BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Papilloma Virus II.pdfTabel 2.2.2 Klasifikasi Stadium Klinis...

24
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Papilloma Virus Gambar 2.1 Human Papilloma Virus (Borruto and Marc, 2012) Human papilloma virus (HPV) adalah virus berukuran kecil sekitar 8000 pasang basa. Strukturnya berbeda dengan virus lainnya, HPV berbentuk bulat, sekilas menyerupai bola golf. Untuk beradaptasi dengan tubuh host, HPV memerlukan sel yang aktif membelah dan berdiferensiasi. Oleh karena itu, sel yang telah terdiferensiasi sempurna pada permukaan kulit tidak digunakan oleh virus ini. HPV memerlukan akses menuju sel pada tahap sel yang sedang berkembang, yaitu saat berada di lapisan basal (Dunleavay, 2009). Genom HPV hanya mengkode 8 jenis protein (Dunleavey, 2009). Protein ini terbagi menjadi “early” (E) dan “late” (L). Early protein diekspresikan selama tahap awal infeksi virus, dan late protein diekspresikan pada tahap selanjutnya. Hipotesis terbaru mengatakan bahwa HPV memasuki tubuh melalui area epidermis yang rentan dan tipis, seperti zona transformasi pada serviks atau anus, atau melalui mikro-abrasi

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Papilloma Virus II.pdfTabel 2.2.2 Klasifikasi Stadium Klinis...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Papilloma Virus

Gambar 2.1 Human Papilloma Virus (Borruto and Marc, 2012)

Human papilloma virus (HPV) adalah virus berukuran kecil sekitar 8000 pasang

basa. Strukturnya berbeda dengan virus lainnya, HPV berbentuk bulat, sekilas

menyerupai bola golf. Untuk beradaptasi dengan tubuh host, HPV memerlukan sel

yang aktif membelah dan berdiferensiasi. Oleh karena itu, sel yang telah

terdiferensiasi sempurna pada permukaan kulit tidak digunakan oleh virus ini. HPV

memerlukan akses menuju sel pada tahap sel yang sedang berkembang, yaitu saat

berada di lapisan basal (Dunleavay, 2009).

Genom HPV hanya mengkode 8 jenis protein (Dunleavey, 2009). Protein ini

terbagi menjadi “early” (E) dan “late” (L). Early protein diekspresikan selama tahap

awal infeksi virus, dan late protein diekspresikan pada tahap selanjutnya. Hipotesis

terbaru mengatakan bahwa HPV memasuki tubuh melalui area epidermis yang rentan

dan tipis, seperti zona transformasi pada serviks atau anus, atau melalui mikro-abrasi

9

pada epitelium yang terjadi selama aktivitas seksual. Ketika virus memasuki sel yang

aktif membelah pada membran basal, virus akan mengambil alih kontrol terhadap sel

untuk mereplikasi materi genetiknya dan mengekspresikan protein HPV. Sementara

itu, virus tidak menganggu pembelahan sel normal lainnya. Tetapi, karena virus

sangat bergantung pada pembelahan sel secara kontinyu untuk multiplikasi dirinya

sendiri, virus mengekspresikan protein tertentu (early protein) yang berperan untuk

menginhibisi diferensiasi seluler dan menstimulasi proliferasi sel secara kontinyu

(Dunleavay, 2009).

2.2 Kanker Serviks

Kanker serviks adalah kanker dengan angka kejadian terbesar kedua di dunia.

Lebih dari 500.000 wanita di seluruh dunia didiagnosa menderita kanker serviks tiap

tahunnya dan hampir setengahnya meninggal karena penyakit ini. Sebelum

ditemukannya prosedur Pap smear pada tahun 1940-an, kanker serviks merupakan

kanker yang paling mematikan pada wanita di Amerika. Sejak skrining preventif

ditemukan, insiden kanker serviks menurun hingga 75 persen. Hingga saat ini, sekitar

10.000 hingga 13.000 wanita Amerika didiagnosa kanker serviks setiap tahunnya,

dan sekitar sepertiganya mengalami kematian (Spencer, 2007).

Serviks adalah bagian bawah, bagian ujung sempit dari uterus yang menuju

vagina. Kanker serviks terjadi ketika sel serviks mulai membelah tak terkontrol. Sel

yang membelah secara abnormal membentuk suatu massa disebut tumor. Sebagai sel

yang terus menerus membelah, sel dapat menginvasi ke jaringan normal di

10

sekelilingnya. Sel dapat memutuskan diri dari tumor primer dan menyebar pada situs

yang jauh di dalam tubuh, proses ini disebut metastasis (Spencer, 2007).

Seperti kanker lainnya, terdapat beberapa faktor risiko yang diasosiasikan

dengan perkembangan kanker serviks. Faktor risiko tersebut diantaranya adalah

merokok, makanan rendah nutrien dan vitamin tertentu, dan riwayat keluarga yang

terkena kanker serviks. Terdapat satu faktor yang berkorelasi kuat dengan kanker

serviks, yaitu infeksi human papillomavirus (HPV). HPV ditransmisikan melalui

hubungan seksual (Spencer, 2007).

Terdapat dua tipe utama dari kanker serviks. Tipe yang umum ditemukan adalah

karsinoma sel squamosa yang melibatkan lini epitel squamosa dari ektoserviks.

Sekitar 20% dari kanker serviks merupakan tipe adenokarsinoma yang melibatkan sel

epitel glandular yang tersebar di sepanjang kanal endoserviks (Dunleavay, 2009).

2.2.1 Gejala dan Tanda Kanker Serviks

Lesi kanker serviks yang sangat dini dikenal sebagai servikal intraepitelial

neoplasia (Cervical Intraepithelial Neoplasia = CIN) yang ditandai dengan adanya

perubahan displatik epitel serviks. Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam

stroma, kanker serviks masih mungkin tidak menimbulkan gejala, tanda dini kanker

serviks tidak spesifik seperti adanya sekret vagina yang agak banyak dan kadang-

kadang dengan bercak perdarahan. Pada stadium lanjut ketika tumor telah menyebar

keluar dari serviks dan melibatkan jaringan di rongga pelvis dapat dijumpai tanda lain

seperti nyeri yang menjalar ke pinggul atau kaki (Aziz dkk., 2006).

11

2.2.2 Stadium Kanker Serviks

Penetapan stadium kanker serviks penting dalam memperkirakan penyebaran

penyakit dan merupakan faktor kunci dalam penentuan terapi yang tepat. Pembagian

ini didasarkan atas pemeriksaan klinik (Williams and Wilkins, 2001).

Tabel 2.2.2 Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut International

Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO) (FIGO, 2000).

Stadium Kriteria

0 Karsinoma in-situ atau karsinoma intraepitel

I Kanker terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uterus diabaikan)

IA Kanker invasif hanya didiagnosis secara mikroskopis

IA1 Ukuran invasi stroma kedalamannya < 3 mm dan lebarnya ≤ 7 mm

IA2 Ukuran invasi stroma kedalamannya 3-5 mm dan lebarnya ≤ 7 mm

IB Lesi klinis mengurung serviks atau lesi preklinis yang melebihi stadium IA

IB1 Ukuran lesi klinis ≤ 4 cm

IB2 Ukuran lesi klinis > 4 cm

II Kanker menyebar di luar serviks tetapi tidak menyebar ke dinding pelvis

dan 1/3 bagian bawah vagina

IIA Kanker tanpa invasi parametrium

IIA1 Lesi klinis sebesar 4,0 cm atau kurang dalam dimensi yang lebih besar

IIA2 Ukuran lesi klinis > 4 cm

IIB Kanker jelas menginvasi parametrium

III Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina atau menginvasi parametrium

sampai dinding pelvis; atau kanker menimbulkan hidronefrosis atau

insufisiensi ginjal

IIIA Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina, tidak terjadi perluasan ke

dinding pelvis

IIIB Perluasan ke dinding pelvis atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak

berfungsinya ginjal

IV Penyebaran kanker melewati pelvis minor atau kanker menginvasi mukosa

buli-buli atau mukosa rektum

IVA Kanker bermetastasis ke organ yang berdekatan

IVB Kanker bermetastasis ke organ jauh

12

2.2.3 Penatalaksanaan Terapi Kanker Serviks

Penanganan kanker serviks dapat dilakukan dengan beberapa metode,

diantaranya adalah pembedahan, radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari

metode-metode tersebut. Kemoterapi merupakan penatalaksanaan kanker dengan

pemberian obat-obat sitotoksik. Kemoterapi dapat dilakukan dengan obat tunggal

ataupun kombinasi. Penggunaan kombinasi obat lebih efektif dalam menghasilkan

respon, mencegah klon sel kanker yang resisten terhadap regimen tunggal, dan

memperpanjang harapan hidup dibandingkan dengan obat yang sama secara tunggal

(Skeel and Khleif, 2011).

Adapun penatalaksanaan kanker serviks secara umum adalah:

13

Pasien Kanker Serviks

Stadium

IA1dapat

dilakukan

histerektomi

biasa

Stadium IA2

dilakukan

radikal

histerektomi dan

bilateral

limfadenektomi

atau radioterapi

Stadium IB-

IIA dilakukan

histerektomi

dan terapi

radiasi primer

Stadium IIB-

IVA dilakukan

radioterapi atau

chemoradiothe

rapi

1. Fist line kombinasi

- Cisplatin/ Paclitaxel

- Carboplatin/paclitaxel

- Cisplatin/topotecan

- Cisplatin/gemcitabine

2. Terapi agent tunggal

- Cisplatin

- Carboplatin

- Paclitaxel

3. Second line

- Bevacizumab

- Docetaxel

- Epirubicin

- 5-FU

- Ifosfamid

- Irinotecan

- Liposomal doxorubicin

- Mitomycin

- Pemetrexed

- Topotecan

- Vinorelbine

Gambar 2.2 Algoritme Terapi Kanker Serviks (NCCN, 2010)

Regimen kemoterapi yang biasa digunakan di RSUP Sanglah adalah weekly

cisplatin, kombinasi paklitaksel cisplatin, kombinasi paklitaksel karboplatin dan

kombinasi bleomisin, Oncovin®, mitomisin dan cisplatin (BOMP); kombinasi

bleomisin, Oncovin®, mitomisin, karboplatin (BOM-Karboplatin) (Komite Medik,

2006). Pemilihan terapi tergantung pada ukuran tumor, stadium klinis, tingkat

penyebaran tumor, gambaran histologis, adanya keterlibatan kelenjar getah bening,

14

faktor risiko dari pembedahan atau terapi radiasi, umur, dan kondisi kesehatan pasien

(Williams and Wilkins, 2001). Menurut Gynecologic Cancer Foundation (GCF),

secara umum tindakan terapi pada kanker serviks, dapat dibagi empat yakni

pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan kemoradioterapi.

Kemoterapi adalah penanganan kanker menggunakan obat antikanker. Obat

antikanker ini seringkali digunakan bersamaan dengan pembedahan ataupun

radioterapi. Proses kemoterapi biasanya jangka panjang. Agen kemoterapi tunggal

atau kombinasi diberikan pada interval siklus atau pulsed doses dan sangat

bergantung pada tipe serta karakteristik tumor. Monitoring pasien sangat diperlukan

dalam kemoterapi sehingga respon tumor terhadap terapi atau progresifitas tumor

dapat dipantau. Dahulu, kemoterapi diberikan sesuai panduan terapi yang ada. Akan

tetapi saat ini telah diketahui bahwa terdapat heterogenitas tumor antarpasien

sehingga perlu dilakukan individualisasi terapi berdasarkan karakteristik tumor dan

pasien (Airley, 2009).

Kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitoktosik.

Kebanyakan obat sitotosik mempunyai efek yang utama pada proses sintesis dan

fungsi molekul makroseluler, yaitu pada proses sintesis DNA, RNA, atau protein atau

mempengaruhi kerja molekul tersebut. Proses ini cukup menimbulkan kematian sel

(Aziz dkk., 2006). Kemoterapi kanker serviks umumnya diberikan secara intravena

dan bersiklus yang diselingi dengan waktu istirahat untuk membatasi kerusakan sel-

sel sehat (GCF, 2005). Kemoterapi sebenarnya bukan pilihan utama terapi pada

15

kanker yang masih terbatas di daerah pelvis, namun merupakan pilihan utama untuk

kanker yang telah menyebar ke luar pelvis (McComick and Giuntoli, 2011).

Pemilihan metode terapi pada kanker serviks sangat dipengaruhi oleh stadium

klinis (Vasilev et al., 2011). Pedoman pemilihan terapi berdasarkan Standar Prosedur

Operasional (SPO) kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar tertera pada tabel

2.2.3.

Tabel 2.2.3 Pemilihan Terapi Berdasarkan Stadium Penyakit (Komite Medik, 2004)

Stadium Tindakan Terapi yang Dianjurkan

0

a. Bila masih ingin memiliki anak dilakukan konisasi

b. Bila tidak ingin memiliki anak lagi dilakukan histerektomi sederhana

I–IIA

Radikal histerektomi

a. Jika terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka

ditambahkan radiasi eksternal 5.000–6.000 rad atau sitostatika

b. Jika tidak terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka

dilakukan pengawasan lebih lanjut

IIB Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal)

a. Jika operabel, maka diberikan radikal histerektomi, kemudian

radiasi ekternal 4000–5000 rad

b. Jika non operabel, maka diberikan radiasi ekternal 4000–5000 rad

III a. Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal)

b. Radiasi eksternal

IV Paliatif (radiasi/operasi/sitostatika paliatif dan simptomatis)

Catatan: Jika pasien berisiko tinggi diperlukan adjuvan radioterapi atau

kemoterapi. Dikatakan risiko tinggi jika terdapat sel ganas, tepi tidak bebas

tumor/radioterapi kurang efektif, dan terdapat pendarahan ke uterus.

2.3 Bleomisin, Oncovin®, Mitomisin, dan Karboplatin (BOM-Karboplatin)

Bleomisin, Oncovin®

(vinkristin), mitomisin, dan karboplatin (BOM-

karboplatin) merupakan salah satu regimen yang digunakan dalam prosedur

16

kemoterapi untuk kanker serviks di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Komite

Medik, 2006).

2.3.1 Bleomisin

Bleomisin adalah campuran dari 13 fraksi glycopeptide diproduksi oleh

Streptomyces verticillus. Bleomisin memiliki tingkat steady-state selama pemberian

infus 20 unit/hari berkisar antara 50-200 miliunit/L.Volume distribusi bleomisin

sebesar 0,27 ±0,04 L/kg. Waktu paruh fase α adalah 24 menit, dan fase β adalah 3,1±

1,7 jam. 50%-60% dosis bleomisin yang telah mengalami proses filtrasi oleh ginjal,

68% merupakan bleomisin dalam bentuk bebasnya. Efek antineoplastik yang dimiliki

adalah pemotongan DNA untai tunggal dan ganda, memproduksi eksisi basa timin

yang dimediasi melalui pengikatan ion ferric iron dan berikutnya memproduksi

hidroksil yang sangat reaktif dan radikal superoksida. Dosis bleomisin adalah 10-20

unit/m2 1-2 kali per minggu untuk pemberian intravena. Bleomisin bekerja spesifik

pada fase siklus sel tertentu, dengan aktivitas maksimal pada fase G2 (premitotic)

(Anderson et al., 2002).

Efek samping dari bleomisin adalah muntah (rendah hingga sedang), alopesia,

demam akut, eritema dengan edema, terkadang muncul hiperpigmentasi dan

penebalan kulit. Toksisitas yang paling serius untuk pemakaian jangka panjang

adalah fibrosis pulmonary yang dimanifestasikan oleh batuk kering, dispnea, dan

infiltrasi bilateral. Studi menunjukan adanya hipoksemia dan penurunan kapasitas

difusi CO. Toksisitas pulmonari biasanya tidak muncul pada dosis di bawah 150

17

unit/m2, frekuensi meningkat hingga 55% pada dosis >283 unit/m

2 dan 66% pada 360

unit/m2 (Anderson et al., 2002).

Bleomisin sulfat 150 unit dilarutkan didalam Dextrose 5% dengan wadah PVC

mengalami kehilangan sebanyak 54% selama 28 hari pada temperatur ruangan diluar

pengaruh sinar matahari. Jika disimpan didalam wadah kaca dengan konsentrasi 300

units akan kehilangan 10 % dalam waktu 8-10 jam pada suhu 23o

C. Bleomisin sulfat

dengan konsentrasi 15 unit didalam semua wadah (wadah PVC, wadah gelas, dan

wadah polyethylene) tidak ada kehilangan jika dilihat dengan spektroskopi UV dalam

24 jam dengan sinar matahari langsung (Trissel, 2009).

2.3.2 Oncovin

Oncovin atau Vinkristin merupakan alkaloid Vinca yang bekerja sebagai agen

antimitotik. Aktivitas sitotoksiknya dihubungkan dengan ikatan spesifik pada

mikrotubulus protein tubulin sehingga menyebabkan disolusi mikrotubulus. Hal ini

akan memblok pembentukan apparatus benang mitotik yang diperlukan dalam

pembelahan sel. Golongan vinca menyebabkan kematian sel pada dosis tinggi

sedangkan pada dosis rendah menyebabkan penghentian pembelahan sel pada tahap

metafase mitosis (Anderson et al., 2002).

Dosis vinkristin adalah 0,4-1,4 mg/m2/minggu (batas dosis tunggal adalah 2,5

mg). Vinkristin mengalami proses metabolisme di CYP3A4 hati. 44% dari total

vinkristin yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan protein plasma.

Vinkristin memiliki volume distribusi 8,4 L/kg. Eksresi melalui urin sebesar 10%

18

dalam 24 jam, dan eksresi fekal mencapai 3% dalam 24 jam. Waktu paruh fase α < 5

menit dan fase β adalah 2,3 jam (Anderson et al., 2002).

Toksisitas utama dari vinkristin adalah neuropati perifer yang dimanifestasikan

oleh konstipasi paresthesias, nyeri rahang, penurunan refleks tendon dalam, dan

terkadang bladder atony atau paralitik ileus. Semua gejala neurologis ini seecara

perlahan teratasi setelah 1 bulan dan memerlukan penurunan dosis jika terjadi saat

administrasi obat (Anderson et al., 2002).

Oncovin dilarutkan dalam Dextrose 5% dengan konsentrasi 16,7 mg didalam

wadah PVC akan stabil dalam 24 jam pada temperatur ruangan. Oncovin dilarutkan

dalam NaCl 0,9% didalam wadah PVC dengan konsentrasi 10, 20, 40, 60, 80, 120 mg

tidak mengalami kehilangan setelah 7 hari pada suhu 4o

C diikuti selama hari pada

suhu 23o C (Trissel, 2009).

2.3.3 Mitomisin

Mitomisin (Mitomisin C) adalah antibiotik yang mengandung kuinon, urethane,

dan grup aziridine. Obat ini diaktivasi secara kimia dan metabolik menjadi spesies

pengalkil. Mitomisin dalam regimen kombinasi diberikan 5-10 mg/m2 diulangi dalam

4-6 minggu. Obat ini bekerja non-spesifik pada fase siklus sel, tetapi efikasi

maksimumnya pada fase G1 dan S. Mitomisin digunakan secara primer pada tumor

saluran cerna (intravena) dan kanker kandung kemih (intravesikal). Efek samping dari

obat ini adalah mual, muntah, diare, alopesia, dan terkadang nefrotoksisitas. Obat ini

juga dapat menyebabkan sterilitas, mutagenitas, dan teratogenitas. Toksisitas pada

19

dosis terbatas adalah myelosuppression, trombositopenia dan anemia. Terapi jangka

panjang terkadang menimbulkan sindrom hemolitik-uremik (Anderson et al., 2002).

Komplikasi pada pemaparan jangka pendek yang mungkin terjadi pada

pemberian mitomisin adalah pneumonia interstisial dan gagal ginjal. Pemaparan

jangka panjang menyebabkan supresi pada sumsum tulang dan kerusakan ginjal

pasien. Secara klinis, nefrotoksisitas yang diinduksi oleh mitomisin-C memiliki

insidensi 2%-10%. Sensitivitas pasien terhadap mitomisin C sangat bervariasi.

Hingga saat ini, uji laboratorium untuk memprediksi kerusakan ginjal akibat

mitomisin C belum tersedia dan progresi kerusakan ginjal bersifat irreversible. Studi

menunjukan bahwa toksisitas renal yang diinduksi oleh mitomisin C bergantung pada

dosis kumulatifnya. Insidensi rendah pada dosis di bawah 50 mg/m2, dan frekuensi

meningkat pada dosis diatas 70 mg/m2

(Hook and Robin, 1993).

Kerusakan ginjal akibat mitomisin dapat disebabkan efek toksik langsung

mitomisin pada sistem endothelium arterial ginjal dan deposisi thrombi fibrin dalam

microvasculature ginjal sehingga menyebabkan vaskulitis pada ginjal (Fayyaz, 2013).

Pada mencit yang diberikan mitomisin, terjadi kerusakan tubulus proksimal dan

kebocoran adenosine triphospaste (ATP). Ketika obat diperfusikan langsung pada

ginjal mencit, timbul kerusakan sel endothelial dan lesi mikroangiopati (Hook and

Robin, 1993).

Setelah pemberian intravena mitomisin sebanyak 15 m/m2, tingkat puncak

serumnya pada konsentrasi 1 mg/L. Obat ini dieliminasi melalui hati sebesar 20% dan

10-30% dalam bentuk bebasnya melalui urin. Nilai klirens mitomisin sebesar 0,3-0,4

20

L/jam/kg. Mitomisin memiliki waktu paruh (t ½ ) pada fase α yaitu 5-10 menit

setelah diinjeksikan dan pada fase β yaitu 46 menit (Anderson et al., 2002).

Mitomisin dilarutkan dalam Dextrose 5% dengan konsentrasi 20 mg dalam

wadah gelas, mitomisin mengalami kehilangan sebanyak 10% dalam waktu 3 jam

pada suhu 25o

C. Mitomisin dalam wadah PVC dengan konsentrasi yang sama akan

mengalami kehilangan sebanyak 10% dalam waktu 7 jam pada suhu 25o

C (Trissel,

2009).

2.3.4 Karboplatin

Karboplatin merupakan turunan dari cisplatin. Generasi kedua dari platinum ini

merupakan analog yang lebih stabil, tetapi memiliki aktivitas yang ekuivalen pada

beberapa tipe kanker dibandingkan dengan cisplatin. Karboplatin diaktivasi secara

lambat untuk pemaparan pada dua situs pengikatan DNA pada kompleks koordinat

platinum II. Obat ini lebih larut air dan lebih tidak nefrotoksik dibandingkan cisplatin.

Aksi obat ini tidak spesifik pada siklus sel. Pada pasien gangguan ginjal, dosis

karboplatin harus dikurangi. Fraksi bebas dari karboplatin dan hasil hidrolisnya

dieksresikan pada urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Eliminasi lewat

urin mencapai 65% pada pasien dengan kondisi ginjal normal. Efek samping dari

karboplatin diantaranya adalah mual muntah, myelosuppression, trombositopenia,

anemia, diare, nefrotoksiksitas, perubahan elektrolit dan enzim hepatik, neuropati dan

nyeri abdominal. Monitoring terhadap klirens kreatinin perlu dilakukan selama terapi

menggunakan karboplatin (Anderson et al., 2002).

21

Mekanisme biokimia kerusakan ginjal yang disebabkan oleh karboplatin hingga

saat ini belum diketahui secara jelas. Adanya platinum pada karboplatin berikatan

dengan protein ginjal dan akumulasi platinum pada ginjal kemungkinan besar

berperan dalam menginduksi terjadinya nefrotoksisitas akibat adanya kerusakan

glomerular. Pemberian karboplatin pada mencit menunjukan bahwa karboplatin

menyebabkan hilangnya antioksidan ginjal seperti glutathione, enzim antioksidan,

peningkatan peroksidasi lipid, akumulasi platinum. Hilangnya glutathione pada

jaringan merupakan kejadian penting yang dapat menyebabkan kerusakan pertahanan

seluler dalam melawan spesies oksigen reaktif sehingga dapat menimbulkan

kerusakan peroksidatif. Dapat disimpulkan bahwa karboplatin pada dosis tinggi

menginduksi nefrotoksisitas melalui kerusakan ginjal oksidatif (Husain et al., 2002).

Karboplatin memiliki nilai volume distribusi sebesar 16-20 L. Secara perlahan

karboplatin dihidrolisis secara in vivo untuk berinteraksi dengan dua sis berikatan

DNA. t ½ dari karboplatin pada fase α sebesar 90±50 menit dan pada fase β sebesar

180±50 menit. Nilai klirens total dari karboplatin yaitu 4,4 L/jam (Anderson et al.,

2002).

Setelah karboplatin didistribusikan dalam tubuh, konsentrasi platinum total

ditemukan lebih tinggi pada jaringan dibandingkan konsentrasi plasma. Konsentrasi

tertinggi ditemukan pada jaringan hati, ginjal, kulit, dan tumor. Karboplatin

dieksresikan sebagian besar oleh ginjal terutama melalui filtrasi glomerular (Yarbro

et al., 2011). Klirens tubuh total terhadap ultrafiltrable platinum dan molekul induk

karboplatin secara garis besar ekuivalen dan berkorelasi linier dengan glomerular

22

filtration rate (GFR). Sekitar 65-70% dari dosis platinum total dieliminasi sebagai

karboplatin utuh dalam urin selama 12-16 jam pertama setelah administrasi, dimana

ikatan protein dan bentuk inaktifnya dieliminasi secara lambat pada 5 hari berikutnya

(Albert and Robert, 1998).

Efek karboplatin pada tubuh secara langsung berhubungan dengan jumlah obat

yang mencapai jaringan, yang ditentukan oleh konsentrasi plasma dari karboplatin

tersebut. Karena variabel fisiologis, seperti fungsi ginjal, dapat mempengaruhi

konsentrasi karboplatin dalam proporsinya terhadap klirens total tubuh, AUC menjadi

refleksi yang lebih akurat untuk menggambarkan pemaparan aktual karboplatin pada

jaringan tubuh (terutama tumor) dibandingkan dengan pendosisan menggunakan body

surface area (BSA) (Albert and Robert, 1998).

Untuk perhitungan dosis karboplatin dilakukan dengan menggunakan Calvert

Formula. Formula ini didasarkan pada GFR, karena berdasarkan hasil penelitian

ditemukan korelasi yang tinggi antara GFR dengan klirens renal dari karboplatin,

yang merupakan jalur utama dari eliminasi obat ini. Kontribusi nonrenal terhadap

klirens karboplatin relatif konstan pada 25 mL/menit, dan AUC (Area Under Curve)

dari karboplatin bervariasi tergantung dari klirens renal yang terefleksi dari nilai GFR

yang terukur. Berikut adalah rumus perhitungan dosis dari karboplatin :

(Albert and Robert, 1998).

Total dose (mg) = target AUC (mg/mL x min) x (GFR [ml//min]

+ 25)

23

Nilai 25 mL/menit adalah konstan yang digunakan untuk menggambarkan

klirens non renal dari karboplatin yang berikatan secara irreversible pada jaringan.

Dengan menargetkan AUC karboplatin, dibandingkan dengan menggunakan BSA,

pendosisan dari karboplatin dapat diindividualisasi sesuai target AUC yang

diinginkan, dimana harus berada dalam rentang terapeutik obat. Untuk pasien yang

belum pernah menerima agen tunggal karboplatin, target AUC yang digunakan

adalah 5-7. Sedangkan untuk pasien yang sebelumnya pernah menerima agen

karboplatin atau sedang memperoleh agen myelosuppresive, target AUC yang

digunakan adalah 3-5. Untuk nilai AUC >-7, kemungkinan tidak terjadi peningkatan

efikasi karboplatin, namun terjadi peningkatan trombositopenia dan toksisitas

hematologi lainnya (Albert and Robert, 1998).

Karboplatin dengan konsentrasi 1 gram/L dilarutkan dalam NaCl 0,9% di dalam

wadah gelas secara fisik kompatibel dengan kehilangan 5% dalam 24 jam pada suhu

25o

C. Dengan konsentrasi 7 gram/L didalam NaCl 0,9% mengalami kehilangan

sebanyak 8% dalam 2 jam penyimpanan pada suhu 27o C (Trissel, 2009).

2.4 Penanda Tumor Antigen Squamous Cell Carcinoma (SCC)

Antigen Squamous Cell Carcinoma (SCC) adalah glikoprotein yang berukuran

48 kDa. Antigen SCC diisolasi dari kanker skuamosa pada serviks uterus. Lebih dari

90% kanker kepala dan leher serta 80% dari kanker serviks adalah karsinoma sel

skuamosa. Antigen SCC adalah penanda tumor pertama yang digunakan secara

komersil. Level antigen SCC serum meningkat secara signifikan pada pasien dengan

24

kanker serviks, kepala, leher dan paru. Level antigen SCC ini meningkat seiring

dengan peningkatan stadium penyakit. Spesifisitas antigen SCC terbukti baik untuk

kanker skuamosa, dan tidak terjadi peningkatan konsentrasi SCC secara abnormal

pada pasien adenokarsinoma (Wild, 2013).

Penanda tumor membantu pengelolaan diagnosa pada kanker serviks. Untuk sel

skuamosa serviks, SCC adalah penanda yang sering dipilih. Antigen SCC merupakan

penanda paling spesifik untuk kanker serviks sel skuamosa, dimana terajdi

peningkatan nilai antigen SCC pada 64,2% pasien kanker serviks (Chen et al., 2008).

Konsentrasi serum SCC telah ditemukan berkolerasi dengan stadium tumor, ukuran

tumor, sisa-sisa tumor setelah pengobatan, kekambuhan penyakit, dan kelangsungan

hidup pada pasien dengan kanker serviks sel skuamosa (Sturgeon and Diamandis,

2010). The National Academy of Clinical Biochemistry (NACB) merekomendasikan

bahwa antigen SCC dapat digunakan untuk memprediksi prognosis dan respon

pengobatan pada kasus kanker serviks sel skuamosa (Gaarenstroom and Bonfrer,

2005). Kadar Squamous Cell Carcinoma antigen meningkat pada pasien kanker

serviks, tumor epithelial jinak, dan tumor kulit jinak (Aziz dkk., 2006).

SCC merupakan kerabat dari serin protease inhibitor. Kloning molekular dari

genom SCC mengungkapkan adanya dua gen yaitu SCC1 dan SCC2. SCC1

merupakan kode untuk isoform netral, dan SCC2 merupakan kode untuk isoform

asam. Isoform netral terdeteksi di sel epitel normal dan jaringan ganas, sedangkan

isoform asam hanya ditemukan dalam sel- sel tumor, isoform asam juga ditemukan

25

pada serum pasien kanker. Pada wanita sehat SCC ditemukan pada konsentrasi 1,9

ng/L atau antara 2,0 – 2,5 ng/L (Sturgeon and Diamandis, 2010).

2.4.1 Metode Pemeriksaan Antigen Squamous Cell Carcinoma (SCC)

Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan antigen SCC adalah

CMIA (Chemiluminescent Microparticle Immunoassay). ARCHITECT SCC assay

merupakan suatu alat yang berprinsip CMIA untuk penentuan kuantitatif antigen SCC

pada serum dan plasma yang digunakan dalam membantu manajemen diagnosa

pasien dengan karsinoma sel skuamosa (Abbott Laboratories, 2009).

Pada tahap pertama penentuan kadar antigen SCC dengan ARCHITECT SCC

assay, sampel dicampurkan dengan mikropartikel yang dilapisi antibodi SCC dimana

dalam hal ini mikropartikel tersebut berfungsi sebagai fase immobile. Antigen SCC

yang terkandung dalam sampel akan berikatan dengan antibodi SCC. Kemudian

dilakukan washing dengan larutan phosphate buffered saline dan diinkubasi. Pada

tahap kedua, konjugat antibodi berlabel akridinium yang merupakan antibodi

sekunder ditambahkan ke campuran sampel dan antibodi primer. Selanjutnya

dilakukan siklus washing yang kedua. Kemudian dilakukan penambahan larutan pre-

trigger yaitu hidrogen peroksida 1,32% (b/v) yang bertujuan untuk mencegah

pelepasan energi atau emisi cahaya lebih awal dan mencegah menggumpalnya

mikropartikel serta penambahan larutan trigger yaitu larutan natrium hidroksida 0,35

N yang bertujuan untuk membentuk reaksi oksidatif yang akan menghasilkan N-

methyl-acridone dan pelepasan energi atau emisi cahaya (chemiluminescent). Hasil

reaksi chemiluminescent yang terbentuk diukur sebagai relative light units (RLUs)

26

yang akan diidentifikasi dengan sistem optik pada alat ARCHITECT SCC untuk

memperoleh kadar antigen SCC (Abbott Laboratories, 2009).

2.5 Parameter Efek Samping pada Ginjal

Penilaian terhadap fungsi ginjal didasari oleh prinsip bahwa ginjal

membersihkan suatu substansi dari plasma darah. Ketika substansi tersebut

dieksresikan pada urin, sejumlah tertentu dari volume plasma bebas atau dibersihkan

dari substansi tersebut. Klirens ginjal terhadap suatu substansi dapat didefinisikan

sebagai volume plasma dimana substansi berada yang secara komplit dibersihkan per

unit waktu (Rhoades and David, 2009).

Untuk penilaian fungsi ginjal secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai GFR.

GFR menunjukan laju plasma yang difilitrasi oleh glomerulus ginjal. Nilai GFR

berkaitan dengan usia, jenis kelamin, ukuran tubuh. Pada pria dewasa, nilai normal

GFR adalah sekitar 130 mL/menit/1,73 m2. Pada wanita dewasa, nilai GFR normal

adalah sekitar 120 mL/menit/1,73m2. Pengukuran kuantitatif GFR memerlukan

penetapan klirens ginjal terhadap marker eksogen yang secara bebas difiltrasi oleh

ginjal tanpa mengalami metabolisme, sekresi tubular, reabsorpsi, serta secara cepat

hanya dieksresikan dalam urine hanya melalui filtrasi glomerular. Substansi ideal

eksogen yang digunakan untuk mengukur GFR adalah inulin. Namun, semua syarat

tersebut tidak dapat dipenuhi pada praktik klinis rutin. Komponen berlabel dapat

digunakan sebagai marker filtrasi alternatif, termasuk iothalamat, EDTA, iohexol,

27

dan diethylene triamine penta-aetic acid (DTPA). Pengukuran klirens dengan marker

eksogen memerlukan prosedur yang kompleks, mahal, dan sulit dilakukan secara

rutin dalam praktik klinis. Oleh karena itu, digunakan marker endogen yang

memerlukan prosedur pemeriksaan yang lebih sederhana (Rhoades and David, 2009).

Marker endogen yang ideal dikarakterisasi dengan laju produksi yang stabil,

level sirkulasi stabil, ikatan protein rendah, difiltrasi secara bebas pada glomerulus,

serta sekresi atau reabsorpsinya rendah. Marker endogen yang mendekati persyaratan

tersebut adalah kreatinin. Selain kreatinin, marker endogen lain yang dapat

menggambarkan fungsi ginjal adalah blood urea nitrogen (BUN) (Rhoades and

David, 2009).

2.5.1 Serum Kreatinin

Kreatinin merupakan hasil akhir dari metabolisme otot, merupakan turunan dari

kreatin phospat otot. Kreatinin diproduksi secara kontinyu dalam tubuh dan

dieksresikan dalam urin. Konsentrasi kreatinin dalam darah secara normal adalah

stabil. Penilaian GFR dengan menggunakan serum kreatinin lebih sering dilakukan

dibandingkan kreatinin urin. Hal ini dikarenakan pengukuran kreatinin urin

memerlukan urin tampung 24 jam, sehingga memerlukan prosedur pemeriksaan yang

lebih lama (Rhoades and David, 2009).

Serum kreatinin dan GFR memiliki hubungan resiprokal seperti terlihat pada

grafik dibawah ini:

28

Gambar 2.3 Grafik Hubungan Antara Serum Kreatinin dan GFR (Rhoades and

David, 2009)

Dari gambar diatas terlihat bahwa tingginya tingkat kreatinin serum menunjukkan

menurunnya laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal

mengekskresikan produk limbah tubuh (Rhoades and David, 2009).

Nilai normal kreatinin adalah 0,6-1,3 mg/dL. Pada kondisi fungsi ginjal normal,

kreatinin dalam darah ada dalam jumlah konstan. Nilainya akan meningkat pada

penurunan fungsi ginjal. Serum kreatinin berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi

oleh diet, atau aktivitas dan diekskresi seluruhnya melalui glomerulus (Kemenkes RI,

2011).

29

Tabel 2.5.1 Kategori Gangguan Ginjal Berdasarkan Serum Kreatinin Menurut

Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) Version 4.0 (U.S.

Departemen of Health and Human Services, 2009)

Kategori

Gangguan Ginjal Deskripsi

Grade 1 1,5-2 kali kadar kreatinin awal

Grade 2 Peningkatan kreatinin 2-3 kali kadar awal

Grade 3 Peningkatan kreatinin >3 kali dari kadar awal atau >4,0

mg/dL

Grade 4 Terjadi dialysis

Grade 5 Kematian

Menurut prosedur Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah, metode yang digunakan pada pemeriksaan serum kreatinin adalah

kolorimetri enzimatik. Metode enzimatik didasarkan pada penetapan hidrogen

peroksida setelah konversi kreatinin dengan bantuan kreatininase, kreatinase, dan

sarkosin oksidase. Hidrogen peroksida yang dibebaskan bereaksi dengan 4-

aminophenazone dan HTIB untuk membentuk quinone imine chromogen. Intensitas

warna quinone imine chromogen yang terbentuk proporsional terhadap konsentrasi

kreatinin. Konsentrasi kreatinin diukur absorbansinya pada 552 nm.

2.5.2 Blood Urea Nitrogen (BUN)

Urea adalah produk akhir dari metabolisme protein. Urea dieksresikan secara

primer oleh ginjal melalui filtrasi glomerular. Kadar urea dalam darah diukur sebagai

Blood Urea Nitrogen (BUN). Nilai BUN akan meningkat pada penurunan fungsi

ginjal, penurunan volume cairan, dan peningkatan katabolisme serta intake protein.

Ketika terjadi perubahan pada fungsi ginjal, nilai BUN berubah lebih cepat

30

dibandingkan nilai kreatinin. Namun, nilai BUN lebih tidak spesifik dibandingkan

kreatinin dalam menilai fungsi ginjal karena adanya reabsorpsi ureum pada ginjal.

Pengukuran nilai BUN dan kreatinin dilakukan bersamaan dalam praktik klinis. Rasio

antara BUN dan kreatinin normal adalah 10-20:1, rasio lebih besar menunukan

perubahan akut pada GFR. Rasio kurang dari 10 menunjukan kerusakan nefron

(Copstead and Jacqueline, 2014).

Nilai normal BUN adalah 2,1 − 7,9 mmol/L atau 6 − 20 mg/dL. Salah satu fungsi

ginjal adalah untuk menghilangkan BUN karena berpotensi beracun di tubuh. Kadar

BUN akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, mengukur BUN

dapat memberikan indikasi mengenai fungsi ginjal. Katabolisme protein yang cepat

dan gangguan fungsi ginjal akan menghasilkan tingkat BUN yang tinggi (Duong and

Yew-Loh, 2006).

Kadar BUN tidak hanya ditentukan oleh fungsi ginjal. Nilainya juga dapat

dipengaruhi oleh keadaan yang tidak terkait fungsi ginjal, seperti peningkatan atau

penurunan asupan protein, atau keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan

pemecahan protein seperti cedera otot atau nekrosis jaringan. BUN merupakan

indikator non-spesifik pada penyakit ginjal. Meskipun demikian mengukur BUN

dapat memberikan indikasi mengenai fungsi ginjal. Katabolisme protein yang cepat

dan gangguan fungsi ginjal akan menghasilkan tingkat BUN yang tinggi (Duong and

Yew-Loh, 2006).

Menurut prosedur Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah, metode yang digunakan dalam pemeriksaan BUN adalah urease GLDH

31

(glutamate dehydrogenase). Pada reaksi pertama dalam prinsip pemeriksaan dengan

metode ini, urea dihidrolisis oleh urease untuk membentuk ammonium dan karbonat.

Pada reaksi kedua, 2-oxoglutarate yang bereaksi dengan ammonium akan

menghasilkan L-Glutamat dengan adanya glutamate dehydrogenase (GLDH) dan

koenzim NADH. Dalam reaksi ini 2 mol NADH yang teroksidasi menjadi NAD

untuk masing-masing urea dihidrolisis. Laju penurunan konsentrasi NADH secara

proporsional terhadap konsentrasi urea dalam spesimen. Absorbansi diukur pada 340

nm.