BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edu II.pdfTabel 2.1. Jumlah, Prosentase, dan Laju...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edu II.pdfTabel 2.1. Jumlah, Prosentase, dan Laju...
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Islam di Indonesia
Agama merupakan suatu kepercayaan dan keyakinan yang timbul dan
tercipta pada diri manusia terhadap Tuhan. Manusia memiliki kemampuan
terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan
bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa berasal
dari sumber yang luar biasa, yakni Tuhan.
Indonesia bukan Negara berlandaskan agama, tetapi agama merupakan
salah satu dasar Negara Indonesia yang diakui dan memiliki nilai ―hukum‖ (diatur
dalam undang-undang). Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia,
yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia yang tercatat oleh BPS (Badan
Pusat Statistik) di tahun 2010, 207,2 juta jiwa (87,18%) mengaku beragama
Islam, diikuti oleh penganut agama Kristen 16,5 juta jiwa (6,96 %), 6,9 juta jiwa
(2,91 %) menganut agama Katolik, 4 juta jiwa (1,69 %) penganut agama Hindu,
1,7 juta jiwa (0,72 %) penganut Buddha, 0,11 juta jiwa (0,05 %) penganut
Konghucu, dan agama lainnya 0,13 %. 1
1 Pemeluk Agama dan Indonesia 2010, http://www.scribd.com/doc/87158830/Penduduk-
Dan-Agama-Di-Indonesia-2010, diunduh pada tanggal 4 Oktober 2012 pukul 16:28
Tabel 2.1 Jumlah, Prosentase, dan Laju Pertumbuhan Pemeluk Agama di
Indonesia Tahun 1990-2010
No Agama 1990 % 2000 % 2010 % r 90-00 r 00-10 r 90-10
1 Islam
156,318,610
87.21
177,528,772 88.22
207,176,162
87.18 1.28 1.56 1.42
2 Kristen
10,820,769
6.04
11,820,075 5.87
16,528,513
6.96 0.89 3.41 2.14
3 Katholik
6,411,794
3.58
6,134,902 3.05
6,907,873
2.91 -0.44 1.19 0.37
4 Hindu
3,287,309
1.83
3,651,939 1.81
4,012,116
1.69 1.06 0.95 1.00
5 Buddha
1,840,693
1.03
1,694,682 0.84
1,703,254
0.72 -0.82 0.05 -0.39
6 Konghucu*)
117,091 0.05 - - -
7 Lainnya
568,608
0.32
411,629 0.20
299,617
0.13 -3.18 -3.13 -3.15
TJ
139,582 0.06
TT
757,118 0.32
Total
179,247,783
100
201,241,999
100
237,641,326
100
Sumber: BPS, Sensus Penduduk tahun 1990, 2000, 2010.
Keterangan: TJ adalah Tidak terjawab; TT adalah Tidak ditanyakan; r adalah laju
pertumbuhan.
*) agama Konghucu baru diakui sebagai agama resmi pada tahun 2006, sehingga data
untuk tahun 1990 dan 2000 tidak tersedia.
BPS juga memetakan persebaran pemeluk agama di beberapa propinsi di
Indonesia.
Tabel 2.2 Proporsi pemeluk agama terhadap jumlah penduduk beberapa propinsi
2000-2010
Propinsi Islam Kristen Katholik Hindu Buddha Lainnya
2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010
Nanggroe
Aceh
Darussalam
97,30 98,19 1.94
1,12 0.36
0,07 0.01
0,00 0.37
0,16 0.02
0,01
Sumatera
Barat
97,78 97,42 1.16
1,43 0.91
0,83 0.01
0,00 0.12
0,07 0.02
0,01
Jawa Barat 97,65 97,00 1.26
1,81 0.71
0,58 0.10
0,05 0.24
0,22 0.04
0,01
Banten 95,68 94,67 1.60
2,53 1.03
1,09 0.44
0,08 1.16
1,23 0.09
0,11
Bali 10,29 13,37 0.97
1,66 0.76
0,81 87.44
83,46 0.53
0,54 0.02
0,01
Nusa
Tenggara
Barat
96,57 96,47 0.19
0,31 0.22
0,20 2.66
2,62 0.36
0,32 0.01
0,00
Nusa
Tenggara
Timur
8,80 9,05 33.81
34,74 53.86
54,14 0.14
0,11 0.02
0,01 3.37
1,73
Sulawesi
Utara
29,48 30,90 64.60
63,60 4.67
4,40 0.50
0,58 0.16
0,14 0.59
0,06
Sulawesi
Tengah
78,39 77,72 16.02
16,98 1.18
0,82 3.84
3,78 0.21
0,15 0.35
0,10
Maluku 49,05 50,61 42.49 41,40 7.70 6,76 0.34 0,37 0.03 0,02 0.39 0,41
Sumber: BPS, Sensus Penduduk tahun 2011.
Terlihat dari data yang diperoleh BPS ditahun 2010, bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia memeluk agama Islam dan tersebar diseluruh wilayah di
Indonesia.2
Kemajemukan agama di Indonesia membuat keharmonisan beragama
menjadi suatu dambaan masyarakat. Di Jawa Tengah misalnya, hal ini terlihat
dari tempat-tempat peribadatan di sekitar warga, seperti masjid, gereja, pura,
vihara, dan pesantren-pesantren. Tahun 2010, tempat peribadatan di Jawa Tengah
mencapai 125ribu buah, yang terdiri dari 97,29% Masjid dan Mushola, 2,25%
Gereja Kristen dan Khatolik, dan sisanya berupa Pura dan Vihara. Selain itu
tercatat dalam Badan Pusat Statistik Jawa Tengah dalam situsnya
2 Ibid
www.jateng.bps.go.id3 bahwa terdapat 4470 unit pesantren dengan 35,77ribu kiai
atau ustadz dan 451,5ribu santri.
Hal ini juga membuktikan bahwa Islam menjadi agama mayoritas di
propinsi Jawa Tengah. Seperti yang dilansir oleh BPS Propinsi Jawa Tengah, kota
kecil Salatiga misalnya, dari 170.332 penduduk (laki-laki dan perempuan) tercatat
129.894 jiwa memeluk agama Islam, 30.443jiwa memeluk agama Kristen,
8.069jiwa beragama Khatolik, 106jiwa beragama Hindu, 792jiwa beragama
Budha, 28jiwa beragama Khong Hu Cu, 16jiwa berkeyakinan lain, dan 984jiwa
tidak menjawab.4
3 http://jateng.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=section&id=16&Itemid=88
diunduh pada tanggal 10 Oktober 2012 pukul 00:25 4 http://jateng.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=646:04-03-
01&catid=47:sosial-2012&Itemid=88 diunduh pada tanggal 10 Oktober 2012 pukul 00:24
Salatiga yang terkenal dengan Indonesia mininya (terdapat Universitas
Kristen Satya Wacana) memiliki keragaman suku maupun keyakinan didalamnya.
Agama Islam yang dipeluk mayoritas penduduk Salatiga membuktikan bahwa
Islam mampu hidup berdampingan dengan agama lainnya (toleransi). Hal itu
dapat dibuktikan dengan keberadaan tempat peribadatan yang berdampingan,
contohnya Masjid Pandawa yang berhadapan dengan Gereja Kristen Indonesia,
Masjid Kauman yang berdekatan dengan Gereja Kristen Jawa, di Pancasila (alun-
alun kota Salatiga) terdapat Masjid besar dan terdapat beberapa Gereja
disekitarnya.
Dari penjelasan diatas terlihat Agama Islam merupakan agama mayoritas
yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi dasar bagi penulis untuk
melakukan penelitian tentang citra agama Islam, karena di Indonesia tidak hanya
memiliki satu agama, tetapi enam agama. Khususnya bagaimana Citra Islam yang
tergambar dalam Film ―?‖ Tanda Tanya.
2.2 Pluralisme
Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris plural yang berarti
jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat yang harus kita akui.
Pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui,
sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan
atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak (Naim dan
Sauqi, 2008: 75). Pluralisme tidak hanya tentang keberagaman saja, tetapi juga
sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan
rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang terkenal dengan
keberagamannya, baik suku, agama, ras, budaya, dan lain-lain. Hal tersebut
menjadi modal utama bagi bangsa ini dalam memperkenalkan eksistensinya di
mata dunia. Bahkan tidak jarang wisatawan asing datang ke Indonesia untuk
mengenal kemajemukan bangsa dan masyarakat di Indonesia.
Semboyan Negara Indonesia yakni ―Bhineka Tunggal Ika‖ yang berarti
berbeda-beda tetapi tetap satu jua membuktikan bahwa di Negara ini terdapat
berbagai perbedaan dan kemajemukan. Indonesia yang membentang dari Sabang
sampai Merauke memiliki 17.508 pulau yang memiliki ciri khas tersendiri.
Berdasarkan data Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS)
Republik Indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang terdata sebanyak
1.128 suku bangsa. Indonesia juga memiliki 748 bahasa asli atau bahasa ibu yang
sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Keberagaman bangsa ini tidak
hanya itu, 6 agama diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Khatolik, Budha,
Hindu, dan Kong Hu Cu.
Selain itu, negeri ini memiliki budaya yang banyak dan beragam yang
tersebar hampir disetiap daerah di Indonesia dan menjadi ciri khas daerah
tersebut. Kebudayaan Indonesia merupakan gabungan dari macam-macam budaya
lokal, mulai dari seni tari tradisional, upacara adat, pakaian tradisional, makanan
khas, lagu daerah, dll. Keberagaman inilah yang membuat bangsa Indonesia
identik dengan pluralitas.
Namun, seiring berkembangnya jaman, kemajemukan cenderung menjadi
beban bangsa ini, mulai bermunculan masalah-masalah yang bersumber pada
kemajemukan, terutama di bidang agama. Pluralisme agama adalah bahwa tiap
pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain,
tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya
kerukunan dalam kebhinekaan (Subkhan, 2007: 29).
Pada kenyataannya banyak fenomena terjadi di dalam masyarakat
Indonesia yang membuat pluralitas menjadi beban, misalkan pada kasus Mei
1998, terjadi pengrusakan terhadap toko-toko, hotel, maupun tempat usaha milik
etnis Tionghoa. Konflik lain mewarnai pluralitas Indonesia, konflik antara warga
Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, dimana perang antar etnis ini
menewaskan 315 orang dalam kurun waktu seminggu (Mahfud, 2006: 127).
Seharusnya pluralitas ini menyadarkan bahwa Indonesia beragam, tidak
hanya satu budaya, satu agama, satu etnis, dll, sehingga toleransi adalah nilai
mutlak yang harus ditanamkan pada masyarakat.
Kemajemukan yang ada di Indonesia diangkat dalam sebuah karya film.
―?‖ Tanda Tanya mengemas kemajemukan tersebut diwarnai dengan konflik-
konflik yang juga pernah terjadi di Indonesia. Terutama dalam hal ini tentang
perbedaan agama dan etnis serta opini publik tentang citra yang terbentuk.
2.3 Film
Film ditemukan pada akhir abad 19, awalnya digunakan sebagai sarana
untuk menyebarkan hiburan, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,
lawak serta sajian lainnya kepada masyarakat umum. Seiring dengan
perkembangan teknologi komunikasi, filmpun ikut berkembang, yang awalnya
hanya film hitam putih tanpa suara kemudian di tahun 1920-an mulai dikenal film
bersuara, dan menyusul film warna pada akhir 1930-an. Perkembangan teknologi
dalam pembuatan film beserta alat produksinya yang semakin maju menjadikan
film sebagai sebuah tontonan menarik.
Film adalah gambar-hidup, sering disebut juga movie. Film secara kolektif,
sering disebut cinema. Cinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau
gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa
dikenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film
(cinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos
(cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah
melukis gerak dengan cahaya.
Karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada
pita seluloid, pita video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam
segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/lainnya (UU
8/1992)5.
Film merupakan media komunikasi yang berbentuk audio dan visual untuk
menyampaikan pesan pada kelompok yang berkumpul di suatu tempat tertentu
(Effendy, 1989:134). Film memiliki sebuah pengaruh yang kuat dan lebih peka
terhadap budaya di masyarakat. Kesadaran akan relasi kuasa seperti ini pada diri
penonton akan menjadikan penonton membaca pesan dalam film tidak hanya
berdasarkan konvensi-konvensi secara kusus ada dalam teks film, akan tetapi juga
pada dasar-dasar mereka menyebabkan berpikir dibalik cerita yang diproyeksikan
di atas layar. Penonton harus peka terhadap pesan implisit (tersembunyi) dalam
sebuah cerita yang dikemas suatu film.
Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi
pembuatnya, tetapi memperlihatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari
elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisinya.
Bahkan lebih luas lagi perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan
ideologi kebudayaan dimana film ini dibuat.
Film merupakan potret dari sebuah masyarakat dan selalu merekam realitas
yang ada dalam masyarakat, sehingga film sebagai refleksi dari masyarakat.
Karkteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam
konsensus publik secara visual, karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai
5
http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%208%20Tahun%201992%20tentang%
20Perfilman.pdf diunduh pada tanggal 10 Oktober 2012 pukul 2:43
yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain film
merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat.
Film memiliki 3 fungsi utama yang dikenal sebagai trifungsi film, yakni
mendidik, menghibur dan penerangan (Effendy, 1993). Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 8 tahun 1992 tentang perfilman pasal 5, film sebagai
media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan,
pendidikan pengembangan budaya bangsa, hiburan dan ekonomi.
Film merupakan salah satu bidang terapan semiotika karena dibangun
dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu bekerjasama membangun sistem tanda
untuk mencapai efek yang diharapkan. Konstruksi film, terdiri atas aspek-aspek
―realitas‖ seperti individu, tempat, objek, peristiwa, identitas kultural dan konsep
abstrak lainnya. Representasi ini dapat dituangkan dalam bentuk speech, writing,
atau bahkan moving images yakni film. Yang paling penting dalam film adalah
gambar dan suara, yakni kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain
yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film (Zoest, 1996).
Ciri-ciri gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang
ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas
yang dinotasikannya. Selain gambar, musik film juga merupakan tanda ikonis,
namun musik lebih memiliki cara yang jauh lebih misteerius. Musik yang
semakin keras, dengan cara tertentu ―mirip‖ ancaman yang mendekati kita
(ikonitas metaforis). Namun perlu dibedakan antara suara yang langsung
mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya)
dengan musik yang mengiringinya. Suara secara semiotika berfungsi tidak terlalu
berbeda dengan gambar-gambarnya. ―Suara , sama dengan gambar, merupakan
unsur dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan
dan dianalisis dengan cara yang juga sebanding‖(Zoest, 1996, :110).
2.3.1 Film “?” Tanda Tanya
Film merupakan cerminan dari sebuah bangsa, karena film bermula
dari sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Di Indonesia
misalnya, fenomena-fenomena yang terjadi di angkat dalam sebuah
produksi film. Contohnya dalam film “?” Tanda Tanya dimana mengemas
pluralitas bangsa Indonesia dengan berbagai keberagaman agama dan juga
etnis serta permasalahan sosialnya. Paham pluralisme dalam film ini terlihat
pada narasi awal, ―semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke
arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama,
yaitu Tuhan‖.
Dalam film ini diceritakan Ping Hen seorang Tionghoa mencintai
wanita bernama Menuk tetapi karena perbedaan agama diantara mereka
membuat mereka tidak bisa bersatu dan Menuk lebih memilih Soleh yang
notabene seagama. Pluralitas menghasilkan toleransi yang sangat kental,
tergambar dimana Pak Tan memiliki restoran masakan cina yang
menghargai orang lain dengan memisahkan alat-alat masak yang digunakan
untuk memotong babi dan ayam, serta menghargai bulan puasa dengan
menutup restorannya menggunakan kain.
Film “?” Tanda Tanya yang diproduksi Mahaka Pictures dan Dapur
Film ini ingin menampilkan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia,
misalnya adegan awal yang memperlihatkan fenomena penusukan pendeta
di salah satu Gereja Katolik. Adegan ini yang membangun tokoh Ping Hen
antipati terhadap Islam dengan menganggap bahwa Islam identik dengan
teroris. Kemunculan Ping Hen disini ingin memperlihatkan apa yang selama
ini terjadi di masyarakat umum terhadap Islam paska gerakan teroris,
dimana Islam cenderung dilihat sebagai agama kekerasan sebab
mengatasnamakan Tuhan dalam berbagai tindak anarkisme.
Film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan
sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan
mengantar pesan secara unik (McQuail, 1987:14). Sehingga film mampu
untuk mempengaruhi khalayak dan merubah kognitifnya, bahkan dapat
membentuk opini publik. Hal ini terbukti bahwa film “?” Tanda Tanya
sangat mempengaruhi pemikiran khalayak karena berhasil menuai pro-
kontra dalam masyarakat Indonesia. Pengecaman yang dilakukan oleh
banser NU Surabaya, bahkan peng-haram-an film tersebut oleh MUI.6
Tetapi, berlawanan dengan hal tersebut film ini mendapatkan berbagai
6 Film "Tanda Tanya" Hanung Bramantyo akan diHARAM-kan oleh MUI?
http://wayohgo.blogspot.com/2011/04/film-tanda-tanya-hanung-bramantyo-akan.html
diunduh pada tanggal 9 April 2012 pukul 12:13
penghargaan dalam Festival Film Indonesia, hal ini membuktikan bahwa
film “?” Tanda Tanya dapat diterima masyarakat dan mendapatkan citra
baik.
2.4 Hasil Penelitian Sebelumnya
Muhammad Iqbal mahasiswa Universitas Riau meneliti isi pesan dalam
Film Tanda Tanya ―?‖ yakni Konstruksi ―Citra Islam‖ dalam Film Tanda Tanya
―?‖, dengan hasil penelitian:7
Film Tanda Tanya berisi konsep-konsep ajaran agama Islam yang
dipraktekkan dalam sebuah adegan, dialog maupun simbol dalam film ini.
Konsep Islam yang ditawarkan didalam film Tanda Tanya merupakan sebuah
ajaran yang bertentangan dan menimbulkan kekaburan terhadap sebuah makna
atau pesan dari film tersebut.
Kenyataaanya saat ini film ―?‖ banyak menuai kritikan dari para umat
muslim di Indonesia, banyak yang menolak keras penayangan film ini, mulai
dari MUI ataupun FPI. Film ― Tanda Tanya‖ adalah sebuah proyek ambisius
Hanung yang sudah mengundang sikap skeptis dari kalangan cendekiawan
muslim bahkan sebelum film ini dirilis
Pasalnya Hanung memilik track record yang semakin lama semakin
cendrung pada pemikiran liberal. Kontroversi hanung ini pertama kali mencuat
ketika menyutradarai “perempuan berkalung sorban” film ini dianggap 7 Konstruksi Citra Islam dalam Film ―?‖ (Tanda Tanya) oleh Muhammad Iqbal, 2013
memberikan citra yang salah terhadap Psantren dan Syariat Islam itu sendiri,
film “sang pencerah” yang dianggap kental dengan pluralime dan mengabaikan
warisan-warisan Kh. Ahmad Dahlan, begitu juga dengan film ―Tanda Tanya‖
yang menuai kritikan tentang mencampur adukkan ajaran-ajaran agama dan yang
terpanas yaitu tentang mendeskreditkan citra agama Islam.
Secara keseluruhan, film “Tanda Tanya” terdiri dari 121 scene, lalu dapat
dipilih beberapa dari scene yang menampilkan dan mengarah kepada pencitraan
agama Islam. Dalam hal ini , peneliti menggunakan metode semiotika Charles
Sanders Peirce. Semiotika merupakan salah satu bentok metode yang dapat
digunakan untuk menganalisa tanda dan makna yang terdapat dalam film
“Tanda Tanya”. Hanya scene yang berisi gambaran tanda dan mempunyai
makna tentang citra Islam saja yang diambil oleh peneliti meliputi adegan dan
dialog dalam film “Tanda Tanya”.
A. Kemiskinan
Dalam film tanda tanya kemiskinan digambarkan pada orang-orang Islam
tokoh keluarga Menuk dan Surya . Kehidupan keluarga miskin tampak jelas pada
adegan dan dialog yang ditayangkan dalam film ini, fokusnya pada scene 16, 22,
28, 30, 38, 50, 51 dan 76.
1) Tanda Kemiskinan
- Adegan Menuk bekerja di restoran Cina
- Adegan adek Menuk membawa kerupuk
- Dialog Menuk dan Sholeh di dalam rumah
- Adegan Sholeh melampiaskan kemarahan kepada Menuk di restoran
- Adegan Surya ikut menjadi figuran dalam penggarapan film
- Adegan ibu kost marah kepada Surya
- Adegan saat Rika menawarkan pekerjaan kepada Surya
2) Objek Kemiskinan
- Menuk bekerja di restoran yang menjual menu babi
- Kerupuk yang dibawa ke restoran untuk dijual
- Solusi Menuk kepada Sholeh untuk membayar uang sekolah adeknya
- Perkataan Sholeh yang tidak pantas jadi suami dan minta diceraikan
- Surya menjadi figuran walaupun sering dimarahi dalam penggarapan film
- Ibu kost menagih uang kost yang belum dibayar
- Pekerjaan yang ditawarkan rupanya pemeran Yesus
3) Interpretasi
Pada scene 16, Menuk sebagai Muslimah dan mempunyai Suami yang taat
beragama, bekerja di restoran China, terlebih restoran cina tersebut menjajakan
menu makanan yang diharamkan dalam agama Islam yaitu daging babi.
Kemiskinan membuat Menuk rela bekerja direstoran China yang menjual menu
makanan daging babi, semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
menghidupi anak dan menyekolahkan adeknya dimana Sholeh sebagai suami
belum mempunyai pekerjaan, terlebih adeknya juga membawa kerupuk untuk
dijual, agar bisa menambah uang masuk bagi keluarganya.
Scene 30 dialog antara Sholeh dan Menuk, Sholeh mengatakan ― mau bayar
pake apa uang sekolahnya nuk?‖, kemudian Menuk menawarkan solusi untuk
pake uangnya terlebih dahulu, namun uangnya tidak cukup buat bayar uang
sekolah selama tiga bulan. Diinterpretasikan dari dialog tersebut kemiskinan dan
minimnya dana membuat Sholeh dan Menuk tidak mampu untuk membayar
uang sekolah adeknya.
Scene 38, saat Sholeh mendatangi Menuk ditempatnya bekerja. Sholeh
melampiaskan kekesalannya kepada menuk dihadapan orang rame, Sholeh
mengatakan ― aku ini mas, kaka, bojo yang ga bisa apa-apa nuk, ga pantas aku
jadi suamimu, ceraikan aku nuk, lebih baik cari yang lebih hebat sana !‖, tekanan
tidak mempunyai pekerjaan dan kemiskinan yang dialami Sholeh membuat ia
putus asa, ia merasa tidak ada apa-apanya dibanding istrinya, ia merasa tidak
mampu membantu kesejahteraan keluarganya menjadi lebih baik.
Pada scene 22, tokoh Surya pemuda yang tidak mempunyai pekerjaan dan
punya cita-cita menjadi artis, ikut serta menjadi figuran dalam penggarapan
sebuah film, ia dimarahi terlebih dikasari dalam syuting film tersebut demi
mendapatkan pekerjaan dan mengejar cita-citanya, ia merasa kesal karena sudah
berusaha sebaik mungkin tetapi tidak mendapat pujian. Kerelaan Surya menjadi
figuran tentunya dilatarbelakangi oleh keinginanya mendapat pekerjaan yang
layak baginya, demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dimana ia dapat
digolongkan sebagai orang miskin karena tidak mempunyai pekerjaan tetap
dalam film ini.
Scene 28, ibu kost marah-marah dan mengomeli Surya, ibu kost menagih
uang kost yang belum dibayar Surya selama dua bulan lebih, jika tidak mampu
membayar ia akan diusir keluar dari kost tersebut, dan ia memilih keluar dan
tinggal dimesjid. Sekali lagi Surya digambarkan sebagai pemuda Islam yang
miskin, untuk bayar uang kost saja ia tidak bisa melunasinya apa lagi untuk
memenuhi kebutuhan pribadinya, sehingga ia rela pindah kemesjid, dimana
disana tidak ada yang perlu dibayar.
Scene 51, Rika menawarkan Surya pekerjaan, dan ternyata pekerjaannya
adalah menjadi pemeran Yesus pada acara paskah disebuah gereja, Surya
menerima ;pekerjaan itu, walaupun terasa janggal karena ia adalah seorang
pemuda Islam, terlebih ia memakai mesjid sebagai tempat latihannya menjadi
pemeran Yesus. Ketertarikan Surya terhadap peran menjadi Yesus tidak lepas
dari iming-iming materi yang dikatakan Rika, bahwa bayarannya lumayan besar
untuk drama tersebut. Itulah yang melatar belakangi Surya rela menjadi pemeran
Yesus didalam sebuah gereja walaupun bertentangan dengan ajaran agama
Islam.
B. Rasisme
1) Tanda Rasis
- Adegan perkelahian sekelompok pemuda Islam dengan Pinghen
- Adegan Menuk bercerita tindakan Pinghen di restoran saat bulan puasa
- Adegan Perkelahian Pinghen dengan Sholeh
2) Objek Rasis
- Perkataan pemuda Islam ―sipit cino edan‖ kepada Pinghen
- Perkataan Sholeh ―dasar cino kodo ae‖
- Perkataan Sholeh ―eh cino kalo ga ada bapak kamu ga akan hidup‖
3) Interpretasi
Scene 18, perkelahian antara sekelompok pemuda Islam dengan pemuda
Cina Pinghen. Disini para pemuda Islam menghina Pinghen terlebih dahulu
dengan mengatakan ― Sipit, cino edan‖. Perkataan inilah yang membuat pinghen
kembali menghina dan terjadi perkelahian. Perkataan kasar pemuda Islam
tersebutlah yang diinterpretasikan bahwa agama Islam itu membenci orang Cina,
Islam memiliki stereotip tersendiri terhadap para warga Cina. Terlebih tidak tahu
pasti apa penyebab sebenarnya, sehingga para pemuda Islam sampai
mengucapkan kata-kata kasar tesebut.
Scene 88, sementara Sholeh yang memiliki masalah pribadi dengan pinghen,
ketika Menuk bercerita kepada Sholeh tindakan Pinghen yang semena-mena
terhadap karyawan saat bulan puasa, Sholeh menganggap Pinghen dan semua
orang cina itu sifat buruknya sama saja. Adegan dan kata-kata tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa Islam merupakan agama yang suka menghina dan
rasisme terhadap orang-orang dari golongan Cina. Orang Islam mengganggap
semua Cina itu kelakuannya buruknya sama semua. Tindakan-tindakan rasis
pada film inilah yang memperburuk akan citra Islam, padahal kenyataanya tidak
semua Islam melakukan hal-hal kotor seperti itu.
C. Kekerasan dan Terorisme
Scene 18 perkelahian antara pemuda Islam dan Pinghen, ada ucapan
Pinghen yang dilontarkan kepada para pemuda Islam yaitu ―dasar teroris asu‖.
Tidak diketahui apa latar belakang Pinghen berkata seperti itu, namun jelas dapat
diinterpretasikan dibenak Pinghen bahwa realitas saat ini, Islam adalah agama
bengis dan kejam yang memelihara dan melahirkan para teroris sehingga patut
dibilang Islam sebagai dalang teroris.
Scene 71, Sholeh dan Banser rela menjaga gereja karena citra buruk umat
Islam saat aksi penusukan pendeta dihalaman gereja didaerahnya dahulu.
Kekerasan orang Islam terhadap agama Kristen di Indonesia telah menjadi isu
yang hangat. Tindakan kelompok Poso saat membunuh istri perwira TNI-AD
pada Juli 2004 karena beragama Kristen dan membunuh tokoh Kristen, Pastor
Susianti Tunalele pada Juli 2004 (kompas, 31 Juli 2004). Dapat disimpulkan
bahwa penusukan itu telah jelas pelakunya adalah orang-orang Islam, padahal
saat itu kepolisian telah mengatakan penusukan ini tidak ada kaitannya dengan
kekerasan agama.
Kemudian scene 104 penyerangan restoran Cina oleh sekelompok pemuda
yang dipimpin oleh Sholeh, sambil meniakkan Allhuakbar mereka menyerang
orang-orang yang ada didalam dan menghancurkan seluruh isi restoran, tindakan
ini jelas menyudutkan para orang Islam, bahwa realitasnya saat ini kekerasan dan
perusakan rumah makan dilakukan oleh orang-orang yang membawa nama
organisasi Islam seperti FPI dan lainnya. Begitu juga adegan film tersebut jelas
menggambaekan umat Islam yang bertindak arogan dan kasar.
Scene 114 ketika Sholeh menemukan bom yang terletak disalah satu kursi
seorang jemaat, setelah pikir panjang ia membawa lari bom tersebut keluar
gereja, namun tidak berapa lama bom meledak dimuka halaman gereja dalam
pelukan erat Sholeh dan menimbulkan kekacauan. Diinterpretasikan dari
tindakan dalam adegan tersebut bahwa tindakan yang dilakukan Sholeh mirip
dengan kejadian-kejadian pemboman bunuh diri yang ada di Indonesia saat ini,
dan tindakan itu tidak terlepas dari aksi para teroris yang membawa nama Islam.
Seperti pada Desember 2004 saat kelompok teroris Poso mengebom gereja
Imanuel di Palu. Kemiripan realitas dan adegan difilm inilah yang dimaksudkan
penulis dapat merusak citra agama Islam yang cinta akan kedamaian.
D. Murtad
Scene 27, Saat menunggu Abi pulang mengaji, Surya mengatakan bahwa
Rika telah menghianati dua hal besar dalam Islam yang pertama pernikahan dan
kedua adalah Allah. Dapat diinterpretasikan bahwa dibenak Surya Rika telah
merusak hukum-hukum kesucian pernikahan dalam Islam, kenapa Rika harus
pindah agama karena perceraian tersebut, yang mana dapat digambarkan bahwa
Rika tidak teguh dalam meyakini agama Islam.
Secene 37, Saat datang ke toko buku Surya dimarahi oleh Rika karena ia
kesal akan perkataan orang-orang yang mengatakan dia sebagai kafir, memang
didalam Islam seharusnya orang yang pindah agama dari Islam disebut kafir,
terlebih ia hidup dalam lingkungan yang penuh dengan orang Islam. Namun ada
perkataan Surya yang mengarah pada tindakan mendukung tindakan
murtad,yaitu ―saya bangga sama mbak berani mengambil keputusan besar dalam
hidup, sementara saya mbak 10 tahun hanya menjadi figuran‖. Penulis
interpretasikan bahwa Surya yang sebelumnya mengatakan bahwa murtad adalah
penghianatan, namun kali ini ia seolah-olah mendukung tindakan Rika murtad.
Surya digambarkan sebagai pemuda Islam yang tidak konsisten dalam
agamanya, padahal jelas sudah Al-Qur‟an melarang kemurtadan (Al-
Baqarah:217).
Scene 42, Rika teringat masa lalunya dengan mantan suaminya ketika ia
menolak mempertahankan pernikahannya, karena suaminya ingin berpoligami.
Ia mengatakan langsung kepada suaminya tidak bisa menerima tindakan yang
akan dilakukan suaminya. Hukum Poligami inilah yang ditentang oleh Rika, dan
dampaknya ia menolak hukum itu dan pindah agama menjadi Kristiani. Jelas
tindakan Rika ini merusak citra Islam, adegan ini seolah-olah ingin
menyampaikan bahwa hukum Islam itu salah dan memberatkan. Padahal Islam
telah mangatur tentang hukum berpoligami dengan benar dan Apakah Rika harus
pindah agama hanya karena hukum Poligami dan mencari kebenaran di agama
lainnya.
Scene 81, Rika menelfon ibunya bahwa dia telah pindah ke agama Kristen,
ia mengatakan telah dibaptis dan namanya telah diganti. Mendengar hal itu
orangtua Rika langsung mematikan telfon dari Rika. Diinterpretasikan bahwa
menganggap pembaptisan dia adalah kabar gembira dan harus disampaikan
kepada orangtuanya, jelas saja orangtua Rika langsung mematikan, karena ia
merasa kecewa anaknya yang dilahirkan secara Islam kini lebih memilih agama
Kristen.
2.5 Kontestasi bagi Poststrukturalisme
Dalam perkembangan cultural studies, maka basis teori yang paling besar
berpengaruh dan di gunakan dalam ranah ini adalah kulturalisme, strukturalisme
dan poststrukturalisme. Kulturalisme8 mengedepankan pendekatan empiris —
yang sangat ditekankan dalam tradisi kulturalis— mengeksplorasi bagaimana
manusia secara aktif memproduksi makna-makna budaya.
Kulturalisme ini mendapatkan kritikan keras dari kaum strukturalisme9 yang
lebih berprinsip anti humanis dan menempatkan bahwa manusia hanyalah
8 kulturalisme merupakan pendekatan budaya yang menekankan bahwa makna merupakan
produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks sejarah. Lebih
lanjut lihat, Antariksa, loc.cit. 9 strukturalisme bisa dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak
anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman.
Strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi-
Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari
bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara
internal dalam oposisi biner : hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan. Lebih lanjut lihat,
Antariksa, loc.cit.
produk dari bangunan struktur yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia
dalam pandangan kaum strukturalis, hanyalah hasil konstruksi dari struktur
tersebut. Kaum strukturalisme –sebagaimana yang di katakan oleh Antariksa--
lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna
merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat
diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents).
Sementara itu, post strukturalisme dengan mengikut diktum strukturalisme
yang menempatkan manusia sebagai produk struktur, juga menggugat makna
yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, yang ini berarti sama
dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Sementara itu dalam
pandangan kaum post strukturalisme, makna tidaklah stabil sebagaimana yang di
bayangkan, makna senantiasa berada dalam proses. Makna merupakan hasil
konstruksi dari hubungan antar teks sehingga bersifat intertekstualis. Makna
bukanlah hasil dari satu kata, kalimat atau teks yang bersifat khusus.
Di sudut ketertundaan makna yang dianut oleh post strukturalisme inilah
yang bersinggungan langsung dengan cultural studies. Bahasan cultural studies
yang mengedepankan metode kajian yang interdisipliner, lintas-, trans- bahkan
anti-disiplin, meniscayakan hasil (kesimpulan) yang senantiasa tertunda. Karena
semua hasil kajian hanyalah merupakan konstruksi sudut pandang atau disiplin
tertentu dan belum tentu sesuai dengan disiplin yang lain.
Dalam perspektif strukturalisme, dunia budaya hari ini dikuasai oleh budaya
kapitalisme melalui proses inkorporasi10
dan komodifikasi11
. Proyek ini bekerja
dalam ruang kerja globalisasi dan pasar bebas, sehingga dapat disaksikan
bagaimana seluruh dunia dan social space tersedot menuju kesatu model logika
kerja budaya yang bernama kapitalisme. Telah terjadi imprealisme kultural dari
barat ke timur.
Namun kalau secara jeli, kondisi ini bila di sorot dari perspektif
kulturalisme, akan di temukan bahwa kemenangan kapitalisme merupakan
kemenangan semu, karena ternyata manusia tidak pernah benar-benar bisa di
kuasai dengan sempurna. Manusia memiliki kemampuan melakukan kreolisasi12
dan mimikri sehingga kebudayan yang lahir bukanlah sebuah bangunan
imprealisme kultural melainkan sebuah hibriditas kebudayaan13
.
Pertarungan kesimpulan yang terjadi antara perspektif kulturalisme dan
strukturalisme, akan menemukan muaranya dalam wacana post strukturalisme.
Wacana post strukturalisme mendorong kesimpulan yang ada kedalam ranah
10
inkorporasi merujuk kepada suatu proses sosial dimana kelas yang dominan mengambil
elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat dan menggunakannya untuk memperkuat status
quo. Lebih lanjut, lihat Antariksa, Inkorporasi/Komodifikasi. Dimuat dalam newsletters
KUNCI No. 5, April 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003 11
komodifikasi adalah upaya memproduksi segala sesuatu –termasuk kesadaran- menjadi
komoditas-komoditas yang bisa di perjual-belikan. Lebih lanjut, lihat Antariksa, ibid. 12 kreolisasi adalah sebuah proses budaya dalam bentuk penyerapan elemen-elemen
kebudayaan lain, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Lebih
lanjut, lihat Antariksa, loc.cit. 13
hibriditas kebudayaan adalah pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu
merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-
beda. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil. Antariksa,
loc.cit.
mediasi14
, di ruang inilah terjadi interaksi antar simbol yang akan bersintesis dan
menemukan ekspresi baru.
Inilah ruang kontestasi15
dimana semua macam paradigma, pendekatan,
sudut pandang, perspektif dan kesimpulan-kesimpulan di jajakan dan di
tawarkan untuk menjadi menu menarik bagi riuh ramainya pertarungan
kepentingan dan kuasa yang melingkupi. Post strukturalisme membuka ruang
kontestasi itu selebar-lebarnya bagi para kontestan tanpa membedakan asal-usul
paradigmatik. Arena kontestasi merupakan sebuah arena jual beli, namun jual
beli yang sudah mengalami penjinakan.
2.6 Semiotika
Secara epistimologis, Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion
yang berarti ‗tanda‘. Tanda itu sendiri sebenarnya memiliki makna yang ingin
menunjukkan hal lain. Secara terminologis, semiotika diidentifikasikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peritiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2011: 5). Semiotika dikenal sebagai ilmu
yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan ucapan
manusia. Semiotika juga mengandung pengertian ilmu tentang produksi tanda-
14
sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari berbagai latar
identitas budaya bisa saling bertemu. Lebih lanjut, lihat R. Kristiawan, Mediasi; Fakta Pasca
Hegemoni. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 8, September 2000. www.kunci.or.id, 15
Desember 2003 15
lihat mediasi, sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari
berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu dan menjajakan diri sebagai kontestan
yang memiliki hak dan kewajiban serta kemungkinan-kemungkinan kultural yang sama.
tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
menyampaikan informasi kepada orang lain. Semiotika mencakup tanda-tanda
visual dan verbal yang dapat diartikan, semua tanda atau sinyal yang bisa
dimengerti oleh semua pancaindra kita sebagai pengirim maupun penerima.
Semiotika sebenarnya sudah tumbuh sejak zaman kuno. Para ahli
semiotika yang hidup pada zaman kuno ini antara lain Plato (427-347 SM)
dengan pemahamannya yakni semiotika merupakan tanda-tanda verbal alami
atau yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa
representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak
mengungkap hakikat objek yang sebenarnya karena dunia gagasan tidak
berkaitan erat dengan representasinya yang berbentuk kata-kata, dan
pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dan lebih
rendah mutunya dari pengetahuan yang langsung.
Aristoteles (384-322 SM) dengan pemahamannya yakni semiotika
merupakan tanda-tanda yang ditulis sebagai lambang dari apa yang diucapkan,
bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi
mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang
sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua
manusia tetapi ujaran tidak.
Kaum Stoic (300-200 SM) yang menurut Bochenski (1669) memiliki
pemikiran mengenai teori tentang tanda yang mengaitkannya pada tiga
komponen pembentuknya, yaitu material atau penanda (signier), makna atau
petanda (signified), dan objek eksternal.
Kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi) yang mengenalkan
teori epistemiologi materialistis, yaitu segala sesuatu yang kita rasakan adalah
kesan yang diperoleh pikiran kita lewat gambaran atom dari permukaan suatu
objek yang nyata, atau dengan kata lain dari materi ke konsep, tanda sebagai data
alamiah mempresentasikan sesuatu yang tak dapat dilihat atau ditangkap secara
indrawi.
Aliran semiotik sistematis dipelopori oleh dua tokoh terakhir, yaitu
Ferdinand de Sausure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Ferdinand de
Saussure, semiotika adalah ilmu yang mangkaji tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Semiotika menyandarkan diri pada aturan main atau kode
sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami
maknanya secara kolektif. Pendekatan semiotika signifikasi Saussure
mengemukakan prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem
tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda)
dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dan sebuah ide atau petanda (signified). (Sobur, 2006).
Sedangkan pendekatan kedua mengenai semiotika komunikasi yang
diungkapkan oleh Pierce pada intinya mendefinisikan semiotika sebagai suatu
hubungan antara sebuah tanda, objek, dan makna. Semiotik Pierce ini terdiri atas
tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu tanda (sign), objek (object),
interpretan (interpretan) (Littlejohn, 1996).
2.6.1 Semiotika Roland Barthes
Sebagai pengikut Saussure, Barthes mencoba untuk mengembangkan
teori Semiotika Saussure. Tetapi, dia tidak berhenti pada tanda dan petanda
saja, karena Barthes berpendapat bahwa dalam masyarakat tanda
diproduksi dan dipahami serta berkembang dalam dua sistem. Pertama
sistem primer (sistem semiologi tingkat pertama) yang merupakan
konvensi masyarakat. Signifikasi pada tahap pertama merupakan hubungan
antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas
eksternal. Ia menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata
dalam tanda (makna sebenarnya). Menurut Barthes dalam tahapan kedua,
yang dinamakan sistem sekunder dimana terbentuk mitos, tanda pada
pelapis pertama yang pada akhirnya menjadi sistem signified pada lapisan
kedua. Konotasi adalah istilah yang digunakan oleh Barthes untuk
menjelaskan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan proses
bertemunya tanda dengan emosi si pembaca tanda serta nilai-nilai dari
kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subyektif.
Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu obyek,
sedangkan konotasi adalah bagaimana mengambarkannya. Pada signifikasi
tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas. Menurut Barthes, apa yang dimaksud
wacana tidak lain adalah tuturan dalam pengertian yang luas. Dengan kata
lain mitos adalah tipe wacana yakni ‗a social of language‘ (Budiman,
Yogyakarta:6).
tahapan pertama tahapan kedua
Bagan 2.1 Signifikan dua tahap Roland Barthes (Fiske, 1990:88)
Konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang
berhubungan dengan emosi. Dipihak lain denotasi menunjukkan arti
literatur atau eksplisit dari kata-kata dan fenomena yang lain. Pada level
inilah terbentuk mitos yakni suatu sistem komunikasi yang merupakan
sebuah pesan. Mitos tidak dapat menjadi sebuah obyek, sebuah konsep, dan
sebuah ide karena mitos adalah sebuah metode penandaan yakni adalah
sebuah bentuk. Ketika suatu analisis semiotik sudah sampai tahapan mitos
Denotasi Penanda
Petanda
Konotasi
Mitos
maka makna dari pesan yang terungkap dari obyek sudah memasuki
tahapan tertinggi dalam kajian yang dilakukan. Hal ini karena mitos sudah
merupakan inti dari komunikasi tanda yang digunakan dimana setelah itu
tidak ada lagi makna yang dapat diungkap. Barthes dalam teorinya
mengatakan bahwa mitos itu diperoleh setelah melewati signifikasi tahap
ke dua. Signifikasi tahap pertama yang diperoleh adalah makna denotatif
dari obyek yang dikaji. Untuk memudahkan tentang bagaimana proses
pemaknaan dua tahap tersebut berlaku, Barthes menciptakan peta
bagaimana tanda-tanda itu bekerja (Sobur, 2003:69).
1.
signifier
2.
signified
3. denotative sign
4. connotative signifier 5. connotative
signified
6. connotative sign
Bagan 2.2 Peta tanda Roland Barthes
Dari peta tanda Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3)
terdiri dari atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat yang
bersamaan, tanda denotatif adalah juga konotatif (4). Jadi dalam konsep
Barthes tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan
tetapi juga mengandung kedua tanda denotatif yang melandasi keduanya.
Dalam hal ini, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan
makna. Konotasi menurut Barthes identik dengan operasi ideologi yang
disebutnya sebagai mitos dan befungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam
suatu periode tertentu dalam tahapan analisis data.
Pada signifikasi yang kedua berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos. Mitos adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai
suatu dominasi. Mitos primitif misalnya mengenai hidup dan mati, manusia
dewa, dsb. Sedangkan mitos saat ini misalnya mengenai maskulinitas,
feminitas, ilmu pengetahuan, life style dan kesuksesan. Barthes
menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan
sejarah. Barthes juga memberikan penekanan bahwa aspek dinamisme dari
mitos dipahami sebagai sesuatu yang bisa berubah dan beberapa
diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan
perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian
dari kebudayaan tersebut. Satu mitos timbul untuk sementara waktu dan
tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos
lainnya. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Yang ada
adalah mitos yang dominan namun di situ ada juga kontramitos (counter-
myths) (Fiske, 2010:123).
Dalam bukunya yang berjudul ―MITOLOGI‖, Barthes menyatakan
bahwa mitos merupakan sebuah tipe wicara (a type of speech), segala
sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos
bukanlah sembarangan tipe, bahasa membutuhkan syarat khusus agar bisa
menjadi mitos. Yang perlu dipahami di sini adalah bahwa mitos merupakan
sebuah sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini akan
memungkinkan munculnya pandangan bahwa mitos tidak bisa menjadi
sebuah objek, konsep atau ide, karena mitos adalah konsep penandaan
(signification) sebuah bentuk.
Dalam penelitian ini penulis menganilisis potongan adegan film ‖?‖
Tanda Tanya menggunakan semiotika Roland Barthes dengan membedah
makna denotasi yakni apa yang penulis lihat serta makna konotasi
didalamnya yang dipengaruhi oleh mitos atau kebudayaan yang dianut.
2.7 Membaca Makna Imaji dalam Film
Film mengelola tanda dan mengkomunikasikan makna di dalam tanda
tersebut, yakni dengan dua cara yang berbeda, denotatif dan konotatif. Adegan
dalam sebuah film, baik gambar ataupun suara memiliki makna denotatif yakni
makna sebenarnya pada apa yang kita lihat dan kita dengar. Film mempermudah
kita untuk mengenali tanda yang ada karena film memiliki unsur audio visual.
Sehingga film lebih mudah mengantarkan pesan atau makna dalam sebuah tanda
dibandingkan foto atau gambar yang hanya bisa dilihat (visual).
Sistem bahasa (audio) hanya akan membangun ―theatre of mind” pada
pendengar, tetapi dalam sebuah film, saat tidak ada deskripsi atau narasi tentang
apa yang disajikan kita sudah mengerti dan menangkap informasi realitas fisik.
Makna tanda dalam sebuah adegan film berada dalam tataran konotatif,
dimana pesan yang sebenarnya ingin disampaikan komunikator melalui tanda-
tanda tersebut. Konotatif memiliki makna yang luas, seperti misalnya kita
melihat ―bendera berwarna kuning‖, secara denotatif itu hanya sebuah kain
berwarna kuning, tetapi kita bisa memaknainya sebagai tanda atau simbol lelayu
atau duka. Hal ini tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku, jadi konotatif
merupakan pemaknaan sebuah tanda yang dipengaruhi pengetahuan dan
pengalaman kebudayaan.
Gambar 2.1 Konsep membaca imaji
Sumber : James Monaco, How To Read a Film (terjemahan).
Dalam gambar 2.1 diatas dijelaskan bagaimana cara kita membaca imaji
hingga mendapatkan makna denotasi dan konotasi. Imaji adalah gambaran atau
citra yang bisa dilihat ataupun didengar. Sehingga untuk menemukan makna
denotasinya sangat mudah yakni dengan melihat ataupun mendengar (dalam hal
ini film sebagai obyek) adegan sebuah film. dalam tataran pola optikal, kita
dapat membaca apa saja yang kita lihat dan menjadikannya sebagai penanda.
Inilah yang disebut tahap denotasi. Sedangkan untuk mencari makna atau pesan
yang sebenarnya ingin disampaikan oleh komunikator, kita masuk kedalam
tataran pengalaman mental, yakni membaca imaji dan memaknainya berdasarkan
pengetahuan si pembaca serta pengalaman kebudayaan yang ada. Makna yang
didapatkan itulah yang masuk kedalam tataran konotasi.
Denotasi sebagai alat bantu untuk mempermudah memaknai suatu pesan
sehingga kita harus memperhatikan komposisi dalam film, setting, angle camera,
pencahayaan dan unsur-unsur sinematik yang lainnya, dan menjabarkan dalam
tahap konotasi.
2.8 Elemen-Elemen Film
Dalam pengambilan suatu gambar yang baik, seorang juru kamera harus
mengetahui segala sesuatu yang tertangkap oleh mata atau lensa kamera, karena
seorang juru kamera merupakan perwakilan mata penonton yang nantinya
melihat atau menikmati sebuah tayangan. Sehingga apa yang akan dilihat
penonton nantinya adalah apa yang harus diketahui oleh juru kamera, antara lain:
Tokoh dan segala sesuatunya termasuk perlengkapan kostum dan make up
Lokasi gedung / tempat kejadian
Properti / perlengkapan dan dekorasi , warna, cahaya / lighting
Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang
menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis
film yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan
gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan
pilihan kata yang ada pada film.
Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang
dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat
berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk
membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan
menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi
gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang
memiliki makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir
seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat
bagi analisis seni populer dan media. Beberapa elemen gambar dapat ditemui
dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat
sebagai berikut serta pemaknaan pesan yang ditimbulkan oleh teknik-teknik
pengambilan gambar, antara lain:
1. Long Shot (LS)
Sebuah shot yang menunjukkan semua atau sebagian besar subyek
(contohnya seorang tokoh) dan lingkungan sekitarnya. Long shot dapat
dibagi menjadi extreme Long Shot (ELS) yang menempatkan kamera pada
titik terjauh di belakang subjek, dengan penekanan pada latar belakang, serta
Medium Long Shot (MLS) yang biasanya hanya menampilkan subjek dari
ketinggian tertentu. Beberapa film dengan tema sosial biasanya
menempatkan subjek dengan Long Shot, dengan pertimbangan bahwa situasi
sosial (bukan subjek individual) yang menjadi fokus perhatian utama
(Chandler, 2000)
2. Establishing Shot
Sekuen pembuka, umumnya objek berupa eksterior, dengan menggunakan
Extreme Long Shot (ELS). ELS digunakan dengan tujuan memperkenalkan
situasi tertentu yang akan menjadi tempat berlangsungnya sebuah adegan
kepada penonton.
3. Medium Shot (MS)
Pada MS, subjek atau aktor yang mengitarinya menempati area yang sama
pada frame. Pada kasus seorang tokoh yang sedang berdiri, frame bawah
akan dimulai dari pinggang si tokoh, dan masih ada ruang untuk
menunjukkan gerakan tangan. Medium Close Shot (MCS) merupakan variasi
dari MS, dimana setting masih dapat dilihat, dan frame bagian bawah dimulai
dari dada si tokoh. MCS biasanya digunakan untuk mempresentasikan secara
padat kehadiran dua orang tokoh yang berada di dalam satu frame.
4. Close Up (CU)
Merupakan frame yang menunjukkan sebuah bagian kecil dari adegan,
seperti wajah seorang karakter, dengan sangat mendetail sehingga memenuhi
layar. Menurut Chandler (2000), CU akan menarik sebuah subjek dari
konteks. CU dapat dibagi menjadi dua variasi, yaitu, Medium close up
(MCU) yang menampilkan dahi hingga dagu. Shot Close Up akan
memfokuskan perhatian pada perasaan atau reaksi seseorang, dan biasa
digunakan dalam interview untuk menunjukkan situasi emosional seseorang,
seperti kesedihan atau kegembiraan.
5. Angle of Shot
Merupakan Arah dan ketinggian dimana sebuah kamera akan mengambil
gambar sebuah adegan. Konvensi menyebutkan bahwa dalam pengambilan
gambar biasa, subjek harus diambil dari sudut pandang eye-level. Angle yang
tinggi akan membuat kamera melihat seorang karakter dari atas, dan dengan
sendirinya membuat penonton merasa lebih kuat daripada si karakter, atau
justru menimbulkan efek ketergantungan pada si karakter. Sebaliknya, angle
yang rendah akan menempatkan kamera di bawah si karakter, dengan
sendirinya melebihlebihkan keberadaan atau kepentingan si karakter
(Chandler, 2000).
6. Soft Focus
Merupakan sebuah efek di mana ketajaman sebuah gambar, atau bagian
darinya dikurangi dengan menggunakan sebuah alat optik.
7. Titled Shot
Sebuah shot dimana kamera dlietakkan pada derajat kemiringan tertentu,
sehingga menimbulkan efek ketakutan atau ketidaktenangan.
Selain pengambilan gambar, juru kamera juga harus memperhatikan
tentang pencahayaan, yang terbagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya:
1. Pencahayaan halus dan kasar
Pencahayaan ini dapat memanipulasi sikap penonton terhadap sebuah setting
atau karakter tertentu (Chandler, 2000). Bagaimana sebuah sumber cahaya
digunakan dapat membuat objek atau lingkungan terlihat jelek atau indah,
halus atau kasar, realistis atau artifisial.
2. Backlighting
Biasanya digunakan untuk memberi kesan romantis terhadap seorang tokoh
dalam sebuah adegan.
2.9 Kerangka Pikir
Pluralitas di Indonesia
Media FILM
Film ―?‖ Tanda Tanya
Penelitian Sebelumnya
Konstruksi Citra Islam Dalam
Film Tanda Tanya ―?‖ - Membaca Imaji
- Elemen-elemen Film
- Semiotika Roland Barthes
Islam di Indonesia Pemberitaan media massa
―Citra Islam‖ dalam Film
Tanda Tanya ―?‖
Citra Islam:
Kemiskinan,
Rasisme,
Kekerasan &
terorisme,
Murtad
Citra islam:
Berbagi,
Hidup
berdampingan
& toleransi,
Damai &
pemaaf,
Soleh
KONTESTASI
CITRA ISLAM
dalam Film
Tanda Tanya
―?‖