Geologi Regional Pulau Jawa

37
A. GEOLOGI REGIONAL PULAU JAWA Secara garis besar, perkembangan atau evolusi geologi Indonesia di pengaruhi oleh tiga lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Hindia- Australia, dan Lempeng Pasifik. Untuk evolusi geologi pulau jawa itu sendiri, lebih dominan dipengaruhi oleh pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Autralia

description

TUGAS KULIAH

Transcript of Geologi Regional Pulau Jawa

Page 1: Geologi Regional Pulau Jawa

A. GEOLOGI REGIONAL PULAU JAWA

Secara garis besar, perkembangan atau evolusi geologi Indonesia di

pengaruhi oleh tiga lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Hindia-

Australia, dan Lempeng Pasifik.

Untuk evolusi geologi pulau jawa itu sendiri, lebih dominan dipengaruhi

oleh pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Autralia

Page 2: Geologi Regional Pulau Jawa

Dimana sebelum pembentukan pulau Jawa seperti sekarang ini, Jawa timur

dan Jawa barat merupaka dua daratan yang terpisah, seperti gambar berikut,

Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur

geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-

pola yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah

penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress

regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola

umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola

Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat (E-W)

(Gambar 7).

Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut – Barat Daya

(NE-SW) menjadi relatif Timur – Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang

telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit

disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut.

Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah

sekitarnya.

Page 3: Geologi Regional Pulau Jawa

Gambar 7. Pola stuktur di Pulau Jawa berupa pola Meratus , pola Sunda dan arah

Timur – Barat (Sujanto dan Sumantri , 1977 dalam Natalia dkk., 2010).

Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian

tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra- Tersier di

daerah KarangSambung.

Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati,

“Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola

konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo.

Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.

Pola Sunda berarah Utara - Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan

sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.Ekspresi yang

mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri,

Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna.

Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan.Pola Jawa di bagian

barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sesar-sesar

dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang

terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan (Gambar 8). Di bagian Timur

ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.

Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola

yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai

Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang

Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh

aktivitas tektonik yang lebih muda.

Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola

Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen

Akhir hingga Oligosen Akhir.

Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola

yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994 dalam Natalia dkk., 2010 ). Data

seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif

hingga sekarang.

Page 4: Geologi Regional Pulau Jawa

Garis besar fisiografi Pulau Jawa pernah dibahas oleh Pannekoek.

Kemudian dalam usahanya membahas penduduk Pulau Jawa, Horstmann dan

Rutz mengaitkan pemusatan-pemusatan penduduk dengan bentuk medan atau

fisiografi.

Bahasan tentang fisiografi dalam karangan ini, sedikit banyak didasari oleh

kedua usaha di atas, meskipun ada beberapa perbedaan yang maksudnya untuk

lebih memperinci.

Ada empat unsur utama sebagai bentuk medan Pulau Jawa, yaitu:

1. Wilayah Lipatan tertier Selatan, dengan dataran-dataran rendah yang

tercakup di antaranya.

2. Wilayah pegunungan Tengah, yang sebenarnya adalah sebuah depresi,

tetapi karena tutupan bahan volkanik, wilayah ini menjadi tinggi.

3. Wilayah Lipatan Utara dengan berbagai bentuk antaranya.

4. Wilayah Dataran Aluvial yang terutama terdapat di pesisir Jawa Barat.

Di antara wilayah-wilayah fisiografi secara garis besar itu, terdapat bentuk-

bentuk medan yang berbeda dengan bentuk umum wilayah yang bersangkutan ,

seperti misalnya Dataran Rendah Grajangan, Sukamade Lumajang di Wilayah

Page 5: Geologi Regional Pulau Jawa

Lipatan Selatan Jawa Timur. Dataran Rendah Kedu Selatan dan Lembah

Serayu, Lembag Citandui di Jkawa Tengah dan Jawa Barat bagian tiumur.

Dataran rendah yang luas-luas terdapat di gaerah pedalaman Jawa Timur.

Dataran rendah tidak nampak di pedalaman Jawa Barat. Tetapi sebaliknya

dataran rendah yang luas terdapat di bagian utara Jawa Barat, sedangkan di

Utara Jawa Tengah dataran rendah utaranya sempit.

Di bagian timur Jawa Tengah dan di bagian utara Jawa Timur, dataran yang

nampaknya rendah itu sebenarnya adalah sinklinorium atau jejeran beberapa

sinklinal dari Wilayah Lipatan Utara, yang di kedua daerah itu sampai ke pantai

dan malahan sampai ke Madura. Di Jawa Barat sebagian wilayah Lipatan Utara

itu tertutup oleh bahan volkanik seperti bentuk “alluvial fan” G. Salak dan G.

Gede antara Jakarta – Bogor dan endapan volkanik Tanguban perahu di daerah

Subang.

Seperti telah dibahas oleh Horstmann dan Rutz, kaitan pemusatan

penduduk dengan fisiografi memang erat, meskipun kesuburan tanah mungkin

sedikit berbeda antara fisiografi yang sama, tetapi letaknya lain. Nampak, bahwa

lereng lebih penting daripada tingkat kesuburan, dalam usaha pemanfaatan

tanah.

Page 6: Geologi Regional Pulau Jawa

KETERANGAN

A = Wilayah Dataran rendah

A1 = Wilayah Lembah Ci Tandui

A2 = Wilayah Dataran Rendah Selatan

A3 = Wilayah Dataran rendah Utara

B = Wilayah Pegunungan

B1 = Wilayah Pegunungan Lipatan Selatan

B2 = Wilayah Slenk Ci Mandiri

B3 = Wilayah Pegunungan Lipatan Barat

B4 = Wilayah Lipatan Utara

C = Wialayah Volakanik

C1 = Wilayah Volakanik selatan

C2 = Wilayah Depresi Jawa Barat

C3 = Wilayah Volkanik Utara

D = Wilayah Karang Merak

Page 7: Geologi Regional Pulau Jawa

KETERANGAN

A = Wialayah Lipatan Selatan

A1 = Wilayah Dataran Rendah Kroya

A2 = Wilayah Dataran Rendah Kedu Selatan

A3 = Wilayah Lembah Serayu

A4 = Wilayah Lembah Serayu

A5 = Wilayah pegunungan Sewu

A6 = Wilayah Nusa Kambangan

B = Wilayah Pedalaman

B1 = Wilayah Volkanik

B2 = Wilayah Lembah Bengawan Solo

C = Wilayah pegunungan Kapur

C1 = Wilayah Pegunungan Kapur Pedalaman

C2 = Wilayah Pegunungan Kapur Pantai Utara

C3 = Wilayah Muria

C4 = Wilayah Sinklinal Jeratun-Seluna

D = Wilayah Dataran Rendah

D1 = Wilayah Dataran Rendah Pantai Utara

D2 = Kendal

Page 8: Geologi Regional Pulau Jawa

KETERANGAN

A = Wilayah dataran Rendah

A1 = Wilayah dataran Rendah Grajangan

A2 = Wilayah dataran Rendah Lumajang

A3 = Wilayah dataran Rendah Brantas-Solo

A4 = Wilayah dataran Rendah Madiun

A5 = Wilayah dataran Rendah Pantai Utara

A6 = Wilayah dataran Rendah Situbondo

A7 = Wilayah dataran Rendah Bangkalan

A8 = Wilayah dataran Rendah Sampang-Pemekasan

A9 = Wilayah dataran Rendah Pantai Utara Madura

A10 = Wilayah dataran Rendah Sumenep

A11 = Wilayah dataran Rendah Tuban

C = Wilayah Lipatan

C1 = Wilayah Lipatan Pamtai Selatan

C2 = Wilayah Lipatan Sulameda

C3 = Wilayah Lipatan Blsmbsngsn

C4 = Wilayah Lipatan Kendeng

C5 = Wilayah Lipatan Utara

C6 = Wilayah Lipatan Madura

Untuk fisiografi pulau jawa, pulau ini dihubungkan juga dengan laut

Dangkalan Sunda, sehingga secara fisiografis termasuk Tanah Sunda Tengah.

Dalam bab ini pembicaraan mengenai pulau-pulau tersebut (Jawa dan Madura)

dimasukkan dalam bagian daerah Dangkalan Sunda. Tetapi secara geologis,

seluruhnya termasuk ke dalam sistem pegunungan muda Tertier yang

mengelilingi Tanah Sunda Pre-Tertier, yang membentuk bagian dari Sistem

Pegunungan Sunda, seperti halnya Sumatra.

Jawa, luasnya 127.000 km2 dan Madura 4.000 km2, seluruhnya hampir

sama dengan 4 X luas Negeri Belanda (luas Negeri Belanda, tanpa “Zuiderzee”

34.181 km2). Panjang Pulau Jawa ± 1.000 km dan Madura 160 km.

Elemen struktural yang pokok dari pulau ini ialah Geantiklinal Jawa Selatan

yang membentang di sepanjang separuh selatan pulau itu dan Geosynklinal

Jawa Utara, yang meliputi seluruh bagian utaranya. Dari Semarang ke timur,

basin geosinklinal ini menjadi bertambah lebar serta bercabang, menjadi cabang

utara, yaitu merupakan daerah bukit-bukit Rembang dan Madura; dan cabang

selatan yang terdiri dari Pegunungan Kendeng dan Selat Madura.

Page 9: Geologi Regional Pulau Jawa

Geantiklinal Jawa Selatan itu terbentuknya kurang menentu bila

dibandingkan dengan rangkaian Barisan yang membentuk kerangka geantiklinal

Sumatra. Hal ini disebabkan karena bagian puncak geantiklinal Jawa telah

hancur (rusak) yang sekarang secara fisiografis merupakan sebuah jalur depresi

yang merupakan bekas geantiklinal yang dahulu terangkat sebagai sebuah

pulau.

Sayap selatan geantiklinal Jawa itu dibentuk oleh Pegunungan Selatan

yang merupakan blok pengerutan miring ke arah Samudra Indonesia seperti

halnya blok Bengkulu di Sumatra. Di bagian tengah pulau Jawa, Pegunungan

Selatan itu telah hilang di bawah permukaan laut, sehingga di sini, depresi

menengah itu (the median depression) dibatasi oleh Samudra Indonesia. Gejala

yang sama telah di amati di Sumatra Utara (maksudnya, Aceh), yaitu tempat

depresi Semangko yang dibatasi oleh ambang tanah rendah (low land

embayments) Singkil dan Meulaboh pada pantai barat.

Dalam pembicaraan mengenai fisiografis dan strukturalnya, empat bagian

dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Jawa Barat (di sebelah barat Cirebon). 2. Jawa Tengah (antara Cirebon dan Semarang). 3. Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya). 4. Jaz 5. irah sempit di bagian timur (“Oosthoek”) dengan selat Madura dan

Pulau Madura. 1. Jawa Barat

Garis arah tipe Jawa, dimulai dari sebelah timur Teluk Pelabuhan Ratu.

Bagian terbarat disebut Banten, yang dalam bebera hal mempunyai hubungan

lebih erat dengan daerah Selat Sunda dan Sumatra daripada dengan Jawa.

Di Banten baratlaut muncul beberapa kelompok vulkan di atas dataran

tanah rendah utara Jawa. Pertama G. Gede (595 m) dengan pelabuhan Merak

pada kaki baratnya; kedua, kelompok Danau dengan puncaknya G.Karang

(1.778 m) dan G. Pulasari (1.346 m). Vulkan-vulkan ini termasuk aktivitas erupsi

yang menyertai pemisahan dari Selat Sunda seperti vulkan-vulkan di pualu

Prinsen, kelompok Krakatau, Sebesi, Sebuku, Sangiang yang melintang di

tengah-tengah Selat Sunda dan vulkan Tanggamus, Ratai, Betung dan Rajabasa

pada perbatasan Sumatra dan selat ini. Distrik Lampung dan Banten pada kedua

sisi Selat Sunda itu tertutup oleh tuff asam dan tuff batu apung, yang masing-

masing disebut tuff Lampung dan tuff Banten, yang sebagian adalah erupsi dan

letusan cataclysmic di daerah Selat Sunda selama pemisahannya dalam zaman

Plio-Pleistosin.

Semenanjung Ujung Kulon (Pajong, 480 m) dan Pegunungan Honje (620 m)

di sebelah salatan baratdaya Banten dipisahkan dari Jawa oleh laut, pada

zaman Pliosin, membentuk Ujung tenggara Rangkaian Barisan Sumatra. Rantai

Page 10: Geologi Regional Pulau Jawa

penghubung antara Teluk Semangko di pantai Sumatra dengan teluk

(Welkomat) putus pada masa terjadinya letusan pada zaman Plio-Pleistosen.

Sekarang bagian selatan Selat Sunda ini lebih dari 1.000 m dalamnya.

Punggungan Honje dihubungkan oleh sebuah punggungan rendah lapisan

Pliosen dengan puncak Bayah di Banten tenggara. Pengangkatan ini merupakan

peralihan antara kerangka struktur daerah Selat Sunda dengan Pulau Jawa yang

sebenarnya. Daerah Selat Sunda telah menjadi sebuah tanah tinggi yang luas

pada zaman Tertier serta merupakan ambang di antara basin-basin geosinklinal

Sumatra Timur dan Jawa Utara. Seperti daerah Selat Sunda, pada sisi

uataranya dibatasi oleh pertumbuhan vulkan-vulkan muda, yaitu Malang (909 m),

Endut (1.297 m), Halimun I (1.929 m), Halimun II (1.790 m).

Dataran tanah rendah Banten timurlaut, di sebelah utara dome Bajah dan

sebelah timur kelompok danau vulkanis, terdiri dari lapisan tertier muda yang

mengalami pelipatan yang lemah, dan tertutup oleh tuff Kuarter dan endapan-

endapan alluvial. Arah lipatan itu ialah utara – selatan, yang pada sebelah

kanannya tegak lurus terhadap arah timur – barat pada gesinklinal Jawa Utara.

Lipatan arah utara – selatan ini muncul juga pada permulaan pulau karang di

luar pantai utara Jawa, di sebelah utara Tangerang.

Kerangka sebenarnya Pulau Jawa, di Jawa Barat, di mulai di sebelah timur

garis penghubung antara Kepulauan Seribu dan Pelabuhan Ratu.

Bagian Jawa Barat yang terletak di antara garis ini dengan Cirebon lebarnya

antara 150 – 175 km. Daerah itu dibentuk oleh sebuah dataran tanah rendah

alluvial di bagian utara, dan sebuah jalur berbukit-bukit di bagian selatan yang

merupakan ¼ dan ¾ bagian dari sistem persilangan itu.

Dataran Jakarta lebarnya lebarnya ± 40 km, terbentang dari Serang serta

Rangkasbitung di Banten sampai ke Cirebon. Daerah ini sebagian besar terdiri

dari endapan alluvial sungai dan lahar (mud flows) dari vulkan-vulkan di daerah

pedalamannya, yang kebetulan dilindungi oleh sedimen Tertier yang sedikit

mengalami pelipatan.

Zona Bogor. Ke arah selatan diikuti oleh sebuah jalur yang kompleks terdiri

dari bukit-bukit dan pegunungan-pegunungan, penampang menengahnya juga ±

40 km serta membentang dari daerah Jasinga dekat perbatasan Banten sampai

sungai Pemali dan Bumiayu di Jawa Tengah. Jalur ini boleh disebut zona Bogor,

karena Bogor, yaitu tempat yang utama, berada pada bagian baratnya. Jalur ini

adalah sebuah antiklinorium dari lapisan Neogin yang terlipat dengan kuat

disertai dengan banyak intrusi-intrusi hipoabisal volcanic cocks, stock, bosses,

dsb., (misalnya kelompok Sanggabuana yang menarik perhatian, di sebelah

barat Purwakarta). Bagian baratnya membentang dari barat ke timur, sedangkan

bagian sebelah timurnya arahnya agak baratlaut – tenggara, serta menunjukkan

kerangka (bagan) yang jelas cembung ke arah utara. Bagian timurnya tertutup

Page 11: Geologi Regional Pulau Jawa

oleh vulkan-vulkan muda, seperti kelompok Sunda di sebalah utara Bandung

(puncaknya yang tertinggi ialah Bukit Tunggal 2.2200 m), Tampomas (1.684 m)

dan Ciremai (3.078 m).

Zona Bandung. Satuan fisiografi yang ketiga ialah jalur memanjang, depresi

antar pegunungan, di situ muncul punggungan-punggungan seperti pulau yang

berasal dari lapisan Tertier. Umumnya lebar jalur ini 20 – 40 m. Jalur ini

membentang dari Pelabuhan Ratu di sebelah timur, melalui lembah Cimandiri

(dengan Sukabumi, 600 m), dataran tinggi Cianjur (459 m), Bandung (715 m),

Garut (711 m) sampai lembah Citandui (dengan Tasikmalaya, 315 m) di sebelah

barat dan beralhir pada Segara-anakan pada pantai selatan Jawa Tengah.

Jalur depresi ini boleh disebut zona Bandung, karena Bandung merupakan

kota yang utama di daerah ini. Struktural merupakan bagian puncak geantiklinal

Jawa, yang telah hancur (rusak) sesudah atau selama pertengahan akhir zaman

Tertier. Dalam banyak hal jalur tersebut dapat dibandingkan dengan zona

Semangko pada puncak geantiklinal Barisan di Sumatra, tetapi zana ini lebarnya

hanya 5 – 15 km sedangkan zona Bandung mempunyai lebar lebih dari 40 km.

Sebabnya ialah, karena zona Semangko hanyalah sebuah jalur patahan dengan

graben pada puncak geantiklinal Barisan, sedangkan zona Bandung termasuk

geantiklinal Jawa baik bagian puncaknya maupun sisa sebelah utaranya.

Batas antara zona Bogor dan zona Bandung tertutup oleh sederetan vulkan-

vulkan Kuarter (Kendeng 1.370 m; Gagak 1.511 m; Salak 2.211 m; Pangrango

2.019 m; Gede 2.958 m; kelompok Sunda di sebelah utara Bandung dengan

Burangrang 2.064 m; Tangkubanprahu 2.076 m; Bukittunggul 2.209 m;

Calancang 1.667 m; Caktabuana 1.721 m.

Batas antara zona Bandung dan Pegunungan Selatan juga ditandai oleh

sederetan vulkan-vulkan, Kendeng 1.852 m; Patuha 2.429 m; Tilu 2.040 m;

Malabar 2.321 m; Papandayan 2.420 m; Cikorai 2.821 m. Penampang Garut dari

zona Bandung diapit oleh dua busur vulkan yang melintang, yang satu

memisahkan daerah itu dari plato Bandung (dengan Guntur2.249 m dan

Mandalawangi 1.663) dan yang lain membentuk sebuah bagian dengan lembah

Citandui (dengan Galunggun 2.241 m; Telaga Bodas 2.201 m dan Sedakeling

1.676 m), vulkan padam Sawal (1.733 m) menduduki tempat yang terpisah dari

lembah Citandui di sebelah utara Tasikmalaya.

Zona Bandung sebahagian terisi oleh endapan-endapan vulkan muda dan

endapan-endapan alluvial, tetapi dataran tinggi ini kebetulan terpotong-potong

oleh bukit-bukit dan punggungan-punggungan batuan Tertier. Di antaranya

misalnya punggungan Tertier bawah dan lapisan Miosendi di dekat Sukabumi

dan punggungan Oligo Miosen Rajamandala yang terletak di sebelah selatan

Cianjur. Sebuah analisa morfologis bagian zona Bandung ini diberikan oleh

Pannekoek (1946).

Page 12: Geologi Regional Pulau Jawa

Pada bagian timurnya, pegunungan yang sama muncul di atas tanah

rendah berawa-rawa Citandui, misalnya G. Sangkur (365 m) dekat Banjar pada

sisi barat dekat Lakbok, dan punggungan pegunungan rendah yang

membentang dari Wanareja pada sisi timurlaut rawa ini dengan arah tenggara

sampai Maos pada sungai Serayu. Punggungan ini terdiri dari lapisan neogin

bawah dan batuan-batuan vulkanis. Pada sisi baratdayanya dibatasi oleh jalan

kereta api Meluwung Sidareja – Maos , dan pada sisi timurlautnya oleh jalan

raya Wanareja – Majenang – Jatilawang. Karena adanya punggungan ini, ujung

timur zona depresi Bandung bercabang dua; cabang selatan yang merupakan

cabang yang terlebar, sedangkan cabangnya yang sempit mengikuti dataran

alluvial Puncung – Lumber – Karanggayam – Wangon. Lembah yang terakhir itu

memisahkan punggungan menengah (median ridge) dari ujung tenggara

antiklinarium Bogor. Punggungan menengah ini pada ujung timur dari zona

Bandung boleh disebut punggunganKebanaran atau Kutajaya mengikuti nama

puncak yang tertinggi di daerah itu , yaitu Kebanaran (360 m) atau Kutajaya (339

m). Hal ini menyusun “on echelon” dengan Rangkaian Serayu Selatan Jawa

Tengah yang akan dibicarakan pada paragraf berikutnya.

Satuan fisiografis yang keempat Jawa Barat dibentuk oleh tanah

Pegunungan Priangan Selatan, yang disebut Pegunungan Selatan. Satuan ini

membentang dari Teluk Pelabuhan Ratu sampai Pulau Nusa Kambangan, di

sebelah selatan Segara anakan dekat Cilacap. Rata-rata lebarnya 50 km, tetapi

ujung timurnya menyempit sampai beberapa kilometer pada pulau

Nusakambangan. Seluruh daerah ini menunjukkan sisi selatan geantiklinal Jawa,

yaitu sebuah blok pengerutan yang telah miring beberapa derajat ke arah

selatan. Keadaan fisiografis daerah ini dapat dibedakan: Bagian barat yang

disebut Jampang, keadaan morfologinya telah dibicarakan oleh Pannekoek

(1964). Permukaan erosinya muncul berangsur-angsur dari Samudra Indonesia

sampai setinggi ± 1.000 mdengan beberapa neck vulkanis yang resisten dari

ketinggian yang besar (G. Malang 1.305 m), dan kemudian hancur oleh sebuah

patahan atau flexure sampai zona Bandung.

Bagian tengah atau Pengalengan section adalah bagian yang tertinggi.

Daerah ini bermahkotakan beberapa vulkan padam (misalnya Kancana 2.182 m)

yang kemudia hancur oleh patahan curam dan flexur sampai zona Bandung.

Peralihan antara tepi yang tinggi bagian tengah Pegunungan Selatan dan zona

Bandung ditandai oleh sederetan vulkan kuarter yang sudah disebut pada waktu

menguraikan zona Bandung. Bagian timur Pegunungan Selatan, disebut seksi

Karangnunggal, mirip dengan seksi Jampang yaitu tanah pegunungan yang

agak rendah dan jarang mencapai lebih dari 1.000 m (Bongkok, 1.144 m).

Perbedaan tinggi antara seksi tengah pada satu pihak dan Jampang sampai ke

barat dan daerah Karangnunggal ke arah timur pada pihak yang lain, harus juga

Page 13: Geologi Regional Pulau Jawa

sudah terjadi pada zaman Neogin, sebab transgresi Miosen atas dari sederetan

Bentang Besar, tidak tenggelam di seksi tengah yang pada waktu itu berupa

sebuah pulau.

2. Jawa Tengah

Bagian Tengah Pulau Jawa jauh lebih sempit daripada Jawa Barat dan

Jawa Timur; lebarnya hanya 100 – 120 km. Hal ini disebabkan karena Laut Jawa

terbentang masuk pedalaman sebagai teluk yang lebar antara Cirebon dan

Semarang, sehingga tanah rendah utara menjadi lebih terbatas, atau bahkan

tidak ada; sementara Pegunungan Selatan sebagian besar tenggelam di antara

Nusa Kambangan dan Pegunungan Selatan di Jawa Timur.

Dataran pantai utara Jawa Tengah, lebar maksimumnya 40 km di sebelah

selatan Brebes di mana lembah Pemali memisahkan Rangkaian Bogor (the

Bogor Range) di Jawa Barat dari Pegunungan Selatan di Jawa Tengah. Lebih

jauh ke timur, dataran itu menyempit sampai ± 20 km di sebelah selatan Tegal

dan Pekalongan untuk selanjutnya menghilang seluruhnya di sebelah timur

Pekalongan, di mana bagian utama pegunungan-pegunungan menjadi pantai. Di

Page 14: Geologi Regional Pulau Jawa

antara Weliri dan Kaliwungu terdapat dataran alluvial yang subur dibentuk oleh

delta Kali Bodri.

Tanah Pegunungan Jawa Tengah dibentuk oleh dua cembungan

geantiklinal, yaitu rangkaian Serayu Utara dan Serayu Selatan.

Rangkaian Seraju Utara membentuk rantai penghubung antara Rangkaian

Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di Jwa Timur. Rangkaian

Pegunungan Serayu Selatan ialah sebuah elemen baru yang muncul dari

Depresi Bandung yang memanjang dari Jawa Barat.

Rangkaian Pegunungan Serayu Utara lebarnya 30 – 50 km. Ujung baratnya

tertutup oleh Vulkan Slamet (3.428 m) dan bagian timurnya tertutup oleh hasil-

hasil vulkanis-muda, gunung Rogojembangan (2.177 m), kelompok Dieng

(Prahu, 2.565 m) dan Ungaran (2.050 m). Garis batasnya dengan Rangkaian

Bogor Jawa Barat ialah garis antara Prupuk – Bumiayu – Ajibarang.

Di antara Pegunungan Serayu Utara dan Selatan, terdapat pula sebuah

depresi memanjang yaitu Zona Serayu, di mana terletak Majenang, Ajibarang,

Purwokerto, Banjarnegara dan Wonosobo.

Di antara Purwokerto dan Banjarnegara, zona Serayu itu lebarnya 15 km

dan di sebelah timur Wonosobo menjadi lebih lebar; tetapi di sini sebagian

depresi itu terisi dan tertutup oleh puncak-puncak vulkan muda, yaitu Sundoro

(3.155 m) dan Sumbing (3.317 m). Orografis depresi tersebut di dapatkan lagi

pada dataran Temanggung – Magelang yang merupakan satu-satunya

sederetan dataran antar-pegunungan di Jawa Timur.

Pegunungan Serayu Selatan terdiri dari bagian barat dan bagian timur.

Bagian baratnya (dengan Kabanaran, 360 m) boleh diterngakan sebagai sebuah

pengangkatan pada zona depresi Bandung di Jawa Barat, atau sebagai sebuah

elemen struktural yang baru di Jawa Tengah yang dipisahkan dari Rangkaian

Bogor oleh dataran Majenang serta hulu sungai Cihaur dan Pasir.

Bagian timur Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan membentuk sebuah

geantiklinal pada zona depresi Bandung ini, yang yang dapat dibandingkan

dengan cembungan Pegunungan Bayah pada ujung baratnya. Bagian timur

Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan seluruhnya di pisahkan dari bagian

baratnya oleh lembah Jatilawang yang dimulai dekat Ajibarang sebagai sebuah

antiklinal yang sederhana dan sempit serta terpotong melintang oleh sungai

Serayu. Di sebelah timur Banyumas antiklinal ini berkembang menjadi sebuah

antiklinorium di daerah Lukula (Loh Ula) di sebelah selatan Banjarnegara

(Midangan 1.043 m) kira-kira 30 km lebarnya. Di antara Purworejo dan Kali

Progo ujung timur Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan dibentuk oleh Dome

Pegunungan Kulon Progo yang lebih kurang berdiri sendiri (1.022 m).

Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah lebarnya antara 10 – 25 km. Bagian

dari pantai selatan ini membentuk pantai yang sangat jelas bedanya dari Jawa

Page 15: Geologi Regional Pulau Jawa

Barat dan Jawa Timur yang berbatu-batu, yang terletak tidak lebih dari 10 m di

atas permukaan laut. Tiga punggungan pantai (shore bars) dengan guguk-guguk

pasir (dunes) setinggi 5 – 15 m dan lebar 100 – 500 m membujur sejajar dengan

pantai di antaranya salah satu yang termuda masih berubah-ubah. Dataran

pantai yang rendah ini menghubungkan zona Bandung di Jawa Barat. Di bagian

tengahnya terpotong oleh pegunungan Karangbolong (475 m) yang keadaan

fisiografis strukturalnya sama dengan Pegunungan Selatan di Jawa Barat dan

Jawa Timur. Lain dari itu, Pegunungan Selatan ini telah merosot di bawah

permukaan laut antara Nusa Kambangan dan muara Sungai Opak.

3. Jawa Timur

Di sebelah timur garis Semarang – Yogyakarta, dapat dibedakan sejumlah

jalur-jalur yang sejajar. Zona Selatannya merupakan lanjutan dari zona-zona di

Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan yang di sebelah utara merupakan

elemen baru baik fisografis maupun strukturil.

Di Utara. Muria atau massif Muria (1.602 m), yang berbatuan leucite dan

vulkan Lasem (1.602 m) yang andesitis mencerminkan tidak sesuainya dengan

seri-seri utama dari vulkan-vulkan Jawa.

Gunung Muria itu sekarang dihubungkan dengan Jawa oleh dataran alluvial

Semarang – Demak Kudus Pati – Juwono – Rembang, tetapi selama zaman

Holosen masih merupakan sebuah pulau (sekarang nilai perpindahan dekat

Demak 30 cm per tahun.

Distrik berbukit-bukit Rembang terdiri dari sejumlah punggungan yang

arahnya kurang lebih timur – barat. Tiap-tiap kaki punggungan tersebut diselingi

oleh dataran alluvial (dekat Blora, Jojogan, dan sepanjang hilir Bengawan

Solo).Antiklinorium Rembang ini lebarnya rata-rata 50 km, puncaknya yang

tertinggi mencapai ± 500 m di atas permukaan laut (Gading 535 m, Tungangan

491 m). Bukit-bukit itu kebanyakan mencapai pantai utara dan dari situ

dipisahkan oleh pesisir yang sempit dengan bukit-bukit pasir.

Puncak punggungan yang datar dekat Tuban, terdiri dari kapur karang yang

tampak dari laut seperti peti mayat yang sangat besar.

Bukit-bukit Rembang itu dipisahkan dari Kendeng oleh sebuah jalur

sinklinal, disebut Zona Randublatung letaknya membujur dari Semarang melalui

Purwodadi – Randublatung – Ngimbang sampai Wonokromo dekat Surabaya.

Dekat Randublatung dan Ngimbang, penampang melintang zona ini hanya

beberapa kilometer saja yang menjadi lebih lebar pada bagian yang

bersambungan dengan dataran tanah rendah di antara punggungan Rembang

(misalnya, Lembah hilir Bengawan Solo). Pentingnya struktur sinklinal ini, pada

kenyataannya ialah bahwa arah gerak pelipatan di daerah Rembang pada

umumnya ke selatan; sementara lapisan Kendeng telah didorong ke utara.

Page 16: Geologi Regional Pulau Jawa

Punggungan Kendeng atau antiklinorium Kendeng adalah lanjutan dari

Rangkaian Pegunungan Serayu Utara di Jawa Tengah. Di sebelah selatan

Semarang panjangnya 250 km dan lebarnya 40 km serta menyempit ke arah

timur sampai 20 km. Tingginya jarang lebih dari 500 m. Dekat Ngawi terjadi

sebuah sumbu depresi, di mana punggungan ini secara melintang terpotong oleh

Bengawan Solo, sehingga terbagi menjadi bagian barat dan bagian timur.

Bagian timurnya mencapai lebar maksimumnya (30 km) di dekat vulkan

kecil Pandan (897 m), yang menembus lapisan Tertier pada ujung selatannya.

Dari sini, dalam hal panjang maupun lebarnya, Punggungan Kendeng itu

berangsur-angsur berkurang ke arah timur dan di dekat Mojokerto antiklinalnya

menghilang; sehingga dari sini hanyalah berupa endapan alluvial delta Brantas,

dan dua punggungan antiklinal yang hanya 10 km lebarnya mencapai Selat

Madura dekat Surabaya.

Di antara Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Selatan di Jawa Timur

terbentuk sebuah Zona Depresi, yang keadaan fisiografis-tektonisnya sama

sengan zona Bandung di Jawa Barat. Yang disebut terakhir ini bercabang dua di

Jawa Tengah menjadi zona Serayu dan dataran pantai selatan Jawa Tengah,

yang berdampingan dengan Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan. Di

Lambah Progo dekat Yogyakarta kedua cabang tersebut bertemu membentuk

zona Solo yang lebar di Jawa Timur. Seperti halnya zona Bandung, depresi yang

memanjang di Jwa Timur ini sebagian terisi dan tertutup oleh sederetan vulkan-

vulkan muda dan dapat dibagi lagi menjadi tiga jalur yang sejajar; Subzona

Ngawi, zona Solo (Solo zone sensu stricto) dan subzona Blitar.

Subzona Ngawi ialah depresi sinkloinal yang membatasi sisi selatan

Pegunungan Kendeng yang dimulai dekat Simo dan dapat dianggap sebagai

kelanjutan zona Serayu di Jawa Tengah, yang dapat dilanjutkan melalui Sragen

dan Ngawi sampai jombang, dan di situ berhubungan dengan dataran alluvial

Delta Brantas. Tetapi secara struktural subzona Ngawi ini harus dilanjutkan ke

timur melalui punggungan Pegunungan Penanggungan (1.653 m) dan Ajasmoro

melalui Bangil sampai pantai utara Jazirah Jawa Timur.

Zona Solo (sensu stricto) dibentuk oleh sederetan besar vulkan-vulkan

kuarter dengan dataran-dataran antar pegunungan yang dimulai dengan

Sundoro (3.135 m) dan Sumbing (3.371 m) di Jawa Tengah.

Kali Brantas adalah sungai yang kedua panjangnya di Jawa sesudah

Bengawan Solo. Mata airnya di lereng selatan Anjasmoro, yang menaglir ke

selatan melalui dataran Malang dan membelok dengan nyata ke arah barat

dekat Kepanjen. Setelah membelok ke barat ± 70 km terus mengalir ke utara

dekat Tulungagung sampai mencapai zona Kendeng yang sebagian tertutup

oleh endapan alluvialnya di daerah Jombang dan Mojokerto. Di sini sungai itu

mengalir ke arah timur dan dekat Mojokerto mencapai delta Brantas dan menjadi

Page 17: Geologi Regional Pulau Jawa

dua menjadi sungai Mas (muaranya dekat Surabaya) dan sungai Porong (yang

sampai ke Selat Madura dekat Bangil). Sekarang mura sungai Porong jaraknya

hanya 40 km dari sungai induknya, sehingga sebuah jerat yang tertutup

terbentuk di sekeliling kelompok vulkanis dari pegunungan Anjasmoro – Kelud –

Kawi. Luas daerah penangkap hujannya ± 11.000 km2 sedangkan lumpur sungai

Brantas adalah 1,3 kg per 1 m3 yaitu lebih sedikit daripada separuh muatan

sungai Solo, yang besarnya 2,75 kg/m3. Pemindahan garis pantai sebesar 7 m

tiap tahun di dekat muara sungai Brantas, dan 9 – 15 m di dekat muara sungai

Porong. Pada zaman dahulu (abad ke-10) muara sungai Brantas masih berupa

estuarium yang lebar serta merupakan sebuah pelabuhan alam yang baik.

Di sebelah selatan zona vulkan-vulkan kuarter zona Solo (snsu strico),

dapat dikemukakan sebuah sub-zona yang ketiga yang disebut subzona Blitar.

Di bagian selatan Subzona Blitar itu dibatasi oleh Pegunungan Selatan

Jawa Timur. Seperti halnya di Jawa Barat, Pegununga Selatan Jawa Timur

merupakan blok yang terangkat dan miring ke laut, di mana erosi telah

diremajakan. Batas utaranya ditandai oleh sebuah escarpment yang ruwet.

Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan surakarta,

sedngakan di sebelah selatan Blitar hanya 25 km.

Bagian timur itu (di antara Opak dan Pacitan) sebagian terdiri dari Kapur

dengan tipe Karst yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu

(Lehmann, 1936). Di antara Pacitan dan Popoh, bagian utara Pegunungan

Selatan terdiri dari endapan-endapan vulkanis yang lebih tua; di sini juga

menunjukka sisa (bekas) peneplain kuarter yang dapat diamati (Gembes 1.243

m). Bagian selatan tertutup oleh kapur Pegunungan Seribu. Jalur sempit di

sebelah selatan Brantas terutama terdiri dari kapur, dengan klif abrasi yang terjal

di sepanjang Samudra Indonesia.

4. Jazirah Jawa Timur dan Madura

Madura yang luasnya 4.382 km2, panjangnya 160 km, lebar maksimum 38

km, tinggi maksimum 471 m; merupakan perluasan ke timur dari Bukit-bukit

Rembang. Terpisahnya dari Jawa mungkin terjadi dalam tahun 80 sebelum

Masehi (Stutterheim, 1929).

Selat Madura yang di manapun tidak lebih dari 100 m dalamnya dan lebar

maksimumnya 68 km merupakan lanjutan dari Pegunungan Kendeng yang ujung

timurnya tenggelam di bawah delta Brantas. Ke arah timur selat ini masuk ke

Laut Bali yang termasuk backdeep dari Kepulauan sunda Kecil.

Pantai Utara yang sempit dari Jazirah Jawa Timur ini menunjukkan endapan

Plio-Pleistosen yang terlipat, serta tertutup oleh vulkan-vulkan kecil. Dari timur ke

barat dapat dibedakan elemen-elemen berikut: antiklinal Bangil, bukit tuff

Sumongkrong (84 m), bukit-bukit Probolinggo (38 m, 104 m) vulkan lurus (539

m), Pegunungan Ringgit – Beser (masing-masing 1.250 m, dan 1.303 m) dan

Page 18: Geologi Regional Pulau Jawa

vulkan Balurang (1.247 m). Jalur pantai ini menunjukkan lanjutan timur dari tepi

selatan antiklinorium Kendeng yang berisi vulkan Pandan, antiklinal Jombang

dan Mojokerto dan vulkan Penanggungan.

Di sebelah selatan, jalur pantai yang sempit ini diikuti oleh lanjutan timur dari

subzona Ngawi yang dapat diikuti melalui dataran rendah Tampung (di antara

Bangil dan Lawang) dan Danau Grati (di antara Semongkrong dan Tengger)

sampai ke dataran Probolinggo dan Bondowoso.

Kemudian sampailah kita pada zona Solo (sensu strico) yang terdiri dari

sederetan vulkan dan dataran antar pegunungan, seperti di Jawa Tengah.

Subzona Blitar Jawa Timur membujur ke timur searah dengan jalan dari

Kepanjen dan Turen ke Pasiran. Di sini tanah rendah Lumajang – Jember

mencapai pantai selatan di Grojogan.

Pegunungan Selatan di Jazirah Jawa Timur tidak berlangsung terus

(berhenti) dan terdiri dari tiga bagian yang kurang lebih terpencil. Bagian

baratnya (sebelah selatan Turen) lebarnya kurang lebih 25 km dan langsung

dihubungkan dengan Pegununga Selatan Jawa Timur. Di antara Pasirian dan

Turen, pegunungan selatan itu terpotong oleh tanah rendah Lumajang. Tetapi

Pulau Nusa Barung (sebelah selatan Puger), secara strukturil termasuk

kepadanya, serta merupakan penghubung dengan bagian lanjutan dari

Pegunungan Selatan di antara Puger dan sungai Baru (Betiri, 1.223 m). Di

sebelah selatan Rogojampi tanah rendah itu sekali lagi mencapai pantai selatan.

Dari situ Bukit Pumpangpitu yang terpencil muncul sampai setinggi 489 m.

Akhirnya bagian yang paling Timur dari Pegunungan Selatan dari seksi Jawa ini

ditunjukkan dengan semenanjung Blambangan atau Purwo (360 m),

dihubungkan dari pulau yang utama oleh dataran alluvial yang 22 km lebarnya.

Bagian yang hancur dari Pegunungan Selatan di lanjutkan ke timur, di Bali dan

Lombok, di mana bagian-bagian itu dipisahkan oleh selat laut sebagai pengganti

dataran-dataran alluvial.

B. KOLOM STATIGRAFI PULAU JAWA

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang

mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya

dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik dimulai dari Kapur

Akhir hingga sekarang. Kita bahas dari kapur akhir sampai paleocene ye,.

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan

Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah

Sunda Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti

oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan

Page 19: Geologi Regional Pulau Jawa

pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan).

Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra

–Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc

basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di

Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir – Paleosen, fragmen benua yang

terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung-

Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia

Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement

bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi

Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi

di Sumur Rubah- 1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056

kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit.

Docking (mera-patnya) fragmen mikrokontinen pada bagian tepi timur

Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus

dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan

Pegunungan Meratus.

Ini gambar rekonstruksi skematis perkembangan tektonik kapur-

paleosen (Prasetyadi, 2007)

Page 20: Geologi Regional Pulau Jawa

Masih membahas tentang sejarah tektonisme pulau jawa, evolusi

tektonik tersier pulau jawa memasuki periode Eosen (Periode Ekstensional

/Regangan). Periode ini terjadi Antara 54 jtl – 45 jtl (Eosen), dimana di

wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan

berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India.

Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak

lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara

mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini

diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona

subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik

regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia

Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama

(Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan

Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan

extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar

regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen

mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah

cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra,

Jawa, dan Kalimantan Tenggara).

C. PERSEBARAN BAHAN GALIAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM DI PULAU JAWA

Minyak bumi yang di eksplorasi dan dikonsumsi setiap hari lambat laun akan

habis, sedangkan proses terbentuknya memakan waktu jutaan tahun. Ketersedian

minyak bumi saat ini diperkirakan hanya mencukupi beberapa tahun saja seiring

makin meningkatnya konsumsi.

Para ahli geologi umumnya sepakat bahwa proses terbentuknya lapisan

minyak bumi dalam hitungan jutaan tahun. Batuan yang mengandung minyak bumi

tertua diketahui berumur 600 juta tahun dan yang termuda berumur 1 juta tahun.

Rata-rata batuan yang mengandung minyak bumi berumur antara 10 juta hingga

270 juta tahun.

Page 21: Geologi Regional Pulau Jawa

Tiga faktor utama dalam pembentukan Minyak dan gas bumi yaitu, bebatuan

asal (source rock), perpindahan hidrocarbon dari bebatuan asal menuju bebatuan

reservoir dan ketiga adanya jebakan (entrapment) geologis.

Komponen pendukung terbentuknya minyak bumi berasal dari organisme

tumbuhan dan hewan berukuran sangat kecil yang hidup dilautan purba yang mati

dan terkubur, kemudian tertimbun pasir dan lumpur didasar laut selama jutaan tahun

membentuk lapisan yang kaya zat organik yang akhirnya akan membentuk batuan

endapan (sedimentary rock), proses ini akan terus berulang dimana satu lapisan

akan menutupi lapisan sebelumnya selama jutaan tahun. Kemudian lapisan lautan

tersebut ada yang menyusut dan berpindah tempat akibat pergeseran bumi.

Deposit yang membentuk endapan tersebut umumnya tidak mengandung

cukup oksigen untuk mendekomposisi material organik secara komplit. Bakteri

mengurai zat ini, molekul demi molekul menjadi menjadi material yang kaya dengan

kandungan hidrogen dan karbon. Dengan tekanan temperatur yang tinggi lapisan

bebatuan diatasnya akan mendestilasi sisa bahan organik sedikit demi sedikit dan

mengubahnya menjadi minyak dan gas bumi.

Berdasarkan umur dan letak kedalamannya, minyak bumi digolongkan menjadi

4 jenis, pertama young-shallow, old-shallow, young-deep dan old-deep. Dari empat

jenis minyak tersebut, Minyak jenis old-deep merupakan yang paling banyak dicari

(sweet) karena dapat menghasilkan bensin (gasoline) lebih banyak dibandingkan

dengan jenis lainnya.

Memperhatikan proses terbentuknya minyak dan gas bumi yang rumit dan

memakan waktu yang sangat lama, maka sudah seharusnya didalam

mengkonsumisi energi dapat lebih bijak, efisien dan tepat guna, sehingga

penggunaan energi fosil dapat ditekan.

Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon province.

Cekungan ini terletak diantara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan Bogor di

Selatan, daerah pengankatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau Seribu di

Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang

berarah Utara-Selatan. Patahan yang berarah Utara-Selatan membagi cekungan

menjadi graben atau beberapa sub-basin, yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat,

Page 22: Geologi Regional Pulau Jawa

Rangkas Bitung dan beberapa tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cimalaya,

Pamanukan, Kandanghaur-Waled, Rengasdengklok, dan Tangerang. Menurut

Soejono (1989), berdasarkan stratigrafi dan pola strukturnya, serta letaknya yang

berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata Cekungan Jawa

Barat Utara telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak

Eosen sampai dengan sekarang.

(Lokasi Cekungan Jawa Barat Uara)

Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari beberapa sub-cekungan (Jatibarang,

Ciputat, dan Pasir Putih yang masing-masing dipisahkan satu dengan yang

lainnya oleh tinggian-tinggian (Pamanukan, Rengasdengklok, Tangerang, dan

Arjawigangun). Konfigurasi sub-cekungan dan tinggian-tinggian ini sangat

dipengaruhi oleh penyebaran fasies batuan sedimen berumur Tersier baik

sebagai batuan induk (Source Rock) maupun sebagai reservoir. Hydrocarbon

yang ditemukan di Cekungan Jawa Barat Utara sebagian besar dihasilkan oleh

batugampig Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan, Formasi Parigi dan Formasi

Jatibarang. Ketebalan sedimen berkisar antara 3000m – 4000m pada sub-

cekungan dan kurang dari 1000m pada tinggian-tinggian (Reminton and Nasir,

1986).

Page 23: Geologi Regional Pulau Jawa

(Fisiografi Cekungan Jawa Barat Utara)

Tektonik dan Struktur Geologi Cekungan Jawa Barat Utara

Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di Utara

dan Barat (onshore) di Selatan (Sidi dkk, 2000). Seluruh area didominasi oleh

patahan ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur

kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan

yang membentuk beberapa struktur deposenter (half graben), deposenter

utamanya yaitu Sub-Cekungan Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi

oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi 5500m. Struktur yang penting

pada cekungan tersebut terdiri dari bermacam-macam area tinggian yang

berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dengan blok tinggian (horst

block), lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, dan keystone

folding yang mengenai tinggian pada batuan dasar, struktur kompresional hanya

terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah relatif Barat Laut –

Tenggara pada perione Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen.

Page 24: Geologi Regional Pulau Jawa

(Kondisi Tektonik Cekungan Jawa Barat Utara)

Tektonik Jawa Barat Utara dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari

Pra-Tersier hingga Plio-Pleistosen, yaitu :

1. Tekonik Pertama

Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat diklasifikasikan

sebagai Fore Arc Basin dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari

Cileutuh, Sub-Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah, dan Cekungan

Florence Barat yang mengindikasikan kontrol Meratus Trend.

Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) dikenal sebagai Paleogene Extensional

Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar kanan kraton Sunda akibat

dari prestiwa tumbukan lempeng hindia dengan lempeng Eurasia. Sesar-sesar

Page 25: Geologi Regional Pulau Jawa

ini mewakili pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia bagian Barat

dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.

Tektonik ekstensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half graben system) dan

merupakan fase pertama rifting. Sedimen yang diendapkan pada fase rifting

pertama disebut sebagai sedimen synrift. Cekungan awal rifting terbentuk

selama fragmentasi, rotasi dan pengerakan dari kraton sunda. Dua trend sesar

normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting fase pertama memiliki arah

N 060o W – N 040 o W dan hampir N-S yang dikenal sebagai pola sesar sunda.

Pada masa ini terbentuk endapan lakustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang

yang menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus

berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem

ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi

Baturaja

2. Tektonik Kedua

Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligosen-Miosen) dan

dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan

pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif dan tumbukan Lempeng

Hindia. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktifitasi dari sesar

normal yang terbentuk pada periode Paleogen.

Jalur penunjaman baru terbentuk di Selatan Jawa. Jalur volkanik periode gunung

api ini menghasilkan endapan gunung api bawah laut yang sekarang dikenal

sebagai old andesite yang tersebar disepanjang Selatan Pulau Jawa. Pola

tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang mengubah pola tektonik tua yang

terjadi sebelumnya menjadi berarah Barat-Timur dan meghasilkan suatu sistem

sesar naik, dimulai dari Selatan (Cileutuh) bergerak ke Utara. Pola sesar ini

sesuai dengan sistem sesar naik belakang busur atau yang dikenal dengan trust

fold belt system.

3. Tektonik Ketiga

Fase tektonik ketiga adalah fase tektonik terakhir yang terjadi pada Pliosen-

Pleistones, dimana terjadi proses kompresi kembali dan membentuk perangkap-

perangkap struktur berupa sesar-sesar naik dijalur Selatan Cekungan Jawa

Page 26: Geologi Regional Pulau Jawa

Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan

sesar naik Subang, sedangkan dijalur Utara Cekungan Jawa Timur Utara

terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap

struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon.

Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara

Peiode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala

Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan

sedimentasi vulkanik darat sampai laut dangkal Formasi Jatibarang. Pada saat

itu aktivitas vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi antara

lempeng disebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerah-daerah yang masih

labil sering mengalami aktifitas tektonik. Material-material vulkanik dari arah

timur mulai diendapkan.

Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala

Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif

dilingkungan transisi sampai delta hingga laut dangkal yang setara dengan

Formasi Talang Akar (Equivalent Formasi Talang Akar). Pada awal periode,

daerah cekungan terdiri dari dua lingkungan pengendapan yang berbeda, yaitu

bagian Barat berupa paralic water sedangkan bagian Timur berupa laut dangkal.

Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah

menjadi agak stabil, hanya sub-cekungan Ciputat yang masih aktif. Kemudian air

laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai

bagian Barat Laut terus ke arah Tenggara menggenangi beberapa tinggian

kecuali Tinggian Tangerang. Tinggian-tinggian inilah sedimen-sedimen klastik

yang dihasilkan setara dengan Formasi Talang Akar.

Pada akhir Miosen Awal seluruh daerah cekungan relative stabil. Daerah

Pamanukan sebelah Barat merupakan paparan laut dangkal, tempat sedimen

karbonat berkembang dengan baik sehingga membentuk kesetaraan dengan

Formasi Baturaja (Equivalent dengan Formasi Baturaja), sedangkan pada

bagian timur merupakan dasar cekungan yang lebih dalam.

Pada kala Miosen Tengah yang merupaka fase regresi, Cekungan Jawa Barat

Utara diendapkan sedimen-sedimen laut dagkal dari Formasi Cibulakan Atas.

Page 27: Geologi Regional Pulau Jawa

Sumber sedimen yang utama Formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari

arah Utara – Barat Laut. Pada akhir Miosen Tengah kembali menjadi kawasan

yang stabil, batugamping berkembang dengan baik. Perkembagan yang baik ini

dikarenakan aktivitas tektonik sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal.

Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan

Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit

perubahan tempat kondisi laut berubah kelingkungan paralik.

Pada kala Pleistosen, sedimen berupa alvium menandai sebagai pengangkatan

sumbu utama/panjang Pulau Jawa. Pengankatan ini juga diikuti oleh

meningkatnya aktivitas vulkanisme dan diikuti pembentukan struktur utama

Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-

tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Sedimentasi berbutir kasar

diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.

Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara

Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur mulai kala

Eosen Tengah sampai Kuarter. Sedimen tertua berumur Eosen Tengah, Formasi

Jatibarang yang diendapkan secara tidak selaras diatas batuan dasar/basement.

Page 28: Geologi Regional Pulau Jawa

(Penampang Geologi Cekungan Jawa Barat Utara)

Urutan stratigrafi regional dari yang paling tua berturut-turut: basement, Formasi

Jatibarang, Formasi Cibulakan Bawah (Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja),

Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main, Pre-Parigi), Formasi Parigi dan Formasi

Cisubuh. Urutan stratigrafinya sebagai berikut:

1. Batuan Dasar

Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur

Tengah sampai Kapur Atas dan batuan Metamorf yang berumur Pra Tersier

(Sincalir, et, al, 1995). Lingkungan Pengendapannya merupakan satu

permukaan dengan sisa vegetsi tropis yang lapuk (Koesumadinata, 1980).

2. Formasi Jatibarang

Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai dibagian tengah

dan Timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian Barat cekungan ini

kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini

terdiri dari tuff, breksi, aglomerat, dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan

pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah Eosen Akhir sampai Oligosen Awal.

Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-

rekahan tuff (Budiyanti, et. al,1991).

3. Formasi Talang Akar

Formasi ini terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Jatibarang. Litologi

penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari serpih gampingan dengan sedikit

kandungan pasir, batulanau dengan sisipan batupasir terkadang juga dijumpai

konglomerat secara lokal. Pada bagian atas disusun oleh batuan karbonat.

Formasi ini terbentuk pada lingkungan delta sampai laut yang merupakan hasil

dari fase transgresi kedua pada Neogen (Sinclair, et.al, 1995). Adapun

pembentuk formasi ini terjadi dari kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.

Pada formasi ini juga dijumpai lapisan batubara yang kemungkinan terbentuk

pada lingkungan delta. Batubara dan serpih tersebut merupakan batuan induk

(source rock) untuk hidrokarbon. Ketebalan formasi ini berkisar antara 50 –

300m (Budiyanti, et.al, 1991).

4. Formasi Baturaja

Page 29: Geologi Regional Pulau Jawa

Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar. Adapun

litologi penyusunnya berupa batugamping terumbu dengan penyebaran tidak

merata. Pada bagian bawah tersusun oleh batuagamping massif yang semakin

ke atas semakin berpori. Selain itu juga ditemukan dolomit, interklasi serpih

glaukonitan, napal, rijang, dan batubara. Formasi ini terbentuk pada kala Miosen

Awal – Miosen Tengah (terutama asosiasi foraminifera). Lingkungan

pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar

matahari (terutama dari melimpahnya foraminifera Spriroclypeus sp.) ketebalan

formasi ini berkisar pada 50m (Budiyani, et.al, 1991).

5. Formasi Cibulakan Atas

Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan

batugaming. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugaming

klastik serta batugamping termbu yang berkembang secara setempat-setempat.

Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini

diendapkan pada kala Miosen Awal – Miosen Akhir.

Formasi ini terbagi menjadi 3 anggota formasi, yaitu Massive, Main, dan Pre-

Parigi sebai berikut :

Massive Unit

Satuan ini terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Baturaja. Litologi

penyusun satuan ini adalah perselingan antara batulempung dengan batupasir

yang mempunyai ukuran butir halus-sedang. Pada formasi ini dijumpai

kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu, terdapat fosil

foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera bentonik seperti

Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).

Main Unit

Satuan ini terendapkan secara selaras diatas Massive Uinit. Litologi

penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang

mempunyai ukuran butir pasir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal

pembentukannya, berkembang betugampin dan terdapat lapisan tips betupasir

yang pada bagian ini dibedakan dengan Main Unit itu sendiri, sehingga disebut

sebagai Mid Main Carbonate (Budiyanti, et.al, 1991).

Page 30: Geologi Regional Pulau Jawa

Pre-Parigi Unit

Satuan ini terendapkan secara selaras diatas Main Unit. Adapun litologi

penyusunnya adalah erselinga batugamping, dolomit, batupasir, dan batulanau.

Formasi ini terbetuk pada kala Miosen Tengah-Akhir. Lingkungan

pengendapannya adalah neritik tengah-dalam (Arpandi dan Patmosukismo,

1975), hal ini dapat ditafsirkan dari dijumpainya adanya biota laut dangkal dan

juga kandungan batupasir glaukonitan.

6. Formasi Parigi

Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Pre-Parigi. Litologi

penyusunnya sebagian besar adalah batugamping abu-abu terang, berfosil dan

berpori dengan sedikit dolomit. Adapun litologi penyusun yang lain adalah serpih

karbonatan, napal yang dijumpai pada bagian bawah. Kandungan koral, alga

cukup banyak dijumpai selain juga bioherm dan biostrom. Selain itu juga

dijumpai foraminifera besar seperti Alveolina quoyi, foraminigera bentonik kecil

seperti Quiquelculina korembatira, foraminifera plangtonik seperti Globigerina

siakensis. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut dangkal-neritik

tengah (Arpandi dan Patmosukismo, 1975). Batugamping pada formasi ini

umunya dapat menjadi reservoir yang baik karena mempunyai porositas

sekunder dan permeabilitas yang besar. Ketebalan formasi ini lebih kurang 400

m. dari hasil penelitian terdahulu, tidak semua karbonat pada formasi ini

menghasilkan hidrokarbon, hanya pada puncak tutupan dari sembulan karbona

yang terbentuk didaerah shoal dan juga karena tutupan tersebut berasosiasi

dengan sesar yang berfungsi sebagai jalan migrasi (Sinclair, et.al, 1995).

7. Formasi Cisubuh

Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Parigi. Litologi

penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih

gampingan, mengandung banyak glaukonit,lignit, sedikit rijang, pirit, dan fragmen

batuan beku vulkanik. Pada bagian bawah terdapat kandungan fosil yang

semakin keatas semakin sedikit. Umur formasi ini adalah Miosen Akhir sampai

Plio-Pleistosen. Formasi Cisubuh diendapkan pada fase regresi pada Neogen,

hal ini dapat dilihat dari semakin keatas formasi ini semakin bersifat pasiran

Page 31: Geologi Regional Pulau Jawa

dengan dijumpai batubara. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal

yang semakin keatas menjadi lingkungan litoral-paralik (Arpandi dan

Patmosukismo, 1975). Hidrokarbon tidak pernah ditemukan pada formasi ini.

Ketebalan formasi ini berkisar anara 1000m – 1200m (Budiyani, 1991).

Page 32: Geologi Regional Pulau Jawa

(Penampang Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)

Petroleum Sistem Cekungan Jawa Barat Utara

Page 33: Geologi Regional Pulau Jawa

Hampir seluruh formasi di Cekungan Jawa Barat Utara dapat menghasilkan

hidrokarbon yang mempunyai sifat berbeda, baik dari lingkungan pengendapan

maupun porositas batuannya.

1. Batuan Induk

Pada Cekungan Jawa Barat Utara terdapat tiga tipe utama batuan induk, yaitu

lacustrine shale (Oil Prone), fluvio deltaic coals, fluvio deltaic shales (Oil and

Gas Prone) dan marine claystone (bacterial gas) (Gordon,1985). Studi geokimia

dari minyak mentah yang ditemukan di Pulau Jawa dan Lapangan Lepas Pantai

Ardjuna menunjukan bahwa fluvio deltaic coals dan serpih dari Formasi Talang

Akar bagian atas berperan dalam pembentukan batuan induk yang utama.

Beberapa peran serta dari lacustrine shale juga ada terutama pada sub

cekungan Jatibarang. Kematangan atuan induk di Cekungan Jawa Barat Utara

ditentukan oleh analisa batas kedalaman minak dan kematangan batuan induk

pada puncak gunung Jatibarang atau dasar puncak dari Formasi Talag Akar

atau bagian bawah Formasi Baturaja (Reminton dan Pranyoto, 1985).

1.a. Lacusrine Shales

Lacrustrine Shale terbentuk pada suatu periode syn rift dan berkembang dalam

dua macam fasies yang kaya material organic. Fasies petama adalah fasies

yang berkembang selama iniial-roft fill. Fasies ii berkempbbang pada Formasi

Banuwati dan ekuivalen Formasi atibarang sebagai lacustrine clastic dan

vulkanik klastik (Noble, et.al, 1997). Fasies kedua adalah fasies yang terbentuk

selama akhir syn rift dan berkembang pada bagian bawah ekuivalen Formasi

Talang Akar pada formasi ini batuan indukk dicirikan oleh klastika non marine

berukuran kasar dan interbedded antara batupasir dengan lacustrine shale.

1.b. Fluvio Deltaic Coal & Shale

Batuan induk ini dihasilkan oleh ekuivalen Formasi Talang Akar yang

diendapkan selama post rift sag. Fasies ini dicirikann leh coal bearing sediment

yang terbentuk pada system fluvial pada Oligosen Akhir. Batuan induk tipe ini

menghasilkan mnyak dan gas (Moble, et.al, 1991).

1.c. Marine Lacustrine

Page 34: Geologi Regional Pulau Jawa

Batuan induk ini dihasilkan oleh Formasi Parigi dan Cisubuh pada cekungan laut.

Batuan ini dicirikan oleh proses methanogenic bacterina yang menyebabkan

degradasi material organik pada lingkungan laut.

2. Batuan Reservoir

Semua formasi dari Jatibarang hingga Prig merupakan interval dengan sifat fisik

reservoir yang baik, banyak lapangan mempunyai daerah timbunan cadangan

yang terlipat. Cadangan terbesar mengandung batupasir main atau massive dan

Formasi Talang Akar. Minyak diproduksi dari rekahan volkanclastic dari Formasi

Jatibarang (Amril, et.al, 1991). Pada daerah dimana batugamping Baturaja

mempunyai porositas yang baik kemungkinan menghasilkan akumulasi endapan

yang agak besar. Timbunan pasokan sedimen dan laju sedimentasi yang tingg

pada daerah shelf, diidentifikasikan dari clinoforms yang menunjukkan adanya

progradasi. Pemasukan sedimen ini disebabkan oleh pembauran ketidak

stabilan tektonik yang merupakan akibat dari subsidence yang terus menerus

pada daerah foreland dari Lempeng Sunda (Hamilton, 1979). Pertambahan yang

cepat dalam sedimen klastik dan laju subsidence pada Miosen Awal

diinterpretasikan sebagai akibat dari perhentian deposisi Batugamping Baturaja.

Anggota Main dan Massive menjadi dasa dari sequence transgressive marine

yang sangat lambat, kecuali yang berdekatan dengan akhir dari deposisi

anggota Main. Ketebalan seluruh sedimen bertambah dari 400 feet pada daerah

yang berdekatan dengan paaleoshorline menjadi lebih dari 5000 feet pada Sub

cekungan Ardjuna (Noble, et.al, 1997).

3. Jenis Jebakan

Jenis jebakan hidrokarbon pada semua system petroleum di Jawa Barat Utara

hamper sama, hal ini disebabkan evolusi tektonik dari semua cekungan sedimen

sepanjang batas Selatan dari Kraton Sunda, tipe struktur geologi dan

mekanisme jebakan yang hampir sama. Bentuk utama struktur geologi adalah

dome anticlinal yan lebar dan jabakan dari blok sesar yang miring. Pada

beberapa daerah dengan reservoir reefal built-up, perangka stratigrafi juga

berperan. Perangkap stratigrafi yang berkembang uumnya dikarenakan

terbatasnya penyebaran batugamping dan perbedaan fasies.

Page 35: Geologi Regional Pulau Jawa

4. Jalur Migrasi

Migras hidrokarbon terbagi menjadi dua, yaitu migrasi primer dan sekunder,

migrasi primer adalah perpindahan hidrokarbon dari batuan induk kemudian

masuk de dalam reservoir melalui lapisan penyalur (Kosoemadinata, 1977).

Migrasi sekunder dapat dianggap sebagai pergerakan fluida dalam batuan

penyalur menujju trap.

Jalur untuk perpindahan hidrokarbon mungkin terjadi daei jalr keluar yang lateral

dan atau vertical dari cekungan awal. Migrasi lateral mengambil tempat didalam

unit-unit lapisan dengan permeabilitas horizontal yang baik, sedangkan migrasi

vertical terjadi ketika migrasi yang utama dan langsung yang tegak menuju

lateral. Jalur migrasi lateral berciri tetap dari unit-unit permeable. Pada

Cekungan Jawa Barat Utara saluran utama utuk migrasi lateral lebih banyak

berupa celah batupasir yang mempunyai arah Utara-Selatan dari anggota Main

maupun Massive (Formasi Cibulakan Atas). Sesar menjadi saluran utama untuk

migrasi vertical dengan transportasi yang cepat dari pergerakan sesar (Noble,

et.al, 1997).

5. Lapisan Penutup

Lapisan penutup atau tudung merupakan lapisan impermeable yang dapat

menghambat atau menghentikan jalannya hidrokarbon. Litologi yang sangat baik

sebagai lapisan penutup ialah batulempung dan batuan evaporit.

Pada Cekungan Jawa Barat Utara, hampir setiap Formasi memiliki lapisan

penutup yang efektif. Namun formasi yang bertindak sebagai laposan penutup

uatama adalah Formasi Cisubuh, karena Formasi ini memiliki litologi yang baik

sebagai lapisan penutup (impermeable).

Page 36: Geologi Regional Pulau Jawa

(Hydrocarbon Play Cekungan Jawa Barat Utara)

D. PERSEBARAN BAHAN GALIAN EMAS DI PULAU JAWA

Emas pada umumnya terdapat pada suatu zona hidrotermal dimana

pada umunya zona hidrotermal merupakan daerah vulkanis. Genesis emas

sendiri dikatakan bahwa emas berasal dari suatu reservoar yaitu intibumi

dimana kemudian air magmatik yang mengandung ion sulfida, ion klorida,

dan ion tio kompleks mengangkut logam emas ke permukaan bumi. Arah

aliran dari larutan kimia yang mengandung emas ini pada umumnya seara

dengan saluran magma pada gunungapi membentuk urat-urat (vein) emas.

Saat larutan emas terendapkan pada saluran magma yang telah membeku

proses hidrotermal yang merupakan kegiatan pos vulkanis terjadi dari kontak

air meteorik dengan batuan yang panas atau gerakan air magmatik ke atas

dimana keduanya membawa dan melarutkan ion sulfida-klorida-tio kompleks

yang menyebabkan emas semakin terendapkan di permukaan bumi.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka analisis keterdapatan emas dapat

dilacak dari adanya jejak proses sirkulasi hidrotermal atau umum disebut

epitermal dalam dunia tambang di suatu area, Pyrite (Fe2S) yang disebut

Fool Gold juga sering dijumpai bersama dengan emas. Kandungan emas

sebagai inklusi juga kadang dapat ditemui dalam perak dan batuan yang

mengandung tembaga.

Endapan emas juga dapat terbentuk melalui proses pelapukan batuan

beku dan urat emas yang dapat mengikis dan memindahkan mineral emas

Page 37: Geologi Regional Pulau Jawa

dimana mineral emas akan tersedimentasi dalam material yang berbutir

sangat halus yaitu material lempung. Jika tidak terjadi intrusi, mineral emas

bisa saja ada pada batugamping yaitu mineral emas dari hasil pelapukan

batuan beku yang mengalami proses hidrotermal di tempat yang jauh, namun

kemunginannya sangat kecil sekali terdapat kandungan emas yang besar

dan menguntungkan secara ekonomis dalam batugamping karena sifat

batugamping yang sangat porus sehingga mineral emas tidak mungkin

tersedimentasi dalam batugamping.