BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengertian Hukum dan Hukum...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengertian Hukum dan Hukum...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pengertian Hukum dan Hukum Pidana.
1.1.1. Hukum.
Menurut E. Utrecht,4 hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang
mengatur tata tertib dalam masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk
hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.
Sedangkan menurut J. Van Apeldoorn,5 bahwa tidak mungkin memberikan
definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan
hukumnya mengatur pergaulan hidup secara damai.
Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur
tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di
dalam masyarakat.
1.1.2. Hukum Pidana.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan
kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran (perbuatan pidana yang
ringan) dan kejahatan (perbuatan pidana yang berat) tersebut di ancam dengan
hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan.
4 E. Utrecht, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika,
2008, Jakarta, hlm. 6 5 J. Van Apeldoorn, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar
Grafika, 2008, Jakarta, hlm. 6
7
Ada dua macam tujuan hukum pidana, yaitu :
1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak melakukan perbuatan pidana
(fungsi preventif/pencegahan);
2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan pidana agar menjadi
orang yang baik dan dapat di terima kembali dalam masyarakat (fungsi
prepesif)/kekerasan.6
2.2. Penegakkan Hukum.
Menurut Soerjono Soekanto,7 secara konsepsional, inti dan arti penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.
Lebih lanjut dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin di
pengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
negatif atau positifnya terletak pada isi-isi faktor tersebut. Faktor-faktor ini
mempunyai hubungan yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi
serta tolak ukur dan efektivitas penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Hukum (undang-undang);
Undang-undang dalam arti materiel adalah peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah.
6 Op cid, hlm 61 7 Soejono soekanto. Dalam bukunya Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao Hukum
Kehutanan di Indonesia. Jakarta. PT RiNeka Cipta, 2011, hlm. 21
8
Dengan demikian, maka undang undang dalam material (selanjutnya disebut
undang-undang) mencakup :
a. Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga Negara atau suatu
golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian
wilayah Negara.
b. Peraturan setempat yang hanya berlaku disuatu tempat atau daerah
saja.
Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang
mungkin disebabkan, karena:
a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang.
b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang.
c. Ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang8.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum;
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai
kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan
posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi,
sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan
suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh
8 Soerjono soekanto, factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hokum. Jakarta. PT Raja Grafindo
Persada, 2004, Hlm. 17-18
9
karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya
dinamakan peranan (role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan
wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah
beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsur-
unsur, sebagai berikut:
a. Peranan yang ideal (ideal role)
b. Peranan yang seharusnya (expected role)
c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)
d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)
Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan
role performance atau role playing. Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan
yang ideal dan yang seharusnya datang dari pihak (atau pihak-pihak) lain,
sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang
sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi. Sudah tentu bahwa didalam
kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi apabila seseorang
berhubungan dengan pihak lain (disebut role sector) atau dengan beberapa
pihak (role set).
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga
masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan
sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai
kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of roles).
Kalau didalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang
10
seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual,
maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance).
3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum;
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut, antara lain, mencakup tenaga yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan
seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan
hukum akan mencapai tujuannya. Agar masalah tersebut dapat dipahami
dengan mudah, akan disajikan suatu contoh mengenai proses peradilan.
4. Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan;
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandangdari
sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengruhi penegakan hukum
tersebut. Didalam bagian ini, diketengahkan secara garis besar perihal
pendapat-pendapat masyarakat yang mengenai hukum, yang sangat
mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada
kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu Undang-undang, penegak
hukum, dan sarana atau fasilitas.
5. Dan faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang di
dasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup;
11
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau non materiel. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari system
kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, substansi, dan
kebudayaan (Lawrence M. Friedman,1977). Struktur mencakup wadah
ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, mencakup tatanan
lemabaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga
tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi
mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acak
untuk menegakannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari
keadilan.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan
apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya
merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim
yang harus diserasikan.
Penegakkan hukum (Law Enforcement) dalam operasionalnya bukanlah suatu
hal yang berdiri sendiri melainkan yang berkaitan dengan berbagai aspek/faktor.
Penegakkan hukum tidak hanya berkaitan dengan hukum itu sendiri, akan tetapi
dengan manusianya, baik sebagai penegak hukum maupun masyarakatnya. Dalam
12
pembahasan tentang penegakkan hukum tidak dapat dilepaskan dari konsep
Laurence Meir Friedman9 tentang tiga unsur sistem hukum yang terdiri atas :
a. Struktur Hukum (Legal Structure)
Di Indonesia, apabila berbicara tentang struktur dalam sistem hukum,
termasuk di dalamnya adalah struktur atau institusi-institusi yang menentukan
penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
b. Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem hukum itu, yang kalau di Indonesia substansi hukum
adalah produk yang dihasilkan oleh badan legislatif, termasuk putusan
pengadilan.
c. Kultur Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukuum,
kepercayaan, penilaian, serta harapan masyarakat terhadap hukum. Jadi dengan
kata lain, Kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan
disalahgunakan termasuk oleh penegak hukum itu sendiri.
Selain itu juga, secara khusus Salim H.S, mengemukakan empat faktor yang
harus diperhatikan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan , yaitu :
1. Adanya ketentuan hukum yang akomodatif, artinya ketentuan hukum yang ada
harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidang kehutanan.
9 Laurence Meir Friedman. Dalam bukunya. Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum
terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan). Yogyakarta. Laksbang Grafika. 2012. Hlm 14-15
13
Sebenarnya ketentuan hukum di bidang kehutanan telah cukup memadai
karena telah mengatur berbagai hal seperti tata cara penyidikan, penuntutan,
serta memuat tentang sanksi, yaitu sanksi administratif, sanksi perdata dan
pidana.
2. Adanya penegakan hukum yang tangguh, terampil dan bermoral di bidang
kehutanan, seperti Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi
kehutanan, Penyidik Polri, Kejaksaan selaku penuntut umum, dan Hakim di
lingkungan peradilan.
3. Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum seperti
tersedianya mesin tik, kertas dan alat-alat transportasi lainnya.
4. Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum di bidang
kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat maka penegak hukum akan
sulit menjalankan fungsi dan tugasnya.
2.3. Hukum kehutanan dan Asas-Asas Hukum Kehutanan.
2.3.1. Hukum Kehutanan.
Hukum kehutanan merupakan salah satu bidang hukum yang sudah
berumur 137 tahun, yaitu sejak diundangkannya Reglemen Hutan 1865.
Namun, perhatian ilmuwan hukum terhadap bidang ini sangat kurang. Terbukti
kurangnya literature yang mengkaji tentang hukum kehutanan.
Hukum kehutanan kuno hanya mengatur hutan-hutan yang di kuasai oleh
kerajaan, sedangkan hutan rakyat (hutan milik) tidak mendapat pengaturan
14
secara khusus dalam pengaturan perundang-undangan inggris. Namun, dalam
perkembangannya aturan hukum mengenai kehutanan disempurnakan pada
tahun 1971 melalui Act 1971. Di dalam Act 1971 ini bukan hanya mengatur
hutan kerajaan semata-mata, tetapi juga mengatur tentang hutan rakyat (hutan
milik).10
Idris Sarong Al Mar11
mengatakan bahwa yang disebut dengan hukum
kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah atau norma-norma (tidak tertulis)
dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal
hutan dan kehutanan. Biro Hukum dan Organisai Departemen Kehutanan
merumuskan hukum kehutanan adalah “kumpulan (himpunanan) peraturan
yang tertulis yang berkenaan dengan kegiatan yang bersangkut paut dengan
hutan dan pengurusannya”.
Hukum kehutanan dalam kedua definisi di atas dititikberatkan pada
kekuasaan negara dalam pengelolaan dan pengurusan hutan dan kehutanan
semata-mata, padahal persoalan itu bukan hanya menjadi urusan negara, tetapi
juga menjadi urusan manusia secara perorangan, jika ia mengusahakan
penanaman kayu diatas tanah miliknya.
Salim12
mengatakan hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah atau
ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar negara dengan hutan dan
10 Robby Amu. (tesis) Peranan Penyidik Polri Dalam Rangka Penyidikan Tindak Pidana Pembalakan
Liar di Polres Limboto. Hlm. 11 Idris Sarong Al Mar. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar
Grafika, 2008, Hlm. 5 12 Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, Hlm. 5
15
kehutanan dan hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan
kehutanan.
Ada 3 (tiga) unsur yang terkandung dalam rumusan hukum kehutanan
yaitu:
1. Adanya kaidah hukum kehutanan, baik secara tertulis maupun secara
tidak tertulis;
2. Mengatur hubungan antara Negara dengan hutan dan kehutanan; Serta
3. Mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan kehutanan.
Hukum kehutanan tertulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat
oleh lembaga yang berwewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan hutan dan kehutanan. Hukum kehutanan tertulis ini dapat dilihat
dalam peraturan perundang-undangan, baik yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah Hindia Belanda maupun yang telah ditetapkan oleh pemerintah
dengan persetujuan DPR sejak bangsa indonesia merdeka. Sendangkan
Hukum kehutanan tidak tertulis atau disebut juga hukum adat mengenai hutan
adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Jadi, sifatnya adalah lokal.13
Hal-hal yang diatur
dalam hukum kehutanan tidak tertulis adalah :
1. Hak membuka tanah di hutan;
2. Hak untuk menebang kayu;
3. Hak untuk memungut hasil hutan;
13
Robby Amu. (tesis) Peranan Penyidik Polri Dalam Rangka Penyidikan Tindak Pidana Pembalakan
Liar di Polres Limboto. Hlm.21 dan 22.
16
4. Hak untuk mengembalakan ternak dan sebagainya.
Diberbagai daerah hak-hak tersebut diatur oleh desa dan dahulu hak-
hak adat itu dikuasai oleh raja serta kini dikuasai oleh negara. Penggunaan
hak-hak adat diatur sedemikian rupa dan tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan bangsa dan negara. Apabila negara menghendaki
penguasaannya, hak-hak rakyat atas hutan tersebut harus mengalah demi
kepentingan yang besar. Penguasaan negara ini semata-mata untuk mengatur
dan merencanakan peruntukan hutan guna meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya
dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai
wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan
penggunaan hutan sesuai fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan dalam
arti luas.
Hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan
mempunyai hubungan yang sangat erat. Karena individu tersebut telah
mengusahakan tanah miliknya untuk menanam kayu yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi, sehingga pengurusan dan pemenfaatannya diatur dan
bersangkutan. Namun demikian, individu tersebut harus membayar biaya
pengujian, dan iuran hasil hutan (IHH).14
14 Ibid.
17
2.3.2. Asas-asas Hukum Kehutanan.
Homes15
mengemukakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap
sebagai norma hukum konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar
umum atau sebagai petunjuk bagi hukum yang berlaku. Dengan kata lain, asas
hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Sudikno Mortokusumo16
mengatakan bahwa yang disebut dengan asas
hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang
peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau abstrak dan untuk
menemukan asas-asas hukum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah
atau peraturan yang konkret. Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang
terdapat dalam ketentuan yang konkret itu.
Pasal 2 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan
pasal-pasal dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia. Asas-asas tersebut
meliputi :
a. Asas Manfaat dan Lestari.
Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan
penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan
kelestarian unsur lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi atau
pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
15 Homes. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008,
Hlm.8. 16
Sudikno Mortokusumo. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar
Grafika, 2008, Hlm. 8
18
b. Asas Kerakyatan dan Keadilan.
Asas kerakyatan dan keadilan dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan
yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya
sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena
itu dalam pemberian wewenang pengelolaan dan izin pemanfaatan hutan
harus dicegah terjadinya praktek-praktek yang tidak sesuai.
c. Asas Kebersamaan.
Asas kebersamaan dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin keterkaitan
dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat
dengan pemerintah.
d. Asas Keterbuakaan.
Asas keterbuakaan yang dimaksud agar setiap kegiatan
penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan
memperhatikan aspirasi masyarakat.
e. Asas Keterpaduan.
Asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan
kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan
Nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.17
17
Undang-undang No. 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan.(tesis) Robby Amu. Peran Penyidik Polri
dalam Penyidikan Tindak Pidana di Polres Limboto. Hlm. 24 dan 25.
19
2.4. Illegal Loging
Sejalan dengan UUD 45 hasil Amandemen Bab XIV, tentang kesejahteraan
nasional, pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakuran rakyat”.
Sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan
senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan
berkelanjutan.
Kekayaan alam dalam pengertian sumber daya alam, secara umum dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (Non Reneweble Resources)
seperti tambang dan energi;
b. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (Reneweble Resources) yaitu
sumber daya alam hayati seperti : hutan, ikan, hewan dan sebagainya;
c. Sumber daya alam yang tidak pernah habis (Flou Resources) seperti : sinar
matahari, angin, panas bumi, gelombang laut yang mempunyai sifat tidak tetap,
tidak terbatas dan tidak habis.18
18 Ibid.
20
Dalam hal ini hutan termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui
yang memerlukan penata usahaan hasil hutan kayu yang memerlukan pengawasan
dalam pelaksanaannya.
Salah satu bentuk kejahatan di bidang kehutanan seperti pencurian kayu atau
pembalakan kayu atau lebih dikenal dengan istilah Illegal Logging dalam Undang-
undang Kehutanan memang tidak menyebut secara khusus dengan istilah Illegal
Logging sebagai suatu tindak pidana. Istilah Illegal Logging berasal dari bahasa
inggris, yaitu illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Dalam Black’s Law Dictionary kata illegal berarti forbidden by law, unlawful
(dilarang menurut hukum atau tidak sah). Sedangkan kata logging berasal kata log
yang berarti batang kayu atau kayu gelondongan, dan kata Logging berarti
menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.19
Secara gramatikal pengertian illegal logging adalah menebang kayu untuk
kemudian membawa ke tempat gergajian yang dilakukan secara melanggar hukum,
bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Ada pula yang
mengartikan illegal logging dengan pembalakan kayu secara ilegal, yaitu meliputi
semua kegiatan di bidang kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan,
pengelolaan dan perdangan kayu yang bertentangan dengan hukum. Menurut
Forrest Watch Indonesia (FWI) illegal logging terdiri dari dua bentuk, yaitu
pertama, dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam
ijin yang dimiliki. Kedua, melibatkan pencuri kayu, dimana pohon-pohon ditebang
19
Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang
Kehutanan). Yogyakarta. Laksbang Grafika, 2012, Hlm. 29-30
21
oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.
Praktik illegal logging tidak saja dilakukan oleh perorangan atau badan hukum
tetapi juga dilakukan secara terorganisir oleh satu sindikat dengan melibatkan
aparat kepolisian dan pejabat instansi kehutanan.
Penebangan liar atau illegal logging dapat didefinisikan sebagai tindakan
menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah
sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan seperti menebang kayu di area yang
dilindungi, area konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin
yang tepat di hutan-hutan produksi. Mengangkut dan memperdagangkan kayu
illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Atau
dengan kata lain, batasan/pengertian illegal logging adalah meliputi serangkaian
pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang
berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi
kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan
tahap pemrosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara
yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran
keuangan, seperti penghindaran pajak.20
Wayan21
mengemukakan illegal logging adalah sebuah bentuk aktifitas
manusia dalam mengeksploitasi sumber daya hutan diluar sistem pengelolaan hutan
lestari yang berlaku, yang dilakukan oleh sekelompok orang/oknum tertentu secara
20
Wahyu Catur Adinugroho, Penebangan Liar (Illegal Logging), Sebuah Bencana Bagi Dunia
Kehutanan Indonesia Yang Tak Kunjung Terselesaikan, Institut Pertanian Bogor, 2009, Hlm. 3-4. 21
Wayan. Robby Amu. (tesis) Peran Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana di Polres
Limboto. Hlm.37.
22
sistematis baik dalam sebuah jaringan maupun cara-cara lain untuk kepentingan
kelompok dan atau orang/oknum tertentu secara illegal.
Riza Suarga22
mengatakan bahwa illegal logging adalah sebuah praktek
eksploitasi praktek hutan berupa kayu dari kawasan hutan negara melalui aktifitas
penebangan pohon, atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya yang
berasal dari hasil tebangan yang tidak sah. Esensi yang penting dalam praktik
illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian
baik dari aspek ekonomi, illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang
kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.
Illegal Logging adalah setiap usaha pengusahaan kayu hasil hutan yang
meliputi kegiatan menebang, memanen, mengangkut, menguasai, atau memiliki
kayu hasil hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan yang lain berlaku.
2.5. Penyidik dan Penyidikan.
Pasal 1, Bab 1, ketentuan umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, yang dimaksud dengan Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik pembantu adalah
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenamg tertentu
dapat melakukan tugas penyidikan.
22
Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, Wana Aksara, Jakarta, 2005, hal. 7.
23
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi.
Pasal 77 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan : Selain
pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan
hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
kitab undang-undang hukum acara pidana.23
Adapun pengurusan hutan sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang
kehutanan, pasal 10 menyatakan :
1. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 huruf a,
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna
dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
2. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, meliputi kegiatan
penyelenggaraan :
a. Perencanaan kehutanan;
b. Pengelolaan hutan;
c. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan;
23 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
24
d. Pengawasan.24
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 pasal 77 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, berwewenang untuk :
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang
berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana yang menyangkut hutan;
3. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan
atau wilayah hukumnya;
4. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan perundangan-undangan yang berlaku;
5. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;
6. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai kitab undang-undang
hukum acara pidana;
7. Membuat dan menandatangani berita acara;
24 Undang-undang No. 41 tahun 1999 pasal 10 tentang Kehutanan.
25
8. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan.25
2.6. Polisi KEHUTANAN.
Ujung tombak terdepan di dalam tugas pengamanan dan perlindungan hutan
dilaksanakan aparatur pemerintah di daerah berada di tangan petugas kehutanan
yang di beri kewenangan kepolisian khusus. Jabatan fungsional ini melekat di
pundak setiap polisi khusus kehutanan atau disebut “jagwana”. Peranan penting
yang di emban membantu tindakan pungusutan dan penyidikan perkara perusakan
hutan yang terjadi di dalam wilayah tugasnya masing-masing.26
Tugas ini dilakukan
melalui pengawasan dan pengamanan hutan dari gangguan yang mengakibatkan
kerusakan hutan negara.
Polisi kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan
pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan atau
melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan
wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konversi sumber daya alam
hayati dan ekosistimnya. Tugas pokok polisi kehutanan adalah menyiapkan,
melaksanakan, mengembangkan, atau memantau, dan mengevaluasi serta
melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta peredaran hasil
hutan.
25 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 77 tentang Kehutanan. 26 Alam Setia Zain S.H, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2000, Hlm. 56
26
Polisi kehutanan atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan
penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka. Pasal 51 ayat (2)
UU No. 41 Tahun 1999, Adapun wewenang dari polisi kehutanan yaitu :
1. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya.
2. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan
hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya.
3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
4. Mencari keterangan dan barang bukti yang menyangkut tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan
kepada yang berwewenang.27
6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tetang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
Sesuai Pasal 4 Permenhut No : P.5/Menhut-II/2010, standar jenis peralatan
dan sarana polhut berupa :
a. Jenis peralatan terdiri atas :
1. Senjata api dan amunisi.
2. Alat komunikasi.
3. Alat navigasi.
27 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 51 tentang Kehutanan.
27
4. Alat dokumentasi dan intelejen.
5. Alat pemadam kebakaran. Dan
6. Alat pendakian, selam dan penyelamatan.
b. Jenis sarana terdiri atas :
1. Sarana mobilisasi.
2. Pos dan pondok jaga.
3. Tempat penyimpanan barang bukti.
4. Tempat penyimpanan senjata dan amunisi.
5. Tempat/ruang tahanan.
6. Asrama polhut.