BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film Sebagai Media Komunikasi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film Sebagai Media Komunikasi...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Komunikasi secara etimologis “communicato” bersumber dari kata
“communs” yang berarti sama makna. Sedangkan secara terminologi komunikasi
merupakan penyampaian pesan, informasi, simbol dari seorang komunikator
kepada komunikan melalui media tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut John Fiske komunikasi merupakan produksi dan pertukaran makna,
dimana fokus bagaimana pesan atau teks, berinteraksi dengan manusia didalam
rangka untuk memproduksi makna; artinya pandangan ini sangat memerhatikan
peran teks didalam budaya1.
Komunikasi memiliki bidang – bidang komunikasi diantaranya adalah
komunikasi politik, komunikasi dakwah, komunikasi bisnis dan komunikasi
pemasaran. Namun dalam setiap bidang komunikasi terdapat konteks – konteks
komunikasi yang digunakan. Joseph A. de Vito dalam bukunya Comminiology
(1982) membagi konteks komunikasi menjadi komunikasi intrapersonal,
komunikasi antarpersonal, komunikasi publik, dan komunikasi massa (Cangara,
2005 : 29)
1 John Fiske. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada) hlm. 3-6
7
Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang
berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada
khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti
radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain.
Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan
media massa, baik media cetak maupun media elektonik. Sebab awal
perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of
mass communication (media komunikasi massa)2.
Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk
memindahkan pesan dari pengirim kepada penerima. Dalam komunikasi massa,
media adalah alat penghubung antara sumber dan penerima yang sifatnya terbuka,
dimana setiap orang dapat melihat, membaca, dan mendengarnya. Media dalam
komunikasi massa dapat dibedakan menjadi dua, media cetak dan media
elektronik.
Media cetak merupakan suatu media yang bersifat statis dan
mengutamakan pesan- pesan visual. Media ini terdiri dari lembaran kertas dengan
sejumlah kata,gambar, atau foto dengan tata warna dan halaman putih. Media
cetak merupakan dokumen atas segala dikatakan orang lain dan rekaman peristiwa
yang ditangkap oleh jurnalis dan diubah dalam bentuk kata-kata, gambar , foto,
dan sebagainya. Media massa yang merupakan media cetak adalah surat kabar,
majalah, buku, dan sebagainya.
2 Nurudin. 2011. Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada) hlm 3-4
8
Media elektronik merupakan sarana media massa yang mempergunakan
alat-alat elektronik modern. Media elektronik dapat menarik khalayaknya
memberikan perhatian secara penuh karena apa yang disiarkannya tidak diulang.
Media elektronik sejak awal sudah bersifat demokratis dengan khalayak
masyrakat luas secara keseluruhan, bukan kalangan tertentu saja. Media massa
yang merupakan media elektronik adalah radio, televisi, film dan internet.
Dari pemaparan di atas Film adalah media komunikasi yang bersifat audio
visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang
berkumpul di suatu tempat tertentu (Effendy, 1986: 134). Pesan film sebagai
media komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi film
tersebut. Akan tetapi, umumnya sebuah film dapat mencakup berbagai pesan, baik
itu pesan pendidikan, hiburan, informasi dan sosialisasi. Albert Bandura
menyatakan Social Learning Theory, teori yang menganggap media massa
sebagai Agen sosialisasi yang utama disamping keluarga, guru dan sahabat.
Dalam hal ini, film sebagai media komunikasi massa yang mampu menjadi media
sosialisasi.
Film juga dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh terhadap
massa yang menjadi sasarannya, karena sifatnya yang audio visual, film mampu
bercerita banyak dalam waktu singkat. Ketika menonton film, penonton seakan-
akan dapat menembus ruang dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan
bahkan dapat mempengaruhi audiens.
Pada dasarnya film dapat dikelompokan kedalam dua pembagian dasar,
yaitu kategori film cerita dan non cerita. Pendapat lain menggolongkan menjadi
9
film fiksi dan film non fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan
cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film
cerita bersifat komersil, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis
tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film non
cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya, yaitu merekam
kenyataan dari pada fiksi tentang kenyataan (sumarno, 1996: 10).
Film merupakan bisa berupa gambaran atas realitas sosial yang terjadi
sehari-hari. Pembuatan filmnya pun harus melalui sentuhan- sentuhan unsur-unsur
seni sehingga bisa menjadi sebuah film yang memiliki pesan moral kepada
masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya film maka bisa merupakan deskripsi
akan budaya masyarakat. Budaya- budaya pada sebuah masyarakat akan
tercerminkan dalam sebuah film melalui sentuhan-sentuhan seninya.
Film yang bagaimana yang berkualitas dan bermutu sebenarnya hal itu
memang terlalu sukar untuk diutarakan, tetapi tidak terlalu sukar untuk dirasakan.
Bermutu atau berkualitasnya sebuah film sebenarnya tergantung dari penilaian
yang bersifat subyektif. Semua itu kembali lagi pada selera masing-masing orang.
Adapun pelbagai ketentuan-ketentuan menurut Effendy (2003:226) yang
barangkali dapat dipergunakan untuk menentukan kriteria film berkualitas atau
bermutu:
a. Memenuhi tri fungsi film, pada dasarnya film mempunyai tiga fungsi pokok
yaitu menghibur, mendidik serta fungsi menerangkan. Ketika seseorang
menonton film, pada kenyataannya mereka itu ingin mendapatkan suatu
10
hiburan yang berbeda. Hal itu dikarenakan aktivitas manusia yang sangat
padat, sehingga mereka meluangkan waktu senggangnya untuk itu.
b. Konstruktif, film yang bersifat konstruktif adalah film yang menonjolkan
peran aktor-aktornya serba negatif, sehingga hal itu sangat mudah untuk
ditiru oleh masyarakat terutama kalangan remaja.
c. Artistik, Etis dan Logis, film memang haruslah mempunyai nilai artistik
dibandingkan dengan karya seni yang lainnya. Oleh karena itu, unsur
kelogisan dirasa penting dalam sebuah film untuk memberikan wacana yang
positif terhadap masyarakat.
d. Persuasif, film yang bersifat persuasif adalah film yang mengandung ajakan
secara halus, dalam hal ajakan berpartisipasi terutama dalam pembangunan.
Seringkali ajakan tersebut berasal dari program sosialisasi pemerintah
tentang suatu topik.
2.2 Film Sebagai Ekspresi Realitas Sosial Budaya
Komunikasi merupakan salah satu aktivitas kehidupan baik disadari
maupun tidak disadari, setiap orang mengenalnya dan melakukan aktivitas
tersebut. Hal sederhana yang banyak diketahui oleh setiap individu tentang
komunikasi yaitu bagaimana kita berhubungan dengan orang lain dan bagaimana
kita saling mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan pada saat mereka menonton
televisi mendengarkan radio, melihat film di bioskop dan lain-lain bukan
merupakan kegiatan komunikasi, karena tidak adanya lawan bicara. Hal ini dapat
dimaklumi karena tidak semua individu dapat mendefinisikan tentang proses
komunikasi.
11
Menurut para teoritikus film, menyatakan bahwa film yang dikenal
dewasa ini merupakan perkembangan produksi film yang dianggap sebagai
kerja kolaboratif, yaitu melibatkan sejumlah tenaga kreatif seperti sutradara,
penulis skenario, penata kamera, penyunting gambar, penata artistik dan
pemeran. Unsur-unsur kreatif ini saling mendukung dan mengisi untuk
membentuk totalitas dalam suatu produksi film (Sumarno, 1996:16).
Perkembangan dunia komunikasi dan film merupakan perkembangan dari
kehidupan sosial masyarakat. Banyak film-film yang berdedar banyak
menyiratkan makna-makna dalam kehidupan social masyarakat. Misalnya saja
film Axelerate: The series yang menggambarkan seorang pria menjalani hidup
dan menggapai tujuannya atau film catatan si Boy yang menyiratkan kehidupan
seorang pria yang menjadi idola. Hal ini menjadikan film sebagai media
komunikasi dalam menyampaikan realitas sosial budaya dalam masyarakat.
2.3 Macam – Macam Genre Film
Genre merupakan klasifikasi yang memiliki ciri – ciri tersendiri untuk
mengelompokkan film. Dalam film fiksi terdapat banyak genre antara lain :
1. Komedi
Tema film komedi intinya adalah menonjolkan tontonan yang
membuat penonton tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak. Film
komedi berbeda dengan lawakan, karena film komedi tidak harus
dimainkan oleh pelawak, tetapi pemain biasa pun bisa memerankan tokoh
yang lucu.
12
2. Drama
Tema ini lebih menekankan pada sisi human interest yang
bertujuan mengajak penonton ikut merasakan kejadian yang dialami
tokohnya, sehingga penonton merasa seakan-akan berada di dalam film
tersebut. Tidak jarang penonton yang merasakan senang, sedih, kecewa,
dan ikut marah.
3. Action
Tema action mengutamakan adegan-adegan perkelahian,
pertempuran dengan senjata, atau kebutkebutan kendaraan antara tokoh
yang baik (protagonis) dengan tokoh yang jahat (antagonis), sehingga
penonton ikut merasakan ketegangan, was- was, takut, bahkan bisa ikut
bangga terhadap kemenangan si tokoh.
4. Horror
Film bertemakan horor selalu menampilkan adegan-adegan yang
menyeramkan sehingga membuat penontonnya merinding karena perasaan
takutnya. Hal ini karena film horor selalu berkaitan dengan dunia gaib/
magis, yang dibuat dengan special affect, animasi, atau langsung dari
tokoh- tokoh dalam film tersebut.
5. Fantasy
Film dengan genre ini biasa melibatkan unsur magis atau hal di
luar jangkauan logika manusia, genre ini terangkat pasca kesuksesan The
Wizard of Oz (1939) dan kemudian muncul film-film seperti, The lord of
the Rings (2003) dan lain sebagainya.
13
6. Thriller
Genre ini selalu mendapat tempat di hati para penggemarnya.
Sensasi ketegangan yang dirasakan ketika menonton film sejenis dapat
memberikan sensasi tersendiri bagi para penikmatnya. Psycho (1960),
Memento (2001).
7. Musical
Genre film dimana didalamnya lagu dinyanyikan oleh para
karakter terjalin kedalam narasi, kadang-kadang disertai dengan tarian,
seperti film Petualangan Sherina.
8. Adult
Film-film dengan genre ini hanya diperuntukan bagi para penonton
yang berusia di atas 18 tahun. Banyaknya adegan kekerasan dan seks yang
tersaji dalam film-film ini membuat film diberi rating “R”3 hingga “NC-
17”4 oleh lembaga rating Amerika. Basic Instinct (1992), Caligula (1979).
9. Sci-Fi
Film bergenre ini biasanya menggambarkan fenomena berbasis
ilmu pengetahuan yang belum tentu diterima oleh ilmu pengetahuan saat
ini, seperti film tentang adanya kehidupan di luar bumi.
10. Cult
Definisi genre ini memang tidak pasti dan kerap berbeda dari
pendapat satu ke pendapat yang lainnya. Ada yang mengatakan sebuah
film layak dikatakan cult apabila ketika dirilis tidak sukses, namun seiring
3 adalah "Restricted" atau dibatasi!. film dengan rating "R" tidak diijinkan untuk anak yang berumur dibawah 17 tahun tanpa pengawasan orang tua 4 film ini merupakan asli untuk orang desawa!, dan tidak di perkenankan untuk orang yang berumur kurang dari 17 tahun
14
berjalannya waktumendapat supporter yang masiv. Ada juga yang
mengatakan jika beberapa unsur dalam filmnya unik dan berbeda dari
kebanyakan film lainnya, maka dapat dikatakan cult. Pulp Fiction (1994),
Dogville (2003).
11. Animation
Film yang pengelolahan gambarnya menggunakan bantuan grafik
komputer hingga menghasilkan efek 2 dimensi dan 3 dimensi. How to
Train Your Dragon (2010).
12. Documentary
Film berdasarkan kisah nyata dan terbukti otentik dari kejadian
yang pernah terjadi di kehidupan nyata. Fahrenheit 9/11 (2004).
Dari paparan di atas film Catatan Si Boy, Ada Ada Dengan Cinta dan
Axelerate The Series masuk dalam kategori genre film drama, film yang
menekankan pada sisi human interest yang dapat membuat penonton seolah - olah
ikut merasakan apa yang terjadi dalam film ini.
2.4 Sinematografi
Sinematografi berasal dari kata cinema yang merupakan singkatan dari
cinemathographie. Cinemathographie berasal dari kata cinema yang artinya
gerak, lalu tho yang berarti cahaya dan graphie yang berarti tulisan atau gambar.
Jadi definisi dari cinemathopraphie adalah melukis gerak dengan cahaya.
Cinemathopraphie juga merupakan istilah harfiah untuk menyebut film.
15
2.4.1 Bahasa Film
Secara singkat, bahasa film merupakan sederatan gambar
yang bergerak maupun statis. Namun kemajuan teknologi
membuat film bisa ditambahkan suara, sehingga pengertian
bahasa film menjadi sederatan gambar yang bergerak maupun
statis dan ditambah dengan suara. Selain itu, ada ketentuan lain
yang harus diperhatikan dalam bahasa film yaitu running time
(space / ruang) Karena itu penulis skenario harus
memperhatikan ketiga unsur yaitu: gambar, suara dan running
time.
a. Gambar
Dalam bahasa film, gambar tidaklah berdiri sendiri. Ada
beberapa unsur pokok yang harus diperhatikan seperti
set/tempat, properti, cahaya aktor dan obyek.
Makna sebuah gambar dalam film juga ditentukan dari
sudut pengambilan gambar (angle kamera). Straight angle, yaitu
sudut pengambilan gambar yang normal. Posisi kamera sejajar
dengan objek. Biasa digunakan untuk mengambil gambar acara
yang tetap. Mengesankan situasi normal. Yang kedua ada Low
angel, sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih rendah
lentaknya dari objek. Hal ini akan membuat kesan kuat,
berkuasa dan memiliki kekuatan yang menonjol. High angle,
merupakan sudut pengambilan gambar dimana posisi kamera
16
berada di atas objek, hal ini dapat memberikan penonton suatu
kesan kekuatan dan superiroritas.
b. Suara
Suara dapat dipandang sebagai unsur yang penting, kurang
penting, bahkan sama sekali tidak penting, tergantung pada cara
penulis menyusun skenarionya. Suara memang bisa membuat
gambar menjadi lebih hidup. Namun ada kalanya suara juga
tidak diperlukan jika keheningan dirasa tepat untuk suatu
adegan. Suara dibagi dalam 3 golongan, yaitu dialog/narasi,
sound effect dan background music.
Dialog biasa digunakan film fiksi. Dialaog sendiri
merupakan kata – kata yang berfungsi untuk mengemukakan
pendapat, menjelaskan tetang tokoh, menggerakkan plot dan
juga mengungkap fakta. Dalam istilah yang lebih sederhana
dialaog adalah percakapan. Sedangkan Narasi merupakan sarana
penting bagi film non fiksi, karena pada umumnya film nonfiksi
disunting dengan menggabungkan dua gambar yang tidak
memiliki keterkaitan satu sama lain (cut way). Untuk itu
dibutuhkan narasi sebagai alat untuk menyambungkan kedua
gambar tersebut, agar tidak tejadi kesalahan penafsiaran oleh
penonton dan narasi akan membuat gambar menjadi satu
kesatuan.
Selain dialog dan narasi, suara pada film juga bisa berupa
sound effect. Sound effect atau efek suara merupakan suara –
17
suara baik itu suara tiruan maupun suara sebenarnya yang
digunakan untuk menampilkan daya imajinasi atau penafsiaran
tentang suasana dan situasi yang ditampilkan. Merupakan suara
untuk latar belakang yang berfungsi untuk menghidupkan setiap
gerak dalam shot.
Setelah dialog/narasi dan juga sound effect, untuk
menghidupkan suatu adegan dalam film biasanya menambahkan
background music. Background music atau musik latar belakang
merupakan musik yang berfungsi untuk melatar
belakangi/mengiringi adegan yang sdang tayang. Mengingat
fungsinya sebagai latar belakang, maka dalam
memilih/menggunakan musik ini., harus betul-betul sesuai
dengan adegan yang disajikan. Penggunaan musik ini setidaknya
akan menghidupkan dan mewarnai suasana. Selain itu, musik
juga bisa memberikan informasi tentang waktu dalam adegan
yang sedang tayang.
c. Running Time
Running Time merupakan masa putar sebuah film atau
berapa lama film itu diputar. Istilah lain untuk running time
adalah durasi. Jadi running time adalah panjang pendeknya
waktu yang dibutuhkan film untuk tayang. Dalam film fiksi
running time berkisar abatara 90 sampai dengan 105 menit,
sedangkan untuk film nonfiksi berkisar antara 5 sampai dengan
30 menit.
18
2.4.2 Tokoh
Istilah tokoh merujuk pada individu – individu yang
muncul dalam sebuah cerita. Tokoh dapat didefinisikan sebagai
pelaku cerita. Aminudin dalam bukunya (2002 : 79)
menjelaskan pengertian tentang tokoh merupakan pelaku yang
mengemban peristiwa, sehingga peristiwa – peristiwa tersebut
dapat terjalin menjadi sebuah cerita.
Tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong
penting dan sering muncul, sehingga mendominasi isi cerita.
Ada juga tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali
dan porsinya relatif singkat.
Berdasarkan keterlibatannya tokoh utama (tokoh sentral)
merupakan tokoh yang mempunyai porsi peran lebih banyak
dibandingkan dengan tokoh tambahan (tokoh periferal).
Untuk dapat menentukan tokoh utama dan tokoh tambahan
adalah dengan membandingkan peran setiap tokoh dalam cerita.
Agar dapat dikatakan sebagai tokoh utama, maka harus memiliki
kriteria sebagai berikut, bertindak sebagai pusat pembicaraan
dan sering diceritakan, sebagai pihak yang paling dekat
kaitannya dengan tema cerita, lebih sering melkukan interaksi
dengan tokoh lain.
19
2.4.3 Karakter
Karakter bisa disebut juga penokohan ataupun perwatakan
merujuk pada sifat dan watak dari pelaku cerita. Penggunaan
istilah tersebut menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
Henry Guntur (2003 : 146) menjelaskan dalam bukunya
mengenai karakter sebagai suatu proses yang digunakan oleh
seorang pembuat cerita dalam menciptakan tokoh – tokohnya.
Karakter atau penokohan atau perwatakan adalah lukisan
mengenai tokoh cerita baik keadaan lahirnya, maupun batinnya
uang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya,
keyakinannya, dan adat istiadatnya.
Karakter atau penokohan di bagi menjadi 3, yaitu
Protagonis atau yang biasa disebut sebagai tokoh utama baik
dalam film. Antagonis adalah kebalikan dari protagonist,
karakter ini biasa digambarkan sebagai jahat yang memulai
konflik dalam sebuah film. Selanjutnya ada Tritagonis, karakter
ini biasanya digambarkan sebagai tokoh pembantu yang
biasanya muncul sebagai tokoh yang dapat membantu
menyelesaikan masalah dalam cerita. (Wicaksono : 2014)
2.5 Penggambaran Karakter Dalam Film
Pada awal abad ke 20, akar film komersil adalah darama panggung / teater.
Namun film berbeda dalam bebagai hal, film memiliki potensi seni piktorikal
yang cermat dan memiliki kesanggupan bercerita yang lebih besar. Maksudnya
adalah seorang aktor dikatakan berhasil jika ia bisa membangun citra yang baik.
20
Citra disini merupakan karakter tokoh yang sudah diciptakan dalam naskah cerita
sesuai dengan arahan sutradara. Apabila seorang aktor ingin dianggap berhasil,
maka ia harus mampu menciptakan karakter baru dalam dirinya sesuai dengan apa
yang karakter yang ada dalam naskah.
Karakter erat kaitannya dengan plot. Plot merupakan insiden – insiden
yang menyangkut dengan karakter. Seorang aktor harus mampu menafsirkan plot
– plot dalam cerita dengan akting mereka. Karakter tercipta dari pemikiran
seorang sutradara, sebelum akhirnya akan dijabarkan oleh penulis skenario.
Dalam sebuah film bagaimana karakter sebuah peran tergantung bagaimana
seorang sutradara menciptakannya. Akan menjadi sangat beresiko ketika seorang
sutradara tidak hati – hati dalam menciptakan karakter dalam film.
Penggambaran karakter tokoh pada sebuah film tidak bisa lepas dari
konsep gender yang telah ada. Misal, perempuan dikenal dengan sosok yang
lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara pria dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan, misalnya ada pria yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat ,
rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.5
Dalam penggambaran karakter tokoh pria dalam film, sutradara harus
melihat unsur-unsur pembentuk konsep maskulinitas kala itu. Sebagai tokoh
sentral, citra pria maskulin bisa menjadi daya tarik penonton khususnya
penonton wanita.
5 Ibid, hlm 8-9
21
2.6 Maskulinitas
Kata maskulin sendiri sangat dekat dengan kata musle (otot) yang serta
merta akan diasosiasikan dengan keperkasaan, kekuatan, kepahlawanan dan
terkadang kekerasan (Subono, 2002:106). Maskulinitas di sini dapat dimaknai
dengan mengacu pada watak yang melekat pada laki-laki seperti jantan, perkasa,
agresif, rasional, dan dominan. Berbagai karakter maskulinitas muncul dan
menjadi wacana sehari-hari. Maskulinitas juga dapat dipersepsikan sebagai imaji
kejantanan, ketangkasan, keperkasaan, keberanian untuk menantang bahaya,
keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki yang
menyembul atau bagian tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki yang
terlihat secara ekstrinsik. Laki-laki secara alamiah lebih mendominasi dan haus
akan kekuasaan.
Konsep maskulinitas sama halnya jika berbicara mengenai feminin.
Maskulinitas merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki.
Laki-laki tidak dilahiran begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami,
maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Hal yang menentukan sifat perempuan
dan laki-laki adalah kebudayaan (Barker, dalam Nasir, 2007:1).
Tahap penyebaran konsep maskulinitas tidak terlepas dari keberadaan
media. Media sebagai alat penyebar informasi dan komunikasi telah menjadi
bagian dari kehidupan sosial masyarakat, karena dianggap sebagai agen
sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media
mengungkapkan kepada kita tentang peran pria dan wanita dari sudut pandang
tertentu. Media dengan demikian bisa menjadi saluran mitos dan sekaligus
sarana pengukuhan mitos tertentu tentang gender, pria dan wanita. Sehingga
22
dapat dikatakan bahwa media juga berperan penting dalam menciptakan nilai-
nilai maskulinitas laki-laki, baik itu media cetak maupun media elektronik.
Televisi, misalnya, lebih banyak menggambarkan pria daripada wanita, dan pria
lebih sering ditampilkan dalam peran pemimpin (Ibrahim, 2007: 4).
Dari masa ke masa, konsep maskulinitas telah mengalami perkembangan.
Hal tersebut dikemukakan Beynon dalam Muh Fitroh Anshori (2014: 22), yang
membagi konsep maskulinitas dalam setiap dekade menjadi 4 waktu, yaitu
maskulin sebelum tahun 1980-an, maskulin tahun 1980-an, maskulin tahun 1990,
dan maskulin tahun 2000-an.
Sosok maskulin yang muncul pada tahun sebelum 1980-an adalah pada
figur-figur laki-laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai
dominator, terutama atas perempuan. Citra laki-laki semacam ini memang kental
dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki-laki bekerja di pabrik sebagai
buruh berlengan baja. Laki-laki terlihat sangat bapak, sebagai penguasa dalam
keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta pembuat keputusan
utama. Konsep maskulinitas semacam ini dinamakan konsep maskulin yang
tradisional dalam pandangan barat.
Menurut Deborah David dan Robert Brannon (Nasir, 2007:2), terdapat
empat aturan yang memperkokoh sifat maskulinitas, yaitu:
1) No Sissy Stuff: sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau feminin
dilarang, seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau
karakteristik yang berasosiasi dengan perempuan.
2) Be a Big Wheel: Maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasan, dan
23
pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan,
ketenaran, dan status yang sangat lelaki.
3) Be a Sturdy Oak: kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan dan
kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai
situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak menunjukkan kelemahannya.
4) Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta
harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan
sebaliknya.
Dalam ketradisionalitasan yang dikembangkan oleh kebudayaan Jawa
juga kurang lebih sama, salah satunya mirip dengan poin kedua bahwa laki- laki
must be a big wheel. Seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki
garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukilo (burung peliharaan),
dan pusoko (senjata atau kesaktian) (Osella & Osella, 2000: 120).
Maskulin pada tahun 1980-an, maskulin bukanlah laki-laki yang berbau
woodspice lagi, maskulin adalah sosok laki-laki sebagai new man. Beynon
(Nasir, 2007: 3) menunjukkan dua buah konsep maskulinitas pada dekade 80-an
itu dengan anggapan-anggapan bahwa new man as nurturer dan new man as
narcissist. New man as nurturer merupakan gelombang awal reaksi laki-laki
terhadap feminisme. Laki-laki pun menjalani sifat alamiahnya seperti perempuan
sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian. Laki-laki mempunyai
kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya, untuk mengurus anak. Keinginan
laki-laki untuk menyokong gerakan perempuan juga melibatkan peran penuh
laki-laki dalam arena domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas
24
menengah, berpendidikan baik, dan intelek (Beynon, dalam Nasir, 2007: 3).
Anggapan kedua adalah bahwa new man as narcissist, hal ini berkaitan dengan
komersialisme terhadap maskulinitas dan konsumerisme semenjak akhir Perang
Dunia II. New man as narcissist adalah anak-anak dari generasi zaman hippies
(tahun 60-an) yang tertarik pada pakaian dan musik pop. Banyak produk-produk
komersil untuk laki-laki yang bermunculan, bahkan laki-laki sebagai objek
seksual menjadi bisnis yang amat luar biasa. Di sini, laki-laki menunjukkan
maskulinitasnya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan perlente. Laki-
laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial yang
membuatnya tampak sukses. Properti, mobil, pakaian atau artefak personal
merupakan wujud dominan dalam gaya hidup ini. Kaum maskulin yuppies ini
dapat dilihat dari penampilannya berpakaian, juga Porsche mereka. Kaum
yuppies menganggap laki-laki pekerja industri yang loyal dan berdedikasi
sebagai sosok yang ketinggalan zaman dalam pengoprasian modal (Beynon,
dalam Nasir, 2007: 3).
Kemudian maskulin tahun 1990-an, Laki-laki kembali bersifat tidak
peduli lagi terhadap remeh-temeh seperti kaum maskulin yuppies di tahun 80-an,
The new lad ini berasal musik pop dan football yang mengarah kepada sifat
kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. Laki-laki kemudian
menyatakan dirinya dalam label konsumerisme dalam bentuk yang lebih macho,
seperti membangun kehidupannya di sekitar Football atau sepak bola dan dunia
minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para perempuan (Beynon, dalam
Nasir, 2007: 4). Pada dekade 1990-an ini kaum laki-laki masih mementingkan
Leisure time mereka sebagai masa untuk bersenang-senang, menikmati hidup
25
bebas seperti apa adanya. Laki-laki bersama teman-temannya, bersenang-senang,
menyumpah, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat lelucon-lelucon
yang dianggap merendahkan perempuan. Hubungan-hubungan laki-laki dengan
perempuan pun terbatas dalam hubungan yang bersifat kesenangan semata.
Kebebasannya menjauhkan dari hubungan yang bersifat domestik yang
membutuhkan loyalitas dan dedikasi.
Selanjutnya maskulin tahun 2000-an, Di luar perkembangan maskulin
yang dikemukakan oleh John Beynon, juga patut dicermati maskulin pada tahun
2000-an, mengingat tahun 2000-an sudah nyaris mendekati satu dekade. Hal yang
terjadi dengan laki-laki sekarang ini adalah munculnya sesuatu yang khas dan
semakin lama gejala kelelakian semakin penuh dengan terminologi-terminologi
baru. Homoseksual yang sudah berkembang semenjak dekade 80-an, sekarang
bahkan terminologi laki-laki sudah mengenal istilah metroseksual (Beynon,dalam
Nasir, 2007: 5).
Konsep maskulinitas yang dipaparkan oleh John Beynon inilah yang
menjadi landasan peneliti dalam melakukan penelitian ini. Konsep maskulinitas
yang telah paparkan oleh Beynon dapat diartikan, bahwa konsep maskulinitas
bukanlah hal yang mutlak. Konsep maskulinitas akan terus berkembang dan
berubah dengan adanya pengaruh budaya yang dibawa oleh media massa, salah
satunya film.
Maskulinitas dapat dilihat dari selera dan cara berpakaian, penampilan,
bentuk aktivitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan, ekspresi verbal
maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito & Curry,
26
1998:1). Seperti pada pemaparan sebelumnya, film sebagai media komunikasi
massa yang berperan sebagai agen sosialisasi gender. Dalam penggambaran
tokoh pria dalam sebuah film, maskulinitas dapat dilihat dari bagaimana elemen
- elemen yang telah dikemukakan oleh Vigorito & Curry di atas.