BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi...

27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pengadilan Negeri Gorontalo terletak di jalan Achmad Nadjamuddin Kec.Kta Tengah, Kota Gorontalo. Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Gorontalo meliputi Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Saat ini Pengadilan Negeri Gorontalo mempunyai 2 (dua) tempat sidang (zittingplast) yang terletak di Kecamatan Bonepantai dan Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango. Berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD 1945, pengadilan di Indonesia adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Sejalan dengan tugas tersebut diatas, Pengadilan Negeri Gorontalo yang merupakan Pengadilan Negeri Tingkat Pertama dalam lingkungan badan peradilan umum melaksanakan tugas yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata. Dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut diatas, secara umum di Pengadilan Negeri terdapat bagian kepanitraan dan kesekretariatan. Bagian kepanitraan melaksanakan administrasi perkara sedangkan kesekretariatan melaksanakan tugas-tugas administrasi lainnya. Bagian kepanitraan Pengadilan Negeri Gorontalo terbagi atas 4 subbagian yaitu : a. Kepanitraan Perdata b. Kepanitraan Pidana c. Kepanitraan Hukum d. Kepanitraan Pengadilan Hubungan Industrian (PHI)

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi...

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Pengadilan Negeri Gorontalo terletak di jalan Achmad Nadjamuddin Kec.Kta Tengah,

Kota Gorontalo. Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Gorontalo meliputi Kota Gorontalo dan

Kabupaten Bone Bolango. Saat ini Pengadilan Negeri Gorontalo mempunyai 2 (dua) tempat

sidang (zittingplast) yang terletak di Kecamatan Bonepantai dan Kecamatan Suwawa Kabupaten

Bone Bolango.

Berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD 1945, pengadilan di Indonesia adalah sebagai pelaku

kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan peradilan guna

menegakan hukum dan keadilan. Sejalan dengan tugas tersebut diatas, Pengadilan Negeri

Gorontalo yang merupakan Pengadilan Negeri Tingkat Pertama dalam lingkungan badan

peradilan umum melaksanakan tugas yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara

pidana dan perdata.

Dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut diatas, secara umum di Pengadilan

Negeri terdapat bagian kepanitraan dan kesekretariatan. Bagian kepanitraan melaksanakan

administrasi perkara sedangkan kesekretariatan melaksanakan tugas-tugas administrasi lainnya.

Bagian kepanitraan Pengadilan Negeri Gorontalo terbagi atas 4 subbagian yaitu :

a. Kepanitraan Perdata

b. Kepanitraan Pidana

c. Kepanitraan Hukum

d. Kepanitraan Pengadilan Hubungan Industrian (PHI)

Bagian Kesekretariatan Pengadilan Negeri Gorontalo terbagi atas 3 sub bagian yaitu :

a. Urusan Umum

b. Urusan Keuangan

c. Urusan Kepegawaian

Pada tanggal 18 juli 2003 status Pengadilan Negeri Gorontalo telah ditingkatkan dari

Pengadilan Negeri kelas II menjadi Pengadilan Negeri kelas IB, sesuai Surat Keputusan Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M. 01. AT.05 Tahun 2003 tanggal 18 juli 2003.

Dalam upaya meningkatkan pelayanan hukum terhadap masyarakat maka Pengadilan

Negeri Gorontalo mempunyai visi dan misi sebagai berikut:

1. Visi yaitu menciptakan, membangun paradigma baru untuk mewujudkan supremasi

hukum melalui kekuasaan kehakiman mandiri.

2. Misi yaitu bekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, juga

sesuai dengan digariskan dalam surat edaran peraturan Mahkamah Agung, agar

tercapai rasa keadilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.2 Hasil Penelitian

Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), memberikan pengertian bahwa

seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap dari hakim pengadilan, ia tetap masih memiliki hak-hak

individunya sebagai warga negara. Dengan hak-hak individu yang dimiliki itu, dapat diajukan

oleh dirinya kepada yang berwenang untuk segera untuk mendapat pemeriksaan oleh penyidik

(tidak dibiarkan sampai berlarut-larut dengan alsasan banyak tugas). Selain itu, setiap individu

memiliki hak untuk mempersiapkan penasehat hukum. Hak-hak individu ini sebelum berlakunya

KUHAP sering tidak diperhatikan oleh petugas yang berwenang dalam menyelenggarakan

proses peradilan. Hal itu karena RIB yang semula dari HIR, sebagai hukum acara buatan

penjajah, tidak pernah memperhatikan hak-hak individu tersangka/terdakwa.

Membicarakan tentang hak-hak tersangka/terdakwa itu dalam kaitannya dengan

penyelesaian masalah yang dihadapi, hak itu tidak perlu dibatasi dalam pemberian bantuan

hukum yang dapat dilakukan secara bebas. Artinya, hubungan antara tersangka/terdakwa dan

pemberi bantuan hukum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan pembelaan, tentu memerlukan

penjelasan melalui komunikasi, selama komunikasi berlangsung, tidak perlu diawasi dan atau

didengar oleh petugas.

Didalam pasal 56 KUHAP menyebutkan bahwa seorang tersangka atau terdakwa yang

diancam pidana mati, atau ancaman hukumannya diatas 15 (lima belas) tahun, maka para pejabat

yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk

penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa tersebut. Selain itu juga, seorang yang tidak

mampu yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak memiliki penasehat hukum, maka

kewajiban penegak hukum adalah untuk menyediakan penasehat hukum bagi dirinya. Dan

keseluruhannya itu dibebankan oleh Negara, atau dengan kata lain tersangka/terdakwa

didampingi penasehat hukum secara cuma-cuma.

Terkait dengan penerapan pasal 56 KUHAP terhadap perkara tindak pidana yang

disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo dimana penulis telah melakukan penelitian di lokasi

penelitian, yang dimana penulis mendapatkan data sekitar pada tahun 2009 sampai dengan 2010

terdapat 7 (tujuh) kasus atau tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo

yang hukumannya diancam lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terdakwanya tidak di dampingi

oleh penasehat hukum.

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang perkara tindak pidana yang disidangkan di

Pengadilan Negeri Gorontalo sekitar tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 yang diancam

dengan hukuman lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa tidak didampingi oleh

penasehat hukum, dapat dilihat dalam tabel berikut:

No Tahun

Perkara

Jenis

Tindak Pidana

Ancaman

Hukuman

1

2009

Pasal 285 KUHP

Pemerkosaan

12 (dua belas) Tahun

2

2009

Pasal 338 KUHP

Pembunuhan

15 (lima belas) Tahun

3

2009

Pasal 338 KUHP

Pembunuhan

15 (lima belas) Tahun

4

2009

Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002

Pencabulan

15 (lima belas) Tahun

5

2010

Pasal 338 KUHP

Pembunuhan

15 (lima belas) Tahun

6

2010

Pasal 363 ayat (1) KUHP

Pencurian dengan Pemberatan

7 (tujuh) Tahun

7

2010

Pasal 351 ayat (3) KUHP

Penganiyaan yang

7 (tujuh) Tahun

mengakibatkan kematian

Sumber Data : Pengadilan Negeri Gorontalo

Merujuk uraian tabel diatas, menunjukan pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010

terdapat 7 (tujuh) kasus atau tindak pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo

yang dimana ancaman hukumannya diatas dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa

pada waktu persidangan tidak didampingi oleh penesehat hukum.

Berikut ini adalah beberapa kutipan hasil wawancara langsung antara penulis dengan

beberapa responden terkait dengan permasalahan yang diteliti:

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Arif Hakim Nugraha selaku Hakim Di Pengadilan

Negeri Gorontalo, dimana menyebutkan bahwa:

Setiap seseorang yang melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan dan diperiksa oleh

aparat penegak hukum (dari tingkat kepolisian sampai di pengadilan) mereka masih

memiliki hak-hak mereka, terutama hak untuk mendapatkan bantuan hukum melalui

penasehat hukum. Penasehat hukum tersebut bisa disediakannya sendiri, ataupun bisa saja

disediakan oleh Negara apabila masuk dalam kategori pasal 56 KUHAP. Peraturan tentang

bantuan hukum terutama bagi orang yang tidak mampu, jangan sampai yang menikmati

hanya penjahat golongan mampu belaka. Sehubungan dengan ini, perlu diperhatikan

ketentuan pasal 114 yang menentukan bahwa sebelum dimulaianya pemeriksaan, penyidik

wajib memberitahukan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan

hukum dan dalam hal lain yang diatur dalam pasal 56, wajib didampingi oleh penasehat

hukum.

Lebih lanjut menurut responden Bapak Arif Hakim Nugraha menyatakan:

Bahwa ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP ini mesti diperhatikan dalam tiap kali

pemeriksaan pada tingkat manapun. Karena ini merupakan hak-hak dari seorang

tersangka/terdakwa, dan juga menjadi sebuah kewajiban bagi aparat penegak hukum dalam

melakukan pemeriksaan. Hal ini juga, sering disalah artikan oleh aparat penegak hukum

yang melakukan pemeriksaan.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak David F.A Porajow selaku Hakim di Pengadilan

Negeri Gorontalo menyatakan bahwa:

Tidak sedikit para aparat penegak hukum sering melakukan pelanggaran dalam hal

menerapkan Pasal 56 KUHAP. Mereka sering menyodorkan surat pernyataan kepada

tersangka/terdakwa untuk tidak atau menolak untuk didampingi penasehat hukum tanpa

memberitahukan kepada tersangka/terdakwa tentang haknya tersebut untuk mendapat

bantuan hukum. Sungguh sangat disayangkan, padahal pendampingan penasehat hukum

tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada tersangka/terdakwa sesuai dengan ketentuan

Pasal 56 KUHAP tersebut.

Lebih lanjut Bapak David F.A Porajow menyatakan:

Di dalam Pasal 56 ayat KUHAP memang disebutkan ada beberapa kriteria seorang yang

bisa mendapatkan bantuan hukum atau penasehat hukum. Diantaranya seorang yang

diancam dengan hukuman mati, yang diancam dengan hukuman 15 tahun penjara atau

lebih, dan juga bagi orang yang tidak mampu yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau

lebih. Ini disiapkan oleh Negara, dengan kata lain setiap pejabat atau aparat penegak

hukum yang melakukan pemeriksaan wajib menunjuk penasehat hukum bagi

tersangka/terdakwa ini. Dan syarat-syarat mendapatkan penasehat hukum secara cuma-

cuma ini seorang tersangka/terdakwa harus dikategorikan orang yang tidak mampu dan

ancamannya juga harus diatas 5 tahun. Orang yang tidak mampu ini, beliau

mengkategorikan dari segi ekonomi dan juga dari segi pemahaman/pengetahuan tentang

hukum. Tapi tidak menutup kemungkinan orang yang mampu juga berhak untuk

mendapatkan penasehat hukum ini.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Fatah Agung selaku Pengacara menyatakan bahwa:

Sebagai pengacara yang dibebankan kode etik advokat, maka merupakan kewajiban dari

seorang pengacara (advokat) untuk memberikan bantuan hukum kepada seorang yang

tersandung suatu perkara pidana. Terlebih pada seorang yang tidak mampu. Bagi seorang

pengacara yang diberikan kewajiban untuk menjadi seorang penasehat hukum kepada

tersangka/terdakwa, dan tidak melaksanakannya maka seorang pengacara tersebut sudah

melanggar kode etik, dan tidak bekerja secara professional. Namun sangat disayangkan

apabila melihat seseorang yang diadili tanpa ada pendampingan penasehat hukum. Bisa

saja orang tersebut akan diberlakukan yang tidak sesuai oleh aparat penegak hukum.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Syahril Hamid selaku pengacara menyatakan

bahwa:

Pada prakteknya, memang seorang pengacara wajib memberikan bantuannya kepada

seseorang yang terjearat kasus pidana. Namun kembali pada jumlah pengacara yang berada

di kota Gorontalo, itu masih sangat kurang dan juga lembaga khusus untuk bantuan hukum

pun masih minim. Disini kami sebagai seorang pengacara dalam memberikan bantuan

hukum pun sangat sulit, sehingga dapat dilihat ada beberapa perkara yang semestinya ada

pendampingan penasehat hukum, malah harus mengabaikan ketentuan yang ada. Memang

dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa dalam proses pemeriksaan baik di

tingkat kepolisian sampai ditingkat pengadilan, seorang yang menjadi tersangka atau

terdakwa berhak mendapatkan penasehat hukum untuk mendampinginya pada proses

pemeriksaan dari awal. Dan penasehat hukum itu wajib ditunjuk oleh pejabat yang

bersangkutan pada setiap pemeriksaan. Namun kenyataannya masih saja penegak hukum

tidak mengindahkan aturan ini. Hal ini disebabkan karena kekurangannya pengacara yang

ada di Gorontalo untuk menjadi penasehat hukum dalam proses pemeriksaan tersebut.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan

Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Di Pengadilan Negeri Gorontalo

Negara sebagai penyelenggara pemerintahan berarti melayani warga negara untuk

mencapai keadilan, ketertiban dan kemaslahatan hidup. Jikalau warga negara mengalami

ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan yang berkepanjangan dari aparat negara,

dan/atau sesama warga negara, maka kita harus bertindak memperbaikinya, melalui saluran

hukum dan politik. Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak milik manusia sejak lahir, dan

bukan diberikan oleh negara atau siapapun juga, sehingga hidup manusia terhindar dari

ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan melalui penegakan hak-hak asasi

tersebut1. Hak asasi manusia tersebut tidak akan datang dari langit begitu saja, tetapi harus kita

tegakkan terus menerus, hingga langit itu sendiri bila perlu runtuh, untuk tegaknya hak asasi

manusia. Misalnya saja, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari siapa saja yang paham

hukum demi tercapainya keadilan, ketertiban, dan kemaslahatan hidup.

Negara telah memberikan jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum kepada setiap

warga negara yang berhadapan dengan hukum, yang secara tegas telah dituangkan dalam

konstitusi, undang-undang, serta peraturan pelaksananya. Semuanya mengatur mengenai syarat-

syarat mendapatkan bantuan hukum, serta aturan bagaimana melaksanakannya dan akibatnya

apabila tidak dilaksanakan. Didalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah sangat jelas disebutkan

1 Agustinus Edy Kristianto dan A. Patra M. Zen (ed). 2009. Pedoman Bantuan Hukum Di Indonesia. Yayasan Obor

Indonesia: Jakarta. hlm. 33.

bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. Di

dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkkan

pula bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Dan setiap

advokat yang membantu penyelesaian perkara ini wajib menjunjung tinggi pancasila, hukum,

dan keadilan. Dengan demikian setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, dalam

setiap hal yang berhubungan dengan apa saja, tidak ada larangan bagi siapa saja untuk meminta

bantuan hukum kepada advokat. Orang buta hukum atau orang miskinpun berhak memilih

advokat yang cocok dan bersedia memberikan jasa bantuan hukum baginya.

Bantuan hukum merupakan upaya untuk membantu orang yang tidak mampu dalam bidang

hukum. Dalam pengertian sempit bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara

cuma-cuma kepada klien tidak mampu2. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang diakui secara

universal dan melekat pada diri manusia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia (HAM) merumuskan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat

dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap

orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Salah satu prinsip HAM adalah perlakuan sama di depan hukum (equality before the law)3.

Namun prinsip ini sering kali dilanggar karena berbagai alasan seperti status sosial, dan ekonomi

seseorang. Oleh karena itu prinsip persamaan di muka hukum harus diimbangi dengan prinsip

persamaan perlakukan (equal treatment). Prinsip persamaan dimuka hukum merupakan salah

satu prinsip HAM unuversal yang tercantum dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia

2 Ibid.

3 Ibid.

(DUHAM) dan Konvenan Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political

Rights/ICCPR).

Pasal 16 dan 26 ICCPR menjamin persamaan kedudukan di muka hukum. Semua orang

berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan harus dihindarkan dari adanya diskriminasi

berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, nasional atau

asal-muasal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status dan sebagainya. Hak atas bantuan

hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak tersebut bersifat absolut dan tidak boleh

dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan darurat sekalipun4. Syarat untuk

mendapatkan bantuan hukum menurut Pasal 14 Ayat (3) ICCPR yaitu untuk kepentingan

keadilan dan tidak mampu membayar jasa pengacara atau advokat.

Hak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak adalah norma yang dirancang untuk

melindungi individu dari pembatasan yang tidak sah dan sewenang-wenang, atau perampasan

hak dasar dan kebeasan lainnya. Hak atas bantuan hukum dibedakan menjadi empat bagian,

yaitu5:

1. Hak untuk membela diri secara pribadi atau untuk dibantu oleh penasehat hukum

menurut pilihannya sendiri;

2. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma dalam hal orang yang tidak

mampu membayar jasa advokat demi kepentingan hukum dan keadilan;

3. Hak untuk berkomunikasi dengan advokat;

4. Hak untuk diberitahukan mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum.

Prinsip Miranda Rule adalah aturan-aturan yang mengatur tentang hak-hak konstitusional

dari tersangka atau terdakwa yang meliputi hak tidak menjawab atas pertanyaan pejabat

4 Ibid. hlm. 33-34.

5 Ibid. hlm. 35.

bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan

penasehat hukum sejak dari proses penyidikan hingga dalam semua tingkat proses peradilan.

Miranda Rule merupakan aturan yang bersifat universal dihampir semua negara yang

berdasarkan atas hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya

sangat memghormati asas ini6. Komitmennya terhadap penghormatan atas prinsip ini telah

dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ini ke dalam Hukum Acara Pidana yaitu dalam

pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukukm Acara Pidana

(KUHAP).

Hak-hak asasi seseorang yang berkaitan dengan prinsip-prinsip miranda rule adalah hak

yang ada dan melekat pada diri seseorang sejak lahir. Hal tersebut merupakan bagian dari hak

untuk memperoleh keadilan. Miranda rule hanya berupa penegasan saja terhadap hak asasi

manusia untuk memperoleh keadilan yang telah ada sebelumnya. Keadilan disini termasuk

keadilan atas kepastian hukum dalam tata cara mengadilinya.

Pemahaman dari pasal 56 KUHAP yang di dalamnya menegaskan tentang hak dari

tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasehat hukum apabila tindak pidana yang

disangkakan atau didakwakan diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 (lima belas)

tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih

yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, dimana pejabat yang bersangkutan dalam

proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Ketentuan pasal 56 KUHAP

dipandang dari pendekatan secara normatif maka mengandung beberapa aspek permasalahan

hukum, antara lain:

a. Mengandung aspek nilai hak asasi manusia, dimana bagi setiap tersangka atau

terdakwa berhak didampingi penasehat hukum pada semua tiingkat pemeriksaan

6 Sofyan Lubis. Op. Cit. hlm. 34.

dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dengan “Deklarasi Hak Asasi Manusia”

yang menegaskan hadirnya penasehat hukum untuk mendampingi tersangka atau

terdakwa merupakan sesuatu keharusan pada diri manusia dan konsekwensi logisnya

bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai-nilai

Hak Asasi Manusia (HAM).

b. Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam proses peradilan pada semua tingkat

pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan apabila tindak pidana

yang disangkakan atau didakwakan diancam pidana mati atau 15 (lima belas) tahun,

atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih

yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri. Berdasarkan ketentuan pasal 56

KUHAP ini tentu kehadiran dan keberadaan penasehat hukum mendampingi tersangka

bersifat imperatif atau memaksa, sehingga kalau mengabaikannya maka

mengakibatkan hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi

hukum (null and void).

c. Pasal 56 Ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat

menjadi salah satu patokan prinsip miranda rule di Indonesia. Apabila

pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara tersangka/terdakwa

dipersidangan tidak didampingi penasehat hukum maka, sesuai dengan prinsip

miranda rule, hasil penyidikan tidak sah atau batal demi hukum.

Tujuan pokok yang ingin dicapai atas penegakan Miranda Rule dalam proses peradilan

seperti yang dimaksud dalam pasal 56 KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan

manusiawi terhadap diri tersangka/terdakwa, sebab dengan hadirnya penasehat hukum

mendampingi tersangka sejak dari proses penyidikan di tingkat kepolisian dimaksudkan dapat

berperan melakukan kontrol, sehingga pemeriksaan terhadap diri tersangka terhindar dari

penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman.

Jika dipandang dari sudut pendekatan berdasarkan kepentingan umum (public interest)

tentu akan berbeda dan bahkan selamanya cenderung berbeda karena disini hak-hak tersangka

akan cenderung dikesampingkan atas nama “demi kepentingan umum”, sehingga pendekatan ini

cenderung berbenturan dengan prinsip-prinsip Miranda Rule dan Hak Asasi Manusia. Untuk

mengatasi hal itu, peran dan kemampuan hakim saat memutuskan perkara sangat penting dalam

menentukan melihat perlunya keseimbangan dalam penegakan hukum yang menyangkut antara

kepentingan hak asasi manusia yang bersifat individual dengan kepentingan umum yang bersifat

umum serta berorientasi pada perlunya ada putusan yang dapat memberikan kontribusi terhadap

rasa aman dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum

pidana itu sendiri, dan kita semua tau bahwa hukum pidana merupakan hukum publik yang

bersifat imperatif yang mengatur perilaku individu dan masyarakat tentang perbuatan mana yang

tidak boleh dilakukan dengan disertai pemberian sanksi yang tegas bagi siapa yang

melanggarnya.

Terhadap “pejabat yang bersangkutan” sebagaimana yang tertuang dalam pasal 56

KUHAP yaitu pejabat dalam lingkup pengertian dari The Cryminal Justice System yang dimulai

dari proses penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang

pengadilan terhadap diri tersangka/terdakwa, jadi disini yang dimaksud pejabat yang

bersangkutan adalah:

1. Pejabat selaku penyidik di Kepolisian;

2. Pejabat selaku jaksa/penuntut umum di Kejaksaan, dan

3. Pejabat pengadilan dimana perkara terdakwa diperiksa dan diputuskan.

Pengertian bahwa penyidik wajib menunjuk penasehat hukum ketika tersangka ada dalam

proses penyidikan dan demi hukum batas kewenangan yang dimiliki surat penunjukan penasehat

hukum tersebut dengan sendirinya berakhir jika penyidikan tidak diperlukan lagi terhadap diri

tersangka, kemudian setelah perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan (P-21), jaksa/penuntut umum

dalam hal ini Kepala Kejaksaan Negeri wajib pula menunjuk penasehat hukum bagi

tersangka/terdakwa, hal ini dimaksudkan agar siapa tahu oleh pihak jaksa/penuntut umum masih

diperlukan pemeriksaan tambahan terhadap diri tersangka yang perlu didampingi penasehat

hukum, dan selanjutnya demi hukum dan batas kewenangan yang dimiliki surat penunjukan

penasehat hukum tersebut dengan sendirinya berakhir pula jika berkas perkara telah dilimpahkan

ke pengadilan. Kemudian pejabat pengadilan bersangkutan dalam hal ini Ketua Pengadilan wajib

pula menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa, begitu seterusnya jika terdakwa masih

melakukan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri berupa banding dan kasasi.

Kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasehat hukum pada suatu

tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut tidak berlaku atau gugur dalam hal-hal

sebagai berikut:

1. Sebelum pemeriksaan dimulai tersangka/terdakwa telah mempunyai penasehat hukum

sendiri yang telah ia tunjuk sendiri atau atas tunjukan dari kelurga tersangka/terdakwa

tersebut;

2. Tersangka/terdakwa tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima)

tahun.

Berdasarkan uraian diatas terkait dengan penerapan prinsip Miranda Rule atau

sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya

pada pasal 56 KUHAP, merupakan kewajiban bagi setiap aparat penegak hukum untuk

menunjuk penasehat hukum kepada tersangka/terdakwa. Dari hasil penelitian yang dilakukan

oleh penulis di lokasi penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Gorontalo sekitar tahun 2009 sampai

dengan tahun 2010 terdapat 7 (tujuh) kasus atau perkara pidana yang disidangkan dengan

ancaman hukuman lebih dari 5 (lima) tahun, akan tetapi terhadap terdakwa tidak didampingi oleh

penasehat hukum. Tentunya hal ini menurut penulis menunjukan adanya pelanggaran terhadap

prinsip Miranda Rule bahkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), sudah sangat jelas menyebutkan mengenai hak-hak dari

tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hokum, khususnya dalam pasal 56 KUHAP

yang menyebutkan bahwa seorang yang menjadi tersangka/terdakwa yang dikenakan ancaman

hukuman mati atau lima belas tahun atau lebih dan juga bagi yang tidak mampu yang diancam

hukuman lima tahun atau lebih wajib bagi pejabat yang berwenang dalam malakukan

pemeriksaan kepadanya untuk menunjuk penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa tersebut dan

biaya ini dibebankan kepada negara atau dengan kata lain bantuan hukum ini diberikan secara

cuma-cuma.

Menurut penulis, penerapan Pasal 56 KUHAP terhadap perkara yang disidangkan di

Pengadilan Negeri Gorontalo berdasarkan hasil penelitian penulis ternyata tidak sesuai dengan

peruntukkannya, bahkan cenderung diabaikan oleh penyidik maupun oleh pejabat pada semua

tingkat, baik di tingkat kepolisian, kejaksaan dan sampai pada proses di sidang pengadilan.

Pelanggaran demi pelanggaran sering terjadi dalam praktik peradilan. Hal ini dilakukan dengan

berbagai alasan atau dalih seperti guna untuk memperlancar proses sehingga terhadap

tersangka/terdakwa dianjurkan untuk tidak menggunakan jasa pengacara, tidak adanya anggaran

institusi yang diperuntukan untuk menyediakan jasa pengacara atau bantuan hukum kepada

tersangka/terdakwa, bahkan banyak oknum atau pejabat tertentu yang menganjurkan agar

tersangka tidak menggunakan penasehat hukum, dan tersangka dikondisikan sedemikian rupa

dengan membuatkannya surat pernyataan tidak bersedia didampingi oleh penasehat hukum, dan

tidak sedikit dari kalangan aparat yang beranggapan bahwa dengan adanya pernyataan dari diri

tersangka/terdakwa yang tidak bersedia didampingi penasehat hukum merupakan hak asasi

tersangka/terdakwa sehingga aparat penegak hukum tidak merasa perlu lagi menunaikan

kewajibannya untuk menunjuk penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa sebagaimana yang

diwajibkan oleh ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP. Padahal secara jelas ketentuan sebagaimana

yang terdapat dalam Pasal 56 KUHAP dikatakan bahwa terhadap tersangka/terdakwa wajib

didampingi oleh penasehat hukum, jadi secara yuridis dalam penafsiran Pasal 56 KUHAP

dimana kewajiban dari seorang aparat penegak hukum terhadap diri tersangka/terdakwa tidak

hanya sebatas dengan memberitahukan kepada tersangka/terdakwa tentang hak untuk

mendapatkan bantuan hukum, akan tetapi dimana aparat penegak hukum wajib untuk menunjuk

penasehat hukum untuk mendampingi tersangka/terdakwa dalam proses pemeriksaan dari tingkat

penyidikan sampai pada proses sidang di pengadilan. Dan terkait dengan adanya penolakan dari

seorang tersangka/terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum, maka penolakan ini harus

dimuat dalam berita acara yang kemudian ditanda-tangani oleh tersangka/terdakwa dihadapan

penasehat hukum yang telah ditunjuk oleh aparat hukum yang bersangkutan.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), pada prinsipnya telah menimbulkan perubahan yang cukup

fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara

penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Apabila kita telaah dari isi ketentuan sebagaimana

yang tertuang dalam KUHAP maka sistem peradilan pidana atau criminal justice system di

Indonesia terdiri dari dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan, yang dimana keempat lembaga penegak hukum ini memiliki hubungan yang

erat satu sama lainnya, bahkan dapat dikatakan saling menentukan satu sama lainnya. Sehingga

pada dasarnya pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan KUHAP adalah merupakan suatu

usaha yang sistematis untuk mewujudkan suatu penegakan hukum.

KUHAP dapat dikatakan sebagai landasan bagi terselenggarakannya proses peradilan

pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan

perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. KUHAP lebih

menekankan dalam setiap proses peradilan pidana memperlihatkan ciri yang humanis. Dalam

KUHAP semua tersangka dan terdakwa mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga tujuan

utama dibentuknya KUHAP adalah tidak lain untuk menegakkan hukum dan keadilan yang tidak

memihak.

Salah satu hal yang paling membuat bangga bangsa dan negara ini dari terbentuknya

KUHAP adalah adanya bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Dalam KUHAP sendiri

disyaratkan bahwa bantuan hukum merupakan asas hukum acara pidana yang penting, karena

setiap orang yang tersangkut perkara pidana diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum.

Bantuan hukum dalam proses peradilan pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam

tahap pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan mementukan keperluan penyiapan

pembelaan, tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak

untuk menunjuk dan menghubungi serta minta bantuan penasehat hukum, artinya hal ini menurut

penulis mengandung arti bahwa dalam negara hukum itu terletak ciri-ciri yang mendasar yaitu,

pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia, peradilan yang bebas, dan tidak memihak

serta tidak dipengaruhi oleh kekuasaan manapun dan legalitas dalam arti hukum dalam semua

bentuknya.

Menurut penulis bantuan hukum perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan seperti

kalangan akademik atau para pemerhati hukum, kalangan praktisi hukum, sebab dalam ketentuan

Pasal 56 KUHAP mengandung kelemahan yang diantaranya adalah: tentang kemampuan

sesorang untuk memaksakan, apakah dirinya mampu menyediakan penasehat hukum, serta tidak

adanya konsekuensi atapun sanksi apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut dilanggar,

sehingga hal inilah yang merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya suatu pelanggaran

terhadap ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut atau yang dikenal dengan istilah prinsip miranda

rule.

4.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak

Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Di

Pengadilan Negeri Gorontalo

Negara Indonesia sebagai negara yang mengedepankan hukum positif sebagai rule of the

game dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus menjadikan hukum sebagai panglima

dinegara ini, maka hal ini mengandung konsekwensi yang laus di tengah-tengah masyarakat

yaitu segala sesuatu yang menyangkut perilaku dan keperluan hajat hidup orang banyak harus

diatur oleh hukum. Hukum harus ditegakkan bagi semua warga negara Indonesia tanpa pandang

bulu, sesuai dengan salah satu asas hukum di negara ini yaitu asas equality before the law7.

Secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah hukum. Penegakan hukum

merupakan syarat mutlak bagi upaya-upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera.

Apabila hukum ditegakan, maka kepastian, rasa aman, tentram ataupun kehidupan yang rukun

akan dapat terwujud.

7 Ibid. hlm. 8.

Penegakan hukum merupakan akuntalisasi dari aturan hukum yang masih ada berada

dalam tahap cita-cita dan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan

cita-cita atau tujuan hukum itu sendiri. Tujuan hukum pada hakikatnya adalah untuk menyatakan

sesuatu aturan untuk menjamin kepastian hukum itu. Di samping itu, selain untuk menjamin

kepastian hukum juga untuk menjaga rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan adilnya

hukum itu. Tidak kalah pentingnya bahwa disamping untuk menjaga kepastian dan keadilan,

maka hukum juga berkepentingan untuk memperoleh kemanfaatan hukum itu demi menata

kehidupan sosial masyarakat.

Penegakan hukum pada prinsipnya ditentukan oleh aspek moral dan etika dari aparat

penegak hukum itu sendiri. Aspek moral dan etika dalam penegakan hukum pidana merupakan

sesuatu hal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana.

Kondisi distorsi dan penyimpangan dalam penegakan hukum pidana, dalam praktik sehari-hari

sering terjadi proses penanganan perkara pidana sering tidak sesuai dengan idealisme keadilan,

padahal hukum pidana harus selalu memposisikan kepentingan hukum dan keadilan.

Menurut Satjipto Rahardjo pada hakekatnya penegakan hukum bisa berarti pelaksanaan

secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sesuai dengan apa yang telah dibentuk

dalam tahap sebelumnya yaitu tahap pembaharuan hukum, sedangkan tujuan penegakan hukum

untuk menegakan prinsip equality before the law dan untuk pencapaian keadilan bagi semua

orang (justice for all). Penegakan hukum tentu akan mendinamisasikan sistem hukum8. Dalam

hal ini penegakan hukum sebagai komponen struktur yang mewujudkan tatanan sistem hukum.

Betapun ideal suatu peraturan perundang-undangan, apabila tidak didukung dan ditegakkan oleh

aparatur-aparatur hukum yang jujur, bersih, berani dan profesional, maka sistem hukum niscaya

tidak akan berfungsi dengan baik.

8 Satjipto Rahardjo. Op. cit. hlm. 31.

Berdasarkan dengan pendapat di atas, maka dalam penegakan hukum pidana dimana

menurut penulis tidak hanya sebatas membawa pelaku kejahatan ke pengadilan untuk diadili dan

ketika terbukti bersalah maka dijatuhkan sanksi atau pidana, akan tetapi penegakan hukum

pidana adalah juga meliputi adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka atau

terdakwa. Oleh karena dalam suatu negara hukum memiliki ciri yang paing penting yaitu adanya

jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Kegagalan dalam penegakan hukum (Miscariage of Justice) khususnya dalam hal tidak

dipenuhinya hak-hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses persidangan di

Pengadilan Negeri Gorontalo, maka menurut penulis hal ini dapat dikaitkan dengan teori yang

dipelopori oleh seorang Lawrence M. Friedman dengan teori nya tentang The Legal System yang

pada intinya dimana teori ini mengarah pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum. Adapun faktor-faktor penegakan hukum yang dapat dikaitkan dengan kegagalan dalam

penegakan hukum khususnya terkait dengan pemberian bantuan hukum terhadap terdakwa dalam

proses persidangan di Pengadilan Negeri Gorontalo adalah, faktor struktur hukum, faktor

subtansi hukum dan faktor kultur atau budaya hukum.

Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, khususnya dalam

penerapan pasal 56 KUHAP antara lain adalah:

1. Faktor Struktur Hukum (Legal Structure)

Struktur hukum meliputi institusi penegak hukum beserta para aparatnya yakni yang terdiri

dari Institusi Kepolisian yang didalamnya adalah terdiri dari aparatnya yaitu polisi, Institusi

Kejaksaan yang didalamnya terdiri dari aparatnya yaitu jaksa dan Institusi Pengadilan yang

didalamnya terdiri dari aparatnya yaitu hakim. Dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice

System) aparat penegak hukum terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan.

Idealnya masing-masing aparat dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara sinergi

sehingga diharapkan dapat melahirkan sistem yang terpadu (intgrated criminal justice system).

Struktur hukum dalam hal ini adalah aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum

merupakan faktor penentu, karena sebagai penggerak atau pelaksana dari ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam arti konkrit sangat diharapkan mental aparat penegak hukum sesuai

dengan jiwa yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Pendapat mengatakan bahwa

walaupun peraturan perundang-undangan kurang baik namun aparat penagak hukumnya punya

mental yang baik, maka hasinya akan baik, dan sebaliknya jika ketentuan peraturan perundang-

undangan sudah baik namun aparat hukumnya kurang baik maka hasilnya akan lebih buruk. Jika

faktor struktur hukum ini dikaitkan dengan permasalahan tidak dipenuhinya apa yang menjadi

hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Pengadilan

Negeri Gorontalo, yaitu hal ini dikarenakan oleh kurang profesionalnya aparat penegak hukum

didalam pelaksanaan tugas sebagai aparat penegak hukum. Ketidak profesionalnya aparat

penegak hukum dalam hal ini adalah dimana aparat penegak hukum tidak memperhatikan

kepentingan atau hak-hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum.

2. Faktor Subtansi Hukum (Legal Subtance)

Subtansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku manusia yang ada dalam sistem.

Subtansi juga berarti produk yang berupa keputusan atau aturan (peraturan perundang-undangan)

yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem tersebut. Peraturan perundang-

undangan adalah bagian dari hukum yang dibuat oleh institusi dengan tujuan dan alasan tertentu.

Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum

(Legal Polci). Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan peran poltik hukum sangat

penting. Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan peraturan perundang-

undangan, dan kedua, untuk menentukan apa yang akan diterjemahkan melalui rumusan pasal-

pasal. Dengan demikian, keberadaan peraturan perundang-undangan melalui perumusan pasal-

pasal merupakan jembatan antara politik hukum yang ditetapkan dengan implementasi peraturan

perundang-undangan yang dibuat.

Subtansi hukum adalah seperangkat norma-norma hukum dalam bentuk peraturan

perundang-undangan. Selama ini pengaturan tentang hak terdakwa untuk mendapatkan

bantuan hukum dalam proses peradilan pidana telah diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan

Pasal 56 KUHAP, akan tetapi berkaitan dengan mekanisme yang mengatur tentang

sanksi yang diberikan kepada para aparat penegak hukum yang melanggar ketentuan

Pasal 56 KUHAP ini (miranda rule) yang berkaitan dengan hak terdakwa untuk

mendapatkan bantuan hukum, tidak ada. Sehingga menurut penulis belum adanya

mekanisme pengaturan tentang sanksi terhadap para aparat penegak hukum yang

melakukan pelanggran terhadap hak terdakwa sebagaimana yang dimaksud dalam

ketentuan Pasal 56 KUHAP, maka hal inilah yang mengakibatkan masih sering

terjadinya pelanggaran terhadap prinsip miranda rule (Pasal 56 KUHAP) dalam proses

peradilan pidana.

Perlu adanya pengaturan atau mekanisme tentang sanksi yang diberikan kepada

para aparat penegak hukum yang melakukan suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal

56 KUHAP, dianggap sangat perlu oleh sebab ketentuan sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 56 KUHAP ini atau yang dikenal dengan istilah prinsip miranda rule adalah

bersifat imperatif, yang artinya bahwa adanya keharusan atau kewajiban bagi aparat

penegak hukum untuk melaksanakan perintah yang telah diatur dalam ketentuan Pasal

56 KUHAP tersebut.

Konsekuensi atas adanya pelanggaran terhadap prinsip miranda rule (Pasal 56

KUHAP) di negara Indonesia masih tergolong “dimaafkan”. Padahal dinegara maju

seperti Amerika Serikat (AS), terhadap adanya pelanggaran prinsip miranda rule akan

mengakibatkan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak

dapat diterima dan pengakuan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dianggap tidak

sah. Di indonesia ada 3 (tiga) pendapat tentang konsekuensi adanya pelanggaran prinsip

miranda rule ini, yaitu9:

a. Pendapat pertama; pelanggaran miranda rule mengakibatkan tindakan

penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat

diterima.

b. Pendapat kedua; pelanggaran miranda rule bisa mengakibatkan tututan tidak dapat

diterima,bisa juga tidak, tergantung dari jenis miranda rule yang dilanggar.

c. Pendapat ketiga; pelanggaran miranda rule tidak mempengaruhi proses peradilan.

Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis lebih sepakat pada pendapat pertama bahwa

pelanggaran terhadap prinsip miranda rule mengakibatkan tindakan penuntutan yang

dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan

oleh prinsip miranda rule adalah merupakan bagian dari bentuk perlindungan hak asasi

manusia (HAM) dalam suatu negara yang menyatakan adalah negara hukum.

3. Faktor Budaya Hukum (Legal Culture)

Budaya hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang

berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak mengenai apa yang baik dan buruk. Faktor

9 Sofyan Lubis. Op. cit. hlm. 47.

ini sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat terhadap upaya penegakan hukum. Anggapan

masyarakat bahwa hukum identik dengan penegakan hukum mengakibatkan harapan-harapan

yang tertuju pada penegakan hukum menjadi semakin bias. Kegagalan dalam penegakan hukum

akan selalu dikembalikan dan senantiasa dikaitkan dengan pola dan perilaku penegak hukum

yang merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun suatu proses.

Budaya hukum ini berkaitan dengan budaya taat hukum masyarakat maupun pemerintah

dalam hal ini juga adalah aparat penegak hukum. Masyarakat menjadi objek yang dikendalikan

oleh peraturan perundang-undangan, juga sekaligus sebagai subjek yang akan mengontrol

jalannya ketentuan peraturan perundang-undangan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu

masyarakat dituntut untuk proaktif mengawasi gerak-gerik aparat dalam memproses setiap

perkara pidana yang terjadi. Masyarakat harus punya keberanian untuk menjalankan prosedur

peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini tentu pemerintah juga

dituntut untuk gencar melakukan sosialisasi terhadap produk hukum yang sedang berlaku

ketengah masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui, memahami dan menjalankan

dengan baik.

Gambaran di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sistem sangat diperlukan agar

masyarakat hidup dalam keteraturan, untuk mencapai keteraturan sistem ada tiga faktor penting

yang harus berjalan secara berkesinambungan yaitu struktur hukum, subtansi hukum dan budaya

hukum. Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lainnya

merupakan mata rantai dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap masalah dalam

satu sub sistem, akan menimbulkan dampak pada sub sistem lainnya. Demikian pula reaksi yang

timbul sebagai akibat kesalahan pada satu sub sistem akan menimbulkan dampak kembali pada

sub sistem yang lainnya.

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu konsep

penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua

nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali, kedua, konsep

yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi

dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan ketiga,

konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini

adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan

dengan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-

uandangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Penegakan hukum tidak hanya sebatas membawa pelaku kejahatan kepersidangan dengan

memberikan sanksi atau hukuman terhadap dirinya atas perbuatannya, akan tetapi penegakan

hukum juga meliputi adanya perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa bahkan terhadap

korban dari suatu tindak pidana. Khusus perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa

secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu salah satunya terkait dengan pemberian bantuan

hukum terhadap tersangka/terdakwa.

Pelanggaran terhadap prinsip Miranda Rule sebagaimana yang diatur dalam ketentuan

Pasal 56 KUHAP dalam praktik peradilan, dapat terjadi dikarenakan antara lain10

:

a. Kesalahan dalam menfsirkan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP.

Dalam proses peradilan banyak aparat penegak hukum beranggapan bahwa kewajiban

aparat penegak hukum terhadap tersangka atau terdakwa adalah kewajiban hanya

sebatas memberitahukan kepada tersangka atau terdakwa akan haknya untuk

mendapatkan bantuan hukum atau didampingi penasehat hukum bukan kewajiban

10

Ibid. hlm. 43-46.

menunjuk penasehat hukum. Anggapan dan penafsiran semacam ini adalah penafsiran

yang pincang dan tidak lengkap dari apa yang dimaksudkan dalam Pasal 114 KUHAP,

atau aparat penegak hukum hanya mengerti dan menjalankan sebagaimana dalam

ketentuan Pasal 54 KUHAP yang berlaku untuk semua perkara pidana.

b. Adanya unsur kesengajaan dari oknum aparat penegak hukum.

Hal ini dapat terjadi bukan hanya karena aparat penegak hukum tidak mengerti

bagaimana menyikapi pasal 56 KUHAP, akan tetapi dapat terjadi jika oknum tersebut

merasa dengan kehadiran penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa akan mengurangi

kebebasannya dalam mencapai target-target tertentu yang akan didapatkannya dari

tersangka atau terdakwa dan tentu patut diduga oknum tersebut khawatir rahasia

perlakuan kurang terpuji yang dilakukan dalam proses bertentangan dangan undang-

undang akan diketahui oleh penasehat hukum.

c. Tidak adanya penasehat hukum yang akan ditunjuk di wilayah hukum tersebut.

Hal ini dapat terjadi jika di wilayah hukum dimana tempat tersangka disidik tidak ada

atau sulit dicari penasehat hukum yang akan ditunjuk untuk mendampingi

tersangka/terdakwa karena tempatnya terpencil atau jauh dari tempat praktik penasehat

hukum.

d. Belum adanya mekanisme dan aturan pelaksanaan jelas yang mengatur kesediaan

penasehat hukum untuk ditunjuk sebagai penasehat hukum bagi tersangka/terdakwa

sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP.

Sampai saat ini belum ada aturan atau sistem/mekanisme yang jelas tentang bagaimana

kesediaan penasehat hukum untuk memberi bantuan hukum kepada

tersangka/terdakwa dengan cuma-cuma seperti yang dimaksud dalam pasal 56 ayat (2)

KUHAP. Hal ini mungkin oleh pihak pemerintah dipandang tidak begitu urgen untuk

mengaturnya, apalgi jika aturan tersebut dibuat tentu konsekuensinya akan

membutuhkan mata anggaran tersendiri atau biaya rutin setiap tahunnya.namun

sesekali pernah ada dana bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah yang

disalurkan melalui pengadilan negeri setempat kepada penasehat hukum yang ditunjuk

dalam memberi bantuan hukum kepada terdakwa. Akan tetapi kenyataanya dalam

praktik sulit dilaksanakan anggaran bantuan hukum tersebut secara berkelanjutan dari

tahun ketahun, dan penasehat hukum yang telah ditunjuk untuk memberi bantuan

hukum secara prodeo atau cuma-cuma tersebut sering tidak menerima haknya

sebagaimana mestinya. Hak tersebut sebenarnya sangat kecil yaitu diberikan sekedar

unruk biaya operasonal/transportasi penasehat hukum bersangkutan, bahkan tidak

jarang penasehat hukum yang bersangkutan hanya menerima 50 % (lima puluh persen)

dari dana yang seharusnya diterima.

Berdasarkan uraian diatas terkait dengan adanya suatu penegakan hukum dalam hal terkait

dengan penerapan Pasal 56 KUHAP dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri

Gorontalo, menurut penulis hal-hal yang dapat mempengaruhi tidak diterapkan Pasal 56 KUHAP

adalah terkait dengan kurangnya profesional dari seorang aparat penegak hukum dalam

menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai aparat penegak hukum. Tentunya hal ini tidak

terlepas dari adanya beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, seperti

yang telah diuraikan diatas yaitu struktur hukum, dalam hal ini meliputi unsur institusi beserta

aparatnya yang seharusnya lebih meningkatkan profesionalitas serta kemampuan di dalam

memahami dan menafsirkan suatu ketentuan atauran yang ada, subtansi hukum, yaitu meliputi

berbagai atauran atau hukum yang berlaku, serta budaya hukum yang meliputi budaya taat

hukum pemerintah dalam hal ini adalah aparat penegak hukum.