BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Prasekolah 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/45742/3/BAB II.pdf ·...

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Prasekolah 2.1.1 Definisi Anak Usia Prasekolah Rentang usia antara 4 sampai dengan 6 tahun merupakan tahapan yang disebut sebagai usia prasekolah. Salah satu ciri khas perkembangan psikologis pada usia ini adalah mulai meluasnya lingkungan sosial anak. Bila pada tahap usia sebelumnya anak merasa cukup dengan lingkungan pergaulan dalam keluarga, maka anak usia prasekolah mulai merasakan adanya kebutuhan untuk memiliki teman bermain, serta memiliki aktivitas yang teratur di luar lingkungan rumah (Izzaty, 2017). Umumnya orang tua menganggap masa ini sebagai usia yang bermasalah atau usia sulit dikarenakan pada masa ini sering terjadi masalah perilaku sebagai akibat dari anak yang sedang dalam proses perkembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan, yang pada umumnya masih kurang berhasil. Orang tua juga merasa pada masa ini anak sering kali bersikap bandel, keras kepala, tidak menurut, melawan, dan marah tanpa alasan. Anak-anak pada masa ini akan mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapa diri saat masuk sekolah dasar (Soetjiningsih, 2012). 2.1.2 Perkembangan Anak Usia Prasekolah Pola perkembangan tercipta dari gabungan beberapa proses biologis, sosio- emosional, dan kognitif. Proses biologis (biological process) menghasilkan perubahan pada tubuh seseorang. Gen yang diwarisi oleh orang tua, perkembangan otak, berat badan, pertambahan tinggi, dan perubahan hormon pada saat pubertas. Proses kognitif ( cognitive 7

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Prasekolah 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/45742/3/BAB II.pdf ·...

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Usia Prasekolah

2.1.1 Definisi Anak Usia Prasekolah

Rentang usia antara 4 sampai dengan 6 tahun merupakan tahapan yang disebut

sebagai usia prasekolah. Salah satu ciri khas perkembangan psikologis pada usia ini

adalah mulai meluasnya lingkungan sosial anak. Bila pada tahap usia sebelumnya anak

merasa cukup dengan lingkungan pergaulan dalam keluarga, maka anak usia prasekolah

mulai merasakan adanya kebutuhan untuk memiliki teman bermain, serta memiliki

aktivitas yang teratur di luar lingkungan rumah (Izzaty, 2017).

Umumnya orang tua menganggap masa ini sebagai usia yang bermasalah atau

usia sulit dikarenakan pada masa ini sering terjadi masalah perilaku sebagai akibat dari

anak yang sedang dalam proses perkembangan kepribadian yang unik dan menuntut

kebebasan, yang pada umumnya masih kurang berhasil. Orang tua juga merasa pada

masa ini anak sering kali bersikap bandel, keras kepala, tidak menurut, melawan, dan

marah tanpa alasan. Anak-anak pada masa ini akan mempelajari dasar-dasar perilaku

sosial sebagai persiapa diri saat masuk sekolah dasar (Soetjiningsih, 2012).

2.1.2 Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Pola perkembangan tercipta dari gabungan beberapa proses biologis, sosio-

emosional, dan kognitif. Proses biologis (biological process) menghasilkan perubahan pada

tubuh seseorang. Gen yang diwarisi oleh orang tua, perkembangan otak, berat badan,

pertambahan tinggi, dan perubahan hormon pada saat pubertas. Proses kognitif (cognitive

7 7

8

process) pada perubahan dalam pemikiran, bahasa, dan kecerdasan. Kemampuan

memperhatikan pergerakan yang terjadi, menyusun kalimat, menghafal puisi dan

menyelesaikan soal matematika. Proses sosio-emosional (socioemotional process) meliputi

perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain, perubahan kepribadian dan

perubahan emosi (Santrock, 2011). Pada perkembangan emosi sosio-emosional pada

masa anak-anak awal atau usia prasekolah dipengaruhi oleh faktor biologis dimana

terdapat temperamen sebagai ekspresi emosi maupun terhadap suatu stimulus (internal

dan eksternal) Waltz (2006, dalam Soetjiningsih 2012).

Anak di usia ini mulai mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah

(mengikuti intruksi, mengenal huruf), serta menghabiskan banyak waktu bermain

bersama dengan teman sebaya. Dengan sosialisasi tersebut anak mulai mengurangi

kelekatan dengan orang tua, mengurangi egosentris, mengurangi sifat irrasional menuju

rasional, dalam pergaulan anak mulai saling mengkritik, mengejek, konflik, pertengkaran

yang diikuti dengan proses pembuatan kompromi, adaptasi norma-norma sosial yang

baru. Masa ini masih diliputi kegiatan bermain sendiri dengan kelompok teman sebaya,

terutama untuk mengembankan kepribadian dan psikomotorik kasar dan halus (Papalia,

2014). Anak memiliki tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab orang tua dengan

harapan orang tua paham dan melakukan intervensi untuk mengarahkan dan membantu

anak, karena harapan yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan anak merupakan

bahaya potensial, yaitu bahaya yang dapat menghambat proses perkembangan anak.

Terutama emosi anak akan berkembang dengan sehat, apabila anak mendapat bimbingan

secara tepat dengan penuh kasih sayang, dan keadaan fisik dan lingkungan yang

mendukung (Soetjiningsih, 2012).

9

Kontrol adalah masalah utama untuk anak mengendalikan banyak aspek di dalam

kehidupannya, anak masih bingung kemana arah tujuan pergi dan berapa lama dapat

bertahan dalam keadaan baru. Ketika anak kehilangan kontrol akan timbul temper

tantrums atau masalah dari temperamen anak yang tidak dapat di kontrol. Tantrums akan

muncul di usia menjelang 1 tahun akhir dan puncaknya terjadi dalam rentan usia 4-6

tahun. Tantrums yang berlangsung lebih dari 15 menit dan terjadi berulang-ulang lebih

dari 3 kali dalam sehari dapat mengidentifikasi masalah medis, emosional atau masalah

sosial (Kliegman, 2011).

Anak usia prasekolah biasanya mengalami masalah yang rumit terhadap orang

tua, berupa perasaan keterkaitan yang kuat dan kepemilikan terhadap orang tua lawan

jenis, kecemburuan, dan ketakutan di abaikan oleh orang tua. Emosi-emosi ini yang

kebanyakan berada diluar kemampuan anak untuk memahami atau menyatakan secara

verbal, dan cenderung memiliki kondisi emosi yang labil. Solusi dari krisis ini adalah

orang tua mencoba untuk memahami keadaan yang tidak bisa dijelaskan oleh anak, yang

tentunya memerlukan waktu bertahun-tahun. Bermain dan bercerita dapat mendorong

perkembangan anak untuk mengontrol emosi dengan anak dapat mengekspresikan

perasaan saat itu (Kliegman, 2011).

2.2 Pola Asuh Orang Tua

2.2.1 Definisi Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua adalah orang tua tidak dianjurkan untuk menghukum anak,

tetapi sebagai gantinya orang tua dapat mengembangkan aturan untuk anak dan

memberikan kasih sayang kepada anak. Orang tua memberikan penyesuaian perilaku

10

terhadap anak mereka, dan didasarkan atas perkembangan anak. Hal tersebut

dikarenakan masing-masing anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-

beda (Santrock 2011). Dalam memberikan pola asuh pada anak sangat dipengaruhi oleh

kondisi orang tua. Ketika orang tua tidak bisa menyeimbangkan kondisi yang menekan

stabilitas kecemasan dalam memberikan pengasuhan, maka akan mengganggu proses

adaptasi dan menimbulkan masalah seperti anak memiliki rasa rendah diri, sulit

menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan cenderung berperilaku yang kurang

normatif misalnya asosial ataupun anti sosial serta dampak buruk yang lain dapat terjadi

dengan penerapan pola asuh yang kurang tepat. Dalam hal ini maka orang tua dituntut

untuk mampu memenuhi kebutuhan anak sehari-harinya seperti dalam hal memberikan

pola asuh yang tepat dan sebagai orang tua harus bisa memahami tentang perkembangan

anak (Atmadayanti et all, 2018).

2.2.2 Jenis dan Ciri Pola Asuh Orang Tua

Menurut Diana Baumrind orang tua tidak boleh menghukum dan menjauhi anak

secara fisik. Orang tua diharuskan mengembangkan aturan-aturan dan menyayangi anak-

anak mereka (Santrock, 2011). Baumrind menggambarkan empat jenis gaya paengasuhan,

sebagai berikut:

1. Authoritarian Parenting (Pengasuhan Otoriter) adalah gaya pola asuh orang tua dengan

cara membatasi, menghukum, dan memaksa anak untuk mengikuti arahan mereka

dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Orang tua otoriter menempatkan

batasan-batasan dan kontrol yang tegas pada anak dan memungkinkan sedikit

diskusi. Orang tua otoriter juga mungkin sering memukul anak mereka, dan

menunjukkan kemarahan kepada anak. Anak-anak dengan orang tua otoriter sering

11

tidak bahagia, takut, dan ingin membandingkan dirinya dengan orang lain, gagal

untuk memulai aktivitas fisik dan memiliki komuknikasi yang lemah. Anak dari orang

tua otoriter dapat memiliki perilaku yang agresif.

2. Authoritative Parenting (Pengasuhan Otoritatif/Demokratis) mendorong anak-anak

untuk menjadi mandiri, tetapi masih memberikan batasan dan kontrol atas tindakan

mereka. Diskusi antara orang tua dan anak masih diperbolehkan, dan orang tua bisa

memperlihatkan kasih sayang kepada anak. Orang tua yang otoritatif menunjukkan

kegembiraan dan dukungan dalam menanggapi perilaku anak-anak yang konstruktif.

Mereka juga menerapkan perilaku yang sesuai untuk anak mereka. Anak-anak dengan

orang tua otoritatif lebih terkendali, mandiri, terlihat bahagia, dan berorientasi pada

prestasi. Mereka cenderung memiliki hubungan baik dengan teman sebaya, dapat

bekerja sama dengan orang dewasa, dan menangani stres dengan baik.

3. Indulgent Parenting (Pengasuhan Permisif) merupakan sebuah gaya pengasuhan ketika

orang tua sangat terlibat dengan hidup anak-anak mereka dengan tuntutan dan

kontrol atas anak-anak mereka. Orang tua permisif cenderung membiarkan anak

mereka untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Hasilnya adalah anak selalu

ingin mendapatkan keinginannya dan kurang mampu mengendalikan perilakunya

sendiri. Beberapa orang tua sengaja membiarkan membesarkan anak mereka dengan

gaya pengasuhan seperti ini karena percaya kombinasi antara keterlibatan kasih

sayang orang tua dan memberikan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang

kreatif dan percaya diri. Namun, anak dengan pengasuhan ini kurang dalam

menghormati orang lain, mengalami kesulitan mengendalikan perilaku, mendominasi,

egosentris, patuh, dan kesulitan dengan teman sebaya.

12

4. Neglectful Parenting (Pengasuhan Lalai/Uninvolved) merupakan gaya asuh dari orang

tua yang sangat tidak terlibat dengan kehidupan anak. Anak-anak dengan orang tua

lalai menganggap bahwa mereka bukan prioritas dari orang tua. Anak-anak dengan

pengasuhan ini cenderung tidak kompeten secara sosial, kurang dalam pengendalian

diri, dan kurang mandiri. Mereka memiliki harga diri yang rendah dan pemalu, dan

merasa terasing di keluarga. Anak dengan pengasuhan ini memungkinkan pada saat

remaja melakukan tindakan bolos sekolah dan kenakalan.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Pada dasarnya hubungan antara anak dan orang tua merupakan hubungan timbal

balik. Dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak

yaitu orang tua dan anak, maka peranan orang tua dan anak sangatlah besar. Hubungan

yang dapat memuaskan hubungan orang tua dan anak ditandai dengan adanya sikap

saling percaya, saling mengerti dan saling menerima (Gunarsa, 2013). Dalam mengasuh

dan mendidik anak, sikap orang tua ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya

ialah:

1. Pengalaman masa lalu yang sangat berhubungan dengan pola asuh atau sikap dari

orang tua. Biasanya dalam mendidik anak, orang tua cenderung untuk mengulangi

sikap atau pola asuh orang tua mereka dahulu apabila hal tersebut dirasakan

manfaatnya.

2. Nilai-nilai yang dianut oleh kedua orang tua yang berhubungan dengan segi

intelektual dalam kehidupan dari segi rohani dan lain-lain. Hal ini tentunya akan

berpengaruh dalam usaha untuk mendidik anak.

13

3. Tipe kepribadian dari orang tua berhubungan dengan dampak dari kepribadian yang

dimiliki oleh orang tua. Sebagai contoh orang tua yang selalu cemas dapat

mengakibatkan memiliki sikap yang terlalu melindungi terhadap anak.

4. Kehidupan perkawinan orang tua berhubungan dengan keharmonisan orang tua

dalam berumah tangga.

5. Alasan orang tua mempunyai anak berhubungan dengan kesiapan orang tua dan

tanggung jawab ketika memiliki anak.

2.3 Temperamen Anak

2.3.1 Definisi Temperamen Anak

Temperamen didefinisikan sebagai gaya perilaku individu dengan cara yang khas

dalam merespon emosional, mengacu pada perbedaan respon individu (Santrock, 2011).

Respon ini tidak saja berkaitan dengan cara bereaksi terhadap dunia luar, tetapi juga cara

individu meregulasi fungsi mental, emosional, dan perilakunya. Jika diperhatikan akan

tampak beberapa bayi yang sangat aktif, tenang, mudah menangis, atau merespon dengan

hangat orang lain. Hal tersebut memang merupakan temperamen yang ada pada

seseorang (Soetjiningsih, 2012).

2.3.2 Klasifikasi Temperamen Anak

Buss and Plomin (1984, dalam Tsoi et al, 2018) membagi temperamen menjadi

tiga kecenderungan:

1. Emotionality atau emosionalitas mengacu pada reaksi emosional anak terhadap

rangsangan lingkungan. Dengan kata lain, seorang anak yang sangat emosional dapat

menangis dengan mudah, lebih takut, cepat bersemangat, atau menunjukkan respons

14

emosional yang kuat. Anak yang rendah pada temperamen ini mungkin tampak lebih

santai, rileks, dan kurang tertarik dengan lingkungannya. Sebagai orang dewasa,

emosionalitas tinggi mungkin terkait dengan upaya artistik, hubungan, dan pilihan

karier.

2. Activity atau Aktivitas mengacu pada tingkat energi seorang anak. Mereka yang tinggi

dalam temperamen ini terlihat aktif, lebih memilih aktivitas fisik dan permainan,

mungkin lebih gelisah atau sulit untuk fokus. Sebagai orang dewasa, temperamen ini

untuk kegiatan memainkan peran penting dalam pilihan karir, hobi, dan sosialisasi.

3. Sociability atau sosialisasi berkaitan dengan kenyamanan dan tingkat interaksi

seseorang dengan orang lain. Tentunya mereka yang tinggi dalam temperamen ini

akan lebih memilih kegiatan kelompok, olahraga tim, dan menjadi lebih nyaman

ketika berinteraksi dalam kehidupan sosial. Mereka yang kurang dalam hal

bersosialisasi mungkin lebih memilih aktivitas soliter dan mengalami kecemasan di

sekitar orang asing atau situasi baru. Sebagai orang dewasa, mudah untuk melihat

bagaimana tingkat kemampuan bersosialisasi kita dapat memengaruhi persahabatan,

pilihan karier, dan hobi yang dimiliki.

Pada Kuesioner EAS Temperamen selain emotionality, activity, dan sociability

terdapat kategori shyness. Pada total skoring kuesioner shyness termasuk di dalam kategori

sociability sehingga total terdapat 10 pertanyaan (Tsoi et al, 2018).

Pendapat lain dikemukakan oleh teori ahli psikiatri Stella Chess dan Alexander

Thomas melakukan sebuah penelitian selama 20 tahun yang mengikutsertakan anak-anak

dari populasi yang besar. Luasnya data membuat mereka dapat melihat tingkah laku

individu sejak masa anak-anak sampai masa awal dewasa berinteraksi dengan

15

lingkungannya (Potter & Perry, 2014). Kemudian Chess dan Thomas memperkenalkan 3

tingkat dasar atau klasifikasi temperamen sebagai berikut:

1. The Easy Child (Anak yang mudah) adalah anak-anak yang bertemperamen mudah,

memiliki kebiasaan yang tergolong teratur dan dapat diprediksi. Memiliki pendekatan

positif terhadap stimulus yang baru. Terbuka dan dapat beradaptasi terhadapa

perubahan dan menunjukkan intensitas mood yang bersifat positif. Anak anak

dengan golongan ini biasanya mudah menghadapi lingkungan tanpa terlalu banyak

kesulitan ciri-ciri lain anak-anak ini adalah umumnya selalu gembira, tidak banyak

mengeluh bila ada yang mengganggu, dan tidak mudah frustasi. Thomas & Chess

mengemukakan hasil dari penelitiannya sebanyak 40% anak-anak tergolong mudah

(Soetjiningsih, 2012).

2. The Difficult Child (Anak yang sulit) adalah anak-anak yang bertemperamen sulit

biasanya anak sangat aktif, peka terhadap rangsangan, dan mempunyai kebiasaan

yang tidak teratur. Respon menarik diri yang negatif adalah ciri khas dari anak-anak

dengan temperamen ini, mereka cenderung membutuhkan lingkungan yang lebih

terstruktur. Anak-anak ini lambat beradaptasi dengan rutinitas, atau situasi baru.

Ekspresi mood terlihat jelas terutama mood negatif. mereka sering menangis, dan

frustasi yang bisa menimbulkan kekerasan. Thomas & Chess mengemukakan hasil

dari penelitiannya sebanyak 10% anak-anak tergolong sulit (Soetjiningsih, 2012).

3. The Slow-to-warm-up child (Anak yang lambat) adalah anak-anak dengan reaksi agak

negatif, menunjukkan intensitas suasana hati yang rendah terhadap stimulus baru.

Respon penolakan ringan namun pasif terhadap sesuatu yang baru atau asing dari

rutinitas biasanya. Observasi mengidentifikasikan bahwa anak-anak yang

16

menunjukkan pola perilaku ini rentan mengalami masalah perilaku jika terdapat

ketidaksesuaian antara temperamen dengan lingkungan. Tuntutan untuk perubahan

dan adaptasi yang bertentangan dengan kapasitas anak menjadi sumber dari stress

yang sangat besar. Thomas & Chess mengemukakan hasil dari penelitiannya

sebanyak 15% anak-anak tergolong lambat (Soetjiningsih, 2012).

2.3.3 Apek-aspek dalam Temperamen Anak

Menurut Thomas & Chess mengidentifikasi temperamen menjadi sembilan

variabel yang digunakan dalam pengkajian (Wong, 2009). Sembilan aspek itu adalah

sebagai berikut:

1. Batasan Sensori/Ambang adalah banyaknya rangasangan sensori yang dibutuhkan

anak untuk merespon keadaan sekitar. Pada pengakjian temperamen batasan

sensori/ambang memiliki 2 jenis yaitu batasan sensori/ambang rendah dan batasan

sensori/ambang tinggi. Batasan sensori/ambang rendah adalah bertujuan untuk

menunjukkan intensitas yang tinggi terhadap rangsangan, contohnya ketika anak

mudah bangun hanya karena mendengar suara yang halus. Sedangkan batasan

sensori/ambang tinggi bertujuan untuk menunjukkan intensitas tinggi sampai sedang,

sehingga anak dengan batasan ini memerlukan rangsangan yg lebih dibandingkan

anak yang memiliki batasan sensori/ambang rendah (Dariyo, 2011).

2. Ritmisitas adalah fungsi anak yang dapat diperkirakan dan anak yang tidak dapat

diperkirakan. Pada pengkajian temperamen ritmisitas memiliki 2 jenis yaitu ritmisitas

tinggi dan ritmisitas rendah. Ritmisitas tinggi bertujuan untuk menunjukkan fungsi

tubuh (makan, eliminasi, dan siklus tidur) yang teratur. Sedangkan ritmisitas rendah

bertujuan untuk menunjukkan fungsi tubuh (makan, eliminasi, dan siklus tidur) yang

17

kurang teratur, seperti ketika anak tidak memiliki patokan tidur jam berapa dan hanya

makan di saat dia lapar (Dariyo, 2011).

3. Pendekatan dan penarikan diri adalah respon awal dari anak terhadap stimulus yang

baru. Dilihat dari bagaimana respon anak terhadap menu makanan baru, teman baru,

atau pengalaman baru seperti hari pertama disekolah. Pada pengkajian ini terbagi

menjadi 2 jenis yaitu pendekatan dan penarikan diri. Pendekatan merupakan respon

positif dari berupa anak tersenyum dan berani menanggapi stimulus baru yang

diberikan. Sedangkan penarikan adalah respon negatif dari anak berupa anak

menangis, rewel, dan menjauhi stimulus baru yang diberikan (Dariyo, 2011).

4. Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan anak untuk menyesuaikan rutinitas

pada situasi baru. Hampir menyerupai pendekatan dan penarikan diri tetapi pada

pengkajian ini menekankan pada respon awal. Pada pengkajian ini terbagi menjadi 2

jenis yaitu kemampuan adaptasi tinggi dan kemampuan adaptasi rendah.

Kemampuan adaptasi tinggi menunjukkan kemampuan anak untuk tenang, dan

mampu menyesuaikan rutinitas yang baru. Sedangkan, Kemampuan adaptasi rendah

menunjukkan anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rutinitas

yang baru (Dariyo, 2011).

5. Intensitas adalah tingkatan energi atau respons dan kualitas yang dihasilkan, berkaitan

dengan stimulus sensori, objek lingkungan dan kontak sosial. pada pengkajian ini

terbagi menjadi 2 jenis yaitu intensitas tinggi dan intensitas rendah. Intensitas tinggi

merujuk pada reaksi dan kepekaan anak terhadap sesuatu, seperti anak bisa menangis

keras atau tertawa terhadap stimulus yang diberikan. Sedangkan, Intensitas rendah

18

merujuk pada anak berupa reaksi rewel atau merengek terhadap stimulu yang

diberikan (Dariyo, 2011).

6. Suasana hati/Perasaan adalah bagaimana jumlah kebahagiaan dan perilaku senang

dibandingkan kesedihan dan perilaku menangis atau merengek. Pada pengkajian ini

terbagi menjadi 2 jenis yaitu suasana hati yang positif dan suasana hati yang negatif.

Suasana hati positif merupakan anak dengan tingkat kooperatif yang tinggi dan

terlihat ceria. Sedangkan, Suasana hati negatif merupakan anak dengan tingkat

kooperatif lebih rendah cenderung terlihat rewel dan suka mengeluh (Dariyo, 2011).

7. Ketekunan/Perhatian menetap adalah bagaimana fokus anak terhadap aktifitas yang

dilakukan meskipun terdapat hambatan. Pada pengkajian ini terbagi menjadi 2 jenis,

yaitu perhatian lama dan menetap dan perhatian singkat. Perhatian lama dan

menetap, menggambarkan anak yang dapat memperhatikan sesuatu dengan waktu

yang lama dan konsisten. Sedangkan, Perhatian singkat, menggambarkan anak

kesulitan dalam hal memperhatikan dan kesulitan fokus, cenderung lebih mudah

menyerah (Dariyo, 2011).

8. Distrakbilitas dan Ketidakpedulian adalah keefektifitan rangsangan luar dan dalam

untuk mengalihkan perilaku atau perhatian anak. Pada pengkajian ini terbagi menjadi

2 jenis, yaitu distrakbilitas rendah dan distrakbilitas tinggi. Distrakbilitas rendah

merujuk pada anak yang tidak mudah dialihkan perhatiannya. Distrakbilitas tinggi

merujuk pada anak yang mudah dialihkan perhatiannya (Dariyo, 2011).

9. Tingkat aktivitas adalah kegiatan anak sehari-hari berupa tidur, makan, bermain,

belajar dll. Pada pengkajian ini tebagi menjadi 2 jenis yaitu aktivitas tinggi dan

aktivitas rendah. Aktivitas tinggi merupakan aktivitas motorik pada anak yang

19

cenderung terlihat aktif seperti menyukai bergerak dibandingkan berdiam diri.

Sedangkan, Aktivitas rendah merupakan gambaran aktivitas motorik anak yang lebih

rendah, anak lebih menyukai duduk diam dan lebih tenang (Dariyo, 2011).

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Temperamen Anak

Temperamen yang dimiliki setiap orang pasti akan berbeda-beda antara satu

dengan yang lainnya, hal tersebut tergantung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan temperamen yang dimiliki

sesorang anak adalah sebagai berikut :

1. Pengaruh Biologis dan Hereditas

Secara khusus temperamen yang terlambat dapat dikatikan dengan pola fisiologi

unik yang meliputi denyut jantung yang tinggi, tingginya hormon kortisol, dan

aktivitas yang tinggi di lobus frontal otak bagian kanan. Pola ini memungkinkan

terikat dengan mudahnya amigdala atau sebuah struktur otak yang memainkan

peranan penting dalam ketakutan dan hambatan yang terstimulasi. Sebuah

temperamen yang afektif atau negatif juga dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat

neurotransmitter serotonin yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap

ketakutan dan frustasi. Dalam studi kembar dan adopsi menunjukkan bahwa

hereditas mempunyai efek sedang terhadap perbedaan temperamen dalam

sekelompok orang (Santrock, 2011).

2. Gender, dan Budaya

Gender merupakan faktor penting pembentuk konteks yang dapat

mempengaruhi hasil akhir temperamen. Reaksi orang tua berbeda terhadap

temperamen yang dimiliki oleh bayi, bergantung dari apakah bayi tersebut

20

perempuan atau laki-laki. Ibu cenderung lebih responsif terhadap tangisan anak

perempuan dibandingkan anak laki-laki. Peran gender sendiri adalah saperangkat

ekspektasi dari lingkungan sosial yang menentukan bagaimana perempuan dan laki-

laki seharusnya dalam bertindak, berpikir, dan merasa (Santrock 2011).

Kebudayaan dapat diartikan sebagai regulasi (aturan) dalam kehidupan dari mulai

hidup sampai mati. Baik disadari maupun tidak kebudayaan dapat mempengaruh

pola perilaku-perilaku tertentu, termauk temperamen seseorang. Setiap kelompok

masyarakat (bangsa, ras, atau suku) memiliki tradisi/adat yang khas. Hal tersebut

memberikan pengaruh terhadap setiap warganya, baik cara berpikir dan berperilaku.

Pengaruh kebudayaan terhadap perilaku sesorang juga dapat dilihat dari perbedaan

masyarakat modern yang budayanya cenderung lebih maju dibandingkan masyarakat

primitif yang budayanya lebih sederhana (Kluckhohn, dalam Yusuf 2012).

3. Goodness of Fit dan Pengasuhan

Goodness of fit lebih mengacu pada tuntutan lingkungan yang harus dihadapi oleh

anak yang dapat menyebabkan perbedaan temperamen yang dimiliki oleh anak. Akan

timbul masalah penyesuaian ketika dua temperamen berbeda dihadapkan pada situasi

baru. Sejumlah karakteristik temperamen tertentu dapat menimbulkan tantangan

yang berbeda-beda kepada orang tua. Meskipun demikian, dukungan dan perhatian

berupa gaya pengasuhan yang lebih dari orang tua dapat memberikan interaksi yang

lebih baik (Santrock, 2011).

Gaya Pengasuhan atau yang sering disebut sebagai pola asuh mengacu kepada

orang tua dan keluarga, guru, dan teman sebaya yang berperan dalam pencapaian

21

perkembangan emosi-sosial yang baik pada masa kanak-kanak awal. Utamanya relasi

awal dengan orang tua merupakan pondasi dicapainya kompetensi sosial dan

hubungan dengan teman sebaya pada anak. Seiring dengan beranjaknya anak menjadi

pribadi yang mandiri proses yang terjadi menjadi tantangan yang kompleks bagi

orang tua. Orang tua harus berinteraksi dengan menunjukkan kasih sayang,

memahami keinginan dan kebutuhannya, memahami perasaan anak, mengekpresikan

minat anak dalam aktivitas sehari-hari, bangga atas pencapaian anak, memberi

semangat dan dukungan saat anak mengalami masalah (Soetjiningsih, 2012).

2.3.5 Strategi Pengasuhan Anak Temperamen

Terdapat strategi pengasuhan yang berhubungan dengan temperamen yang

dimiliki oleh anak. Menurut Sanson & Rothbart strategi pengasuhan terbaik yang

berkaitan dengan temperamen anak (Santrock, 2011). Strategi tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Penataan pada lingkungan anak

Lingkungan dapat mempengaruhi temperamen pada anak. Anak dengan

temperamen sulit lebih merasa terganggu dengan lingkungan yang bising dan asing.

Pada anak yang pemalu dan pendiam mengenalkan lingkungan baru secara perlahan

lebih membuat anak tersebut nyaman.

2. Memberi perhatian dan menghargai individu

Keberhasilan seorang tua dalam pengasuhan anak dapat berbeda-beda sesuai

dengan temperamen pada anak. Maka dari itu sangat dibutuhkan kepekaan dan

fleksibilitas dalam pengasuhan orang tua terhadap reaksi dan kebutuhan anak.

22

3. Anak bertemperamen sulit dan program pola pengasuhan

Seringkali anak dengan temperamen sulit akan diperlakukan dengan cara tertentu

sehingga dapat mendorong timbulnya perilaku sulit tersebut. Dengan begitu

pentingnya memahami karakteristik anak dan memberikan pola pengasuhan yang

tepat.

2.4 Teori Hubungan Pola Asuh orang tua dengan Temperamen

Beberapa karakteristik dari temperamen memberikan tantangan yang lebih besar

bagi orang tua dibandingkan dengan karakteristik lain, terutama di budaya barat.

Kebanyakan orang tua tidak percaya dengan pentingnya memahami temperamen sampai

kelahiran anak kedua mereka. Orang tua menganggap perilaku anak pertama mereka

adalah hasil dari bagaimana memperlakukan anak tersebut. Orang tua mulai menyadari

ada beberapa strategi yang berhasil pada anak pertama namun tidak efektif pada anak

kedua. Perbedaan-perbedaan memiliki implikasi penting terhadap interaksi orang tua dan

anak (Santrock 2011).

Beberapa pola asuh memiliki dampak berbeda-beda bagi setiap individu anak.

Pola asuh otoriter ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang cenderung menetapkan

standar mutlak harus dituruti, menuntut kepatuhan, mendikte, kaku, dan keras memiliki

dampak kepada perilaku anak berupa munculnya perilaku agresif yang sangat tinggi atau

sangat rendah, mudah cemas dan putus asa, tertutup, berkepribadian yang lemah, tingkah

laku pasif dan cenderung menarik diri, sehingga membuat anak tidak mandiri. Pola asuh

otoratif adalah perilaku orang tua yang menuntut tetapi lebih bersikap hangat kepada

anak, adanya komunikasi dua arah antara orang tua dan anak yang dilakukan secara

23

rasional, dan kontrol positif dampaknya anak memperlihatkan perilaku berani, dapat

mengontrol diri, memiliki hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, dan

kooperatif terhadap orang lain. Sedangkan pola asuh permisif, bersifat children centered

yaitu cara orang tua memperlakukan anak sesuai dengan kemauan anak atau keputusan

berada di tangan anak dampaknya anak menjadi kurang mandiri, impulsif, manja, kurang

bertanggung jawab dan menjadi cenderung anti sosial (Sunarty, 2016).

Apakah implikasi dari variasi temperamen terhadap pola asuh orang tua?

Meskipun jawaban terhadap pertanyaan ini masih bersifat spekulatif, kesimpulan-

kesimpulan berikut mengenai strategi pengasuhan terbaik berkaitan dengan temperamen

anak berhasil dicapai oleh ahli bidang temperamen Ann Sanson dan Mary Rothbart

(2002, dalam Santrock 2011):

1. Perhatian dan menghargai individualitas. Implikasinya adalah dengan tidak hanya

menyebutkan satu cara pola asuh sebagai pola asuh terbaik. Tujuan dapat dicapai

dengan cara tertentu pada anak tertentu dan dapat tercapai dengan cara yang lain

pada anak lain, tergantung temperamen yang dimiliki anak. Dibutuhkan tingkat

sensitifitas dan fleksibel dari orang tua terhadap kebutuhan bayi.

2. Penyesuaian lingkungan disekitar anak. Lingkungan yang bising dapat menyebabkan

masalah yang lebih besar pada beberapa anak (contohnya anak dengan temperamen

dificult) dibandingkan dengan anak yang mudah. Ketika anak menjadi cenderung

penakut dan mengalami inhibisi akan lebih nyaman bila diperkenalkan secara pelan-

pelan pada sesuatu yang baru.

3. Memahami karakteristik anak. Program pelatihan pola asuh untuk orang tua sering

kali berfokus kepada bagaimana menghadapi anak dengan temperamen difficult.

24

Perlu diingat bahwa bagaimana sebuah karakteristik dinilai bergantung dengan

kesesuaian dengan lingkungan. Ketika lingkungan memberikan label bahwa seorang

anak adalah anak yang sulit, hal ini dapat mengakibatkan timbulnya “self-fullfilling

prophecy” atau suatu gejala yang terjadi ketika seseorang tanpa sadar membuat suatu

prediksi menjadi kenyataan.

2.5 Gangguan Perilaku

2.5.1 Definisi Gangguan Perilaku

Gangguan perilaku disebut juga sebagai Conduct Disorder didefinisikan sebagai

perilaku berulang dan pola perilaku menetap berupa pelanggaran hak-hak orang lain yang

tidak seusai dengan norma-norma dan aturan masyarakat. Seseorang dikatakan memiliki

gangguan perilaku apabila memiliki kriteria berupa 3 gejala spesifik sekurang-kurangnya

12 bulan dan paling tidak 1 gejala muncul selama lebih dari 6 bulan terakhir. Gejala

tersebut adalah agresi terhadap orang atau binatang, merusak barang-barang, suka

berbohong atau mencuri dan melanggar aturan (Kearney, dalam Anisah 2015).

2.5.2 Faktor-Faktor Gangguan perilaku

Pada kebanyakan kasus-kasus gangguan perilaku penyebabnya sangat kompleks

dan saling berkaitan, pada kebanyakan kasus terdapat kaitan antara interaksi genetic atau

factor neurologis dengan lingkungan keluarga yang disfungsional (Kearney, dalam

Anisah 2015). Berikut akan dipaparkan secara lebih terperinci factor-faktor yang

mempengaruhi gangguan perilaku :

25

1. Karakteristik Kepribadian

Penderita gangguan perilaku cenderung overestimate akan kemampuan diri sendiri,

merasa superior dan kurang dalam hal ekspektasi social, cenderung sangat disorganisasi

dalam pekerjaan sehari-hari dan sulit diprediksi situasi kehidupan mereka selanjutnya.

Selain itu penderita gangguan perilaku merasa tidak nyaman dengan situasi keluarga juga

dengan pola asuh yang mereka dapatkan, karena keluarga danggap memiliki banyak

kekacauan. Kurang percaya diri di lingkungan sekolah dan cenderung tidak peduli

terhadap orang lain dikarenakan ada kesenjangan antara apa yang mereka harapkan

tentang diri mereka dengan kenyataan (Holocomb & Kashani, dalam Anisah 2015).

2. Temperamen dan Karakter

Temperamen merupakan salah satu resiko awal untuk terjadinya gangguan perilaku.

Penderita dengan gangguan perilaku pada masa kecil cenderung memiliki temperamen

yang keras. Temperamen didefinisikan sebagai perbedaan-perbedaan individual yang

menetap dalam kualitas dan intensitas reaksi emosional, tngkat aktifitas dan perhatian

serta pengaturan emosional. Hal ini menjadi wajib dihadapi oleh orang tua. Jika orang tua

tidak siap menghadapi ini dapat menjadi factor resiko yang mengganggu fase awal

perkembangan (Conley, dalam Anisah).

3. Fungsi Kognitif

Hubungan antara fungsi kognitif dengan gangguan perilaku sangat kompleks. Fungsi

kognitif merupakan proses berpikir seseorang atau pola/cara berpikirnya, dan sebuah

proses perkembangan yang berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup. Pada

masa anak terdapat masa-masa dimana proses perkembangan melalui tahapan kritis, hal

26

tersebut dikarenakan ada tugas-tugas tertentu yang harus dikembangkan dalam fase ini.

Untuk dapat mengatasi hal ini diperlukan tindakan untuk mengatasi proses-proses

komples dalam menginterpretasi pesan-pesan dalam lingkungan sekitar dalam pola yang

membutuhkan fleksibelitas dan kepercayaan (Matthys, dalam Anisah 2015)

4. Organik dan Neurologis

Suatu model perkembangan yang juga penting untuk diperhatikan secara berimbang

yaitu factor neurologis dan hal-hal yang berkaitan dengan otak (organ otak). Terdapat

pemahaman yang terbatas mengenai hubungan fungsi otak dengan gangguan perilaku.

Sebuah bahan kimia dalam otak yang disebut Neurotransmitter dapat terganggu dimana

keadaan seorang anak mengalami kekerasan, dan penolakan terhadap pola asuh atau

perawatan yang lain. Gangguan-gangguan yang terjadi pada masa awal kehidupan akan

lebih berakibat negative pada anak. Oleh karena itu, stres pada masa anak akan

mengganggu fungsi normalsistem syaraf pusat lalu menimbulkan efek negative pada

perkembangan social dan perilakunya (Galvin, dalam Anisah 2015).

5. Dinamika Keluarga

Pada beberapa anak dan orang dewasa yang memiliki gangguan perilaku cenderung

memiliki pengalaman penolakan, kekerasan, kemiskinan, pelecehan seksual dan

sebagainya. Dengan demikian, diperlukan menelaah lebih jauh tentang pola

komprehensif antara individu dan keluarganya dengan cara mempertimbangkan perlunya

melihat keadaan suatu generasi (Abrams, dalam Anisah 2015).

6. Faktor Sosial dan Lingkungan

Sosial/Kondisi lingkungan tidak hanya dalam satu arah mempengaruhi masalah

perilaku, kognitif dan emosional. Tapi secara timbal balik gangguan perilaku tersebut

27

memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Seorang anak dan remaja

yang mengalami gangguan perilaku akan menghabiskan dana social yang besar, ini

disebabkan karena orangorang yang mengalami gangguan perilaku rendah

produktivitasnya, tidak dapat bermanfaat secara langsung bagi masyarakat, khususnya

pelanggaran hukum, masalah keluarga, perawatan kesehatan dan ancaman terhadap

orang lain. Hal ini selanjutnya menimbulkan permasalahan sosial, krisis kepercayaan

terhadap mereka yang mengalami gangguan perilaku. Masyarakat akan mulai menyimpan

kemarahan/perasaan tidak suka terhadap mereka yang mengalami gangguan perilaku dan

membuat mereka tergerak untuk menjaga jarak terhadap mereka. Ini akan mengganggu

perkembangan anak yang mengalami gangguan perilaku (Werry, dalam Anisah 2015).