BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

33
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan konsep dasar yang melandasi penelitian yang dilakukan tentang efektifitas relaksasi Benson terhadap penurunan skala nyeri dada pada pasien sindrom koroner akut di ruang Intermediate Medikal Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta tahun 2018. 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut 2.1.1. Pengertian sindrom koroner akut. Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan penyakit yang menyerang pembuluh darah koroner, dimana terbentuk oklusi pada pembuluh darah koroner sehingga membuat otot jantung kekurangan suplai oksigen ( iskemia) dan dapat mengakibatkan nekrosis jaringan pada otot jantung (AHA, 2015). Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah (Brunner dan Suddarth, 2010). SKA adalah spektrum kondisi klinis yang menyebabkan ketidaknyamanan atau gejala lain yang disebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan kebutuhannya ( Black& Hawks,2008 ).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan konsep dasar yang melandasi penelitian yang dilakukan

tentang efektifitas relaksasi Benson terhadap penurunan skala nyeri dada pada pasien

sindrom koroner akut di ruang Intermediate Medikal Rumah Sakit Jantung dan

Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta tahun 2018.

2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

2.1.1. Pengertian sindrom koroner akut.

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan penyakit yang menyerang

pembuluh darah koroner, dimana terbentuk oklusi pada pembuluh darah koroner

sehingga membuat otot jantung kekurangan suplai oksigen (iskemia) dan dapat

mengakibatkan nekrosis jaringan pada otot jantung (AHA, 2015).

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi patologis arteri koroner yang

ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan

fibrosa di dinding pembuluh darah (Brunner dan Suddarth, 2010).

SKA adalah spektrum kondisi klinis yang menyebabkan ketidaknyamanan atau

gejala lain yang disebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen

dengan kebutuhannya ( Black& Hawks,2008 ).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

11

Berdasarkan ketiga pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa SKA merupakan

kondisi patologis pada arteri koroner yang disebabkan penimbunan lipid dan jaringan

fibrosa yang abnormal yang dapat menganggu proses transportasi bahan - bahan energi

tubuh sehingga mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan suplai oksigen dan nutrisi ke

jaringan otot jantung.

2.1.2. Patofisiologi sindrom koroner akut.

Sindrom koroner akut terjadi dengan diawali munculnya penyakit arteri koroner yang

didefinisikan sebagai penyakit yang menyerang dinding pembuluh darah arteri sehingga

terjadi kerusakan.Terdapat dua jenis kerusakan dinding arteri, yaitu arteriosklerosis dan

aterosklerosis (Woods, 2008). Arteriosklerosis didefinisikan sebagai “pengerasan

arteri”, yang terdiri dari 2 penyebab yaitu:

1. Kalsifikasi medical sklerosis ditandai dengan adanya penumpukan kalsium pada

lapisan media arteri yang berukuran sedang.

2. Arteriolar sklerosis, kondisi dimana adanya penebalan dinding hingga mendekati

lumen atau arteri kecil/arteriol, dan sering kali dihubungkan dengan hipertensi.

Aterosklerosis adalah penyakit degeneratif progresif pada arteri yang menyebabkan

oklusi atau sumbatan secara bertahap pembuluh sehingga mengurangi aliran darah yang

melaluinya (Sherwood, 2012). Aterosklerosis terbentuk karena adanya ateroma (

pembengkakan sel-sel otot polos/tumor jinak sel otot polos ) dan sklerosis (

pertumbuhan berlebihan jaringan ikat fibrosa ). Aterosklerosis ditandai oleh plak-plak

yang terbentuk di bawah lapisan dalam ( media ) pembuluh darah arteri. Plak

arterosklerosis bersifat tidak stabil dan dapat terjadi ruptur. Kejadian ruptur ini

dianggap penyebab terpenting terjadinya sindrom koroner akut, sehingga tiba-tiba

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

12

terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai

penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan

agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus

menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark pada jaringan otot jantung,

sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang

berat akan terjadi nyeri dada atau serangan jantung (Trisnohadi, 2009).

Terjadinya vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah juga mempunyai peran

penting pada SKA.Vasokonstriksi disebabkan oleh disfungsi endotel dan bahan

vasoaktif yang diproduksi oleh platelet yang berperan dalam perubahan tonus pembuluh

darah dan menyebabkan spasme. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak

stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006).

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan

migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel, adanya perubahan

bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan

pembuluh dengan cepat dan keluhan nyeri dada akibat iskemia (Trisnohadi, 2009).

2.1.3. Manifestasi klinik Sindrom koroner akut.

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal ( angina

tipikal ) atau atipikal ( angina ekuivalen ). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan

berat pada daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,

bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau

persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti

diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI,2015).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

13

Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau

usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau

demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini

patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama

pada pasien dengan riwayat serangan jantung.

2.1.4. Faktor-faktor resiko sindrom koroner akut.

Faktor resiko pada sindrom koroner akut terbagi dua yaitu faktor yang tidak dapat

diubah (irreversible) dan faktor yang dapat diubah (reversible). Faktor resiko yang

tidak dapat diubah terdiri dari usia, jenis kelaminn, suku bangsa, riwayat penyakit

jantung keluarga. Faktor resiko yang dapat diubah meliputi hipertensi, dislipidemia,

diabetes mellitus, merokok, dan usia (Little & Merryl, 2010).

1. Hipertensi

Hipertens sistemik menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak

langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu

hipertrofi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load yang pada

akhirnya meningkatan kebutuhan oksigen jantung.

2. Dislipidemia

Tahap awal aterosklerosis ditandai dengan akumulasi lipoprotein berdensitas rendah

(low-density lipoprotein/LDL).Kolesterol ini berikatan dengan suatu protein

pembawa di bawah endotel. Seiring dengan menumpuknya endotel ini di dalam

dinding pembuluh darah, maka kolesterol ini kemudian akan teroksidasi, terutama

oleh zat-zat sisa oksidatif yang dihasilkan oleh zat pembuluh darah. Respon tubuh

terhadap keberadaan LDL yang teroksidasi ini, sel-sel endotel menghasilkan bahan-

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

14

bahan kimia yang menarik monosit ke lokasi peradangan. Sel-sel imun inilah yang

kemudian menimbulkan respon peradangan lokal pada vaskular.

3. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus merupakan faktor resiko mayor untuk penyakit jantung iskemik

pada pria maupun wanita. Kelainan metabolisme seperti hiperglikemia dan resistensi

menyebabkan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Tingginya radikal bebas

yang terbentuk dari asam lemak bebas, peningkatan AGE (Advance Glycation End

products), aktivasi protein kinase C, menurunnya ketersediaan NO serta

meningkatnya aktivasi berbagai faktor inflamasi akan menimbulkan kerusakan

endotel lebih jauh. Pada penderita DM, terjadi peningkatan kadar fibrinogen,

menurunnya aktivitas fibrinolisis, serta peningkatan tissue faktor dan

thrombogenicity, terutama pada individu dengan DM yang tidak terkontrol.

4. Merokok

Komponen yang terdapat dalam sebatang rokok seperti nikotin dapat menghambat

atau menurunkan ketersediaan nitric oxide (NO) sebagai vasilator fisiologis pada

pembuluh darah sehingga meningkatkan resiko terjadi aterosklerosis pada vaskuler.

Selain itu, respon inflamasi vaskuler terhadap kandungan asap rokok menjadi

pemicu terbentuknya plak aterosklerosis. Rokok juga dihubungkan dengan

peningkatan serum kolesterol, trigliserida, dan level LDL, akan tetapi menurunkan

HDL. Selain itu, asap rokok juga mencetuskan efek protrombotik, yang

mengakibatkan kerusakan fungsi platelet, antitrombotik/faktor protrombotik, dan

faktor fibrinolisis.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

15

5. Usia

Seiring pertambahan usia, terjadi perubahan yang pada pembuluh darah manusia.

Terjadinya fenotipe sel endotel dan sel otot polos, endapan kolagen, dan penebalan

dinding vaskuler mengakibatkan perubahan struktural dinding pembuluh darah

menjadi kaku sehingga membuat resistensi vaskuler meningkat. Hal ini menjadi

pemicu meningkatnya tekanan darah pada lansia, sehigga akan berdampak kepada

resiko terjadinya sindrom koroner akut.

2.1.5. Klasifikasi sindrom koroner akut.

SKA dapat diklasifikasikan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung. Klasifikasi sindrom

koroner akut dapat dibagi menjadi sebagai berikut (PERKI,2015):

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation

myocardial infarction)

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury

vascular.Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan

indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Diagnosis STEMI

ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST

yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.

2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation

myocardial infarction)

NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.

Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak

stabil. Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

16

keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua

sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi

segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-

normalization, atau bahkan tanpa perubahan.

3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark

miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang

lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan

biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi

Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial

Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak

meningkat secara bermakna.

2.1.6. Penatalaksanaan sindrom koroner akut.

Pengobatan pada sindrom koroner akut tergantung dari jangkauan penyakit dan gejala

yang dialami oleh pasien, diantaranya adalah sebagai berikut (PERKI, 2015):

1. Terapi Farmakologi

Berdasarkan Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut oleh Perhimpunan

Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015), penanganan awal atau gawat

darurat pada pasien dengan keluhan angina, sebelum didapatkan hasil pemeriksaan

EKG dan/atau marka jantung, yaitu MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin).

Adapun tahapan tatalaksana pasien dengan SKA antara lain tirah baring dan

pemberian oksigenasi bagi semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

17

mempertimbangkan saturasi O2. Setelah itu, memberikan aspirin 160-320 mg

segera pada semua pasien yang tidak diketahui toleransinya terhadap aspirin, dapat

dilanjutkan dosis maintanance 80mg/hari. Pasien juga diberi penghambat reseptor

ADP (adenosinediphosphate) dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan

dengan dosis maintenance 75 mg/hari, pada pasien yang direncanakan untuk

reperfusi menggunakan agen fibrinolitik. Selain itu, nitrogliserin (NTG) spray/tablet

sublingual juga diberikan sesaat setelah serangan nyeri muncul jika setelah

pemberian pertama nyeri tidak berkurang, maka dapat diulang setiap lima menit

selama maksimal tiga kali pemberian. Pertimbangan pemberian nitrogliserin melalui

intravena juga dapat dipertimbangkan, jika pasien tidak responsif terhadap

pemberian NTG sublingual sebanyak tiga kali. Tahap akhir yaitu morfin sulfat 1-5

mg intravena, dapat diulang 10-30 menit,bagi pasien yang tidak responsif dengan

terapi tiga dosis NTG sublingual.

Penatalaksanaan SKA dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk

mengurangi kebutuhan oksigen pada otot jantung (misalnya: nitrogliserin, beta

blocker, digitalis, diuretik, vasodilator, sedatif, kalsium antagonis) dan

meningkatkan suplai oksigen ke otot-otot jantung (pemberian oksigen, nitrogliserin,

obat-obatan fibrinolitik dan vasopresor) (PERKI, 2015)

2. Reperfusi Koroner

Penatalaksaan ini dilakukan dengan tindakan yang bertujuan untuk membuka atau

melebarkan arteri koroner yang mengalami penyempitan dengan atau tanpa

pemasangan stent agar aliran darah dapat kembali menuju otot jantung (Hamm,

2011).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

18

a. PCI (Percutaneous Coronary Intervention)

PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan kateter untuk

melebarkan atau membuka pembuluh koroner yang menyempit dengan balon atau

stent.Stent arteri koroner berupa perangkat berbentuk kawat tabung jala kecil yang

digunakan untuk melebarkan arteri yang sempit atau lemah.Sebuah stent

ditempatkan di arteri koroner yang mensuplai darah ke jantung, untuk menjaga

arteri terbuka dalam pengobatan SKA.Tanpa stent sekitar 30-40% pasien

mengalami kekambuhan kembali akibat restenosis (Sudoyo, 2010).

Tindakan PCI diindikasikan pada STEMI akut onset <12 jam disebut PCI primer

(Primary PCI). PPCI menghasilkan patensi arteri dan aliran yang lebih tinggi,

menurunkan angka iskemia dan infark berulang, menurunkan prosedur

revaskulerisasi berulang, serta menurunkan perdarahan intra kranial dan

menurunkan angka kematian (Hamm, 2011).

b. Terapi fibrinolitik atau trombolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama untuk kondisi

dimana PPCI tidak dapat dilakukan pada pasien STEMI sesuai kondisi yang

direkomendasikan.Tujuan terapi fibrinolitik adalah untuk mendapatkan patensi

awal, memperluas area penyelamatan miokardium, mempertahankan fungsi

ventrikel kiri dan menurunkan mortalitas.Penurunan mortalitas dapat dicapai

secara dramatis jika terapi dicapai dalam jam pertama (golden first hour) (Hamm,

2011).

Berbagai agen trombolitik mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membentuk

plasmin yang melisiskan bekuan. Salah satu jenis trombolitik yang tersedia adalah

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

19

aktivator plasminogen yang bekerja dengan menghidrolisis plasminogen inaktif

menjadi plasmin aktif. Plasmin ini bekerja dalam degradasi fibrin. Generasi

pertama agen trombolitik yang tidak bersifat selektif terhadap fibrin antara lain

streptokinase (SK), urokinase (UK), dan APSAC (Anisoylated Plasminogen

Streptokinase Activator Complex). Generasi kedua dan berikutnya bersifat selektif

terhadap fibrin antara lain t-PA (tissue Plasminogen Activator), scu-PA,

staphylokinase, dan TNK t-PA (AHA, 2015).

3. Intervensi Bedah

Tindakan bedah yang dilakukan pada pasien Coronary Artery Disease (CAD)

adalah dengan melakukan Coronary Artery Bypass Graft (CABG). CABG adalah

teknik yang menggunakan pembuluh darah bagian tubuh yang lain untuk

memintas arteri yang menghalangi pemasokkan darah ke jantung. CABG

bertujuan untuk membuat rute dan saluran baru pada arteri yang terbendung

sehingga oksigen dan nutrisi dapat mencapai otot jantung (Huon Gray et all,

2011).

2.2. Konsep Nyeri

2.2.1. Pengertian nyeri.

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat.

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

20

perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual

maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Sedangkan

menurut Engel (2010) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan

yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang

diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa

yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya

mengatakan bahwa rasa itu ada.

Berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah keadaan

yang tidak menyenangkan dan dapat menyebabkan perubahan terhadap fungsi tubuh.

2.2.2. Faktor yang mempengaruhi nyeri.

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman

seseorang terhadap nyeri. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi nyeri, yaitu :

a. Usia

Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami

kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena

mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani.

b. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri

yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Bagi beberapa

orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri

berkepanjangan atau kronis dan persisten.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

21

Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit

ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan

baik (Smeltzer & Bare, 2013).

c. Keluarga dan suport sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari

orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung

pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran

keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah.

Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam

menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2013).

d. Pola koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah

hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus pasienkehilangan kontrol dan

tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Seorang pasien

mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.

Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan

pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdoa, memberikan banyak

kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 2010).

2.2.3. Klasifikasi nyeri.

Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang

tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera spesifik, jika kerusakan tidak lama terjadi

dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan proses

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

22

penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik

hingga enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan (Brunner & Suddarth,

2006).Berger (2012) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan

yang berlangsung kurang dari enam bulan.Secara fisiologis terjadi perubahan denyut

jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat

pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu

periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering

sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap

pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan

sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer 2011).

Menurut Taylor (2013) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam

gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah

detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini

berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-menerus atau intermitten.

2.2.4. Fisiologi nyeri.

Menurut Torrance & Serginson (2007), ada tiga jenis sel saraf dalam proses

penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau

interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai

reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum

tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls

yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

23

terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang

nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin,

bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan

mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak.

Menurut Smeltzer & Bare (2013) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap

sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus

sensori asenden berawal disini. Disinilah terjadi interkoneksi antara sistem neural

desenden dan traktus sensori asenden.Traktus asenden berakhir pada otak bagian

bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar

nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan.

Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan

organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalisyang ketika

diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan

atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden.

2.2.5. Patofisiologi nyeri.

Nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus

noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

Rangsangan berbahaya seperti adanya ischemia, infark miokard akan mengaktifkan

saraf parasimpatis sehingga menimbulkan nyeri. Stimulus nyeri dada akan diubah

menjadi impuls listrik. Perubahan energy ini dinamakan transduksi. Transduksi

dimulai ketika stimulus terjadinya nyeri dada mengirimkan impuls yang melewati

nosiseptor (saraf panca indera yang menghantarkan stimulus nyeri dada ke otak), maka

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

24

akan menimbulkan potensial aksi. Setelah proses transduksi selesai transmisi impuls

dimulai. Proses transmisi merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris

setelah terjadi proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A Delta

dan serabut C dari perifer ke system saraf spinotalamik. Ketika stimulus nyeri dada

sampai ke korteks serebral maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dada

dan memproses dari pengalaman yang telah lalu, pengetahuan serta budaya kemudian

diterjemahkan sebagai persepsi nyeri dada dimana seseorang sadar akan timbulnya

nyeri dada (MC Cafferi & Pasero, 1999 dalam Potter & Perry, 2010).

2.2.6. Pengukuran skala nyeri.

Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri

dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran

dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu

sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) Skala intensitas nyeri deskriptif

2) Skala identitas nyeri numerik

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

25

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Atau bisa juga mmenggunakan sketsa wajah sebagai berikut :

Perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang nilai nyerinya dengan menggunakan

skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang membantu menerangkan

bagaimana intensitas nyerinya.Nyeri yang ditanyakan pada skala tersebut adalah sebelum

dan sesudah dilakukan intervensi nyeri untuk mengevaluasi keefektifannya (Mc Kinney,

2010).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

26

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapatmengikuti perintah

tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak

dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang

dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagiberkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri

tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,

sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien.

Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan

sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

27

jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa

nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan pasien skala

tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.

Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa

jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien

memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik

(Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi

kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala

paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi

terapeutik, apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan

patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu garis lurus, yang

mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap

ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi

keparahan nyeri.VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih

sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada

dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Keuntungan menggunakan VASyaitu : merupakan metode pengukuran intensitas nyeri

yang sensitif, murah dan mudah dibuat, VAS lebih sensitif dan lebih akurat dalam

mengukur nyeri dibandingkan dengan pengukuran deskriptif, mempunyai korelasi

yang baik dengan pengukuran yang lain, dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak

tergantung bahasa bahkan dapat digunakan pada anak-anak di atas usia 5 tahun dan

VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri. Adapun kekurangannya

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

28

adalah :VAS memerlukan pengukuran yang teliti untuk memberikan penilaian, pasien

harus hadir saat dilakukan pengukuran, serta secara visual dan kognitif mampu

melakukan pengukuran.

VAS sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Sehingga

edukasi / penjelasan terapis / pengukur tentang VAS terhadap pasien sangat

dibutuhkan. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan

tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila pasien dapat

membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif

bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga,

mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau

saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan

atau peningkatan (Potter, 2005).

2.3. Manajemen nyeri.

2.3.1. Farmakologi.

Beberapa agen farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Jenis terapi

farmakologi yang biasa diberikan diantaranya : non-narkotik, obat anti inflamasi

nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, obat tambahan (adjuvan). Obat

analgetik non narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang. Obat

analgesik narkotik atau opiat umumnya diresepkan untuk nyeri sedang sampai berat.

Morfin sulfat merupakan derivat opium yang memiliki karakteristik efek analgetik

seperti meningkatkan ambang nyeri sehingga menurunkan persepsi nyeri, mengurangi

kecemasan dan ketakutan yang merupakan komponen reaksi terhadap nyeri,

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

29

menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami nyeri berat. Bahaya

analgetik narkotik adalah berpotensi mendepresi fungsi sistem saraf dan vital juga bisa

menyebabkan depresi pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di batang otak.

Adjuvan atau obat tambahan seperti sedatif, anti cemas dan relaksan otot,

meningkatkan kontrol nyeri atau gejala lain yang menyangkut nyeri seperti depresi.

Obat - obatan ini seringkali menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi,

keputusasaan dan kewaspadaan mental.

2.3.2. Non farmakologi.

Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada

pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan

penanganan berdasarkan :

a. Stimulasi fisik, seperti :

1) Stimulasi kulit

Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot.

Rangsangan massage otot ini dipercaya akanmerangsang serabut berdiameter

besar, sehingga mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri.

2) Stimulasi electric (TENS)

TENS atau disebuttranscutaneus electrical nerve stimulation merupakan

stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan

melalui elektroda luar.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

30

3) Akupuntur

Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk

mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan

menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat

memblok transmisi nyeri ke otak.

b. Intervensi perilaku kognitif, seperti :

1) Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi

mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan

relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.

2) Gate kontrol dan massage kutaneus

Teori gate control nyeri bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang

menstransmisikan sensasi tidak nyeri, memblok atau menurunkan transmisi,

impuls nyeri. Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering

dipusatkan pada punggung dan bahu. Massage tidak secara spesifik

menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai

dampak melalui sistem control desenden. Massage dapat membuat pasien lebih

nyaman karena membuat relaksasi otot.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

31

3) Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain

pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan

mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya.

Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit

perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi

terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan

menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit

stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.

4) Imaginasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu

cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Banyak

pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali

meraka mencobanya.Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jam setelah

imajinasi digunakan.

2.4. Konsep Relaksasi Benson

Relaksasi adalah terapi atau latihan untuk membawa seseorang pada keadaan relaks pada

otot-otot. Jika seseorang berada pada keadaan santai akan terjadi pengurangan timbulnya

reaksi emosi yang menggelora, baik pada susunan syaraf pusat maupun susunan syaraf

otonom yang lebih lanjut dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat, baik secara

jasmani maupun rohani. Selanjutnya pasien tidak lagi tergantung pada terapisnya, tetapi

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

32

melalui tehnik sugesti diri (Auto Suggestion Tehnique) seorang dapat perubahan untuk

mengatur emosi yang dikehendaki.

Relaksasi adalah salah satu teknik dalam perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan

Wolpe untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan yang dikutip Goldfried dan

Davidson, (1976). Relaksasi dapat menghasilkan efek fisiologis yang berlawanan dengan

kecemasan yaitu, kecepatan denyut jantung yang lambat, peningkatan darah perifer dan

stabilitas neuro muskular.

Menurut pandangan ilmiah, relaksasi merupakan perpanjangan otot skeletol sedangkan

ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut otot. Dasar terapi

relaksasi otot adalah didalam sistem syaraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem

saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang

dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher dan jari-jari. Sistem saraf otonom

berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif,

proses kardio vaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom terdiri dari subsistem

yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Sistem saraf simpatis memacu

kerja-kerja organ tubuh seperti memacu meningkatnya denyut jantung, pernafasan dan

menimbulkan penyempitan pembulu darah tepi (Peripheral) serta pembesaran darah

pusat, maka sebaliknya sistem saraf parasimpatis.

Manfaat relaksasi, menurut Burn dalam buku Konseling dan Psikoterapi (2007) beberapa

keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi antara lain :

a) Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan

karena adanya stress.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

33

b) Masalah-masalah yang berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala,

insomnia, dapat dikurangi dan diobati dengan relaksasi.

c) Mengurangi tingkat kecemasan. Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa individu

dengan tingkat kecemasanyang tinggi dapat menunjukkan efek fisiologis positif

melalui latihan relaksasi.

d) Mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stress dan

mengontrol anticipatory anxiety sebelum situasi yang menimbulkan kecemasan

seperti pertemuan penting, wawancara dan sebagainya.

e) Mengurangi perilaku tertentu yang sering terjadi selama periode stress seperti

mengurangi jumlah rokok yang dihisap, konsumsi alkohol, pemakaian obat-obatan

dan makan yang berlebihan.

f) Meningkatkan penampilan kerja sosial dan ketrampilan fisik. Hal ini mungkin terjadi

sebagai hasil pengurangan tingkat ketegangan.

g) Kelelahan aktifitas mental dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi lebih

cepat dengan menggunakan latihan relaksasi.

h) Kesadaran diri tentang keadaan fisiologis seseorang dapat meningkat sebagai hasil

latihan relaksasi sehingga kemungkinan individu untuk menggunakan keterampilan

relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis.

i) Relaksasi merupakan bantuan untuk menyembuhkan penyakit tetentu dan operasi.

j) Konsekwensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri

dan keyakinan diri individu meningkat sebagai hasil control meningkat terhadap

reaksi stress.

k) Meningkatkan hubungan interpersonal.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

34

Berbagai metode relaksasi telah banyak dikembangkan seperti relaksasi progresif,

relaksasi otot, relaksasi meditasi. Namun pengembangan teknik relaksasi yang berkaitan

dengan keyakinan seseorang (faith factor) belum dikaji secara mendalam apalagi yang

mengarah pada keyakinan religi tertentu. Relaksasi dengan memasukkan unsur keyakinan

dapat dilakukan oleh siapa saja yang yakin terhadap sesuatu dan dapat dipraktekkan oleh

agama apa saja (Benson,2000).

Relaksasi benson merupakan teknik relaksasi pasif dengan tidak menggunakan tegangan

otot yang digabungkan dengan keyakinan yang dianut oleh pasien sehingga sangat tepat

untuk mengurangi nyeri dada pada kasus sindroma koroner akut. Kata atau kalimat

tertentu yang dibaca berulang-ulang dengan melibatkan unsur keimanan dan keyakinan.

Ungkapan yang dipakai dapat berupa nama tuhan atau kata-kata lain yang memiliki

makna yang dapat menenangkan sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi

kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Benson & Proctor, 2000 dalam Purwanto,

2006).

Relaksasi Benson merupakan konsep relaksasi sebagai bagian dari pengembangan “self

care theory” yang dikemukakan oleh Orem, dimana perawat dapat membantu kebutuhan

self care pasien dan berperan sebagai supportive – educative, sehingga pasien dapat

menggunakan relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri (Tommey & All Good, 2006).

Relaksasi Benson juga termasuk terapi alternative dan komplementer yang dikembangkan

oleh national center for complimentary and alternative medicine (NCCAM) (Cushman &

Hoffman, 2004).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

35

Relaksasi Benson efektif juga untuk mengatasi kekhawatiran atau kecemasan atau stress

melalui pengenduran otot-otot dan saraf. Dalam keadaan relaksasi seluruh tubuh dalam

keadaan homeostatis atau seimbang, dalam keadaan tenang tapi tidak tertidur, dan seluruh

otot-otot dalam keadaan rileks dengan posisi tubuh yang nyaman (Benson & Proctor,

2000 dalam Roykulcharoen, 2003).

Dalam relaksasi Benson mekanisme gerbang yang berlokasi disepanjang system saraf

pusat dapat mengatur atau bahkan menghambat impuls-impuls nyeri. Penutupan gerbang

merupakan dasar terhadap intervensi non farmakologis dalam penanganan nyeri (Benson,

2010).

Respon relaksasi yang melibatkan keyakinan yang dianut akan mempercepat terjadinya

keadaan relaks, dengan kata lain kombinasi respon relaksasi dengan melibatkan

keyakinan akan melipatgandakan manfaat yang didapat dari respon relaksasi (Benson,

2000). Penggunaan frase yang bermakna dapat digunakan sebagai fokus keyakinan,

sehingga dipilih kata yang memiliki kedalaman keyakinan. Dengan menggunakan kata

atau frase dengan makna khusus akan mendorong efek plasebo yang menyehatkan.

Semakin kuat keyakinan seseorang berpadu dengan respon relaksasi maka semakin besar

pula efek relaksasi yang didapat. Pilihan frase yang dipilih sebaiknya singkat untuk

diucapkan dalam hati saat mengambil dan menghembuskan napas secara normal. Kedua

kata tersebut mudah diucapkan dan mudah diingat. Fokus dari relaksasi ini tidak pada

pengendoran otot namun pada frase tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme

yang teratur disertai sikap pasrah kepada objek transendensi yaitu Tuhan. Frase yang

digunakan dapat berupa nama-nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna

menenangkan.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

36

Sangkan (2002) menyebutkan pengulangan kata atau frase secara ritmis dapat

menimbulkan tubuh menjadi rileks. Pengulangan tersebut harus disertai dengan sikap

pasif terhadap rangsang baik dari luar maupun dari dalam.Sikap pasif dalam konsep

religius dapat diidentikan dengan sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap pasrah inilah yang

dapat melipatgandakan respon relaksasi yang muncul. Keuntungan dari relaksasi religius

ini selain mendapatkan manfaat dari relaksasi juga mendapatkan kemanfaatan dari

penggunaan keyakinan seperti menambah keimanan, dan kemungkinan akan

mendapatkan pengalaman-pengalaman transendensi. Dzikir sebagai salah satu bentuk

ibadah dalam agama Islam merupakan relaksasi religius, dengan mengucapkan lafadz

Allah atau Ahad secara terus menerus dengan pelan dan ritmis akan dapat menimbulkan

respon relaksasi (Benson, 2000. Sangkan 2002).

Pengulangan lafadz tersebut disertai dengan keyakinan terhadap kasih sayang-Nya,

perlindungan-Nya dan sifat-sifat baikNya yang lain akan menimbulkan rasa tenang dan

rasa aman. Hubungan antara komitmen religius atau keimanan dengan penyembuhan

telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh David B. Larson dan Mr.

Constance P.B. menemukan bukti bahwa faktor keimanan memiliki pengaruh yang luas

dan kuat terhadap kesehatan. Di dalam sintesisnya, The Faith Factor : An annotated

Bioliography of Chemical Research on Spiritual Subject, mereka menemukan bahwa

faktor religius terlibat dalam peningkatan kemungkinan tambahnya usia harapan hidup,

penurunan pemakaian alkohol, rokok, dan obat, penurunan kecemasan, depresi, dan

kemarahan, penurunan tekanan darah, dan perbaikan kualitas hidup bagi pasien kanker

dan penyakit jantung (sholeh, 2002).

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

37

Pasien dengan keimanan yang kuat mampu untuk berjalan lebih jauh secara bermakna

dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami depresi. Kemudian ia menyimpulkan

bahwa komitmen religius yang konsisten akan memperkecil gangguan psikologis,

semakin baik kesehatannya, semakin normal tekanan darahnya, dan semakin panjang

harapan hidupnya. Dua hal yang dilakukan untuk menimbulkan respon relakasi adalah:

(1) mengulang kata, frase atau mengulang aktivitas otot-otot. (2) bersikap pasif ketika

berbagai gangguan menyerang seperti rasa penat, rasa capek, dan gangguan pikiran

(Benson, 2000).

Sangkan (2002) menggambarkan bahwa sikap pasrah dalam bahasan yang lebih luas

bukan malas dan tidak melakukan apa, sikap pasrah sempurna seperti sebuah pohon yang

bergoyang ke kanan dan ke kiri karena mengikuti tiupan angin, jika pohon ini menentang

angin yang menerpa (tidak pasrah) maka pohon akan tumbang. Bergeraknya pohon ke

kanan dan ke kiri itulah sikap pasrah yang sebenarnya. Dalam pelaksanaan relaksasi

ketika pengendoran secara fisik sudah dilakukan langkah selanjutnya adalah

mengucapkan frase yaa Allah yang diikuti dengan sikap penyerahan diri secara total baik

tubuh, pikiran, perasaan dan jiwa. Penyerahan dengan mengulang frase dipertahankan

hingga sesi latihan berakhir. Tidak ada batasan waktu dalam melatih relaksasi ini, namun

menurut Benson (2000) latihan relaksasi sebaiknya dilakukan sebelum makan sehingga

proses relaksasi tidak terganggu oleh kerja pencernaan. Dari pendapat tersebut bila

digabungkan dengan ritual keislaman sebaiknya dilakukan setelah sholat subuh dan

magrib. Diharapkan dengan latihan yang rutin sehari 2 kali ini respon relaksasi dapat

dimunculkan setiap saat sesuai kebutuhan.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

38

Langkah-langkah relaksasi dzikir ini merupakan modifikasi dari teknik relaksasi dengan

melibatkan faktor keyakinan dari Benson (2000), yaitu:

1) Memilih frase yang sesuai dengan keyakinan Frase atau kata ini digunakan sebagai

fokus atau pengantar meditasi, dan pemilihan kata sebaiknya memiliki arti khusus

terutama frase yang dapat menimbulkan munculnya kondisi transen-densi, sehingga

diharapkan dengan frase sebagai fokus yang digunakan akan meningkatkan kekuatan

respon relaksasi dengan memberi kesempatan faktor keyakinan untuk memberi

pengaruh. Pemilihan frase sebaiknya cukup singkat agar dapat diucapkan dalam hati

ketika menghembuskan nafas secara normal. Dalam metode ini yang akan digunakan

adalah frase “yaa Allah” karena frase ini singkat dan langsung menuju kepada objek

transendensi.

2) Atur posisi tubuh yang nyaman Sebelum memulai relaksasi carilah posisi duduk yang

nyaman sehingga posisi tidak mengganggu pikiran. Posisi dapat dilakukan misalnya

dengan bersila atau duduk di sofa. Lingkungan diatur sedemikian rupa sehingga tidak

mengganggu proses relaksasi misalnya suhu, kebisingan, pakaian yang terlalu ketat

dan bau-bauan yang tidak enak.

3) Memejamkan mata. Pejamkan mata secara perlahan dan pejamkan dengan wajar tidak

perlu memicingkan mata kuat-kuat. Karena pemaksaan untuk memejamkan akan

membuat otot-otot mata tidak rileks.

4) Lemaskan otot-otot Mulailah melemaskan otot dari kaki, kemudian betis, paha, dan

perut seterusnya hingga kepala. Caranyadengan merasakan otot yang akan dirilekskan

kemudian otot tersebut diperintahkan untuk rileks misalnya akan melemaskan otot

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

39

kaki; dengan memerintahkan pada kaki “lemas..lemas..” sambil merasakan dan

membiarkan otot-otot kaki untuk lemas.

5) Perhatikan napas dan mulailah menggunakan kata fokus yang berakar dari keyakinan.

Bernapaslah perlahan-lahan dan wajar, tanpa memaksakan iramanya. Pada tahap ini

mulailah mengulang-ulang dalam hati kata atau frase yang dipilih sambil mengambil

dan mengeluarkan napas. Karena teknik ini menggunakan frase yaa Allah maka

ketika mengambil napas disertai dengan membaca dalam hati kata yaa…kemudian

ketika mengeluarkan napas diikuti pula membaca dalam hati kata Allah….

6) Pertahankan sikap pasif Selain pengulangan kata atau frase, sikap pasif adalah aspek

penting untuk membangkitkan respon relaksasi. Saat mulai duduk dan mengulang-

ulang frase berbagai macam pikiran akan bermunculan yang akan mengalihkan

perhatian frase yang diulang-ulang.

Contoh kata atau frase yang memfokuskan sesuai dengan keyakinan :

1. Islam

Allah atau nama-nama-Nya dalam Asmaul Husna, kalimat – kalimat untuk berdzikir

seperti Alhamdulillah, Subhanallah, Allahu Akbar dan lain – lain.

2. Katholik

“ Tuhan Yesus Kristus, Kasihanilah aku, Bapa Kami yang di surga : Salam Maria

yang penuh rahmat, Aku percaya akan Roh Kudus”.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

40

3. Protestan

“ Tuhan datanglah ya Roh Kudus : Tuhan adalah gembalaku, Damai Sejahtera Allah,

yang melampaui Aku”.

4. Hindu

“ Kebahagiaan ada di dalam Hati, Engkau ada dimana – mana, Engkau adalah tanpa

bentuk”.

5. Budha

“ Aku Pasrahkan diri sepenuhnya, hidup adalah sebuah perjalanan”.

2.5. Penelitian Yang Terkait

Adapun penelitian – penelitian yang terkait :

1. Menurut Ramdhani (2015) penelitian dengan judul perbedaan skala nyeri dada

sebelum dan sesudah pemberian relaksasi benson pada pasien sindroma koroner akut

di RSUD KRT Setjonegoro dan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo dengan

menggunakan metode penelitian pre experiment dengan one group pre-test dan post

testdesign pada 15 pasien SKA yang diambil dengan metode purposive sampling

menggunakan instrumen numeric pain scale untuk mengukur skala nyeri sebelum dan

sesudah relaksasi benson yang dilakukan selama 10 menit, 1 kali sebelum sarapan

pagi dengan uji statistic wilcoxon test menunjukan bahwa relaksasi benson dapat

membuktikan adanya perbedaan bermakna skala nyeri sebelum dan sesudah relaksasi

benson. (p value = 0,000 dan α = 0,05).

2. Menurut hasil penelitian Sunaryo & Lestari (2014) tentang pengaruh relaksasi benson

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

41

terhadap penurunan skala nyeri dada kiri pada pasien acute miocard infark di Rumah

Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014 menunjukkan bahwa Terapi kombinasi

Analgetik dan Relaksasi Benson berpengaruh terhadap penurunan skala nyeri pada

pasien Acute Myocardial Infarc (P value = 0,000), sehingga bila dibandingkan dengan

kelompok responden yang hanya mendapatkan terapi analgetik (P value=0,004) maka

dapat disimpulkan bahwa relaksasi Benson berpengaruh terhadap penurunan skala

nyeri pada pasien Acute Myocardial Infarc.

3. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Datak Gad (2008) tentang penurunan

nyeri pasca bedah pasien TUR Prostat melalui relaksasi Benson menunjukkan bahwa

kombinasi Relaksasi Benson dan terapi analgetik efektif menurunkan rasa nyeri pasca

bedah pada pasien TUR Prostat (p = 0,019 dan α = 0,05).

4. Menurut Jumaiyah (2014), penelitian dengan judul relaksasi benson terhadap nyeri

paska bedah pasien CABG (coronary artery bypass grafting) di Rumah Sakit Jantung

dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta didapatkan hasil bahwa relaksasi benson

efektif terhadap penurunan nyeri paska bedah pada pasien CABG. Metode penelitian

ini menggunakan quasi-experimental dengan pre-test dan post-test design with

control group dengan jumlah sampel 20 responden. Hasil penelitian terdapat

penurunan skor nyeri pada kelompok intervensi (p=0,001;α = 0,05) lebih bermakna

dibandingkan dengan skor nyeri pada kelompok control (p=0,019;α = 0,05).

5. Menurut Rasubala,dkk(2017), penelitian dengan judul Pengaruh tekhnik relaksasi

benson terhadap skala nyeri pada pasien post operasi Appendicitis di

RSUP.Prof.DR.R.D. Kandaou dan RS TK.III R.W.Mongisidi Teling Manado

didapatkan tingkat kepercayaan 95%(α = 0,05) dan diperoleh p value 0,000 < 0,05.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut

42

Metode penelitian ini menggunakan quasi-experimental dengan pre-test dan post-test

design with control group dengan jumlah sampel 16 responden. Tekhnik relaksasi

benson dilakukan setelah pemberian analgesic dengan durasi 30 menit setiap hari

selama tiga hari. Sebelum dan sesudah diberikan tekhnik relaksasi benson dilakukan

pengukuran skala nyeri dengan Numeric Rating Scale ( NRS ).

Table 2.1

Kerangka Konsep Teori

SINDROM KORONER AKUT

Penyempitan lumen arteri,ruptur plak, trombosis, dan spasme arteri

Aterosklerosis

Ketidakseimbangan kebutuhan ooOooksigen

Nyeri

Metabolisme anaerob: pH sel

Penurunan aliran darah arteri koronaria

Iskemia miokardium

Gangguan suplai oksigen ke miokard

STEMI, NSTEMI, UAP

Iskemik >30 menit

Infark miokardium Infark transmural

Infark subendokardial

Sindrom koroner akut

EKG : T terbalik dan ST segmen

Kerusakan otot miokardium

Produksi asam laktat

Pelepasan enzim

CKMB dan LDH