BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi...
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pengadilan Negeri Gorontalo terletak di jalan Achmad Nadjamuddin Kec.Kta Tengah,
Kota Gorontalo. Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Gorontalo meliputi Kota Gorontalo dan
Kabupaten Bone Bolango. Saat ini Pengadilan Negeri Gorontalo mempunyai 2 (dua) tempat
sidang (zittingplast) yang terletak di Kecamatan Bonepantai dan Kecamatan Suwawa Kabupaten
Bone Bolango.
Berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD 1945, pengadilan di Indonesia adalah sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan. Sejalan dengan tugas tersebut diatas, Pengadilan Negeri
Gorontalo yang merupakan Pengadilan Negeri Tingkat Pertama dalam lingkungan badan
peradilan umum melaksanakan tugas yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
pidana dan perdata.
Dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut diatas, secara umum di Pengadilan
Negeri terdapat bagian kepanitraan dan kesekretariatan. Bagian kepanitraan melaksanakan
administrasi perkara sedangkan kesekretariatan melaksanakan tugas-tugas administrasi lainnya.
Bagian kepanitraan Pengadilan Negeri Gorontalo terbagi atas 4 subbagian yaitu :
a. Kepanitraan Perdata
b. Kepanitraan Pidana
c. Kepanitraan Hukum
d. Kepanitraan Pengadilan Hubungan Industrian (PHI)
Bagian Kesekretariatan Pengadilan Negeri Gorontalo terbagi atas 3 sub bagian yaitu :
a. Urusan Umum
b. Urusan Keuangan
c. Urusan Kepegawaian
Pada tanggal 18 juli 2003 status Pengadilan Negeri Gorontalo telah ditingkatkan dari
Pengadilan Negeri kelas II menjadi Pengadilan Negeri kelas IB, sesuai Surat Keputusan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M. 01. AT.05 Tahun 2003 tanggal 18 juli 2003.
Dalam upaya meningkatkan pelayanan hukum terhadap masyarakat maka Pengadilan
Negeri Gorontalo mempunyai visi dan misi sebagai berikut:
1. Visi yaitu menciptakan, membangun paradigma baru untuk mewujudkan supremasi
hukum melalui kekuasaan kehakiman mandiri.
2. Misi yaitu bekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, juga
sesuai dengan digariskan dalam surat edaran peraturan Mahkamah Agung, agar
tercapai rasa keadilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.2 Hasil Penelitian
Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), memberikan pengertian bahwa
seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dari hakim pengadilan, ia tetap masih memiliki hak-hak
individunya sebagai warga negara. Dengan hak-hak individu yang dimiliki itu, dapat diajukan
oleh dirinya kepada yang berwenang untuk segera untuk mendapat pemeriksaan oleh penyidik
(tidak dibiarkan sampai berlarut-larut dengan alsasan banyak tugas). Selain itu, setiap individu
memiliki hak untuk mempersiapkan penasehat hukum. Hak-hak individu ini sebelum berlakunya
KUHAP sering tidak diperhatikan oleh petugas yang berwenang dalam menyelenggarakan
proses peradilan. Hal itu karena RIB yang semula dari HIR, sebagai hukum acara buatan
penjajah, tidak pernah memperhatikan hak-hak individu tersangka/terdakwa.
Membicarakan tentang hak-hak tersangka/terdakwa itu dalam kaitannya dengan
penyelesaian masalah yang dihadapi, hak itu tidak perlu dibatasi dalam pemberian bantuan
hukum yang dapat dilakukan secara bebas. Artinya, hubungan antara tersangka/terdakwa dan
pemberi bantuan hukum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan pembelaan, tentu memerlukan
penjelasan melalui komunikasi, selama komunikasi berlangsung, tidak perlu diawasi dan atau
didengar oleh petugas.
Didalam pasal 56 KUHAP menyebutkan bahwa seorang tersangka atau terdakwa yang
diancam pidana mati, atau ancaman hukumannya diatas 15 (lima belas) tahun, maka para pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa tersebut. Selain itu juga, seorang yang tidak
mampu yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak memiliki penasehat hukum, maka
kewajiban penegak hukum adalah untuk menyediakan penasehat hukum bagi dirinya. Dan
keseluruhannya itu dibebankan oleh Negara, atau dengan kata lain tersangka/terdakwa
didampingi penasehat hukum secara cuma-cuma.
Terkait dengan penerapan pasal 56 KUHAP terhadap perkara tindak pidana yang
disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo dimana penulis telah melakukan penelitian di lokasi
penelitian, yang dimana penulis mendapatkan data sekitar pada tahun 2009 sampai dengan 2010
terdapat 7 (tujuh) kasus atau tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo
yang hukumannya diancam lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terdakwanya tidak di dampingi
oleh penasehat hukum.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang perkara tindak pidana yang disidangkan di
Pengadilan Negeri Gorontalo sekitar tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 yang diancam
dengan hukuman lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa tidak didampingi oleh
penasehat hukum, dapat dilihat dalam tabel berikut:
No Tahun
Perkara
Jenis
Tindak Pidana
Ancaman
Hukuman
1
2009
Pasal 285 KUHP
Pemerkosaan
12 (dua belas) Tahun
2
2009
Pasal 338 KUHP
Pembunuhan
15 (lima belas) Tahun
3
2009
Pasal 338 KUHP
Pembunuhan
15 (lima belas) Tahun
4
2009
Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002
Pencabulan
15 (lima belas) Tahun
5
2010
Pasal 338 KUHP
Pembunuhan
15 (lima belas) Tahun
6
2010
Pasal 363 ayat (1) KUHP
Pencurian dengan Pemberatan
7 (tujuh) Tahun
7
2010
Pasal 351 ayat (3) KUHP
Penganiyaan yang
7 (tujuh) Tahun
mengakibatkan kematian
Sumber Data : Pengadilan Negeri Gorontalo
Merujuk uraian tabel diatas, menunjukan pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010
terdapat 7 (tujuh) kasus atau tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo
yang dimana ancaman hukumannya diatas dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa
pada waktu persidangan tidak didampingi oleh penesehat hukum.
Berikut ini adalah beberapa kutipan hasil wawancara langsung antara penulis dengan
beberapa responden terkait dengan permasalahan yang diteliti:
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Arif Hakim Nugraha selaku Hakim Di Pengadilan
Negeri Gorontalo, dimana menyebutkan bahwa:
Setiap seseorang yang melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan dan diperiksa oleh
aparat penegak hukum (dari tingkat kepolisian sampai di pengadilan) mereka masih
memiliki hak-hak mereka, terutama hak untuk mendapatkan bantuan hukum melalui
penasehat hukum. Penasehat hukum tersebut bisa disediakannya sendiri, ataupun bisa saja
disediakan oleh Negara apabila masuk dalam kategori pasal 56 KUHAP. Peraturan tentang
bantuan hukum terutama bagi orang yang tidak mampu, jangan sampai yang menikmati
hanya penjahat golongan mampu belaka. Sehubungan dengan ini, perlu diperhatikan
ketentuan pasal 114 yang menentukan bahwa sebelum dimulaianya pemeriksaan, penyidik
wajib memberitahukan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan
hukum dan dalam hal lain yang diatur dalam pasal 56, wajib didampingi oleh penasehat
hukum.
Lebih lanjut menurut responden Bapak Arif Hakim Nugraha menyatakan:
Bahwa ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP ini mesti diperhatikan dalam tiap kali
pemeriksaan pada tingkat manapun. Karena ini merupakan hak-hak dari seorang
tersangka/terdakwa, dan juga menjadi sebuah kewajiban bagi aparat penegak hukum dalam
melakukan pemeriksaan. Hal ini juga, sering disalah artikan oleh aparat penegak hukum
yang melakukan pemeriksaan.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak David F.A Porajow selaku Hakim di Pengadilan
Negeri Gorontalo menyatakan bahwa:
Tidak sedikit para aparat penegak hukum sering melakukan pelanggaran dalam hal
menerapkan Pasal 56 KUHAP. Mereka sering menyodorkan surat pernyataan kepada
tersangka/terdakwa untuk tidak atau menolak untuk didampingi penasehat hukum tanpa
memberitahukan kepada tersangka/terdakwa tentang haknya tersebut untuk mendapat
bantuan hukum. Sungguh sangat disayangkan, padahal pendampingan penasehat hukum
tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada tersangka/terdakwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 56 KUHAP tersebut.
Lebih lanjut Bapak David F.A Porajow menyatakan:
Di dalam Pasal 56 ayat KUHAP memang disebutkan ada beberapa kriteria seorang yang
bisa mendapatkan bantuan hukum atau penasehat hukum. Diantaranya seorang yang
diancam dengan hukuman mati, yang diancam dengan hukuman 15 tahun penjara atau
lebih, dan juga bagi orang yang tidak mampu yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau
lebih. Ini disiapkan oleh Negara, dengan kata lain setiap pejabat atau aparat penegak
hukum yang melakukan pemeriksaan wajib menunjuk penasehat hukum bagi
tersangka/terdakwa ini. Dan syarat-syarat mendapatkan penasehat hukum secara cuma-
cuma ini seorang tersangka/terdakwa harus dikategorikan orang yang tidak mampu dan
ancamannya juga harus diatas 5 tahun. Orang yang tidak mampu ini, beliau
mengkategorikan dari segi ekonomi dan juga dari segi pemahaman/pengetahuan tentang
hukum. Tapi tidak menutup kemungkinan orang yang mampu juga berhak untuk
mendapatkan penasehat hukum ini.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Fatah Agung selaku Pengacara menyatakan bahwa:
Sebagai pengacara yang dibebankan kode etik advokat, maka merupakan kewajiban dari
seorang pengacara (advokat) untuk memberikan bantuan hukum kepada seorang yang
tersandung suatu perkara pidana. Terlebih pada seorang yang tidak mampu. Bagi seorang
pengacara yang diberikan kewajiban untuk menjadi seorang penasehat hukum kepada
tersangka/terdakwa, dan tidak melaksanakannya maka seorang pengacara tersebut sudah
melanggar kode etik, dan tidak bekerja secara professional. Namun sangat disayangkan
apabila melihat seseorang yang diadili tanpa ada pendampingan penasehat hukum. Bisa
saja orang tersebut akan diberlakukan yang tidak sesuai oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Syahril Hamid selaku pengacara menyatakan
bahwa:
Pada prakteknya, memang seorang pengacara wajib memberikan bantuannya kepada
seseorang yang terjearat kasus pidana. Namun kembali pada jumlah pengacara yang berada
di kota Gorontalo, itu masih sangat kurang dan juga lembaga khusus untuk bantuan hukum
pun masih minim. Disini kami sebagai seorang pengacara dalam memberikan bantuan
hukum pun sangat sulit, sehingga dapat dilihat ada beberapa perkara yang semestinya ada
pendampingan penasehat hukum, malah harus mengabaikan ketentuan yang ada. Memang
dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa dalam proses pemeriksaan baik di
tingkat kepolisian sampai ditingkat pengadilan, seorang yang menjadi tersangka atau
terdakwa berhak mendapatkan penasehat hukum untuk mendampinginya pada proses
pemeriksaan dari awal. Dan penasehat hukum itu wajib ditunjuk oleh pejabat yang
bersangkutan pada setiap pemeriksaan. Namun kenyataannya masih saja penegak hukum
tidak mengindahkan aturan ini. Hal ini disebabkan karena kekurangannya pengacara yang
ada di Gorontalo untuk menjadi penasehat hukum dalam proses pemeriksaan tersebut.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan
Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Di Pengadilan Negeri Gorontalo
Negara sebagai penyelenggara pemerintahan berarti melayani warga negara untuk
mencapai keadilan, ketertiban dan kemaslahatan hidup. Jikalau warga negara mengalami
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan yang berkepanjangan dari aparat negara,
dan/atau sesama warga negara, maka kita harus bertindak memperbaikinya, melalui saluran
hukum dan politik. Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak milik manusia sejak lahir, dan
bukan diberikan oleh negara atau siapapun juga, sehingga hidup manusia terhindar dari
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan melalui penegakan hak-hak asasi
tersebut1. Hak asasi manusia tersebut tidak akan datang dari langit begitu saja, tetapi harus kita
tegakkan terus menerus, hingga langit itu sendiri bila perlu runtuh, untuk tegaknya hak asasi
manusia. Misalnya saja, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari siapa saja yang paham
hukum demi tercapainya keadilan, ketertiban, dan kemaslahatan hidup.
Negara telah memberikan jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum kepada setiap
warga negara yang berhadapan dengan hukum, yang secara tegas telah dituangkan dalam
konstitusi, undang-undang, serta peraturan pelaksananya. Semuanya mengatur mengenai syarat-
syarat mendapatkan bantuan hukum, serta aturan bagaimana melaksanakannya dan akibatnya
apabila tidak dilaksanakan. Didalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah sangat jelas disebutkan
1 Agustinus Edy Kristianto dan A. Patra M. Zen (ed). 2009. Pedoman Bantuan Hukum Di Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta. hlm. 33.
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. Di
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkkan
pula bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Dan setiap
advokat yang membantu penyelesaian perkara ini wajib menjunjung tinggi pancasila, hukum,
dan keadilan. Dengan demikian setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, dalam
setiap hal yang berhubungan dengan apa saja, tidak ada larangan bagi siapa saja untuk meminta
bantuan hukum kepada advokat. Orang buta hukum atau orang miskinpun berhak memilih
advokat yang cocok dan bersedia memberikan jasa bantuan hukum baginya.
Bantuan hukum merupakan upaya untuk membantu orang yang tidak mampu dalam bidang
hukum. Dalam pengertian sempit bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara
cuma-cuma kepada klien tidak mampu2. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang diakui secara
universal dan melekat pada diri manusia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (HAM) merumuskan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Salah satu prinsip HAM adalah perlakuan sama di depan hukum (equality before the law)3.
Namun prinsip ini sering kali dilanggar karena berbagai alasan seperti status sosial, dan ekonomi
seseorang. Oleh karena itu prinsip persamaan di muka hukum harus diimbangi dengan prinsip
persamaan perlakukan (equal treatment). Prinsip persamaan dimuka hukum merupakan salah
satu prinsip HAM unuversal yang tercantum dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
2 Ibid.
3 Ibid.
(DUHAM) dan Konvenan Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political
Rights/ICCPR).
Pasal 16 dan 26 ICCPR menjamin persamaan kedudukan di muka hukum. Semua orang
berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan harus dihindarkan dari adanya diskriminasi
berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, nasional atau
asal-muasal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status dan sebagainya. Hak atas bantuan
hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak tersebut bersifat absolut dan tidak boleh
dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan darurat sekalipun4. Syarat untuk
mendapatkan bantuan hukum menurut Pasal 14 Ayat (3) ICCPR yaitu untuk kepentingan
keadilan dan tidak mampu membayar jasa pengacara atau advokat.
Hak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak adalah norma yang dirancang untuk
melindungi individu dari pembatasan yang tidak sah dan sewenang-wenang, atau perampasan
hak dasar dan kebeasan lainnya. Hak atas bantuan hukum dibedakan menjadi empat bagian,
yaitu5:
1. Hak untuk membela diri secara pribadi atau untuk dibantu oleh penasehat hukum
menurut pilihannya sendiri;
2. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma dalam hal orang yang tidak
mampu membayar jasa advokat demi kepentingan hukum dan keadilan;
3. Hak untuk berkomunikasi dengan advokat;
4. Hak untuk diberitahukan mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum.
Prinsip Miranda Rule adalah aturan-aturan yang mengatur tentang hak-hak konstitusional
dari tersangka atau terdakwa yang meliputi hak tidak menjawab atas pertanyaan pejabat
4 Ibid. hlm. 33-34.
5 Ibid. hlm. 35.
bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan
penasehat hukum sejak dari proses penyidikan hingga dalam semua tingkat proses peradilan.
Miranda Rule merupakan aturan yang bersifat universal dihampir semua negara yang
berdasarkan atas hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya
sangat memghormati asas ini6. Komitmennya terhadap penghormatan atas prinsip ini telah
dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ini ke dalam Hukum Acara Pidana yaitu dalam
pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukukm Acara Pidana
(KUHAP).
Hak-hak asasi seseorang yang berkaitan dengan prinsip-prinsip miranda rule adalah hak
yang ada dan melekat pada diri seseorang sejak lahir. Hal tersebut merupakan bagian dari hak
untuk memperoleh keadilan. Miranda rule hanya berupa penegasan saja terhadap hak asasi
manusia untuk memperoleh keadilan yang telah ada sebelumnya. Keadilan disini termasuk
keadilan atas kepastian hukum dalam tata cara mengadilinya.
Pemahaman dari pasal 56 KUHAP yang di dalamnya menegaskan tentang hak dari
tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasehat hukum apabila tindak pidana yang
disangkakan atau didakwakan diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 (lima belas)
tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, dimana pejabat yang bersangkutan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Ketentuan pasal 56 KUHAP
dipandang dari pendekatan secara normatif maka mengandung beberapa aspek permasalahan
hukum, antara lain:
a. Mengandung aspek nilai hak asasi manusia, dimana bagi setiap tersangka atau
terdakwa berhak didampingi penasehat hukum pada semua tiingkat pemeriksaan
6 Sofyan Lubis. Op. Cit. hlm. 34.
dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dengan “Deklarasi Hak Asasi Manusia”
yang menegaskan hadirnya penasehat hukum untuk mendampingi tersangka atau
terdakwa merupakan sesuatu keharusan pada diri manusia dan konsekwensi logisnya
bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai-nilai
Hak Asasi Manusia (HAM).
b. Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam proses peradilan pada semua tingkat
pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan apabila tindak pidana
yang disangkakan atau didakwakan diancam pidana mati atau 15 (lima belas) tahun,
atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri. Berdasarkan ketentuan pasal 56
KUHAP ini tentu kehadiran dan keberadaan penasehat hukum mendampingi tersangka
bersifat imperatif atau memaksa, sehingga kalau mengabaikannya maka
mengakibatkan hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi
hukum (null and void).
c. Pasal 56 Ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat
menjadi salah satu patokan prinsip miranda rule di Indonesia. Apabila
pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara tersangka/terdakwa
dipersidangan tidak didampingi penasehat hukum maka, sesuai dengan prinsip
miranda rule, hasil penyidikan tidak sah atau batal demi hukum.
Tujuan pokok yang ingin dicapai atas penegakan Miranda Rule dalam proses peradilan
seperti yang dimaksud dalam pasal 56 KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan
manusiawi terhadap diri tersangka/terdakwa, sebab dengan hadirnya penasehat hukum
mendampingi tersangka sejak dari proses penyidikan di tingkat kepolisian dimaksudkan dapat
berperan melakukan kontrol, sehingga pemeriksaan terhadap diri tersangka terhindar dari
penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman.
Jika dipandang dari sudut pendekatan berdasarkan kepentingan umum (public interest)
tentu akan berbeda dan bahkan selamanya cenderung berbeda karena disini hak-hak tersangka
akan cenderung dikesampingkan atas nama “demi kepentingan umum”, sehingga pendekatan ini
cenderung berbenturan dengan prinsip-prinsip Miranda Rule dan Hak Asasi Manusia. Untuk
mengatasi hal itu, peran dan kemampuan hakim saat memutuskan perkara sangat penting dalam
menentukan melihat perlunya keseimbangan dalam penegakan hukum yang menyangkut antara
kepentingan hak asasi manusia yang bersifat individual dengan kepentingan umum yang bersifat
umum serta berorientasi pada perlunya ada putusan yang dapat memberikan kontribusi terhadap
rasa aman dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum
pidana itu sendiri, dan kita semua tau bahwa hukum pidana merupakan hukum publik yang
bersifat imperatif yang mengatur perilaku individu dan masyarakat tentang perbuatan mana yang
tidak boleh dilakukan dengan disertai pemberian sanksi yang tegas bagi siapa yang
melanggarnya.
Terhadap “pejabat yang bersangkutan” sebagaimana yang tertuang dalam pasal 56
KUHAP yaitu pejabat dalam lingkup pengertian dari The Cryminal Justice System yang dimulai
dari proses penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang
pengadilan terhadap diri tersangka/terdakwa, jadi disini yang dimaksud pejabat yang
bersangkutan adalah:
1. Pejabat selaku penyidik di Kepolisian;
2. Pejabat selaku jaksa/penuntut umum di Kejaksaan, dan
3. Pejabat pengadilan dimana perkara terdakwa diperiksa dan diputuskan.
Pengertian bahwa penyidik wajib menunjuk penasehat hukum ketika tersangka ada dalam
proses penyidikan dan demi hukum batas kewenangan yang dimiliki surat penunjukan penasehat
hukum tersebut dengan sendirinya berakhir jika penyidikan tidak diperlukan lagi terhadap diri
tersangka, kemudian setelah perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan (P-21), jaksa/penuntut umum
dalam hal ini Kepala Kejaksaan Negeri wajib pula menunjuk penasehat hukum bagi
tersangka/terdakwa, hal ini dimaksudkan agar siapa tahu oleh pihak jaksa/penuntut umum masih
diperlukan pemeriksaan tambahan terhadap diri tersangka yang perlu didampingi penasehat
hukum, dan selanjutnya demi hukum dan batas kewenangan yang dimiliki surat penunjukan
penasehat hukum tersebut dengan sendirinya berakhir pula jika berkas perkara telah dilimpahkan
ke pengadilan. Kemudian pejabat pengadilan bersangkutan dalam hal ini Ketua Pengadilan wajib
pula menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa, begitu seterusnya jika terdakwa masih
melakukan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri berupa banding dan kasasi.
Kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasehat hukum pada suatu
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut tidak berlaku atau gugur dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Sebelum pemeriksaan dimulai tersangka/terdakwa telah mempunyai penasehat hukum
sendiri yang telah ia tunjuk sendiri atau atas tunjukan dari kelurga tersangka/terdakwa
tersebut;
2. Tersangka/terdakwa tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima)
tahun.
Berdasarkan uraian diatas terkait dengan penerapan prinsip Miranda Rule atau
sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya
pada pasal 56 KUHAP, merupakan kewajiban bagi setiap aparat penegak hukum untuk
menunjuk penasehat hukum kepada tersangka/terdakwa. Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh penulis di lokasi penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Gorontalo sekitar tahun 2009 sampai
dengan tahun 2010 terdapat 7 (tujuh) kasus atau perkara pidana yang disidangkan dengan
ancaman hukuman lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa tidak didampingi oleh
penasehat hukum. Tentunya hal ini menurut penulis menunjukan adanya pelanggaran terhadap
prinsip Miranda Rule bahkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), sudah sangat jelas menyebutkan mengenai hak-hak dari
tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hokum, khususnya dalam pasal 56 KUHAP
yang menyebutkan bahwa seorang yang menjadi tersangka/terdakwa yang dikenakan ancaman
hukuman mati atau lima belas tahun atau lebih dan juga bagi yang tidak mampu yang diancam
hukuman lima tahun atau lebih wajib bagi pejabat yang berwenang dalam malakukan
pemeriksaan kepadanya untuk menunjuk penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa tersebut dan
biaya ini dibebankan kepada negara atau dengan kata lain bantuan hukum ini diberikan secara
cuma-cuma.
Menurut penulis, penerapan Pasal 56 KUHAP terhadap perkara yang disidangkan di
Pengadilan Negeri Gorontalo berdasarkan hasil penelitian penulis ternyata tidak sesuai dengan
peruntukkannya, bahkan cenderung diabaikan oleh penyidik maupun oleh pejabat pada semua
tingkat, baik di tingkat kepolisian, kejaksaan dan sampai pada proses di sidang pengadilan.
Pelanggaran demi pelanggaran sering terjadi dalam praktik peradilan. Hal ini dilakukan dengan
berbagai alasan atau dalih seperti guna untuk memperlancar proses sehingga terhadap
tersangka/terdakwa dianjurkan untuk tidak menggunakan jasa pengacara, tidak adanya anggaran
institusi yang diperuntukan untuk menyediakan jasa pengacara atau bantuan hukum kepada
tersangka/terdakwa, bahkan banyak oknum atau pejabat tertentu yang menganjurkan agar
tersangka tidak menggunakan penasehat hukum, dan tersangka dikondisikan sedemikian rupa
dengan membuatkannya surat pernyataan tidak bersedia didampingi oleh penasehat hukum, dan
tidak sedikit dari kalangan aparat yang beranggapan bahwa dengan adanya pernyataan dari diri
tersangka/terdakwa yang tidak bersedia didampingi penasehat hukum merupakan hak asasi
tersangka/terdakwa sehingga aparat penegak hukum tidak merasa perlu lagi menunaikan
kewajibannya untuk menunjuk penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa sebagaimana yang
diwajibkan oleh ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP. Padahal secara jelas ketentuan sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 56 KUHAP dikatakan bahwa terhadap tersangka/terdakwa wajib
didampingi oleh penasehat hukum, jadi secara yuridis dalam penafsiran Pasal 56 KUHAP
dimana kewajiban dari seorang aparat penegak hukum terhadap diri tersangka/terdakwa tidak
hanya sebatas dengan memberitahukan kepada tersangka/terdakwa tentang hak untuk
mendapatkan bantuan hukum, akan tetapi dimana aparat penegak hukum wajib untuk menunjuk
penasehat hukum untuk mendampingi tersangka/terdakwa dalam proses pemeriksaan dari tingkat
penyidikan sampai pada proses sidang di pengadilan. Dan terkait dengan adanya penolakan dari
seorang tersangka/terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum, maka penolakan ini harus
dimuat dalam berita acara yang kemudian ditanda-tangani oleh tersangka/terdakwa dihadapan
penasehat hukum yang telah ditunjuk oleh aparat hukum yang bersangkutan.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), pada prinsipnya telah menimbulkan perubahan yang cukup
fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara
penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Apabila kita telaah dari isi ketentuan sebagaimana
yang tertuang dalam KUHAP maka sistem peradilan pidana atau criminal justice system di
Indonesia terdiri dari dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan, yang dimana keempat lembaga penegak hukum ini memiliki hubungan yang
erat satu sama lainnya, bahkan dapat dikatakan saling menentukan satu sama lainnya. Sehingga
pada dasarnya pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan KUHAP adalah merupakan suatu
usaha yang sistematis untuk mewujudkan suatu penegakan hukum.
KUHAP dapat dikatakan sebagai landasan bagi terselenggarakannya proses peradilan
pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan
perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. KUHAP lebih
menekankan dalam setiap proses peradilan pidana memperlihatkan ciri yang humanis. Dalam
KUHAP semua tersangka dan terdakwa mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga tujuan
utama dibentuknya KUHAP adalah tidak lain untuk menegakkan hukum dan keadilan yang tidak
memihak.
Salah satu hal yang paling membuat bangga bangsa dan negara ini dari terbentuknya
KUHAP adalah adanya bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Dalam KUHAP sendiri
disyaratkan bahwa bantuan hukum merupakan asas hukum acara pidana yang penting, karena
setiap orang yang tersangkut perkara pidana diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum.
Bantuan hukum dalam proses peradilan pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam
tahap pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan mementukan keperluan penyiapan
pembelaan, tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak
untuk menunjuk dan menghubungi serta minta bantuan penasehat hukum, artinya hal ini menurut
penulis mengandung arti bahwa dalam negara hukum itu terletak ciri-ciri yang mendasar yaitu,
pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia, peradilan yang bebas, dan tidak memihak
serta tidak dipengaruhi oleh kekuasaan manapun dan legalitas dalam arti hukum dalam semua
bentuknya.
Menurut penulis bantuan hukum perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan seperti
kalangan akademik atau para pemerhati hukum, kalangan praktisi hukum, sebab dalam ketentuan
Pasal 56 KUHAP mengandung kelemahan yang diantaranya adalah: tentang kemampuan
sesorang untuk memaksakan, apakah dirinya mampu menyediakan penasehat hukum, serta tidak
adanya konsekuensi atapun sanksi apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut dilanggar,
sehingga hal inilah yang merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya suatu pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut atau yang dikenal dengan istilah prinsip miranda
rule.
4.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak
Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Di
Pengadilan Negeri Gorontalo
Negara Indonesia sebagai negara yang mengedepankan hukum positif sebagai rule of the
game dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus menjadikan hukum sebagai panglima
dinegara ini, maka hal ini mengandung konsekwensi yang laus di tengah-tengah masyarakat
yaitu segala sesuatu yang menyangkut perilaku dan keperluan hajat hidup orang banyak harus
diatur oleh hukum. Hukum harus ditegakkan bagi semua warga negara Indonesia tanpa pandang
bulu, sesuai dengan salah satu asas hukum di negara ini yaitu asas equality before the law7.
Secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah hukum. Penegakan hukum
merupakan syarat mutlak bagi upaya-upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera.
Apabila hukum ditegakan, maka kepastian, rasa aman, tentram ataupun kehidupan yang rukun
akan dapat terwujud.
7 Ibid. hlm. 8.
Penegakan hukum merupakan akuntalisasi dari aturan hukum yang masih ada berada
dalam tahap cita-cita dan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan
cita-cita atau tujuan hukum itu sendiri. Tujuan hukum pada hakikatnya adalah untuk menyatakan
sesuatu aturan untuk menjamin kepastian hukum itu. Di samping itu, selain untuk menjamin
kepastian hukum juga untuk menjaga rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan adilnya
hukum itu. Tidak kalah pentingnya bahwa disamping untuk menjaga kepastian dan keadilan,
maka hukum juga berkepentingan untuk memperoleh kemanfaatan hukum itu demi menata
kehidupan sosial masyarakat.
Penegakan hukum pada prinsipnya ditentukan oleh aspek moral dan etika dari aparat
penegak hukum itu sendiri. Aspek moral dan etika dalam penegakan hukum pidana merupakan
sesuatu hal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana.
Kondisi distorsi dan penyimpangan dalam penegakan hukum pidana, dalam praktik sehari-hari
sering terjadi proses penanganan perkara pidana sering tidak sesuai dengan idealisme keadilan,
padahal hukum pidana harus selalu memposisikan kepentingan hukum dan keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo pada hakekatnya penegakan hukum bisa berarti pelaksanaan
secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sesuai dengan apa yang telah dibentuk
dalam tahap sebelumnya yaitu tahap pembaharuan hukum, sedangkan tujuan penegakan hukum
untuk menegakan prinsip equality before the law dan untuk pencapaian keadilan bagi semua
orang (justice for all). Penegakan hukum tentu akan mendinamisasikan sistem hukum8. Dalam
hal ini penegakan hukum sebagai komponen struktur yang mewujudkan tatanan sistem hukum.
Betapun ideal suatu peraturan perundang-undangan, apabila tidak didukung dan ditegakkan oleh
aparatur-aparatur hukum yang jujur, bersih, berani dan profesional, maka sistem hukum niscaya
tidak akan berfungsi dengan baik.
8 Satjipto Rahardjo. Op. cit. hlm. 31.
Berdasarkan dengan pendapat di atas, maka dalam penegakan hukum pidana dimana
menurut penulis tidak hanya sebatas membawa pelaku kejahatan ke pengadilan untuk diadili dan
ketika terbukti bersalah maka dijatuhkan sanksi atau pidana, akan tetapi penegakan hukum
pidana adalah juga meliputi adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka atau
terdakwa. Oleh karena dalam suatu negara hukum memiliki ciri yang paing penting yaitu adanya
jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Kegagalan dalam penegakan hukum (Miscariage of Justice) khususnya dalam hal tidak
dipenuhinya hak-hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses persidangan di
Pengadilan Negeri Gorontalo, maka menurut penulis hal ini dapat dikaitkan dengan teori yang
dipelopori oleh seorang Lawrence M. Friedman dengan teori nya tentang The Legal System yang
pada intinya dimana teori ini mengarah pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum. Adapun faktor-faktor penegakan hukum yang dapat dikaitkan dengan kegagalan dalam
penegakan hukum khususnya terkait dengan pemberian bantuan hukum terhadap terdakwa dalam
proses persidangan di Pengadilan Negeri Gorontalo adalah, faktor struktur hukum, faktor
subtansi hukum dan faktor kultur atau budaya hukum.
Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, khususnya dalam
penerapan pasal 56 KUHAP antara lain adalah:
1. Faktor Struktur Hukum (Legal Structure)
Struktur hukum meliputi institusi penegak hukum beserta para aparatnya yakni yang terdiri
dari Institusi Kepolisian yang didalamnya adalah terdiri dari aparatnya yaitu polisi, Institusi
Kejaksaan yang didalamnya terdiri dari aparatnya yaitu jaksa dan Institusi Pengadilan yang
didalamnya terdiri dari aparatnya yaitu hakim. Dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice
System) aparat penegak hukum terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan.
Idealnya masing-masing aparat dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara sinergi
sehingga diharapkan dapat melahirkan sistem yang terpadu (intgrated criminal justice system).
Struktur hukum dalam hal ini adalah aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum
merupakan faktor penentu, karena sebagai penggerak atau pelaksana dari ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam arti konkrit sangat diharapkan mental aparat penegak hukum sesuai
dengan jiwa yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Pendapat mengatakan bahwa
walaupun peraturan perundang-undangan kurang baik namun aparat penagak hukumnya punya
mental yang baik, maka hasinya akan baik, dan sebaliknya jika ketentuan peraturan perundang-
undangan sudah baik namun aparat hukumnya kurang baik maka hasilnya akan lebih buruk. Jika
faktor struktur hukum ini dikaitkan dengan permasalahan tidak dipenuhinya apa yang menjadi
hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan
Negeri Gorontalo, yaitu hal ini dikarenakan oleh kurang profesionalnya aparat penegak hukum
didalam pelaksanaan tugas sebagai aparat penegak hukum. Ketidak profesionalnya aparat
penegak hukum dalam hal ini adalah dimana aparat penegak hukum tidak memperhatikan
kepentingan atau hak-hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum.
2. Faktor Subtansi Hukum (Legal Subtance)
Subtansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku manusia yang ada dalam sistem.
Subtansi juga berarti produk yang berupa keputusan atau aturan (peraturan perundang-undangan)
yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem tersebut. Peraturan perundang-
undangan adalah bagian dari hukum yang dibuat oleh institusi dengan tujuan dan alasan tertentu.
Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum
(Legal Polci). Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan peran poltik hukum sangat
penting. Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan peraturan perundang-
undangan, dan kedua, untuk menentukan apa yang akan diterjemahkan melalui rumusan pasal-
pasal. Dengan demikian, keberadaan peraturan perundang-undangan melalui perumusan pasal-
pasal merupakan jembatan antara politik hukum yang ditetapkan dengan implementasi peraturan
perundang-undangan yang dibuat.
Subtansi hukum adalah seperangkat norma-norma hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Selama ini pengaturan tentang hak terdakwa untuk mendapatkan
bantuan hukum dalam proses peradilan pidana telah diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan
Pasal 56 KUHAP, akan tetapi berkaitan dengan mekanisme yang mengatur tentang
sanksi yang diberikan kepada para aparat penegak hukum yang melanggar ketentuan
Pasal 56 KUHAP ini (miranda rule) yang berkaitan dengan hak terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum, tidak ada. Sehingga menurut penulis belum adanya
mekanisme pengaturan tentang sanksi terhadap para aparat penegak hukum yang
melakukan pelanggran terhadap hak terdakwa sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 56 KUHAP, maka hal inilah yang mengakibatkan masih sering
terjadinya pelanggaran terhadap prinsip miranda rule (Pasal 56 KUHAP) dalam proses
peradilan pidana.
Perlu adanya pengaturan atau mekanisme tentang sanksi yang diberikan kepada
para aparat penegak hukum yang melakukan suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
56 KUHAP, dianggap sangat perlu oleh sebab ketentuan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 56 KUHAP ini atau yang dikenal dengan istilah prinsip miranda rule adalah
bersifat imperatif, yang artinya bahwa adanya keharusan atau kewajiban bagi aparat
penegak hukum untuk melaksanakan perintah yang telah diatur dalam ketentuan Pasal
56 KUHAP tersebut.
Konsekuensi atas adanya pelanggaran terhadap prinsip miranda rule (Pasal 56
KUHAP) di negara Indonesia masih tergolong “dimaafkan”. Padahal dinegara maju
seperti Amerika Serikat (AS), terhadap adanya pelanggaran prinsip miranda rule akan
mengakibatkan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak
dapat diterima dan pengakuan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dianggap tidak
sah. Di indonesia ada 3 (tiga) pendapat tentang konsekuensi adanya pelanggaran prinsip
miranda rule ini, yaitu9:
a. Pendapat pertama; pelanggaran miranda rule mengakibatkan tindakan
penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat
diterima.
b. Pendapat kedua; pelanggaran miranda rule bisa mengakibatkan tututan tidak dapat
diterima,bisa juga tidak, tergantung dari jenis miranda rule yang dilanggar.
c. Pendapat ketiga; pelanggaran miranda rule tidak mempengaruhi proses peradilan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis lebih sepakat pada pendapat pertama bahwa
pelanggaran terhadap prinsip miranda rule mengakibatkan tindakan penuntutan yang
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan
oleh prinsip miranda rule adalah merupakan bagian dari bentuk perlindungan hak asasi
manusia (HAM) dalam suatu negara yang menyatakan adalah negara hukum.
3. Faktor Budaya Hukum (Legal Culture)
Budaya hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak mengenai apa yang baik dan buruk. Faktor
9 Sofyan Lubis. Op. cit. hlm. 47.
ini sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat terhadap upaya penegakan hukum. Anggapan
masyarakat bahwa hukum identik dengan penegakan hukum mengakibatkan harapan-harapan
yang tertuju pada penegakan hukum menjadi semakin bias. Kegagalan dalam penegakan hukum
akan selalu dikembalikan dan senantiasa dikaitkan dengan pola dan perilaku penegak hukum
yang merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun suatu proses.
Budaya hukum ini berkaitan dengan budaya taat hukum masyarakat maupun pemerintah
dalam hal ini juga adalah aparat penegak hukum. Masyarakat menjadi objek yang dikendalikan
oleh peraturan perundang-undangan, juga sekaligus sebagai subjek yang akan mengontrol
jalannya ketentuan peraturan perundang-undangan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu
masyarakat dituntut untuk proaktif mengawasi gerak-gerik aparat dalam memproses setiap
perkara pidana yang terjadi. Masyarakat harus punya keberanian untuk menjalankan prosedur
peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini tentu pemerintah juga
dituntut untuk gencar melakukan sosialisasi terhadap produk hukum yang sedang berlaku
ketengah masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui, memahami dan menjalankan
dengan baik.
Gambaran di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sistem sangat diperlukan agar
masyarakat hidup dalam keteraturan, untuk mencapai keteraturan sistem ada tiga faktor penting
yang harus berjalan secara berkesinambungan yaitu struktur hukum, subtansi hukum dan budaya
hukum. Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lainnya
merupakan mata rantai dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap masalah dalam
satu sub sistem, akan menimbulkan dampak pada sub sistem lainnya. Demikian pula reaksi yang
timbul sebagai akibat kesalahan pada satu sub sistem akan menimbulkan dampak kembali pada
sub sistem yang lainnya.
Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu konsep
penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua
nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali, kedua, konsep
yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi
dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan ketiga,
konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini
adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan
dengan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-
uandangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.
Penegakan hukum tidak hanya sebatas membawa pelaku kejahatan kepersidangan dengan
memberikan sanksi atau hukuman terhadap dirinya atas perbuatannya, akan tetapi penegakan
hukum juga meliputi adanya perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa bahkan terhadap
korban dari suatu tindak pidana. Khusus perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa
secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu salah satunya terkait dengan pemberian bantuan
hukum terhadap tersangka/terdakwa.
Pelanggaran terhadap prinsip Miranda Rule sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
Pasal 56 KUHAP dalam praktik peradilan, dapat terjadi dikarenakan antara lain10
:
a. Kesalahan dalam menfsirkan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP.
Dalam proses peradilan banyak aparat penegak hukum beranggapan bahwa kewajiban
aparat penegak hukum terhadap tersangka atau terdakwa adalah kewajiban hanya
sebatas memberitahukan kepada tersangka atau terdakwa akan haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau didampingi penasehat hukum bukan kewajiban
10
Ibid. hlm. 43-46.
menunjuk penasehat hukum. Anggapan dan penafsiran semacam ini adalah penafsiran
yang pincang dan tidak lengkap dari apa yang dimaksudkan dalam Pasal 114 KUHAP,
atau aparat penegak hukum hanya mengerti dan menjalankan sebagaimana dalam
ketentuan Pasal 54 KUHAP yang berlaku untuk semua perkara pidana.
b. Adanya unsur kesengajaan dari oknum aparat penegak hukum.
Hal ini dapat terjadi bukan hanya karena aparat penegak hukum tidak mengerti
bagaimana menyikapi pasal 56 KUHAP, akan tetapi dapat terjadi jika oknum tersebut
merasa dengan kehadiran penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa akan mengurangi
kebebasannya dalam mencapai target-target tertentu yang akan didapatkannya dari
tersangka atau terdakwa dan tentu patut diduga oknum tersebut khawatir rahasia
perlakuan kurang terpuji yang dilakukan dalam proses bertentangan dangan undang-
undang akan diketahui oleh penasehat hukum.
c. Tidak adanya penasehat hukum yang akan ditunjuk di wilayah hukum tersebut.
Hal ini dapat terjadi jika di wilayah hukum dimana tempat tersangka disidik tidak ada
atau sulit dicari penasehat hukum yang akan ditunjuk untuk mendampingi
tersangka/terdakwa karena tempatnya terpencil atau jauh dari tempat praktik penasehat
hukum.
d. Belum adanya mekanisme dan aturan pelaksanaan jelas yang mengatur kesediaan
penasehat hukum untuk ditunjuk sebagai penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP.
Sampai saat ini belum ada aturan atau sistem/mekanisme yang jelas tentang bagaimana
kesediaan penasehat hukum untuk memberi bantuan hukum kepada
tersangka/terdakwa dengan cuma-cuma seperti yang dimaksud dalam pasal 56 ayat (2)
KUHAP. Hal ini mungkin oleh pihak pemerintah dipandang tidak begitu urgen untuk
mengaturnya, apalgi jika aturan tersebut dibuat tentu konsekuensinya akan
membutuhkan mata anggaran tersendiri atau biaya rutin setiap tahunnya.namun
sesekali pernah ada dana bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah yang
disalurkan melalui pengadilan negeri setempat kepada penasehat hukum yang ditunjuk
dalam memberi bantuan hukum kepada terdakwa. Akan tetapi kenyataanya dalam
praktik sulit dilaksanakan anggaran bantuan hukum tersebut secara berkelanjutan dari
tahun ketahun, dan penasehat hukum yang telah ditunjuk untuk memberi bantuan
hukum secara prodeo atau cuma-cuma tersebut sering tidak menerima haknya
sebagaimana mestinya. Hak tersebut sebenarnya sangat kecil yaitu diberikan sekedar
unruk biaya operasonal/transportasi penasehat hukum bersangkutan, bahkan tidak
jarang penasehat hukum yang bersangkutan hanya menerima 50 % (lima puluh persen)
dari dana yang seharusnya diterima.
Berdasarkan uraian diatas terkait dengan adanya suatu penegakan hukum dalam hal terkait
dengan penerapan Pasal 56 KUHAP dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri
Gorontalo, menurut penulis hal-hal yang dapat mempengaruhi tidak diterapkan Pasal 56 KUHAP
adalah terkait dengan kurangnya profesional dari seorang aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai aparat penegak hukum. Tentunya hal ini tidak
terlepas dari adanya beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, seperti
yang telah diuraikan diatas yaitu struktur hukum, dalam hal ini meliputi unsur institusi beserta
aparatnya yang seharusnya lebih meningkatkan profesionalitas serta kemampuan di dalam
memahami dan menafsirkan suatu ketentuan atauran yang ada, subtansi hukum, yaitu meliputi