GEOLOGI REGIONAL CIREBON

12
II.TELAAH PUSTAKA 1. Geologi Regional A. Fisiografi Regional Gambar 1. Peta Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmlen, 1949) Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi, dan struktur geologinya. Van Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar zona fisiografi, masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barat- timur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu, hingga Cirebon. Daerah ini bermorfologi dataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai dan endapan gunungapi muda. 2. Zona Bogor Zona Bogor terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka, dan Kuningan. Zona Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang barat-timur dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan beku baik intrusif SHISIL FITRIANA_H1012013

description

GEOLOGI REGIONAL CIREBON

Transcript of GEOLOGI REGIONAL CIREBON

Page 1: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

II.TELAAH PUSTAKA

1. Geologi Regional

A. Fisiografi Regional

Gambar 1. Peta Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmlen, 1949)

Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu

sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi, dan struktur

geologinya. Van Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar

zona fisiografi, masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai

Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

1. Zona Dataran Pantai Jakarta

Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barat-

timur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu, hingga Cirebon. Daerah

ini bermorfologi dataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium

sungai/pantai dan endapan gunungapi muda.

2. Zona Bogor

Zona Bogor terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta,

membentang mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka,

dan Kuningan. Zona Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang

memanjang barat-timur dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Batuan

penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan beku baik intrusif

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 2: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

maupun ekstrusif. Morfologi perbukitan terjal disusun oleh batuan beku intrusif,

seperti yang ditemukan di Komplek Pegunungan Sanggabuana, Purwakarta.

Van Bemmelen (1949), menamakan morfologi perbukitannya sebagai

antiklinorium kuat yang disertai oleh pensesaran.

3. Zona Bandung

Zoba Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar

antara 20 km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke

timur melalui Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona

Bandung bermorfologi perbukitan curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah

yang cukup luas. Van Bemmelen (1949) menamakan lembah tersebut sebagai

depresi di antara gunung yang prosesnya diakibatkan oleh tektonik

(intermontane depression). Batuan penyusun di dalam zona ini terdiri atas

batuan sedimen berumur Neogen yang ditindih secara tidak selaras oleh batuan

vulkanik berumur Kuarter. Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut

membentuk struktur lipatan besar yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung

merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah

proses pengangkatan berakhir (van Bemmelen, 1949).

4. Zona Pegunungan Selatan

Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek

(1946) menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut dapat

diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di Lembah

Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan langsung

dengan dataran tinggi (plateau) Zona Pegunungan Selatan. Morfologi dataran

tinggi atau plateau ini, oleh Pannekoek (1946) dinamakan sebagai Plateau

Jampang.

Berdasarkan pembagian fisiografi di atas, daerah penelitian termasuk ke

dalam Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949) yang mana daerah ini didominasi oleh

bentukan morfologi perbukitan.

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 3: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

B. Stratigrafi Regional

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Cirebon (P.H. Silitonga, M. Masria dan N.

Suwarna, 1996) terdapat beberapa formasi batuan yang berumur Tersier hingga

Kuarter (tua ke muda) yang terdiri dari beberapa satuan batuan yaitu :

1. Formasi Pemali (Tmp)

Formasi Pemali (Tmp) terdiri atas Batulempung, kelabu kebiruan, kompak,

dengan bidang perlapisan yang kurang jelas, mengandung fosil foraminifera

kecil; tersingkap secara sempit. Di Lembar Majenang, napal globigerina

berwarna biru dan hijau keabuan, berlapis jelek sampai baik dengan sisipan

batupasir tufan, dan juga batugamping pasiran berwarna biru keabuan,

menyusun formasi ini: dengan tebal lebih kurang 900 m (Kastowo dan Suwana

1996). Umur diperkirakan Miosen Awal.

2. Anggota Gununghurip Formasi Halang (Tmhg)

Anggota Gununghurip Formasi Halang (Tmhg) terdiri atas turbidit, yang terdiri

dari breksi sedimen gunungapi dan konglomerat bersusun andesit dan basal,

bersisipan batupasir, serpih dan batulempung pasiran ; umumnya kelabu, belapis

baik. Struktur sedimen perlapisan sejajar dan bersusun sangat umum. Kumpulan

fosil plankton di dalam batulempung pasiran yang tersingkap di lembar

Tasikmalaya (Budhitrisna,1987) menunjukkan umur Miosen Tengah. Tebal

satuan mencapai 150m.

3. Formasi Halang (Tmph)

Formasi Halang (Tmph) teridir atas runtunan turbidit; bagian atasnya dikuasi

oleh lapisan batulmpung dan napal ; bagian tengah banyak mengandung sisipan

ataupun berselingan dengan batupasir wake gampingan mengandung hornblenda

feldspar, kuarsa, dan kalsit. Pada bagian bawah formasi, batuan tersebut di atas

bersisipan dengan lapisan batugamping dan lensa- lensa batugampung berukuran

bongkah yang mengandung fosil foraminifera besar serta moluska. Umumnya,

satuan berwarna kelabu kehijauan dan kelabu tua. Lensa lensa breksi dan

konglomerat aneka bahan bersusunan andesit dan basal dengan matriks

batupasir tufan kasar, setempat ditemukan di dalam formasi ini. Runtuhan

diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas. Struktur sedimen

yang jelas berupa perlapisan bersusun, perairan sejajar, perairan terpelintir, tikas

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 4: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

seruling dan tikas beban. Tertindih tidakselaras dengan formasi tapak,

menjemari dengan anggota gununghurip formasi halang dan formasi kumbang,

dan menindih selaras formasi pemali. Umur diduga Miosen Tengah – Pliosen

Awal. Ketebalan satuan mencapai 2400 dan mnipis ke arah timur.

4. Anggota Breksi, Formasi Kumbang (Tmphk)

Anggota Breksi, Formasi Kumbang (Tmphk) terdiri atas breksi gunungapi

dengan komponen bongkah lava andesit berbagai ukuran dan tuf bersusun

andesit sampai basal. Satuan umumnya pejal. Umum diperkirakan Miosen

Tengah- Pliosen Awal. Menjemari dnegan Formasi Halang. Tebal Maksimal di

Lembar Majenang lebih kurang 2000 m (Kastowo dan Suwarna, 1996)

5. Formasi Kumbang (Tmpk)

Formasi Kumbang (Tmpk) terdiri atas breksi gunungapi, lava dan tuf bersusunan

andesit sampai basal, batupasir tuf dan konglomerat. Satuan umumnya pejal.

Umur diperkirakan Miosen Tengah- Pliosen Awal. Menjemari dengan Formasi

Halang. Tersingkap setempat di batas selatan lembar peta.

6. Formasi Tapak (Tpt)

Formasi Tapak (Tpt) terdiri atas bagian bawah runtunan batupasir kasar

kehijauan yang berangsur angsur berubah menjadi batupasir lebih menghalus

kehijauan dengan beberapa sisipan napal pasiran berwarna kelabu sampai

kekuningan; batugamping yang mengandung koral dan moluska dengan

pengawetan kurang baik, berwrna putih kotor kecoklatan, konglomerat dan

breksi andesit berselingan dengan batupasir. Pada bagian atas perselingan

batupasir gampingan dengan napal mengandung fosil moluska air payau marin

yang menunjukkan umur pliosen Awal- Tengah. Lingkungan pengendapan

diduga peralihan sampai daerah pasang- surt. Ketebalan satuan sulit ditaksir,

namun di daerah Bumiayu (Lembar Majenang) mencapai 500 m. Lingkungan

pengendapannya adalah daerah pantai yang dipengaruhi oleh gerakan pasang-

surut yang teratur. Menindih takselaras Formasi Kumbang dan Halang.

7. Formasi Kalibiuk (Tpb)

Formasi Kalibiuk (Tpb) teridiri atas batupasir tufan, halus, putih kekuningan

denganlapisan yang sering tidak jelas, lapisan tipis- tippis konglomerat,

batupasir kasar, gampingan yang menganung fosil moluska dan koral, serta

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 5: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

batulempung dengan fosil foraminifera kecil dan moluska, yang merupakan

bagian tengah runtuhan; lapisan tipis- tipis batupasir kompak, gampingan, yang

seringkali mnunjukka struktur “boudin” dan batulanau. Setempat setempat

terdapat lensa kecil – kecil batugamping pasiran, dan di dalam batulempung di

beberapa tempat mengandung lempeng halusbatutahu. Ketebalan lapisan 10-50

cm dan hanya di beberapa tempat. Ketebalan menipis ke arah barat dan tebal

maksimal 300m. Lingkungan pengendapan diduga pasang surut. Bagian bawah

runtuhan menjemari dengan bagian atas atau menindih selaras Formasi Tapak.

Umur Pliosen Awal- Pliosen Tengah.

8. Formasi Cijolang (Tpcl)

Formasi Cijolang (Tpcl) terdiri atas konglomerat, dengan sisipan batupasir

tufan, konglomerat, anaekabahan yang memperlihatkan perlapisan kurang jelas,

kecuali pada bagian bawah runtuhan tersusuan kerakal kuarsa, batupasir,

betulempung, andesit, dasit, dan basal, dengan matriks batupasir ufan, berbutir

menengah- kasar. Batupasir tufan, konglomerat, berwarna kelabu kehijauan.

Umumnya satuan batuan bersifat rapuh dan membentuk topografi yang

menonjol. Kepingan- keingan fosil vertebrata ditemukan di dalam formasi ini.

Ketebalan satuan tidak merata, namun tebal maksimal sekitar 150m.

9. Formasi Ciherang (Tpch)

Formasi Ciherang (Tpch) terdiri atas perselingan antara breksi gunngapi

batupasir tufan dan konglomerat dengan sisipan batulempung tufan kelabu

kehijaun dan batulempung kecoklatan. Breksi gunungapi, anekabahan, terdapat

lebih menguasai bagian atas formasi; komponenya terdiri dari batuan beku

andesit, dasit, dan basal dan kadang kadang batuapung, dengan matriks batupasir

tufan kasar mengandung kristal hornblenda. Batupasir tufan, berbutir halus-

kasar hingga konglomeratan mengandung hornblenda, plagioklas, dan kayu

tekersikkan. Konglomerat, anekbahan, dengan komponen seperti breksi.

Struktur silang siur jelas terlihat pada beberapa lapisan yang berbutir kasar. Fosil

yang di temukan antara lain foraminifera kecil di dalam batulempung dan

vertebrata (Mertcopotamus nannus LYDEKKER) pada konglomerat/ breksi.

Lingkungan pengendapannya adalah darat sampai peralihan. Secara stratigrafi

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 6: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

satuan batuan ini menjemari dengan Formasi Cijolang, Formasi Kalibiuk dan

bagian bawah formasi tapak berumur pliosen tengah (?).

10. Formasi Gintung (Qpg)

Formasi Gintung (Qpg) terdiri atas perselingan batulempung tufan, batupasir

tufan, konglomerat dan breksi. Umumnya satuan batuan berkemiringan hampir

datar, dengan derajat kepadatan dan penyemenan yang belum kuat. Dalam

batupasir sering terlihat adanya pecahan- pecahan lepas plagioklas, kristal kuarsa

dan batuapung. Breksi dan konglomerat, berkomponen batuan beku bersifat

andesit dengan garis tengah antara 1-5 cm, namun setempat ada yang mencapai

50 cm. Konglomerat mengandung kayu tekersikkan dan terarangkab, serta sisa

sisa vertebrata yang kurang terawetkan. Umur Plistosen Tengah- Akhir.

Lingkungan pengendapan darat sampai peralihan. Tebal satuan yang tersingkap

diperkirakan 90 m. Singkapan yang paling jelas terdapat di Bt. Puterlembung.

Menindih tak selaras Formasi Ciherang

11. Hasil Gunungapi Tua Careme (QTvr)

Hasil Gunungapi Tua Careme (QTvr) teridiri atas lahar, batupasir tufan dan

konglomerat tersisipi beberapa lapisan lava, breksi aliran dan tuf. Batuan ini

membentuk morfologi yang lebih menonjol daripada morfologi batuan guungapi

muda yang mengelilinginya dan menunjukkan gejala- gejala pengerosian yang

lebih matang. Singkapan yang jelas sulit ditemukan pengenalnya di lapangan

berdasarkan pada singkapan batuan beku andesit dan basal, yang bersembulan

dari tanah penutup berwarna kuning kecoklatan atau kehitaman.

12. Endapan Lahar Slamet (Qls)

Endapan Lahar Slamet (Qls) terdiri atas lahar dengan beberapa lapisan lava

bagian bawah. Setengah mengeras, membentuk topografi hampir rata dan

punggungan tajam sepanjang tepi sungai.

13. Hasil Gunungapi Muda Careme (Qvr)

Hasil Gunungapi Muda Careme (Qvr) terdiri atas lahar breksi dan batupasir

tufaan. Singkapan breksi umumnya masih padu, sedangkan batupasir tufan dan

lahar telah melapuk dan berbah menjadi pasir dan pecahan- pecahan lepas batuan

beku. Pelapukan yang telah berlanjut menghasilkan tanah penutup berwarna

kuning kemerahan atau kecoklatan.

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 7: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

14. Endapan Pantai (Qac)

Endapan Pantai (Qac) terdiri atas lumpur hasil endapan rawa, lanau serta

lempung kelabu yang mengandung cangkang kerang hasil pengendapan di

sekitar pantau. Tebal mencapai beberapa meter.

15. Endapan Aluvium (Qa)

Endapan Aluvium (Qa) terdiri atas kerikil, pasir dan lempung yang berwarna

kelabu. Terendapkan sepanjang dataran banjir sungan. Tebal kurang lebih 5 m.

Berdasarkan stratigrafi regional pada Peta Geologi Lembar Cirebon (P.H.

Silitonga, M. Masria dan N. Suwarna, 1996) daerah penelitian termasuk ke dalam

Formasi Halang (Tmph), Anggota Formasi Halang (Tmhg), Formasi Ciherang

(Tpch), Formasi Gintung (Qpg), Hasil Gunungapi Muda Careme (Qvr).

Gambar 2. Kolom stratigrafi regional daerah penelitian berdasarkan pada Peta Geologi Lembar Cirebon (P.H. Silitonga, M. Masria dan N. Suwarna, 1996

Daerah Penelitian

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 8: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

Gambar 3. Peta Geologi Regional daerah penelitian Peta Geologi Lembar Cirebon (P.H. Silitonga,

M. Masria dan N. Suwarna, 1996)

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 9: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

C. Struktur Regional

Gambar 4. Pola Struktur Regional Jawa Barat (Martodjojo, 2003)

Di daerah Jawa Barat terdapat banyak pola kelurusan bentang alam yang

diduga merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah

barat-timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya, dan baratlaut-tenggara. Secara

regional, struktur sesar berarah timurlaut-baratdaya dikelompokkan sebagai Pola

Meratus, sesar berarah utara-selatan dikelompokkan sebagai Pola Sunda, dan sesar

berarah barat-timur dikelompokkan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah

barat-timur umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah

lainnya berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.

Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga

struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar

Baribis, dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertama kalinya

diperkenalkan oleh van Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga

sekarang.

A. Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (berumur Kapur), membentang

mulai dari Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri,

Cipatat-Rajamandala, Gunung Tanggubanperahu-Burangrang dan diduga

menerus ke timurlaut menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini

berarah timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar mendatar hingga oblique

(miring). Oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokkan

sebagai Pola Meratus.

B. Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik

dengan arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 10: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

ke daerah Baribis di Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan

jalur Sesar Baribis dipandang berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo

(1984), menafsirkan jalur sesar naik Baribis menerus ke arah tenggara

melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy, sedangkan oleh Simandjuntak

(1986), ditafsirkan menerus ke arah timur hingga menerus ke daerah Kendeng

(Jawa Timur). Penulis terakhir ini menamakannya sebagai “Baribis-Kendeng

Fault Zone”. Secara tektonik, Sesar Baribis mewakili umur paling muda di

Jawa, yaitu pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya

oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokkan sebagai

Pola Jawa.

C. Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang

kurang lebih 30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal

(sesar turun) dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi

pedataran (Pedataran Lembang). Van Bemmelen (1949), mengaitkan

pembentukan Sesar Lembang dengan aktifitas Gunung Sunda (G.

Tangkubanperahu merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda), dengan

demikian struktur sesar ini berumur relatif muda yaitu Plistosen.

Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya berkembang di

utara Jawa (Laut Jawa). Sesar ini termasuk kelompok sesar tua yang memotong

batuan dasar (basement) dan merupakan pengontrol dari pembentukan cekungan

Paleogen di Jawa Barat. Mekanisme pembentukan struktur geologi Jawa Barat

terjadi secara simultan di bawah pengaruh aktifitas tumbukan Lempeng Hindia-

Australia dengan Lempeng Eurasia yang beralangsung sejak Zaman Kapur hingga

sekarang. Posisi jalur tumbukan (subduction zone) dalam kurun waktu tersebut

telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya subduksi purba

(paleosubduksi) terjadi pada umur Kapur, dimana posisinya berada pada poros

tengah Jawa sekarang. Jalur subduksinya berarah relatif barat-timur melalui daerah

Ciletuh-Sukabumi, Jawa Barat menerus ke timur memotong daerah

Karangsambung-Kebumen, Jawa Tengah. Jalur paleosubduksi ini selanjutnya

menerus ke Laut Jawa hingga mencapai Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973).

Penulis ini menarik jalur paleosubduksi berdasarkan pada singkapan melange yang

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 11: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

tersingkap di Ciletuh (Sukabumi), Karangsambung (Kebumen), dan Meratus

(Kalimantan Timur). Berdasarkan penanggalan radioaktif yang dilakukan terhadap

beberapa contoh batuan melange, diketahui umur batuannya adalah Kapur.

Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas magmatik yang menghasilkan

endapan gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan gunungapi Eosen

diwakili oleh Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi Jatibarang

menempati bagian utara Jawa dan pada saat ini sebarannya berada di bawah

permukaan, sedangkan Formasi Cikotok tersingkap di daerah Bayah dan sekitarnya.

Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya lebih muda dari dua formasi

tersebut di atas adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen yang

ditemukan di Jawa Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan telah

terjadi pergeseran jalur subduksi dari utara ke arah selatan.

Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini berubah lagi. Pada saat sekarang,

posisi jalur subduksi berada Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur.

Kedudukan jalur subduksi ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa pemunculan

sejumlah gunungapi aktif. Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan dengan

aktifitas subduksi tersebut, antara lain G. Salak, G. Gede, G. Malabar, G.

Tanggubanperahu, dan G. Ciremai. Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah,

namun jalur subduksinya relatif sama, yaitu berarah barat-timur. Posisi tumbukan

ini selanjutnya menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah utara-selatan.

Aktifitas tumbukan lempeng di Jawa Barat, menghasilkan sistem tegasan

(gaya) berarah utara-selatan. Bagian utara didominasi oleh struktur ekstensi,

sedangkan struktur kompresi sedikit sekali. Sesar-sesar yang terbentuk yaitu sesar-

sesar berarah baratlaut-tenggara, utara dan timur laut membentuk rift dan beberapa

cekungan pengendapan yang dikenal sebagai Sub-cekungan Arjuna Utara, Sub-

cekungan Arjuna Tengah dan Sub-cekungan Arjuna Selatan, serta Sub-cekungan

Jatibarang dan sesar-sesar geser menganan berarah baratlaut-tenggara.

Fase rifting pada Eosen-Oligosen memiliki arah ekstensi utama berarah

timurlaut-baratdaya hingga barat-timur. Cekungan ini tidak terbentuk sebagai

cekungan busur belakang, namun sebagai pull-apart. Hamilton (1979)

menyebutkan dua alasan yang dapat menjelaskan hal tersebut yaitu pertama, arah

SHISIL FITRIANA_H1012013

Page 12: GEOLOGI REGIONAL CIREBON

ekstensi cekungan hampir tegak lurus dengan zona subduksi saat ini, dan kedua,

kerak benua yang tebal terlihat dalam pembentukan struktur rift cekungan tersebut.

SHISIL FITRIANA_H1012013