BAB II (Repaired).docx
-
Upload
sylviarahmawati91 -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of BAB II (Repaired).docx
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pneumonia
II.1.1. Definisi
ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau
lebih bagian pernafasan atas maupun bawah. Infeksi yang berlangsung sampai 14
hari menunjukkan proses akut. Pneumonia merupakan salah satu penyakit ISPA
yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak
sering bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (bronchopneumonia)
(Kemenkes RI, 2011).
II.1.2. Etiologi
Berdasarkan studi mikrobiologik ditemukan penyebab utama bakteriologik
pneumonia anak-balita adalah Streptococcus pneumoniae/pneumococcus (30-50%
kasus) dan Hemophilus influenzae type b/Hib (10-30% kasus), diikuti
Staphylococcus aureus dan Klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain
seperti Mycoplasma pneumonia, Chlamydia spp, Pseudomonas spp, Escherichia
coli juga dapat menyebabkan pneumonia (Kemenkes RI, 2010).
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat inap (Kemenkes RI,
2010).
II.1.3. Epidemiologi
WHO memperkirakan insidens pneumonia anak-balita di negara
berkembang adalah 0,29 episode per anak-tahun atau 151,8 juta kasus
pneumonia/tahun, 8,7% (13,1 juta) diantaranya merupakan pneumonia berat dan
perlu rawat-inap. Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan insidens
pneumonia anak-balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta
6
kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terkonsentrasi di 6 negara,
mencakup 44% populasi anak-balita di dunia. Ke 6 negara tersebut adalah India
43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia dan Nigeria
masing-masing 6 juta kasus per tahun (Rudan, 2008 dalam Kemenkes RI, 2010).
II.1.4. Faktor risiko
Faktor dasar (fundamental) yang menyebabkan tingginya morbiditas dan
mortalitas pneumonia balita di negara berkembang adalah (Mulholland K., 1999
dalam Kemenkes RI, 2010):
1. Kemiskinan yang luas menyebabkan derajat kesehatan rendah dan status
sosio-ekologi menjadi buruk.
2. Derajat kesehatan yang rendah menyebabkan penyakit infeksi termasuk
infeksi kronis dan infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain
seperti malaria, campak, gizi kurang, defisiensi vitamin A, defisiensi seng
(Zn), tingginya prevalensi kolonisasi patogen di nasofaring, tingginya
kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada atau tidak memberikan ASI
dan imunisasi yang tidak adekuat memperburuk derajat kesehatan.
3. Status sosio-ekologi buruk ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah
pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam-ruang akibat penggunaan
biomass (bahan bakar dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar-
ruang. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai.
4. Pembiayaan kesehatan sangat kecil menyebabkan fasilitas kesehatan seperti
infrastruktur kesehatan untuk diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan
tidak memadai, tenaga kesehatan yang terampil terbatas, ditambah lagi
dengan akses ke fasilitas kesehatan sangat kurang.
5. Proporsi populasi anak lebih besar akan menambah tekanan pada
pengendalian dan pencegahan pneumonia terutama pada aspek pembiayaan.
7
Dalam Kemenkes RI tahun 2012, faktor risiko terjadinya pneumonia
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Intrinsik
a. Umur: Bayi dan balita mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang
masih lemah dibanding dengan orang dewasa sehingga balita masuk
ke dalam kelompok yang rawan terkena infeksi, misalnya diare, ISPA
atau pneumonia.
b. Status gizi: Status gizi sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh.
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai bagian dari faktor risiko
kejadian pneumonia.
c. Status imunisasi: Cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan pneumonia. Pemberian imunisasi Campak dapat
mencegah kematian pneumonia sekitar 11%, sedangkan imunisasi DPT
dapat mencegah kematian pneumonia sekitar 6%.
d. Jenis kelamin: anak laki-laki mempunyai faktor risiko lebih besar
mengalami pneumonia.
e. ASI eksklusif: Kolustrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih
banyak dari susu formula. Zat kekebalan pada ASI melindungi bayi dari
diare, alergi dan infeksi saluran nafas terutama pneumonia.
f. Defisiensi vitamin A: Pada kasus kekurangan vitamin A, fungsi
kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan
sel yang menutupi trakea dan paru mengalami keratinisasi sehingga
mudah dimasuki oleh kuman dan virus yang menyebabkan infeksi
saluran nafas terutama pneumonia.
g. Berat badan lahir rendah (BBLR): Berat badan lahir rendah menentukan
pertumbuhan dan perkembangan balita. Bayi dengan BBLR
mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi
berat lahir normal terutama pada bulanbulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi terutama pneumonia
8
2. Ekstrinsik
a. Kondisi fisik rumah
Kelembaban: banyaknya uap air yang terkandung dalam udara
yang biasanya dinyatakan dalam persen, meliputi keadaan
bangunan, dinding, iklim dan cuaca. Syarat-syarat kelembaban
yang memenuhi standar kesehatan adalah sebagai berikut:
- Lantai dan dinding harus kering
- Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%.
Kelembaban ini sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan
etiologi pneumonia yang berupa virus, bakteri dan jamur.
Faktor etiologi tersebut dapat tumbuh dengan baik jika
kondisi optimal.
Ventilasi: Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan
pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus
cukup. Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan
No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan
perumahan, luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang
permanen minimal 10% dari luas lantai. Terdapat peningkatan
risiko untuk terkena pneumonia pada balita yang tinggal di
rumah dengan ventilasi tidak sehat.
Kepadatan hunian: banyaknya penghuni yang tinggal di dalam
rumah dibandingkan dengan luas ruangan.
Polusi udara: Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah
umumnya disebabkan oleh asap rokok, kompor gas, alat
pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak
sempurna dari kendaraan bermotor.
b. Pendidikan ibu
Tingginya mortalitas dan morbiditas pneumonia lebih disebabkan oleh
kurangnya informasi dan pemahaman yang diperoleh dari seorang ibu.
9
c. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan
Tingkat jangkauan yang rendah mempengaruhi risiko morbiditas dan
mortalitas pneumonia, karena akan terlambat memperoleh
penatalaksanaan.
II.1.5. Patofisiologi
Pada umumnya pneumonia termasuk dalam penyakit yang ditularkan
melalui udara oleh penderita pneumonia saat batuk atau bersin dalam bentuk
droplet yang dapat terhirup ke dalam paru-paru. Paru-paru terdiri dari ribuan
bronkhi yang masing-masing terbagi lagi menjadi bronkhioli dan ujungnya
berakhir pada alveoli. Di dalam alveoli terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah
dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Ketika seseorang
menderita pneumonia, pus dan cairan mengisi alveoli tersebut dan mempersulit
penyerapan oksigen sehingga terjadi kesukaran bernapas. Anak yang menderita
pneumonia, kemampuan paru-paru untuk mengembang berkurang sehingga tubuh
bereaksi dengan bernapas cepat agar tidak terjadi hipoksia. Apabila pneumonia
bertambah parah, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena
hipoksia atau sepsis (Kemenkes RI, 2012).
Gambar 2.1. Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah ke Dalam (TTDK)
II.1.6. Gambaran klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia balita berkisar antara ringan
sampai sedang sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang
10
termasuk penyakit berat, mengancam kehidupan dan perlu rawat-inap. Secara
umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok (Kemenkes
RI, 2010):
1. Gejala umum: demam, sakit kepala, malaise, nafsu makan kurang, gejala
gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare.
2. Gejala respiratorik: seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/ fast breathing),
napas sesak (retraksi dada/chest indrawing), napas cuping hidung, air
hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan tanda klinis pneumonia berat.
II.1.7. Diagnosis
Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai oleh program P2
ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan adanya batuk atau kesukaran
bernapas disertai peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai umur. Adanya
napas cepat ini ditentukan dengan cara menghitung frekuensi pernapasan. (IDAI,
2009).
Tabel 2.1. Klasifikasi Balita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas
II.1.8. Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan
pneumonia pada balita terdiri dari imunisasi dan non imunisasi. Imunisasi
terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan
11
strategi pencegahan spesifik. Pencegahan non imunisasi merupakan pencegahan
nonspesifik misalnya mengatasi berbagai faktor risiko seperti polusi udara dalam
ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat, perbaikan gizi dan lain-lain
(Kemenkes RI, 2010).
1. Imunisasi
Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan campak
adalah imunisasi DPT. Berdasarkan beberapa studi vaksin (vaccine probe)
diperkirakan vaksin pneumokokus konjugat dapat mencegah penyakit dan
kematian 20-35% kasus pneumonia pneumokokus dan vaksin Hib
mencegah penyakit dan kematian 15-30% kasus pneumonia Hib. Saat ini
di beberapa negara berkembang direkomendasikan vaksin Hib ke dalam
program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugat
direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan.
2. Non imunisasi
Sebagai upaya pencegahan nonspesifik, banyak kegiatan yang dapat
dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen
masyarakat, terutama pada ibu anak-balita tentang besarnya masalah
pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif
sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan
gizi dengan pola makanan sehat; penurunan faktor risiko lain seperti
mencegah berat badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah
polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan
perokok pasif di lingkungan rumah.
II.2. Program P2 ISPA
II.2.1. Definisi
P2 ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit menular yang
ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat infeksi
saluran pernapasan akut, terutama pneumonia pada usia dibawah lima tahun,
meliputi penemuan, pengelolaan penderita, penyuluhan dan penggerakkan
partisipasi masyarakat, serta pencatatan dan pelaporan kasus penyakit (Kemenkes
RI, 2010).
12
II.2.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan balita karena
pneumonia (Acute Respiratory Infections) (Kemenkes RI, 2010).
2. Tujuan Khusus
a. Tercapainya penemuan dan tatalaksana kasus pneumonia balita
b. Tersedianya SDM terlatih profesional dalam penatalaksanaan kasus
pneumonia balita
c. Tersedianya SDM terlatih profesional dalam manajemen program
pengendalian pneumonia balita
d. Tersedianya sarana yang mendukung penatalaksanaan kasus
pneumonia balita secara komprehensif
e. Tersedianya gambaran epidemiologi melalui pengembangan
surveilans sentinel pneumonia balita
f. Meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat di dalam pola
pencarian pengobatan untuk pneumonia balita.
II.2.3. Sasaran
Sasaran P2 ISPA terutama pengendalian pneumonia balita adalah bayi (0-
<1 tahun) dan balita (1-<5 tahun) dengan fokus penanggulangan pada penyakit
pneumonia (Kemenkes RI, 2010).
II.2.4. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan pengendalian pneumonia maka ditetapkan
kebijakan operasional sebagai berikut (Kemenkes RI, 2010):
1. Mengupayakan P2 ISPA sebagai salah satu program prioritas nasional
untuk mencapai MDGs 2015
2. P2 ISPA dilaksanakan sesuai dengan otonomi daerah dan desentralisasi
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
13
3. Upaya pengendalian kesakitan dan kematian pneumonia melalui
pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dilakukan
bekerjasama dengan lintas program yang terkait dengan kesehatan balita.
4. Penyebarluasan informasi pengendalian ISPA melalui berbagai media
sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat.
5. Logistik P2 ISPA meliputi obat, soundtimer, oksigen konsentrator
dan lain-lain disediakan oleh pemerintah baik pusat, provinsi dan
kabupaten/kota.
II.2.5. Kegiatan Pokok
1. Advokasi dan Sosialisasi
Advokasi dan sosialisasi merupakan kegiatan yang paling penting
dalam upaya untuk mendapatkan komitmen politis dan kesadaran dari
semua pihak pengambil keputusan dan seluruh masyarakat dalam upaya
penanggulangan ISPA sebagai penyebab utama kematian bayi dan balita
(Kemenkes RI, 2010).
2. Penemuan dan Tatalaksana Kasus Pneumonia
Penemuan dan tatalaksana kasus pneumonia merupakan kegiatan inti
dalam pengendalian pneumonia balita (Kemenkes RI, 2010).
a. Penemuan Kasus Pneumonia
Penemuan kasus secara aktif dilaksanakan oleh petugas Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) bersama kader secara aktif mendatangi
sasaran (pasien) di wilayah kerja atau lapangan. Sedangkan penemuan
kasus secara pasif dilaksanakan di seluruh UPK yang ada, mulai dari
tingkat desa/poskesdes, puskesmas pembantu, puskesmas sampai
rumah sakit.
b. Tatalaksana Kasus Pneumonia Balita
Penderita yang ditemukan di lapangan dirujuk ke UPK, untuk
mendapatkan pengobatan sesuai tatalaksana standar pneumonia.
Penderita dengan klasifikasi pneumonia berat dan atau ada tanda
bahaya harus segera dirujuk ke rumah sakit. Tatalaksana pola baru
14
ISPA dengan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS). Pada tahun 1997, WHO mempublikasikan tatalaksana
penderita Balita dengan menggunakan pendekatan Integrated
Management of Childhood Illness (IMCI) atau Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) yang merupakan model tatalaksana kasus terpadu
untuk berbagai penyakit anak, yaitu pneumonia, diare, malaria,
campak, gizi kurang dan cacingan (Depkes RI ,2006).
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan
Pengendalian ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita
didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan
WHO tahun 1998 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi
Indonesia (Kemenkes RI, 2011).
Tabel 2.2. Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas
Umur <2 Bulan
15
Tabel 2.3. Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas
Umur 2 Bulan-<5 Tahun
16
Tabel 2.4. Dosis Pemberian Antibiotik Oral
3. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui kegiatan (Kemenkes
RI, 2010):
a. Kunjungan rumah pada pasien pneumonia balita
b. Pemberdayaan kader posyandu untuk ISPA
c. Buku saku untuk kader tentang pengawasan pengobatan Pneumonia
Balita
d. Penyusunan pedoman pemberdayaan keluarga dan kader
e. Peningkatan peran kader dalam program P2 ISPA
17
4. Manajemen Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
P2 ISPA. Aspek logistik P2 ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana
yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan P2 ISPA. Sampai
saat ini logistik kegiatan P2 ISPA yang telah distandarisasi oleh P2 ISPA
terdiri dari:
a. Penyediaan obat standar ISPA
b. Penyediaan oksigen
c. Penyediaan ARI sound timer
d. Menyusun dan menetapkan standard obat dan alat kesehatan yang
harus tersedia/penyediaan obat dan alat kesehatan yang harus tersedia
e. Pemantauan logistik
5. Kemitraan
Kemitraan merupakan faktor penting untuk menunjang
keberhasilan program. Kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan
untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran lintas program dan
lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk
penyandang dana. Dengan pembangunan kemitraan diharapkan
pendekatan pelaksanaan program P2 ISPA khususnya pneumonia dapat
terlaksana secara terpadu dan komprehensif. Mitra kerja dalam P2 ISPA
antara lain adalah masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, sektor
swasta, pemerintah daerah (Depkes RI, 2006).
6. Pencatatan dan Pelaporan
Upaya dalam mendapatkan data dasar (baseline) dan data program
yang lengkap dan akurat dilakukan melalui kegiatan surveilans
epidemiologi ISPA yang aktif dengan diverifikasi oleh survei atau
penelitian yang sesuai, yang dapat digunakan sebagai landasan dalam
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pengendalian ISPA
secara efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi kecenderungan-
kecenderungan yang bakal muncul. Data yang dimaksud meliputi data dan
18
informasi kesakitan dan kematian pneumonia dan data-data yang
berhubungan dengan kinerja Program P2 ISPA (Depkes RI, 2006).
II.3. Evaluasi Program
Program kesehatan merupakan salah satu program intervensi, dimana setiap
program intervensi, untuk menghasilkan perubahan memerlukan monitoring dan
evaluasi guna menilai dari waktu ke waktu sejauh mana perubahan telah terjadi
(Anonim, 2012).
II.3.1. Definisi
Evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam
membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur atau kriteria yang telah
ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saran-
saran, yang dapat dilakukan setiap tahap dari pelaksanaan program (The
international clearing house and adolescent fertility control for population option
dalam Azrul, 1996).
II.3.2. Tujuan
1. Pada tahap awal program (formatif evaluation)
Untuk meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar
telah sesuai dengan masalah yang ditemukan, sehingga nantinya dapat
menyelesaikan masalah tersebut. Penilaian yang bermaksud mengukur
kesesuaian program dengan masalah dan atau kebutuhan masyarakat ini
sering disebut dengan studi penjajakan kebutuhan (need assessment study)
(Azrul, 1996).
2. Pada tahap pelaksanaan program (promotif evaluation)
Untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan tersebut
telah sesuai dengan rencana atau tidak, dan apakah terjadi penyimpangan
yang dapat merugikan tujuan program. Pada umumnya ada dua bentuk
penilaian pada tahap ini yaitu pemantauan (monitoring) dan pemantauan
berkala (periodic evaluation). Perbedaan keduanya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini (Azrul, 1996).
19
Tabel 2.5. Perbedaan Monitoring dan Periodic Evaluation
No Perbedaan Monitoring Periodic evaluation
1 FrekuensiBiasanya tiap 2 minggu atau 1 bulan sekali
Biasanya 6 bulan-1tahun sekali
2 PelaksanaBiasanya dilakukan oleh kalangan sendiri
Dapat dilakukan oleh kalangan sendiri, pihak ketiga (eksternal evaluator)
3 TujuanBiasanya bersifat terbatas memperbaiki beberapa penyimpangan saja
Biasanya bersifat lebih luas dan bahkan dapat merevisi program secara keseluruhan
3. Pada tahap akhir program (sumatif evaluation)
Dalam konteks suatu program, kita ingin melakukan perubahan dari
satu ‘situasi yang tidak kita harapkan’ menuju satu ‘situasi yang kita
harapkan’. Perubahan situasi dari waktu ke waktu yang dimonitor dan
dievaluasi diukur melalui indikator-indikator. Perubahan ini memerlukan
waktu dan sifat perubahan bertahap, mulai perubahan awal pada tingkat
‘input’ dan ‘proses’ (kegiatan program), perubahan pada tingkat ‘output’
(cakupan program), tingkatan ‘outcome’ (biasanya pengetahuan dan
perilaku kelompok sasaran), dan sampai perubahan lanjut di tingkat
‘dampak’ (status morbiditas dan mortalitas) (Anonim, 2012).
II.3.3. Pemilihan indikator
Indikator merupakan suatu variabel yang memungkinkan pengukuran
terhadap perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Perubahan di sini sebagai
suatu konsep atau parameter yang ingin kita ukur, sedangkan indikator merupakan
suatu nilai statistik yang bersifat parsial. Dalam praktek, pengukuran terhadap
suatu perubahan memerlukan beberapa indikator yang saling melengkapi
(Anonim, 2012).
Pemilihan indikator-indikator (terutama indikator ‘outcome’ dan ‘dampak’)
merupakan hal penting dalam merancang monitoring dan evaluasi suatu program.
Karakteristik dari suatu indikator yang baik adalah relevan, dalam arti sesuai
dengan konsep perubahan yang ingin diukur, dan sekaligus dapat diukur melalui
keterbatasan sumber daya yang tersedia. Kriteria relevansi indikator sering
20
DAMPAK
LINGKUNGAN
UMPAN BALIK
KELUARANPROSESMASUKAN
diartikan sebagai pertimbangan akademik, antara lain: valid, artinya indikator
mampu mengukur apa yang ingin diukur; obyektif, artinya indikator tidak berubah
hanya karena diukur oleh orang yang berbeda atau dalam waktu yang berbeda;
sensitif, artinya indikator berubah sejalan dengan perubahan dari kondisi yang
diukur; dan spesifik, artinya indikator hanya berubah kalau kondisi yang diukur
berubah, bukan karena perubahan kondisi lain yang tidak diukur (Anonim, 2012).
II.4. Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari beberapa elemen
(unsur) yang berhubungan serta saling mempengaruhi, dengan sadar dipersiapkan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azrul, 1996).
II.4.1. Ciri-ciri Sistem
1. Terdapat bagian yang satu sama lain saling berhubungan dan
mempengaruhi yang kesemuanya membentuk satu kesatuan.
2. Fungsi masing-masing bagian tersebut adalah dalam rangka mengubah
masukan menjadi keluaran yang direncanakan
3. Dalam melaksanakan fungsi, semuanya bekerjasama secara bebas namun
terkait
4. Tidak tertutup terhadap lingkungan.
II.4.2. Unsur Sistem
Gambar 2.2. Unsur Sistem
21
a. Masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat
dalam sistem dan yang diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem
tersebut. Dalam sistem pelayanan kesehatan, masukan terdiri dari
tenaga, dana, metoda, sarana/material.
b. Proses (process) adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat
dalam sistem dan yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi
keluaran yang direncanakan. Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri
dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian.
c. Keluaran (output) adalah kumpulan bagian atau elemen yang
dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem.
d. Umpan balik (feed back) adalah kumpulan bagian atau elemen yang
merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi
sistem tersebut.
e. Dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu
sistem.
f. Lingkungan (environment) adalah dunia di luar sistem yang tidak
dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap sistem.
II.4.3. Pendekatan Sistem
Menurut L. James Harvey pendekatan sistem adalah penerapan suatu
prosedur yang logis dan rasional dalam merangkai suatu komponen-komponen
yang berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai suatu kesatuan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azrul, 1996).
Prinsip pokok pendekatan sistem dalam pekerjaan administrasi dapat
dimanfaatkan untuk dua tujuan:
1. Membentuk sesuatu sebagai hasil pekerjaan administrasi
2. Menguraikan yang telah ada dalam administrasi, hal ini dikaitkan dengan
keinginan untuk menemukan masalah yang dihadapi, untuk kemudian
diupayakan mencari jalan keluar yang sesuai.
22
Keuntungan pendekatan sistem:
1. Jenis dan jumlah masukan dapat diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan,
sehingga penghamburan sumber, tata cara dan kesanggupan yang sifanya
selalu terbatas, akan dapat dihindari.
2. Proses yang dilaksanakan dapat diarahkan untuk mencapai keluaran
sehingga dapat dihindari pelaksanaan kegiatan yang tidak diperlukan.
3. Keluaran yang dihasilkan dapat lebih optimal serta dapat diukur scara lebih
tepat dan obyektif.
4. Umpan balik dapat diperoleh pada setiap tahap pelaksanaan program.
Pendekatan sistem juga memiliki kelemahan, yaitu dapat terjebaknya dalam
perhitungan yang terlalu rinci, sehingga menyulitkan pengambilan keputusan dan
dengan demikian masalah yang dihadapi tidak akan dapat diselesaikan (Azrul,
1996).
23