BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengertian Hukum dan Hukum...

22
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengertian Hukum dan Hukum Pidana. 1.1.1. Hukum. Menurut E. Utrecht, 4 hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu. Sedangkan menurut J. Van Apeldoorn, 5 bahwa tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan hukumnya mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat. 1.1.2. Hukum Pidana. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran (perbuatan pidana yang ringan) dan kejahatan (perbuatan pidana yang berat) tersebut di ancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. 4 E. Utrecht, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika, 2008, Jakarta, hlm. 6 5 J. Van Apeldoorn, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika, 2008, Jakarta, hlm. 6

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengertian Hukum dan Hukum...

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pengertian Hukum dan Hukum Pidana.

1.1.1. Hukum.

Menurut E. Utrecht,4 hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang

mengatur tata tertib dalam masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota

masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk

hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.

Sedangkan menurut J. Van Apeldoorn,5 bahwa tidak mungkin memberikan

definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan

hukumnya mengatur pergaulan hidup secara damai.

Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur

tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di

dalam masyarakat.

1.1.2. Hukum Pidana.

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan

kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran (perbuatan pidana yang

ringan) dan kejahatan (perbuatan pidana yang berat) tersebut di ancam dengan

hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan.

4 E. Utrecht, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika,

2008, Jakarta, hlm. 6 5 J. Van Apeldoorn, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar

Grafika, 2008, Jakarta, hlm. 6

7

Ada dua macam tujuan hukum pidana, yaitu :

1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak melakukan perbuatan pidana

(fungsi preventif/pencegahan);

2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan pidana agar menjadi

orang yang baik dan dapat di terima kembali dalam masyarakat (fungsi

prepesif)/kekerasan.6

2.2. Penegakkan Hukum.

Menurut Soerjono Soekanto,7 secara konsepsional, inti dan arti penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.

Lebih lanjut dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin di

pengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak

negatif atau positifnya terletak pada isi-isi faktor tersebut. Faktor-faktor ini

mempunyai hubungan yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi

serta tolak ukur dan efektivitas penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Hukum (undang-undang);

Undang-undang dalam arti materiel adalah peraturan tertulis yang

berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah.

6 Op cid, hlm 61 7 Soejono soekanto. Dalam bukunya Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao Hukum

Kehutanan di Indonesia. Jakarta. PT RiNeka Cipta, 2011, hlm. 21

8

Dengan demikian, maka undang undang dalam material (selanjutnya disebut

undang-undang) mencakup :

a. Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga Negara atau suatu

golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian

wilayah Negara.

b. Peraturan setempat yang hanya berlaku disuatu tempat atau daerah

saja.

Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang

mungkin disebabkan, karena:

a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang.

b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk

menerapkan undang-undang.

c. Ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang8.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum;

Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai

kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan

posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi,

sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan

suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu.

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh

8 Soerjono soekanto, factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hokum. Jakarta. PT Raja Grafindo

Persada, 2004, Hlm. 17-18

9

karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya

dinamakan peranan (role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan

wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah

beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsur-

unsur, sebagai berikut:

a. Peranan yang ideal (ideal role)

b. Peranan yang seharusnya (expected role)

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)

d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan

role performance atau role playing. Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan

yang ideal dan yang seharusnya datang dari pihak (atau pihak-pihak) lain,

sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang

sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi. Sudah tentu bahwa didalam

kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi apabila seseorang

berhubungan dengan pihak lain (disebut role sector) atau dengan beberapa

pihak (role set).

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga

masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan

sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai

kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of roles).

Kalau didalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang

10

seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual,

maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance).

3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum;

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin

penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas

tersebut, antara lain, mencakup tenaga yang berpendidikan dan terampil,

organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan

seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan

hukum akan mencapai tujuannya. Agar masalah tersebut dapat dipahami

dengan mudah, akan disajikan suatu contoh mengenai proses peradilan.

4. Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan;

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandangdari

sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengruhi penegakan hukum

tersebut. Didalam bagian ini, diketengahkan secara garis besar perihal

pendapat-pendapat masyarakat yang mengenai hukum, yang sangat

mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada

kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu Undang-undang, penegak

hukum, dan sarana atau fasilitas.

5. Dan faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang di

dasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup;

11

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor

masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya

diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan

spiritual atau non materiel. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari system

kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, substansi, dan

kebudayaan (Lawrence M. Friedman,1977). Struktur mencakup wadah

ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, mencakup tatanan

lemabaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga

tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi

mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acak

untuk menegakannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari

keadilan.

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan

apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya

merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim

yang harus diserasikan.

Penegakkan hukum (Law Enforcement) dalam operasionalnya bukanlah suatu

hal yang berdiri sendiri melainkan yang berkaitan dengan berbagai aspek/faktor.

Penegakkan hukum tidak hanya berkaitan dengan hukum itu sendiri, akan tetapi

dengan manusianya, baik sebagai penegak hukum maupun masyarakatnya. Dalam

12

pembahasan tentang penegakkan hukum tidak dapat dilepaskan dari konsep

Laurence Meir Friedman9 tentang tiga unsur sistem hukum yang terdiri atas :

a. Struktur Hukum (Legal Structure)

Di Indonesia, apabila berbicara tentang struktur dalam sistem hukum,

termasuk di dalamnya adalah struktur atau institusi-institusi yang menentukan

penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.

b. Substansi Hukum (Legal Substance)

Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem hukum itu, yang kalau di Indonesia substansi hukum

adalah produk yang dihasilkan oleh badan legislatif, termasuk putusan

pengadilan.

c. Kultur Hukum (Legal Culture)

Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukuum,

kepercayaan, penilaian, serta harapan masyarakat terhadap hukum. Jadi dengan

kata lain, Kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang

menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan

disalahgunakan termasuk oleh penegak hukum itu sendiri.

Selain itu juga, secara khusus Salim H.S, mengemukakan empat faktor yang

harus diperhatikan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan , yaitu :

1. Adanya ketentuan hukum yang akomodatif, artinya ketentuan hukum yang ada

harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidang kehutanan.

9 Laurence Meir Friedman. Dalam bukunya. Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum

terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan). Yogyakarta. Laksbang Grafika. 2012. Hlm 14-15

13

Sebenarnya ketentuan hukum di bidang kehutanan telah cukup memadai

karena telah mengatur berbagai hal seperti tata cara penyidikan, penuntutan,

serta memuat tentang sanksi, yaitu sanksi administratif, sanksi perdata dan

pidana.

2. Adanya penegakan hukum yang tangguh, terampil dan bermoral di bidang

kehutanan, seperti Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi

kehutanan, Penyidik Polri, Kejaksaan selaku penuntut umum, dan Hakim di

lingkungan peradilan.

3. Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum seperti

tersedianya mesin tik, kertas dan alat-alat transportasi lainnya.

4. Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum di bidang

kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat maka penegak hukum akan

sulit menjalankan fungsi dan tugasnya.

2.3. Hukum kehutanan dan Asas-Asas Hukum Kehutanan.

2.3.1. Hukum Kehutanan.

Hukum kehutanan merupakan salah satu bidang hukum yang sudah

berumur 137 tahun, yaitu sejak diundangkannya Reglemen Hutan 1865.

Namun, perhatian ilmuwan hukum terhadap bidang ini sangat kurang. Terbukti

kurangnya literature yang mengkaji tentang hukum kehutanan.

Hukum kehutanan kuno hanya mengatur hutan-hutan yang di kuasai oleh

kerajaan, sedangkan hutan rakyat (hutan milik) tidak mendapat pengaturan

14

secara khusus dalam pengaturan perundang-undangan inggris. Namun, dalam

perkembangannya aturan hukum mengenai kehutanan disempurnakan pada

tahun 1971 melalui Act 1971. Di dalam Act 1971 ini bukan hanya mengatur

hutan kerajaan semata-mata, tetapi juga mengatur tentang hutan rakyat (hutan

milik).10

Idris Sarong Al Mar11

mengatakan bahwa yang disebut dengan hukum

kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah atau norma-norma (tidak tertulis)

dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal

hutan dan kehutanan. Biro Hukum dan Organisai Departemen Kehutanan

merumuskan hukum kehutanan adalah “kumpulan (himpunanan) peraturan

yang tertulis yang berkenaan dengan kegiatan yang bersangkut paut dengan

hutan dan pengurusannya”.

Hukum kehutanan dalam kedua definisi di atas dititikberatkan pada

kekuasaan negara dalam pengelolaan dan pengurusan hutan dan kehutanan

semata-mata, padahal persoalan itu bukan hanya menjadi urusan negara, tetapi

juga menjadi urusan manusia secara perorangan, jika ia mengusahakan

penanaman kayu diatas tanah miliknya.

Salim12

mengatakan hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah atau

ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar negara dengan hutan dan

10 Robby Amu. (tesis) Peranan Penyidik Polri Dalam Rangka Penyidikan Tindak Pidana Pembalakan

Liar di Polres Limboto. Hlm. 11 Idris Sarong Al Mar. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar

Grafika, 2008, Hlm. 5 12 Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, Hlm. 5

15

kehutanan dan hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan

kehutanan.

Ada 3 (tiga) unsur yang terkandung dalam rumusan hukum kehutanan

yaitu:

1. Adanya kaidah hukum kehutanan, baik secara tertulis maupun secara

tidak tertulis;

2. Mengatur hubungan antara Negara dengan hutan dan kehutanan; Serta

3. Mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan kehutanan.

Hukum kehutanan tertulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat

oleh lembaga yang berwewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan

dengan hutan dan kehutanan. Hukum kehutanan tertulis ini dapat dilihat

dalam peraturan perundang-undangan, baik yang telah dikeluarkan oleh

pemerintah Hindia Belanda maupun yang telah ditetapkan oleh pemerintah

dengan persetujuan DPR sejak bangsa indonesia merdeka. Sendangkan

Hukum kehutanan tidak tertulis atau disebut juga hukum adat mengenai hutan

adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh dan

berkembang di masyarakat. Jadi, sifatnya adalah lokal.13

Hal-hal yang diatur

dalam hukum kehutanan tidak tertulis adalah :

1. Hak membuka tanah di hutan;

2. Hak untuk menebang kayu;

3. Hak untuk memungut hasil hutan;

13

Robby Amu. (tesis) Peranan Penyidik Polri Dalam Rangka Penyidikan Tindak Pidana Pembalakan

Liar di Polres Limboto. Hlm.21 dan 22.

16

4. Hak untuk mengembalakan ternak dan sebagainya.

Diberbagai daerah hak-hak tersebut diatur oleh desa dan dahulu hak-

hak adat itu dikuasai oleh raja serta kini dikuasai oleh negara. Penggunaan

hak-hak adat diatur sedemikian rupa dan tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan bangsa dan negara. Apabila negara menghendaki

penguasaannya, hak-hak rakyat atas hutan tersebut harus mengalah demi

kepentingan yang besar. Penguasaan negara ini semata-mata untuk mengatur

dan merencanakan peruntukan hutan guna meningkatkan kesejahteraan

rakyat.

Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya

dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai

wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan

penggunaan hutan sesuai fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan dalam

arti luas.

Hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan

mempunyai hubungan yang sangat erat. Karena individu tersebut telah

mengusahakan tanah miliknya untuk menanam kayu yang mempunyai nilai

ekonomi tinggi, sehingga pengurusan dan pemenfaatannya diatur dan

bersangkutan. Namun demikian, individu tersebut harus membayar biaya

pengujian, dan iuran hasil hutan (IHH).14

14 Ibid.

17

2.3.2. Asas-asas Hukum Kehutanan.

Homes15

mengemukakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap

sebagai norma hukum konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar

umum atau sebagai petunjuk bagi hukum yang berlaku. Dengan kata lain, asas

hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

Sudikno Mortokusumo16

mengatakan bahwa yang disebut dengan asas

hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang

peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau abstrak dan untuk

menemukan asas-asas hukum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah

atau peraturan yang konkret. Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang

terdapat dalam ketentuan yang konkret itu.

Pasal 2 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan

pasal-pasal dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia. Asas-asas tersebut

meliputi :

a. Asas Manfaat dan Lestari.

Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan

penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan

kelestarian unsur lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi atau

pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

15 Homes. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008,

Hlm.8. 16

Sudikno Mortokusumo. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar

Grafika, 2008, Hlm. 8

18

b. Asas Kerakyatan dan Keadilan.

Asas kerakyatan dan keadilan dimaksudkan agar setiap

penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan

yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya

sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena

itu dalam pemberian wewenang pengelolaan dan izin pemanfaatan hutan

harus dicegah terjadinya praktek-praktek yang tidak sesuai.

c. Asas Kebersamaan.

Asas kebersamaan dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan

kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin keterkaitan

dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat

dengan pemerintah.

d. Asas Keterbuakaan.

Asas keterbuakaan yang dimaksud agar setiap kegiatan

penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan

memperhatikan aspirasi masyarakat.

e. Asas Keterpaduan.

Asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan

kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan

Nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.17

17

Undang-undang No. 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan.(tesis) Robby Amu. Peran Penyidik Polri

dalam Penyidikan Tindak Pidana di Polres Limboto. Hlm. 24 dan 25.

19

2.4. Illegal Loging

Sejalan dengan UUD 45 hasil Amandemen Bab XIV, tentang kesejahteraan

nasional, pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “bumi air dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakuran rakyat”.

Sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan

senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan

berkelanjutan.

Kekayaan alam dalam pengertian sumber daya alam, secara umum dapat

dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu :

a. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (Non Reneweble Resources)

seperti tambang dan energi;

b. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (Reneweble Resources) yaitu

sumber daya alam hayati seperti : hutan, ikan, hewan dan sebagainya;

c. Sumber daya alam yang tidak pernah habis (Flou Resources) seperti : sinar

matahari, angin, panas bumi, gelombang laut yang mempunyai sifat tidak tetap,

tidak terbatas dan tidak habis.18

18 Ibid.

20

Dalam hal ini hutan termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui

yang memerlukan penata usahaan hasil hutan kayu yang memerlukan pengawasan

dalam pelaksanaannya.

Salah satu bentuk kejahatan di bidang kehutanan seperti pencurian kayu atau

pembalakan kayu atau lebih dikenal dengan istilah Illegal Logging dalam Undang-

undang Kehutanan memang tidak menyebut secara khusus dengan istilah Illegal

Logging sebagai suatu tindak pidana. Istilah Illegal Logging berasal dari bahasa

inggris, yaitu illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum.

Dalam Black’s Law Dictionary kata illegal berarti forbidden by law, unlawful

(dilarang menurut hukum atau tidak sah). Sedangkan kata logging berasal kata log

yang berarti batang kayu atau kayu gelondongan, dan kata Logging berarti

menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.19

Secara gramatikal pengertian illegal logging adalah menebang kayu untuk

kemudian membawa ke tempat gergajian yang dilakukan secara melanggar hukum,

bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Ada pula yang

mengartikan illegal logging dengan pembalakan kayu secara ilegal, yaitu meliputi

semua kegiatan di bidang kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan,

pengelolaan dan perdangan kayu yang bertentangan dengan hukum. Menurut

Forrest Watch Indonesia (FWI) illegal logging terdiri dari dua bentuk, yaitu

pertama, dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam

ijin yang dimiliki. Kedua, melibatkan pencuri kayu, dimana pohon-pohon ditebang

19

Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang

Kehutanan). Yogyakarta. Laksbang Grafika, 2012, Hlm. 29-30

21

oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.

Praktik illegal logging tidak saja dilakukan oleh perorangan atau badan hukum

tetapi juga dilakukan secara terorganisir oleh satu sindikat dengan melibatkan

aparat kepolisian dan pejabat instansi kehutanan.

Penebangan liar atau illegal logging dapat didefinisikan sebagai tindakan

menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah

sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan seperti menebang kayu di area yang

dilindungi, area konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin

yang tepat di hutan-hutan produksi. Mengangkut dan memperdagangkan kayu

illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Atau

dengan kata lain, batasan/pengertian illegal logging adalah meliputi serangkaian

pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang

berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi

kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan

tahap pemrosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara

yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran

keuangan, seperti penghindaran pajak.20

Wayan21

mengemukakan illegal logging adalah sebuah bentuk aktifitas

manusia dalam mengeksploitasi sumber daya hutan diluar sistem pengelolaan hutan

lestari yang berlaku, yang dilakukan oleh sekelompok orang/oknum tertentu secara

20

Wahyu Catur Adinugroho, Penebangan Liar (Illegal Logging), Sebuah Bencana Bagi Dunia

Kehutanan Indonesia Yang Tak Kunjung Terselesaikan, Institut Pertanian Bogor, 2009, Hlm. 3-4. 21

Wayan. Robby Amu. (tesis) Peran Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana di Polres

Limboto. Hlm.37.

22

sistematis baik dalam sebuah jaringan maupun cara-cara lain untuk kepentingan

kelompok dan atau orang/oknum tertentu secara illegal.

Riza Suarga22

mengatakan bahwa illegal logging adalah sebuah praktek

eksploitasi praktek hutan berupa kayu dari kawasan hutan negara melalui aktifitas

penebangan pohon, atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya yang

berasal dari hasil tebangan yang tidak sah. Esensi yang penting dalam praktik

illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian

baik dari aspek ekonomi, illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang

kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.

Illegal Logging adalah setiap usaha pengusahaan kayu hasil hutan yang

meliputi kegiatan menebang, memanen, mengangkut, menguasai, atau memiliki

kayu hasil hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

ketentuan yang lain berlaku.

2.5. Penyidik dan Penyidikan.

Pasal 1, Bab 1, ketentuan umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana, yang dimaksud dengan Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik pembantu adalah

pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenamg tertentu

dapat melakukan tugas penyidikan.

22

Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, Wana Aksara, Jakarta, 2005, hal. 7.

23

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi.

Pasal 77 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan : Selain

pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri

Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan

hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam

kitab undang-undang hukum acara pidana.23

Adapun pengurusan hutan sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang

kehutanan, pasal 10 menyatakan :

1. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 huruf a,

bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna

dan lestari untuk kemakmuran rakyat.

2. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, meliputi kegiatan

penyelenggaraan :

a. Perencanaan kehutanan;

b. Pengelolaan hutan;

c. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan

kehutanan;

23 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

24

d. Pengawasan.24

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud dalam

ayat 1 pasal 77 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, berwewenang untuk :

1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang

berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan,

dan hasil hutan;

2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak

pidana yang menyangkut hutan;

3. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan

atau wilayah hukumnya;

4. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana

yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan perundangan-undangan yang berlaku;

5. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan, dan hasil hutan;

6. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik

kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai kitab undang-undang

hukum acara pidana;

7. Membuat dan menandatangani berita acara;

24 Undang-undang No. 41 tahun 1999 pasal 10 tentang Kehutanan.

25

8. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang

adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil

hutan.25

2.6. Polisi KEHUTANAN.

Ujung tombak terdepan di dalam tugas pengamanan dan perlindungan hutan

dilaksanakan aparatur pemerintah di daerah berada di tangan petugas kehutanan

yang di beri kewenangan kepolisian khusus. Jabatan fungsional ini melekat di

pundak setiap polisi khusus kehutanan atau disebut “jagwana”. Peranan penting

yang di emban membantu tindakan pungusutan dan penyidikan perkara perusakan

hutan yang terjadi di dalam wilayah tugasnya masing-masing.26

Tugas ini dilakukan

melalui pengawasan dan pengamanan hutan dari gangguan yang mengakibatkan

kerusakan hutan negara.

Polisi kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan

pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan atau

melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan

wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konversi sumber daya alam

hayati dan ekosistimnya. Tugas pokok polisi kehutanan adalah menyiapkan,

melaksanakan, mengembangkan, atau memantau, dan mengevaluasi serta

melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta peredaran hasil

hutan.

25 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 77 tentang Kehutanan. 26 Alam Setia Zain S.H, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2000, Hlm. 56

26

Polisi kehutanan atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan

penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka. Pasal 51 ayat (2)

UU No. 41 Tahun 1999, Adapun wewenang dari polisi kehutanan yaitu :

1. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah

hukumnya.

2. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan

hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya.

3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut

hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

4. Mencari keterangan dan barang bukti yang menyangkut tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan

kepada yang berwewenang.27

6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tetang terjadinya tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

Sesuai Pasal 4 Permenhut No : P.5/Menhut-II/2010, standar jenis peralatan

dan sarana polhut berupa :

a. Jenis peralatan terdiri atas :

1. Senjata api dan amunisi.

2. Alat komunikasi.

3. Alat navigasi.

27 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 51 tentang Kehutanan.

27

4. Alat dokumentasi dan intelejen.

5. Alat pemadam kebakaran. Dan

6. Alat pendakian, selam dan penyelamatan.

b. Jenis sarana terdiri atas :

1. Sarana mobilisasi.

2. Pos dan pondok jaga.

3. Tempat penyimpanan barang bukti.

4. Tempat penyimpanan senjata dan amunisi.

5. Tempat/ruang tahanan.

6. Asrama polhut.