Itu sebab mereka disuruh menghafal. Berpikir
dengan konsep-konsep dianggap baru dapat dilakukan pada usia yang lebih lanjut
yaitu pada tingkat sekolah lanjutan. Menurut J. Piaget anak umur

tujuh tahun sudah dapat berpikir formal dan logis, jadi dapat dikembangkan
dengan bahan pelajaran yang sesuai. Tidak mengembangkan kemampuan berpikir
ini akan berarti merugikan anak.
Pendapat Bruner dan Piaget yang makin banyak diakui oleh para pendidik dan
pembina kurikulum tak dapat tiada akan mempengaruhi sequence atau urutan bahan
pelajaran.
Dua pendekatan.
Dalam penentuan urutan bahan pelajaran dapat diikuti dua macam
pendekatan. Yang pertama ialah lebih dahulu menentukan bahan pelajaran untuk
kelas-kelas tertentu. Kemudian diusahakan dengan berbagai cara agar anak dapat
mencernakan bahan pelajaran itu. Diselidiki kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak,
diciptakan alat-alat peraga dan diterapkan metode mengajar-belajar yang serasi
untuk membantu anak mempelajari bahan pelajaran itu. Jadi dalam pendekatan ini
yang dipentingkan ialah bahan pelajaran dan anak harus menyesuaikan diri dengan
bahan pelajaran untuk kelasnya.
Pendekatan kedua ialah menyesuaikan bahan pelajaran dengan taraf
perkembangan anak. Untuk itu perlu diselidiki tingkat pengetahuan dan kemampuan
anak agar dapat ditentukan bahan yang sesuai.
Beberapa kesulitan yang dihadapi ialah bahwa kemampuan anak-anak sangat
berbeda walaupun usia mereka sama, dalam segala ciri-ciri yang dapat diukur.
Dianggap bahwa bahan pelajaran mempunyai struktur tertentu yang harus
diikuti untuk mempelajarinya. Struktur disiplin itulah yang menentukan urutan
bahan pelajaran dan demikian pula langkah-langkah dalam proses belajar. Ternyata
bahwa bahan disiplin dapat disusun dengan berbagai cara, jadi mempunyai tidak
hanya satu macam struktur. Dengan demikian urutan bahan pelajaran tidak
semantap yang diduga semula.
Faktor-faktor dalam penempatan bahan pelajaran.

Dalam menentukan kapan atau di kelas berapa bahan pelajaran sebaiknya
diajarkan biasanya orang berpegang pada sejumlah faktor. Seperti telah
dikemukakan tidak ada patokan yang pasti mengenai sequence ini, namun dalam
penyusunan kurikulum tak dapat tiada harus kita putuskan kapan sesuatu harus
diajarkan. Faktor-faktor itu ialah antara lain:
1. Tarafkesulitan bahan pelajaran.
Pada umumnya bahan yang mudah dan sederhana lebih dahulu diberikan
daripada yang sukar dan kompleks. Anak-anak mulai diajarkan bilangan kecil
sebelum angka-angka yang besar. Mereka lebih dahulu mempelajari lingkungan
dekat yang dikenalnya secara langsung baru kemudian daerah yang jauh letaknya.
Lagu kanak-kanak jauh lebih sederhana daripada lagu-lagu untuk orang yang lebih
lanjut usianya.
Tak selalu mudah menentukan yang manakah yang mudah dan yang sukar.
Membaca permulaan dengan huruf ternyata lebih sukar daripada memulainya
dengan kata-kata.
Namun bahan pelajaran memang mempunyai tingkat-tingkat kesukaran.
Kalimat panjang lebih sukar daripada kalimat pendek. Menghitung sejumlah benda
lebih mudah daripada menghitung daya tahan suatu jembatan. Makin banyak unsur
yang terlibat dalam suatu masalah, makin kompleks problema itu makin tinggi taraf
kesulitannya. Karena kenyataan itu maka dalam penempatan bahan pelajaran perlu
dipertimbangkan taraf kesulitannya.
2. Apersepsi atau pengalaman lampau.
Sesuatu yang baru hanya dapat dipahami berdasarkan pengetahuan atau
pengalaman yang telah dimiliki. Karena itu diusahakan adanya kontinuitas dalam
bahan pelajaran. Pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk memahami pelajaran
yang baru.
Dalam sejarah salah satu cara ialah memberikannya mulai dan zaman purba
kala dan berangsur-angsur maju sampai zaman sekarang. Hal ini juga kita dapat
dalam pelajaran lain. Pada suatu ketika kemampuan berhitung dianggap syarat

untuk aljabar. Matematika, fisika, biologi dianggap prasyarat untuk fakultas
kedokteran.
Prinsip apersepsi atau 'entry behavior" ini bertahan erat dengan prinsip
kesukaran. Dianggap bahwa kontinuitas akan tercapai bila kita mulai dengan yang
dianggap mudah untuk kemudian meningkat kepada yang lebih sulit. Dalam
pengajaran berprograma suatu pelajaran dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil
yang mudah dipelajari. Bagian-bagian ini merupakan langkah-langkah menuju
kepada penguasaan pelajaran.
3. Kematangan anak.
Kematangan diakibatkan oleh perkembangan intern, pertumbuhan syarat atau
fisiologis dan dianggap tak dapat dipengaruhi banyak oleh faktor-faktor luar. Pada
suatu ketika anak mulai belajar berbicara atau berjalan. Sebelum waktu itu usaha
mempercepatnya akan gagal.
Akan tetapi setelah masa kematangan itu anak mulai belajar. Proses belajar dapat
banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar.
Pada umumnya soal kematangan ini hanya diketahui berkenaan dengan anak-
anak kecil. Mengenai kematangan anak untuk mempelajari kewargaan negara, ilmu
ukur ruang, psikologi, filsafaat, dan sebagainya tak banyak yang kita ketahui. Dalam
teori sering kita katakan bahwa bahan pelajaran harus disesuaikan dengan
kematangan anak, tanpa sebenarnya mengetahuinya dengan jelas.
4. Usia mental anak.
Demikian pula kita menginginkan agar bahan pelajaran harus sesuai dengan
usia mental anak. Kita ketahui bahwa anak-anak berlainan kemampuan mentalnya.
Memberikan bahan yang sama kepada anak yang tinggi dan rendah inteligensinya
pasti merugikan anak. Berbagai usaha dijalankan untuk memenuhi tuntutan
perbedaan individual ini, sehingga bahan pelajaran diberikan menurut sequence
yang sesuai dengan kesanggupan anak.
5. Minatanak
Minat anak menjadi faktor utama dalam pcnentuan bahan dan urutannya di
sekolah yang "child centered". Minat anak dapat berubah-ubah. Ada minat yang

timbul karena perkembangan anak, misalnya minat untuk alam sekitar, untuk
keadaan sosial, untuk agama dan ide-ide filosofis atau untuk pergaulan dengan
anggota jenis kelamin lain. Ada pula minat yang dipengaruhi oleh lingkungan,
seperti minat untuk radio, motor, naik gunung dan sebagainya.
Dalam penempatan bahan pelajaran minat anak sudah sewajarnya perlu
diperhatikan, apalagi minat yang timbul sebagai akibat perkembangan anak. Ini
banyak sedikit dapat diperhitungkan lebih dahulu.
Untuk hal-hal lain selalu dapat diusahakan dengan metode mengajar yang baik
untuk membangkitkan minat anak. Minat dapat timbul berdasarkan pengetahuan
yang diperoleh dari pelajaran-pelajaran lampau.
SEQUENCE PROSES BELAJAR
Masalah urutan atau sequence sering hanya dihubungkan dengan soal
penempatan bahan pelajaran, yakni menentukan kapan bahan itu harus diajarkan.
Maka diberilah pedoman seperti dari yang mudah kepada yang sulit, yang dekat
kepada yang jauh yang sederhana kepada yang kompleks, dari bagian kepada
keseluruhan atau sebaliknya.
Akan tetapi menurut Hilda Taba kita jangan lupakan urutan dalam proses
belajar. Kurikulum biasanya hanya menentukan urutan bahan pelajaran, sedangkan
soal urutan proses belajar diserahkan kepada guru.
Urutan proses belajar antara lain mengenai langkah-langkah untuk
mengembangkan konsep-konsep, sikap dan kesanggupan berpikir. Petunjuk "dari
kongkret kepada yang abstrak" kurang memadai. Kita tak tahu misalnya berapa hal
yang kongkrit harus diberikan agar anak dapat menangkap pengertian yang abstrak.
Juga belum cukup pengetahuan kita bagaimana langkah-langkah atau urutan
untuk memahami suatu konsep atau berpikir kritis dan kreatif. Kita tahu bahwa cara-
cara membentuk konsep berbeda-beda, tergantung pada konsep yang akan diajarkan.
Misalnya konsep "perang kemerdekaan" dan "pemuaian logam" tidak sama cara
mengembangkannya. "Pemuaian logam" dapat diberikan konsepnya

dengan metode demonstrasi. Pengertian perang kemerdekaan memerlukan
cara yang berbeda sekali.
Menurut Hilda Taba, bukan hanya urutan mengenai bahan pelajaran saja yang
penting, melainkan juga urutan dalam proses belajar atau pengalaman-
pengalamaanbelajar.
RANGKUMAN
1. Dengan scope dimaksud luas atau ruang lingkup bahan pelajaran.
2. Kesulitan dalam menentukan scope ialah (1) sangat cepat bertambahnya
pengetahuan, (2) tidak adanya kriteria yang pasti tentang bahan pelajaran yang
harus diberikan, (3) tidak memadainya mata pelajaran tradisional.
3. Sering matapelajaraan baru, sedangkan matapelajaran yang ada bercokol terus.
4. Dalam menentukan bahan pelajaran harus diadakan pilihan, atau seleksi, karena
luasnya bahan yang tersedia dan terbatasnya waktu belajar serta kemampuan
anak.
5. Kriteria dalam penentuan bahan ialah (1) tujuan, (2) nilai sebagai warisan, (3)
penguasaan disiplin, (4) nilainya bagi kehidupan dalam masyarakat (5)
kebutuhan dan minat anak.
6. Bahan pelajaran hendaknya jangan hanya meliputi pengetahuan melainkan juga
keterampilan mental.
7. Aliran yang dianut oleh pembina kurikulum merupakan suatu faktor dalam
penentuan bahan pelajaran.
Beberapa prosedur penentuan bahan pelajaran ialah (1) menerima otoritas para
ahli, (2) eksperimen (3) analisis kegiatan, (4) konsensus, (5) fungsi social, (6)
persistent life situations, (7) kebutuhan pemuda.
8. Menentukan scope kurikulum yang subject centered lebih mudah daripada yang
integrated. Yang terakhir ini lebih fleksibel.
9. Dengan "sequence" dalam pembinaan kurikulum dimaksud urutan pengalaman
belajar, yakni apabila bahan itu harus diajarkan.
10. Penempatan bahan pelajaran berupa matapelajaran sudah jauh berbeda dengan
sebelum Perang Dunia II. Matematika yang dulu diajarkan di SMP, kini sudah
mulai diberikan di kelas I SD.

11. Menurut J. Bruner prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada
setiap anak pada setiap usia dalam suatu bentuk tertentu. Pendapat ini dapat
menimbulkan perobahan besar mengenai penempatan mata pelajaran.
12. J. Piaget berpendapat berdasarkan penelitiannya bahwa anak berusia tujuh tahun
telah dapat berpikir logis dan formal.
13. Dalam penentuan sequence dapat diikuti dua pendekatan yaitu (1)
menyesuaikan bahan dengan anak, atau (2) menyesuaikan anak dengan bahan.
14. Faktor-faktor dalam penentuan "sequence" ialah (1) taraf kesulitan bahan
pelajaran (2) apersepsi atau pengalaman yang telah ada, (3) kematangan anak,
(4) usia mental anak (5) minat anak.
15. Sequence tidak hanya mengenai bahan pelajaran tetapi juga dalam proses
belajar, yaitu langkah-langkah untuk mengembangkan konsep-konsep, sikap,
kesanggupan berpikir.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Apa yang dimaksud dengan scope dan sequence?
2. Kesulitan apakah dihadapi dalam menentukan scope?
3. Apa sebab lebih mudah menambahkan matapelajaran baru daripada mengurangi
yang ada?
4. Apakah yang termasuk subject matter atau bahan pelajaran?
5. Sebutkan berapa kriteria untuk menentukan bahan pelajaran.
6. Sekalipun telah diketahui tujuan pelajaran, apa sebab masih sulit untuk
menentukan bahan pelajaran yang serasi?
7. Coba sebutkan suatu tujuan. Tentukan bahan yang saudara anggap serasi untuk
mencapai tujuan itu.
8. Apakah kelemahan bahan pelajaran yang merupakan warisan dari generasi
lampau?
9. Pada hakekatnya perguruan tinggilah yang menentukan kurikulum SMA bahkan
SD. Berikan komentar saudara.
10. Apakah dasar Herbert Spencer menentukan bahan pelajaran?
11. Bagaimanakah cara Franklin Bobbitt menentukan scope kurikulum?
12. Kelemahan apakah terdapat dalam prosedur yang diikuti oleh Franklin Bobbitt?

13. Apakah kelemahan scope kurikulum yang ditentukan herdasarkan minat dan
kebutuhan anak?
14. Scope tidak hanya meliputi mated tetapi juga proses belajar. Apa maksudnya?
Yang manakah yang lebih penting menurut pendapat saudara?
15. Dalam penentuan bahan pelajaran aliran yang dianut sangat berpengaruh.
Berikan penjelasan dan contoh-contoh.
16. Sebutkan prosedur-prosedur untuk menentukan scope kurikulum. Beri
penjelasan tentang tiap prosedur.
17. Tinjau setiap prosedur. Cari segi kebaikan dan kekurangannya.
18. Apakah keberatan jika buku pelajaran menentukan scope kurikulum? Adakah
keuntungan dan kebaikannya?
19. Apakah kurikulum 1975 disusun berdasarkan eksperimen? Prosedur apakah
yang digunakan?
20. Dari berbagai macam prosedur itu, yang manakah paling menarik bagi saudara?
Berikan alasan.
21. Berikaan contoh-contoh bahwa sequence mengalami perubahan besar.
22. Bagaimanakah pendapat Bruner dan Piaget, yang mempengaruhi soal
sequence dalam kurikulum.
23. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi sequence bahan pelajaran.
Jelaskan setiap faktor dan bicarakan baik buruknya.
24. Apa yang dimaksud dengan sequence proses belajar, yang perlu diperhatikan di
samping sequence bahan pelajaran sendiri?

BAB 9MENGUBAH KURIKULUM
SEBAB-SEBAB KURIKULUM DIUBAH
Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat
berubah secara fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah
menjadi negara yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami
perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran.
Misalnya pada tahun 30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan
kurikulum adalah pada anak, sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered
curriculum sebagai reaksi terhadap subject-centered curriculum yang dianggap
terlalu bersifat adult dan society-centered. Pada tahun 40-an, sebagai akibat perang,
asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum menjadi lebih society-centered.
Pada tahun 50-an dan 60-an, sebagai akibat Sputnik yang menyadarkan Amerika
Serikat akan ketinggalan dalam ilmu pengetahuan, para pendidik lebih cenderung
kepada kurikulum yang discipline-centered, yang mirip kepada subject-centered
curriculum. Tampaknya seakan-akan orang kembali lagi kepada titik tolak semula.
Akan tetapi lebih tepat, bila kita katakan, bahwa perkembangan kurikulum seperti
spiral, tidak sebagai lingkaran, jadi kita tidak kembali kepada yang lama, tetapi pada
suatu titik di atas yang lama.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru
mengenai proses belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti activity
atau experience curriculum, programmed instruction, pengajaran modul, dan
sebagainya.
Perubahan dalam masyarakat, eksplosi ilmu pengetahuan, dan Iain-lain
mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu
menyebabkan kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini
akan senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum, betapapun relevannya pada suatu
saat.

Maka karena itu perubahan kurikulum merupakan hal biasa. Malahan
mempertahankan kurikulum yang ada akan merugikar anak-anak dan dengan
demikian fungsi kurikulum itu sendiri. Biasanya perubahan satu asas akan
memerlukan perubahan keseluruhan kurikulum itu.
PERUBAHAN ATAU PERBAIKAN KURIKULUM
Perbaikan kurikulum biasanya hanya mengenai satu atau beberapa aspek dari
kurikulum, misalnya metode mengajar, alat peraga, buku pelajaran dengan tetap
menggunakan kurikulum yang berlaku.
Perubahan kurikulum mengenai perubahan dasar-dasarnya, baik mengenai
tujuan maupun alat-alat atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah
kurikulum sering berarti turut mengubah manusia, yaitu guru, pembina pendidikan
dan merek-mereka yang mengasuh pendidikan. Itu sebab perubahan kurikulum
dianggap sebagai perubahan sosial, suatu social change. Perubahan kurikulum, juga
disebut pembaruan atau inovasi kurikulum, tentu saja dimaksud untuk mencapai
perbaikan, sekalipun perubahan itu tidak dengan sendirinya membawa perbaikan.
Perbaikan yang diperoleh mungkin membawa hasil sampingan yang kurang baik
menurut penilaian pihak tertentu.
PENILAIAN KURIKULUM
Sebelum mengubah kurikulum hendaknya diadakan penilaian tentang
kurikulum yang sedang dijalankan. Penilaian juga perlu untuk mengetahui hingga
manakah kurikulum mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan seperti yang tercantum
dalam kurikulum itu. Penilaian kurikulum tidak mudah. Baik tidaknya suatu
kurikulum pada hakekatnya dapat dinilai dan hasilnya, yakni dari kedudukan,
kehidupan, atau prestasi pada lulusannya. Bila lulusannya menduduki tempat yang
penting dalam pemerintahan, perusahaan, dan masyarakat, maka lembaga
pendidikan itu mendapat nama baik dan kurikulumnya dianggap efektif. Namun kita
dapat menyangsikan kebenaran anggapan itu, karena yang diandalkan hanya mereka
yang sangat menonjol prestasinya, sedangkan mereka yang tidak menduduki tempat
yang berarti dalam masyarakat, bahkan yang gagal, tidak mendapat perhatian.
Penilaian itu terlampau kasar dan tidak didasarkan atas penelitian yang sistematis.
Dan kita dapat bertanya, apakah masalah itu dapat di-

selidiki sepenuhnya, karena banyaknya faktor lain di luar mata pelajaran yang
tout mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang.
Kalau kita menilai kurikulum, kita harus menilai komponen-komponennya
yaitu (1) tujuan kurikulum, (2) pengalaman-pengalaman belajar untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan murid, (3) organisasi
pengalaman belajar itu, urutan pengalaman itu, hubungannya dengan pengalaman
lain, (4) caracara mengevaluasi hasil belajar murid.
Jadi penilaian kurikulum harus dimulai dengan hakikat dan tujuan kurikulum.
Kurikulum adalah alat untuk mengubah kelakuan anak-didik. Efektivitas kurikulum
berwujud dalam perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan murid. Tentu saja,
tanpa pendidikan formal, setiap anak akan menjalani perubahan menuju ke
kedewasaan. Akan tetapi tanpa pendidikan sekolah, perubahan-perubahan tertentu
yang diinginkan tidak akan terjadi.
Kurikulum sekolah bukan satu-satunya alat untuk mengubah kelakuan
manusia. Dengan adanya kurikulum juga kita belum dapat meramalkan, apakah
akan tercapai hasil yang diharapkan. Kita belum memiliki suatu teori belajar yang
menjamin akan tercapainya tujuan yang ditentukan dengan kegiatan mengajar-
belajar tertentu. Dengan psikologi sosial juga tidak dapat kita ramalkan kelakuan
dan prestasi seseorang dalam jangka panjang kelak dalam masyarakat. Hasil angka-
angka ujian akhir, misalnya tidak dapat dijadikan patokan untuk meramalkan masa
depan seorang lulusan.
Untuk menilai suatu kurikulum perlu tujuan itu jelas dirumuskan. Ada yang
menginginkan, agar tujuan itu spesifik, dalam bentuk kelakuan yang dapat dilihat
dan diukur. Bloom memberikan suatu pegangan tentang cara melakukannya.
Dengan rumusan tujuan yang spesifik, penilaian dapat dilakukan dengan lebih
cermat. Namun apakah dengan taksonomi Bloom itu dapat misalnya dihasilkan
manusia Pancasila yang sejati, masih dapat diragukan.
Demikian pula dapat diragukan hasil semua mata pelajaran, apakah dapat
mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam kurikulum itu. Apakah dengan
pelajaran civics atau IPS terbentuk warga negara yang taat kepada undang-undang

dan peraturan negara serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat? Apakah
matematika menghasilkan manusia yang lebih sanggup herpikir logic sistematis,
pelajaran agama membentuk manusia yang lebih taat kepada perintah Tuhan, dan
sebagainya? Sanggupkah kurikulum mencapai tujuan-tujuan menurut apa yang
tercantum dalam kurikulum itu? Ataukah tujuan itu hanya muluk-muluk tampaknya
dan hanya merupakan impian yang tak akan dapat diwujudkan? Apakah kurikulum
hanya mempunyai pengaruh yang terbatas dengan mengakui bahwa watak atau
pribadi seseorang banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar kurikulum?
Berdasarkan penelitian. Havighurst menemukan, bahwa nilai-nilai atau
norma-norma seseorang kebanyakan diperolehnya dari keluarga, khususnya dari
ibunya. Maka kita dapat bertanya apakah mata pelajaran sejarah atau IPS sanggup
mernupuk norma-norma yang berkenan dengan toleransi, perdamaian dunia,
persaudaraanbangsa-bangsa dan sebagainya.
Penelitian tentang hasil kurikulum atau suatu mata pelajaran sangat sulit.
Hasil kurikulum diperoleh melalui interaksi antara anak dengan kurikulum. Olch
sebab tiap anak mempunyai kepribadian yang berbeda-beda, maka hasilnya pun
akan berlainan pula. Tiap murid memperoleh hal yang berbeda dari kurikulum yang
sama.
Tidak selalu jelas, apakah sebenarnya tujuan kurikulum suatu lembaga
pendidikan. Biasanya tertampau banyak yang diharapkan dan kurikulum itu yang
tidak dapat dipenuhi, suatu yang sebenarnya di luar kesanggupan, atau tidak
termasuk tujuannya yang utama. Misalnya biologi dianggap dapat menimbulkan
keharuan akan kebesaran Tuhan. Namun soal keTuhanan tak dapat dipakai sebagai
alat untuk menilai keberhasilan pelajaran biologi. Soal keTuhanan sebenarnya lebih
merupakan tugas pelajaran agama.
Banyak kesulitan yang dihadapi untuk menilai suatu kurikulum secara ilmiah.
Alat-alat untuk menilainya pun tak tersedia. Maka sering suatu kurikulum diubah,
bukan berdasarkan penilaian atas hasil kurikulum itu, akan tetapi atas pengaruh
berbagai hal lain.

Sering suatu kurikulum sudah diubah sebelum dinilai hasilnya. Kurikulum
baru biasanya dimasukkan sambil mengeritik kurikulum lama, seakan-akan yang
lama itu tidak mengandung kebaikan-kebaikan, yang dengan sendirinya akan turut
terbuang. Maka sebaiknya setiap perubahan kurikulum sekaligus juga merupakan
perbaikan kurikulum secara menyeluruh.
KESULITAN-KESULITAN DALAM PERUBAHAN KURIKULUM
Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaruan.
Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar sekitar 75 tahun
sebelum dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah.
Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif dan guru termasuk golongan
itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejakyang lama secara rutin. Ada
kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan
pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua
orang suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula
kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk
mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya
diharapkan mengikuti instruksi atasan.
Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang
mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaruan yang
telah dimulainya itu.
Dalam pembaruan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebih
"mudah" daripada menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan
sebagai percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya,
oleh sebab harus melibatkan banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan
struktur organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Pembaharuan kurikulum sering pula memerlukan biaya yang lebih banyak
untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan haru, yang tidak selalu dapat dipenuhi.
Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang
pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang baru

sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap pembaharuan
kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar
mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.
PROSEDUR PEMBARUAN KURIKULUM
Pada pokoknya ada dua prosedur utama untuk mengubah kurikulum yaitu apa
yang disebut "administrative approach" yaitu yang direncanakan oleh pihak atasan
untuk kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-
guru, jadi 'from the top down", dari atas ke bawah, atas inisiatif para administrator.
Yang kedua ialah "grass roots approach", yaitu yang dimulai dari "akar" "from
the bottom up" atau dari bawah, yakni dari pihak guru atau sekolah secara
individual dengan harapan agar meluas ke sekolah-sekolah lain.
Prosedur manakah yang dilaksanakan banyak bergantung pada sistem
pendidikan serta organisasi dan struktur organisasinya. Di negara-negara yang
mempunyai pemerintah pusat yang memegang kekuasaan yang kuat, yang diikuti
biasanya pendekatan administratif. Di kebanyakan negara cara inilah yang
dilakukan, termasuk Indonesia. Ada juga negara, antara lain Inggris yang mem-
berikan wewenang penuh kepada kepala sekolah beserta stafnya untuk menentukan
kurikulum sekolah. Dalam hal ini pembaharuan kurikulum diadakan atas inisiatif
kepala sekolah dan guru-gurunya. Setiap pendekatan mempunyai kebaikan dan
kekurangannya.
Pendekatan administratif banyak menggunakan panitia-panitia untuk
merencanakan kurikulum baru, menyusun buku pelajaran, menyebarluaskannya, dan
sebagainya. Partisipasi diusahakan seluas mungkin agar tercapai konsensus dan
keterlibatan pribadi dan instansi dalam usaha pembaruan kurikulum. Para ahli
pendidikan dan ahli dalam berbagai bidang studi atau disiplin dari perguruan tinggi
diminta bantuannya untuk menghasilkan kurikulum yang sebaik-baiknya. Berbagai
konsultan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang diperlukan. Peranan konsultan
hukanlah sebagai "agent of change" akan tetapi sebagai manusia sumber.
Lokakarya, kelompok studi banyak dilakukan untuk membicarakan dan
menghasilkan kurikulum barn itu. Penataran merupakan syarat mutlak untuk

memberikan ketrampilan kepada guru dalam pelaksanaannya. Seluruh aparat
administrasi pendidikan dikerahkan untuk mengkomunikasikan pembaruan ini
kepada guru-guru dan segenap lapisan masyarakat. Peraturan-peraturan resmi di
keluarkan untuk menjamin terlaksananya kurikulum baru itu. Jadi dalam pendekatan
administratif ini dapat dikerahkan sejumlah besar ahli dan tenaga edukatif maupun
administratif, dengan cara yang terkoordinasi dan terorganisasi. Untuk usaha yang
luas ini dapat disediakan biaya yang diperlukan, yang biasanya cukup besar
jumlahnya.
Pembaruan kurikulum serupa ini dapat dilakukan serentak dan uniform di
seluruh negara dengan melibatkan seluruh aparat kementerian pendidikan. Usaha
pemerintah ini biasanya tidak menemukan tentangan dari pihak guru yang sudah
biaya menerima dan melaksanakan instruksi dan perintah dari atasannya.
Kerja kelompok sangat esensial dalam pengembangan kurikulum Kerjasama
dan partisipasi semua unsur diperlukan untuk mencapai produktivitas dan efektivitas
optimal. Kerja kelompok memperluas keterlibatan dan komitmen dalam kurikulum
baru. Kerja kelompok merupakan tempat yang subur untuk berpikir, melahirkan ide-
ide baru, dan membicarakan setiap buah pikiran secara kritis. Setiap peserta dapat
melengkapi buah pikiran peserta lainnya menurut keahlian masing-masing.
Akan tetapi kerja kelompok dapat juga merupakan penghamburan waktu jika
komponen-komponennya tidak dipilih dengan rasional. Anggota kelompok
hendaknya dipilih berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan kedudukan atau
pangkat.
Kerja kelompok memerlukan kepemimpinan yang paham akan proses
dinamika kelompok dan mampu mendorong kelompok ke arah produktivitas dengan
memadukan segala keahlian dalam kelompok itu.
Walaupun pendekatan administratif mempunyai banyak kebaikan, namun
ditinjau dari segi tertentu mempunyai juga kelemahan. Antara lain dikemukakan
bahwa cara ini otoriter dan kurang demokratis dan merupakan keputusan atasan
yang hams dilaksanakan oleh guru-guru. Guru sendiri kurang dilibatkan dalam

permulaan dan perencanaannya. Karena itu guru-guru kurang berusaha untuk
mendalaminya dan karena kurang memahaminya akan mudah kembali kepada
praktik-praktik yang lama. Maka pembaruan itu menjadi semu belaka dan akan
mengalami kegagalan. Tanpa perubahan pada guru tak akan terjadi perubahan dalam
kurikulum. Pembaharuan yang tidak tumbuh dan berakar dalam pribadi guru dan
hanya melaksanakannya atas dasar kepatuhan akan perintah, akan gagal dan lenyap
jika pengawasan tidak senantiasa diperketat.
Perubahan kurikulum dengan pendekatan "grass roots approach" mulai dari
sekolah secara sendiri-sendiri. Kepala sekolah serta guru menginginkan suatu
perubahan, karena melihat kekurangan-kekurangan dalam kurikulum yang berlaku.
Mereka tertarik oleh ide-ide barn mengenai kurikulum dan bersedia untuk
menerapkannya di sekolah mereka untuk meningkatkan mutu pelajaran. Semua gum
turut berpartisipasi dalam segala aspek pembinaan kurikulum baru. Dengan
demikian mereka terlibat secara pribadi. Mereka berusaha mengatasi kesulitan
sendiri.
Dalam usaha itu mereka dapat meminta bantuan orang tua, tokoh-tokoh di
sekitar, akan tetapi juga dari pihak atasan merupakan bahan, konsultan, bimbingan
danmungkinjugabiaya.
Kurikulum yang mereka susun relevan dengan keadaan riil yang mereka
hadapi, jadi tidak dibuat "di belakang meja tulis" seperti sering terjadi dalam
pendekatan administratif. Mereka bersama menyusun satuan-satuan pelajaran,
kemudian dicobakan sendiri, dinilai untuk diperbaiki.
Di Inggris, usaha ini didukung oleh "Teachers' Centres" yang dihentuk secara
lokal sebagai tempat guru-guru bertemu dan berdiskusi tentang pembaharuan
pendidikan. Ke tempat itu juga datang para pembina pendidikan, staf pengajar
perguruan tinggi, kadangkadang juga pengusaha dan para konsumen lulusan
sekolah.
Inisiatif dan kepemimpinan pembaharuan kurikulum terletak dalam tangan
guru setempat. Tentu saja guru setempat juga mempertimbangkan berbagai faktor

lainnya seperti peraturan yang berlaku, syarat masuk perguruan tinggi,
keinginan pemerintah dan sebagainya.
Pembaruan kurikulum oleh guru untuk kepentingan anak di sekolah dalam
lingkungan tertentu yang mempunyai kebutuhan tersendiri akan lebih mantap. Guru-
guru mendapat tanggungjawab penuh atas mutu pendidikan yang merupakan
dorongan untuk menjadi kreatif, untuk senantiasa memperhatikan perkembangan
mengenai pembinaan kurikulum.
Kelemahan pendekatan ini ialah bahwa usaha-usaha ini bersifat lokal, tidak
mempunyai koordinasi dan organisasi sehingga tidak dapat disebarkan secara
nasional. Pembaruan bergantung kebanyakan kepada kepala sekolah, yang mungkin
otoriter dan kurang terbuka bagi pembaruan, tetapi juga pada kemampuan dan
kesediaan guru. Mungkin juga perubahan hanya mengenai aspek-aspek tertentu dari
kurikulum dan tidak menyeluruh. Perubahan sektoral akhirnya akan mengalami
kesukaran yang tak dapat diatasi oleh sekolah itu sendiri. Pembaruan kurikulum
adalah usaha yang luas dan kompleks yang memerlukan pemikiran dan partisipasi
dari semua pihak. Sekolah tidak mampu untuk memperoleh bantuan ini dengan
tenaga sendiri. Mungkin pula pembaruan kurikulum menyangkut peraturan-
peraturan pemerintah pusat dan daerah yang hanya dapat diuhah bila usaha
pembaruan bersifat nasional.
Jadi kedua pendekatan itu masing-masing mempunyai kebaikan dan
kekurangannya. Kita tak perlu memandangnya sebagai dua cara yang bertentangan.
Dalam pendekatan administratif dapat diusahakan partisipasi guru-guru, misalnya
dengan menurut sertakan mereka dalam mencobakan kurikulum baru, meminta
pendapat dan penilaian mereka sebagai umpan balik serta memberikan kebebasan
untuk menyesuaikannya dengan keadaan setempat.
Perubahan kurikulum pada hakekatnya berarti mengubah manusia dan
lembaga-lembaga. Menentang perubahan adalah sesuatu yang normal. Namun
menggunakan kekuasaan untuk memaksakan perubahan hanya melahirkan
kepatuhan semu akan tetapi menimbulkan penentangan batin yang akhirnya
menggagalkan usaha perubahan itu. Perencanaan perubahan kurikulum harus me-

rupakan dialog antara "atasan" dan "bawahan" dalam suasana sating
menghargai pendapat. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang wajar karena
perubahan yang terus-menerus dalam masyarakat dan kehidupan.
Demikian pula pendekatan perubahan dari bawah dapat dibantu oleh
pemerintah dengan mempublikasikan usaha-usaha pembaharuan di sekolah-sekolah
agar secara umum dapat dikenal dan ditiru, sehingga pembaruan itu lebih terarah
dan menyeluruh.
Beberapa cara praktis.
Berbagai jalan praktis ditempuh untuk mengadakan pembaharuan kurikulum.
1. Pilot project.
Dalam rangka suatu pilot project seorang guru dapat mengadakan percobaan
dengan suatu kurikulum baru dalam suatu bidang studi tertentu. Karena percobaan
ini terbatas, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaiannya relatif mudah diatur.
Andaikan pilot project ini berhasil, masih banyak kesukaran untuk menyebar-
luaskannya, karena menghadapi situasi yang berbeda dan mendapat hambatan dari
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2. Membina kader.
Dapat dididik sejumlah kader yang menguasai seluk-beluk pembaharuan
kurikulum yang ditempatkan di berbagai sekolah untuk mengadakan pembaharuan-
pembaharuan. Kader ini merupakan agen-agen pembaharuan, pemimpin-pemimpin
yang kompeten dan mereka dapat memberi hasil yang baik.
Kelemahannya ialah bahwa ada kemungkinan mereka dianggap sebagai orang
luar yang diberi bayaran khusus untuk mengadakan, bahkan memaksakan perubahan
tanpa meminta keinginan guru-guru di sekolah itu. Jika timbul reaksi yang negatif
dari pihak guru, maka kader ini akan mengalami banyak kesukaran.
3. Memanfaatkan guru.

Guru dan sekolah yang telah menjalankan kurikulum baru, dapat diminta
bekerja pada sekolah yang belum melakukannya, sehingga dapat disaksikan
bagaimana pelaksanaan pembaharuan itu.
Pelaksanaan ini akan menghadapi kesulitan administratif dalam penempatan
guru di sekolah lain untuk beberapa waktu. Sekolah yang terpencil akan mengalami
kesukaran khusus dalam hal ini.
4. Menyediakan alat pengajaran.
Memberikan laboratorium fisika atau laboratorium bahasa akan mendorong
guru untuk menggunakan metode-metode dan bahan pelajaran baru. Akan tetapi ada
kalanya tenaga pengajar tidak sanggup memanfaatkannya.
5. Memperbarui buku pelajaran.
Buku pelajaran memegang peranan yang penting dalam setiap kurikulum, juga
dalam melancarkan kurikulum yang baru. Buku pelajaran baru dapat memberikan
bahan baru dan juga metode mengajar serta proses belajar yang baru. Akan tetapi
guru-guru sendiri harus mempunyai kesanggupan untuk menggunakannya.
6. Kerjasama antara sekolah dan universitas.
Universitas yang senantiasa berada di garis depan kemajuan dalam penelitian
dan ilmu pengetahuan dapat membantu sekolah-sekolah untuk menyesuaikan
kurikulum dengan ide-ide baru tentang pendidikan dan perkembangan baru dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dapat diusahakan secara teratur pertemuan-
pertemuan antara dosen perguruan tinggi dengan guru-guru bidang studi di SM
untuk keperluan itu.
Universitas dapat pula menyediakan ahli dalam berbagai aspek kurikulum
yang bertindak sebagai konsultan, sedangkan sekolah atau guru dapat memberikan
bahan tentang keadaan yang riil mengenai murid, dan sekolah, sehingga kurikulum
tidak merupakan hasil "di belakang meja tulis".
7. Pembaruan kurikulum pendidikan guru.
Kurikulum pendidikan guru tak dapat tiada harus disesuaikan dengan
perubahan kurikulum di SD - SM, bahkan sebenarnya harus mendahuluinya.

Pendidikan guru dalam pembaruan akan lebih efektif daripada penataran.
Guru-guru yang sejak mulanya terdidik dalam pelaksanaan kurikulum baru akan
lebih menjamin keherhasilan pembaruan itu. Namun penataran akan tetap
diperlukan, karena pada suatu ketika setiap kurikulum akan memerlukan
pembaruan.
8. Mendemonstrasikan suatu pembaruan.
Suatu kelompok kecil, dengan persetujuan kepala sekolah, mengadakan
pembaruan satu mata pelajaran atau lebih dalam satu dua kelas. Mereka
mencobakan suatu unit pelajaran dan setelah ternyata berhasil,
mendemonstrasikannya kepada guru-guru lain. Harapan ialah agar pembaruan ini
diterima baik dan disebarluaskan. Kelompok kecil itu dapat memperoleh bantuan
dan kepala sekolah atau atasan. Namun, sering timbul tentangan dan guru-guru yang
tidak terlibat dalam usaha ini.
9. Memulai dan satuan pelajaran.
Hilda Taba menganjurkan agar pembaruan dimulai dengan satuan pelajaran
yang dapat diterapkan dalam kelas. Pada permulaan ini merupakan percobaan.
Umpan balik digunakan untuk menyempurnakan satuan pelajaran itu.
Perubahan tak mungkin dilakukan dalam seluruh program sekolah, jadi harus
mulai dengan bagian yang kecil dan terbatas. Dari satuan pelajaran yang
eksperimenal ini kemudian dikembangkan suatu kerangka yang lebih luas,
berdasarkan prinsip-prinsip, dasar-dasar teoretis, cara menentukan bahan,
mengevaluasi, dan sebagainya.
Pelaksanaan satuan pelajaran merupakan pelajaran dan latihan bagi guru.
Lamanya latihan itu bergantung pada bcsarnya perbedaan antara cara lama dan baru.
Perubahan kurikulum mengharuskan guru berubah pula. Demikian pula hams
dikembangkan administrasi yang sesuai dengan perubahan kurikulum itu.
Perubahan kurikulum yang berarti mengubah guru, cara belajar murid, administrasi
sekolah, sikap orang tua, dan sebagainya memakan waktu yang lama, sering

bertahun-tahun.

POLA KURIKULUM
Dalam perubahan kurikulum, demikian pula dalam pembinaan setiap
kurikulum, kita hendaknya bekerja dalam suatu kerangka atau pola yang terdiri atas
komponen-komponen kurikulum itu. Suatu pola yang sederhana adalah sebagai
berikut:
gambar
Bagan 1.
Setiap kurikulum mempunyai keempat komponen utama itu yakni: (1) tujuan,
(2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan itu, (3) pengetahuan,
yaitu isi atau bahan pelajaran yang diperoleh dan digunakan dalam proses belajar,
(4) penilaian atau evaluasi hasil belajar, untuk mengetahui hingga mana tujuan itu
tercapai.
Keempat komponen itu saling berhubungan Tujuan menentukan pengalaman
belajar apa yang diperlukan dan pengetahuan yang harus dipilih yang dapat
membawa pelajar kepada tujuan yang ditentukan. Bahan pelajaran ditentukan oleh
tujuan. Jadi lebih dahulu harus dirumuskan tujuan, barulah kemudian bahan
pelajaran dan kegiatan belajar, bukan sebaliknya. Acap kali dalam pembinaan
kurikulum lebih dahulu ditentukan bahan pelajaran yang disusun menurut buku
pelajaran tertentu, barulah dirumuskan tujuan sesuai dengan bahan itu. Tujuan juga
menentukan penilaian, apa yang dinilai dan bagaimana cara menilainya. Menilai
sikap tak sama caranya dengan menilai keterampilan atau pengetahuan. Yang dinilai
bukan hanya tujuan, melainkan juga pengetahuan dan kegiatan atau proses belajar,
seperti tampak pada diagram itu. Jika tujuan tidak tercapai, mungkin kesalahannya
terletak pada komponen pengetahuan, proses belajar, atau pada tujuan itu sendiri.

Pola kurikulum yang jelas menunjukkan hubungan antara unsur-unsur
kurikulum. Dengan adanya pola itu dapat dijaga keseimbangan antara unsur-
unsurnya. Experience atau activity curriculum misalnya terlampau mengutamakan
kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang mementingkan unsur pengetahuan,
sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang me-
mentingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Banyak kurikulum kurang menaruh
perhatian kepada tujuan dan penilaian.
Setiap komponen dapat diolah lebih lanjut misalnya: (Perhatikan, bahwa
bagan 2, 3, 4, dan 5 adalah komponen-komponen yang tampakpada bagan 1, yang
diuraikan lebih lanjut).
Dalam bagan 2 kita lihat sumber-sumber tujuan. Di sini pun dapat kita
usahakan adanya keseimbangan, agar kurikulum itu tidak berat sebelah, yakni child-
centered atau pupil-centered, society-centered, atau subject-centered. Ketiga sumber
itu harus dipertimbangkan dalam kurikulum Demikian pula tujuannya harus
mengandung aspek kognitif, afektif, dan psikomotor untuk memberikan pendidikan
yang harmonis.
gambar
Bagan 2 Selanjutnya komponen pengetahuan
dapat diperlengkapi sebagai berikut

gambar
Bagan 3
Pengetahuan atau bahan pelajaran diambil dan berbagai disiplin. Karena
banyaknya ilmu yang telah terkumpul yang tak mungkin diajarkan seluruhnya,
haruslah diadakan seleksi atau pilihan yang akan disajikan dalam bentuk atau
organisasi tertentu, bergantung pada bentuk kurikulum yang dijalankan. Pada saat
sekarang diutamakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip daripada hanya faktor-
faktor. Konsep-konsep inilah yang dianggap memberikan struktur pengetahuan, the
structure of knowledge. Dengan memahami struktur atau konsep dapat dipahami
gejala-gejala spesifik lainnya, dan dapat dilihat hubungan antara fakta-fakta.
Konsep-konsep bersifat abstrak dan karena itu memungkinkan pemahaman akan
sejumlah besar informasi atau fakta yang spesifik. Informasi atau fakta-fakta
yang ,lepas-lepas mudah dilupakan Lagi pula pengetahuan serupa itu lekas menjadi
usang sedangkan prinsip dan konsep, sekali dipahami,lebih mantap, tidak lekas out-
dated, dan dapat digunakan untuk mentafsirkan informasi baru.
Selanjutnya harus ditentukan scope dan sequence bahan pelajaran, untuk
mencegah 'gaps" dan "overlappings". Agar bahan itu jangan lepas-lepas, diusahakan
adanya integrasi, dengan korelasi, pengajaran unit, broad field, dan sebagainya.
Sekalipun pelajar itu sendiri akan selalu berusaha mengadakan integrasi dalam
pengetahuan yang diperolehnya, pembina kurikulum hendaknya juga berusaha
mengadakan integrasi dalam bahan pelajaran yang disajikan.

gambar
Bagan4
Pengalaman atau kegiatan belajar adalah usaha yang dijalankan, agar tujuan
yang ditentukan dicapai dengan menggunakan pengetahuan yang sangat kompleks,
yang dipengaruhi oleh berbagai-bagai faktor seperti metode mengajar, kesulitan isi
pelajaran, taraf kematangan, kesanggupan dan perkembangan anak, hubungan antara
guru dan murid, penggunaan berbagai sumber dan alat pelajaran di dalam maupun di
luar sekolah, perbedaan individual, dan sebagainya. Proses belajar tak kurang
pentingnya daripada hasil belajar. Proses belajar yang baik memungkinkan
tercapainya hasil belajar lebih tinggi.
Evaluasi diperlukan untuk mengadakan perbaikan dalam kurikulum. Evaluasi
bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu
dicari di mana letak kekurangannya melalui evaluasi. Penilaian kurikulum harus
berjalan terus. Tak ada kurikulum nasional yang sesuai bagi semua daerah, dan
karena itu perlu disesuaikan dengan keadaan setempat.
Mengumpulkan informasi
sebagai umpan balik
untuk memperbaiki kurikulum
gambar

Bagan 5
ARAH PERKEMBANGAN PEMBARUAN KURIKULUM
Perubahan kurikulum sering merupakan reaksi terhadap kurikulum yang
berlaku, sehingga tampaknya kurikulum baru seakan-akan kembali kepada bentuk
yang lama. Hal serupa ini akan terjadi bila kurikulum baru hanya melihat kelemahan
dan kekurangan kurikulum yang lama ditinjau dari pandangannya sendiri, tanpa
secara obyektif mengakui kebaikan-kebaikannya. Pentingnya inte-grasi pengetahuan
dan pengalaman anak menjadi dasar untuk menjalankan kurikulum yang dipadukan
atau yang diintegrasikan dengan melancarkan kecaman yang tajam terhadap subject
atau dicipline-oriented curriculum. Kritik-kritik yang dikemukakan biasanya
terlampau dilebih-lebihkan, seperti biasa dilakukan untuk memenangkan
perjuangan. Kurikulum yang integrated sangat memerlukan bahan dari subjects dan
bahan pelajaran subject curriculum dapat diintegrasikan. Jadi pertentangan antara
berbagai bentuk kurikulum tak setajam yang digambarkan oleh para penganutnya.
Dalam pembaruan kurikulum di masa mendatang diharapkan:
- pembinaan kurikulum yang berdasarkan pandangan yang menyeluruh yang
meliputi asas-asas kurikulum yang berfokus pada anak, masyarakat, dan
disiplin.
- menyusun kurikulum yang diselidiki kebaikannya melalui eksperimen,
- menyusun kurikulum yang memperhatikan semua anak, yang normal, maupun
yang berbakat tinggi dan rendah, jadi yang memungkinkan setiap anak maju
menurut kecepatan masing-masing.
- memperbaharui kurikulum secara integral dari SD - SM sampai Perguruan
Tinggi.
- menyusun kurikulum yang lebih mengutamakan inguiry approach daripada
hafalan dan penguasaan sejumlah pengetahuan.
- menyusun kurikulum yang menggairahlcan anak untuk belajar.
- menyusun kurikulum yang tidak membagi-bagi sekolah dalam kelas-kelas, akan
tetapi menghilangkan batas-batas antara kelas.

- menyusun kurikulum yang tidak terikat pada jadwal pelajaran yang ketat, akan
tetapi lebih mendorong murid-murid untuk belajar sendiri berdasarkan tugas-
tugas.
menyusun kurikulum yang mengubah peranan guru dari pengajar selama jam
sekolah menjadi pembimbing dalam proses belajar, peneliti, perencana, dan
pengembang kurikulum.
RANGKUMAN
1. Kurikulum berubah jika satu atau beberapa asas kurikulum berubah. Perubahan
salah satu asas dapat membawa perubahan dalam keseluruhannya.
2. Menilai kurikulum dalam keseluruhannya sangat kompleks karena banyak faktor
yang mempengaruhi anak.
3. Untuk menilai kurikulum harus dinilai komponen-komponennya yaitu (1)
tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) pengalaman dan kegiatan belajar, (4) organisasi
kurikulum, (5) cara-cara evaluasi hasil belajar.
4. Tidak ada satu cara yang pasti untuk menjamin keserasian bahan pelajaran guna
mencapai tujuan tertentu.
5. Tujuan mata pelajaran yang terlampau luas sukar dinilai.
6. Mengubah kurikulum banyak menemui rintangan karena melibatkan banyak
manusia yang terikat oleh tradisi dan juga mempunyai "vested interest".
Dikatakan bahwa perubahaan kurikulum berarti perubahan sosial.
7. Pada umumnya ada dua prosedur utama dalam perubahan kurikulum, yaitu apa
yang disebut "administrative approach" dan "grass roots approach".
8. Tiap pendekatan mempunyai kebaikan clan kekurangannya. Administrative
approach didukung oleh seluruh aparatur pendidikan, biaya yang cukup,
mengerahkan setiap tenaga ahli yang diperlukan, dan sebagainya. Dalam "grass
roots approach" tidak ada koordinasi, karena bersifat tersendiri-tersendiri.
9. Beberapa cara yang khusus dalam perubahan kurikulum secara praktis ialah, (1)
pilot project, (2) mernbina kader (3) memanfaatkan guru yang telah menguasai
cara baru, (4) menyelialcan alat pengajaran, (5) memperbarui buku pelajaran, (6)
kerjasama antara sekolah dan universitas, (7) pembaharuan kuri-

kulum pendidikan guru, (8) mendemonstrasikan suatu pembaharuan, (9)
memulai pembaruan dengan satuan pelajaran.
10. Setiap kurikulum mempunyai keempat komponen yang berikut: (1) tujuan, (2)
pengetahuan, (3) kegiatan atau pengalaman belajar, (4) penilaian. Keempat
komponen itu saling berhubungan.
11. Perubahan kurikulum sering merupakan suatu reaksi terhadap kurikulum yang
ada.
12. Dalam pembaharuan kurikulum hendaknya sedapat-dapatnya dimanfaatkan
kebaikan-kebaikan bentuk-bentuk kurikulum lainnya.
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Sebutkan alasan-alasan pada umumnya maka suatu kurikulum perlu diperbarui.
2. Dapatkah Saudara sebut alasan-alasan untuk menggantikan kurikulum 1968
dengan kurikulum SD 1975?
3. Sebutkan berapa bentuk kurikulum yang dapat dipandang sebagai reaksi
terhadap subject curriculum?
4. Adakah titik-titik pertemuan antara berbagai bentuk kurikulum itu?
5. Apakah perbedaan antara perubahan, pembaruan, inovasi, dan perbaikan
kurikulum?
6. Bagaimanakah cara menilai kurikulum? Kesulitan apakah yang dihadapi?
7. Tinjau tujuan-tujuan kurikulum 1975, SD, SMP maupun SMA. Adakah di
antaranya yang saudara anggap terlampau idealistic yang tidak akan tercapai?
8. Tinjau tujuan-tujuan beberapa mata pelajaran. Adakah di antaranya yang
saudara anggap kurang relevan dengan tujuan matapelajaran yang sebenarnya?
9. Kesulitan-kesulitan apakah yang dihadapi dengan perubahan kurikulum?
Kesulitan manakah menurut pendapat saudara yang sulit diatasi? Usaha apakah
saudara sarankan untuk mengatasinya?
10. Berikan contoh-contoh tentang usaha pembaharuan yang lenyap karena
pencetusnya meninggal dunia. Apa sebab demikian halnya?
ll.Bandingkan prosedur administratif dan "grass roots approach" dalam
pembaruan kurikulum. 12. Bagaimanakah prosedur pembaruan
kurikulum di Indonesia?

13. Bagaimanakah saran saudara agar dapat memanfaatkan kedua
macam pendekatan itu.
14. Apa dimaksud dengan "curriculum change is social change?"
15. Usaha-usaha praktis apakah yang dapat dijalankan untuk memasukkan
pembaruan dalam kurikulum? Usaha manakah yang rasanya paling efektif di
Indonesia, menurut pendapat saudara?
16. Peranan apakah yang dapat dipegang IKIP dalam usaha pembaruan kurikulum?
17. Menurut pendapat saudara, apakah Universitas mendukung atau menghambat
usaha pembaruan kurikulum? Jelaskan alasan saudara.
18. Susun suatu pola kurikulum yang lengkap dengan gunakan bagan 1 sampai
dengan 5.
19. Jelaskan bahwa semua komponen kurikulum saling berhubungan dan saling
mempengaruhi.
20. Dalam buku ini tercantum arah perkembangan kurikulum. Hingga manakah
saudara dapat menerimanya.

BAB 10 PENUTUP
Dalam bab-bab yang lalu telah kita perbincangkan beberapa asas dalam
pembinaan kurikulum. Kita lihat bahwa kurikulum dalam praktik pengajaran di
sekolah-sekolah sering masih jauh ketinggalan jikalau dibandingkan dengan teori-
teori yang ada mengenai kurikulum. Sebenarnya teori-teori itu telah dilaksanakan
pada sekolah-sekolah modern di luar negeri. Juga di Indonesia perubahan-perubahan
telah dijalankan, walaupun jalannya lambat dan berangsur-angsur seperti yang lazim
terdapat dalam setiap perkembangan kurikulum. Kita tidak mengharapkan
perubahan yang revolusioner, akan tetapi yang berangsur-angsur, melalui
eksperimentasi dengan metode-metode modern pada sekolah-sekolah percobaan.
Sebenarnya kita tidak perlu menunggu perintah dari atasan. Seperti kita
ketahui perubahan kurikulum mulai dengan perubahan guru itu sendiri. Perbaikan
kurikulum dengan sendirinya akan diperoleh, jikalau guru mempunyai konsepsi
Baru tentang kurikulum. Oleh sebab kurikulum itu sangat banyak aspek-aspeknya,
kita dapat mengadakan perbaikan dalam berbagai aspek, asal saja kita tidak
berpegang dengan gigih kepada tradisi dan rutin yang kolot.
Dalam bab penutup ini kami ingin mengemukakan beherapa aspek kurikulum,
supaya kita dapat mengadakan perbaikan. Kami percaya saudara juga dapat mencari
aspek-aspek lain jikalau saudara telaah buku ini dengan teliti. Inilah beherapa saran:
1. Kurikulum itu hendaknya disusun sedemikian, sehingga ada pertalian yang erat
antara matapelajaran-matapelajaran. Kalau kita mengajar di SD misalnya, janganlah
kita ikuti setiap buku menurut urutan bab di dalam buku itu. Kalau kita mengajarkan
ilmu bumi misalnya dan di situ dibicarakan hal-hal tentang rawa-rawa, kita dapat
memilih pelajaran tentang malaria dari buku ilmu hayat, atau tentang buaya, dan
untuk ilmu tumbuh-tumbuhan pohon bakau atau nipah.

Di sekolah menengah cara ini lebih sulit diadakan, karena setiap mata
pelajaran diberikan oleh guru yang berlainan. Akan tetapi apabila ada rundingan
antara guru-guru yang mempunyai pengertian akan prinsip korelasi, maka untuk
beberapa pelajaran hal ini dapat dilakukan. ini berarti, bahwa senantiasa harus ada
curriculum planning di sekolah itu.
Sebaiknya dicoba pula memberikan pelajaran "unit" secara okasional dengan
kerja sama antara beberapa orang guru.
2. Kurikulum itu harus "fleksibel", artinya dapat diubah, bila keadaan
memerlukan. Kalau kita akui bahwa anak-anak di suatu kelas setiap tahun berbeda,
dan keadaan masyarakat pun senantiasa berubah, tak dapat tiada kurikulum itu harus
fleksibel, agar kita jangan ketinggalan zaman. Ini tidak berarti, bahwa setiap sekolah
bebas sepenuhnya melakukan sekehendak hatinya. Dalam tujuan dan garis-garis
besarnya, harus ada persamaan dalam kurikulum, akan tetapi dalam pelaksanaan dan
bahannya harus diberi kebebasan untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan anak
dan masyarakat.
3. Kurikulum untuk tiap sekolah hendaknya disusun bersama oleh para guru.
Walaupun rencana pelajaran ditetapkan oleh pihak atasan, hendaknya diberi
kebebasan kepada guru-guru untuk menelaahnya, mengubahnya dan
menyesuaikannya dengan keperluan anak kelas itu. Dalam pelajaran ilmu hayat
misalnya, ada binatang-binatang yang tercantum dalam rencana pelajaran, tetapi
tidak terdapat di suatu daerah, sedangkan binatang yang penting di daerah itu tidak
disebutkan. Dalam hal ini guru-gum hendaknya bebas mengubah rencana pelajaran
itu. Wewenang itu akan mendorong para guru untuk lebih banyak memikirkan soal
kurikulum sebagai keseluruhan dan bukan hanya tentang pelajarannya sendiri.
Dengan jalan demikian dapat dicapai kebulatan yang lebih besar antara berbagai-
bagai mata pelajaran seperti di SM.
4. Di sekolah modern anak-anak juga diajak turut serta menentukan apa yang
ingiri mereka pelajari. Tentu saja anak-anak tidak diberikan kebebasan sepenuhnya,
karena mereka kurang atau tidak mengetahui tujuan pendidikan. Akan tetapi hingga
batas-batas tertentu, menurut kemampuan anak-anak rundingan tentang apa yang
akan dipelajari memang dapat dilakukan bukan hanya

dalam "unit" akan tetapi dalam tiap pelajaran. Mengajak anak turut serta dalam
menentukan bahan pelajaran dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang
berikut:
Pertama: Bahan pelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan, minat dan
kesanggupan anak. Dalam rundingan itu anak-anak mengemukakan hal-hal yang
ingin dipelajarinya.
Kedua: Karena pertukaran pikiran maka anak-anak mendapat gambaran yang
lebih jelas tentang masalah yang dihadapi, mereka lebih memahami dan menginsafi
makna pelajaran itu baginya.
Lagi pula rundingan itu mempererat hubungan antara guru dengan murid,
serta antara murid dengan murid. Anak-anak mempelajari prosedur-prosedur
demokratis; kita mengajak anak turut berpikir dan memupuk keberanian untuk
mengeluarkan buah pikirannya.
5. Kurikulum hendaknya sedapat-dapatnya meliputi segala pengalaman anak di
bawah pimpinan sekolah. Menurut pendapat modern, kurikulum tidak hanya
terdiri atas mata pelajaran yang diberikan di dalam kelas, melainkan juga segala
kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur pendidikan seperti kepanduan,
sandiwara, perkumpulan sekolah, macam-macam bentuk rekreasi, hobby, olah-
raga, dan sebagainya. Itu sebabnya kegiatan-kegiatan itu harus dicampuri oleh
guru-guru, malahan memasukkan ke dalam kurikulum, artinya menggunakannya
sebagai alat pendidikan.
6. Kurikulum hendaknya dipusatkan pada masalah-masalah sosial dan pribadi
yang penting artinya bagi anak dalam kehidupannya sehari-hari. Sekolah
berkewajiban membantu anak, agar ia lebih mampu menghadapi situasi-situasi
dalam hidupnya. Sekolah berdiri di tengah-tengah masyarakat dan sudah
selayaknya sekolah mendidik anak-anak mengenal masyarakat dan menunjukkan
baktinya kepada masyarakat itu.
7. Kurikulum harus dipakai untuk mewujudkan cita-cita nasional sesuai dengan
filsafat negara. Sekolah turut bertanggung jawab untuk membentuk masyarakat

Indonesia yang bersatu yang sanggup menempatkan kepentingan negara di atas
kepentingan diri sendiri, golongan atau daerah. Di sekolah anak-anak mendapat
kesempatan untuk bergaul dengan anak-anak lain yang berbeda agama dan suku
bangsanya. Mereka harus mengenal dan menghormati suku bangsa lain serta adat
istiadatnya dan menginsyafi, bahwa suku-suku bangsa lain pun termasuk bangsanya
sendiri. Banyak prasangka hams diatasi untuk menghargai orang-orang lain yang
berbeda dari kita.
Sekolah ialah tempat utama untuk mewujudkan Pancasila sebagai "way of
life" bangsa dan dengan demikian turut serta dalam "nation building", dalam
membentuk manusia Indonesia. Tugas ini jangan hanya dilaksanakan sambil lalu
saja, dalam kesibukan sekolah mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi ujian.
8. Kurikulum harus memberikan pengalaman kepada anak-anak berupa pokok-
pokok yang luas dan berarti bagi mereka dan karena itu mendorong mereka
melakukan bermacam-macam akti vitasaktivitas seperti berbagai bentuk ekspresi,
mengadakan percobaan-percobaan, penyelidikan, karyawisata, mengarang,
membentuk, bertukang dan sebagainya. Untuk pelajaran serupa ini tidak diadakan
batas-batas antara matapelajaran-matapelajaran.
9. Kurikulum harus diorganisasikan sedemikian, sehingga anakanak
mempelajari teknik belajar, cara kerja yang efektif dan cara-cara menyelidiki dan
memecahkan masalah-masalah.
10. Kurikulum hendaknya membuka kesempatan kepada setiap anak untuk
memperluas minatnya dan mengembangkan bakatnya masing-masing. Mengenai
hal-hal yang harus diketahui oleh semua anak sebagai warga negara dapat
diusahakan semacam uniformitas, akan tetapi di samping itu harus diberikan
kesempatan yang luas bagi perkembangan bakat-bakatnya istimewa. Bakat anak-
anak adalah harta negara yang paling berharga. Mengabaikan kepentingan anak-
anak yang berbakat di sekolah-sekolah kita, yang memberi pendidikan yang
ditujukan kepada kepentingan anak-anak yang sedang, merupakan kerugian bagi

negara. Perbedaan individual ialah suatu prinsip yang masih belum dilaksanakan
dengan serius dalam kurikulum kita.
KURIKUI,UM YANG KOLOT DAN MODERN
Pembinaan kurikulum ialah usaha yang dinamis yang tak boleh berhenti
jikalau kita ingin mengikuti perkembangan zaman. Oleh sebab zaman cepat berubah,
maka setiap kurikulum mengalami bahaya untuk menjadi kolot. Juga kurikulum kita
banyak mengandung unsur-unsur yang tradisional yang tidak sesuai lagi dengan
asas-asas kurikulum modern. Untuk menegaskan dalam bidang-bidang mana antara
lain dapat diadakan perubahan, maka di bawah ini kami membandingkannya dalam
bentuk bagan.
Tabel
PERTANYAAN DAN TUGAS
1. Kalau saudara renungkan kurikulum yang berlaku sekarang di sekolah kita,
tentu akan saudara lihat banyak kekurangan ditinjau dan sudut asas-asas
kurikulum modern. Kekurangan-kekurangan apakah yang menurut saudara
memerlukan perbaikan?.
2. Perbaikan-perbaikan apakah saudara anjurkan mengenai:
a. pendidikan guru.
b. nasibguru.
c. gedung sekolah.
d. peranan orang tua.
e. metode mengajar.
f. hubungan gum dengan murid
3. Apakah modernisasi kurikulum sebaiknya dilakukan serempak di seluruh negara
atau dimulai pada sekolah-sekolah tertentu sebagai percobaan dengan pimpinan
ahli-ahli didik?
4. Apakah ujian merupakan penghalang utama dalam pembaruan pendidikan?

5. Apakah ada kemungkinan dalam vak saudara untuk turut mengajak anak
merundingkan bahan yang akan dipelajari?
6. Nilai-nilai pendidikan apakah yang terkandung bagi murid-murid dalam
menyelenggarakan sandiwara sekolah?
7. Tinjau perbandingan antara sekolah "kolot" dengan yang "modern" dan
berikan pendapat saudara mengenai tiap hal.

DAFTAR BUKU
Alberty, Harold B., dan Elsie J. Alberty, Reorganizing the High- School Curriculum, The Macmillan Company, New York, 1965.
Alcorn, Marvin D. and James M. Linley, Issues in Curriculum Development, World Book Company, New York, 1959.
Beswick, Norman, Resource-based Learning, Heinemann Educational Book Ltd., London, 1977.
Bruner, Jerome The Process of Education, Harvard University Press, 1960.
Burr, James B., Lowry W. Harding and Leland Jacobs, Student Teaching in the Elementary School, Appleton-Century-Crofts, Inc., New York, 1950.
Caswell, Hollis L. and A. Wellesley Foshay, Education in the Elementary School, American Book Company, New York, 1950.
Dewey, John, The Child and the Curriculum and The School and Society, Phoenix Books, The University of Chicago Press, 1963.
Doll, Ronald C, Curriculum Improvement, Allyn and Bacon Inc., Boston, 1974.
Eggleston, John, The Sociology of the School Curriculum, Routledge and Kegan Paul, London, 1977.
Eisner, Elliot W., and Elizabeth Vallance, Conflicting Conceptions of Curriculum, McCutchen Publishing Corporation, The University of Chicago Press, Chicago, 1974.
Cagne, Robert M., and Leslie J. Briggs, Principles of Instructional Design, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York, 1974
_____, The Conditions of Learning, Holt, Rinehart and Winston, New York,
1970.
Gwynn, J. Minor, Curriculum Principles and Social Trends, The Macmillan Co., New York, 1960.
Hamilton, David, Curriculum Evaluation, Open Books, London, 1976.
Hanna, Lavone A., Gladys L. Potter and Neva Hagaman, Unit Teaching in the Elementary School, Appelton-Century Company, 1947.
Hass, Glen, Kimball Wiles and Joseph Bondi, Readings in Curriculum, Allyn and Bacon, Inc., Boston, 1970.

Hilderth, Gertrude, Child Growth Through Education, The Roland press Company,
1947.
Hilgard, Ernest R., Theories of Learning, Appelton-Century-Crofts, Inc., New York,
1948.
Kelly, Albert V., The Curriculum, Harper and Row Ltd., New York, 1977.
Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Dasar Pendidikan dan Pengajaran, NV Harian Masa, Jakarta 1945.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1975.
Krug, Edward A., Curriculum Planning, Harper and Brothers, New York, 1957.
_____, The Secondary School Curriculum, Harper and Row, New York, 1960.
Leonard, J. Paul, Developing the Secondary School Curriculum, Rinehart and Company, New York, 1953.
Lewy, Arieh (ed), Handbook of Curriculum Evaluation, Unesco, Longman, Inc., New York, 1977.
MacDonald, Barry and Rob Walker, Changing the Curriculum, Open Books,
London, 1976.
Michaelis. John U., Social Studies for Children in a Democracy, D. Appleton-Century Company, New York, 1956.
Miel, Alice, Changing the Curriculum: a Sosial Process, D. Appleton-Century Company, New York, 1946.
Morrish, Ivor, Aspects of Curriculum Change, George Allen and Unwin Ltd.,
London, 1976.
Nasroen M., Pancasila Pusaka Lama, Penerbit Endang, Jakarta 1954.
N.E.A. Educational Policies Commission, The Purposes of Education in American Democracy, National Education Association, Washington, D.C., 1938.
Nicholls, Audrey and S. Howard Nichols, Developing a Curriculum, a Practical Guide, George Allen and Unwin Ltd., London, 1972.
Olson, E.G School and Community, Prentice Hall, Inc., New York, 1954.

Otto, Henry I, Principles of Elementary Education, Rinehart and Company, Inc., New York, 1955.
Piaget, Jean, Psychology and Epistemology, Towards a Theory of Knowledge, Penguin University Books, Middlesex, 1970.
Progressive Education Association, Commission on Secondary School Curriculum, Science in General Education, Appelton-Century, Crofts, New York, 1938.
Ragan William, B., Modern Elementary Curriculum, The Dryden