BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edu II.pdfTabel 2.1. Jumlah, Prosentase, dan Laju...

41
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Islam di Indonesia Agama merupakan suatu kepercayaan dan keyakinan yang timbul dan tercipta pada diri manusia terhadap Tuhan. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa berasal dari sumber yang luar biasa, yakni Tuhan. Indonesia bukan Negara berlandaskan agama, tetapi agama merupakan salah satu dasar Negara Indonesia yang diakui dan memiliki nilai ―hukum‖ (diatur dalam undang-undang). Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia yang tercatat oleh BPS (Badan Pusat Statistik) di tahun 2010, 207,2 juta jiwa (87,18%) mengaku beragama Islam, diikuti oleh penganut agama Kristen 16,5 juta jiwa (6,96 %), 6,9 juta jiwa (2,91 %) menganut agama Katolik, 4 juta jiwa (1,69 %) penganut agama Hindu, 1,7 juta jiwa (0,72 %) penganut Buddha, 0,11 juta jiwa (0,05 %) penganut Konghucu, dan agama lainnya 0,13 %. 1 1 Pemeluk Agama dan Indonesia 2010, http://www.scribd.com/doc/87158830/Penduduk- Dan-Agama-Di-Indonesia-2010 , diunduh pada tanggal 4 Oktober 2012 pukul 16:28

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edu II.pdfTabel 2.1. Jumlah, Prosentase, dan Laju...

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Islam di Indonesia

Agama merupakan suatu kepercayaan dan keyakinan yang timbul dan

tercipta pada diri manusia terhadap Tuhan. Manusia memiliki kemampuan

terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan

bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa berasal

dari sumber yang luar biasa, yakni Tuhan.

Indonesia bukan Negara berlandaskan agama, tetapi agama merupakan

salah satu dasar Negara Indonesia yang diakui dan memiliki nilai ―hukum‖ (diatur

dalam undang-undang). Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia,

yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia yang tercatat oleh BPS (Badan

Pusat Statistik) di tahun 2010, 207,2 juta jiwa (87,18%) mengaku beragama

Islam, diikuti oleh penganut agama Kristen 16,5 juta jiwa (6,96 %), 6,9 juta jiwa

(2,91 %) menganut agama Katolik, 4 juta jiwa (1,69 %) penganut agama Hindu,

1,7 juta jiwa (0,72 %) penganut Buddha, 0,11 juta jiwa (0,05 %) penganut

Konghucu, dan agama lainnya 0,13 %. 1

1 Pemeluk Agama dan Indonesia 2010, http://www.scribd.com/doc/87158830/Penduduk-

Dan-Agama-Di-Indonesia-2010, diunduh pada tanggal 4 Oktober 2012 pukul 16:28

Tabel 2.1 Jumlah, Prosentase, dan Laju Pertumbuhan Pemeluk Agama di

Indonesia Tahun 1990-2010

No Agama 1990 % 2000 % 2010 % r 90-00 r 00-10 r 90-10

1 Islam

156,318,610

87.21

177,528,772 88.22

207,176,162

87.18 1.28 1.56 1.42

2 Kristen

10,820,769

6.04

11,820,075 5.87

16,528,513

6.96 0.89 3.41 2.14

3 Katholik

6,411,794

3.58

6,134,902 3.05

6,907,873

2.91 -0.44 1.19 0.37

4 Hindu

3,287,309

1.83

3,651,939 1.81

4,012,116

1.69 1.06 0.95 1.00

5 Buddha

1,840,693

1.03

1,694,682 0.84

1,703,254

0.72 -0.82 0.05 -0.39

6 Konghucu*)

117,091 0.05 - - -

7 Lainnya

568,608

0.32

411,629 0.20

299,617

0.13 -3.18 -3.13 -3.15

TJ

139,582 0.06

TT

757,118 0.32

Total

179,247,783

100

201,241,999

100

237,641,326

100

Sumber: BPS, Sensus Penduduk tahun 1990, 2000, 2010.

Keterangan: TJ adalah Tidak terjawab; TT adalah Tidak ditanyakan; r adalah laju

pertumbuhan.

*) agama Konghucu baru diakui sebagai agama resmi pada tahun 2006, sehingga data

untuk tahun 1990 dan 2000 tidak tersedia.

BPS juga memetakan persebaran pemeluk agama di beberapa propinsi di

Indonesia.

Tabel 2.2 Proporsi pemeluk agama terhadap jumlah penduduk beberapa propinsi

2000-2010

Propinsi Islam Kristen Katholik Hindu Buddha Lainnya

2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010

Nanggroe

Aceh

Darussalam

97,30 98,19 1.94

1,12 0.36

0,07 0.01

0,00 0.37

0,16 0.02

0,01

Sumatera

Barat

97,78 97,42 1.16

1,43 0.91

0,83 0.01

0,00 0.12

0,07 0.02

0,01

Jawa Barat 97,65 97,00 1.26

1,81 0.71

0,58 0.10

0,05 0.24

0,22 0.04

0,01

Banten 95,68 94,67 1.60

2,53 1.03

1,09 0.44

0,08 1.16

1,23 0.09

0,11

Bali 10,29 13,37 0.97

1,66 0.76

0,81 87.44

83,46 0.53

0,54 0.02

0,01

Nusa

Tenggara

Barat

96,57 96,47 0.19

0,31 0.22

0,20 2.66

2,62 0.36

0,32 0.01

0,00

Nusa

Tenggara

Timur

8,80 9,05 33.81

34,74 53.86

54,14 0.14

0,11 0.02

0,01 3.37

1,73

Sulawesi

Utara

29,48 30,90 64.60

63,60 4.67

4,40 0.50

0,58 0.16

0,14 0.59

0,06

Sulawesi

Tengah

78,39 77,72 16.02

16,98 1.18

0,82 3.84

3,78 0.21

0,15 0.35

0,10

Maluku 49,05 50,61 42.49 41,40 7.70 6,76 0.34 0,37 0.03 0,02 0.39 0,41

Sumber: BPS, Sensus Penduduk tahun 2011.

Terlihat dari data yang diperoleh BPS ditahun 2010, bahwa mayoritas

masyarakat Indonesia memeluk agama Islam dan tersebar diseluruh wilayah di

Indonesia.2

Kemajemukan agama di Indonesia membuat keharmonisan beragama

menjadi suatu dambaan masyarakat. Di Jawa Tengah misalnya, hal ini terlihat

dari tempat-tempat peribadatan di sekitar warga, seperti masjid, gereja, pura,

vihara, dan pesantren-pesantren. Tahun 2010, tempat peribadatan di Jawa Tengah

mencapai 125ribu buah, yang terdiri dari 97,29% Masjid dan Mushola, 2,25%

Gereja Kristen dan Khatolik, dan sisanya berupa Pura dan Vihara. Selain itu

tercatat dalam Badan Pusat Statistik Jawa Tengah dalam situsnya

2 Ibid

www.jateng.bps.go.id3 bahwa terdapat 4470 unit pesantren dengan 35,77ribu kiai

atau ustadz dan 451,5ribu santri.

Hal ini juga membuktikan bahwa Islam menjadi agama mayoritas di

propinsi Jawa Tengah. Seperti yang dilansir oleh BPS Propinsi Jawa Tengah, kota

kecil Salatiga misalnya, dari 170.332 penduduk (laki-laki dan perempuan) tercatat

129.894 jiwa memeluk agama Islam, 30.443jiwa memeluk agama Kristen,

8.069jiwa beragama Khatolik, 106jiwa beragama Hindu, 792jiwa beragama

Budha, 28jiwa beragama Khong Hu Cu, 16jiwa berkeyakinan lain, dan 984jiwa

tidak menjawab.4

3 http://jateng.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=section&id=16&Itemid=88

diunduh pada tanggal 10 Oktober 2012 pukul 00:25 4 http://jateng.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=646:04-03-

01&catid=47:sosial-2012&Itemid=88 diunduh pada tanggal 10 Oktober 2012 pukul 00:24

Salatiga yang terkenal dengan Indonesia mininya (terdapat Universitas

Kristen Satya Wacana) memiliki keragaman suku maupun keyakinan didalamnya.

Agama Islam yang dipeluk mayoritas penduduk Salatiga membuktikan bahwa

Islam mampu hidup berdampingan dengan agama lainnya (toleransi). Hal itu

dapat dibuktikan dengan keberadaan tempat peribadatan yang berdampingan,

contohnya Masjid Pandawa yang berhadapan dengan Gereja Kristen Indonesia,

Masjid Kauman yang berdekatan dengan Gereja Kristen Jawa, di Pancasila (alun-

alun kota Salatiga) terdapat Masjid besar dan terdapat beberapa Gereja

disekitarnya.

Dari penjelasan diatas terlihat Agama Islam merupakan agama mayoritas

yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi dasar bagi penulis untuk

melakukan penelitian tentang citra agama Islam, karena di Indonesia tidak hanya

memiliki satu agama, tetapi enam agama. Khususnya bagaimana Citra Islam yang

tergambar dalam Film ―?‖ Tanda Tanya.

2.2 Pluralisme

Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris plural yang berarti

jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat yang harus kita akui.

Pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui,

sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan

atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak (Naim dan

Sauqi, 2008: 75). Pluralisme tidak hanya tentang keberagaman saja, tetapi juga

sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan

rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain.

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang terkenal dengan

keberagamannya, baik suku, agama, ras, budaya, dan lain-lain. Hal tersebut

menjadi modal utama bagi bangsa ini dalam memperkenalkan eksistensinya di

mata dunia. Bahkan tidak jarang wisatawan asing datang ke Indonesia untuk

mengenal kemajemukan bangsa dan masyarakat di Indonesia.

Semboyan Negara Indonesia yakni ―Bhineka Tunggal Ika‖ yang berarti

berbeda-beda tetapi tetap satu jua membuktikan bahwa di Negara ini terdapat

berbagai perbedaan dan kemajemukan. Indonesia yang membentang dari Sabang

sampai Merauke memiliki 17.508 pulau yang memiliki ciri khas tersendiri.

Berdasarkan data Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS)

Republik Indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang terdata sebanyak

1.128 suku bangsa. Indonesia juga memiliki 748 bahasa asli atau bahasa ibu yang

sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Keberagaman bangsa ini tidak

hanya itu, 6 agama diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Khatolik, Budha,

Hindu, dan Kong Hu Cu.

Selain itu, negeri ini memiliki budaya yang banyak dan beragam yang

tersebar hampir disetiap daerah di Indonesia dan menjadi ciri khas daerah

tersebut. Kebudayaan Indonesia merupakan gabungan dari macam-macam budaya

lokal, mulai dari seni tari tradisional, upacara adat, pakaian tradisional, makanan

khas, lagu daerah, dll. Keberagaman inilah yang membuat bangsa Indonesia

identik dengan pluralitas.

Namun, seiring berkembangnya jaman, kemajemukan cenderung menjadi

beban bangsa ini, mulai bermunculan masalah-masalah yang bersumber pada

kemajemukan, terutama di bidang agama. Pluralisme agama adalah bahwa tiap

pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain,

tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya

kerukunan dalam kebhinekaan (Subkhan, 2007: 29).

Pada kenyataannya banyak fenomena terjadi di dalam masyarakat

Indonesia yang membuat pluralitas menjadi beban, misalkan pada kasus Mei

1998, terjadi pengrusakan terhadap toko-toko, hotel, maupun tempat usaha milik

etnis Tionghoa. Konflik lain mewarnai pluralitas Indonesia, konflik antara warga

Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, dimana perang antar etnis ini

menewaskan 315 orang dalam kurun waktu seminggu (Mahfud, 2006: 127).

Seharusnya pluralitas ini menyadarkan bahwa Indonesia beragam, tidak

hanya satu budaya, satu agama, satu etnis, dll, sehingga toleransi adalah nilai

mutlak yang harus ditanamkan pada masyarakat.

Kemajemukan yang ada di Indonesia diangkat dalam sebuah karya film.

―?‖ Tanda Tanya mengemas kemajemukan tersebut diwarnai dengan konflik-

konflik yang juga pernah terjadi di Indonesia. Terutama dalam hal ini tentang

perbedaan agama dan etnis serta opini publik tentang citra yang terbentuk.

2.3 Film

Film ditemukan pada akhir abad 19, awalnya digunakan sebagai sarana

untuk menyebarkan hiburan, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,

lawak serta sajian lainnya kepada masyarakat umum. Seiring dengan

perkembangan teknologi komunikasi, filmpun ikut berkembang, yang awalnya

hanya film hitam putih tanpa suara kemudian di tahun 1920-an mulai dikenal film

bersuara, dan menyusul film warna pada akhir 1930-an. Perkembangan teknologi

dalam pembuatan film beserta alat produksinya yang semakin maju menjadikan

film sebagai sebuah tontonan menarik.

Film adalah gambar-hidup, sering disebut juga movie. Film secara kolektif,

sering disebut cinema. Cinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau

gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa

dikenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film

(cinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos

(cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah

melukis gerak dengan cahaya.

Karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa

pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada

pita seluloid, pita video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam

segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau

proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau

ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/lainnya (UU

8/1992)5.

Film merupakan media komunikasi yang berbentuk audio dan visual untuk

menyampaikan pesan pada kelompok yang berkumpul di suatu tempat tertentu

(Effendy, 1989:134). Film memiliki sebuah pengaruh yang kuat dan lebih peka

terhadap budaya di masyarakat. Kesadaran akan relasi kuasa seperti ini pada diri

penonton akan menjadikan penonton membaca pesan dalam film tidak hanya

berdasarkan konvensi-konvensi secara kusus ada dalam teks film, akan tetapi juga

pada dasar-dasar mereka menyebabkan berpikir dibalik cerita yang diproyeksikan

di atas layar. Penonton harus peka terhadap pesan implisit (tersembunyi) dalam

sebuah cerita yang dikemas suatu film.

Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi

pembuatnya, tetapi memperlihatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari

elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisinya.

Bahkan lebih luas lagi perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan

ideologi kebudayaan dimana film ini dibuat.

Film merupakan potret dari sebuah masyarakat dan selalu merekam realitas

yang ada dalam masyarakat, sehingga film sebagai refleksi dari masyarakat.

Karkteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam

konsensus publik secara visual, karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai

5

http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%208%20Tahun%201992%20tentang%

20Perfilman.pdf diunduh pada tanggal 10 Oktober 2012 pukul 2:43

yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain film

merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat.

Film memiliki 3 fungsi utama yang dikenal sebagai trifungsi film, yakni

mendidik, menghibur dan penerangan (Effendy, 1993). Dalam Undang-Undang

Republik Indonesia nomor 8 tahun 1992 tentang perfilman pasal 5, film sebagai

media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan,

pendidikan pengembangan budaya bangsa, hiburan dan ekonomi.

Film merupakan salah satu bidang terapan semiotika karena dibangun

dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu bekerjasama membangun sistem tanda

untuk mencapai efek yang diharapkan. Konstruksi film, terdiri atas aspek-aspek

―realitas‖ seperti individu, tempat, objek, peristiwa, identitas kultural dan konsep

abstrak lainnya. Representasi ini dapat dituangkan dalam bentuk speech, writing,

atau bahkan moving images yakni film. Yang paling penting dalam film adalah

gambar dan suara, yakni kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain

yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film (Zoest, 1996).

Ciri-ciri gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang

ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas

yang dinotasikannya. Selain gambar, musik film juga merupakan tanda ikonis,

namun musik lebih memiliki cara yang jauh lebih misteerius. Musik yang

semakin keras, dengan cara tertentu ―mirip‖ ancaman yang mendekati kita

(ikonitas metaforis). Namun perlu dibedakan antara suara yang langsung

mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya)

dengan musik yang mengiringinya. Suara secara semiotika berfungsi tidak terlalu

berbeda dengan gambar-gambarnya. ―Suara , sama dengan gambar, merupakan

unsur dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan

dan dianalisis dengan cara yang juga sebanding‖(Zoest, 1996, :110).

2.3.1 Film “?” Tanda Tanya

Film merupakan cerminan dari sebuah bangsa, karena film bermula

dari sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Di Indonesia

misalnya, fenomena-fenomena yang terjadi di angkat dalam sebuah

produksi film. Contohnya dalam film “?” Tanda Tanya dimana mengemas

pluralitas bangsa Indonesia dengan berbagai keberagaman agama dan juga

etnis serta permasalahan sosialnya. Paham pluralisme dalam film ini terlihat

pada narasi awal, ―semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke

arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama,

yaitu Tuhan‖.

Dalam film ini diceritakan Ping Hen seorang Tionghoa mencintai

wanita bernama Menuk tetapi karena perbedaan agama diantara mereka

membuat mereka tidak bisa bersatu dan Menuk lebih memilih Soleh yang

notabene seagama. Pluralitas menghasilkan toleransi yang sangat kental,

tergambar dimana Pak Tan memiliki restoran masakan cina yang

menghargai orang lain dengan memisahkan alat-alat masak yang digunakan

untuk memotong babi dan ayam, serta menghargai bulan puasa dengan

menutup restorannya menggunakan kain.

Film “?” Tanda Tanya yang diproduksi Mahaka Pictures dan Dapur

Film ini ingin menampilkan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia,

misalnya adegan awal yang memperlihatkan fenomena penusukan pendeta

di salah satu Gereja Katolik. Adegan ini yang membangun tokoh Ping Hen

antipati terhadap Islam dengan menganggap bahwa Islam identik dengan

teroris. Kemunculan Ping Hen disini ingin memperlihatkan apa yang selama

ini terjadi di masyarakat umum terhadap Islam paska gerakan teroris,

dimana Islam cenderung dilihat sebagai agama kekerasan sebab

mengatasnamakan Tuhan dalam berbagai tindak anarkisme.

Film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan

sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan

mengantar pesan secara unik (McQuail, 1987:14). Sehingga film mampu

untuk mempengaruhi khalayak dan merubah kognitifnya, bahkan dapat

membentuk opini publik. Hal ini terbukti bahwa film “?” Tanda Tanya

sangat mempengaruhi pemikiran khalayak karena berhasil menuai pro-

kontra dalam masyarakat Indonesia. Pengecaman yang dilakukan oleh

banser NU Surabaya, bahkan peng-haram-an film tersebut oleh MUI.6

Tetapi, berlawanan dengan hal tersebut film ini mendapatkan berbagai

6 Film "Tanda Tanya" Hanung Bramantyo akan diHARAM-kan oleh MUI?

http://wayohgo.blogspot.com/2011/04/film-tanda-tanya-hanung-bramantyo-akan.html

diunduh pada tanggal 9 April 2012 pukul 12:13

penghargaan dalam Festival Film Indonesia, hal ini membuktikan bahwa

film “?” Tanda Tanya dapat diterima masyarakat dan mendapatkan citra

baik.

2.4 Hasil Penelitian Sebelumnya

Muhammad Iqbal mahasiswa Universitas Riau meneliti isi pesan dalam

Film Tanda Tanya ―?‖ yakni Konstruksi ―Citra Islam‖ dalam Film Tanda Tanya

―?‖, dengan hasil penelitian:7

Film Tanda Tanya berisi konsep-konsep ajaran agama Islam yang

dipraktekkan dalam sebuah adegan, dialog maupun simbol dalam film ini.

Konsep Islam yang ditawarkan didalam film Tanda Tanya merupakan sebuah

ajaran yang bertentangan dan menimbulkan kekaburan terhadap sebuah makna

atau pesan dari film tersebut.

Kenyataaanya saat ini film ―?‖ banyak menuai kritikan dari para umat

muslim di Indonesia, banyak yang menolak keras penayangan film ini, mulai

dari MUI ataupun FPI. Film ― Tanda Tanya‖ adalah sebuah proyek ambisius

Hanung yang sudah mengundang sikap skeptis dari kalangan cendekiawan

muslim bahkan sebelum film ini dirilis

Pasalnya Hanung memilik track record yang semakin lama semakin

cendrung pada pemikiran liberal. Kontroversi hanung ini pertama kali mencuat

ketika menyutradarai “perempuan berkalung sorban” film ini dianggap 7 Konstruksi Citra Islam dalam Film ―?‖ (Tanda Tanya) oleh Muhammad Iqbal, 2013

memberikan citra yang salah terhadap Psantren dan Syariat Islam itu sendiri,

film “sang pencerah” yang dianggap kental dengan pluralime dan mengabaikan

warisan-warisan Kh. Ahmad Dahlan, begitu juga dengan film ―Tanda Tanya‖

yang menuai kritikan tentang mencampur adukkan ajaran-ajaran agama dan yang

terpanas yaitu tentang mendeskreditkan citra agama Islam.

Secara keseluruhan, film “Tanda Tanya” terdiri dari 121 scene, lalu dapat

dipilih beberapa dari scene yang menampilkan dan mengarah kepada pencitraan

agama Islam. Dalam hal ini , peneliti menggunakan metode semiotika Charles

Sanders Peirce. Semiotika merupakan salah satu bentok metode yang dapat

digunakan untuk menganalisa tanda dan makna yang terdapat dalam film

“Tanda Tanya”. Hanya scene yang berisi gambaran tanda dan mempunyai

makna tentang citra Islam saja yang diambil oleh peneliti meliputi adegan dan

dialog dalam film “Tanda Tanya”.

A. Kemiskinan

Dalam film tanda tanya kemiskinan digambarkan pada orang-orang Islam

tokoh keluarga Menuk dan Surya . Kehidupan keluarga miskin tampak jelas pada

adegan dan dialog yang ditayangkan dalam film ini, fokusnya pada scene 16, 22,

28, 30, 38, 50, 51 dan 76.

1) Tanda Kemiskinan

- Adegan Menuk bekerja di restoran Cina

- Adegan adek Menuk membawa kerupuk

- Dialog Menuk dan Sholeh di dalam rumah

- Adegan Sholeh melampiaskan kemarahan kepada Menuk di restoran

- Adegan Surya ikut menjadi figuran dalam penggarapan film

- Adegan ibu kost marah kepada Surya

- Adegan saat Rika menawarkan pekerjaan kepada Surya

2) Objek Kemiskinan

- Menuk bekerja di restoran yang menjual menu babi

- Kerupuk yang dibawa ke restoran untuk dijual

- Solusi Menuk kepada Sholeh untuk membayar uang sekolah adeknya

- Perkataan Sholeh yang tidak pantas jadi suami dan minta diceraikan

- Surya menjadi figuran walaupun sering dimarahi dalam penggarapan film

- Ibu kost menagih uang kost yang belum dibayar

- Pekerjaan yang ditawarkan rupanya pemeran Yesus

3) Interpretasi

Pada scene 16, Menuk sebagai Muslimah dan mempunyai Suami yang taat

beragama, bekerja di restoran China, terlebih restoran cina tersebut menjajakan

menu makanan yang diharamkan dalam agama Islam yaitu daging babi.

Kemiskinan membuat Menuk rela bekerja direstoran China yang menjual menu

makanan daging babi, semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga,

menghidupi anak dan menyekolahkan adeknya dimana Sholeh sebagai suami

belum mempunyai pekerjaan, terlebih adeknya juga membawa kerupuk untuk

dijual, agar bisa menambah uang masuk bagi keluarganya.

Scene 30 dialog antara Sholeh dan Menuk, Sholeh mengatakan ― mau bayar

pake apa uang sekolahnya nuk?‖, kemudian Menuk menawarkan solusi untuk

pake uangnya terlebih dahulu, namun uangnya tidak cukup buat bayar uang

sekolah selama tiga bulan. Diinterpretasikan dari dialog tersebut kemiskinan dan

minimnya dana membuat Sholeh dan Menuk tidak mampu untuk membayar

uang sekolah adeknya.

Scene 38, saat Sholeh mendatangi Menuk ditempatnya bekerja. Sholeh

melampiaskan kekesalannya kepada menuk dihadapan orang rame, Sholeh

mengatakan ― aku ini mas, kaka, bojo yang ga bisa apa-apa nuk, ga pantas aku

jadi suamimu, ceraikan aku nuk, lebih baik cari yang lebih hebat sana !‖, tekanan

tidak mempunyai pekerjaan dan kemiskinan yang dialami Sholeh membuat ia

putus asa, ia merasa tidak ada apa-apanya dibanding istrinya, ia merasa tidak

mampu membantu kesejahteraan keluarganya menjadi lebih baik.

Pada scene 22, tokoh Surya pemuda yang tidak mempunyai pekerjaan dan

punya cita-cita menjadi artis, ikut serta menjadi figuran dalam penggarapan

sebuah film, ia dimarahi terlebih dikasari dalam syuting film tersebut demi

mendapatkan pekerjaan dan mengejar cita-citanya, ia merasa kesal karena sudah

berusaha sebaik mungkin tetapi tidak mendapat pujian. Kerelaan Surya menjadi

figuran tentunya dilatarbelakangi oleh keinginanya mendapat pekerjaan yang

layak baginya, demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dimana ia dapat

digolongkan sebagai orang miskin karena tidak mempunyai pekerjaan tetap

dalam film ini.

Scene 28, ibu kost marah-marah dan mengomeli Surya, ibu kost menagih

uang kost yang belum dibayar Surya selama dua bulan lebih, jika tidak mampu

membayar ia akan diusir keluar dari kost tersebut, dan ia memilih keluar dan

tinggal dimesjid. Sekali lagi Surya digambarkan sebagai pemuda Islam yang

miskin, untuk bayar uang kost saja ia tidak bisa melunasinya apa lagi untuk

memenuhi kebutuhan pribadinya, sehingga ia rela pindah kemesjid, dimana

disana tidak ada yang perlu dibayar.

Scene 51, Rika menawarkan Surya pekerjaan, dan ternyata pekerjaannya

adalah menjadi pemeran Yesus pada acara paskah disebuah gereja, Surya

menerima ;pekerjaan itu, walaupun terasa janggal karena ia adalah seorang

pemuda Islam, terlebih ia memakai mesjid sebagai tempat latihannya menjadi

pemeran Yesus. Ketertarikan Surya terhadap peran menjadi Yesus tidak lepas

dari iming-iming materi yang dikatakan Rika, bahwa bayarannya lumayan besar

untuk drama tersebut. Itulah yang melatar belakangi Surya rela menjadi pemeran

Yesus didalam sebuah gereja walaupun bertentangan dengan ajaran agama

Islam.

B. Rasisme

1) Tanda Rasis

- Adegan perkelahian sekelompok pemuda Islam dengan Pinghen

- Adegan Menuk bercerita tindakan Pinghen di restoran saat bulan puasa

- Adegan Perkelahian Pinghen dengan Sholeh

2) Objek Rasis

- Perkataan pemuda Islam ―sipit cino edan‖ kepada Pinghen

- Perkataan Sholeh ―dasar cino kodo ae‖

- Perkataan Sholeh ―eh cino kalo ga ada bapak kamu ga akan hidup‖

3) Interpretasi

Scene 18, perkelahian antara sekelompok pemuda Islam dengan pemuda

Cina Pinghen. Disini para pemuda Islam menghina Pinghen terlebih dahulu

dengan mengatakan ― Sipit, cino edan‖. Perkataan inilah yang membuat pinghen

kembali menghina dan terjadi perkelahian. Perkataan kasar pemuda Islam

tersebutlah yang diinterpretasikan bahwa agama Islam itu membenci orang Cina,

Islam memiliki stereotip tersendiri terhadap para warga Cina. Terlebih tidak tahu

pasti apa penyebab sebenarnya, sehingga para pemuda Islam sampai

mengucapkan kata-kata kasar tesebut.

Scene 88, sementara Sholeh yang memiliki masalah pribadi dengan pinghen,

ketika Menuk bercerita kepada Sholeh tindakan Pinghen yang semena-mena

terhadap karyawan saat bulan puasa, Sholeh menganggap Pinghen dan semua

orang cina itu sifat buruknya sama saja. Adegan dan kata-kata tersebut dapat

diinterpretasikan bahwa Islam merupakan agama yang suka menghina dan

rasisme terhadap orang-orang dari golongan Cina. Orang Islam mengganggap

semua Cina itu kelakuannya buruknya sama semua. Tindakan-tindakan rasis

pada film inilah yang memperburuk akan citra Islam, padahal kenyataanya tidak

semua Islam melakukan hal-hal kotor seperti itu.

C. Kekerasan dan Terorisme

Scene 18 perkelahian antara pemuda Islam dan Pinghen, ada ucapan

Pinghen yang dilontarkan kepada para pemuda Islam yaitu ―dasar teroris asu‖.

Tidak diketahui apa latar belakang Pinghen berkata seperti itu, namun jelas dapat

diinterpretasikan dibenak Pinghen bahwa realitas saat ini, Islam adalah agama

bengis dan kejam yang memelihara dan melahirkan para teroris sehingga patut

dibilang Islam sebagai dalang teroris.

Scene 71, Sholeh dan Banser rela menjaga gereja karena citra buruk umat

Islam saat aksi penusukan pendeta dihalaman gereja didaerahnya dahulu.

Kekerasan orang Islam terhadap agama Kristen di Indonesia telah menjadi isu

yang hangat. Tindakan kelompok Poso saat membunuh istri perwira TNI-AD

pada Juli 2004 karena beragama Kristen dan membunuh tokoh Kristen, Pastor

Susianti Tunalele pada Juli 2004 (kompas, 31 Juli 2004). Dapat disimpulkan

bahwa penusukan itu telah jelas pelakunya adalah orang-orang Islam, padahal

saat itu kepolisian telah mengatakan penusukan ini tidak ada kaitannya dengan

kekerasan agama.

Kemudian scene 104 penyerangan restoran Cina oleh sekelompok pemuda

yang dipimpin oleh Sholeh, sambil meniakkan Allhuakbar mereka menyerang

orang-orang yang ada didalam dan menghancurkan seluruh isi restoran, tindakan

ini jelas menyudutkan para orang Islam, bahwa realitasnya saat ini kekerasan dan

perusakan rumah makan dilakukan oleh orang-orang yang membawa nama

organisasi Islam seperti FPI dan lainnya. Begitu juga adegan film tersebut jelas

menggambaekan umat Islam yang bertindak arogan dan kasar.

Scene 114 ketika Sholeh menemukan bom yang terletak disalah satu kursi

seorang jemaat, setelah pikir panjang ia membawa lari bom tersebut keluar

gereja, namun tidak berapa lama bom meledak dimuka halaman gereja dalam

pelukan erat Sholeh dan menimbulkan kekacauan. Diinterpretasikan dari

tindakan dalam adegan tersebut bahwa tindakan yang dilakukan Sholeh mirip

dengan kejadian-kejadian pemboman bunuh diri yang ada di Indonesia saat ini,

dan tindakan itu tidak terlepas dari aksi para teroris yang membawa nama Islam.

Seperti pada Desember 2004 saat kelompok teroris Poso mengebom gereja

Imanuel di Palu. Kemiripan realitas dan adegan difilm inilah yang dimaksudkan

penulis dapat merusak citra agama Islam yang cinta akan kedamaian.

D. Murtad

Scene 27, Saat menunggu Abi pulang mengaji, Surya mengatakan bahwa

Rika telah menghianati dua hal besar dalam Islam yang pertama pernikahan dan

kedua adalah Allah. Dapat diinterpretasikan bahwa dibenak Surya Rika telah

merusak hukum-hukum kesucian pernikahan dalam Islam, kenapa Rika harus

pindah agama karena perceraian tersebut, yang mana dapat digambarkan bahwa

Rika tidak teguh dalam meyakini agama Islam.

Secene 37, Saat datang ke toko buku Surya dimarahi oleh Rika karena ia

kesal akan perkataan orang-orang yang mengatakan dia sebagai kafir, memang

didalam Islam seharusnya orang yang pindah agama dari Islam disebut kafir,

terlebih ia hidup dalam lingkungan yang penuh dengan orang Islam. Namun ada

perkataan Surya yang mengarah pada tindakan mendukung tindakan

murtad,yaitu ―saya bangga sama mbak berani mengambil keputusan besar dalam

hidup, sementara saya mbak 10 tahun hanya menjadi figuran‖. Penulis

interpretasikan bahwa Surya yang sebelumnya mengatakan bahwa murtad adalah

penghianatan, namun kali ini ia seolah-olah mendukung tindakan Rika murtad.

Surya digambarkan sebagai pemuda Islam yang tidak konsisten dalam

agamanya, padahal jelas sudah Al-Qur‟an melarang kemurtadan (Al-

Baqarah:217).

Scene 42, Rika teringat masa lalunya dengan mantan suaminya ketika ia

menolak mempertahankan pernikahannya, karena suaminya ingin berpoligami.

Ia mengatakan langsung kepada suaminya tidak bisa menerima tindakan yang

akan dilakukan suaminya. Hukum Poligami inilah yang ditentang oleh Rika, dan

dampaknya ia menolak hukum itu dan pindah agama menjadi Kristiani. Jelas

tindakan Rika ini merusak citra Islam, adegan ini seolah-olah ingin

menyampaikan bahwa hukum Islam itu salah dan memberatkan. Padahal Islam

telah mangatur tentang hukum berpoligami dengan benar dan Apakah Rika harus

pindah agama hanya karena hukum Poligami dan mencari kebenaran di agama

lainnya.

Scene 81, Rika menelfon ibunya bahwa dia telah pindah ke agama Kristen,

ia mengatakan telah dibaptis dan namanya telah diganti. Mendengar hal itu

orangtua Rika langsung mematikan telfon dari Rika. Diinterpretasikan bahwa

menganggap pembaptisan dia adalah kabar gembira dan harus disampaikan

kepada orangtuanya, jelas saja orangtua Rika langsung mematikan, karena ia

merasa kecewa anaknya yang dilahirkan secara Islam kini lebih memilih agama

Kristen.

2.5 Kontestasi bagi Poststrukturalisme

Dalam perkembangan cultural studies, maka basis teori yang paling besar

berpengaruh dan di gunakan dalam ranah ini adalah kulturalisme, strukturalisme

dan poststrukturalisme. Kulturalisme8 mengedepankan pendekatan empiris —

yang sangat ditekankan dalam tradisi kulturalis— mengeksplorasi bagaimana

manusia secara aktif memproduksi makna-makna budaya.

Kulturalisme ini mendapatkan kritikan keras dari kaum strukturalisme9 yang

lebih berprinsip anti humanis dan menempatkan bahwa manusia hanyalah

8 kulturalisme merupakan pendekatan budaya yang menekankan bahwa makna merupakan

produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks sejarah. Lebih

lanjut lihat, Antariksa, loc.cit. 9 strukturalisme bisa dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak

anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman.

Strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi-

Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari

bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara

internal dalam oposisi biner : hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan. Lebih lanjut lihat,

Antariksa, loc.cit.

produk dari bangunan struktur yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia

dalam pandangan kaum strukturalis, hanyalah hasil konstruksi dari struktur

tersebut. Kaum strukturalisme –sebagaimana yang di katakan oleh Antariksa--

lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna

merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat

diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents).

Sementara itu, post strukturalisme dengan mengikut diktum strukturalisme

yang menempatkan manusia sebagai produk struktur, juga menggugat makna

yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, yang ini berarti sama

dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Sementara itu dalam

pandangan kaum post strukturalisme, makna tidaklah stabil sebagaimana yang di

bayangkan, makna senantiasa berada dalam proses. Makna merupakan hasil

konstruksi dari hubungan antar teks sehingga bersifat intertekstualis. Makna

bukanlah hasil dari satu kata, kalimat atau teks yang bersifat khusus.

Di sudut ketertundaan makna yang dianut oleh post strukturalisme inilah

yang bersinggungan langsung dengan cultural studies. Bahasan cultural studies

yang mengedepankan metode kajian yang interdisipliner, lintas-, trans- bahkan

anti-disiplin, meniscayakan hasil (kesimpulan) yang senantiasa tertunda. Karena

semua hasil kajian hanyalah merupakan konstruksi sudut pandang atau disiplin

tertentu dan belum tentu sesuai dengan disiplin yang lain.

Dalam perspektif strukturalisme, dunia budaya hari ini dikuasai oleh budaya

kapitalisme melalui proses inkorporasi10

dan komodifikasi11

. Proyek ini bekerja

dalam ruang kerja globalisasi dan pasar bebas, sehingga dapat disaksikan

bagaimana seluruh dunia dan social space tersedot menuju kesatu model logika

kerja budaya yang bernama kapitalisme. Telah terjadi imprealisme kultural dari

barat ke timur.

Namun kalau secara jeli, kondisi ini bila di sorot dari perspektif

kulturalisme, akan di temukan bahwa kemenangan kapitalisme merupakan

kemenangan semu, karena ternyata manusia tidak pernah benar-benar bisa di

kuasai dengan sempurna. Manusia memiliki kemampuan melakukan kreolisasi12

dan mimikri sehingga kebudayan yang lahir bukanlah sebuah bangunan

imprealisme kultural melainkan sebuah hibriditas kebudayaan13

.

Pertarungan kesimpulan yang terjadi antara perspektif kulturalisme dan

strukturalisme, akan menemukan muaranya dalam wacana post strukturalisme.

Wacana post strukturalisme mendorong kesimpulan yang ada kedalam ranah

10

inkorporasi merujuk kepada suatu proses sosial dimana kelas yang dominan mengambil

elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat dan menggunakannya untuk memperkuat status

quo. Lebih lanjut, lihat Antariksa, Inkorporasi/Komodifikasi. Dimuat dalam newsletters

KUNCI No. 5, April 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003 11

komodifikasi adalah upaya memproduksi segala sesuatu –termasuk kesadaran- menjadi

komoditas-komoditas yang bisa di perjual-belikan. Lebih lanjut, lihat Antariksa, ibid. 12 kreolisasi adalah sebuah proses budaya dalam bentuk penyerapan elemen-elemen

kebudayaan lain, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Lebih

lanjut, lihat Antariksa, loc.cit. 13

hibriditas kebudayaan adalah pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu

merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-

beda. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil. Antariksa,

loc.cit.

mediasi14

, di ruang inilah terjadi interaksi antar simbol yang akan bersintesis dan

menemukan ekspresi baru.

Inilah ruang kontestasi15

dimana semua macam paradigma, pendekatan,

sudut pandang, perspektif dan kesimpulan-kesimpulan di jajakan dan di

tawarkan untuk menjadi menu menarik bagi riuh ramainya pertarungan

kepentingan dan kuasa yang melingkupi. Post strukturalisme membuka ruang

kontestasi itu selebar-lebarnya bagi para kontestan tanpa membedakan asal-usul

paradigmatik. Arena kontestasi merupakan sebuah arena jual beli, namun jual

beli yang sudah mengalami penjinakan.

2.6 Semiotika

Secara epistimologis, Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion

yang berarti ‗tanda‘. Tanda itu sendiri sebenarnya memiliki makna yang ingin

menunjukkan hal lain. Secara terminologis, semiotika diidentifikasikan sebagai

ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peritiwa, seluruh

kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2011: 5). Semiotika dikenal sebagai ilmu

yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan ucapan

manusia. Semiotika juga mengandung pengertian ilmu tentang produksi tanda-

14

sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari berbagai latar

identitas budaya bisa saling bertemu. Lebih lanjut, lihat R. Kristiawan, Mediasi; Fakta Pasca

Hegemoni. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 8, September 2000. www.kunci.or.id, 15

Desember 2003 15

lihat mediasi, sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari

berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu dan menjajakan diri sebagai kontestan

yang memiliki hak dan kewajiban serta kemungkinan-kemungkinan kultural yang sama.

tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk

menyampaikan informasi kepada orang lain. Semiotika mencakup tanda-tanda

visual dan verbal yang dapat diartikan, semua tanda atau sinyal yang bisa

dimengerti oleh semua pancaindra kita sebagai pengirim maupun penerima.

Semiotika sebenarnya sudah tumbuh sejak zaman kuno. Para ahli

semiotika yang hidup pada zaman kuno ini antara lain Plato (427-347 SM)

dengan pemahamannya yakni semiotika merupakan tanda-tanda verbal alami

atau yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa

representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak

mengungkap hakikat objek yang sebenarnya karena dunia gagasan tidak

berkaitan erat dengan representasinya yang berbentuk kata-kata, dan

pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dan lebih

rendah mutunya dari pengetahuan yang langsung.

Aristoteles (384-322 SM) dengan pemahamannya yakni semiotika

merupakan tanda-tanda yang ditulis sebagai lambang dari apa yang diucapkan,

bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi

mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang

sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua

manusia tetapi ujaran tidak.

Kaum Stoic (300-200 SM) yang menurut Bochenski (1669) memiliki

pemikiran mengenai teori tentang tanda yang mengaitkannya pada tiga

komponen pembentuknya, yaitu material atau penanda (signier), makna atau

petanda (signified), dan objek eksternal.

Kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi) yang mengenalkan

teori epistemiologi materialistis, yaitu segala sesuatu yang kita rasakan adalah

kesan yang diperoleh pikiran kita lewat gambaran atom dari permukaan suatu

objek yang nyata, atau dengan kata lain dari materi ke konsep, tanda sebagai data

alamiah mempresentasikan sesuatu yang tak dapat dilihat atau ditangkap secara

indrawi.

Aliran semiotik sistematis dipelopori oleh dua tokoh terakhir, yaitu

Ferdinand de Sausure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Ferdinand de

Saussure, semiotika adalah ilmu yang mangkaji tanda sebagai bagian dari

kehidupan sosial. Semiotika menyandarkan diri pada aturan main atau kode

sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami

maknanya secara kolektif. Pendekatan semiotika signifikasi Saussure

mengemukakan prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem

tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda)

dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda

(signifier) dan sebuah ide atau petanda (signified). (Sobur, 2006).

Sedangkan pendekatan kedua mengenai semiotika komunikasi yang

diungkapkan oleh Pierce pada intinya mendefinisikan semiotika sebagai suatu

hubungan antara sebuah tanda, objek, dan makna. Semiotik Pierce ini terdiri atas

tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu tanda (sign), objek (object),

interpretan (interpretan) (Littlejohn, 1996).

2.6.1 Semiotika Roland Barthes

Sebagai pengikut Saussure, Barthes mencoba untuk mengembangkan

teori Semiotika Saussure. Tetapi, dia tidak berhenti pada tanda dan petanda

saja, karena Barthes berpendapat bahwa dalam masyarakat tanda

diproduksi dan dipahami serta berkembang dalam dua sistem. Pertama

sistem primer (sistem semiologi tingkat pertama) yang merupakan

konvensi masyarakat. Signifikasi pada tahap pertama merupakan hubungan

antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas

eksternal. Ia menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata

dalam tanda (makna sebenarnya). Menurut Barthes dalam tahapan kedua,

yang dinamakan sistem sekunder dimana terbentuk mitos, tanda pada

pelapis pertama yang pada akhirnya menjadi sistem signified pada lapisan

kedua. Konotasi adalah istilah yang digunakan oleh Barthes untuk

menjelaskan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan proses

bertemunya tanda dengan emosi si pembaca tanda serta nilai-nilai dari

kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subyektif.

Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu obyek,

sedangkan konotasi adalah bagaimana mengambarkannya. Pada signifikasi

tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami

beberapa aspek tentang realitas. Menurut Barthes, apa yang dimaksud

wacana tidak lain adalah tuturan dalam pengertian yang luas. Dengan kata

lain mitos adalah tipe wacana yakni ‗a social of language‘ (Budiman,

Yogyakarta:6).

tahapan pertama tahapan kedua

Bagan 2.1 Signifikan dua tahap Roland Barthes (Fiske, 1990:88)

Konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang

berhubungan dengan emosi. Dipihak lain denotasi menunjukkan arti

literatur atau eksplisit dari kata-kata dan fenomena yang lain. Pada level

inilah terbentuk mitos yakni suatu sistem komunikasi yang merupakan

sebuah pesan. Mitos tidak dapat menjadi sebuah obyek, sebuah konsep, dan

sebuah ide karena mitos adalah sebuah metode penandaan yakni adalah

sebuah bentuk. Ketika suatu analisis semiotik sudah sampai tahapan mitos

Denotasi Penanda

Petanda

Konotasi

Mitos

maka makna dari pesan yang terungkap dari obyek sudah memasuki

tahapan tertinggi dalam kajian yang dilakukan. Hal ini karena mitos sudah

merupakan inti dari komunikasi tanda yang digunakan dimana setelah itu

tidak ada lagi makna yang dapat diungkap. Barthes dalam teorinya

mengatakan bahwa mitos itu diperoleh setelah melewati signifikasi tahap

ke dua. Signifikasi tahap pertama yang diperoleh adalah makna denotatif

dari obyek yang dikaji. Untuk memudahkan tentang bagaimana proses

pemaknaan dua tahap tersebut berlaku, Barthes menciptakan peta

bagaimana tanda-tanda itu bekerja (Sobur, 2003:69).

1.

signifier

2.

signified

3. denotative sign

4. connotative signifier 5. connotative

signified

6. connotative sign

Bagan 2.2 Peta tanda Roland Barthes

Dari peta tanda Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3)

terdiri dari atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat yang

bersamaan, tanda denotatif adalah juga konotatif (4). Jadi dalam konsep

Barthes tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan

tetapi juga mengandung kedua tanda denotatif yang melandasi keduanya.

Dalam hal ini, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan

makna. Konotasi menurut Barthes identik dengan operasi ideologi yang

disebutnya sebagai mitos dan befungsi untuk mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam

suatu periode tertentu dalam tahapan analisis data.

Pada signifikasi yang kedua berhubungan dengan isi, tanda bekerja

melalui mitos. Mitos adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai

suatu dominasi. Mitos primitif misalnya mengenai hidup dan mati, manusia

dewa, dsb. Sedangkan mitos saat ini misalnya mengenai maskulinitas,

feminitas, ilmu pengetahuan, life style dan kesuksesan. Barthes

menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan

sejarah. Barthes juga memberikan penekanan bahwa aspek dinamisme dari

mitos dipahami sebagai sesuatu yang bisa berubah dan beberapa

diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan

perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian

dari kebudayaan tersebut. Satu mitos timbul untuk sementara waktu dan

tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos

lainnya. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Yang ada

adalah mitos yang dominan namun di situ ada juga kontramitos (counter-

myths) (Fiske, 2010:123).

Dalam bukunya yang berjudul ―MITOLOGI‖, Barthes menyatakan

bahwa mitos merupakan sebuah tipe wicara (a type of speech), segala

sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos

bukanlah sembarangan tipe, bahasa membutuhkan syarat khusus agar bisa

menjadi mitos. Yang perlu dipahami di sini adalah bahwa mitos merupakan

sebuah sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini akan

memungkinkan munculnya pandangan bahwa mitos tidak bisa menjadi

sebuah objek, konsep atau ide, karena mitos adalah konsep penandaan

(signification) sebuah bentuk.

Dalam penelitian ini penulis menganilisis potongan adegan film ‖?‖

Tanda Tanya menggunakan semiotika Roland Barthes dengan membedah

makna denotasi yakni apa yang penulis lihat serta makna konotasi

didalamnya yang dipengaruhi oleh mitos atau kebudayaan yang dianut.

2.7 Membaca Makna Imaji dalam Film

Film mengelola tanda dan mengkomunikasikan makna di dalam tanda

tersebut, yakni dengan dua cara yang berbeda, denotatif dan konotatif. Adegan

dalam sebuah film, baik gambar ataupun suara memiliki makna denotatif yakni

makna sebenarnya pada apa yang kita lihat dan kita dengar. Film mempermudah

kita untuk mengenali tanda yang ada karena film memiliki unsur audio visual.

Sehingga film lebih mudah mengantarkan pesan atau makna dalam sebuah tanda

dibandingkan foto atau gambar yang hanya bisa dilihat (visual).

Sistem bahasa (audio) hanya akan membangun ―theatre of mind” pada

pendengar, tetapi dalam sebuah film, saat tidak ada deskripsi atau narasi tentang

apa yang disajikan kita sudah mengerti dan menangkap informasi realitas fisik.

Makna tanda dalam sebuah adegan film berada dalam tataran konotatif,

dimana pesan yang sebenarnya ingin disampaikan komunikator melalui tanda-

tanda tersebut. Konotatif memiliki makna yang luas, seperti misalnya kita

melihat ―bendera berwarna kuning‖, secara denotatif itu hanya sebuah kain

berwarna kuning, tetapi kita bisa memaknainya sebagai tanda atau simbol lelayu

atau duka. Hal ini tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku, jadi konotatif

merupakan pemaknaan sebuah tanda yang dipengaruhi pengetahuan dan

pengalaman kebudayaan.

Gambar 2.1 Konsep membaca imaji

Sumber : James Monaco, How To Read a Film (terjemahan).

Dalam gambar 2.1 diatas dijelaskan bagaimana cara kita membaca imaji

hingga mendapatkan makna denotasi dan konotasi. Imaji adalah gambaran atau

citra yang bisa dilihat ataupun didengar. Sehingga untuk menemukan makna

denotasinya sangat mudah yakni dengan melihat ataupun mendengar (dalam hal

ini film sebagai obyek) adegan sebuah film. dalam tataran pola optikal, kita

dapat membaca apa saja yang kita lihat dan menjadikannya sebagai penanda.

Inilah yang disebut tahap denotasi. Sedangkan untuk mencari makna atau pesan

yang sebenarnya ingin disampaikan oleh komunikator, kita masuk kedalam

tataran pengalaman mental, yakni membaca imaji dan memaknainya berdasarkan

pengetahuan si pembaca serta pengalaman kebudayaan yang ada. Makna yang

didapatkan itulah yang masuk kedalam tataran konotasi.

Denotasi sebagai alat bantu untuk mempermudah memaknai suatu pesan

sehingga kita harus memperhatikan komposisi dalam film, setting, angle camera,

pencahayaan dan unsur-unsur sinematik yang lainnya, dan menjabarkan dalam

tahap konotasi.

2.8 Elemen-Elemen Film

Dalam pengambilan suatu gambar yang baik, seorang juru kamera harus

mengetahui segala sesuatu yang tertangkap oleh mata atau lensa kamera, karena

seorang juru kamera merupakan perwakilan mata penonton yang nantinya

melihat atau menikmati sebuah tayangan. Sehingga apa yang akan dilihat

penonton nantinya adalah apa yang harus diketahui oleh juru kamera, antara lain:

Tokoh dan segala sesuatunya termasuk perlengkapan kostum dan make up

Lokasi gedung / tempat kejadian

Properti / perlengkapan dan dekorasi , warna, cahaya / lighting

Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang

menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis

film yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan

gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan

pilihan kata yang ada pada film.

Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang

dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat

berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk

membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan

menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi

gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang

memiliki makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir

seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat

bagi analisis seni populer dan media. Beberapa elemen gambar dapat ditemui

dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat

sebagai berikut serta pemaknaan pesan yang ditimbulkan oleh teknik-teknik

pengambilan gambar, antara lain:

1. Long Shot (LS)

Sebuah shot yang menunjukkan semua atau sebagian besar subyek

(contohnya seorang tokoh) dan lingkungan sekitarnya. Long shot dapat

dibagi menjadi extreme Long Shot (ELS) yang menempatkan kamera pada

titik terjauh di belakang subjek, dengan penekanan pada latar belakang, serta

Medium Long Shot (MLS) yang biasanya hanya menampilkan subjek dari

ketinggian tertentu. Beberapa film dengan tema sosial biasanya

menempatkan subjek dengan Long Shot, dengan pertimbangan bahwa situasi

sosial (bukan subjek individual) yang menjadi fokus perhatian utama

(Chandler, 2000)

2. Establishing Shot

Sekuen pembuka, umumnya objek berupa eksterior, dengan menggunakan

Extreme Long Shot (ELS). ELS digunakan dengan tujuan memperkenalkan

situasi tertentu yang akan menjadi tempat berlangsungnya sebuah adegan

kepada penonton.

3. Medium Shot (MS)

Pada MS, subjek atau aktor yang mengitarinya menempati area yang sama

pada frame. Pada kasus seorang tokoh yang sedang berdiri, frame bawah

akan dimulai dari pinggang si tokoh, dan masih ada ruang untuk

menunjukkan gerakan tangan. Medium Close Shot (MCS) merupakan variasi

dari MS, dimana setting masih dapat dilihat, dan frame bagian bawah dimulai

dari dada si tokoh. MCS biasanya digunakan untuk mempresentasikan secara

padat kehadiran dua orang tokoh yang berada di dalam satu frame.

4. Close Up (CU)

Merupakan frame yang menunjukkan sebuah bagian kecil dari adegan,

seperti wajah seorang karakter, dengan sangat mendetail sehingga memenuhi

layar. Menurut Chandler (2000), CU akan menarik sebuah subjek dari

konteks. CU dapat dibagi menjadi dua variasi, yaitu, Medium close up

(MCU) yang menampilkan dahi hingga dagu. Shot Close Up akan

memfokuskan perhatian pada perasaan atau reaksi seseorang, dan biasa

digunakan dalam interview untuk menunjukkan situasi emosional seseorang,

seperti kesedihan atau kegembiraan.

5. Angle of Shot

Merupakan Arah dan ketinggian dimana sebuah kamera akan mengambil

gambar sebuah adegan. Konvensi menyebutkan bahwa dalam pengambilan

gambar biasa, subjek harus diambil dari sudut pandang eye-level. Angle yang

tinggi akan membuat kamera melihat seorang karakter dari atas, dan dengan

sendirinya membuat penonton merasa lebih kuat daripada si karakter, atau

justru menimbulkan efek ketergantungan pada si karakter. Sebaliknya, angle

yang rendah akan menempatkan kamera di bawah si karakter, dengan

sendirinya melebihlebihkan keberadaan atau kepentingan si karakter

(Chandler, 2000).

6. Soft Focus

Merupakan sebuah efek di mana ketajaman sebuah gambar, atau bagian

darinya dikurangi dengan menggunakan sebuah alat optik.

7. Titled Shot

Sebuah shot dimana kamera dlietakkan pada derajat kemiringan tertentu,

sehingga menimbulkan efek ketakutan atau ketidaktenangan.

Selain pengambilan gambar, juru kamera juga harus memperhatikan

tentang pencahayaan, yang terbagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya:

1. Pencahayaan halus dan kasar

Pencahayaan ini dapat memanipulasi sikap penonton terhadap sebuah setting

atau karakter tertentu (Chandler, 2000). Bagaimana sebuah sumber cahaya

digunakan dapat membuat objek atau lingkungan terlihat jelek atau indah,

halus atau kasar, realistis atau artifisial.

2. Backlighting

Biasanya digunakan untuk memberi kesan romantis terhadap seorang tokoh

dalam sebuah adegan.

2.9 Kerangka Pikir

Pluralitas di Indonesia

Media FILM

Film ―?‖ Tanda Tanya

Penelitian Sebelumnya

Konstruksi Citra Islam Dalam

Film Tanda Tanya ―?‖ - Membaca Imaji

- Elemen-elemen Film

- Semiotika Roland Barthes

Islam di Indonesia Pemberitaan media massa

―Citra Islam‖ dalam Film

Tanda Tanya ―?‖

Citra Islam:

Kemiskinan,

Rasisme,

Kekerasan &

terorisme,

Murtad

Citra islam:

Berbagi,

Hidup

berdampingan

& toleransi,

Damai &

pemaaf,

Soleh

KONTESTASI

CITRA ISLAM

dalam Film

Tanda Tanya

―?‖