BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian Utara
Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan salah satu cekungan
belakang busur (back arc) berumur tersier di Indonesia bagian Barat yang
memanjang dari arah barat hingga timur kurang lebih 250 kilometer. Zona
cekungan meliputi Pantai Utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur
melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura.
Gambar 2.1 Lokasi Lapangan YN di Cekungan Jawa Timur Utara (Satyana, 2003)
2.1.1 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara
Perkembangan tektonik yang berkembang di Cekungan Jawa Timur tidak
terlepas dari aktivitas tektonik wilayah Asia Tenggara, yaitu pergerakan Lempeng
Samudera Indo – Australia ke arah utara, Lempeng Samudera Filipina dan Pasifik
bergerak ke arah barat, dan Lempeng Eurasia yang relatif stabil. Batuan dasar
Lokasi Penelitian
5
Cekungan Jawa Timur terbentuk selama penunjaman Lempeng Samudra Indo –
Australia terhadap Lempeng Benua yang berada sepanjang timurlaut – baratdaya
arah Sutura Meratus.
Pada lepas pantai Cekungan Jawa Timur dicirikan oleh rangkaian tinggian
batuan dasar dan bagian rendahan (graben) yang memuat akumulasi sedimen
Tersier hingga ribuan meter. Pola tinggian dan rendahan ini menerus hingga
bagian daratan Cekungan Jawa Timur dengan arah relatif terbelokkan ke arah
barat membentuk pola kelurusan timurlaut – baratdaya. Pembelokkan pola ini
dipengaruhi oleh struktur inversi berarah timur – barat yang terjadi pada periode
selanjutnya disepanjang pantai utara Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pulau
Madura yang disebut Zona Sesar Rembang – Madura – Kangean (RMK).
Terdapat tiga tahap orogenesa yang berpengaruh di cekungan Jawa Timur Utara,
yaitu :
1. Kapur Atas – Eosen Tengah; Pada Kapur Akhir terjadi deformasi
kompresi mengikuti tumbukan lempeng Laut Jawa bagian timur dengan
Paparan Sunda. Pada Eosen terjadi rifting yang diikuti oleh pengaktifan
kembali sesar naik pra – Eosen dan pembentukan sesar normal.
2. Miosen Tengah; Orogenesa ditandai oleh peristiwa regresi dan hiatus di
daerah Cepu yang dicirikan oleh perubahan fasies dari transgresi menjadi
regresi di seluruh Zona Rembang. Pada tahap ini terbentuk zona sesar
RMKS (Rembang – Madura – Kangean – Sakala) yang merupakan
wrenching left lateral.
6
3. Pliosen – Plistosen; Pada Pliosen Akhir terbentuk lipatan – lipatan hingga
Plistosen Akhir. Aktivitas vulkanik busur Sunda – Jawa dimulai pada
pliosen akhir hingga saat ini.
Secara geologi, terbentuknya cekungan Jawa Timur Utara dikontrol oleh
dua sistem sesar yaitu sistem sesar mendatar mengiri berarah timurlaut –
baratdaya dan arah timur – barat. Cekungan ini dibentuk oleh beberapa elemen
struktur utama dari selatan ke utara, yaitu :
1. Zona Kendeng – Selat Madura, memanjang dengan arah timur – barat,
dicirikan oleh struktur lipatan, sesar normal dan banyak terdapat sesar
naik.
2. Zona Rembang Selatan dan Randublatung yang merupakan zona negatif
dengan pola struktur berarah timur – barat dicirikan oleh pola lipatan.
Terdapat struktur kubah yang berasosiasi dengan struktur sesar.
3. Zona Rembang Utara dan Madura Utara, struktur antiklinorium yang
terangkat dan tererosi pada Pliosen – Plistosen berasosiasi dengan sistem
sesar mendatar mengiri berarah timurlaut – baratdaya yang menerus
hingga Kalimantan Selatan.
7
Gambar 2.2 Tatanan Tektonik Regional Cekungan Jawa Timur (Mudjiono dan Pireno, 2001).
Cekungan Jawa Timur berada di ujung tenggara Paparan Sunda yang
dibatasi oleh Busur Karimunjawa dibagian barat, Tinggian Meratus dibagian
utara, Tinggian Masalembo dibagian timur, dan Jalur Vulkanik Jawa dibagian
selatan (Sribudiyani, 2003). Cekungan Jawa Timur dipisahkan menjadi tiga
mandala struktur (structural provinces) dari utara ke selatan (Satyana, 2003),
yaitu :
1. Paparan Utara yang terdiri dari Busur Bawean, Paparan Madura Utara
dan Paparan Kangean Utara.
2. Bagian tengah yaitu Tinggian Sentral yang terdiri dari Jawa Barat Laut
– Madura – Kangean – Tinggian Lombok.
3. Bagian selatan dikenal sebagai Cekungan Selatan yang terdiri dari Zona
Rembang – Selat Madura – Sub-Cekungan Lombok.
Lokasi Penelitian
8
2.1.2 Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara
Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Bagian Utara dibagi menjadi beberapa
Formasi (berdasarkan Mudjiono, et. al, 2001), yaitu :
Gambar 2.3 Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Timur Utara (Mudjiono, et. al, 2001)
dengan Interval Penelitian yaitu Formasi Kujung-I.
9
1. Batuan dasar Pra – Tersier
Batuan dasar Pra – Tersier yang mengalasi batuan sedimen di
Cekungan Jawa Timur Utara terdiri atas batuan beku, ofiolit,
metasedimen, dan metamorf yang dipisahkan oleh tinggian – tinggian
berarah timurlaut – baratdaya. Terdapat variasi persebaran litologi dari
barat ke timur.
2. Formasi Pra – Ngimbang
Batuan berumur Eosen Awal ini terdiri atas batupasir sisipan
serpih, batulanau, dan batubara yang merupakan endapan synrift dan tidak
selaras Formasi Ngimbang di atasnya. Pada Cekungan Jawa Timur,
formasi ini hanya ditemukan pada bagian timur, yaitu daerah Lepas Pantai
Bali Utara dan Kangean Timur.
3. Formasi Ngimbang
Sedimentasi Formasi Ngimbang berlangsung pada pada kala Eosen
Tengah hingga Oligosen Awal. Pengendapan Formasi Ngimbang bagian
bawah dipengaruhi oleh konfigurasi half-graben pra-Tersier yang berarah
timurlaut – baratdaya. Transgresi yang terjadi menyebabkan sedimen
pengisi graben yang awalnya dimulai dari endapan silisiklastik laut
dangkal menjadi semakin mendalam ke arah atas. Kenaikan air laut
mengendapkan batugamping “CD” sebagai endapan Formasi Ngimbang
bagian atas, yang terdiri dari batugamping, dengan perselingan serpih dan
10
batupasir. Formasi Ngimbang bagian bawah terdiri dari perulangan
batupasir, serpih, dan lanau dengan sisipan tipis batubara.
4. Formasi Kujung
Pada Oligosen akhir – Miosen awal diendapkan Formasi Kujung
dengan batuan yang didominasi oleh batugamping dan marl dengan
sisipan tipis batupasir. Terdapat fosil foraminifera, pecahan koral, dan alga
pada batugamping. Formasi Kujung tersebar luas, meliputi daerah
Purwodadi menerus ke arah timur ke arah Tuban dan Madura.
a. Satuan Kujung III (Oligosen Akhir bagian Awal)
Satuan ini terdiri atas perselingan batupasir konglomeratik,
sisipan batubara, batugamping dan serpih. Pada daerah rendahan di
dominasi oleh serpih, sedangkan daerah tinggian merupakan
tempat sedimentasi karbonat paparan dangkal.
b. Satuan Kujung II (Oligosen Akhir bagian Akhir)
Satuan ini berada selaras diatas satuan Kujung III dan
dibedakan berdasarkan peningkatan kandungan karbonat. Satuan
ini terdiri atas batugamping dan serpih dengan sisipan batupasir
dan batulanau. Litologi dan ketebalan satuan ini bervariasi di tiap
tempat sesuai konfigurasi batuan dasar purba.
Pengendapan satuan Kujung II dan Kujung III sebagian
besar dikontrol oleh konfigurasi struktur timurlaut – baratdaya.
Pengendapan satuan Kujung I yang terjadi pada fase transgresi
11
telah menutupi hampir seluruh Jawa Timur dengan batugamping
tebal yang umumnya berupa terumbu.
c. Satuan Kujung I (Oligosen Akhir – Miosen Awal)
Satuan Kujung I batugamping masif dan menerus berada
selaras diatas satuan Kujung II dengan ketebalan bervariasi sesuai
perkembangan terumbu secara lokal. Terumbu berkembang baik
pada daerah tinggian batuan dasar purba tetapi secara cepat
berubah menjadi fasies serpih dan mengandung lapisan tipis
batugamping dari fasies sedimen energi rendah yang dibentuk di
sekitar rendahan. Fasies serpih ini menumpu (onlap) terhadap
terumbu satuan Kujung I.
Kenampakan paleogeografi yang dominan adalah tepi
paparan (shelf edge) berarah timur – barat kurang lebih sejajar
dengan garis pantai utara Madura dan Jawa sebelum masuk ke
daratan Pulau Jawa. Pada beberapa daerah, terlihat perubahan
fasies dari karbonat terumbu tepi paparan satuan Kujung I yang
tebal dan bersih menjadi serpih laut dalam yang diendapkan di
daratan Jawa dan Madura.
5. Formasi Tuban
Bagian bawah dari pengendapan Formasi Tuban didefinisikan
sebagai perubahan fasies dari endapan batugamping Formasi Kujung
menjadi silisiklastik Formasi Tuban yang dipengaruhi regresi. Periode
12
regresi ini merupakan peristiwa regional terjadi di sebagian besar wilayah
Asia Tenggara. Hal ini menyebabkan pengangkatan daerah sumber
sedimen kawasan hulu (hinterland) di sebelah utara dan erosi sedimen
klastik hingga mengalir ke tempat yang lebih rendah. Setelah itu terjadi
transgresi selama pertengahan hingga akhir Miosen Awal kemudian
terendapkan serpih dengan perselingan batugamping, napal, dan batupasir.
Pada akhir Miosen Awal, bagian atas Formasi Tuban terendapkan
batugamping terumbu (Terumbu Rancak) yang dibedakan menjadi fasies
terumbu dengan energi pengendapan tinggi dan energi rendah.
6. Formasi Ngrayong
Pengangkatan daerah sumber sedimen di kawasan hulu menjadi
sumber sedimen di Formasi Ngrayong yang terendapkan selama Miosen
Tengah. Formasi ini terdiri atas satuan batupasir kuarsa dengan
perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada
batupasir kuarsa terkadang ditemukan cangkang moluska laut. Lingkungan
pengendapan Formasi Ngrayong di paparan laut dangkal hingga
lingkungan batial (laut dalam).
7. Formasi Wonocolo
Pada Miosen Tengah terjadi pengendapan transgresi. Formasi
Wonocolo terdiri dari batulempung karbonat didominasi oleh napal, napal
lempungan, dan napal pasiran dan kalkarenit yang tersebar dengan arah
timur – barat dan meinipis ke arah timur dan utara.
13
8. Formasi Ledok (Miosen Awal – Pliosen Awal)
Terdiri atas perulangan napal pasiran, kalkarenit dengan napal dan
batupasir. Semakin atas bagian formasi, ukuran butir batupasir karbonatan
menjadi lebih kasar dengan kandungan mineral glaukonit meningkat.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik. Batugamping terumbu
pada formasi ini oleh sebagian peneliti disebut Karren Limestone.
9. Formasi Mundu (Pliosen Awal – Pliosen Akhir)
Terdiri atas napal berwarna kehijauan, masif dan kaya
foraminifera. Bagian atas terdiri dari Anggota Solerejo dengan perselingan
batugamping pasiran dan pasir napalan. Penyebaran formasi cukup luas.
Diperkirakan formasi ini diendapkan pada laut terbuka, zona batial pada
bagian bawah dan berkembang ke arah atas pada lingkungan paparan
dangkal dengan kedalaman antara 100-200 meter.
10. Formasi Paciran
Dicirikan oleh batugamping terumbu yang menyebar pada zona
rembang. Berumur Pleistosen dan diendapkan pada laut dangkal, secara
lateral menjemari dengan Formasi Mundu dan Formasi Lidah.
11. Formasi Lidah
Transgresi yang berlangsung dari Pliosen hingga Plistosen
mengendapkan Formasi Lidah yang tersusun oleh batulempung hitam dan
napal berlapis yang diselingi oleh batupasir.
14
2.1.3 Sistem Minyak Bumi Cekungan Jawa Timur Utara
Sistem minyak bumi (petroleum system) adalah komponen yang harus
dimiliki untuk memungkinkan terkumpul dan terakumulasinya suatu minyak bumi
di suatu cekungan. Cekungan Jawa Timur merupakan cekungan tersier penghasil
hidrokarbon sejak akhir abad ke – 18, terutama dari daerah Cepu, Bojonegoro, dan
Surabaya. Petroleum system terdiri dari komponen penting, yaitu :
1. Batuan Induk (Source Rock)
Batuan induk hidrokarbon utama di Cekungan Jawa bagian Timur
ini berasal dari serpih karbonatan berasal dari lingkungan marginal
marine, deltaik, dan lakustrin Formasi Ngimbang, terutama berasal dari
Central Deep Basin (Manur dan Barraclough, 1994) dengan tipe kerogen
II dan III sehingga dapat menghasilkan minyak dan gas. Serpih laut dalam
pada bagian bawah Formasi Kujung juga berpotensi sebagai batuan induk.
2. Batuan Reservoar (Reservoir Rock)
Reservoar adalah batuan dengan porositas dan permeabilitas yang
baik untuk menyimpan dan mengalirnya hidrokarbon. Reservoar utama
yang berada pada cekungan ini adalah batuan karbonat Formasi Ngimbang
dan Formasi Kujung interval I serta reservoar silisiklastik dari Formasi
Ngimbang, Formasi Tuban dan Formasi Ngrayong.
15
3. Batuan Tudung (Seal Rock)
Batuan tudung memiliki peran sebagai penyekat yang bersifat tidak
permeabel seperti batulempung. Seal rock yang berada pada cekungan ini
adalah serpih Formasi Ngimbang, Formasi Tuban, Formasi Wonocolo, dan
Formasi Mundu. Shale Formasi Tuban merupakan batuan tudung yang
memiliki tebal 500’ – 1500’ di Cekungan Jawa Timur Utara.
4. Migrasi
Migrasi hidrokarbon terbagi atas migrasi primer, sekunder, dan
tersier. Migrasi primer adalah perpindahan fluida hidrokarbon dari batuan
induk menuju batuan reservoar. Migrasi sekunder adalah pergerakan fluida
dalam reservoar melalui trap. Migrasi tersier adalah pergerakan fluida
hidrokarbon setelah pembentukkan akumulasi yang nyata. Migrasi lateral
terjadi pada lapisan batuan dengan permeabilitas lateral yang baik.
5. Perangkap (trap)
Jenis perangkap di semua sistem minyak bumi Jawa Timur
umumnya memiliki kesamaan. Hal ini disebabkan evolusi tektonik yang
terjadi pada semua cekungan sedimen di sepanjang batas selatan dari
kraton Sunda sehingga tipe struktur geologi dan mekanisme perangkap
menjadi relatif memiliki kesamaan. Perangkap struktur yang berkembang
berupa antiklin dan patahan serta perangkap stratigrafi ditemukan ketika
unit batupasir menumpu (onlap) dan menutupi bagian tinggian batuan
dasar.
16
2.2 Batuan Karbonat
2.2.1 Pengertian Batuan Karbonat
Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang mempunyai komposisi
dominan lebih dari 50% mineral – mineral karbonat, meliputi Batugamping dan
Batudolo. Beberapa mineral yang penting dan umumnya merupakan penyusun
batuan karbonat adalah aragonit, kalsit, dan dolomit (Tucker and Wright, 1990),
dengan ciri sebagai berikut :
Aragonit (CaCO3) : kristal orthorombik, tidak stabil, berbentuk
jarum atau serabut, diendapkan secara kimiawi langsung dari
presipitasi air laut.
Kalsit (CaCO3) : kristal heksagonal, relatif stabil, umumnya
ditemukan sebagai hasil rekristalisasi aragonit dan sebagai semen
pengisi ruang antarbutir dan rekahan.
Dolomit (CaMg(CO3)2) : kristal heksagonal, hampir sama dengan
kalsit namun secara petrografi dibedakan dari indeks refraksinya,
terbentuk sebagai presipitasi air laut dan penggantian
(replacement) mineral kalsit.
Magnesit (MgCO3) : kristal heksagonal, terbentuk sebagai hasil
penggantian dari mineral kalsit dan dolomit dan juga sebagai hasil
dari rombakan batuan yang mengandung magnesium silikat.
Batugamping adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3)
hingga 95%, sehingga tidak semua batuan karbonat adalah batugamping (Reijers
17
& Hsu, 1986). Proses pembentukkan batuan karbonat dapat terjadi secara insitu,
yaitu berasal dari larutan yang mengalami proses kimiawi maupun biokimia
dengan peranan organisme, selain itu dapat terjadi dari butiran rombakan yang
telah tertransportasi secara mekanik kemudian terendapkan di tempat lain, dan
juga pembentukannya dapat terjadi akibat proses diagenesa dari batuan karbonat
sebelumnya, seperti proses dolomitisasi yaitu mineral kalsit berubah menjadi
dolomit.
2.2.2 Faktor Pengendapan Karbonat
Pengendapan batuan karbonat berbeda dengan pengendapan batuan
sedimen klastik lainnya. Pada proses pengendapan batuan karbonat, diperlukan
kondisi lingkungan tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan organisme dengan baik. Berikut
beberapa faktor penting yang sangat mempengaruhi pengendapan batuan
karbonat.
Pengaruh sedimen klastik asal darat, adanya partikel seperti lempung dan
lanau (asal darat) akan menghalangi proses fotosintesa organisme
pembentuk unsur CaCO3. Dengan demikian, dibutuhkan lingkungan
dengan kondisi aliran air yang jernih dan relatif stabil untuk mendukung
pengendapan karbonat dengan baik.
Iklim dan suhu, iklim tropis – subtropis yang cukup menerima sinar
matahari, temperatur relatif hangat, serta kadar oksigen dan salinitas yang
cukup diperlukan untuk memperlancar proses fotosintesa organisme
18
penghasil CaCO3. Selain itu, pada iklim arid proses evaporasi sangat besar
pengaruhnya sehingga banyak menghasilkan evaporit. Kondisi seperti ini
akan dijumpai pada lingkungan laut yang dangkal.
Tektonik dan perubahan muka air laut, tektonik dapat menentukan setting
pengendapan dengan mengontrol laju penurunan atau kenaikan permukaan
tempat diendapkannya karbonat. Perubahan naik dan turun muka air laut
dapat membentuk siklus yang mempengaruhi pengendapan karbonat.
2.2.3 Komposisi Penyusun Batuan Karbonat
Dunham (1962) membagi partikel sedimen karbonat menjadi dua bagian
berdasarkan ukurannya. Partikel dengan ukuran lebih besar dari 0,2 mm dan dapat
diamati dengan menggunakan lup disebut sebagai butiran. Sedangkan, untuk
partikel berukuran lebih kecil dari 0,02 mm disebut sebagai lime mud. Komponen
penyusun batuan karbonat yaitu :
a. Butiran kerangka (skeletal grain), merupakan bagian yang keras dari
organisme dalam batugamping, baik dalam kondisi utuh maupun pecahan.
Jenis kerangka penyusun seperti fragmen koral, cangkang, mikrofosil, sisa
ganggang, dan pecahan fosil – fosil makro.
Contoh batuan dapat berupa batugamping terumbu (reef) atau disebut
sebagai karbonat build up yaitu batuan karbonat yang terdiri dari material
organik yang berasal dari pertumbuhan koloni organisme yang selalu
mencari tempat paling tinggi agar menempati kolom air yang cukup dan
terkena sinar matahari hingga dapat berkembang membentuk build up.
19
Wilson (1975) menggunakan istilah build up pada tubuh batuan karbonat
yang secara lokal, terbatas secara lateral, merupakan hasil proses relief
topografi, dan tak selalu mengaitkan dengan jenis penyusun internalnya.
b. Butiran non skeletal terdiri dari,
- Butiran rombakan (detrital grain), merupakan hasil rombakan dari
batuan yang telah ada sebelumnya. Contoh : intraklas dan lithoklas.
- Pellets, merupakan butiran yang masif, berbentuk elips atau oval, tidak
menunjukkan adanya struktur internal. Contoh : fecal pellets dan
favreina.
- Lumps, merupakan butiran karbonat yang komposit atau berkelompok
dengan kenampakan bentuk permukaan yang tidak teratur. Contoh :
grapstone.
- Butiran berlapis konsentris (coated grain), merupakan butiran karbonat
yang mempunyai sebuah inti yang dikelilingi oleh beberapa selaput
tipis CaCO3 secara konsentris. Contoh : oolit, pisolit, dan onkolit.
c. Semen atau sparit merupakan material halus dapat berupa kalsit, silika,
atau oksida besi. Semen berperan sebagai material pengikat antar butiran
dan mengisi rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks.
d. Lumpur karbonat merupakan partikel karbonat berukuran halus, kurang
dari 4 mikrometer. Lumpur karbonat umumnya dikenal dengan istilah lime
mud atau mikrit. Secara mikroskopis memiliki kenampakan yang keruh,
kecoklatan, dan terbentuk saat pengendapan berlangsung. Mikrit dapat
20
mengalami alterasi dan tergantikan oleh mozaik mikrospar yang kasar
(Tucker and Wright, 1990).
2.2.4 Porositas Batuan Karbonat
Porositas pada batuan karbonat memiliki arti ekonomi yang penting
sebagai batuan reservoar baik hidrokarbon maupun air tanah. Faktor – faktor yang
mempengaruhi nilai porositas adalah ukuran butir, sortasi, kompaksi dan
sementasi. Porositas pada batuan karbonat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Porositas primer merupakan porositas yang dikontrol proses pengendapan
dan litifikasi.
b. Porositas sekunder merupakan porositas yang terbentuk setelah terjadi
sedimentasi dan berhubungan dengan proses diagenesa.
Klasifikasi porositas batuan karbonat menurut Choquette dan Pray (1970)
merupakan klasifikasi secara deskriptif dan genetik melalui pengamatan
mikroskopis. Apabila porositas berhubungan dengan kemas dari batuan tersebut,
maka disebut “Fabric Selective”. Sebaliknya, jika tidak ada hubungan antara
porositas dengan kemas maka disebut “Not Fabric Selective”. Jenis porositas
yang termasuk dalam Fabric Selective adalah :
a. Interpartikel (BP), merupakan porositas primer, pori terletak diantara
butiran.
b. Intrapartikel (WP), merupakan porositas primer, pori terletak didalam
butiran.
21
c. Interkristal (BC), merupakan porositas sekunder, pori terletak diantara
kristal. Umumnya terdapat pada dolomit.
d. Moldic (MO), merupakan porositas sekunder, berasal dari material
cangkang atau organisme yang sudah terlarutkan sehingga bentuk pori.
e. Fenestral (FE), merupakan porositas primer, terbentuk akibat pelepasan
gas atau air saat pengendapan jalinan ganggang.
f. Shelter (SH), merupakan porositas primer, terbentuk sebagai rongga di
bagian bawah cangkang yang tertutup partikel kasar sehingga terlindung
dari pengisian partikel halus.
g. Growth Framework (GF), merupakan porositas primer, terbentuk akibat
pertumbuhan fragmen pembentuk tubuh batuan karbonat.
Jenis porositas yang termasuk dalam “Not Fabric Selective” terdiri dari :
a. Fracture (FR), merupakan porositas sekunder, terbentuk sebagai suatu
rekahan yang diakibatkan oleh adanya pelarutan, pelongsoran, atau
deformasi.
b. Channel (CH), merupakan porositas sekunder, terbentuk akibat adanya
pelarutan dari air formasi.
c. Vuggy (VUG), merupakan porositas sekunder, terbentuk akibat adanya
pelarutan yang berkembang dari sistem pori yang telah ada sebelumnya.
Umumnya berkembang dari Moldic dan memiliki ukuran megaskopis.
d. Cavern (CV), merupakan porositas sekunder, terbentuk akibat adanya
pelarutan dan memiliki ukuran pori lebih besar.
22
Jenis porositas yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan kemas,
disebut Fabric Selective or Not terdiri dari :
a. Breccia (BR), merupakan porositas sekunder, terdapat pada breksi, dengan
pori diantara butiran. Umumnya berasosiasi dengan porositas fracture.
b. Boring (BO), merupakan porositas primer atau sekunder yang terbentuk
sebagai hasil dari aktivitas penggalian organisme ke dalam lapisan batuan
karbonat.
c. Burrow (BU), merupakan porositas primer atau sekunder yang terbentuk
sebagai hasil dari jejak organisme pada lapisan batuan karbonat.
d. Shrinkage (SK), merupakan porositas sekunder yang terbentuk sebagai
akibat adanya penyusutan kristal dan terjadi pada rekahan.
Gambar 2.4 Klasifikasi Sistem Pori Pada Batuan Karbonat (Choquette & Pray, 1970)
23
2.2.5 Klasifikasi Batuan Karbonat
Klasifikasi batuan karbonat penting untuk menggambarkan tekstur batuan
karbonat sehingga mempermudah dalam pembagian fasies karbonat. Klasifikasi
batuan karbonat menurut Dunham (1962) berdasarkan pada tekstur pengendapan
yang dapat menggambarkan genesa pembentukannya, sehingga klasifikasi ini
memiliki tipe genetik. Faktor – faktor yang menjadi dasar pembagian klasifikasi
batuan karbonat adalah kandungan lumpur, kandungan butiran, keterikatan
komponen, dan kenampakan tekstur hasil diagenesis. Berdasarkan faktor tersebut,
Dunham (1962) membuat klasifikasi batuan karbonat sebagai berikut :
Gambar 2.5 Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Dunham (1962).
a. Dominasi oleh lumpur (mud supported)
Jumlah butiran kurang dari 10 % disebut mudstone
Jumlah butiran lebih dari 10 % disebut wackestone
b. Dominasi oleh butiran (grain supported)
Mengandung matriks disebut packstone
Seluruhnya berupa butiran disebut grainstone
24
c. Komponen saling terikat satu sama lain saat pengendapan, dicirikan
adanya struktur tumbuh dan tersusun oleh organisme disebut boundstone
d. Komponen penyusunnya tidak lagi memperlihatkan tekstur asalnya,
disebut batugamping kristalin.
2.2.6 Jenis Paparan Karbonat
Sebagian besar sedimen karbonat terutama diendapkan pada paparan laut
dangkal (platform). Selain itu, sedimen karbonat dapat ditemukan pada beberapa
bagian lingkungan laut marginal. Menurut Tucker dan Wright (1990), tipe dasar
platform karbonat dapat dibedakan berdasarkan sifat tepi paparan, yaitu :
Gambar 2.6 Jenis Paparan Karbonat (Tucker and Wright, 1990 dalam Boggs, 2006).
a. Paparan Karbonat Rimmed
Rimmed platform adalah paparan laut dangkal yang ditandai oleh
perubahan lereng yang jelas pada bagian tepi luarnya sebelum masuk ke
lingkungan dengan air yang lebih dalam. Pada daerah perubahan (shelf
break) terdapat penghalang (barrier) yang menerus disepanjang tepi
25
platform. Barrier biasanya berupa karbonat build up karena dapat tumbuh
subur dan memiliki kerangka tubuh yang dapat menghalangi energi
gelombang dan membatasi sirkulasi air, sehingga menghasilkan
lingkungan paparan energi rendah kearah darat, yaitu lingkungan lagoon.
b. Paparan Karbonat Unrimmed
Unrimmed adalah paparan yang tidak ditandai oleh barrier
marginal yang jelas. Ramp adalah jenis platform paparan unrimmed
dengan kemiringan landai (kurang dari 1 derajat) pada daerah air dangkal
menerus ke arah slope dengan sedikit perubahan kemiringan ke dalam
fasies yang lebih dalam. Perubahan kemiringan pada ramp tidak ditandai
oleh tren terumbu yang jelas, tetapi gundukan pasir diskontinu dapat
ditemukan disepanjang tepi paparan.
c. Paparan Karbonat Terisolir
Platform terisolir (isolated) adalah platform air dangkal dengan
kemiringan landai, lebar sepuluh sampai ratusan kilometer, umumnya
terletak pada lepas pantai paparan kontinental dangkal, yang dikelilingi
oleh air dalam yang bekisar dari beberapa ratus sampai beberapa kilometer
kedalamannya.
Platform terisolir dapat berupa platform rimmed atau ramp
bergantung pada evolusi platform yang dipengaruhi perubahan muka air
laut. Namun platform terisolir lebih mengacu pada terhubung atau
tidaknya paparan dengan daratan, dengan kata lain platform terisolir
26
adalah sebuah pulau sangat besar, dikelilingi oleh laut dalam, dengan tepi
paparan berjenis rimmed atau ramp (Ahr, 2008).
2.2.7 Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat
Fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dicirikan
berdasarkan kombinasi dari litologi, struktur fisik, dan biologi yang merupakan
aspek pembeda dari tubuh batuan di atas, di bawah ataupun secara lateral (Walker,
et. al, 1992). Suatu fasies akan mencerminkan suatu mekanisme pengendapan
tertentu atau berbagai mekanisme yang terjadi saat yang bersamaan. Fasies dapat
dikombinasikan menjadi asosiasi fasies yang merupakan suatu kombinasi dari dua
atau lebih fasies yang membentuk tubuh batuan dalam berbagai skala dan
kombinasi yang secara genetik saling berhubungan pada suatu lingkungan
pengendapan.
Lingkungan pengendapan adalah bagian dari roman muka bumi yang
secara fisika, kimia dan biologi berbeda dengan roman lainnya, misalnya gurun,
lembah, sungai, delta dan laut (Selley, R.C.,1985). Pembagian dan penentuan
lingkungan pengendapan batuan karbonat sangat bergantung pada lokasi dan
faktor – faktor yang mempengaruhi pengendapan karbonat. Dengan demikian,
beberapa ahli telah membuat beberapa model pengendapan batuan karbonat
beserta fasiesnya. Klasifikasi lingkungan pengendapan yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu pada model paparan laut dangkal pengendapan karbonat
(Tucker and Wright, 1990) dengan penciri fasies di setiap lingkungannya, yaitu :
27
Gambar 2.7 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Pada Paparan Karbonat
(a) Rimmed dan (b) Unrimmed (Tucker and Wright, 1990).
2.2.8 Diagenesa Batuan Karbonat
Diagenesa adalah proses – proses yang terjadi pada sebuah batuan sedimen
setelah pengendapan, sebelum temperatur dan tekanan menjadi cukup tinggi untuk
proses metamorfisme (Tucker and Wright, 1990). Pada batuan karbonat,
diagenesa secara khusus mengurangi porositas, mendistribusikan kembali ruang
pori dan mengubah permeabilitas.
(a)
(b)
28
Choquette & Pray (1970) membagi tahapan diagenesa menjadi tiga tahap,
yaitu :
1. Eogenesis, merupakan tahapan diagenesa yang terjadi setelah sedimentasi
hingga sebelum pengendapan yang efektif dan relatif masih dekat dengan
permukaan.
2. Mesogenesis, merupakan tahapan diagenesa pada saat pengendapan yang
efektif berada jauh dari permukaan.
3. Telogenesis, merupakan tahapan diagenesa akhir yang terjadi setelah
batuan tersingkap akibat proses pengangkatan dan terjadi dekat dengan
permukaan.
2.2.8.1 Proses Diagenesa
Proses – proses diagenesa yang umum terjadi pada batuan karbonat adalah
sebagai berikut :
1. Sementasi
Proses ini terjadi ketika fluida yang mengisi pori dalam keadaan sangat
jenuh oleh keberadaan semen dan tidak ada faktor kinetik yang mengganggu
presipitasi dalam pori batuan sehingga menghasilkan material semen.
Keluarnya fluida dari ruang pori, menyebabkan material yang terlarut
didalamnya mengendap dan merekatkan butiran sedimen. Porositas sedimen
akan menjadi lebih kecil dari semula.
29
2. Mikritisasi mikrobial
Proses ini terjadi akibat adanya butiran yang terubah akibat pengaruh
organisme kecil seperti alga, jamur, dan bakteri. Butiran skeletal mengalami
pemboran di bagian luar dan ruang tersebut terisi oleh material sedimen sangat
halus atau semen. Micrite envelope merupakan hasil dari proses ini. Bila
proses ini terjadi secara intensif akan menghasilkan butiran yang
termikritisasi.
3. Neomorfisme
Merupakan perubahan suatu mineral menjadi mineral yang lebih stabil
dalam kondisi tertentu. Umumnya terjadi karena keterdapatan air selama
pelarutan. Berbeda dengan rekristalisasi, perubahan ukuran kristal tanpa
perubahan mineralogi seperti perubahan aragonit menjadi kalsit.
4. Disolusi
Proses disolusi atau pelarutan terjadi saat fluida yang mengisi pori tidak
cukup jenuh oleh mineral karbonat. Mineral metastable seperti aragonit sangat
mungkin untuk larut, sama seperti kalsit yang banyak mengandung
Magnesium. Proses disolusi meningkatkan porositas dan penipisan lapisan
batuan sedimen terutama pada batuan yang mudah larut seperti batuan
karbonat dan evaporit yang mudah larut.
30
5. Kompaksi
Proses ini terjadi ketika sedimen karbonat terkubur dan mengalami
tekanan. Kompaksi terbagi menjadi dua yaitu kompaksi mekanik dan
kompaksi kimia. Kompaksi mekanik terjadi ketika pembebanan cukup tinggi
sehingga terjadi retakan dalam butiran. Kompaksi kimia terjadi ketika butiran
yang saling bersentuhan menyebabkan terjadi pelarutan sehingga membentuk
kontak antar butir. Porositas batuan akan berkurang karena kemas lebih
tertutup. Proses tektonik seperti kompresi dan ekstensi juga mempengaruhi
diagenesa seperti terjadinya rekahan yang terisi kalsit.
2.2.8.2 Lingkungan Diagenesa
Secara umum, lingkungan diagenesa dibagi menjadi tiga yaitu meteoric,
marine, dan burial dengan zona lingkungan yang dibagi menjadi dua yaitu zona
vadose yang berada diatas permukaan laut dan zona phreatic berada dibawah
permukaan laut. Tucker and Wright (1990) membagi lingkungan diagenesa
menjadi lima yaitu meteoric vadose, meteoric phreatic, mixing zone, marine
phreatic, dan burial.
31
Gambar 2.8 Lingkungan Diagenesa Batuan Karbonat (Tucker and Wright, 1990)
1. Zona Meteoric Vadose
Lingkungan ini berada diatas watertable dengan pori – pori yang terisi
oleh air dan udara. Kondisi air dalam pori tidak jenuh bertahan diantara
butiran akibat adanya gaya kapilaritas. Pelarutan yang terjadi sangat
intensif sedangkan sementasi sedikit. Semen yang terbentuk pada
lingkungan ini adalah kalsit dengan kandungan Magnesium rendah.
2. Zona Meteoric Phreatic
Lingkungan ini berada di bawah watertable dengan pori yang terisi
oleh air. Pada zona aktif, di bagian atas meteorik preatik, dicirikan oleh
pelarutan aragonit dan Magnesium-kalsit, presipitasi kalsit, pelarutan
butiran, adanya porositas vuggy dan moldic. Pada zona stagnan, dibagian
bawah meteorik preatik, dicirikan oleh sementasi yang sedikit dan
stabilnya aragonit dan Magnesium-kalsit. Semen yang dapat terbentuk
32
pada lingkungan ini adalah kalsit dengan kandungan Magnesium rendah
dengan bentuk semen blocky.
3. Zona Mixing
Lingkungan yang berada diantara marine preatik dan meteorik preatik.
Dapat dicirikan oleh air payau, namun bila kondisi lingkungan dalam
salinitas rendah dapat terjadi proses dolomitisasi, sementara kondisi
salinitas tinggi membentuk Magnesium-kalsit dengan bentuk menjarum.
4. Zona Marine Phreatic
Lingkungan yang dipengaruhi oleh air laut normal sehingga seluruh
ruang pori akan terisi oleh air laut. Terdiri dari dua sub zona yaitu (a) zona
stagnan, yaitu lingkungan dengan sirkulasi air sedikit, ditandai oleh
mikritisasi, dan (b) zona aktif, yaitu lingkungan dengan sirkulasi air yang
baik, ditandai oleh sementasi intergranular. Pada lingkungan ini, semen
yang terbentuk adalah kristal aragonit dan kalsit dengan kandungan
Magnesium tinggi.
5. Burial
Lingkungan ini ditandai dengan meningkatnya temperatur dan tekanan,
sehingga terjadi proses kompaksi secara fisika maupun kimia dan
perubahan mineralogi. Terdapat beberapa struktur yang mencirikan
lingkungan burial seperti stylolite dan fracture.
33
2.2.9 Prinsip Reservoar Batuan Karbonat
Batuan karbonat merupakan salah satu reservoar ekonomis sebagai tempat
akumulasi hidrokarbon karena memiliki kualitas porositas dan permeabilitas yang
baik. Reservoar karbonat dicirikan oleh variasi porositas dan permeabilitas yang
sangat tinggi sebagai hasil dari fasies dan pengaruh diagenesa yang terjadi.
Diagenesa dapat membuat porositas karbonat menjadi sangat besar atau berkurang
sesuai dengan proses dan lingkungan tempat terjadinya. Secara umum, terdapat
tiga jenis reservoar karbonat (Reeckmann, et. al, 1981) :
a. Reservoar karbonat dengan porositas primer yang baik, umumnya reservoar
ini terbentuk pada lingkungan pengendapan dengan energi yang tinggi
seperti karbonat build up sebagai barrier yang berasosiasi pada tepi paparan.
Wilson (1975) menggunakan istilah build up untuk tubuh batuan yang
secara lokal, terbatas secara lateral, merupakan relief topografi, tanpa
mengaitkan pembentuk internalnya sebagai hasil pertumbuhan karbonat.
b. Reservoar karbonat yang dikontrol oleh porositas sekunder, porositas
sekunder merupakan hasil dari pelarutan batuan karbonat saat ekspos ke
permukaan oleh air meteorik atau fracture dari hasil pergerakan tektonik
atau pembebanan saat diagenesa.
c. Reservoar karbonat yang terdolomitisasi pada lingkungan peridital.
Dolomitisasi menghasilkan porositas interkristalin.
34
2.3 Log Sumur
Log sumur (well log) adalah metode yang merekam data bawah
permukaan melalui peralatan elektronik secara berkesinambungan dan teratur,
selaras dengan pergerakan alat yang dipakai, sehingga diagram yang dihasilkan
akan merupakan gambaran hubungan kedalaman dengan karakter atau sifat – sifat
formasi batuan. Data hasil logging dapat digunakan untuk mengidentifikasi zona
produktif, kedalaman, ketebalan, dan membedakan fluida baik minyak, gas, dan
air, sehingga dapat menghitung cadangan hidrokarbon di dalam suatu reservoar.
Log terdiri dari beberapa jenis yang dapat dibagi berdasarkan sifatnya seperti log
gamma ray (GR), log resistivitas, log densitas, log neutron, log sonik dan
sebagainya.
2.3.1 Log Gamma Ray
Prinsip kerja log gamma ray (GR) adalah merekam radioaktif alami
seperti Thorium (Th), Potasium (K), Uranium (U) yang secara kontinu
memancarkan energi radiasi tinggi dari dalam suatu formasi. Serpih mempunyai
radiasi yang paling kuat karena kandungan radioaktif terendapkan dengan baik di
lapisan serpih yang tidak permeabel. Pada formasi permeabel seperti batupasir dan
batuan karbonat yang bebas serpih maka pembacaan log GR lebih rendah karena
kandungan radioaktif sedikit. Log GR memiliki beberapa fungsi yaitu :
a. Untuk membedakan lapisan permeabel dan impermeabel, bila log SP tidak
bisa digunakan karena formasi dan lumpur yang digunakan terlalu resistif.
b. Evaluasi kandungan serpih (Vsh) melalui log GR.
35
c. Evaluasi kandungan mineral radioaktif dan nonradioaktif.
d. Dapat digunakan sebagai acuan korelasi pola motif log antar sumur,
karena berulang, tidak dipengaruhi kedalaman, memberikan beberapa
indikasi dari litologi dan juga mudah untuk diinterpretasikan.
2.3.2 Log Resistivitas
Prinsip kerja log resistivitas adalah mengukur tahanan jenis formasi
dengan mengalirkan arus listrik ke dalam formasi kemudian mengukur
kemampuan formasi tersebut untuk menghantarkan arus listrik. Selain itu, nilai
log resistivitas dapat diperoleh melalui induksi arus listrik ke dalam formasi dan
mengukur besarnya induksi tersebut.
Resistivitas formasi bergantung dari sifat dan karakter fisik batuan seperti
porositas, salinitas, dan jenis batuan, selain itu kandungan fluida juga
berpengaruh. Keberadaan fluida hidrokarbon akan menunjukkan resistivitas yang
besar, sedangkan kandungan air akan menunjukkan resistivitas yang bervariasi
tergantung kandungan garam. Kegunaan log resistivitas adalah :
a. Mengindentifikasi zona permeabel, porous, dan membantu interpretasi litologi
batuan.
b. Menentukan kandungan fluida dalam batuan permeabel, dengan melihat nilai
pada kurva log resistivitas dapat diketahui jenis fluida yang terkandung.
36
2.3.3 Log Densitas
Log densitas adalah log porositas yang mengukur densitas elektron pada
formasi dalam satuan gram/cc. Kurva log densitas menunjukkan besarnya densitas
keseluruhan matriks batuan dan fluida dalam pori (bulk density) dari batuan yang
ditembus lubang bor.
Secara kuantitatif log densitas digunakan untuk menghitung porositas dan
secara tidak langsung untuk menentukan densitas hidrokarbon. Log dapat
membantu perhitungan akustik impedansi dalam kalibrasi pada seismik. Secara
kualitatif log ini berguna sebagai indikator penentuan litologi, dapat digunakan
untuk mengindentifikasi densitas mineral.
2.3.4 Log Neutron
Log neutron merupakan log porositas yang mengukur konsentrasi ion
hidrogen dalam formasi. Kandungan fluida hidrokarbon akan menunjukan nilai
log neutron yang relatif lebih kecil daripada air tawar atau air asin. Pori yang terisi
oleh gas menunjukan nilai log neutron rendah karena gas memiliki paling sedikit
kandungan hidrogen dibanding minyak.
Secara kuantitatif log neutron dapat digunakan untuk mengukur porositas
dan juga sebagai pembeda kandungan fluida antara air, minyak, dan gas. Jika
dikombinasikan dengan log densitas pada skala tertentu merupakan indikator
litologi yang baik.
37
2.3.5 Log Sonik
Log sonik pada prinsipnya mengukur waktu rambatan gelombang suara
dalam formasi pada jarak tertentu, sehingga memerlukan pemancar dan penerima
yang dipisahkan dalam jarak tertentu. Waktu yang dibutuhkan tersebut adalah
interval transit time (∆t) berbanding terbalik dengan kecepatan gelombang suara
yang bergantung pada jenis litologi, porositas, dan kandungan pori. Bila batuan
bersifat padu dan porositas rendah maka nilai waktu akan rendah, begitu pula
sebaliknya. Secara kuantitatif, log sonik digunakan untuk evaluasi porositas pada
pori yang terisi fluida, namun alat sonik hanya menghitung waktu tempuh.
2.3.6 Pola Log Batuan Karbonat
Pola – pola log merepresentasikan adanya perubahan energi saat
pengendapan (Walker dan James, 1992). Korelasi pola log GR dilakukan untuk
mengetahui arah persebaran dan karakteristik lapisan batuan, namun umumnya
korelasi lumrah dilakukan pada batuan silisiklastik. Faktanya, pola log tidak dapat
merepresentasikan dengan baik lingkungan pengendapan, karakteristik tekstur,
dan tipe porositas pada batuan karbonat. Hal ini disebabkan proses sekunder yang
terjadi setelah pengendapan karbonat seperti diagenesa sehingga diperlukan
kombinasi log GR dengan log resolusi tinggi serta perhitungan sifat fisik batuan
untuk memvalidasi interpretasi karakteristik karbonat bawah permukaan (Ahr,
2008). Bentuk – bentuk dasar pola log dapat berupa cylindrical, irregular, bell,
funnel, symmmetrical, dan asymmetrical (Kendall, 2003), dalam penelitian ini
digunakan sebagai interpretasi awal mekanisme eneri pengendapan karbonat.
38
Tabel 2.1 Model Pola Log Batuan Karbonat (Kendall, 2003)
Pola Keterangan
Cylindrical
Diasosiasikan dengan endapan batuan karbonat laut dangkal dimana
karbonat dapat tumbuh dengan baik.
Funnel Diasosiasikan sebagai butir semakin kasar ke atas, dapat diperkiraan
sebagai kondisi karbonat dalam kondisi catch up untuk tetap tumbuh.
Bell Diasosiasikan sebagai butir semakin halus ke atas dengan energi menjadi
lebih rendah, namun dapat dipengaruhi oleh kehadiran mineral radioaktif
yang semakin meningkat keatas, bila pola ini semakin menebal dapat
mengindikasikan fase akhir tumbuhnya karbonat dan berubah litologi
menjadi shale.
Symmetrical Merupakan kombinasi bentuk funnel dan bell, kombinasi coarsening –
fining upward dapat diinterpretasikan sebagai hasil dari proses siklus
perubahan muka air laut regresi dan transgresi.
Irregular atau
Serrated
Pola log yang tidak beraturan menunjukkan adanya perubahan muka air
laut yang fluktuatif, terdapat sisipan litologi yang lebih kasar atau halus
dan dapat diinterpretasikan sebagai lapisan yang teracak diindikasikan
sebagai endapan hasil longsoran di slope dalam lingkungan laut dalam.
Gambar 2.9 Model Pola Log Batuan Karbonat (Kendall, 2003).
39
2.4 Evaluasi Formasi
Evaluasi formasi merupakan suatu proses analisis ciri dan sifat batuan di
bawah permukaan dengan menggunakan hasil pengukuran log sumur (Harsono,
1977). Evaluasi formasi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif untuk
mengidentifikasi parameter sifat fisik bawah permukaan suatu batuan reservoar.
2.4.1 Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan untuk menentukan sifat batuan reservoar
dengan data bawah permukaan seperti pengamatan konfigurasi kurva pada log
sumur kemudian dapat divalidasi dengan data batuan inti. Analisa kualitatif dalam
penelitian ini meliputi :
a. Penentuan jenis litologi, melalui log GR, neutron, densitas.
b. Penentuan lapisan poros, melalui log GR, neutron, densitas, sonik.
c. Penentuan jenis kandungan fluida, melalui log resistivitas, neutron,
densitas.
2.4.2 Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui sifat reservoar melalui
perhitungan parameter fisik batuan dari data log sumur dan dapat divalidasi
dengan data batuan inti. Parameter fisik batuan terdiri dari volume serpih (Vsh),
porositas (Φ), resistivitas, permeabilitas, dan saturasi hidrokarbon. Dalam
penelitian ini, identifikasi sifat fisik batuan terbatas pada volume serpih dan
porositas pada interval penelitian.
40
2.4.2.1 Volume Serpih (Vsh)
Volume serpih adalah jumlah total serpih yang terkandung dalam zona
reservoar. Kandungan serpih dapat mempengaruhi pembacaan nilai log sumur
seperti nilai porositas, permeabilitas, dan resistivitas. Sehingga, pemahaman
mengenai sifat serpih dan koreksi data log sumur dibutuhkan supaya tidak terjadi
kesalahan saat interpretasi.
Terdapat banyak metode untuk menentukan jumlah total volume serpih
yang terkandung dalam reservoar. Salah satu metode yang umum digunakan
dalam menentukan volume serpih (Vsh) adalah menggunakan log gamma ray
(GR) karena serpih lebih bersifat radioaktif dari batupasir dan batuan karbonat.
Perhitungan Index GR adalah tahap pertama dalam menentukan volume serpih
dari log GR, dengan rumus sebagai berikut (dalam Asquith, 2004) :
Keterangan,
IGR : Index Gamma Ray
GRlog : Nilai Gamma Ray yang terbaca di formasi
GRmin : Nilai Gamma Ray terendah di formasi
GRmax : Nilai Gamma Ray tertinggi di formasi
Estimasi volume serpih secara linier dari log GR merupakan pendekatan
yang umum dipakai dalam kalkulasi kandungan serpih. Secara linear, respon dari
log GR berbanding lurus dengan volume serpih, maka volume serpih (Vsh) sama
dengan nilai Index GR (IGR).
41
VSH = IGR ; ……….(2.1) Metode Linear
Namun, perhitungan volume serpih berdasarkan persamaan linear sering
menghasilkan estimasi volume serpih yang cukup tinggi yang akan berpengaruh
terhadap kualitas reservoar. Selain itu, para peneliti telah membuktikan bahwa log
GR memiliki beberapa respon non – linier yang dapat dipengaruhi beberapa faktor
umum seperti umur formasi ataupun kandungan mineral. Formula empiris dari
persamaan non – linier menunjukkan hasil yang lebih optimis dengan
menghasilkan volume serpih lebih rendah dibanding persamaan linier. Beberapa
persamaan tersebut adalah (dalam Asquith, 2004) :
a. Persamaan Clavier (1971),
Metode Clavier (1971) dihasilkan berdasarkan pengamatan
terhadap respon beberapa log seperti GR, densitas, neutron, sonik,
resistivitas, dan caliper pada zona shaly sand. Sehingga, parameter fisik
batuan secara kualitatif dan kuantitatif dapat diperoleh dari tiap log
tersebut. Pada perhitungan kandungan serpih (Vsh) melalui log GR dapat
dihitung melalui persamaan berikut :
VSH = 1.7 – [3.38 – (IGR – 0.7)2]1/2
……………. (2.2) Metode Clavier
b. Persamaan Stieber (1970),
Thomas Stieber mengembangkan suatu metode yang berhubungan
dengan respon log GR untuk menentukan kandungan serpih secara
42
kuantitatif dan distribusinya sebagai koreksi alternatif metode linier.
Metode ini dapat digunakan dengan baik pada litologi yang diasumsikan
memiliki mineralogi relatif sama, seperti batupasir dan shale, tidak seperti
batuan karbonat yang mineraloginya mudah terubah akibat diagenesa.
VSH = IGR ……………………………… (2.3) Metode Stieber
3 – 2 x IGR
c. Persamaan Larionov (1969),
Larionov (1969) telah melakukan uji laboratorium untuk
mengkalibrasi jumlah kandungan serpih dari nilai log GR dengan difraksi
sinar X. Melalui uji laboratorium, metode ini terbagi menjadi dua
persamaan yang secara garis besar dapat digunakan untuk batuan berumur
Tersier (unconsolidated rock) dan batuan lebih tua dari Tersier
(consolidated rock).
Untuk batuan berumur Tersier (unconsolidated rock)
VSH = 0.083 (2 (3.7 x I
GR
) – 1) ……………….. (2.4) Metode Larionov I
Untuk batuan yang berumur lebih tua (consolidated rock)
VSH = 0.33 (2 (2 x I
GR
) - 1) ……………….. (2.5) Metode Larionov II
Perbandingan hasil perhitungan kandungan serpih dapat dilihat pada
gambar berikut :
43
Gambar 2.10 Perbandingan Hasil Perhitungan Kandungan Serpih (Vsh) melalui
Metode Linier, Stieber, Clavier, dan Larionov. (Asquith, 2004).
Penggunaan metode perhitungan volume serpih harus didasarkan pada
kondisi batuan interval penelitian yang dapat divalidasi dengan data pemboran,
sehingga perolehan nilai volume serpih merupakan nilai yang sesuai dengan
kondisi batuan bawah permukaan. Hal ini dilakukan karena hasil perhitungan
volume serpih akan mempengaruhi perhitungan parameter fisik batuan lainnya.
2.4.2.2 Porositas
Porositas adalah perbandingan antara volume rongga pori dengan volume
total batuan yang dapat dinyatakan dalam persen (%). Umumnya, porositas yang
sering digunakan adalah porositas total dan porositas efektif . Porositas
efektif merupakan perbandingan antara pori yang saling berhubungan dengan
volume total batuan. Adanya pori – pori batuan yang saling berhubungan akan
mempermudah fluida untuk mengalir. Perhitungan porositas dapat menggunakan
log sonik, densitas, dan neutron.
44
a. Porositas melalui log densitas (PHID)
…………….... (2.6) Porositas Densitas
Keterangan,
ρma = densitas matriks (g/cm3)
ρf = bulk density dari formasi (g/cm3)
ρb = densitas fluida (g/cm3)
b. Porositas melalui log neutron (NPHI)
Pada formasi yang bersih dari serpih, nilai porositas dapat dibaca
dari log neutron kemudian dikoreksi terhadap jenis litologi. Namun,
pada formasi shaly sand harus dikoreksi terlebih dahulu.
c. Porositas melalui log neutron – densitas
Perhitungan nilai porositas total dapat dilakukan dengan
kombinasi porositas neutron dan porositas densitas dengan
menggunakan persamaan :
……(2.7) Porositas Total Densitas Neutron
Keterangan :
PHIT = porositas total (V/V)
PHID = porositas densitas (V/V)
NPHI = porositas neutron (V/V)
Selain itu, nilai porositas efektif dapat dihitung melalui porositas
neutron dan densitas dengan persamaan berikut :
PHIE = PHIT x (1 – Vsh) …………...(2.8) Porositas Efektif Densitas Neutron
Keterangan,
PHIE = porositas efektif (V/V)
PHIT = porositas total densitas - neutron (V/V)
Vsh = volume shale
PHIT = 𝑃𝐻𝐼𝐷2+𝑃𝐻𝐼𝑁2
2
45
d. Persamaan rata – rata waktu dalam penentuan porositas total
(PHIT) dan porositas efektif (PHIE) dari log sonik (DT) yaitu :
…(2.9)
Porositas Sonik
Keterangan,
PHIE = porositas efektif (V/V)
PHIT = porositas total (V/V)
DT = nilai waktu interval formasi
DTSH = nilai waktu interval shale
DTMA = nilai waktu interval matriks
DTFL = nilai waktu interval fluida
PHITSH = porositas shale
Vsh = volume shale
2.4.2.3 Nilai Pancung (Cut Off)
Secara harfiah, nilai pancung atau cut off adalah suatu nilai batas. Dalam
konteks zona reservoar, nilai pancung merupakan batasan nilai dari parameter
reservoar meliputi volume serpih, porositas, permeabilitas, dan saturasi air yang
telah disesuaikan dengan karakter fisik suatu reservoar. Dalam penelitian ini,
perhitungan parameter fisik batuan dibatasi pada volume serpih dan porositas.
Perhitungan nilai pancung dapat dilakukan melalui metode konvensional
dengan crossplot nilai volume serpih dan porositas pada interval penelitian yang
terbukti terdapat jejak atau trace hidrokarbon berdasarkan data tes.
…………………(2.10) Metode Nilai Pancung
Jika nilai volume serpih hasil evaluasi formasi lebih besar dari nilai
pancung volume serpih, maka nilai tersebut akan di eliminasi. Nilai porositas
N
Sw Sw ,
N ,
N
Vsh Vsh
PHIE = (DT – DTMA) – VSH* (DTSH – DTMA) / (DTFL – DTMA)
PHIT = PHIE + (VSH* PHITSH)
46
yang lebih kecil dari nilai pancung porositas akan di eliminasi juga. Lapisan yang
dapat diinterpretasikan sebagai zona reservoar adalah interval yang memenuhi
syarat dari persamaan nilai pancung tersebut.
Bila salah satu kriteria tidak terpenuhi maka tidak dapat dinyatakan
sebagai zona reservoar. Hasil eliminasi volume parameter batuan dengan nilai
pancung dapat menghasilkan nilai rata – rata dari volume serpih dan porositas
batuan, ketebalan lapisan batuan reservoar, dan letak kedalamannya.
Hasil nilai parameter volume serpih dan porositas batuan yang telah di
eliminasi dengan nilai pancung, ditampilkan dalam suatu tabulasi nilai atau
disebut sebagai lumping. Nilai parameter tersebut dapat mendukung interpretasi
kualitas batuan reservoar di setiap interval kedalaman. Kualitas dari parameter
porositas batuan dapat di validasi dengan skala kualitas nilai porositas menurut
Koesomadinata (1978).
Tabel 2.2 Klasifikasi Porositas (Koesomadinata (1978).
Porositas (%) Keterangan
0 – 5 Dapat diabaikan (Neligible)
5 – 10 Buruk (Poor)
10 – 15 Cukup (Fair)
15 – 20 Baik (Good)
20 – 25 Sangat Baik (Very Good)
> 25 Istimewa (Excellent)