TEKNIK KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK …repository.fisip-untirta.ac.id/1209/1/TEKNIK KOMUNIKASI...
Transcript of TEKNIK KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK …repository.fisip-untirta.ac.id/1209/1/TEKNIK KOMUNIKASI...
TEKNIK KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG
TUNARUNGU
(Studi Deskriptif Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu yang
bersekolah di SLB 01 Kota Serang)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana (S-l )
Pada Program Studi llmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan llmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Oleh :
Syifa Apriliyanti
6662140778
KONSENTRASI ILMU HUMAS
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG - BANTEN
2018
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Persembahan:
Skripsi ini kupersembahkan untuk mamah, papah, adik-adikku,
umi tersayang, ema dan appa tersayang.
Ini sebagai pemenuhan janjiku pada keluarga tercinta.
Terima kasih karena selalu memberikan semangat dan do’a yang
tidak pernah putus untuk teteh.
ABSTRAK
Syifa Apriliyanti. NIM 6662140778. Skripsi. TEKNIK KOMUNIKASI
ORANG TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG TUNARUNGU (Studi
Deskriptif Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penyandang
Tunarungu yang bersekolah di SLB 01 Kota Serang). Pembimbing I: Andin
Nesia, M.I.Kom dan Pembimbing II: Ronny Yudhi Septa P, M.Si
Manusia merupakan mahluk sosial, maka dari itu komunikasi menjadi bagian
terpenting dalam hidup manusia. Jika dilihat dari sifatnya, komunikasi dibagi
menjadi dua macam, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi tentu
tetap harus dilakukan oleh penyandang tunarungu untuk mengutarakan perasaan
yang sedang dirasakan. Orang tua yang memiliki anak tunarungu pun tetap harus
melakukan interaksi dengan anaknya, maka dari itu dibutuhkan kemampuan
khusus untuk dapat membuat komunikasi dipahami oleh kedua pihak. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui bagaimana teknik komunikasi yang digunakan
orang tua untuk berkomunikasi dengan anak penyandang tunarungu. Teori yang
digunakan adalah teori akomodasi komunikasi dari Giles (1973). Metode
penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan
data dengan wawancara mendalam dan observasi. Hasil dari penelitian
menjelaskan bahwa orang tua menggabungkan teknik komunikasi verbal dan non
verbal secara bersamaan saat berinteraksi dengan anak tunarungu (tuli), orang tua
kurang memahami mengenai cara penggunaan bahasa isyarat yang pada umumnya
digunakan oleh orang yang meyandang tunarungu (tuli) dan orang tua merasa
lebih nyaman saat menggunakan bahasa yang telah mereka ciptakan bersama anak
dibandingkan dengan menggunakan bahasa isyarat yang ada.
Kata Kunci: Komunikasi, Anak Tunarungu, Komunikasi Verbal dan Non Verbal
ABSTRACK
Syifa Apriliyanti. NIM 6662140778. Thesis. PARENT COMMUNICATION
TECHNIQUES ON DEAF CHILDREN (Descriptive Study of Parent
Communication Techniques On Deaf Children Who Attended Extraordinary
School 01 of Serang). Mentor I: Andin Nesia, M.I.Kom and Mentor II:
Ronny Yudhi Septa P, M.Si
Humans are social beings, therefore communication is the most important part of
human life. In naturally, communication is dividing into two types, namely verbal
and nonverbal communication. Communication is also used by deaf people to
express feelings that are being felt. Parents with deaf children still have to
interact, for that reasons special abilities are needed to make a
mutualunderstanding communication for both of them. The purpose of this study
was to found out how communication's techniques used by parents to
communicate with deaf children. The theory concept that used is the
communication accommodation theory from Giles in 1973. This research used
qualitative descriptive as a method. Data was collected by in-depth interviews and
observation technique. The results explained that parents are combined verbal and
non-verbal communication's techniques at the same time when interacted with
deaf children, parents do not understand about the uses of sign language which is
generally used by people who are deaf and parents felt more comfortable when
used the language that they has created with their children beside to used sign
language.
Keywords: Communication, Deaf Children, Verbal and Non Verbal
Communication
Kata Pengantar
Assalamuallaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Teknik
Komunikasi Non Verbal Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tuna Rungu
(Studi Deskriptif Penggunaan Komunikasi Nonverbal Orang Tua Terhadap Anak
Penyandang Tunarungu yang bersekolah di SLB 01 Kota Serang).
Penulisan skripsi ini dibuat guna memenuhi syarat untuk meraih gelar
kesarjanaan starta satu (S1) Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna karena terbatasan ilmu, waktu, pengalaman, dan pustaka yang dimiliki
oleh penulis. Namun penulis tetap berusaha untuk menyajikan yang terbaik.
Skripsi ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan skripsi ini. Untuk
itu penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M. Pd selaku Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
2. Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa beserta jajarannya.
3. Dr. Rahmi Winangsih, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi.
4. Darwis Sagita, M.I.Kom., selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Ilmu
Komunikasi.
5. Andin Nesia, M.I.Kom selaku pembimbing I yang telah dengan sabar
memberikan berbagai arahan dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Ronny Yudhi Septa P, M.Si yang telah memberikan pengarahan dalam
setiap lembar skripsi yang disusun peneliti.
7. Seluruh Dosen FISIP UNTIRTA yang telah memberikan ilmu dan
pengalaman yang tidak ternilai.
8. Seluruh staf karyawan Prodi Ilmu Komunikasi UNTIRTA yang telah
membantu kepentingan penulis dalam berbagai hal selama pengerjaan
skripsi ini.
9. Mamah dan Papah yang dengan sabar telah memberikan semangat kepada
penulis, do’a yang tidak pernah putus, dukungan moral dan material yang
tidak ternilai.
10. Umi, Ema dan Appa yang memberikan do’a terbaik dan banyak motivasi
penting di saat penulis merasa takut dan putus asa.
11. Muhammad Fahmi Pradipta, M. Jagat Satria, M. Raditia Erlangga, M.
Afnan Faeza Rizky Ghaisan, M. Layang Jamuskalimusada yang telah
menjadi penyemangat dikala rasa putus asa melanda.
12. Teman-temanku Novita Dewi Suci A, Nadhira Puteri U, Dhea Dhestantya,
Dinda Novitha, Suci Sekar A, Fadil Andriansyah, Sridanyanti, Annisa Ayu
yang sudah menemani perjuangan selama kuliah, yang selalu mengingat
kan mengenai banyak hal, terutama dalam pengerjaan skripsi. Yang
menemani hari-hari peneliti selama 4 tahun kuliah.
13. Tubagus Muhamad Roehtomy yang selalu memberikan semangat dan
dorongan di segala hal, yang menemani disetiap keadaan susah maupun
senang, teman berfikir dan berbagi cerita dalam segala hal.
14. Ibu Ayu, Ibu Vivi dan Ibu Urayatun selaku informan yang dengan baik
hatinya memberikan waktu selama penelitian ini berlangsung.
15. Ibu Euis Andariah S.Pd salaku informan pendamping yang sudah
memberikan banyak pengetahuan mengenai materi penelitian peneliti.dan
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
16. Temanku lisa, nana, fani yang selalu memberikan semangat kepada
penulis, menemani penulis dalam berbagai kondisi
17. Mih inda dan om topan yang tidak pernah lupa untuk mengingatkan
penulis akan cita-cita yang ingin di capai.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis dalam
pelaksanaan penyusunan skirpsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna kesempurnaan skripsi ini.
Serang, September 2018
Penulis
Daftar Isi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK ............................................................................................... i
ABSTRACK............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................... vi
DAFTAR BAGAN DAN TABEL ...................................................... viii
DARTAR GAMBAR ............................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 7
1.3 Identifikasi Masalah ............................................................. 7
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................. 8
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi ......................................................................... 10
2.1.1 Tujuan Komunikasi .................................................... 11
2.1.2 Fungsi Komunikasi .................................................... 12
2.1.3 Proses Komunikasi ..................................................... 14
2.1.4 Hambatan Komunikasi ............................................... 15
2.2 Komunikasi Verbal dan Non Verbal .................................. 17
2.2.1 Komunikasi Verbal ................................................... 17
2.2.2 Komunikasi Non Verbal ........................................... 18
2.3 Tunarungu ........................................................................... 21
2.3.1 Karakteristik Tunarungu ............................................ 24
2.3.1 Bahasa Isyarat ............................................................. 26
2.4 Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak ................................ 28
2.5 Teori Akomodasi Komunikasi ............................................ 30
2.6 Kerangka Berfikir ................................................................ 32
BAB III METEDOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian ......................................................... 35
3.2 Sifat Penelitian .................................................................... 36
3.3 Metode Penelitian ................................................................ 37
3.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 38
3.5 Informan Penelitian ............................................................. 41
3.6 Analisis Data ....................................................................... 44
3.7 Lokasi dan Jadwal Penelitian .............................................. 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ................................................... 47
4.2 Hasil Penelitian .................................................................... 51
4.2.1 Penyesuaian Gaya Komunikasi Orang Tua ................. 52
4.2.2 Bentuk Komunikasi Yang Diciptakan Orang Tua ...... 58
4.2.3 Kendala Orang Tua Dalam Berkomunikasi ................ 64
4.2.4 Pemahaman Orang Tua Terhadap Bahasa Isyarat ...... 67
4.3 Pembahasan .......................................................................... 72
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .......................................................................... 76
5.2 Saran ..................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
Daftar Bagan dan Tabel
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir ................................................................ 34
Tabel 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 46
Daftar Gambar
Gambar 2.3.2.1 ...................................................................................... 27
Gambar 2.3.2.2 ....................................................................................... 27
Gambar 2.3.2.3 ...................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk sosial, dimana salah satu kebutuhan
pokoknya adalah berinteraksi dengan mahluk lain. Salah satu cara untuk
berinteraksi adalah dengan melakukan komunikasi, dimana komunikasi
merupakan salah satu proses sosial yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia, manusia memiliki keinginan untuk mempertahankan suatu
persetujuan mengenai berbagai aturan sosial melalui komunikasi. Komunikasi
berlangsung untuk menjalin hubungan antar individu, individu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya.
Maka dari itu komunikasi menjadi bagian terpenting dalam hidup
manusia, manusia tidak dapat berinteraksi dengan manusia lainnya tanpa
terjalinnya sebuah komunikasi. Untuk itu, komunikasi berfungsi sebagai
medium bagi pembentukan dan pengembangan pribadi individu melalui
kontak sosial. Dalam proses komunikasi antara individu tersebut, terjadi
kontak sosial melalui penyampaian pesan, penerimaan pesan dan saling
berbagi makna bersama, baik makna verbal maupun nonverbal.
Dalam pelaksanaanya komunikasi yang berjalan dengan baik dapat
menentukan berhasil atau tidaknya tujuan dari komunikasi itu sendiri, selain
itu komunikasi juga dapat membangun sebuah hubungan dengan sesamanya,
karena pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh lawan
bicara. Namum terkadang kendala dalam melakukan komunikasi sering
dijumpai, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal,
yaitu dalam proses penyampaian pesan, pengiriman pesan, hingga sampai
pemahaman pesan yang disampaikan oleh lawan bicara, hal tersebut yang
dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam komunikasi.
Jika dilihat dari sifatnya, komunikasi dibagi menjadi dua macam, yaitu
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, dimana komunikasi verbal
dilakukan dengan jelas dengan menggunakan lisan maupun tulisan dan hal
tersebut menjadi lambang dari komunikasi verbal, sedangkan komunikasi
nonverbal di lambangkan dengan komunikasi yang menggunakan pesan-
pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan
semua peristiwa kornunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis, biasanya
menggunakan gerak tubuh, gerak wajah dan gerak muka.
Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang menggunakan
lambang sebagai media untuk menyampaikan pesan, diantaranya
menggunakan gerak tubuh, ekspresi wajah, sandi serta simbol. Salah satu
contoh dari komunikasi nonverbal adalah dengan melakukan gerakan tubuh,
disaat seseorang tidak dapat menyampaikan pesan dengan lisan, maka gerak
tubuh dapat mewakilinya sehingga lawan bicara dapat memahami pesan yang
ingin disampaikan. Seperti dengan mengangguk sebagai tanda “Ya” serta
menggelengkan kepala sebagai tanda “Tidak”.
Biasanya komunikasi nonverbal juga digunakan untuk melakukan
komunikasi dengan orang yang kurang cakap dalam berkomunikasi. Salah
Satunya yaitu penyandang tunarungu. Penyandang tunarungu mengalami
gangguan pada indra pendengarannya, pendengarannya cukup rendah,
bahkan pada sebagian penyandang ada yang sama sekali tidak dapat
mendengar sehingga tidak memahami apa yang disampaikan kepadanya.
Selain itu, penyandang tuna rungu pada umumnya mengalami kesulitan saat
melakukan komunikasi secara verbal dengan orang lain, sehingga lawan
bicaranya sulit memahami pesan yang disampaikan.
Komunikasi tentu tetap harus dilakukan oleh penyandang tunarungu
untuk mengutarakan perasaan yang sedang dirasakan, dalam melakukan
komunikasi penyandang tunarungu menggunakan simbol-simbol dalam
penyampaian pesan kepada orang lain. Seperti mengekspresikan rasa marah,
bahagia, kecewa, haus, dan lapar. Untuk itu perlu dilakukan cara agar dapat
mempermudah proses komunikasi yang berlangsung yaitu dengan cara
mempelajari teknik serta bahasa kamunikasi non verbal, hal tersebut bisa di
dapatkan salah satunya dari sekolah luar biasa.
Di lingkungan masyarakat sendiri keberadaan anak tunarungu sering
kali tidak mendapatkan tempat, bahkan tidak jarang ada anak seusia anak
tunarungu yang menjadikan kekurangan tersebut sebagi lelucon. Pengetahuan
yang kurang akan tunarungu membuat masyarakat merasa hal tersebut
menjadi tabu dan sesuatu yang membuat mereka tidak nyaman untuk
melakukan interaksi dengan anak tuna rungu tersebut, khususnya bagi
masyarakat yang tinggal di lingkungan yang minim akan pendidikan,
sehingga membuat anak tersebut sedikit terasingkan dari lingkungan. Untuk
itu kemampuan berkomunikasi sangat di butuhkan oleh anak tunarungu (tuli)
agar tetap dapat berkomunikasi dengan individu lain guna meminimalisir
berbedaan yang ada.
Teknik tersebut juga digunakan saat berinteraksi dengan keluarga
khususnya orang tua. Interaksi yang dilakukan antara orangtua dan anak
secara tidak sadar dapat menumbuhkan komunikasi yang bersifat pendidikan,
karena orang tua mengajarkan nilai-nilai kehidupan sebagaimana tanggung
jawab yang mereka miliki sebagai orangtua. Mengingat cara komunikasi yang
dilakukan dengan terhadap anak normal tentu akan berbeda dengan cara orang
tua berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus, apabila dengan anak
normal orang tua dapat melakukan komunikasi dengan cara verbal maupun
non verbal, tetapi berbeda dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus (tunarungu) hanya dapat melakukan komunikasi secara non verbal.
Menurut Ernisasupiah (2017), bagi orang tua umumnya wujud syukur
atas anak sebagai anugerah Tuhan yang terindah adalah penerimaan yang
sebaik-baiknya terhadap anak. Namun tidak menutup kemungkinan persepsi
tersebut berubah ketika orang tua mendapati anaknya terlahir dengan
hambatan tertentu. Tidak sedikit anak yang terlahir mengalami kecacatan
tertentu .Tetapi hal tersebut tidak membuat orang tua patah semangat untuk
dapat mengajarkan cara berkomunikasi kepada anak mereka, mengingat orang
tua merupakan guru pertama bagi seorang anak untuk memulai belajar
berkomunikasi, tentu hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi orang tua.
Tidak semua orang tua mengetahui bagaimana caranya berkomunikasi dengan
cara non verbal, banyak orang tua yang menggunakan teknik komunikasi non
verbal yang mereka buat sendiri dengan sesederhana dan semudah mungkin
agar dapat ditiru dan dipehami oleh anak penyandang tunarungu.
Teknik komunikasi non verbal dilakukan untuk mencapai komunikasi
yang efektif dalam penyampaian pesan, hal tersebut dimaksudkan agar
komunikasi yang dilakukan dapat dipahami oleh semua pihak, dengan begitu
komunikasi antara orang tua dan anak tidak akan mengalami
misunderstanding. Namun untuk sebagian orang tua yang memiliki anak
penyandang tunga rungu, tentu menjadi kesulitan tersendiri dalam melakukan
komunikasi, kerena beberapa orang tua tidak mengetahui cara berkomunikasi
dengan teknik non verbal, sehingga hal tersebut membuat komunikasi yang
terjalin tidak berjalan dengan baik. Karena dalam melakukan komunikasi
dengan penyandang tunarungu tidak cukup hanya dengan menggunakan
bahasa Verbal saja, tetapi lebih mengarah kepada pengguanaan tanda-tanda,
simbol-simbol, sehingga pesan yang akan disampaikan dapat dimengerti oleh
lawan bicara.
Maka dari itu dibutuhkan kemampuan khusus untuk dapat membuat
komunikasi dipahami oleh kedua pihak, oleh karena itu orang tua harus
memiliki kemampuan khusus untuk mengetahui bagaimana cara komunikasi
yang efektif. Seperti contoh orang tua mencari gaya bicara yang sesuai dengan
anak yang menyandang tunarungu agar dapat memahani pesan yang
disampaikan, salah satunya saat berbicara dengan penyandang tunarungu
intonasi serta artikulasi harus jelas terucap serta fokus mata harus tetap tertuju
kepada mereka, hal tersebut dilakukan untuk membuat mereka bisa
memahami apa yang sedang di sampaikan, selain itu untuk menyampaikan
kalimat yang sedikit sulit, orang tua dapat menyampaikannya dengan kata
demi kata menggunakan isyarat yang dapat dimengerti penyanang tunarungu.
Hal tersebut juga berlaku bagi orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus (tuna rungu) di kota serang. Aktivitas komunikasi orang
tua pada anak tunarungu dilandasi dengan pembiasaan orang tua terkait
dengan perilaku anak. Ketika orang tua membiasakan anak diperlakukan tidak
beda dengan anak yang tidak tunarungu maka anak akan lebih mudah untuk
melakukan komunikasi karena anak merasa orang tua mereka menerima
keberadaannya, anak juga merasa percaya diri serta anak juga merasa dihargai
(Agha, 2018). Menurut survei yang dilakukan oleh peneliti dengan cara
observasi lapangan, mendapatkan temuan dimana orang tua mengalami
kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan anak dalam aktivitas sehari-
hari, seperti untuk menyampaikan sebuah perintah ataupun memberikan
arahan. Dan orang tua membuat teknik komunikasi sendiri dalam melakukan
komunikasi dengan anak tersebut, ternik tersebut menggabungkan teknik
komunikasi verbal dan non verbal.
Tidak terkecuali bagi orang tua yang tinggal di kota serang, memiliki
anak yang menyandang tuna rungu bisa jadi merupakan pengalaman pertama
atau mungkin merupakan hal yang sudah tidak asing lagi, kesulitan yang
dihadapi dalam berkomunikasi pun pasti berbeda. Pola komunikasi yang
dilakukan setiap orang tua juga pasti berbeda.
Jumlah anak penyandang tunarungu di kota serang yang masuk
lembaga pendidikan mencapai 73 orang, jumlah tersebut di dapat dari hasil
observasi peneliti pada 5 sekolah luar biasa (SLB) yang ada di kota serang,
diantaranya yaitu SLB Negeri 01 Kota Serang, SLB Negeri 02 Kota Serang,
SLB Pandita, Yayasan Anak Mandiri, SLB Madina Kota Serang. Dari kelima
SLB tersebut SLB 01 Kota Serang memiliki jumlah murid tunarungu
terbanyak yaitu sebanyak 36 orang. Dari data diatas maka peneliti memilih
SKH 01 Kota Serang untuk dijadikan tempat melakukan penelitian
Dari penjelasan diatas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana
teknik komunikasi non verbal yang dilakukan orang tua untuk dapat
melakukan komunikasi dengan anak yang menyandang tunarungu dan apakah
komunikasi non verbal yang dilakukan sesuai dengan teknik komunikasi non
verbal yang ada.
1.1 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka diperoleh rumusan
masalah yaitu, “Bagaimana Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak
Penyandang Tunarungu di Kota Serang?”
1.2 Identifikasi Masalah
Dari identifikasi masalah yang sempat dijabarkan pada latar belakang
di atas maka peneliti merangkumnya ke dalam beberapa inti dari identifikasi
masalah tersebut, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana orang tua menyesuaikan gaya komunikasi saat
melakukan interaksi dengan anak yang menyandang
tunarungu?
2. Bagaimana bentuk komunikasi yang diciptakan orang tua
saat berinteraksi dengan anak yang menyandang tunarungu?
3. Apa kendala yang ditemui orang tua saat menyesuaikan
gaya bicara dengan anak yang menyandang tunarungu?
4. Bagaimana pemahaman orang tua terhadap bahasa isyarat
yang umumnya digunakan orang penyandang tunarungu?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari identifikasi masalah yang telah dijelaskan di atas, adapun tujuan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui cara orang tua menyesuaikan gaya
komunikasi saat melakukan interaksi dengan anak yang
menyandang tunarungu.
2. Untuk mengetahui seperti apa bentuk komunikasi yang
diciptakan orang tua saat berinteraksi dengan anak yang
menyandang tunarungu.
3. Untuk mengetahui kendala yang ditemui orang tua saat
menyesuaikan gaya bicara dengan anak yang menyandang
tunarungu.
4. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman orang tua
terhadap bahasa isyarat yang umumnya digunakan orang
penyandang tunarungu.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
perbendaharaan akademisi ilmu komunikasi secara umum, serta
menjadi kontribusi pemikiran yang bermanfaat bagi dunia
pendidikan, khususnya pada bidang ilmu komunikasi yang
berkaitan dengan komunikasi nonverbal.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
terhadap teori-teori yang digunakan setelah diadakan penelitian
pada informan. Melalui penelitian ini, diharapkan juga dapat
menjadi referensi bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi, khususnya
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa dan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih
mengenai Teknik Komunikasi NonVerbal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi
Komunikasi atau “communication” berasal dari bahasa latin “communis”,
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “commun” yang berarti sama (Rohim,
2009:8). Dalam hal ini yang dimaksud sama yaitu makna yang dimaksudkan sama
artinya. Ketika melakukan komunikasi, pembicara (komunikator) akan berusaha
untuk menyampaikan makna yang sama kepada lawan bicara, hal tersebut
dilakukan agar terhindarnya miss communication antara pihak yang terlibat dalam
komunikasi yang berlangsung.
Komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi
komunikator dan komunikan. Komunikator menyandi (encode) pesan yang akan
disampaikan kepada komunikan. Ini berarti ia memformulasikan pikiran dan atau
perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh
komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi
(decode) pesan komunikator itu. ini berarti ia menafsirkan lambang yang
mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator berfungsi sebagai penyandi
(encoder) dan komunikan berfungsi sebagai pengawa-sandi (decoder) (Rohim,
2009:13).
Pada komunikasi yang dilakukan orang tua terhadap anak penyandang
tuna rungu, pesan yang disampaikan menggunakan gerak tubuh sebagai
medianya. Dalam proses komunikasi tersebut, orang tua harus menyampaikan
pesan kepada anak dengan bahasa tubuh yang mudah dimengerti agar anak dapat
memahami apa yang disampaikan oleh orang tua. Dengan begitu hubungan
komunikasi orang tua dengan anak akan terjalin dengan baik.
2.1.1 Tujuan Komunikasi
Setiap orang yang melakukan komunikasi tentu memiliki tujuan, baik itu
untuk menyampaikan sebuah gagasan, dukungan, penolakan, atau tujuan lainnya.
Secara umum, komunikasi yang dilakukan biasanya mengharapkan sebuah timbal
balik yang diberasal oleh lawan bicara dan pesan yang disampaikan dapat diterima
serta memberikan efek setelah komunikasi selesai dilakukan.
Menurut Onong Uchjana Effendy dalam buku “Ilmu Komunikasi Teori
dan Praktek” menjelaskan bahwa terdapat beberapa tujuan berkomunikasi, yakni:
(Effendy, 2005:8)
• Perubahan sikap (attitude change)
• Perubahan pendapat (opinion change)
• Perubahan perilaku (behavior change)
• Perubahan sosial (social change)
Dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya setiap komunikasi yang
dilakukan memiliki tujuan tergantung pada apa yang diinginkan oleh pembicara
(komunikator). Begitu pun saat orang tua melakukan komunikasi dengan anaknya
yang menyandang tuna rungu, pasti memiliki sebuah tujuan yang ingin di capai,
mungkin saat pertama kali akan melakukan komunikasi kedua belah pihak tidak
dapat mengerti dengan pesan yang akan disampaikan, tetapi dengan melakukan
komunikasi non verbal maka orang tua dapat menyampaikan pesan dengan
menggunakan gerak tubuh dan pesan dapat dimengerti oleh anak penyandang tuna
rungu, maka pada saat itulah tujuan yang diinginkan oleh komunikator dapat
tercapai.
2.1.2 Fungsi Komunikasi
Komunikasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1. Komunikasi Sosial
“Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan
bahwa komunikator itu penting untuk membangun konsep-diri, untuk
kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari
ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan
memupuk hubungan dengan orang lain” (Mulyana, 2013:5).
Fungsi komunikasi sosial ini menjadi penting untuk membangun rasa
bahagia dan menghindari ketegangan dalam hubungan antara orang tua dan
anak penyandang tunarungu, hal tersebut dapat memupuk hubungan menjadi
lebih baik.
1. Komunikasi Ekspresif
“Komunikasi ekspresif tidak secara otomatis bertujuan
mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi
tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan
(emosi)” (Mulyana, 2013:21).
Fungsi komunikasi ini sangat penting dalam komunikasi non verbal
antara orang tua dengan anak, hal tersebut karena dengan menggunakan
komunikasi ekspresif anak penyandang tunarungu dapat menunjukan
perasaan (emosi) yang sedang dirasakan, seperti marah, senang, lapar,
kecewa dan lain sebagainya.
2. Komunikasi Ritual
“Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan
perasaan terdalam seseorang. Kegiatan ritual memungkinkan para
pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi
kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah
substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan
senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa adanya
keterikatan oleh sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri, yang
bersifat abadi, dan bahwa diakui dan diterima dalam kelompok” (Mulyana,
2013:23).
3. Komunikasi Instrumental
“Mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar,
mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau
mengerakkan tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen,
komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun
hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat peka terhadap berbagai
strategi yang dapat digunakan dalam komunikasi untuk bekerja lebih baik
dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi
sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan,
baik tujuan jangka pendek maupun tujuan janga panjang” (Mulyana,
2013:30).
2.1.3 Proses Komunikasi
Effendy (2013:33) mengatakan bahwa proses komunikasi merupakan
sebuah proses penyampaian pesan atau pemikiran yang dilakukan oleh
komunikator (sumber) kepada komunikan (penerima). Proses komunikasi bisa
terjadi dengan berbagai cara. Namun, Onong Uchjana Effendy membagi proses
komunikasi kedalam 2 tahapan, yaitu :
A. Proses Komunikasi Secara Primer
Proses ini adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang
kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media.
Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa,
isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu
“menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada
komunikan.
B. Proses Komunikasi Secara Sekunder.
Proses penyampaian pesan oleh seorang komunikator kepada komunikan
dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah
memakai lambang sebagai media pertama. Seseorang menggunakan media
kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai
sasarannya berada ditempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak.
Surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi
media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.
Dalam melakukan komunikasi dengan anak penyandang tunarungu orang
tua menggunakan semua proses komunikasi, namun proses komunikasi primer
lebih dominan dilakukan karena menggunakan lambang sebagai media untuk
melakukan komunikasi.
2.1.4 Hambatan Komunikasi
Berikut ini merupakan hambatan dalam komunikasi yang perlu
diperhatikan oleh komunikator agar dapat berkomunikasi secara efektif:
1. Hambatan Semantis
Hambatan semantis menyangkut bahasa yang dipergunakan komunikator
sebagai “alat” untuk menyalurkan pikiran dan perasaaannya kepada komunikan.
Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar dapat
memperhatikan gangguan semantis ini, sebab salah ucap dapat menimbulkan
salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang
pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication)
(Effendy, 2004:14).
Saat melakukan komunikasi, orang tua di haruskan dapat menyampaikan
pesan dengan benar. Hal tersebut di karenakan penyandang tunarungu kurang
cakap dalam memahami penyampaian pesan dengan verbal, maka orang tua harus
mengucapkan pesan dengan perlahan dan pelafalan yang dapat dimengerti,
dengan begitu misunderstanding dapat di hindari.
2. Hambatan Mekanis
Hambatan mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam
melancarkan komunikasi. Banyak contoh yang kita alami dalam kehidupan sehari-
hari, seperti suara telepon yang tidak jelas, ketikan huruf yang buram pada surat,
suara yang hilang-muncul pada pesawat radio, berita surat kabar yang sulit dicari
sambungan kolomnya, gambar yang meliuk-liuk pada pesawat televisi, dan lain-
lain (Effendy, 2004:14).
Hambatan ini biasanya di temukan saat akan melakukan komunikasi jarak
jauh dengan penyandang tunarungu, orang tua tidak dapat menggunakan telepon
untuk melakukan komunikasi. Komunikasi mungkin hanya bisa dilakukan dengan
melakukan panggilan video (video call).
3.Hambatan Ekologis
Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap
proses berlangsungnya komunikasi yang datangnya dari lingkungan. Seperti suara
riuh orang-orang atau kebisingan lalu lintas, suara hujan atau petir, dan lain-lain
(Effendy, 2004:13).
Hal tersebut sering kali terjadi saat orang tua melakukan komunikasi
dengan penyandang tunarungu, dalam melakukan komunikasi dibutuhkan fokus
untuk dapat memahami pesan yang disampaikan. Suara bising dan keriuhan dapat
memecah konsentrasi yang dibutuhkan.
4.Prasangka
Prasangka merupakan salah satu hambatan yang berat bagi kegiatan
komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap
menentang komunikator. Pada orang yang bersikap prasangka emosinya
menyebabkan dia menarik kesimpulan tanpa menggunakan pikiran secara rasional
(Effendy, 2004:16)
Dalam komunikasi yang dilakukan orang tua dengan penyandang
tunarungu, prasangka menjadi salah satu hambatan yang sering muncul.
Hambatan ini timbul karena kurangnya kecakapan orang tua dalam melakukan
komunikasi non verbal, sehingga anak salah menyimpulkan maksud dari pesan
yang disampaikan.
2.2 Komunikasi Verbal Dan Non Verbal
2.2.1 Komunikasi Verbal
Secara umum komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan
kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk
berhubungan dan melakukan komunikasi dengan manusia lain. Dasar komunikasi
verbal adalah interaksi semasa manusia, hal tersebut menjadi salah satu media
untuk menyatukan pendapat, perasaan dan maksud yang ingin di sampaikan oleh
komunikan. Deddy Mulyana (dalam Marhaeni, 2009:110) menyatakan bahwa
Bahasa Verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek
realitas individual kita. Beberapa komponen-komponen komunikasi verbai adalah:
(Marhaeni, 2009:111)
a) Suara
b) Kata-kata
c) Berbicara
d) Bahasa
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi verbal menjadi salah
satu media yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Begitu pun saat
orang tua menyampaikan pesan kepada anak penyandang tuna rungu, namum
dengan cara yang sedikit berbeda, contohnya saat melakukan komunikasi secara
lisan, pesan yang disampaikan dilakukan dengan perlahan dan dengan pelafalan
yang jelas.
2.2.2 Komunikasi Non Verbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang dilakukan tidak
menggunakan bahasa lisan, melainkan menggunakan symbol atau isyarat untuk
menyampaikan pesan kepada komunikan. Menurut Larry A.Samovar dan Richard
E. Porter (dalam Mulyana, 2007:237) komunikasi nonverbal mencakup semua
rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang
dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang
mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerima. Dari definisi diatas dapat
diketahui bahwa komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan nonverbal
dalam penyampaian pesan.
Komunikasi nonverbal memiliki kategori komunikasi dalam
penyampaiannya, Sendjaja Sasa Djuarsa (2005:20) menjelaskan kategori yang
ada, antara lain vocalics atau (sentuhan), penampilan fisik (tubuh dan cara
berpakaian), chronomics (waktu) dan olfaction (bau). Paralanguage, kinesic yang
mencakup gerakan tubuh, perilaku mata (eye behaviour), lingkungan yang
mencakup objek benda dan artefak, proxemics yang merupakan ruang dan teritori
pribadi, haptics atau bahasa tubuh. Dimana bahasa tubuh dapat dipercayai sangat
penting dalam melancarkan proses komunikasi. Dengan mengetahui arti dari
bahasa tubuh maka dapat melihat perasaan seseorang yang sebenarnya. Bahasa
tubuh sangat penting bagi komunikasi khususnya komunikasi non verbal.
Jika dilihat dari fungsinya, perilaku komunikasi nonverbal memiliki
beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi dari pesan komunikasi
nonverbal, seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai
berikut (Mulyana, 2007:349)
1. Emblem. Merupakan perilaku nonverbal yang secara langsung
menerjemahkan kata atau ungkapan. Misalnya untuk isyarat
“Oke”, “jangan ribut” dan “kemarilah”.
2. Ilustrator, seperti contoh untuk mengatakan “ayo bangun”
dapat dengan cara menggerakkan tangan kearah menaik.
3. Affect Display, merupakan gerakan wajah yang dapat
menunjukan makna emosional gerakan ini menunjukan rasa
marah, takut, kecewa, sedih, gembira. Seperti saat alis mata
berkerut yang menunjukan makna ketidak setujuan. Karena
penggunaan ekspresi wajah saat melakukan komunikasi
dengan anak berkebutuhan khusus dimaksudkan agar anak
mengerti bagaimana seharusnya mengekspresikan wajah saat
komunikasi berlangsung (Della, 2014).
4. Regulator, merupakan perilaku nonverbal mengendalikan
pembicaraan orang lain, regilator terkait pada kultur dan tidak
universal. Seperti saat anak tunarungu memalingkan wajah
disaat melakukan komunikasi itu berarti anak tidak bersedia
untuk melakukan komunikasi.
5. Adaptor. Merupakan perilaku nonverbal bila dilakukan secara
pribadi ataupun dimuka umum tetapi tidak terlihat, seperti saat
seseorang sedang cemas menggigit kuku tangan untuk
mengurangi rasa cemas.
Komunikasi nonverbal juga memiliki fungsi, menurut Devito (dalam
Sihabudin&Winangsih, 2012:104) komunikasi nonverbal dalam kehidupan
manusia memiliki fungsi seperti:
1. Untuk menekankan, menggunakan komunikasi nonverbal
nenonjolkan beberapa pesan komunikasi verbal, seperti
mengayunkan tangan kearah dalam seraya mengucapkan
“ayok kemari”
2. Untuk melengkapi dan memperkuat pesan verbal. Contohnya
mengerucutkan bibir saat menceritakan hal yang tidak
menyenangkan.
3. Untuk menunjukan kontradiksi. Seperti mata yang melirik
kesegala arah saat berbicara, memberi isyarat bahwa hal yang
dikatakan tidak benar atau sedang berbohong.
4. Untuk mengatur. Misalnya menunjukan tangan saat ingin
berbicara
5. Untuk mengulangi. Contonya menggerakan kepala untuk
mengulangi pesan verbal
6. Untuk menggantikan. Contohnya menggelengkan kepala
untuk mengatakan “tidak”
Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa komuniksi nonverbal
merupakan pilihan lain dari cara berkomunikasi tanpa menngunakan lisan maupun
tulisan. Orang tua yang memiliki anak penyandang tunarunggu juga menggunakan
teknik komunikasi ini untuk menyampaikan pesan selain menggunakan
komunikasi verbal. Dengan komunikasi nonverbal anak akan lebih mengerti pesan
yang disampaikan.
2.3 Tunarungu
Dalam hitungan normal, orang mampu rangsangan atau stimulus yang
berbentuk suara secara luas baik dari segi kuatnya atau panjang pendeknya
frekuensi. Orang yang memiliki kekurangan pada indra pendengarannya tentu
kemampuan dalam hal ini akan ikut menurun, kekurangan tersebut biasa disebut
dengan tunarungu. Dimana tunarungu merupakan peristilahan secara umum yang
diberikan kepada anak yang mengalami kehilangan atau kekurangmampuan
mendengar sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan kehidupannya
sehari-hari. Secara garis besar tunarungu dapat dibedakan menjadi dua yaitu
kurang dengar dan tuli. Istilah tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”,
dimana tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran (Haenudin, 2013:53).
Tunarungu sendiri merupakan istilah dimana seseorang mengalamai
keadaan kehilangan pendengaran baik sebagian (half of hearing) atau seluruhnya
(deaf), kondisi ini disebabkan oleh adanya kerusakan atau ketidakfungsian pada
indra pendengaran, sehingga membuat terhambatnya pengembangan bahasa dan
dibutuhkan penanganan khusus untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Penyebutan tuna rungu sendiri dipakai oleh masyarakat untuk
mengklasifikasikan penyandang tersebut. Namun saat ini muncul sebuah
paradigma baru dimana penyandang tuna rungu lebih memilih di sebut sebagai
tuli, seperti yang dijelaskan oleh seorang aktivis dan penyandang tuli Surya Putra
Sahetapy bahwa istilah tuna rungu adalah hal yang kasar, karena tuna berarti rusak
sehingga tunarungu berarti rusak pendengaran. Sementara tuli merupakan
terminologi sosial budaya yang mempresentasikan bahwa kaum ini adalah
pengguna bahasa isyarat. Ada beberapa cara komunikasi yang digunakan
penyandang tuli, diantaranya bahasa isyarat, tulisan, verbal-lipreading (membaca
gerak mulut).
Tunarungu sendiri dapat di klasifikasikan berdasarkan etiologis atau faktor
dari penyebab seseorang menjadi tunarungu dan berdasarkan kepentingan
pendidikannya. Berdasarkan etiologis, penyebab tunarungu ada beberapa faktor,
antara lain: (Somantri, 2007:94-95)
a. Pada saat dilahirkan antara lain: salah satu atau kedua orang
tua menderita tunarungu, karena penyakit dan karena
kecanduan obat-obatan.
b. Pada saat kelahiran, antara lain: sewaktu melahirkan ibu
mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan
penyedotan, dan prematur yaitu bayi yang lahir sebelum
waktunya.
c. Pada saat setalah kelahiran, antara lain: ketulian yang terjadi
karena infeksi, pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-
anak, dan area kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
pasa indra pendengaran bagian dalam.
Orang yang mengalami tunarungu sebagian (half of hearing) sehingga
mengalami kesulitan dalam mendengar, tetapi tidak menghambat seseorang
tersebut untuk dapat memahami pembicaraan melalui indera pendengaran dengan
atau tanpa alat bantu, sedangkan pada orang yang mengalami tunarungu
seluruhnya (deaf) akan kesulitan dalam memahami pesan yang disampaikan
melalui pendearannya dan harus menggunakan alat bantu pendengaran
Sementara itu klasifikasi menurut kepentingan pendidikannya, kalsifikasi
ini dapat diketahui dengan melakukan tes audiometris, yaitu: (Efendi, 2006:59-
61).
a. Anak tunarungu yang kehilangan pendengarannya antara 20-
30 dB (slight losses)
b. Anak tunarungu yang kehilangan pendengarannya antara 30-
40 dB (mild losses)
c. Anak tunarungu yang kehilangan pendengarannya antara 30-
40 dB (moderate losses)
d. Anak tunarungu yang kehilangan pendegarannya antara 60-
75 dB (severe losses)
e. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 75 dB
keatas (profoundly losses)
2.3.1 Karakteristik Tunarungu
Pada umumnya anak tunarungu tidak memiliki perbedaan secara fisik
dengan anak pada umumnya, tetapi apabila di perhatikan lebih dalam lagi,
terdapat beberapa perbedaan yang berasal dari dampak tunarungu yang mereka
miliki sehingga memiliki karakteristik yang khas. Karakteristik penyandang
tunarungu dapat dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, serta emosi dan
sosial (Haenudin, 2013:66).
1. Karakterikstik dalam segi intelegensi
Secara potensial tidak ada yang berbeda antara anak penyandang
tunarungu dengan anak lainnya tetapi apabila secara fungsional anak penyandang
tunarungu berada dibawah anak normal, hal tersebut dikarenakan anak tunarungu
kesulitan dalam memahami behasa.
Perkembangan intelegensia anak tunarungu tidak sama cepatnya dengan
anak yang dapat mendengar dengan baik, karena anak yang dapat mendengar
dengan normal dapt belajar dari apa yang mereka dengar, dan hal tersebut berasal
dari proses latihan berfikir. Dan hal tersebut tidak dapat di proses oleh anak
penyandang tunarungu, karena anak tunarungu hanya dapat memahami dari hal
yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Dalam keadaan seperti ini,
anak tunarungu membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mempelajari suatu
hal terutama pelajaran yang disampaikan secara verbal.
2. Karakteristik dalam segi berbicara dan berbahasa
Keterbatasan pendengaran pada anak tunarungu dapat menghambat dalam
berbicara dan berbahasa, karena pada dasarnya perkembangan berbahasa dan
berbicara sangat berkaitan dengan ketajaman pendengaran. Dalam perkembangan
berbicara dan berbahasa pada anak tuna rungu hanya menggunakan peniruan
secara visual.
Bahasa digunakan oleh masyarakat luas dalam melakukan komunikasi,
dengan memiliki bahasa yang sama maka setiap individu dapat saling bertukar
informasi dan melakukan komunikasi dengan baik. Begitupu pada anak tuna
rungu, mereka memiliki bahasa khusus yang digunakan dalam melakukan
komunikasi, sama halnya dengan cara komunikasi yang dipilih orang tua untuk
melakukan komunikasi dengan anak mereka yang menyandang tuna rungu.
3. Karakteristik Emosi dan Sosial
Kesulitan dalam berkomunikasi pada anak tuna rungu membuat mereka
memiliki perasaan tidak percaya diri dan sering kali merasa terasingkan dari
lingkungan luar, hal tersebut membuat anak tuna rungu memiliki emosi yang tidak
stabil.
Kesulitan ini juga cukup memberikan tekanan pada emosi anak tuna
rungu, sehingga menghambat perkembangan pribadinya dengan menunjukan diri
yang lebih argesif atau bahkan menjadi pribadi yang sanget pendiam. Pengaruh
dari lingkungan ikut mempengaruhi emosi pada anak tuna rungu, mereka anak
meresa resah dan gelisah bila di bertemu dan ditegur oleh orang asing.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa dengan karakteristik tersebut anak
tuna rungu sangat membutuhkan dampingan untuk menghindari terbentuknya
pribadi yang kurang baik karena karakteristik yang ada. Pendampingan juga
dibutuhkan agar anak tuna rungu dapat merasa aman saat melakukan komunikasi
dengan lingkungan baru.
2.3.2 Bahasa Isyarat
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berhubungan
dengan individu lain. Bila seorang anak memiliki kemampuan berbahasa, mereka
anak memiliki sarana untuk mengembangkan segi sosial, emosional maupun
intelektualnya (Somantri, 2006:96).
Hal tersebut juga berlaku untuk anak tunarungu, mereka harus memiliki
kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka terhadap
orang lain, salah satu cara dalam penyampaiannya yaitu dengan menggunakan
bahasa isyarat.
Di indonesia ada dua bahasa isyarat yang umumnya digunakan untuk
berkomunikasi yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BASINDO) dan Sistem Bahasa
Isyarat Indonesia (SIBI). SIBI menggunakan abjad sebagai panduan dalam bahasa
isyarat satu tangan dengan penyampaian kata per kata, sehingga sedikit sulit
diartikan dalam isyarat.
Gambar 2.3.2.1
Gambar 2.3.2.2
Sedangkan BASINDO pemaknaannya disesuaikan dengan budaya dan
adat masing-masing daerah, lebih mengutamakan isyarat kesepakatan sosial,
sehingga lebih mudah dipahami.
Gambar 2.3.2.3
Siswa dan siswi yang bersekolah di SKH 01 Kota Serang menggunakan
bahasa isyarat SIBI sebagai media dalam melakukan komunikasi di dalam kelas,
baik dalam penyampaian materi maupun dalam berinteraksi antara tenaga
pengajar dengan murid. SIBI dipilih karena lebih mudah di pahami oleh murid,
karena penyampaiannya yang menggunkan abjad satu tangan.
2.4 Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak
Dalam sebuah keluarga, komunikasi merupakan faktor penting untuk
menciptakan hubungan yang dekat antar individu. Komunikasi yang dilakukan
merupakan cara seorang anggota keluarga dalam membuat wadah untuk
membentuk dan mengembangkan nilai-nilai yang di butuhkan untuk menjadi
pegangan saat berinteraksi dengan dunia luar. Komunikasi dalam keluarga setiap
gerak tubuh, intonasi suara, pilihan kata dan tindakan bermaksud untuk
mengajarkan dan memberikan pengertian kepada anggota keluarga yang lain
(anak).
Orang tua merupakan individu pertama yang menjadi guru anak dalam
melakukan komunikasi, mulai dari hal yang sederhana sampai anak tersebut siap
untuk berkomunikasi dengan individu lain. Setiap orang tua tentu memiliki cara
yang berbeda dalam menerapkan pola komunikasi pada anak mereka.
Untuk orang tua yang memiliki anak penyandang tunarungu (tuli) juga
tetap harus melakukan komunikasi untuk memberikan arahan dan hal lainnya
terhadap anak, cara yang digunakan mungkin akan sedikit berbeda saat melakukan
komunikasi dengan anak tanpa gangguan pendengaran, jika dengan anak lainnya
mungkin komunikasi bisa dilakukan dengan cara yg cepat tetapi apabila dengan
anak tunarungu (tuli) komunikasi harus dilakukan dengan perlahan dan kadang
berulang.
Secara emosional orang tua dan anak memiliki ikatan istimewa yang
membuat mereka lebih mudah untuk melakukan interaksi, terutama antara seorang
ibu dengan anak. Ikatan tersebut membuat ibu lebih cepat paham dan mengerti
akan pesan yang ingin disampaikan oleh anak meskipun saat anak tidak dapat
menyampaikan pesan tersebut dengan sempurna.
Komunikasi yang dilakukan antara orang tua dan anak selalu bermuatan
pendidikan, cara yang efektif untuk menyampaikan pendidikan kepada anak
adalah dengan komunikasi langsung atau tatap muka (face to face). Hal tersebut
karena dengan melakukan komunikasi secara langsung maka orang tua dapat
mengetahui apakah pesan yang di sampaikan dapat dimengerti oleh anak atau
tidak, cara tersebut dapat membangun hubungan yang baik dan rasa saling
percaya bagi keduanya. Hal tersebut juga berlaku bagi orang tua yang memiliki
anak tunarungu (tuli), komunikasi langsung sangat dibutuhkan saat
menyampaikan pesan hal tersebut dapat membuat anak dengan mudah memahami
pesan yang diberikan orang tua, karena dalam penyampaian pesan orang tua
menggunakan verbal dan non verbal secara bersamaan.
Maka dari itu peneliti mencoba untuk meneliti bagaimanakah pola
komunikasi yang dilakukan orang tua terhadap anak penyandang tunarungu (tuli)
saat menyampaikan pesan secara langsung (face to face).
2.5 Teori Akomodasi Komunikasi
Teori akomodasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali
memperkenalkan pemikiran mengenai model “mobilitas aksen", yang didasarkan
pada berbagai aksen yang dapat didengar dalarn situasi Wawancara (Turner, 2008:
217).
Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan,
memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang
lain. Teori akomodasi berpijak pada premis bahwa ketika pembicara berinteraksi,
merèka menyesuaikan pembicaraan, pola lokal, dan atau tindak tanduk mereka
untuk mengakomodasikan orang lain. Teori ini mempertimbangkan motivasi dan
konsekuensi yang mendasari dari apa yang terjadi ketika dua pembicara
menyesuaikan gaya komunikasi mereka, Selama peristiwa komunikasi, orang
akan berusaha untuk mengakomodasikan atau menyesuaikan gaya berbicara
mereka dengan orang lain (Turner, 2008: 217).
Teori akomodasi komunikasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang
memiliki pilihan. Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang
melibatkan penggunaan bahasa atau Sistem nonverbal yang sama, mereka
mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, atau mereka akan
berusaha terlalu keras untuk beradaptasi.
Teori ini didasarkan kepada banyaknya prinsip dan konsep yang sama
dengan teori identitas sosial. Asumsi dasar dari teori akomodasi komunikasi
adalah dipengaruhi oleh beberapa keadaan personal, situasional, dan budaya
antara lain: setiap perbedaan dan persamaan terdapat dalam percakapan yang
berlangsung.
Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (tunarungu) tentu
menggunakan cara berkomunikasi yang berbeda saat sedang berkomunikasi
dengan anak tersebut, orang tua akan menyesuaikan gaya berkomunikasi yang
dapat dipahami oleh anak tunarungu agar pesan yang disampaikan dapat diterima.
Salah satu sifat manusia yang di sebutkan dalam teori ini adalah
divergensi, dimana manusia mau untuk berubah mengikuti perubahan yang ada
tanpa mengubah jati diri awal individu tersebut. Hal tersebut merupakan sifat
yang di miliki oleh orang tua dimana mereka berkonvergensi untuk dapat
berkomunikasi dengan anak penyandang tuna rungu (tuli)
Kebanyakan orang tua bahkan membuat bahasa non verbal sendiri saat
berkomunikasi dengan anak tersebut, mereka sebisa mungkin menyesuaikan
kalimat atau pesan saat melakukan komunikasi.karena orang tua merupakan guru
pertama bagi setiap anak, dimana mereka belajar untuk pertama kalinya
melakukan komunikasi. Jadi orang tua sebisa mungkin memberikan cara
berkomunikasi semudah dan sesederhana mungkin agar anak tersebut lebih
mudah untuk memahaminya, seperti saat menyampaikan kata-kata sederhana, saat
ingin ke toilet orang tua memberikan contoh ekspresi mengedan dan memegang
perut.
Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh teori Akomodasi
Komunikasi, dimana dalam teori ini pembicara berusaha untuk mengakodasikan
pembicaraan dengan menyesuaikan gaya bicara guna pembicara dapat mencapai
tujuan dalam penyampaian pesan.
2.5 Kerangka Berfikir
Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial, dimana salah satu
caranya adalah dengan melakukan interaksi dengan manusia lain. Interaksi
tersebut dilakukan dengan berkomunikasi, hal tersebut dapat membuat manusia
dapat menyampaikan kebutuhan mereka kepada manusia lainnya.
Cara berkomunikasi manusia satu dengan yang lainnya tentu berbeda, hal
tersebut didasari oleh berbagai faktor. Salah satunya karena keterbatasan yang
dimiliki, seperti keterbatasan dalam berbicara, mendengar dan memahami pesan
yang disampaikan, tentu ada beberapa teknik komunikasi yang dapat membantu
dan digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan unttuk tetap dapat
melakukan interaksi dengan manusia lainnya.
Jenis komunikasi sendiri dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan
non verbal. Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan lisan
dan tulisan sebagai media dalam melakukan komunikasi. Sedangkan komunikasi
non verbal merupakan komunikasi yang penyampaian pesannya menggunakan
gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, kecepatan dan volume bicara dan
bahkan juga keheningan.
Komunikasi non verbal sering kali digunakan oleh orang yang memiliki
keterbatasan (tuna rungu) untuk melakukan komunikasi dengan orang lain, hal
tersebut dikarenakan komunikasi non verbal dapat dengan mudah
merepresentasikan pesan yang akan disampaikan.
Tidak hanya digunakan oleh anak tuna rungu, komunikasi non verbal juga
sering digunakan oleh orang tua yang memiliki anak penyandang tuna rungu.
Meski orang tua tersebut tidak memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi, tetapi
orang tua berusaha untuk menyesuaikan gaya bicara mereka dengan anak tuna
rungu agar dapat mengakomodasikan pesan yang ingin disampaikan, hal itu sesuai
dengan penjelasan pada teori akomodasi komunikasi.
Teori ini mempertimbangkan motivasi dan konsekuensi yang mendasari
dari apa yang terjadi ketika dua pembicara menyesuaikan gaya komunikasi
mereka, Selama peristiwa komunikasi, orang akan berusaha untuk
mengakomodasikan atau menyesuaikan gaya berbicara mereka dengan orang
lain, dan hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang tua saat
melakukan komunikasi dengan anak mereka yang menyandang tuna rungu.
Peneliti ingin mengetahui bagaimanakah komunikasi non verbal yang
dilakukan orang tua saat sedang melakukan komunikasi dengan anak mereka yang
memiliki keterbatasan tuna rungu serta apakah komunikasi non verbal yang
dilakukan orang tua sama dengan isi dari konsep komunikasi non verbal yang ada.
Berikut ini merupakan tabel gambaran kerangka berpikir dari penjelasan di atas :
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir
Cara Orang Tua Berkomunikasi
Dengan Anak Penyandang
Tunarungu
Teori Akomodasi Komunikasi
(Turner, 2008: 217)
Gaya Bicara
Teknik Komunikasi Orang
Tua Terhadap Anak
Penyandang Tuna Rungu
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian, ada banyak cara dan pendekatan
yang dapat digunakan oleh peneliti sesuai dengan permasalahan yang dibahas.
Sehingga penelitian tersebut dapat dianggap valid dan kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pada penelitian yang berjudul “Komunikasi NonVerbal Orang Tua
Terhadap Anak Penyandang Tunarungu”, peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif. Pada penelitian ini, peneliti lebih menitikberatkan pada observasi dan
suasana alamiah (natural setting). Peneliti terjun langsung ke lapangan, bertindak
sebagai pengamat dengan membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan
mencatatnya dalam buku observasi, serta tidak berusaha untuk memanipulasi
variable (Elvinaro, 2010:60)
Menurut Lexy J. Moleong (2007:6), penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-
lain, Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa. Melalui pendekatan kualitatif, peneliti berusaha untuk mendapatkan data
sebanyak-banyaknya mengenai pola komunikasi nonverbal orang tua dalam
menjalin komunikasi dengan anak yang menyandang tunarungu sehingga dapat
menjelaskan dan mendeskripsikan fenomena tersebut sedalam-dalamnya.
Metode kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada
di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke
permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang
kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2007:68). Model desain
penelitian penelitian kualitatif merupakan desain penelitian yang digunakan untuk
makna dalam proses-proses komunikasi linier (satu arah), interaktif, maupun pada
proses-proses transaksional (Bungin, 2008:304).
Metode penelitian kualitatif ini digunakan oleh peneliti karena metode
seperti inilah yang dapat digunakan untuk meneliti komunikasi interaktif dalam
melakukan komunikasi antara orang tua dengan anak penyandang tuna rungu
3.2 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif karena dilakukan dengan mengumpulkan
data berupa kata-kata. Menurut Kriyantono (2006:69), “penelitian ini bertujuan
membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan
sifat-sifat populasi atau objek tertentu.”
Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan realitas yang terjadi namun
tidak menjelaskan hubungan-hubungan antarvariabel. Peneliti sudah memiliki
konsep dan landasan teori, periset melakukan operasionalisasi konsep yang akan
menghasilkan variabel serta indikatornya (Kriyantono, 2006:69).
Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan secara rinci mengenai
bagaimana kondisi komunikasi yang dilakukan orang tua terhadap anak
penyandang tunarungu, serta apakah orang tua melakukan teknik komunikasi non
verbal dengan baik daat melakukan komunikasi tersebut.
3.3 Metode Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode studi kasus.
Studi kasus menurut Kriyantono (2006:65) adalah “metode riset yang
menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti,
menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu,
kelompok, suatu program, organisasi, atau peristiwa secara sistematis.”
Peneliti berupaya secara seksama dan dengan berbagai cara mengkaji
sejumlah besar variabel mengenai suatu kasus khusus. Dengan mempelajari
semaksimal mungkin seorang individu, kelompok, atau suatu kejadian, peneliti
berusaha untuk memberikan uraian lengkap dan mendalam mengenai subjek yang
diteliti Mulyana (dalam Kriyantono, 2006:66).
Adapun ciri-ciri metode studi kasus yaitu pertama, partikularistik yang
artinya studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa, program, atau fenomena
tertentu. Kedua, deskriptif yang artinya metode ini adalah deskripsi detail dari
topik yang diteliti. Ketiga, heuristik yaitu metode ini membantu khalayak
memahami apa yang sedang diteliti. Keempat, induktif, yaitu studi kasus
berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian menyimpulkan ke dalam tataran
konsep atau teori Mulyana.
Dalam kasus pada penelitian ini, yaitu bagaimana orang tua melakukan
komunikasi yang efektif dengan anak yang menyandang tuna rungu. Peneliti
berusaha untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan kasus secara lengkap dan
rinci. Peneliti menggunakan berbagai sumber data yang bisa diteliti seperti hasil
wawancara dengan orang tua yang memiliki anak penyandang tuna rungu
mengenai bagaimana atau komunikasi seperti apa yang digunakan dalam
melakukan komunikasi dengan anak penyanang tunarungu. Kemudian hasil
observasi kondisi secara langsung komunikasi yang dilakukan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menurut sugiyono (2008:224) merupakan
langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data,
maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang
ditetapkan. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah
sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah bagian dari teknik pengumpulan data yang dilakukan
jika peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan
yang harus diteliti, selain itu wawancara mendalam juga dilakukan peneliti untuk
mendapatkan informasi dari responden yang lebih mendalam (Sugiyono,
2008:231).
Wawancara mendalam (in depth interview) dilakukan oleh peneliti
terhadap orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi khusus. Wawancara
mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial
yang relatif lama (Bungin, 2007:111). Dengan demikian, kekhasan wawancara
mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.
Metode wawancara mendalam adalah sama seperti metode wawancara
lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan wawancara, peran informan, dan cara
melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya.
Wawancara mendalam dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama
bersama informan di lokasi penelitian, di mana kondisi ini tidak pernah terjadi
pada wawancara pada umumnya.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada
informan, informan kunci, dan informan pendukung. Informan tersebut dipilih
oleh peneliti berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Pertanyaan yang
diajukan seputar komunikasi yang dilakukan orang tua dengan anak penyandang
tunarungu, gaya komunikasi atau gaya bicara yang digunakan orang tua dalam
berinteraksi dengan anak penyandang tuanrungu, serta kendala yang dihadapi saat
melakukan komunikasi.
b. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra
lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Menurut Indriantoro dan
Supomo (dalam Ruslan, 2006:34), observasi dapat diartikan sebagai proses
pencatatan pola perilaku subjek (orang), objek (benda-benda) atau kejadian yang
sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu
yang diteliti. Dalam penelitian, terdapat dua jenis metode yang digunakan, yaitu
observasi partisipatif dan observasi non partisipatif (Zuriah, 2009:176).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipatif di
mana peneliti mengamati lokasi penelitian dan seluruh kegiatannya. Selain itu,
peneliti turut mendengar setiap percakapan yang dilakukan oleh orang tua dan
anak penyandang tunarungu untuk lebih memahami teknik komunikasi yang
digunakan. Dalam hal ini, peneliti hanya mengamati saja tanpa terlibat dengan
kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang diteliti. Maka dapat diartikan bahwa
peneliti di sini hanya sebagai pengamat saja.
3.5 Informan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan informan sebagai narasumber
untuk mendapatkan data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif, informan
penelitian berkaitan dengan bagaimana langkah yang ditempuh peneliti agar data
atau informasi dapat diperoleh (Bungin, 2007:107). Di dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan informan kunci (key informant), dan informan pendukung.
Sanafiah Faisal (dalam sugiyono 215:2011), situasi sosial untuk sampel
awal sangat disarankan suatu situasi sosial yang didalamnya menjadi semacam
muara dari banyak domain lainnya. Kriteria yang harus dimiliki oleh sumber data
atau informan, yaitu:
1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses
enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi
juga dihayati
2. Mereka yang tergolong sedang berkecimpung atau terlibat dalam
kegiatan yang tengah diteliti
3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai
informasi
4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil
“kemasannya” sendiri
5. Mereka yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan
peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacan
guru atau narasumber.
Dalam menentukan informan pada penelitian ini peneliti menggunakan
teknik Purposive Sampling, dalam teknik ini mencakup orang-orang yang
diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan
riset (Krisyanto, 2009:156).
Dalam penelitian ini kriteria yang di tentukan peneliti yaitu :
1. Orang tua yang memiliki anak penyandang tunarungu (tuli) yang
bersekolah di SHK 01 Kota Serang
2. Orang tua yang tidak mengerti bahasa isyarat
3. 3 pasang orang tua yang memiliki anak tunarungu (tuli) dengan
kemampuan mendengar yang berbeda tiap anak.
Penelitian ini melibatkan dua keluarga, yaitu orang tua dan anaknya yang
menyandang tunarungu sebagai subjek penelitian. Adapun informan yang dipilih
oleh peneliti yaitu orang tua dari Refiansyah, orang tua dari Devora dan orangtua
dari Rizqy Nur Subhi, dimana Refiansyah merupakan anak penyandang tunarungu
yang sedang menempuh pendidikan di SKH 01 kota Serang, saat ini Refi duduk di
kelas 2 SMP B, Refi merupakan anak yang aktif dalam setiap kegiayan yang
diadakan oleh pihak sekolah, Refi mengalami gangguan pendengaran bawaan dari
lahir dengan kemampuan mendengar yaitu 90 dB sehingga butuh kesabaran bagi
orang tua refi untuk mengajarkan cara berkomunikasi.
Selanjutnya sama seperti refi, devora juga merupakan siswa di sekolah
yang sama. Saat ini devora duduk di kelas 3 SD dan merupakan salah satu murid
yang cerdas dalam menyerap pelajaran disekolah, devora mengalami
ketunarunguan sejak lahir, kemampuan mendengar yang dimilikinya yaitu 110
dB. Hal tersebut terjadi karena pada saat dalam kandungan ibu devora terkena
virus rubella. Anak tunarungu selanjutnya yaitu rizqy, siswa yang duduk di kelas
5 SD ini memiliki kamampuan mendengar 75 Db, saat ini rizqy menggunakan alat
bantu dengar pada kedua telinganya, hal tersebut diharapkan dapat membantu
rizqy dalam berkomunikasi di lingkungannya.
Untuk memperkuat setiap jawaban dari informan maka dibutuhkan
seorang informan pendamping, dalam penelitian ini peneliti memilih tenaga
pengajar yang ada di SKH 01 Kota Serang sebagai informan pendamping. Tenaga
pengajar yang dilibatkan dalam penelitian ini yaitu sebanyak satu orang, yaitu ibu
Euis Andariah seorang guru yang mengajar di kelas tunarungu.
Adapun partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua dari anak yang
menyandang tunarungu, sebagai berikut:
a. Orang tua Refiansyah
Nama : Ayu
Hubungan : Orang tua kandung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
b. Orang tua Devora
Nama : Vivi
Hubungan : Orang tua kandung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
c. Orang tua Rizqy Nur Subhi
Nama : Urayatun Nafsiah
Hubungan : Orang tua kandung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
d. Informan Pendamping
Nama : Euis Andariah
NIP : 19731216 199903 2 001
Pendidikan Terakhir : S1 PLB
Pekerjaan : Guru
3.6 Analisis Data
Menurut Bogdan (dalam sugiyono, 2008:244), analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah
dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Berikut ini
penjabaran mengenai analisis data:
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya.
b. Penyajian Data
Dalam penelitian kualitatif, data disajikan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Yang paling umum
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks
yang bersifat naratif. Penyajian data dilakukan dengan menyederhanakan
informasi kompleks ke dalam suatu bentuk yang lebih mudah untuk dipahami.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi.
Langkah terakhir dari proses analisis data adalah penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian ini diungkapkan dalam bentuk
deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas sehingga
setelah penelitian menjadi jelas, kesimpulan tersebut berupa hubungan kausal atau
interaktif, hipotesis, atau teori (Sugiyono, 2008:253).
Berdasarkan data yang didapatkan, peneliti akan menggambarkan data
dengan menganalisisnya secara kualitatif. Hasil penelitian akan mengenai kualitas
suatu informasi berupa penjabaran berupa kata-kata dan deskripsi, bukan dalam
bentuk angka-angka. Informasi tersebut mengenai Teknik Komunikasi Non
Verbal Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu.
3.7 Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di rumah tempat tinggal kedua subjek
penelitan yang diawali dengan prapenelitian di SKH 01 Kota Serang. Peneliti
akan mengunjungi rumah dari kedua subjek tersebut secara berkala untuk
mengumpulkan data penelitian dengan melakukan observasi dan wawancara.
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan januari 2018.
Tabel 3.7
Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Jan Feb Mar Aprl Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Observasi
Awal
2. Pembuata
n Bab I
3. Pembuata
n Bab II
4. Pembuata
n Bab III
5. Sidang
Outline
6. Turun
Kelapang
an
7. Pembuata
n Bab IV
& V
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskrisi Objek Penelitian
Informan pada penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak
penyandang tunarungu (tuli) sebanyak 3 orang dan seorang guru yang mengajar di
kelas tunarungu. Ketiga orang tua tersebut merupakan orang tua dari anak yang
bersekolah di SKH 01 Kota Serang dan seorang guru yang mengajar di sekolah
tersebut. Berikut identitasnya:
Informan pertama bernama ibu Ayu, wanita kelahiran 20 September 1980
ini merupakan seorang ibu dari 1 orang anak dan merupakan ibu rumah tangga.
Ibu ayu setiap hari selalu meluangkan waktu untuk menunggu anaknya disekolah
meski saat ini tengah hamil muda. Anak ibu ayu yang menyandang tunarungu
bernama Refiansyah, siswa kelas 2 SMP ini memiliki kemampuan mendengar
pada 90 dB.
Hal mengenai tunarungu yang ibu ayu ketahui hanyalah seseorang yang
tidak bisa mendengar, menghadapi anak yang memiliki gangguan pada
pengerannya (tuli) merupakan pengalaman pertama bagi ibu ayu dan itu sempat
membuat dirinya syok. Ibu ayu mengetahui bahwa anaknya mengidap tunarungu
semenjak anak tersebut menginjak usia 2 tahun, bermula dari kemampuan
berbicara anak yang lambat dibandingkan anak lain yang seusianya membuat ibu
ayu memberanikan diri untuk memeriksakan anaknya.
Untuk melakukan komunikasi dalam kegiatan sehari-hari dengan refi, ibu
ayu menggunakan gerakan tangan dan mulut. Ibu ayu menggunakan bahasa
isyarat yang berbeda dengan bahasa isyarat pada umumnya yang digunakan
penyandang tunarungu, melainkan bahasa yang ia ciptakan sendiri dirumah dan
dimengerti baik oleh ibu ayu maupun refi. Saat melakukan komunikasi
menggunakan kata-kata (verbal) ibu ayu sebisa mengkin mengucapkannya dengan
gerakan mulut yang sangat perlahan dan diulang-ulang serta tetap diikuti dengan
gerakan tangan, hal tersebut dilakukan agar refi tetap mengerti akan pesan yang
disampaikan oleh ibunya.
Informan kedua bernama ibu Vivi, merupakan seorang ibu rumah tangga
dengan 2 orang anak, anak kedua ibu vivi yang bernama Devora merupakan siswi
kelas 3 Sekolah Dasar dengan kemampuan dengar pada 110 dB. Ibu vivi mengaku
telat saat menyadari kondisi pendengaran pada anaknya, setelah devora berumur 5
tahun ibu vivi baru memberanikan diri untuk melakukan test BERA pada
anakanya.
Devora sempat menjalani terapi bicara pada saat itu, namum setelah
memasuki sekolah dasar terapi itu terhenti karena ibu vivi merasa pembelakan di
sekolah sudah cukup untuk melatih kemampuan bicara pada devora. Sama seperti
ibu ayu, mendidik anak yang memiliki keterbatasan dalam mendengar juga
merupakan pengalam petama untuk ibu vivi, tapi hal tersebut tidak membuat ibu
vivi menyerah untuk dapat berkomunikasi dengan anaknya, ibu vivi belajar
melalui berbagai sumber untuk mencari tahu bagaimana cara untuk dapat
berkomunikasi dengan anak tunarungu.
Ibu vivi merupakan orang tua yang cukup rajin mencari tau informasi
mengenai anak tunarungu, mulai dari mencari melalui internet dan media sosial,
menggunakan bahasa tarzan untuk berbicara dengan anaknya, belajar bahasa
isyarat menggunakan media youtube, hingga bergabung dengan komunitas orang
tua anak penyandang tunarungu. Semua itu dilakukan agar komunikasi yang
dijalan dengan anak dapat berjalan dengan baik, sama baiknya saat ia
berkomunikasi dengan anak sulungnya. Terkadang ibu vivi tidak membedakan
caranya saat berkomunikasi antara anak sulung dan devora, itu dilakukan agar
nantinya devora akan terbiasa dengan cara berkomunikasi yang seperti itu.
Informan ketiga bernama ibu Urayatun, ibu dari anak penyandang
tunarungu bernama Rizqy Nur Subhan yang duduk di kelas 5 ini merupakan
seorang ibu rumah tangga. Ibu urayatun sesekali menunggu disekolah sampai
rizqy pulang sekolah, ia juga termasuk orang tua yang aktif menjalin komunikasi
dengan guru yang mengajar dikelas anaknya, hal tersebut dilakukan untuk terus
memantau perkembangan rizqy di kelas dan menanyakan arti dari bahasa isyarat
yang tidak ia pahami saat melakukan komunikasi dengan rizqy menggunakan
bahasa isyarat SIBI.
Ibu urayatun memiliki keinginan agar anaknya dapat berkomunikasi
menggunakan bahasa verbal seperti anak normal lainnya, untuk itu ia memilih
untuk menggunakan alat bantu dengar pada rizqy dan memasukan anaknya pada
terapi bicara. Selain itu urayatun selalu menggunakan kata-kata saat berbicara
dengan rizqy meskipun dengan suara yang lantang dan dengan tempo yang
perlahan serta diulang-ulang.
Menurut ibu urayatun, pada dasarnya anak tunarungu memiliki sensitifitas
yang cukup tinggi terhadap apapun yang ada disekitarnya dan memberi respon
yang cepat saat ada bergerakan disekitarnya. Hal tersebut yang digunakan oleh ibu
urayatun saat akan akan memanggil anaknya dalam frekuensi yang jauh, ia akan
melemparkan sesuatu kearah yang dekat dengan rizqy, maka rizqy akan dengan
cepat memberikan respon terhadap gerakan itu dengan melihat pada arah
datangnya benda tersebut, setelah itu barulah ibu urayatun melambaikan
tangannya sebagai tanda meminta anaknya untuk mendekat.
Informan terakhir merupakan key informan dimana beliau berprofesi
sebagai seorang guru yang mengajar pada kelas anak tunarungu, guru tersebut
bernama ibu Euis Andariah. Ibu euis sendiri merupakan lulusan S1 PLB yang
sudah mengajar di SKH 01 Kota Serang dalam waktu yang cukup lama. Dalam
menyampaikan materi dikelas, ibu euis menggunakan KOMTAL dimana beliau
menggunakan bahasa oral juga bahasa isyarat untuk menyampaikan materi kepada
anak tunarungu.
Menurut ibu euis sebenarnya setiap anak tunarungu memiliki karakteristik
yang berdea-beda, sama seperi anak normal lainnya. Karena pada dasarnya anak
tunarungu juga memiliki kesempurnaan yang sama, hanya sedikit berbeda pada
indra pendengarannya. Di dalam kelas pun respon anak saat menerima pelajaran
juga berbeda, ada yang cuek ada juga yang antusias, dan hal tersebut yang
membuat guru harus pintar-pintar dalam menyampaikan materi.
Untuk anak pada kelas atas sudah mulai di ajarkan bahasa isyarat SIBI,
dengan diajarkannya bahasa isyarat SIBI, terkadang membuat orang tua ikut
bertanya kepada guru perihal arti dari kalimat yang menggunakan bahasa isyarat
SIBI ketika diutarakan oleh anak mereka saat berada dirumah. Hal tersebut
mendorong pihak sekolah untuk cepat tanggap dalam setiap pertanyaan yg
diajukan oleh orang tua.
4.2 Hasil Penelitian
Penyampaian cara berkomunikasi pada anak penyandang tunarungu atau
tuli terbatas pada kemampuan mendengar dan bahasa yang mereka miliki, cara
yang digunakan dalam berkomunikasi berbeda dengan anak mendengar. Hal
tersebut membuat penyampaian suatu makna perlu komunikasi yang lebih khusus
dan ekstra. Pada penelitian ini membahas tentang bagaimana pola komunikasi
yang di pakai orang tua saat berkomunikasi dengan anak mereka dalam kehidupan
sehari-hari, dimana orang tua tetep harus melakukan komunikasi dengan cara
yang sedikit berbeda agar pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh anak.
Orang tua yang memiliki anak tunarungu atau tuli pada umumnya
kebingungan saat harus menyampaikan sesuatu terhadap anak mereka, karena bisa
jadi hal tersebut merupakan pengalaman pertama untuk berkomunikasi dengan
anak tunarungu atau tuli. Berbagai macam cara dilakukan agar orang tua tetap
dapat melakukan komunikasi dengan anak mereka, mulai dari mengatur kecepatan
dan volume suara saat berbicara hingga membuat gerakan-gerakan yang dapat
mewakili kalimat yang ingin mereka sampaikan.
Pada teori akomodasi komunikasi di sebutkan bahwa salah satu sifat
manusia yaitu terbagi menjadi dua, salah satunya dapat berkonvergensi. Hal
tersbut juga di lakukan orang tua untuk dapat melakukan interaksi dengan anak
mereka.
Sebenarnya sudah ada bahasa isyarat yang umumnya digunakan untuk
berkomunikasi yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BASINDO) dan Sistem Bahasa
Isyarat Indonesia (SIBI), namun kemampuan orang tua yang kurang dalam
memahami bahasa tersebut menjadi kendala yang cukup besar dalam melakukan
komunikasi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman yang dimiliki orang
tua mengenai bahasa isyarat, faktor tersebut yang membuat orang tua akhirnya
membuat bahasa isyarat sendiri yang dipahami oleh kedua belah pihak untuk
melakukan komunikasi.
4.2.1 Penyesuaian Gaya Komunikasi Orang Tua
Pada dasarnya orang tua selalu mengharapkan memiliki hubugan yang
baik dengan anak mereka, salah satu cara untuk membangun komunikasi yang
baik dengan anak yaitu dengan memiliki hubungan yang baik antara orang tua dan
anak. Perbedaan cara komunikasi dengan setiap anak pasti berbeda, hal tersebut
yang membuat orang tua melakukan penyesuaian gaya bicara saat melakukan
komunikasi dengan anaknya, begitupun yang dilakukan oleh orang tua yang
memiliki anak penyandang tunarungu (tuli).
Memiliki anak yang sempurna tentu menjadi dambaan semua orang tua,
tetapi tidak semua anak terlahir dengan keadaan yang sama. Salah satu
kekurangan yang mungkin di derita oleh seorang anak adalah pada indera
pendengarannya, hal tersebut membuat anak memiliki kendala dalam
berkomunikasi. Seperti yang di alami oleh informan pertama (Ibu Ayu):
“Saya taunya tunarungu itu orang yang ga bisa denger, udah sih itu aja.
Pertamanya ya ga bisa denger, waktu kecilnya orang lain udah bisa ngomong ini
itu, ini mah belum. Terus dipanggil juga susah ga respon gitu. Kalo waktu di tes
sih telinga dua-duanya 90 db”
Informan pertama mengatakan bahwa ia mengetahui anaknya mengidap
tunarungu karena keterlambatan kemampuan anak dalam berbicara di bandingkan
dnegan anak lainnya yang seusianya, serta respon yang kurang pada saat ibu ayu
memanggil anaknya. Setelah melakukan pemeriksaan barulah diketahui bahwa
anak ibu ayu memiliki kemampuan dengar hanya 90 dB pada kedua telinganya,
kemampuan tersebut di kategorikan sebagai profoundly losses dimana anak
kehilangan kemampuan mendengar cukup parah dan tidak dapat mendengar
percakapan yang dilakukan dalam jarak 1 meter, meskipun sumber suara sudah
dikeraskan melebihi suara percakapan yang normal.
Berbeda dengan ibu ayu, informal kedua sedikit terlambat dalam
menyadari kekurangan yang dialami anaknya, keterlambatan itu terjadi karena
informan kedua selalu mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa anaknya
merupakan anak yang normal, (Ibu Vivi):
“Sebenernya dari umur 2 tahun saya mulai curiga anak saya terlambat
bicara, sedikit sekali kata-kata yang dia ucap. Kalo mau minta apa-apa pake
isyarat dia “euh euh” (sambil nunjuk sesuatu) kaya gitu, saya pawa ke THT
dokter bilang normal untuk struktur telinganya, tapi untuk memastikan
pendengarannya harus di test BERA, waktu itu masih belom, saya masih ga
percaya, ga mungkin anak saya tuli gitu kan. Jadi saya ikutin alur, ah mungkin
nanti sebentar lagi ,sampe umur dia mau sekolah TK, akhirnya saya pasrah saya
lakukan test BERA dan hasilnya memang anak tuli pendengarannya di 110 dB.
Barulah saya umur 5 tahun, jadi agak terlambat. Tapi ga da kata terlambat buat
terus berjuang gitu, tapi untung mengetahuinya memang agak terlambat”
Ibu vivi baru melakukan test BERA untuk anaknya pada usia 5 tahun,
dimana anaknya sudah memasuki sekolah TK, hasil dari test tersebut menunjukan
bahwa anaknya memiliki kemapuan dengar pada 110 dB. Kategori tersebut
merupakan gangguan penderangan sangat berat, dimana orang tersebut tidak
mampu mendengar suara pada kondisi apapun. Informan dua juga menambahkan
bahwa salah satu faktor anaknya bisa ngidap tunarungu adalah karena virus
rubella yang di idapnya saat hamil, (Ibu Vivi):
“...ini murni karena saya kena virus rubella waktu hamil dia, itupun saya
taunya setelah anak saya di vonis begini saya jadi, oh iya saya ngerunut
kebelakang waktu test BERA kan ada ngisi kuesioner untuk ibunya, riwayat
hamil, melahirkan, sampe perkembangan anak itu ada riwayatnya. Sampe saya
nulis itu saya jadi flashback nginget oh iya ternyata saya waktu hamil tuh begini
begini. Baru disitu saya sadar bahwa kayanya virus gitu, jadi baru pertama kali
ngadepinnya ya saya jadi belajar lagi lah, belajar dunia baru dan metode baru
mendidik anak, karena anak pertama saya kan normal jadi mendidik anak yang
kedua ini agak berbeda memang”
Bagi ibu vivi memiliki anak yang menyandang tunarungu menjadi sarana
pembelajaran yang baru baginya, ibu vivi jadi mengenal bahasa yang baru dalam
berkomunikasi dan mendalami dunia baru untuk mengajarkan anak berbagai
pengetahuan, karena cara didik antara anak pertamanya yang normal dengan anak
kedua pasti berbeda. Berbeda dengan ibu vivi, informan ketiga ini menyadari
gangguan pendengaran pada anaknya di usia 2 tahun (Ibu Urayatun):
“Perkembangan bicara anak, ternyata anak saya itu kok nyampe umur
setahun belum bisa ngucap apa-apa gitu kan, terusnya udah ada firasat sih ya,
kok ini anak saya kalo ada suara yang berisik kaya motor kok diem aja, ada suara
ribut-ribut diem aja. Nah dari situ saya apa kenapa? Apa tunarungu? Dari situ
saya bawa ke THT, dari THT di suruh test BERA sama saya dan ternyata memang
kendalanya seperti itu. Di umur 2 tahun itu saya baru respon ke THT anak saya,
dari situ ternyata anak saya tunarungu untuk kedua telinganya.”
Sama seperti informan pertama. Ibu urayatun menyadari keterlambatan
bicara pada anaknya dan respon yang tidak di berikan saat anak berada di sekitar
kebisingan. Ibu urayatun yang merupakan seorang ibu rumah tangga cukup
merasa khawatir dengan kondisi anaknya pada saat itu sehingga memutuskan
untuk membawanya untuk di periksa oleh dokter THT dan menjalani test BERA.
Seperti dua informan lainnya, memiliki anak tunarungu juga merupakan
pengalaman pertama bagi ibu urayatun, tidak ada gangguan yang dialami selama
kehamilan membuat ibu urayatun tidak memiliki firasat apapun akan kondisi
anaknya.
Kondisi anak yang seperti ini membuat orang tua melakukan berbagai
penyesuaian untuk dapat melakukan komunikasi dengan anaknya tanpa adanya
missunderstanding yang dapat mempersulit penyampaian pesan. Sejalan dengan
teori akomodasi, dimana teori ini berpijak pada premis bahwa ketika pembicara
berinteraksi, merèka menyesuaikan pembicaraan, pola lokal, dan atau tindak
tanduk mereka untuk mengakomodasikan orang lain (Turner, 2008: 217).
Seperti yang disampaikan oleh informan pertama (Ibu Ayu):
“Cara yang sama pake ya beda ya sama anak lain, ya pake isyarat aja,
pake gerakan tangan. Tapi bukan bahasa yang kaya disekolah ya, saya bikin
sendiri aja yang penting anaknya ngerti”
Informan pertama mengatakan bahwa cara berkomunikasi dengan anak
tunarungu tentu berbeda dengan anak lainnya, ibu ayu menggunakan bahasa
isyarat tangan yang sudah dimengerti oleh ibu ayu dan anaknya, bahasa tersebut
merupakan bahasa yang di ajarkan dari kecil oleh anak ibu ayu. Sesuai dengan
teori akomodasi yang mengharuskan kedua pembicara menyesuaikan gaya bicara
agar pesan yang disampaikan dapat diterima, begitupun yang dilakukan oleh ibu
ayu.
Sama seperti ibu ayu, informan kedua juga melakukan hal sama dalam
menyesuaikan cara berkomunikasi dengan anaknya (Ibu Vivi):
“Berkomunikasinya pake bahasa tarzan ya, karena dia sempet pake alat
bantu dengar, setelah di test 2 bulan kemudian beli alat bantu dengar, tapi
memang perlu penyesuaian karena anaknya memang sudah besar, sudah bisa
bilang “engga mau” sudah bisa menolak jadi butuh perjuangan juga supaya dia
mau pake alat bantu dengar. Sempet terapi bicara juga, dia sudah ada beberapa
kata-kata yang dia bisa ucap, tapi untuk perintah atau keinginan dia, dia lebih
banyak menggunakan bahas isyarat sendiri, gitu. Sama-sama ngerti lah bahasa
ibu, insting ibu aja, tapi beberapa kata ada yang sudah dia bisa ucap
sebenernya”
Informan kedua melakukan penyesuaian dengan menggunakan bahasa
tarzan, dimana bahasa tarzan merupakan bahasa yang digunakan oleh orang-orang
yang berlainan bahasanya dan tidak mudah saling mengerti, di campur gerak
isyarat. Penggunaan bahasa tarzan ini sesuai dengan teori akomodasi komunikasi
dimana penyesuaian gaya komunikasi dilakukan oleh kedua pembicara. Ibu vivi
sebisa mungkin membujuk anaknya untuk mau menggunakan alat bantu dengar
guna membuat komunikasi yang dilakukan lebih mudah dan lebih cepat dipahami
oleh anak.
Selain itu ibu dari dua anak ini sempat memberikan terapi bicara pada sang
anak, hasil dari terapi itu membuat anaknya dapat mengucapkan beberapa kata
sederhana seperti “engga mau”, tetapi dalam mengungkapkan keinginannya anak
ibu vivi lebih cenderung sering munggunakan bahasa isyarat yang sama-sama
dimengerti oleh keduanya, ibu vivi menyebut itu sebagai bahasa ibu. Penyesuain
dalam berkomunikasi juga di sampaikan oleh informan ketiga (Ibu Urayatun):
“Kalo komunikasinya pake gerakan, karena kalo ga pake gerakan kita
ngomong kaya gimana juga dia ga akan ngerti kan ga akan ngerepon juga, jadi di
panggil sama kita mau sekeras apapun dia ga akan ngedenger, jadi pake gerakan
aja, selama dia, lagian dia melihat bibir aja dia malah bilang “kamu ngomong
apa sih?” kan gitu”
Ibu urayatun menggunakan gerakan tangan saat melakukan komunikasi
dnegan anaknya, meskipun anak sudah menggunakan alat bantu dengar tetapi
tetap saya kemampuannya dengarnya tidak bertambah banyak. Tetapi terkadang
ibu urayatun merasa sedikit egois, ia ingin anaknya dapat mengerti cara
berkomunikasi secara verbal, (Ibu Urayatun):
“Kadang-kadang kita juga kan sambil melatih anak biar ga pake gerakan
nih, kan semua orang juga pengennya anak bisa ngedenger nih ga pake gerakan,
biar bisa ngucap kan, tapi dai kadang-kadang ngeliat gerakan mulut kita tuh
masih bingung, jadi masih harus di seimbangkan antara gerakan sama
ucapannya, tapi eamng dia walaupun dia lebih paham kegerakan juga, tetep aja
dari kitanya mulut itu harus bergerak biar si anak juga kan lama-lama bakalan
ngerti”
Memberikan pesan yang menggunakan media tangan sebagai alat
penyampaianya memang cukup efektif bagi anak tunarungu, tetapi bila disertai
dengan gerakan bibir atau oral dapat membantu anak untuk sidkit-sedikit
memahami kalimat tersebut. Hal itu yang diharapkan oleh ibu urayatun, dimana
mungkin seatu hari anaknya dapat juga berinteraksi atau cukup memahami pesan
yang disampaikan secara verbal.
Menurut teori akomodasi komunikasi mempertimbangkan motivasi dan
komsekuensi yang mendasari dari apa yang terjadi ketika dua pembicara
menyesuaikan gaya komunikasi mereka, selama peristiwa komunikasi, orang akan
berusaha untuk mengakomodasikan atau menyesuaikan gaya berbicara mereka
dengan orang lain (Turner, 2008:217)
Hal tersebut juga dilakukan oleh ketiga informan, dimana ketiga informan
berusaha untuk menyesuaikan gaya komunikasi mereka saat melakukan interaksi
dengan anak penyandang tuna rungu (tuli). Penyesuaian tersebut dilakukan orang
tua dengan penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal secara bersamaan.
4.2.2 Bentuk Komunikasi Yang Diciptakan Orang Tua
Tidak sama seperti saat melakukan interaksi dengan anak normal lainnya,
orang tua harus memiliki cara yang sedikit berbeda saat melakukan komunikasi
dengan anak tunarungu. Hal ini lah yang mendorong orang tua membuat atau
menciptakan bentuk komunikasi yang sedikit berbeda agar pesan yang diberikan
dapat diterima oleh anak tunarungu dengan baik.
Menciptakan bentuk komunikasi yang berbeda dimaksudkan untuk
mempermudah pengakomodasian pesan antara dua pembicara, sama dengan yang
dijelaskan dalam teori akomodasi komunikasi, dimana pembicara berusaha untuk
mengakomodasikan pembicaraan dengan menyesuaikan gaya bicara guna
pembicara dapat mencapai tujuan dalam penyampaiaan pesan.
Hal tersebut juga dilakukan oleh ketiga informan, dimana informan mulai
menggabungkan antara komunikasi verbal dan nonverbal secara sekaligus saat
menyampaikan pesan, seperti yang disampaikan oleh informan pertama (Ibu
Ayu):
“...pertamanya misalkan kita pake gerakan terus pake suara juga gitu”
Ibu ayu juga menambahkan bahwa dalam menyampaikan kalimat
menggunakan bibir harus dilakukan dengan perlahan dan tertitah, dengan begitu
fokus anak saat memerhatikan dapat terbagi dengan baik, (Ibu Ayu):
“Ya pelan-pelan harus apa tuh di titah-titah gitu tuh perkata, jadi kaya
saya mau bilang “tidur” itu saya ngomongnya “ti-dur” sambil tangannya begini
(menempelkan kedua telapan tangan dan menaruhnya di kuping sebelah kanan)”
Berbeda dengan ibu ayu, informan kedua menggunakan cara yang sama
saat berkomunikasi dengan kedua anaknya. Meskipun ibu vivi mengetahui bahwa
anaknya mungkin tidak mengerti apa yang diucapkan, tetapi ibu vivi tetap
mencoba hal itu, (Ibu Vivi):
“...Saya bicara seperti ke anak saya yang pertama, walaupun saya tau
anak saya ga mendengar tapi saya tetep...”
Meski begitu tidak jarang pula ibu vivi tetap menggabungkan bahasa
verbal dan non verbal saat meyampaikan pesan kepada anaknya, mulai dari kata-
kata yang mudah untuk di pahami sampai kalimat yang cukup panjang. Seperti
kalimat larangan, disampaikan oleh ibu vivi dengan ucapan dan juga gerakan
tangan, (Ibu Vivi):
“...kaya “ga boleh gitu!” jadi saya dua, mulut saya bicara dan tangan
saya tetep bergerak ngasih isyarat. Jadi minimal dia bisa baca gerak mulut saya
dan dia bisa tau kalo “ga boleh!” itu berarti gaboleh, gitu”
Seiring berjalannya waktu dengan pertumbuhan anak yang semakin cepat
membuat ibu vivi sedikit kewalahan dengan mencari waktu agar dapat mengobrol
lebih lama dengan anaknya, kemajuan teknologi saat ini membuat anak asik
dengan hp dan dunianya sendiri, tetapi ibu vivi sebisa mungkin tetap mencoba
untuk mengobrol dengan anaknya meskipun hanya memakan waktu yang
sebentar, berikut yang diutarakan ibu vivi:
“Kalo sekarang sih karena anaknya udah punya dunia sendiri ya, dia
udah tau main udah tau hp jadi agak berkurang komunikasinya. Tapi tetep saya
sempetin mininal satu hari duduk dulu satu menit sama dia, asal duduk dulu
walaupun dia lagi maen hp ada sedikit yang saya masukan”
Salah satu cara untuk mensiasati hal tersebut juga dengan selalu
menyempatkan waktu untuk menunggu anaknya disekolah, karena bila waktu
istirahat anaknya akan datang untuk menceritakan apapun hal yang terjadi
didalam kelas, dengan begitu waktu untuk mengobrol dengan danaknya jadi
semakin bertambah. Anak ibu vivi termasuk anak yang cerdas, cepat dalam
menanggapi dan memahami hal baru, kendala komunikasi yang kadang cukup
menghambat dalam penyampaian materi, namun sejauh ini kendala tersebut bisa
untuk di atasi. Lingkungan sekolah juga membantu anak dalam penyerapan
bahasa, membuat kosa kata anak menjadi bertambah, berikut yang disampaikan
ibu vivi:
“Ada sih, pasti ada perubahan ditambah kan sesudah terapi ada beberapa
kosa kata yang dia tau. Di sekolah juga kan diajarkan apa tu, bentuknya misalnya
baju gambarnya kaya gini tulisannya begini bahasa isyaratnya begini jadi dia
ada penambahan kosa kata.”
Memiliki kekurangan pada indera pendengaran bukan berarti tidak
memiliki kelibihan pada bidang yang lain, menurut informan kedua bahwasannya
anak tunarungu memiliki kepekaan yang luar biasa pada setiap perubahan yang
ada di sekitarnya. Anak tunarungu lebih sensitif pada setiap gerakan asing yang
ada di sekitarnya, serta memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi pada setiap hal,
melihat kemampuan tersebut di gunakan oleh ibu urayatun untun memanggil
anaknya dalam jarak yang cukup jauh, yaitu dengan melemparkan benda ke arah
anaknya tanpa mengenai si anak. (Ibu Urayatun):
“...kan kalo anak gini mah dia lebih peka. Peka terhadap “benda apa tuh
yang lewat di saya”, tapi kita ga kena badannya, kalo saya,saya pribadi kalo lagi
males “aduh jauh banget sih manggi kamu” jadi saya lempar bola atau apa ke,
jadi dia langsung respon liat ke kita, nah langsung kita ngomong pake gerakan
sama bibir, gitu kan. Jadi manggilnya saya mah kalo lagi males ya ngelempar
sesuatu yang deket sama dia, dia pasti nengok. Karena mereka benda lewat
sekecil apapun tunarungu mah sebenernya lebih sensitif.”
Setiap peyampaian pesan informan ketiga selalu menggabungkan ucapan
dengan gerakan tangan, hal tersebut dilakukan guna anak lebih cepat dalam
pemahanan informasi yang di berikan. Meskipun tidak jarang perbedaan
pemahaman antara apa yang diberikan dengan apa yang di terima oleh anak sering
terjadi, tetapi tidak membuat ibu urayatun menyerah dalam memberikan
pemahaman kepada anaknya. mengingat bahwa anak tunarungu membutuhkan
perhatian yang lebih banyak dibandingkan dengan anak normal lainnya, membuat
orang tua harus lebih banyak meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol dan
mendengarkan cerita anak, serta membutuhkan penanganan ekstra saat
memberikan pemahaman anak dalam kondisi yang kurang disukai anak, seperti
saat anak sedang merajuk. Seperti apa yang disampaikan oleh ibu urayatun:
“Kalo menyampaikannya itu kan, kalo misalkan dia lagi begaduh kan lagi
ada nakal-nakalnya, kita sampaikanya harusnya secara pelan-pelan, diomongin
secara jelas, jangan kita “ga boleh!” pake lambaian tangan doang nanti dia
bingung apa yang ga boleh, nah mangkannya harus di jelaskan pake gerakan
sedetail mungkin, nanti dia juga ngeresponnya suka mengkerutkan dahinya itu ya,
berarti kan dia belum ngerti, jadi “ga bo-leh lem-par bo-la, nan-ti a-dek-nya na-
ngis” (sambil menunjukan gerakan menangis), nanti dia jawab “Ooo” kalo udah
ngeliat dia ngomong gitu berarti itu tandanya dia udah ngerti, gitu aja sih.”
Dalam komunikasi yang dilakukan pada kehidupan sehari-hari ibu
urayatun menggunakan bahasa yang sudah dipakai dari anak masih kecil, bukan
bahasa isyarat pada umumnya. Penggunaan bahasa rumah digunakan mengingat
anak belum memahami banyak kosa kata yang diajarkan di sekolah, tetapi ibu
urayatun sebisa mungkin selalu menggunakan bahasa-bahasa baru yang diajarkan
di sekolah, agar anak menjadi terbiasa dengan menggunakan bahasa isyarat.
Pemahaman adalah faktor yang harus diutamakan dalam menyampaikan pesan,
terlepas dari bagaimana cara pesan itu disampaikan. (Ibu Urayatun):
“Iya saya gunakan, pokoknya sebisa mungkin karena dia belum mengerti,
karena dia masih di kelas rendah ya jadi banyak yang gerakan belum kita
ketahui, jadi pake gerakan yang dari rumah aja kita pake, yang penting kan dia
paham dengan gerakan yang di rumah, yang saya ajarkan dari dia masih kecil.
...dia misalnya kalo kosa kata itu dapetnya satu atau dua dari terapin di rumah,
gitu. Jadi satu hari itu satu kata dua kata sama gerakan gitu diterapin satu-satu,
tapi yang lainnya kan belum tentu, jadi kita sebisa mungkin nyampein gerakan
tubuh kita gitu tuh untuk memahami dia”
Penambahan kosa kata juga datang dari sekolah, karena saat mulai sekolah
anak jadi belajar untuk mau mengucapkan pelafalan dan mendapatkan gerakan
dari bahasa isyarat yang umumnya digunakan oleh penyandang tunarungu.
Sebagai orang tua tentu saja ingin tetap dapat memahami pesan yang disampaikan
oleh anak, meskipun saat anak menggunakan bahasa isyarat. Salah satu cara yang
dipakai orang tua adalah dengan menanyakan langsung kepada guru mengenai arti
dari kalimat yang disampaikan oleh anak. Seperti yang di sampaikan ibu euis
(informan empat):
“...kami biasanya ada komunikasi dengan orang tua biar sama antara
disekolah dengan dirumah. Biasanya orang tua suka berkomunikasi dengan
bertanya langsung sama guru, seperti “ko ini anaknya bilang begini ya, ini
artinya apa?”. Paling ada komunikasi anatara guru dengan orang tuanya”
Sejauh ini sekolah masih tetap menggabungkan bahasa oral dengan bahasa
isyarat, itu dilakukan agar anak perlahan tetap bisa mengerti materi yang
diberikan dikelas, setelah anak menginjak kelas yang lebih besar pengenalan
mengenai bahasa isyarat baru diberikan. Tetapi orang tua masih banyak yang tetap
menggunakan bahasa rumah untuk berkomunikasi dengan anak mereka, meskipun
bahasa isyarat sudah mulai di kenalkan pada anak.
Penyesuaian gaya komunikasi dalam teori akomodasi komunikasi adalah
dengan menyesuaikan pembicaraan seperti kecepatan dalam berbicara, intonasi
dalam berbicara dan penggunaan komunikasi non verbal, begitupun yang
dilakukan oleh orang tua saat berinteraksi dengan anak penyandang tuna rungu
(tuli) adalah dengan melakukan penggabungan antara komunikasi verbal dan non
verbal secara bersamaan.
4.2.3 Kendala Orang Tua dalam Berkomunikasi
Setiap orang tua tentu menginginkan untuk dapat berbagi cerita dengan
anak tanpa adanya gangguan teknis yang menghambat penerimaan saat sedang
bertukar pesan antara satu sama lain. Memberi nasihat atau arahan pada anak,
pengenalan akan hal yang baru dan bahkan hanya sekedar untuk mendengarkan
cerita anak disekolah menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi orang tua,
karena hal tersebut dapat membuat hubungan anatara orang tua dan anak menjadi
semakin baik dan anak akan lebih terbuka kepada orang tua. Akan tetapi bagi
orang tua normal pada umumnya, kendala saat berkomunikasi dengan anak kerap
terjadi. Salah persepsi, nada bicara yang telalu tinggi saat marah, dan lain
sebagainya terkadang membuat orang tua kesulitan untuk memberikan pesan pada
anak.
Kesulitan tersebut menjadi lebih besar bagi orang tua yang memiliki anak
dengan keterbatasan dalam mendengar (tuli). Orang tua harus berusaha lebih keras
dalam meyampaikan pesan terhadap anak mereka, berbagai cara dilakukan orang
tua, namum tetap saja kendala dalam berkomunikasi masih ditemui.
Dalam teori akomodasi pun kendala tentu tetap ditemukan, ketika kedua
pembicara tidak saling memahami akan pesan yang disampaiakan, maka dari
itulah penyesuaian gaya komunikasi di butuhkan agar pesan yang disampaikan
dapat dipahami oleh lawan bicara. Hal tersebut juga yang dilakukan oleh orang
tua.
Kurangnya pemahaman anak serta kecakapan orang tua dalam
memberikan cara yang mudah untuk di terima anak menjadi faktor yang sering
muncul saat orang tua mencoba untuk menyampaikan pesan. Informan pertama
(ibu ayu) menjelaskan bahwa kurang pahamnya anak terhadap kalimat yang coba
untuk di sampaikan terkadang membuat anak acuh terhadap pesan yang diberikan.
(Ibu Ayu):
“...kadang dianya juga kalo udah ga paham sama yang saya omongin
anaknya suka apa ya? Acuh gitu, karena kesel juga kali ya dianya”
Tetapi tidak hanya dari satu sisi, terkadang orang tua juga merasakan hal
yang sama. Lelah dengan pesan yang tak juga dimengerti anak membuat orang tua
merasa putus asa dan menyerah untuk sementara waktu, seperti informan kedua
(ibu vivi) yang terkadang merasa kesal dengan anak yang tidak mengerti dengan
kalimat yang coba ia sampaikan, meskipun pesan tersebut telah diulang berkali
kali dengan menggunakan isyarat dan juga oral. (ibu vivi):
“...terhambat komunikasi pasti kadang dia yang pengen sesuatu saya yang
susah mengerti apa maksudnya gitu, ya karna keterbatasan itu ga selamanya
paham”
Informan ketiga (ibu urayatun) memiliki pendapat yang sama dengan
kedua informan yang lain, selisih paham sering kali terjadi saat ibu urayatun
mencoba menyampaikan teguran pada anaknya, terlebih saat anak dalam keadaan
marah, menangis atau merengek. Dalam kondisi tersebut ibu urayatun harus ekstra
sabar dalam memberikan pemahaman tersebut, (ibu urayatun):
“Kadang bahasa yang saya terjemahkan ke gerakan itu dia ga paham,
mungkin karena dia mikirnya lain sama apa yang saya maksud ya, jadi saya mah
ngomongnya apa, dia mikirnya apa. ...kalo kondisinya dia lagi nangis dia ga akan
ngerti kan, nah kalo dia udah tenang nanti kita ulangin sekali dua kali juga dia
bakalan ngerti asalkan jangan terburu-buru”
Salah satu cara untuk mengurangi kendala yang ada dilakukan orang tua
dengan menggunakan alat bantu dengan bagi anak mereka. Meskipun penggunaan
alat bantu dengar tidak membantu sepenuhnya anak untuk dapat mendengar
dengan jelas, tetapi cukup membantu orang tua dalam menyampaikan pesan.
Selain penggunaan alat bantu dengar, terapi bicara juga menjadi pilihan kedua
orang tua dalam mengatasi kendala saat melakukan komunikasi dengan anak.
Namun terlepas dari semua itu, membuat anak terbiasa dengan
penggunaan alat bantu dengar dan terapi bicara tetap membutuhkan waktu yang
tidak sebentar, seperti yang di jelaskan oleh informan ketiga (ibu urayatun):
“...di latihnya ya harus pake alat bantu dengar kalo engga ya harus
terapi, dan itu kan prosesnya agak lama juga gitu, terusnya kan dalam terapi juga
ga dia langsung bisa, dia misalnya kalo kosa kata itu dapetnya satu atau dua dari
terapin di rumah”
Dengan penggunaan alat bantu dengar tidak menutup kemungkinan
kendala yang di alami orang tua akan menghilang, kesalah pahaman kerap terjadi
antara orang tua dan anak. Ketiga informan memiliki cara yang sama untuk
meminimalisir kendala yang ada dengan cara yang cukup sederhana, yaitu dengan
cara mengulang berkali-kali kalimat atau pesan yang coba di sampaikan oleh
orang tua, dengan cara tersebut anak sedikit demi sedikit akan mengerti dengan
pesan yang di sampaikan.
Pengulangan kata atau kalimat yang dilakukan orang tua saat beriteraksi
dengan anak tuna rungu (tuli) diharakan orang tua dapat mempermudah anak
untuk mengerti dan memehami pesan yang disampaikan orang tua, sesuai dengan
teori akomodasi komunikasi dimana pembicara berusaha untuk
mengakomodasikan pembicaraan dengan menyesuaikan gaya bicara mereka, salah
satunya dengan melakukan pengulangan saat berbicara.
4.2.4 Pemahaman Orang Tua Terhadap Bahasa Isyarat
Pada umumnya penyandang tunarungu dapat berkomunikasi dengan
sesama penyandang maupun orang lainnya menggunakan bahasa isyarat yang
sudah ada seperti SIBI dan BASINDO, penggunaan bahasa ini biasanya hanya
menggunakan gerakan tangan dan mimik wajah untuk memperjelas arti dari
kalimat yang di sampaikan.
Dalam teori akomodasi komunikasi yang dikemukakan oleh giles pada
tahun 1773, penyesuaian gaya komunikasi dilakukan untuk dapat
mengakomodasikan lawan bicara. Penyesuaian gaya komunikasi yang dilakukan
orang tua salah satunya dengan mempelajari bahasa yang pada umumnya
digunakan oleh orang yang memiliki kekurangan pada indera pendengarannya
(tuli).
Penggunaan bahasa ini dapat meminimalisir kesalahan persepsi antara
kedua belah pihak, namun tidak sedikit orang tua yang memiliki anak penyandang
tunarungu kurang mengerti dan baru mngetahui mengenai adanya bahsa isyarat
ini, sehingga belum bisa mengaplikasikannya pasa saat sedang berbicara dengan
anak. Seperti informan pertama (ibu ayu) yang justru baru mengetahui bahasa
isyarat SIBI dari tempat anaknya bersekolah:
“Saya sih taunya dari sekolah ini aja, kalo disini kan diajarinnya apatuh?
SIBI ya namanya...”
Materi yang diberikan oleh pihak sekolah kepada anak mengenai bahasa
isyarat SIBI membuat orang tua mau tidak mau harus ikut belajar mengenai
bahasa isyarat tersebut untuk dapat membantu anaknya bisa terbiasa dengan
bahasa tersebut. Karena saat anak semakin dewasa dan mulai di kenalkan pada
dunia luar, kemampuan untuk berbahasa isyarat sanaget dibutuhkan agar anak
tetap dapat bersosialisasi dengan anak lainnya.
Hal tersebut juga disarakan oleh informan ketiga (ibu urayatun) yang baru
mengetahui ada bahasa tertentu yang biasanya digunakan oleh penyandang
tunarungu (tuli) untuk dapat berkomunikasi dengan yang lainnya. Mengetahui hal
tersebut belajar dari sang anak, ibu urayatun mencoba untuk ikut belajar dan
menerapan penggunaan bahasa isyarat tersebut meskipun hanya beberapa kata:
“Kalo misalnya sejauh ini sih ibunya harus pinter juga SIBI nya, kalo
diirumah kan kalo anak saya itu pertama sekolah di ajarkan SIBI dari A-Z
...karena saya ngeliatin jadi saya juga tau lah sedikit-sedikit mah, jadi kadang-
kadang saya tanya namanya siapa, cukup aja dia bilang rizqy pake gerakan
tangan, kaya gitu.”
Meskipun terkadang sulit untuk memahami bahasa isyarat, informan kedua
(ibu vivi) mengaku harus memaksakan diri untuk belajar bahasa SIBI agar dapat
lebih mengerti pesan yang disampaikan oleh anak, karena anak sudah mulai di
ajarkan bahsa isyarat oleh sekolah. Media untuk dapat mempelajari bahasa isyarat
bisa melalui media sosial dan bertanya langsung kepada guru yang mengajar anak
dikelas. (ibu vivi):
“ Sedikitnya saya tau, karena memaksakan diri untuk tau. Saya pengen
komunikasi sama anak saya jadi saya coba cari tau di youtube atau di nanya
kegurunya gitu, kaya bahasa ini ngomongnya kaya gimana ya, gitu-gitu”
Memperlajari bahasa isyarat juga di lakukan ibu vivi dengan bergabung
bersama beberapa komunitas yang menaungi orang tua yang memiliki anak
dengan keterbatasan dalam mendengar (tuli), seperti komunitas orang tua anak
tunarungu sebanten dan komunitas orangtua tunarungu seindonesia untuk dapat
saling bertukar informasi mengenai bahasa isyarat.
“Dari semenjak anak saya tunarungu kan saya banyak belajar dari, saya
googling juga, terus saya gabung komunitas orang tua anak tunarungu sebanten
juga, gabung komunitas orangtua tunarungu seindonesia juga, jadi saya banyak
ilmu, sharing parents ajasama mereka ngadepin anak kaya gini tu gimana. Buka-
nuka chanel youtube yang anak-anak tunarungu yang udah berhasil kaya apa,
jadi banyak belajar lah.”
Cara selanjutntya untuk memahami bahasa isyarat yaitu dengan bertanya
langsung kepada guru disekolah, menurut informan pendamping (ibu euis) cukup
banyak orang tua yang aktif untuk bertanya mengenai arti dari kalimat yang
disampaikan menggunakan bahasa isyarat SIBI. Mulai dari kata yang sederhana
sampai kalimat yang cukup panjang, seperti yang di jelaskan ibu euis berikut:
“Kalo untuk orang tua sih, kami biasanya ada komunikasi dengan orang
tua biar sama antara disekolah dengan dirumah. Biasanya orang tua suka
berkomunikasi dengan bertanya langsung sama guru, seperti “ko ini anaknya
bilang begini ya, ini artinya apa?”. Paling ada komunikasi anatara gutu dengan
orang tuanya”
Ketertarikan orang tua untuk mulai ikut belajar bahasa isyarat memberikan
dampak positif bagi kemajuan kemampuan anak untuk membiasakan diri
menggunkan bahasa isyarat dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak dapat
dipungkiri ketiga informan mengaku lebih nyaman menggunakan bahasa isyarat
yang telah mereka buat sendiri dengan anak yang sama-sama telah dimengerti,
seperti yang dikatakan oleh ibu ayu:
“ Saya pribadi sih lebih nyaman sama paham kalo pake bahasa gerakan
sendiri ya, soalnya kan itu dari anak kecil saya ajarinnya, jadi anak juga lebih
paham kalo pake gerakan-gerakan saya (gerakan yang di buat oleh ibu).”
Hal tersebut juga dirasakan oleh informan dua (ibu vivi), ibu yang
memiliki keinginan untuk dapat berkomunikasi secara verbal dengan anaknya ini
merasakan kesulitan menggunakan bahasa isyarat dalam kehidupan sehari-hari
karena kemampuannya yang kurang dalam mengertikan kalimat tersebut. Ibu vivi
merasa lebih nyaman dan leluasa dengan menggunakan bahasa yang telah ia dan
anaknya pahami dari awal, (ibu vivi):
“Saya pribadi sih lebih nyaman sama paham kalo pake bahasa gerakan
sendiri ya, soalnya kan itu dari anak kecil saya ajarinnya, jadi anak juga lebih
paham kalo pake gerakan-gerakan saya (gerakan yang di buat oleh ibu).”
Sedikit berbeda dengan kedua informan sebelumnya, informan ketiga (ibu
urayatun) lebih memilih mengkombinasikan antara bahasa yang sudah dipahami
bersama anak dengan bahasa isyarat SIBI, penggabungan tersebut diharapkan ibu
urayatun agar anaknya kelak dapat dengan lancar menggunakan bahasa isyarat
SIBI dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun bila di lihat dari tingkat kenyamanan
dan kemampuan memahami pesan dalam berkomunikasi, ibu urayatun lebih
memilih untuk menggunakan bahasa yang sejak kecil sudah di ajarkan kepada
anaknya dari sejak kecil. Tetapi tidak menutup keinginan ibu urayatun untuk tetap
dapat menggunakan bahasa isyarat SIBI dengan anaknya, seperti yang dijelaskan
ibu urayatun berikut:
“Kombinasi aja, yang belum diketahuin dari sekolah pake bahasa isyarat
ya kita ciptain sendiri gerakannya, kalo disekolah udah ada ya kita pake yang
dari sekolah kita terapin langsung, kadang-kadang ada gerakan baru baru nih
disekolah saya ga ngerti apa ya artinya, saya tu langsung nanya kegurunya, gitu.
Tapi tergantung orang tuanya, kalo orang tuanya peka terhadap anaknya sama
rajin nanya ke gurunya mah ya pasti bakalan cepet ngerti juga, kalo saya kan
setiap abis belajar anak selalu saya tanya di sekolah belajar apa, ada gerakan
apa, jadi selalu saya bawa kerumah terus kalo saya ga ngerti saya langsung
tanya kesini”
Meskipun ketiga informan berusaha untuk menyesuaikan gaya komunikasi
dengan anak mereka tetapi faktor karena terbiasa membuat ketiga informan
merasa sedikit kesulitan untuk ikut mempelajari bahasa isyarat, khusunya bahasa
isyarat SIBI, mereka merasa lebih nyaman dan leluasa saat mengobrol dengan
anaknya menggunakan bahasa yang sudah saling di pahami satu sama lain sejak
anak masih kecil dibandingkan menggunakan bahasa isyarat pada umumnya saat
menyampaikan pesan.
4.3 Pembasahan
Dalam penelitian ini, peneliti akan menguraikan hasil penelitian sesuai
dengan rumusan masalah, yaitu bagaimana teknik komunikasi orang tua terhadap
anak penyandang tunarungu di Kota Serang. Pembahasan peneliti lakukan
berdasarkan rujukan teori yang sudah ada di Bab II dengan fakta hasil penelitian
di lapangan. Peneliti juga membuat suatu analisis serta interpretasi secara
deskriptif sesuai dengan penelitian ini.
Aktivitas komunikasi yang dilakukan orang tua dengan anak menjadi suatu
rutinitas yang wajib dilakukan setiap saat, peran orang tua sangat penting dalam
pengenalan wawasan terhadap anak. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa orang
tua merupakan individu pertama yang menjadi guru anak dalam melakukan
komunikasi, mulai dari hal yang sederhana sampai anak tersebut siap untuk
berkomunikasi dengan individu lain.
Namun tidak jarang orang tua memiliki kendala saat menjalani hal
tersebut, banyak faktor baik dari dalam maupun luar yang dapat membuat suatu
komunikasi berjalan dengan kurang efektif, salah satu akibatnya yaitu dengan
kesalahan persepsi yang dari anak saat menangkap pesan yang di berikan orang
tua.
Kendala tersebut juga di alami bagi orang tua yang memiliki anak dengan
gangguan pada indera penderannya (tuna tungu), dimana tuna rungu merupakan
kondisi seseorang mengalami kehilangan pendengaran yang mengakibatkan orang
tersebut tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, sehingga mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasa. Perlu adanya penanaman sikap aktif oleh
orang tua dalam proses tahap perkembangannya, dimana orang tua berusa menjadi
teknik penyampaian pesan yang tepat untuk anak, agar anak dapat menerima
pesan dengan baik.
Orang tua melakukan berbagai penyesuain dalam hal tersebut, penyesuaian
tersebut membuktikan bahwa orang tua dapar berkonvergensi dengan merupah
gaya komunikasi mereka menjadi lebih baik tanpa meninggalkan bentuk
komunikasi mereka yag lama, salah satunya penyesuaian dalam cara berbicara,
seperti yang disampaikan oleh Turner (2008:217) dalam teori akomodasi
komunikasi, dimana teori ini dapat dijadikan landasan dalam kegiatan komunikasi
orang tua dengan anak tunarungu (tuli) dalam kehidupan sehari-hari. Teori
akomodasi komunikasi mempertimbangkan motivasi dan konsekuensi yang
mendasari dari apa yang terjadi ketika kedua pembicara menyesuaikan gaya
bicara mereka agar pesan yang diberikan dapat diterima dengan baik. Selama
peristiwa komunikasi, orang akan berusaha untuk mengakomodasikan akan
memyesuaikan gaya berbicara mereka dengan orang lain.
Begitu pun yang terjadi pada orang tua, saat orang tua mencoba untuk
berinteraksi dengan anak mereka, orang tua akan berusaha untuk dapat
mengakomodasikan atau menyesuaikan gaya bicara mereka kepada anak agar
anak lebih memahami pesan yang di sampaikan dan orang tua dapat memperkecil
kemungkinan terjadinya miss understanding. Salah satu cara yang di pakai orang
tua yaitu dengan menggunakan gerakan tangan dan gerakan mulut yang perlahan
saat mencoba untuk menyampaikan pesan serta menggunakan bahasa tarzan.
Bahasa tarzan merupakan bahasa yang pada umumnya digunakan oleh orang yang
berlainan bahasanya dan tidak mudah saling mengerti, seperti yang di katakan
oleh informan ibu vivi:
“Berkomunikasinya pake bahasa tarzan ya, karena dia sempet pake alat
bantu dengar, setelah di test 2 bualn kemudian beli alat bantu dengar, tapi
memang perlu penyesuaian karena anaknya memang sudah besar, sudah bisa
bilang “engga mau” seudah bisa menolak jadi butuh perjuangan juga supaya dia
mau pake alat bantu dengar. Sempet terapi bicara juga, dia sudah ada beberapa
kata-kata yang dia bisa ucap, tapi untuk perintah atau keinginan dia, dia lebih
banyak menggunakan bahas isyarat sendiri, gitu. Sama-sama ngerti lah bahasa
ibu, insting ibu aja, tapi beberapa kata ada yang sudanh dia bisa ucap
sebenernya”
Penyesuaian gaya berbicara juga di lakukan oleh kedua informan lainnya
yaitu ibu ayu dan ibu urayatun, kedua informan menggunakan cara yang hampir
sama untuk dapat berinteraksi dengan anak mereka. Penggabungan antara
komunikasi verbal dan non verbal secara bersamaan saat penyampaian pesan di
nilai merupakan cara yang paling efektif untuk membuat anak memahami pesan
yang coba di sampaikan orang tua. Butuh kesabaran ekstra saat melakukan
interaksi tersebut, tidak jarang anak tidak mengerti dengan pesan yang di
sampaikan. Cara untuk mengatasinya yaitu dengan mrngulang terus menerus
kalimat yang ingin disampaikan. Meski begitu tidak jarang ketiga informan
merasa kesal sendiri tetapi tidak membuat mereka menyerah untuk dapat
membuat anak mereka mengerti
Sebenarnya ada bahasa isyarat yang biasa digunakan oleh orang yang
memiliki keterbatasan dalam mendengar (tuli), salah satunya yaitu bahasa isyarat
SIBI. Dimana bahasa isyarat ini diajarkan pada ketiga anak dari informan di
sekolah. Ibu ayu, ibu vivi dan ibu urayatun ikut serta dalam mempelajari bahasa
isyarat tersebut, informan pendamping (ibu euis) menjelaskan bahwa ada
beberapa orang tua yang aktif, termasuk ketiga informan dalam bertanya
mengenai arti dari bahasa isyarat yang diberikan kepada anak, hal itu dilakukan
agar mereka dapat membantu anak terbiasa untuk menggunakan bahasa isyarat
yang telah umum. Tetapi meskipun begitu ketiga informan tetap merasa lebih
nyaaman dan leluasa untuk menggunakan bahasa isyarat yang telah mereka buat
sendiri dengan anaknya, hal tersebut karena anak dan informan sudah saling
mengerti dengan bahasa yang mereka miliki.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan peneliti maka didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Orang tua melakukan berbagai penyesuain dalam aktivitas komunikasi
bersama anak, salah satunya penyesuaian dalam cara berbicara. Sejalan
dengan teori akomodasi komunikasi, dimana kedua pembicara
menyesuiakan gaya bicara mereka agar pesan yang berikan dapat diterima
dengan baik. Selama peristiwa komunikasi, orang akan berusaha untuk
mengakomodasikan akan memyesuaikan gaya berbicara mereka dengan
orang lain. Begitupun yang dilakukan oleh orang tua, mereka
menyesuaikan intonasi, kecepatan berbicara, dan gerakan yang akan di
mengerti oleh anak.
2. Orang tua menggunakan komunikasi verbal dan non verbal secara
bersamaan saat melakukan interaksi dengan anak tuna rungu, hal tersebut
dilakukan agar anak dapat dengan cepat memahami pesan yang
disampaikan. Dan kemungkinnan untuk adanya miss understanding dapat
di perkecil.
3. Tidak jarang orang tua mengalami kesulitan saat melakukan interaksi
dengan anak mereka, hal tersebut juga di alami oleh orang tua yang
memiliki anak dengan keterbatan dalam mendengar atau tuna rungu.
Kesalahan persepsi seringkali terjadi, serta terkadang kondisi emosi anak
membuat orang tua agak kesulitan menghadapinya saat menyampaikan
pesan. Salah satu cara yang dipakai orang tua sebagai solusi adalah dengan
ngulang terus menerus pesan yang ingin disampaikan saat berinteraksi
dengan anak tuna rungu (tuli), mencari gerakan lain yang lebih mudah
untuk di pahami oleh anak, memberikan jeda pada anak, saat anak sudah
mulai bosan untuk memperhatikan pesan yang sedang disampaikan.
4. Anak diajarkan bahasa isyarat yang umumnya di gunakan oleh orang yang
mengalami gangguan pada indera pendengarannya disekolah, karena itu
orang tua mencoba untuk ikut mempelajari dan memahami bahasa isyarat
tersebut. Media untuk orang tua mempelajari bahasa isyarat bisa malalui
internet, bergabung dengan komunitas orang tua anak penyandang tuna
rungu dan bertanya langsung kepada guru. Tetapi meskipun begitu orang
tua lebih merasa nyaman untuk dan leluasa untuk menggunakan bahasa
isyarat yang telah mereka buat sendiri dengan anaknya, hal tersebut karena
anak dan informan sudah saling mengerti dengan bahasa yang mereka
miliki.
5.2. Saran
5.2.1 Saran Akademik
semoga dalam penelitian yang selamjutnya peneliti lain dapat
memhasilakan informasi yang baru dan lebih mendalam mengenai teknik
komunikasi yang dipakai orang tua dalam berkomunikasi dengan anak tuna rungu
(tuli)
5.2.2 Saran Praktis
Orang tua memiliki peranan aktif dalam kemampuan berbahasa anak,
untuk itu sebaikanya orang tua lebih mempersering frekuensi dalam berinteraksi
dengan anak, khususnya untuk mengenalkan beberapa kosakata baru agar anak
dapat lebih mudah saat mencoba berinteraksi dengan dunia luar. Orang tua juga
harus lebih mempermudah gaya komunikasi dengan anak, agar anak dapat dengan
mudah memahami pesan yang disampaikan. Penggabungan komunikasi verbal
dan non verbal secara bersamaan memberikan kemudahan bagi anak tuna rungu
dalam memahami pesan, tetapi akan lebih baik jika orang tua sering Dalam setiap
aktifitas komunikasi tentu akan menghadapi seuatu kendala, begitupun yang
dialami orang tua dengan anak yang menyandang tuan rungu (tuli), kesabaran
menjadi kunci yang penting bagi orang tua saat berinteraksi dengan anak. Orang
tua harus mau mencoba untuk membiasakan diri menggunakan bahasa isyarat
yang umumnya digunakan oleh penyandang tuna rungu, itu diharapkan agar anak
menjadi terbiasa dan lancar dalam penggunaan bahasa tersebut. Untuk yang ingin
kembali meneliti mengenai masalah ini dapat melihat dari teknik atau metode
komunikasi yang lain, selain yang di gunakan oleh peneliti guna mendapatkan
hasil yang lebih mendalam.
Daftar Pustaka
buku
Burhan Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Burhan Bungin. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Deddy Mulyana, 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya,
Efendi. Mohammad. 2006. Pengantar Psikopeologigik Anak Berkelainan. Jakarta:
Bumi Kasara
Elvinaro Ardianto. 2010. Metodologi Penelitian untuk Public Relations
Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Haenudin, S.Pd. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu.
Jakarta: PT. Luxima Metro Media
Krisyanto, Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:Kencana.
Lexy J. Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Onong Uchjana Effendy. 2005. Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung. PT.
Remaja Rosdakarya.
Onong Uchjana Effendy. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rachmat Kriyantono, Ph.D. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta.
Kencana Prenada Media Group.
Ruslan, Rosady. 2006. Metodologi Penelitian Public Relations dan Komunikasi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sihabudin. Ahmad dan Rahmi Winangsih. 2012. Komunikasi Antarmanusia.
Serang: Pustaka Getok Tular
Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika
Aditama
Syaiful Rohim . 2009. Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, & Aplikasi. Jakarta.
Rineka Cipta.
Sendjaja, S. Djuarsa. 2005. Teori Komunikasi. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka
Turner. Richard. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi.
Jakarta. Salemba Humanika
Zuriah, Nurul, 2009. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori dan
Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
Skripsi dan Jurnal
Ernisasupiah. 2017. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Tuna Rungu di
Sekolah Inklusi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Fauzi, Agha Dwi. 2018. Aktivitas Komunikasi Keluarga Dengan Anak Disabilitas
(Tunarungu). Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Della. Prisca Oktavia. 2014. Penerapan Metode Komunikasi Non Verbal Yang
Dilakukan Guru Pada Anak-anak Autis di Yayasan Pelita Bunda Therapy
Center Samarinda. Ilmu Komunikasi. Universitas Mulawarman. eJournal.
Vol 2. No 4.
Internet
Ansori, 2017. Pentingnya bahasa isyarat basindo untuk kaum deaf di dunia 2017.
Diakses dari http://www.taryonoansori.com/2017/08/03/pentingnya-
bahasa-isyarat-basindo-untuk-deaf-di-dunia-2018/ pentingnya-bahasa-
isyarat-basindo-untuk-deaf-di-dunia-2017/ 31/05/18 PUKUL 12.02
Dahlan, Thamrin, 2018, ketapels berjaya: lebih suka disebut tuli dari pada tuna
rungu
Diakses dari http://www.kompasiana.com/thamrindahlan/ketapels-berjaya-
lebih-suka-disebut-tuli-dari-pada-tuna-rungu 10/05/18 PUKUL 19.49`
Putri, Siti, 2018, Surya Sahetapy: Kami Lebih Memilih Disebut Tuli
Diakses dari http://www.diamma.com/2018/04/09/surya-sahetapy-kami-
lebih-memilih-disebut-tuli 10/05/18 PUKUL 19.36
Yadina, 2016, sistem bahasa isyarat indonesia (SIBI)
Diakses dari http://www.yadinayogyakarta.blogspot,com/2016/07/sistem-
bahasa-isyarat-indonesia-sibi.html?m=1 31/05/18 PUKUL 11.52
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: PEDOMAN OBSERVASI
Beberapa aspek yang diperhatikan dalam melakukan observasi di lapangan:
Nama Anak Tunarungu:
Kemampuan mendengar:
Nama Orang Tua:
Hubungan:
Pekerjaan:
No. Telepon:
Durasi Kerja:
1. Peneliti melakukan pengamatan dalam proses komunikasi yang dilakukan
antara orang tua dengan anak penyandang tunarungu.
2. Peneliti mengamati bagaimana pola komunikasi yang digunakan orang tua
saat melakukan komunikasi dengan anak penyandang tunarungu.
3. Peneliti mengamati perkembangan bahasa yang dialami anak penyandang
tunarungu.
LAMPIRAN 2: PEDOMAN WAWANCARA
Berikut beberapa point yang nantinya dijadikan pertanyaan kepada informan:
• Latar belakang informan
• Pengetahuan orang tua mengenai tunarungu
• Penyesuaian gaya bicara orang tua terhadap anak tunarungu
• Bentuk komunikasi yang diciptakan orang tua saat berinteraksi dengan
anak yang menyandang tunarungu
• Kendala yang ditemui orang tua saat menyesuaikan gaya bicara dengan
anak yang menyandang tunarungu
• Persamaan bentuk komunikasi yang dipakai orang tua sama dengan teknik
bahasa isyarat untuk tunarungu pada umumnya
INSTRUMEN PEDOMAN WAWANCARA
• Penerimaan orang tua terhadap kondisi ketunarunguan anak
1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang anak tunarungu?
2. Sejak kapan dan bagaimana Bapak/Ibu mengetahui bahwa anak
Bapak/Ibu mengalami ketunarunguan?
3. Bagaimana kondisi ketunarunguan anak Bapak?/Ibu?
4. Apakah dari pihak keluarga Bapak/Ibu sebelumnya, ada yang mengalami
ketunarunguan?
5. Apa tahap awal yang Bapak/Ibu lakukan ketika mengetahui anak
Bapak/Ibu mengalami ketunarunguan?
6. Pada tahap itu bagaimana perkembangan anak?
7. Apakah Bapak/Ibu memiliki waktu khusus bersama anak?
8. Dengan siapa anak sehari-harinya?
9. Apakah anak pernah menjalani pengobatan medis atau nonmedis?
10. Di usia berapa dan dimana anak menempuh pendidikan
nonformal/formal?
11. Setelah yang Bapak/Ibu lakukan, bagaimana perkembangan anak secara
keseluruhan?
• Penyesuaian gaya bicara orang tua terhadap anak tunarungu
12. Bagaimana cara komunikasi yang dipakai Bapak/Ibu saat menyampaikan
pesan kepada anak?
13. Apakah Bapak/Ibu menyesuaikan intonasi suara saat berbicara dengan
anak tunarungu?
14. Bagaimana dengan kecepatan berbicara saat berkomunikasi dengan anak
tunarungu?
15. Bagaimana cara Bapak/Ibu menyesuaikan cara berkomunikasi atau cara
berbicara agar dapat dimengerti oleh anak?
• Bentuk komunikasi yang di ciptakan orang tua
16. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu saat memanggil anak?
17. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu dalam mengungkapkan
keinginannya kepada anak?
18. Apakah anak selalu memahami keinginan yang diungkapkan Bapak/Ibu?
19. Seberapa sering Bapak/Ibu berkomunikasi dengan anak?
20. Bagaimana komunikasi anak dalam kegiatan di kehidupan sehari-hari
ketika bersama Bapak/Ibu, seperti bangun tidur, makan bersama,
berangkatpulang sekolah, dll?
21. Bagaimana bahasa tubuh (gesture) yang Bapak/Ibu lakukan saat
berkomunikasi?
22. Bagaimana bahasa isyarat yang Bapak/Ibu lakukan dalam menyampaikan
pesan yang ingin ia ungkapkan kepada anak?
23. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai pemahaman anak terhadap
pesan/informasi yang anak dapatkan?
24. Apa perubahan kemampuan berbahasa anak pada sebelum dan sesudah
anak bersekolah?
• Kendala
25. Bagaimana jika anak tidak memahami pesan yang dimaksudkan oleh
Bapak/Ibu?
26. Kesulitan apa yang muncul saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa
tubuh/isyarat/mimik wajah) bersama anak?
27. Bagaimanakah upaya yang Bapak/Ibu lakukan untuk mengatasi kesulitan
saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa tubuh/isyarat/mimik wajah)
ataupun secara verbal (lisan dan tulisan) bersama anak?
• Persamaan bentuk komunikasi yang dipakai orang tua sama dengan teknik
bahasa isyarat untuk tunarungu pada umumnya
28. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahasa isyarat yang umumnya di gunakan
oleh penyandang tunarungu (tuli) untuk berkomunikasi?
29. Jika mengetahui, dari mana Bapak/Ibu mengetahui hal tersebut?
30. Sejauh mana Bapak/Ibu dapat berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat dengan anak?
31. Menurut Bapak/Ibu lebih nyaman untuk menggunakan bahasa isyarat
pada umumnya (SIBI/BASINDO) atau menggunakan bahasa yang sudah
lama digunakan bersama anak saat berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari?
• PERTANYAAN UNTUK GURU
32. Bagaimana respon anak saat diajarkan mengenai pengenalan bahasa
isyarat?
33. Bagaimana respon anak ketika Bapak/Ibu Guru memberikan instruksi?
34. Bagaimana respon anak dalam memahami materi yang disampaikan
Bapak/Ibu Guru?
35. Apakah anak mengalami kesulitan dalam memahami materi yang
disampaikan oleh Bapak/Ibu Guru?
36. Apakah ada pembelakan khusus kepada orang tua mengenai bahasa
isyarat?
Biodata Informan
Informan Pertama
Nama : Ayu
Hubungan : Orang Tua Kandung
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Lahir : 20 September 1980
No.Hp : 087774006876
Nama Anak : Refiansyah
Faktor Anak Tunarungu : Karena Demam Tinggi
Kemampuan Mendengar Anak : 90 dB
(Ibu ayu sebelah kiri)
Informan Pertama
Nama : Vivi
Hubungan : Orang Tua Kandung
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Lahir : 12 Januari 1987
No.Hp : 08777213118001
Nama Anak : Devora
Faktor Anak Tunarungu : Bawaan Lahir
Kemampuan Mendengar Anak : 110 dB
(Ibu Vivi sebelah Kanan)
Informan Pertama
Nama : Urayatun
Hubungan : Orang Tua Kandung
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Lahir : 3 April 1986
No.Hp : 087771484614
Nama Anak : Rizqy Nur Subhi
Faktor Anak Tunarungu : Bawaan Lahir
Kemampuan Mendengar Anak : 75 dB
(Ibu Urayatun sebelah kiri)
Informan Pendamping
Nama : Euis Andariah
NIP : 19731216 199903 2 001
Pendidikan Terakhir : S1 PLB
Pekerjaan : Guru
Wawancara Ibu Euis
1. Sejauh mana peranan orang tua dalam pembelajaran mengenai bahasa
isyarat disekolah?
• Untuk pemahanan atau pembelajaran bahasa isyarat sendiri kami
tidak ada pembelakan khusus kepada orang tua, tetapi banyak
orang tua yag aktif bertanya langsung kepada kami ketika tidak
memahami bahsa isyarat yg digunakan anak.
2. Bahasa isyarat apa yang dikunakan disekolah? SIBI/BASINDO?
• Kalo saya dikelas itu menggunakannya KOMTAL mba, jadi
komunikasi kata, oral iya jadi bahasa isyarat juga iya, jadi dua
duanya. Kalo untuk anak-anak kelas besar kan dia pergaulannya
udah luas ya, biasanya mereka kalo dengan sesama temannya itu
menggunakan bahasa isyarat mereka sendiri, tapi kalo untuk
dikelas kami menggunakan bahasa isyaratnya SIBI, namun dikelas
kadang berkurang soalnya mereka kan ada hp kadang pake sms
jadi pengunaan bahasa isyarat sedikit berkurang, malah kadang
mereka yg lebih tau mengenai bahasa isyarat, mereka juga lebih
aktif dalam bertanya seperti “ini ini artinya apa sih kalo seperti
ini?”
3. Bagaimana penyerapan anak dalam mempelajari bahasa isyarat?
• Jadi awal awal sih kita ajarkan dulu yang mudah mudah dulu, biar
anak gampang mengerapnya, seperti kata “ibu” kata kata yang
dasar aja, karena kebetulan saya mengajar dikelas yang cil mba, di
kelas satu jadi masih dalam tahap awal
4. Apakah ada pembekalan khusus terhadap orang tua mengenai bahasa
isyarat?
• Kalo untuk orang tua sih, kami biasanya ada komunikasi dengan
orang tua biar sama antara disekolah dengan dirumah. Biasanya
orang tua suka berkomunikasi dengan bertanya langsung sama
guru, seperti “ko ini anaknya bilang begini ya, ini artinya apa?”.
Paling ada komunikasi anatara gutu dengan orang tuanya
5. Bagaimana penyesuaian cara komunikasi yang digunakan pengajar
terhadap anak?
• Kami berkomunikasi dengan oral dan isyarat, karena kan tetap saya
bahasa isyarat itu kan bahasa mereka, Cuma kamu tetap
mengajarakan mengenai bahasa oral, karena kami berharap mereka
dapat berkomunikasi dengan cara oral, kerena dunia luar memang
dunia oral. Cuman kami tidak bisa meninggalkan bahasa isyaratnya
sendiri, cuman ada sih kamus bahasa isyarat sih ada untuk yg
formalnya, untuk membantu pembelajaran di kelas.
6. Bagaimana respon anak saat diajarkan mengenai pengenalan bahasa
isyarat?
• Untuk respon setiap anak pasti berbeda ya, ada yang cukup aktif,
ada yang acuh itu semua kan kembali lagi pada kesabaran guru
pada saat memberikan pengenalan
7. Apakah ada kegiatan khusus disekolah yang melibatkan orang tua dan
anak?
• Biasanya acara peringatan-peringatan gitu, HUT RI atau Kartinian
biasanya orangtunya ikut berpartisipasi dalam acara tersebut untuk
mendampingi anaknya, atau pada saat pemberian penghargaan
pada anak.
8. Bagaimana tanggapan ibu mengenai fenomena baru yang menyatakan
bahawa orang yang menyandang tunarungu lebih memilih untuk di sebut
sebagai orang tuli dibandingkan dengan tunarungu. Karena mereka
beranggapan bahawa kata tuna terlalu kasar untuk digunakan, tunarungu
berarti tidak memiliki kemampuan mendengar sedangkan tuli ialah
sekelompok orang yang menggunakan bahasa isyarat sebagai media dalam
berkomunikasi?
• Kalo menurut saya sih itu hanya bahasa saja ya, sebenernya tidak
apa-apa sih. Kalo misalkan itu kan perepsi orang kan berbeda-beda
ya, kalo persepsi saya sih bahasa isyarat kan memang itu bahasa
mereka ya, karena kan kita juga berada dilingkungan yang
memiliki bahasa seperti bahasa isyarat. Jadi saling
berkesinambungan aja gitu, karena kan kita juga orang berbahasa
juga kita juga harus bertoleransi dengan mereka, bisa dengan
bahasanya mereka. Karena saya pernah melihat di lingkungan
rumah sayapun banyak orang-orang seperti kita malah belajar
bahasa isyarat dengan mereka agar dapat berinteraksi dengan
tunarungu juga. Harusnya sih dua-duanya dipakai.
Wawancara ibu Ayu
• Penyesuaian gaya bicara orang tua terhadap anak tunarungu
37. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang anak tunarungu?
• Saya taunya tunarungu itu orang yang ga bisa denger, udah sih itu
aja
38. Sejak kapan dan bagaimana Bapak/Ibu mengetahui bahwa anak
Bapak/Ibu mengalami ketunarunguan?
• Pertamanya ya ga bisa denger, waktu kecilnya orang lain udah bisa
ngomong ini itu, ini mah belum. Terus dipanggil juga susah ga
respon gitu
39. Bagaimana kondisi ketunarunguan anak Bapak?/Ibu?
• Kalo waktu di tes sih telinga dua-duanya 90 db
40. Apakah dari pihak keluarga Bapak/Ibu sebelumnya, ada yang mengalami
ketunarunguan?
• Engga ada, engga ada keluarga engga ada. Ini bener-bener saya
pertama kali dan sangat syok pertamanaya
41. Bagaimana cara komunikasi yang dipakai Bapak/Ibu saat menyampaikan
pesan kepada anak?
• Cara yang sama pake ya beda ya sama anak lain, ya pake isyarat
aja, pake gerakan tangan. Tapi bukan bahasa yang kaya disekolah
ya, saya bikin sendiri aja yang penting anaknya ngerti
42. Apakah Bapak/Ibu menyesuaikan intonasi suara saat berbicara dengan
anak tunarungu?
• Iya, pertamanya misalkan kita pake gerakan terus pake suara juga
gitu
43. Bagaimana dengan kecepatan berbicara saat berkomunikasi dengan anak
tunarungu?
• Ya pelan-pelan harus apa tuh di titah-titah gitu tuh perkata, jadi
kaya saya mau bilang “tidur” itu saya ngomongnya “ti-dur” sambil
tangannya begini (menempelkan kedua telapan tangan dan
menaruhnya di kuping sebelah kanan)
• Bentuk komunikasi yang di ciptakan orang tua
44. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu saat memanggil anak?
• Saya toel biasanya, kadang kalo dia lagi liat kesaya paling saya
kaya (melambaikan tangan ke arah anak) gitu
45. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu dalam mengungkapkan
keinginannya kepada anak?
• Pake gerakan aja, kalo saya nyuruh dia mandi, saya ngomong
mandi sambil (tangan berayun diudara keatas dan kebawah, seperti
membasuh badan)
46. Apakah anak selalu memahami keinginan yang diungkapkan Bapak/Ibu?
• Engga sih, kadang anak saya juga suka nanya terus “apasih, kamu
ngomong apa?” seperti itu. Namanya juga dia kan kurang paham
ya mba, jadi ya paling saya suka ngulangin lagi apa yang saya
omongin tadi.
47. Seberapa sering Bapak/Ibu berkomunikasi dengan anak?
• Ya sering, kalo dirumah saya suka ajak ngobrol, kadang dia yang
suka ajarin saya bahasa isyarat yang diajarin disekolah.
48. Bagaimana komunikasi anak dalam kegiatan di kehidupan sehari-hari
ketika bersama Bapak/Ibu, seperti bangun tidur, makan bersama,
berangkatpulang sekolah, dll?
• Iya kalo mau makan gitu, jadi ya ini dia makan gerakan (tangan
menyuap), kalo buang air besar dia ngeden gitu, sebisa saya sih ya
di dampingin terus anaknya jadi kalo misalnya dia mau apa-apa
saya bisa ngerti gitu.
49. Bagaimana bahasa tubuh (gesture) yang Bapak/Ibu lakukan saat
berkomunikasi?
• Saya pake tangan, kaya kalo mau nyuruh dia mandi, duduk itu
saya pake tangan aja sama mulut gitu sambil ngomong
50. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai pemahaman anak terhadap
pesan/informasi yang anak dapatkan?
• Sedanglah engga begitu memahami kadang-kadang ga paham dia
apa yang kita omongin, kadang dianya juga kalo udah ga paham
sama yang saya omongin anaknya suka apa ya? Acuh gitu, karena
kesel juga kali ya dianya
51. Apa perubahan kemampuan berbahasa anak pada sebelum dan sesudah
anak bersekolah?
• Perubahan mah pasti ada, kalo dulu kan dia ngomong sama saya
suka pake gerakan seadanya aja, tapi pas sekolah sekarang banyak
bisa isyarat gitu, pake omongan juga sedikit ngerti dia.
• Kendala
52. Bagaimana jika anak tidak memahami pesan yang dimaksudkan oleh
Bapak/Ibu?
• Udah aja diemin, kalo misalkan dia ga paham udalah lah mau
gimana lagi
53. Kesulitan apa yang muncul saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa
tubuh/isyarat/mimik wajah) bersama anak?
• Kesulitannya apa ya? Biasa aja sih engga terlalu sulit sebenrnya.
Cuman kadang anaknya aja yang kurang paham
54. Bagaimanakah upaya yang Bapak/Ibu lakukan untuk mengatasi kesulitan
saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa tubuh/isyarat/mimik wajah)
ataupun secara verbal (lisan dan tulisan) bersama anak?
• Iya pasti diulang-ulang, kaya ayok pasti ngerti, kita ulang-ulang
sampe dia bilang “oh”, itu mulutnya bikin bentuk O gitu, nah
berarti dia ngerti, kadang-kadang kalo dianya udah berkali-kali ga
ngerti juga dianya yang nyerah, nanti paling udah saya tinggal
dulu nanti baru di kasih tau lagi.
• Persamaan bentuk komunikasi yang dipakai orang tua sama dengan teknik
bahasa isyarat untuk tunarungu pada umumnya
55. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahasa isyarat yang umumnya di gunakan
oleh penyandang tunarungu (tuli) untuk berkomunikasi?
• Saya sih taunya dari sekolah ini aja, kalo disini kan diajarinnya
apatuh? SIBI ya namanya
56. Jika mengetahui, dari mana Bapak/Ibu mengetahui hal tersebut?
• Taunya ya dari sini, dari sekolahan aja saya
57. Sejauh mana Bapak/Ibu dapat berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat dengan anak?
• Kalo saya mah belum ngerti banget Cuma tau bahasa tangan aja,
soalnya kalo dirumah mah saya tetep aja pake gerakan yang saya
sama anak ngerti aja
58. Menurut Bapak/Ibu lebih nyaman untuk menggunakan bahasa isyarat
pada umumnya (SIBI/BASINDO) atau menggunakan bahasa yang sudah
lama digunakan bersama anak saat berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari?
• Saya pribadi sih lebih nyaman sama paham kalo pake bahasa
gerakan sendiri ya, soalnya kan itu dari anak kecil saya ajarinnya,
jadi anak juga lebih paham kalo pake gerakan-gerakan saya
(gerakan yang di buat oleh ibu).
Wawancara ibu vivi
• Penyesuaian gaya bicara orang tua terhadap anak tunarungu
1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang anak tunarungu?
• Sebagai orang awam ya sebelumnya sih saya tau ada anak yang
berkebutuhan khusus, tuna ini, tuna ini dan untuk tunarungu ada
gangguan di pendengarannya. Tapi saya jadi banyak tau setelah
anak saya sendiri yang mengalami, jadi saya lebih banyak cari tau
ketunarunguan itu apa dan harus bagaimana karena saya
menghadapi anak saya
2. Sejak kapan dan bagaimana Bapak/Ibu mengetahui bahwa anak
Bapak/Ibu mengalami ketunarunguan?
• Sebenernya dari umur 2 tahun saya mulai curiga anak saya terlambat
bicara, sedikit sekali kata-kata yang dia ucap. Kalo mau minta apa-
apa pake isyarat dia “euh euh” (sambil nunjuk sesuatu) kaya gitu,
saya pawa ke THT dokter bilang normal untuk struktur telinganya,
tapi untuk memastikan pendengarannya harus di test BERA, waktu
itu masih belom, saya masih ga percaya, ga mungkin anak saya tuli
gitu kan. Jadi saya ikutin alur, ah mungkin nanti sebentar lagi ,sampe
umur dia mau sekolah TK, akhirnya saya pasrah saya lakukan test
BERA dan hasilnya memang anak tuli pendengarannya di 110 dB.
Barulah saya umur 5 tahun, jadi agak terlambat. Tapi ga da kata
terlambat buat terus berjuang gitu, tapi untung mengetahuinya
memang agak terlambat
3. Bagaimana kondisi ketunarunguan anak Bapak?/Ibu?
• Itu saat pengecekan BERA anak saya ada di 110 dB
4. Apakah dari pihak keluarga Bapak/Ibu sebelumnya, ada yang mengalami
ketunarunguan?
• Tidak ada sama sekali, ini pengalaman pertama saya. Pengalaman
pertama dan mudah-mudahan yang terakhir. Karena memang ga da
turunan dari aman-mana, ini murni karena saya kena virus rubella
waktu hamil dia, itupun saya taunya setelah anak saya di vonis
begini saya jadi, oh iya saya ngerunut kebelakang waktu test BERA
kan ada ngisi kuesioner untuk ibunya, riwayat hamil, melahirkan,
sampe perkembangan anak itu ada riwayatnya. Sampe say nulis itu
saya jadi flashback nginget oh iya ternyata saya waktu hamil tuh
begini begini. Baru disitu saya sadar bahwa kayanya virus gitu, jadi
baru pertama kali ngadepinnya ya saya jadi belajar lagi lah, belajar
dunia baru dan metode baru mendidik anak, karena anak pertama
saya kan normal jadi mendidik anak yang kedua ini agak berbeda
memang
5. Bagaimana cara komunikasi yang dipakai Bapak/Ibu saat menyampaikan
pesan kepada anak?
• Berkomunikasinya pake bahasa tarzan ya, karena dia sempet pake
alat bantu dengar, setelah di test 2 bualn kemudian beli alat bantu
dengar, tapi memang perlu penyesuaian karena anaknya memang
sudah besar, sudah bisa bilang “engga mau” seudah bisa menolak
jadi butuh perjuangan juga supaya dia mau pake alat bantu dengar.
Sempet terapi bicara juga, dia sudah ada beberapa kata-kata yang dia
bisa ucap, tapi untuk perintah atau keinginan dia, dia lebih banyak
menggunakan bahas isyarat sendiri, gitu. Sama-sama ngerti lah
bahasa ibu, insting ibu aja, tapi beberapa kata ada yang sudanh dia
bisa ucap sebenernya
6. Apakah Bapak/Ibu menyesuaikan intonasi suara saat berbicara dengan
anak tunarungu?
• Saya bicara seperti ke anak saya yang pertama, walaupun saya tau
anak saya ga mendengar tapi saya tetep gitu, kaya “ga boleh gitu!”
jadi saya dua, mulut saya bicara dan tangan saya tetep bergerak
ngasih isyarat. Jadi minimal dia bisa baca gerak mulut saya dan dia
bisa tau kalo “ga boleh!” itu berarti gaboleh, gitu
7. Bagaimana dengan kecepatan berbicara saat berkomunikasi dengan anak
tunarungu?
• Iya, semuanya saya sesuaikan
• Bentuk komunikasi yang di ciptakan orang tua
8. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu saat memanggil anak?
• Iya sam aja di toel, karena memang alat bantu pun tidak dapat
membantu sepenuhnya karena terapinya juga kan berenti ya, jadi dia
respon mendengarnya masih belum bagus
9. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu dalam mengungkapkan
keinginannya kepada anak?
• Saya pake bahasa yang kita berdua ngerti aja ya, bahasa ibu aja. Jadi
kalo gitu kan anak jadi lebih cepet buat ngertinya
10. Apakah anak selalu memahami keinginan yang diungkapkan Bapak/Ibu?
• Kadang-kadang ngerti, kadang-kadang tidak namanya terhambat
komunikasi pasti kadang dia yang pengen sesuatu saya yang susah
mengerti apa maksudnya gitu, ya karna keterbatasan itu ga
selamanya paham, ada beberapa yang sudah karena sudah kebiasaan
kaya dia makan minum atau mau susu atau mau apa karna itu
rutinitas jadi kita udah tau udah paham. Dia mau makan ini mau
sama ayam mau sama telor kita tau, tapi kalo kaya keinginan
misalnya dia ngejelasin di sekolahnya apa sih kadang saya juga
kurang paham gitu. Jadi ada beberapa yang sudah paham ada yang
belum
11. Seberapa sering Bapak/Ibu berkomunikasi dengan anak?
• Kalo sekarang sih karena anaknya udah punya dunia sendiri ya, dia
udah tau main udah tau hp jadi agak berkurang komunikasinya. Tapi
tetep saya sempetin mininal satu hari duduk dulu satu menit sama
dia, asal duduk dulu walaupun dia lagi maen hp ada sedikit yang
saya masukan
12. Bagaimana komunikasi anak dalam kegiatan di kehidupan sehari-hari
ketika bersama Bapak/Ibu, seperti bangun tidur, makan bersama,
berangkatpulang sekolah, dll?
• Sama selalu sempatkan untuk antar jemput anak saya disekolah, kalo
saya bener-bener senggang kaya sekarang kan saya tungguin dia
disekolah, jadi pas istirahat dia bisa ketemu dan ngobrol sama saya
lagi gimana tadi dikelas. Mau makan pun sama, karena udah rutinitas
kan jadi saya sedikit banyak tau apa yang di pengen, gitu.
13. Bagaimana bahasa tubuh (gesture) yang Bapak/Ibu lakukan saat
berkomunikasi?
• Biasa aja, saya selalu usahakan untuk menunjukan gerakan yang
bakalan dia pahami, gitu loh. Kaya misal untuk bilang ambilin hp
saya bakalan (tangan meraih kedepan lalu membuat gerakan seperti
menerima telpon)
14. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai pemahaman anak terhadap
pesan/informasi yang anak dapatkan?
• Kalo dari saya ada beberapa, kalo menurut saya ya, kalo lagi one
by one gitu ngajar dia itu fast learner sebenernya orangnya, cuman
emang karena komunikasi itu kali ya. Gurunya pun bilang
termasuk yang cepat kalo misal diajarin apa dia cepet buat
nangkepnya, pemahamannya bagus Cuma karena keterbatasan
komunikasi mungkin beda kalo dia nanti udah bisa baca mungkin
bisa lebih lancar lagi. Dan kalo misalnya ngobrol sama saya
sejauh ini sih dia lumayan selalu ngerti apa yang saya omongin ya,
gitu.
15. Apa perubahan kemampuan berbahasa anak pada sebelum dan sesudah
anak bersekolah?
• Ada sih, pasti ada perubahan ditambah kan sesudah terapi ada
beberapa kosa kata yang dia tau. Di sekolah juga kan diajarkan
apa tu, bentuknya misalnya baju gambarnya kaya gini tulisannya
begini bahasa isyaratnya begini jadi dia ada penambahan kosa
kata.
• Kendala
16. Bagaimana jika anak tidak memahami pesan yang dimaksudkan oleh
Bapak/Ibu?
• Ya ini tergantung kondisi ya, kadang juga saya nyerah “terserah
deh!” gitu, tapi kadang-kadang kalo anaknya udah paham ya ada
pasti kendala ada, balik lagi sih kalo engga saya ulang lagi
ngomongnya
17. Kesulitan apa yang muncul saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa
tubuh/isyarat/mimik wajah) bersama anak?
• Karena saya juga masih belajar ya, ee bahasa isyarat itu banyak
banget yang belum saya pelajari juga, jadi kadang-kadang
terbentur pemahanam juga, dia disekolah juga belajar baru sedikit
kaya saya. Jadi kadang-kadang saya cari tau, misalnya dia ngasih
tau isyarat “pisang” oh pisang itu begitu ya, jadi nyari tau kaya
gitu lah di cari solusinya kendalanya seperti itu
18. Bagaimanakah upaya yang Bapak/Ibu lakukan untuk mengatasi kesulitan
saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa tubuh/isyarat/mimik wajah)
ataupun secara verbal (lisan dan tulisan) bersama anak?
• Kalo saya, saya terus mencari dan belajar ya bagaimana
penyampaian yang bisa buat di pahami anak saya, dari bahasa
tarzan lah, pokonya gitu-gitu. Tapi yang namanya ibu sama anak
ya ada ikatan, dia kadang cepet ngerti juga apa yang saya
omongin, bahasa ibu lah
• Persamaan bentuk komunikasi yang dipakai orang tua sama dengan teknik
bahasa isyarat untuk tunarungu pada umumnya
19. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahasa isyarat yang umumnya di gunakan
oleh penyandang tunarungu (tuli) untuk berkomunikasi?
• Sedikitnya saya tau, karena memaksakan diri untuk tau. Saya
pengen komunikasi sama anak saya jadi saya coba cari tau di
youtube atau di nanya kegurunya gitu, kaya bahasa ini
ngomongnya kaya gimana ya, gitu-gitu
20. Jika mengetahui, dari mana Bapak/Ibu mengetahui hal tersebut?
• Dari semenjak anak saya tunarungu kan saya banyak belajar dari,
saya googling juga, terus saya gabung komunitas orang tua anak
tunarungu sebanten juga, gabung komunitas orangtua tunarungu
seindonesia juga, jadi saya banyak ilmu, sharing parents ajasama
mereka ngadepin anak kaya gini tu gimana. Buka-nuka chanel
youtube yang anak-anak tunarungu yang udah berhasil kaya apa,
jadi banyak belajar lah.
21. Sejauh mana Bapak/Ibu dapat berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat dengan anak?
• Kalo untuk berkomunikasi sih engga lancar ya, karena saya juga
baru ngerti beberapa kata aja, jadi ya engga lancar, jarang dipake
juga
22. Menurut Bapak/Ibu lebih nyaman untuk menggunakan bahasa isyarat
pada umumnya (SIBI/BASINDO) atau menggunakan bahasa yang sudah
lama digunakan bersama anak saat berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari?
• Sebenernya kalo nurutin kepengenan saya pengennya anak saya
verbal, tapi karna kondisi ya, anak saya juga masih belum bisa
agak susah juga untuk pake alat bantunya, kalo SIBI saya belum
menguasai banyak jadi untuk kenyaman sih sejauh ini
senyambungnya kita berdua aja, saya lebih nyaman pake bahasa
yang udah sama-sama kita pahami aja, untuk saat ini ya.
Wawancara Ibu Urayatun
• Penyesuaian gaya bicara orang tua terhadap anak tunarungu
1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang anak tunarungu?
• Sebenernya mengetahui anak tunarungu itu kan karena dari
pengalaman pribadi ya, anak kandung apalagi dilihat dari
perkembangan anak
2. Sejak kapan dan bagaimana Bapak/Ibu mengetahui bahwa anak
Bapak/Ibu mengalami ketunarunguan?
• perkembangan bicara anak, ternyata anak saya itu kok nyampe
umur setahun belum bisa ngucap apa-apa gitu kan, terusnya udah
ada firasat sih ya, kok ini anak saya kalo ada suara yang berisik
kaya motor kok diem aja, ada suara ribut-ribut diem aja. Nah dari
situ saya apa kenapa? Apa tunarungu? Dari situ saya bawa ke THT,
dari THT di suruh test BERA sama saya dan ternyata memang
kendalanya seperti itu. Di umur 2 tahun itu saya baru respon ke
THT anak saya, dari situ ternyata anak saya tunarungu untuk kedua
telinganya.
3. Bagaimana kondisi ketunarunguan anak Bapak?/Ibu?
• Waktu di test BERA itu anak saya tunarungu 75 dB untuk kedua
telinganya
4. Apakah dari pihak keluarga Bapak/Ibu sebelumnya, ada yang mengalami
ketunarunguan?
• Sangat sangat perdana ya, karena saya sebelumnya belum pernah
tau anak tunarungu itu seperti apa, apalagi ini anak pertama saya
gitu, jadi pertama banget dan sangat syok juga waktu pertama
ngedenger beritanya itu.
5. Bagaimana cara komunikasi yang dipakai Bapak/Ibu saat menyampaikan
pesan kepada anak?
• Kalo komunikasinya pake gerakan, karena kalo ga pake gerakan
kita ngomong kaya gimana juga dia ga akan ngerti kan ga akan
ngerepon juga, jadi di panggil sama kita mau sekeras apapun dia ga
akan ngedenger, jadi pake gerakan aja, selama dia, lagian dia
melihat bibir aja dia malah bilang “kamu ngomong apa sih?” kan
gitu
6. Apakah Bapak/Ibu menyesuaikan intonasi suara saat berbicara dengan
anak tunarungu?
• Jadi saya kalo ngomong sama dia itu ya pake gerakan sama
ngomong pelan gitu aja, kaya “makan” saya (membuat ngerakan
seperti menyuap pada mulut) sambil ngomong makan
7. Bagaimana cara Bapak/Ibu menyesuaikan cara berkomunikasi atau cara
berbicara agar dapat dimengerti oleh anak?
• Kadang-kadang kita juga kan sambil melatih anak biar ga pake
gerakan nih, kan semua orang juga pengennya anak bisa ngedenger
nih ga pake gerakan, biar bisa ngucap kan, tapi dia kadang-kadang
ngeliat gerakan mulut kita tuh masih bingung, jadi masih harus di
seimbangkan antara gerakan sama ucapannya, tapi emang dia
walaupun dia lebih paham kegerakan juga, tetep aja dari kitanya
mulut itu harus bergerak bair si anak juga kan lama-lama bakalan
ngerti
• Bentuk komunikasi yang di ciptakan orang tua
8. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu saat memanggil anak?
• Kalo manggil mah pasti di toel, sejauh apapun kita kejar pasti di
toel. Dia ga akan bisa ngedenger, paling misal kalo dia jauh kita
lempar sesuatu, kan kalo anak gini mah dia lebih peka. Peka
terhadap “benda apa tuh yang lewat di saya”, tapi kita ga kena
badannya, kalo saya,saya pribadi kalo lagi males “aduh jauh
banget sih manggi kamu” jadi saya lempar bola atau apa ke, jadi
dia langsung respon liat ke kita, nah langsung kita ngomong pake
gerakan sama bibir, gitu kan. Jadi manggilnya saya mah kalo lagi
males ya ngelempar sesuatu yang deket sama dia, dia pasti
nengok. Karena mereka benda lewat sekecil apapun tunarungu
mah sebenernya lebih sensitif.
9. Bagaimana cara berkomunikasi Bapak/Ibu dalam mengungkapkan
keinginannya kepada anak?
• Kalo menyampaikannya itu kan, kalo misalkan dia lagi begaduh
kan lagi ada nakal-nakalnya, kita sampaikanya harusnya secara
pelan-pelan, diomongin secara jelas, jangan kita “ga boleh!” pake
lambaian tangan doang nanti dia bingung apa yang ga boleh, nah
mangkannya harus di jelaskan pake gerakan sedetail mungkin,
nanti dia juga ngeresponnya suka mengkerutkan dahinya itu ya,
berarti kan dia belum ngerti, jadi “ga bo-leh lem-par bo-la, nan-ti
a-dek-nya na-ngis” (sambil menunjukan gerakan menangis), nanti
dia jawab “Ooo” kalo udah ngeliat dia ngomong gitu berarti itu
tandanya dia udah ngerti, gitu aja sih.
10. Apakah anak selalu memahami keinginan yang diungkapkan Bapak/Ibu?
• Oh kalo itu engga lah, kami sering banget apa tu namanya?
Berselisih paham ya?, iya gitu. Kadang maksud saya begini, dia
ngertinya begitu
11. Seberapa sering Bapak/Ibu berkomunikasi dengan anak?
• Kalo itu sih perhatiannya harus lebih ya, anak tunarungu butuh
perhatian yang lebih. Jadi setiap dia selesai melakukan apa kita
harus sering-sering negor gitu, jadi kalo misalnya dianya lagi
melakukan hal yang berbahaya bagi dirinya ya kita langsung aja
tegor, jangan di tunda-tunda gitu. Komunikasinya disitu sih tapi
emang sepertinya kalo anak tunarungu, anak saya pribadi seperti
punya dunia sendiri, soalnya kan dia ga ngedenger, jadi kalo udah
maen bola ya maen bola aja gitu
12. Bagaimana komunikasi anak dalam kegiatan di kehidupan sehari-hari
ketika bersama Bapak/Ibu, seperti bangun tidur, makan bersama,
berangkatpulang sekolah, dll?
• Karena yang ngurus dia semuanya saya ya, saya ga pake
pengasuh, jadi semua kegiatan dia dirumah itu sama saya mulai
dari bangun sampe tidur lagi. Ya kalo untuk kamunikasinya sih
sama aja tetep pake gerakan sama bibir aja, gerakan yang udah
kita ngerti aja
13. Bagaimana bahasa isyarat yang Bapak/Ibu lakukan dalam menyampaikan
pesan yang ingin ia ungkapkan kepada anak?
• Iya saya gunakan, pokoknya sebisa mungkin karena dia belum
mengerti, karena dia masih di kelas rendah ya jadi banyak yang
gerakan belum kita ketahui, jadi pake gerakan yang dari rumah aja
kita pake, yang penting kan dia paham dengan gerakan yang di
rumah, yang saya ajarkan dari dia masih kecil. Selain makan apa
solat gitu, ya sebisa kita aja dia ngeliat kita seperti apa ya gitu,
digerakin aja pokonya mah, soalnya kan yang diutamain itu
kanpemahaman dulu ya, kalo misalkan untuk berbicara sama
mendengar itu emang harus ya, cuman kan pemahaman dulu deh
biar dia ngerti sama kehidupan dia dulu. Kalo misalkan
pendengaran ya itu kan bisa dilatih ya, di latihnya ya harus pake
alat bantu dengar kalo engga ya harus terapi, dan itu kan
prosesnya agak lama juga gitu, terusnya kan dalam terapi juga ga
dia langsung bisa, dia misalnya kalo kosa kata itu dapetnya satu
atau dua dari terapin di rumah, gitu. Jadi satu hari itu satu kata dua
kata sama gerakan gitu diterapin satu-satu, tapi yang lainnya kan
belum tentu, jadi kita sebisa mungkin nyampein gerakan tubuh
kita gitu tuh untuk memahami dia
14. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai pemahaman anak terhadap
pesan/informasi yang anak dapatkan?
• Kalo pemahaman sih ya gitu, kadang dia ngerti kadang engga.
Soalnya kan sampai saat ini aja saaya masih menyesuaikan
ngomong sama dia itu pake gerakan, jadi kadang dia kurang ngerti
juga
15. Apa perubahan kemampuan berbahasa anak pada sebelum dan sesudah
anak bersekolah?
• Menurut saya mah banyak ya perubahan dari anak saya sebelum
sama sesudah dia sekolah itu banyak, jadi setelah sekolah itu dia
cenderung mau mengucapkan pelafalan terusnya juga dari segi
gerakannya ya dia itu bahasa isyarat tunarungunya ya lebih banyak
gitu, terusnya juga iya bahasa-bahasa isyarat kaya gitu lah,
biasanya saya kan kalo ngasih tau bahasa isyarat “puasa” cuam
nutup mulut pake tangan, tapi setelah dia disekolah diajarin bahasa
isyarat yg benernya dia ngasih tau saya kalo “puasa” itu kaya gini
(menutup mulut dengan gerakan seperti mengunci) oh gitu jadi
iya-iya, kitanya juga jadi punya ilmu dari dia karena dia nerapin
dirumah gitu, jadi bahasa-bahasa isyarat kita yang dirumah itu
dibenerin sama dia
• Kendala
16. Bagaimana jika anak tidak memahami pesan yang dimaksudkan oleh
Bapak/Ibu?
• Ya itu yang bikin kendala terbesar itu, kalo dia udah ga paham
kadang saya pasrah. Kadang-kadang saya mah, yaudah lah terserah
kamu mau ngerjain apa aja, lagian mau di omongin juga ga bisa
kan, sayanya masih pusing neranginnya gimana. Jadi harus muter
otak kitanya tuh, nanti kalo kitanya udah ketemu gimana
jawabannya udah ketemu solusinya, baru kita omongin. Untuk
sementara kalo dia ga paham-paham sama omongan kita ya yaudah
terserah kamu aja, dari pada kita marah-marah sampe mukul kan
gitu jadi lebih bahaya kan, jadi yaudah lah diemin aja dulu, nanti
kalo sayanya udah punya inisiatif gimana ya, ngomongnya gimana
ya kan, kadang-kadang susah, itu kendala paling berat itu
17. Kesulitan apa yang muncul saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa
tubuh/isyarat/mimik wajah) bersama anak?
• Kadang bahasa yang saya terjemahkan ke gerakan itu dia ga
paham, mungkin karena dia mikirnya lain sama apa yang saya
maksud ya, jadi saya mah ngomongnya apa, dia mikirnya apa.
Mangkanya saya kalo ngomong sama dia mulut sama gerakan aja
di barengin
18. Bagaimanakah upaya yang Bapak/Ibu lakukan untuk mengatasi kesulitan
saat berkomunikasi secara nonverbal (bahasa tubuh/isyarat/mimik wajah)
ataupun secara verbal (lisan dan tulisan) bersama anak?
• Ya saya diemin aja dulu, nanti kalo dianya udah tenang baru saya
ualng lagi, kalo engga saya cari lagi kata yg mirip yang dia udah
ngerti, soalnya kalo dia udah minta sesuatu dibarengin sama nagis
karna dia udah ga tahan kan, mangkannya saya nunggu dia udah
tenang dulu baru saya ulangin lagi, nanti baru dia paham, misalnya
ga bo-leh ma-en so-lo-kan nan-ti ga-tel (sambil menunjuk isyarat
tidak boleh, lalu menunjuk ke selokan, setelah itu menggaruk
tangan). Kalo kondisinya dia lagi nangis dia ga akan ngerti kan,
nah kalo dia udah tenang nanti kita ulangin sekali dua kali juga dia
bakalan ngerti asalkan jangan terburu-buru
• Persamaan bentuk komunikasi yang dipakai orang tua sama dengan teknik
bahasa isyarat untuk tunarungu pada umumnya
19. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahasa isyarat yang umumnya di gunakan
oleh penyandang tunarungu (tuli) untuk berkomunikasi?
• Kayanya sih SIBI ya kalo ga salah disini mah, saya cuma tau aja
kalo ada bahasa isyarat yang di pake buat anak tunarungu
20. Jika mengetahui, dari mana Bapak/Ibu mengetahui hal tersebut?
• Saya taunya dari sekolah aja sih, soalnya anak saya kan suka
nerapin bahasa isyarat juga kan dirumah, jadi saya suka nanya
juga kegurunya
21. Sejauh mana Bapak/Ibu dapat berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat dengan anak?
• Kalo misalnya sejauh ini sih ibunya harus pinter juga SIBI nya,
kalo diirumah kan kalo anak saya itu pertama sekolah di ajarkan
SIBI dari A-Z, dia mah rajin ya orangnya, jadi mau tidur si SIBI
itu di ualng-ulang aja sama dia, sampe apal banget, karena saya
ngeliatin jadi saya juga tau lah sedikit-sedikit mah, jadi kadang-
kadang saya tanya namanya siapa, cukup aja dia bilang rizqy pake
gerakan tangan, kaya gitu.
22. Menurut Bapak/Ibu lebih nyaman untuk menggunakan bahasa isyarat
pada umumnya (SIBI/BASINDO) atau menggunakan bahasa yang sudah
lama digunakan bersama anak saat berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari?
• Kombinasi aja, yang belum diketahuin dari sekolah pake bahasa
isyarat ya kita ciptain sendiri gerakannya, kalo disekolah udah ada
ya kita pake yang dari sekolah kita terapin langsung, kadang-
kadang ada gerakan baru baru nih disekolah saya ga ngerti apa ya
artinya, saya tu langsung nanya kegurunya, gitu. Tapi tergantung
orang tuanya, kalo orang tuanya peka terhadap anaknya sama rajin
nanya ke gurunya mah ya pasti bakalan cepet ngerti juga, kalo
saya kan setiap abis belajar anak selalu saya tanya di sekolah
belajar apa, ada gerakan apa, jadi selalu saya bawa kerumah terus
kalo saya ga ngerti saya langsung tanya kesini
Portal Berita
Keterangan Gambar:
Berikut merupakan portal berita yang memuat opini Surya Suhetapy mengenai isu
penyandang tuna rungu yang lebih memilih disebut sebagai Tuli
Dokumentasi Kegiatan Wawancara Peneliti di Lapangan
Keterangan Gambar:
Berikut adalah beberapa dokumentasi milik peneliti selama wawancara
berlangsung
Peneliti bersama informan pertama (kiri) ibu ayu.
Peneliti bersama informan kedua (kanan) ibu vivi.
Peneliti bersama informan ketiga (kiri) ibu urayatun.
Interaksi komunikasi yang dilakukan oleh informan tiga dengan anaknya yang
menyandang tuna rungu.
Interaksi komunikasi yang dilakukan oleh informan kedua dengan anaknya yang
menyandang tuna rungu.
RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama Lengkap : Syifa Apriliyanti
Tempat, Tanggal Lahir : Kuningan, 12 April 1996
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Taman Ciruas Permai Blok J2 No.10,
rt/rw 02/04 Kelurahan Pelawad, Kecamatan Ciruas
Serang Banten
Nomer Telepon : 0819-0640-0605
Alamat Email : [email protected]
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
2002 – 2008 : SD Negeri 3 Ciporang
2008 – 2011 : SMP Negeri 1 Ciruas
2011 – 2014 : SMA Negeri 1 Ciruas
2014 – 2018 : Ilmu Komunikasi Konsentrasi Hubungan Masyarakat
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
PENGALAMAN ORGANISASI
2011 – 2014 : Anggota Paduan Suara SMA Negeri 1 Ciruas
2013 – 2018 : Anggota Paguyuban Kang Nong Kabupaten
Serang
2013 – 2018 : Anggota Paguyuban Kang Nong Provinsi Banten
2015 – 2017 : Crew Tirta FM
2018 : Karang Taruna Desa Pelawad