BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioetanol -...

29
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioetanol Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol saat ini yang diproduksi umumnya berasal dari etanol generasi pertama, yaitu etanol yang dibuat dari gula (tebu, molases) atau pati-patian (jagung, singkong, dll). Bahan-bahan tersebut adalah bahan pangan (Bambang Prastowo, 2007). Pembuatan bioetanol bukan merupakan suatu hal yang baru. Secara umum, proses pengolahan bahan berpati/karbohidrat seperti ubi kayu, jagung dan gandum untuk menghasilkan etanol dilakukan dengan proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C 6 H 12 O 6 ). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Proses berikutnya adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO 2 . Arah pengembangan bioetanol mulai berubah generasi kedua, yaitu limbah pertanian yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tanaman. Jumlah selulosa di alam sangat melimpah sebagai sisa tanaman atau dalam bentuk 4

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioetanol -...

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioetanol

Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari

sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol saat ini

yang diproduksi umumnya berasal dari etanol generasi pertama, yaitu etanol

yang dibuat dari gula (tebu, molases) atau pati-patian (jagung, singkong, dll).

Bahan-bahan tersebut adalah bahan pangan (Bambang Prastowo, 2007).

Pembuatan bioetanol bukan merupakan suatu hal yang baru. Secara

umum, proses pengolahan bahan berpati/karbohidrat seperti ubi kayu, jagung

dan gandum untuk menghasilkan etanol dilakukan dengan proses hidrolisis,

yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Prinsip dari hidrolisis pati pada

dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa

(C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan

berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi

keduanya. Proses berikutnya adalah proses fermentasi untuk mengkonversi

glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2.

Arah pengembangan bioetanol mulai berubah generasi kedua, yaitu

limbah pertanian yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin.

Selulosa merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan

menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tanaman. Jumlah

selulosa di alam sangat melimpah sebagai sisa tanaman atau dalam bentuk

4

5

limbah pertanian seperti jerami padi, tongkol jagung, gandum dan kedelai.

Nilai ekonomi senyawa selulosa pada limbah tersebut sangat rendah karena

tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh manusia. Sulitnya mendegradasi

limbah tersebut menyebabkan petani lebih suka membakar limbah tersebut di

lahan pertanian dari pada memanfaatkannya kembali melalui pengomposan

(Salma & Gunarto, 1999). Untuk mengubah selulosa, hemiselulosa, dan lignin

dari limbah pertanian memerlukan jenis mikroba baru yang mampu

melakukannya (Kompas, 13 Agustus 2007).

2.2 Bahan Baku Pembuatan Bioetanol

Menurut Anggraeni, dkk (2009), industri kimia dengan proses

fermentasi bisa dikatakan fleksibilitas tinggi terhadap bahan bakunya.

Terhadap banyak variasi bahan baku yang dapat digunakan dalam industri

fermentasi. Dan hampir semuanya, bahan baku proses fermentasi, baik secara

langsung maupun tidak menggunakan hasil pertanian seperti: tebu, jagung,

umbi-umbian, nira, limbah tumbuhan yang menagndung selulosa, pati,

karbohidrat dan gula. Misalnya, jerami, tongkol jagung, sisa-sisa sayuran

(tomat, cabe yang hampir membusuk), sisa-sisa buah-buahan (kulit nanas,

kulit pisang, melon, semangka dll).

Produksi etanol dengan cara fermentasi dapat diproduksi dari 3 macam

karbohidrat, yaitu (Anggraeni, dkk, 2009):

a. Bahan yang mengandung gula atau disebut juga substansi sakarin yang

rasanya manis, seperti misalnya gula tebu, gula bit, molase (tetes), macam-

6

macam sari buah-buahan dan lain-lain. Molase mengandung 50-55% gula

yang dapat difermentasi, yang terdiri dari 69% sukrosa dan 30% gula

inversi.

b. Bahan yang mengadung pati misalnya: padi-padian, jagung, gandum,

kentang sorgum, malt, barley, ubi kayu dan lain-lain.

c. Bahan-bahan yang menagdung selulosa, misalnya: kayu, jerami, tongkol

jagung, cairan buangan pabrik pulp dan kertas (waste sulfire liquor).

Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman

yang mengandung selulosa, dilakukan melalui proses konversi selulosa

menjadi gula (glukosa) larut air, kemudian dari glukosa dikonversi lagi

menjadi ethanol.

2.3 Proses Pembuatan Bioetanol

Proses pembuatan etanol secara industri tergantung bahan bakunya.

Bahan yang mengandung gula biasanya tidak atau sedikit saja memerlukan

pengolahan pendahuluan. Tetapi bahan-bahan yang mengandung pati atau

selulosa harus dihidrolisa terlebih dahulu menjadi gula barulah dilakukan

fermentasi menjadi etanol.

Menurut Nurdyastuti (2008) produksi etanol/bioetanol (alkohol)

dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat,

dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menajdi gula (glukosa) larut

air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dan

tetes menjadi bioetanol ditunjukkan pada tabel 2.1 (Nurdyastuti, 2008):

7

Tabel 2.1 Konversi Bahan Baku Tanaman yang Mengandung Pati atau Karbohidrat dan Tetes menajdi Bio-etanol

Bahan baku Kandungan gula

dalam Bahan Baku

Jumlah Hasil

Konversi Perbandingan

Bahan Baku

dan Bioetanol Jenis Konsumsi (kg) Bio-etanol

(liter)

Ubi kayu 1000 250-300 166,6 6,5:1

Ubi jalar 1000 150-200 125 8:1

Jagung 1000 600-700 200 5:1

Sagu 1000 120-160 90 12:1

Tetes 1000 500 250 4:1

Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat

dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu hidrolisa asam

dan hidrolisa enzym. Berdasarkan kedua jensi hidrolisa tersebut, saat ini

hidrolisa enzym lebih banyak dikembangkan. Sedangkan hidrolisa asam

(misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses

pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan

hidrolisa enzym. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)

larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzym, kemudian dilakukan

proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan

yeast atau ragi (Nurdyastuti, 2008).

Reaksi yang terjadi pada proses produksi etanol/bioetanol secara

sederhana ditunjukkan pada reaksi 1 dan 2 (Nurdyastuti, 2008):

8

( )glukosaselulosa

OHCNOHC OHenzim

n )1........(..........612651062⎯⎯ →⎯

( )sidakarbondiokethanolglukosa

COOHHCOHC Yeastn )2.......(..........22 2526126 +⎯⎯→⎯

2.4 Jagung

Jagung termasuk komoditas strategis dalam pembangunan pertanian

dan perekonomian Indonesia, mengingat komoditas ini mempunyai fungsi

multiguna, baik untuk pangan maupun pakan. Penggunaan jagung untuk pakan

telah mencapai 50 % dari total kebutuhan (www.litbang_deptan.go.id). Dalam

kurun waktu tahun 2006-2010, kebutuhan jagung untuk bahan baku bioetanol

meningkat 16-22% per tahun. Perkembangan produksi jagung menurut BPS

selama periode 1990 sampai 2006 dapat dilihat pada table 2.2.

Tabel 2.2 Produksi Jagung Selama Periode 1990 sampai 2006 Tahun Produksi (ribu ton)

1990 141.80

1991 33.20

1992 149.70

1993 60.80

1994 37.40

1995 79.10

1996 26.80

1997 18.90

1998 632.50

1999 90.60

9

2000 28.10

2001 90.50

2002 16.30

2003 33.70

2004 28.99

2005 62.75

2006 29.16

Sumber : www.litbang_deptan.go.id

Sebagai bahan pangan yang mengandung 70% pati, 10% protein, dan

5% lemak, jagung mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi

beragam macam produk. Produk turunan potensial yang biasa dihasilkan dari

komoditas jagung disajikan pada Gambar 2.1.

10

Gambar 2.1 Pohon Industri Jagung (www.litbang_deptan.go.id)

Jagung varietas bisma merupakan salah satu jenis jagung komposit.

Jagung komposit adalah jenis tanaman jagung yang berkualitas, berproduksi

tinggi, dapat ditanam di berbagai jenis lahan, dan dari hasil panen biji

jagungnya varietas bisma dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Karakteristik Jagung varietas Bisma

11

Asal Persilangan Pool 4 dengan bahan introduksi

disertai seleksi selama 5 generasi

Golongan Bersari bebas

Umur 50% keluar rambut ± 60 hari

Batang Tegap, tinggi medium (± 190 cm)

Daun Panjang dan lebar

Tongkol Besar dan silindris

Biji Setengah mutiara (semi flint)

Warna Daun Hijau tua

Warna Biji Kuning

Warna Janggel Kebanyakan putih

Kelobot Menutup tongkol dengan cukup baik

Baris Biji Lurus dan rapat

Perakaran Baik

Kerebahan Tahan rebah

Jumlah Baris / Tongkol 12-18 baris

Bobot 100 Biji ± 307 g

Rata-rata hasil 5.7 ton/ha pipilan kering

Potensi Hasil 7.0 7.5 ton/ha pipilan kering

Ketahanan

Penyimpanan Tahan penyakit karat, bercak daun, dan bulai.

Keterangan

Baik untuk dataran rendah sampai ketinggian

500m dpl (untuk dataran tinggi belum diadakan

percobaan)

Sumber : Suhartini 2001

Koswara (1991) mengatakan bahwa jagung terdiri dari kelobot (kulit),

biji dan tongkol. Kelobot berfungsi menutupi biji jagung yang tersusun pada

tongkol. Tongkol jagung merupakan tempat pembentukan lembaga dan

12

gudang penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji serta modifikasi dari

cabang. Tongkol mulai berkembang pada ruas-ruas batang. Tongkol utama

umumnya terdapat pada ruas batang keenam sampai kedelapan dari atas dan

pada ruas-ruas dibawah biasanya teerdapat lima sampai tujuh tongkol yang

tidak berkembang secara sempurna. Klasifikasi jagung adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Graminales

Suku : Graminaleae

Marga : Zea

Jenis : Zea mays L.

2.5 Tongkol Jagung dan Karakteristik Lignoselulosa

Menurut Irawadi (1991) menyatakan bahwa tongkol jagung

mengandung selulosa (40%), hemiselulosa (36%) dan lignin (16%).

Sedangkan menurut Richana et al. (2004) menyatakan bahwa tongkol jagung

mengandung selulosa (44.9%), xilan (31.8%), dan lignin (23.3%). Dengan

komposisi kimia seperti ini maka tongkol jagung dapat digunakan sebagai

sumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi

pertumbuhan mikroorganisme. Analisis Proksimat tongkol jagung sebagai

pakan ternak disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komposisi Tongkol Jagung

Komponen a (%) b (%)

13

Air 9.6 7.7

Abu 1.5 -

Protein Kasar 2.5 -

Lemak Kasar 0.5 -

Serat Kasar 32.0 39.0

NDF 83.0 -

Hemiselulosa 36.0 -

Selulosa 40.0 44.9

Lignin 16.0 23.3

Xilan 30.0 31.8

Pektin 3.0 -

Pati 0.014 -

Ekstrak Nitrogen Bebas 53.5 -

Sumber : a Irawadi (1991)

b Richana et al (2004)

Selulosa merupakan bagian dari tanaman, sehingga struktur tanaman

juga memegang peranan penting dalam reaksi hidrolitik. Serat selulosa yang

terdapat dalam dinding sel tanaman berstruktur sama. Dinding sel ini terdiri

atas dua lapisan yaitu lapisan primer dan lapisan sekunder. Dinding primer

mengandung sepertiga selulosa dan memiliki ketebalan sekitar 0.1 μm.

Lapisan ini juga terdiri atas mikrofibril-mikrofibril yang berupa serat-serat

panjang (Dunlap dan Chiang, 1980).

14

Lapisan berikutnya adalah lapisan sekunder yang terdiri atas tiga

lapisan yaitu bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam atau disebut juga

sebagai S1, S2 dan S3. Sub lapisan yang terpenting adalah S2, sebab sub

lapisan ini memiliki kadar selulosa yang paling tinggi dan merupakan

pembentuk sebagian besar dinding sel sekunder. Menurut Shuler (1980) pada

lapisan sekunder terdapat sekitar 90% selulosa.

Komponen lain dari serat adalah hemiselulosa dan lignin yang terletak

diantara mikrofibril. Lignin juga ditemukan pada bagian lamela tengah atau

ruang diantara serat.

2.5.1 Lignin

Lignin merupakan salah satu dari tiga komponen dasar dinding

sel tanaman selain selulosa dan hemiselulosa. Lignin merupakan bahan

organik bukan karbohidrat yang berbentuk amorf dan tersusun atas

satuan-satuan fenol (Chang et al., 1981).

Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel tanaman satu dengan

lainnya dan pengisi dinding sel, sehingga dinding sel menjadi keras,

teguh dan kaku. Adanya ikatan alkil-alkil dan ester menyebabkan

lignin tahan terhadap hidrolisis. Pada sayur-sayuran terdapat pada

asparagus, wortel dan lobak cina. Sedangkan pada kayu, lignin juga

ditemukan pada pohon-pohon dan semak-semak, pakis, bambu, jerami,

kulit kacang tanah, dan tanaman jagung.

Lignin memiliki sifat kimiawi dan fisik yang berbeda dengan

selulosa. Menurut pasaribu (1987), lignin mudah dioksidasi oleh

15

larutan alkali dan bahan-bahan oksidator, tahan terhadap hidrolisis oleh

asam-asam mineral, mudah larut dalam larutan sulfit pada keadaan

basa dan lignin yang telah dihalogenasi dengan klor akan mudah larut

dalam alkali.

Selanjutnya Sofyan (1976), mengatakan bahwa lignin dapat

dilarutkan dalam larutan alaklimetal sulfit, dalam bentuk protolignin

(terikat pada karbohidrat) tidak larut, tidak memiliki titik lebur yang

pasti, hanya bisa melunakkan dengan suhu ± 90oC serta lignin

mengandung lebih sedikit grup hidrofilik daripada karbohidrat,

sehingga daya menyerap kelembabannya sedikit.

Lignin di didalam tongkol jagung merupakan senyawa polimer

tiga dimensi yang terdiri atas unit fenil propane yang diikat melalui

ikatan C-O-C dan C-C dengan berat molekul yang tidak terbatas.

Dimana terdapat hidrolisis dan pada jaringan tumbuhan, berfungsi

sebagai pemelihara dan perekat antar serat-serat. Bersama-sama

dengan hemiselulosa sehingga terlindung dari gangguan mikroba-

mikroba asing. Gambar 2.2 menampilkan struktur dari lignin tongkol

jagung.

16

Gambar 2.2 Struktur Lignin Tongkol Jagung

Selain lignin, komponen utama pada dinding sel tanaman

adalah selulosa dan hemiselulosa.

2.5.2 Selulosa

Selulosa merupakan kandungan utama tanaman dan merupakan

polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan gula (glukosa) yang terikat

dengan ikatan 1,4-β-D glikosidik (Fennema, 1985).

Menurut Ward dan Seib (1970) adanya ikatan-ikatan molekul

glukosa dalam bentuk 1,4-β-D glikosidik yang membentuk rantai-

rantai selulosa yang panjang menyebabkan selulosa sukar larut dalam

air. Sedangkan menurut Nur et al (1984) kekuatan dan kekakuan

selulosa diakibatkan oleh adanya ikatan-ikatan hydrogen pada

molekul-molekul berdampingan.

Selulosa-selulosa dalam dinding sel terkumpul dalam suatu

ikatan mikrofibril. Kumpulan mikrofibril membnetuk serat. Serat yang

satu dengan yang lainnya diikat oleh lignin dalam suatu ikatan yang

b

s

ta

(

a

s

m

a

(

s

k

d

S

n

p

bentuk ikatan

ehingga me

anaman.

Selulo

daerah habl

amorf). Pada

ehingga lebi

memberikan

amorf dapat m

Sifat

1987) yaitu

erta pelarut-

kloroform. S

dalam asam

Selulosa jug

natrium hip

peroksida, na

nnya kompak

emberikan k

osa pada m

lur atau kri

a daerah Kris

ih sukar dire

sifat ketegu

memberikan

fisik dan k

tidak larut d

-pelarut org

elanjutnya C

sulfat 72%

ga tahan terh

oklorit, kal

atrium perok

Gam

k dan tersusu

keteguhan m

mikrofibril te

istal) dan b

stal susunan

eaksikan den

uhan yang k

n sifat elastik

kimiawi selu

dalam air din

anik netral

Casey (1980

%, asam klor

hadap oksid

lsium hipok

ksida dan oks

mbar 2.3 Stru

un rapat pad

mekanis atau

ersusun atas

bagian yang

selulosa ada

ngan pereaks

kuat dan ka

k yang lebih

ulosa yang

ngin, larutan

seperti benz

) mengataka

rida 44% se

dasi oleh ok

klorit, klori

sigen.

uktur Selulo

da dinding se

u pengeras d

s bagian ya

tidak terat

alah kompak

si-pereaksi te

aku. Sedangk

baik.

lain menuru

n asam dan a

zene, alcoho

an bahwa sel

erta asam fo

ksidator sepe

in-dioksida,

sa

17

el tanaman,

dinding sel

ang teratur

tur (daerah

k dan rapat,

ertentu dan

kan daerah

ut pasaribu

alkali encer

ol, eter dan

lulosa larut

osfat 85%.

erti klorin,

hydrogen

18

2.5.3 Hemiselulosa

Hemiselulosa didapatkan di alam pada dinding sel semua jenis

kayu, merang padi, buah-buahan dan kulit buah umbi-umbian.

Demikian pula pada alga juga ditemukan hemiselulosa. Hemiselulosa

merupakan karbohidrat dengan bobot molekul lebih rendah dari pada

selulosa dan tersusun atas satuan-satuan gula pentosan dan heksosan.

Menurut Richard dan Whistler (1970) sebagian besar hemiselulosa

terdiri atas dua sampai empat heteroglikan dan jarang yang sampai

lima atau atau enam jumlahnya. Heteroglikan yang umum ditemui

yaitu arabino D-xilan, L-arabino-D-glukurono-D-xilan, D-gluko-D-

mannan, D-galakto-D-gluko-D-mannan dan L-arabino-D-galaktan.

Hemiselulosa memiliki derajat polimerisasi yang lebih rendah

daripada selulosa, yaitu maksimum 200. Dengan dasar bahwa rantai

hemiselulosa bercabang, maka umunya struktur hemiselulosa tidah

berbentuk kristal sehingga mudah dimasuki air atau pelarut lain

dibandingkan selulosa. Sedangkan sifat kimiawi hemiselulosa hamper

sama dengan selulosa. Gugus OH hemiselulosa dapat diesterifikasi.

Pengaruh alkalis pada suhu tinggi sekali menyebabkan pemecahan

hidrolitik dari ikatan glukosid. Pada medium asam terjadi perombakan

hidrolitik yang lebih rendah dibandingkan selulosa (Sofyan, 1976).

Dengan melihat struktur serat seperti diuraikan diatas, maka

selulosa sulit dihidrolisis secara langsung dengan asam maupun enzim.

Untuk mengatasi kesulitan ini diperlukan suatu perlakuan bahan

19

selulosik sebelum dihidrolisis atau sering juga dinamakan perlakuan

pendahuluan untuk membebaskan lignin dan hemiselulosa dari

selulosa.

Gambar 2.4 Struktur Hemiselulosa

2.6 Hidrolisa

Hidrolisa adalah proses peruraian suatu senyawa oleh air. Proses

tersebut dapat terjadi dalam suasana asam, basa, atau netral tergantung pada

senyawa yang bereaksi serta karena enzim. Hidrolisa selulosa merupakan

suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan glukosa. Ada dua cara yang

digunakan untuk hidrolisa selulose yaitu dalam suasana asam dan secara

enzimatis. Dibandingkan dengan hidrolisa asam, hidrolisa menggunakan

enzim mempunyai keuntungan berupa derajad konversi yang tinggi,

pembentukan hasil samping yang minimal, kebutuhan energi yang rendah, dan

kondisi operasi yang mudah dicapai. Enzim selulose merupakan enzim yang

kompleks yang terdiri atas tiga yaitu endoselulase, selobiohidrolase dan

selobiase. Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis dalam menghidrolisa

selulosa menjadi glukosa. Selobiohidrolase menyerang struktur kristal selulosa

dan menghasilkan selobiosa (disakarida). Endoselulase menghidrolisa bagian

20

amorf selulosa menjadi senyawa-senyawa dengan bobot molekul yang lebih

kecil (β-oligomer), sedangkan selobiase menghidrolisa β-oligomer menjadi

glukosa. Pengaruh hidrolisa pada masing-masing enzim adalah rendah,

sedangkan kombinasi eksoenzim (selobiohidrolase) dan endoenzim

menaikkan produksi glukosa. Jadi keseluruhan enzim bekerja sama dalam

mendegradasi selulose.

Adsorpsi enzim selulose pada permukaan selulose pada umumnya

diasumsikan lebih cepat dibandingkan dengan laju hidrolisis secara

keseluruhan Jumlah enzim selulose yang diadsorpsi terutama tergantung pada

tersedianya luas permukaan selulose dan konsentrasi enzim selulose. Oleh

karena itu, tipe selulose dan konsentrasi enzim selulose merupakan dua faktor

penting adsorpsi dalam sistem selulase-selulose.

2.7 Sumber Enzim

Sumber enzim, berasal dari jaringan tumbuhan, hewan dan

mikroorganisme yang terseleksi. Enzim yang secara tradisional diperoleh dari

tumbuh-tumbuhan dan hewan yang mempunyai kelemahan yaitu variasi

musim, konsentrasi rendah, biaya tinggi, persediaan enzim terbatas, dan

adanya persaingan dengan pemanfaatan yang lain. Oleh karena itu

pengingkatan sumber enzim sedang dilakukan dengan cara memaksimalkan

dari mikroba pengahasil enzim yang sudah dikenal atau penghasil enzim baru

lainnya.

21

Sebagian besar enzim mikroba untuk keperluan industri hanya berasal

dari 11 jamur, 8 bakteri dan 4 ragi serta dalam prakteknya para produsen

biasanya mencari enzim baru dari kelompok ini. Kebanyakan mikroba yang

digunakan dari jamur adalah Aspergilus niger, Mucor sp., Rhizopus arrhizus,

Trichoderma viride, Penicillium vitale, Aerobacter aerogenes, dll. Sedangkan

dari bakteri adalah Bacillus subtilis, Bacillus coagulans, Escherichia coli, dll.

Sumber enzim yang didapat dari ragi adalah Saccharomyces cereviceae,

Streptomyces phaeochromogens, dll.

2.8 Delignifikasi Tongkol Jagung

Delignifikasi tongkol jagung merupakan proses pretreatment untuk

menghilangkan kandungan lignin dari selulosa dan hemiselulosa dalam

tongkol jagung. Banyaknya perolehan bioetanol sangat ditentukan oleh

keberhasilan proses delignifikasi ini untuk memisahkan lignin dari tongkol

jagung. Ada beberapa teori yang mengemukakan untuk delignifikasi, teori

pertama menyatakan bahwa permukaan serat bagian dalam berlaku sebagai

membran semi permeabel, dimana tekanan osmosis terjadi akibat melarutnya

rantai-rantai lignin dalam pelarut. Teori lain menyatakan bahwa penurunan

berat terjadi akibat penolakan elektrostatis antara partikel-partikel lignin.

Melarutnya bahan-bahan lignin oleh NH4OH disebabkan terjadinya proses

penyabunan dari group-group ester. Larutan pengembang tersebut secara

kimia dapat memutuskan ikatan hydrogen dari molekul glukosa yang

berdekatan dalam jaringan lignin.

22

Darwis et al, (1995). Melaporkan bahwa pengecilan ukuran tongkol

jagung menjadi 30-60 mesh dan dilanjutkan dengan proses delignifikasi

dengan NH4OH seperti yang dilakukan dengan penelitian ini, merupakan salah

satu upaya untuk meningkatkan efektivitas hidrolisis selulosa dalam proses

delignifikasi. Peningkatan efektivitas hidrolisis selulosa pada akhirnya akan

meningkatkan produktivitas mikroorganisme dalam memproduksi selulase.

Pengecilan ukuran dan delignifikasi menyebabkan terputusnya rantai

polimer yang panjang menjadi rantai polimer yang lebih pendek,

meningkatkan daerah amorf dengan kata lain (menurunkan derajat

kristalinitas) dan memisahkan bagian lignin dari selulosa. Perlakuan yang

efisien harus dapat membebaskan struktur kristal dengan memperluas daerah

amorfnya serta membebaskan juga lapisan ligninnya. Beberapa metoda

delignifikasi adalah sebagai berikut :

2.8.1 Metoda Kimia

Delignifikasi secara kimia bisa dilakukan dengan beberapa

larutan bahan kimia, yang biasa digunakan adalah NH4OH, NaOH,

H2SO4, MnSO4 dan Cadoxen.

a. Pelarut

Dengan menggunakan pelarut yang tepat akan

dimungkinkan pemisahan lignin dari selulosanya secara rinci.

Pelarut ini tidak hanya memisahkan selulosa dari ligninnya, tetapi

juga merusak struktur yang aktif untuk di hidrolisis. Lignin yang

melarut dapat diendapkan dan lignin tersebut bersifat amorfus dan

23

reaktif terhadap bahan-bahan hidrolitik. Salah satu pelarut yang

dapat digunakan adalah cadoxen.

b. Pulping

Penggunaan gas SO2 sebagai pra perlakuan merupakan

inovasi terbaru pada teknik delignifikasi bahan lignoselulosik.

Penetrasi (penyerapan) bahan ke dalam struktur kapiler lignin lebih

cepat dan sempurna karena molekul-molekul gas berukuran kecil

dan tidak memerlukan biaya proses pencucian. Penggunaan gas

SO2 pada lignin basah pada suhu 120oC selama dua jam untuk kayu

keras atau tiga jam untuk kayu lunak menghasilkan peningkatan

pencernaan dari lignin.

Thomson (1976) melakukan percobaan memperlakukan

jerami gandum dengan gas SO2, yang diperlakukan selama 30

menit pada suhu 170oC. peningkatan pencernaan didapatkan

hingga maksimum 80 persen (dengan hasil sekitar 50 persen).

2.8.2 Metoda Fisika

Delignifikasi secara fisika meliput iradiasi, penggunaan panas

dan tekanan yang tinggi serta pembekuan. Perlakuan ini bertujuan

untuk memperluas permukaan yang bereaksi dengan enzim selulose

juga sedikit menghilangkan lignin.

a. Iradiasi

Sinar gamma atau iradiasi elektron meningkatkan secara

nyata pencernaan bahan selulosa oleh organisme rumen dan

24

selulose. Sinar gamma menyebabkan perubahan ikatan-ikatan

tertentu antara lignin dan selulose. Sinar gamma menyebabkan

perubahan ikatan-ikatan tertentu antara lignin dan selulosa. Derajat

polimerisasi juga menurun oleh perlakuan ini (Shuler, 1985).

Efektifitas iradiasi meningkat dengan cepat pada dosis penyinaran

antara 106 sampai 108 rad.

Perlakuan awal dengan menggunakan iradiasi dengan cara

lain ialah dengan menggunakan radiasi dengan cara lain ialah

dengan menggunakan radiasi nitrit foto-kimia. Pada teknik ini

selulosa dalam larutan natrium nitrit di iradiasi dengan sinar

ultraviolet.

b. Pemanasan dengan Uap

Pemanasan dengan uap dilakukan cara melewatkan uap

panas dengan suhu 180 - 200oC pada sumber selulosa selama 5 –

30 menit secara kontinyu, atau dengan suhu 245oC selama 0.5 – 2

menit dengan sistem curah. Metode ini dikenal nama Stake da

Iotech (Kirk, 1981).

Selama pemanasan dengan uap, akan berbentuk asam

akibat penguraian dari hemiselulosa pada suhu dan tekanan tinggi,

sehingga asam tersebut akan mempercepat penguraian selulosa.

Proses ini disebut dengan otohidrolisis. Setelah pemanasan sampai

lignin menjadi cukup lunak, sumber selulosa yang dipanaskan

25

dikeluarkan pada tekanan atmosfer sehingga lignin mudah di

bebaskan.

c. Pembekuan

Bykov dan Frolov (1961) di dalam Kirk (1981) dapat

menunjukan bahwa pembekuan ulang dan “thawing” lignin dalam

air pada suhu 75oC akan menurunkan derajat polimerisasi dan

meningkatkan reaktivitas ligninnya.

2.8.3 Metode Biologi

Pada metode biologi terdapat sejumlah mikroba yang

menghasilkan enzim pengurai lignin, sehingga selulosa yang tersisa

mudah dihidrolisa menjadi glukosa. Contoh mikroba itu adalah :

Streptomyces sp., Pseudomonas sp., Flovobacterium sp., dan Poria sp.

(Kirk, 1981).

2.9 Penelitian - penelitian pendukung proses delignifikasi.

Penelitian pendukung juga meliputi pengamatan cara menangani bahan

baku tongkol jagung (proses delignifikasi) agar didapatkan kadar lignin yang

maksimal sebagai bahan baku bioetanol. Berikut merupakan penelitian-

penelitian proses delignifikasi yang sudah dilakukan :

2.9.1 Menurut Lewis et al (1988)

Proses delignifikasi dilakukan yaitu dengan menimbang 100

gram bubuk tongkol jagung yang sudah di cuci sebelumnya dengan air

destilat. Kemudian tambahkan bubuk tongkol jagung tersebut dengan

26

air destilat sebanyak 1550 ml. Tambahkan NaOH secukupnya dan atur

pH-nya menjadi 12, diamkan selama 12 jam, kemudian tambahkan

larutan H2O2 51 ml, tambahkan lagi NaOH secukupnya dan atur pH-

nya menjadi 11.5 diamkan selama 12 jam, kemudian proses

penyaringan dan pengeringan pada suhu 55oC, didapatkan substrat

dari proses delignifikasi. Gambar 2.5 menampilkan skema proses

tersebut.

27

Gambar 2.5 Proses Delignifikasi menurut Lewis et al., 1988

28

2.9.2 Menurut Nobuotoyama dan Ogawa (1975)

Proses delignifikasi dilakukan dengan menimbang 100 gram bubuk

tongkol jagung, kemudian direndam dengan NaOH 1% sebanyak 1000

ml selama 2 jam, panaskan pada suhu 120oC selama 3 jam, kemudian di

saring dan direndam dalam H2O2 1% dengan pH 11.5 selama 12 jam,

Kemudian filtrasi dengan air destilat, didapatkan substrat dari proses

delignifikasi. Gambar 2.6 menampilkan skema proses tersebut.

Gambar 2.6 Proses Delignifikasi menurut Nobuotoyama dan Ogawa (1975)

29

2.9.3 Menurut Anonim (1989),

Proses delignifikasi dilakukan dengan cara menimbang 100 gram

bubuk tongkol jagung dengan ukuran 40 mesh, kemudian tambahkan

H2SO4 4 % , panaskan pada 120oC selama 1 jam, filtrasi dengan air

destilat, didapatkan substrat dari proses delignifikasi. Gambar 2.7

menampilkan skema proses tersebut.

Gambar 2.7 Proses Delignifikasi Dengan Menggunakan H2SO4 4%,

120oC selama 1 jam.

2.10 Penelitian yang Pernah Dilakukan

30

a. Pembuatan bioetanol dari limbah tongkol jagung dengan proses

hidrolisa fermentasi, oleh Wahyuni Fitri Anggraeni, Miftakhul Jannah,

dan Noni Indrianti, 2009. UMP Purwokerto.

Metode yang digunakan menggunakan hidrolisis fermentasi pada

tongkol jagung, hidrolisa menggunakan asam sulfat (H2SO4) 10% dan

fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces cereviciae. Dengan

variabel berubah waktu fermentasi, penggunaan jumlah ragi dan

penggunaan media permunian. Hasil penelitian menunjukan bahwa

waktu fermentasi yang optimal dalam proses fermetnasi adalah 3 hari

dan penggunaan jumlah ragi yang optimal adalah 0,3 g/L. Dan

penggunaan media pemurnian yang paling baik dalam proses

pemurnian adalah menggunakan zeolit alam, didapatkan kadar

bioetanol 75%.

b. Optimasi jumlah ragi pada pembuatan bioetanol nira kelapa, oleh Hesti

Fadhillah Rakhmawati, 2009. UMP Purwokerto.

Nira kelapa merupakan salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan

untk menghasilkan bioetanol. Dengan kadar gula sebesar 7,5 sampai

20,0% nira kelapa dapat di fermentasi dengan bantuan ragi

Saccharomyces cerevisiae untuk menghasilkan bioetanol.

Dari hasil penelitian didapatkan perolehan bioetanol terbesar pada

jumlah ragi 0,6 gr dengan dihasilkan etanol sebesar 60,6755 ml dan

pada jumlah ragi tersebut adalah jumlah ragi optimum untuk

menghasilkan bioetanol nira kelapa.

31

c. Pembuatan bioetanol dari singkong secara fermentasi menggunakan

ragi tape, oleh Heppy Rikana dan Risky Adam. UNDIP Semarang.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bioetanol dari singkong

secara fermentasi menggunakan ragi tape. Pada penelitian ini variabel

ang digunakan adalah rasio ragi (80 gr, 90 gr, 100 gr), penambahan

nutrien NPK (10 gr, 15 gr, 20 gr), dan lama fermentasi (10 hari, 14

hari, 18 hari).

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada variabel ragi

penambahan ragi 90 gr diperoleh hasil paling tinggi yaitu 5,33% v/v,

untuk variabel nutrien penambahan NPK 20 gr diperoleh hasil paling

tinggi yaitu 4,98% v/v, sedangkan untuk variabel lain fermentasi

diperoleh hasil tertinggi pada lama fermentasi 14 hari yaitu 4,14% v/v.

Dengan persen error rata-rata untuk variabel ragi adalah 96,33%, untuk

variabel nutrien adalah 97,24%, pada fermentasi ini menggunakan

substrat singkong dengan kadar pati 21,6%.

d. Pemanfaatan jerami menjadi bioetanol, oleh Isroi, 2005.

Pengolahan jerami menajdi bioetanol dengan beberapa tahapan antara

lain: (1) proses hidrolisa pengasaman bertujuan untuk mengkonversi

selulosa menajdi glukosa dengan menggunakan asam sulfat dengan

konsentrasi 1-5% pada suhu 180°C. (2) proses fermentasi dengan

menggunakan bakteri Saccharomyces cerevisiae selama 16-24 jam. (3)

proses selanjutnya destilasi dan dehidrasi. Dari percobaan yang ada

32

diperoleh 766-1.148 liter bioetanol dengan kadar 60% air dari 10-15

ton/ha jerami.