Geologi Regional Pulau Jawa
description
Transcript of Geologi Regional Pulau Jawa
A. GEOLOGI REGIONAL PULAU JAWA
Secara garis besar, perkembangan atau evolusi geologi Indonesia di
pengaruhi oleh tiga lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Hindia-
Australia, dan Lempeng Pasifik.
Untuk evolusi geologi pulau jawa itu sendiri, lebih dominan dipengaruhi
oleh pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Autralia
Dimana sebelum pembentukan pulau Jawa seperti sekarang ini, Jawa timur
dan Jawa barat merupaka dua daratan yang terpisah, seperti gambar berikut,
Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur
geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-
pola yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah
penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress
regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola
umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola
Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat (E-W)
(Gambar 7).
Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut – Barat Daya
(NE-SW) menjadi relatif Timur – Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang
telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit
disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut.
Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah
sekitarnya.
Gambar 7. Pola stuktur di Pulau Jawa berupa pola Meratus , pola Sunda dan arah
Timur – Barat (Sujanto dan Sumantri , 1977 dalam Natalia dkk., 2010).
Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian
tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra- Tersier di
daerah KarangSambung.
Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati,
“Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola
konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo.
Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.
Pola Sunda berarah Utara - Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan
sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.Ekspresi yang
mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri,
Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna.
Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan.Pola Jawa di bagian
barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sesar-sesar
dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang
terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan (Gambar 8). Di bagian Timur
ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola
yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai
Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang
Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh
aktivitas tektonik yang lebih muda.
Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola
Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen
Akhir hingga Oligosen Akhir.
Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola
yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994 dalam Natalia dkk., 2010 ). Data
seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif
hingga sekarang.
Garis besar fisiografi Pulau Jawa pernah dibahas oleh Pannekoek.
Kemudian dalam usahanya membahas penduduk Pulau Jawa, Horstmann dan
Rutz mengaitkan pemusatan-pemusatan penduduk dengan bentuk medan atau
fisiografi.
Bahasan tentang fisiografi dalam karangan ini, sedikit banyak didasari oleh
kedua usaha di atas, meskipun ada beberapa perbedaan yang maksudnya untuk
lebih memperinci.
Ada empat unsur utama sebagai bentuk medan Pulau Jawa, yaitu:
1. Wilayah Lipatan tertier Selatan, dengan dataran-dataran rendah yang
tercakup di antaranya.
2. Wilayah pegunungan Tengah, yang sebenarnya adalah sebuah depresi,
tetapi karena tutupan bahan volkanik, wilayah ini menjadi tinggi.
3. Wilayah Lipatan Utara dengan berbagai bentuk antaranya.
4. Wilayah Dataran Aluvial yang terutama terdapat di pesisir Jawa Barat.
Di antara wilayah-wilayah fisiografi secara garis besar itu, terdapat bentuk-
bentuk medan yang berbeda dengan bentuk umum wilayah yang bersangkutan ,
seperti misalnya Dataran Rendah Grajangan, Sukamade Lumajang di Wilayah
Lipatan Selatan Jawa Timur. Dataran Rendah Kedu Selatan dan Lembah
Serayu, Lembag Citandui di Jkawa Tengah dan Jawa Barat bagian tiumur.
Dataran rendah yang luas-luas terdapat di gaerah pedalaman Jawa Timur.
Dataran rendah tidak nampak di pedalaman Jawa Barat. Tetapi sebaliknya
dataran rendah yang luas terdapat di bagian utara Jawa Barat, sedangkan di
Utara Jawa Tengah dataran rendah utaranya sempit.
Di bagian timur Jawa Tengah dan di bagian utara Jawa Timur, dataran yang
nampaknya rendah itu sebenarnya adalah sinklinorium atau jejeran beberapa
sinklinal dari Wilayah Lipatan Utara, yang di kedua daerah itu sampai ke pantai
dan malahan sampai ke Madura. Di Jawa Barat sebagian wilayah Lipatan Utara
itu tertutup oleh bahan volkanik seperti bentuk “alluvial fan” G. Salak dan G.
Gede antara Jakarta – Bogor dan endapan volkanik Tanguban perahu di daerah
Subang.
Seperti telah dibahas oleh Horstmann dan Rutz, kaitan pemusatan
penduduk dengan fisiografi memang erat, meskipun kesuburan tanah mungkin
sedikit berbeda antara fisiografi yang sama, tetapi letaknya lain. Nampak, bahwa
lereng lebih penting daripada tingkat kesuburan, dalam usaha pemanfaatan
tanah.
KETERANGAN
A = Wilayah Dataran rendah
A1 = Wilayah Lembah Ci Tandui
A2 = Wilayah Dataran Rendah Selatan
A3 = Wilayah Dataran rendah Utara
B = Wilayah Pegunungan
B1 = Wilayah Pegunungan Lipatan Selatan
B2 = Wilayah Slenk Ci Mandiri
B3 = Wilayah Pegunungan Lipatan Barat
B4 = Wilayah Lipatan Utara
C = Wialayah Volakanik
C1 = Wilayah Volakanik selatan
C2 = Wilayah Depresi Jawa Barat
C3 = Wilayah Volkanik Utara
D = Wilayah Karang Merak
KETERANGAN
A = Wialayah Lipatan Selatan
A1 = Wilayah Dataran Rendah Kroya
A2 = Wilayah Dataran Rendah Kedu Selatan
A3 = Wilayah Lembah Serayu
A4 = Wilayah Lembah Serayu
A5 = Wilayah pegunungan Sewu
A6 = Wilayah Nusa Kambangan
B = Wilayah Pedalaman
B1 = Wilayah Volkanik
B2 = Wilayah Lembah Bengawan Solo
C = Wilayah pegunungan Kapur
C1 = Wilayah Pegunungan Kapur Pedalaman
C2 = Wilayah Pegunungan Kapur Pantai Utara
C3 = Wilayah Muria
C4 = Wilayah Sinklinal Jeratun-Seluna
D = Wilayah Dataran Rendah
D1 = Wilayah Dataran Rendah Pantai Utara
D2 = Kendal
KETERANGAN
A = Wilayah dataran Rendah
A1 = Wilayah dataran Rendah Grajangan
A2 = Wilayah dataran Rendah Lumajang
A3 = Wilayah dataran Rendah Brantas-Solo
A4 = Wilayah dataran Rendah Madiun
A5 = Wilayah dataran Rendah Pantai Utara
A6 = Wilayah dataran Rendah Situbondo
A7 = Wilayah dataran Rendah Bangkalan
A8 = Wilayah dataran Rendah Sampang-Pemekasan
A9 = Wilayah dataran Rendah Pantai Utara Madura
A10 = Wilayah dataran Rendah Sumenep
A11 = Wilayah dataran Rendah Tuban
C = Wilayah Lipatan
C1 = Wilayah Lipatan Pamtai Selatan
C2 = Wilayah Lipatan Sulameda
C3 = Wilayah Lipatan Blsmbsngsn
C4 = Wilayah Lipatan Kendeng
C5 = Wilayah Lipatan Utara
C6 = Wilayah Lipatan Madura
Untuk fisiografi pulau jawa, pulau ini dihubungkan juga dengan laut
Dangkalan Sunda, sehingga secara fisiografis termasuk Tanah Sunda Tengah.
Dalam bab ini pembicaraan mengenai pulau-pulau tersebut (Jawa dan Madura)
dimasukkan dalam bagian daerah Dangkalan Sunda. Tetapi secara geologis,
seluruhnya termasuk ke dalam sistem pegunungan muda Tertier yang
mengelilingi Tanah Sunda Pre-Tertier, yang membentuk bagian dari Sistem
Pegunungan Sunda, seperti halnya Sumatra.
Jawa, luasnya 127.000 km2 dan Madura 4.000 km2, seluruhnya hampir
sama dengan 4 X luas Negeri Belanda (luas Negeri Belanda, tanpa “Zuiderzee”
34.181 km2). Panjang Pulau Jawa ± 1.000 km dan Madura 160 km.
Elemen struktural yang pokok dari pulau ini ialah Geantiklinal Jawa Selatan
yang membentang di sepanjang separuh selatan pulau itu dan Geosynklinal
Jawa Utara, yang meliputi seluruh bagian utaranya. Dari Semarang ke timur,
basin geosinklinal ini menjadi bertambah lebar serta bercabang, menjadi cabang
utara, yaitu merupakan daerah bukit-bukit Rembang dan Madura; dan cabang
selatan yang terdiri dari Pegunungan Kendeng dan Selat Madura.
Geantiklinal Jawa Selatan itu terbentuknya kurang menentu bila
dibandingkan dengan rangkaian Barisan yang membentuk kerangka geantiklinal
Sumatra. Hal ini disebabkan karena bagian puncak geantiklinal Jawa telah
hancur (rusak) yang sekarang secara fisiografis merupakan sebuah jalur depresi
yang merupakan bekas geantiklinal yang dahulu terangkat sebagai sebuah
pulau.
Sayap selatan geantiklinal Jawa itu dibentuk oleh Pegunungan Selatan
yang merupakan blok pengerutan miring ke arah Samudra Indonesia seperti
halnya blok Bengkulu di Sumatra. Di bagian tengah pulau Jawa, Pegunungan
Selatan itu telah hilang di bawah permukaan laut, sehingga di sini, depresi
menengah itu (the median depression) dibatasi oleh Samudra Indonesia. Gejala
yang sama telah di amati di Sumatra Utara (maksudnya, Aceh), yaitu tempat
depresi Semangko yang dibatasi oleh ambang tanah rendah (low land
embayments) Singkil dan Meulaboh pada pantai barat.
Dalam pembicaraan mengenai fisiografis dan strukturalnya, empat bagian
dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Jawa Barat (di sebelah barat Cirebon). 2. Jawa Tengah (antara Cirebon dan Semarang). 3. Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya). 4. Jaz 5. irah sempit di bagian timur (“Oosthoek”) dengan selat Madura dan
Pulau Madura. 1. Jawa Barat
Garis arah tipe Jawa, dimulai dari sebelah timur Teluk Pelabuhan Ratu.
Bagian terbarat disebut Banten, yang dalam bebera hal mempunyai hubungan
lebih erat dengan daerah Selat Sunda dan Sumatra daripada dengan Jawa.
Di Banten baratlaut muncul beberapa kelompok vulkan di atas dataran
tanah rendah utara Jawa. Pertama G. Gede (595 m) dengan pelabuhan Merak
pada kaki baratnya; kedua, kelompok Danau dengan puncaknya G.Karang
(1.778 m) dan G. Pulasari (1.346 m). Vulkan-vulkan ini termasuk aktivitas erupsi
yang menyertai pemisahan dari Selat Sunda seperti vulkan-vulkan di pualu
Prinsen, kelompok Krakatau, Sebesi, Sebuku, Sangiang yang melintang di
tengah-tengah Selat Sunda dan vulkan Tanggamus, Ratai, Betung dan Rajabasa
pada perbatasan Sumatra dan selat ini. Distrik Lampung dan Banten pada kedua
sisi Selat Sunda itu tertutup oleh tuff asam dan tuff batu apung, yang masing-
masing disebut tuff Lampung dan tuff Banten, yang sebagian adalah erupsi dan
letusan cataclysmic di daerah Selat Sunda selama pemisahannya dalam zaman
Plio-Pleistosin.
Semenanjung Ujung Kulon (Pajong, 480 m) dan Pegunungan Honje (620 m)
di sebelah salatan baratdaya Banten dipisahkan dari Jawa oleh laut, pada
zaman Pliosin, membentuk Ujung tenggara Rangkaian Barisan Sumatra. Rantai
penghubung antara Teluk Semangko di pantai Sumatra dengan teluk
(Welkomat) putus pada masa terjadinya letusan pada zaman Plio-Pleistosen.
Sekarang bagian selatan Selat Sunda ini lebih dari 1.000 m dalamnya.
Punggungan Honje dihubungkan oleh sebuah punggungan rendah lapisan
Pliosen dengan puncak Bayah di Banten tenggara. Pengangkatan ini merupakan
peralihan antara kerangka struktur daerah Selat Sunda dengan Pulau Jawa yang
sebenarnya. Daerah Selat Sunda telah menjadi sebuah tanah tinggi yang luas
pada zaman Tertier serta merupakan ambang di antara basin-basin geosinklinal
Sumatra Timur dan Jawa Utara. Seperti daerah Selat Sunda, pada sisi
uataranya dibatasi oleh pertumbuhan vulkan-vulkan muda, yaitu Malang (909 m),
Endut (1.297 m), Halimun I (1.929 m), Halimun II (1.790 m).
Dataran tanah rendah Banten timurlaut, di sebelah utara dome Bajah dan
sebelah timur kelompok danau vulkanis, terdiri dari lapisan tertier muda yang
mengalami pelipatan yang lemah, dan tertutup oleh tuff Kuarter dan endapan-
endapan alluvial. Arah lipatan itu ialah utara – selatan, yang pada sebelah
kanannya tegak lurus terhadap arah timur – barat pada gesinklinal Jawa Utara.
Lipatan arah utara – selatan ini muncul juga pada permulaan pulau karang di
luar pantai utara Jawa, di sebelah utara Tangerang.
Kerangka sebenarnya Pulau Jawa, di Jawa Barat, di mulai di sebelah timur
garis penghubung antara Kepulauan Seribu dan Pelabuhan Ratu.
Bagian Jawa Barat yang terletak di antara garis ini dengan Cirebon lebarnya
antara 150 – 175 km. Daerah itu dibentuk oleh sebuah dataran tanah rendah
alluvial di bagian utara, dan sebuah jalur berbukit-bukit di bagian selatan yang
merupakan ¼ dan ¾ bagian dari sistem persilangan itu.
Dataran Jakarta lebarnya lebarnya ± 40 km, terbentang dari Serang serta
Rangkasbitung di Banten sampai ke Cirebon. Daerah ini sebagian besar terdiri
dari endapan alluvial sungai dan lahar (mud flows) dari vulkan-vulkan di daerah
pedalamannya, yang kebetulan dilindungi oleh sedimen Tertier yang sedikit
mengalami pelipatan.
Zona Bogor. Ke arah selatan diikuti oleh sebuah jalur yang kompleks terdiri
dari bukit-bukit dan pegunungan-pegunungan, penampang menengahnya juga ±
40 km serta membentang dari daerah Jasinga dekat perbatasan Banten sampai
sungai Pemali dan Bumiayu di Jawa Tengah. Jalur ini boleh disebut zona Bogor,
karena Bogor, yaitu tempat yang utama, berada pada bagian baratnya. Jalur ini
adalah sebuah antiklinorium dari lapisan Neogin yang terlipat dengan kuat
disertai dengan banyak intrusi-intrusi hipoabisal volcanic cocks, stock, bosses,
dsb., (misalnya kelompok Sanggabuana yang menarik perhatian, di sebelah
barat Purwakarta). Bagian baratnya membentang dari barat ke timur, sedangkan
bagian sebelah timurnya arahnya agak baratlaut – tenggara, serta menunjukkan
kerangka (bagan) yang jelas cembung ke arah utara. Bagian timurnya tertutup
oleh vulkan-vulkan muda, seperti kelompok Sunda di sebalah utara Bandung
(puncaknya yang tertinggi ialah Bukit Tunggal 2.2200 m), Tampomas (1.684 m)
dan Ciremai (3.078 m).
Zona Bandung. Satuan fisiografi yang ketiga ialah jalur memanjang, depresi
antar pegunungan, di situ muncul punggungan-punggungan seperti pulau yang
berasal dari lapisan Tertier. Umumnya lebar jalur ini 20 – 40 m. Jalur ini
membentang dari Pelabuhan Ratu di sebelah timur, melalui lembah Cimandiri
(dengan Sukabumi, 600 m), dataran tinggi Cianjur (459 m), Bandung (715 m),
Garut (711 m) sampai lembah Citandui (dengan Tasikmalaya, 315 m) di sebelah
barat dan beralhir pada Segara-anakan pada pantai selatan Jawa Tengah.
Jalur depresi ini boleh disebut zona Bandung, karena Bandung merupakan
kota yang utama di daerah ini. Struktural merupakan bagian puncak geantiklinal
Jawa, yang telah hancur (rusak) sesudah atau selama pertengahan akhir zaman
Tertier. Dalam banyak hal jalur tersebut dapat dibandingkan dengan zona
Semangko pada puncak geantiklinal Barisan di Sumatra, tetapi zana ini lebarnya
hanya 5 – 15 km sedangkan zona Bandung mempunyai lebar lebih dari 40 km.
Sebabnya ialah, karena zona Semangko hanyalah sebuah jalur patahan dengan
graben pada puncak geantiklinal Barisan, sedangkan zona Bandung termasuk
geantiklinal Jawa baik bagian puncaknya maupun sisa sebelah utaranya.
Batas antara zona Bogor dan zona Bandung tertutup oleh sederetan vulkan-
vulkan Kuarter (Kendeng 1.370 m; Gagak 1.511 m; Salak 2.211 m; Pangrango
2.019 m; Gede 2.958 m; kelompok Sunda di sebelah utara Bandung dengan
Burangrang 2.064 m; Tangkubanprahu 2.076 m; Bukittunggul 2.209 m;
Calancang 1.667 m; Caktabuana 1.721 m.
Batas antara zona Bandung dan Pegunungan Selatan juga ditandai oleh
sederetan vulkan-vulkan, Kendeng 1.852 m; Patuha 2.429 m; Tilu 2.040 m;
Malabar 2.321 m; Papandayan 2.420 m; Cikorai 2.821 m. Penampang Garut dari
zona Bandung diapit oleh dua busur vulkan yang melintang, yang satu
memisahkan daerah itu dari plato Bandung (dengan Guntur2.249 m dan
Mandalawangi 1.663) dan yang lain membentuk sebuah bagian dengan lembah
Citandui (dengan Galunggun 2.241 m; Telaga Bodas 2.201 m dan Sedakeling
1.676 m), vulkan padam Sawal (1.733 m) menduduki tempat yang terpisah dari
lembah Citandui di sebelah utara Tasikmalaya.
Zona Bandung sebahagian terisi oleh endapan-endapan vulkan muda dan
endapan-endapan alluvial, tetapi dataran tinggi ini kebetulan terpotong-potong
oleh bukit-bukit dan punggungan-punggungan batuan Tertier. Di antaranya
misalnya punggungan Tertier bawah dan lapisan Miosendi di dekat Sukabumi
dan punggungan Oligo Miosen Rajamandala yang terletak di sebelah selatan
Cianjur. Sebuah analisa morfologis bagian zona Bandung ini diberikan oleh
Pannekoek (1946).
Pada bagian timurnya, pegunungan yang sama muncul di atas tanah
rendah berawa-rawa Citandui, misalnya G. Sangkur (365 m) dekat Banjar pada
sisi barat dekat Lakbok, dan punggungan pegunungan rendah yang
membentang dari Wanareja pada sisi timurlaut rawa ini dengan arah tenggara
sampai Maos pada sungai Serayu. Punggungan ini terdiri dari lapisan neogin
bawah dan batuan-batuan vulkanis. Pada sisi baratdayanya dibatasi oleh jalan
kereta api Meluwung Sidareja – Maos , dan pada sisi timurlautnya oleh jalan
raya Wanareja – Majenang – Jatilawang. Karena adanya punggungan ini, ujung
timur zona depresi Bandung bercabang dua; cabang selatan yang merupakan
cabang yang terlebar, sedangkan cabangnya yang sempit mengikuti dataran
alluvial Puncung – Lumber – Karanggayam – Wangon. Lembah yang terakhir itu
memisahkan punggungan menengah (median ridge) dari ujung tenggara
antiklinarium Bogor. Punggungan menengah ini pada ujung timur dari zona
Bandung boleh disebut punggunganKebanaran atau Kutajaya mengikuti nama
puncak yang tertinggi di daerah itu , yaitu Kebanaran (360 m) atau Kutajaya (339
m). Hal ini menyusun “on echelon” dengan Rangkaian Serayu Selatan Jawa
Tengah yang akan dibicarakan pada paragraf berikutnya.
Satuan fisiografis yang keempat Jawa Barat dibentuk oleh tanah
Pegunungan Priangan Selatan, yang disebut Pegunungan Selatan. Satuan ini
membentang dari Teluk Pelabuhan Ratu sampai Pulau Nusa Kambangan, di
sebelah selatan Segara anakan dekat Cilacap. Rata-rata lebarnya 50 km, tetapi
ujung timurnya menyempit sampai beberapa kilometer pada pulau
Nusakambangan. Seluruh daerah ini menunjukkan sisi selatan geantiklinal Jawa,
yaitu sebuah blok pengerutan yang telah miring beberapa derajat ke arah
selatan. Keadaan fisiografis daerah ini dapat dibedakan: Bagian barat yang
disebut Jampang, keadaan morfologinya telah dibicarakan oleh Pannekoek
(1964). Permukaan erosinya muncul berangsur-angsur dari Samudra Indonesia
sampai setinggi ± 1.000 mdengan beberapa neck vulkanis yang resisten dari
ketinggian yang besar (G. Malang 1.305 m), dan kemudian hancur oleh sebuah
patahan atau flexure sampai zona Bandung.
Bagian tengah atau Pengalengan section adalah bagian yang tertinggi.
Daerah ini bermahkotakan beberapa vulkan padam (misalnya Kancana 2.182 m)
yang kemudia hancur oleh patahan curam dan flexur sampai zona Bandung.
Peralihan antara tepi yang tinggi bagian tengah Pegunungan Selatan dan zona
Bandung ditandai oleh sederetan vulkan kuarter yang sudah disebut pada waktu
menguraikan zona Bandung. Bagian timur Pegunungan Selatan, disebut seksi
Karangnunggal, mirip dengan seksi Jampang yaitu tanah pegunungan yang
agak rendah dan jarang mencapai lebih dari 1.000 m (Bongkok, 1.144 m).
Perbedaan tinggi antara seksi tengah pada satu pihak dan Jampang sampai ke
barat dan daerah Karangnunggal ke arah timur pada pihak yang lain, harus juga
sudah terjadi pada zaman Neogin, sebab transgresi Miosen atas dari sederetan
Bentang Besar, tidak tenggelam di seksi tengah yang pada waktu itu berupa
sebuah pulau.
2. Jawa Tengah
Bagian Tengah Pulau Jawa jauh lebih sempit daripada Jawa Barat dan
Jawa Timur; lebarnya hanya 100 – 120 km. Hal ini disebabkan karena Laut Jawa
terbentang masuk pedalaman sebagai teluk yang lebar antara Cirebon dan
Semarang, sehingga tanah rendah utara menjadi lebih terbatas, atau bahkan
tidak ada; sementara Pegunungan Selatan sebagian besar tenggelam di antara
Nusa Kambangan dan Pegunungan Selatan di Jawa Timur.
Dataran pantai utara Jawa Tengah, lebar maksimumnya 40 km di sebelah
selatan Brebes di mana lembah Pemali memisahkan Rangkaian Bogor (the
Bogor Range) di Jawa Barat dari Pegunungan Selatan di Jawa Tengah. Lebih
jauh ke timur, dataran itu menyempit sampai ± 20 km di sebelah selatan Tegal
dan Pekalongan untuk selanjutnya menghilang seluruhnya di sebelah timur
Pekalongan, di mana bagian utama pegunungan-pegunungan menjadi pantai. Di
antara Weliri dan Kaliwungu terdapat dataran alluvial yang subur dibentuk oleh
delta Kali Bodri.
Tanah Pegunungan Jawa Tengah dibentuk oleh dua cembungan
geantiklinal, yaitu rangkaian Serayu Utara dan Serayu Selatan.
Rangkaian Seraju Utara membentuk rantai penghubung antara Rangkaian
Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di Jwa Timur. Rangkaian
Pegunungan Serayu Selatan ialah sebuah elemen baru yang muncul dari
Depresi Bandung yang memanjang dari Jawa Barat.
Rangkaian Pegunungan Serayu Utara lebarnya 30 – 50 km. Ujung baratnya
tertutup oleh Vulkan Slamet (3.428 m) dan bagian timurnya tertutup oleh hasil-
hasil vulkanis-muda, gunung Rogojembangan (2.177 m), kelompok Dieng
(Prahu, 2.565 m) dan Ungaran (2.050 m). Garis batasnya dengan Rangkaian
Bogor Jawa Barat ialah garis antara Prupuk – Bumiayu – Ajibarang.
Di antara Pegunungan Serayu Utara dan Selatan, terdapat pula sebuah
depresi memanjang yaitu Zona Serayu, di mana terletak Majenang, Ajibarang,
Purwokerto, Banjarnegara dan Wonosobo.
Di antara Purwokerto dan Banjarnegara, zona Serayu itu lebarnya 15 km
dan di sebelah timur Wonosobo menjadi lebih lebar; tetapi di sini sebagian
depresi itu terisi dan tertutup oleh puncak-puncak vulkan muda, yaitu Sundoro
(3.155 m) dan Sumbing (3.317 m). Orografis depresi tersebut di dapatkan lagi
pada dataran Temanggung – Magelang yang merupakan satu-satunya
sederetan dataran antar-pegunungan di Jawa Timur.
Pegunungan Serayu Selatan terdiri dari bagian barat dan bagian timur.
Bagian baratnya (dengan Kabanaran, 360 m) boleh diterngakan sebagai sebuah
pengangkatan pada zona depresi Bandung di Jawa Barat, atau sebagai sebuah
elemen struktural yang baru di Jawa Tengah yang dipisahkan dari Rangkaian
Bogor oleh dataran Majenang serta hulu sungai Cihaur dan Pasir.
Bagian timur Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan membentuk sebuah
geantiklinal pada zona depresi Bandung ini, yang yang dapat dibandingkan
dengan cembungan Pegunungan Bayah pada ujung baratnya. Bagian timur
Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan seluruhnya di pisahkan dari bagian
baratnya oleh lembah Jatilawang yang dimulai dekat Ajibarang sebagai sebuah
antiklinal yang sederhana dan sempit serta terpotong melintang oleh sungai
Serayu. Di sebelah timur Banyumas antiklinal ini berkembang menjadi sebuah
antiklinorium di daerah Lukula (Loh Ula) di sebelah selatan Banjarnegara
(Midangan 1.043 m) kira-kira 30 km lebarnya. Di antara Purworejo dan Kali
Progo ujung timur Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan dibentuk oleh Dome
Pegunungan Kulon Progo yang lebih kurang berdiri sendiri (1.022 m).
Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah lebarnya antara 10 – 25 km. Bagian
dari pantai selatan ini membentuk pantai yang sangat jelas bedanya dari Jawa
Barat dan Jawa Timur yang berbatu-batu, yang terletak tidak lebih dari 10 m di
atas permukaan laut. Tiga punggungan pantai (shore bars) dengan guguk-guguk
pasir (dunes) setinggi 5 – 15 m dan lebar 100 – 500 m membujur sejajar dengan
pantai di antaranya salah satu yang termuda masih berubah-ubah. Dataran
pantai yang rendah ini menghubungkan zona Bandung di Jawa Barat. Di bagian
tengahnya terpotong oleh pegunungan Karangbolong (475 m) yang keadaan
fisiografis strukturalnya sama dengan Pegunungan Selatan di Jawa Barat dan
Jawa Timur. Lain dari itu, Pegunungan Selatan ini telah merosot di bawah
permukaan laut antara Nusa Kambangan dan muara Sungai Opak.
3. Jawa Timur
Di sebelah timur garis Semarang – Yogyakarta, dapat dibedakan sejumlah
jalur-jalur yang sejajar. Zona Selatannya merupakan lanjutan dari zona-zona di
Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan yang di sebelah utara merupakan
elemen baru baik fisografis maupun strukturil.
Di Utara. Muria atau massif Muria (1.602 m), yang berbatuan leucite dan
vulkan Lasem (1.602 m) yang andesitis mencerminkan tidak sesuainya dengan
seri-seri utama dari vulkan-vulkan Jawa.
Gunung Muria itu sekarang dihubungkan dengan Jawa oleh dataran alluvial
Semarang – Demak Kudus Pati – Juwono – Rembang, tetapi selama zaman
Holosen masih merupakan sebuah pulau (sekarang nilai perpindahan dekat
Demak 30 cm per tahun.
Distrik berbukit-bukit Rembang terdiri dari sejumlah punggungan yang
arahnya kurang lebih timur – barat. Tiap-tiap kaki punggungan tersebut diselingi
oleh dataran alluvial (dekat Blora, Jojogan, dan sepanjang hilir Bengawan
Solo).Antiklinorium Rembang ini lebarnya rata-rata 50 km, puncaknya yang
tertinggi mencapai ± 500 m di atas permukaan laut (Gading 535 m, Tungangan
491 m). Bukit-bukit itu kebanyakan mencapai pantai utara dan dari situ
dipisahkan oleh pesisir yang sempit dengan bukit-bukit pasir.
Puncak punggungan yang datar dekat Tuban, terdiri dari kapur karang yang
tampak dari laut seperti peti mayat yang sangat besar.
Bukit-bukit Rembang itu dipisahkan dari Kendeng oleh sebuah jalur
sinklinal, disebut Zona Randublatung letaknya membujur dari Semarang melalui
Purwodadi – Randublatung – Ngimbang sampai Wonokromo dekat Surabaya.
Dekat Randublatung dan Ngimbang, penampang melintang zona ini hanya
beberapa kilometer saja yang menjadi lebih lebar pada bagian yang
bersambungan dengan dataran tanah rendah di antara punggungan Rembang
(misalnya, Lembah hilir Bengawan Solo). Pentingnya struktur sinklinal ini, pada
kenyataannya ialah bahwa arah gerak pelipatan di daerah Rembang pada
umumnya ke selatan; sementara lapisan Kendeng telah didorong ke utara.
Punggungan Kendeng atau antiklinorium Kendeng adalah lanjutan dari
Rangkaian Pegunungan Serayu Utara di Jawa Tengah. Di sebelah selatan
Semarang panjangnya 250 km dan lebarnya 40 km serta menyempit ke arah
timur sampai 20 km. Tingginya jarang lebih dari 500 m. Dekat Ngawi terjadi
sebuah sumbu depresi, di mana punggungan ini secara melintang terpotong oleh
Bengawan Solo, sehingga terbagi menjadi bagian barat dan bagian timur.
Bagian timurnya mencapai lebar maksimumnya (30 km) di dekat vulkan
kecil Pandan (897 m), yang menembus lapisan Tertier pada ujung selatannya.
Dari sini, dalam hal panjang maupun lebarnya, Punggungan Kendeng itu
berangsur-angsur berkurang ke arah timur dan di dekat Mojokerto antiklinalnya
menghilang; sehingga dari sini hanyalah berupa endapan alluvial delta Brantas,
dan dua punggungan antiklinal yang hanya 10 km lebarnya mencapai Selat
Madura dekat Surabaya.
Di antara Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Selatan di Jawa Timur
terbentuk sebuah Zona Depresi, yang keadaan fisiografis-tektonisnya sama
sengan zona Bandung di Jawa Barat. Yang disebut terakhir ini bercabang dua di
Jawa Tengah menjadi zona Serayu dan dataran pantai selatan Jawa Tengah,
yang berdampingan dengan Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan. Di
Lambah Progo dekat Yogyakarta kedua cabang tersebut bertemu membentuk
zona Solo yang lebar di Jawa Timur. Seperti halnya zona Bandung, depresi yang
memanjang di Jwa Timur ini sebagian terisi dan tertutup oleh sederetan vulkan-
vulkan muda dan dapat dibagi lagi menjadi tiga jalur yang sejajar; Subzona
Ngawi, zona Solo (Solo zone sensu stricto) dan subzona Blitar.
Subzona Ngawi ialah depresi sinkloinal yang membatasi sisi selatan
Pegunungan Kendeng yang dimulai dekat Simo dan dapat dianggap sebagai
kelanjutan zona Serayu di Jawa Tengah, yang dapat dilanjutkan melalui Sragen
dan Ngawi sampai jombang, dan di situ berhubungan dengan dataran alluvial
Delta Brantas. Tetapi secara struktural subzona Ngawi ini harus dilanjutkan ke
timur melalui punggungan Pegunungan Penanggungan (1.653 m) dan Ajasmoro
melalui Bangil sampai pantai utara Jazirah Jawa Timur.
Zona Solo (sensu stricto) dibentuk oleh sederetan besar vulkan-vulkan
kuarter dengan dataran-dataran antar pegunungan yang dimulai dengan
Sundoro (3.135 m) dan Sumbing (3.371 m) di Jawa Tengah.
Kali Brantas adalah sungai yang kedua panjangnya di Jawa sesudah
Bengawan Solo. Mata airnya di lereng selatan Anjasmoro, yang menaglir ke
selatan melalui dataran Malang dan membelok dengan nyata ke arah barat
dekat Kepanjen. Setelah membelok ke barat ± 70 km terus mengalir ke utara
dekat Tulungagung sampai mencapai zona Kendeng yang sebagian tertutup
oleh endapan alluvialnya di daerah Jombang dan Mojokerto. Di sini sungai itu
mengalir ke arah timur dan dekat Mojokerto mencapai delta Brantas dan menjadi
dua menjadi sungai Mas (muaranya dekat Surabaya) dan sungai Porong (yang
sampai ke Selat Madura dekat Bangil). Sekarang mura sungai Porong jaraknya
hanya 40 km dari sungai induknya, sehingga sebuah jerat yang tertutup
terbentuk di sekeliling kelompok vulkanis dari pegunungan Anjasmoro – Kelud –
Kawi. Luas daerah penangkap hujannya ± 11.000 km2 sedangkan lumpur sungai
Brantas adalah 1,3 kg per 1 m3 yaitu lebih sedikit daripada separuh muatan
sungai Solo, yang besarnya 2,75 kg/m3. Pemindahan garis pantai sebesar 7 m
tiap tahun di dekat muara sungai Brantas, dan 9 – 15 m di dekat muara sungai
Porong. Pada zaman dahulu (abad ke-10) muara sungai Brantas masih berupa
estuarium yang lebar serta merupakan sebuah pelabuhan alam yang baik.
Di sebelah selatan zona vulkan-vulkan kuarter zona Solo (snsu strico),
dapat dikemukakan sebuah sub-zona yang ketiga yang disebut subzona Blitar.
Di bagian selatan Subzona Blitar itu dibatasi oleh Pegunungan Selatan
Jawa Timur. Seperti halnya di Jawa Barat, Pegununga Selatan Jawa Timur
merupakan blok yang terangkat dan miring ke laut, di mana erosi telah
diremajakan. Batas utaranya ditandai oleh sebuah escarpment yang ruwet.
Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan surakarta,
sedngakan di sebelah selatan Blitar hanya 25 km.
Bagian timur itu (di antara Opak dan Pacitan) sebagian terdiri dari Kapur
dengan tipe Karst yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu
(Lehmann, 1936). Di antara Pacitan dan Popoh, bagian utara Pegunungan
Selatan terdiri dari endapan-endapan vulkanis yang lebih tua; di sini juga
menunjukka sisa (bekas) peneplain kuarter yang dapat diamati (Gembes 1.243
m). Bagian selatan tertutup oleh kapur Pegunungan Seribu. Jalur sempit di
sebelah selatan Brantas terutama terdiri dari kapur, dengan klif abrasi yang terjal
di sepanjang Samudra Indonesia.
4. Jazirah Jawa Timur dan Madura
Madura yang luasnya 4.382 km2, panjangnya 160 km, lebar maksimum 38
km, tinggi maksimum 471 m; merupakan perluasan ke timur dari Bukit-bukit
Rembang. Terpisahnya dari Jawa mungkin terjadi dalam tahun 80 sebelum
Masehi (Stutterheim, 1929).
Selat Madura yang di manapun tidak lebih dari 100 m dalamnya dan lebar
maksimumnya 68 km merupakan lanjutan dari Pegunungan Kendeng yang ujung
timurnya tenggelam di bawah delta Brantas. Ke arah timur selat ini masuk ke
Laut Bali yang termasuk backdeep dari Kepulauan sunda Kecil.
Pantai Utara yang sempit dari Jazirah Jawa Timur ini menunjukkan endapan
Plio-Pleistosen yang terlipat, serta tertutup oleh vulkan-vulkan kecil. Dari timur ke
barat dapat dibedakan elemen-elemen berikut: antiklinal Bangil, bukit tuff
Sumongkrong (84 m), bukit-bukit Probolinggo (38 m, 104 m) vulkan lurus (539
m), Pegunungan Ringgit – Beser (masing-masing 1.250 m, dan 1.303 m) dan
vulkan Balurang (1.247 m). Jalur pantai ini menunjukkan lanjutan timur dari tepi
selatan antiklinorium Kendeng yang berisi vulkan Pandan, antiklinal Jombang
dan Mojokerto dan vulkan Penanggungan.
Di sebelah selatan, jalur pantai yang sempit ini diikuti oleh lanjutan timur dari
subzona Ngawi yang dapat diikuti melalui dataran rendah Tampung (di antara
Bangil dan Lawang) dan Danau Grati (di antara Semongkrong dan Tengger)
sampai ke dataran Probolinggo dan Bondowoso.
Kemudian sampailah kita pada zona Solo (sensu strico) yang terdiri dari
sederetan vulkan dan dataran antar pegunungan, seperti di Jawa Tengah.
Subzona Blitar Jawa Timur membujur ke timur searah dengan jalan dari
Kepanjen dan Turen ke Pasiran. Di sini tanah rendah Lumajang – Jember
mencapai pantai selatan di Grojogan.
Pegunungan Selatan di Jazirah Jawa Timur tidak berlangsung terus
(berhenti) dan terdiri dari tiga bagian yang kurang lebih terpencil. Bagian
baratnya (sebelah selatan Turen) lebarnya kurang lebih 25 km dan langsung
dihubungkan dengan Pegununga Selatan Jawa Timur. Di antara Pasirian dan
Turen, pegunungan selatan itu terpotong oleh tanah rendah Lumajang. Tetapi
Pulau Nusa Barung (sebelah selatan Puger), secara strukturil termasuk
kepadanya, serta merupakan penghubung dengan bagian lanjutan dari
Pegunungan Selatan di antara Puger dan sungai Baru (Betiri, 1.223 m). Di
sebelah selatan Rogojampi tanah rendah itu sekali lagi mencapai pantai selatan.
Dari situ Bukit Pumpangpitu yang terpencil muncul sampai setinggi 489 m.
Akhirnya bagian yang paling Timur dari Pegunungan Selatan dari seksi Jawa ini
ditunjukkan dengan semenanjung Blambangan atau Purwo (360 m),
dihubungkan dari pulau yang utama oleh dataran alluvial yang 22 km lebarnya.
Bagian yang hancur dari Pegunungan Selatan di lanjutkan ke timur, di Bali dan
Lombok, di mana bagian-bagian itu dipisahkan oleh selat laut sebagai pengganti
dataran-dataran alluvial.
B. KOLOM STATIGRAFI PULAU JAWA
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang
mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya
dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik dimulai dari Kapur
Akhir hingga sekarang. Kita bahas dari kapur akhir sampai paleocene ye,.
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan
Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah
Sunda Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti
oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan
pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan).
Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra
–Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc
basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di
Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir – Paleosen, fragmen benua yang
terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung-
Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia
Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement
bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi
Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi
di Sumur Rubah- 1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056
kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit.
Docking (mera-patnya) fragmen mikrokontinen pada bagian tepi timur
Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus
dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan
Pegunungan Meratus.
Ini gambar rekonstruksi skematis perkembangan tektonik kapur-
paleosen (Prasetyadi, 2007)
Masih membahas tentang sejarah tektonisme pulau jawa, evolusi
tektonik tersier pulau jawa memasuki periode Eosen (Periode Ekstensional
/Regangan). Periode ini terjadi Antara 54 jtl – 45 jtl (Eosen), dimana di
wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan
berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India.
Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak
lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara
mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini
diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona
subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik
regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia
Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama
(Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan
Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan
extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar
regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen
mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah
cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra,
Jawa, dan Kalimantan Tenggara).
C. PERSEBARAN BAHAN GALIAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM DI PULAU JAWA
Minyak bumi yang di eksplorasi dan dikonsumsi setiap hari lambat laun akan
habis, sedangkan proses terbentuknya memakan waktu jutaan tahun. Ketersedian
minyak bumi saat ini diperkirakan hanya mencukupi beberapa tahun saja seiring
makin meningkatnya konsumsi.
Para ahli geologi umumnya sepakat bahwa proses terbentuknya lapisan
minyak bumi dalam hitungan jutaan tahun. Batuan yang mengandung minyak bumi
tertua diketahui berumur 600 juta tahun dan yang termuda berumur 1 juta tahun.
Rata-rata batuan yang mengandung minyak bumi berumur antara 10 juta hingga
270 juta tahun.
Tiga faktor utama dalam pembentukan Minyak dan gas bumi yaitu, bebatuan
asal (source rock), perpindahan hidrocarbon dari bebatuan asal menuju bebatuan
reservoir dan ketiga adanya jebakan (entrapment) geologis.
Komponen pendukung terbentuknya minyak bumi berasal dari organisme
tumbuhan dan hewan berukuran sangat kecil yang hidup dilautan purba yang mati
dan terkubur, kemudian tertimbun pasir dan lumpur didasar laut selama jutaan tahun
membentuk lapisan yang kaya zat organik yang akhirnya akan membentuk batuan
endapan (sedimentary rock), proses ini akan terus berulang dimana satu lapisan
akan menutupi lapisan sebelumnya selama jutaan tahun. Kemudian lapisan lautan
tersebut ada yang menyusut dan berpindah tempat akibat pergeseran bumi.
Deposit yang membentuk endapan tersebut umumnya tidak mengandung
cukup oksigen untuk mendekomposisi material organik secara komplit. Bakteri
mengurai zat ini, molekul demi molekul menjadi menjadi material yang kaya dengan
kandungan hidrogen dan karbon. Dengan tekanan temperatur yang tinggi lapisan
bebatuan diatasnya akan mendestilasi sisa bahan organik sedikit demi sedikit dan
mengubahnya menjadi minyak dan gas bumi.
Berdasarkan umur dan letak kedalamannya, minyak bumi digolongkan menjadi
4 jenis, pertama young-shallow, old-shallow, young-deep dan old-deep. Dari empat
jenis minyak tersebut, Minyak jenis old-deep merupakan yang paling banyak dicari
(sweet) karena dapat menghasilkan bensin (gasoline) lebih banyak dibandingkan
dengan jenis lainnya.
Memperhatikan proses terbentuknya minyak dan gas bumi yang rumit dan
memakan waktu yang sangat lama, maka sudah seharusnya didalam
mengkonsumisi energi dapat lebih bijak, efisien dan tepat guna, sehingga
penggunaan energi fosil dapat ditekan.
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon province.
Cekungan ini terletak diantara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan Bogor di
Selatan, daerah pengankatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau Seribu di
Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang
berarah Utara-Selatan. Patahan yang berarah Utara-Selatan membagi cekungan
menjadi graben atau beberapa sub-basin, yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat,
Rangkas Bitung dan beberapa tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cimalaya,
Pamanukan, Kandanghaur-Waled, Rengasdengklok, dan Tangerang. Menurut
Soejono (1989), berdasarkan stratigrafi dan pola strukturnya, serta letaknya yang
berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata Cekungan Jawa
Barat Utara telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak
Eosen sampai dengan sekarang.
(Lokasi Cekungan Jawa Barat Uara)
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari beberapa sub-cekungan (Jatibarang,
Ciputat, dan Pasir Putih yang masing-masing dipisahkan satu dengan yang
lainnya oleh tinggian-tinggian (Pamanukan, Rengasdengklok, Tangerang, dan
Arjawigangun). Konfigurasi sub-cekungan dan tinggian-tinggian ini sangat
dipengaruhi oleh penyebaran fasies batuan sedimen berumur Tersier baik
sebagai batuan induk (Source Rock) maupun sebagai reservoir. Hydrocarbon
yang ditemukan di Cekungan Jawa Barat Utara sebagian besar dihasilkan oleh
batugampig Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan, Formasi Parigi dan Formasi
Jatibarang. Ketebalan sedimen berkisar antara 3000m – 4000m pada sub-
cekungan dan kurang dari 1000m pada tinggian-tinggian (Reminton and Nasir,
1986).
(Fisiografi Cekungan Jawa Barat Utara)
Tektonik dan Struktur Geologi Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di Utara
dan Barat (onshore) di Selatan (Sidi dkk, 2000). Seluruh area didominasi oleh
patahan ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur
kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan
yang membentuk beberapa struktur deposenter (half graben), deposenter
utamanya yaitu Sub-Cekungan Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi
oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi 5500m. Struktur yang penting
pada cekungan tersebut terdiri dari bermacam-macam area tinggian yang
berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dengan blok tinggian (horst
block), lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, dan keystone
folding yang mengenai tinggian pada batuan dasar, struktur kompresional hanya
terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah relatif Barat Laut –
Tenggara pada perione Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen.
(Kondisi Tektonik Cekungan Jawa Barat Utara)
Tektonik Jawa Barat Utara dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari
Pra-Tersier hingga Plio-Pleistosen, yaitu :
1. Tekonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat diklasifikasikan
sebagai Fore Arc Basin dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari
Cileutuh, Sub-Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah, dan Cekungan
Florence Barat yang mengindikasikan kontrol Meratus Trend.
Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) dikenal sebagai Paleogene Extensional
Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar kanan kraton Sunda akibat
dari prestiwa tumbukan lempeng hindia dengan lempeng Eurasia. Sesar-sesar
ini mewakili pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia bagian Barat
dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.
Tektonik ekstensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half graben system) dan
merupakan fase pertama rifting. Sedimen yang diendapkan pada fase rifting
pertama disebut sebagai sedimen synrift. Cekungan awal rifting terbentuk
selama fragmentasi, rotasi dan pengerakan dari kraton sunda. Dua trend sesar
normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting fase pertama memiliki arah
N 060o W – N 040 o W dan hampir N-S yang dikenal sebagai pola sesar sunda.
Pada masa ini terbentuk endapan lakustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang
yang menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem
ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi
Baturaja
2. Tektonik Kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligosen-Miosen) dan
dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan
pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif dan tumbukan Lempeng
Hindia. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktifitasi dari sesar
normal yang terbentuk pada periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di Selatan Jawa. Jalur volkanik periode gunung
api ini menghasilkan endapan gunung api bawah laut yang sekarang dikenal
sebagai old andesite yang tersebar disepanjang Selatan Pulau Jawa. Pola
tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang mengubah pola tektonik tua yang
terjadi sebelumnya menjadi berarah Barat-Timur dan meghasilkan suatu sistem
sesar naik, dimulai dari Selatan (Cileutuh) bergerak ke Utara. Pola sesar ini
sesuai dengan sistem sesar naik belakang busur atau yang dikenal dengan trust
fold belt system.
3. Tektonik Ketiga
Fase tektonik ketiga adalah fase tektonik terakhir yang terjadi pada Pliosen-
Pleistones, dimana terjadi proses kompresi kembali dan membentuk perangkap-
perangkap struktur berupa sesar-sesar naik dijalur Selatan Cekungan Jawa
Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan
sesar naik Subang, sedangkan dijalur Utara Cekungan Jawa Timur Utara
terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap
struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon.
Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara
Peiode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala
Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan
sedimentasi vulkanik darat sampai laut dangkal Formasi Jatibarang. Pada saat
itu aktivitas vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi antara
lempeng disebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerah-daerah yang masih
labil sering mengalami aktifitas tektonik. Material-material vulkanik dari arah
timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala
Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif
dilingkungan transisi sampai delta hingga laut dangkal yang setara dengan
Formasi Talang Akar (Equivalent Formasi Talang Akar). Pada awal periode,
daerah cekungan terdiri dari dua lingkungan pengendapan yang berbeda, yaitu
bagian Barat berupa paralic water sedangkan bagian Timur berupa laut dangkal.
Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah
menjadi agak stabil, hanya sub-cekungan Ciputat yang masih aktif. Kemudian air
laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai
bagian Barat Laut terus ke arah Tenggara menggenangi beberapa tinggian
kecuali Tinggian Tangerang. Tinggian-tinggian inilah sedimen-sedimen klastik
yang dihasilkan setara dengan Formasi Talang Akar.
Pada akhir Miosen Awal seluruh daerah cekungan relative stabil. Daerah
Pamanukan sebelah Barat merupakan paparan laut dangkal, tempat sedimen
karbonat berkembang dengan baik sehingga membentuk kesetaraan dengan
Formasi Baturaja (Equivalent dengan Formasi Baturaja), sedangkan pada
bagian timur merupakan dasar cekungan yang lebih dalam.
Pada kala Miosen Tengah yang merupaka fase regresi, Cekungan Jawa Barat
Utara diendapkan sedimen-sedimen laut dagkal dari Formasi Cibulakan Atas.
Sumber sedimen yang utama Formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari
arah Utara – Barat Laut. Pada akhir Miosen Tengah kembali menjadi kawasan
yang stabil, batugamping berkembang dengan baik. Perkembagan yang baik ini
dikarenakan aktivitas tektonik sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal.
Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan
Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit
perubahan tempat kondisi laut berubah kelingkungan paralik.
Pada kala Pleistosen, sedimen berupa alvium menandai sebagai pengangkatan
sumbu utama/panjang Pulau Jawa. Pengankatan ini juga diikuti oleh
meningkatnya aktivitas vulkanisme dan diikuti pembentukan struktur utama
Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-
tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Sedimentasi berbutir kasar
diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.
Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara
Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur mulai kala
Eosen Tengah sampai Kuarter. Sedimen tertua berumur Eosen Tengah, Formasi
Jatibarang yang diendapkan secara tidak selaras diatas batuan dasar/basement.
(Penampang Geologi Cekungan Jawa Barat Utara)
Urutan stratigrafi regional dari yang paling tua berturut-turut: basement, Formasi
Jatibarang, Formasi Cibulakan Bawah (Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja),
Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main, Pre-Parigi), Formasi Parigi dan Formasi
Cisubuh. Urutan stratigrafinya sebagai berikut:
1. Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur
Tengah sampai Kapur Atas dan batuan Metamorf yang berumur Pra Tersier
(Sincalir, et, al, 1995). Lingkungan Pengendapannya merupakan satu
permukaan dengan sisa vegetsi tropis yang lapuk (Koesumadinata, 1980).
2. Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai dibagian tengah
dan Timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian Barat cekungan ini
kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini
terdiri dari tuff, breksi, aglomerat, dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan
pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah Eosen Akhir sampai Oligosen Awal.
Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-
rekahan tuff (Budiyanti, et. al,1991).
3. Formasi Talang Akar
Formasi ini terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Jatibarang. Litologi
penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari serpih gampingan dengan sedikit
kandungan pasir, batulanau dengan sisipan batupasir terkadang juga dijumpai
konglomerat secara lokal. Pada bagian atas disusun oleh batuan karbonat.
Formasi ini terbentuk pada lingkungan delta sampai laut yang merupakan hasil
dari fase transgresi kedua pada Neogen (Sinclair, et.al, 1995). Adapun
pembentuk formasi ini terjadi dari kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
Pada formasi ini juga dijumpai lapisan batubara yang kemungkinan terbentuk
pada lingkungan delta. Batubara dan serpih tersebut merupakan batuan induk
(source rock) untuk hidrokarbon. Ketebalan formasi ini berkisar antara 50 –
300m (Budiyanti, et.al, 1991).
4. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar. Adapun
litologi penyusunnya berupa batugamping terumbu dengan penyebaran tidak
merata. Pada bagian bawah tersusun oleh batuagamping massif yang semakin
ke atas semakin berpori. Selain itu juga ditemukan dolomit, interklasi serpih
glaukonitan, napal, rijang, dan batubara. Formasi ini terbentuk pada kala Miosen
Awal – Miosen Tengah (terutama asosiasi foraminifera). Lingkungan
pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar
matahari (terutama dari melimpahnya foraminifera Spriroclypeus sp.) ketebalan
formasi ini berkisar pada 50m (Budiyani, et.al, 1991).
5. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan
batugaming. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugaming
klastik serta batugamping termbu yang berkembang secara setempat-setempat.
Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini
diendapkan pada kala Miosen Awal – Miosen Akhir.
Formasi ini terbagi menjadi 3 anggota formasi, yaitu Massive, Main, dan Pre-
Parigi sebai berikut :
Massive Unit
Satuan ini terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Baturaja. Litologi
penyusun satuan ini adalah perselingan antara batulempung dengan batupasir
yang mempunyai ukuran butir halus-sedang. Pada formasi ini dijumpai
kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu, terdapat fosil
foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera bentonik seperti
Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).
Main Unit
Satuan ini terendapkan secara selaras diatas Massive Uinit. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang
mempunyai ukuran butir pasir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal
pembentukannya, berkembang betugampin dan terdapat lapisan tips betupasir
yang pada bagian ini dibedakan dengan Main Unit itu sendiri, sehingga disebut
sebagai Mid Main Carbonate (Budiyanti, et.al, 1991).
Pre-Parigi Unit
Satuan ini terendapkan secara selaras diatas Main Unit. Adapun litologi
penyusunnya adalah erselinga batugamping, dolomit, batupasir, dan batulanau.
Formasi ini terbetuk pada kala Miosen Tengah-Akhir. Lingkungan
pengendapannya adalah neritik tengah-dalam (Arpandi dan Patmosukismo,
1975), hal ini dapat ditafsirkan dari dijumpainya adanya biota laut dangkal dan
juga kandungan batupasir glaukonitan.
6. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Pre-Parigi. Litologi
penyusunnya sebagian besar adalah batugamping abu-abu terang, berfosil dan
berpori dengan sedikit dolomit. Adapun litologi penyusun yang lain adalah serpih
karbonatan, napal yang dijumpai pada bagian bawah. Kandungan koral, alga
cukup banyak dijumpai selain juga bioherm dan biostrom. Selain itu juga
dijumpai foraminifera besar seperti Alveolina quoyi, foraminigera bentonik kecil
seperti Quiquelculina korembatira, foraminifera plangtonik seperti Globigerina
siakensis. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut dangkal-neritik
tengah (Arpandi dan Patmosukismo, 1975). Batugamping pada formasi ini
umunya dapat menjadi reservoir yang baik karena mempunyai porositas
sekunder dan permeabilitas yang besar. Ketebalan formasi ini lebih kurang 400
m. dari hasil penelitian terdahulu, tidak semua karbonat pada formasi ini
menghasilkan hidrokarbon, hanya pada puncak tutupan dari sembulan karbona
yang terbentuk didaerah shoal dan juga karena tutupan tersebut berasosiasi
dengan sesar yang berfungsi sebagai jalan migrasi (Sinclair, et.al, 1995).
7. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Parigi. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih
gampingan, mengandung banyak glaukonit,lignit, sedikit rijang, pirit, dan fragmen
batuan beku vulkanik. Pada bagian bawah terdapat kandungan fosil yang
semakin keatas semakin sedikit. Umur formasi ini adalah Miosen Akhir sampai
Plio-Pleistosen. Formasi Cisubuh diendapkan pada fase regresi pada Neogen,
hal ini dapat dilihat dari semakin keatas formasi ini semakin bersifat pasiran
dengan dijumpai batubara. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal
yang semakin keatas menjadi lingkungan litoral-paralik (Arpandi dan
Patmosukismo, 1975). Hidrokarbon tidak pernah ditemukan pada formasi ini.
Ketebalan formasi ini berkisar anara 1000m – 1200m (Budiyani, 1991).
(Penampang Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)
Petroleum Sistem Cekungan Jawa Barat Utara
Hampir seluruh formasi di Cekungan Jawa Barat Utara dapat menghasilkan
hidrokarbon yang mempunyai sifat berbeda, baik dari lingkungan pengendapan
maupun porositas batuannya.
1. Batuan Induk
Pada Cekungan Jawa Barat Utara terdapat tiga tipe utama batuan induk, yaitu
lacustrine shale (Oil Prone), fluvio deltaic coals, fluvio deltaic shales (Oil and
Gas Prone) dan marine claystone (bacterial gas) (Gordon,1985). Studi geokimia
dari minyak mentah yang ditemukan di Pulau Jawa dan Lapangan Lepas Pantai
Ardjuna menunjukan bahwa fluvio deltaic coals dan serpih dari Formasi Talang
Akar bagian atas berperan dalam pembentukan batuan induk yang utama.
Beberapa peran serta dari lacustrine shale juga ada terutama pada sub
cekungan Jatibarang. Kematangan atuan induk di Cekungan Jawa Barat Utara
ditentukan oleh analisa batas kedalaman minak dan kematangan batuan induk
pada puncak gunung Jatibarang atau dasar puncak dari Formasi Talag Akar
atau bagian bawah Formasi Baturaja (Reminton dan Pranyoto, 1985).
1.a. Lacusrine Shales
Lacrustrine Shale terbentuk pada suatu periode syn rift dan berkembang dalam
dua macam fasies yang kaya material organic. Fasies petama adalah fasies
yang berkembang selama iniial-roft fill. Fasies ii berkempbbang pada Formasi
Banuwati dan ekuivalen Formasi atibarang sebagai lacustrine clastic dan
vulkanik klastik (Noble, et.al, 1997). Fasies kedua adalah fasies yang terbentuk
selama akhir syn rift dan berkembang pada bagian bawah ekuivalen Formasi
Talang Akar pada formasi ini batuan indukk dicirikan oleh klastika non marine
berukuran kasar dan interbedded antara batupasir dengan lacustrine shale.
1.b. Fluvio Deltaic Coal & Shale
Batuan induk ini dihasilkan oleh ekuivalen Formasi Talang Akar yang
diendapkan selama post rift sag. Fasies ini dicirikann leh coal bearing sediment
yang terbentuk pada system fluvial pada Oligosen Akhir. Batuan induk tipe ini
menghasilkan mnyak dan gas (Moble, et.al, 1991).
1.c. Marine Lacustrine
Batuan induk ini dihasilkan oleh Formasi Parigi dan Cisubuh pada cekungan laut.
Batuan ini dicirikan oleh proses methanogenic bacterina yang menyebabkan
degradasi material organik pada lingkungan laut.
2. Batuan Reservoir
Semua formasi dari Jatibarang hingga Prig merupakan interval dengan sifat fisik
reservoir yang baik, banyak lapangan mempunyai daerah timbunan cadangan
yang terlipat. Cadangan terbesar mengandung batupasir main atau massive dan
Formasi Talang Akar. Minyak diproduksi dari rekahan volkanclastic dari Formasi
Jatibarang (Amril, et.al, 1991). Pada daerah dimana batugamping Baturaja
mempunyai porositas yang baik kemungkinan menghasilkan akumulasi endapan
yang agak besar. Timbunan pasokan sedimen dan laju sedimentasi yang tingg
pada daerah shelf, diidentifikasikan dari clinoforms yang menunjukkan adanya
progradasi. Pemasukan sedimen ini disebabkan oleh pembauran ketidak
stabilan tektonik yang merupakan akibat dari subsidence yang terus menerus
pada daerah foreland dari Lempeng Sunda (Hamilton, 1979). Pertambahan yang
cepat dalam sedimen klastik dan laju subsidence pada Miosen Awal
diinterpretasikan sebagai akibat dari perhentian deposisi Batugamping Baturaja.
Anggota Main dan Massive menjadi dasa dari sequence transgressive marine
yang sangat lambat, kecuali yang berdekatan dengan akhir dari deposisi
anggota Main. Ketebalan seluruh sedimen bertambah dari 400 feet pada daerah
yang berdekatan dengan paaleoshorline menjadi lebih dari 5000 feet pada Sub
cekungan Ardjuna (Noble, et.al, 1997).
3. Jenis Jebakan
Jenis jebakan hidrokarbon pada semua system petroleum di Jawa Barat Utara
hamper sama, hal ini disebabkan evolusi tektonik dari semua cekungan sedimen
sepanjang batas Selatan dari Kraton Sunda, tipe struktur geologi dan
mekanisme jebakan yang hampir sama. Bentuk utama struktur geologi adalah
dome anticlinal yan lebar dan jabakan dari blok sesar yang miring. Pada
beberapa daerah dengan reservoir reefal built-up, perangka stratigrafi juga
berperan. Perangkap stratigrafi yang berkembang uumnya dikarenakan
terbatasnya penyebaran batugamping dan perbedaan fasies.
4. Jalur Migrasi
Migras hidrokarbon terbagi menjadi dua, yaitu migrasi primer dan sekunder,
migrasi primer adalah perpindahan hidrokarbon dari batuan induk kemudian
masuk de dalam reservoir melalui lapisan penyalur (Kosoemadinata, 1977).
Migrasi sekunder dapat dianggap sebagai pergerakan fluida dalam batuan
penyalur menujju trap.
Jalur untuk perpindahan hidrokarbon mungkin terjadi daei jalr keluar yang lateral
dan atau vertical dari cekungan awal. Migrasi lateral mengambil tempat didalam
unit-unit lapisan dengan permeabilitas horizontal yang baik, sedangkan migrasi
vertical terjadi ketika migrasi yang utama dan langsung yang tegak menuju
lateral. Jalur migrasi lateral berciri tetap dari unit-unit permeable. Pada
Cekungan Jawa Barat Utara saluran utama utuk migrasi lateral lebih banyak
berupa celah batupasir yang mempunyai arah Utara-Selatan dari anggota Main
maupun Massive (Formasi Cibulakan Atas). Sesar menjadi saluran utama untuk
migrasi vertical dengan transportasi yang cepat dari pergerakan sesar (Noble,
et.al, 1997).
5. Lapisan Penutup
Lapisan penutup atau tudung merupakan lapisan impermeable yang dapat
menghambat atau menghentikan jalannya hidrokarbon. Litologi yang sangat baik
sebagai lapisan penutup ialah batulempung dan batuan evaporit.
Pada Cekungan Jawa Barat Utara, hampir setiap Formasi memiliki lapisan
penutup yang efektif. Namun formasi yang bertindak sebagai laposan penutup
uatama adalah Formasi Cisubuh, karena Formasi ini memiliki litologi yang baik
sebagai lapisan penutup (impermeable).
(Hydrocarbon Play Cekungan Jawa Barat Utara)
D. PERSEBARAN BAHAN GALIAN EMAS DI PULAU JAWA
Emas pada umumnya terdapat pada suatu zona hidrotermal dimana
pada umunya zona hidrotermal merupakan daerah vulkanis. Genesis emas
sendiri dikatakan bahwa emas berasal dari suatu reservoar yaitu intibumi
dimana kemudian air magmatik yang mengandung ion sulfida, ion klorida,
dan ion tio kompleks mengangkut logam emas ke permukaan bumi. Arah
aliran dari larutan kimia yang mengandung emas ini pada umumnya seara
dengan saluran magma pada gunungapi membentuk urat-urat (vein) emas.
Saat larutan emas terendapkan pada saluran magma yang telah membeku
proses hidrotermal yang merupakan kegiatan pos vulkanis terjadi dari kontak
air meteorik dengan batuan yang panas atau gerakan air magmatik ke atas
dimana keduanya membawa dan melarutkan ion sulfida-klorida-tio kompleks
yang menyebabkan emas semakin terendapkan di permukaan bumi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka analisis keterdapatan emas dapat
dilacak dari adanya jejak proses sirkulasi hidrotermal atau umum disebut
epitermal dalam dunia tambang di suatu area, Pyrite (Fe2S) yang disebut
Fool Gold juga sering dijumpai bersama dengan emas. Kandungan emas
sebagai inklusi juga kadang dapat ditemui dalam perak dan batuan yang
mengandung tembaga.
Endapan emas juga dapat terbentuk melalui proses pelapukan batuan
beku dan urat emas yang dapat mengikis dan memindahkan mineral emas
dimana mineral emas akan tersedimentasi dalam material yang berbutir
sangat halus yaitu material lempung. Jika tidak terjadi intrusi, mineral emas
bisa saja ada pada batugamping yaitu mineral emas dari hasil pelapukan
batuan beku yang mengalami proses hidrotermal di tempat yang jauh, namun
kemunginannya sangat kecil sekali terdapat kandungan emas yang besar
dan menguntungkan secara ekonomis dalam batugamping karena sifat
batugamping yang sangat porus sehingga mineral emas tidak mungkin
tersedimentasi dalam batugamping.