BAB II PERANG 10 NOVEMBER 1945 DI SURABAYA A...
Transcript of BAB II PERANG 10 NOVEMBER 1945 DI SURABAYA A...
23
BAB II
PERANG 10 NOVEMBER 1945 DI SURABAYA
A. Faktor Yang Melatar Belakangi Terjadinya Perang
Peristiwa menyerahnya Kaisar Hirohito pada 14 Agustus 1945 M,
setelah dijatuhkanlah bom atom oleh tentara sekutu di kota Hiroshima dan
Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, menjadikan Perang Dunia II dan
Perang Asia Timur Raya berakhir. Kekalahan Jepang kepada Sekutu
berdampak terjadinya kekosongan kekuasaan di Indonesia. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945 M, Bung Karno dan Bung Hatta mendapatkan
dukungan dari para ulama untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Berkat perjuangan para ulama yang istiqomah secara terus-menerus,
secara masif berkesinambungan, berakhirlah penjajahan imperialisme Barat
dan Timur, pada 9 Ramadhan 1364 H, Jum’at Legi, 17 Agustus 1945 M,
lahirlah negara Indonesia yang merdeka. Kemerdekaan yang dianugerahi ini
terjadi pada awal bulan Ramadhan yakni bulan suci ummat Islam. Oleh karena
itu perjuangan para ulama beserta para santri atas kemerdekaan terlimpah
untuk segenap bangsa Indonesia, sehingga dirumuskan dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 kemerdekaan bangsa Indonesia dirumuskan
sebagai berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.
Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar yang
terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran antara pasukan
Indonesia melawan pasukan sekutu, tidak lepas kaitannya dengan peristiwa
yang mendahuluinya, yaitu perebutan kekuasaan dan senjata tentara Jepang.
Perebutan senjata telah dimulai sejak tanggal 2 September 1945.1 Pada
akhirnya perebutan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan, yang berubah
1 Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949; Dalam Kaleidoskop Perjuangan
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm.78
24
menjadi situasi revolusi yang menegangkan.2 Beberapa faktor yang
melatarbelakangi pertempuran Surabaya antara lain:
a. Tragedi Hotel Yamato (insiden berkibarnya bendera Belanda)
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31
Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera
nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah
Indonesia.3 Gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke
segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di
Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel
Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial,
sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda dibawah pimpinan Mr. W.V.Ch.
Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, mengibarkan
bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI
Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan
Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang
berlangsung di Surabaya.
Tidak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen
Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil
Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai
Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel
Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding
dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera
Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
2 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Jilid 2 Bergelut Cara: Diplomasi
Atau Bertempur, (Bandung: Disjarah AD – Angkasa, 1992), hlm. 167 3 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Jilid 1 Proklamasi, (Bandung:
Disjarah AD – Angkasa, 1992), hlm. 251
25
Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan
bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia.
Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan
terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik
oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-
jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan
Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut
naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang
semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam
pemanjatan tiang bendera bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan
bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak
tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.4
b. Pendaratan Tentara Sekutu
Tentara Sekutu Inggris pada 29 September 1945 mendarat di
Tanjung Priok Jakarta menggunakan kapal penjelajah Cumberland, terdiri
dari tiga divisi tentara sekutu dari South East Asia Command – SEAC yang
diberi nama Alied Forces Netherland East Indies – AFNEI dibawah
komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Adapun yang dimaksud
tiga divisi tersebut adalah:
1. 23th Indian Division, di bawah pimpinan Mayor Jenderal D.C.
Hawthorn untuk Jawa Barat.
2. 5th Indian Division, di bawah pinpinan Mayor Jenderal E.C.R.
Mansergh untuk Jawa Timur
3. 26th Indian Division, di bawah pimpinan Mayor Jendral H.M.
Chambers untuk Sumatra.5
Tentara Sekutu ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang yang
berada di Indonesia karena Jepang telah kalah dan menyerah pada Perang
Dunia II. Juga ditugaskan membebaskan para tawanan perang yang
ditahan oleh Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya.
4 Ibid, hlm. 405 5 Ahmad Mansur Surya Negara, Op. Cit, (Bandung: Salamadani, 2012), hlm.177
26
Tetapi tidak hanya itu, pendaratan Tentara Sekutu memiliki tujuan ingin
mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda
sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Karena tujuan tersebut Tentara
Sekutu membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Hal
ini memicu gejolak rakyat Indonesia yang mengakibatkan terjadinya
perlawanan terhadap Tentara Sekutu di berbagai daerah.
c. Penolakan Pendaratan Tentara Sekutu Di Surabaya
Tentara Sekutu Inggris dan NICA mendaratkan 6.000 serdadu
Gurkha dari India pada 25 Oktober 1945 di Surabaya dengan tujuan
mengambil interniran6 Belanda dari Jepang. Beberapa hari sebelumnya
Menteri Penerangan Amir Syarifuddin telah memberi instruksi kepada Dr.
Mustopo ketua Tentara Keamanan Rakyat di Surabaya, bahwa akan tiba
pasukan Inggris yang bertugas menjemput tawanan perang, jangan
dihalang-halangi.
Setelah mendapatkan laporan bahwa pasukan Tentara Sekutu
pimpinan Brigadir Jendral Mallaby akan mendarat dengan begitu banyak
kapal perang, Mustopo sebagai pimpinan TKR merasa tidak nyaman
dengan pendaratan Tentara Sekutu. Para Ulama dan Santri juga tidak
percaya, disambutlah dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, berdampak
para Ulama dan Santri dari Jawa Timur, Jawa Tengah dam Jawa Barat
membanjiri kota Surabaya.
Setelah pendaratan Tentara Sekutu pada 25 Oktober 1945 di
Surabaya, Mustopo menganjurkan Jenderal Malalby beserta pasukannya
agar tidak perlu mendarat lebih dari 800 meter dari pelabuhan dan pasukan
Indonesia yang akan mengantarkan para tawanan ke pelabuhan. Tetapi
Mallaby menolak anjurannya dan terus bersikeras menerjunkan
pasukannya memasuki kota Surabaya. Pada malam hari tanggal 26
Oktober 1945, Tentara Sekutu menyerang penjara Kalisolok. Tentara
6Tentara Belanda yang di tawan oleh orang-orang Jepang selama masa kependudukannya
di Indonesia.
27
Sekutu membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta
beberapa tentara Belanda yang ditawan pasukan Indonesia.7
Selanjutnya pada tanggal 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah
pesawat Dakota melintas dari Jakarta, atas perintah Mayor Jenderal
Hawthorn pesawat itu menyebarkan pamflet yang isinya adalah perintah
penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada Tentara Sekutu.
Mustopo menyatakan penolakannya terhadap kehadiran Tentara Sekutu di
Surabaya, juga menolak menyerahkan senjata rakyat Indonesia kepada
Tentara Sekutu.
Mustopo disertai para TKR anak buahnya berkeliling dengan
kendaraan mengumumkan penolakannya terhadap pendaratan tentara
Inggris. Para pemuda-pemuda Surabaya yang sudah merasa merdeka dan
punya senjata, dengan berapi-api mendukung penolakan Mustopo. Sore
harinya melalui Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia, Mustopo hanya
berteriak, “Nica! Nica! Jangan mendarat! Kamu tahu aturan! Kamu tahu
aturan, Inggris! Kamu sekolah tinggi! Jangan mendarat!”.8 Tetapi
pasukan Mallaby secara beregu maupun berkelompok, dengan senjata
lengkap memasuki kota, menduduki tempat-tempat yang strategis seperti:
Gedung Internatio (Jembatan Merah), gedung BPM (pertamina Jl.
Veteran), Gereja Kristen dan Kantor Polisi di Bubutan, Kompleks SMAN
Wijayakusuma, RRI Surabaya, Konsulat Inggris dan Gedung olahraga
dayung di Kayun, Rumahsakit Darmo dan sekitarnya, Kantor BAT
Ngagel. Dengan keadaan seperti itu Mustopo menganjurkan kepada rakyat
Surabaya supaya menghalang-halangi tentara asing itu menduduki bumi
Surabaya yang merdeka.
Demikian beberapa faktor yang disebutkan di atas adalah yang
melatarbelakangi Perang Kemerdekaan di Surabaya, perjuangan rakyat
Indonesia beserta para Ulama dan Santri untuk mempertahankan kemerdekaan
7 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Jilid 2 Bergelut Cara: Diplomasi
Atau Bertempur, (Bandung: Disjarah AD – Angkasa, 1992), hlm. 243 8 Ibid, hml. 247
28
Indonesia, pertempuran dimulai pada 28 Oktober 1945 sampai pada puncaknya
10 November 1945.
B. Perlawanan Bangsa Indonesia Beserta Ulama dan Santri
Pada Oktober 1945 dengan mendaratnya Tentara Sekutu Inggris dan
NICA di pulau Jawa dan Sumatra, pecahlah pertempuran di Jawa dan Sumatra.
Para pemuda Republik Indonesia menyerang Tentara Sekutu dan bekas
interniran9 Belanda.10 Seluruh Pemuda Indonesia bersatu beserta para Ulama
dan Santri setelah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 sudah berkumpul di
Surabaya menghadang Tentara Sekutu dan NICA yang akan menegakkan
kembali penjajahan di Indonesia.
a. Pertempuran Fase Pertama 28-30 Oktober 1945
Serangan total dilakukan tanggal 28 Oktober 1945, pukul 04.30
pagi. Delapan pos pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat
bersenjata api, dan ditambah sekitar 100.000 rakyat bersenjata tajam.
Setelah digempur secara total, tentara Sekutu yang tidak siap bertempur,
mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding. Tercatat korban
pertempuran yang berlangsung tanggal 28-29 Oktober, Inggris mencatat 18
perwira dan 374 serdadu tewas, luka-luka, dan hilang. Sementara di pihak
Indonesia, sekitar 6.000 orang tewas, luka-luka, dan hilang. Kapten R. C
Smith menulis, Mallaby saat itu menyadari apabila pertempuran
dilanjutkan mereka akan disapu bersih.11
Dalam posisi yang terdesak Inggris menghubungi pimpinan
Indonesia di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain selain meminta
bantuan pimpinan Indonesia di Jakarta, untuk menyelamatkan nyawa ribuan
tentara Inggris yang sudah terkepung.
9 Tentara Belanda yang ditawan oleh tentara Jepang. 10 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991), hlm.387 11 A.H. Nasution, Op. Cit., hlm. 298
29
Sore hari tanggal 29 Oktober, Presiden Soekarno, Wakil Presiden
Moh. Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya
dengan menumpang pesawat militer Inggris. Hari itu juga Presiden bertemu
dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang
tertuang dalam Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident: a
provisional agreement between President Soekarno of the Republic
Indonesia and Brigadie Mallaby, Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjen Hawthorn, yang
datang ke Surabaya pada tanggal 30 Oktober. Berikut beberapa hasil
kesepakatan yang diperoleh pada tanggal 30 Oktober, antara pemimpin
Indonesia dan pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia:
1. Pamflet yang ditandatangani Mayjen Hawthorn dinyatakan tidak
berlaku.
2. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh sekutu.
3. Seluruh kota Surabaya tidak dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-
kamp tawanan dijaga tentara Sekutu bersama TKR.
4. Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga bersama TKR, polisi, dan
tentara Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat-obatan untuk
tawanan perang.
Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari
kekalahan total dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut:
1. Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI
di Surabaya bersama-sama tentara Inggris.
2. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-
masing oleh Kontak Biro.
3. Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga oleh
sekutu. Hubungan antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak
diamankan, untuk mempercepat proses pemindahan tawanan.
4. Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada masing-
masing pihak.
30
Pada perundingan itu juga disepakati nama-nama anggota Kontak
Biro dari kedua belah pihak. Dari Inggris ada 5 orang (Brigadir Jenderal
Mallaby, Kolonel L. H.O Pugh, Wing Commander Groom, Mayor M.
Hudson, dan Kapten H. Shaw). Dari pihak Indonesia 9 perwakilan (Residen
Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Mohammad, Soengkono, Soeyono,
Koesnandar, Roeslan Abdulgani, dan T. D Kundan selaku juru
bahasa). Pasca tercapainya kesepakatan Presiden Soekarno beserta
rombongan kembali ke Jakarta pada pukul 13.00.
Setelah Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke Jakarta, di
beberapa tempat masih terjadi pertempuran, sekali pun sudah diumumkan
gencatan senjata. Untuk menghentikan pertempuran, para anggota Kontak
Biro dari kedua belah pihak mulai mendatangi lokasi-lokasi yang masih
terjadi pertempuran. Pada pukul 17.00, tanggal 30 Oktober, seluruh anggota
Kontak Biro pergi bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat
terakhir ini adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung ini
masih diduduki pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih
mengepungnya. Pemuda-pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby
menyerah. Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu.
Setelah penolakan tersebut, pada tanggal 31 Oktober 1945 terjadi
insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby, Komadan Brigade 49 di Surabaya. Suatu prestasi perang yang luar
biasa, pengaruh Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama 22 Oktober 1945 berhasil
memobilisasi kekuatan bangsa Indonesia dari Tentara Keamanan Rakyat
yang terbentuk 5 Oktober 1945 yang didukung oleh Barisan Hizbullah
beserta para Santri, berhasil mematahkan Perwira Tinggi Tentara Sekutu
dan NICA.12 Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar
gencatan senjata dan membunuh Mallaby.
Setelah Mallaby terbunuh, baik Letnan Jenderal Christison,
panglima AFNEI atau pun Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak
Indonesia telah melanggar gencatan senjata dan secara licik membunuh
12 Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit, hlm. 209
31
Brigadir Jenderal Mallaby. Dengan tuduhan tersebut, pihak Inggris
menuntut pertanggungjawaban pihak Indonesia. Pada tanggal 31 Oktober
1945, Letnan Jenderal Christison, memperingatkan kepada rakyat Surabaya
untuk menyerah, apabila tidak mereka akan dihancurkan.13 Rakyat Surabaya
tidak mau memenuhi tuntutan tersebut, Kontak Biro Indonesia
mengumumkan bahwa kematian Mallaby merupakan suatu kecelakaan.
Setelah mendapat penolakan, Tentara Sekutu secara diam-diam
memperkuat posisinya, Tanggal 1 November 1945 pukul 08.00 Laksamana
Muda Patterson dengan kapal perang HMS Sussex tiba di Surabaya, 1500
pasukan didaratkan dengan kapal Carron dan Cavallier. Tanggal 3
November 1945 Mayor Jendral E.C.Manseergh, Panglima Divisi ke-5
Infanteri India, tiba di Surabaya dengan membawa pasukan Divisi 5 Inggris
yang berkekuatan 24.000 tentara, dan juga diperkuat oleh sisa Brigade 49
pasukan Mallaby. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, melengkapi
pasukan Inggris dengan pesawat tempur Thunderbolt, Mosquito, dan tank
kelas Sherman, yang merupakan persenjataan tercanggih saat itu.14
Dengan adanya pendaratan Tentara Sekutu yang menambahkan
jumlah kekuatan, sedangkan pemerintah Indonesia belum melakukan
perlawanan yang nyata terhadap tindakan Tentara Sekutu dan NICA. Ulama
dan Santri yang telah melakukan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama 22
Oktober 1945, selanjutnya menyatukan kembali kekuatan ummat Islam.
Resolusi Jihad tersebut di atas, pada saat terbentuknya Partai Islam
Indonesia Masyumi, di Jogjakarta 7 November 1945, menjadi Resolusi
Jihad dari Mu’tamar Ummat Islam Indnesia. Yang berisi antara lain:
Bahwa tiap2 bentoek pendjadjahan adalah soeatoe kezaliman jang
melanggar perikemanoesiaan dan njata2 diharamkan oleh Agama
Islam, maka 60 Miljoen Kaoem Muslimin Indonesia Siap Berdjihad
Fi Sabilillah. Perang di djalan Allah oentoek menentang tiap-tiap
Pendjadjahan.
13 A.H. Nasution, Op. Cit., hlm. 311 14 Ibid, hlm. 336
32
Memperkoeat pertahanan Negara Indonesia dengan berbagai
oesaha, maka disoesoenlah soeatoe barisan jang diberi nama:
Barisan Sabilillah, di bawah pengawasan Masjoemi.
Barisan ini adalah menjadi barisan istimewa dari Tentara
Keamanan Rakyat – T.K.R
Kepoetoesan Moetamar Oemmat Islam Indonesia di bidang
organisasi kesenjataan di kalangan Oelama dengan nama Barisan
Sabilillah di atas, 7 November 1945, Raboe Pon, 1 Dzoelhijjah 1364
sebagai kelanjoetan dari telah terbentorknya 68 Batalyon Tentara
Pembela Tanah Air – Peta, 3 Oktober 1943, dan 400.000 Barisan
Hizbullah – Tentara Allah, September 1943, pada masa pendudukan
Balatentara Djepang 1942-1945.15
Mayor Jenderal Mansergh, Komandan Tentara Angkatan Darat
Sekutu, pada 9 November 1945 memberikan ultimatum kepada segenap
rakyatb Indonesia yang berada di Surabaya. Berikut isi ultimatum tersebut
yang disampaikan oleh Mansergh:
Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda,
kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke
Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus
berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka
miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak
100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia
harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan
ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan
menyerah tanpa syarat.
Bagi pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan
senjatanya dengan berbaris dan membawa bendera putih. Batas
waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi tanggal 10
November 1945. Apabila tidak diindahkan Inggris akan
mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut, dan udara untuk
menghancurkan Surabaya.16
Ultimatum tersebut sama sekali tidak didengarkan oleh rakyat
Indonesia. Walaupun Tentara Sekutu bertambah jumlah kekuatannya dan
ditunjang dengan perlengkapan senjata perang, tetap tidak mampu
memadamkan semangat juang rakyat Indonesia untuk mempertahankan
15 Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit, hlm. 202 16 A.H. Nasution, Op. Cit., hlm. 327
33
kemerdekaannya. Apalagi dibangkitkan semangat juangnya oleh Bung
Tomo yang berpidato melalui Radio Barisan Pemberontakan Rakyat
Indonesia,17 isi pidato penghabisan Bung Tomo sebagai beriku.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Merdeka.!
Bismillahirrohmanirrohim..
MERDEKA!!! Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh
Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk kota
Surabaya, kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara
Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu
ancaman kepada kita semua, kita diwajibkan untuk dalam waktu
yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita
rebut dari tangannya tentara Jepang, mereka telah minta supaya
kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan, mereka
telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan
membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada
mereka.
Saudara-saudara di dalam pertempuran yang lampau kita sekalian
telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya, pemuda-
pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal
dari Sulawesi pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali
pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda
dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan
seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini di dalam
pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan
rakyat yang dibentuk di kampung-kampung, telah menunjukkan satu
pertahanan yang tidak bisa dijebol, telah menunjukkan satu
kekuatan, sehingga mereka itu terjepit di mana-mana. Hanya
karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-
saudara dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin
lainnya ke Surabaya ini maka kita ini tunduk utuk memberhentikan
pentempuran, tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri
dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.
Saudara-saudara kita semuanya kita bangsa Indonesia yang ada di
Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan
kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya ingin
mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa ingin mendengarkan
jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya
17 A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah Indonesia dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009,
(Yogyakarta, USD Press, 2011), hlm 286
34
ini, dengarkanlah ini tentara inggris ini jawaban kita ini jawaban
rakyat Surabaya ini jawaban pemuda Indoneisa.
kepada kau sekalian, hai tentara Inggris kau menghendaki bahwa
kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu kau
menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu kau menyuruh
kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara Jepang
untuk diserahkan kepadamu tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa
kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita
dengan seluruh kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:
selama Banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah
merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan
putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada
siapapun juga. Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan
genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai
menembak, baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti
menyerang mereka itu, kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-
benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-
saudara, lebih baik kita hancur lebur dari pada tidak
merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati.! Dan kita yakin
saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke
tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang
benar percayalah saudara-saudara Tuhan akan melindungi kita
sekalian. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, MERDEKA.!
Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Sabtu Legi, 4 Dzulhijjah
1364, antara Rakyat Indonesia, para Ulama dan Santri beserta Tentara
Keamanan Rakyat mealawan Tentara Sekutu dan NICA tidak dapat
dihindari. Di tengah Takbir Allahu Akbar, walaupun hanya menggenggam
Bamboe Roencing para Ulama dan Santri maju terus pantang mundur. Mati
dalam pertempuran melawan penjajah Barat, diyakini sebagai mati yang
indah, gugur sebagai Syuhada. Bagaimanapun kuatnya senjata imperialis
Barat, tidak mampu memadamkan semangat Ulama dan Santri yang hatinya
sedang terpana oleh rasa cinta terhadap keagungan nilai kemerdekaan.
Lebih baik gugur sebagai syuhada daripada hidup terjajah.18
b. Pertempuran Fase Kedua 10-25 November 1945
Tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, setelah habisnya waktu
ultimatum, Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada
18 Ahmad Mansyur Surya Negara, Op. Cit, hlm. 210
35
darat, laut, dan udara. Pemboman secara brutal di hari pertama telah
menimbulkan korban yang sangat besar. Berbagai bagian kota Surabaya
dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan rakyat Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota
Surabaya. Dengan adanya Resolusi Jihad, hadirlah para Ulama yaitu
Hadratus Syaikh Kiyai Hasyim Asy’ari dari pesantren Tebu Ireng Jombang,
Jawa Timur; Kiyai Ayshari dan Kiyai Tunggul Wulung dari Jogjakarta,
Jawa Tengah; Kiyai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon; dan Kiyai
Mustafa Kamil dari Partai Syarikat Islam Garut Jawa Barat, yang ikut serta
memimpin pertempuran Surabaya mengerahkan masyarakat dan para
Santrinya untuk melakukan perlawanan terhadap Tentara Sekutu.
Perlawanan rakyat Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama
pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya
bersenjatakan pisau-pisau belati, menyerang tank Sherman. Pejuang rakyat
Indonesia juga berhasil menembak jatuh Pesawat Tempur Inggris.
Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan
penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik
meninggal mupun terluka. Dan kemudian dengan cara yang lebih
terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk
militer Jepang.19 Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa
perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh
masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo, juga para Ulama yang
berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah
serangan skala besar Inggris.
Setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang Indonesia gugur dalam
pertempuran dan 200.000 rakyat sipil mengungsi ke luar Surabaya. Korban
dari Tentara Sekutu kira-kira sejumlah 600-2.000 tentara. Pertempuran
skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota
Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Sekutu. Kota Surabaya adalah kota
yang paling pertama diterima oleh Belanda dari tangan Inggris,
19 A.H. Nasution, Op. Cit., hlm. 347
36
dibandingkan kota-kota lainnya kota inilah yang paling lengkap dikuasai
oleh sekutu. Sebagai akibat dari peristiwa pertempuran yang terbesar di
Indonesia pada tanggal 10-25 November 1945, maka semua alat Republik
dan sebagian besar penduduk Indonesia diusir ke luar kota. Di Surabaya
hanya ada satu kekuasaan, baik militer maupun sipil, yakni tentara sekutu,
urusan sipilnya dipegang oleh NICA.20
Dengan sekedar tenaga-tenaga yang pada waktu itu ada di kota-kota
pelabuhan tempat Sekutu mendaratkan tentaranya, rakyat Indonesia masih
mampu mendesak tentara Inggris sedemikian rupa, sehingga mereka
terpaksa membatasi pendudukannya hanya di beberapa kota saja. Brigade
Mallaby di Surabaya sampai terkepung oleh kita, terpecah-pecah dan
hampir kehabisan peluru setelah bertempur sehari, sehingga menghadapi
kemusnahannya. Sekutu dapat selamat di kota ini hanya dengan meminta
bantuan kepada Presiden kita agar memerintahkan pasukan kita agar
menghentikan penembakan terhadap mereka. Dengan jalan diplomasi
mereka memperoleh waktu dan ruang untuk mendatangkan bala bantuan
satu divisi ke Surabaya, yang akhirnya memungkinkan mereka merebut
Surabaya pada pertempuran 10-25 November 1945.21
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia.
Akan tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela
berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka, meskipun harus
dibayar dengan nyawa.
C. Dampak Pertempuran Surabaya Bagi Bangsa Indonesia
Pada Pertempuran Surabaya bangsa Indonesia mengalami kekalahan
dengan jatuhnya korban-korban personil maupun kerugian materil yang
tidak terhingga, juga kerugian-kerugian politik. Dengan demikian Inggris
memperoleh kesempatan politik dan militer untuk mengatur pendudukan
20 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Jilid 3 Diplomasi Sambil
Bertempur, (Bandung: Disjarah AD-Angkasa, 1992), hlm. 542 21Ibid., hlm. 555
37
Surabaya tanpa ada pihak pemerintah Indonesia seperti di kota-kota lain.
Tentara Republik Indonesia didesak cukup jauh ke luar kota, sehingga
keamanan kota terjamin sepenuhnya. Bahkan seketikta di Surabaya telah
bangkit kembali pangkalan perang tentara Belanda di Indonesia.
Di Surabaya Belanda membangun satu divisi baru, yakni divisi A.
terdiri dari brigade tentara laut yang kuat yang diperlengkapi dengan senjata
dan alat-alat berat dan brigade X KNIL, suatu brigade ringan. Di Surabaya
ditempatkan Mayor Jenderal de Bruyne dari Marine Kerajaan Belanda
sebagai Panglima divisi tersebut. Sedangkan Kolonel Giebel berangkat ke
Belanda untuk kemudian menjadi kepala staf Angkatan Udara dengan
pangkat Mayor Jenderal.22
Pemerintahan NICA sudah tersusun kembali di dalam kota Surabaya
dengan lengkap. Jadi Surabayalah yang paling pertama jadi kota NICA,
walaupun di Surabaya juga perlawan bangsa Indonesia yang paling hebat.
Rakyat Indonesia yang tertinggal di dalam kota mengalami segala macam
penindasan, sedangkan di luar kota garis-garis pertahanan bangsa Indonesia
terus mendapatkan serangan dari tentara Sekutu sampai pada bulan Mei
1946.
Pemerintah Surabaya melaporkan, bahwa penangkapan terhadap
pemuda-pemuda di dalam kota Surabaya terus dilakukan. Tukang perahu
juga banyak yang ditangkap, sampai-sampai Kampung Kejawan yang
didiami oleh para nelayan menjadi kosong. Markas pertahanan Surabaya
mengeluarkan Komunike sebagai berikut.
Pada tanggal 14 Mei pukul 23.00 musuh menyerang
kedudukan kita di Lang dengan mengerahkan 1 kompanyi pasukan
yang dilindungi dengan tembakan meriam, mortar, dan senapan
mesin dari udara. Berkat kegiatan pasukan rakyat niat musuh untuk
meluaskan daerahnya gagal dan pertempuran yang berakhir pada
22 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Jilid 3 Diplomasi Sambil
Bertempur, (Bandung: Disjarah AD-Angkasa, 1992), hlm. 544
38
pukul 15.00 berkesudahan dengan dipukul mundurnya musuh
hingga sampai Kletek.
Pada tanggal 15 Mei pukul 19.00 serangan diulangi lagi
dengan 3 kompidan sebuah tank. Pun tembakan meriam dan mortar
diperhebat. Meskipun demikian maksud musuh tetap gagal dan
sampai sat ini musuh tidak dapat maju.
Dalam pertempuran-pertempuran ini musuh kehilangan 15
orang serdadu mati dan luka-luka. Fihak kita 2 orang prajurit
gugur, 5 orang lainnya luka.
Tanggal 15 Mei pertempuran terjadi karena musuh
menyerang di desa Sambibulu dengan 2 kompi. Korban kita 2 orang.
Tanggal 15 malam dan 16 sore terjadi duel altileri yang
seru. Pada hari itu terjadi pula pertempuran di Sruni. Dimana
patrol musuh yang kuat menyerang pertahanan kita. Korban kita 3
orang antara lain seorang anggota Hizbullah.
Pada tanggal 21 terus-menerus kapal terbang musuh
melayang-layang di atas kota Gresik.
Pada pukul 17.00 kapal tersebut menjatuhkan bom peledak
dan pembakar. Korban manusia tidak ada, dua rumah penduduk
yang telah dikosongkan hancur. Penduduk tetap tenang.
Pada pertempuran di sekitar Bambe dan Bringkang
sepasukan infantry Belanda binasa, karena menginjak ranjau darat
pemuda-pemuda kita.23
Sementara itu NICA melakukan aksi psikologis untuk memikat hati
rakyat. Mereka mempergunakan semboyan voor de woderopbouw van
nieuw Indonesia. Semboyan tersebut selalu didengung-dengungkan baik
melalu radio ataupun surat kabar.
Kesalahan politik dan strategi pada saat Inggris menumpahkan
separuh dari kekuatannya di Surabaya hal tersebut membuktikan bahwa
Inggris mempunyai tenaga yang terbatas sekali di kota-kota lain seperti
Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung, Semarang, Ambarawa dan Magelang. Di
Surabaya ada divisi 5, dan di semua kota tadi hanya ada divisi 23 Inggris
akan berantakan jika di semua kota tersebut serentak terjadi penyerangan.
23 Ibid, hlm. 545
39
Surabaya menjadi contoh agar di semua kota-kota lain bangkit
perlawanannya secara strategis dan tepat waktu.