BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Euthanasia
Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama,
Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara
wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah
proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri
dan lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena
pertolongan dokter.1
Euthanasia atau jenis kematian ketiga yang disebutkan diatas merupakan
jenis kematian yang hingga saat ini menimbulkan dilema bagi para petugas medis
khususnya dokter karena belum adanya ketetapan hukum. Karena tidak jarang
pasien yang menderita penyakit parah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk
sembuh menginginkan dokter melakukan euthanasia terhadap dirinya atau pasien
yang tidak sadarkan diri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga
keluarganya tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut
sehingga keluarga meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia.
Baik itu dengan cara menghentikan pengobatan, memberikan obat dengan dosis
yang berlebihan (over dosis), dan dengan berbagai macam cara lainnya.
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Euthanatos.” Eu berarti
baik, tanpa penderitaan dan Thanatos berarti mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Euthanasia artinya mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau
1.
Bajang Tukul, 2008, Perdebatan Etis atas Euthanasia (Perspektif Filsafat Moral), Yogyakarta,
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 4
8
mati cepat tanpa derita. Menurut kamus hukum, Euthanasia adalah
menghilangkan nyawa tanpa rasa sakit untuk meringankan sakaratul maut seorang
penderita yang tak ada kemungkinan sembuh lagi. Menurut pandangan dokter,
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup
atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien
sendiri. Profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan penguguran kandungan
(Abortus Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu
dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia). Euthanasia dalam
Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan
nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan
tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis
pembunuhan ini.
Sementara itu menurut Kamus Kedokteran euthanasia mengandung dua
pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,
pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang
menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara
hati-hati dan disengaja.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi aparat penegak hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah
persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum
positif mengatur persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di
dalam menyikapi persoalan tersebut. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis
9
formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk
euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu
sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal
344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia
euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan melihat
konteks hukum positif di Indonesia maka tidak memungkinkan untuk melakukan
euthanasia bahkan adanya larangan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu KUHP.
Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Euthanasia merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak
sengaja untuk mempermudah atau meringankan kematian seseorang pasien yang
tingkat kesembuhannya kecil agar tidak merasakan penderitaan yang
berkepanjangan atau untuk memperpanjang hidupnya dan hal ini dilakukan untuk
kepentingan pasien itu sendiri. Akan tetapi menurut Dr. Richard Lamerton,
mantan direktur St. Joseph’s Hospice Home Care Service, London, Inggris, istilah
10
Euthanasia tersebut ditafsirkan pada abad ke-20 sebagai “pembunuhan belas
kasihan” (mercy killing) yang berasal dari pembunuhan yang didasarkan hukum.2
Unsur-unsur euthanasia dilihat dari beberapa definisi di atas, antara lain :
1) Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2) Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
3) Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
4) Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
5) Demi kepentingan pasien dan keluarganya.3
2.2 Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dari mana sudut
pandangnya atau cara melihatnya.
a. Euthanasia dilihat dari cara dilaksanakannya
Berdasarkan cara pelaksanaannya, Euthanasia dapat dibedakan menjadi :
1) Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan
pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Menurut
kamus hukum, Euthanasia pasif adalah pihak dokter menghentikan segala obat
yang diberikan kepada pasien, kecuali obat untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit atas permintaan pasien. Berdasarkan kedua pengertian
2.
Soerjono Soekanto, 1990, Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Bandung, Penerbit
Mandar Maju, hlm. 44 3.
Muh. Rofiq Nasihudin, Euthanasia Dalam Hukum Pidana, 8 September 2013, http://pendidikan-
hukum.blogspot.com/2010/10/euthanasia-dalam-hukum-pidana_25.html, (11.28).
11
di atas maka dapat disimpulkan bahwa Euthanasia pasif adalah tindakan
mempercepat kematian pasien dengan cara menolak memberikan pertolongan
seperti menghentikan atau mencabut segala pengobatan yang menunjang hidup si
pasien.
Hal ini sudah jelas, karena seorang pasien yang sedang menjalani perawatan
pastilah didukung oleh obat-obatan sebagai salah satu tindakan medis yang
dilakukan oleh petugas medis atau dokter demi kesembuhan pasien. Apabila
petugas medis/dokter membiarkan pasien meninggal atau pasien menolak untuk
diberikan pertolongan oleh dokter dengan cara menghentikan pemberian obat-
obatan bagi pasien, misalnya seperti memberhentikan alat bantu pernapasan (alat
respirator) maka secara otomatis pasien meninggal. Cara yang dilakukan oleh
dokter tersebut merupakan euthanasia pasif.
2) Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara
medis melalui intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter),
bertujuan untuk mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, Euthanasia aktif
sengaja dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan meninggal, baik
dengan cara memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan
obat dengan dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian.
Euthanasia dibagi lagi menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan
euthanasia aktif tidak langsung (indirect). Euthanasia aktif langsung adalah
dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri
hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini biasa disebut
12
mercy killing. Contohnya, dokter memberikan suntikan zat yang dapat segera
mematikan pasien. Euthanasia aktif tidak langsung adalah keadaan dimana dokter
atau tenaga medis melakukan tindakan medik tidak secara langsung untuk
mengakhiri hidup pasien, namun mengetahui adanya resiko yang dapat
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Contohnya, mencabut oksigen atau
alat bantu kehidupan lainnya.4
b. Ditinjau dari permintaan
Bagi pasien yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya
mengajukan permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar
pasien tersebut tidak mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan
hal tersebut, maka Euthanasia dapat dibedakan menjadi :
1) Euthanasia voluntir
Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis
berdasarkan permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien
dalam kondisi sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan
kata lain, pasien menginginkan dilakukannya euthanasia secara sukarela karena
berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun.
2) Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang
sudah tidak sadar. Biasanya permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal
dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya
4.
Ibid.
13
perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien,
kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya.5
Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono,6 terdapat beberapa kasus
yang disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat
dimasukkan pada larangan hukum pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut
Leneen adalah :
1) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih
berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada
kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat
kecelakaan berat.
2) Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
3) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan
(force majure).
4) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada
gunanya.
2.3 Euthanasia Menurut Ajaran Agama
a) Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka
yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja
5.
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, hlm.
146 6.
Ari Yunanto dan Helmi, 2010, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Yogyakarta, Penerbit ANDI
Offset, hlm. 58
14
mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi,
melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk ajaran
iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de
euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan
semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan
gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri
hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya
praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64
yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan
dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang
meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus
II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
b) Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran
tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekuensi
murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai
15
akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang
"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu
tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti
kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu faktor yang
mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.
Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga
untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan
kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan.
c) Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari
kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup
adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal
tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal
tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna").
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Buddha yang dengan demikian dapat
menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan
keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
16
d) Dalam ajaran Islam
Dalam Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak
tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22 : 66; 2 : 243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadits yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang
makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya
(pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi
pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak
ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Euthanasia aktif menurut agama islam biasa disebut dengan taisir al-maut
al-fa'al. Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan
17
memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter
dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian secara
aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam
tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan
termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah
urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan
kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah
ditetapkan-Nya.
Eutanasia pasif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia
pasif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk
memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya
18
menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka
mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.
e) Dalam ajaran agama Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang
yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya
menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan
yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan
penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan
hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi
sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia
dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau
dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya
bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke
kehidupan yang lebih baik. Pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui
19
bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi
dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam
menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian
Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan
maksud dan tujuan pemberian tersebut.7
2.4 Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran
Bartens8 menjelaskan etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethos”
dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.
Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” artinya adat kebiasaan. Lebih lanjut,
Poerwadarminta menyimpulkan bahwa : etika adalah sama dengan akhlak, yaitu
pemahaman tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta pemahaman tentang
hak dan kewajiban orang. Etika sebagai kajian ilmu membahas tentang moralitas
atau tentang manusia terkait dengan perilakunya terhadap makhluk lain dan
sesama manusia.9 James J. Spillane SJ
10 mengungkapkan bahwa etika atau ethic
memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam
7.
Wikipedia, Euthanasia, tanggal 2 Desember 2012, http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia, (20.54).
8.Supriadi, 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar
Grafika, hlm. 7 9.
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, hlm.1 10.
Supriadi, Op. Cit, hlm. 7
20
pengambilan keputusan moral. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa etika merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku
dalam bermasyarakat sehingga bisa menmbedakan apa yang baik dan apa yang
buruk serta mana yang hak dan mana kewajiban.
Secara garis besar etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika umum dan
etika khusus. Etika umum merupakan aturan bertindak secara umum dalam
kelompok masyarakat tertentu. Etika khusus, yang selanjutnya berkembang
menjadi etika profesi adalah aturan bertindak pada kelompok-kelompok
masyarakat yang bersifat khusus, yakni kelompok profesi.11
Tujuan dari etika
profesi ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan profesi.
Oleh karena itu, etika profesi ini harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap orang yang
menjalankan profesi tertentu, misalnya seorang dokter yang harus tunduk dan taat
pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan
keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya
serta perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Kode Etik Kedokteran, yaitu “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.” Standar
profesi tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu
pengetahuan kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK
kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Pendidikan
kedokteran mutakhir yang dimaksud di atas adalah sesuai dengan Pasal 28 ayat
11.
Soekidjo Notoatmodjo, Op. Cit, hlm. 34
21
(1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu
“setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan
oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi
dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran atau kedokteran gigi.”
Selain itu, dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pada Pasal 7c bahwa “seorang
dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.” Hak pasien yang
dimaksud pada Pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup dan hak atas
tubuhnya sendiri.12
Maka berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi
permintaan pasien yang ingin dieutahanasia sebab pasien tersebut berhak atas
hidup dan tubuhnya sendiri. Tetapi pada Pasal 7d menyatakan bahwa “setiap
dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup insani.” Artinya,
dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk memelihara
kesehatan dan mempertahankan hidup pasien. Sehingga dokter tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak memelihara atau mempertahankan hidup pasien
salah satunya adalah Euthanasia.
Terjadi ketidakharmonisan antara Pasal 7c dengan Pasal 7d Kode Etik
Kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan Euthanasia, yaitu berdasarkan
Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien untuk dilakukan
Euthanasia sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut
12.
Anni Isfandyarie, 2011, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Cetakan Ke-6,
Jakarta, Penerbit Prestasi Pustaka, hlm. 98
22
Pasal 7d seorang dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup
seorang pasien.
Menurut Frans13
, beberapa tantangan etika kedokteran meliputi : penetapan
norma-norma etika kedokteran, otonomi pasien, janin manusia dan euthanasia.
Mengenai kasus euthanasia, sampai saat ini masih menimbulkan dilema antara
etika kedokteran dan problem hidup yang sangat sulit diselesaikan. Selain Kode
Etik Kedokteran Indonesia landasan etika kedokteran yang lain yaitu Sumpah
Hipocrates (460-377 SM), Deklarasi Geneva (1948) mengenai lafal sumpah
dokter, International Code of Medical Ethics (1949), Lafal Sumpah Dokter
Indonesia (1960), Deklarasi Helsinki (1964) mengenai riset klinik, Deklarasi
Sydney (1968) mengenai saat kematian, Deklarasi Oslo (1970) mengenai
pengguguran kandungan atas indikasi medik dan Deklarasi Tokyo (1975)
mengenai penyiksaan.14
2.4 Tanggung Jawab Dokter
Berkaitan dengan kasus euthanasia maka pihak yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaannya adalah dokter. Tanggung jawab tersebut didasarkan pada
implikasi yuridis terjadinya kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau
pelayanan pasien. Kesalahan dokter timbul sebagai akibat terjadinya tindakan
yang tidak sesuai, atau tidak memenuhi prosedur medis yang seharusnya
dilakukan, yang dapat terjadi karena faktor kesengajaan atau kelalaian dari
13.
Bajang Tukul, Op. cit, hlm. 4 14.
Apriyansya Panjaitan, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, 11 September 2013,
http://www.slideshare.net/AprinsyaPanjaitan/etika-dan-dukum-kkedokteran#btnNext, (13.45).
23
seorang dokter.15
Menurut C. Berkhouwer dan L. D. Vorstman,16
suatu kesalahan
dalam melakukan profesi bisa terjadi karena adanya tiga faktor, yaitu :
1) Kurangnya pengetahuan.
2) Kurangnya pengalaman.
3) Kurangnya pengertian.
Tanggung jawab dokter dari sudut hukum meliputi tanggung jawab hukum
pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Tanggung jawab hukum pidana
apabila terjadi kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas maka dokter
harus bertanggung jawab. Tanggung jawab hukum perdata bersumber pada 2
dasar, yaitu : Pertama, berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability)
sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata; Kedua, berdasarkan
perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal
1365 KUHPerdata. Tanggung jawab hukum administrasi yaitu apabila tindakan
dokter atau tenaga medis lain mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pasien.17
Unsur kesalahan merupakan unsur mutlak dalam penjatuhan hukum pidana
pada seseorang yang dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan
perbuatan atau menimbulkan keadaan-keadaan yang dilarang oleh hukum pidana.
Hal ini jika dikaitkan dengan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja oleh
dokter baik itu melalui tindakan aktif maupun membiarkan penghentian
pengobatan atas dasar permintaan pasien maupun keluarga pasien, maka dokter
dapat dikenakan sanksi pidana atas unsur kesalahan yang dilakukan dengan
15.
Bahder Johan Nasution, 2005, Hukum Kesehatan, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, hlm. 62 16.
Ibid. 17.
Ibid, hlm. 63
24
sengaja tersebut. Seperti penjelasan yang terkandung dalam Pasal 344 yang
mengatur tentang euthanasia aktif yaitu “Barang siapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Unsur
kesengajaan dalam pasal ini tidak dituliskan secara nyata melainkan tersirat di
dalam Pasal tersebut.
Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana, bentuk-bentuk
kesalahan terdiri dari berikut ini18
:
1) Kesengajaan, yang dibagi menjadi :
a) Kesengajaan dengan maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu
diharapkan timbul, atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi;
b) Kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian
bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan
kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja;
c) Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis), artinya perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja dan diketahui akibatnya.
2) Kealpaan, untuk menentukan adanya kesalahan yang mengakibatkan
dipidananya seseorang harus dipenuhi empat unsur, yaitu : Pertama, terang
melakukan perbuatan pidana, perbuatan itu bersifat melawan hukum; Dua,
mampu bertanggung jawab; Tiga, melakukan perbuatan tersebut dengan
sengaja atau karena kealpaan; Empat, tidak adanya alasan pemaaf.
18.
Ibid, hlm. 54-55
25
Kelalaian juga bisa terjadi di dalam praktek kedokteran begitu juga pada
kasus euthanasia. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya.
Dalam kesehatan faktor penyebab timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya
pengetahuan, kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian dokter pada
waktu melaksanakan perawatan.19
Kelalaian dalam hukum pidana terbagi dua
macam. Pertama, “kealpaan perbuatan” artinya apabila hanya dengan melakukan
perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu
melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal
205 KUHP. Kedua, “kealpaan akibat” artinya suatu peristiwa pidana kalau akibat
dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum
pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti Pasal 359 KUHP.20
2.5 Hak Asasi Manusia
Manusia sejak lahir telah dianugrahi hak asasi yang sama tiap-tiap individu
oleh Tuhan untuk menjamin harkat dan martabat dirinya. Hak asasi tersebut
memberikan jaminan bagi setiap orang agar tidak diperlakukan seenaknya,
diperbudak, dianiaya, maupun diperlakukan secara kejam sesuai dengan Pasal 33
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Hak asasi manusia merupakan istilah dari Declaration Des Droits de
I’homme et du Citoyen atau Droits de I’homme yaitu hak manusia yang
merupakan pernyataan hak-hak manusia dan warganegara Perancis yang
diproklamirkan pada tahun 1789, sebagai pencerminan keberhasilan revolusi
19.
Ibid, hlm. 56 20.
Ibid.
26
warganegaranya yang bebas dari kekangan kekuasaan penguasa tunggal, atau
dalam bahasa Inggrisnya human rights, dalam bahasa Belanda disebut Menselijke
Rechten. Di Indonesia menggunakan istilah “hak-hak asasi” yang merupakan
terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrechten dalam bahasa
Belanda.21
Hak yang dimaksud dalam istilah-istilah diatas adalah hak yang
melekat pada manusia sebagai insan ciptaan Tuhan yang merupakan anugrah dan
hak-hak tersebut tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya. Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 menjelaskan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sejarah perkembangan hak asasi manusia dimulai di Inggris pada tahun
1215 dengan lahirnya Piagam Magna Charta oleh Raja John Lackland. Prinsip
dasar piagam tersebut antara lain memuat : Pertama, kekuasaan raja harus
dibatasi; Kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan Raja. Tak
seorang pun dari warga negara dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya
atau diperkosa atau diasingkan, atau dengan cara apapun diperkosa hak-haknya
kecuali berdasarkan pertimbangan hukum.22
Perkembangan selanjutnya adalah
dengan ditanda tanganinya Petition of Rights pada tahun 1628 oleh Raja Charles I.
Perjuangan yang lebih nyata dan terpenting dalam sejarah perkembangan HAM
21.
Ramdlon Naning, 1983, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Lembaga Kriminologi UI dan Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, hlm. 7 22.
Ibid, hlm. 9
27
ialah dengan ditanda tanganinya Bill of Rights oleh Raja William II suami dari
Mary II pada tahun 1689 sebagai hasil dari Glorius Revolution (Revolusi Besar)
dari hasil perebutan kekuasaan antara Raja James II (katolik) dengan Mary II
(protestan) yang dimenangkan oleh Mary II dan William II. Bill of Rights berisi
pengakuan bahwa hak-hak rakyat dan anggota parlemen tidak boleh diganggu
gugat atas dasar ucapan-ucapannya.23
Demikian juga Bill of Rights (piagam hak-
hak) di Virginia, Amerika Serikat yang disahkan tanggal 12 Juni 1776.24
Piagam
ini diterima baik tanpa perubahan oleh Konvensi tahun 1929-1830 dan diterima
kembali dengan amandemen oleh Konvensia dalam tahun 1850-1951.
Revolusi di Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4
Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13
negara bagian yang juga merupakan Piagam HAM, karena mengandung
pernyataan “bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh
Maha Penciptanya. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak
hidup, kemerdekaan dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan.”25
Perkembangan sejarah HAM di atas menurut Majda El-Muhtaj, M.Hum
dapat dilihat terdapat perbedaan filosofi baik dari segi nilai maupun orientasi. Di
Inggris menekankan pada pembatasan Raja, di Amerika Serikat mengutamakan
kebebasan individu, di Prancis memprioritaskan egalitarianisme persamaan
kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Sementara itu, PBB
merangkum berbagai nilai dan orientasi karena UDHR sebagai konsensus dunia
23.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta,
Penerbit CV. Sinar Bakti, hlm. 307 24.
Ramdlon Naning, Op. Cit, hlm. 10 25.
Ibid, hlm. 10-11
28
setelah mengalami perang dunia II, yang menciptakan pengakuan prinsip
kebebasan perseorangan, kekuasaan hukum dan demokrasi.26
Dengan kata lain,
rangkaian kesaksian sejarah tersebut menunjukkan bahwa HAM, meminjam
istilah Bambang Sutiyoso adalah “Konstitusi Kehidupan”, karena HAM
meruapakn prasyarat yang harus ada dalam setiap kehidupan manusia untuk dapat
hidup sesuai dengan fitrah kemanusiannya.27
2.6 Euthanasia dan Hak Asasi Manusia
Hak hidup adalah hak untuk menjalani kehidupan tanpa adanya gangguan
yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Hak ini merupakan hak
mutlak yang tidak dapat diganggu gugat dan paling penting dari keseluruhan hak
yang dimiliki oleh manusia. Piagam PBB mengenai HAM pun menempatkan hak
hidup sebagai bagian utama Hak Asasi Manusia sebelum hak-hak yang lainnya.28
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 menjelaskan bahwa
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun dan oleh siapa pun.” Hak atas kehidupan ini bahkan sudah
melekat pada bayi yang masih berada di dalam kandungan ibu, sehingga adanya
larangan untuk melakukan abortus. Pada Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor
26.
Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta,
Penerbit Kencana Prenada, hlm. 53 27.
Ibid, hlm. 54 28.
Ahmad Zaelani, 2008, Euthanasia Menurut Ham dan Hukum Islam, Jakarta, hlm. 23
29
39 tahun 1999 juga menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.”
Undang-Undang HAM maupun Piagam PBB menjelaskan bahwa hak hidup
merupakan hak manusia yang utama tetapi jika dihubungkan dengan euthanasia
aktif maka hal tersebut saling bertentangan, karena di dalam euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif merupakan sebuah usaha untuk menghilangkan hak
hidup manusia. Apabila dokter mengabulkan permintaan pasien untuk
dilakukannya euthanasia maka secara tidak langsung dokter telah melanggar Hak
Asasi Manusia sehingga tindakan dokter tersebut harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya pada Pengadilan HAM atau Komisi Nasional HAM. Hal
ini didasari pada hakekat euthanasia itu sendiri yaitu menghilangkan nyawa
manusia berdasarkan atas permintaannya sendiri ataupun tidak. Namun, dilain sisi
euthanasia merupakan satu-satunya jalan keluar dari suatu masalah yang
menyangkut dengan kehidupan manusia dalam hal ini pasien. Euthanasia juga jika
dihubungkan dengan HAM maka tidak lepas dari hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right self of determination) pada diri pasien.29
Hak ini termasuk pada
salah satu unsur utama di dalam HAM.
Selain melanggar ketentuan dalam Undang-Undang HAM juga melanggar
Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.” Delik dalam pasal di atas termasuk pada delik terhadap nyawa
29.
Pingkan Paulus, “Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum Nasional
Belanda)”, Artikel Vol.XXI/No.3 (April-Juni, 2013), 3.
30
yang dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan di dalam pasal tersebut tidak secara
tertulis melainkan tersirat pada unsur-unsur delik itu sendiri. Selain itu akan
mendapatkan kesulitan dalam membuktikan unsur permintaan dari pasien itu
sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati seperti yang terkandung dalam
Pasal 344 KUHP.
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain yang tidak dijelaskan secara
rinci didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sehingga
menimbulkan beberapa pendapat :
1. Pendapat Simon,30
bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu “dapat terjadi
tanpa harus melakukan suatu perbuatan”, atau dengan kata lain dengan sikap
pasif itu seseorang dapat dipandang telah menghilangkan nyawa orang lain
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
Pendapat Simon ini jika dikaitkan dengan Euthanasia, maka yang dimaksud
dengan kesengajaan tersebut adalah menghentikan pemberian obat-obatan
yang menunjang hidup pasien seperti menghentikan alat bantu pernapasan
dimana hal tersebut termasuk dalam jenis Euthanasia Pasif.
2. Pendapat Noyon,31
bahwa sesuai dengan rumusan ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri,
30.
Suwarto, “Euthanasia dan Perkembangannya dalam KUHP”, Jurnal Hukum Pro Justicia,
Volume 27 No. 2 (Oktober, 2009), 174. 31.
Ibid.
31
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu hanya dapat diberlakukan
bagi orang yang secara aktif telah melakukan sesuatu perbuatan yang
menyebabkan meninggalnya orang lain atas permintaan yang tegas dan
sungguh-sungguh dari orang lain itu sendiri. Pendapat Noyon ini jika
dikaitkan dengan Euthanasia maka dapat kita lihat pada jenis euthanasia aktif,
dimana perbuatan dilakukan dengan sengaja oleh petugas medis atau dokter
untuk mengakhiri hidup pasien yang bersangkutan.
Sehingga pengambilan keputusan pada permohonan euthanasia perlu
dilakukan dengan hati-hati, sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku dan harus
dituang dalam pernyataan tertulis agar dapat dijadikan bukti yang kuat. Jika ada
jalan lain yang bisa dilakukan oleh dokter, pihak rumah sakit maupun pemerintah
maka sebaiknya euthanasia ini tidak dilakukan, seperti bantuan dana dari
pemerintah untuk melanjutkan biaya rumah sakit pasien karena negara memiliki
kewajiban untuk melindungi warga negaranya.